Anda di halaman 1dari 58

CRITICAL JOURNAL REVIEW

EKOLOGI TUMBUHAN DAN HEWAN


“Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari, Vol. 1 No. 1 tahun 2010 ”

OLEH :

Kelompok : IV (Empat)
Nama Kelompok : 1. Fadillah Nur Ilmi (4181151012)
2. Septriyanti Sianturi (4183151023)
3. Ardia Cahyaning Heryanti (4181151008)
4. Putri Nuraini Delima (4182151003)
Program Studi : Pendidikan IPA
Kelas : Pendidikan IPA B 2018
Mata kuliah : Ekologi Tumbuhan Dan Hewan
Dosen Pengampu :
Tanggal : 2 Maret 2021

PRODI PENDIDIKAN IPA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kaimi dapat menyelesaikan CRITICAL JOURNAL
REVIEW. Dan tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada IBU selaku dosen
pengampu matakuliah EKOLOGI atas pengarahan dan bimbingannya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugasini. Laporan cjr disusun untuk memenuhi tugas pada matakuliah
EKOLOGI .

Terakhir penulis berharap, Laporan CJR ini dapat bermanfaat dan dapat menambah
wawasan pengetahuan bagi semua pembaca.Kami mohon maaf apabila terdapat kekurangan
dalam makalah ini, kami sangat mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran dari pembaca.

Medan, 2 MARET 2021

Kelompok IV
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................................................i

- JURNAL 1....................................................................................................................................2

- JURNAL 2....................................................................................................................................9

- JURNAL 3..................................................................................................................................19

- JURNAL 4..................................................................................................................................30

- JURNAL 5...................................................................................................................................38

- JURNAL 6..................................................................................................................................43

- JURNAL 7..................................................................................................................................48
- JURNAL 1
A. Latar Belakang Teori dan Tujuan Penelitian
Di daerah tropis seperti Indonesia, nyamuk merupakan serangga yang sering
mengganggu kehidupan manusia. Selain itu nyamuk juga dapat menyebarkan penyakit
Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Filariasis. Pada tahun 2001, wabah
Demam Berdarah Dengue masih menyerang hampir seluruh daerah di Indonesia, baik
daerah perkotaan maupun pedesaan. Wabah DBD juga menyerang pada bayi, anak-anak
serta orang dewasa, sehingga tidak sedikit penderita tersebut yang meninggal dunia
(Santoso, 2003). Menurut Mapata (2000) penyakit Demam Berdarah Dengue termasuk
penyakit yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirus dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Untuk mengatasi hal tersebut, manusia lebih cenderung menggunakan insektisida atau
obat pembasmi nyamuk yang dijual bebas seperti obat nyamuk bakar, tissue oles, elektrik
dan sebagainya. Semua usaha pemberantasan nyamuk tersebut hanya bersifat sesaat dan
tidak memiliki efek pencegahan. Penggunaan bahan-bahan kimia untuk mengendalikan
nyamuk Aedes aegypti secara terus menerus dapat menyebabkan peningkatan resistensi
serangga terhadap insektisida kimia, polusi lingkungan serta meningkatnya biaya yang
dikeluarkan untuk pestisida (Blondine dan Yuniarti, 2001). Menurut Arronson dan
Geisser (1992), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberantas nyamuk dan
aman bagi lingkungan adalah menggunakan musuh alami nyamuk, yaitu dengan
menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis (Dulmage, et al., 1990).
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui toksisitas Bacillus thuringiensis isolat
Madura terhadap berbagai instar larva nyamuk Aedes aegypti dan pengaruh toksin yang
dihasilkan oleh B. thuringiensis isolat Madura terhadap struktur epitel dan jaringan usus
larva nyamuk A. aegypti.
B. Metode
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial, dengan
kombinasi perlakuan ditempatkan menurut RAK dan diulang 3 kali. Setelah rearing larva
nyamuk, dilanjutkan dengan pembuatan suspensi bakteri dengan seri pengenceran 100 –
10-5 . Jumlah bakteri dihitung, diikuti perhitungan jumlah spora bakteri dengan metode
TVSC, kemudian dilanjutkan uji toksisitas bakteri terhadap berbagai instar larva nyamuk.
Setelah 24 jam kemudian dihitung jumlah larva yang mati. Tingkat kerusakan yang
ditimbulkan oleh bakteri dilihat dengan cara dibuat irisan melintang larva nyamuk dengan
metode parafin. Analisa data yang dilakukan yaitu Nilai Lethal Concentration 50 dalam
jangka waktu 24 jam (LC50-24jam) dari hasil uji toksisitas Bacillus thuringiensis isolat
Madura terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dan hasilnya dianalisa dengan analisa
probit for windows release 11.
C. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa toksisitas bakteri B. thuringiensis
isolat Madura dalam membunuh larva nyamuk instar I sampai 88,89%. Toksisitas yang
tinggi tersebut terdapat pada kepadatan bakteri sebanyak 1,51x108 selml-1 , tetapi untuk
kepadatan bakteri di bawahnya kurang efektif dalam membunuh larva nyamuk Aedes
aegypti. Pada kepadatan bakteri tertinggi, semakin tua umur stadium larva nyamuk maka
semakin resisten terhadap terhadap serangan toksin yang dihasilkan oleh bakteri B.
thuringiensis isolat Madura. Nilai LC50-24 jam untuk instar I sebesar 8,08x107 selml-1 ,
instar II sebesar 9,09x107 selml-1 , instar III sebesar 3,94x108 selml-1 dan instar IV
sebesar 2,66x108 selml-1 . Pengaruh kristal toksin B. thuringiensis isolat Madura
terhadap struktur epitel dan jaringan usus tampak pada jaringan usus yang tidak utuh dan
inti sel epitel hancur serta bagian dalam usus berlubang-lubang, sedangkan bagian luarnya
berwarna hitam.
D.
FORMAT REVIEW JURNAL
1 Judul Strategi Pemberantasan Nyamuk Aman
Lingkungan: Potensi Bacillus thuringiensis
Isolat Madura Sebagai Musuh Alami Nyamuk
Aedes aegypti.
2 Jurnal Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari
3 Download https://jpal.ub.ac.id/index.php/jpal/article/view/
98
4 Volume , No, dan Halaman Vol 1, No 1, dan Halaman 1 - 10
5 Tahun 2010
6 Penulis Zulfaidah Penata Gama , Bagyo Yanuwiadi ,
dan Tri Handayani Kurniati
7 Reviewer Fadillah Nur Ilmi
8 Tanggal 2 Maret 2021
9 Abstrak Penelitian
-Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
toksisitas Bacillus thuringiensis isolat Madura
terhadap berbagai instar larva nyamuk Aedes
aegypti dan pengaruh toksin yang dihasilkan
oleh B. thuringiensis isolat Madura terhadap
struktur epitel dan jaringan usus larva nyamuk
A. aegypti.
-Subjek Penelitian larva dan telur nyamuk Aedes aegypti yang
diperoleh dari Stasiun Penelitian Vektor
Penyakit (SPVP) Salatiga, akuades, pakan
anjing kering, marmut (Cavia cobaya), biakan
bakteri Bacillus thuringiensis isolat Madura,
media nutrien cair ekstrak khamir, media
nutrien agar, kertas saring, etanol 70%, kertas
tissue, air sumur, malakit hijau, safranin, air
gula, kapas.
-Assesment Data Data yang diperoleh berupa Nilai Lethal
Concentration 50 dalam jangka waktu 24 jam
(LC50-24jam) dari hasil uji toksisitas Bacillus
thuringiensis isolat Madura terhadap larva
nyamuk Aedes aegypti dan hasilnya dianalisa
dengan analisa probit for windows release 11.
-Kata Kunci Aedes aegypti, Bacillus thuringiensis, musuh
alami, pemberantasan
10 Pendahuluan
-Latar Belakang Di daerah tropis seperti Indonesia, nyamuk
dan Teori merupakan serangga yang sering mengganggu
kehidupan manusia. Selain itu nyamuk juga
dapat menyebarkan penyakit Malaria, Demam
Berdarah Dengue (DBD) dan Filariasis. Pada
tahun 2001, wabah Demam Berdarah Dengue
masih menyerang hampir seluruh daerah di
Indonesia, baik daerah perkotaan maupun
pedesaan. Wabah DBD juga menyerang pada
bayi, anak-anak serta orang dewasa, sehingga
tidak sedikit penderita tersebut yang meninggal
dunia (Santoso, 2003). Menurut Mapata (2000)
penyakit Demam Berdarah Dengue termasuk
penyakit yang disebabkan oleh virus dari
golongan Arbovirus dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Untuk mengatasi hal tersebut, manusia lebih
cenderung menggunakan insektisida atau obat
pembasmi nyamuk yang dijual bebas seperti
obat nyamuk bakar, tissue oles, elektrik dan
sebagainya. Semua usaha pemberantasan
nyamuk tersebut hanya bersifat sesaat dan tidak
memiliki efek pencegahan. Penggunaan bahan-
bahan kimia untuk mengendalikan nyamuk
Aedes aegypti secara terus menerus dapat
menyebabkan peningkatan resistensi serangga
terhadap insektisida kimia, polusi lingkungan
serta meningkatnya biaya yang dikeluarkan
untuk pestisida (Blondine dan Yuniarti, 2001).
Menurut Arronson dan Geisser (1992), salah
satu cara yang dapat dilakukan untuk
memberantas nyamuk dan aman bagi
lingkungan adalah menggunakan musuh alami
nyamuk, yaitu dengan menggunakan bakteri
Bacillus thuringiensis (Dulmage, et al., 1990).
11 Metode penelitian
-Langkah Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan
rancangan percobaan faktorial, dengan
kombinasi perlakuan ditempatkan menurut
RAK dan diulang 3 kali. Setelah rearing larva
nyamuk, dilanjutkan dengan pembuatan
suspensi bakteri dengan seri pengenceran 100 –
10-5 . Jumlah bakteri dihitung, diikuti
perhitungan jumlah spora bakteri dengan
metode TVSC, kemudian dilanjutkan uji
toksisitas bakteri terhadap berbagai instar larva
nyamuk. Setelah 24 jam kemudian dihitung
jumlah larva yang mati. Tingkat kerusakan yang
ditimbulkan oleh bakteri dilihat dengan cara
dibuat irisan melintang larva nyamuk dengan
metode parafin. Analisa data yang dilakukan
yaitu Nilai Lethal Concentration 50 dalam
jangka waktu 24 jam (LC50-24jam) dari hasil
uji toksisitas Bacillus thuringiensis isolat
Madura terhadap larva nyamuk Aedes aegypti
dan hasilnya dianalisa dengan analisa probit for
windows release 11.
-Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa toksisitas bakteri B. thuringiensis isolat
Madura dalam membunuh larva nyamuk instar I
sampai 88,89%. Toksisitas yang tinggi tersebut
terdapat pada kepadatan bakteri sebanyak
1,51x108 selml-1 , tetapi untuk kepadatan
bakteri di bawahnya kurang efektif dalam
membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Pada
kepadatan bakteri tertinggi, semakin tua umur
stadium larva nyamuk maka semakin resisten
terhadap terhadap serangan toksin yang
dihasilkan oleh bakteri B. thuringiensis isolat
Madura. Nilai LC50-24 jam untuk instar I
sebesar 8,08x107 selml-1 , instar II sebesar
9,09x107 selml-1 , instar III sebesar 3,94x108
selml-1 dan instar IV sebesar 2,66x108 selml-
1 . Pengaruh kristal toksin B. thuringiensis
isolat Madura terhadap struktur epitel dan
jaringan usus tampak pada jaringan usus yang
tidak utuh dan inti sel epitel hancur serta bagian
dalam usus berlubang-lubang, sedangkan
bagian luarnya berwarna hitam
-Diskusi Penelitian
-Daftar Pusaka Gama, Penata Zulfaidah, Bagyo Yanuwiadi ,
dan Tri Handayani Kurniati. 2010. Strategi
Pemberantasan Nyamuk Aman Lingkungan:
Potensi Bacillus thuringiensis Isolat Madura
Sebagai Musuh Alami Nyamuk Aedes aegypti.
Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. Vol 1
(1). Hal 1 – 10.
12 Analisis Jurnal
-Kekuatan Penelitian  Menerapkan kerapian dalam penulisan dan
bentuk jurnal.
 Penggunaan tanda baca yang benar sehingga
pembaca mudah membacanya.
 Penulis sudah mencantumkan judul, nama,
serta bagian abstraknya yang sudah jelas,
sehingga dengan membaca abstraknya saja
pembaca sudah lebih mengetahui apa tujuan
dari penulisan jurnal tersebut.
 Terdapat juga tabel di dalam jurnal tersebut
beserta gaubar. Tabel ini untuk melihat
seperti hasil Uji Beda Nyata Jujur pada
Interaksi antara Tingkat Pengenceran
Bakteri Bacillus thuringiensis Isolat Madura
dengan Persentase Kematian Larva Nyamuk
Aedes aegypti (pada masing-masing instar)
dan gambar larva Aedes aegypti instar i
sehat.
-Kelemahan Penelitian Di dalam jurnal ini penggunaan huruf serta
kalimat yang sudah bagus dan penataan tata
letak setiap materi juga sudah bagus sehingga
jurnal ini sudah layak di jadikan sebagai
pedoman dalam pembelajaran.
13 Kesimpulan Daya toksisitas bakteri Bacillus thuringiensis
isolat Madura cukup besar yaitu dapat
membunuh larva nyamuk Aedes aegypti instar I
sampai 88,89%. Daya toksisitas yang tinggi
tersebut terdapat pada kepadatan bakteri
sebanyak 1,51x 108 selml-1 , tetapi untuk
kepadatan bakteri di bawahnya kurang efektif
dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti.
Pada kepadatan bakteri tertinggi (1,51x108
selml-1 ), semakin tua umur stadium larva
nyamuk maka semakin resisten terhadap
serangan toksin yang dihasilkan oleh bakteri
Bacillus thuringiensis isolat Madura. Hal ini
dibuktikan dengan adanya rata-rata nilai LC50-
24 jam yaitu untuk instar I sebesar 8,08x107
selml-1 , instar II sebesar 9,09x107 selml-1 ,
instar III sebesar 3,94x108 selml-1 dan instar IV
sebesar 2,66x108 selml-1 . Pengaruh kristal
protein atau toksin Bacillus thuringiensis isolat
Madura terhadap struktur epitelium dan
jaringan usus sangat nyata, karena setelah
perlakuan dengan Bacillus thuringiensis isolat
Madura struktur epitelium dan jaringan usus
menjadi berlubang, hancur dan tidak tersusun
rapi.
14 Saran Di dalam kelebihan dari jurnal tersebut agar
lebih dipertahankan dan diperkuat lagi, dan
mengenai kekurangan jurnal agar lebih diteliti
lagi untuk mencapai hasil yang lebih maksimal.

15 Referensi - Arronson, I.A., M. Geisser. 1992. Properties


of Bacillus thuringiensis and Its
Intracelluler Crystal Protein. In Biology of
Bacilli. Doi. H.R., Martina Mc. Gloughin
(Eds). Butterworth-Heinemann.
Washington.
- Blondine Ch. P., R.A. Yuniarti. 2001. Uji
Patogenisitas Isolat B. thuringiensis yang
Ditumbuhkan dalam Buah Kelapa terhadap
berbagai Jentik Nyamuk di Laboratorium.
Stasiun Penelitian Vektor Penyakit,
Salatiga. J. Cermin Dunia Kedokteran.
131:20-22.
- Dulmage, T.H, A.L. Lacey, S. Singer, A.A.
Yousten. 1990. Guidelines for Production
Bacillus thuringiensis H-14 and Bacillus
sphaericus. UNDP/WHO World Research
and Training in Tropical Disease. New
York.
- Mapata, S. 2000. Pengenalan Dini Demam
Berdarah Dengue.
- Santoso, M. 2003. Partisipasi Masyarakat
Perlu Digiatkan, Demam Berdarah Terus
Telan Korban. Pikiran Rakyat, 17 Januari
2003.

