Anda di halaman 1dari 49

TUGAS CBR

(CRITICAL BOOK REPORT)


Untuk memenuhi mata kuliah:

“Fisiologi Olahraga”
Dosen Pengampu:

Dr. Sanusi Hasibuan, M.Kes.

DISUSUN OLEH :

NAMA : CRISTOVEL PURBA

NIM : 6193111002

KELAS : PJKR II B 2019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
I. KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah CBR mata kuliah Fisiologi Olaharaga ini.

Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Fisiologi Olahraga Prodi
Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi (PJKR) Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK)
Universitas Negeri Medan (UNIMED).

Dalam penyusunan makalah CBR ini Penulis menyadari masih banyak kekurangan,
untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi
kesempurnaan tugas CBR ini. Atas perhatian pembaca sekalian kami ucapkan Terimakasih.

Medan, 29 Maret 2020

PENULIS
II. Ringkasan Bab

A. Buku wajib
Dalam ringkasan bab buku wajib ini dapat di ketahui didalam buku ini yang berjudul “Bahan
Bakar Untuk Latihan: Bioenergetik dan Metabolisme Otot”, setelah saya selesai membaca dan
menyimak Bab yang saya pilih di buku ini, di dalam buku ini terdapat pembahsan tentang
metabolisme otot serta bioenergetik. Dalam buku ini terdapat pula sistem energi yang di butuhan
oleh otot, seperti protein, lemak, karbohidrat, Dll. Apabila semua system energy terpenuhi maka
kekuatan otot akan stabil. Keseimbangan energi di perlukan dalam tubuh manusia. Energi yang
ada di dalamtubuh kita di katakan seimbang apabila energi yang masuk melalui makanan yang
dimakan sama besar dengan energi yang dikeluarkan oleh tubuh untuk kelangsunganhidup.
Keadaan energi yang seimbang didalam tubuh ini akan menghasilkan berat badanideal/ normal.

B. Buku Pembanding

Ringkasan Bab pada buku pembanding ini, terdapat pembahasan tentang system energy pada
tubuh serta terdapat pembahasan tentang pembentukan system energy setelah di pakai kemudian
di bentuk kembali. Di bab ini juga membahas tentang mengukur massa otot serta mengukur
masaa otot setelah melakukan kegiatan olaharaga. Kecepatan metabolisme dipengaruhi oleh
banyak faktor yaitu Ukuran tubuh danBerat Tubuh, umur suhu lingkungan yang tinggi atau
rendah, jenis kelamin, iklim, tidur , pengerahan otot selama atau sebelum pengukuran, hormon.

III. Keunggulan Buku


A. Buku Wajib
1. Mudah di mengerti setelah diubah bahasanya ke dalam bahasa Indonesia
2. Menggunakan huruf capital yang jelas
3. Susunan tiap paragraf jelas
4. Mempunyai gambar

B. Buku Pembanding
1. Pembahasan di dalam buku ini dapat di mengerti
2. Tulisan yang baku di dalam tiap kalimat
3. Mempunyai gambar yang mudah di mengerti
IV. Kelemahan Buku
A. Buku Wajib
1. Masih terdapat tanda baca tidak pas di tempatnya
2. Banyak terdapat kata latin

B. Buku Pembanding
1. Memiliki gambar tapi tidak berwarna
2. Terdapat tanda baca tak sesuai pada tempatnya
3. Banyak terdapat kata latin

V. Implikasi
Implikasi yang bisa didapatkan dari kedua bab di buku yang berbeda ini, ialah kita sebagai
tenaga pendidik nantinya kita dapa memberikan informasi seputaran tentang fisiologi olahraga.
Sebuah pengetahuan agar murid nanti paham dalam melakukan kegiatan olahraga nanti tidak
dengan asal berolahraga saja, tetapi mengetahui system organ di dalam tubuhnya agar
menghindari cidera yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
 Buku Wajib
1. Brooks, G.A., Fahey, T.D., & Baldwin, K.M. (2005).
Exercise physiology: Human bioenergetics and its applications
(4th ed.). New York: McGraw-Hill.
2. Close, R. (1967). Properties of motor units in fast and
slow skeletal muscles of the rat. Journal of Physiology
(London), 193, 45-55.
3. Costill, D.L., Daniels, J., Evans, W., Fink, W., Krahenbuhl, G., & Saltin, B. (1976). Skeletal
muscle enzymes
and fiber composition in male and female track athletes. Journal of Applied Physiology, 40, 149-
154.
4. Costill, D.L., Fink, W.J., Flynn, M., & Kirwan, J. (1987).
Muscle fiber composition and enzyme activities in elite
female distance runners. International Journal of Sports
Medicine, 8, 103-106.
5. Costill, D.L., Fink, W.J., & Pollock, M.L. (1976). Muscle
fiber composition and enzyme activities of elite distance
runners. Medicine and Science in Sports, 8, 96-100.
6. MacIntosh, B.R., Gardiner, P.F., & McComas, A.J.
(2006). Skeletal muscle form and function (2nd ed.).
Champaign, IL: Human Kinetics.

