Anda di halaman 1dari 12

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Dampak Kerusakan Hutan Bagi Lingkungan


Hutan menurut undang-undang nomor 41 tahun 1999 adalah suatu
kawasan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan sebagai sekumpulan ekosistem dimana
saling berhubungan erat antara hutan dan lingkungan baik itu berupa pepohonan,
benda-benda hayati dan non hayati, lingkungan pendukung (jasa) dimana semua
yang ada diatas selalu saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hutan
secara keseluruhan merupakan kumpulan hidup alam hayati beserta alam
lingkungannya. Keanekaragaman hayati dalam suatu kawasan hutan alam terdapat
beragam jenis pepohonan, umur yang beragam dan tingkat kerapatan yang tidak
teratur dan pertumbuhan (riap yang berbeda).
Pengertian dan definisi dari kerusakan hutan adalah berkurangnya luasan
areal hutan karena kerusakan ekosistem hutan yang sering disebut degradasi hutan
ditambah juga penggundulan dan alih fungsi lahan hutan atau istilahnya
deforestasi. Studi CIFOR (International Forestry Research) menelaah tentang
penyebab perubahan tutupan hutan yang terdiri dari perladangan berpindah,
perambahan hutan, transmigrasi, pertambangan, perkebunan, hutan tanaman,
pembalakan dan industri perkayuan. Selain itu kegiatan illegal logging yang
dilakukan oleh kelompok profesional atau penyelundup yang didukung secara
illegal oleh oknum-oknum. Pembukaan areal hutan untuk dijadikan perkebunan
kelapa sawit ditunding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan. Hutan yang
didalamnya terdapat beranekaragam jenis pohon dirubah menjadi tanaman
monokultur, menyebabkan hilangnya biodiversitas dan keseimbangan ekologisdi
areal tersebut. Beberapa jenis satwa yang menjadikan hutan tersebut sebagai
habitatnya akan berpindah mencari tempat hidup yang lebih sesuai. Pembukaan
lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada areal hutan tropis merupakan salah satu
pemicu terjadinya kebakaran hutan dan berdampak negatif terhadap emisi gas
rumah kaca.
Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini akibat
perbedaan persepsi dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang
kerusakan hutan. Laju deforestasi di Indonesia menurut perkiraan World Bank
antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun, dimana deforestasi oleh peladang
berpindah ditaksir mencapai separuhnya. Namun World Bank mengakui bahwa
taksiran laju deforestasi didasarkan pada data yang lemah. Sedangkan menurut
FAO, menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.315.000 ha per
tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%).
Berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai
1.600.000 – 2.000.000 ha per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan
oleh Greenpeace, bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per
tahun yang sebagian besar adalah penebangan liar atau illegal logging. Sedangkan
ada ahli kehutanan yang mengungkapkan laju kerusakan hutan di Indonesia
adalah 1.080.000 ha per tahun.
Beberapa bentuk terjadinya kerusakan hutan dipicu oleh berbagai kegiatan
seperti :
1. Ilegal Logging
Yaitu penebangan yang terjadi di suatu kawasan hutan yang dilakukan
secara liar sehingga menurunkan atau mengubah fungsi awal hutan. Meskipun
telah ada larangan keras dari Pemerintah untuk melakukannya, akan tetapi
sebagian besar kalangan masyarakat masih melakukan kegiatan tersebut.
2. Kebakaran Hutan
Kebanyakan dari peristiwa kebakaran hutan terjadi karena faktor
kesengajaan. Beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab sengaja membakar
hutan untuk dijadikan lahan perkebunan, pemukiman, peternakan, dan yang
lainnya.