- JURNAL 2
Jurnal 2
a. Latar belakang
Udang windu, ikan bandeng dan rumput laut secara biologis memiliki sifat–
sifat yang dapat bersinergi sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat
dikembangkan karena merupakan salah satu bentuk budidaya polikultur yang ramah
terhadap lingkungan. Rumput laut merupakan penyuplai oksigen melalui fotosintesis
pada siang hari dan memiliki kemampuan untuk menyerap kelebihan nutrisi dan
cemaran yang bersifat toksik di dalam perairan. Sedangkan ikan bandeng sebagai
pemakan plankton merupakan pengendali terhadap kelebihan plankton dalam
perairan. Kotoran udang, ikan bandeng dan bahan organik lainnya merupakan sumber
hara yang dapat dimanfaatkan oleh rumput laut dan fitoplankton untuk pertumbuhan.
Hubungan yang seperti ini dapat menyeimbangkan ekosistem perairan. Sehingga
perlu diteliti tentang model pengelolaan budidaya polikultur udang windu, ikan
bandeng dan rumput laut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui model budidaya
polikultur udang windu, ikan bandeng dan rumput laut secara tradisional.
b. Metode penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus di Dusun Tanjungsari, Desa Kupang,
Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Sampel berupa pembudidaya polikultur
beserta tambak yang ditetapkan secara porposive sampling. Sampel sebanyak 38
pembudidaya terdiri dari 18 pembudidaya polikultur tiga komoditas dan 20
pembudidaya polikultur dua komoditas. Variabel penelitian meliputi lingkungan
makro tambak, karakteristik pembudidaya, cara pengelolaan tambak dan perlakuan
yang diberikan, padat tebar, kualitas air, kesuburan air, produksi tambak, keuntungan
pembudidaya polikultur dan model budidaya polikultur tiga komoditas. Teknik
pengumpulan data , alat pengumpul dan analisis data yang digunakan tidak dijelaskan
dalam metode penelitian.
c. Hasil dan pembahasan

Hasil penelitian tersebet adalah bahwa Rumput laut Gracilaria yang di


integrasikan kedalam kegiatan budidaya ikan secara polikultur berdampak positip
terhadap peningkatan kualitas air tambak. Ikan bandeng sebagai pemakan plankton
baik plankton yang berguna maupun yang tidak berguna merupakan pengendali
terhadap kelebihan plankton di perairan. Udang windu, ikan bandeng dan rumput laut
melalui sifat–sifat biologisnya dapat bersinergis dengan baik dalam budidaya
polikultur. Produksi budidaya polikultur udang windu, ikan bandeng dan rumput laut
dapat memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi dari produksi budidaya
polikultur udang windu dan ikan bandeng. Dampak lain yang akan terjadi adalah
integrasi rumput laut akan menjadi program pemerintah dalam upaya peningkatan
produksi perikanan secara kuantitatif dan kualitatif serta meningkatkan kualitas
lingkungan pesisir.

d. Lampiran

1 Judul Model Polikultur Udang Windu (Penaeus monodon Fab), Ikan Bandeng
(Chanos-chanos Forskal) dan Rumput Laut (Gracillaria Sp.) Secara
Tradisional

2 Jurnal Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari

3 Download https://garuda.ristekbrin.go.id/journal/view/7340?page=1&issue=vol
%201,%20No%201%20(2010)

4 Volume dan Volume 1 dan Halaman 1-10


Halaman

5 Tahun Tahun 2010

6 Penulis Murachman*, Nuhfil Hanani, Soemarno, Sahri Muhammad

7 Reviewer Septriyanti sianturi

Fadillah nur ilmi

Ardiah cahyaning

Putri nuraini

8 Tanggal 2 Maret 2021


9 Abstrak
Penelitian

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui menyusun pola manajemen


Penelitian polikultur udang windu (Penaeus monodon Fab.), ikan bandeng
(Chanoschanos Forskal) dan rumput laut (Gracillaria sp.).

Subjek Sampel penelitian diambil pada 18 lokasi polikultur dari tiga komoditas
Penelitian tersebut (udang windu, ikan bandeng dan rumput laut) dan 20 lokasi
polikultur dari dua komunitas (udang windu dan ikan bandeng)

Assesment Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus di Dusun Tanjung Sari, Desa
Data Kupang, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Variabel yang
dipergunakan pada penelitian ini adalah Variabel penelitian meliputi
lingkungan makro tambak, karakteristik pembudidaya, cara pengelolaan
tambak dan perlakuan–perlakuan yang diberikan, padat tebar, kualitas air,
kesuburan air, produksi tambak, keuntungan pembudidaya polikultur dan
model budidaya polikultur tiga komoditas.

Kata Kunci polikultur, ikan bandeng, komoditas, udang windu

10 Pendahuluan

Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik tertentu
dan Teori dan subur, sehingga memiliki daya tarik yang besar sebagai tujuan wisata
dan pengembangan kegiatan perikanan serta tujuan lain yang menghasilkan
banyak keuntungan finansial. Kegiatan perikanan di wilayah pesisir adalah
usaha perikanan budidaya di tambak untuk udang, ikan bandeng dan atau
udang dan ikan bandeng (Dahuri et al., 1996). Pembudidayaan ikan
merupakan kegiatan memelihara, membesarkan dan memanen hasilnya
dalam lingkungan yang terkontrol. Pembudidayaan ikan dapat dilakukan
secara polikultur yaitu pembudidayaan ikan lebih dari satu
jenis secara terpadu. Budidaya polikultur terpadu dan sinergis saat ini banyak
diteliti dan dikaji karena dapat meningkatkan kulitas air. Diintegrasikannya
rumput laut (Gracilaria sp) kedalam kegiatan polikultur udang windu
(Penaeus monodon Fabrisius) dan ikan bandeng (Chanos-chanos Forskal)
secara terpadu. Pada umumnya pembudidayaan secara tradisional selalu
mengedepankan luas lahan, pasang surut, intercrop dan tanpa pemberian
makanan tambahan sehingga makanan bagi komoditas yang dibudidayakan
harus tersedia secara alami dalam jumlah yang cukup.

Udang windu, ikan bandeng dan rumput laut secara biologis memiliki sifat–
sifat yang dapat bersinergi sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat
dikembangkan karena merupakan salah satu bentuk budidaya polikultur yang
ramah terhadap lingkungan. Rumput laut merupakan penyuplai oksigen
melalui fotosintesis pada siang hari dan memiliki kemampuan untuk
menyerap kelebihan nutrisi dan cemaran yang bersifat toksik di dalam
perairan. Sedangkan ikan bandeng sebagai pemakan plankton merupakan
pengendali terhadap kelebihan plankton dalam perairan. Kotoran udang, ikan
bandeng dan bahan organik lainnya merupakan sumber hara yang dapat
dimanfaatkan oleh rumput laut dan fitoplankton untuk pertumbuhan.
Hubungan yang seperti ini dapat menyeimbangkan ekosistem perairan.
Sehingga perlu diteliti tentang model pengelolaan budidaya polikultur udang
windu, ikan bandeng dan rumput laut.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui model budidaya polikultur udang


windu, ikan bandeng dan rumput laut secara tradisional.

11 Metode
Penelitian

Langkah Model proses kegiatan budidaya polikultur udang windu, ikan bandeng dan
Penelitian rumput laut secara tradisional di Dusun Tanjungsari, Desa Kupang,
Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo seperti pada.

Penjelasan Model

1. Lokasi Tambak

a) Tanah Dasar Tambak

Lokasi tambak berada di pantai dekat laut, tanah dari jenis alluvial kelabu
dimana bertekstur lempung liat berpasir, dengan ketinggian 0–3 m diatas
permukaan laut serta kemiringan kurang dari 2,0%. b) Sumber Air Tambak
Sumber air tambak berupa laut yang memperoleh pasokan air tawar dan lima
sungai yaitu Sungai Porong, Kali Alo, Kali Welang, Kali Anyar dan Kali
Buyat yang bermuara di pantai Sidoarjo dan Pasuruan. Kualitas dan
kesuburan sumber air untuk tambak dapat dilihat pada Tabel 19 dibawah ini.
Kualitas air layak untuk digunakan sebagai sumber air untuk tambak,
demikian juga kesuburan airnya dengan kelimpahan fitoplankton relatif
tinggi. c) Hutan Mangrove Hutan mangrove seluas 581,955 Ha dengan
ketebalan 500 m dan kepadatan 1–2 pohon tiap meer persegi terdapat
disepanjang pantai, kiri dan kanan sungai, serta di tanam di pematang tambak
merupakan pelindung bagi kawasan tambak polikultur. Hutan mangrove
didominasi oleh Rhyzophora dan Avecenia.

2. Persiapan Tambak

a) Tambak Polikultur Tambak polikultur udang windu, ikan bandeng dan


rumput laut dengan luas antara 2–6 ha tiap petak dengan kedalaman 90–100
cm dilengakpi pintu air, pematang, caren dan plataran tambak. b) Keduk
Teplok Kedung teplok dilakukan setelah panen dimana merupakan kegiatan
pembuangan lumpur tambakk dan memperbaiki pematang tambak dan
adanya kebocoran. Dalam keduk teplok juga dilakukan pembalikan tanah
dasar tambak dengan tujuan untuk mengurangi gas–gas beracun. c)
Pengapuran Pengapuran bertujuan untuk menurunkan keasaman tanah atau
menaikkan pH tanah dan menjaga kestabilan kualitas air. Pengapuran
menggunakan kapur dolomit minimal 2 kgha-1–100 kgha-1 atau rata–rata
sebanyak 31,65 kgha-1. Pengapuran dilakukan sekali dalam satu musim
tanam. Pengapuran dilakukan setelah pengeringan. d) Pengeringan
Pengeringan dilakukan setelah 3–5 hari setelah pemberian saponin.
Pengeringan bertujuan untuk meningkatkan pH yang turun pada
pemeliharaan sebelumnya, selain itu pengeringan juga berfungsi sebagai
pengendali kompetitor dan hama. e) Pemberian Saponin Pemberian saponin
bertujuan untuk membasmi hama tambak berupa ikan liar, ular dan lainnya.
Pemberian saponin dilakukan setelah panen terakhihr. Pemberian saponin
dilakukan minimal 2,5 kgha-1 dan maksimal 25 kgha-1 atau rata–rata 16,18
kgha-1. f) Pemupukan Pemupukan bertujuan untuk menumbuhkan
fitoplankton. Fitoplankton selain dapat memberikan tambahan oksigen
terlarut kedalam air, juga berfungsi sebagai makanan alami bagi udang dan
ikan bandeng. Pemupukan menggunakan pupuk urea dan TSP. Penggunaan
urea minimal 5,0 kgha-1 dan maksimal 100 kgha-1 atau rata–rata 55,15
kgha-1. Sedangkan pupuk TSP minimal 1,0 kgha-1 dan maksimal 100 kgha-
1 atau rata-rata 32,12 kgha-1. g) Pemasukan Air Setelah pemupukan
dilakukan pemasukan air secara bertahap. Tambak siap di tebar rumput laut,
dengan ketinggian air 30 cm di tambak.

3. Pemeliharaan

a) Penebaran Rumput Laut Penebaran rumput laut dilakukan tujuh hari


setelah pemupukan pada ketinggian air 10–15 cm. Kemudian ari dinaikkan
lagi mencapai ketinggian 90–100 cm. Padat tebar rumput laut 975,47 kgha-1
dengan ukuran bibit 5 gram dari jenis Gracillaria sp. b) Penebaran Nener
Bandeng Penebaran nener bandeng dilakukan tujuh hari setelah penebaran
rumput laut. padat tebar nener bandeng 2.381,33 ekor tiap hektar tambak
dengan ukuran panjang 3–5 cm. c) Penebaran Udang Windu Penebaran
udang windu dilakukan tujuh hari setelah penebaran ikan bandeng. Padat
tebar udang windu 14.472 ekor tiap hektar tambak dengan ukuran panjang
1,0–1,5 cm.

4. Perawatan

Pada pemeliharaan dan perawatan ada hubungan kegiatan yang dilakukan


yaitu penambahan pupuk, pergantian air dan menjaga keamanan tambak.
penambahan pupuk urea dilakukan pada setiap setelah panen rumput laut.
Penambahan pupuk urea sebanyak 5, 257 kgha-1. Penambahan puuk ini
dilakukan sebanyak tiga sampai empat tahap sesuai dengan banyaknya panen
rumput laut dalam satu musim panen. Sedangkan pergantian air dilakukan
dua kali dalam satu bulan. Pergantian air minimal 30% dari jumlah air
tambak. penjaga keamanan tambak terutama dilakukan terhadap
kemungkinan adanya pencurian dan kebocoran tambak. Keamanan dilakukan
oleh pendega tambak.

5. Panen

Panen dilakukan secara bertahap. Untuk rumput laut dalam satu musim
panen dilakukan 3–4 kali panen. Panen rumput laut pertama dilakukan pada
umur 2 bulan, untuk berikutnya dilakukan panen pada umur setiap 1,5 bulan.
Pada setiap selesai panen rumput laut dilakukan pemupukan tambahan.
Panen udang windu dilakukan pada umur tiga bulan, sedangkan panen ikan
bandeng dilakukan pada umur lima bulan. Panen rumput laut dilakukan
dengan menggunakan tangan dan serok. Sedangkan panen udang windu

dilakukan dengan menggunakan prayang dan panen ikan bandeng dilakukan


dengan menggunakan jaring.

6. Produksi Produksi udang windu, ikan bandeng dan rumput laut pada
budidaya polikultur dalam satu musim panen adalah udang windu sebanyak
201,11 kg dengan ukuran 34 ekor tiap kilogram dengan daya tahan hidup 53
%. Sedangkan produksi ikan bandeng sebanyak 1180,56 kgha-1, ukuran
rata–rata 4,26 ekor tiap kilogram dengan daya tahan hidup 95 %. 7.
Pendapatan Pembudidaya Polikultur Pendapatan bersih pembudidaya udang
windu, ikan bandeng dan rumput laut dalam satu musim tanam sebesar Rp
20.717.628, lebih tinggi dari pendapatan pembudidaya polikultur udang
windu dan ikan bandeng yang mencapai Rp 11.924.115.

Hasil Rumput laut Gracilaria yang di integrasikan kedalam kegiatan budidaya ikan
Penelitian secara polikultur berdampak positip terhadap peningkatan kualitas air
tambak. Rumput laut dengan sifat biologisnya sebagai penghasil dan
penyuplai oksigen terlarut dalam air melalui proses fotosintesis, dan rumput
laut memiliki kemampuan untuk menyerap kelebihan nutrisi senyawa toksis
NH3, H2S, NO2, PO-34 dan logam berat di dalam perairan sehingga kondisi
perairan kualitasnya meningkat. Kualitas air merupakan sesuatu yang penting
dalam budidaya ikan baik di kolam air tawar maupun kolam air payau.
Penurunan produksi udang banyak disebabkan oleh penurunan kualitas air.
Ikan bandeng sebagai pemakan plankton baik plankton yang berguna
maupun yang tidak berguna merupakan pengendali terhadap kelebihan
plankton di perairan. Ikan bandeng dengan tubuhnya stream line, sirip ekor
tegak, hidup bergerombol dan berenang cepat dapat meningkatkan difusi
oksigen ke dalam perairan. Kotoran udang windu, ikan bandeng, sisa ikan
dan bahan organik lainnya melalui proses dekomposisi menghasilkan unsur
hara untuk pertumbuhan rumput laut dan fitoplankton, sehingga perairan
menjadi subur. Kondisi tambak dengan sifat demikian, mencerminkan
kondisi ekosistem yang seimbang. Apabila dalam suatu hamparan tambak
seluruhnya berbudidaya secara polikultur udang windu, ikan bandeng dan
rumput laut adalah merupakan suatu kawasan tambak yang ramah terhadap
lingkungan. Karena air limbah tambak mengandung senyawa toksik yang
relatif sedikit. Udang windu, ikan bandeng dan rumput laut melalui sifat–
sifat biologisnya dapat bersinergis dengan baik dalam budidaya polikultur.
Produksi budidaya polikultur udang windu, ikan bandeng dan rumput laut
dapat memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi dari produksi
budidaya polikultur udang windu dan ikan bandeng. Tingginya keuntungan
finansial yang diterima pembudidaya udang windu, ikan bandeng dan rumput
laut akan berdampak positif kepada peningkatan kesejahteraan pembudidaya
tiga komoditas. Dampak peningkatan kesejahteraan ini akan dicontoh oleh
pembudidaya dua komoditas untuk melakukan integrasi rumput laut pada
kegiatan budidaya polikultur di tambaknya. Tanah dasar tambak dengan
tekstur liat, dapat pula digunakan untuk membudidayakan rumput laut
dengan syarat menggunakan metode lepas dasar, long line, rakit dan lainnya.
Dengan metode di luar metode tebar dasar, rumput laut tidak akan
bersentuhan dengan tanah dasar tambak.

Rumput laut tetap sebagai penyuplai oksigen melalui fotosintesis pada siang
hari dan melakukan penyerapan terhadap kelebihan nutrisi NH3, H2S, NO2,
NO3, PO-34 dan logam berat di perairan tambak. Xu et al., (2007)
menjelaskan bahwa alga gracilaria dapat menyerap kelebihan cemaran dalam
pembudidayaan udang (Litopenaeus vannamei) dan ikan (Epinephelus
araora). Dampak lain yang akan terjadi adalah integrasi rumput laut akan
menjadi program pemerintah dalam upaya peningkatan produksi perikanan
secara kuantitatif dan kualitatif serta meningkatkan kualitas lingkungan
pesisir.

Diskusi Pada model budidaya polikultur udang windu, ikan bandeng dan rumput laut
Penelitian secara tradisional terdiri dari model proses kegiatan budidaya polikultur dan
model hubungan kelembagaan. Model proses kegiatan budidaya polikultur
udang windu, ikan bandeng dan rumput laut secara tradisional di Dusun
Tanjungsari, Desa Kupang, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, sehinga
mendapatkan hasil penelitian.

Daftar Pustaka Murachman, dkk.2010. Model Polikultur Udang Windu (Penaeus monodon
Fab), Ikan Bandeng (Chanos-chanos Forskal) dan Rumput Laut
(Gracillaria Sp.) Secara Tradisional . Jurnal Pembangunan dan
Alam Lestari. Vol 1(1)
12 Analisis Jurnal

Kekuatan Hasil penelitian sesuai dengan tujuan dari penelitian.


Penelitian
Memiliki skema organisasi kelembagaan sosial dan lembaga ekonomi

Kelemahan Kurangnya teori pendukung penelitian ini


Penelitian
Pada tabel 1 pembahasan belum ada penjelasan yang rinci.