 Buku Pembanding
Åstrand, P.O. and Rodahl, K. (1970) Textbook of Work Physiology. McGraw-Hill,
London, pp. 284.
Bang, O. (1936) The lactate content of the blood during and after muscular exercise in
man. Scandinavian Archives of Physiology, 74, 51–82.
Barany, M. (1967) ATPase activity of myosin correlated with speed of muscle
shortening. Journal of General Physiology, 50, 197–218.
Barnard, R.J., Edgerton, V.R., Furkawa, T. and Peters, J.B. (1971) Histochemical,
biochemical, and contractile properties of red, white and intermediate fibres. American
Journal of Physiology, 220, 410–414.
Bergstrom, J., Hultman, E., Jorfeldt, L., Pernow, B. and Wahren, J. (1969) Effect of
nicotinic acid on physical working capacity and on metabolism of muscle glycogen in
man. Journal of Applied Physiology, 26, 170–176.
Bonen, A., Malcolm, S.A., Kilgour, R.D., Maclntyre, K.P. and Belcastro, A.N. (1981)
Glucose ingestion before and during intense exercise. Journal of Applied Physiology,
50, 766–771.
Boobis, L.H. (1987) Metabolic aspects of fatigue during sprinting, in Exercise: Benefits,
Limitations and Adaptations (eds D.Macleod, R.J.Maughan, M. Nimmo, T.Reilly and
C.Williams) E. & F.N. Spon, London, pp. 116–140.
Boobis, L.H., Williams, C. and Wootton, S.A. (1982) Human muscle metabolism during
brief maximal exercise. Journal of Physiology, 338, 21–22P.
Brewer, J., Williams, C. and Fatten, A. (1988) The influence of high carbohydrate diets
on endurance running performance. European Journal of Applied Physiology, 57, 698–
706.
Brooke, M.H. and Kaiser, K.K. (1970) Three ‘myosin adenosine triphosphatase’ systems:
the nature of their pH lability and sulphydryl dependence. Journal of Histochemistry
and Cytochemistry, 18, 670–672.
Brooks, G.A. (1985) Anaerobic threshold: review of the concept and directions for future
research. Medicine and Science in Sports and Exercise, 17, 22–31.
Brooks, G.A. (1986) The ‘lactate shuttle’ during exercise: evidence and possible controls,
in Sports Science (eds J.Watkins, T.Reilly and L.Burwitz). Proc. VIII Commonwealth
and International Conference on Sport, Physical Education, Dance, Recreation and
Health. E. & F.N. Spon Ltd, London, pp. 69–82.
Brownell, K.D., Steen, S.N. and Wilmore, J.H. (1987) Weight regulation practices in
Metabolic aspects of exercise 27
athletes: analysis of metabolic and health effects. Medicine and Science in Sports and
Exercise, 19, 546–556.
Buchfuhrer, M.J., Hansen, J.E., Robinson, T.E., Sue, D.Y., Wasserman, K. and Whipp,
B.J. (1983) Optimising the exercise protocol for cardiopulmonary assessment. Journal
of Applied Physiology, 55, 1558–1564.
Bunc, V., Heller, J., Leso, J., Sprynarova, S. and Zdaanowicz, R. (1987) Ventilatory
threshold in various groups of highly trained athletes. International Journal of Sports
Medicine, 8, 275–280.
Burke, R.E., Levine, D.N., Zajak, F.E., Tsairis, P. and Engel, W.K. (1971) Mammalian
motor units: physiological-histochemical correlation in three types in cat
gastrocnemius. Science NY, 174, 709–712.
Caizzo V.J., Davis, J.A., Ellis, J.F., Azus, J.L., Vandagriff, R., Prietto, C.A. and
McMaster, W. (1982) Comparison of gas exchange indices used to detect anaerobic
threshold. Journal of Applied Physiology, 53, 1184–1189.
Callow, M., Morton, A. and Guppy, M. (1986) Marathon fatigue: the role of plasma fatty
acids, muscle glycogen and blood glucose. European Journal of Applied Physiology,
55, 654–661.
Chance, B. and Quistorff, B. (1978) Study of tissue oxygen gradients by single and
multiple indicators. Advances in Experimental Medicine and Biology, 94, 331–338.
Cheetham, M.E., Boobis, L.H., Brooks, S. and Williams, C. (1986) Human muscle
metabolism during sprinting. Journal of Applied Physiology, 61, 54–60.
Cheetham, M.E., Boobis, L.H., Brooks, S. and Williams, C. (1989) Influence of sprint
training on muscle metabolism in man. Journal of Applied Physiology (in press).
Conconi, F., Ferrari, M., Ziglio, P.G., Droghetti, P. and Codeca, L. (1982) Determination
of the anaerobic threshold by a noninvasive field test in runners. Journal of Applied
Physiology, 52, 869–873.
Connett, R.J., Gaueski, T.E.J. and Honig, C.R. (1984) Lactate accumulation in fully
aerobic, working dog gracilis muscle. American Journal of Physiology, 246, H120–
H128.
Consolazio, C.F. and Johnson, R.E. (1963) The Physiological Measurements of
Metabolic Functions in Man. McGraw-Hill, London, pp. 439.
Costill, D.L. (1988) Carbohydrates for exercise: dietary demands for optimal
performance. International Journal of Sports Medicine, 9, 1–18.
Costill, D.L., Coyle, E.D., Dalsky, G., Evans, W., Fink, W. and Hoopes, D. (1977)
Effects of elevated plasma FFA and insulin on muscle glycogen usage during exercise.
Journal of Applied Physiology, 43, 695–699.
Costill, D.L., Daniels, J., Evans, W., Fink, W., Krahenbuhl, G. and Saltin, B. (1976a)
Skeletal muscle enzymes and fiber composition in male and female track athletes.
Journal of Applied Physiology, 40, 149–154.
Costill, D.L., Fink, W.J. and Pollock, M.L. (1976b) Muscle fiber composition and
enzyme activities of elite distance runners. Medicine and Science in Sports, 8, 96–100.
Costill, D.L., Gollnick, P.D., Jansson, E.D., Saltin, B. and Stein, E.M. (1973) Glycogen
depletion pattern in human muscle fibres during distance running. Acta Physiologica
Scandinavica, 89, 374–383.
Coyle, E.D., Coggan, A.R., Hemmert, M.E. and Ivy, J.J. (1986) Muscle glycogen
utilization during prolonged strenuous exercise when fed carbohydrate. Journal of
Applied Physiology, 61, 165–172.
Daniels, J., Yarborough, R.A. and Foster, C. (1978) Changes in VO2max and running
performance with training. European Journal of Applied Physiology, 39, 249–254.
Physiology of sports 28
Davis, J.A. (1985) Anaerobic threshold: review of the concept and directions for future
research. Medicine and Science in Sports and Exercise, 17, 6–18.
Donovan, C.M. and Brooks, G.A. (1983) Endurance training affects lactate clearance, not
lactate production. American Journal of Physiology, 244, E83–E92.
Dubowitz, V. and Brooke, M.H. (1973) Muscle Biopsy: A Modern Approach. Saunders,
London.
Durnin, J.V.G.A. and Passmore, R. (1967) Energy, Work and Leisure, Heinemann,
London.
Edgerton, V.R., Essen, B., Saltin, B. and Simpson, D.R. (1975) Glycogen depletion in
specific types of human skeletal muscle fibres in intermittent and continuous exercise,
in Metabolic Adaptation to Prolonged Physical Exercise (eds H.Howald and
J.R.Poortmans) Birkhauser Verlag, Basel, Switzerland, p. 402–415.
Edholm, O.G., Adam, J.M., Healy, M.J.R., Wolff, H.S., Goldsmith, R. and Best, T.W.
(1970) Food intake and energy expenditure of army recruits. British Journal of
Nutrition, 24, 1091–1107.
Essen, B. (1978a) Glycogen depletion of different fibre types in human skeletal muscle
during intermittent and continuous exercise. Acta Physiologica Scandinavica, 113,
446–455.
Essen, B. (1978b) Studies on the regulation of metabolism in human skeletal muscle
using intermittent exercise as an experimental model. Acta Physiologica Scandinavica,
Suppl., 454, 1–32.
Essen, B., Jansson, E., Henriksson, J., Taylor, A.W. and Saltin, B. (1975) Metabolic
characteristics of fibre types in human skeletal muscle. Acta Physiologica
Scandinavica, 95, 153–165.
Farrell, P.A., Wilmore, J.H., Coyle, E.F., Billing, J.E. and Costill, D.L. (1979) Plasma
lactate accumulation and distance running performance. Medicine and Science in
Sports, 11, 338–344.
Farrell, S.W. and Ivy, J.L. (1987) Lactate acidosis and the increase in E/ o2 during
incremental exercise. Journal of Applied Physiology, 62, 1551–1555.
Fell, R.D., Terblanche, S.E., Ivy, J.L., Young, J.C. and Holloszy, J.O. (1982) Effect of
muscle glycogen content on glucose uptake following exercise. Journal of Applied
Physiology, 52, 434–437.
Foster, C, Costill, D.L. and Fink, W.J. (1979) Effect of pre-exercise feeding on endurance
performance. Medicine and Science in Sports, 11, 1–5.
Fric, J., Jr, Fric, J., Boldt, H., Stoboy, H., Meller, W., Feldt, F. and Drygas, W. (1988)
Reproducibility of post-exercise lactate and anaerobic threshold. International Journal
of Sports Medicine, 9, 310–312.
Gao, J., Costill, D.L., Horswill, C.A. and Park, S.H. (1988) Sodium bicarbonate ingestion
improves performance in interval swimming. European Journal of Applied Physiology,
58, 171–174.
Goldfinch, J., McNaughton, L. and Da vies, P. (1988) Induced metabolic alkalosis and its
effects on 400 m racing time. European Journal of Applied Physiology, 57, 45–48.
Gollnick, P.D. (1977) Free fatty acid turnover and the availability of substrates as a
limiting factor in prolonged exercise. Annals of the New York Academy of Science,
301, 64–71.
Gollnick, P.D. (1986) Metabolic regulation in skeletal muscle: influence of endurance
training as exerted by mitochondrial protein concentration. Acta Physiologica
Scandinavica, Suppl.,556, 53–66.
Gollnick, P.D., Armstrong, R.B., Saltin, B., Saubert IV, C.W., Sembrowich, W.L. and
Metabolic aspects of exercise 29
Shepherd, R.E. (1973) Effect of training on enzyme activity and fiber composition of
human skeletal muscle. Journal of Applied Physiology, 34, 107–111.
Gollnick, P.D., Armstrong, R.B., Saubert IV, C.W., Piehl, K. and Saltin, B. (1972)
Enzyme activity and fiber composition in skeletal muscle of untrained and trained men.
Journal of Applied Physiology, 33, 312–319.
Gollnick, P.D. and Hermansen, L. (1973) Biochemical adaptations to exercise: anaerobic
metabolism. Exercise and Sport Sciences Review, 1, 1–43.
Gollnick, P.D., Karlsson, J., Piehl, K. and Saltin, B. (1974) Selective glycogen depletion
in skeletal muscle fibers of man following sustained contractions. Journal of
Physiology, 214, 59–67.
Gollnick, P.D. and Saltin, B. (1982) Significance of skeletal muscle oxidative enzyme
enhancement with endurance training. Clinical Physiology, 2, 1–12.
Hagberg, J.M., Coyle, E.M., Carroll, J.E., Miller, J.M., Martin, W.H. and Brooke, M.H.
(1982) Exercise hyperventilation in patients with McArdle’s disease. Journal of
Applied Physiology, 52, 991–994.
Hagberg, J.M., Hickson, R.C., Ehsani, A.A. and Holloszy, J.O. (1980) Faster adjustment
to and recovery from a submaximal exercise in the trained state. Journal of Applied
Physiology, 48, 218–224.
Hagberg, J.M., Nagle, F.J. and Carlson, J.L. (1978) Transient O2 uptake response at the
onset of exercise. Journal of Applied Physiology, 44, 90–92.
Hardman, A.E., Williams, C. and Boobis, L.H. (1987) Influence of single-leg training on
muscle metabolism and endurance during exercise with trained limb and untrained
limb. Journal of Sports Sciences, 5, 105–116.
Hermansen, L. (1969) Anaerobic energy release. Medicine and Science in Sports, 1, 32–
38.
Hickson, R.C., Bomze, H.A. and Holloszy, J.O. (1978) Faster adjustment of O2 uptake to
energy requirement of exercise in the trained state, Journal of Applied Physiology, 44,
877–881.
Hirche, H., Hombach, V., Langhor, H.D., Wacker, U. and Busse, J. (1975) Lactic acid
permeation rate in working gastrocnemii of dogs during metabolic alkalosis and
acidosis. Pflugers Archiv, 356, 209–222.
Hollman, W., Rost, R., Liesen, H., Dufaux, B., Heck, H. and Mader, A. (1981)
Assessment of different forms of physical activity with respect to preventive and
rehabilitive cardiology. International Journal of Sports Medicine, 2, 67–80.
Holloszy, J.O. and Narahara, H.T. (1965) Studies of tissue permeability. X. Changes in
permeability to 3-methylglucose associated with contraction of isolated frog muscle.
Journal of Biological Chemistry, 240, 3493–3500.
Hughes, E.F., Turner, S.C. and Brooks, G.A. (1982) Effects of glycogen depletion and
pedalling speed on ‘anaerobic threshold’. Journal of Applied Physiology, 52, 1598–
1607.
Hughson, R.L. and Green, H.J. (1982) Blood acid-base relationships studied by ramp
work tests. Medicine and Science in Sport and Exercise, 14, 297–302,
Hultman, E. (1967) Studies on muscle metabolism of glycogen and active phosphate in
man with special reference to exercise and diet. Scandinavian Journal of Clinical and
Laboratory Investigation, 19, Suppl. 94.
Hultman, E., Spriet, L.L. and Sodelund (1987) Energy metabolism and fatigue in working
muscle, in Exercise: Benefits, Limitations and Adaptations (eds D.Macleod,
R.J.Maughan, M.Nimmo, T.Reilly and C.Williams) E & F Spon, London, pp. 63–80.
Physiology of sports 30
Hurley, B.F., Hagberg, J.M., Allen W.K., Seals, D.R., Young, J.C., Cuddihee, R.W. and
Holloszy, J.O. (1984) Effect of training on blood lactate levels during submaximal
exercise. Journal of Applied Physiology, 56, 1260–1264.
Ianuzzo, C.D., Patel, P., Chen, V., O’Brien, P. and Williams, C. (1977) Thyroidal trophic
influence on skeletal muscle myosin. Nature, 270, 74–76.
Ingjer, F. (1979) Effects of endurance training on muscle fibre ATP-ase activity, capillary
supply and mitochondrial content in man. Journal of Physiology, 294, 419–432.
Ivy, J.L., Costill, D.L., Fink, W.J. and Lower, R.W. (1979) Influence of caffeine and
carbohydrate feedings on endurance performance. Medicine and Science in Sports, 11,
6–11.
Ivy, J.L., Katz, A.L., Cutler, C.L., Sherman, W.M. and Coyle, E.F. (1988) Muscle
glycogen synthesis after exercise: effect of time of carbohydrate ingestion. Journal of
Applied Physiology, 64, 1480–1485.
Ivy, J.L., Withers, R.T., Van Handel, P.J., Elger, D.H. and Costill, D.L. (1980) Muscle
respiratory capacity and fibre types as determinants of the lactate threshold. Journal of
Applied Physiology, 48, 525–527.
Jacobs, I. (1986) Blood lactate: implications for training and research. Sports Medicine,
3, 10–25.
James, W.P.T., Haggarty, P. and McGaw, B.A. (1988) Recent progress in studies on
energy expenditure: are the new methods providing answers to the old questions?
Proceedings of the Nutrition Society, 47, 195–208.
Jansson, E., Hjemdahl, P. and Kaijser, L. (1986) Epinephrine induced changes in muscle
carbohydrate metabolism during exercise in male subjects. Journal of Applied
Physiology, 60, 1466–1470.
Jansson, E. and Kaijser, L. (1987) Substrate utilization and enzymes in skeletal muscle of
extremely endurance trained men. Journal of Applied Physiology, 62, 999–1005.
Jones, N.L. and Ehrsham, R.E. (1982) The anaerobic threshold. Exercise and Sports
Science Reviews, 10, 49–83.
Jones, N.L., Button, J.R., Taylor, R. and Toews, C.J. (1977) Effects of pH on
cardiospiratory and metabolic responses to exercise. Journal of Applied Physiology,
43, 959–964.
Karlsson, J., Nordesjo, L-O. and Saltin, B. (1974) Muscle glycogen utilisation during
exercise after physical training. Acta Physiologica Scandinavica, 90, 210–217.
Katz, A. and Sahlin, K. (1988) Regulation of lactic acid production during exercise.
Journal of Applied Physiology, 65, 509–518.
Keul, J., Doll, E. and Keppler, D. (1967) The substrate supply of the human skeletal
muscle at rest, during and after work. Experientia, 23, 974–976.
Kindermann, W., Simon, G. and Keul, J. (1979) The significance of the aerobicanaerobic
transition for the dermination of work load intensities during endurance training.
European Journal of Applied Physiology, 42, 25–34.
Kugelberg, E. and Edstrom, L. (1968) Differential histochemical effects of muscle
contractions on phosphorylase and glycogen in various types of fibres: relation to
fatigue. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry, 31, 415–423.
Kumagai, S., Tanaka, K., Matsuura, Y., Matsuzaka, A., Hirakoba, K. and Asano, K.
(1982) Relationship of the anaerobic threshold with 5 km, 10 km, and 10 mile races.
European Journal of Applied Physiology, 49, 13–23.
Lafontaine, T.P., Londeree, B.R. and Spath, W.K. (1981) The maximum steady state
versus selected running events. Medicine and Science in Sports and Exercise, 13, 190–
193.
Metabolic aspects of exercise 31
Lake, M., Nute, M.L.G., Kerwin, D.G. and Williams, C. (1986) Oxygen uptake during
the onset of exercise in male and female runners, in Sports Science (eds J.Watkins,
T.Reilly and L.Burwitz). Proc. VIII Commonwealth and Inter. Conf. Sport, Physical
Education, Dance, Recreation and Health. Spon Ltd, London, pp. 92–97.
Lakomy, H.K.A. (1984) An ergometer for measuring the power generated during
sprinting. Journal of Physiology, 354, 33P.
Lakomy, H.K.A. (1986) Measurement of work and power using friction loaded cycle
ergometers. Ergonomics, 29, 509–514.
Lemon, P.W.R. and Mullen, J.P. (1980) Effect of initial glycogen levels on protein
catabolism during exercise. Journal of Applied Physiology, 48, 624–629.
MacDougall, J.D., Ward, G.R., Sale, D.G. and Sutton, J.R. (1977) Muscle glycogen
repletion after high intensity intermittent exercise. Journal of Applied Physiology, 42,
129–132.
Mainwood, R. and Renaud, D. (1985) The effect of acid-base balance on fatigue in
skeletal muscle. Canadian Journal of Physiology and Pharmacology, 63, 403–416.
Margaria, R., Cerretelli, P., Aghemo, P. and Sassi, G. (1963) Energy cost of running.
Journal of Applied Physiology, 18, 367–370.
Margaria, R., Olivia, R.D., DiPrampero, P.E. and Cerretelli, P. (1969) Energy utilization
in intermittent exercise of supermaximal intensity. Journal of Applied Physiology, 26,
752–756.
Marr, J.W. (1971) Individual dietary surveys: purpose and methods. World Review of
Nutrition and Dietetics, 13, 105–164.
Maughan, R.J. and Williams, C. (1981) Differential effects of fasting on skeletal muscle
glycogen content in man and on skeletal muscle in the rat. Proceedings of the Nutrition
Society, 40, 45A.
Maughan, R.J., Williams, C., Campbell, D.M. and Hepburn, D. (1978) Fat and
carbohydrate metabolism during low intensity exercise. European Journal of Applied
Physiology, 39, 7–16.
McGilvery, R.W. (1975) The use of fuels for muscular work , in Metabolic Adaptation to
Prolonged Physical Exercise (eds H.Howald and J.R.Poortmans), Birkhauser Verlag,
Basel, pp. 12–30.
McLellan, T.M. (1987) The anaerobic thresholds: concept and controversy. Australian
Journal of Science and Medicine in Sport, 19, 3–8.
Medbo, J.I., Mohn, A., Tabata, I., Bahr, R.M., Vaage, O. and Sejersted, O. (1988)
Anaerobic capacity defined by maximum 02 deficit. Journal of Applied Physiology, 64,
50–60.
Newsholme, E.A. (1976) Carbohydrate metabolism in υiυo: regulation of blood glucose
level. Clinics Endocrinology and Metabolism, 5, 543–578.
Nicholls, D.G. and Locke, R.M. (1984) Thermic mechanisms in brown fat. Physiological
Reviews, 64, 1–64.
Nilsson, L.H. and Hultman, E. (1973) Liver glycogen in man—the effect of total
starvation or a carbohydrate-poor diet followed by carbohydrate refeeding.
Scandinavian Journal of Clinical and Laboratory Investigation, 32, 325–330.
Orr, G.W., Green, H.J., Hughson, R.L. and Bennett, G.W. (1982) Computer linear
regression model to determine ventilatory anaerobic threshold. Journal of Applied
Physiology, 52, 1349–1352.
Owles, W.H. (1930) Alterations in the lactic acid content of the blood as a result of light
exercise and associated changes in the CO2-combining power of the blood and the
Physiology of sports 32
alveolar CO2 pressure. Journal of Physiology, 69, 214–237.
Padykula, H.A. and Herman, E. (1955) The specificity of the histochemical method of
adenosine triphosphatase. Journal of Histochemistry and Cytochemistry, 3, 170–195.
Parkhouse, W.S. and MacKenzie, D.C. (1984) Possible contribution of skeletal muscle
buffers to enhanced anaerobic performance: a brief review. Medicine and Science in
Sports and Exercise, 16, 328–338.
Pernow, B. and Saltin, B. (1971) Availability of substrates and capacity for prolonged
heavy exercise in man. Journal of Applied Physiology, 31, 416–422.
Peter, J.B., Barnard, R.J., Edgerton, V.R., Gillespie, C.A. and Stempel, K.E. (1972)
Metabolic profiles of three fibres of skeletal muscle in guinea pigs and rabbits.
Biochemistry, 11, 2627–2633.
Petite, D. (1986) Regulation of phenotype expression in skeletal muscle fibres by
increased contractile activity, in Biochemistry of Exercise (ed. B.Saltin) International
Series in Sports Science, Vol. 16, Human Kinetics Publishers, Champaign, Illinois,
USA, pp. 3–26.
Piehl, K. (1974) Glycogen storage and depletion in human skeletal muscle fibres. Acta
Physiologica Scandinavica, Suppl., 402.
Porte, D. and Williamson, R.H. (1966) Inhibition of insulin release by norepinephrine in
man. Science, 152, 1248–1250.
Powers, S.K., Dodd, S. and Beadle, R.E. (1985) Oxygen kinetics in trained athletes
different in O2max. European Journal of Applied Physiology, 54, 306–308.
Pruett, E.D.R. (1970) Glucose and insulin during prolonged work stress in men living on
different diets. Journal of Applied Physiology, 28, 199–208.
Ramsbottom, R., Nute, M.G.L. and Williams, C. (1987) Determinants of five kilometre
running performance in active men and women. British Journal of Sports Medicine,
21, 9–13.
Ramsbottom, R., Williams, C., Boobis, L.H. and Freeman, W. (1989) Aerobic fitness and
running performance of male and female recreational runners. Journal of Sports
Science, 7, 9–20.
Rennie, M.J., Winder, W.W. and Holloszy, J.O. (1976) A sparing effect of increased
plasma fatty acids on muscle and liver glycogen content in exercising rat. Biochemical
Journal, 156, 647–655.
Richter, E.A. and Galbo, H. (1986) High glycogen levels enhance glycogen breakdown in
isolated contracting skeletal muscle. Journal of Applied Physiology, 61, 827–831.
Roberts, K.M., Noble, E.G., Hayden, D.B. and Taylor, A.W. (1988) Simple and complex
carbohydrate-rich diets and muscle glycogen content of marathon runners. European
Journal of Applied Physiology, 57, 70–74.
Robinson, A.M. and Williamson, D.H. (1980) Physiological roles of ketone bodies as
substrates and signals in mammalian tissues. Physiological Reviews, 60, 143–187.
Sahlin, K. (1978) Intracellular pH and energy metabolism in skeletal muscle of man. Acta
Physiologica Scandinavica, Suppl., 455, 35.
Sahlin, K. and Henriksson, J. (1984) Buffer capacity and lactate accumulation in skeletal
muscle of trained and untrained men. Acta Physiologica Scandinavica, 122, 331–339.
Saltin, B. (1973) Metabolic fundamentals in exercise. Medicine and Science in Sports
and Exercise, 15, 366–369.
Saltin, B. and Gollnick, P.D. (1983) Skeletal muscle adaptability: significance for
metabolism and performance, in Handbook of Physiology. Section 10. Skeletal muscle.
American Physiology Society, Bethesda, USA, pp. 555–631.
Metabolic aspects of exercise 33
Saltin, B., Henriksson, J., Nygaard, E. and Andersen, P. (1977) Fiber types and metabolic
potentials of skeletal muscles in sedentary man and endurance runners. Annals of the
New York Academy of Sciences, 301, 3–29.
Saltin, B. and Karlsson, J. (1971) Muscle glycogen utilization during work of different
intensities, in Muscle Metabolism During Exercise (eds B.Pernow and B.Saltin),
Plenum Press, New York, pp. 289–299.
Saris, W.H.M., Erp-Baart, van, M.A., Brouns, F., Westerterp, K.R. and ten Hoor, F.
(1989) Study on food intake during extreme sustained exercise: Tour de France.
International Journal of Sports Medicine, Suppl. 1, 10, 562–3.
Sharp, R.L., Costill, D.L., Fink., W.J. and King, D.S. (1986) Effects of eight weeks of
bicycle ergometer sprint training on human muscle buffer capacity. International
Journal of Sports Medicine, 7, 13–17.
Short, S.H. and Short, W.R. (1983) Four year study of University athletes’ dietary intake.
American Dietary Association, 82, 632–645.
Shorten, M.J. and Williams, C. (1982) Respiratory responses to an incremental treadmill
running test. Journal of Physiology, 332, 38–39P.
Sjodin, B. and Jacobs, I. (1981) Onset of blood lactate accumulation and marathon
running performance. International Journal of Sports Medicine, 2, 23–26.
Sjodin, B.Jacobs, I. and Svedenhag, J. (1982) Changes in onset of blood lactate
accumulation (OBLA) and muscle enzymes after training at OBLA. European Journal
of Applied Physiology, 49, 45–57.
Sjodin, B., Schele, R., Karlsson, J., Linnarsson, D. and Wallensten, R. (1982) The
physiological background of the onset of blood lactate accumulation , in Exercise and
Sport Biology (ed. P.Komi), Human Kinetics Publishers Champaign, Illinois, USA, pp.
43–56.
Sjostrom, M., Friden, J. and Ekblom, B. (1987) Endurance, what is it? Muscle
morphology after an extremely long distance run. Acta Physiologica Scandinavica,
130, 513–520.
Spriet, L.L., Ren, J.M. and Hultman, E. (1988) Epinephrine infusion enhances muscle
glycogenolysis during prolonged electrical stimulation. Journal of Applied Physiology,
64, 1439–1444.
Spriet, L.L., Soderlund, K., Bergstrom, M. and Hultman, E. (1987a) Anaerobic energy
release in skeletal muscle during electrical stimulation in man. Journal of Applied
Physiology, 62, 611–615.
Spriet, L.L., Soderlund, K., Bergstrom, M. and Hultman, E. (1987b) Skeletal muscle
glycogenolysis, glycolysis and pH during electrical stimulation in man. Journal of
Applied Physiology, 62, 616–621.
Stegmann, H. and Kindermann, W. (1982) Comparison of prolonged exercise tests at the
individual anaerobic threshold and the fixed anaerobic threshold of 4 mmol l−1 lactate.
International Journal of Sports Medicine, 3, 105–110.
Stegman, H., Kindermann, W. and Schnabel, A. (1981) Lactate kinetics and individual
anaerobic threshold. International Journal of Sports Medicine, 2, 160–165.
Stroud, M.A. (1987) Nutrition and energy balance on the ‘Footsteps of Scott Expedition’
1984–1986. Human Nutrition. Applied Nutrition, 41A, 426–433.
Tanaka, K. and Matsuura, Y. (1984) Marathon performance, anaerobic threshold, and the
onset of blood lactate accumulation. Journal of Applied Physiology, 57, 640–643.
Trayhurn, P. and Ashwell, M. (1987) Control of white and brown adipose tissue by the
autonomic nervous system. Proceedings of the Nutrition Society, 46, 135–142.
Vago, P., Mercier, J., Ramonatxo, M. and Prefaut, Ch. (1987) Is ventilatory anaerobic
Physiology of sports 34
threshold a good index of endurance capacity? International Journal of Sports Medicine,
8, 190–195.
Vollestad, N.K. and Sejersted, O.M. (1988) Biochemical correlates of fatigue: a brief
review. European Journal of Applied Physiology, 57, 336–347.
Vollestad, N.K., Vaage, O. and Hermansen, L. (1984) Muscle glycogen depletion
patterns in Type I and subgroups of Type II fibres during prolonged severe exercise in
man. Acta Physiologica Scandinavica, 122, 433–441.
Wahren, J. (1973) Substrate utilization by exercising muscle in man. Progress in
Cardiology, 2, 255–280.
Wasserman, K. (1986) The anaerobic threshold: definition, physiological significance
and identification. Advances in Cardiology, 35, 1–23.
Wasserman, K. and Mcllroy, M.B. (1964) Detecting the threshold of anaerobic
metabolism in cardiac patients during exercise. American Journal of Cardiology, 14,
844–852.
Wasserman, K., Whipp, B.J., Koyle, S.N. and Beaver, W.L. (1973) Anaerobic threshold
and respiratory gas exchange during exercise. Journal of Applied Physiology, 35, 236–
243.
Weir, J., Noakes, T.D., Myburgh, K. and Adams, B. (1987) A high carbohydrate diet
negates the metabolic effects of caffeine during exercise. Medicine and Science in
Sports and Exercise, 19, 100–105.
Weltman, A. and Katch, V. (1976) Minute by minute respiratory exchange and oxygen
uptake kinetics during steady-state exercise in subjects of high and low max O2.
Research Quarterly, 47, 490–498.
Westra, H.G., De Haan, A., Van Doom, J.E. and De Haan, E.J. (1985) The effect of
intensive interval training on the anaerobic power of the rat quadriceps. Journal of
Sports Sciences, 3, 139–150.
WHO (1985) Energy and protein requirements, Technical report series 724, . World
Health Organization, Geneva.
Wilkes, D., Gledhill, N. and Smyth, R. (1983) Effect of acute induced metabolic alkalosis
on 800 m racing time. Medicine and Science in Sports and Exercise, 75, 277–280.
Williams, C. (1987) Short term activity, in Exercise: Benefits, Limitations and
Adaptations (eds D.Macleod, R.J.Maughan, M.Nimmo, T.Reilly and C.Williams) E &
F Spon, London, pp. 59–62.
Williams, C. (1989) Influences of starch and sugar intake on physical performance, in
Dietary Starch and Sugars in Man: A Comparison (ed. J.Dobbing), Springer-Verlag,
Basel, Switzerland, pp. 193–212.
Williams, C., Brewer, J. and Patton, J. (1984) The metabolic challenge of the marathon.
British Journal of Sports Medicine, 18, 245–252.
Williams, C. and Nute, M.L.G. (1983) Some physiological demands of a halfmarathon
race on recreational runners. British Journal of Sports Medicine, 17, 152–161.
Williams, C. and Nute, M.L.G. (1986) Training induced changes in endurance capacity of
female games players, in Sports Science (eds J.Watkins, T.Reilly and L.Burwitz), Proc.
VIII Commonwealth and Inter. Conf. Sport, Physical Education, Dance, Recreation
and Health. E. and F.N. Spon Ltd, London, pp. 11–17.
Williams, C.G., Wyndham, C.H., Kok, R. and Rahden von, M.J.E. (1967) Effect of
training on maximum oxygen intake and on anaerobic metabolism in man.
Internationale Zeitschrift für angew Physiologie einschl Arbeitsphysiologie, 24, 18–23.
Wootton, S.A, and Williams, C. (1983) The influence of recovery duration on repeated
maximal sprints, in Biochemistry of Exercise (eds H.G.Knuttgen, J.A. Vogel and
Metabolic aspects of exercise 35
J.Poortmans) International Series in Sports Science, Vol. 13, Human Kinetics Publishers,
Champaign, Illinois, USA, pp. 269–273.
Yoshida, T. (1986) The effect of dietary modifications on anaerobic threshold. Sports
Medicine, 3, 4–9.
Yoshida, T., Nagata, A., Muro, M., Takeuchi, N. and Suda, Y. (1981) The validity of the
anaerobic threshold determination by a Douglas bag method compared with arterial
blood lactate concentration, European Journal of Applied Physiology, 46, 423–430.
Yoshida, T., Suda, Y. and Takeuchi, N. (1982) Endurance training regimen based on
arterial blood lactate: effects on anaerobic threshold. European Journal of Applied
Physiology, 49, 223–230.