3. Perambaan Hutan
Para petani yang bercocok tanam tahunan dapat menjadi sebuah ancaman
bagi kelestarian hutan. Mereka bisa dapat memanfaatkan hutan sebagai lahan baru
untuk bercocok tanam. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin pesat
juga dapat berkontribusi terhadap terjadinya perambaan hutan. Hal ini disebabkan
kebutuhan lahan untuk kelangsungan hidup mereka juga semakin meningkat. Dan
hutan menjadi salah satu object yang bisa mereka gunakan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
4. Serangan Hama dan Penyakit
Jumlah populasi hama yang meledak juga bisa menjadi salah satu bentuk
kerusakan hutan. Hama-hama tersebut dapat menyerang dan menimbulkan
kerusakan pada populasi pohon yang hidup di suatu kawasan hutan.
Deforestasi atau dampak akibat kerusakan hutan dapat menimbulkan
berbagai bencana seperti di bawah ini :
1. Perubahan Iklim
Oksigen (O2) merupakan gas yang melimpah di atmosfer, dimana hutan
merupakan produsen terbesar yang menghasilkan gas tersebut. Selain itu, hutan
juga membantu menyerap gas rumah kaca yang menjadi penyebab terjadinya
pemanasan global. Itulah sebabnya mengapa ada istilah yang mengatakan bahwa
hutan adalah paru-paru bumi. Pada saat suatu hutan mengalami kerusakan, maka
hal tersebut bisa berakibat terjadinya peningkatan suhu bumi serta perubahan
iklim yang ekstrem. Dengan adanya deforestasi, jumlah karbondioksida (CO2)
yang dilepaskan ke udara akan semakin besar. Kita tahu bahwa karbondioksida
merupakan gas rumah kaca yang paling umum. Menurut Badan Perlindungan
Lingkungan Amerika serikat menyatakan bahwa CO2 menyumbang sekitar 82%
gas rumah kaca di negara tersebut. Menurut seorang Profesor ilmu lingkungan di
Lasell Collage Newton, Massachusets menyatakan bahwa deforestasi tidak hanya
mempengaruhi jumlah karbondioksida yang merupakan gas rumah kaca, akan
tetapi deforestasi juga berdampak pada pertukaran uap air dan karbondioksida
yang terjadi antara atmosfer dan permukaan tanah yang berkaitan dengan
terjadinya perubahan iklim, dimana perubahan konsentrasi yang ada di lapisan
atmosfer akan memiliki efek langsung terhadap iklim di Indonesia ataupun di
dunia.
2. Kehilangan Berbagai Jenis Spesies
Deforestasi juga berdampak pada hilangnya habitat berbagai jenis spesies
yang tinggal di dalam hutan. Menurut National Geographic, sekitar 70% tanaman
dan hewan hidup di hutan. Deforestasi mengakibatkan mereka tidak bisa bertahan
hidup disana. Dengan hilangnya habitat-habitat tersebut, maka hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya kepunahan spesies.Hal ini bisa berdampak di berbagai
bidang, seperti di bidang pendidikan dimana akan musnahnya berbagai spesies
yang dapat menjadi object suatu penelitian. Selain itu, dibidang kesehatan
deforestasi bisa berakibat hilangnya berbagai jenis obat yang bisanya bersumber
dari berbagai jenis spesies hutan.
3. Terganggunya Siklus Air
Kita tahu bahwa pohon memiliki peranan yang penting dalam siklus air,
yaitu menyerap curah hujan serta menghasilkan uap air yang nantinya akan
dilepaskan ke atmosfer. Dengan kata lain, semakin sedikit jumlah pohon yang ada
di bumi, maka itu berarti kandungan air di udara yang nantinya akan
dikembalikan ke tanah dalam bentuk hujan juga sedikit. Nantinya, hal tersebut
dapat menyebabkan tanah menjadi kering sehingga sulit bagi tanaman untuk
hidup. Selain itu, pohon juga berperan dalam mengurangi tingkat polusi air, yaitu
dengan menhentikan pencemaran. Dengan semakin berkurangnya jumlah pohon-
pohon yang ada di hutan akibat kegiatan deforestasi, maka hutan tidak bisa lagi
menjalankan fungsinya dalam menjaga tata letak air.
