Anda di halaman 1dari 26

PENYUSUNAN DAN PENGEMBANGAN INSTRUMEN NON TES

Oleh
Sehar Trihatun (16709251043)
Desy Dwi Frimadani (16709251050)

A. Instrumen Non Tes

Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran terhadap


fenomena sosial maupun alam. Meneliti dengan data yang sudah ada lebih
tepat kalau dinamakan membuat laporan daripada melakukan penelitian.
Namun demikian dalam skala yang paling rendah laporan juga dapat
dinyatakan sebagai bentuk penelitian. Karena pada prinsipnya meneliti adalah
melakukan pengukuran, maka harus ada alat ukur yang baik. Alat ukur dalam
penelitian biasanya dinamakan instrumen penelitian. Jadi instrumen penelitian
adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun
sosial yang diamati (Sugiyono, 2009: 147).

Pada dasarnya terdapat dua macam instrumen, yaitu instrumen yang


berbentuk tes untuk mengukur prestasi belajar dan instrumen nontes untuk
mengukur sikap. Instrumen yang berupa tes jawabannya adalah salah atau
benar, sedangkan instrumen sikap atau nontes jawabannya tidak ada yang
salah atau benar tetapi bersifat positif dan negatif (Sugiyono, 2009: 174).
Instrumen non tes digunakan untuk mengukur kepribadian, perilaku, sikap
atau respon seseorang terhadap suatu hal. Setiap waktu kita terikat dengan
kegiatan menilai perilaku dan sikap seseorang meskipun terkadang kita tidak
menyadarinya. Ketika kita mengatakan bahwa Joni anak yang baik, Tomi anak
yang nakal, Susi anak yang tidak pandai bergaul, sebenarnya kita sedang
membuat penilaian terhadap kepribadian. Kita menggunakan evaluasi
informal tersebut untuk memutuskan dengan siapa kita ingin bekerjasama dan
siapa yang harus kita hindari, atau dapat juga membantu kita dalam
menerapkan strategi-strategi yang sesuai dengan kepribadian seseorang (Cecil,
2010: 372). Dalam konteks pendidikan, tentunya mengetahui kepribadian
siswa akan sangat berguna dalam menerapkan praktek pembelajaran yang

1
dilakukan. Tetapi kenyataannya, penilaian dengan teknik non tes ini kurang
mendapat perhatian dari para guru maupun praktisi pendidikan tidak terkecuali
dalam pendidikan matematika.

Tidak dapat dipungkiri sampai saat ini penilaian pendidikan matematika


lebih banyak menggunakan instrumen berupa tes. Selama ini teknik non tes
kurang digunakan dibandingkan teknis tes karena penilaian lebih
mengutamakan teknik tes. Hal ini tentu tidaklah cukup, Robert dan David
(1991: 242) mengungkapkan bahwa selain nilai-nilai yang didapatkan siswa
dari instrumen tes, masih banyak bidang dalam kurikulum yangmana teknik
tes ini menjadi tidak tepat atau kurang tepat daripada teknik non tes. Sebagai
contoh, pembelajaran yang menggunakan kemampuan berbicara dalam
pelajaran bahasa. Atau kemampuan-kemampuan aplikatif dalam bidang fisika,
teknik industri, dan pertunjukkan seni yang akan lebih sering menggunakan
demonstrasi serta berorientasi pada proses dan hasil. Objek penilaian
pembelajaran matematika terlalu kompleks jika hanya mengandalkan tes saja.
Berbagai objek penilaian pembelajaran matematika memerlukan instrumen
non tes untuk memperoleh informasinya (Ekawati dan Sumaryanta 2011: 33).

Proses pengumpulan informasi atau pengumpulan data merupakan suatu


hal yang sangat penting. Data yang dikumpulkan sangat terkait dengan
fenomena, yang menjadi fokus penelitian. Selain itu, jenis data yang akan
dihasilkan juga berdampak pada pelaksanaan pengukuran dalam penelitian.
Jenis data tersebut meliputi data nominal, data ordinal, data interval dan data
rasio (Retnawati, 2016: 1-2).
1. Data nominal merupakan ukuran diskrit (terpisah antar data), tidak ada
hubungan antara skala yang satu dengan skala yang lain. Contoh data
nominal misalnya agama, warna pakaian atau kendaraan, jenis kelamin,
hobi, dan lain-lain.
2. Data ordinal merupakan ukuran yang menunjukkan posisi suatu objek,
dengan ukuran tersebut dapat diurutkan dari urutan paling rendah sampai
yang paling tinggi, namun belum ada jarak atau interval antara posisi ukuran

2
yang satu dengan yang lain. Contoh data ini misalnya skala Likert (Sangat
Setuju, Setuju, Ragu-ragu, Tidak Setuju, Sangat Tidak Setuju), dimana
belum ada jarak yang jelas antara tidak setuju dengan sangat tidak setuju,
dan juga skala lainnya.
3. Data interval merupakan ukuran yang menunjukkan posisi suatu objek
dalam suatu urutan paling rendah sampai yang paling tinggi, dan ada jarak
atau interval antara posisi ukuran yang satu dengan yang lain. Contoh data
ini adalah nilai/skor dalam pendidikan. Pada data interval, nilai nol juga
bukan nilai yang mutlak, yang berarti bahwa seorang peserta didik
memeroleh skor nol, belum tentu peserta didik tersebut sama sekali tidak
menguasai komptetensi dalam pembelajaran, namun bisa jadi karena alasan
lain.
4. Pada data rasio, ukuran menunjukkan posisi suatu objek dalam suatu skala
paling rendah sampai skala yang paling tinggi, ada jarak atau interval antara
posisi ukuran yang satu dengan yang lain, dan adanya besaran
absolute/mutlak. Sebagai contoh pada data rasio adalah ukuran volume air.
Volume air dalam suatu wadah sama dengan nol berarti air dalam wadah
tersebut memang telah kosong, atau tidak ada air sedikitpun dalam wadah
tersebut.
Jenis data tersebut berdampak pada pelaksanaan pengukuran dalam
penelitian. Sebagai contoh seorang peneliti ingin mengetahui kemampuan
berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) siswa SMP di kabupaten Subur
Makmur. Fokus permasalahan yang menjadi kata kunci penelitian ini adalah
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Ini berarti data yang harus dikumpulkan
peneliti tersebut adalah data kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SMP.
Karena kemampuan berfikir tingkat tinggi merupakan kemampuan yang
abstrak, diperlukan suatu tes untuk mengukurnya. Kemampuan ini dapat
diukur dengan teknik tes, dan data yang kita peroleh berupa data interval. Pada
kasus lain, seorang peneliti ingin mengetahui motivasi kerja karyawan.
Permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah motivasi, yang dapat

