Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Transplantasi ginjal merupakan salah satu modalitas terapi pengganti ginjal untuk
pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Transplantasi ginjal dinilai lebih superior
dibandingkan dialisis karena angka kesintasan yang lebih tinggi, kualitas hidup pasien
yang lebih baik serta biaya yang lebih efektif. 1 Transplantasi ginjal dari donor hidup
dinilai lebih baik daripada donor kadaver karena jaringan ginjal donor yang lebih
sehat dan waktu tunggu yang lebih singkat. 2 Di Indonesia, transplantasi ginjal hanya
dilakukan dengan donor hidup.

Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang aman baik bagi donor maupun resipien
dengan angka kesintasan yang baik, terutama jangka pendek. Angka kesintasan
transplantasi ginjal terdiri atas kesintasan pasien dan kesintasan graft, baik all-cause
maupun death-censored.3 Angka kesintasan pasien dan graft dalam jangka pendek
bervariasi di berbagai negara. Wang et al membandingkan angka kesintasan pasien
transplantasi ginjal dengan donor hidup di berbagai negara maju dan mendapatkan
rentang angka kesintasan 1 tahun pasien dan graft masing-masing sebesar 98-99%
dan 95-98%.4

Penelitian di luar negeri melaporkan bahwa meskipun angka kesintasan pasien dan
graft dalam jangka pendek meningkat seiring dengan kemajuan transplantasi ginjal,
kesintasan jangka panjang cenderung tidak meningkat secara bermakna.5,6 Sebagian
besar studi menunjukkan kecenderungan penurunan angka kesintasan baik kesintasan
pasien maupun graft dari tahun pertama ke tahun-tahun berikutnya. Sama halnya
dengan kesintasan jangka pendek, kesintasan jangka panjang di berbagai negara
menunjukkan hasil yang bervariasi. Rentang kesintasan 20 tahun adalah masing-
masing 64-68% dan 23-64% untuk kesintasan pasien dan kesintasan graft. 6,7
Sayangnya, hingga saat ini data kesintasan jangka panjang transplantasi ginjal di
Indonesia masih terbatas.
Berbagai studi terdahulu telah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
kesintasan transplantasi ginjal, baik faktor yang terkait donor maupun yang terkait
resipien. Faktor yang terkait donor diantaranya adalah usia, jenis kelamin, indeks
massa tubuh (IMT), hubungan keluarga dengan resipien, laju filtrasi glomerulus
(LFG) pradonasi dan ketidakcocokan human leukocyte antigen (HLA), kecocokan
crossmatch dengan resipien. Adapun faktor yang terkait resipien diantaranya adalah
usia, jenis kelamin, IMT, kadar hemoglobin, kadar albumin darah, lama dialisis, jenis
dialisis sebelum transplantasi, merokok, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular,
infeksi, dan delayed graft function.

Penelitian terbaru di Indonesia merupakan kohort retrospektif yang mengamati


kesintasan pasien dan graft transplantasi ginjal yang dilakukan di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2011 – 2017. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa angka kesintasan 1 tahun pasien dan graft berturut-turut adalah
87% dan 92%, sementara angka kesintasan 3 tahun berturut-turut adalah 79,7% dan
76,1%.3 Sementara itu, data kesintasan transplantasi ginjal jangka panjang masih
terbatas. Dengan demikian, diperlukan penelitian terbaru mengenai angka kesintasan
transplantasi jangka panjang di Indonesia.

Sejak pertama kali dilakukan pada tahun 1977, transplantasi ginjal di Indonesia telah
mengalami banyak perubahan, salah satunya kriteria donor yang cenderung lebih
permisif. Seiring dengan kemajuan transplantasi ginjal di Indonesia, lebih banyak
extended criteria donor yang diperbolehkan untuk mendonasikan ginjalnya. Dengan
demikian, angka kesintasan transplantasi ginjal di Indonesia serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya mungkin akan ikut berubah. Diperlukan penelitian terbaru
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal di
Indonesia.

1.2. Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Walaupun angka kesintasan transplantasi ginjal jangka pendek di Indonesia terbilang


baik, namun angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan di negara-negara lain.
Di samping itu, angka kesintasan jangka pendek yang baik tidak menjamin angka
kesintasan jangka panjang yang juga baik. Saat ini di Indonesia data kesintasan
jangka panjang transplantasi ginjal belum tersedia. Selain itu, sebagian besar
penelitian di luar negeri pun melaporkan bahwa kesintasan transplantasi ginjal jangka
panjang cenderung tidak membaik secara signifikan dari waktu ke waktu.

Terdapat berbagai faktor yang diduga mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal,


baik faktor yang terkait donor maupun resipien. Faktor yang terkait donor diantaranya
usia, jenis kelamin, IMT, hubungan keluarga dengan resipien, dan LFG pradonasi.
Adapun faktor yang terkait resipien diantaranya adalah usia, jenis kelamin, IMT,
etiologi gagal ginjal, lama dialisis, jenis dialisis sebelum transplantasi, merokok,
diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, infeksi, IgG CMV, kadar kreatinin
pascatransplantasi dan rejeksi akut. Data di luar negeri sepuluh tahun, karena itu
dibutuhkan di Indonesia. Meskipun demikian, sebagian besar penelitian tersebut
mengamati kesintasan jangka pendek sehingga pengaruh faktor-faktor tersebut
terhadap kesintasan jangka panjang masih belum jelas diketahui.

Berdasarkan masalah tersebut, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik resipien tranplantasi ginjal di RSUPN Dr. Cipto


Mangunkusumo tahun 2010 – 2020?
2. Berapa proporsi kesintasan resipien transplantasi ginjal di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo tahun 2010 – 2020?
3. Berapa kesintasan 1, 3, 5, 7 dan 10 tahun resipien transplantasi ginjal di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo?
4. Apakah karakteristik donor (usia, jenis kelamin, IMT, hubungan keluarga
dengan resipien, LFG pradonasi dan HLA) dan karakteristik resipien (usia,
jenis kelamin, IMT, etiologi gagal ginjal, lama dialisis, jenis dialisis sebelum
transplantasi, merokok, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, infeksi,
IgG CMV, kadar kreatinin pascatransplantasi dan rejeksi akut) mempengaruhi
kesintasan transplantasi ginjal di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun
2010 – 2020?

1.3. Hipotesis
11.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui angka kesintasan transplantasi ginjal
jangka panjang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

1.4.2. Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui proporsi kesintasan resipien transplantasi ginjal di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo tahun 2010 – 2020.
2. Mengetahui angka kesintasan pasien dan graft 1, 3, 5, 7 dan 10 tahun transplantasi
ginjal di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
2. Mengetahui pengaruh karakteristik donor (usia, jenis kelamin, IMT, hubungan
keluarga dengan resipien, LFG pradonasi dan HLA) dan karakteristik resipien (usia,
jenis kelamin, IMT, etiologi gagal ginjal, lama dialisis, jenis dialisis sebelum
transplantasi, merokok, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, infeksi, IgG
CMV, kadar kreatinin pascatransplantasi dan rejeksi akut) terhadap kesintasan
transplantasi ginjal di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1. Manfaat di Bidang Layanan Kesehatan
Penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan prosedur operasional
standar terkait pelayanan transplantasi ginjal, terutama dalam hal tatalaksana pasien
yang optimal untuk mengurangi komplikasi pascatransplantasi ginjal dan
meningkatkan kesintasan serta kualitas hidup pascatransplantasi ginjal.

