Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH UNDANG-UNDANG REGULASI FARMASI

“OBAT DAN PKRT”

Disusun oleh :

NAMA : UMUL FATIHAH 1704026268


Kelas : Apoteker 29 Pagi
Dosen : Drs. Fauzi Kasim, M.Kes.,Apt

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2018
NAMA : UMUL FATIHAH
NIM : 1704026268
KELAS : A (APOTEKER PAGI)
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi ROTD
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) adalah respon obat yang berbahaya
dan tidak diinginkan terjadi pada dosis normal yang digunakan untuk manusia sebagai
profilaksis, diagnosis, terapi suatu penyakit, dan untuk memperbaiki sistem fisiologis
(Herawati dan Utomo 2016). WHO mendefinisikan ROTD sebagai sebuah respon terhadap
obat yang bersifat berbahaya, tanpa disengaja, dan terjadi pada dosis normal yang digunakan
pada terapi, profilaksis, diagnosis penyakit, atau modifikasi fungsi fisiologi. Menurut Edward
dan Aronson (2000), ROTD adalah reaksi yang berbahaya atau tidak mengenakkan akibat
penggunaan produk medis yang memperkirakan adanya bahaya pada pemberian berikutnya
sehingga mengharuskan pencegahan, terapi spesifik, pengaturan dosis atau penghentian obat
ROTD merupakan permasalahan keamanan utama pada pasien yang kemungkinan
memiliki konsekuensi yang bermakna pada pasien dan sistem perawatan kesehatan baik pada
tingkat aspek tujuan medik maupun ekonomi (Wulandari dkk 2016). Masalah ROTD perlu
mendapatkan perhatian karena dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup, peningkatan
kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit, bahkan kematian. ROTD mencapai angka
5% pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan berpengaruh lebih jauh sekitar 5% pada
pasien setelah perawatan (Wulandari dkk 2016).

2. Prevalensi Kejadian ROTD


Beberapa hal dapat meningkatkan risiko terjadinya ROTD dan salah satunya adalah
usia. Anak-anak dan orang lanjut usia memiliki risiko yang lebih besar mengalami ROTD,
khususnya untuk orang lanjut usia memiliki risiko 7 kali lebih besar mengalami kejadian
ROTD apabila dibandingkan dengan orang yang lebih muda (<60 tahun). Hal ini dapat terjadi
karena pasien lanjut usia mendapat berbagai macam obat untuk mengobati penyakit kronis
yang diderita dan berbagai perubahan fisiologis tubuh (Herawati dan Utomo 2016).
Prevalensi kejadian ROTD pada pasien lansia dilaporkan sekitar 5-35%. Pasien lansia
memang rentan untuk terjadinya ROTD kerena kompleksnya pengobatan, tingginya
komorbiditas, adanya faktor penuaan yang berhubungan dengan gangguan metabolisme obat,
penurunan cadangan fisiologi (hati, ginjal dan fungsi kardiovaskular) dan kekurangan gizi.
Pengobatan pada pasien lansia sangat kompleks karena biasanya bersifat multipatologi
sehingga menyebabkan peningkatan jumlah obat (polifarmasi) yang digunakan untuk kondisi
klinis yang berbeda-beda. Keadaan polifarmasi yang sering dialami pasien lansia
menyebabkan meningkatnya potensi untuk terjadinya reaksi obat yang tidak dikehendaki
(ROTD) (Wulandari dkk 2016).