3
diukur dengan angket/kuisioner motivasi. Untuk pengumpulan data ini, perlu
digunakan teknik nontes.

B. Jenis-jenis Instrumen Nontes


Instrumen non tes dapat dikategorikan menjadi angket, wawancara, observasi,
dan dokumentasi (Sukmadinata, 2011: 216-222) .
1. Angket
Angket berupa sekumpulan pertanyaan yang biasanya dalam bentuk
tertulis kemudian diberikan kepada responden. Pertanyaan-pertanyaan
dalam angket atau disebut pula dengan kuisioner bermacam-macam,
diantaranya pertanyaan dikotomi, pertanyaan pilihan ganda, urutan
bertingkat (rank ordering),rating scale, dan pertanyaan terbuka.
a. Angket dengan pertanyaan dikotomi
Pertanyaan dikotomi dalam angket hanya memuat 2 pilihan jawaban
jawaban saja. Pertanyaan ini digunakan jika peneliti ingin menanyakan
kepada responden terkait dengan variabel yang hanya memuat dua
jawaban saja. Sebagai contoh jenis kelamin (laki-laki atau perempuan,
ya atau tidak, benar atau salah, dan lain-lainnya.
b. Pertanyaan terbuka
Pada angket dengan pertanyaan terbuka, angket berisi pertanyaan-
pertanyaan atau pernyataan-pernyataan pokok yang bisa dijawab atau
direspon oleh responden secara bebas. Tidak ada anak pertanyaan
ataupun rincian yang memberikan arah dalam pemberian jawaban atau
respon. Responden mempunyai kebebasan untuk memberikan jawaban
atau respon sesuai dengan persepsinya.
c. Pertanyaan berstruktur
Pada angket berstruktur, pertanyaan atau pernyataan sudah disusun
secara berstruktur di samping ada pertanyaan pokok atau pertanyaan
utama, juga ada anak pertanyaan atau subpertanyaan.
d. Pertanyaan tertutup

4
Dalam angket tertutup, pertanyaan atau pernyataan-pernyataan telah
memiliki alternatif jawaban (option) yang tinggal dipilih oleh
responden. Responden tidak bisa memberikan jawaban atau respon lain
kecuali yang telah tersedia sebagai alternatif jawaban.
Penulisan angket yang baik perlu memperhatikan beberapa prinsip.
Sugiyono(2010 : 142-144) menyatakan ada 10 prinsip yang perlu
diperhatikan.
1. Isi dan tujuan pertanyaan.
Isi dan tujuan pertanyaan memberi makna apakah isi pertanyaan
tersebut merupakan bentuk pengukuran atau bukan? Kalau berbentuk
pengukuran, maka dalam membuat pertanyaan harus teliti, setiap
pertanyaan harus ada skala pengukuran dan jumlah itemnya mencukupi
untuk mengukur variabel yang akan diteliti.
2. Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunkan dalam penulisan angket harus sesuai dengan
kemampuan bahasa responden. Kalau sekiranya responden tidak dapat
berbahasa indonesia, maka angket jangan disusun dengan bahasa
indonesia.
3. Tipe dan bentuk pertanyaan
Tipe pertanyaan dalam angket dapat terbuka maupun tertutup dan
bentuknya dapat menggunakan kalimat positif dan negatif.
4. Pertanyaan tidak mendua
Setiap pertanyaan dalam angket jangan mendua(double – barreled)
sehingga mengulitkan responden untuk memberikan jawaban.
5. Tidak menyakan yang sudah lupa.
Setiap pertanyaan dalam intrument angket, sebaiknya juga tidak
menanyakan hal-hal yang sekiranya reponden sudah lupa atau
pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan berfikir berat.
6. Pertanyan tidak menggiring.
Pertanyaan dalam angket sebaiknya juga tidak menggiring ke jawaban
yang baik saja atau ke yang jelek saja.

5
7. Panjang pertanyaan
Pertanyaan dalam angket sebaiknya tidak teralu panjang, sehingga akan
membuat jenuh responden dalam mengisi.
8. Urutan pertanyaan
Urutan pertanyan dalam angket dimulai dari yang umum menuju ke hal
spesifik, atau dari yang mudah menuju ke hal yang sulit, atau diacak.
9. Prinsip pengukuran
Angket yang diberikan kepada responden adalah merupakan intrument
penelitian yang digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti.
10. Penampilan fisik angket.
Penampilan fisik angket sebagai alat pengumpulan data akan
mempengaruhi respon atau keseriusan responden dalam mengisi
angket. Angket yang dibuat di kertas buram akan mendapat respon
kurang menarik bagi responden, bila dibandingkan angket yang
dicetak dalam kertas yang bagus dan berwarna.
Kuesioner atau angket merupakan teknik pengumpulan data yang efisien
bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang
bisa diharapkan dari responden. Selain itu, kuesioner juga cocok digunakan
bila jumlah responden cukup besar dan tersebar di wilayah yang luas
(Syaodih, 2. Bila penelitian dilakukan pada lingkup yang tidak terlalu luas,
sehingga angket dapat dapat diantarkan langsung dalam waktu tidak terlalu
lama, maka pengiriman angket kepada responden tidak perlu melalui pos.
Dengan adanya kontak langsung antara peneliti dan responden akan
menciptakan suatu kondisi yang cukup baik, sehingga responden dengan
sukarela akan memberikan data obyektif dan cepat.