IDENTITAS BUKU WAJIB

 Judul Buku : Physiology of Sport and Exercise


 Penulis : W. Larry Kenney, dkk
 Tebal Buku : 642 Halaman
 Bahasa : Bahasa Inggris
 Yang Akan Dikritisi : BAB 2: Fuel For Exercise: Bioenergetics And Muscle
Metabolism

BAB 2:
Bahan Bakar Untuk Latihan: Bioenergetik dan Metabolisme Otot
Semua energi berasal dari matahari sebagai energi cahaya. Reaksi kimia pada tumbuhan
(fotosintesis) mengubah cahaya menjadi energi kimia yang tersimpan. Pada gilirannya, manusia
mendapatkan energi baik dengan makan tanaman atau dengan memakan binatang yang memakan
tanaman. Nutrisi dari makanan tertelan disediakan dalam bentuK karbohidrat, lemak, dan
protein. Ketiga bahan bakar dasar, atau substrat energi, pada akhirnya dapat dipecah untuk
melepaskan energi yang tersimpan. Setiap sel mengandung jalur kimia yang mengubah substrat
ini untuk energi yang kemudian dapat digunakan oleh sel dan sel-sel lain dari tubuh, proses yang
disebut bioenergetics. Semua kimia REAC-tions dalam tubuh secara kolektif disebut
metabolisme.

Karena semua energi akhirnya menurunkan panas, jumlah energi yang dilepaskan dalam
reaksi biologis dapat dihitung dari jumlah panas yang dihasilkan. Energi dalam sistem biologis
diukur dalam kalori. Menurut definisinya, 1 kalori (Cal) sama dengan jumlah energi panas yang
dibutuhkan untuk menaikkan 1 g air 1 ° c, dari 14,5 ° c hingga 15,5 ° c. Pada manusia, energi
dinyatakan dalam kilo kalori (kkal), di mana 1 kkal setara dengan 1.000 kal. Terkadang istilah
Calorie (dengan modal C) digunakan secara sinonim dengan kilocalorie, tetapi kilocalorie lebih
teknis dan benar secara ilmiah. Jadi, ketika orang membaca bahwa seseorang makan atau
dikeluarkan 3.000 Cal per hari, itu benar-benar berarti orang yang menelan atau pengeluaran
3.000 kkal per hari.

Beberapa energi bebas dalam sel digunakan untuk pertumbuhan dan perbaikan seluruh
tubuh. Proses tersebut membangun massa otot selama pelatihan dan memperbaiki kerusakan otot
setelah latihan atau cedera. Energi juga diperlukan untuk transportasi aktif dari banyak zat,
seperti natrium, potas-sium, dan ion kalsium, di seluruh membran sel. Transportasi aktif sangat
penting untuk kelangsungan hidup sel dan pemeliharaan homeostasis. Myofibrils juga
menggunakan beberapa energi yang dilepaskan dalam tubuh kita untuk menyebabkan geser dari
filamen aktivitas dan myosin, mengakibatkan tindakan otot dan kekuatan generasi, seperti yang
kita lihat dalam Bab 1.

ENERGI SUBSTRAT

Energi dilepaskan ketika ikatan kimia-ikatan yang memegang elemen bersama-sama


untuk membentuk molekul-rusak. Substrat terutama terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, dan
(dalam kasus protein) nitro-gen. Ikatan molekul yang memegang elemen ini bersama-sama relatif
lemah dan karena itu memberikan sedikit energi ketika rusak. Akibatnya, makanan tidak
digunakan secara langsung untuk operasi seluler. Sebaliknya, energi dalam ikatan molekul
makanan secara kimiawi dilepaskan dalam sel kita dan kemudian disimpan dalam bentuk energi
tinggi senyawa diperkenalkan dalam Bab 1, adenosin Tri-fosfat (ATP), yang dibahas secara rinci
nanti dalam bab ini.

Saat istirahat, energi yang dibutuhkan tubuh berasal hampir sama dari pemecahan
karbohidrat dan lemak. Protein melayani fungsi penting sebagai enzim yang membantu reaksi
kimia dan sebagai blok bangunan struktural tetapi biasanya memberikan sedikit energi untuk
metabolit. Selama intens, durasi pendek upaya otot, lebih banyak karbohidrat yang digunakan,
dengan kurang ketergantungan pada lemak untuk menghasilkan ATP. Lebih lama, latihan kurang
intens memanfaatkan karbohidrat dan lemak untuk produksi energi berkelanjutan.
KARBOHIDRAT

Jumlah karbohidrat yang digunakan selama latihan berhubungan dengan ketersediaan


karbohidrat dan sistem otot yang berkembang dengan baik untuk metabolisme karbohidrat.
Semua karbohidrat pada akhirnya dikonversi menjadi sederhana gula enam-karbon, glukosa
(gambar 2,1), monosakarida (satu unit gula) yang diangkut melalui darah ke semua jaringan
tubuh. Dalam kondisi istirahat, karbohidrat yang tertelan disimpan dalam otot dan hati dalam
bentuk polisakarida yang lebih kompleks (beberapa molekul gula yang dihubungkan), glikogen.
Glikogen disimpan dalam sitoplasma sel otot sampai sel tersebut menggunakannya untuk
membentuk ATP. Glikogen yang disimpan dalam hati dikonversi kembali ke glukosa yang
diperlukan dan kemudian diangkut oleh darah ke jaringan aktif, di mana itu dimetabolisme.

