Hutan menurut undang-undang nomor 41 tahun 1999 adalah suatu kawasan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan sebagai sekumpulan ekosistem dimana saling berhubungan erat antara hutan dan lingkungan baik itu berupa pepohonan, benda-benda hayati dan non hayati, lingkungan pendukung (jasa) dimana semua yang ada diatas selalu saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hutan secara keseluruhan merupakan kumpulan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Keanekaragaman hayati dalam suatu kawasan hutan alam terdapat beragam jenis pepohonan, umur yang beragam dan tingkat kerapatan yang tidak teratur dan pertumbuhan (riap yang berbeda). Pengertian dan definisi dari kerusakan hutan adalah berkurangnya luasan areal hutan karena kerusakan ekosistem hutan yang sering disebut degradasi hutan ditambah juga penggundulan dan alih fungsi lahan hutan atau istilahnya deforestasi. Studi CIFOR (International Forestry Research) menelaah tentang penyebab perubahan tutupan hutan yang terdiri dari perladangan berpindah, perambahan hutan, transmigrasi, pertambangan, perkebunan, hutan tanaman, pembalakan dan industri perkayuan. Selain itu kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh kelompok profesional atau penyelundup yang didukung secara illegal oleh oknum-oknum. Pembukaan areal hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit ditunding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan. Hutan yang didalamnya terdapat beranekaragam jenis pohon dirubah menjadi tanaman monokultur, menyebabkan hilangnya biodiversitas dan keseimbangan ekologisdi areal tersebut. Beberapa jenis satwa yang menjadikan hutan tersebut sebagai habitatnya akan berpindah mencari tempat hidup yang lebih sesuai. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada areal hutan tropis merupakan salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan berdampak negatif terhadap emisi gas rumah kaca. Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini akibat perbedaan persepsi dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan. Laju deforestasi di Indonesia menurut perkiraan World Bank antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun, dimana deforestasi oleh peladang berpindah ditaksir mencapai separuhnya. Namun World Bank mengakui bahwa taksiran laju deforestasi didasarkan pada data yang lemah. Sedangkan menurut FAO, menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.315.000 ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%). Berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai 1.600.000 – 2.000.000 ha per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh Greenpeace, bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun yang sebagian besar adalah penebangan liar atau illegal logging. Sedangkan ada ahli kehutanan yang mengungkapkan laju kerusakan hutan di Indonesia adalah 1.080.000 ha per tahun. Beberapa bentuk terjadinya kerusakan hutan dipicu oleh berbagai kegiatan seperti : 1. Ilegal Logging Yaitu penebangan yang terjadi di suatu kawasan hutan yang dilakukan secara liar sehingga menurunkan atau mengubah fungsi awal hutan. Meskipun telah ada larangan keras dari Pemerintah untuk melakukannya, akan tetapi sebagian besar kalangan masyarakat masih melakukan kegiatan tersebut. 2. Kebakaran Hutan Kebanyakan dari peristiwa kebakaran hutan terjadi karena faktor kesengajaan. Beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab sengaja membakar hutan untuk dijadikan lahan perkebunan, pemukiman, peternakan, dan yang lainnya. 3. Perambaan Hutan Para petani yang bercocok tanam tahunan dapat menjadi sebuah ancaman bagi kelestarian hutan. Mereka bisa dapat memanfaatkan hutan sebagai lahan baru untuk bercocok tanam. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin pesat juga dapat berkontribusi terhadap terjadinya perambaan hutan. Hal ini disebabkan kebutuhan lahan untuk kelangsungan hidup mereka juga semakin meningkat. Dan hutan menjadi salah satu object yang bisa mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 4. Serangan Hama dan Penyakit Jumlah populasi hama yang meledak juga bisa menjadi salah satu bentuk kerusakan hutan. Hama-hama tersebut dapat menyerang dan menimbulkan kerusakan pada populasi pohon yang hidup di suatu kawasan hutan. Deforestasi atau dampak akibat kerusakan hutan dapat menimbulkan berbagai bencana seperti di bawah ini : 1. Perubahan Iklim Oksigen (O2) merupakan gas yang melimpah di atmosfer, dimana hutan merupakan produsen terbesar yang menghasilkan gas tersebut. Selain itu, hutan juga membantu menyerap gas rumah kaca yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global. Itulah sebabnya mengapa ada istilah yang mengatakan bahwa hutan adalah paru-paru bumi. Pada saat suatu hutan mengalami kerusakan, maka hal tersebut bisa berakibat terjadinya peningkatan suhu bumi serta perubahan iklim yang ekstrem. Dengan adanya deforestasi, jumlah karbondioksida (CO2) yang dilepaskan ke udara akan semakin besar. Kita tahu bahwa karbondioksida merupakan gas rumah kaca yang paling umum. Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika serikat menyatakan bahwa CO2 menyumbang sekitar 82% gas rumah kaca di negara tersebut. Menurut seorang Profesor ilmu lingkungan di Lasell Collage Newton, Massachusets menyatakan bahwa deforestasi tidak hanya mempengaruhi jumlah karbondioksida yang merupakan gas rumah kaca, akan tetapi deforestasi juga berdampak pada pertukaran uap air dan karbondioksida yang terjadi antara atmosfer dan permukaan tanah yang berkaitan dengan terjadinya perubahan iklim, dimana perubahan konsentrasi yang ada di lapisan atmosfer akan memiliki efek langsung terhadap iklim di Indonesia ataupun di dunia. 2. Kehilangan Berbagai Jenis Spesies Deforestasi juga berdampak pada hilangnya habitat berbagai jenis spesies yang tinggal di dalam hutan. Menurut National Geographic, sekitar 70% tanaman dan hewan hidup di hutan. Deforestasi mengakibatkan mereka tidak bisa bertahan hidup disana. Dengan hilangnya habitat-habitat tersebut, maka hal tersebut akan menyebabkan terjadinya kepunahan spesies.Hal ini bisa berdampak di berbagai bidang, seperti di bidang pendidikan dimana akan musnahnya berbagai spesies yang dapat menjadi object suatu penelitian. Selain itu, dibidang kesehatan deforestasi bisa berakibat hilangnya berbagai jenis obat yang bisanya bersumber dari berbagai jenis spesies hutan. 3. Terganggunya Siklus Air Kita tahu bahwa pohon memiliki peranan yang penting dalam siklus air, yaitu menyerap curah hujan serta menghasilkan uap air yang nantinya akan dilepaskan ke atmosfer. Dengan kata lain, semakin sedikit jumlah pohon yang ada di bumi, maka itu berarti kandungan air di udara yang nantinya akan dikembalikan ke tanah dalam bentuk hujan juga sedikit. Nantinya, hal tersebut dapat menyebabkan tanah menjadi kering sehingga sulit bagi tanaman untuk hidup. Selain itu, pohon juga berperan dalam mengurangi tingkat polusi air, yaitu dengan menhentikan pencemaran. Dengan semakin berkurangnya jumlah pohon- pohon yang ada di hutan akibat kegiatan deforestasi, maka hutan tidak bisa lagi menjalankan fungsinya dalam menjaga tata letak air. 4. Mengakibatkan Banjir dan Erosi Tanah Word Wildlife Fund (WWF) mengungkapkan bahwa sejak tahun 1960, lebih dari sepertiga bagian lahan subur di bumi telah musnah akibat kegiatan deforestasi. Kita tahu bahwa pohon memegang peranan penting untuk menghalau berbagai bencana seperti terjadinya banjir dan tanah longsor. Dengan tiadanya pohon, maka pada saat musim hujan tanah tidak bisa menyerap dengan baik tumpahan air hujan dan mengakibatkan besarnya laju aliran air di permukaan, yang pada akhirnya akan terjadi banjir bandang. Selain itu, air hujan dapat mengangkut partikel-partikel tanah sehingga menimbulkan erosi tanah atau tanah longsor. 5. Mengakibatkan Kekeringan Dengan hilangnya daya serap tanah, hal tersebut akan berimbas pada musim kemarau, dimana dalam tanah tidak ada lagi cadangan air yang seharusnya bisa digunakan pada saat musim kemarau. Hal ini disebabkan karena pohon yang bertindak sebagai tempat penyimpan cadangan air tanah tidak ada lagi sehingga Ini akan berdampak pada terjadinya kekeringan yang berkepanjangan. 