Anda di halaman 1dari 7

Tugas 2

ILMU AGAMA ISLAM

DEAN WAHYU RENALDY / 043440866

1. Sejauh manakah Pengaruh keimanan dalam kehidupan manusia? Sebutkan tanda-


tanda orang yang bertaqwa !
2. Jelaskan fungsi dan peranan Manusia!
3. Sebutkan karakter Masyarakat Madani?
4. Jelaskan Macam-Macam  Hukum Syari’at!
5. Apa yang dimaksud Moralitas?jelaskan bahwa moralitas merupakan suatu ciri khas
manusia?
JAWABAN:

1.) Pengaruh keimanan dalam kehidupan manusia akan membawa kepada hal-hal yang baik.
Iman akan menuntun manusia terhadap perbuatan-perbuatan yang terpuji dan semakin
mendekatkan diri pada pencipta.

Iman merupakan sebuah keyakinan yang muncul dari pemahaman diri tentang alam beserta
isinya yang berkaitan dengan kebesaran Sang Khaliq. Tanda-tanda keimanan dalam diri
seseorang dapat  terlihat dari amal perbuatan yang dikerjakan, karena kepribadian diri
seseorang  merupakan pancaran dari iman yang ada di dalam diri seseorang.

Seseorang dikatakan beriman dengan sebenar-benarnya iman adalah jika ia berbuat kebajikan
dan berada di jalan yang lurus serta meninggalkan kemungkaran karena takut mendapat ‘adzab
yang pedih dari Allah SWT.

Salah satu pengaruh Iman kepada Allah, adalah menjauhkan seseorang dari perbuatan
maksiat, kerena ketika di dalam hatinya memiliki benteng dan pondasi yang kuat (iman) maka
tidak ada satupun yang dapat menyingkirkannya, baik itu dari godaan setan ataupun pengaruh
hawa nafsu.

Nabi Saw. bersabda: “Tidak berzina orang yang beriman itu, tidak mencuri orang yang beriman
itu, dan tidak minum-minuman keras bagi orang yang minum sedang dalam keadaan beriman”.
(HR. Bukhari dan Muslim). Selain menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, masih banyak
pengaruh-pengaruh lain

Dari keseluruhan ayat-ayat takwa dalam Al-Qur'an, diperoleh suatu kesimpulan tentang ciri-ciri khusus
bagi orang yang bertakwa. Setidaknya ada lima ciri-ciri khusus orang bertakwa, yaitu: 

(1) Dermawan
(2) Sabar
(3) Mampu menahan amarah
(4) Mudah memaafkan
(5) Suka shalat malam.
2.) Berpedoman kepada QS Al Baqoroh 30-36, maka peran yang dilakukan adalah sebagai pelaku
ajaran Allah dan sekaligus pelopor dalam membudayakan ajaran Allah. Untuk menjadi pelaku
ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut memulai
dari diri dan keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain.

Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah,
diantaranya adalah :
1.    Belajar (surat An naml : 15-16 dan Al Mukmin :54) ; Belajar yang dinyatakan pada ayat pertama
surat al Alaq adalah mempelajari ilmu Allah yaitu Al Qur’an.
2.    Mengajarkan ilmu (Al Baqoroh : 31-39) ; Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah maka wajib
untuk mengajarkannya kepada manusia lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah adalah Al Quran
dan juga Al Bayan
3.    Membudayakan ilmu (al Mukmin : 35 ) ; Ilmu yang telah diketahui bukan hanya untuk
disampaikan kepada orang lain melainkan dipergunakan untuk dirinya sendiri dahulu agar
membudaya. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
Di dalam Al Qur’an disebutkan fungsi dan peranan yang diberikan Allah kepada manusia.
1.      Menjadi abdi Allah. Secara sederhana hal ini berarti hanya bersedia mengabdi kepada Allah dan
tidak mau mengabdi kepada selain Allah termasuk tidak mengabdi kepada nafsu dan syahwat.
Yang dimaksud dengan abdi adalah makhluk yang mau melaksanakan apapun perintah Allah
meski terdapat resiko besar di dalam perintah Allah. Abdi juga tidak akan pernah membangkang
terhadap Allah. Hal ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56 “Dan tidak Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”
2.      Menjadi saksi Allah. Sebelum lahir ke dunia ini, manusia bersaksi kepada Allah bahwa hanya
Dialah Tuhannya.Yang demikian dilakukan agar mereka tidak ingkar di hari akhir nanti.
Sehingga manusia sesuai fitrahnya adalah beriman kepada Allah tapi orang tuanya yang
menjadikan manusia sebagai Nasrani atau beragama selain Islam. Hal ini tercantum dalam QS Al
A’raf : 172 “Dan (ingatlah), keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka
menjawab:”Betul (Engkau Tuhan Kami),kami menjadi saksi”.(Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini(keesaan Tuhan)”
3.      Khalifah Allah. Sebenarnya adalah perwakilan Allah untuk berbuat sesuai dengan misi yang
telah ditentukan Allah sebelum manusia dilahirkan yaitu untuk memakmurkan bumi. Khalifah
yang dimaksud Allah bukanlah suatu jabatan sebagai Raja atau Presiden tetapi yang dimaksud
sebagai kholifah di sini adalah seorang pemimpin Islam yang mampu memakmurkan alam
dengan syariah-syariah yang telah diajarkan Rosulullah kepada umat manusia. Dan manusia
yang beriman sejatilah yang mampu memikul tanggung jawab ini. Karena kholifah adalah wali
Allah yang mempusakai dunia ini.
3.) Karakteristik masyarakat madani menjelaskan bagaimana cara merealisasikan rencana
masyarakat. Berikut karakteristik Masyarakat Madani :

