PENDAHULUAN
Transplantasi ginjal merupakan salah satu modalitas terapi pengganti ginjal untuk
pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Transplantasi ginjal dinilai lebih superior
dibandingkan dialisis karena angka kesintasan yang lebih tinggi, kualitas hidup pasien
yang lebih baik serta biaya yang lebih efektif. 1 Transplantasi ginjal dari donor hidup
dinilai lebih baik daripada donor kadaver karena jaringan ginjal donor yang lebih
sehat dan waktu tunggu yang lebih singkat. 2 Di Indonesia, transplantasi ginjal hanya
dilakukan dengan donor hidup.
Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang aman baik bagi donor maupun resipien
dengan angka kesintasan yang baik, terutama jangka pendek. Angka kesintasan
transplantasi ginjal terdiri atas kesintasan pasien dan kesintasan graft, baik all-cause
maupun death-censored.3 Angka kesintasan pasien dan graft dalam jangka pendek
bervariasi di berbagai negara. Wang et al membandingkan angka kesintasan pasien
transplantasi ginjal dengan donor hidup di berbagai negara maju dan mendapatkan
rentang angka kesintasan 1 tahun pasien dan graft masing-masing sebesar 98-99%
dan 95-98%.4
Penelitian di luar negeri melaporkan bahwa meskipun angka kesintasan pasien dan
graft dalam jangka pendek meningkat seiring dengan kemajuan transplantasi ginjal,
kesintasan jangka panjang cenderung tidak meningkat secara bermakna.5,6 Sebagian
besar studi menunjukkan kecenderungan penurunan angka kesintasan baik kesintasan
pasien maupun graft dari tahun pertama ke tahun-tahun berikutnya. Sama halnya
dengan kesintasan jangka pendek, kesintasan jangka panjang di berbagai negara
menunjukkan hasil yang bervariasi. Rentang kesintasan 20 tahun adalah masing-
masing 64-68% dan 23-64% untuk kesintasan pasien dan kesintasan graft. 6,7
Sayangnya, hingga saat ini data kesintasan jangka panjang transplantasi ginjal di
Indonesia masih terbatas.
Berbagai studi terdahulu telah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
kesintasan transplantasi ginjal, baik faktor yang terkait donor maupun yang terkait
resipien. Faktor yang terkait donor diantaranya adalah usia, jenis kelamin, indeks
massa tubuh (IMT), hubungan keluarga dengan resipien, laju filtrasi glomerulus
(LFG) pradonasi dan ketidakcocokan human leukocyte antigen (HLA), kecocokan
crossmatch dengan resipien. Adapun faktor yang terkait resipien diantaranya adalah
usia, jenis kelamin, IMT, kadar hemoglobin, kadar albumin darah, lama dialisis, jenis
dialisis sebelum transplantasi, merokok, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular,
infeksi, dan delayed graft function.
Sejak pertama kali dilakukan pada tahun 1977, transplantasi ginjal di Indonesia telah
mengalami banyak perubahan, salah satunya kriteria donor yang cenderung lebih
permisif. Seiring dengan kemajuan transplantasi ginjal di Indonesia, lebih banyak
extended criteria donor yang diperbolehkan untuk mendonasikan ginjalnya. Dengan
demikian, angka kesintasan transplantasi ginjal di Indonesia serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya mungkin akan ikut berubah. Diperlukan penelitian terbaru
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal di
Indonesia.
1.3. Hipotesis
11.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui angka kesintasan transplantasi ginjal
jangka panjang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Kesintasan transplantasi ginjal terdiri dari kesintasan pasien dan kesintasan graft.
Kesintasan pasien menunjukkan persentase jumlah resipien yang bertahan hidup pada
waktu tertentu setelah transplantasi, sedangkan kesintasan graft menunjukkan
persentase jumlah resipien dengan graft yang berfungsi pada waktu tertentu setelah
transplantasi. Adapun kesintasan graft dapat dianalisis berdasarkan dua metode yaitu
death-censored graft survival dan all-cause graft survival. Pada analisis death-
censored graft survival, pasien yang meninggal dunia dengan graft yang masih
berfungsi dianggap sebagai pasien dengan keberhasilan graft, sedangkan pada analisis
all-cause graft survival, pasien yang meninggal dunia dengan graft yang masih
berfungsi dianggap sebagai pasien dengan kegagalan graft.3
Perkembangan serupa tidak dijumpai pada kesintasan jangka panjang. Beberapa studi
melaporkan kesintasan jangka panjang transplantasi ginjal saat ini tidak banyak
meningkat dibandingkan kesintasan jangka panjang di masa sebelumnya.5,6 Hal
tersebut mungkin dipengaruhi semakin banyaknya transplantasi ginjal yang dilakukan
dengan expanded criteria donor (ECD).9 ECD adalah donor yang sebenarnya tidak
memenuhi syarat untuk mendonasikan ginjal karena usia yang terlalu tua atau faktor
klinis lainnya, namun diperbolehkan untuk mendonasikan ginjalnya atas
pertimbangan tertentu. ECD terkait dengan fungsi ginjal yang kurang baik, sehingga
maraknya transplantasi ginjal dengan ECD akhir-akhir ini mungkin berdampak pada
kesintasan jangka panjang yang kurang baik.
Kesintasan transplantasi ginjal dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang terkait
donor maupun yang terkait resipien.
Englum et al juga melaporkan kesintasan resipien yang lebih buruk pada transplantasi
ginjal dengan donor lebih tua (p = 0,04 untuk donor 65-69 tahun, p = 0,01 untuk
donor > 70 tahun). Pada studi ini pun, setelah dilakukan penyesuaian terhadap usia
resipien, perbedaan kesintasan menjadi kurang bermakna.11
Kesintasan graft juga dipengaruhi oleh usia donor. Namun, berbeda dengan
kesintasan resipien, pengaruh usia donor terhadap kesintasan graft tetap bermakna
setelah penyesuaian terhadap faktor risiko, terutama pada usia donor > 70 tahun (p <
0,001).12 Sementara itu menurut Noppakun et al, peningkatan usia donor berkaitan
dengan kesintasan pasien yang lebih buruk, namun hubungan tersebut baru terlihat
pada donor yang berusia lebih dari 40 tahun.10
Mekanisme yang mendasari hubungan usia donor dengan kesintasan transplantasi
ginjal mungkin berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal pradonasi akibat proses
penuaan fisiologis. Proses penuaan mengurangi respons ginjal terhadap vasodilator
dan vasokonstriktor sehingga aliran darah ke ginjal menurun.12 Selain itu
komorbiditas seperti diabetes mellitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular
lainnya juga lebih banyak ditemukan pada donor yang lebih tua. Namun, perlu
diperhatikan bahwa studi terdahulu menemukan bahwa kegagalan graft pada resipien
dari donor yang lebih tua tidak berkaitan dengan LFG donor pradonasi. 10,13 Hasil
tersebut mungkin dapat dijelaskan oleh penurunan renal functional reserve akibat
penuaan dan gangguan kardiovaskular, meskipun belum ada penurunan LFG.14
Di samping itu, luaran yang kurang baik pada transplantasi dengan donor yang lebih
tua mungkin dipengaruhi oleh mismatch ukuran ginjal donor dan resipien. Proses
penuaan terkait dengan sklerosis glomerulus. Akibatnya, massa nefron yang
didonasikan lebih sedikit dan dapat menyebabkan mismatch ukuran ginjal dengan
resipien. Mismatch ukuran ginjal memicu hiperfiltrasi pada resipien sehingga
berpotensi mengakibatkan proteinuria, fungsi graft yang lebih rendah dan risiko
kegagalan graft yang lebih tinggi.15
Pengaruh jenis kelamin terhadap kesintasan transplantasi ginjal telah banyak diteliti
namun hasil yang didapatkan cenderung bervariasi. Resipien perempuan cenderung
menunjukkan kesintasan yang lebih tinggi. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh
hormon dan proses imunologis pada wanita yang memberikan efek proteksi.
Penelitian yang lebih baru banyak meneliti pengaruh matching jenis kelamin donor
dan resipien terhadap luaran transplantasi ginjal. Beberapa studi mengelompokkan
subjek berdasarkan jenis kelamin donor dan resipien menjadi empat kelompok: donor
laki-laki dengan resipien laki-laki (Kelompok I), donor laki-laki dengan resipien
perempuan (Kelompok II), donor perempuan dengan resipien laki-laki (Kelompok
III) dan donor perempuan dengan resipien perempuan (Kelompok IV). Sebagian
besar penelitian melaporkan luaran yang lebih buruk pada kelompok III.
Morgan et al melaporkan walaupun tidak ada perbedaan kesintasan antara keempat
kelompok, risiko DGF dan kadar kreatinin pada tahun pertama, ketiga dan kelima
lebih tinggi terjadi pada resipien yang menerima ginjal dari donor perempuan (p <
0,001).
Studi terdahulu mengenai hubungan indeks massa tubuh donor dengan luaran
transplantasi ginjal menunjukkan hasil yang bervariasi. Naik et al menemukan bahwa
risiko death-censored graft failure dipengaruhi oleh IMT. Setelah dilakukan
klasifikasi berdasarkan IMT donor menjadi kelompok IMT <20 (underweight), 20-25
(normal), 25-30 (overweight), 30-35 (mildly obese) dan >35 (very obese) kg/m2,
didapatkan bahwa semakin tinggi IMT maka semakin tinggi risiko death-censored
graft failure pada resipien (HR = 1,06, 1,16 dan 1,22 untuk kelompok overweight,
mildly obese dan very obese dibandingkan kelompok normal, p < 0,05).16
Mekanisme yang mendasari pengaruh IMT donor terhadap fungsi graft diduga
melibatkan suatu kondisi yang disebut obesity-related glomerulopathy (ORG). ORG
ditandai dengan hipertrofi glomerulus, glomerulosklerosis fokal segmental dan
effacement podosit. Pada biopsi juga didapatkan peningkatan luas permukaan planar
glomerulus dan dilatasi tubulus pada donor hidup yang obese.16
Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam transplantasi ginjal adalah donor harus
memiliki fungsi ginjal yang adekuat yang ditandai dengan LFG yang cukup baik.
Selain untuk melindungi donor dari risiko gagal ginjal pascadonasi, LFG pradonasi
donor juga berkaitan dengan kesintasan resipien pascatransplantasi ginjal. Terdapat
beberapa konsensus yang mengatur LFG donor minimal untuk dapat menjalani
nefrektomi. Sebagian menetapkan LFG pradonasi > 80 mL/menit/1,73 m2 sebagai
batas minimal, terkait dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan tingginya
risiko kegagalan graft pada resipien yang menerima ginjal donor dengan LFG
pradonasi kurang dari angka tersebut (RR 2,28, IK 95 1,18 – 4,38).18 Meskipun
demikian, Torreggiani et al menyebutkan bahwa pengaruh LFG donor terhadap
fungsi ginjal resipien pascatransplantasi hanya bertahan sampai 24 bulan
pascatransplantasi. Setelah 36 bulan, tidak didapatkan korelasi antara LFG donor
dengan fungsi graft pada resipien.14
Indeks massa tubuh resipien merupakan salah satu pertimbangan untuk menentukan
apakah seorang pasien dapat menjalani transplantasi ginjal. Beberapa konsensus
menyebutkan bahwa obesitas bukan merupakan kontraindikasi absolut untuk tindakan
transplantasi, namun pasien dengan IMT lebih dari 40 atau 45 kg/m 2 tidak
direkomendasikan untuk menjalani transplantasi ginjal. Hal tersebut berkaitan dengan
tingginya risiko komplikasi pada pasien obese yang menjalani transplantasi ginjal.
Studi terdahulu menyebutkan bahwa resipien yang obese lebih berisiko mengalami
DGF, gangguan kesintasan graft, masa perawatan yang lebih lama dan mortalitas
yang lebih tinggi.21
Di sisi lain, beberapa studi tidak menemukan pengaruh IMT terhadap kesintasan
transplantasi ginjal, baik kesintasan pasien maupun graft. Krishnan et al
mengelompokkan resipien menjadi enam kelompok berdasarkan IMT, namun tidak
ditemukan perbedaan bermakna antara kesintasan resipien dalam keenam kelompok
tersebut. Hasil tersebut mungkin dipengaruhi oleh penapisan risiko kardiovaskular
yang ketat pada calon resipien. Selain itu, regimen terapi imunosupresif yang lebih
baik juga diduga mempengaruhi peningkatan kesintasan pada resipien yang obese.22
Sebagian besar penelitian melaporkan luaran yang lebih baik pada pasien yang
menjalani preemptive transplantation. Preemptive transplantation terkait dengan
risiko rejeksi akut yang lebih rendah, serta kesintasan pasien maupun graft yang lebih
tinggi. Meskipun demikian, preemptive transplantation cenderung sulit untuk
dilakukan karena akses yang lebih sulit, tingkat pengetahuan pasien, disparitas
sosioekonomi serta status kesehatan pasien sendiri. Oleh karena itu, sebagian besar
pasien PGTA terlebih dahulu menjalani dialisis sebelum transplantasi.23
Hasil tersebut mungkin dipengaruhi oleh tingginya proporsi pasien dengan hipertensi
tidak terkontrol, malnutrisi dan kondisi lain seperti atherosklerosis pada pasien yang
menjalani dialisis kronis sebelum transplantasi. Kondisi-kondisi tersebut selanjutnya
berkaitan dengan penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab kematian
terbanyak pada resipien transplantasi ginjal.25 Meskipun demikian, Schold et al
menduga hasil tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi dibandingkan
paparan yang lebih lama terhadap dialisis. Pasien yang menjalani dialisis dalam
waktu lama cenderung kurang mendapat akses terhadap transplantasi, berkaitan
dengan faktor sosioekonomi yang lebih rendah.26
Sebaliknya, sebagian penelitian melaporkan bahwa tidak ada kaitan antara durasi
dialisis dengan kesintasan transplantasi ginjal. Hasil tersebut mungkin dipengaruhi
oleh kemajuan baik di bidang dialisis maupun di bidang transplantasi.
Pengaruh jenis dialisis terhadap luaran transplantasi masih belum diketahui jelas
karena penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang bervariasi. Sebagian penelitian
mendapatkan luaran yang lebih baik pada resipien yang sebelumnya menjalani
dialisis peritoneal (DP). Metaanalisis oleh Tang et al mendapatkan kesintasan pasien
5 tahun yang lebih baik pada kelompok DP (HR 0,86, p < 0,05). Kesintasan graft 10
tahun juga lebih baik pada kelompok DP (HR 0,97, p < 0,05).27
Di sisi lain, menurut Helal et al, sebelumnya dialisis peritoneal (DP) pratransplantasi
kurang diminati karena kekhawatiran untuk menempatkan organ transplan di dekat
ruang peritoneal yang mungkin terkontaminasi.28 Dugaan tersebut didukung oleh
studi terdahulu yang melaporkan risiko infeksi yang lebih tinggi dan durasi rawat
inap yang lebih lama pada resipien yang sebelumnya menjalani DP.29 Selain itu,
pasien yang menjalani DP juga dipercaya memiliki status imun yang lebih baik
dibandingkan pasien hemodialisis (HD) yang mengalami gangguan sistem imun
akibat uremia, sehingga dikhawatirkan pasien DP lebih berisiko mengalami rejeksi.28
Meskipun demikian, berbagai penelitian yang lebih baru melaporkan tidak ada
perbedaan bermakna antara kesintasan transplantasi ginjal pasien yang sebelumnya
menjalani DP dan HD. Adapun kesintasan pasien 1 tahun setelah transplantasi pada
kelompok DP dan HD adalah 88% dan 91%. Sementara itu, kesintasan graft 1 tahun
pada kelompok DP dan HD masing-masing sebesar 66% dan 72%.
2.2.1.6 Crossmatch
Pasien PGTA yang menjalani transplantasi dengan hasil crossmatch positif memiliki
luaran yang lebih baik dibandingkan pasien dialisis karena penggunaan terapi
imunosupresif desensitisasi yang adekuat untuk mencegah rejeksi akut. Meskipun
demikian, resipien yang menjalani transplantasi ginjal dengan crossmatch positif
tetap berisiko mengalami kegagalan graft dan bahkan kematian. Penelitian terdahulu
mendapatkan risiko kegagalan graft dan kematian yang lebih tinggi pada resipien
yang menjalani transplantasi dengan hasil crossmatch yang positif dibandingkan
transplantasi kompatibel.30
2.2.1.7. Merokok
Efek rokok terhadap ginjal terdiri dari efek jangka pendek dan jangka panjang yang
berpengaruh baik pada populasi normal maupun pada populasi resipien transplantasi
ginjal. Efek jangka pendek dari merokok adalah peningkatan aktivitas sistem saraf
simpatik yang selanjutnya meningkatkan aktivitas katekolamin di sirkulasi.
Akibatnya, terjadi vasokonstriksi dan peningkatan resistensi pembuluh darah ginjal
sebesar 11%. Selain itu terjadi penurunan LFG dan fraksi filtrasi masing-masing
sebesar 15% dan 18%.31
Efek jangka panjang dari merokok diantaranya penurunan aliran darah ke ginjal dan
peningkatan endotelin. Endotelin menyebabkan vasokonstriksi yang lama-kelamaan
menyebabkan gangguan fungsi. Merokok juga menyebabkan penebalan arteriol renal
dan proteinuria. Selain itu, merokok diduga menyebabkan kondisi imunosupresif
kronis yang mempengaruhi kesintasan graft pada resipien transplantasi ginjal.31
Hubungan rokok dengan mortalitas resipien transplantasi ginjal telah banyak diteliti
sebelumnya. Sebagian besar penelitian mendapatkan kesintasan pasien yang lebih
rendah pada resipien perokok dibandingkan non-perokok. RR kematian pada resipien
perokok berkisar 0,8 sampai 2,2. Pada populasi resipien perokok, kesintasan yang
lebih rendah ditemukan pada resipien yang masih merokok atau berhenti merokok
sesaat sebelum transplantasi, serta pada resipien yang merokok lebih dari 25 bungkus
dalam satu tahun. Merokok berkaitan dengan gangguan kardiovaskular dan
keganasan yang merupakan dua penyebab terbanyak kematian pada resipien
transplantasi ginjal.31
Berbagai penelitian telah membuktikan kesintasan graft yang lebih rendah pada
resipien yang memiliki kebiasaan merokok. Penelitian oleh Sung et al
membandingkan kesintasan grat perokok dan non-perokok pada 1, 5, dan 10 tahun
setelah transplantasi. Adapun kesintasan resipien perokok berturut-turut adalah 84%,
65% dan 48% sedangkan kesintasan resipien non-perokok adalah 88%, 78% dan 62%
(p = 0,007). 32
Sama halnya dengan kesintasan pasien, dilaporkan bahwa risiko kegagalan graft lebih
tinggi pada resipien yang masih merokok atau berhenti merokok sesaat sebelum
transplantasi. Sebaliknya, risiko kegagalan graft berkurang sebesar 34% pada pasien
yang berhenti merokok paling tidak lima tahun sebelum transplantasi. Perokok berat
juga lebih berisiko mengalami kegagalan graft dibandingkan perokok sedang.
Et al melaporkan bahwa kegagalan graft yang tinggi disebabkan oleh mortalitas yang
lebih tinggi pada resipien perokok. Sebaliknya, Sung et al melaporkan death-
censored graft survival yang juga lebih rendah pada resipien perokok dibandingkan
non-perokok (p = 0,02).
Pasien PGTA dengan diabetes mellitus yang menjalani transplantasi ginjal memiliki
harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang menjalani dialisis.
Pengaruh diabetes mellitus terhadap kesintasan pasien setelah transplantasi ginjal
menunjukkan hasil yang bervariasi. Cosio et al melaporkan kesintasan pasien yang
lebih rendah pada resipien diabetik (70% vs. 93%).33 Penelitian lain oleh Rocha et al34
melaporkan kesintasan 5 ( 69% vs. 96%, p < 0,001) dan 10 tahun (50% vs. 84%, p <
0,001) yang secara bermakna lebih rendah pada resipien diabetik. Hal tersebut
diduga disebabkan karena resipien diabetik cenderung berusia lebih tua dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan infeksi yang lebih tinggi. Selain itu, waktu tunggu
transplantasi pasien diabetik cenderung lebih lama dibandingkan pasien non-diabetik.
Akibatnya, pasien diabetik lebih lama menjalani dialisis. Hal tersebut mungkin juga
berpengaruh terhadap kesintasan pasien setelah transplantasi ginjal.
Meskipun demikian, penelitian yang lebih baru oleh Baek et al35 melaporkan tidak ada
perbedaan yang bermakna antara mortalitas resipien diabetik dan non-diabetik. Hal
tersebut diduga berkaitan dengan kemajuan evaluasi pratransplantasi serta kemajuan
dalam manajemen penyakit kardiovaskular.
Sebaliknya, berbagai penelitian mendapatkan kesintasan graft yang tidak berbeda
antara resipien diabetik dan non-diabetik. Rocha et al 34 mendapatkan kematian
sebagai penyebab kegagalan graft utama pada pasien diabetik. Berkaitan dengan hal
tersebut, death censored graft survival tidak berbeda bermakna antara pasien diabetik
dan non diabetik.
2.2.1.9. Infeksi
Kim et al mendapatkan angka kesintasan yang lebih rendah dan kegagalan graft yang
lebih tinggi pada resipien yang mengalami infeksi pada enam bulan pertama setelah
transplantasi. Penurunan mortalitas terkait infeksi dalam beberapa tahun terakhir
dipengaruhi oleh perubahan terapi imunosupresif, kemajuan upaya pencegahan
infeksi di rumah sakit, serta penggunaan antimikrobial profilaksis yang lebih tinggi.
(Chan 2019)
Delayed graft function (DGF) didefinisikan sebagai gangguan ginjal akut setelah
transplantasi yang menyebabkan resipien membutuhkan intervensi dialisis dalam
minggu pertama setelah transplantasi. (Bahl, 2019) DGF adalah salah satu komplikasi
perioperatif yang paling sering ditemui. DGF diduga merupakan manifestasi dari
nekrosis tubular akut yang terjadi saat nefrektomi. Rentang insidensi DGF adalah 4%
- 18% pada transplantasi ginjal dengan donor hidup di berbagai negara. Semakin
maraknya penggunaan ginjal dari extended criteria donor meningkatkan prevalensi
DGF.
Senel et al mendapatkan bahwa kesintasan pasien dan graft resipien yang mengalami
DGF lebih rendah daripada kelompok yang tidak mengalami DGF, namun perbedaan
antara kedua kelompok tersebut tidak bermakna. Meskipun demikian, Senel et al
menduga hasil tersebut dipengaruhi oleh jumlah resipien yang mengalami DGF yang
jauh lebih sedikit, sehingga berdampak terhadap hasil penelitian. Kesintasan pasien
yang lebih rendah pada kelompok resipien yang mengalami DGF mungkin berkaitan
dengan tingginya insidensi rejeksi akut pada kelompok tersebut (70,6% vs 21,1%)
dengan RR 3,35 (p = 0,00001) (Kwon et al) Penelitian lain mendapatkan kesintasan
graft 5 tahun setelah transplantasi berbeda bermakna antara kelompok resipien yang
mengalami DGF dan yang tidak mengalami DGF (65% vs. 85%, p < 0,001).
Kadar albumin serum dipengaruhi oleh kecepatan sintesis dan degradasi oleh proses
katabolik. Pasien PGTA cenderung memiliki kadar albumin serum yang rendah
akibat kecepatan sintesis yang berkurang dan degradasi yang meningkat akibat
inflamasi sistemik yang berlangsung kronis. Selain sebagai parameter inflamasi,
kadar albumin serum juga dapat menunjukkan status nutrisi seseorang. Pada pasien
PGTA, kadar serum albumin yang rendah juga mungkin dipengaruhi oleh dialisis
yang kurang adekuat.
Hipoalbuminemia didefinisikan sebagai kadar albumin serum kurang dari 3,5 mg/dL.
Hipoalbuminemia terkait dengan risiko infeksi oportunistik, terutama pada resipien
transplantasi ginjal karena penggunaan terapi imunosupresif. Kadar albumin serum
yang rendah sebelum transplantasi berkaitan dengan DGF, kegagalan graft, serta
mortalitas akibat penyakit kardiovaskular maupun mortalitas secara umum.
Penelitian terdahulu melaporkan bahwa untuk setiap kenaikan kadar albumin serum
sebesar 2g/L, didapatkan penurunan risiko mortalitas kardiovaskular, mortalitas
secara keseluruhan dan kombinasi risiko kematian atau kegagalan graft selama 6
tahun masing-masing sebesar 17%, 13% dan 7%. Hasil tersebut mungkin disebabkan
karena perubahan ireversibel yang terjadi pada ginjal sebelum transplantasi sebagai
akibat dari hipoalbuminemia yang berkaitan dengan protein-energy wasting (PEW).
Selain itu, luaran yang lebih buruk tersebut mungkin dipengaruhi oleh tingginya
risiko infeksi pada resipien yang mengalami hipoalbuminemia. Infeksi merupakan
penyebab kedua terbanyak mortalitas pada resipien transplantasi ginjal. Srivastava et
al melaporkan bahwa hipoalbuminemia pratransplantasi meningkatkan risiko infeksi
virus BK dan CMV. Hasil tersebut mungkin dipengaruhi oleh banyaknya resipien
yang berusia lebih tua dan memiliki diabetes mellitus pada kelompok
hipoalbuminemia. Namun, perlu diperhatikan bahwa pada penelitian tersebut tidak
dilakukan penilaian status nutrisi resipien. Hal tersebut dikarenakan menurut
Srivastava et al, hipoalbuminemia pada resipien cenderung disebabkan oleh inflamasi
kronis akibat PGTA dibandingkan akibat malnutrisi.
Anemia pascatransplantasi juga terkait dengan risiko kegagalan graft yang lebih
tinggi (HR 2,67, p < 0,0001). Anemia mengurangi antaran oksigen ke
tubulointerstitium ginjal. Akibatnya, terjadi hipoksia yang menyebabkan
pembentukan reactive oxygen species (ROS). Terbentuknya ROS memicu
dilepaskannya mediator inflamasi, menyebabkan kerusakan pada ginjal. Pada resipien
transplantasi ginjal, hal tersebut diperparah oleh penggunaan agen imunosupresif
yang meningkatkan kerusakan hipoksia.
Pada penelitian Schechter et al, luaran yang digunakan adalah gabungan dari
kesintasan pasien dan graft. Anemia akibat AKI atau rejeksi akut (HR 9,32, p <
0,001) dan infeksi (HR 3,99, p < 0,001) terkait dengan risiko luaran yang lebih tinggi.
Sementara itu, anemia akibat defisiensi nutrisi tidak terkait dengan risiko luaran yang
lebih tinggi (HR 3,07, p = 0,067).
BAB 3
METODE PENELITIAN
- Usia
- Jenis Kelamin Donor dan Resipien
- Hubungan Donor dan Resipien
- IMT
- LFG Pradonasi
- Usia
- IMT
- Durasi Dialisis
- Jenis Dialisis Sebelum Transplantasi
- Kadar Albumin Serum
- Crossmatch
- Merokok
- Diabetes Mellitus
- Penyakit Kardiovaskular
- Infeksi
- Delayed Graft Function
- Kadar Hemoglobin
3.9 Batasan, Cara Pengukuran dan Skala Variabel Penelitian
3.10.1 Jenis Data, Borang, dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari rekam medis pasien
yang menjalani transplantasi ginjal di RSCM tahun 2010 – 2020.
Data yang dikumpulkan dicatat pada borang penelitian (terlampir) untuk selanjutnya
dipindahkan ke cakram/media penyimpanan elektronik agar dapat dilakukan
kodifikasi data.
Untuk mengetahui luaran berupa kesintasan transplantasi ginjal, peneliti akan melihat
rekam medis atau melakukan wawancara melalui telepon. Untuk subjek yang
meninggal atau pindah ke rumah sakit lain, peneliti akan menghubungi subjek atau
keluarga melalui telepon untuk mengetahui luaran.
Penyajian data dituliskan dalam bentuk teks/narasi, tabel atau gambar sesuai
kebutuhan. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dan frekuensi
faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal. Data yang dianalisis
diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnow. Data numerik disajikan dalam
bentuk rerata dan simpang baku bila data terdistribusi normal, atau median dengan
rentang nilai minimal dan maksimal apabila data tidak terdistribusi normal. Data
kategorik ditampilkan dalam bentuk frekuensi dan persentase.
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas )faktor
yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal) dengan variabel terikat
(kesintasan graft dan pasien transplantasi ginjal). Teknik analisis yang digunakan
adalah metode Kaplan Meier. Untuk mengetahui kemaknaan dilakukan uji log rank.
Pada analisis bivariat, dilakukan penghitungan nilai hazard ratio (HR) dan interval
kepercayaan dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat.