Anda di halaman 1dari 10

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS

TUGAS MINGGU 6:
“Risiko dan Force Majeure”

Disusun oleh:

Bregas Sandy Abdussalam 041811233179


Tri Afni Agustin 041811233181
Weni Lukitaning Kenya 041811233188
Imam Fauzi 041811233189
Yusuf Zaidany Arraihan 041811233193

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
FORCE MAJEURE
Pengertian Force Majeure
Force Majeure adalah atau keadaan memaksa (overmacht) dimana posisi salah satu
pihak, misalnya Pihak Pertama gagal melakukan kewajiban akibat sesuatu yang terjadi diluar
kuasa Pihak Pertama. Jadi, dengan adanya keadaan force majeure tidak ada pihak yang
diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lain karena wanprestasi.

Force Majeure yang sering dialami berupa, tanah longsor, banjir, angin topan, badai
gunung meletus, epidemik, keadaan perang, kerusuhan, pemberontakan, terorisme, sabotase,
kudeta militer dan lainnya. Menurut KBBI, force majeure dikenal dengan keadaan kahar.
Berbeda dari kamus bahasa Prancis yang mengartikan force majeure adalah kekuatan yang
lebih besar. Klausul ini wajib tercantum dalam perjanjian pokok guna mengantisipasi hal-hal
yang dapat terjadi dan berpotensi menjadi konflik bagi para pihak bersangkutan. Force
majeure tidak dapat dipisahkan menjadi perjanjian tambahan.

Jenis-Jenis Force Majeur

Secara garis besar keadaan memaksa terbagi menjadi dua macam, antara lain :

1. Keadaan memaksa absolut (absolut onmogelijkheid), suatu keadaan dimana Pihak


Pertama sama sekali tidak mampu memenuhi prestasi (kewajiban) kepada Pihak
Kedua. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya bencana alam seperti gempa bumi,
banjir bandang, lahar, epidemik, dan kerusuhan massa.
2. Keadaan memaksa relatif (relatieve onmogelijkheid), suatu keadaan yang memicu
salah satu pihak (Pihak Pertama) tidak melakukan prestasinya.

Syarat-Syarat Suatu Peristiwa Digolongkan Force Majeure

Keadaan memaksa ini tidak serta merta diputuskan salah satu pihak. Suatu kondisi dapat
dikatakan sebagai force majaeure apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan dan/atau
memusnahkan benda dijadikan objek perjanjian, kondisi ini selalu bersifat tetap.
2. Tidak dipenuhinya prestasi karena peristiwa tidak terduga dan diluar kuasa salah satu
pihak untuk melaksanakan prestasinya. Baik itu bersifat tetap maupun sementara.
3. Peristiwa tersebut tidak dapat diketahui dan/atau diprediksi kapan terjadinya dalam
suatu perjanjian. Jadi, adanya peristiwa ini bukan karena kesalahan salah pihak dalam
perjanjian ataupun pihak ketiga.

Dasar Hukum Force Majeure di Indonesia

Ketentuan mengenai force majeure diatur dalam pasal 1244 KUHPerdata dan pasal 1245
KUHPerdata. Berikut adalah kutipannya:

Pasal 1244:

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga
apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya.”

Pasal 1245:
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau
karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya“.

Dalam ketentuan ini, ada 5 hal yang menyebabkan debitur tidak dapat melakukan
penggantian biaya, kerugian, dan bunga, yakni:

1. Terjadi suatu peristiwa yang tidak terduga (tidak termasuk dalam asumsi dasar dalam
pembuatan kontrak)
2. Peristiwa yang terjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada pihak debitur
3. Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan pihak debitur
4. Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan para pihak yang terkait
5. Tidak ada itikad yang buruk dari pihak debitur

RESIKO
Resiko adalah kewajiban untuk menanggung atau memikul kerugian sebagai akibat
dari suatu peristiwa atau kejadian diluar kesalahan para pihak yang menimpa barang yang
menjadi objek perjanjian.permasalahan resiko berpangkal dari terjadinya suatu peristiwa
diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kata lain bertitik tolak
pada suatu kejadian, yang dalam hukum perjanjian tersebut overmacht atau keadaan
memaksa. Menurut Soebekti (2001 : 144), risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian
jika ada suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang
dimaksudkan dalam kontrak. Disini berarti beban untuk memikul tanggung jawab dari risiko
itu hanyalah kepada salah satu pihak saja, menurut penulis alangkah baiknya dalam setiap
kontrak itu risiko diletakkan dan menjadi tanggung jawab kedua belah pihak
jenis risiko:
● resiko dalam perjanjian sepihak: resiko ini ditanggung oleh kreditur
● resiko dalam perjanjian timbal balik: resiko ini terjadi dalam jual beli, resiko dalam
tukar menukar dan resiko dalam sewa menyewa