1.5.2. Manfaat di Bidang Akademik


Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan
kedokteran terutama mengenai transplantasi ginjal di Indonesia. Data yang didapat
dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai materi ajar mahasiswa kedokteran di
berbagai tingkat pendidikan.

1.5.3. Manfaat di Bidang Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk penelitian transplantasi
ginjal di Indonesia yang masih terbatas. Data yang didapat dari penelitian ini dapat
menjadi acuan atau perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesintasan Transplantasi Ginjal

Kesintasan transplantasi ginjal terdiri dari kesintasan pasien dan kesintasan graft.
Kesintasan pasien menunjukkan persentase jumlah resipien yang bertahan hidup pada
waktu tertentu setelah transplantasi, sedangkan kesintasan graft menunjukkan
persentase jumlah resipien dengan graft yang berfungsi pada waktu tertentu setelah
transplantasi. Adapun kesintasan graft dapat dianalisis berdasarkan dua metode yaitu
death-censored graft survival dan all-cause graft survival. Pada analisis death-
censored graft survival, pasien yang meninggal dunia dengan graft yang masih
berfungsi dianggap sebagai pasien dengan keberhasilan graft, sedangkan pada analisis
all-cause graft survival, pasien yang meninggal dunia dengan graft yang masih
berfungsi dianggap sebagai pasien dengan kegagalan graft.3

Wang et al membandingkan kesintasan jangka pendek transplantasi ginjal dengan


donor hidup di Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru, Eropa dan Kanada.
Rentang kesintasan pasien dan graft dalam 1 tahun masing-masing adalah 98-99%
dan 95-98%.4 Kesintasan pasien dan graft jangka pendek cenderung meningkat
seiring dengan kemajuan transplantasi ginjal. Penelitian European Renal Association
– European Dialysis and Transplant Association (ERA-EDTA) mendapatkan
kesintasan pasien pada tahun 2008-2017 lebih baik daripada pada tahun 1998-2007. 8
Hal tersebut mungkin berkaitan dengan kemajuan teknik operasi, perkembangan
terapi imunosupresif dan kemoprofilaksis untuk mencegah infeksi oportunistik, serta
preservasi dan proses matching organ yang lebih baik.

Perkembangan serupa tidak dijumpai pada kesintasan jangka panjang. Beberapa studi
melaporkan kesintasan jangka panjang transplantasi ginjal saat ini tidak banyak
meningkat dibandingkan kesintasan jangka panjang di masa sebelumnya.5,6 Hal
tersebut mungkin dipengaruhi semakin banyaknya transplantasi ginjal yang dilakukan
dengan expanded criteria donor (ECD).9 ECD adalah donor yang sebenarnya tidak
memenuhi syarat untuk mendonasikan ginjal karena usia yang terlalu tua atau faktor
klinis lainnya, namun diperbolehkan untuk mendonasikan ginjalnya atas
pertimbangan tertentu. ECD terkait dengan fungsi ginjal yang kurang baik, sehingga
maraknya transplantasi ginjal dengan ECD akhir-akhir ini mungkin berdampak pada
kesintasan jangka panjang yang kurang baik.

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesintasan Transplantasi Ginjal

Kesintasan transplantasi ginjal dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang terkait
donor maupun yang terkait resipien.

2.2.1. Faktor Donor

2.2.1.1. Usia Donor

Usia donor mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal, baik kesintasan pasien


maupun kesintasan graft. Noppakun et al melaporkan peningkatan usia donor
berkaitan dengan kesintasan pasien yang lebih buruk (HR = 1,232 [1,088-1,394]
untuk setiap 10 tahun pertambahan usia donor, p = 0,001). Namun perlu diperhatikan
bahwa hasil penelitian tersebut mungkin dikarenakan sebagian besar donor yang
berusia lebih tua mendonasikan ginjalnya pada resipien yang juga lebih tua.10

Englum et al juga melaporkan kesintasan resipien yang lebih buruk pada transplantasi
ginjal dengan donor lebih tua (p = 0,04 untuk donor 65-69 tahun, p = 0,01 untuk
donor > 70 tahun). Pada studi ini pun, setelah dilakukan penyesuaian terhadap usia
resipien, perbedaan kesintasan menjadi kurang bermakna.11

Kesintasan graft juga dipengaruhi oleh usia donor. Namun, berbeda dengan
kesintasan resipien, pengaruh usia donor terhadap kesintasan graft tetap bermakna
setelah penyesuaian terhadap faktor risiko, terutama pada usia donor > 70 tahun (p <
0,001).12 Sementara itu menurut Noppakun et al, peningkatan usia donor berkaitan
dengan kesintasan pasien yang lebih buruk, namun hubungan tersebut baru terlihat
pada donor yang berusia lebih dari 40 tahun.10
Mekanisme yang mendasari hubungan usia donor dengan kesintasan transplantasi
ginjal mungkin berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal pradonasi akibat proses
penuaan fisiologis. Proses penuaan mengurangi respons ginjal terhadap vasodilator
dan vasokonstriktor sehingga aliran darah ke ginjal menurun.12 Selain itu
komorbiditas seperti diabetes mellitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular
lainnya juga lebih banyak ditemukan pada donor yang lebih tua. Namun, perlu
diperhatikan bahwa studi terdahulu menemukan bahwa kegagalan graft pada resipien
dari donor yang lebih tua tidak berkaitan dengan LFG donor pradonasi. 10,13 Hasil
tersebut mungkin dapat dijelaskan oleh penurunan renal functional reserve akibat
penuaan dan gangguan kardiovaskular, meskipun belum ada penurunan LFG.14

Di samping itu, luaran yang kurang baik pada transplantasi dengan donor yang lebih
tua mungkin dipengaruhi oleh mismatch ukuran ginjal donor dan resipien. Proses
penuaan terkait dengan sklerosis glomerulus. Akibatnya, massa nefron yang
didonasikan lebih sedikit dan dapat menyebabkan mismatch ukuran ginjal dengan
resipien. Mismatch ukuran ginjal memicu hiperfiltrasi pada resipien sehingga
berpotensi mengakibatkan proteinuria, fungsi graft yang lebih rendah dan risiko
kegagalan graft yang lebih tinggi.15

2.2.1.2. Jenis Kelamin Donor dan Resipien

Pengaruh jenis kelamin terhadap kesintasan transplantasi ginjal telah banyak diteliti
namun hasil yang didapatkan cenderung bervariasi. Resipien perempuan cenderung
menunjukkan kesintasan yang lebih tinggi. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh
hormon dan proses imunologis pada wanita yang memberikan efek proteksi.