13 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisis data dan pembahasan


penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kondisi lingkungan makro
yang merupakan daya dukung tambak polikultur secara topografis dan
geografis memiliki jenis tanah allufial kelabu dengan ketinggian 0–3 meter
diatas permukaan laut dengan kemiringan kurang dari 2%, bertekstur
lempung liat berpasir sampai liat dengan kedalaman tanah efektif 90 cm.
Sumber air tambak berupa laut yang memperoleh pasok air tawar dari 5
sungai. Kualitas dan kesuburan air cukup baik dan berada pada kisaran
standard kualitas air untuk tambak. Hutang mangrove seluas 581,955 ha
dengan ketebalan 500 meter, kerapatan 1–2 pohon tiap meter persegi terdapat
disepanjang pantai, di sebelah kiri dan kanan sungai dan ditanam di
pematang tambak adalah merupakan pelindung kawasan tambak polikultur.
2. Tingkat pendidikan pembudidaya tambak polikultur udang windu, ikan
bandeng dan rumput laut (tiga komoditas) lebih tinggi dari tingkat
pendidikan budidaya polikultur udang windu dan ikan bandeng (dua
komoditas). Tingginya tingkat pendidikan mempengaruhi pemilihan usaha
budidaya polikutur melalui pemikiran yang lebih rasional dengan
mempertimbangkan keadaan alamnya. Pengelolaan tambak pada kedua
model polikultur dilaksanakan secara tradisional plus

3. Dengan di integrasikannya rumput laut kedalam budidaya polikultur


udang windu dan ikan bandeng (tiga komoditas), ternyata meningkatkan
kandungan oksigen terlarut dalam air tambak dan menurunkan kandungan
amoniak (NH3), Hidrogen Sulfida (H2S), Nitrit (NO2), Ortho Fosfat (PO43),
Biological Oksigen Demand (BOD) dan kandungan Logam Berat Pb Dalam
air tambak. Kecerahan, alkalinitas, BOD dan kandungan logam Pb pada air
tambak budidaya polikultur tiga komoditas berbeda sangat nyata dengan
kandungan air pada budidaya polikultur dua komoditas. Kesuburan air
tambak tiga komoditas lebih tinggi dari kesuburan air tambak dua komoditas
walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

4. Produksi tambak tiga komoditas berupa udang windu 201,11 kgha-1mt-1,


ikan bandeng 1180,56 kgha-1mt-1 dan rumput laut 5492 kgha-1mt-1 adalah
lebih tinggi dari produksi tambak dua komoditas berupa udang windu 181
kgha-1mt-1 dan ikan bandeng 198,33 kgha-1mt-1. Produksi udang windu
dan ikan bandeng ditambak tiga komoditas secara statistik tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi penerimaan keuntungan
pembudidaya polikultur tiga komoditas lebih tinggi dan berbeda sangat nyata
dengan keuntungan pembudidaya polikultur dua komoditas. 5. Model
budidaya polikultur udang windu, ikan bandeng dan rumput laut terdiri dari
enam komponen yang saling berhubungan. Komponen tersebut adalah: a.
Penetapan lokasi tambak polikultur udang windu ikan bandeng dan rumput
laut sama dengan kondisi lingkungan makro tambak polikultur hanya tanah
dasar tambak bertekstur lempung liat berpasir dengan komposisi 45% pasir,
28% debu dan 27% liat. b. Persiapan tambak bertujuan mempersiapkan air
tambak untuk keperluan pemeliharaan. Perlakuan yang diberikan pada
persiapan tambak meliputi pemberian saponin rata-rata 16,18 kgha-1, Keduk
teplok, pemberian dolomit rata-rata 31,65 kgha-1, pemberian pemupukan
urea rata-rata 35,15 kgha-1 dan pupuk TSP rata-rata 32,12 kgha-1. c.
Pemeliharaan diawali dengan penebaran rumput laut sebanyak 975,47 kgha-
1dengan ukuran 5 g, nener bandeng sebanyak 2381,33 ekor tiap hektar
dengan ukuran 3–3,5 cm dan penebaran benur udang windu sebanyak 14.472
ekor tiap hektar dengan ukuran 1–1,5 cm penebaran dilakukan pada setiap
selang 7 hari antar komoditas. Pergantiaan air dilakukan dalam dua kali
setiap bulan. Setiap panen rumput laut selalu diikuti dengan pemberiaan
pupuk urea sebanyak 5,257 kgha-1. d. Panen rumput laut dilakukan pada
umur 2 bulan, kemudian dilakukan pada setiap umur 1,5 bulan. Dalam sekali
musim tanam dapat melakukan panen 3–4 kali panen dengan produksi
rumput laut sebanyak 5492 kgha-1mt-1. Panen udang windu dilakukan
pada umur tiga bulan dengan produksi 201,11 kgha-1mt-1 dan panen ikan
bandeng dilakukan pada umur lima bulan dengan produksi 1180,56 kgha-
1mt-1 yang lebih tinggi dari produksi udang windu dan ikan bandeng dari
budidaya polikultur dua komoditas. Produksi udang windu dan ikan bandeng
dari budidaya tiga komoditas memiliki daya tahan hidup, kegemukan dan
ukuran yang lebih besar dari produksi budidaya polikultur dua komoditas.
Pendapatan keuntungan finansial pembudidaya polikultur tiga komoditas
lebih tinggi dan berbeda nyata dengan keuntungan finansial pembudidaya
polikultur dua komoditas.

14 Saran 1. Mengingat kemampuan rumput laut sebagai penyuplai oksigen melalui


fotosistesis pada siang hari dan kemampuannya untuk menyerap kelebihan
nutrisi, amoniak, hidrogen sulfida, nitrit,ortho fosfat, total suspended solid
dan logam Pb berarti dapat meningkatkan kualitas air. Kemampuan rumput
laut ini hendaknya dijadikan dasar pengembangan budidaya polikultur secara
sinergis yang berwawasan lingkungan dalam upaya peningkata budidaya
perikanan dan kesejahteraan pembudidaya polikultur. 2. Kegiatan budidaya
polikutur tiga komoditas dapat pula dilakukan pada tanah dasar bertekstur
liat dengan syarat penebaran rumput laut dilakukan dengan metode lepas
dasar long line atau rakit dengan salinitas 15–30 ‰, pasang surut teratur dan
pH air 7,5–8,5. 3. Peningkatan produksi tambak polikultur tiga komoditas
dapat dilakukan dengan meningkatkan padat tebar.

15 Referensi Boyd, C.E. 1999. Management of Shrimp Ponds to Reduce the


Eutrophication Potential of Effluents. The Advocate. Desember.
1999:12–14.

Hariati, A.M., D.G.R. Wiadnya, A. Prajitno, M. Sukkel, J.H. Boon, M.C.J.


Verdegem. 1995. Perkembangan Budidaya Udang Windu (Penaeus
monodon) dan Udang Putih (Penaeus merguiensis) di Jawa Timur.
Bulletin Perikanan. Edisi 5. Fakultas Perikanan Universitas
Brawijaya. Malang.

Kandhasamy M., K.D. Arunachalam. 2008. Evaluation of in vitro


Antibacterial Property of Seaweeds of Southeast Coast of India.
African Journal of Biotechnology. Vol. 7. 12:1958–1961.

Mudjiman, A. 1986. Budidaya Ikan di Sawah Tambak. CV. Penebar


Swadaya. Jakarta. Mulyono, S. 1991. Operatians Research.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Pirzan, A. M., P. R. Pong-Masak, Utojo. 2006. Keragaman Fitoplankton


Pada Lahan Budidaya Tambak Di Kawasan Pesisir Donggala Dan

Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah. Jurnal Riset Akuakultur. Vol. 1 No. 3.


148-152.

Supito, M. S., Madenur. 2005. Budidaya Terpadu Ikan Bandeng, Udang


Windu, Rumput Laut dan Kekerangan. Laporan Tahunan Balai
Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Pusat Riset perikanan
Budidaya Badan Riset kelautan Dan Perikanan Departemen
Kelautan Dan Perikanan.

Xu, Y., F. Jianguang, W. Wei. 2008. Aplication of Gracilaria lichenoides


(Rhodophyta) for Alleviating Nutriens in Aquaculture. Journal
Application Phycol. 20:199– 203.

- JURNAL 3
a. Latar Belakang Teori dan Tujuan Penelitian
Sumber daya pesisir merupakan unsur-unsur hayati dan nonhayati yang terdapat di
wilayah laut, dimana unsur hayati terdiri atas ikan, mangrove, terumbu karang, padang
lamun dan biota lain beserta ekosistemnya. Unsur nonhayati terdiri dari sumberdaya di
lahan pesisir, permukaan air, di dalam airnya dan di dasar laut seperti: minyak dan gas,
pasir kuarsa, timah dan karang mati. Sumberdaya hayati yang dimanfaatkan dapat
diperbaharui selama laju regenerasi sumberdayanya masih layak untuk berkembang secara
alami. Sedang substitusi sumberdaya tersebut untuk menggantikan fungsinya (Idris, 2001).
Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin parah, dan dampak dari pola
pengelolaan lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab
membuat kondisi semakin memprihatinkan. Hampir setiap hari berbagai cerita duka akibat
rusaknya lingkungan hidup mewarnai media masa, seperti bencana banjir, tanah longsor,
kabut asap, tragedi lumpur lapindo, dan lain-lain. Seiring dengan itu, muncul pula berita
terungkapnya pembalakan liar, pembakaran hutan, dan pembangunan gedung-gedung atau
proyek lain yang tidak mengindahkan tata letak dan prosedur perizinan dan masih banyak
lagi perilaku yang tidak terpuji yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup (Garnasih, 2008).
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui alasan yang mendasari masyarakat (nelayan
dan pedagang ikan) dalam merusak sumber daya pesisir, (2) pengetahuan, pemahaman dan
dukungan masyarakat (nelayan dan pedagang ikan) terhadap peraturan pemerintah dan
pemahaman Al-Qur’an tentang menjaga lingkungan wilayah pesisir, (3) konsistensi isu-isu
lingkungan pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir yang terdapat pada Undang-
Undang, dan relevansi dengan isu-isu lingkungan yang ada di Kitab Suci Al-Qur’an.

b. Metode
Penelitian menggunakan 3 metode; yang pertama adalah Survey dan Studi Kasus (Case
Study) digunakan untuk menjawab tujuan 1 dan 2, lalu metode yang ketiga adalah Content
Analysis (Analisis Isi) untuk menjawab tujuan ketiga.
Di dalam penelitian ini sampel keseluruhan adalah 86 orang; yang memakai alat tangkap
payang ada 6 kapal dan memakai sekoci ada 36, jumlah kuisioner adalah 18 orang dan
pengambilan sampel dilakukan oleh nelayan dan pedagang ikan di Desa Tambakrejo.
Dalam Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan
Content Analysis (Analisis Isi). Deskriptif kualitatif merupakan analisa data dimana data
disajikan dengan menggambarkan secara jelas keadaan yang sebenarnya, sehingga
memungkinkan peneliti untuk menguji apakah hubungan yang diamati memang betul
terjadi karena adanya hubungan sistematis antara variabel-variabel yang diteliti atau hanya
terjadi secara kebetulan. Analisis ini (Content Analysis) adalah penelitian yang bersifat
pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau bercetak dalam media
massa. Pelopor analisa ia adalah Harold D. Lassewell, yang mempelopori teknik symbol
coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi
(Sofa, 2008).
penelitian ini, penulis mengambil sampel dari masyarakat Desa Tambakrejo. Secara
sederhana stakeholder sering dinyatakan sebagai pihak, lintas pelaku atau pihak-pihak
yang terkait dengan suatu isu atau suatu rencana (KAI, 2003).
Content Analiysis dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisa tujuan ketiga
c. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian didapatkan bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat dalam menjaga
lingkungan serta diikuti rendahnya tingkat pendidikan yang dapat menyebabkan kurang
fahamnya nelayan dan pedagang setempat dalam menjaga lingkungan. Pemahaman
nelayan atau pedagang yang kurang diperhatikan oleh penyuluh sehingga dapat
mengakibatkan nelayan atau pedagang melakukan perusakan lingkungan. Didalam
peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat didalam menjaga lingkungan khususnya
wilayah pesisir sudah konsisten terhadap hukum yang terdapat didalam Al-Qur’an.

e. Lampiran :

1 Judul Perilaku Perusakan Lingkungan Masyarakat


Pesisir Dalam Perspektif Islam (Studi Kasus Pada
Nelayan dan Pedagang Ikan Di kawasan Pantai
Tambak, Desa, Tambakrejo, Kecamatan
Wonotirto, Kabupaten Blitar Jawa Timur)
2 Jurnal Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari
3 Download https://jpal.ub.ac.id/index.php/jpal/article/view/99
4 Volume dan Halaman Vol. 1 No. 1 Hal: 1-11
5 Tahun 2010
6 Penulis Mimit Primyastanto, Ratih Prita Dewi, Edi Susilo
7 Reviewer Putri Nur’aini Delima
8 Tanggal 01 Maret 2021
9 Abstrak Penelitian
-Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
alasan yang mendasari masyarakat (nelayan dan
pedagang ikan) dalam merusak sumber daya
pesisir, (2) pengetahuan, pemahaman dan
dukungan masyarakat (nelayan dan pedagang
ikan) terhadap peraturan pemerintah dan
pemahaman Al-Qur’an tentang menjaga
lingkungan wilayah pesisir, (3) konsistensi isu-
isu lingkungan pada pengelolaan lingkungan
wilayah pesisir yang terdapat pada Undang-
Undang, dan relevansi dengan isu-isu lingkungan
yang ada di Kitab Suci Al-Qur’an.
-Subjek Penelitian Penelitian ini, penulis mengambil sampel dari
masyarakat Desa Tambakrejo. Secara sederhana
stakeholder sering dinyatakan sebagai pihak,
lintas pelaku atau pihak-pihak yang terkait
dengan suatu isu atau suatu rencana (KAI, 2003).

-Assesment Data Di dalam penelitian ini sampel keseluruhan


adalah 86 orang; yang memakai alat tangkap
payang ada 6 kapal dan memakai sekoci ada 36,
jumlah kuisioner adalah 18 orang dan
pengambilan sampel dilakukan oleh nelayan dan
pedagang ikan di Desa Tambakrejo.
Dalam Analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif dan
Content Analysis (Analisis Isi). Deskriptif
kualitatif merupakan analisa data dimana data
disajikan dengan menggambarkan secara jelas
keadaan yang sebenarnya, sehingga
memungkinkan peneliti untuk menguji apakah
hubungan yang diamati memang betul terjadi
karena adanya hubungan sistematis antara
variabel-variabel yang diteliti atau hanya terjadi
secara kebetulan. Analisis ini (Content Analysis)
adalah penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis
atau bercetak dalam media massa. Pelopor analisa
ia adalah Harold D. Lassewell, yang
mempelopori teknik symbol coding, yaitu
mencatat lambang atau pesan secara sistematis,
kemudian diberi interpretasi (Sofa, 2008).
-Kata Kunci Al- Qur’an, Perusak Lingkungan, Pesisir
10 Pendahuluan
-Latar Belakang Sumber daya pesisir merupakan unsur-unsur
dan Teori hayati dan nonhayati yang terdapat di wilayah
laut, dimana unsur hayati terdiri atas ikan,
mangrove, terumbu karang, padang lamun dan
biota lain beserta ekosistemnya. Unsur nonhayati
terdiri dari sumberdaya di lahan pesisir,
permukaan air, di dalam airnya dan di dasar laut
seperti: minyak dan gas, pasir kuarsa, timah dan
karang mati. Sumberdaya hayati yang
dimanfaatkan dapat diperbaharui selama laju
regenerasi sumberdayanya masih layak untuk
berkembang secara alami. Sedang substitusi
sumberdaya tersebut untuk menggantikan
fungsinya (Idris, 2001).
Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia
semakin parah, dan dampak dari pola pengelolaan
lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang
tidak bertanggung jawab membuat kondisi
semakin memprihatinkan. Hampir setiap hari
berbagai cerita duka akibat rusaknya lingkungan
hidup mewarnai media masa, seperti bencana
banjir, tanah longsor, kabut asap, tragedi lumpur
lapindo, dan lain-lain. Seiring dengan itu, muncul
pula berita terungkapnya pembalakan liar,
pembakaran hutan, dan pembangunan gedung-
gedung atau proyek lain yang tidak
mengindahkan tata letak dan prosedur perizinan
dan masih banyak lagi perilaku yang tidak terpuji
yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup (Garnasih, 2008).
Kerusakan lingkungan dapat terjadi karena
adanya kegiatan (aktivitas) yang dilakukan oleh
menusia maupun karena pengaruh alam. Salah
satu akibat samping dari kegiatan pembangunan
di berbagai sektor dan daerah adalah di
hasilkannya limbah yang semakin banyak, baik
jumlah maupun jenisnya. Limbah tersebut telah
menimbulkan pencemaran yang merusak fungsi
lingkungan hidup (Tandjung, 1991 dalam
Pagoray, 2003).
11 Metode penelitian
-Langkah Penelitian Penelitian menggunakan 3 metode; yang pertama
adalah Survey dan Studi Kasus (Case Study)
digunakan untuk menjawab tujuan 1 dan 2, lalu
metode yang ketiga adalah Content Analysis
(Analisis Isi) untuk menjawab tujuan ketiga.
Studi Kasus (Case Study) adalah salah satu
metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Secara
umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih
cocok bila pokok permasalahan suatu penelitian
berkenaan dengan How atau why, bila peneliti
hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol
peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan
bilamana fokus penelitiannya terletak pada
fenomena kontemporer (masa kini) didalam
konteks kehidupan nyata (Yin, 2008).

-Hasil Penelitian Hasil penelitian didapatkan bahwa kurangnya


pengetahuan masyarakat dalam menjaga
lingkungan serta diikuti rendahnya tingkat
pendidikan yang dapat menyebabkan kurang
fahamnya nelayan dan pedagang setempat dalam
menjaga lingkungan. Pemahaman nelayan atau
pedagang yang kurang diperhatikan oleh
penyuluh sehingga dapat mengakibatkan nelayan
atau pedagang melakukan perusakan lingkungan.
Didalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah
pusat didalam menjaga lingkungan khususnya
wilayah pesisir sudah konsisten terhadap hukum
yang terdapat didalam Al-Qur’an.

-Diskusi Penelitian Berdasarkan penelitian, penyebab kerusakan yang


terjadi di wilayah pesisir Pantai Tambakrejo
disebabkan antara lain: (1) Faktor Alam,
Penumpukan sampah-sampah berupa ranting
pohon di pinggir pantai ketika musim penghujan
tiba diakibatkan karena faktor alam. (2) Aktivitas
Manusia, Pengerukan pasir, yang di lakukan oleh
masyarakat dapat menyebabkan penyempitan
kawasan wilayah pesisir Pantai Tambakrejo itu
sendiri.
Pemakaian kompresor dan alat-alat tangkap yang
dapat merusak sumberdaya laut di Desa
Tambakrejo kini sangat memprihatinkan hal
tersebut disebabkan kurangnya kesadaran
didalam penjagaan lingkungan wilayah pesisir
dari nelayan karena tingkat pendidikan sebagian
besar nelayan sangat rendah, sehingga dapat
mengakibatkan kurang dapat mengendalikan
penangkapan yang ramah lingkungan didalam
pengambilan hasil laut yang berlebihan.
Kurangnya kesadaran nelayan karena sibuk
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
keluarga yang menyebabkan apapun akan
dilakukan demi untuk mendapatkan hasil
tangkapan yang banyak dan kebutuhan keluarga
dapat terpenuhi. Sampai-sampai nelayan tidak
menyadari kalau dalam menangkap ikan
menggunakan alat tangkap yang dapat
menyebabkan kerusakan dalam sumberdaya laut
terutama pantai Tambakrejo.
-Daftar Pusaka Primyastanto, mimit. Dkk. 2010. Perilaku
Perusakan Lingkungan Masyarakat Pesisir Dalam
Perspektif Islam (Studi Kasus Pada Nelayan dan
Pedagang Ikan Di kawasan Pantai Tambak, Desa,
Tambakrejo, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten
Blitar Jawa Timur). Jurnal Pembangunan dan
Alam Lestari. Vol. 1 (1). 1-11
12 Analisis Jurnal
-Kekuatan Penelitian 1. Jurnaltersebutsudahmemilikidasar-
dasarelemen yang benar.
2. Lengkapnyaidentitasjurnal.
3. Adanyapendapat –
pendapatatauteoridaribeberapaahli,
sehingga lebih akurat.

-Kelemahan Penelitian Literatur dalam jurnal ini masih kurang seperti


literatur yang berupa penelitian yang memliki
arah dan tujuan yang sama atau menunjuk pada
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya,
kekurangan Metodologi penelitian ini tidak
menyebutkan bagaimana cara peneliti
mendapatkan informan sesuai kaidah penelitian
kualitatif. Seperti, apakah subjek penelitian
didapatkan melalui proposive random sampling
(mencari informan yang sesuai dengan topik yang
ingin digali) atau snow ball sampling.
Implikasinya data-data wawancara, atau fokus
group diskusi tidak muncul. Sebuah jurnal
penelitian yang bagus hanya mungkin didukung
oleh praktek penelitian yang baik dan sebaliknya
13 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Kebijakan dan program-program yang
telah dibuat dan direncanakan
pelaksanaannya oleh pemerintah dalam
pemeliharaan lingkungan wilayah pesisir
yang menggunakan alat tangkap yang
ramah lingkungan. Diantara program-
program tersebut telah tampak pada
Undang-Undang Perikanan NO. 31 Tahun
2004 yang diberikan informasi oleh Dinas
Perikanan dan Kelautan (DKP) Blitar
pada Pasal 8 Ayat (1, 2, 3) dan Pasal 84
Ayat (1, 2, 3), dan Instruksi Gubernur
Jawa Timur No. 1 tahun 2000 yang isinya
“Melarang penggunaan Kompresor, bahan
kimia /peledak” Dinas Perikanan dan
Kelautan (DKP) Kabupaten Blitar belum
memberikan pengawasan secara langsung
didalam penerapan hukum-hukum
didaerah Desa Tambak itu sendiri yang
telah ditetapkan oleh pemerintah pusat
yang berlaku nasional.
2. Faktor timbulnya perusakan lingkungan
wilayah pesisir di akibatkan salah satunya
karena tingkat pendidikan yang rendah
dan kurangnya pengetahuan penduduk
terutama nelayan tentang pentingnya
menjaga lingkungan wilayah pesisir.
Pemahaman Agama yang kurang juga
mempengaruhi sifat dari masyarakat yang
lebih memilih merusak lingkungan
wilayah pesisir daripada menjaga,
walaupun adanya kegiatan keagamaan di
Desa Tambakrejo hanya terfokus pada
hubungan antara Tuhan dan manusia
bukan terhadap Tuhan, manusia dan
kepada lingkungan sekitar.
3. Peran pemerintah dalam pelestarian
lingkungan wilayah pesisir telah baik
dalam membuat peraturan dan kebijakan
yang isinya penjagaan lingkungan
wilayah pesisir, namun sebaiknya
pemerintah juga mengikut sertakan peran
masyarakat terutama nelayan dalam
kegiatan tersebut agar masyarakat
mengetahui sangat pentingnya menjaga
wilayah pesisir dengan baik.
4. didalam pemahaman masyarakat setempat
terhadap faktor Agama mempengaruhi
kerusakan secara langsung yang ada di
Pantai Tambakrejo tersebut sehingga
diharapkan untuk Tokoh Agama setempat
dapat memberikan penyuluhan kepada
masyarakat desa pada saat Khutbah
jum’at berlangsung dan dari kegiatan
tersebut dapat mengurangi tingkat
kerusakan yang terjadi di wilayah Pantai
Tambakrejo sendiri.
5. Alasan masyarakat merusak lingkungan
karena kurang kesadaran dan pemahaman
tentang Undang-undang terhadap
masyarakat setempat tentang lingkungan
wilayah pesisir, hal tersebut dapat
diakibatkan karena tingkat pendidikan
mayoritas nelayan yang rendah dan watak
dari nelayan keras serta karena biaya
hidup yang semakin lama semakin mahal
sehingga dapat mengakibatkan nelayan
melakukan perusakan lingkungan yang
dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem
sumberdaya hayati di wilayah tersebut.
14 Saran 1. Harus ada kerjasama antara pemerintah
dan masyarakat setempat dalam
menjalankan kebijakan yang diditetapkan
dalam pembangunan khususnya wilayah
pesisir
2. masyarakat sekitar harus saling
bekerjasama untuk mengadakan
rehabilitasi hutan mangrove dikarenakan
kurangnya perhatian masyarakat didalam
pemeliharaannya serta peran pemerintah
selaku penyuluh untuk menjelaskan
kepada masyarakat tentang bagaimana
sistem penjagaan bibit mangrove yang
baik yang sudah ditanam.
3. Penyadaran melalui jalur pendidikan
adalah salah satu sarana tempat untuk
melakukan penyadaran kepada
masyarakat setempat dalam suatu
kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir
mengakibatkan sangat penting apabila
dimulai dari penyuluhan untuk orang
dewasa khususnya bagi nelayan
4. Diharapkan agar dalam proses
penyadaran terhadap status kerusakan
yang terjadi di Desa Tambakrejo agar
masyarakat sadar dan segera melakukan
proses rehabilitasi terhadap kerusakan
apa saja yang terjadi sebelum semuanya
terlambat untuk diperbaiki.
5. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan
agar responden yang diambil lebih
banyak agar hasil yang didapat lebih
maksimal untuk mengetahui sejauh mana
hubungan baik antara Tuhan Sang
Pencipta Seluruh Alam, manusia dan
lingkungan tempat tinggal manusia
dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya.
15 Referensi Syahputra, B. 2007. Ramah Lingkungan Dalam
Pandangan Islam.
http://bennysyah.edublogs.org/2007/01/
06/ramah-lingkungan-dalam-pandangan-islam/ .
Diakses Pada 12 Desember 2007 pukul 02:23 pm
Sofa. 2008. Metode Analisis Isi, Reliabilitas
dan Validitas dalam Metode Penelitian
Komunikasi.
http://massofa.wordpress.com/2008/01/
28/metode-analisis-isi-reliabilitas-dan-validitas-
dalam-metode-penelitian-komunikasi/. Diakses
Pada 11 Desember 2008 Pukul 10.11 am
Yin, R. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode.
Raja Grafindo Persada. Jakarta

- JURNAL 4
a. Latar Belakang Teori dan Tujuan Penelitian
Umumnya nelayan yang ada di Perairan Barat Sulawesi Selatan masih cenderung
menggunakan intuisi atau naluri alamiah yang di dapat secara turun temurun dari nenek
moyang untuk menentukan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Para nelayan
mampu membuat rencana operasi penangkapan ikan akibat perubahan oseanografi atau
cuaca yang sangat mempengaruhi perubahan potensi penangkapan ikan yang dapat
berubah- rubah. Akibatnya usaha penangkapan dengan mencari daerah habitat ikan yang
tidak menentu tersebut mempunyai akibat yang besar yaitu memerlukan biaya bahan
bakar, waktu dan tenaga nelayan yang besar. Selain itu, nelayan seringkali pulang
membawa hasil tangkapan yang sedikit bahkan terkadang kosong, hal ini berpengaruh
terhadap tingkat kesejahteraan nelayan. Kelemahan tersebut pada prinsipnya telah menjadi
perhatian para ahli, terutama untuk memaksimalkan upaya penagkapan R. kanagurta di
negara berkembang (Mustapha et al., 2010). Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan
model simulasi kinesis untuk melihat daerah konsentrasi ikan kembung lelaki
(Rastrelliger kanagurta) di wilayah Perairan Barat Sulawesi Selatan.
b. Metode
Metode yang digunakan adalah menggunakan model kinesis dengan formula numerik dari
Humston et al., (2000) dan Zainuddin (2006). Penelitian ini dilakukan di Propinsi
Sulawesi Selatan, terletak pada 116o48’–122 Bujur Timur dan 0012’-8o Lintang Selatan.
Lokasi Penelitian di pusatkan di Perairan Barat Sulawesi Selatan yang meliputi beberapa
Perairan laut Takalar, Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Pare Pare dan Pinrang. Penelitian
ini dilaksanakan bulan April sampai Mei tahun 2008. Pengambilan data lapangan
dilakukan di perairan Kabupaten Pangkep. Data yang diambil adalah data suhu permukaan
laut, hasil tangkapan, posisi dan waktu penangkapan.
c. Hasil dan Pembahasan
Suhu permukaan laut (SPL) dari satelit Aqua/MODIS digunakan untuk memetakan
distribusi SPL dalam area dengan resolusi 4 km. Dalam penelitian ini suhu optimum dan
standar deviasi dijadikan input pada model kinesis. Hasil penelitian didapatkan bahwa
ikan kembung lelaki (R. kanagurta) umumnya terkonsentrasi pada kisaran suhu
optimumnya dan tersebar merata di perairan Pantai Barat Sulawesi Selatan. Daerah
konsentrasi ikan kembung lelaki (R. kanagurta) hasil model kinesis memiliki hasil yang
sama dengan pola konsentrasi aktualnya di lapangan. Hasil tersebut ditunjukkan oleh peta
konsentrasi ikan dan histogram. Hasil analisis menggunakan simulasi model kinesis
maupun kondisi aktual dilapangan menunjukkan bahwa (R. kanagurta) memiliki pusat
konsentrasi pada kisaran suhu yang sama, yaitu 28,5 oC – 29,5 oC.
e. Lampiran :

1 Judul Penentuan Daerah Konsentrasi Ikan Lelaki


(Rastrelliger kanagurta) dengan Menggunakan Model
Kinesis di Perairan
Pantai Barat Sulawesi Selatan
2 Jurnal Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari
3 Download https://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/308831
4 Volume dan Halaman Vol. 1 No. 1 Hal: 1-8
5 Tahun 2010
6 Penulis Sabrun Jamil, Marsoedi, Soemarno, Sukoso
7 Reviewer Putri Nuraini Delima
8 Tanggal 01 Maret 2021
9 Abstrak Penelitian
-Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model
simulasi kinesis untuk melihat daerah konsentrasi ikan
kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) di wilayah
Perairan Barat Sulawesi Selatan
-Subjek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Propinsi Sulawesi Selatan,
terletak pada 116o48’–122 Bujur Timur dan 0012’-8o
Lintang Selatan. Lokasi Penelitian di pusatkan di
Perairan Barat Sulawesi Selatan yang meliputi
beberapa Perairan laut Takalar, Makassar, Maros,
Pangkep, Barru, Pare Pare dan Pinrang
-Assesment Data Data yang diambil adalah data suhu permukaan laut,
hasil tangkapan, posisi dan waktu penangkapan.
-Kata Kunci Daerah Konsentrasi, Ikan Kembung Lelaki, Model
Kinesis
10 Pendahuluan
-Latar Belakang Umumnya nelayan yang ada di Perairan Barat
dan Teori Sulawesi Selatan masih cenderung menggunakan
intuisi atau naluri alamiah yang di dapat secara turun
temurun dari nenek moyang untuk menentukan daerah
penangkapan ikan (fishing ground). Para nelayan
mampu membuat rencana operasi penangkapan ikan
akibat perubahan oseanografi atau cuaca yang sangat
mempengaruhi perubahan potensi penangkapan ikan
yang dapat berubah- rubah. Akibatnya usaha
penangkapan dengan mencari daerah habitat ikan yang
tidak menentu tersebut mempunyai akibat yang besar
yaitu memerlukan biaya bahan bakar, waktu dan tenaga
nelayan yang besar. Selain itu, nelayan seringkali
pulang membawa hasil tangkapan yang sedikit bahkan
terkadang kosong, hal ini berpengaruh terhadap tingkat
kesejahteraan nelayan. Kelemahan tersebut pada
prinsipnya telah menjadi perhatian para ahli, terutama
untuk memaksimalkan upaya penagkapan R.
kanagurta di negara berkembang (Mustapha et al.,
2010). Mencermati masalah tersebut, maka perludilakukan
suatu penelitian tentang pola
konsentrasi ikan dari satu tempat ke tempat
yang lain (distribusi spasial) dan dari waktu ke waktu
(distribusi temporal). Pengetahuan tentang pola
konsentrasi ikan kembung lelaki
(R. kanagurta) diharapkan akan lebih meningkatkan
efektifitas dan efisiensi penangkapan ikan kembung
lelaki (R. kanagurta) oleh nelayan. Pemahaman
mengenai pola konsentrasi ikan kembung lelaki (R.
kanagurta) akan memperlihatkan daerah penangkapan
ikan yang potensial akan dengan plot lebih spesifik.
Hal ini akan mengurangi waktu pencarian dan bahan
bakar sehingga diharapkan akan memberikan
keuntungan yang lebih besar pada nelayan.
11 Metode penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder yang
dikumpulkan melalui observasi langsung di
lapangan, penginderaan jauh melalui satelit dan
pengumpulan data dari instansi terkait.
Data Primer adalah data hasil pengamatan
langsung di lapangan dengan terlibat langsung pada
operasi penangkapan ikan. Pengumpulan data primer
meliputi: Pengukuran suhu, pencatatan data hasil
tangkapan, pencatatan posisi (lintang dan bujur), dan
pencatatan waktu pengambilan.
Data sekunder yang digunakan diantaranya
adalah data sebaran kandungan suhu permukaan laut
dan jumlah tangkapan ikan
kembung lelaki (R. kanagurta) sekaligus jumlah upaya
penangkapannya. Data sebaran suhu permukaan laut
diperoleh dari internet dengan cara mengunduh
(download) pada alamat website:
http://modis.gsfc.nasa.gov/. Data hasil tangkapan ikan
kembung dapat diperoleh dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan.
-Langkah Penelitian Pada penelitian ini, pola konsentrasi ikan
kembung lelaki (R. kanagurta) diidentifikasi
dengan menggunakan simulasi model kinesis.
Penggunaan teknik ini pada simulasi pola konsentrasi
ikan, sangat dimungkinkan mengkode tingkah laku
ikan kembung lelaki
(R. kanagurta) secara matematis untuk menentukan
probabilitas ikan berbelok atau berbalik arah. Hal ini
sudah dibuktikan oleh Humston et al., (2000) yang
melihat pola migrasi ikan tuna di perairan Atlantik; dan
Zainuddin (2006) diperairan Laut Utara Pasifik.
-Hasil Penelitian Suhu permukaan laut (SPL) dari satelit
Aqua/MODIS digunakan untuk memetakan
distribusi SPL dalam area dengan resolusi 4 km.
Dalam penelitian ini suhu optimum dan standar
deviasi dijadikan input pada model kinesis. Hasil
penelitian didapatkan bahwa ikan kembung lelaki
(R. kanagurta) umumnya terkonsentrasi pada
kisaran suhu optimumnya dan tersebar merata di
perairan Pantai Barat Sulawesi Selatan. Daerah
konsentrasi ikan kembung lelaki (R. kanagurta)
hasil model kinesis memiliki hasil yang sama
dengan pola konsentrasi aktualnya di lapangan.
Hasil tersebut ditunjukkan oleh peta konsentrasi
ikan dan histogram. Hasil analisis menggunakan
simulasi model kinesis maupun kondisi aktual
dilapangan menunjukkan bahwa (R. kanagurta)
memiliki pusat konsentrasi pada kisaran suhu yang
sama, yaitu 28,5 oC – 29,5 oC.

