OLEH NAMA : SRI YUNITA K. BUNGI NIM : 2120192028 ANG. : 2018
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
FAKULTAS SAINS, TEKNOLOGI DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BINA MANDIRI GORONTALO TAHUN 2020 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epitel traktus respiratorius merupakan titik utama interaksi antara organisme hidup dan lingkungannya. Oleh karena itu, epitel ini memiliki fungsi pelindung dan adaptif yang memungkinkannya berfungsi sebagai barrier (penghalang) bagi elemen lingkungan yang berbahaya bagi organisme hidup. Epitel traktus respiratorius berperan peran penting dalam etiologi penyakit-penyakit dan gangguan pada saluran pernafasan. Rhinosinusitis kronis adalah contoh penting dari penyakit tersebut. Penyakit ini adalah merupakan salah satu kondisi medis yang paling umum ditemukan namun patofisiloginya paling sulit dipahami. Meskipun diperkirakan prevalensi 15,7% di antara populasi umum di Amerika Serikat, rhinosinusitis kronis tetap merupakan penyakit yang sulit ditangani dengan pilihan pengobatan saat ini. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Rinosinusitis? 2. Bagaimana klasifikasi Rinosinusitis? 3. Bagaimana etiologi Rinosinusitis? 4. Bagaimana patofisiologi Rinosinusitis? 5. Bagaimana gejala Rinosinusitis? 6. Bagaimana diagnose Rinosinusitis? 7. Bagaimana terapi non-farmakologi Rinosinusitis? 8. Bagaimana terapi farmakologi Rinosinusitis? 9. Bagaimana mekanisme kerja obat Rinosinusitis? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian Rinosinusitis 2. Untuk mengetahui klasifikasi Rinosinusitis 3. Untuk mengetahui etiologi Rinosinusitis 4. Untuk mengetahui patofisiologi Rinosinusitis 5. Untuk mengetahui gejala Rinosinusitis 6. Untuk mengetahui diagnose Rinosinusitis 7. Untuk mengetahui terapi non-farmakologi Rinosinusitis 8. Untuk mengetahui terapi farmakologi Rinosinusitis 9. Untuk mengetahui mekanisme kerja obat Rinosinusitis BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Rinosinusitis Rinosinusitis (RS) adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan sinus paranasal. Secara klinik RS adalah keadaan yang terjadi sebagai manifestasi adanya peradangan yang mengenai mukosa rongga hidung dan sinus paranasal dengan terjadinya pembentukan cairan atau adanya kerusakan pada tulang di bawahnya. 2.2 Klasifikasi Klasifikasi RS menurut the American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS) : 1. Rinosinusitis akut (RSA) Bila gejala RS berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul mendadak, biasanya akibat infeksi virus dan sembuh sebelum 4 minggu. Setelah itu seluruh gejala akan menghilang. Gejala RSA viral yang memburuk setelah 5 hari atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi kuman (RSA bakterial). 2. Rinosinusitis akut berulang (Recurrent acute rhinosinusitis) Gejala dan tanda sesuai dengan RSA,tetapi memburuk setelah 5 hari atau menetap selama lebih dari 10 hari. Kriteria gejala untuk RSA berulang identik dengan kriteria untuk RSA. Episode serangan berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam 1 tahun. Diantara masing-masing episode terdapat periode bebas gejala tanpa terapi antibiotik. 3. Rinosinusitis sub akut (RSSA). RS dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Kondisi ini merupakan kelanjutan perkembangan RSA yang tidak menyembuh dalam 4 minggu. Gejala lebih ringan dari RSA. Penderita RSSA mungkin sebelumnya sudah mendapat terapi RSA tetapi mengalami kegagalan atau terapinya tidak adekuat. 4. Rinosinusitis kronis (RSK). Bila gejala RS berlangsung lebih dari 12 minggu. 5. Rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu saat dapat terjadi gejala yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang. Gejala akan kembali seperti semula setelah pengobatan dengan antibiotik akan tetapi tidak menyembuh. 