Anda di halaman 1dari 16

BAB II

DASAR TEORI
II.1 Penggunaan Lahan
Menurut Arsyad (1989), penggunaan lahan diartikan sebagai setiap
bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka
memenuhi kehidupannya baik materil maupun spirituil. Sayaka dan
Pasandaran (2006) mengklasifikasikan perubahan penggunaan lahan di DAS
berdasarkan faktor penyebab, pelaku perusakan, dan faktor pendukung
menjadi 3 tahap, yaitu :
Tahap 1 : Faktor penyebab : pembalakan hutan oleh para investor
(pengusaha). Faktor pendukung : longgarnya peraturan pemerintah dan faktor
tekanan luar.
Tahap 2 : Faktor penyebab : kegiatan pertanian oleh petani, peternak, dan
petani perikanan. Faktor pendukung : kemiskinan dan terbatasnya kesempatan
kerja di luar sektor pertanian.
Tahap 3 : Faktor penyebab : konversi lahan untuk pemukiman dan industri di
daerah hulu sungai oleh para pengusaha dan meningkatnya kebutuhan akan air
dan lahan oleh penduduk kota. Faktor pendukung : naiknya harga air dan
lahan.
Perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu fenomena yang
memilki keterkaitan dengan berbagai isu lingkungan. Pemanasan global,
berkurangnya biodiversitas dan dampak terhadap kehidupan manusia
merupakan isu penting yang berkaitan dengan penggunaan lahan
(singh,2003).
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan
lahan dari satu sisi penggunaan kepenggunaan yang lainnya diikuti dengan
berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu
berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun eaktu yang
berbeda (Martin, 1993 dalam wahyunto dkk., 2001) dalam
perkembangannya perubahan lahan tersebut akan terdistribusi pada tempat-
tempat tertentu yang mempunyai potensi baik. Selain distribusi perubahan
penggunaan lahan akan mempunyai pola-pola perubahan penggunaan lahan.
Menurut Bintarto (1997) dalam wahyudi (2009) pola distibusi perubahan
penggunaan lahan pada dasarnya dikelompokan menjadi:
a. Pola memanjang mengikuti jalan.
b. Pola memanjang mengikuti sungai.
c. Pola radial.
d. Pola tersebar.
e. Pola memanjang mengikuti garis pantai.
f. Pola memanjang mengikuti garis pantai dan rel kereta api.
Analisis Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan menurut
Rustiadi et al. (2002) pemahaman dinamika pembangunan lahan dan
analisis pemanfatan ruang suatu wilayah membutuhkan syarat perlu
(necessary condition) pemahaman yang lengkap tentang berbagai aspek
dinamis di wilayah tersebut seperti aspek perkembangan kebijakan penataan
ruang, aspek perubahan kondisi fisik lingkungan dan wilayah, perubahan
aktifitas perekonomian dan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu
diperlukan tolak ukur objektif dalam bentuk peubah-peubah yang akan
dikaji untuk mengevaluasi keseluruhan dari aspek tersebut.
Winoto et al. (1996) menyatakan bahwa dinamika struktur
penggunaan lahan dapat mengarah kepada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Arah perubahan penggunaan khususnya penggunaan pertanian
ke non-pertanian secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, perekonomian wilayah dan tara
ruang wilayah. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan akan
memperlihatkan kecenderungan meningkat atau menurun dalam tata ruang
dengan arah mendekati atau menjauhi pusat aktifitas manusia, sehingga
membentuk suatu pola yang dapat dipelajari dan diprediksi.
Dengan demikian mempelajari dan memprediksi dinamika struktur
penggunaan lahan dan perubahannya terkait dengan analisis spasial
karena penggunaan lahan mempunyai lokasi yang melekat pada posisi
geografi.
Analisis spasial adalah sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan
spasial dari kejadian-kejadian tersebut diatas.Kejadian geografis
(geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis
atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus
nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan
informasi, baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi geografis obyek -
obyek dimana atribut melekat di dalamnya (Rustiadi et al. 2002).
Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis,
tujuan analisis spasial adalah :
1.Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis
(termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat.
2.Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian
atau 14 obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman
proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.
3.Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian
kejadian-kejadian di dalam ruang geografis.
Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan
Sistem Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial
akhir-akhir ini semakin signifikan. Menurut Rustiadi et al. (2002), tujuan
utama sistem informasi geografis adalah pengelolaan data spasial. Sistem
informasi geografis mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data
spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi
(zoning) dan network analysis. Analisis spasial berkembang seiring
dengan perkembangan geografi kuantitatif dan ilmu wilayah
(regional science) pada awal 1960-an. Perkembangannya diawali
dengan digunakannya prosedur-prosedur dan teknik-teknik kuantitatif
(terutama statistik) untuk menganalisis pola-pola sebaran titik, garis, dan
area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga
dimensi. Pada perkembangannya, penekanan dilakukan pada indigenous
features dari ruang geografis pada proses-proses pilihan spasial (spatial
choices) dan implikasinya secara spatio-temporal.
Pemodelan perubahan penggunaan lahan secara umum Briassoulis
(2000) menggambarkan klasifikasi pemodelan untuk analisis
penggunaan lahan dan perubahannya. Model perubahan penggunaan
lahan dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu model statistik dan
ekonometrik (statistical and econometric models), model interaksi spasial
(spatial interaction model), model optimasi (optimation model) dan
model terintegrasi (integrated models).

