Anda di halaman 1dari 4

BAB I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang


Antihistamin atau antagonis histamin merupakan salah satu obat yang paling
(1)
banyak digunakan. antihistamin ini biasanya gigunakan untuk mengobati reaksi
alergi. Antihistamin generasi pertama dapat memberikan efek sedasi dan
menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata karena antihistamin ini kurang
selektif dan mampu berpenetrasi pada system saraf pusat (SSP) lebih besar
dibandingkan dengan generasi kedua. Loratadin termasuk antihistamin generasi
kedua. Secara oral cepat diabsorbsi di saluran pencernaan dan konsentrasi maksimum
dan dalam plasma darah dicapai sekitar satu jam. Pemberian tunggal dapat
menimbulkan efek hingga 24 jam karea itu loratadin cukup diberikan 1 tablet setiap
hari. Loratadin juga tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat
kewaspadaan siang hari dan produkstivitas kerja.
Pada dasarnya obat yang beredar di pasaran terbagi menjadi 2 yaitu obat
innovator atau paten dan obat generic. Obat innovator merupakan obat yang
ditemukan berdasarkan penelitian dan memiliki masa paten dalam jangka waktu
tertentu. Di Amerika Serikat, perlindungan obat paten berlaku selama 20 tahun, tapi
dihitung sebelum uji klinik dimulai sehingga masa berlkau paten selama 11 – 12
tahun. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan undang-undang No.14 tahun 2001, masa
berlaku paten selama 20 tahun. Selama masa itu perusahaan farmasi memiliki hak
ekslusif untuk memproduksi dan memasarkan obat tersebut kecuali jika memiliki
perjanjian khusus dengan perusahaa pemilik paten.
Perusahaan farmasi yang memproduksi obat innovator harus mengeluarkan
biaya yang besar untuk penelitian dan pengembangan obat, kemanan, pemasaran,
transportasi sehingga harga obat innovator lebih mahal dari obat generik. Setelah
masa berlaku obat paten selesai, maka obat ini boleh ditiru, diproduksi dan di
pasarkan oleh perusahaan farmasi lainnya. Obat tiruan itu dinamakan oabat generic
atau obat copy. Oleh karena itu obat paten yang telah selesai masa patennya (eks
paten) juga berubah menjadi obat generic. Mayoritas obat yang beredar di Indonesia
saat ini termasuk dalam obat generic. Obat generic sendiri dibedakan menjadi obat
generic berlogo dan obat generic bermerek. Obat generik berlogo merupakan obat
generik yang dijual menggunakan nama generik sebagai nama dagangnya dengan
tambahan logo perusahaan produsennya, sedangkan obat generik bermerek
menggunakan nama sesuai keinginan produsennya. 10'11
Kewajiban Badan Pengawas Obat Dan Makanan Repoblik Indonesia menilai
semua produk obat sebelum dipasarkan memberi izin pemasaran dan melakukan
pengawasan setelah dipasarkan. Tujuannya untuk memberikan jaminan dalam hal
efikasi, keamanan dan mutu produk obat yang beredar kepada masyarakat dengan
harga yang terjangkau. (BPOM, 2004).
Untuk tujuan tersebut maka selain memenuhi persyaratan Cara Pembuatan
Obat Yang Baik (CPOB), beberapa prodak obat memerlukan uji ekivalensi secara in
vivo atau bioekivalensi. Uji Bioekivalensi (BE) merupakan data ekivalensi untuk
melihat kesetaraan sifat dan kerja obat didalam tubuh suatu obat “copy” dibandingkan
dengan obat innovator sebagai pembanding. Dua produk obat disebut bioekivalen jika
keduanya mempunyai bioekivalensi farmaseutik dan alternatif farmaseutik dan pada
pemberian dengan dosis yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang
sebanding sehingga efek dalam efikasi maupun keamanan akan sama. Bioavailabilitas
(BA) adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam produk obat yang mencapai
atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif, setelah pemberian
obat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam
urin. (BPOM, 2004., BPOM, 2006., Hakim, 2002)
Harga obat generik yang lebih rendah dibandingkan obat paten (nama dagang)
dengan efek terapeutik yang sama merupakan pertimbangan dalam menerbitkan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 085/MENKES/Per/I/1989 untuk menghasilkan
harga obat yang rendah atau terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, maka biaya
dalam pembuatan, pengujian dan lain-lain diusahakan seminimal mungkin.
Penggunaan matriks urin dengan penentuan kadar amoksisilin secara
spektrofotometri adalah salah satu cara pelaksanaan maksud tersebut. (BPOM, 2004.,
BPOM, 2006)