Penelitian yang lebih baru banyak meneliti pengaruh matching jenis kelamin donor
dan resipien terhadap luaran transplantasi ginjal. Beberapa studi mengelompokkan
subjek berdasarkan jenis kelamin donor dan resipien menjadi empat kelompok: donor
laki-laki dengan resipien laki-laki (Kelompok I), donor laki-laki dengan resipien
perempuan (Kelompok II), donor perempuan dengan resipien laki-laki (Kelompok
III) dan donor perempuan dengan resipien perempuan (Kelompok IV). Sebagian
besar penelitian melaporkan luaran yang lebih buruk pada kelompok III.
Morgan et al melaporkan walaupun tidak ada perbedaan kesintasan antara keempat
kelompok, risiko DGF dan kadar kreatinin pada tahun pertama, ketiga dan kelima
lebih tinggi terjadi pada resipien yang menerima ginjal dari donor perempuan (p <
0,001).

2.2.1.3. IMT Donor

Studi terdahulu mengenai hubungan indeks massa tubuh donor dengan luaran
transplantasi ginjal menunjukkan hasil yang bervariasi. Naik et al menemukan bahwa
risiko death-censored graft failure dipengaruhi oleh IMT. Setelah dilakukan
klasifikasi berdasarkan IMT donor menjadi kelompok IMT <20 (underweight), 20-25
(normal), 25-30 (overweight), 30-35 (mildly obese) dan >35 (very obese) kg/m2,
didapatkan bahwa semakin tinggi IMT maka semakin tinggi risiko death-censored
graft failure pada resipien (HR = 1,06, 1,16 dan 1,22 untuk kelompok overweight,
mildly obese dan very obese dibandingkan kelompok normal, p < 0,05).16

Torreggiani et al menunjukkan pengaruh IMT donor terhadap fungsi ginjal resipien,


namun pengaruh ini hanya bermakna sampai 24 bulan masa pemantauan. Pada bulan
ke-36 masa pemantauan, tidak ditemukan pengaruh IMT donor terhadap fungsi ginjal
resipien. Namun perlu diperhatikan bahwa pada penelitian tersebut, hanya ada enam
orang donor dengan IMT > 30 kg/m2. Dengan demikian, diperlukan penelitian
lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menilai variabel tersebut.14

Mekanisme yang mendasari pengaruh IMT donor terhadap fungsi graft diduga
melibatkan suatu kondisi yang disebut obesity-related glomerulopathy (ORG). ORG
ditandai dengan hipertrofi glomerulus, glomerulosklerosis fokal segmental dan
effacement podosit. Pada biopsi juga didapatkan peningkatan luas permukaan planar
glomerulus dan dilatasi tubulus pada donor hidup yang obese.16

Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan gangguan struktural pada ginjal yang


didonasikan sehingga lebih rentan terhadap iskemia dan gangguan imunologis. IMT
donor juga berpengaruh terhadap kejadian delayed graft function (DGF). Beberapa
penelitian melaporkan bahwa DGF berpengaruh terhadap luaran transplantasi ginjal
dalam jangka panjang.16

2.2.1.4. Hubungan Donor dan Resipien

Kurangnya ketersediaan organ memicu bertambahnya transplantasi ginjal dari donor


yang tidak memiliki hubungan biologis dengan resipien. Sebagian besar studi
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kesintasan transplantasi dari
donor yang memiliki hubungan biologis/living related donor (LRD) dan donor yang
tidak memiliki hubungan biologis dengan resipien/living unrelated donor (LUD).17

Shao et al membandingkan kesintasan transplantasi dengan LRD dengan kesintasan


transplantasi dari donor suami atau istri resipien (spousal). Walaupun ketidakcocokan
HLA lebih banyak ditemukan pada kelompok spousal, namun tidak ada perbedaan
bermakna antara kesintasan kedua kelompok. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh
terapi imunosupresif yang poten, perbedaan usia yang tidak jauh antara donor dan
resipien, serta kepatuhan minum obat yang lebih baik karena donor dan resipien
tinggal bersama.17

Studi retrospektif ERA-EDTA melaporkan bahwa kesintasan pasien dan kesintasan


graft secara keseluruhan tidak berbeda bermakna antara transplantasi dengan LRD
dan LUD. Walaupun secara keseluruhan kesintasan transplantasi dengan LRD lebih
baik dibandingkan LUD, namun perbedaan tersebut tidak bermakna setelah dilakukan
penyesuaian terhadap faktor perancu seperti usia resipien, penyakit ginjal primer dan
durasi dialisis. Meskipun demikian, death-censored graft failure lebih tinggi pada
transplantasi dengan LUD. Hal tersebut mungkin disebabkan karena usia yang lebih
tua dan proporsi diabetes mellitus tipe II dan hipertensi sebagai penyakit ginjal primer
yang lebih besar pada resipien transplantasi dengan LUD.8

2.2.1.5. LFG Donor Pradonasi

Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam transplantasi ginjal adalah donor harus
memiliki fungsi ginjal yang adekuat yang ditandai dengan LFG yang cukup baik.
Selain untuk melindungi donor dari risiko gagal ginjal pascadonasi, LFG pradonasi
donor juga berkaitan dengan kesintasan resipien pascatransplantasi ginjal. Terdapat
beberapa konsensus yang mengatur LFG donor minimal untuk dapat menjalani
nefrektomi. Sebagian menetapkan LFG pradonasi > 80 mL/menit/1,73 m2 sebagai
batas minimal, terkait dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan tingginya
risiko kegagalan graft pada resipien yang menerima ginjal donor dengan LFG
pradonasi kurang dari angka tersebut (RR 2,28, IK 95 1,18 – 4,38).18 Meskipun
demikian, Torreggiani et al menyebutkan bahwa pengaruh LFG donor terhadap
fungsi ginjal resipien pascatransplantasi hanya bertahan sampai 24 bulan
pascatransplantasi. Setelah 36 bulan, tidak didapatkan korelasi antara LFG donor
dengan fungsi graft pada resipien.14

Sebaliknya, Young et al melaporkan tidak ada perbedaan kesintasan antara resipien


yang menerima ginjal dari donor dengan LFG < 80 mL/menit/1,73 m2 dan donor
dengan LFG > 80 mL/menit/1,73 m2. Selain itu, Young et al menstratifikasi donor
berdasarkan peningkatan LFG 10 mL/menit/1,73 m2, namun tetap tidak didapatkan
perbedaan luaran pada resipien. Perbedaan hasil tersebut mungkin disebabkan oleh
jumlah sampel yang lebih besar dan teknik analisis. Selain itu, yang digunakan dalam
sebagian besar penelitian adalah LFG berdasarkan estimasi dan bukan berdasarkan
pengukuran. Hal tersebut dapat menyebabkan misklasifikasi donor.18