II.2 Pemodelan Spasial


Penggunaan istilah model dapat digunakan dalam tiga pengertian
yang berbeda maknanya. Bermakna sebagai sesuatu yang mewakili jika
diartikan sebagai kata benda, bermakna sebagai hal yang ideal jika diartikan
sebagai kata sifat dan bermakna untuk memeragakan diartikan sebagai kata
kerja. Model dibuat karena adanya kompleksitas kenyataannya, suatu model
adalah gambaran penyederhanaan dari keadaan – keadaan yang sebenarnya
(Hagget, 2001). Model merupakan representasi dari realita. Tujuan dari
pembuatan model adalah untuk membantu mengerti, menggambarkan, atau
memprediksi bagaimana suatu fenomena bekerja di dunia nyata melalui
penyederhanaan bentuk fenomena tersebut.
Permodelan spasial terdiri dari sekumpulan proses yang dilakukan
pada data spasial untuk menghasilkan suatu informasi umumnya dalam bentuk
peta. Informasi tersebut dapat digunakan dalam pembuatan keputusan, kajian
ilmiah atau sebagai informasi umum (Budiono, 2005) Pemodelan spasial
adalah setiap variabel yang digunakan mempunyai interval tertentu serta
setiap variabel juga mempunyai bobot yang nilainya bervariasi, yang
penentuannya tergantung dari besarnya pengaruh dari variabel tersebut
terhadap analisis yang dilakukan. Pemodelan spasial juga dapat didefinisikan
sebagai pemodelan yang berhubungan dengan pendekatan titik dan area .
Permodelan yang digunakan adalah pemodelan spasial dinamis pada data
spasial yang selalu mengalami perkembangan dan berubah – ubah tergantung
pada variabel yang digunakan bukan variabel yang konstan. (Krugman,
1992).
Aplikasi sistem informasi geografi dalam pemodelan spasial adalah
sebuah sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan,
memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data
bereferensi geografis atau data pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya
alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya.
Model spasial sistem informasi geografi (SIG) juga dikenal dengan
istilah lainnya, yaitu : Sistem Informasi Keruangan. Sistem analisa data
keruangan dan sistem informasi sumber daya alam adalah suatu sistem
informasi yang mempunyai referensi geografi (bergeoreferensi) untuk
klasifikasi perolehan, penyimpanan, mendapat kembali dan manipulasi data.
Sistem Informasi Geografi juga mempunyai pengertian sebagai suatu sistem
berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,
menggabungkan, mengatur, mentransformasi, memanipulasi dan menganalisis
data geografis. Berdasarkan batasan tersebut terlihat bahwa Sistem Informasi
Geografi merujuk pada penggunaan komputer dalam pengolahan data berbasis
keruangan (Hermawan, 2009). Data geografis yang dimaksud berupa data
spasial (keruangan) dengan ciri – ciri sebagai berikut:
 Memiliki geometric properties seperti koordinat dan lokasi;
 Berhubungan dengan semua fenomena yang terdapat di bumi seperti
data, kejadian, gejala atau objek;
 Dipakai untuk maksud – maksud tertentu, misalnya analisis,
pemantauan atau pengelolaan; Hal yang merupakan komponen penting
dalam SIG adalah data.
Secara fundamental, sistem informasi geografis bekerja dengan dua
tipe model data geografis, yaitu model data vektor dan model data raster.
Dalam model data vektor, informasi posisi titik, garis, dan poligon disimpan
dalam bentuk koordinat x,y. Bentuk garis, seperti jalan dan sungai
dideskripsikan sebagai kumpulan dari koordinat-koordinat titik. Bentuk
poligon, seperti daerah penjualan disimpan sebagai pengulangan koordinat
yang tertutup. Data raster terdiri dari sekumpulan grid atau sel seperti peta
hasil scanning maupun gambar atau image. Masing-masing grid memiliki nilai
tertentu yang bergantung pada bagaimana image tersebut digambarkan.
(Guntara, 2008)