3. Faktor-Faktor Risiko Kejadian ROTD


Faktor- faktor risiko kejadian ROTD antara lain: usia, jenis kelamin, polifarmasi,
jumlah obat yang diterima, diagnosa serta penyakit penyerta (Arini dkk. 2016). Untuk faktor
risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian ROTD adalah polifarmasi, adanya
komorbid (diagnosis lebih dari 1 macam) dan diagnosis gagal jantung (Nurcahya 2015).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wulandari et al. (2016), hasil analisis menunjukkan
bahwa usia mempengaruhi kejadian ROTD pada pasien lansia dengan hipertensi, diabetes,
dislipidemia kemungkinannya 3,577 kali daripada pasien non lansia. Hal ini dapat dikatakan
bahwa umur lansia berisiko lebih besar untuk terjadinya ROTD pada pasien dengan
hipertensi, diabetes, dan/atau dislipidemia di tiga Puskesmas di kota Depok. Saedder et al.
(2014) melaporkan bahwa jenis obat di kriteria STOPP, seperti OAINS, aspirin, warfarin,
digoksin, dan golongan opioid termasuk dalam daftar 10 obat yang paling sering
menyebabkan medication error; jenis obat dalam kriteria STOPP, seperti: OAINS, aspirin,
golongan opioid, warfarin, digoksin, golongan antipsikotik, diuretik, dan golongan
antidepresi juga termasuk dalam daftar 20 obat yang paling sering menyebabkan orang masuk
ke rumah sakit, memperpanjang perawatan selama di rumah sakit, mengancam jiwa, dan
meningkatkan kejadian medication error (Gallagher and O’Mahony 2008). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Utomo (2016), ROTD yang dialami oleh
pasien antara lain, yaitu: 5 pasien mengalami ROTD karena pemakaian insulin saat di rumah
hingga pasien merasa lemas atau terjadi hipoglikemia; 1 pasien mengalami bengkak di kaki
setelah diberi terapi injeksi oleh dokter di klinik. Pasien dengan nilai GFR ≤60
mL/menit/1,73 m2 sebanyak 69% (29 orang) dan menerima 3–14 obat dengan rata-rata 7 obat
selama dirawat. Menurut Gerontonet score (Tabel 3) terdapat 35,7% (15 orang) yang berisiko
tinggi (skor ≥4) mengalami ROTD saat dirawat inap, variabel yang berperan besar dalam
meningkatkan skor adalah GFR ≤60 mL/menit/1,73 m2 dan jumlah obat >5 obat. Jadi, GFR
≤60 mL/menit/1,73 m2 dan jumlah obat merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan
ROTD.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Utomo (2016), penelitian
ini adalah untuk melihat tingkat risiko ROTD dan jenis obat yang digunakan pada pasien
lanjut usia rawat inap di RSUD Dr. Moh. Soewandhie Surabaya Periode November–
Desember 2014 dengan alat Gerontonet Score dan kriteria Screening Tool of Older People’s
Prescriptions (STOPP). Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah
responden 42 orang. Gerontonet score dan kriteria STOPP digunakan untuk melihat tingkat
risiko dan jenis obat yang dapat meningkatkan ROTD. Gerontonet score terdiri dari 6
variabel (≥4 comorbid, gagal jantung, gangguan liver, jumlah obat, riwayat ROTD, dan
gangguan ginjal); skor ≥4 menunjukkan pasien yang berisiko tinggi mengalami ROTD.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari et al. (2016), Penelitian ini bertujuan
untuk menilai pengaruh umur lansia terhadap kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki
pada pasien hipertensi, diabetes dan/atau dislipidemia di Puskesmas Pancoran Mas,
Puskesmas Tanah Baru, dan Puskesmas Beji di kota Depok. Penelitian menggunakan
rancangan kohort prospektif. Subjek penelitian terdiri dari 62 pasien lansia sebagai kelompok
kohort dan 62 pasien non lansia sebagai kelompok kontrol. Pengambilan sampel dilakukan
selama Januari-Juni 2014. Subjek dipantau keadaannya setiap minggu selama satu bulan.
Manifestasi klinik ROTD merupakan hasil evaluasi terhadap keluhan-keluhan yang dialami
pasien yang dievaluasi menggunakan skala Naranjo. Manifestasi klinik ROTD yang didapat
pada kedua kelompok dianalisis menggunakan uji kai-kuadrat dan uji regresi logistik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Christiani dkk. (2008), Telah dilakukan
penelitian tentang kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) yang menyebabkan
pasien usia lanjut dirawat di ruang perawatan penyakit dalam Instalasi Rawat Inap B Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, periode Mei-Juli 2005 untuk mengetahui proporsi kejadian,
manifestasi klinik yang sering terjadi dan obat yang sering menyebabkannya. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan desain studi potong lintang (cross-sectional) dan untuk
penilaian kausalitas ROTD digunakan algoritma Naranjo. Total pasien yang ikut serta dalam
penelitian ini berjumlah 102 orang.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Christiani dkk. (2008), manifestasi klinik
ROTD yang sering menyebabkan pasien usia lanjut dirawat di ruang perawatan penyakit
dalam IRNA B RSCM adalah perdarahan saluran cerna. Semua kejadian perdarahan saluran
cerna disebabkan penggunaan obat anti inflamasi non steroid (NSAID). Rata-rata NSAID
digunakan dalam waktu yang lama yaitu 3 minggu sampai lebih dari tiga tahun. Terdapat dua
pasien yang sebelumnya juga pernah dirawat karena perdarahan saluran cerna yang dicurigai
juga disebabkan oleh efek samping NSAID. Durasi terpendek penggunaan NSAID yang
menyebabkan perdarahan saluran cerna ini adalah 3 hari, dimana pasien ini mempunyai
riwayat pecah varises esofagus beberapa tahun sebelumnya. Manifestasi klinik ROTD lain
yang cukup banyak adalah penurunan kesadaran karena hipoglikemi. Terdapat 4 kejadian
hipoglikemi yang semuanya disebabkan penggunaan obat hipoglikemi oral dengan faktor
risiko kurangnya asupan pasien karena penurunan nafsu makan. Durasi penggunaan obat
hipoglikemi oral ini antara 3 hari sampai 2 minggu. Berdasarkan penelitian ini jenis obat
yang sering berhubungan ROTD yang membuat pasien usia lanjut dirawat di ruang perawatan
penyakit dalam adalah obat golongan NSAID. Selanjutnya obat hipoglikemi oral golongan
sulfonilurea. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, NSAID merupakan obat
yang sering terkait dengan kejadian ROTD yang menyebabkan pasien usia lanjut dirawat di
rumah sakit dengan manifestasi klinik terbesar berupa gejala saluran pencernaan seperti
perdarahan saluran cerna, nyeri perut serta mual dan muntah. Sebanyak 30% ROTD yang
menyebabkan pasien usia lanjut dirawat di rumah sakit disebabkan oleh NSAID. Penggunaan
NSAID dapat meningkatkan insiden terjadinya perdarahan dan perforasi pada saluran
pencernaan bagian atas. Faktor risiko terjadinya perdarahan saluran cerna pada penggunaan
NSAID adalah usia lanjut, riwayat tukak lambung dan perdarahan saluran cerna, serta
penggunaan bersama kortikosteroid. Oleh karena itu NSAID harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien usia lanjut terutama yang mempunyai faktor risiko lain. Penyesuaian dosis
mungkin diperlukan pada pasien usia lanjut dan dianjurkan menggunakan dosis terendah
yang masih efektif bagi pasien. Pada satu penelitian didapatkan bahwa durasi terapi tidak
mempengaruhi risiko terjadinya perdarahan atau perforasi saluran pencernaan. Risiko ini
konstan selama pengobatan (Henry et al. 1996).
Obat anti inflamasi non steroid yang menyebabkan ROTD dalam penelitian ini adalah
piroksikam, natrium diklofenak, asam mefenamat, ibuprofen dan aspirin. Dalam suatu meta
analisis didapatkan bahwa piroksikam mempunyai risiko relatif tertinggi dari terjadinya
komplikasi saluran pencernaan. Ibuprofen dosis rendah mempunyai risiko relatif yang rendah
tetapi risiko ini meningkat pada penggunaan dosis besar. NSAID lain yang mempunyai risiko
besar bagi terjadinya perdarahan saluran pencernaan adalah azapropazon dan ketoprofen
(Mamdani et al. 2002). Berbeda dengan NSAID, obat hipoglikemi oral jarang menyebabkan
ROTD yang berat pada penelitian-penelitian lain di banyak negara maju (Onder et al. 2002).
Hal ini kemungkinan karena sistem informasi dan pemantauan penggunaan obat golongan ini
di negara maju lebih baik (Manesse et al. 2002). Pada penelitian yang dilakukan di Swiss
terdapat 2,8 % kejadian ROTD dengan manifestasi hipoglikemi yang terjadi karena
penggunaan insulin dan glibenklamid (Col et al. 1990). Obat hipoglikemi oral yang
menyebabkan ROTD pada penelitian ini adalah glibenklamid, dan kombinasi glibenklamid
dengan metformin.
Glibenklamid merupakan obat hipoglikemi oral golongan sulfonilurea yang
mempunyai waktu kerja yang panjang. Efek samping yang lazim ditemukan pada
penggunaan obat golongan sulfonilurea adalah terjadinya hipoglikemi. Mengingat waktu
kerjanya yang panjang maka penggunaan glibenklamid pada usia lanjut sebaiknya dihindari.
Penggunaan slufonilurea yang mempunyai waktu kerja yang lebih pendek seperti gliklazid,
glikuidon, dan glipizid lebih dianjurkan untuk pasien yang berusia lanjut. Dalam beberapa
penelitian disebutkan bahwa insiden terjadinya hipoglikemi pada penggunaan glibenklamid
lebih besar daripada glipizid yang waktu kerjanya lebih singkat. Metformin merupakan obat
hipoglikemi oral golongan biguanid. Tidak seperti obat hipoglikemi golongan sulfonilurea,
metformin jarang menyebabkan hipoglikemi pada pasien yang menggunakannya kecuali bila
pasien menggunakan kombinasi dengan obat lain. Metformin merupakan obat pilihan
pertama untuk pasien diabetes mellitus dengan kelebihan berat badan (overweight), tetapi
merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan gagal jantung.
Metformin dapat menyebabkan asidosis laktat pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Semua kejadian penurunan kesadaran karena hipoglikemi dalam penelitian ini berkaitan
dengan asupan pasien yang kurang. Pasien dan keluarganya tidak mengetahui tanda-tanda
hipoglikemi yang merupakan efek samping utama dari obat hipoglikemi oral golongan
sulfonilurea, sehingga pada saat pasien mengalami penurunan kadar gula darah, pasien tetap
mengkonsumsi obat hipoglikemi oral tersebut. Jadi pemberian informasi yang benar oleh
tenaga kesehatan tentang penggunaan obat hipoglikemi oral sangat penting agar ROTD dapat
dihindari. Pada pasien usia lanjut sebaiknya dosis diberikan bertahap dari dosis terendah dan
dapat disesuaikan tiap 1 sampai 3 minggu (Christianie dkk. 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari et al. (2016), Kejadian batuk
yang disebabkan oleh penggunaan kaptopril menjadi jenis manifestasi klinik ROTD yang
paling banyak ditemukan pada total sampel penelitian. Frekuensi jenis batuk yang paling
banyak ditimbulkan karena kaptopril ini adalah batuk kering yakni 56,3%. Insiden kejadian
batuk kering di kedua kelompok sampel tidak berbeda bermakna, yakni 55,2% pada
kelompok lansia dan 60% pada kelompok non lansia. Mayoritas pasien yang mengalami
batuk kering setelah penggunaan kaptopril tersebut umumnya diberikan alternatif
antihipertensi lainnya seperti amlodipin atau nifedipin. Berdasarkan karakteristik subjek
penelitian, kaptopril menjadi jenis obat yang paling banyak digunakan oleh pasien, sehingga
manifestasi klinik ROTD karena kaptopril pada sampel penelitian ini memang lebih besar
kemungkinan kemunculannya dibandingkan obat yang lainnya. Kaptopril merupakan salah
satu jenis antihipertensi dari golongan ACEI (ACE inhibitor). Batuk yang dikaitkan dengan
penggunaan kaptopril biasanya berupa batuk kering, nonproduktif, gatal, agak berat,
mengganggu karena terjadi pada bagian tenggorokan, dan biasanya ketika berbaring. Hal ini
biasanya mengganggu walaupun tidak berbahaya bagi pasien (Omboni and Borqhi 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Christiani dkk. (2008), berdasarkan tipe dan
karakteristik reaksi, 14 ROTD dalam penelitian ini merupakan ROTD tipe A (augmented)
dan 1 ROTD diklasifikasikan menjadi tipe B (bizarre). ROTD tipe A adalah ROTD yang
berhubungan dengan kerja farmakologis obat, tergantung dosis dan dapat diprediksi
kejadiannya. Angka kejadiannya tinggi dengan angka mortalitas rendah dan angka morbiditas
tinggi. Yang termasuk ROTD tipe A ini adalah perdarahan saluran cerna karena NSAID dan
obat anti koagulan, hipoglikemia karena obat hipoglikemia oral, ileus paralitik karena obat
anti spasmodik dan anti kolinergik, serta stomatitis akut karena kemoterapi. ROTD tipe B
adalah ROTD yang tidak berhubungan dengan kerja farmakologis obat, tidak tergantung
dosis, dan tidak dapat diprediksi kejadiannya. Angka kejadian ROTD tipe B rendah dengan
angka mortalitas tinggi dan angka morbiditas rendah. Yang termasuk dalam reaksi ini adalah
sindroma stevens-johnson karena antibiotika. Sebagian besar ROTD dapat dicegah
kejadiannya dengan cara mengikuti prosedur pengobatan yang ada, melakukan penyesuaian
dosis untuk kondisi tertentu, menghindari penggunaan obat atau kombinasi obat yang
merupakan kontraindikasi mutlak atau relatif, serta mempertimbangkan pengaruh penyakit
penyerta. ROTD yang terjadi karena penggunaan obat atau kombinasi obat yang tidak dapat
dihindari merupakan ROTD yang tidak dapat dicegah kejadiannya. Dalam penelitian ini 12
kejadian ROTD yang dapat dicegah dan 3 kejadian yang tidak dapat dicegah.

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Arini DY, Rahmawati F, Andayani TM. 2016. Faktor Risiko Kejadian Drug Related
Problems Pada Pasien Penyakit Kronis Rawat Jalan Di Poliklinik Penyakit Dalam.
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. 6(2): 83-94.
Christianie M, Setiati S, Trisna Y, Andrajati R. 2008. Kejadian Reaksi Obat Yang Tidak
Dikehendaki Yang Menyebabkan Pasien Usia Lanjut Dirawat Di Ruang Perawatan
Penyakit Dalam Instalasi Rawat Inap B Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.
Majalah Ilmu Kefarmasian. 5(3): 138-149.
Col N, Fanale JE, Kronholm P. 1990. The Role Of Medication Noncompliance And Adverse
Drug Reactions In Hospitalizations Of The Elderly. Archieves of Internal Medicine.
150: 841.
Edwards IR, Aronson JK. 2000. Adverse Drug Reactions: Definitions, Diagnosis, And
Management. The Lancet. 356: 1255-1259.
Gallagher P, O’Mahony D. 2008. STOPP (Screening Tool Of Older Persons’ Potentially
Inappropriate Prescriptions): Application To Acutely Ill Elderly Patients And
Comparison With Beers’ Criteria. Age Ageing. 37(6):673.
Henry D, Lim LL, Garcia Rodriguez LA, Perez Gutthann S, Carson JL, Griffin M, Savage R,
Logan R, Moride Y, Hawkey C, Hill S, Fries JT. 1996. Variability In Risk Of
Gastrointestinal Complications With Individual Non-Steroidal Anti-Inflammatory
Drugs: Results Of A Collaborative Meta-Analysis. British Medical Journal. 312:
1563.
Herawati F, Utomo A. 2016. Analisis Risiko Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki Pada
Pasien Lanjut Usia Di Rumah Sakit Umum Surabaya. Jurnal Farmasi Klinik
Indonesia. 5(2): 98-105.
Mamdani M, Rochon PA, Juurlink DN, Kopp A, Anderson GM, Naglie G, Austin PC,
Laupacis A. 2002. Observational study of upper gastrointestinal haemorrhage in
elderly patients given selective cyclo-oxygenase-2 inhibitors or conventional non-
steroidal anti inflammatory drugs. British Medical Journal. 325: 624.
Mannesse CK1, Derkx FH, de Ridder MA, Man in 't Veld AJ, van der Cammen TJ. 2000.
Contribution Of Adverse Drug Reactions To Hospital Admission Of Older Patients.
Age and Ageing. 29: 35.
Nurcahya BM. 2015. Identifikasi Dan Analisis Faktor Risiko Kejadian Drug Related
Problems (Drps) Pada Pasien Rawat Jalan Dengan Penyakit Kronis Di Rumah Sakit
Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. UGM. Yogyakarta. Hlm. 46.
Omboni S1, Borghi C. 2011. Zofenopril And Incidence Of Cough: A Review Of Published
And Unpublished Data. Therapeutics and Clinical Risk Management. 7:459-471
Onder G1, Pedone C, Landi F, Cesari M, Della Vedova C, Bernabei R, Gambassi G. 2002.
Adverse Drug Reactions As Cause Of Hospital Admissions: Results From The Italian
Group Of Pharmacoepidemiology In The Elderly (GIFA). Journal of American
Geriatrics Society. 50: 1962.
Saedder EA, Brock B, Nielsen LP, Bonnerup DK, Lisby M. 2014. Identifying High-Risk
Medication: A Systematic Literature Review. Eur J Clin Pharmacol. 70(6):637.
WHO. 1972. International drug monitoring: the role of national centres. Tech Rep Ser WHO.
498.
Wulandari N, Andrajati R, Supardi S. 2016. Faktor Risiko Umur Lansia Terhadap Kejadian
Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki Pada Pasien Hipertensi, Diabetes,
Dislipidemia Di Tiga Puskesmas Di Kota Depok. Jurnal Kefarmasian Indonesia.
6(1): 60-67.

Anda mungkin juga menyukai