2.2.2. Faktor Resipien

2.2.1.1. Usia Resipien

Usia resipien mempengaruhi kesintasan ransplantasi ginjal. Orlandi et al


mengelompokkan resipien menjadi kelompok usia < 60 tahun dan > 60 tahun.
Kesintasan resipien berusia < 60 tahun secara bermakna lebih tinggi dibandingkan
resipien > 60 tahun.19 Penelitian terdahulu yang membandingkan angka kesintasan
graft pada dua kelompok usia resipien menunjukkan hasil yang bervariasi. Orlandi et
al melaporkan angka kesintasan graft yang lebih rendah pada kelompok usia lebih
dari 60 tahun dengan kesintasan lima tahun dan sepuluh tahun sebesar 52,9% dan
39,6%, sementara kesintasan lima tahun dan sepuluh tahun kelompok yang lebih
muda masing-masing adalah 72,2% dan 66,9%.19 Menurut Gheith et al, angka
kesintasan yang lebih rendah pada resipien yang berusia lebih tua mungkin
disebabkan karena komorbiditas kardiovaskuler seperti hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit jantung koroner dan anemia lebih banyak ditemukan pada resipien yang
berusia lebih tua.20
Sementara itu, Gheith et al mendapatkan angka kesintasan graft yang justru
lebih tinggi pada resipien yang berusia lebih tua. Hasil tersebut diduga dipengaruhi
oleh pemberian imunosupresan yang lebih poten dan kurangnya angka kejadian
rejeksi akut pada kelompok resipien yang lebih tua. Meskipun demikian, hasil
tersebut mungkin juga dipengaruhi oleh jumlah sampel yang lebih sedikit pada
kelompok resipien yang lebih tua. Selain itu, sebagian besar resipien yang lebih tua
menerima ginjal dari donor hidup sementara resipien yang lebih muda lebih banyak
menerima ginjal dari donor kadaver.20

2.2.1.2. IMT Resipien

Indeks massa tubuh resipien merupakan salah satu pertimbangan untuk menentukan
apakah seorang pasien dapat menjalani transplantasi ginjal. Beberapa konsensus
menyebutkan bahwa obesitas bukan merupakan kontraindikasi absolut untuk tindakan
transplantasi, namun pasien dengan IMT lebih dari 40 atau 45 kg/m 2 tidak
direkomendasikan untuk menjalani transplantasi ginjal. Hal tersebut berkaitan dengan
tingginya risiko komplikasi pada pasien obese yang menjalani transplantasi ginjal.
Studi terdahulu menyebutkan bahwa resipien yang obese lebih berisiko mengalami
DGF, gangguan kesintasan graft, masa perawatan yang lebih lama dan mortalitas
yang lebih tinggi.21

Metaanalisis yang dilakukan oleh Lafranca et al mendapatkan kesintasan pasien yang


lebih baik pada pasien dengan IMT yang lebih rendah pada 1 tahun (RR = 0,99, p <
0,001), 2 tahun (RR = 0,9, p = 0,04) dan 3 tahun (RR 0,97, p = 0,003) setelah
transplantasi. Kesintasan graft juga lebih baik pada pasien dengan IMT yang lebih
rendah pada 1 tahun (RR = 0,97, p < 0,001), 2 tahun (RR = 0,95, p = 0,002) dan 3
tahun (RR = 0,95, p < 0,006) setelah transplantasi ginjal.21
Hubungan antara IMT resipien dengan kesintasan transplantasi ginjal yang lebih
buruk mungkin dipengaruhi oleh banyaknya komorbiditas yang berkaitan dengan
peningkatan IMT. Obesitas diketahui berkaitan dengan diabetes mellitus dan penyakit
kardiovaskular yang diduga mempengaruhi kesintasan resipien setelah transplantasi.
Obesitas juga terkait dengan durasi operasi yang lebih lama yang diduga berperan
dalam menyebabkan luaran trasnplantasi yang kurang baik.21

Di sisi lain, beberapa studi tidak menemukan pengaruh IMT terhadap kesintasan
transplantasi ginjal, baik kesintasan pasien maupun graft. Krishnan et al
mengelompokkan resipien menjadi enam kelompok berdasarkan IMT, namun tidak
ditemukan perbedaan bermakna antara kesintasan resipien dalam keenam kelompok
tersebut. Hasil tersebut mungkin dipengaruhi oleh penapisan risiko kardiovaskular
yang ketat pada calon resipien. Selain itu, regimen terapi imunosupresif yang lebih
baik juga diduga mempengaruhi peningkatan kesintasan pada resipien yang obese.22

2.2.1.3. Lama Dialisis

Sebagian besar penelitian melaporkan luaran yang lebih baik pada pasien yang
menjalani preemptive transplantation. Preemptive transplantation terkait dengan
risiko rejeksi akut yang lebih rendah, serta kesintasan pasien maupun graft yang lebih
tinggi. Meskipun demikian, preemptive transplantation cenderung sulit untuk
dilakukan karena akses yang lebih sulit, tingkat pengetahuan pasien, disparitas
sosioekonomi serta status kesehatan pasien sendiri. Oleh karena itu, sebagian besar
pasien PGTA terlebih dahulu menjalani dialisis sebelum transplantasi.23

Penelitian terdahulu mengenai pengaruh durasi dialisis pratransplantasi terhadap


kesintasan transplantasi ginjal menunjukkan hasil yang bervariasi. Sebagian besar
penelitian melaporkan bahwa durasi dialisis yang lebih lama berkaitan dengan
kesintasan transplantasi yang lebih buruk. Untuk setiap penambahan durasi dialisis
pratransplantasi sebesar 1 tahun, risiko kematian setelah transplantasi meningkat
sebesar 4% - 42%. Gill et al melaporkan peningkatan risiko death-censored trnsplant
failure dan kematian dengan graft yang masih berfungsi pada kelompok yang
menjalani dialisis dalam waktu lama. Kim et al juga melaporkan kesintasan pasien (p
= 0,024) dan graft (p < 0,001) yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis
selama lebih dari 19 bulan sebelum transplantasi.24

Hasil tersebut mungkin dipengaruhi oleh tingginya proporsi pasien dengan hipertensi
tidak terkontrol, malnutrisi dan kondisi lain seperti atherosklerosis pada pasien yang
menjalani dialisis kronis sebelum transplantasi. Kondisi-kondisi tersebut selanjutnya
berkaitan dengan penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab kematian
terbanyak pada resipien transplantasi ginjal.25 Meskipun demikian, Schold et al
menduga hasil tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi dibandingkan
paparan yang lebih lama terhadap dialisis. Pasien yang menjalani dialisis dalam
waktu lama cenderung kurang mendapat akses terhadap transplantasi, berkaitan
dengan faktor sosioekonomi yang lebih rendah.26

Sebaliknya, sebagian penelitian melaporkan bahwa tidak ada kaitan antara durasi
dialisis dengan kesintasan transplantasi ginjal. Hasil tersebut mungkin dipengaruhi
oleh kemajuan baik di bidang dialisis maupun di bidang transplantasi.