Hati dan otot glikogen toko terbatas dan dapat habis selama berkepanjangan, latihan
intens, terutama jika Diet mengandung jumlah yang tidak mencukupi karbohidrat. Dengan
demikian, kami sangat bergantung pada sumber makanan dari Pati dan gula untuk terus-menerus
mengisi cadangan karbohidrat kami. Tanpa asupan karbohidrat yang memadai, otot dapat
dirantai dari sumber energi utama mereka. Selanjutnya, karbohidrat adalah satu-satunya sumber
energi yang dimanfaatkan oleh jaringan otak; oleh karena itu parah hasil penipisan karbohidrat
dalam efek kognitif negatif.

LEMAK
Lemak menyediakan sebagian besar energi yang digunakan selama latihan yang
berkepanjangan dan kurang intens. Tubuh toko energi potensial dalam bentuk lemak secara
substansial lebih besar daripada cadangan karbohidrat, baik dari segi berat dan potensi energi.
Tabel 2,1 memberikan indikasi dari total toko tubuh kedua sumber energi dalam orang ramping
(12% lemak tubuh). Untuk orang dewasa paruh baya dengan lebih banyak lemak tubuh (jaringan
adiposa), lemak toko akan menjadi sekitar dua kali lebih besar, sedangkan toko karbohidrat akan
hampir sama. Tapi lemak kurang mudah tersedia untuk metabolisme sel karena pertama harus
dikurangi dari bentuk kompleks, trigliserida, untuk komponen dasar, gliserol dan asam lemak
bebas (FFAs). Hanya FFAs yang digunakan untuk membentuk ATP (gambar 2,1).

Secara substansial lebih banyak energi berasal dari memecah satu gram lemak (9,4
kkal/g) daripada dari jumlah yang sama karbohidrat (4,1 kkal/g). Namun, tingkat energi
melepaskan dari lemak terlalu lambat untuk memenuhi semua tuntutan energi aktivitas otot
intens.

Jenis lain dari lemak yang ditemukan dalam tubuh melayani fungsi non-energi-produksi.
Fosfolipid adalah komponen struktural kunci dari semua membran sel dan membentuk selubung
pelindung sekitar beberapa saraf besar. Steroid ditemukan di membran sel dan juga berfungsi
sebagai hormon atau sebagai blok bangunan hormon seperti estrogen dan testosterone.

PROTEIN

Protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi kecil di bawah beberapa keadaan,
tetapi pertama harus dikonversi menjadi glukosa (gambar 2,1). Dalam kasus deple-tion energi
parah atau kelaparan, protein bahkan dapat digunakan untuk menghasilkan FFAs untuk energi
seluler. Proses dimana protein atau lemak diubah menjadi glukosa disebut gluconeogen-esis.
Proses konversi protein menjadi asam lemak disebut lipogenesis. Protein dapat memasok hingga
5% atau 10% dari energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan exer-Cise berkepanjangan.
Hanya unit yang paling dasar protein-asam amino-dapat digunakan untuk energi. Sebuah gram
protein menghasilkan sekitar 4,1 kkal.

MENGONTROL LAJU PRODUKSI ENERGI

Untuk menjadi berguna, energi bebas harus dilepaskan dari senyawa Chemi-Cal pada
tingkat terkontrol. Tingkat ini adalah Primar-ily ditentukan oleh dua hal, ketersediaan substrat
utama dan aktivitas enzim. Ketersediaan substrat dalam jumlah besar meningkatkan aktivitas
jalur tertentu. Kelimpahan dari satu bahan bakar tertentu (misalnya, karbohidrat) dapat
menyebabkan sel untuk lebih bergantung pada sumber daripada pada alternatif. Ini pengaruh
ketersediaan substrat pada laju metabolisme disebut efek aksi massa.

Molekul protein tertentu yang disebut enzim juga mengontrol laju pelepasan energi
bebas. Banyak enzim ini mempercepat Breakdown (katabolisme) dari senyawa Chem-iCal.
Reaksi kimia terjadi hanya ketika molekul bereaksi memiliki energi awal yang cukup untuk
memulai reaksi atau rantai reaksi. Enzim tidak menyebabkan reaksi kimia terjadi dan tidak
menghalangi-tambang jumlah energi yang dapat digunakan yang dihasilkan oleh reaksi ini.
Sebaliknya, mereka mempercepat reaksi dengan menurunkan energi aktivasi yang diperlukan
untuk memulai reaksi (gambar 2,2).

Meskipun nama enzim cukup kompleks, sebagian besar diakhiri dengan akhiran-ASE.
Sebagai contoh, enzim penting yang bertindak untuk memecah ATP dan melepaskan energi yang
disimpan adalah adenosin trifosfat (ATPase).

Jalur biokimia yang menghasilkan produksi produk dari substrat biasanya melibatkan
beberapa langkah. Setiap langkah individu biasanya dikatalisis oleh enzim tertentu. Oleh karena
itu, meningkatkan jumlah enzim hadir atau aktivitas enzim yang (misalnya dengan mengubah
suhu atau pH) menghasilkan tingkat peningkatan pembentukan produk melalui jalur metabolik.
Selain itu, banyak enzim memerlukan molekul lain yang disebut "kofaktor" untuk fungsi,
sehingga ketersediaan kofaktor juga dapat mempengaruhi fungsi enzim dan oleh karena itu
tingkat reaksi metabolik.
Seperti diilustrasikan pada gambar 2,3, jalur metabolik khas-cara memiliki satu enzim yang
sangat penting dalam mengendalikan tingkat. Enzim ini, biasanya terletak di langkah awal di
jalur, dikenal sebagai enzim membatasi tingkat. Aktivitas enzim yang membatasi tingkat
ditentukan oleh akumulasi zat jauh di bawah jalur yang mengurangi aktivitas enzim melalui
umpan balik negatif. Salah satu contoh zat yang dapat terakumulasi dan memberi makan kembali
untuk mengurangi aktivitas enzim akan menjadi produk akhir dari jalur; lain akan ATP dan
produk Breakdown, ADP dan fosfat anorganik. Jika tujuan dari jalur metabolik adalah untuk
membentuk produk kimia dan melepaskan energi bebas dalam bentuk ATP, masuk akal bahwa
kelimpahan baik produk akhir atau ATP akan makan kembali untuk memperlambat produksi
lebih lanjut dan rilis, masing-masing.

MENYIMPAN ENERGI: HIGH-ENERGY PHOSPHATES

Segera tersedia sumber energi untuk hampir semua metabolisme termasuk kontraksi otot
adalah adenosin trifosfat, atau ATP. Sebuah molekul ATP (gambar 2.4 a) terdiri dari adenosin
(molekul adenin bergabung dengan molekul ribosa) dikombinasikan dengan tiga fosfat anorganik
(PI) kelompok. Adenin adalah basa yang mengandung nitrogen, dan ribosa adalah gula lima
karbon. Ketika molekul ATP dikombinasikan dengan air (hidrolisis) dan ditindaklanjuti oleh
enzim ATPase, kelompok fosfat terakhir membelah diri, dengan cepat melepaskan sejumlah
besar energi bebas (sekitar 7,3 kkal per mol ATP di bawah kondisi standar, tapi mungkin hingga
10 kkal per mol dari ATP atau lebih besar dalam sel). Hal ini mengurangi ATP untuk adenosin
diphosphate (ADP) dan Pi (gambar 2.4 b).

Untuk menghasilkan ATP, kelompok fosfat ditambahkan ke senyawa energi relatif


rendah, ADP, di fosforilasi disebut Pro-Cess. Proses ini membutuhkan jumlah energi yang cukup
besar. Beberapa ATP adalah gener-ated independen dari ketersediaan oksigen, dan metabolisme
tersebut disebut substrat tingkat fosforilasi. Reaksi produksi ATP lainnya (dibahas kemudian
dalam bab) terjadi tanpa oksigen, sementara yang lain terjadi dengan bantuan oksigen, proses
yang disebut fosforilasi oksidatif.

Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2,3, ATP terbentuk dari ADP dan Pi melalui fosforilasi
sebagai bahan bakar dipecah menjadi bahan bakar oleh-produk pada berbagai langkah sepanjang
jalan metabolik-cara. Bentuk Penyimpanan energi, ATP, kemudian dapat melepaskan bebas atau
digunakan energi bila diperlukan karena sekali lagi dipecah menjadi ADP dan PI.

DASAR SISTEM ENERGI

Sel dapat menyimpan jumlah yang sangat terbatas ATP dan harus terus-menerus
menghasilkan ATP baru untuk menyediakan energi yang diperlukan untuk semua metabolisme
sel termasuk kontraksi otot. Sel menghasilkan ATP melalui salah satu dari (atau kombinasi) tiga
jalur metabolik:
1. sistem ATP-PCr
2. sistem glikolitik (glikolisis)
3. sistem oksidatif (fosforyla oksidatif-tion)

Dua sistem pertama dapat terjadi dalam ketiadaan oksigen dan secara bersama-sama disebut
metabolisme anaerobik. Sistem ketiga membutuhkan oksigen dan karena itu terdiri metabolisme
aerobik.

SISTEM ATP-PCr

Yang paling sederhana dari sistem energi adalah sistem ATP-PCr, ditunjukkan pada
gambar 2,5. Selain menyimpan jumlah yang sangat kecil ATP langsung, sel mengandung
molekul fosfat energi tinggi lain yang menyimpan energi yang disebut phosphocreatine, atau PCr
(terkadang disebut CRE-atine fosfat). Jalur sederhana ini melibatkan Dona-tion Pi dari PCr ke
ADP untuk membentuk ATP.

Tidak seperti yang terbatas tersedia secara bebas ATP di sel, energi yang dilepaskan oleh
kerusakan PCr tidak langsung digunakan untuk pekerjaan Cel-lular. Sebaliknya, itu meregenerasi
ATP untuk mempertahankan pasokan yang relatif konstan di bawah kondisi istirahat.

Pelepasan energi dari PCr dikatalisis oleh creatine kinase enzim, yang bertindak pada PCr
untuk memisahkan Pi dari creatine. Energi yang dilepaskan kemudian dapat digunakan untuk
menambahkan molekul Pi ke molekul ADP, membentuk ATP. Sebagai energi dilepaskan dari
ATP dengan pemisahan gugus fosfat, sel dapat mencegah penipisan ATP dengan memecah PCr,
menyediakan energi dan Pi untuk membentuk kembali ATP dari ADP.

Mengikuti prinsip negatif umpan balik dan membatasi tingkat enzim yang dibahas
sebelumnya, aktivitas creatine kinase ditingkatkan ketika konsentrasi ADP atau Pi meningkat,
dan menghambat ketika konsentrasi ATP meningkat. Ketika latihan intens dimulai, sejumlah
kecil ATP tersedia dalam sel otot dipecah untuk energi segera, menghasilkan ADP dan PI.
Peningkatan konsentrasi ADP meningkatkan aktivitas creatine kinase, dan PCr adalah
catabolized untuk membentuk tambahan ATP. Sebagai latihan berlangsung dan ATP tambahan
yang dihasilkan oleh dua sistem energi lainnya-yang glikolitik dan sistem oksidatif-creatine
kinase aktivitas menghambat.

Proses ini memecah PCr untuk memungkinkan forma-tion ATP adalah cepat dan dapat
dicapai tanpa struktur khusus dalam sel. Sistem ATP-PCr diklasifikasikan sebagai metabolisme
tingkat substrat. Meskipun dapat terjadi dengan adanya oksigen, prosesnya tidak memerlukan
oksigen.

Selama beberapa detik pertama dari aktivitas otot yang intens, seperti berlari, ATP dipertahankan
pada tingkat konstan yang terus-menerus, namun PCr menurun dengan mantap karena digunakan
untuk mengisi ATP yang habis (Lihat gambar 2,6). Pada kelelahan, namun, kedua tingkat ATP
dan PCr rendah dan tidak dapat memberikan energi untuk kontraksi otot lebih lanjut dan
relaksasi. Dengan demikian, kapasitas untuk main-Tain tingkat ATP dengan energi dari PCr
terbatas. Kombinasi dari toko ATP dan PCr dapat mempertahankan kebutuhan energi otot untuk
hanya 3 sampai 15 s selama Sprint All-out. Di luar waktu itu, otot harus bergantung pada proses
lain untuk pembentukan ATP: jalur glikolitik dan oksidatif.

SISTEM GLIKOLITIK

Sistem ATP-PCr memiliki kapasitas terbatas untuk menghasilkan ATP untuk energi,
yang berlangsung hanya beberapa detik. Metode kedua produksi ATP melibatkan pembebasan
energi melalui kerusakan ("Lisis") glukosa. Sistem ini disebut sistem glikolitik karena
memerlukan glikolisis, pemecahan glukosa melalui jalur yang melibatkan urutan enzim
glikolitik. Glikolisis adalah jalur yang lebih kompleks daripada sistem ATP-PCr, dan urutan
langkah yang terlibat dalam proses ini disajikan dalam gambar 2,7.

Glukosa menyumbang sekitar 99% dari semua gula CIR-culating dalam darah. Glukosa
darah berasal dari pencernaan karbohidrat dan pemecahan glikogen hati. Glikogen disintesis dari
glukosa oleh proses yang disebut glycogenesis dan disimpan dalam hati atau dalam otot sampai
diperlukan. Pada saat itu, glikogen dipecah menjadi glukosa-1-fosfat, yang memasuki jalur
glikolisis, sebuah proses yang disebut glycogenolysis.

Sebelum glukosa atau glikogen dapat digunakan untuk menghasilkan energi, itu harus
dikonversi ke senyawa yang disebut glukosa-6-fosfat. Meskipun tujuan dari glikolisis adalah
untuk melepaskan ATP, konversi mol-ecule glukosa untuk glukosa-6-fosfat memerlukan
pengeluaran atau masukan dari satu molekul ATP. Dalam konversi glikogen, glukosa-6-fosfat
terbentuk dari glukosa-1-fosfat tanpa ini energi expen-diture. Glikolisis secara teknis dimulai
setelah glukosa-6-fosfat terbentuk.

Glikolisis membutuhkan 10 sampai 12 reaksi enzimatik untuk pemecahan glikogen untuk


asam piruvat, yang kemudian dikonversi ke asam laktat. Semua langkah di jalur dan semua
enzim yang terlibat beroperasi dalam sitoplasma sel. Keuntungan bersih dari proses ini adalah 3
lalat (mol) ATP yang terbentuk untuk setiap mol glikogen dipecah. Jika glukosa digunakan
sebagai pengganti glikogen, penguatan hanya 2 mol ATP karena 1 mol digunakan untuk konversi
glukosa menjadi glukosa-6-fosfat.

