Anda di halaman 1dari 15

TUGAS BMR

| Suku Sakai | Suku Akit |


| Suku Talang Mamak | Suku Laut |

Disusun oleh:

Raka Liberta
Kelas VII.1

SMP NEGERI 25 PEKANBARU


T. P. 2021/2022
SUKU SAKAI

A. Riwayat Singkat

Asal kata “Sakai” sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada yang
mengatakan kata Sakai tersebut berasal dari nama pohon yang banyak tumbuh di
Kecamatan Mandau, yaitu pohon “Sikai”. Informasi lainnya mengatakan kata Sakai itu
adalah dari Sungai, yaitu sungai Sikai. Menurut keterangan para tetua Sakai, nama Sakai
baru ada sejak zaman penjajahan Jepang. Sebelum itu Suku Sakai dikenal dengan nama
”Uang Daek” (orang darat) atau suku ”Pebatin”. Istilah Sakai pada mulanya dipakai oleh
tentara Jepang untuk membedakan masyarakat biasa dengan para tentara pejuang.
Jepang menyebut rakyat biasa yang bukan pejuang dengan sebutan orang ”sakai”.
Akhirnya nama tersebut melekat pada diri mereka sampai sekarang dan sebutan ”Uang
Daek” atau ”Suku Pebatin” lama kelamaan menjadi hilang dan sampai sekarang dikenal
dengan Suku Sakai. 

Suku Sakai memiliki kebudayaan asli sendiri yang berbeda dengan Suku bangsa
Melayu lainnya di Riau. Orang Sakai yang kita temui di Riau adalah Sakai dengan
kebudayaan yang telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainnya. Menurut
catatan naskah bahwa sebelum dibentuknya budaya sekarang dalam satu Dasawarsa
terakhir, mereka selalu hidup menyendiri didalam hutan belantara ”Batin Selapan” yang
sukar dicapai oleh orang luar dan hanya dikunjungi oleh segelintir orang Melayu.

Sebagai ras veddoid asli, maka wilayah Hukum Adat Perbatinan Sakai telah lama
diakui jauh sebelum kemaharajaan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Oleh karena itu,
dalam budaya Sakai mereka mengenal “Hak Ulayat” (Beschikkingsrech) yang
kekuasaannya berada ditangan persekutuan hukum komunitas Sakai. Namun karena
sejak dahulu keberadaan Sakai ini telah terdesak oleh kebudayaan Melayu Siak, Rokan
dan Tapung hingga sekarang oleh berbagai kepentingan pembangunan (pertambangan,
kehutanan dan perkebunan), maka lambat laun eksistensi Hak Ulayat Suku Sakai
semakin memudar. 

Menurut pasal 3 UUPA 1960 dijelaskan bahwa : “Hak Ulayat dan hak-hak serupa
dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada,
masih terus dapat dilaksanakan, tetapi harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.

B. Unsur-unsur Kebudayaan

1. Pranata Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Garis keturunan Suku Sakai yang asli adalah “Matrilineal” artinya mengikuti
keturunan kaum perempuan, seperti yang berlaku dalam budaya Minangkabau. Dalam
budaya Sakai hak wanita sangatlah besar. Semua harta benda, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak adalah milik perempuan. Kedudukan Kepala Suku diwariskan
melalui perempuan. Anak-anak mengikuti ibunya bukan ayahnya. 

Harta warisan secara umum ditetapkan bahwa pada kematian istri, warisan
dibagi tiga : sepertiga untuk suami, sepertiga untuk keluarga istri dan sepertiga dibawa
kedalam kubur. Pada kematian suami, semua harta yang diperoleh selama perkawinan
akan dibagi antara istri dan keluarga suami. Kasus poligami dan poliandri tidak terdapat
dalam Suku Sakai ini. Secara umum kesetiaan perkawinan dalam budaya Suku Sakai
bernilai tinggi.
Akibat pengaruh budaya Melayu dengan warna Islami yang telah berlangsung
lama, maka sistem kekerabatan asli Suku Sakai banyak mengalami perubahan. Dalam
arti kata Suku Sakai sekarang merupakan sistem kekerabatan Bilineal (menggunakan
kedua-duanya sistem kekerabatan matrilineal dan patrilineal). Misalnya, perkawinan
seketurunan ibu dilarang, begitu juga dengan seketurunan ayah. Peran Kepala Suku dan
Paman dalam perkawinan telah digantikan oleh Ayah kandung. Pembagian harta
warisan mengacu pada Hukum Islam yaitu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian
untuk perempuan.