2.2.1.5. Jenis Dialisis Sebelum Transplantasi

Pengaruh jenis dialisis terhadap luaran transplantasi masih belum diketahui jelas
karena penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang bervariasi. Sebagian penelitian
mendapatkan luaran yang lebih baik pada resipien yang sebelumnya menjalani
dialisis peritoneal (DP). Metaanalisis oleh Tang et al mendapatkan kesintasan pasien
5 tahun yang lebih baik pada kelompok DP (HR 0,86, p < 0,05). Kesintasan graft 10
tahun juga lebih baik pada kelompok DP (HR 0,97, p < 0,05).27

Membran artifisial yang digunakan pada hemodialisis (HD) dapat meningkatkan


produksi radikal bebas melalui aktivasi faktor komplemen dan fagosit, menyebabkan
stress oksidatif yang dapat memicu terjadinya DGF. Di samping itu, proses DP
memiliki faktor protektif terhadap renal functional recovery setelah transplantasi
karena optimasi status cairan.27

Di sisi lain, menurut Helal et al, sebelumnya dialisis peritoneal (DP) pratransplantasi
kurang diminati karena kekhawatiran untuk menempatkan organ transplan di dekat
ruang peritoneal yang mungkin terkontaminasi.28 Dugaan tersebut didukung oleh
studi terdahulu yang melaporkan risiko infeksi yang lebih tinggi dan durasi rawat
inap yang lebih lama pada resipien yang sebelumnya menjalani DP.29 Selain itu,
pasien yang menjalani DP juga dipercaya memiliki status imun yang lebih baik
dibandingkan pasien hemodialisis (HD) yang mengalami gangguan sistem imun
akibat uremia, sehingga dikhawatirkan pasien DP lebih berisiko mengalami rejeksi.28

Meskipun demikian, berbagai penelitian yang lebih baru melaporkan tidak ada
perbedaan bermakna antara kesintasan transplantasi ginjal pasien yang sebelumnya
menjalani DP dan HD. Adapun kesintasan pasien 1 tahun setelah transplantasi pada
kelompok DP dan HD adalah 88% dan 91%. Sementara itu, kesintasan graft 1 tahun
pada kelompok DP dan HD masing-masing sebesar 66% dan 72%.

2.2.1.6 Crossmatch

Pasien PGTA yang menjalani transplantasi dengan hasil crossmatch positif memiliki
luaran yang lebih baik dibandingkan pasien dialisis karena penggunaan terapi
imunosupresif desensitisasi yang adekuat untuk mencegah rejeksi akut. Meskipun
demikian, resipien yang menjalani transplantasi ginjal dengan crossmatch positif
tetap berisiko mengalami kegagalan graft dan bahkan kematian. Penelitian terdahulu
mendapatkan risiko kegagalan graft dan kematian yang lebih tinggi pada resipien
yang menjalani transplantasi dengan hasil crossmatch yang positif dibandingkan
transplantasi kompatibel.30

Crossmatch dapat dilakukan dengan dua metode yaitu complement-dependent


cytotoxicity crossmatch (CDCXM) dan flow cytometry crossmatch (FCXM). Kim et
al membandingkan luaran transplantasi pada kelompok resipien dengan CDCXM
positif atau FCXM positif terhadap kelompok kompatibel. Meskipun death-censored
graft survival lebih rendah pada kelompok crossmatch positif terutama CDCXM,
namun tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok tersebut dengan
kelompok kompatibel (85,3% vs. 93,6% vs. 95,3%, p = 0,598). Namun, kesintasan
graft tanpa rejeksi secara bermakna lebih tinggi pada kelompok kompatibel
dibandingkan kelompok yang positif FCXM dan CDCXM (80,1% vs. 73,5% vs.
34,7%, p < 0,001). Pada penelitian Kim et al tidak didapatkan perbedaan kesintasan
pasien antara ketiga kelompok.30

2.2.1.7. Merokok

Efek rokok terhadap ginjal terdiri dari efek jangka pendek dan jangka panjang yang
berpengaruh baik pada populasi normal maupun pada populasi resipien transplantasi
ginjal. Efek jangka pendek dari merokok adalah peningkatan aktivitas sistem saraf
simpatik yang selanjutnya meningkatkan aktivitas katekolamin di sirkulasi.
Akibatnya, terjadi vasokonstriksi dan peningkatan resistensi pembuluh darah ginjal
sebesar 11%. Selain itu terjadi penurunan LFG dan fraksi filtrasi masing-masing
sebesar 15% dan 18%.31

Efek jangka panjang dari merokok diantaranya penurunan aliran darah ke ginjal dan
peningkatan endotelin. Endotelin menyebabkan vasokonstriksi yang lama-kelamaan
menyebabkan gangguan fungsi. Merokok juga menyebabkan penebalan arteriol renal
dan proteinuria. Selain itu, merokok diduga menyebabkan kondisi imunosupresif
kronis yang mempengaruhi kesintasan graft pada resipien transplantasi ginjal.31

Hubungan rokok dengan mortalitas resipien transplantasi ginjal telah banyak diteliti
sebelumnya. Sebagian besar penelitian mendapatkan kesintasan pasien yang lebih
rendah pada resipien perokok dibandingkan non-perokok. RR kematian pada resipien
perokok berkisar 0,8 sampai 2,2. Pada populasi resipien perokok, kesintasan yang
lebih rendah ditemukan pada resipien yang masih merokok atau berhenti merokok
sesaat sebelum transplantasi, serta pada resipien yang merokok lebih dari 25 bungkus
dalam satu tahun. Merokok berkaitan dengan gangguan kardiovaskular dan
keganasan yang merupakan dua penyebab terbanyak kematian pada resipien
transplantasi ginjal.31

Berbagai penelitian telah membuktikan kesintasan graft yang lebih rendah pada
resipien yang memiliki kebiasaan merokok. Penelitian oleh Sung et al
membandingkan kesintasan grat perokok dan non-perokok pada 1, 5, dan 10 tahun
setelah transplantasi. Adapun kesintasan resipien perokok berturut-turut adalah 84%,
65% dan 48% sedangkan kesintasan resipien non-perokok adalah 88%, 78% dan 62%
(p = 0,007). 32

Sama halnya dengan kesintasan pasien, dilaporkan bahwa risiko kegagalan graft lebih
tinggi pada resipien yang masih merokok atau berhenti merokok sesaat sebelum
transplantasi. Sebaliknya, risiko kegagalan graft berkurang sebesar 34% pada pasien
yang berhenti merokok paling tidak lima tahun sebelum transplantasi. Perokok berat
juga lebih berisiko mengalami kegagalan graft dibandingkan perokok sedang.

Et al melaporkan bahwa kegagalan graft yang tinggi disebabkan oleh mortalitas yang
lebih tinggi pada resipien perokok. Sebaliknya, Sung et al melaporkan death-
censored graft survival yang juga lebih rendah pada resipien perokok dibandingkan
non-perokok (p = 0,02).

2.2.1.7. Diabetes Mellitus

Pasien PGTA dengan diabetes mellitus yang menjalani transplantasi ginjal memiliki
harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang menjalani dialisis.
Pengaruh diabetes mellitus terhadap kesintasan pasien setelah transplantasi ginjal
menunjukkan hasil yang bervariasi. Cosio et al melaporkan kesintasan pasien yang
lebih rendah pada resipien diabetik (70% vs. 93%).33 Penelitian lain oleh Rocha et al34
melaporkan kesintasan 5 ( 69% vs. 96%, p < 0,001) dan 10 tahun (50% vs. 84%, p <
0,001) yang secara bermakna lebih rendah pada resipien diabetik. Hal tersebut
diduga disebabkan karena resipien diabetik cenderung berusia lebih tua dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan infeksi yang lebih tinggi. Selain itu, waktu tunggu
transplantasi pasien diabetik cenderung lebih lama dibandingkan pasien non-diabetik.
Akibatnya, pasien diabetik lebih lama menjalani dialisis. Hal tersebut mungkin juga
berpengaruh terhadap kesintasan pasien setelah transplantasi ginjal.

