Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Rumah Sakit


Rumah Sakit didefinisikan sebagai suatu organisasi kompleks, menggunakan
gabungan peralatan ilmiah khusus dan rumit, yang difungsikan oleh orang yang
terlatih dan di didik menghadapi msalah ilmu medik modern, yang seluruhnya
terpadu bersama dalam pemulihan dan pemeliharaan kesehatan (Hassan, 1986).
Rumah Sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan
upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan,bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit
(preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh ,terpadu, dan
berkesenambungan. Rumah sakit mempunyai fungsi utama menyelenggarakan
upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi penderita; yang
berarti bahwa pelayanan rumah sakit untuk penderita rawat jalan dan rawat tinggal
hanya bersifat spesialistik atau subspesialistik. Menurut WHO, Rumah Sakit
adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan yang berfungsi
menyediakan pelayanan kesehatan yang lengkap dalam pencegahan dan
penyembuhan penyakit, pelayanan rawat jalan dan pusat penelitian biomedis.

II.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


Pada umumnya tugas Rumah Sakit adalah menyediakan keperluan untuk
pemeliharaan pemulihan kesehatan (Wahler, 1972). Berdasarkan keputusan Hal
tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 983/Menkes/SK/XI/1992, tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit
Umum, yang menyebutkan bahwa tugas Rumah Sakit mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan
upaya peningkatan dan pencegahan serta melakasnakan upaya rujukan. Tugas
Rumah Sakit umumnya ialah menyediakan keperluan untuk pemeliharan dan

13
pemulihan kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 983/Menkes/SK/XI/1992, tugas Rumah Sakit umum adalah
melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara
serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta
melakasanakan rujukan. Tugas Rumah Sakit yaitu menyelenggarakan pelayanan
medik; pelayanan penunjang medik dan nonmedik; pelayanan dan asuhan
keperawatan;pelayanan rujukan; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan
pengembangan, sertadministrasi umum dan keuangan. Secara tradisional, maksud
dasar keberadaan rumah sakit adalah mengobati dan perawatan penderita sakit dan
terluka, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan masyarakat.empat fungsi
dasar Rumah Sakit adalah pelayanan penderita, pendidikan, penelitian, dan
kesehatan masyarakat.

II.3. Klasifikasi Rumah sakit


Klasifikasi Rumah Sakit diperlukan untuk memberi kemudahan dan
mengetahui identitas, organisasi, jenis pelayanan yang diberikan, pemilik, dan
kapasitas tempat tidur. Di samping itu, agar dapat mengadakan evaluasi yang tepat
untuk suatu golongan rumah sakit tertentu, klasifikasinya berdasarkan berbagai
kriteria sebagai berikut :
a. Berdasarkan kepemilikan
b. Berdasarkan jenis pelayananan
c. Berdasarkan lama tinggal
d. Berdasarkan Kapasitas tempat tidur
e. Berdasarkan afiliasi pendidikan
f. Berdasarkan status akreditasi

14
2.3.1. Klasifikasi Berdasarkan Kepemilikan
Rumah Sakit pemerintah yang terdiri atas rumah sakit vertikal yang
langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan ; rumah sakit pemerintah
daerah, rumah sakit militer, dan rumah sakit BUMN. Rumah sakit lain yang
berdasarkan kepemilikan ialah rumah sakit yang dikelola oleh masyarakat
atau sering disebut rumah sakit sukarela. Rumah sakit sukarela ini terdiri atas
rumah sakit hak milik dan rumah sakit nirlaba. Rumah sakit hak milik adalah
rumah sakit bisnis yang bertujuan utamanya adalah mencari laba (profit).
Rumah sakit yang berafiliasi dengan organisasi keagamaan pada umumnya
beroperasi bukan untuk maksud membuat laba,tetapi nirlaba. Rumah sakit
nirlaba mencari laba sewajarnya saja, dan laba yang diperoleh rumah sakit ini
digunakan sebagai modal peningkatan sarana fisik,perluasan dan
penyempurnaan mutu pelayanan untuk kepentingan penderita.