4. Mengakibatkan Banjir dan Erosi Tanah
Word Wildlife Fund (WWF) mengungkapkan bahwa sejak tahun 1960,
lebih dari sepertiga bagian lahan subur di bumi telah musnah akibat kegiatan
deforestasi. Kita tahu bahwa pohon memegang peranan penting untuk menghalau
berbagai bencana seperti terjadinya banjir dan tanah longsor. Dengan tiadanya
pohon, maka pada saat musim hujan tanah tidak bisa menyerap dengan baik
tumpahan air hujan dan mengakibatkan besarnya laju aliran air di permukaan,
yang pada akhirnya akan terjadi banjir bandang. Selain itu, air hujan dapat
mengangkut partikel-partikel tanah sehingga menimbulkan erosi tanah atau tanah
longsor.
5. Mengakibatkan Kekeringan
Dengan hilangnya daya serap tanah, hal tersebut akan berimbas pada
musim kemarau, dimana dalam tanah tidak ada lagi cadangan air yang seharusnya
bisa digunakan pada saat musim kemarau. Hal ini disebabkan karena pohon yang
bertindak sebagai tempat penyimpan cadangan air tanah tidak ada lagi sehingga
Ini akan berdampak pada terjadinya kekeringan yang berkepanjangan.
6. Rusaknya Ekosistem Darat dan Laut
Hutan menjadi habitat bagi berbagai jenis spesies hewan dan tumbuh-
tumbuhan. Itu berarti bahwa hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati
yang ada di bumi ini. Kegiatan deforestasi hutan dapat mengakibatkan kerusakan
bahkan kepunahana bagi kekayaan alam tersebut itu sendiri maupun kekayaan
alam lainnya yang ada di tempat lain seperti di laut. Kerusakan hutan yang terjadi
akan membawa akibat terjadinya banjir maupun erosi yang dapat mengangkut
partikel-partikel tanah menuju ke laut yang nantinya akan mengalami proses
sedimentasi atau pengendapan di sana. Hal tersebut tentu saja bisa merusak
ekosistem yang ada di laut, seperti ikan serta terumbu karang.
7. Menyebabkan Abrasi Pantai
Eksploitasi hutan secara liar tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak tak
bertanggung jawab di kawasan hutan yang ada di darat saja. Kegiatan tersebut
juga bisa dilakukan terhadap hutan-hutan mangrove yang berfungsi untuk
melindungi pantai dari terjangan gelombang dan badai yang berada di pesisir
pantai. Jika hal tersebut terus dibiarkan, akan berakibat terjadinya abrasi pantai .
8. Kerugian Ekonomi
Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan alam, sebagian masyarakat
menggantungkan hidup mereka dari hasil hutan. Jika hutan rusak, maka sumber
penghasilan mereka pun juga akan menghilang. Kerusakan hutan bisa
menyebabkan tanah menjadi tandus, sehingga akan sulit dipergunakan untuk
bercocok tanam. Selain itu, kerusakan hutan bisa memicu terjadinya berbagai
macam bencana yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian, baik itu
kerugian material maupun non material. Banyak orang yang kehilangan lahan,
tempat tinggal, maupun anggota keluarga akibat bencana seperti banjir dan tanah
longsor.
9. Mempengaruhi Kualitas Hidup
Terjadinya erosi tanah sebagai akibat kerusakan hutan dapat mengangkut
partikel-partikel tanah yang mengandung zat-zat berbahaya seperti pupuk organik
memasuki danau, sungai, maupun sumber air lainnya. Ini akan berakibat
penurunan kualitas air yang berada di daerah tersebut. Dengan kualitas air yang
buruk akan berdampak pada tingkat kesehatan yang buruk pula.