Sistem energi ini jelas tidak menghasilkan sejumlah besar ATP. Meskipun keterbatasan
ini, tindakan gabungan dari sistem ATP-PCR dan glikolitik memungkinkan otot untuk
menghasilkan kekuatan bahkan ketika pasokan oksigen terbatas.

Keterbatasan utama lainnya dari glikolisis anaerobik adalah bahwa hal itu menyebabkan
akumulasi asam laktat dalam otot dan cairan tubuh. Glikolisis menghasilkan asam piruvat. Proses
ini tidak memerlukan oksigen, tetapi kehadiran oksigen menentukan nasib asam piruvat. Tanpa
oksigen hadir, asam piruvat yang dimiringkan langsung ke asam laktat, asam dengan rumus
kimia C3H6O3. Glikolisis anaerobik menghasilkan asam laktat, tetapi dengan cepat dissociates,
dan laktat terbentuk.

Dalam acara Sprint All-out berlangsung 1 atau 2 menit, tuntutan sistem glikolitik tinggi,
dan konsentrasi asam laktat otot dapat meningkat dari nilai istirahat sekitar 1 mmol/kg otot untuk
lebih dari 25 mmol/kg. Ini pengasaman serat otot menghambat kerusakan glikogen lebih lanjut
karena merusak fungsi enzim GLYCO-lytic. Selain itu, asam mengurangi serat '-mengikat
kapasitas kalsium dan dengan demikian dapat menghambat kontraksi otot.
Tingkat-membatasi enzim dalam jalur glikolitik adalah phosphofructokinase atau PFK.
Seperti hampir semua enzim membatasi tingkat, PFK mengkatalisis langkah awal di jalan,
konversi fruktosa-6-fosfat untuk fruktosa-1, 6-bifosfat. Meningkatkan ADP dan Pi con-
centrations meningkatkan aktivitas PFK dan karena itu mempercepat glikolisis, sementara
peningkatan konsentrasi ATP glikolisis lambat dengan menghambat PFK. Selain itu, karena jalur
glikolitik feed ke dalam siklus Krebs untuk produksi energi tambahan ketika oksigen hadir
(dibahas nanti), produk dari siklus Krebs, ESPE-ial citrate dan hidrogen ion, juga makan kembali
untuk menghambat PFK.

Tingkat serat otot penggunaan energi selama latihan dapat 200 kali lebih besar daripada
saat istirahat. Sistem ATP-PCR dan glikolitik sendiri tidak dapat memasok semua energi yang
dibutuhkan. Selanjutnya, kedua sistem ini tidak mampu memasok semua kebutuhan energi untuk
semua aktivitas berlangsung lebih dari 2 menit atau lebih. Latihan berkepanjangan bergantung
pada sistem energi ketiga, sistem oksidatif.
SISTEM OKSIDATIF
Sistem terakhir dari produksi energi seluler adalah sistem oksidatif. Ini adalah yang
paling kompleks dari tiga sistem energi, dan hanya gambaran singkat disediakan di sini. Proses
di mana tubuh memecah substrat dengan bantuan oksigen untuk menghasilkan energi disebut
respirasi seluler. Karena oksigen diperlukan, ini adalah proses aerobik. Tidak seperti produc
anaerobik dari ATP yang terjadi di sitoplasma sel, produksi oksidatif ATP terjadi di dalam
organel sel khusus yang disebut mitokondria. Pada otot, ini bersebelahan dengan myofibrils dan
juga tersebar di seluruh sarcoplasm. (Lihat gambar 1,3, hal. 30.)

Otot membutuhkan pasokan energi yang stabil untuk menghasilkan kekuatan yang
diperlukan selama aktivitas jangka panjang. Tidak seperti produksi ATP anaerobik, sistem
Oxida-tive lambat untuk mengaktifkan; tetapi memiliki kapasitas produksi energi yang jauh lebih
besar, sehingga metabolisme aerobik adalah metode utama produksi energi selama kegiatan
endur-Ance. Ini menempatkan tuntutan yang cukup pada sistem kardiovaskular dan pernapasan
untuk memberikan oksigen ke otot aktif. Energi oksidatif Pro-duction dapat datang dari
karbohidrat (dimulai dengan glikolisis) atau lemak.

OKSIDASI KARBOHIDRAT

Seperti ditunjukkan pada gambar 2,8, produksi oksidatif ATP dari karbohidrat melibatkan tiga
proses:
• Glikolisis (gambar 2.8 a)
• The Krebs siklus (gambar 2.8 b)
• Rantai pengangkutan elektron (gambar 2.8 c)

Glikolisis dalam metabolisme karbohidrat, glikolisis memainkan peran dalam kedua


anaerob dan aerobik ATP produc-tion. Proses glikolisis adalah sama terlepas dari apakah oksigen
hadir. Kehadiran oksigen hanya menentukan nasib produk akhir, asam piruvat. Ingat bahwa
glikolisis anaerobik menghasilkan asam laktat dan hanya tiga mol bersih dari ATP per mol
glikogen, atau dua mol bersih ATP per mol glukosa. Dalam Pres-ence oksigen, asam piruvat
dikonversi menjadi senyawa koenzim yang disebut asetil (asetil CoA).

SIKLUS KREB

Setelah terbentuk, asetil CoA memasuki siklus Krebs (juga disebut siklus asam sitrat atau
siklus asam trisiklik), serangkaian kompleks reaksi kimia yang memungkinkan oksidasi lengkap
dari asetilil CoA (ditunjukkan pada gambar 2,9). Ingat bahwa, untuk setiap molekul glukosa
yang memasuki jalur glikolitik, dua molekul piruvat terbentuk. Oleh karena itu, setiap molekul
glukosa yang memulai proses penghasil energi dengan adanya hasil oksigen dalam dua siklus
Krebs lengkap.
Seperti digambarkan dalam 2.8 b (dan ditampilkan lebih rinci dalam gambar 2,9),
konversi COA succinyl untuk Suksinat dalam hasil siklus Krebs dalam generasi guanosin
trifosfat atau GTP, senyawa energi tinggi mirip dengan ATP. GTP kemudian mentransfer Pi ke
ADP untuk membentuk ATP. Kedua ATPs (per molekul glukosa) terbentuk oleh fosforilasi
tingkat substrat. Jadi pada akhir siklus Krebs, dua mol tambahan dari ATP telah terbentuk secara
langsung, dan karbohidrat asli telah dipecah menjadi karbon dioksida dan hidrogen.

Seperti jalur lain yang terlibat dalam metabolit energi, Krebs siklus enzim diatur oleh
umpan balik negatif pada beberapa langkah dalam siklus. Tingkat-membatasi enzim dalam siklus
Krebs isocitrate dehidrogenase, yang, seperti PFK, yang menghambat ATP dan diaktifkan oleh
ADP dan Pi, seperti rantai transportasi elektron. Karena kontraksi otot bergantung pada
ketersediaan kalsium dalam sel, kelebihan kalsium juga merangsang tingkat-membatasi enzim
isocitrate dehydrogenase.

RANTAI TRANSPORTASI ELEKTRON

Selama glikolisis, ion hydro-gen dilepaskan ketika glukosa dimetabolisme untuk asam
piruvat. Ion hidrogen tambahan dilepaskan dalam konversi piruvat untuk asetil CoA dan pada
beberapa langkah dalam siklus Krebs. Jika ion hidrogen ini tetap dalam sistem, Bagian dalam sel
akan menjadi terlalu asam. Apa yang terjadi dengan hidrogen ini?

Siklus Krebs digabungkan ke serangkaian reaksi yang dikenal sebagai rantai


pengangkutan elektron (gambar 2.8 c). Ion hidrogen yang dilepaskan selama glikolisis, selama
konversi asam piruvat untuk asetil COA, dan selama siklus Krebs menggabungkan dengan dua
koenzim: nikotinamida adenin dinukleotida (NAD) dan Flavin adenin Dinu-cleotide (fad),
mengkonversi masing-masing untuk dikurangi bentuk (NADH dan FADH2, masing-masing).
Selama setiap siklus Krebs, tiga molekul NADH dan satu molekul FADH2 diproduksi. Ini
membawa atom hidrogen (elektron) ke rantai pengangkutan elektron, sekelompok kompleks
protein mitokondria yang terletak di membran mitokondria bagian dalam. Kompleks protein ini
mengandung serangkaian enzim dan besi yang mengandung Pro-teins dikenal sebagai
cytochromes. Karena elektron berenergi tinggi dilewatkan dari kompleks ke kompleks di
sepanjang rantai ini, beberapa energi yang dilepaskan oleh reaksi tersebut digunakan untuk
memompa H + dari matriks mitokondria ke kompartemen mitokondria luar. Karena ion hydro-
gen ini bergerak kembali melintasi membran gradien konsentrasi mereka, energi ditransfer ke
ADP, dan ATP terbentuk. Langkah terakhir ini memerlukan enzim yang dikenal sebagai sintase
ATP. Pada akhir rantai, H + menggabungkan dengan oksigen untuk membentuk air, sehingga
mencegah-ing acidifikasi sel. Ini diilustrasikan dalam gambar 2,10. Karena proses ini secara
keseluruhan bergantung pada oksigen sebagai akseptor akhir elektron dan H +, ini disebut
sebagai fosforilasi oksidatif.

Untuk setiap sepasang elektron yang diangkut ke rantai transportasi Elec-Tron oleh
NADH, tiga molekul ATP terbentuk, sementara elektron yang melewati rantai pengangkutan
elektron oleh FADH hanya menghasilkan dua molekul ATP. Namun, karena NADH dan FADH
berada di luar membran mitokondria, H + harus dishuttled melalui membran, yang memerlukan
energi untuk dimanfaatkan. Jadi pada kenyataannya, hasil bersih hanya 2,5 ATPs per NADH dan
1,5 ATPs per FADH.
HASIL ENERGI DARI OKSIDASI KARBOHIDRAT

Oksidasi lengkap glukosa dapat menghasilkan 32 molekul ATP, sementara 33 ATPs
diproduksi dari satu molekul otot glikogen. Situs produksi ATP diringkas dalam gambar 2,11.
Produksi bersih ATP dari tingkat substrat foshory-lation di jalur glikolitik menuju ke siklus
Krebs menghasilkan keuntungan bersih dari dua atps (atau tiga dari glikogen). Sebanyak 10
molekul NADH mengarah ke rantai pengangkutan elektron-dua dalam glikolisis, dua dalam
konversi asam piruvat untuk asetil CoA, dan enam dalam siklus Krebs-menghasilkan 25 molekul
ATP bersih. Ingat bahwa sementara 30 ATPs sebenarnya diproduksi, biaya energi untuk
mengangkut ATP di membran menggunakan lima dari mereka ATPs. Dua molekul FAD dalam
siklus Krebs yang terlibat dalam pengangkutan elektron menghasilkan tiga ATPs bersih
tambahan. Dan akhirnya, tingkat substrat fosforilasi dalam siklus Krebs melibatkan molekul
GTP menambahkan dua molekul ATP lain.

Akuntansi untuk biaya energi dari bolak-balik elektron di membran mitokondria adalah
konsep yang relatif baru dalam Fisiologi latihan, dan banyak buku teks masih mengacu pada
produksi energi bersih dari 36-39 atps per molekul glukosa.
OKSIDASI LEMAK

Seperti disebutkan sebelumnya, lemak juga memberikan kontribusi penting untuk


kebutuhan energi otot. Otot dan hati glikogen toko dapat memberikan hanya ~ 2.500 kkal energi,
tapi lemak yang tersimpan di dalam serat otot dan sel-sel lemak dapat memasok setidaknya
70.000 untuk 75.000 kkal, bahkan dalam ramping dewasa. Meskipun banyak senyawa kimia
(seperti trigliserida, phos-pholipids, dan kolesterol) diklasifikasikan sebagai lemak, hanya
trigliserida adalah sumber energi utama. Trigliserida disimpan dalam sel lemak dan antara dan
dalam serat otot rangka. Untuk digunakan untuk energi, trigliserida harus dipecah ke unit dasar:
satu molekul gliserol dan tiga molekul FFA. Proses ini disebut lipolisis, dan dilakukan oleh
enzim yang dikenal sebagai lipases.

Asam lemak bebas adalah sumber energi utama untuk metabolisme lemak. Setelah
dibebaskan dari gliserol, FFAs dapat memasukkan darah dan diangkut seluruh tubuh, memasuki
serat otot dengan baik difusi sederhana atau transporter-dimediasi (difasilitasi) difusi. Tingkat
masuknya mereka ke dalam serat otot tergantung pada gradien konsentrasi. Meningkatkan
konsentrasi FFAs dalam darah meningkatkan laju transportasi mereka ke dalam serat otot.
OKSIDASI B

Ingatlah bahwa lemak disimpan dalam tubuh di dua tempat, di dalam serat otot dan sel jaringan
adiposa disebut adipocytes. Bentuk penyimpanan lemak adalah trigliserida, yang dipecah
menjadi FFAs dan gliserol untuk metabolisme energi. Sebelum FFAs dapat digunakan untuk
produksi energi, mereka harus dikonversi ke CoA asetil di mitokondria, sebuah proses yang
disebut b-oksidasi. Asetil CoA adalah intermediate umum melalui mana semua substrat
memasuki siklus Krebs untuk metabolisme oksidatif.

B-oksidasi adalah serangkaian langkah di mana dua-karbon unit Asil dipotong dari rantai
karbon FFA. Jumlah langkah tergantung pada jumlah karbon di FFA, biasanya antara 14 dan 24
karbon. Sebagai contoh, jika FFA awalnya memiliki rantai 16-karbon, b-oksidasi menghasilkan
delapan molekul dari asetil CoA. Unit Asil menjadi asetil COA, yang kemudian memasuki siklus
Krebs untuk pembentukan ATP.

Pada memasuki serat otot, FFAs harus enmati-Cally diaktifkan dengan energi dari ATP,
mempersiapkan mereka untuk katabolisme (Breakdown) dalam mitokondria. Seperti glikolisis,
b-oksidasi membutuhkan energi masukan dari dua ATPs untuk aktivasi tetapi, tidak seperti
glikolisis, tidak menghasilkan ATPs secara langsung.

SIKLUS KREB DAN TRANSPORTASI ELEKTRON

Setelah b-oksidasi, metabolisme lemak mengikuti jalur yang sama sebagai metabolisme
karbohidrat oksidatif. Asetil CoA yang dibentuk oleh b-oksidasi memasuki siklus Krebs. Siklus
Krebs menghasilkan hidrogen, yang diangkut ke rantai pengangkutan elektron bersama dengan
hidrogen yang dihasilkan selama b-oksidasi untuk menjalani fosforilasi oksidatif. Seperti dalam
metabolisme glukosa, produk dengan oksidasi FFA adalah ATP, H2O, dan karbon dioksida
(CO2). Namun, pembakaran lengkap molekul FFA memerlukan lebih banyak oksigen karena
molekul FFA mengandung molekul karbon jauh lebih dari molekul glukosa.

