Antihistamin atau antagonis histamin merupakan salah satu obat yang paling (1) banyak digunakan. antihistamin ini biasanya gigunakan untuk mengobati reaksi alergi. Antihistamin generasi pertama dapat memberikan efek sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata karena antihistamin ini kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada system saraf pusat (SSP) lebih besar dibandingkan dengan generasi kedua. Loratadin termasuk antihistamin generasi kedua. Secara oral cepat diabsorbsi di saluran pencernaan dan konsentrasi maksimum dan dalam plasma darah dicapai sekitar satu jam. Pemberian tunggal dapat menimbulkan efek hingga 24 jam karea itu loratadin cukup diberikan 1 tablet setiap hari. Loratadin juga tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan produkstivitas kerja. Pada dasarnya obat yang beredar di pasaran terbagi menjadi 2 yaitu obat innovator atau paten dan obat generic. Obat innovator merupakan obat yang ditemukan berdasarkan penelitian dan memiliki masa paten dalam jangka waktu tertentu. Di Amerika Serikat, perlindungan obat paten berlaku selama 20 tahun, tapi dihitung sebelum uji klinik dimulai sehingga masa berlkau paten selama 11 – 12 tahun. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan undang-undang No.14 tahun 2001, masa berlaku paten selama 20 tahun. Selama masa itu perusahaan farmasi memiliki hak ekslusif untuk memproduksi dan memasarkan obat tersebut kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan perusahaa pemilik paten. Perusahaan farmasi yang memproduksi obat innovator harus mengeluarkan biaya yang besar untuk penelitian dan pengembangan obat, kemanan, pemasaran, transportasi sehingga harga obat innovator lebih mahal dari obat generik. Setelah masa berlaku obat paten selesai, maka obat ini boleh ditiru, diproduksi dan di pasarkan oleh perusahaan farmasi lainnya. Obat tiruan itu dinamakan oabat generic atau obat copy. Oleh karena itu obat paten yang telah selesai masa patennya (eks paten) juga berubah menjadi obat generic. Mayoritas obat yang beredar di Indonesia saat ini termasuk dalam obat generic. Obat generic sendiri dibedakan menjadi obat generic berlogo dan obat generic bermerek. Obat generik berlogo merupakan obat generik yang dijual menggunakan nama generik sebagai nama dagangnya dengan tambahan logo perusahaan produsennya, sedangkan obat generik bermerek menggunakan nama sesuai keinginan produsennya. 10'11 Kewajiban Badan Pengawas Obat Dan Makanan Repoblik Indonesia menilai semua produk obat sebelum dipasarkan memberi izin pemasaran dan melakukan pengawasan setelah dipasarkan. Tujuannya untuk memberikan jaminan dalam hal efikasi, keamanan dan mutu produk obat yang beredar kepada masyarakat dengan harga yang terjangkau. (BPOM, 2004). Untuk tujuan tersebut maka selain memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), beberapa prodak obat memerlukan uji ekivalensi secara in vivo atau bioekivalensi. Uji Bioekivalensi (BE) merupakan data ekivalensi untuk melihat kesetaraan sifat dan kerja obat didalam tubuh suatu obat “copy” dibandingkan dengan obat innovator sebagai pembanding. Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai bioekivalensi farmaseutik dan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efek dalam efikasi maupun keamanan akan sama. Bioavailabilitas (BA) adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif, setelah pemberian obat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin. (BPOM, 2004., BPOM, 2006., Hakim, 2002) Harga obat generik yang lebih rendah dibandingkan obat paten (nama dagang) dengan efek terapeutik yang sama merupakan pertimbangan dalam menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 085/MENKES/Per/I/1989 untuk menghasilkan harga obat yang rendah atau terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, maka biaya dalam pembuatan, pengujian dan lain-lain diusahakan seminimal mungkin. Penggunaan matriks urin dengan penentuan kadar amoksisilin secara spektrofotometri adalah salah satu cara pelaksanaan maksud tersebut. (BPOM, 2004., BPOM, 2006)
Uji bioavailabilitas dan bioekivalensi (BABE) mensyaratkan pelaksanaan
sesuai dengan pedoman praktek laboratorium yang benar (Good Laboratory Practice) dan pedoman cara uji klinik yang baik (Good Clinical Practice). Setiap laboratorium pengujian, untuk menyusun proposal uji BABE diharuskan melakukan penelitian dan kajian pustaka, karena dalam pedoman uji bioekivalensi tidak menentukan produk yang harus diuji maupun inovator atau komparatornya demikian pula dengan metode yang digunakan. (BPOM, 2004., BPOM, 2006) Uji BA-BE umumnya menggunakan matriks darah dan pengukuran kadar obat dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), sedangkan urin dapat digunakan apabila kadar obat yang utuh dalam urin lebih besar dari 40%. Pemilihan amoksisilin dalam studi ini karena kadarnya dalam urin tinggi sekitar 82% sehingga pengukuran dapat menggunakan spektrofotometer yang lebih sederhana dibandingkan KCKT dan amoksisilin merupakan derivat penisilin yang banyak produk “copy”nya. (Shargel, 2005., ISO, 2006) Permasalahan apakah kadar amoksisilin dalam urin yang ditentukan secara spektrofotometri UV dapat digunakan untuk uji bioekivalensi. Tujuan mengukur kecepatan absorbsi dan ekskresi amoksisilin produk OGB dan produk dengan Nama Dagang (ND)
Pada kenyataannya meskipun obat innovator telah habis masa patennya,
perusahaan farmasi multinasional tetap menjual obat paten yang telah habis masa patennya (off patent) dengan harga yang sama seperti saat obat tersebut masih berada dalam masa patennya.6'10 Sedangkan, pada umumnya obat generik bermerek mempunyai harga jual yang lebih rendah dari obat inovator.6 Pada umumnya, masyarakat menganggap kualitas obat mahal lebih tinggi dari obat yang lebih murah. Pasien seharusnya tidak terjebak pada keharusan membeli obat yang tertulis pada resep padahal tersedia obat yang mempunyai bahan aktif sama dengan kualitas setara dan harga terjangkau. Uji disolusi dan penetapan kadar zat khasiat merupakan faktor penting dalam pengendalian mutu obat. Pengujian ini dipersyaratkan pada produk farmasi yang berbentuk tablet. Uji disolusi ini pada industri farmasi merupakan informasi berharga untuk keseragaman kadar zat khasiat dalam satu produksi obat (batch), perkiraan bioavailabilitas dari zat khasiat obat dalam suaru formulasi, variabel kontrol proses dan untuk melihat pengaruh perubahan formulasi.12'13 Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) mempersyaratkan uji disolusi terbanding (Profil disolusi) berdasarkan perbandingan profil disolusi antara obat inovator dan obat "copy" (generik dan generik bermerek) untuk memastikan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat.14 Sebelum melakukan uji bioekivalensi, BPOM juga menganjurkan untuk melakukan uji disolusi in vitro yang dilaporkan dalam bentuk profil disolusi antara obat uji dan pembanding/inovator.14 Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji disolusi dan penetapan kadar 2 (dua) produk tablet loratadin generik bermerek dengan loratadin produk inovator. Informasi ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada instansi terkait dan masyarakat tentang mutu tablet loratadin baik produk innovator maupun generik bermerek. Metoda uji disolusi dan penetapan kadar dilakukan sesuai dengan The United State of Pharmacopeia 29 (USP)15 karena monografi loratadin belum tercantum dalam Farmakope Indonesia IV.