3.2 Kontroversi Ekonomi dan Ekologi Pengelolaan Hutan


Masyarakat sekitar hutan pada umumnya miskin dan berpendidikan
rendah. Keterbatasan tersebut membuat mereka seringkali merambah kawasan
hutan karena keterdesakan ekonomi dan terbatasnya lahan garapan. Luasnya
kawasan hutan yang telah diokupasi oleh masyarakat menunjukkan lemahnya
negara dari sisi pengamanan hutan. Tidak ada jalan lain menyelamatkan hutan,
kecuali dengan melibatkan masyarakat pada pengelolaan hutan. Sebagai upaya
legalisasi akses masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan, pemerintah
mengeluarkan kebijakan perhutanan sosial. Tentunya kebijakan ini bukan sekadar
bagi-bagi lahan hutan untuk masyarakat, melainkan disertai aturan-aturan yang
mengamankan keberadaan pohon di dalam hutan sampai batas usia panennya.
Kebijakan ini diharapkan mempunyai manfaat ganda, satu untuk kesejahteraan
masyarakat dan yang lain untuk kelestarian hutan. Meskipun masih banyak
kendala dalam implementasi program perhutanan sosial, namun ke depan program
ini diharapkan mampu menanggulangi kemiskinan masyarakat sekitar hutan.
Penanggulangan kemiskinan melalui program perhutanan sosial dilaksanakan
melalui pemberdayaan masyarakat dalam kelompok-kelompok tani.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan, baik melalui peningkatan kapasitas petani
maupun pemberdayaan ekonomi lokal. Setiap wilayah memiliki karakter yang
berbeda, dan oleh sebab itu, komoditas yang dikembangkan setiap wilayah juga
berbeda-beda sesuai dengan potensinya masing-masing. Komoditas yang
dikembangkan diharapkan dapat mengisi pasar nasional dan internasional dengan
sistem bisnis sosial yang diselenggarakan oleh kelompok tani melalui koperasi
dan mitra. Keuntungan dari bisnis sosial ini pada ujungnya akan kembali kepada
kelompok tani, sehingga dapat sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan
anggota, selain diputar kembali untuk mengembangkan usaha lebih lanjut dengan
tetap mengutamakan kelestarian hutan.
Bagai tikus mati di lumbung padi, demikian kata peribahasa yang artinya
adalah seseorang yang mati atau sengsara padahal bertempat tinggal di sebuah
daerah yang bergelimang kemakmuran. Analogi yang tidak terlalu muluk untuk
menggambarkan masyarakat miskin sekitar hutan di Indonesia, khususnya pada
era sebelum reformasi. Masyarakat mengalami kemiskinan struktural akibat
kebijakan pemerintah yang membatasi akses untuk ikut menggarap lahan kawasan
hutan. Program-program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan memang sudah
dilaksanakan secara luas, namun peran masyarakat hanya sebatas objek penderita
ataupun buruh dengan upah rendah. Pada beberapa kawasan hutan, masyarakat
melakukan aksi penanaman tanaman pangan karena keterdesakan ekonomi.
Penanaman ini terjadi selama bertahun-tahun, secara turun temurun hingga
akhirnya menjadi konflik perambahan hutan. Perbedaan persepsi seringkali terjadi
antara masyarakat dan aparat kehutanan. Masyarakat menganggap lahan yang
mereka tanami secara turun temurun adalah lahan mereka, sementara aparat
kehutanan berpegang pada peta kawasan hutan. Pada sisi lain, limpahan
kemakmuran dari sektor kehutanan pernah memberikan sumbangan pendapatan
nasional yang cukup besar pada tahun 1990-an. Nilai ekspor nasional industri
hasil hutan (plywood, furniture dan pulp) meningkat cukup signifikan, yaitu
sebesar $200 juta (dua ratus juta dolar AS) per tahun pada sekitar tahun 1980
menjadi lebih dari $9 milyar (sembilan milyar dolar AS) per tahun pada tahun
1990-an. Pada tahun 1997, saat Indonesia mulai mengalami krisis ekonomi, total
output dari aktivitas kehutanan adalah sekitar $20 milyar (dua puluh milyar dollar
AS) atau sekitar 10% dari GDP Indonesia (Warsito, 2011). Sumbangan yang
cukup besar dari sektor kehutanan tersebut tidak lepas dari kebijakan penanaman
modal asing yang dijalankan pemerintah guna memacu pertumbuhan ekonomi.
