Fenomena semacam tersebut sangat jelas dan sering terjadi dalam sebuah etnis. Ktaz
& Barly (Habib, 2004) menyatakan bahwa prasangka (prejudice) dan pelabelan (stereotype)
tidak dapat dipisahkan keterkaitannya dalam sebuah etnis. Saat ekslusivitas etnis terjadi,
maka upaya untuk mengatakan bahwa etnis lain lebih buruk dari etnisnya akan terjadi, dan
upaya mengungulkan juga akan terjadi.
Tapi bisa dipahami juga munculnya penilaian orang tua bunga terhadap etnis
jawa/pribumi bisa juga disebabkan oleh keadaan yang terjadi pada kehidupannya. Ibu bunga
pernah bercerita pengalaman dia tentang kasus hukum yang terjadi di pekerjaan dirinya.
Nuansa diskriminasi terhadap etnisnya dirasa sangat kental. Kemenangan tetap akan
didapatkan oleh orang jawa kata ibunya.
“bawahannya ini melakukan korupsi,....
waktu di bawa ke pengadilan etah bagaimana
intinya mama saya itu yang malah dituntut
untuk membayar sejumlah uang karena
mencemarkan nama baik sedangkan dia ini
malah terselamatkan (RT5, WA1, 04/11/16)
Teori deprivasi relatif dapat menjelaskan permasalahan di atas. Teori psikologi sosial
ini membahas bahwa seseorang akan merasakan ketidakpuasaan atas kesenjangan yang
dirasakan pada dirinya dan kelompoknya, hingga munculnya ketidakterimaaa, prasangka, dan
segala macam perbandingan kepada kelompok lain, menurut Brown. (Habib, 2004)
Pembahasan diatas yang menjadikan bunga mendapat penolakan dalam hubungan
pacarannya.
“aku memiliki contoh keluarga dan teman yang menjalin hubungan dengan
etnis jawa/prbumi”
Pada saat bunga mengalami penolakan dari lingkungannya, khususnya keluarganya.
Rupanya beberapa lingkungannya (keluarga dan teman) lebih dulu menjalin relasi intim
dengan etnis yang berbeda. Bahkan salah satu keluarga terdekatnya (koko mamanya)
menjalin relasi intim hingga menikah dengan orang berbeda etnis. Dalam teori sosial
learning milik bandura (Santrock, 2002) vicarious experiences atau yang dimaksud
pengalaman orang lain yang sukses bisa menjadi hal yang cukup menginspirasi dan
menguatkan seseorang dalam mengadopsi hal yang sama untuk dilakukan juga.
Bagaimana pendapat Bunga tentang pacarnya yang tidak diakui oleh orang tuanya??.
Rupanya bunga mengabaikan semua bentuk ketidak setujuan dari orang tuanya. Dia
beranggapan bahwa pacarnya adalah sosok yang sama dengan orang lain, sama-sama
manusia, tidak dibedakan etnis, mau etnis cina dan jawa sama saja, semua kembali ke
orangnya. Bunga juga menegaskan bahwa dia mengenali hal-hal positif pacarnya, yang
membuat dia berada pada situasi “self-indication”, yang menurut Blumer dalam konsep
teorinya interaksionalisme simbolik dikatakan ada proses komunikasi yang terjadi saat
manusia hidup, dengan memberi makna yang berasal dari interaksi sosial dengan orang lain,
dan akan selalu disempurnakannya. (Suprapto, 2002).
Dalam menjalin sebuah hubungan dengan seorang pacar yang memiliki etnis yang
berbeda oleh subjek bunga tidak mudah. Pertentangan dan pandangan sebelah mata dari
lingkungan yang memiliki etnis sama (tionghoa) selalu muncul. Segala macam kesulitan itu
bisa diselesaikan dengan cinta yang dimilikinya kepada pasangannya. Hal ini tercermin dari
cara dia menyampaikan secara berulang-ulang bagaimana “perasaan cinta yang mendalam”
terhadap pasangannya itu cukup berarti dalam proses berpacaran dirinya.
“Soalnya menurut saya cinta itu tidak ada yg salah. cinta itu gak
mengenal sebuah perbedaan.” (WA2. RT34A. 04.11.16)
“Tepatnya karena cinta itu gak memilih.jadi gak memilih dia itu
harus etnis apa, harus sama kayak aku atau gimana itu ndak.”
(WA3. RT90. 18.11.16)
Bagi bunga pasangannya adalah sosok yang sangat menghargai dirinya dan
keluarganya, walau mengetahui penolakan keluarganya jelas-jelas diketahui. Sifat-sifat
semacam itu dalam sebuah hubungan dibutuhkan dalam penjelasan teori intimacy. Rasa
menghargai pacarnya tersebut membuat bunga mengatakan bahwa akan selalu berusaha
menjaga komitmen untuk tetap bersama