II.3 Regresi Logistik Biner


Regresi Logistik biner digunakan untuk memodelkan probabilitas
perubahan tutupan lahan. Secara sederhana, model ini digunakan untuk
membuat suatu formula yang menghubungkan suatu kejadian perubahan
tutupan lahan terbangun menjadi lahan terbangun dengan faktor yang
diasumsikan mendorong. Dalam penelitian ini, kejadian ekspansi lahan
terbangun terhadap non-terbangun sebagai variabel dependen, sedangkan
faktor kesesuaian lahan terhadap lahan terbangun sebagai variabel
independen. Adapun hubungan antara variabel dependen dan independen
direpresentasikan dengan rumus berikut (Susilo, 2006).
Logit (ρi) = α+β1X1+β2X2+........+βKXK…….(2)
Dimana: ρi : probabilitas terjadinya perubahan/ekspansi.
α : konstanta persamaan regresi linier.
β1 : koefisien dari variabel prediktor 1/faktor kesesuaian
lahan.
X..K : variabel prediktor/faktor kesesuaian lahan (1,2,...K)
Logit pi pada dasarnya merupakan natural logaritma (ln) dari odd
perubahan. Odd merupakan suatu indeks yang menyatakan peluang
terjadinya suatu peristiwa dan peluang tidak terjadinya peristiwa. Dalam hal
ini, peristiwa yang dimaksud adalah perubahan penutup lahan non-
terbangun menjadi lahan terbangun. Berdasarkan persamaan di atas, peluang
atau probabilitas dari peristiwa tersebut dapat diketahui dengan
mengunakan exponensial dari odd, yang secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut (Susilo, 2005)

II.4 Cellular Automata (CA)


Cellular Automata (CA) adalah model yang awalnya dipahami oleh
Ulam dan Von Neumann pada tahun 1940 untuk membuat kerangka kerja
formal untuk menyelidiki suatu perilaku kompleks (Paramitha, 2011).
Akan tetapi, dalam aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografi), CA diadaptasi
menjadi sebuah model dinamis serta digunakan untuk simulasi spasial
(geosimulation). Pendapat lain juga menyatakan bahwa pemodelan CA
dalam SIG digunakan untuk mengetahui kedinamisan suatu
objek/fenomena, dimana kedinamisan banyak diartikan sebagai suatu wujud
perubahan (Paramitha, 2011; Liu, 2009; Deliar, 2010 dalam Wijaya,
2012).
Suatu automaton (A) diwujudkan dalam kumpulan state yang terbatas
S = (S1, S2, S3, ..., Sn) dan sekumpulan transisi (T). Dengan demikian, A
secara geometrik dipengaruhi oleh kondisi S dan T. Faktor yang terakhir
adalah N (Neighborhood), dalam fenomena spasial faktor N ini akan
menstimulus Automaton dengan membentuk relasi spasial.
Adapun secara teoritis CA dapat direpresentasikan dalam bentuk
rumusan di bawah ini.
A = ( S. N.T )............................................(7)
Dimana:
A : automaton.
S : state (kelas).
T : transition rules (aturan transisi).
N : neighborhood (ketetanggaan).