Pengelolaan hutan diserahkan pada pihak swasta dengan sistem HPH (Hak
Pengelolaan Hutan). Total hutan produksi Indonesia yang dikuasai oleh
pengusaha swasta melalui sistem HPH adalah 64 juta ha dan dikuasai oleh sekitar
572 perusahaan swasta. Kenyataannya ke-572 HPH tersebut dimiliki oleh sekitar
20 konglomerat saja sehingga konglomerasi dan monopoli terjadi dalam sistem
pengelolaan hutan Indonesia (Awang, 2007). Pengusaha hutan semakin kaya,
masyarakat miskin sekitar hutan semakin miskin, karena hasil eksploitasi hutan
tidak diinvestasikan kembali ke hutan melainkan digunakan untuk percepatan
pembangunan berbagai sarana infrastruktur di perkotaan. Keuntungan yang
didapatkan sektor kehutanan cenderung mengalami kenaikan hingga 1998, namun
berbanding terbalik dengan kualitas dan kuantitas sumber daya alam. Dalam
periode pemerintahan orde baru terjadi pengurangan luas hutan Indonesia hingga
1,7 ha per tahun. Eksploitasi besar-besaran terhadap hutan alam Indonesia tidak
dibarengi dengan usaha penanaman kembali yang sungguh-sungguh, sehingga
stok tegakan kayu berkurang dengan cepat. Kasus pembalakan liar (illegal
logging) semakin memperparah kondisi hutan Indonesia. Kondisi pengelolaan
hutan pada era orde baru tersebut semakin diperparah dengan kebijakan yang
kurang berpihak pada masyarakat. Aspek kemasyarakatan sangat sedikit disentuh
dalam sistem swasta HPH, sehingga konflik dan kecemburuan sosial muncul
dimana-mana karena ketidakpedulian pengusaha (dan negara) kepada masyarakat
sekitar hutan. Puncaknya adalah saat rezim orde baru tumbang dan masyarakat
terbakar oleh euforia reformasi sehingga melakukan penjarahan besar-besaran
terhadap sumber daya hutan (kayu), akibat akumulasi dari rasa terpinggirkan
selama bertahun-tahun dalam pengelolaan hutan. Belajar pada pengalaman
tersebut, terjadi perubahan pada sistem pengelolaan hutan Indonesia dari
pendekatan state based menjadi community based. Salah satu contohnya adalah
adanya program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang merupakan awal dari upaya
pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program tersebut diikuti dengan
program-program sejenis antara lain Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman Rakyat
(HTR), Hutan Desa (HD), dan lain sebagainya. Maksud dari program-program
tersebut adalah memberikan akses dan legalitas pada masyarakat untuk ikut
melakukan kegiatan pengelolaan hutan Negara dalam jangka panjang. Program
juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
yang selama ini terpinggirkan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Walaupun pada
kenyataannya di banyak daerah telah terdapat kearifan lokal dalam pengelolaan
hutan dalam bentuk hutan adat dan bentuk-bentuk pengelolaan lokal lainnya
(rephong damar di Lampung, mamar di Sumba, hutan kemiri di Maros, dan
sebagainya), namun tetap dibutuhkan pendampingan dan peningkatan kapasitas
masyarakat dalam upaya mencapai keberhasilan program-program tersebut di
atas.
Indonesia adalah negara dengan sumber daya hutan yang beragam ketiga
di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hutan memberikan manfaat majemuk bagi
kehidupan manusia baik dari sisi ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan.
Untuk dapat mewujudkan secara seimbang ketiga manfaat tersebut dan memenuhi
aspek keadilan antar generasi maka pengelolaan sumberdaya hutan menuntut
pertimbangan yang bijaksana dan berwawasan jauh kedepan. Sumberdaya hutan
merupakan salah satu sumberdaya alam yang dikuasai negara diartikan sebagai
“wilayah, pemerintah, dan rakyat”. Hutan memiliki fungsi publik yang harus
dipelihara keberadaannya sehingga tetap dapat memberikan jasa-jasa lingkungan
dan sosial yang penting bagi kehidupan.