2.3.2 Klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan


Berdasarkan jenis pelayanannya, Rumah Sakit terdiri atas Rumah Sakit
umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit umum memberi pelayanan
kepada berbagai penderita dengan berbagai jenis kesakitan,memberi
pelayanan diagnosis dan terapi untuk berbagai kondisi medik, seperti
penyakit dalam, bedah, pediatrik, psikiatri, ibu hamil, dan sebagainya. Rumah
Sakit Khusus adalah Rumah Sakit yang memberi pelayanan diagnosis dan
pengobatan untuk penderita dengan kondisi medik tertentu baik bedah
maupun nonbedah, seperti Rumah Sakit: kanker, bersalin, psikiatri, pediatrik,
mata, lepra, tuberkulosis, ketergantungan obat, rumah sakit rehabilitasi dan
penyakit kronis.
1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan No. 983/SK/Per/XI/1992,
Rumah Sakit pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi
Rumah Sakit umum kelas A, B, C, dan kelas D. Klasifikasi tersebut
berdasarkan unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan peralatan.

15
Rumah Sakit Umum kelas A adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialitik
luas dan subspesialistik luas.
Rumah Sakit Umum kelas B adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-
kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas.
Rumah Sakit Umum kelas C adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik
dasar.
Rumah Sakit Umum kelas D adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar

2. Klasifikasi Berdasarkan Afiliasi Pendidikan


Rumah Sakit berdasarkan afiliasi pendidikan terdiri atas dua
jenis,yaitu rumah sakit pendidikan dan Rumah Sakit nonpendidikan.
Rumah Sakit pendidikan adalah rumah sakit yang melaksanakan
program pelatihan residensi dalam medik,bedah,pediatrik,dan bidang
spesialis lain. Dalam rumah sakit demikian,residen melakukan
pelayanan/perawatan penderita di bawah pengawasan staf medik
Rumah Sakit. Rumah Sakit yang tidak memiliki program pelatihan
residensi dan tidak ada afiliasi Rumah Sakit dengan Universitas
disebut Rumah Sakit nonpendidikan.
II.4. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
Instalasi adalah fasilitas penyelenggara pelayanan medik, pelayanan
penunjang medik, kegiatan penelitian, pengembangan,pendidikan, pelatihan, dan
pemeliharaan sarana Rumah Sakit. Farmasi Rumah Sakit adalah seluruh aspek
kefarmasian yang dilakukan suatu Rumah Sakit. Jadi, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit (IFRS) adalah suatu bagian/ unit/ divisi atau fasilitas di Rumah Sakit, tempat
penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk
keperluan rumah sakit itu sendiri. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan,
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan,
penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep

16
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dapat didefinisikan sebagai suatu
departemen atau unit atau bagian di suatu Rumah Sakit di bawah pimpinan
seorang Apoteker dan dibantu oleh beberapa orang Apoteker yang memenuhi
persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara
profesional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayananan
paripurna, mencakup perencanaan; pengadaan ; produksi ; penyimpanan
perbekalan kesehatan/ sediaan farmasi ; dispending obat berdasarkan resep bagi
penderita rawat tinggal dan rawat jalan ; pengendalian mutu ; dan pengendalian
distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit ;
pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup pelayanan lansung pada
penderita dan pelayanan klinik yang merupakan program Rumah Sakit secara
keseluruhan (Siregar,2004)

II.5. Tugas dan Tanggung Jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Tugas utama IFRS adalah pengelolaan mulai dari perencanaan, pengadaan,


penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada penderita,
sampai dengan pengendalian semua perbeklan kesehatan yang beredar dan
digunakan dalam Rumah Sakit baik untuk penderita rawat tinggal, rawat jalan,
maupun untuk semua unit termasuk poliklink Rumah Sakit. Berkaitan dengan
pengelolaan tersebut, IFRS harus menyediakan terapi obat yang optimal bagi
semua penderita dan menjamin pelayanan bermutu tertinggi dan yang paling
bermanfaat dengan biaya minimal (Hassan, 1986). Jadi, IFRS adalah satu-satunya
unit di Rumah Sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada
pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat/ atau perbekalan kesehatan
yang beredar dan digunakan di Rumah Sakit tersebut. IFRS bertanggung jawab
mengembangkan suatu pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan
baik dan tepat , untuk memenuhi kebutuhan berbagai bagian/ unit diagnosis dan
terapi, unit pelayanan keperawatan, staf medik, dan rumah sakit keseluruhan

17
untuk kepentingan pelayanan penderita yang lebih baik (Siregar dan Amalia,
2003).

II.6. Tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Tujuan kegiatan harian IFRS antara lain :


a. Memberi manfaat kepada penderita, Rumah Sakit, sejawat profesi
kesehatan, dan kepada profesi Farmasi oleh Apoteker Rumah Sakit yang
komepeten dan memenuhi syarat.
b. Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai oleh Apoteker
Rumah Sakit yang memenuhi syarat
c. Menjamin praktik profesional yang bermutu tinggi melalui penetapan
dan pemeliharaan standar etika profesional, pendidikan dan pencapaian,
dan melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi
d. Meningkatkan penelitian dalam praktik Farmasi Rumah Sakit dan dalam
ilmu Farmasetik pada umumnya
e. Menyebarkan pengetahuan Farmasi dengan mengadakan pertukaran
informasi antara para Apoteker Rumah Sakit, anggota profesi, dan
spesialis yang serumpun
f. Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit untuk :
1. Secara efektif mengelola suatu pelayanan farmasi yang
terorganisasi
2. Mengembangkan dan memberikan pelayanan klinik
3. Melakukan dan berpartisipasi dalam penelitian klinik dan farmasi
dan dalam program edukasi untuk praktisi kesehatan, penderita,
mahasiswa, dan masyarakat
g. Meningkatkan pengetahuan dan pengertian prakti farmasi rumah sakit
kontemporer bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi, dan
profesional kesehatan lainnya
h. Membantu menyediakan personel pendukung yang bermutu untuk
IFRS

18
i. Membantu dalam pengembangan dan kemajuan profesi kefarmasian

II.7. Pimpinan IFRS


IFRS harus dipimpin oleh seorang Apoteker yang secara profesional
kompeten dan memenuhi persyaratan hukum. Jabatan pimpinan IFRS harus
berada dalam tingkat yang sama dengan jabatan pimpinan staf medik fungsional
(SMF) dalam struktur Rumah Sakit
Adapun tugas dan tanggung jawab pimpinan IFRS,yaitu :
a. Bertugas dan bertanggung jawab memimpin semua kegiatan, baik fungsi
nonklinik maupun fungsi klinik
b. Mengelola dan mengendalikan semua perbekalan kesehatan yang beredar
dan digunakan di Rumah Sakit, menjamin keamanan, kemanfaatan , dan
mutu yang paling baik
c. Bertanggung jawab dalam penetapan sasaran jangka pendek dan jangka
panjang didasarkan pada visi, misi, dan pengembangan serta
kecenderungan dalam pelayanan kesehatan,praktik farmasi yang diperluas,
dan kebutuhan khusus rumah sakit
d. Mengembangkan suatu rencana strategis dan jadwal untuk mencapai
sasaran, mengawasi penerapan rencana dan kegiatan harianberkaitan
dengan rencana itu, menetapkan sasaran dan jadwal yang telah dipenuhi,
dan mengadakan tindakan koreksi bila perlu

II.8. Definisi Analisa Beban kerja


Definisi Analisis Beban Kerja menurut Beberapa Ahli :
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), bahwa kapasitas adalah
kemampuan (kesanggupan, kecakapan) yang dimiliki untuk menyelesaikan
masalah, sehingga dengan kemampuan yang dimiliki akan dapat berfungsi dan
berproduksi secara proporsional sesuai dengan tugas dan fungsi yang dimiliki.
Menurut Komaruddin (1996:235), analisa beban kerja adalah proses untuk
menetapkan jumlah jam kerja orang yang digunakan atau dibutuhkan untuk
merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu, atau dengan kata lain
analisis beban kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah personalia dan

19
berapa jumlah tanggung jawab atau beban kerja yang tepat dilimpahkan kepada
seorang petugas. Menurut Simamora (1995:57), analisis beban kerja adalah
mengidentifikasi baik jumlah karyawan maupun kualifikasi karyawan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Menpan (1997), pengertian beban kerja adalah sekumpulan atau
sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau
pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Pengukuran beban kerja diartikan
sebagai suatu teknik untuk mendapatkan informasi tentang efisiensi dan
efektivitas kerja suatu unit organisasi, atau pemegang jabatan yang dilakukan
secara sistematis dengan menggunakan teknik analisis jabatan, teknik analisis
beban kerja atau teknik manajemen lainnya. Lebih lanjut dikemukakan pula,
bahwa pengukuran beban kerja merupakan salah satu teknik manajemen untuk
mendapatkan informasi jabatan, melalui proses penelitian dan pengkajian yang
dilakukan secara analisis. Informasi jabatan tersebut dimaksudkan agar dapat
digunakan sebagai alat untuk menyempurnakan aparatur baik di bidang
kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia.
Menurut Heizer dan Render (1996:98), standar tenaga kerja adalah jumlah
waktu yang diperlukan rata-rata tenaga kerja, untuk mengerjakan aktivitas kerja
khusus dalam kondisi kerja yang normal, atau dengan kata lain standar tenaga
kerja dapat digunakan untuk menetapkan jumlah personil, agar mampu
menghasilkan produksi yang diharapkan perusahaan. Lebih jauh dikatakan, bahwa
untuk menentukan standar tenaga kerja dapat dilakukan dalam empat cara, yakni
berdasarkan pengalaman masa lalu, pengkajian waktu, standar waktu sebelum
penentuan, dan pengambilan contoh kerja.
Menurut T. Hani Handoko (1985:135), standar pekerjaan dapat diperoleh dari
hasil pengukuran kerja atau penetapan tujuan partisipatip. Teknik pengukuran
kerja yang dapat digunakan antara lain: studi waktu, data standar, data waktu
standar yang telah ditetapkan sebelumnya, dan pengambilan sampel kerja (work
sampling). Penetapan standar kerja dapat dilakukan melalui pembahasan antara
manajer dengan para bawahannya, dimana materi pembahasan mencakup sasaran-
sasaran pekerjaan, peranannya dalam hubungan dengan pekerjaan-pekerjaan lain,
persyaratan-persyaratan organisasi, dan kebutuhan karyawan. Proses penentuan

20
standar kerja seperti ini sering menimbulkan komitmen karyawan, semangat kerja,
kepuasan, dan motivasi yang lebih besar. Standar kerja, kadang-kadang juga
ditetapkan secara partisipatip dengan pemimpin organisasi buruh, hal ini karena
para pemimpin serikat karyawan memahami pentingnya melakukan perundingan
tentang standar-standar pelaksanaan berbagai pekerjaan, dan perjanjian-perjanjian
hasil perundingan ditulis dalam kontrak kerja.
Menurut Moekijat (1995:58), analisis jabatan memberikan informasi tentang
syarat-syarat tenaga kerja secara kualitatif serta jenis-jenis jabatan dan karyawan
yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas. Jumlah waktu yang
dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaan adalah sama dengan jumlah
keempat waktu berikut :
1. Waktu yang sungguh-sungguh dipergunakan untuk bekerja yakni
waktu yang Dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan yang langsung
berhubungan dengan produksi (waktu lingkaran/ waktu baku/ dasar).
2. Waktu yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang tidak langsung
berhubungan dengan produksi (bukan lingkaran/ non-cyclical time).
3. Waktu untuk menghilangkan kelelahan (fatigue time).
4. Waktu untuk keperluan pribadi (personal time).

Jumlah orang yang diperlukan untuk menyelesaikan jabatan/pekerjaan sama


dengan jumlah waktu untuk menyelesaikan jabatan/pekerjaan dibagi dengan
waktu yang diberikan kepada satu orang. Namun demikian, untuk menentukan
jumlah orang yang diperlukan secara lebih tepat, maka jumlah tersebut perlu
ditambah dengan prosentase tertentu akibat ketidak hadiran pegawai.
Menurut Irawan, Motik, dan Sakti (1997:63), dalam perencanaan sumber
daya manusia, selain kegiatan analisis jabatan juga diperluka analisis beban kerja
dan analisis kebutuhan tenaga kerja. Beban kerja adalah kapasitas produksi
dikalikan waktu sedangkan kebutuhan tenaga kerja adalah beban kerja dibagi
dengan rata-rata sumbangan tenaga karyawan perbulan.
Menurut Moeljadi (1992:93), perencanaan tenaga kerja dalam jangka panjang
ditentukan oleh sisi permintaan perusahaan, yaitu perkiraan kebutuhan tenaga
kerja dan sisi penawaran yaitu ketersediaan tenaga kerja di pasar. Perkiraan

21
kebutuhan tenaga kerja perusahaan ditentukan oleh perkiraan tersedianya tenaga
kerja di perusahaan dan rencana-rencana perusahaan. Sedangkan perkiraan
tersedianya tenaga kerja itu sendiri, ditentukan dari analisis beban kerja, analisis
perpindahan tenaga kerja dan analisis kelebihan atau kekurangan tenaga kerja.
Analisis kelebihan atau kekurangan tenaga kerja perusahaan, berkaitan dengan
besarnya jumlah tenaga kerja yang ada pada perusahaan tersebut berada pada
kondisi berlebih atau kurang jika dikaitkan dengan beban kerja. Analisis tersebut
dapat dilaksanakan jika sudah diketahui beban kerjanya. Dan analisis beban kerja
sendiri memberikan arahan tentang produktivitas. Produktivitas kerja dapat
digambarkan dalam efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dimana tenaga kerja
tersebut akan dapat digunakan secara efisien jika jumlah tenaga kerja yang ada
seimbang dengan beban kerjanya.
Dari semua uraian pemikiran sebagaimana tersebut di atas, tersirat makna
bahwa dalam melaksanakan analis beban kerja diperlukan hal-hal diantaranya,
hasil analisis jabatan yang berupa informasi jabatan, menetapkan jumlah jam kerja
per hari, Adanya satuan hasil, waktu penyelesaian dari tugas-tugas/produk,
Adanya standar waktu kerja, adanya beban kerja yang akan diukur, perhitungan
jumlah pegawai yang dibutuhkan.

II.9. Sumber Daya Manusia Kesehatan


Pengertian Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan yang tertuang dalam
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004 bahwa tenaga kesehatan merupakan
orang yang bekerja secara aktif dan professional di bidang kesehatan, baik yang
memiliki pendidikan formal kesehatan atau tidak, yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan (Departemen
Kesehatan RI,2004).

II.10. Definisi Job Description


Definisi Job description menurut beberapa ahli :

22
Menurut Hasibuan (2007:33), job description yaitu informasi tertulis yang
menguraikan tugas dan tanggung jawab, kondisi pekerjaan, hubungan pekerjaan,
dan aspek-aspek pekerjaan pada suatu jabatan tertentu dalam organisasi.
Menurut Rivai (2004:125), job description adalah hasil analisa pekerjaan
sebagai rangkaian kegiatan atau proses menghimpun informasi mengenai
pekerjaan.
Menurut Pophal (2008:8), job description adalah rekaman tertulis mengenai
tanggung jawab dari pekerjaan tertentu. Dokumen ini menunjukkan kualifikasi
yang dibutuhkan untuk jabatan tersebut dan menguraikan bagaimana pekerjaan
tersebut berhubungan dengan bagian lain dalam perusahaan.

II.11 Definisi Waktu Kerja


2.11.1. Waktu Kerja Efektif
a. Waktu kerja adalah lamanya seseorang bekerja dalam sehari. Setiap
tenaga kesehatan mempunyai waktu kerja normal tiap minggunya
37,5-40 jam, sehingga jumlah jam kerja rata-ratanya dalam satu hari
adalah 6,25-6,67. Jadi dalam satu bulan jumlah jam kerja adalah 150-
160 jam (24 hari kerja).
b. Dimana waktu kerja efektif adalah waktu yang sungguh-sungguh
digunakan untuk bekerja secara efektif oleh tenaga kesehatan yaitu
80% dari waktu kerja sebulan (150 jam) atau sama dengan 0,8 x 150
jam =120 jam perbulan (Departemen Kesehatan RI, 1999).
2.11.2 Waktu longgar (Allowance)
Waktu longgar yaitu sejumlah waktu yang ditambahkan dalam waktu
normal untuk memenuhi kebutuhan pribadi, waktu-waktu tunggu yang tak dapat
dihindari, dan kelelahan.

II.12 Metode Work load Indicator Of Staffing Need (WISN) (Shipp,1998)


(Kepmenkes No. 81/MENKES/SK/2004)
Metode perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan beban kerja ini
merupakan suatu metode perhitungan kebutuhan tenaga kesehatan berdasarkan

23
beban kerja nyata yang dilaksanakan oleh setiap kategori sumber daya manusia
kesehatan pada tiap unit kerja di fasilitas kesehatan termasuk apotek.
Metode perhitungan tersebut pada saat ini telah diadaptasi dan digunakan
oleh Departemen Kesehatan RI dalam menghitung jumlah kebutuhan masing –
masing kategori tenaga kesehatan yang dibutuhkan di Kantor Dinas Kesehatan
dan Rumah Sakit Propinsi, Kabupaten/Kota, serta disahkan melalui Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 81/MENKES/SK/2004.
Menurut Shipp (1998), metode perhitungan ini memiliki keunggulan
dibandingkan metode perhitungan kebutuhan tenaga lainnya. Kelebihan metode ini
adalah :
1. Mudah dilaksanakan, karena menggunakan data yang dikumpulkan dari
laporan kegiatan rutin utin layanan.
2. Mudah dalam melakukan prosedur perhitungan, sehingga manajer kesehatan
di semua tingkatan dapat segera memasukkannya dalam perencanaan
ketenagaan.
3. Mudah untuk segera mendapatkan hasil perhitungannya, sehingga dapat
segera dimanfaatkan oleh manajer kesehatan di semua tingkatan dalam
pengambilan keputusan/kebijakan.
4. Metode perhitungan dapat digunakan bagi berbagai jenis ketenagaan,
termasuk tenaga non kesehatan (tenaga administrasi, tenaga keuangan,
tenaga perencanaan, tenaga penunjang umum lainnya).
5. Hasil perhitungannya realistik, sehingga hasilnya akan memberikan
kemudahan dalam menyusun perencanaan anggaran dan lokasi sumber daya
lainnya.
Adapun kekurangan dari metode ini adalah karena input data yang diperlukan
bagi prosedur perhitungan berasal dari rekapitulasi kegiatan/statistik rutin
kegiatan unit satuan kerja/institusi, dimana tenaga yang dihitung bekerja, maka
kelengkapan pencatatan data dan kerapihan penyimpanan data mutlak harus
dilaksanakan demi memberikan keakuratan/ketepatan hasil perhitungan jumlah
tenaga secara maksimal.

24

Anda mungkin juga menyukai