Anda di halaman 1dari 8

Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Ilmu Sosial dan Ilmu Perilaku Kesehatan


Dosen : Dr. Ridwan Mochtar Thaha,M.Sc.

ANTROPOLOGI FISIK

Disusun Oleh:
KELOMPOK 1 KELAS D
ANDI YULYANA MULMAHARANI (K012202035)
IRMAWATY HAERUDDIN (K012202058)
SALLY POBAS (K012202061)
FRANSISKA DWI HAPSARI (K012202064)
DEWI ANTIKA SARY (K012202065)
LINDAJUNNE TOUMAHUW (K012211074)

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
Antropologi berasal dari bahasa Yunani, Antrhopos yang berarti manusia dan
Logos yang berarti ilmu pengetahuan, sederhanannya menurut Suyono (1985)
Antropologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari dan
memahami tentang manusia dengan mempelajari aneka bentuk dan warna fisik,
kepribadian, masyarakat, serta kebudayaannya (Nurmansyah,dkk.,2019). Dalam refleksi
yang lebih bebas, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menelaah sifat-
sifat manusia secara umum dan menempatkan manusia yang unik dalam sebuah
lingkungan hidup yang lebih kompleks. Antropologi modern meneruskan apa yang telah
dimulai oleh antropologi tradisional seperti antropologi pada masa-masa lampau,
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan umumnya, sebagai kajian ilmiah tentang
manusia dalam bingkai kehidupan sosial satu dengan yang lain. Dari hal itu
menempatkan pola sosialitas masa silam dengan yang sekarang, dan bahkan berkaitan
dengan yang bakal terjadi dimasa depan.
Pada ruang lingkup Antropologi yang diadopsi dari perkembangan antropologi
di Amerika Serikat, ilmu antropologi mengalami berbagai perkembangan yang kemudia
menjadi tinjaun khusus dalam batasan fokus perhatian, dimana dalam hal ini terpusat
pada lima masalah utama menurut (Koentjaraningrat, 1996), diantaranya masalah
sejarah asal dan perkembangan manusia dilihat dari ciri-ciri tubuhnya secara evolusi
yang dipandang dari segi biologi, masalah sejarah terjadinya berbagai ragam manusia
dari segi ciri-ciri fisiknya, masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya beragam
kebudayaan di dunia, masalah sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai
macam bahasa di seluruh dunia dan masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia
dalam kehidupan masyarakat-masyarakat suku bangsa di dunia.
Pada akhirnya Antropologi lebih luas lagi kajiannya seperti yang dikatakan
Koentjaraningrat bahwa ilmu antropologi mempelajari manusia dari aspek fisik, sosial,
budaya. Pengertian Antropologi kesehatan yang diajukan Foster/Anderson merupakan
konsep yang tepat karena termakutub dalam pengertian ilmu antropologi seperti
disampaikan Koentjaraningrat di atas. Foster/Anderson mengatakan, Antropologi
Kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang
berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya (Aditya.R.S, dkk.,2020).
Antropologi merupakan suatu cabang ilmu sosial yang membahas
mengenai budaya masyarakat suatu etnis. Antropologi muncul karena adanya
ketertarikan dari orang untuk melihat budaya, ciri-ciri fisik dan adat istiadat yang
berbeda dengan berorientasi pada kebudayaan yang dihubungkan dengan ciri-ciri sosio-
psikologi atau ciri-ciri biologis, melalui pendekatan yang holistik yaitu pendekatan
dengan cara melihat atau memandang sesuatu sebagai suatu kebulatan yang utuh atau
holistik. Praktisnya ingin mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku-
bangsa bersangkutan guna membangun masyarakat suku bangsa itu sendiri.
Salah satu ruang lingkup dari antropologi yaitu antropologi fisik. Antropologi
fisik (Physical Antropology/Antropo-biologi) Antropologi fisik mempelajari manusia
sebagai organisme biologis yang melacak perkembangan manusia menurut evolusinya
dan menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai jenis (spesies). Keistimewaan
apapun yang dianggap melekat ada pada dirinya yang dimiliki manusia, mereka
digolongkan dalam “binatang menyusui” khususnya primat. Melalui aktivitas analisis
yang mendalam terhadap fosil-fosil dan pengamatan pada primata-primata yang pernah
hidup, para ahli antrpologi fisik berusaha melacak nenek moyang jenis manusia untuk
mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa kita menjadi makhluk seperti sekarang ini.