2. Wawancara
Wawancara (Moleong:2012:186) adalah percakapan dngan maksud
tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara
atau interview merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang

6
banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskripsi
kuantitatif. Wawancara dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap
muka secara individual. Adakalanya juga wawancara dilakukan secara
kelompok kalau memang tujuannya untuk menghimpun data dari
kelompok seperti wawancara dengan suatu keluarga, pengurus yayasan,
pembina pramuka, dll.
Sebelum melakukan wawancara para peneliti menyiapkan instrumen
wawancara yang disebut pedoman wawancara. Pedoman ini berisi
sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang meminta untuk dijawab atau
direspon oleh responden. Isi pertanyaan atau pernyataan bisa mencakup
fakta, data, pengetahuan, konsep, pendapat, persepsi atau evaluasi
responden berkenaan dengan fokus masalah atau variabel-variabel yang
dikaji dalam penelitian. Bentuk pertanyaan atau pernyataan bisa sangat
terbuka, sehingga responden mempunyai keleluasaan untuk memberikan
jawaban atau penjelasan. Pertanyaan atau pernyataan dalam pedoman
wawancara juga bisa berstruktur, suatu pertanyaan atau pernyataan umum
diikuti dengan pertanyaan atau pernyataan yang lebih khusus atau lebih
terurai, sehingga jawaban atau penjelasan dari responden menjadi lebih
dibatasi dan diarahkan. Untuk tujuan-tujuan tertentu sub pertanyaan atau
pernyataan-pernyataan tersebut bisa sangat berstruktur, sehingga
jawabannya menjadi singkat-singkat atau pendek-pendek, bahkan
membentuk instrumen berbentuk ceklist
Dalam persiapan wawancara selain penyusunan pedoman , yang
sangat penting adalah membina hubungan baik (rapport) dengan
responden. Keterbukaan responden unutk memberikan jawaban atau
respon secara objektif sangat ditentukan oleh hubungan baik yang tercipta
antara pewawancara dengan responden. Sebelum memulai berwawancara,
pewawancara harus membina persahabatan, keakraban dengan responden,
menumbuhkan apresiasi dan kepercayaan responden kepada pewawancara.
Selama berlangsungnya wawancara, hal-hal di atas harus terus dipelihara.
Rusaknya kepercayaan dan hubungan baik dengan responden dapat

7
mengakibatkan kegagalan wawancara. Kegagalan wawancara dalam arti
pewawancara tidak mendapatkan data seperti yang diharapkan, baik
objektivitas maupun kelengkapannya.

3. Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara
mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap
kegiatan yang sedang berlangsung. Kegiatan tersebut bisa berkenaan
dengan cara guru mengajar, siswa belajar, kepala sekolah yang sedang
memberikan pengarahan, dsb. Observasi dapat dilakukan secara
partisipatif atau nonpartisipatif. Dalam observasi partisipatif, pengamat
ikut serta dalam kegiatan yaang sedang berlangsung, pengamat ikut
sebagai peserta rapat atau peserta pelatihan. Dalam observasi non
partisipatif, pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan, dia hanya berperan
mengamati kegiatan.
Seperti halnya dalam wawancara, sebelum melakukan pengamatan
sebaiknya peneliti atau pengamat menyiapkan pedoman observasi. Dalam
penelitian kualitatif, pedoman observasi ini hanya berupa garis-garis besar
atau butir-butir umum kegiatan yang akan diobservasi. Rincian dari aspek-
aspek yang diobservasi dikembangkan di lapangan dalam proses
pelaksanaan observasi. Dalam penelitian kuantitatif, pedoman observasi
dibuat lebih rinci, bahkan untuk penelitian-penelitian tertentu dapat
berbentuk ceklis. Terkait dengan hal itu, minimal ada dua macam bentuk
atau format pedoman observasi untuk penelitian kuantitatif. Pertama, berisi
butir-butir pokok kegiatan yang akan diobservasi. Dalam pelaksanaan
pencatatan observasi, pengamat membuat deskripsi singkat berkenaan
dengan perilaku yang diamati. Kedua, berisi butir-butir kegiatan yang
mungkin diperlihatkan oleh individu-individu yang diamati. Dalam
pencatatan observasi pengamat hanya tinggal membubuhkan tanda cek
terhadap perilaku atau kegiatan yang diperlihatkan oleh individu-individu
yang diamati. Pedoman observasi dapat juga disusun dalam bentuk skala.

8
Untuk tiap butir kegiatan atau perilaku yang diamati telah disiapkan
rentang skala. Skala ini dapat berbentuk skala deskriptif seperti: baik
sekali-baik-cukup-kurang-kurang sekali atau sering sekali-sering-kadang-
kadang-jarang-jarang sekali.

4. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
gambar maupun elektronik. Dokumen-dokumen dihimpun dipilih sesuai
dengan tujuan dan fokus masalah. Kalau fokus penelitiannya berkenaan
dengan kebijakan pendidikan, dan tujuannya mengkaji kebijakan-
kebijakan pendidikan untuk pengembangan karakter bangsa, maka yang
dicari adalah dokumen-dokumen undang-undang, Kepres, PP, Kepmen,
Kurikulum, pedoman-pedoman yang berkenaan dengan kebijakan
pengembangan karakter bangsa.
Dokumen-dokumen tersebut diurutkan sesuai dengan sejarah
kelahiran, kekuatan dan kesesuaian isinya dengan tujuan pengkajian.
Isinya dianalisis (diurai), dibandingkan, dan dipadukan (sintesis)
membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Jadi studi
dokumenter tidak sekadar mengumpulkan dan menuliskan atau
melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumen.
Yang dilaporkan dalam penelitian adalah hasil analisis terhadap dokumen-
dokumen tersebut, bukan dokumen-dokumen mentah (dilaporkan tanpa
analisis). Untuk bagian-bagian tertentu yang dipandang kunci dapat
disajikan dalam bentuk kutipan utuh, tetapi yang lainnya disajikan pokok-
pokoknya dalam rangkaian uraian hasil analisis kritis dari peneliti.

C. Skala Pengukuran
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai
acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat
ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan

9
menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono, 2009: 133). Dengan skala
pengukuran ini, maka nilai variabel yang akan diukur dengan instrumen
tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan lebih akurat,
efisien dan komunkatif. Misalnya berat emas 19 gram, berat besi 100 kg, suhu
badan orang yang sehat 37o Celcius, IQ seseorang 150 dll. Selanjutnya dalam
pengukuran sikap, sikap sekelompok orang akan diketahui termasuk gradasi
mana dari suatu skala sikap.
Berbagai skala sikap yang dapat digunakan untuk penelitian bidang
pendidikan dan sosial antara lain adalah;
1. Skala Likert
Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi
seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian
fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peniliti, yang selanjutnya
disebut sebagai variabel penelitian.
Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabakan menjadi indikator
variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun item-
item instrumen yang daoat berupa pertanyaan atau pernyataab.
Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert
mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa
kata-kata antara lain:
a. Sangat setuju a. Selalu
b. Setuju b. Sering
c. Ragu-ragu c. Kadang-kadang
d. Tidak setuju d.Tidak pernah
e. Sangat Tidak Setuju

a. Sangat positif a. Sangat baik


b. Positif b. Baik
c. Negatif c. Tidak Baik
d. Sangat Negatif d. Sangat tidak baik

Untuk keperluan analisis kualitatif maka jawaban itu dapat diberi skor misalnya:

1) Setuju/ Selalu / Sangat Positif diberi skor (5)

10
2) Setuju / Sering / Positif diberi skor (4)
3) Ragu-ragu/ kadang-kadang / netral diberi skor (3)
4) Tidak setuju / hampir tidak pernah / negatif diberi skor (2)
5) Sangat tidak setuju / tidak pernah / diberi skor (1)

Instrumen penelitian yang menggunakan skala likert dapat dibuat dalam


bentuk checklist maupun pilihan ganda.

a. Contoh bentuk checklist


Berilah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat anda, dengan
cara memberi tanda (√) pada kolom yang tersedia

N Pertanyaan Jawaban
SS ST RG TS STS
o
1. Sekolah ini akan √
menggunakan
teknologi
informasi dalam
pelayanan
adminstraasi dan
akademik

2. .............................

SS = Sangat Setuju diberi skor (5)


ST = Setuju diberi skor (4)
RG = Ragu-ragu diberi skor (3)
TS = Tidak Setuju diberi skor (2)
STS = Sangat Tidak Setuju diberi skor (1)

Kemudian dengan teknik pengumpulan data angket maka instrumen


tersebut misalnya diberi kepada 100 orang karyawan yang diambil random.
Dari 100 orang pegawai setelah dilakka analisis misalnya
25 Orang menjawab SS
40 0rang menjawab ST
5 Orang menjawab RG

11
20 Orang menjawab TS
10 Orang menjawab STS
Berdasarkan data tersebut 65 orang (40+25) atau 65% stakeholder
menjawab setuju. Jadi kesimpulannya mayoritas stakeholder setuju dengan
sekolah yang akan menggunakanteknologi informasi dalam pelayanan
adiministrasi dan akademik.
Data interval tersebut juga dapat diaalisis dengan menghitung rata-
rata jawaban berdasarkan skoring setiap jawaban dari responden. Berdasarkan
skor yang telah ditetapkan dapat dihitung sebagai berikut:
Jumlah skor untuk 25 orang yang menjawab SS = 25 x 5= 125
Jumlah skor untuk 40 orang yang menjawab ST = 40 x 4 =160
Jumlah skor untuk 5 orang yang menjawab RG = 5 x 3 = 15
Jumlah skor untuk 20 orang yang menjawab TS = 20 x 2 = 80
Jumlah skor untuk 10 orang yang menjawab STS = 10 x 1 = 10
Jumlah skor yang didapat 350
Jumlah skor ideal (kriterium) untuk seluruh item = 5 x100 = 500
(seandainya semua menjawab SS). Jumlah skor yang diperoleh dari penelitian
= 350. Jadi berdasarkan data itu maka tingkat perstujuan stakeholder terhadap
penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan adminstrasi dan akademi
sekolah = (350 :500) x 100% = 70% dari yang diharapkan atau 100%.

100 200 300 350 400


500

Jadi berdasarkan data yang diperoleh dari 100 respondern maka rata-rata 350
terletak pada daerah mendekati setuju.
b. Contoh bentuk pilihan ganda
Berilah salah satu jawaban terhadap pertanyaan berikut sesuai dengan
pendapat anda, dengan cara membagi tanda lingkaran pada nomor jawaban
yang tersedia.
Kurikulum baru itu akan diterapkan dilembaga pendidikan anda?
a. Sangat tidak setuju

12
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu / NETRAL
d. Setuju
e. Sangat setuju
Dengan bentuk pilihan ganda itu, maka jawbn dapat diletakan pada
tempat yang berbeda-beda. Untuk jawaban diatas “sangat tidak setuju” diletakkan
pada jawaban nomor pertama. Untuk item selanjutnya jawaban “sangat tidak
setuju” dapat diletakkan pada jawaban nomor terakhir.
Dalam penyusunan instrumen untuk variabel tertentu, sebaiknya butir-
butir pertanyaan dibuat dalam bentuk kalimat positif,netral atau negatif, sehingga
responden dapat menjawab dengan serius dan konsisten. Contoh:
1) Saya setuju dengan ujian nasional untuk mengukur kompetensi lulusan
sekolah di Indonesia (positif).
2) Ujian Nasional telah banyak diterapkan dinegara-negara maju. (netral)
3) Saya tidak setuju dengan Ujian Nasioanl untuk mengukur kompetensi lulusan
sekolah di Indonesia (negatif).