Keuntungan dari memiliki lebih banyak molekul karbon di FFAs daripada di glukosa
adalah bahwa lebih asetil CoA terbentuk dari metabolisme jumlah tertentu lemak, sehingga lebih
asetil CoA memasuki siklus Krebs dan lebih banyak elektron yang dikirim ke rantai transportasi
elektron. Inilah sebabnya mengapa metabolisme lemak dapat menghasilkan lebih banyak energi
daripada metabolisme glukosa. Tidak seperti glukosa atau glikogen, lemak heterogen, dan
jumlah ATP yang dihasilkan tergantung pada lemak tertentu teroksidasi.

Mempertimbangkan contoh asam palmitat, yang agak berlimpah 16-karbon FFA. Reaksi
gabungan dari oksidasi, siklus Krebs, dan rantai pengangkutan elektron menghasilkan 129
molekul ATP dari satu mol-ecule asam palmitat (seperti yang ditunjukkan pada tabel 2,2),
dibandingkan dengan hanya 32 molekul ATP dari glukosa atau 33 dari glikogen.

OKSIDASI PROTEIN

Seperti disebutkan sebelumnya, karbohidrat dan asam lemak adalah substrat bahan bakar
yang disukai. Tapi protein, atau lebih tepatnya asam amino yang membentuk protein, juga
digunakan untuk energi dalam beberapa keadaan. Beberapa asam amino dapat dikonversi
menjadi glukosa, proses yang disebut gluco-neogenesis (Lihat gambar 2,1). Alternatifnya,
beberapa dapat dikonversi menjadi berbagai intermediat metabolisme oksidatif (seperti piruvat
atau asetil COA) untuk memasuki proses oksidatif.
Hasil energi protein tidak mudah ditentukan sebagai karbohidrat atau lemak karena
protein juga mengandung nitrogen. Ketika asam amino yang catabolized, beberapa nitrogen
dirilis digunakan untuk membentuk asam amino baru, tetapi nitrogen yang tersisa tidak dapat
teroksidasi oleh tubuh. Sebaliknya itu diubah menjadi urea dan kemudian diekskresikan,
terutama dalam urin. Ini conver-Sion membutuhkan penggunaan ATP, sehingga beberapa energi
yang dihabiskan dalam proses ini.

Ketika protein dipecah melalui pembakaran di laboratorium, hasil energi adalah 5,65
kkal/g. Bagaimana-pernah, karena energi yang dikeluarkan dalam mengkonversi nitrogen untuk
urea ketika protein dimetabolisme dalam tubuh, hasil energi hanya sekitar 4,1 kkal/g.

Untuk menilai secara akurat laju metabolisme protein, jumlah nitrogen yang dihilangkan
dari tubuh harus ditentukan. Hal ini membutuhkan koleksi urin untuk 12 periode 24 h, proses
yang memakan waktu. Karena tubuh yang sehat menggunakan sedikit protein selama istirahat
dan latihan (biasanya tidak lebih dari 5-10% dari total energi yang dikeluarkan), perkiraan Total
pengeluaran energi gen-erally mengabaikan metabolisme protein.
Ringkasan metabolisme substrat

Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2,12, kemampuan untuk menghasilkan kontraksi
otot untuk latihan adalah masalah pasokan energi dan permintaan energi. Kedua kontraksi serat
otot rangka dan relaksasi mereka membutuhkan energi. Energi yang berasal dari bahan makanan
dalam diet dan energi yang disimpan dalam tubuh. Sistem ATP-PCr beroperasi di dalam sitsol
sel, seperti halnya glikolisis, dan tidak memerlukan oksigen untuk produksi ATP. Oksidatif
phos-phorylation terjadi dalam mitokondria. Perhatikan bahwa di bawah kondisi aerobik, kedua
substrat utama-karbohidrat dan lemak-dikurangi menjadi umum Asil CoA menengah yang
memasuki siklus Krebs.
INTERAKSI DIANTARA SISTEM ENERGI

Tiga sistem energi tidak bekerja secara independen satu sama lain, dan tidak ada kegiatan
yang 100% didukung oleh sistem energi tunggal. Ketika seseorang berolahraga pada intensitas
tertinggi mungkin, dari Sprint terpendek (kurang dari 10 d) untuk ketahanan peristiwa (lebih dari
30 menit), masing-masing sistem energi berkontribusi terhadap total kebutuhan energi tubuh.
Umumnya satu sistem energi mendominasi produksi energi, kecuali jika ada transisi dari
dominasi satu sistem energi yang lain. Sebagai contoh, dalam 10 s, 100 m Sprint, sistem ATP-
PCR adalah sistem energi dominan, tetapi baik anaerobik glikolitik dan sistem oksidatif
menyediakan Por kecil--tion energi yang dibutuhkan. Pada ekstrem lainnya, dalam 30 menit,
10.000 m (10.936 YD) menjalankan, sistem oksidatif dominan, tetapi baik ATP-PCR dan
anaerobik sistem glikolitik menyumbangkan beberapa energi juga.

Gambar 2,13 menunjukkan hubungan timbal balik di antara sistem energi sehubungan dengan
kekuasaan dan kapasitas. Sistem energi ATP-PCr dapat menyediakan energi pada tingkat cepat
tetapi memiliki kapasitas yang sangat rendah untuk produksi energi. Dengan demikian
mendukung latihan yang intens tetapi durasi yang sangat singkat. Sebaliknya, oksidasi lemak
membutuhkan waktu lebih lama untuk bersiap dan menghasilkan energi pada tingkat yang lebih
lambat; Namun, jumlah energi yang dapat menghasilkan tidak terbatas.
Karakteristik dari energi serat otot sys-Tems tercantum dalam tabel 2,3.

KAPASITAS OKSIDATIF OTOT

Kita telah melihat bahwa proses metabolit oksidatif memiliki hasil energi tertinggi. Ini
akan menjadi ideal jika proses ini selalu berfungsi pada kapasitas puncak. Tapi, seperti semua
sistem fisiologis, mereka beroperasi dalam tertentu. Kendala. Kapasitas oksidatif otot (Q O2)
adalah ukuran dari kapasitas maksimal untuk menggunakan oksigen. Pengukuran ini dibuat di
laboratorium, di mana sejumlah kecil jaringan otot dapat diuji untuk menentukan kapasitasnya
untuk mengkonsumsi oksigen ketika Chemi-Cally dirangsang untuk menghasilkan ATP.

AKTIVITAS ENZIM

Kapasitas serat otot untuk mengoksidasi karbohidrat dan lemak sulit untuk menentukan.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan hubungan dekat antara kemampuan otot untuk
melakukan latihan aerobik yang berkepanjangan dan aktivitas enzim oksidatifnya. Karena
banyak enzim yang berbeda diperlukan untuk oksidasi, aktivitas enzim serat otot memberikan
indikasi yang wajar potensi oksidatif mereka.

Mengukur semua enzim dalam otot adalah mustahil, sehingga beberapa enzim
perwakilan telah dipilih untuk mencerminkan Kapasitas aerobik serat. Enzim yang paling sering
diukur adalah Suksinat dehidrogenase dan citrate sintase, enzim mitokondria yang terlibat dalam
siklus Krebs (Lihat gambar 2,9). Gambar 2,14 mengilustrasikan korelasi erat antara aktivitas
dehidrogenase Suksinat di otot vastus vastus dan kapasitas oksidatif otot itu. Otot atlet ketahanan
memiliki kegiatan enzim oksidatif hampir dua sampai empat kali lebih besar daripada orang-
orang yang tidak terlatih dan perempuan.

KOMPOSISI SERAT JENIS DAN PELATIHAN KETAHANAN

Komposisi jenis serat otot terutama menentukan kapasitas oksidatifnya. Seperti tercantum
dalam Bab 1, tipe I, atau lambat-kedutan, serat memiliki kapasitas yang lebih besar untuk
aktivitas aerobik dari tipe II, atau cepat-kedutan, serat karena jenis I serat memiliki lebih
mitokondria dan lebih tinggi concen-trations enzim oksidatif. Serat tipe II lebih cocok untuk
produksi energi glikolitik. Dengan demikian, secara umum, jenis yang lebih saya serat dalam
otot seseorang, semakin besar kapasitas oksidatif otot tersebut. Elite pelari jarak, misalnya,
memiliki lebih jenis saya serat, lebih mitokondria, dan lebih tinggi otot aktivitas enzim oksidatif
daripada individu yang tidak terlatih.
Pelatihan daya tahan tubuh meningkatkan oksidasi Capac-itas dari semua serat, terutama
tipe II serat. Pelatihan yang menempatkan tuntutan pada fosforilasi oksidatif stimu-osilasi serat
otot untuk mengembangkan lebih mitokondria, mitokondria yang lebih besar, dan lebih banyak
enzim oksidatif per mitokondria. Dengan meningkatkan enzim fibers untuk b-oksidasi, pelatihan
ini juga memungkinkan otot untuk lebih mengandalkan lemak untuk produksi ATP aerobik.
Dengan demikian, dengan pelatihan ketahanan, bahkan orang dengan besar per-centages tipe II
serat dapat meningkatkan kapasitas aerobik otot mereka. Tetapi umumnya disepakati bahwa serat
tipe II yang terlatih dengan ketahanan tidak akan mengembangkan kapasitas ketahanan tinggi
yang sama seperti serat l tipe yang sama.

KEBUTUHAN OKSIGEN

Meskipun kapasitas oksidatif otot adalah Deter-ditambang dengan jumlah mitokondria


dan jumlah enzim oksidatif hadir, metabolisme oksidatif akhirnya tergantung pada pasokan yang
memadai oksigen. Saat istirahat, kebutuhan ATP relatif kecil, membutuhkan pengiriman oksigen
minimal. Seperti intensitas latihan meningkat, begitu juga kebutuhan energi. Untuk menemui
mereka, laju produksi ATP OXI-dative meningkat. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
otot untuk oksigen, tingkat dan kedalaman respirasi meningkat, meningkatkan pertukaran gas di
paru, dan jantung berdetak lebih cepat dan lebih kuat, memompa darah lebih beroksigen ke otot.
Arterioles membesar untuk memfasilitasi pengiriman darah arteri ke otot kapiler.

Tubuh manusia menyimpan sedikit oksigen. Oleh karena itu, jumlah oksigen yang masuk
ke dalam darah saat melewati paru berbanding lurus dengan jumlah yang digunakan oleh
jaringan untuk metabolisme oksidatif. Konsekuensinya, perkiraan yang cukup akurat mengenai
produksi energi Aero-BIC dapat dilakukan dengan mengukur jumlah oksigen yang dikonsumsi
di paru-paru.

IDENTITAS BUKU PEMBANDING:

 Judul Buku : Physiology Of Sport


 Penulis : T. Reilly, N. Secher, P. Snell, C. Williams.
 Tebal Buku : 460 Halaman
 Bahasa : Bahasa Inggris
 Yang Akan Dikritisi : BAB I: Metabolic aspect of exercise

BAB I
Metabolic of aspect exercise

1.1 PENDAHULUAN

Dalam sebagian besar olahraga, keterbatasan kinerja adalah serangan kelelahan dini. Latihan
meningkatkan kinerja dalam beberapa cara dan tentu saja, melalui peningkatan keterampilan dan
pengalaman yang lebih besar. Namun, pelatihan menunda premature timbulnya kelelahan dan ini
sendiri berkontribusi pada peningkatan kinerja yang signifikan. Kelelahan bukanlah fenomena
tunggal tetapi hasil akhir dari sejumlah peristiwa dalam erat rantai reaksi yang mengikuti
keputusan sadar untuk berolahraga. Ketidakmampuan untuk mempertahankan tugas kerja yang
ditentukan atau tingkat latihan adalah ungkapan umum kelelahan.

Kegagalan metabolisme untuk menyediakan energi yang cukup pada tingkat yang dibutuhkan
oleh Otot-otot yang bekerja, untuk memenuhi kebutuhan energi mereka, adalah hal yang paling
umum mekanisme untuk kelelahan selama aktivitas fisik yang dinamis. 'Krisis energi' ini sedang
bekerja otot memiliki etiologi yang berbeda seperti yang mungkin diharapkan ketika seseorang
mempertimbangkan kisaran aktivitas fisik yang berada di bawah tajuk umum 'Olahraga'. Untuk
mengembangkan a gambaran luas dari dukungan metabolisme, dan tentu saja kegagalan, yang
mendasari kinerja aktivitas fisik yang dinamis sangat membantu untuk membagi kegiatan ini
menjadi dua umum kategori, yaitu olahraga ‘multiple sprint’ dan ‘sports endurance’ (Williams,
1987). Selama berpartisipasi dalam beberapa olahraga sprint, kelelahan dikaitkan dengan
akumulasi produk akhir metabolisme sedangkan selama olahraga daya tahan, kelelahan dikaitkan
dengan penipisan simpanan karbohidrat terbatas pada otot rangka.

Tentu saja banyak olahraga melibatkan campuran sprint dan daya tahan yang tidak terduga
kegiatan dan melokalisasi penyebab kelelahan memberikan ilmuwan olahraga dengan lebih
serangkaian masalah yang kompleks. Oleh karena itu, tujuan bab pengantar ini adalah untuk
menyediakan pembaca dengan ikhtisar dari beberapa respons metabolik untuk berolahraga,
fokus, di mana tepat, pada mekanisme yang berusaha menjelaskan proses kelelahan dan juga
metode metabolisme untuk menilai adaptasi terhadap pelatihan.

1.2 KESEIMBANGAN ENERGI

Kegagalan metabolisme untuk menyediakan energi secepat otot-otot yang bekerja


membutuhkannya adalah acara yang sangat lokal dan dapat dilacak ke unit motor individu;
Namun demikian pengaturan berharga acara ini dengan latar belakang metabolisme yang jauh
lebih luas. Itu persamaan keseimbangan energi meringkas, secara sederhana, hubungan antara
makanan asupan, pengeluaran energi dan penyimpanan bahan bakar tubuh.