-Diskusi Penelitian Perbandingan hasil histogram hasil model


kinesis dengan histogram dari data hasil
tangkapan ikan, dapat diketahui tingkat
kefektifan dari model kinesis. Sebagai contoh,
histogram dari SPL yang dijalankan model kinesis
pada bulan April menunjukkan bahwa konsentrasi ikan
kembung lelaki tertinggi ditemukan pada perairan
dengan SPL terkonsentrasi pada 28,5 oC – 29,5 oC.
Nilai ini sama dengan SPL pada hasil tangkapan
dilapangan yang memiliki pusat konsentrasi pada suhu
yang sama yaitu 28,5 oC – 29,5 oC. Kedua Histogram
konsisten pada kisaran SPL yang disukai oleh ikan
kembung lelaki baik dari hasil model kinesis maupun
dari hasil tangkapan di lapangan. Perbandingan hasil
model kinesis dengan
data hasil lapangan yang cenderung memiliki
kesamaan, yaitu ikan kembung lelaki
terkonsentrasi pada SPL yang sama, maka hal ini dapat
menjadi pertimbangan bahwa model kinesis dapat
digunakan untuk melihat pola konsentrasi ikan
kembung lelaki. Walaupun model kinesis tidak selalu
bisa menampilkan pusat konsentrasi ikan kembung
lelaki dengan tepat pada suhu optimumnya, tetapi pada
umumnya masih dalam kisaran sekitar suhu optimum
ikan kembung lelaki.
-Daftar Pusaka Jamil, Sabrun. Dkk. 2010. Penentuan Daerah
Konsentrasi Ikan Lelaki (Rastrelliger kanagurta)
dengan Menggunakan Model Kinesis di Perairan
Pantai Barat Sulawesi Selatan. Jurnal Pembangunan
dan Kosentrasi. Vol. 1(1). 1-8
12 Analisis Jurnal
-Kekuatan Penelitian 1. Jurnal tersebut sudah memiliki
dasar-dasar elemen yang benar.
2. Lengkap nya identitas jurnal.
3. Adanya pendapat – pendapat atau
teori dari beberapa ahli, sehingga
lebih akurat.
4. Dilengkapi dengan table dan grafik
sebagai hasil penelitian.

-Kelemahan Penelitian Pembahasan dijurnal ini sulit dimengerti karna


kebanyakan menggunakan angka angka dan persen,
banyak menggunakan kata bahasa inggris
13 Kesimpulan Ikan kembung lelaki (R. kanagurta)
umumnya terkonsentrasi pada kisaran suhu
optimumnya dan tersebar merata di perairan
Pantai Barat Sulawesi Selatan. Pola konsentrasi ikan
kembung lelaki (R. kanagurta) hasil model kinesis
memiliki hasil yang sama dengan pola konsentrasi
aktualnya di lapangan. Hasil tersebut ditunjukkan oleh
peta konsentrasi ikan dan histogram. Hasil analisis
menggunakan
simulasi model kinesis maupun kondisi actual
dilapangan menunjukkan bahwa (R. kanagurta)
memiliki pusat konsentrasi pada kisaran suhuyang
sama, yaitu 28,5 oC – 29,5 oC. Rastrelliger kanagurta
yang terkonsentrasi hampir merata pada semua
perairan sepanjang tahun, menunjukkan bahwa
perairan Pantai Barat Sulawesi Selatan adalah daerah
penangkapan yang baik bagi nelayan setempat untuk
melakukan penangkapan ikan kembung lelaki. Model
kinesis dapat digunakan untuk memprediksi
pola konsentrasi ikan kembung lelaki, karena out put
yang didapatkan sama dengan kondisi aktual
dilapangan.
14 Saran Meskipun simulasi model kinesis sudah dapat
menjelaskan tentang pola konsentrasi ikan kembung
lelaki (R. kanagurta), namun
hendaknya pada penelitian yang sama digunakan
resolusi yang lebih tinggi (1 km),
agar hasil yang didapatkan lebih maksimal.
15 Referensi BPS Sulsel. 2007. Sulawesi Selatan dalam Angka.
Badan Pusat Statistika Provinsi Sulawesi Utara.
Makasar.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset
Pembangunan Berkelajutan Indonesia. Gramedia.
Jakarta.
Humston, R., J.S. Ault, M. Lutcavage, D.B. Olson.
2000. Schooling and Migration of Large Pelagic Fishes
Relative to Environmental Cues. Fish. Oceanogr.
9:136-146.
Mustapha, A.M., Y.L. Chan, T. Lihan. 2010.
Mapping of Potential Fishing Grounds of
Rastrelliger Kanagurta (Cuvier, 1817)
using Satellite Images. Working paper Map
Asia 2010 & ISG 2010: Connecting
Government and Citizen trough ubiquitous
GIS. Kuala Lumpur.

- JURNAL 5
A. Latar Belakang Teori dan Tujuan Penelitian
Jagung manis merupakan komoditi sayuran berupa tongkol yang dibutuhkan
segera setelah panen, agar kandungan gulanya tidak menurun. Rasa yang manis dan
kandungan gizi yang tinggi, menyebabkan permintaan terhadap komoditi ini cukup
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari permintaan hotel dan restoran yang semakin
meningkat, serta kebutuhan untuk ekspor terus meningkat.
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (1990) menunjukkan bahwa tahun 1989
ekspor jagung manis 2.154.800 kg dan tahun 1990 meningkat menjadi 3.094.417 kg.
Hasil jagung manis di Indonesia juga masih tergolong rendah yaitu 3 tonha -1 tongkol
segar, dibandingkan dengan hasil jagung manis di lembah Australia yaitu 7–10 tonha -1
(Lubach, 1980).
Peningkatan kesadaran manusia terhadap kelemahan penggunaan pupuk kimia
sintetis yang tidak tepat dan berlebihan, dan sebagian besar hasil per-tanian diangkut
keluar, tanpa adanya usaha pengembalian sebagian sisa panen ke dalam tanah, maka
kandungan bahan organik semakin rendah, terutama pada tanah-tanah pertanian yang
diusakan secara intensif, akibatnya terjadi penurunan kesuburan tanah. Syekhfani
(1993), menyatakan bahwa pertanian secara konvensional berusaha memacu produksi
sebanyak-banyaknya, tanpa ada usaha pengembalian sisa panen kembali ke tanah,
sehingga kesuburan tanah menurun. Upaya untuk mengembalikan kesuburan ini
membutuhkan masa bera (masa istirahat) dalam jangka waktu yang lama dan input
yang tidak sedikit.
Penggunaan pupuk organik, yang berasal dari pupuk kandang atau pupuk hijau
memberikan hasil panen padi yang sama dengan pupuk anorganik.
Pemberian pupuk organik ke dalam tanah, mempunyai beberapa kendala yang harus
diperhatikan dalam meningkatkan produksi suatu tanaman. Selain dipengaruhi oleh
jumlah, kualitas, cara pemberian, dan keadaan lingkungan, keberhasilan pemberian
pupuk organik juga dipengaruhi oleh waktu pemberian, hal ini berhubungan dengan
tingkat sinkronisasi (Handayanto, 1999).
Penggunaan pupuk organik terhadap penyediaan hara dan perbaikan kesuburan tanah
dalam rangka mempertahankan pro-duktifitas tanah untuk mendukung produksi
tanaman sangat diperlukan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan tingkat pertumbuhan dan hasil
jagung manis yang diberi pupuk berbagai macam pupuk organik pada saat yang
berbeda dan untuk mendapatkan hasil yang terbaik pada jenis dan waktu pemberian
pupuk organik, serta untuk melihat residu pupuk organik dan anorganik terhadap
ameliorasi kesuburan tanah.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru, Kodya
Malang, dengan ketinggian tempat ± 550 m di atas permukaan laut, dan suhu harian
20–30 oC, dengan jenis tanah alluvial, dengan kandungan C-organik 1,25%.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan tujuh perlakuan
yang diulang empat kali, yaitu G. sepium diberikan seminggu sebelum tanam (GO1),
G. sepium diberikan dua minggu sebelumtanam (GO2), T. diverisfolia diberikan
seminggu sebelum tanam (TO1), T. diversifolia diberikan dua minggu sebelum tanam
(TO2), pupuk kotoran sapi diberikan seminggu sebelum tanam (KO 1), pupuk kototran
sapi diberikan dua minggu sebelum tanam (KO2), dan pupuk anorganik (A).

C. Hasil dan Pembahasan


Perlakuan pupuk hijau dibandingkan dengan pupuk kotoran sapi, pupuk organik yang
diberikan seminggu dibandingkan dengan dua minggu sebelum tanam, mem-berikan
pengaruh yang tidak berbeda terhadap luas daun, bobot kering, tingkat luas daun, laju
pertumbuhan tanaman, dan hasil jagung manis, kecuali antar perlakuan pupuk hijau,
yaitu Tithonia diversifolia dibandingkan dengan Glyricidia sepium berbeda nyata.
Pemberian pupuk kotoran sapi (K) tidak berbeda nyata dengan pupuk hijau (G.
sepium dan T. diversifolia) terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Hal tersebut
diduga karena kedua kelompok pupuk tersebut merupakan pupuk organik yang
berkualitas tinggi, sehingga proses dekomposisi dan mineralisasinya akan berjalan
seimbang, dan akan melepaskan hara atau nutrisi kepada tanaman juga sama, dan
sebagai akibatnya memberikan pertumbuhan dan hasil yang relatif sama.
Pertumbuhan dan hasil jagung manis yang diberi pupuk organik tidak berbeda dengan
anorganik. Hasil bobot segar tongkol secara berturut-turut adalah T. diversifolia
seminggu sebelum tanam (8,5 tonha-1), pupuk kotoran sapi seminggu sebelum tanam
(8,2 tonha-1), pupuk anorganik (8,1 tonha-1), perlakuan T. diversifolia dua minggu
sebelum tanam(7,0 tonha-1), pupuk kotoran sapi dua minggu sebelum tanam (6,8
tonha-1), G. sepium dua minggu sebelum tanam (6,0tonha-1) dan G. sepium seminggu
sebelum tanam (5,5 tonha-1). Perbandingan antara pupuk kandang dengan pupuk hijau
memberikan pengaruh yang relatif sama, kecuali perbandingan antara pupuk hijau,
yaitu T. diversifolia dengan G. sepium. T. diversifolia menghasilkan bobot
segartongkol 7,9 tonha-1, sedangkan G. sepium menghasilkan 5,7 tonha-1.
Pertumbuhan dan hasil jagung manis pada masing-masing jenis pupuk organik, pada
saat pemberian seminggu dan dua minggu sebelum tanam relatif sama. Pemberian
pupuk organik memberikan sumbangan yang lebih tinggi dalam hal simpanan
terhadap ameliorasi kesuburan tanah pada residu akhir panen dibandingkan pupuk
anorganik, dan diantara pupuk organik G.sepium memberikan sumbangan
yangtertinggi.

D. Lampiran

1 Judul Metode Budidaya Organik TanamanJagung Manis di Tlogomas, Malang

2 Jurnal Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari

3 Download https://garuda.ristekbrin.go.id/journal/view/7340?page=1&issue=Vol%201.%20No%201%20(2010).
4 Volume dan Vol. 1 Hal. 2087 - 3522
Halaman
5 Tahun 2010
6 Penulis Muhammad Martajaya, Lily Agustina, Syekhfani

7 Reviewer Ardia Cahyaning Heryanti


8 Tanggal 02 Maret 2021
9 Abstrak
Penelitian
-Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan tingkat pertumbuhan dan hasil jagung manis
Penelitian yang diberi pupuk berbagai macam pupuk organik pada saat yang berbeda dan untuk mendapatkan
hasil yang terbaik pada jenis dan waktu pemberian pupuk organik, serta untuk melihat residu pupuk
organik dan anorganik terhadap ameliorasi kesuburan tanah.

-Subjek
Penelitian
-Assesment
Data
-Kata Kunci Glyricidia sepium,jagung manis, kotoran sapi,Tithonia diversifolia
10 Pendahuluan
-Latar Jagung manis merupakan komoditi sayuran berupa tongkol yang dibutuhkan segera setelah panen,
Belakang agar kandungan gulanya tidak menurun. Rasa yang manis dan kandungan gizi yang tinggi,
menyebabkan permintaan terhadap komoditi ini cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari permintaan
dan Teori
hotel dan restoran yang semakin meningkat, serta kebutuhan untuk ekspor terus meningkat.
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (1990) menunjukkan bahwa tahun 1989 ekspor jagung
manis 2.154.800 kg dan tahun 1990 meningkat menjadi 3.094.417 kg. Hasil jagung manis di
Indonesia juga masih tergolong rendah yaitu 3 tonha -1 tongkol segar, dibandingkan dengan hasil
jagung manis di lembah Australia yaitu 7–10 tonha-1 (Lubach, 1980).
Peningkatan kesadaran manusia terhadap kelemahan penggunaan pupuk kimia sintetis yang tidak
tepat dan berlebihan, dan sebagian besar hasil per-tanian diangkut keluar, tanpa adanya usaha
pengembalian sebagian sisa panen ke dalam tanah, maka kandungan bahan organik semakin rendah,
terutama pada tanah-tanah pertanian yang diusakan secara intensif, akibatnya terjadi penurunan
kesuburan tanah. Syekhfani (1993), menyatakan bahwa pertanian secara konvensional berusaha
memacu produksi sebanyak-banyaknya, tanpa ada usaha pengembalian sisa panen kembali ke tanah,
sehingga kesuburan tanah menurun. Upaya untuk mengembalikan kesuburan ini membutuhkan masa
bera (masa istirahat) dalam jangka waktu yang lama dan input yang tidak sedikit.
Penggunaan pupuk organik, yang berasal dari pupuk kandang atau pupuk hijau memberikan hasil
panen padi yang sama dengan pupuk anorganik.
Pemberian pupuk organik ke dalam tanah, mempunyai beberapa kendala yang harus diperhatikan
dalam meningkatkan produksi suatu tanaman. Selain dipengaruhi oleh jumlah, kualitas, cara
pemberian, dan keadaan lingkungan, keberhasilan pemberian pupuk organik juga dipengaruhi oleh
waktu pemberian, hal ini berhubungan dengan tingkat sinkronisasi (Handayanto, 1999).
Penggunaan pupuk organik terhadap penyediaan hara dan perbaikan kesuburan tanah dalam rangka
mempertahankan pro-duktifitas tanah untuk mendukung produksi tanaman sangat diperlukan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan tingkat pertumbuhan dan hasil jagung manis
yang diberi pupuk berbagai macam pupuk organik pada saat yang berbeda dan untuk mendapatkan
hasil yang terbaik pada jenis dan waktu pemberian pupuk organik, serta untuk melihat residu pupuk
organik dan anorganik terhadap ameliorasi kesuburan tanah.

11 Metode
penelitian
-Langkah Pengolahan tanah dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan cara mencangkul sedalam lapis
olah, sehingga tanah menjadi gembur. Kemudian dibuat petak dengan ukuran panjang 2,8 m dan
Penelitian lebar 6,0 m, tinggi petak 50 cm, jarak antar petak 50 cm, dan jarak antar blok 80 cm.
Pemberian pupuk organik disesuaikan dengan perlakuan, pemupukan dilakukan dengan cara sebar,
dan merata setiap bedengan, kemudian dibenamkan dalam tanah. Pupuk hijau sebelum dibenamkan
dipotong-potong dalam bentuk segar dengan ukuran lk 2-3 cm, sedangkan kotoran sapi diberikan
dalam bentuk kompos. Dosis masing-masing pupuk organik ditentukan berdasarkan rekomendasi
dosis N tiap ha pupuk urea untuk jagung manis super sweetcorn dari PT BISI dan kandungan N
tanah,sehinga didapatkan dosis untuk Glyricidiasepium7tonha-1, Tithoniadiversifolia6 tonha-1, dan
pupuk kotoran sapi 25 ton ha-1. Pemberian pupuk anorganik diberikan sesuai dengan rekomendasi
pemupukan tanaman jagung manis, yaitu pupuk urea 300 kgha -1, SP-36 100 kg dan KCl 50 kgha -1,
pupuk urea diberikan tiga kali, yaitu ⅓ bagian bersamaan dengan SP-36 dan KCl pada saat
tanam, ⅓ bagian diberikan pada umur 21 hari setelah tanam, dan ⅓ bagian lagi diberikanpada umur
35 hari setelah tanam

-Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan hasil jagung manis yang diberi pupuk
anorganik tidak berbeda nyata dengan pupuk organik (G. sepium, T. diversifolia, dan kotoran sapi).
Penelitian Hasil bobot segar tongkol masing-masing perlakuan adalah TO1 8,5 tonha-1, KO1 8,2 tonha-1, A 8,1
tonha-1, TO2 7,0 tonha-1, KO2 6,8 tonha-1, GO2 6,0 tonha-1 dan GO1 5,5 tonha-1. Pupuk Organik
memberikan simpanan terhadap ameliorasi kesuburan tanah yang lebih tinggi dibandingkan pupuk
anorganik, sedangkan diantara pupuk organik, G. sepium meskipun hasilnya rendah, tetapi
memberikan sumbangan residu pada tanah yang tertinggi. Selain hasil tongkol segar, nilai ekonomis
budidaya jagung manis juga diperoleh dari brangkasan segar sebagai pakan ternak, hasil tertinggi
berturut-turut diperoleh pada perlakuan Tithonia diverisifolia, pupuk kotoran sapi yang diberikan
seminggu sebelum tanam, serta pupuk anorganik masing-masing sebesar 11,4; 11,2; dan 10,0 tonha -
1
.

-Diskusi
Penelitian
-Daftar
Pusaka
12 Analisis
Jurnal
-Kekuatan  Penulisan judul jurnal, nama penulis dan cara penulisan nama perguruan tinggi sudah benar.
Penelitian  Tata cara penulisan abstrak sudah baik karena penulis sudah dapat memberikan gambaran
menyeluruh tentang isi jurnal.
 Referensi yang digunakan peneliti sudah cukup baik dan terbaru
 Jurnal tersebut sudah memiliki dasar-dasar elemen yang benar
 Adanya pendapat – pendapat atau teori dari beberapa ahli, sehingga pembaca bisa memahami
teori tersebut.

-Kelemahan  Hanya sedikit kelemahan yang ada di jurnal tersebut, Jenis hurufnya sedikit berantakan
Penelitian  Sedikitnya teori yang bisa menjelaskan secara rinci.

13 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persepsi masyarakat terhadap pekarangan rumah dan
keberadaan tanaman apel di pekarangan rumah adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya
tingkat penge-tahuan dan sikap masyarakat terhadap pekarangan rumah. Tingginya persepsi
masyarakat ini berdampak positif terhadap usaha pengelolaan tanaman apel yang akan
mempengaruhi karakter pertumbuhan apel. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap karakter
tanaman apel diketahui bahwa sebagian besar jumlah tunas (85%) dan bunga (55%) tanaman apel
yang tumbuh setelah dipangkas adalah tinggi, 55,5% tanaman apel ditemukan dalam bentuk perdu,
keadaan tanaman sehat, tidak terdapat anakan dan 52% dalam keadaan berbuah. Hasil analisis
ANOVA menunjukkan bahwa umur tanaman tidak berpengaruh secara nyata terhadap tinggi
tanaman dan diameter batang bawah tanaman apel. Berdasarkan karakter pertumbuhan tanaman
apel tersebut diketahui bahwa sebagian besar tanaman apel dalam keadaan baik. Tingginya tingkat
persepsi masyarakat dan pengelolaan tanaman apel di Desa Gubug

14 Saran Pemberian pupuk organik dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti pemupukan anorganik
dalam budidaya jagung manis dan sekaligus dalam memperbaiki kesuburan tanah. Tithonia
diversifolia dan kotoran sapi yang dibenamkan seminggu sebelum tanam memberikan nilai tambah
ekonomi yang lebih tinggi (11,4 dan 11,2 tonha-1) dibandingkan pupuk anorganik (10,0 tonha-1)
terhadap limbah jagung manis berupa brangkasan segar untuk pakan ternak. Perlu dilakukan
penelitian yang sama, dengan dua musim tanam yang berurutan. Selain itu
15 Referensi Handayanto,E. 1999. Komponen Biologi Tanah Sebagai Bioindikator Kesehatan dan Produktivitas
Tanah. Pidato pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Biologi Tanah pada Fakultas
Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang.
Karama, A.S., A.R. Marzuki, I. Marwan. 1994. Penggunaan pupuk organik pada tanaman pangan.
Simposium Horti-kultura Nasional. Jakarta.
Myers, R. J. K., C. A. Palm., E. Cuevas., I. V. N. Gunatileke, M. Bbrossard. 1997. The
Syncronisation of Nutrient Mine-ralization and Plant Nutrient Demand in Management of
Tropical Soil Fertil-lity. Agronomy Journal. 87:642-648.

Palm, C.A., P.A. Sanchez. 1991. Nitrogen Release from the Leaves of some Tropical Legumes as
Affected by Their Lignin and Polypenolic Contens. Journal of Biology and Biochemistry
23:83-88.
Pratikno,H. 2002. Studi Pemanfaatan Berbagai Biomassa Flora Untuk Penigkatan Ketersediaan P
dan Bahan Organik Tanah Pada Tanah Berkapur Di Das Brantas Hulu Malang Selatan. Tesis.
Program Pascasarjana Univer-sitas Brawijaya. Malang.
Purwanto, H. 1997. Penambahan Berbagai Dosis Pangkasan Daun Tanaman Gamal (Gilricidia
sepium) untuk Penurunan Konsentasi Alumunium Inorganik Monomerik pada Ultisol
Lampung dan Gajrug: Hubungan antara Konsentrasi Alumunium monomerik dengan Per-
tumbuhan Perakaran Tanaman Jagung (Zea mays). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. Malang.

Suntoro, Syekhfani, E. Handayanto, Sumarno. 2001. Penggunaan Bahan Pangkasan ‘Krinyu’


(Chromolaena odorata) dan ‘Gamal’ (Glyricidia sepium) Untuk Meningkatkan Ketersediaan
P, K, Ca dan Mg pada Oxic Dystrudept. Agrivita. 23 (1):20–26

Syekhfani. 1993. Pengaruh Sistem Pola Tanam terhadap Kandungan PUPUK Organik dalam
Mempertahankan Kesuburan Tanah. Makalah disajikandalamSeminar Nasional IV Budidaya
Pertanian Olah Tanah Konservasi di UNILA.Bandar Lampung.

- JURNAL 6
A. Latar Belakang Teori dan Tujuan Penelitian
Apel (Malus sylvestris) merupakan salah satu keanekaragaman hayati Indonesia
yang tumbuh di wilayah Malang dan sekitarnya.Apel tumbuh di Indonesia karena
introduksi yang dilakukan oleh bangsa Eropa pada masa penjajahan.Sentra
pertanian apel di Jawa Timur hanya terdapat di Malang dan sekitarnya.Apel
dibudidayakan secara intensif di Malang sejak tahun 1960 sebagai komoditas
buah-buahan yang digemari masyarakat. Beberapa kultivar apel yang telah
dibudidayakan di Malang dan sekitarnya adalah rome beauty, anna, manalagi, dan
princes noble. Di kawasan Malang dan sekitarnya apeldibudidayakan secara luas
baik di kebun maupun di pekarangan rumah (Hakim & Siswanto, 2010).
Meskipun apel telah memainkan peran penting dalam pendapatan petani dan
secara strategis berperan dalam penciptaan image Malang sebagai Kota Apel,
tetapi kondisi populasi apel saat ini mengalami degradasi yang cukup signifikan.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa saat ini produksi dan populasi apel
mengalami penurunan. Penurunan produksi dan populasi apel disebabkan alih
fungsi lahan apel menjadi lahan tanaman lain misalnya lahan bunga potong(Cook,
2006). Di Desa Pandansari, lahan-lahan apel tidak dirawat dengan baik dan mulai
beralih fungsi menjadi lahan tebu dan jagung. Menurut survei yang dilakukan
Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Muham-madiyah Malang (LPM
UMM) tahun 2008, pergeseran ini banyak disebabkan oleh mahalnya biaya
perawatan apel yang tidak diimbangi oleh harga hasil panen yang menguntungkan
petani.Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh petani tidak sesuai dengan
pendapatan yang diterima. Penurunan produksi dan populasi apel merupakan
sebuah ancaman bagi eksistensi apel sebagai salah satu bentuk keanekaragaman
hayati Indonesia dan image Malang sebagai kota apel. Konservasi apel menjadi
sangat penting untuk mengatasi hal tersebut.
Penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi masyarakat terkait tanaman apel di
pekarangan rumah penduduk Desa Gubug Klakah, Malang.

B. Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada November 2009 hingga Juli 2010.Observasi
lapang dilaksanakan pada Februari 2010.Pengambilan data dilaksanakan di Desa
Gubug Klakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.Pengolahan dan
analisis data dilaksanakan di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang.
Studi pendahuluan yang dilakukan meliputi perizinan, studi literatur demografi
desa, menentukan responden dan menguji validitas dan reliabilitas draft kuisioner.
Kegiatan studi pendahuluan dilakukan melalui kunjungan ke balai desa, rumah
pejabat desa, dan rumah penduduk.Hal ini bertujuan untuk mengadakan
pendekatan kepada masyarakat dan mendapat-kan informasi yang diinginkan.
Responden dalam penilitian ini adalah warga yang memiliki tanaman apel di
pekarangan rumah dan yang tidak memiliki tanaman apel di pekarangan rumah
dengan kriteria umur 17-30 tahun, 31-44 tahun dan 45-60 tahun.Jumlah responden
adalah 60 orang, dan dalam satu kepala keluarga hanya diambil satu responden.
Data hasil kuisioner dianalisis secara deskriptif berdasarkan jenis data.Analisis
statistik deskriptif dilakukan dengan menggunakan program komputer
MicrosoftExcel for Windows, sedangkan data hasilkuisioner dianalisis dengan
rumus.

C. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan data hasil wawancara diketahui bahwa keinginan masyarakat untuk
meremajakan kembali tanaman apel sangat tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bahwa 91,2% penduduk bersedia menanam kembali tanaman apel di
pekarangan rumah dan 8,8% responden tidak bersedia menanam kembali tanaman
apel dengan alasan tanaman apel mengahalangi cahaya matahari masuk ke dalam
rumah. Hal ini menunjukkan adanya potensi konservasi tanaman apel dengan
melibatkan penduduk. Berdasarkan hal tersebut, usaha untuk mempertahankan
icon Malang sebagai kota apel akan sangat mudah dilakukan.
Pelestarian dan perawatan tanaman apel juga didasari atas manfaat yang diperoleh
dari tanaman tersebut.Menurut responden manfaat tanaman apel di pekarangan
rumah adalah sebagai hiasan (83%) dan memberikan manfaat ekonomi (70%).
Pemanfaatan tanaman apel di pekarangan rumah sebagai hiasan (estetis) dapat
dilihat dari bentuk tanaman apel yang kerdil (bonsai)
D. Lampiran

1 Judul Konservasi Apel (Malus sylvestris) di Pekarangan Rumah Desa


Gubuk Klakah, Poncokusumo Malang

2 Jurnal Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari

3 Download https://garuda.ristekbrin.go.id/journal/view/7340?page=1&issue=Vol
%201.%20No%201%20(2010).
4 Volume dan Vol. 1 Hal. 2087 - 3522
Halaman
5 Tahun 2010
6 Penulis Hanin Niswatul Fauziah, Luchman Hakim, Rodliyati Azrianingsih

7 Reviewer Ardia Cahyaning Heryanti


8 Tanggal 02 Maret 2021
9 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi masyarakat terkait tanaman
apel di pekarangan rumah penduduk Desa Gubug Klakah, Malang.
Penelitian Persepsi masyarakat diketahui melalui kegiatan wawancara semi
terstruktur dan pembagian kuisioner kepada responden yang terdiri dari
key person dan perwakilan masyarakat yang dipilih secara acak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai persepsi yang baik
terhadap pekarangan rumah dan tanaman apel di pekarangan rumah.
Masyarakat menyatakan bahwa keberadaan apel terkait dengan manfaat
dan fungsi ekonomi, ekologik, sosial dan peningkatan kualitas lingkungan
tempat tinggal. Persepsi masyarakat yang tinggi berdampak positif
terhadap usaha pengelolaan tanaman apel di pekarangan rumah.
-Tujuan Penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi masyarakat terkait tanaman
Penelitian apel di pekarangan rumah penduduk Desa Gubug Klakah, Malang.

-Subjek Responden dalam penilitian ini adalah warga yang memiliki tanaman apel
Penelitian di pekarangan rumah dan yang tidak memiliki tanaman apel di pekarangan
rumah dengan kriteria umur 17-30 tahun, 31-44 tahun dan 45-60 tahun.
Jumlah responden adalah 60 orang, dan dalam satu kepala keluarga hanya
diambil satu responden.
-Assesment Data hasil kuisioner dianalisis secara deskriptif berdasarkan jenis data.
Data Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan menggunakan program
komputer MicrosoftExcel for Windows, sedangkan data hasilkuisioner
dianalisis dengan rumus.
-Kata Kunci apel, etnobotani, pekarangan, persepsi.

10 Pendahuluan
-Latar Apel (Malus sylvestris) merupakan salah satu keanekaragaman hayati
Belakang Indonesia yang tumbuh di wilayah Malang dan sekitarnya. Apel tumbuh
di Indonesia karena introduksi yang dilakukan oleh bangsa Eropa pada
dan Teori
masa penjajahan. Sentra pertanian apel di Jawa Timur hanya terdapat di
Malang dan sekitarnya. Apel dibudidayakan secara intensif di Malang
sejak tahun 1960 sebagai komoditas buah-buahan yang digemari
masyarakat. Beberapa kultivar apel yang telah dibudidayakan di Malang
dan sekitarnya adalah rome beauty, anna, manalagi, dan princes noble. Di
kawasan Malang dan sekitarnya apeldibudidayakan secara luas baik di
kebun maupun di pekarangan rumah (Hakim & Siswanto, 2010).
Meskipun apel telah memainkan peran penting dalam pendapatan petani
dan secara strategis berperan dalam penciptaan image Malang sebagai
Kota Apel, tetapi kondisi populasi apel saat ini mengalami degradasi yang
cukup signifikan. Berbagai literatur menyebutkan bahwa saat ini produksi
dan populasi apel mengalami penurunan. Penurunan produksi dan
populasi apel disebabkan alih fungsi lahan apel menjadi lahan tanaman
lain misalnya lahan bunga potong (Cook, 2006). Di Desa Pandansari,
lahan-lahan apel tidak dirawat dengan baik dan mulai beralih fungsi
menjadi lahan tebu dan jagung. Menurut survei yang dilakukan Lembaga
Pengabdian Masyarakat Universitas Muham-madiyah Malang (LPM
UMM) tahun 2008, pergeseran ini banyak disebabkan oleh mahalnya
biaya perawatan apel yang tidak diimbangi oleh harga hasil panen yang
menguntungkan petani. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh petani
tidak sesuai dengan pendapatan yang diterima. Penurunan produksi dan
populasi apel merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi apel sebagai
salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia dan image Malang
sebagai kota apel. Konservasi apel menjadi sangat penting untuk
mengatasi hal tersebut.

11 Metode
penelitian
-Langkah Persepsi masyarakat diketahui dengan melakukan serangkaian
wawancara semi terstruktur dan pembagian kuisioner kepada responden
Penelitian yang telah diuji validitas danreliabilitas. Pertanyaan yang terdapat pada
materi kuisioner tersebut disusun berdasarkan aspek persepsi yaitu
pengetahuan dan sikap.
Materi kuisioner ini dibagi menjadi dua yaitu persepsi masyarakat
terhadap pekarangan rumah, dan persepsi masyarakat terhadap tanaman
apel di pekarangan rumah. Setiap pertanyaan dalam kuisioner diberikan
jawaban berjenjang dengan menggunakan skala Likert (Lampiran1).

-Hasil Berdasarkan data hasil wawancara diketahui bahwa keinginan masyarakat


Penelitian untuk meremajakan kembali tanaman apel sangat tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bahwa 91,2% penduduk bersedia menanam kembali
tanaman apel di pekarangan rumah dan 8,8% responden tidak bersedia
menanam kembali tanaman apel dengan alasan tanaman apel
mengahalangi cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hal ini
menunjukkan adanya potensi konservasi tanaman apel dengan melibatkan
penduduk. Berdasarkan hal tersebut, usaha untuk mempertahankan icon
Malang sebagai kota apel akan sangat mudah dilakukan.
Pelestarian dan perawatan tanaman apel juga didasari atas manfaat yang
diperoleh dari tanaman tersebut. Menurut responden manfaat tanaman apel
di pekarangan rumah adalah sebagai hiasan (83%) dan memberikan
manfaat ekonomi (70%). Pemanfaatan tanaman apel di pekarangan rumah
sebagai hiasan (estetis) dapat dilihat dari bentuk tanaman apel yang kerdil
(bonsai).

-Diskusi
Penelitian
-Daftar Cook. 2006. Kematian Industri Apel di Batu. Program ACICIS. Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Universitas Muhammadyah. Malang.
Pusaka
Fontessa. 2008. Analisis Logo Sabun Dove. Makalah disajikan pada
Seminar Hasil Penelitian di Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia. Jakarta.
Hakim, L., N. Nakagoshi. 2007. Plant Species Composition in Home
Garden in the Tengger Highland (East Java, Indonesia) and its
Importantce for Regional Ecotourism planning. Hikobia. 15:23-36.
Hakim, L., D. Siswanto. 2010. Status Apel Lokal Malang (Jawa Timur)
dan Strateginya Konservasinya lewat Pengembangan Agrowisata.
hal. 399-403. Prosiding 7thBasic Science National Seminar.
Vol.1.Jurusan Biologi. Universitas Brawijaya. Malang.
LPM UMM. 2008. Tingkatkan Produksi Apel Malang. Gemari. Edisi 94,
tahun IX.
Rookes, P.,J. Willson. 2000. Perception, Theory, Development and
Organisation. Routledge. London.
Sueca, B.P., Primayatna, I.B.G., Muliawan S.K., Nada, W., Wastika, D.
2001. Faktor-Faktor Determinan Pengetahuan dan Persepsi
Masyarakat tentang Bangunan Berlanggam Bali. Makalah disajikan
di Jurusan Arsitektur, Faktultas Teknik, Universitas Udayana. Bali.
Sumarmi. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ruang
Terbuka Hijau Pemukiman di Kota Malang. Makalah disajikan di
Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Toswari. 2008. Uji Validitas dan Reliabilitas. Diambil dari
http://toswari.staff.guna darma.ac.id. Tanggal 2 April, 2010

12 Analisis
Jurnal
-Kekuatan  Menggunakan table sebagai hasil penelitian
Penelitian  Teori nya yang akurat karna dari pendapat-pendapat ahli yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
 Jurnal tersebut sudah memiliki dasar-dasar elemen yang benar
-Kelemahan  Temuan yag ditemukan merupakan penemuan yang sudah umum
Penelitian didapatkan di kehidupan sehari-hari.
 Sedikitnya teori yang bisa menjelaskan secara rinci.
13 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persepsi masyarakat
terhadap pekarangan rumah dan keberadaan tanaman apel di pekarangan
rumah adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat penge-
tahuan dan sikap masyarakat terhadap pekarangan rumah. Tingginya
persepsi masyarakat ini berdampak positif terhadap usaha pengelolaan
tanaman apel yang akan mempengaruhi karakter pertumbuhan apel.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap karakter tanaman apel diketahui
bahwa sebagian besar jumlah tunas (85%) dan bunga (55%) tanaman apel
yang tumbuh setelah dipangkas adalah tinggi, 55,5% tanaman apel
ditemukan dalam bentuk perdu, keadaan tanaman sehat, tidak terdapat
anakan dan 52% dalam keadaan berbuah. Hasil analisis ANOVA
menunjukkan bahwa umur tanaman tidak berpengaruh secara nyata
terhadap tinggi tanaman dan diameter batang bawah tanaman apel.
Berdasarkan karakter pertumbuhan tanaman apel tersebut diketahui bahwa
sebagian besar tanaman apel dalam keadaan baik. Tingginya tingkat
persepsi masyarakat dan pengelolaan tanaman apel di Desa Gubug

14 Saran
15 Referensi

- JURNAL 7
a. Latar belakang

Keanekaragaman makhluk hidup atau keanekaragaman hayati memiliki arti


yang penting untuk menjaga kestabilan ekosistem. Syamsuri (1997) dan Ellenberg
(1988), menjelaskan bahwa tumbuhan merupakan produsen yang menjadi sumber
energi dalam suatu daur kehidupan dan sebagai indikator kondisi suatu lingkungan.
Ekosistem merupakan tempat semua makhluk hidup bergantung. Terkait dengan
peranan tersebut maka pengelolaan kawasan hutan perlu ditingkatkan secara terpadu
dan berwawasan lingkungan agar fungsi tanah, air, udara, iklim, dan lingkungan
hidup terjamin (Zain, 1998).

Pengelolaan kawasan hutan secara terpadu dan berwawasan lingkungan


dilaksanakan dalam kerangka kerja yang memperhatikan pertimbangan ekologi
(Barber, 1999). Resosoedarmo (1993) menyatakan bahwa dalam usaha pelestarian
alam harus ditekankan pada pelestarian sistem kehidupan secara menyeluruh yaitu
ekosistem. Inventarisasi dan penatagunaan hutan adalah usaha yang perlu
ditingkatkan untuk memanfaatkan status kawasan hutan dan untuk melestarikan
manfaat ekosistem dan keserasian tata lingkungan (Zain, 1998). Pengambilan
kebijaksanaan konservasi alam dan lingkungan hidup perlu diarahkan pada proses
ekologi yang terjamin sehingga dapat menunjang sistem penyangga kehidupan,
keanekaragaman sumber genetik serta pemanfaatan sumber daya alam hayati yang
terkendali (Zain, 1998).

Kondisi di sekeliling TAHURA R. Soerjo sudah mulai berubah menjadi lahan


hortikultura. Pembukaan areal hutan yang terus menerus ini akan dapat mempercepat
erosi air ke dalam tanah sehingga akan memperlemah daya rekat akar ke tanah. Salah
satu anggota ekosistem yang terdapat di Hutan Cangar yang berperan penting untuk
menjaga keseimbangan ekosistem adalah tumbuhan penutup tanah. Tumbuh-
tumbuhan ini yang tumbuh di antara pepohonan yang utama akan memperkuat
struktur tanah hutan tersebut. Tumbuhan penutup tanah ini dapat berfungsi dalam
peresapan dan membantu menahan jatuhnya air secara langsung. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan penutup tanah di Hutan Cangar
Kabupaten Malang, informasi ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam strategi
konservasi pada kawasan tersebut.

b. Metode

Penelitian ini bersifat deskriftif kuantitatif dengan menggunakan metode plot


dan pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi. Penentuan lokasi
pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan prinsip purposive sampling.
Lokasi pengamatan dibagi menjadi dua yaitu daerah tegakan terbuka dan daerah
tegakan tertutup. Analisis data dilakukan dengan menghitung Indeks Nilai Penting
(INP) untuk mengetahui dominasi tumbuhan penutup tanah, sedangkan untuk
mengetahui pola penyebarannya dihitung Indeks Penyebaran (Indeks of Dispersion),
dan untuk mengetahui tingkat kanekaragaman tumbuhan dihitung dengan menghitung
Indeks Keanekaragaman Jenis Simpson.

c. Hasil dan pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 25 species tumbuhan penutup tanah


yang terdiri dari 9 suku. Pada tegakan terbuka ditemukan 19 spesies dan pada
tegakan tertutup ditemukan 1 spesies. Tumbuhan herbal yang memiliki INP
tertingi pada tegakan terbuka adalah centela asiatica. Spesies yang mendominasi
pada tegakan terbuka dan pada tegakan tertutup ditemukan adanya perbedaan.
Centella asiatica dan Euphatorium riparium Reg. masing-masing mendominansi
pada wilayah yang berbeda Hal ini juga disebabkan karena kondisi lingkungan
yang berkaitan dengan persaingan antar spesies yang lain.

Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Nilai Penting tersebut juga dapat


diketahui tentang frekuensi penyebaran spesies tumbuhan penutup tanah pada
tegakan terbuka dan tegakan tertutup (Tabel 2). Pada tegakan terbuka Indeks Nilai
Penting menunjukkan nilai yang hampir merata pada setiap spesies yang
ditemukan, sedangkan pada tegakan tertutup Indeks Nilai Penting menunjukkan
nilai yang mencolok hanya pada satu spesies. Berdasarkan Indeks Simpson dapat
diketahui bahwa tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan penutup tanah di Hutan
Cangar pada tegakan terbuka memiliki nilai 0,84 sedangkan pada derah tegakan
tertutup memiliki nilai 0,82 (Tabel 4).

Keanekaragaman yang lebih tinggi menunjukkan rantai makanan yang lebih


panjang dan lebih banyak, tingkat simbiosis semakin banyak sehingga komunitas
tersebut semakin baik. Komunitas yang produktif dapat memiliki keanekaragaman
jenis yang tinggi pula.

d. Lampiran

1 Judul Struktur Komunitas Tumbuhan Penutup di Taman Hutan Raya R. Soerjo


Cangar, Malang.

2 Jurnal Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari

3 Download https://garuda.ristekbrin.go.id/journal/view/7340?page=1&issue=vol
%201,%20No%201%20(2010)

4 Volume dan Volume 1 dan Halaman 1-9


Halaman

5 Tahun Tahun 2010


6 Penulis Wiwin Maisyaroh

7 Reviewer Septriyanti sianturi


Fadillah nur ilmi
Ardiah cahyaning
Putri nuraini

8 Tanggal 2 Maret 2021

9 Abstrak
Penelitian

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis, dominasi,


Penelitian tingkat keanekaragaman jenis dan pola penyebaran tumbuhan
penutup tanah yang terdapat di Hutan Cangar.

Subjek Sampel penelitian ini adalah komunitas tumbuhan penutup tanah yang terdapat
Penelitian di kawasan Hutan Cangar pada ketinggian ± 1600 m dpl.

Assesment Data yang diperoleh berupa frekuensi, kerapatan, dominansi, Indeks Nilai
Data Penting (INP), Indeks Penyebaran, dan Indeks Keanekaragaman Jenis.

Kata Kunci kajian komunitas, tumbuhan penutup tanah, TAHURA

10 Pendahuluan

Latar Keanekaragaman makhluk hidup atau keanekaragaman hayati memiliki arti


Belakang dan yang penting untuk menjaga kestabilan ekosistem. Syamsuri (1997) dan
Teori Ellenberg (1988), menjelaskan bahwa tumbuhan merupakan produsen yang
menjadi sumber energi dalam suatu daur kehidupan dan sebagai indikator
kondisi suatu lingkungan. Ekosistem merupakan tempat semua makhluk hidup
bergantung. Terkait dengan peranan tersebut maka pengelolaan kawasan hutan
perlu ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan agar fungsi
tanah, air, udara, iklim, dan lingkungan hidup terjamin (Zain, 1998).
Pengelolaan kawasan hutan secara terpadu dan berwawasan lingkungan
dilaksanakan dalam kerangka kerja yang memperhatikan pertimbangan ekologi
(Barber, 1999). Resosoedarmo (1993) menyatakan bahwa dalam usaha
pelestarian alam harus ditekankan pada pelestarian sistem kehidupan secara
menyeluruh yaitu ekosistem. Inventarisasi dan penatagunaan hutan adalah
usaha yang perlu ditingkatkan untuk memanfaatkan status kawasan hutan dan
untuk melestarikan manfaat ekosistem dan keserasian tata lingkungan (Zain,
1998). Pengambilan kebijaksanaan konservasi alam dan lingkungan hidup perlu
diarahkan pada proses ekologi yang terjamin sehingga dapat menunjang sistem
penyangga kehidupan, keanekaragaman sumber genetik serta pemanfaatan
sumber daya alam hayati yang terkendali (Zain, 1998). Taman Hutan Raya
(TAHURA) R. Soerjo Cangar adalah kawasan hutan yang terletak di
Kabupaten Malang pada ketinggian kurang lebih 1600 m di atas permukaan
laut, merupakan kawasan konservasi yang perlu
mendapatkan perhatian intensif dari berbagai kalangan berkaitan dengan
peningkatan kerusakan kawasan tersebut. Kerusakan lingkungan hutan di
bawah naungan Balai Taman Hutan Raya milik Dinas Kehutanan Provinsi
Jawa Timur terutama di wilayah Batu yang masuk kawasan Cagar Alam
Arjuno Lalijiwo ini merupakan dampak berbagai aktivitas masyarakat yang
dilakukan di sekitar kawasan tersebut yaitu adalah pembukaan industri dan
perluasan lahan pertanian. Hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan
komunitas hutan. Kondisi di sekeliling TAHURA R. Soerjo sudah mulai
berubah menjadi lahan hortikultura. Pembukaan areal hutan yang terus menerus
ini akan dapat mempercepat erosi air ke dalam tanah sehingga akan
memperlemah daya rekat akar ke tanah. Salah satu anggota ekosistem yang
terdapat di Hutan Cangar yang berperan penting untuk menjaga keseimbangan
ekosistem adalah tumbuhan penutup tanah. Tumbuh-tumbuhan ini yang
tumbuh di antara pepohonan yang utama akan memperkuat struktur tanah hutan
tersebut. Tumbuhan penutup tanah ini dapat berfungsi dalam peresapan dan
membantu menahan jatuhnya air secara langsung. Tumbuhan penutup tanah
dapat berperan dalam menghambat atau mencegah erosi yang berlangsung
secara cepat. Tumbuhan ini dapat menghalangi jatuhnya air hujan secara
langsung, mengurangi kecepatan aliran permukaan, mendorong perkembangan
biota tanah yang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah serta berperan
dalam menambah bahan organik tanah sehingga menyebabkan resistensi tanah
terhadap erosi meningkat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
keanekaragaman jenis tumbuhan penutup tanah di Hutan Cangar Kabupaten
Malang, informasi ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam strategi
konservasi pada kawasan tersebut.

11 Metode
Penelitian

Langkah Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan prinsip


Penelitian purposive sampling. Lokasi pengamatan dibagi menjadi dua yaitu daerah
tegakan terbuka dan daerah tegakan tertutup. Daerah tegakan terbuka adalah
daerah yang sering dilalui orang dengan kondisi tegakan atau tumbuhan tinggi
jarang dan terdapat sinar matahari secara langsung. Daerah tegakan tertutup
adalah daerah yang jarang dilalui orang dengan kondisi tegakan rimbun dan
sinar matahari tidak secara langsung jatuh ke permukaan. Dibuat 10 plot
pengamatan ukuran 2x2 m2 dengan jarak antar plot 5 m pada masing-masing
lokasi pengamatan. Jumlah spesies dan jumlah individu tumbuhan yang
ditemukan pada masing-masing plot dihitung dan identifikasi.

Hasil Spesies Tumbuhan Penutup Tanah yang Ditemukan di TAHURA Cangar


Penelitian Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa antara tegakan terbuka
dan tegakan tertutup terdapat perbedaan jumlah spesies tumbuhan penutup
tanah yang ditemukan (Tabel 1). Spesies tumbuhan penutup tanah pada tegakan
terbuka lebih banyak ditemukan jika dibandingkan dengan tumbuhan penutup
tanah pada daerah tegakan tertutup. Di kawasan tegakan
terbuka ditemukan sebanyak 19 spesies yang terdiri dari 7 suku yaitu suku
Asteraceae terdiri dari 7 spesies yaitu Tridax procumbens L., Euphatorium
riparium Reg., Euphatorium odoratum L., Emilia sonchifolia (L.) DC. Ex.
Weight., Synedrella nodiflora (L.) Gaertn., Eclipta prostrata L. dan Bidens
pilosa L., Suku Cyperaceae terdiri dari 2 spesies yaitu Cyperus monocephalus
Rottb. dan Cyperus elatus L., Suku Gramineae terdiri dari 6 spesies yaitu
Leptochloa chinensis Nees., Eleusine indica (L.) Gaertn., Axonopus
compressus (Swart) Beauv., Imperata cylindrica (L.) Raenschel., Digitaria
ciliaris (Retz) Koeler. dan Eragrostis tenella (P.) Beauv. Suku Oxalidaceae
terdiri dari 1 spesies yaitu Oxalis corniculata L., Suku Apiaceae terdiri dari 1
spesies yaitu Centella asiatica L., Suku Euphorbiaceae terdiri 1 spesies yaitu
Euphorbia pilulifera L., Suku Mimosaceae terdiri dari 1 spesies yaitu Mimosa
pudica L. Sedangkan pada tegakan tertutup hanya didapatkan 11 spesies yang
terdiri dari 6 spesies yaitu Suku Asteraceae terdiri dari 5 spesies yaitu
Euphatorium riparium Reg., Euphatorium odoratum L., Synedrella nodiflora
(L.) Gaertn., Blumea lacera (Burm.f) DC., Ageratum conyzoides L., Suku
Cyperaceae terdiri hanya 1 spesies yaitu Cyperus rotundus L., Suku Gramineae
terdiri dari spesies Panicum repens L. dan Axonopus compressus (Swart)
Beauv. Spesies yang termasuk suku Zingiberaceae yaitu Amomum
cardamomum Willd. Suku Smilacaceae terdiri dari 1 spesies yaitu Smilax
leucophylla Bl., dan Suku Mimosaceae terdiri dari satu spesies yaitu Mimosa
pudica L. Perbedaan jumlah spesies ini disebabkan karena adaptasi dan
kebutuhan masingmasing spesies juga berbeda. Di kawasan tegakan terbuka
lebih banyak ditemukan spesies tumbuhan penutup tanah hal ini menunjukkan
bahwa daerah tegakan terbuka lebih heterogen dibandingkan daerah tegakan
tertutup. Perbedaan kondisi lingkungan ini menyebabkan perbedaan pada
jumlah spesies tumbuhan yang tumbuh pada kawasan tersebut. Di kawasan
tegakan terbuka sinar matahari lebih banyak diperoleh, hal ini menyebabkan
spesies tumbuhan yang ada saling bersaing untuk memperoleh sinar matahari.
Faktor lain yang mempengaruhi jumlah spesies tumbuhan penutup tanah pada
daerah tegakan
persaingan yang tinggi dengan pepohonan yang lebih besar. Secara umum
perbedaan pada kedua tegakan ini disebabkan oleh dua faktor lingkungan yaitu
faktor biotik dan abiotik lingkungan tempat organisme tersebut tumbuh atau
dengan kata lain disebabkan oleh habitat yang berbeda. Tumbuhan memerlukan
kondisi tertentu untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Dalam hal
ini di wilayah Hutan Cangar faktor yang sangat berpengaruh adalah adanya
sinar matahari dan bahan organik yang ada. Spesies tumbuhan penutup tanah
yang ditemukan pada tegakan terbuka menunjukkan bahwa pertumbuhan
spesies tersebut memerlukan sinar matahari secara langsung sedangkan
pertumbuhan spesies pada tegakan tertutup memerlukan sinar matahari secara
tidak langsung. Ditinjau dari segi kehadiran pada suatu komunitas tumbuhan
dapat dikatakan bahwa semakin tinggi suatu tempat maka semakin sedikit pula
tumbuhan yang tumbuh. Meskipun tumbuhan penutup tanah merupakan jenis
yang mempunyai sebaran luas dan mempunyai kisaran toleransi tinggi terhadap
faktor lingkungan tetapi semakin menuju puncak sebaran tumbuhan penutup
tanah akan semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syafei (1990),
bahwa semakin tinggi suatu tempat biasanya berasosiasi dengan peningkatan
keterbukaan, kecepatan angin, kelembaban udara dan penurunan suhu sehingga
mengakibatkan suatu komunitas yang tumbuh semakin homogen. Hal ini
menyebabkan pada tegakan tertutup lebih sedikit ditemukan tumbuhan penutup
tanah karena pada tegakan ini tempatnya lebih tinggi dibandingkan dengan
tegakan terbuka. Spesies tumbuhan penutup tanah yang ditemukan pada kedua
tegakan sebanyak 5 spesies, terdiri dari 3 suku yaitu Suku Asteraceae
(Euphatorium riparium Reg., Euphatorium odoratum L., Synedrella nodiflora
(L.) Gaertn.), suku Gramineae (Axonopus compressus (Swart) Beauv.), dan
suku Mimosaceae (Mimosa pudica L.). Hal ini juga menunjukkan bahwa
spesies tersebut mampu beradaptasi pada dua lokasi yang berbeda, sehingga
kebutuhan hidup spesies dapat tercukupi. Indeks Nilai Penting (INP) digunakan
untuk menggambarkan tingkat penguasaan yang diberikan oleh suatu spesies
terhadap komunitas, semakin besar nilai INP suatu spesies semakin besar
tingkat penguasaan terhadap komunitas dan sebaliknya (Soegianto, 1994). Pada
Tabel 2, dapat diketahui bahwa tingkat penguasaan tiap spesies tidak sama.
Spesies tumbuhan penutup tanah yang terdapat pada tegakan terbuka yang
memiliki indeks nilai penting sebagai berikut, Centella asiatica L. yaitu
63,08%, Euphatorium riparium Reg. dengan nilai 54,16%, Mimosa pudica L.
dengan nilai sebesar 43,25%, Cyperus elatus L. dengan nilai 26,65%, dan INP
terendah diperoleh oleh spesies Eragrostis tenella (P.) Beauv dan Synedrella
nodiflora (L.) Gaertn dengan nilai sebesar 2,64%. Indeks nilai penting
tertinggi pada tegakan tertutup dimiliki oleh spesies Euphatorium riparium L.
dengan nilai sebesar 125,86% dan indeks nilai penting terendah terdapat pada
spesies Blumea lacera (Burm.f) DC. dengan nilai sebesar 4,06%. Berdasarkan
angka tersebut diketahui spesies tumbuhan penutup tanah yang mendominasi
pada tegakan terbuka adalah spesies Centella asiatica L. sedangkan pada
tegakan tertutup adalah spesies Euphatorium riparium Reg. Jenis yang
cenderung menempati dan mendominasi pada suatu komunitas ini akan
mencirikan karakter tumbuhan di wilayah tersebut. Adanya spesies yang
mendominasi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah
persaingan antara tumbuhan yang ada, dalam hal ini berkaitan dengan iklim
dan mineral yang diperlukan, jika iklim dan mineral yang dibutuhkan
mendukung maka spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak
ditemukan (Syafei, 1990). Spesies yang mendominasi pada tegakan terbuka dan
pada tegakan tertutup ditemukan adanya perbedaan. Centella asiatica dan
Euphatorium riparium Reg. masing-masing mendominansi pada wilayah yang
berbeda Hal ini juga disebabkan karena kondisi lingkungan yang berkaitan
dengan persaingan antar spesies yang lain. Persaingan akan meningkatkan daya
juang untuk mempertahankan hidup, spesies yang kuat akan menang dan
menekan yang lain sehingga spesies yang kalah menjadi kurang adaptif dan
menyebabkan tingkat reproduksi rendah dan kedapatannya juga sedikit
(Syamsuri, 1993). Setiap jenis tumbuhan mempunyai suatu kondisi minimum,
maksimum dan optimum terhadap faktor lingkungan yang ada. Spesies yang
mendominasi berarti memiliki batasan kisaran yang lebih luas jika
dibandingkan dengan jenis yang lainnya terhadap faktor lingkungan, sehingga
kisaran toleransi yang luas pada faktor lingkungan menyebabkan jenis ini akan
memiliki sebaran yang luas (Syafei, 1990). Berdasarkan hasil perhitungan
Indeks Nilai Penting tersebut juga dapat diketahui tentang frekuensi
penyebaran spesies tumbuhan penutup tanah pada tegakan terbuka dan tegakan
tertutup (Tabel 2). Pada tegakan terbuka Indeks Nilai Penting menunjukkan
nilai yang hampir merata pada setiap spesies yang ditemukan, sedangkan pada
tegakan tertutup Indeks Nilai Penting menunjukkan nilai yang mencolok hanya
pada satu spesies. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tegakan tertutup
tingkat persaingan antar spesies yang ada lebih tinggi jika dibandingkan dengan
tegakan terbuka. Antar spesies yang ada akan saling mempertahankan diri
untuk bisa tetap hidup (Soriaatmadja, 1997). Pengetahuan mengenai
penyebaran dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengelompokan dari
individu yang dapat memberikan dampak terhadap populasi dari pada ratarata
per unit area. Berdasarkan Indeks of Dispersion (Tabel 3), diketahui bahwa
pada tegakan terbuka pola penyebaran spesies tumbuhan penutup tanah rata-
rata teratur atau merata dan sedikit yang mengelompok. Pola penyebaran
merata ini menunjukkan bahwa terjadi persaingan yang cukup kuat antar
individu dalam polulasi. Persaingan tersebut meliputi persaingan dalam
memperebutkan nutrisi maupun ruang (Ewusie, 1990). Hal ini dapat dilihat dari
hasil pengamatan bahwa pada daerah tegakan terbuka populasi tumbuhan
penutup tanah lebih heterogen yang terbukti dengan ditemukannya tumbuhan
penutup tanah dengan jumlah yang lebih banyak.
Tingkat persebaranspesies tumbuhan penutup tanah pada tegakan tertutup
terjadi hampir sama, spesies tumbuhan penutup tanah sebagian memiliki pola
penyebaran merata dan sebagian mengelompok. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada persaingan kuat antar individu dalam populasi tersebut, karena pada
daerah tegakan tertutup keadaan tumbuhan penutup tanah lebih homogen
dibandingkan dengan daerah pada tegakan terbuka hal ini terlihat dari jumlah
spesies yang ditemukan pada masing-masing tegakan, pada tegakan terbuka
diperoleh lebih banyak tumbuhan penutup tanah dibandingkan pada tegakan
tertutup. Tumbuhan penutup tanah yang ditemukan pada kedua tegakan ada
yang memiliki perbedaan pada pola penyebaran. Spesies Euphatorium
odoratum L. pada tegakan terbuka memiliki pola penyebaran merata sedangkan
pada tegakan tertutup memiliki pola penyebaran mengelompok, spesies
Axonopus compressus (Swart) Beauv. pada tegakan terbuka memiliki pola
penyebaran merata dan tegakan tertutup pola penyebarannya mengelompok.
Spesies Mimosa pudica L. pada tegakan terbuka memilik pola penyebaran
mengelompok dan pada tegakan tertutup memiliki pola penyebarannya merata.
Hanya spesies Euphatorium riparium Reg. dan Synedrella nodiflora (L.)
Gaertn. pada setiap tegakan memiliki pola penyebaran sama. Euphatorium
riparium Reg. yang ditemukan pada kedua tegakan memiliki pola penyebaran
mengelompok, sedangkan Synedrella nodiflora (L.) Gaertn. yang ditemukan
pada kedua tegakan memiliki pola penyebaran merata. Hal ini menunjukkan
bahwa adaptasi dari setiap jenis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
menghadapi berbagai perubahan lingkungan yang terjadi (Ewusie, 1990).
Odum (1998), menyatakan bahwa penyebaran spesies merupakan hasil atau
akibat dari berbagai sebab, yaitu akibat dari pengumpulan individu-individu
dalam suatu tempat yang dapat meningkatkan persaingan diantara individu
yang ada untuk mendapatkan nutrisi dan ruang, akibat dari reaksi individu
dalam menanggapi perubahan cuaca harian dan musiman, dan akibat dari
menanggapi perbedaan habitat setempat. Ewusie (1990), menjelaskan bahwa
pengelompokan yang terjadi pada suatu komunitas dapat diakibatkan karena
nilai ketahanan hidup kelompok terhadap berbagai kondisi. Berdasarkan data
yang diperoleh dapat diketahui bahwa tingkat keanekaragaman jenis spesies
tumbuhan penutup tanah yang ditemukan di Hutan Cangar menunjukkan hasil
yang cukup tinggi. Berdasarkan Indeks Simpson dapat diketahui bahwa tingkat
keanekaragaman jenis tumbuhan penutup tanah di Hutan Cangar pada tegakan
terbuka memiliki nilai 0,84 sedangkan pada derah tegakan tertutup memiliki
nilai 0,82 (Tabel 4). Nilai pada masing-masing tegakan ternyata menunjukkan
nilai yang sama. Tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi ini diduga karena
wilayah Hutan Cangar ini masih tergolong alami, sehingga kondisi lingkungan
yang ada sangat mendukung terhadap keberadaan tumbuhan penutup tanah. Hal
ini juga menunjukkan bahwa komunitas di Hutan Cangar memiliki
kompleksitas yang tinggi sehingga menyebabkan adanya interaksi yang tinggi,
karena komunitas akan menjadi matang apabila lebih kompleks dan lebih
stabil.
Tabel 4. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Penutup Tanah Lokasi Indeks
Keanekaragaman Jenis (Ds) Daerah Tegakan Terbuka 0,84 % Daerah Tegakan
Tertutup 0,82 %
Perbedaan yang tidak signifikan pada indeks keragaman jenis tumbuhan
penutup tanah menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan penutup tanah yang
ada pada kedua tegakan memiliki tingkat keragaman yang hampir sama. Hal ini
diduga karena faktor lingkungan yang ada yaitu keadaan kedua tegakan yang
relatif sama. Perbedaan hanya terjadi pada intensitas sinar matahari yang
secara langsung dapat menerpa tumbuhan tersebut dan pengaruh dari
pohonpohon pelindung di sekitar tanaman penutup tanah. Odum (1993),
menyatakan bahwa terjadi kemungkinan sistem umpan balik (feedback) pada
tingkat keanekaragaman jenis. Keanekaragaman yang lebih tinggi
menunjukkan rantai makanan yang lebih panjang dan lebih banyak, tingkat
simbiosis semakin banyak sehingga komunitas tersebut semakin baik.
Komunitas yang produktif dapat memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi
pula. Odum (1993) juga menyatakan bahwa keanekaragaman jenis penyusun
komunitas tumbuhan pada suatu tempat merupakan hasil interaksi dari
beberapa faktor. Faktor pertama adalah waktu, kenekaragaman jenis dalam
suatu komunitas tumbuhan merupakan hasil dari evolusi. Oleh karena itu,
kenekaragaman jenis tergantung pada panjang waktu. Keanekaragaman jenis
ini tidak hanya merupakan fungsi dari penambahan jenis tetapi juga merupakan
pengurangan jenis. Keanekaragaman jenis pada daerah tropika lebih cepat
terbentuk jika dibandingkan dengan daerah iklim sedang dan kutub. Faktor
kedua adalah adanya heterogenitas ruang, komunitas tumbuhan yang terbentuk
sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang ada. Sehingga semakin heterogen dan
kompleks suatu lingkungan maka keanekaragaman jenis penyusun komunitas
semakin meningkat. Faktor yang ketiga adalah adanya persaingan di antara
individu dalam suatu komunitas yang merupakan salah satu bagian dari seleksi
alam, dengan demikian jenis penyusun yang ada pada suatu waktu merupakan
jenis yang
mampu bersaing. Faktor yang keempat adalah predasi, adanya jenis tertentu
yang dimakan oleh herbivora berarti mengurangi persaingan. Pemangsaan dan
parasitisme dalam lingkungan cenderung untuk membatasi kelimpahan spesies
tertentu dan dengan demikian akan mempersulit spesies untuk menambah
kerapatan populasinya. Faktor kelima adalah stabilitas lingkungan, pada
lingkungan yang stabil akan menghasilkan jenis yang lebih banyak, oleh karena
itu pada daerah tropis yang mempunyai iklim yang lebih stabil mempunyai
keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dari pada daerah yang beriklim sedang
dan kutub. Faktor yang terakhir adalah produktivitas, faktor ini berhubungan
dengan stabilitas iklim. Pada daerah beriklim stabil mempunyai produktivitas
yang tinggi dengan keanekaragaman yang tinggi pula.
Diskusi Daerah tegakan tertutup adalah daerah yang jarang dilalui orang dengan
Penelitian kondisi tegakan rimbun dan sinar matahari tidak secara langsung jatuh ke
permukaan. Sehingga peneliti, mencoba meneliti hal tersebut.

Daftar Maisyaroh,Wiwin.2010. Struktur Komunitas Tumbuhan Penutup di Taman


Pustaka Hutan Raya R. Soerjo Cangar, Malang. Jurnal Pembangunan dan
Alam Lestari. Vol 1(1)

12 Analisis
Jurnal

Kekuatan Dari tujuan dan hasil pembahasan sudah sangat relevan dan berhubungan
Penelitian
Dijelaskan bagaimana prosedur penelitian dilaksanakan

Kelemahan Penelitian ini sudah sangat bagus, hanya saja subjek penelitianya tidak
Penelitian dijelaskan pada bagian metode penelitian. Dan tidak memiliki saran, agar dapat
dilakukan penelitian yang selanjutnya.

13 Kesimpulan Tumbuhan penutup tanah di Tahura R. Soerjo Cangar Kabupaten Malang


ditemukan 25 spesies yang terdiri dari dari 9 suku yang terbagi dalam dua
lokasi pengamatan yaitu pada daerah tegakan terbuka dan daerah tegakan
tertutup. Berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), didapatkan spesies tumbuhan
penutup tanah yang mendominansi pada daerah tegakan terbuka adalah spesies
Centella asiatica L. dengan INP sebesar 63,08%, sedangkan pada daerah
tertutup didominansi oleh spesies Euphatorium riparium Reg. dengan INP
sebesar 125,86%. Berdasarkan Indeks of Dispersion diketahui bahwa pola
penyebaran spesies tumbuhan penutup tanah pada daerah tegakan terbuka rata-
rata teratur atau merata, sedangkan pada daerah tegakan tertutup sebagian
spesies memiliki pola penyebaran merata dan sebagaian memiliki pola
penyebaran mengelompok. Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis
Simpson didapatkan bahwa tingkat keanekaragaman tumbuhan penutup tanah
cukup tinggi pada setiap tegakan dengan nilai sebesar 0,84% pada tegakan
terbuka dan 0,82% pada tegakan tertutup.

14 Saran Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan di hutan, agar lebih luas lagi
diketahui jenis,dominasi,tingkat keberagaman, dan pola penyebaran tumbuhan
penutup tanah .

15 Referensi Barber, C.V. 1999. Menyelamatkan Sisa Hutan di Indonesia dan AS. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Cronquist, A. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering
Plants. Columbia University Press. New York. Dasuki, A.U. 1991.
Sistematika Tumbuhan Tinggi. Pusat Antar Universitas Institut
Teknologi Bandung. Bandung. Djajapertjunda, S. 2002. Hutan dan
Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. IPB Press. Bogor.
Dwidjoseputro, D. 1994. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Ellenberg, H. 1988. Ekologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ewusie,Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit ITB. Bogor.
Odum, P. E. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University
Press. Yogjakarta.
Resosoedarmo, S. 1993. Pengantar Ekologi. Remaja Rosdakarya offset.
Bandung.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan
Komunitas. Usaha Nasional. Surabaya. Syamsuri, I.W.R. 1997.
Lingkungan Hidup Kita. PKPKLH IKIP Malang. Malang.
Soeriaatmadja. 1997. Ilmu Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Syafei, E.S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Stennis, C.G.G.J.V. 2003. Flora. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Sudarnadi, H. 1996. Tumbuhan Monokotil. Penebar Swadaya. Jakarta.
Umabaran, J. 1998. Kajian Densitas dan Diversitas Komunitas Herba di Hutan
Sarangan Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan. Skripsi IKIP
Malang.
Zain, A.S. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan
Rakyat. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai

  • Kelompok 3
    Kelompok 3
    Dokumen13 halaman
    Kelompok 3
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Penilaian Praktek Micro Teaching
    Penilaian Praktek Micro Teaching
    Dokumen1 halaman
    Penilaian Praktek Micro Teaching
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • CJR Imh Kel 3 - 1
    CJR Imh Kel 3 - 1
    Dokumen23 halaman
    CJR Imh Kel 3 - 1
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • CJR Imh Kel 3
    CJR Imh Kel 3
    Dokumen22 halaman
    CJR Imh Kel 3
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Bab II Dan Bab 3
    Bab II Dan Bab 3
    Dokumen3 halaman
    Bab II Dan Bab 3
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen11 halaman
    Bab I
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen2 halaman
    Bab Iii
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Analisis MR KELl 1
    Analisis MR KELl 1
    Dokumen6 halaman
    Analisis MR KELl 1
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Bab I Pendahuluan
    Bab I Pendahuluan
    Dokumen13 halaman
    Bab I Pendahuluan
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen2 halaman
    Bab Iv
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat
  • Bab 3,4
    Bab 3,4
    Dokumen4 halaman
    Bab 3,4
    Septriyanti Sianturi
    Belum ada peringkat