1. Free Public Sphere (Wilayah Publik yang Bebas), adalah masyarakat memiliki ruang yang
bebas untuk berpendapat, berorganisasi, memilih agama, besuku.

2. Demokrasi, merupakan karakteristik yang penting bagi masyarakat madani. Demokrasi adalah
tatanan sosial politik masyarakat madani, mereka dapat menyuarakan  pendapat mereka secara
bebas dan aman.

3. Toleransi, merupakan ciri khas dan menjadi komponen penting bagi masyarakat madani.
Toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain antar masyarakat. 

4. Pluralism, merupakan syarat penting masyarakat madani. Pluralism merupakan sikap


mengakui dan menerima kenyataan di masyarat majemuk dengan nilai positif.

5. Keadilan Sosial (Social Justice), yaitu keseimbangan dalam tatanan sosial masyarakat yang
mencangkup, ekonomi, polotik, dan pengetahuan.

4.) Secara garis besar ada 5 macam hukum syara’ yang mesti diketahui oleh kita:
1. Wajib
2. Sunnah
3. Haram
4. Makruh
5. Mubah

1. Wajib: para ‘ulama’ memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain:


“Suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa“. Atau “Suatu ketentuan
jika ditinggalkan mendapat adzab”

Contoh: makan atau minum dengan menggunakan tangan kanan adalah wajib hukumnya, jika
seorang Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum, maka berdosalah dia.

Contoh lain, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus
dikerjakan,jika tidak berdosalah ia.

Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt:

(63:‫اب أَلِي ٌم (النور‬ ِ ُ‫صيبَ ُه ْم فِ ْتنَةٌ أَ ْو ي‬


ٌ ‫صيبَ ُه ْم َع َذ‬ ِ ُ‫فَ ْليَ ْح َذ ِر الَّ ِذينَ يُ َخالِفُونَ عَنْ أَ ْم ِر ِه أَنْ ت‬
“….Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau di timpa azab yang pedih (AN-NUR : 63) Dari ayat diatas telah jelas bahwa setiap orang
yang melanggar perintah agama maka akan ditimpa musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa
adzab itu tidak lain melainkan mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.

2. Sunnah:
“Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak
berdosa“. Atau bisa anda katakan : “Suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak
wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa .

Contoh: Nabi saw bersabda:

-‫رواه البخاري و مسلم‬- .‫ص ْم يَ ْو ًما َوأَ ْف ِط ْر يَ ْو ًما‬


ُ

Artinya: “Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam
Muslim.

Dalam hadits ini ada perintah -‫ص;; ْم‬- “shaumlah”,


ُ jika perintah ini dianggap wajib, maka
menyalahi sabda Nabi saw yang berkenaan dengan orang Arab gunung, bahwa kewajiban shaum
itu hanya ada di bulan Ramadhan.

َ ‫ضانَ إِالَّ أَنْ تَطَّ َّو َع‬


..‫ش ْيئًا‬ َ ‫صيَ ِام؟ فَقَا َل‬
َ ‫ش ْه َر َر َم‬ َ ‫… َما فَ َر‬.
ِّ ‫ض هَّللا ُ َعلَ َّي ِمنْ ال‬

“….apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan
ramadhan, kecuali engkau mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” Hadits riwayat
Imam Bukhari.

Dari riwayat ini jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan sedangkan
lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits yang pertama “shaumlah” itu bukan wajib,
maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa diambil:

1. Sunnah

2. Mubah

Shaum adalah suatu amalan yang berkaitan dengan ibadah, maka jika ada perintah yang
berhubungan dengan ibadah tetapi tidak wajib, maka hukumnya sunnah. Kalau dikerjakan
mendapat pahala jika meninggalkannya tidak berdosa.

Alasan untuk menetapkan hal itu mendapat pahala adalah atas dasar firman Allah swt:

َ ‫لِلَّ ِذينَ أَ ْح‬


ْ ‫سنُوا ا ْل ُح‬
-26 :‫يونس‬- .ٌ‫سنَى َو ِزيَا َدة‬
“Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan (akan mendapat) kebaikan dan (disediakan)
tambahan (atas kebaikan yang telah diperbuatnya)” –S.Yunus: 26-

Allah swt memberi kabar, bahwasanya siapa saja yang berbuat baik di dunia dengan keimanan
(kepada-Nya) maka (balasan) kebaikan di akhirat untuknya, sebagai mana firman Allah:

-60:‫ –الرحمن‬. ُ‫سان‬ ِ ّ‫سا ِن إِال‬


َ ‫اإل ْح‬ َ ‫َه ْل َجزَ ا ُء ا ِإل ْح‬

Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” S. Ar-Rahman: 60.

Kita bisa memahami bahwa orang yang melakukan suatu kebaikan selain mendapatkan balasan
atas apa yang telah dia lakukan, terdapat pula tambahan yang disediakan, dan tambahan ini bisa
kita sebut sebagai “ganjaran”.

3. Haram:
“Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang
melanggarnya, berdosalah orang itu“.

Contoh: Nabi saw bersabda:

-‫ –رواه الطبراني‬. َ‫الَتَاْتُوا ال ُكهَّان‬

“Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“. Hadits riwayat Imam Thabrani.


Mendatangi tukang-tukang ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu
dipercayainya itu tidak boleh. Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia.

Alasan untuk pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan yang dipakai untuk
menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.

4. Makruh:
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci.

“Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan“. Atau
“meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya“.

Sebagai contoh: Makan binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan kita
memberi hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh.

Begini penjelasannya: binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja, lihat Al-
Qur’an Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:

-173 :‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَ ْح َم ا ْل ِخ ْن ِزي ِر َو َما أُ ِه َّل بِ ِه لِ َغ ْي ِر هَّللا ِ… –البقرة‬
“Tidak lain melainkan yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang
yang disembelih bukan karena Allah….”

Kata ‫إِنَّ َما‬ dalam bahasa Arab disebut sebagai “huruf hashr” yaitu huruf yang dipakai untuk
membatas sesuatu. Kata ini diterjemahkan dengan arti: hanya, tidak lain melainkan. Salah satu
hadits Nabi saw yang menggunakan huruf “innama” ini adalah:

ُ ‫إِنَّ َما أُ ِم ْرتُ بِا ْل ُو‬


َّ ‫ض ْو ِء إِ َذا قُ ْمتُ إِلَى ال‬
‫صالَ ِة‬

“Tidak lain melainkan aku diperintah berwudhu’ apabila aku akan mengerjakan shalat“. Hadits
riwayat Imam Tirmidzi.

Dengan ini berarti bahwa wudhu hanya diwajibkan ketika akan mengerjakan shalat. Lafazh ‫إِنَّ َما‬
pada ayat ini ia berfungsi membatasi bahwa makanan yang diharamkan itu hanya empat yaitu:
bangkai, darah, babi dan binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka kalau larangan
makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi saw yang melarang
makan binatang buas itu, menentangi Allah, ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu tidak
haram, kalau tidak haram maka hukum itu berhadapan dengan 2 kemungkinan yaitu: mubah atau
makruh. Jika dihukumkan mubah tidak tepat, karena Nabi saw melarang bukan memerintah. Jadi
larangan dari Nabi itu kita ringankan dan larangan yang ringan itu tidak lain melainkan makruh.
Maka kesimpulannya: binatang buas itu makruh.

5. Mubah:
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal.
“Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya
atau tidak mengerjakannya” atau “Segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk
mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya”

Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:

ْ ‫س ِرفُوا إِنَّهُ الَيُ ِح ُّب ا ْل ُم‬


َ‫س ِرفِين‬ ْ ‫يَا بَنِي آ َد َم ُخ ُذوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم‬
ْ ‫س ِج ٍد َو ُكلُوا َوا‬
ْ ُ‫ش َربُوا َوالَ ت‬

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31

Akan tetapi perintah ini dianggap mubah. Jika kita mewajibkan perintah makan maka anggapan
ini tidak tepat, karena urusan makan atau minum ini adalah hal yang pasti dilakukan oleh seluruh
manusia baik masih balita atau jompo. Sesuatu yang tidak bisa dielak dan menjadi kemestian
bagi manusia tidak perlu memberi hukum wajib, maka perintah Allah dalam ayat diatas bukanlah
wajib, jika bukan wajib maka ada 2 kemungkian hukum yang dapat kita ambil, yaitu: sunnah
atau mubah. Urusan makan atau minum ini adalah bersifat keduniaan dan tidak dijanjikan
ganjarannya jika melakukannya, maka jika suatu amal yang tidak mendapat ganjaran maka hal
itu termasuk dalam hukum mubah.
5.) Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau
orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di
mata manusia lainnya.

Moralitas bisa dikatakan sebagai salah satu ciri khas manusia berwujud kesadaran manusia akan
tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dilakukan dan dilarang, serta tentang yang harus
dilakukan dan tidak pantas dilakukan. Dalam kehidupan sehari-hari, pembentukan moralitas pada
diri seseorang biasanya dipengaruhi oleh agama, filsafat, kelompok sosial, dan hati nurani.

Anda mungkin juga menyukai