Dengan cara demikian maka kecenderungan responden untuk menjawab pada


kolom tertentu dari bentuk checklist dapat dikurangi dengan model ini juga
responden akan selalu membaca pertanyaan setiap item instrumen dan
jawabannya. Pada bentuk checklist, sering jawaban tidak dibaca, karena letak
jawaban sudah menentu. Tetapi dengan bentuk checklist akan didapat
keuntungan dalam hal ini singkat dalam pembuatannya, hermat kertas, mudah
mentabulasikan data, dan secara visual lebih menarik. Data yang diperoleh dari
skala tersebut berupada data interval.

2. Skala Guttman
Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat jawaban yang tegas, yaitu
“ya – tidak”, “benar – salah”, “pernah-tidak pernah”, “positif – negatif”, dan lain-
lain. Data yang diperoleh dapat berupa data interval atau rasio dikhotomi (dua
alternatif) Jadi kalau pada skala Likert terdapat 3,4,5,6,7 interval, dari kata
“sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju”, maka pada dalam skala Guttman
ada dua interval yaitu “setuju” atau “tidak setuju”. Penelitian menggunakan skala
Guttman dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu
permasalahan yang ditanyakan.

13
Contoh:
1. Bagaimana pendapat anda, bila orang itu menjabat kepala sekolah disini?
a. Setuju
b. Tidak Setuju
2. Pernahkan pemilik sekolah melakukan pemeriksaan diruang kelas anda?
a. Tidak pernah
b. Pernah

Skala Guttman selain dapat dibuat dalam bentuk pilihan ganda, juga
dapat dibuat dalam bentuk chekclist. Jawaban dapat dibuat skor tertinggi 1 dan
terendah 0. Misalnya untuk jawaban setuju diberi skor 1 dan jawaban tidak setuju
diberi 0. Analisa dilakukan seperti pada skala Likert.
Pernyataan yang berkenaan dengan fakta benda bukan termasuk dalam
skala pengukuran interval dikotomi.
Contoh:
1) Apakah sekolah anda dekat jalan protokol?
a. Ya
b. Tidak
2) Apakah anda punya ijazah sarjana?
a. Punya
b. Tidak
3. Semantic Defferensial
Skala pengukuran yang berbentuk semantic defferensial
dikembangkan oleh Osgood. Skala ini juga digunakan untuk mengukur
sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun cheklist, tetapi
tersusun dalam satu garis kontinum yang jawaban “sangat partisipatif”
terletak di bagian kanan garis, atau sebaliknya. Biasanya skala ini
digunakan untuk mengukur sikap/karakteristik tertentu yang dipunyai oleh
seseorang.

14
Contoh:

MOHON DIBERI NILAI GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA


SEKOLAH

Bersahabat 5 4 3 2 1 Tidak bersahabat

Tepat janji 5 4 3 2 1 Tepat janji

Bersaudara 5 4 3 2 1 Memusuhi

Memberi pujian 5 4 3 2 1 Mencela

Responden dapat memberi jawaban, pada rentang jawaban yang


positif sampai dengan negatif. Hal ini pada persepsi responden kepada
yang dinilai. Responden yang memberi penilaian dengan angka 5, berarti
persepsi responden terhadap kepala sekolah itu sangat positif, sedangkan
bila memberi jawaban pada angka 3, berarti netral, dan bila memberi
jawaban pada angka 1, maka persepsi responden terhadap kepala sekolah
sangat negatif.

4. Rating Scale

Dari ketiga skala pengukuran seperti yang telah dikemukakan, data


yang diperoleh semuanya adalah data kualitatif yang kemudian
dikuantitatifkan. Tetapi dengan rating-scale data mentah yang diperoleh
berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
Responden menjawab, senang atau tidak senang, setuju atau tidak
setuju, pernah atau tidak pernah adalah merupakan data kualitatif. Dalam
skala model rating scale, responden tidak akan menjawab salah satu dari
jawaban kualitatif yang telah disediakan, tetapi menjawab salah satu
jawaban kuantitatif yang telah disediakan. Oleh karena itu, rating scale ini

15
lebih fleksibel, tidak terbatas untuk pengukuran sikap saja, tetapi untuk
mengukur persepsi responden terhadap fenomena lainnya, seperti skala
untuk mengukur status sosial ekonomi, kelembagaan, pengetahuan,
kemampuan, proses kegiatan dan lain-lain.
Yang penting bagi penyusun instrumen dengan rating scale adalah
harus dapat mengartikan setiap angka yang diberikan pada alternatif
jawaban pada setiap item instrumen. Orang tertentu memilih jawaban
angka 2, tetapi angka 2 oleh orang tertentu belum tentu sama maknanya
dengan orang lain yang juga memilih jawaban dengan angka 2.

Contoh:
Seberapa tinggi pengetahuan anda terhadap mata pelajaran berikut
sebelum dan sesudah mengikuti pendidikan dan latihan. Arti setiap angka
adalah sebagai berikut.
0 = bila sama sekali belum tahu
1 = telah mengetahui sampai dengan 25%
2 = telah mengetahui sampai dengan 50%
3 = telah mengetahui sampai dengan 75%
4 = telah mengetahui sampai dengan 100% (semuanya)
Mohon dijawab dengan cara melingkari nomor sebelum dan sesudah
latihan

Pengetahuan sebelum Pengetahuan setelah


Mata pelajaran
mengikuti diklat mengikuti diklat
0 1 2 3 4 Komunikasi 0 1 2 3 4
0 1 2 3 4 Tata ruang kantor 0 1 2 3 4
0 1 2 3 4 Pengambilan 0 1 2 3 4
keputusan
Sistem pembuatan
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
laporan
0 1 2 3 4 Pemasaran 0 1 2 3 4

16
0 1 2 3 4 Akuntansi 0 1 2 3 4
0 1 2 3 4 Statistik 0 1 2 3 4

D. Pengembangan Instrumen Non Tes


Untuk mengembangkan instrumen yang baik, ada langkah-langkah
yang perlu diperhatikan. Langkah-langkah mengembangkan instrumen baik tes
maupun non tes sebagai berikut (Retnawati, 2016: 3-6).
1. Menentukan tujuan penyusunan instrumen
Pada awal menyusun instrumen, perlu ditetapkan tujuan penyusunan
instrumen. Tujuan penyusunan ini memandu teori untuk mengonstruk
instrumen, bentuk instrumen, penyekoran, sekaligus pemaknaan hasil
penyekoran pada instrumen yang akan dikembangkan. Tujuan penyusunan
instrumen ini perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian.

2. Mencari teori yang relevan atau cakupan materi


Setelah tujuan penyusunan instrumen ditetapkan, selanjutnya perlu
dicari teori atau cakupan materi yang relevan. Teori yang relevan digunakan
untuk membuat konstruk, apa saja indikator suatu variabel yang akan
diukur. Kaitannya dengan tes, perlu dibatasi juga cakupan materi apa saja
yang akan menjadi bahan menyusun tes.
3. Menyusun indikator butir instrumen/soal
Indikator soal ini ditentukan berdasarkan kajian teori yang relevan pada
instrument nontes. Adapun pada instrumen tes, selain mempertimbangkan
kajian teori, perlu dipertimbangkan cakupan dan kedalaman materi.
Indikator ini telah bersifat khusus, sehingga dengan menggunakan indikator
dapat disusun menjadi butir instrumen. Biasanya aspek yang akan diukur
dengan indikatornya disusun menjadi suatu tabel. Tabel tersebut kemudian
disebut dengan kisi-kisi. Penyusunan kisi-kisi ini mempermudah peneliti
menyusun butir soal.
4. Menyusun butir instrumen
Langkah selanjutnya adalah menyusun butir-butir instrumen.
Penyusunan butir ini dilakukan dengan melihat indikator yang sudah

17
disusun pada kisi-kisi. Pada penyusunan butir ini, peneliti perlu
mempertimbangkan bentuknya. Misal untuk nontes akan menggunakan
angket, angket jenis yang mana, menggunakan berapa skala, penskorannya,
dan analisisnya. Jika peneliti akan menggunakan isntrumen berupa tes, perlu
dipikirkan apakah akan menggunakan bentuk objektif atau menggunakan
bentuk uaraian. Pada penyusunan butir ini, peneliti telah
mempertimbangkan penskoran untuk tiap butir, sehingga memudahkan
analisis.
5. Validasi isi
Setelah butir-butir soal tersusun, langkah selanjutnya adalah validasi.
Validasi ini dilakukan dengan menyampaikan kisi-kisi, butir instrumen, dan
lembar diberikan kepada ahli untuk ditelaah secara kuantitatif dan kualitatif.

6. Revisi berdasarkan masukan validator


Biasanya validator memberikan masukan. Masukan-masukan ini
kemudian digunakan peneliti untuk merevisinya. Jika perlu, peneliti
mengkonsultasikannya lagi hasil perbaikan tersebut, sehingga diperoleh
instrumen yang benar-benar valid.
7. Melakukan ujicoba kepada responden yang bersesuaian untuk memperoleh
data respons peserta
Setelah direvisi, butir-butir instrumen kemudian disusun lengkap
(dirakit) dan siap diujicobakan. Ujicoba ini dilakukan dalam rangka
memperoleh bukti empiris. Ujicoba ini dilakukan kepada responden yang
bersesuaian dengan subjek penelitian. Peneliti dapat pula menggunakan
anggota populasi yang tidak menjadi anggota sampel.
8. Melakukan analisis (reliabilitas, tingkat kesulitan, dan daya pembeda)
Setelah melakukan ujicoba, peneliti memperoleh data respons peserta
ujicoba. Dengan menggunakan respons peserta, peneliti kemudian
melakukan penskoran tiap butir. Selanjutnya hasil penskoran ini digunakan
untuk melakukan analisis reliabilitas skor perangkat tes dan juga analisis

18
karakteristik butir. Analisis karakteristik butir dapat dilakukan dengan
pendekatan teori tes klasik maupun teori respons butir.
9. Merakit instrumen
Setelah karakteristik butir diketahui, peneliti dapat merakit ulang
perangkat instrumen. Pemilihan butir-butir dalam merakit perangkat ini
mempertimbangkan karakteristik tertentu yang dikehendaki peneliti,
misalnya tingkat kesulitan butir. Setelah diberi instruksi pengerjaan, peneliti
kemudian dapat mempergunakan instrumen tersebut untuk mengumpulkan
data penelitian.

Contoh Pengembangan Instrumen Nontes (Pengembangan Self Regulated


Learning) (Retnawati, 2016: 12-15)

 Menentukan Tujuan Penyusunan Instrumen Tujuan penyusunan instrumen


ini adalah mengembangkan instrumen self regulated learning (SRL).
 Menentukan teori yang relevan
Untuk keperluan ini, peneliti dapat mencari teori yang relevan dari
buku referensi, jurnal-jurnal ataupun penelitian yang telah terdahulu.
Contohnya adalah ketika mengembangkan instrumen SRL, dicari teori-
teori yang relevan. Misalnya, menurut Zumbrunn, dkk mengungkapkan
bahwa self regulated learning mencakup 3 fase, meliputi forethought and
planningphase, performance monitoring phase, dan reflection on
performance phase (Retnawati, 2016: 13). Pada fase pemikiran, ada dua
hal yang sangat terkait yakni analisis tugas dan keyakinan dan motivasi
diri. Fase control kehendak atau kinerja meliputi pengendalian diri dan
pengamatan yang khusus. Fase Refleksi diri terdiri dari perkembangan
diri, dan reaksi diri.
Pada fase pemikiran, dapat diklasifikasikan menjadi dua hal yakni
analisis tugas (meliputi tujuan pengaturan diri, perencanaan strategis) dan
keyakinan motivasi diri (keyakinan diri dan orientasi tugas). Fase kontrol
kinerja meliputi pengendalian diri (instruksi diri, fokus perhatian, strategi
penyelesaian tugas). Refleksi diri terdiri dari pertimbangan diri (evaluasi

19
diri dan atribusi) dan juga reaksi diri (kepuasan diri dan adaptivitas).
Ketiga hal dalam Self Regulated Learning ini perlu diukur dalam konteks
akademik.
 Menyusun indikator butir instrumen Dari teori-teori yang relevan,
dikonstruk indikator-indikator untuk SRL. Untuk memperjelas tiap
indikator, peneliti dapat mengembangkan subindikator. Subindikator ini
digunakan untuk menyusun butir instrumen. Contohnya sebagai berikut.
Komponen dan Indikator SRL (dikembangkan dari Zimmerman (2000))
Komponen Indikator Sub Indikator No.
Butir
Pemikiran Analisis Tugas Pengaturan tujuan 1
Perencanaan strategis 2
Keyakinan Diri Kemampuan diri 3
Orientasi tugas 4
Kontrol Kinerja Pengendalian Instruksi diri 5
Usaha untuk fokus belajar 6
Diri
Strategi penyelesaian 7
tugas
Pengamatan Pemantauan metakognitif 8
Catatan diri 9
yang Cukup
Eksperimentasi diri 10
Refleksi Diri Pertimbangan Evaluasi diri 11
Atribusi kausal 12
diri
Reaksi diri Kepuasan diri (hadiah) 13
Kepuasan diri (hukuman) 14
Adaptif/defensif 15

 Menyusun butir-butir Instrumen


Butir-butir instrumen kemudian disusun berdasarkan subindikator
tersebut. Contohnya sebagai berikut. Bentuk yang sesuai dengan kasus ini
adalah angket dengan skala Likert, dengan 4 pilihan TP (tidak pernah), J
(jarang), S (Sering), SL (Selalu).
Butir untuk mengukur SRL dengan Likert
No Pernyataan TP J S SL
1 Saya merumuskan tujuan-tujuan kuliah/belajar
saya, sebelum kegiatan dimulai

20
2 Saya merencanakan strategi untuk mencapai
tujuan kuliah/belajar saya
3 Saya mempercayai kemampuan diri saya untuk
berhasil dalam kuliah/belajar
4 Saya menitikberatkan usaha mencapai tujuan
kuliah/belajar saya dibandingkan dengan
kegiatan lain
5 Saya membuat jadwal untuk diri sendiri terkait
dengan pencapaian tujuan belajar saya
6 Saya mengupayakan diri untuk fokus belajar
7 Saya menyusun strategi paling tepat untuk
penyelesaian tugas kuliah/belajar
8 Saya membuat peta aktivitas/kegiatan yang telah
saya lakukan
9 Saya membuat catatan apa yang telah saya
lakukan baik yang berhasil ataupun yang belum
10 Jika ada hal yanng membuat saya gagal, saya
akan berusaha lagi dengan strategi lain
11 Setelah selesai melakukan kegiatan dan melihat
hasilnya (misal akhir semester) saya melakukan
evaluasi
12 Saya mencermati penyebab keberhasilan atau
kegagalan usaha saya
13 Setelah mencapai hal sesuai target kuliah/belajar,
saya memberi hadiah untuk diri sendiri
14 Saya menghukum diri sendiri jika ada hal dari
diri sendiri yang menyebabkan saya gagal
mencapai target kuliah/belajar
15 Jika suatu strategi kuliah/belajar yang saya
gunakan berhasil, saya akan menggunakannya
lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Cecil, R Reynolds,dkk. 2010. Measurement and Assesment in Education.


New Jersey: Pearson Education, Inc.
Ekawati, Istina dan Sumaryanta. 2011. Pengembangan Instrumen Penilaian
Pembelajaran Matematika SD/SMP. Yogyakarta: PPPPTK Matematika
Mansyur , dkk. 2015. Asesmen Pembelajaran Di Sekolah. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
Moleong, 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Retnawati, Heri. 2016. Analisis Kuantitatif Instrumen Penelitian : Panduan
peneliti, mahasiswa dan psikometrian. Yogyakarta: Parama Publishing
Robert, L Ebel and David, A Frisbie. 1991. Essentials of Educational
Measurement. New Delhi: Prentice Hall
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan kuantitatif,
kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, N.S. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

22
E. Penskoran Penilaian
Penskoran penilaian afektif terbagi menjadi dua yaitu penskoran untuk hasil
pengamatan, dan penskoran untuk hasil angket. Penskoran untuk hasil
pengamatan akan bergantung pada tujuan yang ingin dicapai misalnya pada
angket dibawah ini:
Laporan Sikap Peserta Didik Selama Pembelajaran (Satu KD)
Nama Peserta Didik : Alimuddin
Mata Pelajaran : Matematika
Kompetensi Dasar : 2.1
Indikator Sikap Pertemuan Total
1 2 3 4 5 6
Kehadiran tepat waktu √ √ √ √ √ √ 6
Bertanya √ √ √ √ √ √ 6
Sopan √ √ √ √ √ √ 6
Percaya Diri √ √ √ √ √ √ 6
Kerjasama √ √ √ √ √ √ 6
Fokus √ √ √ √ √ √ 6
Total 36

Tabel diatas berlaku untuk 6 indikator sikap pada satu kompetensi dasar.
Nilai minimal untuk seorang peserta didik jika tidak pernah sama sekali
menunjukkan indikator sikap selama 6 kali pertemuan yaitu 0 dan nilai
maksimalnya 36. Jika setiap pertemuan menunjukkan keenam indikator sikap
tersebut. Kita membuat empat kriteria sikap yaitu sangat baik, baik, kurang baik,
dan tidak baik. Sebaran skor untuk keempat kriteria tersebut diperoleh dengan
membagi sama besar interval dari 0 sampai 36 dan diperoleh;
0 ≤ skor ≤ 9 : Kriteria Tidak Baik
10 ≤ skor ≤ 18 : Kriteria Kurang Baik
19 ≤ skor ≤ 27 : Kriteria Baik
28 ≤ skor ≤ 36 : Kriteria Sangat Baik

23
Jadi untuk peserta didik yang bernama Alimuddin pada tabel diatas dengan
skor total 36 memiliki sikap yang sangat baik untuk kompetensi dasar nomor 2.1.
Kalau seorang peserta didik lain memiliki total skor untuk enam indikator sikap
hasil pengamatan selama pembeljaran satu kompetensi dasar sebesar 23 maka
anak tersebut memiliki sikap yang baik. Prinsip seperti ini dapat diperluas untuk
menentukan kriteria sikap selama pembelajaran dalam satu semester.
Kemudian untuk penskoran penilaian afektif, misalnya sikap dalam bentuk
angket dapat dilakukan dengan menggunakan kondisi ideal dan menghitung rata-
rata ideal (Ri) dan Standar Deviasi (Sdi) dengan rumus:
(Ri) = ½ (Jumlah skor maks.yang dicapai instrumen – Jumlah skor min.yang
dicapai instrumen)
(Sdi) = (Jumlah skor maks. yang dicapai instrumen – Jumlah skor min.yang
dicapai instrumen)
Kemudian, menentukan kriteria kecenderungan sikap, misalnya kita tetapkan 4
kriteria yaitu sangat baik, baik, kurang baik, dan tidak baik menggunakan rumus
berikut:
Kriteria Sangat Baik : Ri + 1.5 Sdi < skor ≤ Jumlah skor
maksimum
Baik : Ri < skor ≤ Ri + 1.5 Sdi
Kurang Baik : Ri - 1.5 Sdi < skor ≤ Ri
Tidak Baik : Jumlah Skor Minimum ≤ skor ≤ R i + 1.5
Sdi
Untuk memudahkan pemahaman dalam penskoran penilian afektif perhatikan
tabel sebagai berikut:
Angket Sikap Terhadap Matematika
No Pernyataan SS S N TS STS
1 Matematika pelajaran yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari
2 Matematika pelajaran yang kurang menarik
3 Saya lebih banyak mengerjakan matematika
dibandingkan pelajaran yang lain
4 Matematika bermanfaat untuk kehidupan

24
saya yang akan datang
5 Saya merasa biasa saja jika tidak
mengerjakan tugas yang diberikan guru
matematika
6 Saya berusaha lebih giat belajar matematika
7 Saya merasa senang bila tidak dapat
menjawab pertanyaan guru tentang
matematika
8 Belajar matematika sangat membosankan
9 Jika menemukan kesulitan dalam belajar
matematika saya bertanya pada teman.
10 Saya membeli buku-buku yang berkaitan
dengan matematika
11 Saya percaya akan memperoleh nilai terbaik
dalam matematika
12 Matematika penting dipelajari oleh semua
peserta didik
13 Matematika membuat perasaan saya putus
asa
14 Konsep matematika tidak ada kaitan dengan
persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari
15 Jika ada konsep yang belum jelas maka saya
tanyakan langsung pada guru matematika
16 Pelajaran matematika sulit bagi saya
17 Matematika membantu saya berpikir secara
logika
18 Saya merasa ada peningkatan dalam belajar
matematika
19 Saya tidak mengerjakan soal-soal matematika
yang ada dibuku pelajaran
20 Saya ingin memperoleh nilai matematika
yang tinggi
21 Belajar matematika harus bertahap dan terus
menerus
22 Saya mempelajari dahulu materi yang akan
diajarkan guru matematika berikutnya
23 Konsep matematika tidak terstruktur dan

25
terarah sehingga sulit dipahami
24 Belajar matematika lebih banyak meghafal
rumus
25 Matematika kurang penting dalam kehidupan
26 Mengerjakan soal matematika butuh waktu
lama
27 Saya suka pelajaran yang banyak
menggunakan rumus matematika

Dari contoh diatas dengan jumlah butir 27, skor maksimal untuks setiap butir 5
dan skor minimum untuk setiap butir 1. Dengan demikian,jumlah skor maksimum
yang dicapai = 5 x 27 =135 dan jumlah skor minimum 1x27 = 27 sehingga
didapat hitung rata-rata ideal dan standar deviasi idealnya yaitu :
Ri = ½ (135+27) = 81
Sdi = (135-27) = 18
Kemudian kita menghitung:
Ri + Sdi = 81 + (1.5) (8) = 93
Ri - Sdi = 81 - (1.5) (8) = 69
Jadi kriteria kecenderungan sikap terhadap matematika didapat tabel sebagai
berikut:
Interval Skor Kriteria
93 < skor ≤ 135 Sangat Baik
81 < skor ≤ 93 Baik
69 < skor ≤ 81 Kurang Baik
18 < skor ≤ 69 Tidak Baik

Jadi, jika seorang peserta didik tidak memperoleh jumlah skor dari hasil
angket sikap tergadap matematika sebesar 70 maka peserta didik tersebut
cenderung memiliki sikap yang kurang baik terhadap matematika.

26

Anda mungkin juga menyukai