6. Rusaknya Ekosistem Darat dan Laut Hutan menjadi habitat bagi berbagai jenis spesies hewan dan tumbuh- tumbuhan. Itu berarti bahwa hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang ada di bumi ini. Kegiatan deforestasi hutan dapat mengakibatkan kerusakan bahkan kepunahana bagi kekayaan alam tersebut itu sendiri maupun kekayaan alam lainnya yang ada di tempat lain seperti di laut. Kerusakan hutan yang terjadi akan membawa akibat terjadinya banjir maupun erosi yang dapat mengangkut partikel-partikel tanah menuju ke laut yang nantinya akan mengalami proses sedimentasi atau pengendapan di sana. Hal tersebut tentu saja bisa merusak ekosistem yang ada di laut, seperti ikan serta terumbu karang. 7. Menyebabkan Abrasi Pantai Eksploitasi hutan secara liar tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab di kawasan hutan yang ada di darat saja. Kegiatan tersebut juga bisa dilakukan terhadap hutan-hutan mangrove yang berfungsi untuk melindungi pantai dari terjangan gelombang dan badai yang berada di pesisir pantai. Jika hal tersebut terus dibiarkan, akan berakibat terjadinya abrasi pantai . 8. Kerugian Ekonomi Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan alam, sebagian masyarakat menggantungkan hidup mereka dari hasil hutan. Jika hutan rusak, maka sumber penghasilan mereka pun juga akan menghilang. Kerusakan hutan bisa menyebabkan tanah menjadi tandus, sehingga akan sulit dipergunakan untuk bercocok tanam. Selain itu, kerusakan hutan bisa memicu terjadinya berbagai macam bencana yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian, baik itu kerugian material maupun non material. Banyak orang yang kehilangan lahan, tempat tinggal, maupun anggota keluarga akibat bencana seperti banjir dan tanah longsor. 9. Mempengaruhi Kualitas Hidup Terjadinya erosi tanah sebagai akibat kerusakan hutan dapat mengangkut partikel-partikel tanah yang mengandung zat-zat berbahaya seperti pupuk organik memasuki danau, sungai, maupun sumber air lainnya. Ini akan berakibat penurunan kualitas air yang berada di daerah tersebut. Dengan kualitas air yang buruk akan berdampak pada tingkat kesehatan yang buruk pula.
3.2 Kontroversi Ekonomi dan Ekologi Pengelolaan Hutan
Masyarakat sekitar hutan pada umumnya miskin dan berpendidikan rendah. Keterbatasan tersebut membuat mereka seringkali merambah kawasan hutan karena keterdesakan ekonomi dan terbatasnya lahan garapan. Luasnya kawasan hutan yang telah diokupasi oleh masyarakat menunjukkan lemahnya negara dari sisi pengamanan hutan. Tidak ada jalan lain menyelamatkan hutan, kecuali dengan melibatkan masyarakat pada pengelolaan hutan. Sebagai upaya legalisasi akses masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan, pemerintah mengeluarkan kebijakan perhutanan sosial. Tentunya kebijakan ini bukan sekadar bagi-bagi lahan hutan untuk masyarakat, melainkan disertai aturan-aturan yang mengamankan keberadaan pohon di dalam hutan sampai batas usia panennya. Kebijakan ini diharapkan mempunyai manfaat ganda, satu untuk kesejahteraan masyarakat dan yang lain untuk kelestarian hutan. Meskipun masih banyak kendala dalam implementasi program perhutanan sosial, namun ke depan program ini diharapkan mampu menanggulangi kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Penanggulangan kemiskinan melalui program perhutanan sosial dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat dalam kelompok-kelompok tani. Pemberdayaan masyarakat dilakukan, baik melalui peningkatan kapasitas petani maupun pemberdayaan ekonomi lokal. Setiap wilayah memiliki karakter yang berbeda, dan oleh sebab itu, komoditas yang dikembangkan setiap wilayah juga berbeda-beda sesuai dengan potensinya masing-masing. Komoditas yang dikembangkan diharapkan dapat mengisi pasar nasional dan internasional dengan sistem bisnis sosial yang diselenggarakan oleh kelompok tani melalui koperasi dan mitra. Keuntungan dari bisnis sosial ini pada ujungnya akan kembali kepada kelompok tani, sehingga dapat sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan anggota, selain diputar kembali untuk mengembangkan usaha lebih lanjut dengan tetap mengutamakan kelestarian hutan. Bagai