Menurut Koentjaraningrat (2009), antropologi fisik (biologi) terbagi atas dua
macam yaitu somatologi dan palaeoantropologi.
Somatologi, Mempelajari tentang terjadinya aneka ragam jenis manusia
dipandang dari ciri-ciri fisik tubuhnya (fenotif) maupun yang tidak tampak (genotif).
Bagian dari ilmu antropologi ini mencoba untuk mencapai suatu pengertian tentang
sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuh.
Bahan penelitian terdiri dari ciri-ciri tubuh, baik yang lahir (fenotipik) seperti warna
kulit, warna dan bentuk rambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk
hidung, tinggi dan bentuk tubuh, maupun yang dalam (genotipik), seperti frekuensi
golongan darah dan lain sebagainya. Dalam perspektif studi antropologi, manusia dapat
dibagi dalam berbagai kelompok jenis dengan ciri tubuh yang beraneka. Fokus utama
ilmu ini, salah satunya memepelajari terbentuknya warna kulit melalui ciri-ciri fisik.
Dalam hal ini somatologi dipengaruhi oleh faktor kandungan melamin dan lingkungan.
Adapun pembagian ras dunia berdasarkan warna kulit seperti, Mongoloid : Amerika dan
Asia (Warna Kulit : Kuning sampai sawo matang), Negroid : Afrika dan sebagian Asia
(Warna Kulit: Hitam), Kookasoid : Eropa dan sebagian Afrika (Warna Kulit : Putih),
Australoid : Australia (Warna Kulit : Kecoklatan, tidak hitam, tidak putih), Weddoid :
Jepang (Warna Kulit : Sawo Matang) dan Ainu (Wanra kulit putih). Jika Ras Indonesia,
terdiri dari 4 kelompok :
1. Malayan Mongoloid : Kulit sawo matang, mata hitam, rambut hitam
lurus/berombak, hidung dan bibir sedang, serta tinggi badan 150-165 cm. Ras ini
dominan terdapat di wilayah Sumatra, Jawa, Bali, NTB, Kalimantan dan Sulawesi.
2. Melanosoid : Kulit hitam, rambut hitam keriting, bibir agak tebal, hidung lebar
pesek, tinggi 160-170 cm. Ras ini dominan terdapat di wilayah Papua, Maluku dan
NTT.
3. Asiatic Mongoloid : Kulit kuning, mata sipit, bibir titpis, rambut hitam lurus, tinggi
badan 155-165 cm. Ras ini sebagian besar merupakan kaum pendatang dan berasal
dari Cina, Jepang dan Korea.
4. Kaokasoid : Kulit Putih, kulit agak kuning (India), rambut hitam/ pirang, hidung
mancung, bibir tipis, tinggi badan 155-165 cm. Ras ini merupakan kaum pendatang
dari India, Timur Tengah, Australia, Eropa dan Amerika.
Sejarah Persebaran warna kulit di Indonesia diawali dengan Teori Sarasin
Bersaudara (Paul dan Fritz), yang mempelajari persebaran ras lewat penemuan perkakas
dan fosil. Dimana, penduduk asli yang sebagian besar ialah kulit hitam, tubuh pendek
(suku vedda/ Austro-Melanosoid). Suku tersebar di wilayah Jawa, Sumatera,
Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Vietnam Utara (Kemungkinan
percampuran ras Austro-Melanosoid dengan Mongoloid). Lalu ada kaum pendatang
yang merupakan Proto Melayu (Mongoloid dari Cina Selatan/ Yunnan, Filipina,
Taiwan, dan Ryukyu Jepang) yang masuk ke Sulawesi Selatan (Suku Toala Proto
Melayu) dan Deutero Melayu (Mongoloid dari Indochina Utara yang datang ke Jawa
lalu memperkenalkan padi dan cocok tanam), akhirnya mereka menyebar secara luasdi
Indonesia.
Palaeoantropologi, mengkaji tentang asal usul terjadinya manusia dengan
menggunakan fosil yang telah membantu sebagai objeknya. Ilmu antropologi yang
meneliti soal usul-asal atau terjadinya dan evolusi makhluk manusia dengan
mempergunakan segala bahan penelitian dari sisa-sisa tubuh yang telah membatu, atau
fosil-fosil manusia dari zaman dahulu, yang tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi yang
harus didapat oleh si peneliti dengan berbagai metode penggalian. Pada konsep evolusi
terdiri Penerimaan Evolusi, Pro-Evolusi, Anti-Evolusi, dan Stimuli Netral yang
didukung oleh beberapa hasil penelitian.
Indonesia menjadi salah satu wadah bagi para ilmuan dalam meninjau tentang
evoluasi manusia, karena kaya akan SDA dan keanekaragaman makhluk hidup.
Lokasi Indonesia yang beriklim tropis serta memiliki banyak wilayah pegunungan dan
gua merupakan tempat ideal untuk menemukan fosil “mata rantai yang hilang”
(missing link) manusia modern seperti yang diutarakan oleh Darwin (Theunissen,
1988). Pada 1891 Dubois menemukan fosil tempurung kepala (cranium), gigi
geraham (molar), dan tulang paha (femur) yang kemudian dinamai “manusia Jawa”

(the Java Man) atau Pithecanthropus erectus8 di Trinil. Fosil ini kemudian menjadi
populer di dunia keilmuan karena diakui sebagai leluhur manusia modern yang
pertama kali ditemukan pada masa itu.
Analisis genetik pada manusia modern di wilayah timur Indonesia juga
menarik, karena menggambarkan proses migrasi manusia modern setelah masa
Pleistosen dan Holosen, terutama dalam perdebatan ekspansi populasi penutur bahasa
Austronesia. Hipotesis dominan dalam studi migrasi Austronesia, yaitu model
“Out of Taiwan”, menggambarkan bahwa populasi-populasi yang ada di Indonesia
saat ini berasal dari nenek moyang penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari
wilayah Cina bagian selatan ke Taiwan, lalu menuju ke arah selatan (Filipina dan
kepulauan Nusantara) sekitar 4.000 tahun yang lalu. Mereka bermigrasi sambil
menyebarkan bahasa, pertanian agrikultur, tembikar, domestikasi hewan, dan tentu
saja, juga genetiknya.
Dalam kajian variasi fisik manusia di Indonesia, para perintis ahli antropologi
biologi juga berkontribusi pada diskusi keanekaragaman fisik dan suku bangsa
(ethnogenesis) dalam payung studi evolusi manusia. Teuku Jacob, misalnya, berperan
dalam pengidentifikasian kelompok ras Australomelanosoid dan Malayan Mongoloid
di Indonesia melalui analisis gigi yang menurutnya berkaitan dengan sejarah
asal usul orang Indonesia dan adanya kemungkinan migrasi mereka ke wilayah
barat Pasifik. Ia menekankan pula bahwa variasi fisik manusia di Indonesia tidak
hanya tercipta karena campuran kedua ras tersebut, tetapi juga hasil dari proses
adaptasi, isolasi, dan genetic drift pada tiap populasi di lingkungan yang berbeda-beda
(Jacob, 1974).
Sejalan dengan penelitian Teuku Jacob mengenai klasifikasi ras orang-orang
Indonesia, Josef Glinka mendedikasikan karier akademisnya pada kajian variasi fisik
manusia Indonesia. Glinka melakukan penelitian mengenai variasi morfologis orang
Indonesia yang ia klasifikasikan ke dalam tiga morfotipe ras, yaitu Protomalayid
(Australomelanosoid),Deutromalayid (Mongoloid), dan Dayakid. Menurutnya,
karakter morfologis Protomalayid merupakan ciri populasi awal yang mendiami
Indonesia sebelum pada akhirnya tergusur ke wilayah timur karena desakan migrasi
populasi Deutromalayid dari daratan Asia. Sebelum itu, ada migrasi populasi dari
Taiwan dan Filipina ke Kalimantan (Borneo) yang bercampur dengan Protomalayid.
Setelah itu, mereka lalu mengembangkan karakteristik morfologi tersendiri di wilayah
pedalaman Kalimantan karena gelombang migrasi Deutromalayid. Ia kemudian
mengemukakan bahwa ada indikasi migrasi arus balik populasi Protomalayid dari
wilayah timur Indonesia ke arah barat yang tergambar dari adanya “kenyamanan”
pasien, terutama di desa-desa. Bagi orang-orang di kota, konsultasi dengan dokter
malah memunculkan rasa “frustrasi” karena ternyata tidak membuat mereka menjadi
lebih baik atau sembuh dari penyakitnya (Boedhihartono, 1982).
Penelitian evolusi manusia melalui analisis fosil hominid yang dilakukan oleh
Etty Indriati. Ia bersama koleganya, dengan analisis kranial dan gigi, menggambarkan
bahwa H. erectus di Jawa kemungkinan berasal langsung dari H. erectus di Afrika
yang bermigrasi ke Eurasia pada masa awal Pleistosen. Menurutnya, fosil H. erectus
Jawa memiliki ciri relatif lebih purba atau serupa jika dibandingkan fosil H. erectus di
Dmanisi, Georgia, atau di Afrika Timur yang berumur lebih tua. Di samping itu, fosil
H. erectus Jawa memiliki variasi morfologis, seperti tingkat dimorfisme seksual yang
tinggi, karena mengalami evolusi in situ akibat isolasi (mikroevolusi) atau
penggantian populasi (population replacement) sebagai dampak dari migrasi. Oleh
karena itu, ia lalu mengusulkan bahwa variasi morfologis H. erectus di Jawa
sebaiknya disimpulkan sebagai subspesies, yaitu H. e. erectus dan H.e. soloensis
(Kaifu et al., 2005, 2008, 2010; Indriati & Antón, 2008, 2010). Lebih lanjut, ia juga
merevisi hasil penelitian sebelumnya mengenai umur fosil H. erectus Jawa (Swisher
et al., 1996). Dengan metode yang sama, ditambah dengan teknik penanggalan argon

(40Ar/39Ar), ia memberikan kesimpulan berbeda. Menurutnya, H. erectus di Jawa


paling tidak hanya bertahan hingga 143.000 hingga 550.000 tahun yang lalu. Hal itu
berarti bahwa H. erectus di Jawa tidak pernah bertemu atau bahkan berinteraksi
dengan H. sapiens, karena mereka telah punah sebelum H. sapiens (Indriati et al.,
2011).
DAFTAR PUSTAKA

Aditya, R.S, dkk. (2020). Pengantar Antropologi Kesehatan. Literasi Nusantara Abadi :
Malang
Anderson, EP dan Fye. (2012). Anthropological Perspectives on Physical Appearance and
Body Image. Vol 1. Case Western Reserve University, Elsevier : USA. Diakses
melalui file:///C:/Users/MYBOOK~1/AppData/Local/Temp/b978-0-12-384925-
0.00003-1.pdf pada tanggal 25 Agustus 2021.
Fachruliansyah, Iman. (2018). Antropologi Indonesia: Indonesian Journal of Social and
Cultural Anthropology “Antropologi Biologi di Indonesia : Sebuah Penelusuran
dan Kemungkinan Pengembangan” hal 90-115. The Department of
Anthropology Faculty of Social and Political Sciences. Universitas Indonesia
Faridah, Hani dan Subali, Bambang. (2021). Teachers Opinion about learning continuum in
evolution based on the material complexity level. Naskah terpublikasi. Diakses
melalui file:///C:/Users/MyBook%2011/Downloads/View%20of%20Teachers
%E2%80%99%20opinion%20about%20learning%20continuum%20in
%20evolution%20based%20on%20the%20material%20complexity%20level.pdf
pada tanggal 25 Agustus 2021.
Normansayah, G, dkk. (2019). Pengantar Antropologi Sebuah Ikhtisar Mengenal
Antropologi. Aura Publisher : Bandar Lampung

Anda mungkin juga menyukai