2. Pranata Politik dan Kepemimpinan.

Sistem kepemimpinan tradisional suku Sakai adalah ” Sistem Perbatinan” sejenis


kepala suku atau penghulu dalam budaya Melayu. Perbatinan sakai terdiri ” Batin
Selapan” dan ” Batin Limo” yang menempati beberapa wilayah di Kecamatan Mandau
Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa asal usul
perbatinan tersebut merupakan 13 keluarga, 1 yang membuat banjar panjang di
kawasan hutan Mandau sebagai tempat tinggalnya. Bantin selapan terdiri atas : Batin
Bombam Petani, Batin Sebangar Sungai Jeneh, Batin Betuah, Batin Bumbung, Batin
Sembunai, Batin Jalelo, Batin Beringin dan Batin Bomban Seri Pauh. Batin Limo terdiri
atas Batin Tengganau, Batin Beromban Minas, Batin Belitu, Batin Singameraja dan Batin
Meraso. Masing-masing kelompok kerabat mempunyai induk, yaitu Batin Selapan
induknya adalah Batin Jalelo, Batin Delimo induknya adalah Batin Tengganau. 

3. Pranata Ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Mata pencaharian pokok Suku Sakai pada dasarnya petani dan pengumpul hasil
hutan yang sangat tergantung pada kebaikan alam.  Mayoritas Suku Sakai tidak
memiliki mata pencaharian yang tetap, Suku Sakai pada umumnya bekerja ”serabutan”
dan ”musiman” yang istilah mereka sehari-hari disebut bekerja mocok-mocok artinya
jika sedang ada pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, mereka akan bekerja.
Sebaliknya jika tidak ada pekerjaan mereka akan menganggur.

Mata pencaharian lain Suku Sakai adalah berkebun yang dilakukan secara sub
sistem, khususnya menanam ubi lambau dan ubi menggalau dan menangkap ikan yang
kebanyakan untuk konsumsi sendiri.
SUKU AKIT

A. Riwayat singkat 

Mengenai sejarah perkembangan Suku Akit bermula dari suku laut, jika dilihat
dari asal muasal dari Suku Melayu Riau saat ini sama halnya dengan suku bangsa
lainnya yang ada di Indonesia, yaitu berbagai percampuran genetika ras yang berasal
dari pusat-pusat penyebaran di segala penjuru dunia.

Menurut perkembangan sejarah suku asli Akit yang ada di Pulau Rupat
Kabupaten Bengkalis khususnya di Desa Titi Akar dahulunya termasuk dari Siak Sri
Indrapura yang termasuk kerajaan Melayu Riau. Kerajaan ini didirikan sekitar abad 17
oleh Raja Kecik yang digelari Sultan Siak yang berada di pinggir Sungai Siak. Kelompok
ini mengungsi ke daerah lain atas permintaan suku tersebut pindah ke tempat yang
lebih aman menuju ke Pulau Padang yang dibatasi oleh selat. Suku tersebut kembali
melanjutkan perjalanan ke lautan yang luas yang ada dibagian utara kemudian kembali
ke bagian barat disanalah suku tersebut berlabuh dan diterima oleh Datuk Empang
Kelapahan. Mereka dapat mendiami pulau atas izin dengan syarat SEKERAT MATA
BERAS – SEKERAT TAMPING SAGU – SEBATANG DAYUNG EMAS, jika mereka dapat
memenuhi syarat tersebut mereka boleh tinggal dipulau itu. Kelompok suku merasa
keberatan, kemudian mengadakan perundingan dan mendapatkan kesepakatan untuk
pindah ke Pulau Tujuh.

B. Unsur-unsur Kebudayaan 

1. Religi/Kepercayaan 

Agama, religi atau kepercayaan suatu hal yang bersifat Universal yang selalu ada
dalam setiap masyarakat dimanapun. Berbagai bentuk agama, religi atau kebudayaan
dapat kita jumpai pada seluruh masyarakat yang kadang memiliki perbedaan dan cara-
cara tersendiri dalam bentuk pelaksanaan ritualnya.