Salah satu cara mendorong pengelolaan sumberdaya alam (hutan) yang
lestari adalah sertifikasi hutan. Dalam sertifikasi hutan, kinerja pegelolaan hutan
dinilai pada aspek produksi, aspek ekologi, dan aspek sosialnya. Siapapun
pengelola hutan harus memperhatikan kelestarian fungsi produksi, ekologi dan
sosial dari hutan. Inisiatif sertifikasi hutan di Indonesia muncul setelah KTT Bumi
di Rio de Jeneiro tahun 1992. Langkah awal dari inisiatif ini diambil dengan
dibentuknya “kelompok Kerja Ekolabel” yang beranggotakan pihak-pihak yang
peduli pada dunia kehutanan dari kalangan pemerintah, akademisi, LSM, dan
swasta. Melalui rangkaian diskusi yang panjang dan alot, akhirnya terbentuk
kesepakan mengenai sistem sertifikasi yang terdiri atas:
• Kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari
• Prosedur pelaksanaan sertifikasi
• Persyaratan umum bagi para pelaku sertifikasi,dan
• Pedoman pengambilan keputusan sertifikasi
Supaya sistem sertifikasi kredibel, proses penyusunannya dilaksanakan secara
transparan, partisipatif, dan mengacu kepada standar internasional. Selain itu,
sistem sertifikasi harus tetap memperhatikan kondisi spesifik sumberdaya hutan di
Indonesia yang beragam.
Sitem sertifikasi yang telah dibangun bersama para pihak terkait (stakeholders) ini
diharapkandapat dilaksanakan dengan semestinya. Tanpa dukungan semua pihak
dalam pelaksanaan sertifikasi ini, kita sulit mewujudkan pengelolaan hutan yang
adil dan lestari.
3.3 Cara Panen Yang Baik Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Pemanenan di hutan alam dilakukan dengan berbagai tahap sampai hasil
panen tersebut dapat di keluarkan dari dalam hutan. Pemanenan kayu adalah
serangkaian kegiatan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat pengunaan
atau pengolahan (conway,1982). Selain itu, Suparto (1982) berpendapat bahwa
pemanenan kayu adalah suatu rangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah
pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi
lain sehingga memberi manfaat bagi kehidupan ekonomi dari kebudayaan
masyarakat.
Sedangkan pemanenan hasil hutan merupakan usaha pemanfaatan kayu
dengan mengubah tegakan pohon berdiri menjadi sortimen kayu bulat dan
mengeluarkannya dari hutan untuk di manfaatkan sesuai peruntukannya (Mujehit,
2010). Kegiatan pemanenan di hutan alam bermaksud untuk memanfaatkan hasil
hutan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi serta aspek sosial
dengan tujuan untuk mengoptimalkan nilai hutan, menjaga pasokan untuk industri
stabil, membuka peluang kerja, meningkatkan ekonomi lokal serta regional
bahkan nasional.
Adapun tahapan-tahapan pemanenan di hutan alam yang terdiri dari
beberapa bagian yang akan diuraikan seperti dibawah ini :
1. Perencanaan Pemanenan
Dalam perencanaan pemanenan terdiri beberapa aspek yaitu :
 Persiapan lokasi penebangan
Persiapan lokasi ini bertujuan supaya proses penebangan sampai
pembuatan takik dapat di laksanakan secara lancar. Persiapan lokasi ini
meliputi berbagai tahap yaitu :
1. Penataan Areal Kerja (PAK), yaitu menata areal kerja pada blok
kerja tahunan dengan maksud untuk menghindari adanya
penebangan di luar blok yang telah disahkan sesuai dengan
peraturan yang ada.
2. Investarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), yaitu
melakukan pendataan terhadap semua tegakan yang terdapat di
dalam blog sehingga potensi kayu di areal kerja dapat diketahui.
Pendataan tersebut meliputi pohon yang ditebang (0 > 50 cm),
pohon di lindung, dan pohon inti (θ 20-50 cm).