CONTOH KASUS
CASE 1
Dua petinggi perusahaan asuransi PT Allianz Life Indonesia dijerat kasus pidana
karena menolak klaim kesehatan konsumen. Kasus ini perdana terjadi di Indonesia. Mantan
Ketua Dewan Asuransi dan Dosen Asuransi dan Manajemen Risiko Universitas Indonesia,
Hotbonar Sinaga, mengatakan dia tak pernah melihat kasus asuransi seperti ini sebelumnya.
"Saya sebagai dosen asuransi dan sudah 40 tahun di asuransi baru mengetahui ada kasus
seperti ini. Ini kasus asuransi kesehatan yang pertama dimasukkan ke ranah pidana," katanya
di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu, 30 September 2017. Bonar mengatakan jalur pidana
bisa ditempuh untuk menyelesaikan klaim asuransi selama ada bukti kecurangan yang
dilakukan. Hal itu memang lazim di luar negeri. Namun opsi ini seringkali digunakan untuk
mengklaim asuransi kebakaran, bukan kesehatan. Pelanggan asuransi bisa dengan sengaja
membakar propertinya.
Kedua petinggi Allian yaitu Presiden Direktur PT Asuransi Allianz Life Indonesia
Joachim Wessling dan Manajer Klaim PT Asuransi Allianz Life Indonesia Yuliana
Firmansyah dijerat hukum pidana setelah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Mereka dilaporkan oleh Ifranius Algadri, 23 tahun dan Indah Goena Nanda, 37 tahun.
Ifranius dan Indah adalah nasabah Allianz yang merasa dipersulit untuk mengajukan klaim
asuransi yang mereka ikuti sejak September 2016. PT Asuransi Allianz Life Indonesia
menolak klaim dengan alasan tidak bisa memenuhi persyaratan tambahan yang diminta,
yakni melengkapi lampiran rekam medis lengkap.
Menurut Alvin, syarat yang diajukan oleh Allianz Life hanyalah modus dan tipu daya untuk
menolak klaim secara halus. “Tidak adanya itikad baik inilah yang mematangkan unsur
kesengajaan,” tambahnya. Selain itu, Alvin mengklaim syarat tambahan rekam medis
tersebut juga tidak ada dalam polis. Sehingga, memenuhi ketentuan undang-undang
perlindungan konsumen, karena penjualan produk tidak sesuai ketentuan atau keterangan
brosur.
Dua minggu sebelum 20 September 2017, saat Joachim dan Yuliana jadi tersangka,
Allianz Life sempat mentransfer pencairan klaim sebesar Rp16,5 juta. Namun, pihak pelapor
menolak jumlah itu, dengan alasan kerugian karena kasus ini sudah bertambah. “Kerugian
kan memang Rp16,5 juta, tapi karena kasus hukum sudah berjalan, ada biaya bayar
pengacara, makan, bensin, tetek bengek, enggak mungkin Rp16,5 juta lagi. Ketika kita
mengajukan jumlah di atas Rp16,5 juta, dia (Allianz) malah bilang kita memeras. Ya sudah
saya bilang kalau tidak ada kecocokan ya tidak usah damai, jalan saja terus,” ungkap Alvin.
Namun Alvin enggan mengungkap jumlah yang diminta pelapor.Melalui tanggapan resminya
pada Senin (25/9) kemarin, PT. Allianz Life Indonesia mengetahui perihal keberatan
nasabahnya. “Saat ini belum dapat memberikan komentar lebih lanjut terkait proses yang
sedang berjalan.”
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menilai
kasus selisih paham klaim asuransi dengan pemegang polisnya adalah hal biasa. “Biasanya
perusahaan asuransi jiwa, kalau ada klaim yang sama, dua atau tiga kali, pasti (curiga), itu
normal. Proses yang normal,” ungkapnya di Balai Kartini, Jakarta. “Yang perlu dilihat isi
polisnya,” tambah Togar. “Biasanya kan ada klausul yang bilang, ‘jika dinilai terjadi sesuatu’
(maka perusahaan asuransi boleh mengecek ulang). Nah, di situ yang harus dilihat lagi,” ujar
Togar menanggapi persyaratan tambahan dari Allianz Life dalam kasus yang sedang bergulir.
Ia juga melihat hal ini sebagai sesuatu yang tak perlu dibesar-besarkan. Menurutnya, tak
jarang bagi perusahaan asuransi jiwa untuk membayar klaim sampai miliaran rupiah, apalagi
dalam kasus Allianz Life yang dituntut hanya belasan juta rupiah. Adanya dugaan fraud atau
kecurangan yang dilakukan oleh nasabah bisa jadi sebuah alasan perusahaan asuransi tak
membayar klaim.
Kuasa hukum kedua pelapor, Alvin Lim, mengatakan syarat yang diminta Allianz
tersebut terkesan hanya modus dan tipu daya agar tidak membayarkan klaim. Rekam medis
lengkap tidak dapat diberikan kepada pasien. Selain itu, ketentuan tersebut tidak ada dalam
perjanjian polis. Alvin juga menuding Allianz tak hanya sekali melakukan modus ini. Dia
menuturkan ada sekitar 13 orang yang mengontaknya menyatakan ingin melaporkan Allianz.
Polisi kini sudah menetapkan kedua pejabat Allianz sebagai tersangka. Keduanya disangka
melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf f, pasal 10 huruf (c), dan Pasal 18 juncto Pasal 62 ayat (1)
juncto Pasal 63 huruf (f) UU RI no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
PT Asuransi Allianz Life Indonesia belum berkomentar terkait kasus ini. Head of
Corporate Communications PT Asuransi Allianz Life Indonesia Adrian DW hanya
menyampaikan sebuah keterangan tertulis. Dalam rilis itu, Adrian menyatakan Allianz akan
mempercayakan dan menghargai proses yang tengah dilakukan pihak kepolisian terkait kasus
ini. "Seluruh jajaran pimpinan dalam perusahaan menanggapi serius kasus ini. Kami juga
menekankan bahwa hak nasabah tetap menjadi prioritas," katanya. Dalam keterangan tertulis
itu, pihak Allianz juga menyatakan bahwa dua petinggi perusahaan yang ditetapkan sebagai
tersangka sudah tidak menjabat.
Sumber :
https://tirto.id/mengapa-kasus-allianz-life-bisa-berujung-pidana-cxpq
https://gaya.tempo.co/read/1393409/bagi-kaum-muda-lebih-baik-punya-asuransi-kesehatan-at
au-jiwa
ANALISIS KASUS 1
Allianz life melakukan penyulitan terhadap pasien atau masyarakat yang ingin
melakukan pengklaiman terhadap asuransi yang digunakan. ada beberapa pandangan seolah -
oleh Allianz life ini ingin memberikan pengklaiman tersebut tetapi dilakukan dengan cara
yang susah. Hal ini dilakukan untuk menolak pengklaiman asuransi tersebut dengan halus,
sehingga dengan adanya penyusahan terhadap pengklaiman asuransi tersebut. sehingga
berdasarkan kasus tersebut Ifranius dan Indah melapor kepada kuasa hukum agar ditindak
lanjuti terkait permasalahan yang ada, hingga akhirnya pihak Allianz Life dipidana.
SOLUSI
Seharusnya pihak Allianz Life ini melayani sepenuhnya terkait dengan pengklaiman
asuransi, karena asuransi harus bisa menjamin dan memberikan apa yang telah dijanikan
sebelumnya, tetapi ketika dia tidak memberikan atau melakukan tanggungjawabnya untuk
bisa memberikan asuransi, pihak yang terlibat bisa melaporkan lembaga tersebut untuk bisa
dipidanakan atau dipenjarakan, sehingga seharusnya Allianz Life harus menanggung segala
bentuk kerugian hingga akhirnya bisa sama - sama tidak ada yang dirugikan.

CASE 2
Analisis:
Dalam kontrak diatas, yang dimaksud force majeure (keadaan memaksa) dalam
Perjanjian Kerja Sama ini adalah peristiwa-peristiwa yang berada diluar kemampuan PARA
PIHAK yang dapat mempengaruhi kinerja dan pelaksanaan pekerjaan PARA PIHAK yaitu:
1. Bencana alam (gempa, tanah longsor, badai, dan banjir);
2. Perang, revolusi, makar, huru hara, pemberontakan, kerusuhan dan kekacauan,
kebakaran; dan
3. Keadaan memaksa yang dinyatakan oleh pemerintah.
Dalam hal klausula Force Majeure belum memuat wabah atau bencana yang ditetapkan
Pemerintah sebagai peristiwa Force Majeure Para Pihak dapat melakukan adendum perjanjian
atau membuat kesepakatan dengan menambahkan klausul mengenai force majeure.
CASE 3
B

Analisis:
Dalam kontrak diatas, yang dimaksud force majeure (keadaan memaksa) meliputi
tetapi tidak terbatas pada:
1. Bencana alam (gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran)
2. Perang, huru hara, pemberontakan, wabah penyakit.
3. Tindakan pemerintah dibidang keuangan yang langsung mengakibatkan kerugian luar
biasa
Apabila terjadi Force Majeure maka pihak yang lebih dahulu mengetahui wajib
memberitahukan kepada pihak lainnya selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empatbelas hari)
setelah terjadinya Force Majeure, Keadaan Kahar/Force Majeure sebagaimana dimaksud Ayat
(2) perjanjian ini tidak menghapuskan atau mengakhiri perjanjian ini. Setelah keadaan
Kahar/Force Majeure berakhir dan kondisinya masih memungkinkan kegiatan dapat
dilaksanakan oleh PIHAK PERTAMA maka PARA PIHAK akan melanjutkan pelaksanaan
perjanjian ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian ini.

Anda mungkin juga menyukai