Meskipun demikian, penelitian yang lebih baru oleh Baek et al35 melaporkan tidak ada
perbedaan yang bermakna antara mortalitas resipien diabetik dan non-diabetik. Hal
tersebut diduga berkaitan dengan kemajuan evaluasi pratransplantasi serta kemajuan
dalam manajemen penyakit kardiovaskular.
Sebaliknya, berbagai penelitian mendapatkan kesintasan graft yang tidak berbeda
antara resipien diabetik dan non-diabetik. Rocha et al 34 mendapatkan kematian
sebagai penyebab kegagalan graft utama pada pasien diabetik. Berkaitan dengan hal
tersebut, death censored graft survival tidak berbeda bermakna antara pasien diabetik
dan non diabetik.

Namun demikian, diabetes mellitus diketahui meningkatkan risiko DGF.36


Hiperglikemia pada resipien diabetik mempercepat penyajian antigen sehingga
respon inflamasi terjadi dengan lebih masif.9 Selain itu, hiperglikemia juga terkait
dengan cedera iskemik reperfusi intraoperatif. 36 Kondisi-kondisi tersebut
meningkatkan risiko DGF yang selanjutnya dapat berdampak terhadap kesintasan
graft.

2.2.1.8. Penyakit Kardiovaskular

Salah satu keuntungan transplantasi ginjal dibandingkan dialisis adalah prevalensi


penyakit kardiovaskular yang lebih rendah pada resipien transplantasi ginjal.
Meskipun demikian, penyakit kardiovaskular tetap menjadi penyebab kematian
terbanyak pada populasi resipien transplantasi ginjal, yaitu sebesar 17% - 40%. Hal
tersebut dipengaruhi oleh banyaknya resipien transplantasi ginjal yang memiliki
faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, dislipidemia dan merokok. 37
Kondisi tersebut diakibatkan retensi air dan natrium, anemia kronis dan fistula
arteriovena pada pasien PGTA.38 Selain itu, pada resipien transplantasi ginjal kondisi-
kondisi tersebut diperparah oleh imunosupresi, anemia dan nefropati allograft kronis.
Adapun yang dimaksud penyakit kardiovaskular mencakup penyakit jantung koroner,
gagal jantung, kelainan katup, penyakit serebrovaskular, hipertensi pulmonal dan
aritmia.37

Pengaruh faktor risiko dan penyakit kardiovaskular terhadap luaran transplantasi


ginjal telah banyak diteliti. Peningkatan tekanan darah sistolik sebesa 5%
meningkatkan risiko kegagalan graft dan kematian. Pasien dengan hipertensi
pulmonal memiliki kesintasan graft 5 tahun yang lebih rendah dibandingkan pasien
tanpa hipertensi pulmonal (54,6% vs 76,0%, p < 0,05).37 Penyakit arteri perifer yang
ditandai dengan ankle-brachial index yang rendah juga meningkatkan risiko
kegagalan graft dan kematian setelah transplantasi.39 Di sisi lain, tidak ada perbedaan
bermakna antara kesintasan kelompok dengan fraksi ejeksi kurang dan lebih dari
35%. Hal tersebut disebabkan setelah transplantasi, perbaikan LFG dan kondisi
uremia ikut meningkatkan fraksi ejeksi. 37

2.2.1.9. Infeksi

Penggunaan terapi imunosupresif menjadikan resipien transplantasi ginjal populasi


yang rentan terhadap infeksi, baik nosokomial maupun didapatkan dari donor atau
komunitas. Terapi imunosupresif juga meningkatkan risiko reaktivasi patogen laten.
Insidensi komplikasi terkait infeksi pada populasi resipien transplantasi ginjal adalah
49% – 80% di seluruh dunia. Komplikasi terkait infeksi meningkatkan morbiditas
resipien, dan merupakan penyebab kematian kedua terbanyak setelah penyakit
kardiovaskular. Sebagian besar (89%) kematian terkait infeksi terjadi pada tahun
pertama. Chan et al mendapatkan kematian resipien terkait infeksi paling banyak
disebabkan oleh bakteri (54%), diikuti dengan jamur (18%), virus (9%), protozoa
(4%) dan organisme lainnya (16%).

Kim et al mendapatkan angka kesintasan yang lebih rendah dan kegagalan graft yang
lebih tinggi pada resipien yang mengalami infeksi pada enam bulan pertama setelah
transplantasi. Penurunan mortalitas terkait infeksi dalam beberapa tahun terakhir
dipengaruhi oleh perubahan terapi imunosupresif, kemajuan upaya pencegahan
infeksi di rumah sakit, serta penggunaan antimikrobial profilaksis yang lebih tinggi.
(Chan 2019)

2.2.1.10. Delayed Graft Function

Delayed graft function (DGF) didefinisikan sebagai gangguan ginjal akut setelah
transplantasi yang menyebabkan resipien membutuhkan intervensi dialisis dalam
minggu pertama setelah transplantasi. (Bahl, 2019) DGF adalah salah satu komplikasi
perioperatif yang paling sering ditemui. DGF diduga merupakan manifestasi dari
nekrosis tubular akut yang terjadi saat nefrektomi. Rentang insidensi DGF adalah 4%
- 18% pada transplantasi ginjal dengan donor hidup di berbagai negara. Semakin
maraknya penggunaan ginjal dari extended criteria donor meningkatkan prevalensi
DGF.

Senel et al mendapatkan bahwa kesintasan pasien dan graft resipien yang mengalami
DGF lebih rendah daripada kelompok yang tidak mengalami DGF, namun perbedaan
antara kedua kelompok tersebut tidak bermakna. Meskipun demikian, Senel et al
menduga hasil tersebut dipengaruhi oleh jumlah resipien yang mengalami DGF yang
jauh lebih sedikit, sehingga berdampak terhadap hasil penelitian. Kesintasan pasien
yang lebih rendah pada kelompok resipien yang mengalami DGF mungkin berkaitan
dengan tingginya insidensi rejeksi akut pada kelompok tersebut (70,6% vs 21,1%)
dengan RR 3,35 (p = 0,00001) (Kwon et al) Penelitian lain mendapatkan kesintasan
graft 5 tahun setelah transplantasi berbeda bermakna antara kelompok resipien yang
mengalami DGF dan yang tidak mengalami DGF (65% vs. 85%, p < 0,001).

2.2.1.11. Kadar Albumin Serum

Kadar albumin serum dipengaruhi oleh kecepatan sintesis dan degradasi oleh proses
katabolik. Pasien PGTA cenderung memiliki kadar albumin serum yang rendah
akibat kecepatan sintesis yang berkurang dan degradasi yang meningkat akibat
inflamasi sistemik yang berlangsung kronis. Selain sebagai parameter inflamasi,
kadar albumin serum juga dapat menunjukkan status nutrisi seseorang. Pada pasien
PGTA, kadar serum albumin yang rendah juga mungkin dipengaruhi oleh dialisis
yang kurang adekuat.

Hipoalbuminemia didefinisikan sebagai kadar albumin serum kurang dari 3,5 mg/dL.
Hipoalbuminemia terkait dengan risiko infeksi oportunistik, terutama pada resipien
transplantasi ginjal karena penggunaan terapi imunosupresif. Kadar albumin serum
yang rendah sebelum transplantasi berkaitan dengan DGF, kegagalan graft, serta
mortalitas akibat penyakit kardiovaskular maupun mortalitas secara umum.

Penelitian terdahulu melaporkan bahwa untuk setiap kenaikan kadar albumin serum
sebesar 2g/L, didapatkan penurunan risiko mortalitas kardiovaskular, mortalitas
secara keseluruhan dan kombinasi risiko kematian atau kegagalan graft selama 6
tahun masing-masing sebesar 17%, 13% dan 7%. Hasil tersebut mungkin disebabkan
karena perubahan ireversibel yang terjadi pada ginjal sebelum transplantasi sebagai
akibat dari hipoalbuminemia yang berkaitan dengan protein-energy wasting (PEW).

Selain itu, luaran yang lebih buruk tersebut mungkin dipengaruhi oleh tingginya
risiko infeksi pada resipien yang mengalami hipoalbuminemia. Infeksi merupakan
penyebab kedua terbanyak mortalitas pada resipien transplantasi ginjal. Srivastava et
al melaporkan bahwa hipoalbuminemia pratransplantasi meningkatkan risiko infeksi
virus BK dan CMV. Hasil tersebut mungkin dipengaruhi oleh banyaknya resipien
yang berusia lebih tua dan memiliki diabetes mellitus pada kelompok
hipoalbuminemia. Namun, perlu diperhatikan bahwa pada penelitian tersebut tidak
dilakukan penilaian status nutrisi resipien. Hal tersebut dikarenakan menurut
Srivastava et al, hipoalbuminemia pada resipien cenderung disebabkan oleh inflamasi
kronis akibat PGTA dibandingkan akibat malnutrisi.

Kwon et al mengelompokkan resipien menjadi empat kelompok berdasarkan kadar


albumin serum sebelum transplantasi. Dari keempat kelompok tersebut, didapatkan
bahwa kesintasan graft 10 tahun pada kelompok dengan kadar albumin serum
tertinggi secara bermakna lebih tinggi dari kelompok dengan kadar albumin terrendah
(p = 0,034).

2.2.1.12 Kadar Hemoglobin

Kadar hemoglobin (Hb) pascatransplantasi mempengaruhi luaran transplantasi ginjal.


Sebanyak 30% resipien transplantasi ginjal mengalami anemia kronis. Pada masa
awal setelah transplantasi, anemia disebabkan oleh kehilangan darah akibat
pembedahan, kegagalan graft untuk menghasilkan eritropoietin serta pengaruh obat-
obatan yang menekan eritropoiesis di sumsum tulang. Sementara itu, pada masa
lanjut setelah transplantasi, anemia dipengaruhi oleh disfungsi renal, obat-obatan
imunosupresif, obat antivirus, infeksi dan penggunaan angiotensin-converting
enzyme inhibitor (ACEI).
Anemia pascatransplantasi didefinisikan sebagai kadar Hb < 11 g/dL dan diketahui
meningkatkan risiko kematian dan kegagalan graft setelah transplantasi. Anemia pada
90 hari pertama setelah transplantasi terkait dengan risiko kematian (HR = 3,18, p =
0,0002). Selain itu, terdapat perbedaan bermakna antara mortalitas pasien yang
anemis dan non-anemis (15% vs. 8%, p < 0,0001). Hal tersebut mungkin dipengaruhi
oleh kaitan anemia terhadap kelainan kardiovaskular seperti hipertrofi ventrikel kiri
dan gagal jantung kongestif. Adapun penyakit kardiovaskular merupakan penyebab
kematian terbanyak pada populasi resipien transplantasi ginjal.

Anemia pascatransplantasi juga terkait dengan risiko kegagalan graft yang lebih
tinggi (HR 2,67, p < 0,0001). Anemia mengurangi antaran oksigen ke
tubulointerstitium ginjal. Akibatnya, terjadi hipoksia yang menyebabkan
pembentukan reactive oxygen species (ROS). Terbentuknya ROS memicu
dilepaskannya mediator inflamasi, menyebabkan kerusakan pada ginjal. Pada resipien
transplantasi ginjal, hal tersebut diperparah oleh penggunaan agen imunosupresif
yang meningkatkan kerusakan hipoksia.

Pada penelitian Schechter et al, luaran yang digunakan adalah gabungan dari
kesintasan pasien dan graft. Anemia akibat AKI atau rejeksi akut (HR 9,32, p <
0,001) dan infeksi (HR 3,99, p < 0,001) terkait dengan risiko luaran yang lebih tinggi.
Sementara itu, anemia akibat defisiensi nutrisi tidak terkait dengan risiko luaran yang
lebih tinggi (HR 3,07, p = 0,067).
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional kohort retrospektif dari data rekam
medis resipien transplantasi ginjal.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada
bulan April 2021 dengan cara mengumpulkan dan mempelajari catatan rekam medis
semua resipien transplantasi ginjal sejak 2010 hingga 2021.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi target adalah resipien transplantasi ginjal di Indonesia. Populasi terjangkau
adalah resipien transplantasi ginjal di RSCM. Subjek penelitian adalah populasi
terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian.

3.4. Kriteria Pemilihan Subjek Penelitian


3.4.1. Kriteria Inklusi
Pasien laki-laki dan perempuan berusia lebih dari 18 tahun yang menjalani
transplantasi ginjal di RSCM pada tahun 2010 – 2020.

3.4.2. Kriteria Eksklusi


Pasien dengan data yang tidak lengkap setelah penelusuran lewat telepon atau tidak
dapat dihubungi lewat telepon.

3.5. Besar Sampel


Untuk mengetahui besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk mencari kesintasan
pasien dan graft, digunakan rumus sebagai berikut:
n = besar sampel minimal setiap kelompok
Z1-α/2 = tingkat kemaknaan sebesar 5% (1,96)
Z1-β = kekuatan uji sebesar 80% (0,84)
λ1 = insidens rate kematian pada pasien transplantasi ginjal yang terpajan faktor
risiko
λ2 = insidens rate kematian pada pasien transplantasi ginjal yang tidak terpajan
faktor risiko
λ = 1/2 (λ1 + λ2)
T = waktu pemantauan

3.6 Alur Penelitian

Pengumpulan data variabel dari rekam medis

Pengumpulan data luaran dari rekam medis atau


menghubungi resipien via telepon

Analisis dan pengolahan data

Laporan hasil penelitian

3.7 Cara Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling. Seluruh


pasien yang memenuhi kriteria penelitian diikutsertakan dalam penelitian.
3.8 Identifikasi Variabel

Variabel tergantung adalah kesintasan pasien dan graft transplantasi ginjal

Variabel bebas terdiri dari:

a. Faktor yang berhubungan dengan donor:

- Usia
- Jenis Kelamin Donor dan Resipien
- Hubungan Donor dan Resipien
- IMT
- LFG Pradonasi

b. Faktor yang berhubungan dengan resipien:

- Usia
- IMT
- Durasi Dialisis
- Jenis Dialisis Sebelum Transplantasi
- Kadar Albumin Serum
- Crossmatch
- Merokok
- Diabetes Mellitus
- Penyakit Kardiovaskular
- Infeksi
- Delayed Graft Function
- Kadar Hemoglobin
3.9 Batasan, Cara Pengukuran dan Skala Variabel Penelitian

Variabel Definisi Cara Pengukuran Skala


Kesintasan Pasien yang masih hidup hingga Sesuai data rekam medis Nominal
pasien akhir studi, dihitung sejak atau wawancara
pasien rawat jalan setelah 1 = event
transplantasi 0 = sensor
All-cause graft Graft yang masih berfungsi Sesuai data rekam medis Nominal
survival hingga akhir studi, tidak 1 = graft tidak berfungsi
termasuk pasien yang meninggal 0 = graft berfungsi
dengan graft yang masih
berfungsi
Death- Graft yang masih berfungsi Sesuai data rekam medis Nominal
censored graft hingga akhir studi, termasuk 1 = graft tidak berfungsi
survival pasien yang meninggal dengan 0 = graft berfungsi
graft yang masih berfungsi
Usia donor Usia kronologis donor Sesuai data rekam medis Ordinal
berdasarkan ulang tahun terakhir 1 = ≥ 50 tahun
saat menjalani transplantasi 0 = < 50 tahun
ginjal
Jenis kelamin Laki-laki atau perempuan sesuai Sesuai data rekam medis Nominal
dengan catatan yang ada dalam 1 = Perempuan
rekam medis 0 = Laki-laki
Hubungan Adanya hubungan biologis Sesuai data rekam medis Nominal
donor dan antara donor dan resipien 1 = Tidak ada
resipien 0 = Ada
IMT donor Berat badan (kg) donor dibagi Sesuai data rekam medis Ordinal
dengan tinggi badan kuadrat 1 = Obesitas
(m2) donor 0 = Normal
LFG pradonasi LFG sebelum donasi Sesuai data rekam medis Nominal
berdasarkan rumus CKD-EPI. 1 = ≥ 80 mL/menit/1,73
m2
0 = < 80 mL/ menit/1,73
m2
Usia resipien Usia kronologis resipien Sesuai data rekam medis Ordinal
berdasarkan ulang tahun terakhir 1 = ≥ 50 tahun
saat menjalani tranplantasi 0 = < 50 tahun
ginjal
IMT resipien Berat badan (kg) resipien dibagi Sesuai data rekam medis Ordinal
dengan tinggi badan kuadrat 1 = Obesitas
(m2) resipien 0 = Normal
Durasi dialisis Lamanya terapi dialisis yang Sesuai data rekam medis Ordinal
dilakukan resipien sebelum 1 = 2 tahun
dilakukannya tindakan 2 = < 2 tahun
transplantasi ginjal
Jenis dialisis Jenis modalitas dialisis yang Sesuai data rekam medis Nominal
sebelum dijalani resipien sebelum 1 = Hemodialisis
Variabel Definisi Cara Pengukuran Skala
transplantasi transplantasi 2 = Dialisis peritoneal
Kadar albumin Kadar albumin dalam darah Sesuai data rekam medis Ordinal
serum resipien sebelum transplantasi 1 = < 3,5 mg/dl
0 = ≥ 3,5 mg/dl
Crossmatch Jumlah sel lisis saat darah donor Sesuai data rekam medis Ordinal
dicampurkan dengan serum 1 = ≥ 30%
resipien 0 = < 30%
Merokok Perokok aktif atau masih Sesuai data rekam medis Nominal
merokok dalam lima tahun atau wawancara
terakhir 1 = Merokok
0 = Tidak merokok
Penyakit Penyebab kematian akibat Sesuai data rekam medis Nominal
kardiovaskular kegagalan kardiovaskular seperti atau wawancara
penyakit jantung koroner, gagal 1 = Ya
jantung, gangguan irama, 0 = Tidak
gangguan katup
Infeksi Penyebab kematian karena Sesuai data rekam medis Nominal
infeksi sistemik, yang atau wawancara
mengakibatkan syok sepsis 1 = Ya
ireversibel 0 = Tidak
Delayed Graft Kebutuhan dialisis dalam waktu Sesuai data rekam medis Nominal
Function tujuh hari pertama setelah 1 = Ya
transplantasi 0 = Tidak
Kadar Kadar hemoglobin resipien Sesuai data rekam medis Ordinal
Hemoglobin setelah transplantasi Laki-laki:
1 = < 13 g/dL
2 = ≥ 13 g/dL
Perempuan:
1 = < 11 g/dL
2 = ≥ 11 g/dL

3.10 Cara Kerja Penelitian

3.10.1 Jenis Data, Borang, dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari rekam medis pasien
yang menjalani transplantasi ginjal di RSCM tahun 2010 – 2020.

Data yang dikumpulkan dicatat pada borang penelitian (terlampir) untuk selanjutnya
dipindahkan ke cakram/media penyimpanan elektronik agar dapat dilakukan
kodifikasi data.

3.10.2 Seleksi Subjek


Pasien yang dimasukkan ke dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani
transplantasi ginjal di RSCM tahun 2010 – 2020. Seluruh pasien yang masuk dalam
kriteria inklusi akan diikutkan ke dalam penelitian.

3.10.3 Pengambilan Data

Untuk mengetahui luaran berupa kesintasan transplantasi ginjal, peneliti akan melihat
rekam medis atau melakukan wawancara melalui telepon. Untuk subjek yang
meninggal atau pindah ke rumah sakit lain, peneliti akan menghubungi subjek atau
keluarga melalui telepon untuk mengetahui luaran.

3.11 Pengolahan Data dan Analisis Data

Penyajian data dituliskan dalam bentuk teks/narasi, tabel atau gambar sesuai
kebutuhan. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dan frekuensi
faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal. Data yang dianalisis
diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnow. Data numerik disajikan dalam
bentuk rerata dan simpang baku bila data terdistribusi normal, atau median dengan
rentang nilai minimal dan maksimal apabila data tidak terdistribusi normal. Data
kategorik ditampilkan dalam bentuk frekuensi dan persentase.

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas )faktor
yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal) dengan variabel terikat
(kesintasan graft dan pasien transplantasi ginjal). Teknik analisis yang digunakan
adalah metode Kaplan Meier. Untuk mengetahui kemaknaan dilakukan uji log rank.
Pada analisis bivariat, dilakukan penghitungan nilai hazard ratio (HR) dan interval
kepercayaan dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat.

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama


faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal serta mengetahui
faktor mana yang paling berpengaruh terhadap kesintasan graft dan pasien
transplantasi ginjal. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan uji
regresi Cox.
3.12 Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan sesuai prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki, Guideline for


Good Clinical Practice dari ICH Tripartite Guideline (ICH-GCP). Data rekam medis
yang digunakan akan dijaga kerahasiaannya.

Anda mungkin juga menyukai