tikus mati di lumbung padi, demikian kata peribahasa yang artinya adalah seseorang yang mati atau sengsara padahal bertempat tinggal di sebuah daerah yang bergelimang kemakmuran. Analogi yang tidak terlalu muluk untuk menggambarkan masyarakat miskin sekitar hutan di Indonesia, khususnya pada era sebelum reformasi. Masyarakat mengalami kemiskinan struktural akibat kebijakan pemerintah yang membatasi akses untuk ikut menggarap lahan kawasan hutan. Program-program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan memang sudah dilaksanakan secara luas, namun peran masyarakat hanya sebatas objek penderita ataupun buruh dengan upah rendah. Pada beberapa kawasan hutan, masyarakat melakukan aksi penanaman tanaman pangan karena keterdesakan ekonomi. Penanaman ini terjadi selama bertahun-tahun, secara turun temurun hingga akhirnya menjadi konflik perambahan hutan. Perbedaan persepsi seringkali terjadi antara masyarakat dan aparat kehutanan. Masyarakat menganggap lahan yang mereka tanami secara turun temurun adalah lahan mereka, sementara aparat kehutanan berpegang pada peta kawasan hutan. Pada sisi lain, limpahan kemakmuran dari sektor kehutanan pernah memberikan sumbangan pendapatan nasional yang cukup besar pada tahun 1990-an. Nilai ekspor nasional industri hasil hutan (plywood, furniture dan pulp) meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar $200 juta (dua ratus juta dolar AS) per tahun pada sekitar tahun 1980 menjadi lebih dari $9 milyar (sembilan milyar dolar AS) per tahun pada tahun 1990-an. Pada tahun 1997, saat Indonesia mulai mengalami krisis ekonomi, total output dari aktivitas kehutanan adalah sekitar $20 milyar (dua puluh milyar dollar AS) atau sekitar 10% dari GDP Indonesia (Warsito, 2011). Sumbangan yang cukup besar dari sektor kehutanan tersebut tidak lepas dari kebijakan penanaman modal asing yang dijalankan pemerintah guna memacu pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan hutan diserahkan pada pihak swasta dengan sistem HPH (Hak Pengelolaan Hutan). Total hutan produksi Indonesia yang dikuasai oleh pengusaha swasta melalui sistem HPH adalah 64 juta ha dan dikuasai oleh sekitar 572 perusahaan swasta. Kenyataannya ke-572 HPH tersebut dimiliki oleh sekitar 20 konglomerat saja sehingga konglomerasi dan monopoli terjadi dalam sistem pengelolaan hutan Indonesia (Awang, 2007). Pengusaha hutan semakin kaya, masyarakat miskin sekitar hutan semakin miskin, karena hasil eksploitasi hutan tidak diinvestasikan kembali ke hutan melainkan digunakan untuk percepatan pembangunan berbagai sarana infrastruktur di perkotaan. Keuntungan yang didapatkan sektor kehutanan cenderung mengalami kenaikan hingga 1998, namun berbanding terbalik dengan kualitas dan kuantitas sumber daya alam. Dalam periode pemerintahan orde baru terjadi pengurangan luas hutan Indonesia hingga 1,7 ha per tahun. Eksploitasi besar-besaran terhadap hutan alam Indonesia tidak dibarengi dengan usaha penanaman kembali yang sungguh-sungguh, sehingga stok tegakan kayu berkurang dengan cepat. Kasus pembalakan liar (illegal logging) semakin memperparah kondisi hutan Indonesia. Kondisi pengelolaan hutan pada era orde baru tersebut semakin diperparah dengan kebijakan yang kurang berpihak pada masyarakat. Aspek kemasyarakatan sangat sedikit disentuh dalam sistem swasta HPH, sehingga konflik dan kecemburuan sosial muncul dimana-mana karena ketidakpedulian pengusaha (dan negara) kepada masyarakat sekitar hutan. Puncaknya adalah saat rezim orde baru tumbang dan masyarakat terbakar oleh euforia reformasi sehingga melakukan penjarahan besar-besaran terhadap sumber daya hutan (kayu), akibat akumulasi dari rasa terpinggirkan selama bertahun-tahun dalam pengelolaan hutan. Belajar pada pengalaman tersebut, terjadi perubahan pada sistem pengelolaan hutan Indonesia dari pendekatan state based menjadi community based. Salah satu contohnya adalah adanya program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang merupakan awal dari upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program tersebut diikuti dengan program-program sejenis antara