II.5 Analytical Hierarchy Process (AHP)


Analytical hierarchy process (AHP) berbasis sistem informasi
geografis (SIG) mendapatkan popularitas tinggi karena kemampuannya untuk
mengintegrasikan sejumlah besar data heterogen dan kemudahan dalam
mendapatkan bobot alternatif yang sangat besar (kriteria), dan oleh karena itu,
diterapkan dalam berbagai masalah pengambilan keputusan (Chen dkk,
2009). AHP adalah metode yang pertimbangan faktor-faktor obyektif dan
subyektif dalam alternatif peringkat, serta dapat membantu dalam proses
pengambilan keputusan atau alternatif solusi dari masalah melalui model
keputusan hirarkis (Eldrandaly, 2013).
Metode pembobotan multi-atribut untuk pengambilan keputusan pada
model ini menggunakan perbandingan berpasangan untuk membentuk matriks
timbal balik yang mengubah data rasio kualitatif digunakan untuk mengakses
bobot akhir dari kriteria, sedangkan untuk mengukur tingkat konsistensi
pengambilan keputusan diperkirakan melalui indeks konsistensi (Vahidnia
dkk., 2009).

Gambar 2.1 Tampilan Analytic Hierarchy Process


Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu
alternatif yang terbaik. Seperti melakukan penstrukturan persoalan, penentuan
alternatif-alternatif, penenetapan nilai kemungkinan untuk variabel aleatori,
penetap nilai, persyaratan preferensi terhadap waktu, dan spesifikasi atas
resiko. Betapapun melebarnya alternatif yang dapat ditetapkan maupun
terperincinya penjajagan nilai kemungkinan, keterbatasan yang tetap
melingkupi adalah dasar pembandingan berbentuk suatu kriteria yang tunggal.
Peralatan utama Analitycal Hierarchy Process (AHP) adalah memiliki
sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Dengan
hirarki, suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam
kelomok-kelompoknya dan diatur menjadi suatu bentuk hirarki.
Kelebihan Analitycal Hierarchy Process (AHP)
Kelebihan AHP dibandingkan dengan lainnya adalah :
a) Struktur yang berhirarki, sebagai konsekwensi dari kriteria yang
dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam.
b) Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi
inkosistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para
pengambil keputusan.
c) Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis
sensitivitas pengambilan keputusan.
Selain itu, AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah yang multi obyektif dan multi-kriteria yang berdasarkan pada
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi, model
ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang
komprehensif.
Kekurangan Analitycal Hierarchy Process (AHP)
a) Metode AHP memiliki ketergantungan pada input utamanya. Input
utama yang dimaksud adalah berupa persepsi atau penafsiran
seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang
ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut
memberikan penilaian yang salah.
b) Metode AHP ini hanya metode matematis. Tanpa ada pengujian
secara statistik berdasarkan data historis permasalahan yang telah
terjadi sebelumnya, sehingga tidak ada batas kepercayaan dan
informasi pendukung yang kuat dari kebenaran model yang
terbentuk.
Prinsip Analitycal Hierarchy Process (AHP)
a) Decomposition yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi
unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat,
pemecahan juga dilakukakan terhadap unsur-unsur sampai tidak
mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan
beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Karena alasan ini, maka
proses analisis ini dinamakan hierarki (hierarchy). Ada dua jenis
hierarki, yaitu lengkap dan tak lengkap. Dalam hierarki lengkap,
semua elemen pada suatu tingkat memiliki semua elemen yang ada
pada tingkat berikutnya (lihat gambar 3.1 dan 3.2). Jika tidak
demikian, dinamakan hierarki tak lengkap. Bentuk struktur
dekomposisi yakni :
Tingkat Pertama : Tujuan keputusan (Goal)
Tingkat Kedua : Kriteria-kriteria.
Tingkat Ketiga : Alternatif-alternatif.
b) Comparative judgment yaitu penilaian kriteria dan alternatif.
Kriteria dan alternatif sering ditunjukkan dengan matrik
berpasangan. Menurut Saaty (1988) digunakan skala perbandingan
sebagai ukuran seperti pada skala di bawah ini yang menyatakan
intensitas kepentingan. Prinsip ini berarti membuat penilaian
tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu
yang dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini
merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap
prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan tampak lebih
mudah bila disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan
matriks pairwise comparison yaitu matriks perbandingan
berpasangan memuat preferensi beberapa alternatif untuk tiap
kriteria.
c) Sintesis Prioritas (Syinthesis of Priority)
Syinthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vector
method untuk mendapatkan bobot relatif bagi unsur-unsur
pengambilan keputusan.
d) Konsistensi Logis (Logical Consistency)
Logical Consistency berarti dua hal. Pertama, pemikiran/objek
yang serupa dikelompokkan menurut homogenitas dan
relevansinya. Misalnya, anggur dan kelereng dapat dikelompokkan
dalam satu set homogen jika kriterianya adalah bulat, tetapi tidak
dapat jika kriterianya adalah rasa. Kedua, tingkat hubungan antara
gagasan/objek yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu.
Misalnya, jika manis merupakan kriteria dan madu dinilai 5 kali
lebih lebih manis dibanding gula, dan gula 2 kali lebih manis
dibanding sirop, maka seharusnya madu dinilai manis 10 kali lebih
manis dibanding sirop. Jika madu hanya dinilai 4 kali manisnya
dibanding sirop, maka penilaian tak konsisten dan proses harus
diulang jika ingin memperoleh penilaian yang lebih tepat.
Langkah-langkah Analitycal Hierarchy Process (AHP)
Langkah – langkah  dan proses Analisis Hierarki Proses (AHP)
adalah sebagai berikut :
Gambar 2.2 Tampilan Langkah-langkah Analisis Proses Hierarki
a) Mendefinisikan permasalahan dan penentuan tujuan. Jika AHP
digunakan untuk memilih alternatif atau menyusun prioriras
alternatif, pada tahap ini dilakukan pengembangan alternatif.