Terkait dengan hal tersebut diatas, agama yang ada di Desa Titi Akar Kecamatan
Rupat Utara antara lain adalah : Islam, Kristen dan Budha serta masih adanya Animisme
(kepercayaan leluhur). Agama / Religi bagi mereka merupakan warisan dari leluhur
yang harus dipertahankan. Masyarakat Suku Akit sudah lama menganut agama Budha
sesuai dengan sejarah dan legenda yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun
demikian saat ini pelaksanaan ritual agama dalam kehidupan  mereka sehari-hari
dipengaruhi oleh kebudayaan etnis Cina. Sementara itu acara-acara ritual seperti
mantera – mantera dan pemujaan – pemujaan terhadap para leluhur juga masih
terdapat disana. Salah satu contohnya adalah upacara dalam pemujaan pohon yang
dikeramat (ketau), yaitu penyembahan berupa pemberian sesajen.   

2. Mata Pencaharian 

Sektor pertanian, perladangan, peternakan dan juga industri rumah tangga


seperti pembuatan tikar dari daun rumbia, disamping itu juga pada umumnya
masyarakat Suku Akit bergerak di sektor laut sebagai nelayan, baik menggunakan kapal
motor maupun sampan. 

Kemudian disektor perladangan, pada umumnya telah dikelola dengan


penanaman padi, rata-rata kepemilikan ladang, berkisar  1 - 4 jalur padi yang sudah
dipanen pada umumnya untuk dikonsumsi sendiri, bahwa hasil panen tersebut tidak
cukup sampai pada musim panen berikutnya, sehingga petani harus membeli beras
hingga musim panen tiba. 

3. Pranata Hubungan Sosial


Ciri masyarakat Suku Akit yang mudah beradaptasi dengan masyarakat
sekitarnya, sebenarnya modal utama dalam mengembangkan kehidupannya. Sifat dan
sistem kekerabatan yang longgar telah membawa dampak yang cukup baik bagi proses
adaptasi yang berhubungan dengan sistem perekonomian. 

Secara spesifik pranata yang mengatur hubungan sosial di Desa Titi Akar belum
ada, namun komunitas Suku Akit tersebut dalam segala aktivitas mempunyai nilai
gotong royong dan kerjasama yang sangat tinggi, walaupun berbeda etnis dan berbeda
kepercayaan. Seperti dalam pekerjaan sehari-hari, mereka saling bantu membantu
misalnya dalam mengelola hasil alam seperti buah kelapa dan durian. 

Kepemilikan lahan tidak mengenal tanah ulayat, melainkan tanah milik pribadi
walaupun belum bisa dibuktikan hak kepemilikannya. Bagi warga untuk memiliki lahan
bisa dengan cara membuka hutan, pemberian / warisan atau dengan cara dibeli. Bagi
siapa yang dapat membuka lahan secara luas, mereka itulah dianggap memiliki
kekuasaan besar atas tanah tersebut. 

 
SUKU TALANG MAMAK

    1. Riwayat Singkat 

Menelusuri asal usul Suku Talang Mamak merupakan suatu pekerjaan yang tidak
mudah, sebab dari banyak tulisan yang tidak membedakan antar mitos dan sejarah.
Namun demikian dalam tulisan ini akan dicoba diketengahkan tulisan yang berbau
mitos disamping dikutip tulisan yang menggambarkan sejarah. 

Orang Desa Talang Mamak menyatakan diri sebagai keturunan dari “Datuk Patih Nan
Sebatang” yang datang dari daerah Minang Kabau melalui batang (sungai) Kuantan
dengan mitos “Rakit Kulim”.

Selanjutnya Datuak Papatih Nan Sebatang yang dipanggil Mamak mendirikan


pemukiman baru (Talang) di Indragiri, maka untuk selanjutnya anak kemenakan
Datuak Papatih Nan Sebatang menyebut pemukiman baru (Talang) sebagai “Talang
Mamak” atau tempat tinggal mamak. 

Menurut  keturunan Patih Ke 28 dari Patih Bunga yang merupakan anak Datuak Papatih
Nan Sebatang bahwa leluhur orang Talang Mamak adalah Talang Parit, disinilah Patih
Nan Sebatang tinggal dan disinilah ia mempunyai 3 orang anak, yaitu Tuah Besi, Tuah
Kelopak dan Tuah Bunga ketiga ini selanjutnya membuka kampung (talang) sekaligus
menjadi Patih dimasing-masing Talang. Tuah Besi menjadi Patih di Talang Parit
melanjutkan kekuasaan ayahnya, Tuah Kelopak mendirikan Talang Perigi, Tuah Bunga
mendirikan Talang Durian Cacar.

Namun pewarisan selanjutnya setelah generasi ke-3 (cucu patih nan sebatang) pola
kepemimpinannya tidak diwariskan lagi kepada anak melainkan diwariskan kepada
keponakan, maka gelar tertinggi pemimpin tidak lagi patih melainkan berubah menjadi
Batin.

Selanjutnya terjadi pengembangan wilayah, Kampung Talang Parit dimekarkan menjadi


2 yaitu talang parit dan talang sungai limau, Talang durian cacar dibagi 3 yaitu, Talang
selantai, Talang Tujuh Anak Tangga, dan Talang Durian Cacar.

Dengan demikian satu talang telah berkembang menjadi 6 talang. Menurut versi orang
talang yang berada didesa siambul bahwa leluhur orang talang adalah dari talang sungai
limau karena leluhur orang talang 1 mendirikan perkampungan disungai limau,
kemudian terjadi penyebaran kearah selatan (siambul) yang masuk Kecamatan Siberida
dan kearah timur dengan nama Talang Gerinjing.

Didaerah siambul terjadi pertemuan antar orang-orang Talang Mamak dengan orang
pendatang dari siam (Thailand), kemudian mereka hidup bersama. Untuk mengenal
orang-orang siam, maka pemukiman mereka dinamakan siambul / Talang Siambul. 

    Aspek-aspek Kehidupan Suku Talang Mamak

    1. Agama dan Kepercayaan 

Pada dasarnya masyarakat Talang Mamak mempunyai pondasi kehidupan beragama


sebagai masysrakat muslim, namun dalam keadaan sehari-hari mereka lebih banyak
berpedoman kepada ajaran leluhur mereka disebut adat dan kebiasaan – kebiasaan
tersebut bukan merupakan ajaran agam Islam, maka pada akhir – akhir ini ada sebagian
dari warga itu mulai menyadari bahwa adat kebiasaan tersebut tidak sesuai denagn
ajaran agama Islam yang sesungguhnya dan mereka menyadari ini, menyatakan diri
sebagai orang yang masuk Islam. Bagi mereka yang telah masuk Islam, mereka
menyamakan diri sama dengan masyarakat melayu atau sama dengan mengikuti orang
melayu, namun sebagian besar warga talang mamak adalah mengikuti langkah lama.
Orang langkah baru adalah orang yang sering melakukan interaksi dengan orang luar
dan umumnya memiliki anak yang berpendidikan relatif lebih tinggi. Kematian bagi
orang talang mamak merupakan sesuatu yang sakral.

    2. Mata Pencaharian 

Sebagian besar mata pencaharian pokok masyarakat adalah berkebun karet, disamping
itu juga berladang padi, dengan masa panen selama 6 (enam) bulan, sistem
teknologinya masih sederhana dalam pengolahan dan pemeliharaannya. Hasil panen
padi warga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga menjelang
musim panen berikutnya, karena banyaknya hama pengganggu seperti babi hutan,
burung, monyet serta kurangnya pemeliharaan. 

Tanaman lainnya yang menjadi tambahan penghasilan masyarakat desa Talang Perigi
adalah tanaman pekarangan seperti kelapa, rambutan, sayuran, buah – buahan lainnya.

Aktivitas lainnya yang menjadi alternatif untuk menambah penghasilan masyarakat


Desa Talang Perigi adalah berburu, meramu hasil hutan untuk obat- obatan, menangkap
ikan sungai.

    3. Luas Pemilikan Lahan 

Tanah bagi masyarakat Talang Perigi merupakan kekayaan yang dimiliki baik secara
turun temurun maupun atas usaha sendiri membuka lahan. Walaupun sudah mengenal
tempat tinggal dan berkebun tetap, namun dalam berladang masih berpindah – pindah
dengan sirkulasi 5 tahunan. Masyarakat talang perigi umumnya memiliki kebun yang
ditanam berbagai jenis pohon seperti pohon karet, kelapa, buah-buahan dan lainnya
sebagainya. Hanya sekitar 5% saja yang tidak memiliki lahan. Kepemilikan lahan bila
rata – rata perkepala keluarga seluas 7 ha dengan interval berkisar antara 2-10 ha.

    4. Lembaga Kepemimpinan

Sistem kepemimpinan dalam masyarakat desa Talang Mamak didesak Talang perigi
menempatkan batin sebagai pucuk pimpinan Adat, hal ini diungkapkan melalui pepatah
yang hidup ditengah - tengah masyarakatnya yang berbunyi :

“Sebuah Nagari seorang Hatinya“


“Sebuah Banjar seorang Tuanya“

“Sebuah Rumah seorang Tungganainya“

    5. Sistem Pengobatan         

Pengobatan biasanya dipercaya kepada dukun atau kemantan. Didesa Talang Perigi
terdapat 2 orang kemantan, 3 orang dukun dan 4 orang dukun beranak. Sistem yang
dilakukan dukun dan kemantan berbeda. Kemantan dalam melakukan pengobatan
melakukan upacara bulian sedangkan dukun dalam melakukan pengobatan disebut
dengan upacara berdukun. Upacara pengobatan Bulian dibantu “pinai” dan “kebayau”
(beberapa orang wanita) yang mengiringi perilaku kemantan. 

Dukun sunat sudah dikenal dalam masyarakat desa Talang Perigi, mereka menyebutnya
orang pandai untuk penyunatan anak laki – laki dan bidan untuk penyunatan terhadap
wanita.

 
SUKU LAUT (DUANO)

    1. Sejarah singkat  

Propinsi Riau mempunyai ciri khas yang berbeda dengan propinsi lain (daerah),
ciri khas tersebut termasuk geografis dan kondisi pulau yang terpisah-pisah serta
mempunyai komunitas terpencil paling banyak dibandingkan dengan daerah yang lain,
seperti suku Talang Mamak yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu, Suku Sakai yang ada
di Kembang Luar di Kabupaten Bengkalis, Suku Akit yang ada di Rupat Utara Kabupaten
Bengkalis, Suku Bonai, dan Suku Kuala (Duano) yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir.

Beberapa permasalahan yang timbul pada Komunitas Adat Terpencil


adalah masalah kemiskinan, relatif tertinggal dari kehidupan komunitas yang lain, pada
umumnya hidup dipedalaman, perairan, pulau-pulau atau daerah-daerah perbatasan
Negara tetangga dan kawasan industri. Asal usul tau perkembangan Suku Kuala
bermula dari Suku Laut. Yang bisa dikatakan sebagai Suku Asli Suku Melayu yang ada di
Propinsi Riau dan sama halnya dengan suku bangsa lainya yang ada di Indonesia, yaitu
berbagai percampuran Genetika Ras, yang berasal dari pusat-pusat penyebaran disegala
penjuru dunia. 
Gelombang migrasi kedua Ras Mongoloid sesudah Tahun 1500 SM, yaitu Ras
Nelayan Mongoloid yang disebut “Deutro – Melayu” berasal dari daratan Asia Tenggara
datang kepulau Indonesia, Malaysia dan Filipina. Kedatangan Ras ini yang menyebabkan
golongan Migrasi Ras pertama dan kedua menyingkir kepedalaman dan sisanya berbaur
dengan pendatang baru tersebut. Dan hasil pencampuran inilah yang akhirnya
menurunkan orang Melayu Riau sekarang ini.

Dengan mengacu pada teori gelombang perpindahan ini, maka dapatlah


disimpulkan, bahwa asal usul nenek moyang penduduk asli Suku-suku terbelakang di
Provinsi Riau semuanya hasil pencampuran dari Ras Veddoit dengan Asiattie Mongoloid
yang telah melahirkan puak-puak asli Suku terasing di Riau. Menurut perkembangan
sejarah suku Asli yang ada di Propinsi Riau, baik yang ada di Rupat Utara maupun di
Indragiri Hilir dahulunya termasuk dari Siak Sri Indrapura yang termasuk Kerajaan
Melayu Riau. Kerajaan ini didirikan sejak abad ke-17 oleh Raja Kecil yang diberikan
gelar Sultan Siak yang berada dipinggiran Sungai Siak.

    2. Pranata Sosial  Budaya 

        a. Politik dan Kelembagaan

Sekarang kepemimpinan Suku Laut (Duano) yang dikuala selat jaman dahulu
dipegang oleh seorang Batin. Kondisi sekarang tidak dapat menjelaskan secara
mendetail. Mereka hanya mengetahui saat ini adalah Bapak Wali (Kepala Desa).

Kelembagaan didesa Kuala Selat dalam hal pemerintahan masih harus dibenahi,
warga ada yang tidak mempunyai KTP dan mempunyai KK. Lembaga Adat tidak
tersedia dan tidak berpengaruh terhadap warganya, yang sangat berpengaruh adalah
Kepala Desa dan Sekretaris Desa.

        b. Agama / Religi dan Sistem Kepercayaan

Komunitas Adat terpencil Suku Doano dahulu menganut kepercayaan pada berhala –
berhala. Sekarang sudah tidak mengenal dan menggunakan mantera – mantera.
Dikarenakan program keagamaan islam telah masuk kedesa. Tetepi mereka ada yang
melaksanakan shalat dan ada hanya beberapa orang saja yang bisa menggunakan doa –
doa islam hanya bisanya 1 kalimat misalnya Bismillahirrohmanirrohim saja. Doa yang
lainya dilanjutkan dengan menggunakan bahasa Melayu (Kepada Tuhan). 

        c. Kesehatan dan Sistem Pengobatan 

Kesehatan merupakan upaya untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap
penduduk atau warganya sehingga hidup menjadi optimal. Dalam kondisi didesa Kuala
selat terdapat Pustu, Bidan masing – masing hanya 1 orang. Jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk yang ada kurang memadai. Terlihat dilokasi Desa Kuala Selat maka
lingkungan rumah tidak terjamin kesehatanya. Dikarenakan pemukiman diatas tepi
pantai. Yang kadang kala air masuk sampai pelantaran jalan maupun rumah. Masih
ditemukan warga KAT  untuk berobat ke dukun,  karena ketidakmampuan secara
ekonomi.

        d. Pendidikan Pengetahuan dan Sistem Teknologi

Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan pemerintah telah mewajibkan
pada usia sekolah untuk sekolah, sehingga pendidikan untuk berbagai lapisan
masyarakat. Namun di Desa Kuala Selat masih terdapat anak usia sekolah tidak sekolah,
karena membantu orang tuanya mencari ikan dan yang sudah sekolah pun tidak
ditamatkan. Karena tidak memahami arti sekolah, ibu-ibu dan bapak-bapak pada
umumnya ada yang masih buta aksara. Sarana Sekolah Dasar di Desa tersebut sudah
memenuhi kebutuhan warganya. Teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan alat atau
media yang digunakan dalam pranata pendidikan pada generasi anak-anaknya. Untuk
Suku Laut yang ada di Desa Kuala Selat tidak ada keterampilan apapun kecuali hanya
anyam menganyam, pembuatan jaring dan lain-lainnya.

        e. Pranata Keturunan dan Kekerabatan

Mengikuti alur patrilineal yaitu menurut garis keturunan bapak. Hak waris turun pada
anak-anaknya. Sistem gotong royong masih kuat. Karena kalau ada acara sunatan dan
perkawinan saling bantu membantu. 

        f. Jaringan Sosial dan Hubungan Kerja 

Untuk Komunitas Adat Terpencil di Desa Kuala Selat mempunyai potensi gotong royong
yang tinggi,  ketika ada pesta perkawinan mereka saling menyumbang materi, seperti
memberi beras, gula, telor dan bumbu-bumbu untuk memasak walaupun tidak banyak.
Hubungan sosial dengan etnis lainpun sudah berlangsung. Karena posisi pemukimanya
saling berdekatan, hubungan sosial dengan nelayan dan para toke bersifat
ketergantungan, sehingga hasil dari penangkapannya dikuasai oleh tokenya (Patron
Klien).

Anda mungkin juga menyukai