lain Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), dan lain sebagainya. Maksud dari program-program tersebut adalah memberikan akses dan legalitas pada masyarakat untuk ikut melakukan kegiatan pengelolaan hutan Negara dalam jangka panjang. Program juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang selama ini terpinggirkan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Walaupun pada kenyataannya di banyak daerah telah terdapat kearifan lokal dalam pengelolaan hutan dalam bentuk hutan adat dan bentuk-bentuk pengelolaan lokal lainnya (rephong damar di Lampung, mamar di Sumba, hutan kemiri di Maros, dan sebagainya), namun tetap dibutuhkan pendampingan dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam upaya mencapai keberhasilan program-program tersebut di atas. Indonesia adalah negara dengan sumber daya hutan yang beragam ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hutan memberikan manfaat majemuk bagi kehidupan manusia baik dari sisi ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan. Untuk dapat mewujudkan secara seimbang ketiga manfaat tersebut dan memenuhi aspek keadilan antar generasi maka pengelolaan sumberdaya hutan menuntut pertimbangan yang bijaksana dan berwawasan jauh kedepan. Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dikuasai negara diartikan sebagai “wilayah, pemerintah, dan rakyat”. Hutan memiliki fungsi publik yang harus dipelihara keberadaannya sehingga tetap dapat memberikan jasa-jasa lingkungan dan sosial yang penting bagi kehidupan. Salah satu cara mendorong pengelolaan sumberdaya alam (hutan) yang lestari adalah sertifikasi hutan. Dalam sertifikasi hutan, kinerja pegelolaan hutan dinilai pada aspek produksi, aspek ekologi, dan aspek sosialnya. Siapapun pengelola hutan harus memperhatikan kelestarian fungsi produksi, ekologi dan sosial dari hutan. Inisiatif sertifikasi hutan di Indonesia muncul setelah KTT Bumi di Rio de Jeneiro tahun 1992. Langkah awal dari inisiatif ini diambil dengan dibentuknya “kelompok Kerja Ekolabel” yang beranggotakan pihak-pihak yang peduli pada dunia kehutanan dari kalangan pemerintah, akademisi, LSM, dan swasta. Melalui rangkaian diskusi yang panjang dan alot, akhirnya terbentuk kesepakan mengenai sistem sertifikasi yang terdiri atas: • Kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari • Prosedur pelaksanaan sertifikasi • Persyaratan umum bagi para pelaku sertifikasi,dan • Pedoman pengambilan keputusan sertifikasi Supaya sistem sertifikasi kredibel, proses penyusunannya dilaksanakan secara transparan, partisipatif, dan mengacu kepada standar internasional. Selain itu, sistem sertifikasi harus tetap memperhatikan kondisi spesifik sumberdaya hutan di Indonesia yang beragam. Sitem sertifikasi yang telah dibangun bersama para pihak terkait (stakeholders) ini diharapkandapat dilaksanakan dengan semestinya. Tanpa dukungan semua pihak dalam pelaksanaan sertifikasi ini, kita sulit mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari. 3.3 Cara Panen Yang Baik Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pemanenan di hutan alam dilakukan dengan berbagai tahap sampai hasil panen tersebut dapat di keluarkan dari dalam hutan. Pemanenan kayu adalah serangkaian kegiatan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat pengunaan atau pengolahan (conway,1982). Selain itu, Suparto (1982) berpendapat bahwa pemanenan kayu adalah suatu rangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lain sehingga memberi manfaat bagi kehidupan ekonomi dari kebudayaan masyarakat. Sedangkan pemanenan hasil hutan merupakan usaha pemanfaatan kayu dengan mengubah tegakan pohon berdiri menjadi sortimen kayu bulat dan mengeluarkannya dari hutan untuk di manfaatkan sesuai peruntukannya (Mujehit, 2010). Kegiatan pemanenan di hutan alam bermaksud untuk memanfaatkan hasil hutan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi serta aspek sosial dengan tujuan untuk mengoptimalkan nilai hutan, menjaga pasokan untuk industri stabil, membuka peluang kerja, meningkatkan ekonomi lokal serta regional bahkan nasional. Adapun tahapan-tahapan pemanenan di hutan alam