Uji bioavailabilitas dan bioekivalensi (BABE) mensyaratkan pelaksanaan


sesuai dengan pedoman praktek laboratorium yang benar (Good Laboratory Practice)
dan pedoman cara uji klinik yang baik (Good Clinical Practice). Setiap laboratorium
pengujian, untuk menyusun proposal uji BABE diharuskan melakukan penelitian dan
kajian pustaka, karena dalam pedoman uji bioekivalensi tidak menentukan produk
yang harus diuji maupun inovator atau komparatornya demikian pula dengan metode
yang digunakan. (BPOM, 2004., BPOM, 2006)
Uji BA-BE umumnya menggunakan matriks darah dan pengukuran kadar
obat dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), sedangkan urin dapat
digunakan apabila kadar obat yang utuh dalam urin lebih besar dari 40%. Pemilihan
amoksisilin dalam studi ini karena kadarnya dalam urin tinggi sekitar 82% sehingga
pengukuran dapat menggunakan spektrofotometer yang lebih sederhana dibandingkan
KCKT dan amoksisilin merupakan derivat penisilin yang banyak produk “copy”nya.
(Shargel, 2005., ISO, 2006)
Permasalahan apakah kadar amoksisilin dalam urin yang ditentukan secara
spektrofotometri UV dapat digunakan untuk uji bioekivalensi. Tujuan mengukur
kecepatan absorbsi dan ekskresi amoksisilin produk OGB dan produk dengan Nama
Dagang (ND)

Pada kenyataannya meskipun obat innovator telah habis masa patennya,


perusahaan farmasi multinasional tetap menjual obat paten yang telah habis masa
patennya (off patent) dengan harga yang sama seperti saat obat tersebut masih berada
dalam masa patennya.6'10 Sedangkan, pada umumnya obat generik bermerek
mempunyai harga jual yang lebih rendah dari obat inovator.6 Pada umumnya,
masyarakat menganggap kualitas obat mahal lebih tinggi dari obat yang lebih murah.
Pasien seharusnya tidak terjebak pada keharusan membeli obat yang tertulis pada
resep padahal tersedia obat yang mempunyai bahan aktif sama dengan kualitas setara
dan harga terjangkau. Uji disolusi dan penetapan kadar zat khasiat merupakan faktor
penting dalam pengendalian mutu obat. Pengujian ini dipersyaratkan pada produk
farmasi yang berbentuk tablet. Uji disolusi ini pada industri farmasi merupakan
informasi berharga untuk keseragaman kadar zat khasiat dalam satu produksi obat
(batch), perkiraan bioavailabilitas dari zat khasiat obat dalam suaru formulasi,
variabel kontrol proses dan untuk melihat pengaruh perubahan formulasi.12'13
Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) mempersyaratkan uji
disolusi terbanding (Profil disolusi) berdasarkan perbandingan profil disolusi antara
obat inovator dan obat "copy" (generik dan generik bermerek) untuk memastikan
kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau
pembuatan
setelah izin pemasaran obat.14 Sebelum melakukan uji bioekivalensi, BPOM juga
menganjurkan untuk melakukan uji disolusi in vitro yang dilaporkan dalam bentuk
profil disolusi antara obat uji dan pembanding/inovator.14
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji disolusi dan penetapan kadar 2
(dua) produk tablet loratadin generik bermerek dengan loratadin produk inovator.
Informasi ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada instansi terkait dan
masyarakat tentang mutu tablet loratadin baik produk innovator maupun generik
bermerek. Metoda uji disolusi dan penetapan kadar dilakukan sesuai dengan The
United State of Pharmacopeia 29 (USP)15 karena monografi loratadin belum
tercantum dalam Farmakope Indonesia IV.

Anda mungkin juga menyukai