Kelompok 6 :
JAKARTA
2021
Fenomena dan Latar Belakang Transfer Pricing
(1) memperluas usaha dalam rangka mencari bahan baku dan menjual produknya keluar
negeri.
(2) mencari pasar dan memperluas jangkauan pemasaran produk 2 yang dimiliki.
(3) meminimumkan biaya (cost minimazer), seperti keringanan pajak, tenaga kerja yang
murah, harga tanah murah, biaya pengolahan limbah dengan syarat ringan, dan lain
sebagainya (www.academia.edu).
Tujuan yang ingin dicapai dalam transfer pricing antara lain sebagai berikut:
Transfer pricing merupakan harga barang, jasa atau harta tak berwujud 3 yang
dialihkan antara divisi dalam suatu perusahaan atau dalam perusahaan yang memiliki
hubungan istimewa atau perusahaan multinasional (Gusnardi, 2009). Tujuan utama dari
transfer pricing adalah untuk mengevaluasi dan mengukur kinerja finansial suatu
perusahaan, akan tetapi sering juga transfer pricing digunakan oleh perusahaan
multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga
yang ditransfer antar divisi (Gusnardi, 2009). Kunci utama keberhasilan transfer pricing
dari sisi pajak adalah transaksi karena adanya hubungan istimewa (Yenni, 2000).
Para ahli juga mengakui bahwa transfer pricing ini bisa menjadi suatu masalah
bagi perusahaan, namun ini juga bisa menjadi peluang penyalahgunaan untuk
perusahaan yang mengejar laba yang tinggi. Bagi perusahaan yang memiliki anak
perusahaan di negara yang tarif pajaknya tinggi maka akan menjadi suatu masalah
karena akan membayar pajak lebih banyak, sehingga keuntungan yang didapat lebih
sedikit. Tidak sedikit juga perusahaan yang melihat ini sebagai suatu peluang dan
membuat strategi untuk mendapatkan keuntungan lebih dari penjualan dan penghindaran
pajak. Salah satu caranya adalah dengan membuat anak perusahaan di negara yang
memberikan tarif pajak rendah ataupun negara yang berstatus tax heaven country.
Dari sisi pemerintah transfer pricing diyakini dapat mengakibatkan berkurang atau
hilangnya potensi penerimaan pajak karena perusahaan multinasional cenderung
menggeser kewajiban perpajakannya dengan cara memperkecil harga jual antara
perusahaan dalam satu grup dan mentransfer laba yang diperoleh kepada perusahaan
yang berkedudukan di negara yang menerapkan trasnfer pajak yang rendah (tax heaven
countries). Sedangkan dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan
biaya-biaya (cost efficiency) termasuk didalamnya meminimalisasi pembayaran pajak
perusahaan (corporate income tax). (Haeruman, 2010)
Pajak tangguhan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak penghasilan
badan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
oleh badan seperti yang di maksud dalam UU KUP (Jewel,2012). Perbedaan tarif pajak
yang berlaku antarnegara menyebabkan perusahaan multinasional memaksimalkan
manajemen perpajakannya dengan melakukan pengalihan pendapatan dan laba ke
negara lain dengan praktik transfer pricing. (Hansen and Mowen, 2005:195). Perusahaan
multinasional sering memanfaatkan celah aturan perpajakan untuk melakukan
manajemen pajak dengan melakukan transfer pricing yaitu memindahkan keuntungan
atau penghasilan yang didapat ke perusahaan afiliasi yang berada di negara lain,
sehingga total pajak perusahaan yang dibayarkan menjadi lebih rendah dan keuntungan
yang diperoleh oleh perusahaan tersebut semakin tinggi. Hal tersebut telah
menyebabkan kerugian yang besar bagi negara berkembang termasuk Indonesia, karena
pajak merupakan salah satu sumber APBN bagi negara Indonesia (Lubis, 2015).
Sehingga saat ini transfer pricing menjadi salah satu permasalahan yang menjadi
perhatian bagi para aparat pajak.
Kegiatan usaha melalui transfer pricing ini dipercaya pula oleh para ahli dapat
menghindari pajak berganda (PricewaterhouseCoopers, 2009, dalam Hartati, 2013).
Namun di satu sisi, transfer pricing sering mengalami masalah dalam aspek
penyalahgunaan pajak, karena kegiatan ini menyangkut masalah bea cukai, ketentuan
anti-dumping, perubahan pengalihan penghasilan, dan perubahan dasar pengenaan
pajak (tax base) dari satu wajib pajak kepada wajib pajak lain. Dengan kata lain,
realitanya adalah transfer pricing ini menimbulkan kemungkinan- kemungkinan adanya
rekayasa jumlah pajak yang terutang atas wajib pajak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut (Hartati, 2013).
- Harga penjualan;
- Harga pembelian;
1. Transaksi transfer barang atau jasa antar pusat laba cukup signifikan,
2. Biaya barang atau jasa yang ditransfer merupakan komponen penting produk akhir,
1. Untuk memberikan informasi relevan pada setiap pusat laba dalam menentukan harga
transfer.
2. Untuk memvotivasi manajer pusat laba pengirim, pusat laba penerima, dan kantor pusat
dalam membuat keputusan yang tepat.
3. Untuk menyajikan laporan laba setiap divisi yang secara layak mengukur prestasidivisi.
Sasaran Penentuan Harga Transfer
Harga transfer merupakan mekanisme untuk mendistribusikan pendapatan jika dua pusat
laba atau lebih bertanggungjawab bersama atas pengembangan, pembuatan, dan
pemasaran suatu produk sehingga masing-masing harus berbagi pendapatan yang
dihasilkan ketika produk tersebut terjual.
Harga transfer harus dirancang sedemikian rupa supaya dapat mencapai beberapa
sasaran sebagai berikut :
Istilah “harga transfer” yang digunakan disini adalah nilai yang diberikan kepada
suatu transfer barang dan jasa dalam suatu transaksi dimana setidaknya ada satu pusat
laba yang terlibat didalamnya.
Harga semacam ini biasanya melibatkan suatu elemen laba karena sebuah
perusahaan yang independent tidak akan mentransfer barang dan jasa ke perusahaan
independent yang lain sebesar biaya produksi atau lebih rendah dari itu.
Prinsip Dasar
Prinsip dasarnya adalah bahwa harga transfer harus sama dengan harga yang
dipatok seandainya produk tersebut terjual kepada konsumen luar atau dibeli dari
pemasok luar.
Ketika suatu pusat laba pada sebuah perusahaan membeli produk, dan menjualnya
kepada, satu sama lain, maka dua keputusan yang harus diambil untuk setiap produk
adalah :
1. Apakah perusahaan harus memproduksi sendiri produk tersebut atau membelinya dari
pemasok luar ? Hal ini memrupakan sourcing decision.
2. Jika diproduksi sendiri, pada tingkat harga berapakah produk tersebut ditransfer
diantara pusat-pusat laba ? Hal ini merupakan transfer price decision.
Situasi Ideal
Harga transfer yang berdasarkan harga pasar akan menghasilkan kesamaan tujuan,
dan tidak membutuhkan administrasi pusat jika kondisi-kondisi dibawah ini terpenuhi :
1) Jika terdapat terbitan harga pasar, maka itu dapat digunakan untuk
menentukan harga transfer. Meskipun demikian, terbitan tersebut harus
merupakan harga yang benar-benar dibayarkan di pasar bebas, dan kondisi
yang ada di pasar bebas harus konsisten dengan yang ada dalam perusahaan.
3) Jika pusat laba produksi menjual produk yang mirip di pasar bebas, maka ia
mungkin akan menggandakan harga kompetitif berdasarkan harga luar.
4) Jika pusat laba pembelian membeli produk yang sejenis dari pasar bebas,
maka ia dapat menggandakan harga kompetitif untu produk ekslusifnya.
Jika harga kompetitif tidak tersedia, maka suatu harga transfer dapat ditentukan
berdasarkan biaya ditambah laba, meskipun harga transfer semacam ini sangat sulit
dihitung dan hasilnya kurang memuaskan dibandingkan dengan harga yang berbasis
pasar (marked-based price).
Dua keputusan yang harus dibuat dalam system harga transfer berdasarkan biaya :
Basis biaya.
Basis yang umum adalah biaya standar. Biaya actual tidak boleh digunakan karena
factor inefisiensi produksi akan terlewatkan bagi pusat laba pembelian. Jika biaya standar
yang digunakan, maka dibutuhkan suatu insentif untuk menetapkan standar yang ketat
dan meningkatkan standar tersebut.
Markup laba.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam menerapkan metode penentuan harga
dua langkah (two-step pricing method) :
Pembebanan biaya per bulan untuk biaya tetap dan laba harus dinegosiasikan secara
berkala dan akan tergantung dari kapasitas yang digunakan oleh unit pembeli.
Pertanyaan mungkin akan timbul mengenai keakuratan alokasi investasi dan biaya.
Dengan system penentuan harga ini, inerja laba dari unit produksi tidak dipengaruhi
volume penjualan dari unit yang terakhir. Hal inimemecahkan masalah yang muncul ketika
usaha pemasaran oleh unit usaha yang lain mempengaruhi kinerja laba dari unit produksi
murni
Mungkin terdapat konflik antara kepentingan dari unit produksi dengan kepentingan
perusahaan.(Kelemahan ini diatasi dengan menentukan bahwa unit pemasaran memiliki
prioritas utama dalam menggunakan kapasitas yang terbatas)
Metode ini mirip dengan penentuan harga “take or pay” yang sering digunakan oleh
perusahaan-perusahaan sarana umum, saluran pipa, dan batubara, dan dalam kontrak
jangka panjang.
Pembagian laba
Jika system penentuan harga dua langkah tidak feasible, sistem pembagian laba (profir
sharing) dapat digunakan untuk memastikan kesamaan antara kepentingan unit usaha
dan perusahaan.
Sistem tersebut beroperasi dengan cara sebagai berikut :
1) Produk tersebut ditransfer ke unit pemasaran pada biaya variable standar.
2) Setelah produk tersebut terjual, unit-unit usaha membagi kontribusi yang dihasilkan,
dimana perhitungannya adalah harga penjualan dikurangi biaya variable produksi dan
pemasaran.
CONTOH KASUS
Perseteruan antara perusahaan minuman bersoda the Coca-Cola Co. dengan otoritas
pajak Amerika Serikat (AS) Internal Revenue Service (IRS) belum menemui titik temu
hingga saat ini.
Sudah hampir setahun berlalu sejak dilakukan sidang pengadilan oleh Pengadilan Pajak
AS di Washington D.C sepanjang Maret hingga Mei 2018, validitas metode
kesebandingan laba untuk menguji kewajaran harga yang digunakan oleh IRS masih terus
menjadi perdebatan.
Kasus ini bermula dari adanya surat pemberitahuan kurang bayar pada September 2015
sebesar US$3,3 miliar untuk periode 2007 hingga 2009, sebelum akhirnya berujung ke
Pengadilan Pajak AS.
Menurut Coca-Cola, metode tersebut tidak secara tepat mengalokasikan semua tingkat
pengembalian dari aset tidak berwujud supply point tersebut ke perusahaan induk yang
merupakan Wajib Pajak AS. Sebaliknya, IRS menolak interpretasi Coca Cola dan
menyatakan bahwa CPM memberikan tingkat pengembalian yang konsisten dengan
fungsi, aset, dan risiko untuk supply point yang hanya menjalankan aktivitas bisnis rutin
perusahaan.
“Argumen Coca-Cola bertumpu pada premis yang salah. Hal ini disebabkan oleh atribusi
Coca-Cola Co. sebagai pemilik sah dari sebagian besar merek dagang yang lisensinya
digunakan oleh supply point yang menganggap bahwa pengalokasian laba dilakukan
dasarkan tingkat pengembalian aset tidak berwujud yang dilisensikan,” demikian informasi
yang dikutip dari laporan IRS tersebut.
Dengan demikian, IRS menganggap supply point tersebut hanya menjalankan aktivitas
pembotolan dan bukan pemilik aset tak berwujud. Dengan demikian, mereka tidak berhak
untuk memperoleh keuntungan signifikan dari aset tersebut.
IRS pun menyalahkan metode yang digunakan oleh saksi ahli Coca-Cola yang tidak
mampu menjelaskan nilai produk perusahaan tersebut berdasarkan aspek pemasaran
perusahaan, terutama menyangkut peran perusahaan dalam melakukan kampanye dan
aktivitas sponsor secara global dan formula bisnis lainnya.
Di sisi lain, ada satu dugaan kekurangan dalam analisis IRS yang menggunakan
pendekatan tingkat harga kewajaran atas laba dari perusahaan pembotolan independen
lainnya. Hal ini dikarenakan rasio yang terlalu tinggi dan tidak wajar antara aset tidak
berwujud dengan aset operasional berwujud dari supply point Coca-Cola tersebut
dibandingkan pembanding independennya.
“Padahal, berdasarkan ketentuan yang diacu oleh IRS, yakni Section 482, tingkat
pengembalian atas modal sebagai indikator tingkat laba wajar antara perusahaan yang
diuji dengan pihak independen seharusnya nilainya hampir sama,” demikian informasi
yang dilansir Tax Notes International Vol. 94 No. 4. (kaw). (Sumber
https://news.ddtc.co.id/begini-update-kasus-transfer-pricing-coca-cola--15821)