2.3 Etiologi Penyebab utama dan terpenting dari RS adalah obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor baik lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor tersebut meliputi infeksi saluran nafas atas, alergi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi, defisiensi imun dan lain-lain. Infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai bahan iritan dapat menyebabkan inflamasi mukosa hidung. Infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus merupakan faktor penyebab terbanyak dari RS viral. Udem mukosa hidung dan sinus maksila yang berakibat penyempitan ostium sinus maksila ditemukan pada 80% pasien common cold. Adanya cairan dapat diikuti pertumbuhan bakteri sekunder sehingga timbul gejala peradangan akut (RS akut bakterial). Berbagai variasi atau kelainan anatomi seperti sel agger nasi yang menonjol ke arah insersi antero-superior dari konka media, bula etmoidalis yang kontak di bagian medial,deformitas prosesus unsinatus, deformitas konka bulosa (pneumatisasi konka media) dan septum deviasi dapat menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik. 2.4 Patofisiologi Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi RS digambarkan sebagai lingkaran tertutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal (KOM). Secara skematik patofisiologi RS sebagai berikut: Inflamasi mukosa hidung pembengkakan (udem) dan eksudasi obstruksi (blokade) ostium sinus gangguan ventilasi dan drainase, resorpsi oksigen dalam rongga sinus hipoksia (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif) permeabilitas kapiler meningkat transudasi, peningkatan eksudasi serous,penurunan fungsi silia retensi sekresi di sinus atau pertumbuhan kuman. Pada pasien rinitis alergi,alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper2 (Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktifasi sel mastosit, sel B dan eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya pada infeksi virus. 2.5 Gejala Menurut Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of Otolaryngologic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS), gejala klinis RS pada dewasa dapat digolongkan menjadi : Gejala mayor yaitu gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi yang tinggi. Termasuk dalam gejala mayor adalah : Sakit pada daerah muka (pipi,dahi ,hidung) Buntu hidung Ingus purulens/pos-nasal/berwarna Gangguan penciuman Sekret purulen di rongga hidung Demam (untuk RS akut saja) Sedangkan gejala minor : Batuk Demam (untuk RS non akut) Tenggorok berlendir Nyeri kepala Nyeri geraham Halitosis 2.6 Diagnosa 1. Anamnesis Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas. Hal ini penting terutama pada RSK karena diperlukan pengetahuan kemungkinan faktor penyebab yang lain selain inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik kuman maupun virus,riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Untuk RSA gejala yang ada mungkin cukup jelas karena berlangsung akut (mendadak) dan seringkali didahului oleh infeksi akut saluran nafas atas. Pada anak infeksi saluran nafas atas merupakan predisposisi pada 80% RSA anak. Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang khas terutama karakteristik gejala pilek sebelumnya,riwayat alergi dalam keluarga serta adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi. 2. Pemeriksaan fisik Pada RSA dapat terlihat adanya hiperemi dan daerah sembab sekitar hidung dan orbita. Pada anak gejala ini lebih terlihat jelas terutama pada RSA berat atau dengan komplikasi. Gejala nyeri tekan di daerah sinus terutama sinus frontal dan maksila kadang dapat ditemukan,akan tetapi nyeri tekan di sinus tidak selalu identik dengan sinusitis. Pemeriksaan yang penting adalah rinoskopi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dijumpai adanya kelainan-kelainan di rongga hidung yang berkaitan dengan RS seperti hiperemi, sekret, udem, krusta, septum deviasi, polip atau tumor. Sedangkan rinoskopi posterior adalah pemeriksaan untuk melihat rongga hidung bagian belakang dan nasofaring. Melalui pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan yang terdapat di belakang rongga hidung dan nasofaring seperti post nasal drib dan lain-lain 2.7 Terapi Non-Farmakologi Untuk menghilangkan gejala sinusitis lakukan terapi uap panas. Caranya : didihkan 4 – 6 gelas air, tempatkan dalam mangkuk yang cukup besar, lalu tundukkan kepala (sambil diselubungi handuk) di atas mangkuk tersebut sehingga uap panas dapat dihirup secara maksimal. Terapi ini biasanya dilakukan selama 10 – 15 menit. Minum banyak cairan seperti air, jus buah dan the untuk mengencerkan lender dalam rongga hidung. Banyak istrahat, terutama di tempat yang cukup lembab. Sedapat mungkin hindari pemicu alergi (Anonim, 2007). 2.8 Terapi Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa yang utama adalah untuk mengembalikan fungsi drainase sinus. Pada dasarnya yang ingin dicapai oleh terapi medikamentosa adalah kembalinya kondisi normal di dalam rongga hidung. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pelembaban (moisturizing, humidification) untuk mengurangi/menghilangkan udem mukosa serta mengembalikan fungsi transpor mukosiliar. Beberapa upaya diantaranya adalah : saline nasal spray, humidification dan pemberian mukolitik. Irigasi dengan larutan garam faal dapat membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret yang kental, sedangkan humidification dapat mencegah kekeringan dan pembentukan krusta 1. Dekongestan Obat dekongestan yang digunakan dalam pengobatan RS pada umumnya adalah perangsang reseptor α-adrenergik, yang dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh kapiler mukosa rongga hidung sehingga mengurangi udem dan menghilangkan sumbatan hidung serta mengembalikan patensi ostia sinus. Dekongestan dapat diberikan dalam bentuk topikal maupun sistemik (oral). Dekongestan topikal dapat diberikan dalam bentuk tetes maupun semprot hidung. Penggunaan dibatasi tidak lebih dari 5 hari karena pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya rinitis medikamentosa. Pemberian dekongestan sistemik harus hati-hati dan sebaiknya tidak digunakan pada Penderita dengan kelainan kardiovaskular,hipertiroid atau hipertropi prostat. 2. Kortikostiroid Kortikosteroid topikal dapat mengurangi inflamasi dan mengurangi sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung sehingga mengurangi sekresi. Beberapa kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot hidung diantaranya adalah : beklometason, flutikason, mometason. Kortikosteroid sistemik banyak bermanfaat pada RSK dengan pembentukan polip atau pada allergic fungal rhinosinusitis. Pada RSA mungkin bermanfaat untuk menghilangkan udem dan mencegah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus. Pengobatan jangka pendek cukup efektif dan aman, namun untuk jangka panjang penghentian pengobatan harus dilakukan secara bertahap (tappering off). 3. Antihistamin Antihistamin klasik mempunyai efek anti kolinergik yang mengurangi sekresi kelenjar. Dampak efek ini menyebabkan mengentalnya mukus sehingga mengganggu drainase. Untuk menghindari efek kolinergik dapat digunakan antihistamin generasi II (loratadin, setirizin, terfenadin) atau turunannya seperti desloratadin,levosetirizin maupun feksofenadin. 4. Antibiotik Antibiotik merupakan terapi penting pada RSAB disamping terapi medikamentosa lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat perlu pengetahuan tentang kuman penyebab serta kepekaannya terhadap antibiotik yang tersedia. Berdasarkan kuman penyebab maka pilihan pertama antibiotik pada RSA adalah amoksisilin (first line drugs),karena obat ini efektif terhadap Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae yang merupakan dua kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB. Di Amerika kuman gram negatif penghasil enzim beta-laktamase sudah banyak ditemukan sehingga antibiotik pilihan beralih pada kombinasi amoksisilin dan klavulanat. Antibiotik harus diberikan 10- 14 hari agar dapat dicapai hasil pengobatan yang maksimal. 2.9 Mekanisme Kerja Obat 1. Antihistamin Mekanisme kerja : menghambat reseptor H1 2. Dekongestan Mekanisme kerja : bertindak terutama pada reseptor α-adrenergik mukosa saluran pernapasan 3. Kotikosteroid Mekanisme kerja : mengurangi inflamasi pada hidung 4. Antibiotik Mekanisme kerja : menghambat sintesis sel mikroba DAFTAR PUSTAKA Siregar, Tahona dan Mardhika, Wira Danna. 2016. Gambaran Penggunaan Obat Sinusitis Di Puskesmas Kecamatan Tabet Jakarta Selatan Periode Januari – Maret 2010. Institus Sains dam Teknologi Nasional : Jakarta
Budiman, J. Bestary dan Asyari, Ade. Diagnosis dan Pelaksanaan
Rinosinusitis Dengan Polip Nasi. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas : Padang
Teuku, T.R. Diagnosis dan Penanganan Rhinosinusitis. Fakultas