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), yakni menyediakan lokasi
tempat penimbunan kayu sampai pondok kerja yang dilakukan
setahun sebelum kegiatan penebangan.
4. Pembagian Blok Kerja, yakni dilakukan secara sistem undi untuk
menghindari adanya anggapan yang tidak membangun. Pembagian
ini bertujuan supaya bahaya kecelakaan kerja dapat dicegah.
5. Pemasangan Tanda Daerah Penebangan, yakni bertujuan untuk
memberitahukan adanya kegiatan penebangan di lokasi yang
dimaksud.
6. Penunjukan Lokasi Blok Kerja, yakni memberitahukan batasan-
batasan lokasi penebangan yang dilakukan oleh pengawas
penebangan atau mandor.
2. Pemilihan Pohon Yang di Tebang
Pemilihan pohon yang ditebang dilakukan dengan mengecek kondisi
kelayakan suatu pohon untuk di tebang. Pengecekan kondisi kelayakan ini
dilakukan dengan melihat ciri-ciri pohon yakni batang lurus, silidris, dahan tidak
ada yang mati atau kering, adanya gerowongan atau tidak didalam kayu dengan
memukul batang menggunakan parang atau di tusuk dan melihat serbuk kayu
dengan menggeragaji secara membujur, setelah itu penolong penebang
membersihkan sekitaran pohon dari berbagai semak dan tumbuhan pengganggu
lainnya. Apabila telah sesuai untuk ditebang maka pohon tersebut akan masuk ke
dalam pohon yang siap ditebang yang nantinya akan dilaksanakan oleh regu
tebang tersebut dan syarat sesuai dengan peraturan yang diterapkan (Muhdi,
2009).
3. Penentuan Arah Rebah
Penentuan arah rebah dilakukan untuk menghindari kerusakan kayu,
mempermudah proses pembagian batang dan penyandaran, kerusakan tegakan
(pohon inti, pohon lindung, dan permudaan komersial lainnya). Adapun faktor-
faktor yang perlu di perhatikan dalam penentuan arah rebah adalah :
1. Topografi Lapangan
2. Kondisi Tajuk
3. Arah Angin
4. Arah Penyandaran
4. Membuat Takik Rebah
Takik rebah merupakan kuakan yang dibuat pada pangkal pohon untuk
menghilangkan kekuatan pohon pada bagian tersebut dan meningkatkan
kecenderungan pohon untuk rebah ke arah takik tersebut. Takik rebah biasanya di
buat setinggi 20 cm dari atas banir pohon. Takik rebah ini secara umum terdiri
dari dua takik yakni takik rebah biasa dan takik rebah humbolt.
5. Membuat Takik Balas
Takik balas dibuat dengan gergaji mesin mendatar dan bidangnya lebih
tinggi 1/10 diameter pohon, hal ini penting untuk mencegah tendangan atau
loncatan kebelakang yang bisa membahayakan penebang pada waktu pohon
tersebut roboh. Membuat takik balas, di usahakan jangan sampai ujungnya
bertemu atau tembus dengan ujung takik rebah, karena bisa membuat kayu
berputar arah dan arah rebahnya berubah. Usahakan ujung kedua takik tersebut
ada jarak yang berfungsi sebagai engsel (holing wood). Engsel berperan dalam
merubah arah rebah dan mencegah kayu berputar baik pada pohon yang berdiri
tegak atau miring.
6. Pelaporan
Pelaporan hasil kegiatan penebangan dilakukan setiap hari selama kegiatan
penebangan berlangsung yang dilaksanakan oleh mandor tebang atau pengawas
penebang. Pelaporan ayang dibuat oleh mandor tebang atau pengawas penebangan
sederhana saja, meliputi jumlah dan jenis pohon yang ditebang dan pohon yang
tidak ditebang walaupun sudah diberi label pada waktu ITSP yang disebabkan
pecah, gerowong, dan lain-lain serta luas areal yang sudah ditebang.

Anda mungkin juga menyukai