yang terdiri dari beberapa bagian yang akan diuraikan seperti dibawah ini : 1. Perencanaan Pemanenan Dalam perencanaan pemanenan terdiri beberapa aspek yaitu : Persiapan lokasi penebangan Persiapan lokasi ini bertujuan supaya proses penebangan sampai pembuatan takik dapat di laksanakan secara lancar. Persiapan lokasi ini meliputi berbagai tahap yaitu : 1. Penataan Areal Kerja (PAK), yaitu menata areal kerja pada blok kerja tahunan dengan maksud untuk menghindari adanya penebangan di luar blok yang telah disahkan sesuai dengan peraturan yang ada. 2. Investarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), yaitu melakukan pendataan terhadap semua tegakan yang terdapat di dalam blog sehingga potensi kayu di areal kerja dapat diketahui. Pendataan tersebut meliputi pohon yang ditebang (0 > 50 cm), pohon di lindung, dan pohon inti (θ 20-50 cm). 3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), yakni menyediakan lokasi tempat penimbunan kayu sampai pondok kerja yang dilakukan setahun sebelum kegiatan penebangan. 4. Pembagian Blok Kerja, yakni dilakukan secara sistem undi untuk menghindari adanya anggapan yang tidak membangun. Pembagian ini bertujuan supaya bahaya kecelakaan kerja dapat dicegah. 5. Pemasangan Tanda Daerah Penebangan, yakni bertujuan untuk memberitahukan adanya kegiatan penebangan di lokasi yang dimaksud. 6. Penunjukan Lokasi Blok Kerja, yakni memberitahukan batasan- batasan lokasi penebangan yang dilakukan oleh pengawas penebangan atau mandor. 2. Pemilihan Pohon Yang di Tebang Pemilihan pohon yang ditebang dilakukan dengan mengecek kondisi kelayakan suatu pohon untuk di tebang. Pengecekan kondisi kelayakan ini dilakukan dengan melihat ciri-ciri pohon yakni batang lurus, silidris, dahan tidak ada yang mati atau kering, adanya gerowongan atau tidak didalam kayu dengan memukul batang menggunakan parang atau di tusuk dan melihat serbuk kayu dengan menggeragaji secara membujur, setelah itu penolong penebang membersihkan sekitaran pohon dari berbagai semak dan tumbuhan pengganggu lainnya. Apabila telah sesuai untuk ditebang maka pohon tersebut akan masuk ke dalam pohon yang siap ditebang yang nantinya akan dilaksanakan oleh regu tebang tersebut dan syarat sesuai dengan peraturan yang diterapkan (Muhdi, 2009). 3. Penentuan Arah Rebah Penentuan arah rebah dilakukan untuk menghindari kerusakan kayu, mempermudah proses pembagian batang dan penyandaran, kerusakan tegakan (pohon inti, pohon lindung, dan permudaan komersial lainnya). Adapun faktor- faktor yang perlu di perhatikan dalam penentuan arah rebah adalah : 1. Topografi Lapangan 2. Kondisi Tajuk 3. Arah Angin 4. Arah Penyandaran 4. Membuat Takik Rebah Takik rebah merupakan kuakan yang dibuat pada pangkal pohon untuk menghilangkan kekuatan pohon pada bagian tersebut dan meningkatkan kecenderungan pohon untuk rebah ke arah takik tersebut. Takik rebah biasanya di buat setinggi 20 cm dari atas banir pohon. Takik rebah ini secara umum terdiri dari dua takik yakni takik rebah biasa dan takik rebah humbolt. 5. Membuat Takik Balas Takik balas dibuat dengan gergaji mesin mendatar dan bidangnya lebih tinggi 1/10 diameter pohon, hal ini penting untuk mencegah tendangan atau loncatan kebelakang yang bisa membahayakan penebang pada waktu pohon tersebut roboh. Membuat takik balas, di usahakan jangan sampai ujungnya bertemu atau tembus dengan ujung takik rebah, karena bisa membuat kayu berputar arah dan arah rebahnya berubah. Usahakan ujung kedua takik tersebut ada jarak yang berfungsi sebagai engsel (holing wood). Engsel berperan dalam merubah arah rebah dan mencegah kayu berputar baik pada pohon yang berdiri tegak atau miring. 6. Pelaporan Pelaporan hasil kegiatan penebangan dilakukan setiap hari selama kegiatan penebangan berlangsung yang dilaksanakan oleh mandor tebang atau pengawas penebang. Pelaporan ayang dibuat oleh mandor tebang atau pengawas penebangan sederhana saja, meliputi jumlah dan jenis pohon yang ditebang dan pohon yang tidak ditebang walaupun sudah diberi label pada waktu ITSP yang disebabkan pecah, gerowong, dan lain-lain serta luas areal yang sudah ditebang.