Asupan energi sulit untuk dinilai tanpa kerjasama lengkap dari individu atau kelompok yang
diteliti karena memerlukan catatan akurat tentang semua makanan dan minuman dikonsumsi
selama periode minimum tujuh hari. Berguna seperti informasi ini, itu saja memberikan
gambaran tentang asupan energi dan komposisi makanan selama periode tersebut observasi. Itu
tidak memberikan deskripsi yang komprehensif tentang diet kebiasaan individu atau
memperhitungkan, misalnya, variasi musiman. Namun demikian tanpa informasi ini hampir
tidak mungkin untuk menilai apakah individu terlibat atau tidak olahraga mencocokkan
pengeluaran energi mereka dengan asupan energi yang memadai. Asupan energy dan
pengeluaran energi dinyatakan dalam satuan panas, yaitu kilokalori atau lebih dengan benar
kilojoule (4,18 × kilokalori). Unit-unit ini mencerminkan cara energy pengeluaran sudah, dan
sampai batas tertentu masih diukur. Energi panas dilepaskan sebagai Hasil proses metabolisme
dapat diukur dalam kalorimeter seluruh tubuh baik secara langsung atau secara tidak langsung
dengan menentukan jumlah oksigen yang dikonsumsi dan karbon dioksida diproduksi selama
periode waktu tertentu. Penilaian pengeluaran energi selama bebas hidup sulit bahkan ketika
menggunakan sistem portabel untuk mengukur konsumsi oksigen. Pendekatan kompromi adalah
pendekatan yang menggunakan pemantauan detak jantung atau bahkan kecil akselerometer untuk
mendapatkan estimasi pengeluaran energi harian individu. Pra-kalibrasi individu yang
melakukan serangkaian aktivitas normal, di laboratorium, sementara detak jantung dan konsumsi
oksigen diukur adalah prasyarat yang diperlukan untuk setiap penelitian yang menggunakan
detak jantung sebagai metode estimasi pengeluaran energy selama hidup bebas. Hanya ketika
prosedur kalibrasi biologis pendahuluan ini digunakan, lakukan hasil yang diperoleh mulai
mendekati yang ditemukan dalam studi kalorimetri seluruh tubuh.

Air berlabel ganda yang dikembangkan baru-baru ini (2H2 18O) memiliki potensi
menyediakan metode yang lebih akurat untuk menilai pengeluaran energi selama hidup bebas
daripada metode tradisional (James, Haggarty dan McGaw, 1988). Ketika mempertimbangkan
tuntutan energi dari latihan dan kecukupan gizi diet untuk olahragawan aktif dan wanita perlu
diingat bahwa ada sejumlah besar energi metabolik yang dibutuhkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri tubuh. Pengeluaran energi pemeliharaan dapat dinilai dari metabolisme
basal rate (BMR); Namun, dalam praktiknya sangat sulit untuk memenuhi persyaratan yang
diperlukan mendapatkan kondisi yang benar-benar basal bahwa laju metabolisme istirahat diukur
sebagai penutupan perkiraan (RMR). RMR seseorang yang duduk diam saat istirahat sebelum
memulai latihan dapat dinilai dari pengetahuan tentang konsumsi oksigen dan
rasio pertukaran pernapasan (R) (yaitu, rasio produksi karbon dioksida terhadap oksigen
konsumsi). Nilai R memberikan estimasi proporsi relatif lemak dan
karbohidrat dimetabolisme untuk memberikan energi pemeliharaan normal
fungsi tubuh. Dari nilai R dan konsumsi oksigen jumlah energi
dilepaskan per liter oksigen yang dikonsumsi dapat dihitung (Consolazio dan Johnson, 1963).
Namun harus diakui bahwa konversi energi yang dapat dimetabolisme dalam makanan
barang-barang (yang sekitar 95% dari kandungan energi absolut dari makanan) hanya
menangkap
sekitar 40% dalam bentuk energi yang dapat digunakan secara biokimia, yaitu ATP. 60% sisanya
hilang karena panas dan panas inilah yang menjaga suhu tubuh istirahat pada 37 ° C.

Laju metabolisme istirahat atau pemeliharaan menyumbang sekitar dua pertiga dari energi
harian pengeluaran dan dapat diperkirakan dari persamaan berdasarkan usia dan berat individu.
Misalnya, untuk rentang usia 18-30 tahun. RMR seseorang duduk diam saat istirahat sebelum
memulai Latihan dapat dinilai dari pengetahuan tentang konsumsi oksigen dan rasio pertukaran
pernapasan (R) (yaitu, rasio produksi karbon dioksida terhadap oksigen,konsumsi). Nilai R
memberikan estimasi proporsi relatif lemak dan karbohidrat dimetabolisme untuk memberikan
energi pemeliharaan normal fungsi tubuh.

Dari nilai R dan konsumsi oksigen jumlah energy dilepaskan per liter oksigen yang
dikonsumsi dapat dihitung (Consolazio dan Johnson, 1963). Namun harus diakui bahwa konversi
energi yang dapat dimetabolisme dalam makanan barang-barang (yang sekitar 95% dari
kandungan energi absolut dari makanan) hanya menangkap sekitar 40% dalam bentuk energi
yang dapat digunakan secara biokimia, yaitu ATP. 60% sisanya hilang karena panas dan panas
inilah yang menjaga suhu tubuh istirahat pada 37 ° C.

BMR diperkirakan berasal dari persamaan berikut (Organisasi Kesehatan Dunia, 1985):

For men: BMR (kcal/24 h)=17.5 W+651


For women:- BMR (kcal/24 h)=14.7 W+496

Dari persamaan ini, BMR dapat dihitung per menit atau per jam dan kemudian kontribusi untuk
pengeluaran energi dari putaran kegiatan harian dapat diperkirakan. Untuk Misalnya,
pengeluaran energi selama tidur dihitung sebagai 1,0 × BMR sedangkan Pengeluaran energi saat
bangun tidur dihitung sebagai 1,4 × BMR. Pengaturan waktu semua aktivitas sepanjang hari dan
kemudian menghitung pengeluaran energi mereka dari tabel energy konstanta pengeluaran
memberikan perkiraan pertama yang berguna dari energi keseluruhan pengeluaran individu
(WHO, 1985; Durnin dan Passmore; 1967). Kapan mempertimbangkan persamaan
keseimbangan energi, faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme istirahat Tingkat mungkin
lebih penting untuk penurunan berat badan, pada individu yang tidak banyak bergerak, daripada
peningkatan pengeluaran energi melalui aktivitas fisik. Sementara kebiasaan meningkat
aktivitas fisik, melalui program pelatihan kebugaran, telah terbukti mengurangi tubuh Lemak
pada subjek laki-laki, bukti yang tersedia menunjukkan bahwa perubahan serupa pada tubuh
Komposisi mungkin tidak terjadi begitu mudah pada wanita kecuali disertai dengan berkurang
asupan energi. Disarankan bahwa ada peningkatan efisiensi dengan makanan yang mana
dimetabolisme pada wanita pada asupan makanan terbatas, yang mungkin merupakan
mekanisme untuk melindungi toko bahan bakar terbatas, namun penting, (untuk ulasan lihat
Brownell, Steen dan Wilmore, 1987). Penting juga untuk diingat bahwa kecocokan asupan
energi dan energy pengeluaran tampaknya tidak terjadi setiap hari. Studi ekstensif selesai
pada akhir 1960-an tentang wajib militer menunjukkan bahwa keseimbangan energi yang nyata
saja mulai muncul, setidaknya dalam hal aritmatika, ketika periode pengamatan lebih besar
dari tujuh hari (Edholm et al., 1970). Pelari daya tahan tampaknya mampu mempertahankan
keseimbangan energi mereka pada asupan yang cukup sederhana sekitar 2000–3500 kkal per hari
meskipun mereka mencakup jarak yang cukup jauh dalam pelatihan. (Tentu saja, selalu ada
masalah 'efek pengamat' saat mengumpulkan informasi tentang asupan energi saat menggunakan
bahkan metode asupan tertimbang 7 hari (Marr, 1971). Namun demikian, ini mengejutkan dan
mendorong hasil yang serupa untuk asupan energy dan komposisi makanan diperoleh untuk
kelompok yang sama bahkan ketika survei dilakukan oleh pengamat yang berbeda (Pendek dan
Pendek, 1983). Dalam daya tahan yang sangat menuntut kompetisi, seperti Tour de France,
keseimbangan energi tampaknya dipertahankan dalam meskipun pengeluaran energi besar
sekitar 6000 kkal per hari (25 MJ). Itu asupan energi yang diperlukan untuk mencocokkan
pengeluaran energi dari pengendara sepeda profesional bisa
hanya dapat dicapai dengan menambah diet kebiasaan sehari-hari mereka dengan terkonsentrasi
solusi karbohidrat (Saris, van Erp-Baart dan Brouns, 1989). Seharusnya pengendara sepeda ini
tidak dapat mengkonsumsi makanan berenergi tinggi setiap hari maka mereka mungkin tidak
bisa menyelesaikan kompetisi 22 hari karena kurangnya kesempatan untuk membuat
defisit yang terjadi. Sementara kegagalan untuk mempertahankan keseimbangan energi, terutama
dalam hal asupan karbohidrat, pasti akan mengarah pada penurunan kinerja fisik, hanya saja
pada kesempatan langka itu adalah peristiwa yang mengancam jiwa. Salah satu contoh dramatis
dan tragis adalah hilangnya ekspedisi Scott yang terkenal pada tahun 1913 selama upayanya
untuk menjadi yang pertama mencapai Kutub Selatan. Pengeluaran energi harian para penjelajah
ini baru-baru ini diperkirakan antara 5000 kkal (21 MJ) dan 7000 kkal (29 MJ) / hari
jauh melebihi asupan energi mereka sekitar 4.300 kkal (18 MJ) / hari. Telah menyarankan bahwa
defisit energi ini terutama bertanggung jawab atas ketidakmampuan Scott dan miliknya empat
teman yang berhasil menyelesaikan perjalanan pulang dari Kutub Selatan daripada kekurangan
vitamin C (scurvy) (Stroud, 1987).
1.3 TOKO ENERGI

Bahan bakar untuk produksi energi disimpan dalam bentuk karbohidrat dan lemak
protein, yang merupakan unsur utama otot, cenderung hanya digunakan sebagai bahan bakar
toko karbohidrat sangat rendah (Lemon dan Mullen, 1980; Callow, Morton dan Guppy, 1986).
Karbohidrat disimpan dalam otot rangka dan hati sebagai polimer glukosa yang disebut glikogen.
Disajikan dalam satuan glukosa (glukosil) glikogen konsentrasi otot rangka manusia berada pada
kisaran 60–150 mmol kg − 1 berat basah (w.w.) atau 258–645 mmol kg − 1 berat kering (w.9).
Metabolisme antara dalam degradasi glikogen bertahap ditunjukkan pada Gambar 1.3 bersama-
sama dengan titik-titik di jalur di mana tingkat glikolisis dapat dikontrol. Degradasi glikogen
menjadi membentuk glukosa terfosforilasi, glukosa 6-fosfat, dikendalikan oleh enzim fosforilasa,
yaitu fosforilase a. Aktivasi fosforilase, dan karenanya glikogenolisis, terjadi sebagai akibat dari
peningkatan konsentrasi sarkoplasma Ca2 + dan juga sebagai hasil dari peningkatan sirkulasi
adrenalin.

Ukuran penyimpanan glikogen di hati tergantung pada status gizi individu. Misalnya, dalam
keadaan makan, hati orang dewasa dengan berat sekitar 1,8 kg, mengandung sekitar 90 g atau
550 mmol unit glukosil, sedangkan setelah puasa semalaman konsentrasi glikogen turun menjadi
sekitar 200 mmol tetapi setelah beberapa hari pada tinggi diet karbohidrat itu dapat meningkat
hingga 1000 mmol (Nilsson dan Hultman, 1973). Menariknya, puasa semalaman tampaknya
tidak menurunkan glikogen otot konsentrasi seperti halnya dengan glikogen hati (Maughan dan
Williams, 1981). Hati glikogen adalah reservoir dari mana glukosa dilepaskan untuk
mempertahankan darah konsentrasi glukosa dalam kisaran nilai yang cukup sempit dan berada di
bawah kendali glukagon, hormon yang dilepaskan dari sel-sel alfa dari Pulau Langerhans,
di pankreas, ketika konsentrasi glukosa darah menurun (Newsholme, 1976). Itu
sistem saraf pusat menggunakan kira-kira 120 g glukosa darah sehari sebagai utamanya, tetapi
tidak eksklusif, substrat untuk metabolisme energi dan pengurangan glukosa darah konsentrasi
ke tingkat yang rendah, yaitu hipoglikemia, sering disertai dengan pusing dan sakit kepala.
Masuknya glukosa ke hati, sebagai hasil pencernaan dan penyerapan makanan karbohidrat, tidak
di bawah kendali hormon seperti halnya masuknya glukosa ke dalam jaringan adiposa dan sel-sel
otot. Insulin, dilepaskan dari sel beta Pulau Langerhans, mengatur pengambilan glukosa menjadi
sel otot dan lemak tetapi selama latihan ada penurunan konsentrasi insulin yang berbanding
terbalik dengan sirkulasi konsentrasi noradrenalin (Pruett, 1970).

1.4 MORFOLOGI OTOT

Metabolisme aerobik glikogen dan asam lemak terjadi pada serat otot ditandai dengan
kapasitas oksidatif tinggi, kecepatan mereka yang tampaknya lambat kontraksi dan kualitas daya
tahan tinggi. Otot cepat berkontraksi, cepat lelah serat-serat terutama bergantung pada glikol-
genolisis untuk resintesis ATP karena lebih rendah kapasitas oksidatif dan sifat fungsinya
(Barnard et al., 1971; Burke et al., 1971). Dua populasi serat ini ditemukan di semua otot dalam
proporsi berbeda dan itu adalah kehadiran dari jumlah yang lebih besar dari satu atau yang lain
yang menentukan apakah Otot memiliki kecepatan kontraktil yang cepat atau lambat. Kecepatan
otot kontrak serat terkait dengan tingkat konversi ATP menjadi pelepasan energy ADP terjadi.
Pemisahan fosfat energi tinggi, ATP, dikatalisis oleh enzim myosin ATPase (myofibrillar
adenosine triphosphatase) dan otot dengan tinggi kecepatan kontraktil telah ditemukan memiliki
aktivitas ATPase myosin tinggi (Barany,1967).

Nilai karakterisasi histokimia serat otot manusia diperpanjang oleh Aspek metabolik dari
latihan 13 Dimasukkannya prosedur pewarnaan untuk glikogen, karena memungkinkan latihan
yang diinduksi perubahan konsentrasi glikogen harus dijelaskan untuk setiap populasi serat. Jadi
dari perubahan intensitas noda glikogen, pola rekrutmen masing – masing populasi serat otot
dapat digambarkan (Kugelberg dan Edstrom, 1968). Hasil dari studi menggunakan teknik ini
pada otot hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa Pola rekrutmen selama latihan dengan
intensitas yang meningkat adalah sebagai berikut:
Tipe I> Tipe
IIa> Tipe IIb (Kugelberg dan Edstrom, 1968; Gollnick et al., 1973, 1974; Edgerton et al.,
1975).

Selama latihan intensitas tinggi yang berkepanjangan, seperti lari lintas negara, glikogen
penipisan terjadi pada serat Tipe I dan ketidakmampuan serat ini untuk mempertahankan
tingkat kontraktil yang diinginkan mungkin bertanggung jawab atas timbulnya kelelahan (Costill
et al., 1973). Sedangkan penipisan glikogen bukan merupakan faktor pembatas selama periode
singkat tinggi latihan intensitas, seperti lari cepat, mungkin menjadi faktor kontribusi selama
singkat latihan intensitas tinggi intermiten seperti dalam beberapa olahraga lari Rugby, sepak
bola dan hoki (Saltin, 1973; MacDougall et al., 1977). Latihan intensitas tinggi membutuhkan
kontribusi serat Tipe I dan Tipe II dan ada beberapa bukti yang disarankan bahwa Tipe II, yaitu,
serat berkedut cepat, mengalami penipisan glikogen lebih cepat daripada serat Tipe I (Edgerton
et al., 1975; Essen, 1978a). Ini tidak terduga, tentu saja, karena serat Tipe IIb memiliki kapasitas
aerobik yang rendah dan terutama memperoleh energinya dari glikogenolisis.
1.5 LATIHAN SUBMAXIMAL

beberapa menit, seperti berjalan, berenang atau jogging, kebutuhan energi untuk bekerja
otot disediakan oleh metabolisme aerob. Ini mudah ditunjukkan dengan mengukur pengambilan
oksigen seseorang pada interval waktu yang berbeda selama latihan konstan intensitas. Pada
awal latihan, jumlah oksigen yang digunakan kurang dari itu diperlukan dan hanya setelah
beberapa menit konsumsi oksigen mencapai kondisi stabil di mana kebutuhan oksigen
tampaknya dipenuhi oleh pasokan oksigen (Gambar 1.4). Perbedaan antara penawaran dan
permintaan oksigen pada awal latihan disebut Deficit defisit oksigen ’(Åstrand dan Rodahl,
1970).
Keterlambatan dalam mencapai kondisi mantap konsumsi oksigen selama latihan
submaksimal intensitas konstan telah dijelaskan dalam hal kelesuan yang diberikan sistem
kardiovaskular oksigen pada awal latihan (Margaria et al., 1963). Namun, itu harus dihargai
bahwa peningkatan metabolisme oksidatif dirangsang oleh peningkatan ADP konsentrasi dalam
mitokondria. Aktivitas kontraktil otot pada awal Olahraga meningkatkan konsentrasi ADP dalam
sarkoplasma dan sehingga dibutuhkan waktu untuk itu translokasi ADP dari sarkoplasma ke
mitokondria. Karena itu, keterlambatan dalam mencapai konsumsi oksigen dalam kondisi mapan
bukan hanya respons yang lamban tetapi sistem kardiovaskular terkait dengan kejadian seluler
yang bertanggung jawab meningkatkan laju metabolisme. Selama awal latihan defisit dalam
aerobic produksi energi dicakup oleh kontribusi dari tiga non-oksidatif berikut
atau reaksi anaerob, yaitu

PCr + ADP → ATP + Cr


ADP + ADP → ATP + AMP
Glikogen → 3 ATP + Laktat + H +

semua permintaan oksigen dipenuhi oleh oksigen yang disuplai, yaitu kondisi mapan aerobik.
Pelatihan meningkatkan kepadatan kapiler dan mitokondria pada otot rangka (Ingjer, 1979) dan
perubahan-perubahan ini diharapkan berkontribusi pada laju oksigen yang lebih cepat konsumsi
pada awal latihan dan karenanya pengurangan defisit oksigen. Ada beberapa bukti untuk
mendukung proposisi ini dari studi tentang kinetika transport oksigen individu yang terlatih dan
tidak terlatih pada awal latihan (Weltman dan Katch, 1976; Hagberg, Nagle dan Carlson, 1978;
1980). Namun, laju transpor oksigen semakin besar bukan hanya hasil dari perbedaan dalam
ukuran O2max individu seperti yang telah terjadi disarankan dalam beberapa penelitian
(Hagberg, Nagle dan Carlson, 1978; Powers, Dodd dan Beadle, 1985), tetapi lebih cenderung
terkait dengan status pelatihan individu (Hickson, Bomze dan Holloszy, 1978). Misalnya, dalam
sebuah studi yang meneliti paruh waktu penyerapan oksigen pada awal latihan submaksimal
pada pelari pria dan wanita yang serupa status pelatihan tetapi dengan nilai O2max berbeda,
tidak ada hubungan yang signifikan dengan nilai O2max atau kecepatan lari absolut (Lake et al.,
1986). Namun, hubungan antara peningkatan kinerja dan penyerapan oksigen sebagai
hasil dari pelatihan pada atlet yang sudah terlatih, belum sepenuhnya diperiksa.

1.6
PEMILIHAN ANAEROBIK

Selama latihan peningkatan intensitas terjadi peningkatan konsentrasi asam laktat darah
dan respons ini pertama kali dilaporkan lebih dari setengah abad yang lalu (Owles, 1930; Bang,
1936). Sedangkan penampilan laktat dalam darah saat berolahraga merupakan hasil dari
peningkatan glikogenolisis, penting untuk mengetahui bahwa konsentrasinya, kapan saja,
hasilnya keseimbangan antara tingkat produksi dan pemindahan (Brooks, 1986). Namun
selama latihan meningkatkan intensitas, peningkatan konsentrasi laktat darah adalah indikasi
peningkatan metabolisme glikogen (Saltin dan Karlsson, 1971). Peningkatan ini dalam
konsentrasi laktat darah telah ditafsirkan sebagai refleksi dari timbulnya hipoksia pada otot
rangka dan intensitas latihan di mana metabolisme anaerob melengkapi regenerasi ATP oleh
metabolisme aerobik yang telah disebut 'Ambang batas anaerob' (Wasserman dan Mcllroy, 1964;
Wasserman et al., 1973; Davis, 1985; Katz dan Sahlin, 1988).

Identifikasi ambang anaerob dari pemeriksaan peningkatan non-linear dalam tingkat ventilasi
paru didasarkan pada Premis sederhana bahwa hipoksia dalam kerja otot rangka mengarah pada
pembentukan laktat asam yang meninggalkan otot dan menstimulasi respirasi (Wasserman dan
Mcllroy, 1964; Wasserman et al., 1973). Translokasi asam laktat dari otot rangka ke sirkulasi
vena mungkin terjadi sebagai ion laktat dan hidrogen secara independen satu sama lain
(Mainwood dan Renaud, 1985). Ion hidrogen disangga oleh plasma bikarbonat menghasilkan
peningkatan produksi karbon dioksida dan pendamping peningkatan ventilasi paru. Ini dikenal
sebagai kompensasi pernapasan untuk asidosis metabolik dan merupakan salah satu garis
pertahanan pertama melawan perkembangan asidosis. Baru-baru ini istilah 'ambang ventilasi' dan
'ambang laktat' telah digunakan ketika mencoba untuk mendefinisikan ambang anaerob dari
perubahan pernapasan dan respons laktat darah untuk berolahraga.

1.7 LATIHAN MAKSIMUM

Jumlah peserta dalam berbagai olahraga sprint yang meliputi, misalnya, sepak bola, hoki,
olahraga raket, dll. jauh melebihi jumlah yang mengambil bagian dalam jarak berlari, bahkan
ketika itu paling populer. Periode singkat latihan maksimal diselingi dengan periode aktivitas
intensitas rendah adalah karakteristik dari banyak olahraga lari cepat. Tingkat aktivitas dan
pemulihan antara periode intensitas tinggi latihan bervariasi antara olahraga dan dalam olahraga
itu sendiri. Sambil mengenali brief itu periode latihan intensitas tinggi adalah bagian dari
pengalaman umum, terlepas dari arena di mana mereka dilakukan, aspek kinerja manusia ini
belum diterima sebagai banyak perhatian seperti, misalnya, latihan submaksimal yang
berkepanjangan. Namun, ada Ada beberapa kebingungan istilah yang mungkin menimbulkan
kesan bahwa ada banyak literatur tentang respons metabolik terhadap olahraga maksimal.

Olahraga fisiolog telah menggunakan istilah latihan maksimal untuk menggambarkan


intensitas latihan dimana seseorang mencapai pengambilan oksigen maksimal (Essen, 1978b).
Namun, selama latihan maksimal singkat durasi 5-6 detik, periode aktivitas kontinu maksimal
sering diamati selama beberapa olahraga sprint, output daya yang dicapai adalah dua hingga
tiga kali lebih tinggi dari yang dicatat sebagai 'maksimal' selama tes penyerapan oksigen
maksimal Aspek metabolik (Lakomy, 1984, 1986).
Dalam penelitian sebelumnya yang telah menyatakan bahwa 'latihan maksimal' berdurasi 10
detik bisa Diulang tanpa batas waktu selama ada periode pemulihan 25-30 detik, latihan
Intensitas hanya yang diperlukan untuk mencapai penyerapan oksigen maksimal. Itu
tidak adanya peningkatan yang signifikan dalam konsentrasi laktat darah selama latihan ini
Intensitas menyebabkannya digambarkan sebagai 'alactic' (Margaria et al., 1969),
menunjukkan bahwa resintesis ATP hanya terjadi sebagai akibat dari fosforilasi ADP oleh
menyimpan fosfokreatin dalam otot. Namun, penelitian terbaru menunjukkan hal itu selama
periode singkat latihan intensitas tinggi dengan durasi hanya 6 detik, otot laktat Konsentrasi
meningkat sekitar 200% (Tabel 1.3; Boobis, Williams dan Wootton, 1982). Selama periode
singkat latihan intensitas tinggi ini, fosforilasi ADP oleh phosphocreatine berkontribusi 50%
untuk resintesis ATP sedangkan glikolisis menyumbang 50% sisanya (Boobis, 1987). Setelah
konsentrasi fosfokreatin turun ke nilai rendah, daya puncak output tidak dapat dipulihkan
meskipun glikolisis terus menyediakan ATP (Wootton dan Williams, 1983; Boobis, 1987; Spriet
et al., 1987a). Kelelahan selama latihan maksimal durasi beberapa detik dapat dilihat sebagai
ketidakcocokan sederhana antara tingkat pemanfaatan ATP, dengan otot yang bekerja, dan
tingkat di mana ia digantikan oleh berbagai proses fosforilasi. Meskipun ada beberapa dukungan
untuk penjelasan khusus ini untuk proses kelelahan (Gollnick, 1986) penjelasan alternatif adalah
bahwa pemanfaatan ATP dan bukan resintesis ATP dihambat, oleh produk metabolisme, yaitu
ion hidrogen dan atau fosfat (Hultman, Spriet dan Sodelund, 1987). Penghambatan aktivitas
mekanik pada otot sehingga menurun kemampuan untuk mempertahankan output daya yang
ditentukan, telah dikaitkan dengan penurunan ketersediaan dari Ca2 + (Vollestad dan Sejersted,
1988).

Tentunya tingkat peningkatan produksi ATP oleh glikogenolisis yang diinduksi adrenalin
tampaknya tidak mengembalikan output daya oleh manusia otot paha depan selama awal
kelelahan (Spriet, Ren dan Hultman, 1988). Selanjutnya, penurunan pH otot selama latihan
intensitas tinggi atau berulang periode stimulasi listrik tidak sepenuhnya menghambat glikolisis,
menunjukkan hal itu otot masih mampu menghasilkan ATP bahkan pada nilai pH yang sangat
rendah (Spriet et al., 1987b).

Oleh karena itu bukti ini berkontribusi pada argumen bahwa kelelahan bukan hanya hasil dari
ketidakcocokan antara tingkat regenerasi dan pemanfaatan ATP tetapi bahwa penghambatan
pemanfaatan ATP mungkin merupakan faktor kontribusi yang signifikan terhadap timbulnya
kelelahan. Gagasan bahwa seseorang mengembangkan 'toleransi laktat' setelah pelatihan telah
dikutip begitu sering dalam lingkaran pembinaan sehingga telah diterima sebagai kebenaran
umum. Itu kemampuan untuk mentolerir latihan intensitas tinggi untuk periode waktu yang lebih
lama atau untuk menghasilkan yang lebih tinggi output daya setelah pelatihan biasanya disertai
dengan peningkatan konsentrasi otot dan laktat darah.

Namun, saat latihan dan sesudahnya intensitas latihan durasi sama dengan kondisi sebelum
pelatihan maka konsentrasi laktat adalah tidak berubah atau menurun. Kelelahan terjadi selama
latihan dinamis pada nilai pH otot yang lebih tinggi dalam pelatihan daripada dalam mata
pelajaran yang tidak terlatih (Sahlin dan Henriksson, 1984) dan setelah pelatihan dibandingkan
dengan nilai-nilai sebelum pelatihan (Cheetham et al., 1989); ini sangat menunjukkan bahwa otot
menjadi 'tidak toleran terhadap asam laktat' setelah pelatihan. Mekanismenya diusulkan untuk
'intoleransi' ini termasuk peningkatan kapasitas buffer intraseluler (Parkhouse dan MacKenzie,
1984) dan kemungkinan peningkatan laju penghilangan hydrogen ion keluar dari otot
(Mainwood dan Renaud, 1985). Ada beberapa bukti untuk disarankan pelatihan yang
meningkatkan kapasitas penyangga otot rangka dan ini ditawarkan sebagai penjelasan untuk
peningkatan kapasitas kerja selama latihan intensitas tinggi (Sharp et al., 1986; Cheetham et al.,
1989).

VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat saya ambil ialah, Fisiologi Olahraga merinci dan menerangkan
perubahan fungsi yang disebabkan oleh latihan tunggal atau latihan yang dilakukan secara
berulang-ulang dengan tujuan untuk respon fisiologi tehadap intensitas , durasi, frekuensi
latihan,keadaan lingkungan status fisiologis tetentu.
Fisiologi OLahraga adalah bagian atau cabang dari fisiologi yang khusus mempelajari
peubahanfungsi yang disebabkan oleh latihan fisik.

B. Saran
Saran saya ialah, untuk melakukan suatu kegiatan olahraga sebaiknya mengetahui lebih
dahulu tentang sistem organ serta sistem energi pada tubuh, agar pada saat melakukan suatu
kegiatan olahraga tidak terjadi cidera.

Demikianlah tugas ini saya buat dengan segala kemampua dan berdasarkan apa yang saya
amati dan saksikan. Mungkin masih banyak kesalahan yang terdapat dalam pembuatan ataupun
isi dari tugas ini, untuk itu saya mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun bagi saya
agar dapat memperbaiki kesalahan untuk tugas kedepan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai