Anda di halaman 1dari 3

ARTIKEL TENTANG PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM

RKUHP Dinilai Bermasalah dari Sisi Formulasi dan Substansi

JAKARTA - Keputusan pemerintah meminta penundaan pengesahan Rancangan Undang-


Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dipandang tepat. RUU KUHP
setidaknya mengandung dua persoalan yang bakal berdampak buruk jika tetap disahkan dalam
waktu dekat.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai ada dua persoalan besar yang
ada dalam polemik RUU KUHP. Pertama dari sisi formulasi pasal. Ada beberapa pasal yang
secara substantif tidak masalah, tetapi karena diformulasikan sembarangan menimbulkan
pemaknaan multitafsir. Kedua dari sisi substansi memang ada beberapa pasal yang
bermasalah.

"Persoalan besarnya ada dua, satu ada hal-hal yang sebetulnya secara substantif tidak
bermasalah, tapi formulasi tidak jelas sehingga menjadi multitafsir dan akhirnya akan
menimbulkan persoalan. Yang kedua secara substansi memang bermasalah," ujar Ketua
YLBHI Asfinawati dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk “Mengapa
RKUHP Ditunda?” di d'consulate, Jakarta, kemarin.

Selain persoalan itu, Asfina juga mengungkapkan adanya gejala hukum dalam RUU KUHP
tersebut. Salah satunya membungkam kebebasan sipil dalam mengkritik pemerintah. Jika saja
RUU KUHP disahkan, Asfina mengatakan penjara hingga lapas akan menjadi melebihi
kapasitas.

Karena banyaknya tersangka yang terkena pasal di RUU KUHP. "Ada berbagai macam
hukuman yang sangat kurang, kan dia cuma mengatur beberapa saja untuk pidana alternatif.
Sebagian besar masih menumpuk pada penjara. Padahal lapas sudah teriak-teriak ini over-
crowding, kelebihan orang. Kita masih juga mengatur hukuman mati," jelasnya.

"Nah kira-kira kalau ini diberlakukan, maka bayangan saya akan banyak orang masuk penjara
dan lapas-lapas penuh kasus pidana," tuturnya. Asfinawati juga menyanggah pemerintah dan
DPR yang menganggap RUU KUHP sebagai upaya dekolonialisasi atas KUHP warisan
Belanda.

Padahal, menurut Asfina, hal tersebut tak sepenuhnya mencerminkan perkataan pemerintah
dan DPR. Sebab sejumlah pasal yang terdapat dalam KUHP versi kolonial justru dimuat lagi
dalam RUU KUHP. Asfina mencontohkan pada aturan mengenai unggas yang dimuat dalam
Bagian Ketujuh Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan Pasal 278 RUU
KUHP.

"Soal unggas. Betul dia ada di undang-undang yang lama karena itu pertanyaan saya ini mau
mengikuti semangat kolonial atau tidak? Kan tadi argumennya begitu. Kalau semangatnya
untuk menghilangkan kolonialisme, tapi masih mengambil pasal-pasal kolonial ya apa
bedanya itu maksud saya," ujarnya.

Asfina mengatakan diambilnya kembali aturan-aturan peninggalan kolonial Belanda


menggugurkan argumen soal upaya dekolonialisasi. Maka dari itu dia berharap pemerintah
maupun anggota DPR tak lagi membodohi rakyat dengan menggunakan argumentasi tersebut.
"Tesis mau mengganti produk kolonial ada di mana-mana dan menjadi justifikasi mengganti
KUHP dan itu yang dikatakan pemerintah dan DPR. Kalau ternyata apa-apa yang di dalam
kitab undang-undang kolonial itu masih kita gabungkan, maka tesis itu sudah gugur di depan
publik. Dan jangan kita membodohi publik karena sebagian besar draf yang ada di KUHP
lama masih dimasukkan ke RUU KUHP kemarin," jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut anggota Dewan Pers Agung Darmajaya menyoroti sejumlah pasal
yang bersifat kontraproduktif atau pasal karet. "Saya menegaskan ada beberapa catatan di
mana itu kontraproduktif, pasal karet. Ketika sekarang muncul persoalan masuk KUHP artinya
bicara kebebasan pers menyampaikan gagasan pendapat di satu sisi terbelenggu pidana,
artinya tumpang-tindih," ujarnya.

Dia meminta para stakeholder pembahasan RUU KUHP tidak tumpang tindih dengan UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurutnya, terjadi persoalan dalam sebuah pemberitaan
harus diselesaikan dengan UU Pers, bukan pidana. Dia juga menguraikan beberapa pasal karet
seperti Pasal Penghinaan Presiden yang mengancam hak berpendapat pers di mana
terminologi penghinaan tidak jelas karena bisa ditafsirkan secara sembarangan.

"Menghina itu seperti apa sih? Kalau namanya pejabat publik, tidak perlu sekelas presiden.
Anda dikritik ya itu risikonya, kecuali masuk ke ranah pribadi," katanya. Agung juga
mengatakan perlunya DPR RI memberikan literasi serta edukasi kepada masyarakat soal
produk hukum yang ingin diputuskannya.

"Ini menjadi persoalan. Semoga produk yang akan dan sedang (berjalan) tidak hanya
disampaikan informasinya, tetapi juga ada literasi dan edukasinya sehingga orang paham,
tidak terjebak di akhir cerita suka dan tidak suka," jelasnya.

Dia juga berharap selama masa penundaan RUU KUHP, semua pihak aktif mencari solusi dari
pasal-pasal yang dianggap krusial. "Ini bukan persoalan menang kalah, jadi jangan diartikan
(begitu). Ini produk kita bersama, karena ketika KUHP ini diketok, semua yang menjadi objek
di situ masuk dalam kesepahaman," katanya.

MUI Dukung Perluasan Pasal Perzinaan

Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam diskusi tersebut mendukung perluasan
pasal perzinaan di Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU
KUHP). Sebab pasal tersebut dinilai mewakili nilai-nilai yang dipegang warga. Komisi
Hukum MUI Ikhsan Abdullah mengatakan di dalam revisi UU KUHP (RKUHP) definisi
perzinaan diperluas.

Zina diartikan sebagai persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan.
Dengan demikian kategorinya akan lebih komprehensif. "Sehingga ketika laki-laki dan
perempuan belum menikah lalu bersetubuh, itu masuk perzinaan. Kumpul kebo masuk di
dalamnya," ujar Ikhsan.

Ikhsan menjelaskan definisi zina dalam KUHP warisan Belanda terlalu sempit. Zina
didefinisikan hubungan badan antara seorang yang sudah bersuami/beristri dengan orang lain
yang bukan istri/suami saja. Maka dari itu Ikhsan meminta masyarakat melihat RUU KUHP
secara komprehensif dan integral. Dengan demikian mereka tak berpikiran pendek dalam
menelaah sebuah pasal. "Ini menjadi nilai baru yang sesuai dengan kultur Indonesia," jelasnya.

Ikhsan menjelaskan sebelum masyarakat harus memahami pasal-pasal yang diatur dalam RUU
KUHP tersebut sebelum disahkan. Masyarakat wajib diedukasi perihal isi dari RUU KUHP
itu. "Masyarakat perlu diedukasi untuk dipahamkan, itu wajib. Ini masalah sosialisasi sehingga
pemahamannya keliru," tuturnya.

Selain itu Ikhsan juga menghargai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menunda
pengesahan RUU KUHP itu. Dia menyebut masih banyak pasal yang masih harus dibahas
agar tidak ada efek buruk saat RUU itu sudah disahkan.
MENKUMHAM SEBUT DEWAN PENGAWAS KPK BISA DARI APARAT
PENEGAK HUKUM

Menkumham Yasonna Laoly berjalan meninggalkan kompleks Istana Kepresidenan usai


menghadap Presiden Joko Widodo di Jakarta, Senin (9/9/2019). Presiden memerintahkan
Menkumham untuk mempelajari draf revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR.

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly
menyatakan, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa diisi oleh aparat
penegak hukum. Nantinya, Presiden yang akan menentukan kriteria untuk menjadi Dewan
Pengawas KPK. "Itu nanti Presiden akan membuat lebih lanjut (kriteria anggota Dewan
Pengawas). Bisa dari tokoh-tokoh masyarakat, akademisi, aparat penegak hukum yang pas,"
ujar Yasonna usai pengesahan Undang-undang KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Selasa (17/9/2019).

Yasonna menambahkan, Undang-Undang KPK yang baru memberi kewenangan seluas-


luasnya kepada Presiden Joko Widodo untuk menentukan anggota Dewan Pengawas KPK.
Baca juga: Revisi UU KPK, Sikap Pasif Jokowi Disayangkan Menurut Yasonna, dalam sistem
pemerintahan presidensial, wajar bila presiden memiliki kewenangan mengatur lembaga yang
masuk dalam rumpun eksekutif. Hal itu juga didasari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ini kan (KPK) bagian daripada eksekutif, bagian daripada pemerintah. Maka domainnya itu,
ingat ya, bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Makanya
dia mendapat mandat dari seluruh rakyat Indonesia. Itu presidensialisme," ujar Yasonna. DPR
telah mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pengesahan RUU ini dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa siang. Salah satu poin yang
muncul dari revisi ialah pembentukan Dewan Pengawas KPK. Perjalanan revisi ini berjalan
singkat. Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPKsebagai inisiatif DPR pada 6
September 2019. Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 12 hari hingga akhirnya UU
KPK yang baru ini disahkan.

Anda mungkin juga menyukai