TEORI BELAJAR
OLEH :
ANDREW SIBURIAN
NIM : 071255210030
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori
belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik
menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga
hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung
tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan
Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.
2
BAB II
TEORI BELAJAR
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat
terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses
berpikir pada anak.
a. Tahap Sensori Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami
lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap,
mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan
kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif
yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa
perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya.
Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan
bergeser darinya.
3
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir
mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat
memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat
mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan
ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang
besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah
mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Taxonomy SOLO
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori
belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan
dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed
Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara
“generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan
“actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah.
Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka
menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu
mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur
kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke
waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan
taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu
tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO
4
bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas
dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya,
selanjutnya asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini
dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun
berada pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari
siswa berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada
pada level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini
tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan
kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang
lebih proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis
(1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih
menekankan pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon
anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks
ini tidak difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih
pada melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke
waktu.
1. Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak
membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur
interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan
pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika
diperolehnya tacit knowledge.
2. Mode Iconic
5
dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara
lain sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat
peraga dan senang membuat gambaran-gambaran mental. Mode
sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia
yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari
sekolah formal ada pada mode concrete symbolic.
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat
memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik
di sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah
matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic adalah mode terbesar
sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika anak
menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang berada di
sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan
mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan
berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat
penalaran yang proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada
mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan
perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di
berbagai bidang.
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang
bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah
kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
6
7
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara
satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas
belum dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas
pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan
prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini
masih bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk
pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah
terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada
tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan
siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah, mengurutkan,
mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan
melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta
tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman
beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-
bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep
pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang
mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan,
membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan,
menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-
konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar
itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah
perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang
merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori,
membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta
membangun suatu konsep.
Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh
Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak
dalam belajar geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang
mengadakan penelitian dalam pegajaran geometri. Hasil penelitiannya itu, yang
8
dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan
pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu
waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata
secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada
tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar
geometri yaitu;
a. Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri
secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat
dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh jika kepada
seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat
atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa
kubus mempunyai sisi-sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6
buah.
b. Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki
benda geomeri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan
keteraturan yang terdapat pada benda geometri tersebut. Misalnya disaat
dia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat dua
pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar.
Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait
antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya,
anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang,
bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c. Tahap Pengurutan
9
d. Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang
bersifat khusus. Mereka juga telah mengerti peranan unsur-unsur yang
tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah didefinisiskan.
Misalnya anak telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini
anak telah mampu menggunakan postulat atau aksioma yang digunakan
dalam pembuktian.
e. Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan
dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia
mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari
geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi,
rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua
anak, meskipun sudah duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum
sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan di atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selain itu masih
banyak teori belajar konitif yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner,
Bloom, Freudenthal dan lain-lain.
10
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pada dasarnya ada 2 teori belajar yaitu teori belajar Behavioristik dan Teori
belajar Kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian
belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah
sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam
tingkah laku. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan
suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.
2. Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
12