b) Menyusun masalah ke dalam hierarki sehingga permasalahan yang


kompleks dapat ditinjau dari sisi yang detail dan terukur.
c) Penyusunan prioritas untuk tiap elemen masalah pada hierarki.
Proses ini menghasilkan bobot atau kontribusi elemen terhadap
pencapaian tujuan sehingga elemen dengan bobot tertinggi
memiliki prioritas penanganan. Prioritas dihasilkan dari suatu
matriks perbandinagan berpasangan antara seluruh elemen pada
tingkat hierarki yang sama.
d) Melakukan pengujian konsitensi terhadap perbandingan antar
elemen yang didapatan pada tiap tingkat hierarki.
Penyusunan Prioritas
Penyusunan prioritas adalah dengan membuat perbandingan
berpasangan terhadap suatu kriteria yang ditentukan. Perbandingan
tersebut ditransformasikan dalam bentuk matriks yang dikenal dengan
matriks perbandingan (pairwise comparison). Contoh, terdapat n objek
yang dinotasikan dengan (A1, A2, …, An) yang akan dinilai
berdasarkan pada tingkat kepentingannya antara lain Ai dan Aj.
Tabel 2.1 Matriks Perbandingan Berpasangan

C A1 A2 An
A1 a11 a12 a1n

A2 a21 a22 a2n

An am1 am2 amn


Nilai a11 adalah nilai perbandingan elemen A1 (baris) terhadap
A1 (kolom) yang menyatakan hubungan :
a) Seberapa jauh tingkat kepentingan A1 (baris) terhadap kriteria
dibandingkan dengan A1 (kolom) atau,
b) Seberapa jauh dominasi A1 (baris) terhadap A1 (kolom) atau,
c) Seberapa banyak sifat kriteria C terdapat pada A1 (baris)
dibandingkan dengan A1 (kolom).
Bentuk matriks ini simetri atau persegi, dimana diagonal utama
dari matriks tersebut adalah satu karena yang diperbandingkan adalah
dua elemen yang sama. Sedangkan elemen yang diluar diagonal utama
berupa matriks reciprocal.
DAFTAR PUSTAKA

Herman, Alhamdi Yosef. 2011. Model Spasial Kualitas Penerimaan Layanan Sinyal
Telekomunikasi Di Kota Bukittinggi.
Kurniawan, Tatang. 2012. Pemodelan Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Dalam
Kaitannya Dengan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Sukabumi. Institut Pertanian Bogor Bogor.

Bab III : Teori Hierarki Analitik. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai