Anda di halaman 1dari 4

TUGAS KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA

Nama : M. Ramadhani Novansyah

NPM : 1912011206

Kelas : Dr. Yusdianto. S.H., M.H.

Hukuman Mati dalam Perspektif Pancasila

Dalam suatu negara, hukum dirumuskan untuk menjamin terciptanya suatu


kedamaian dan ketertiban di dalam kehidupan masyatakat. Hukuman pidana sebagai
sanksi dalam penegakkan hukum, pada umumnya juga diterapkankan demi mencegah
terjadinya kejahatan. Di Indonesia jenis-jenis hukuman pidana diatur dalam Pasal 10
KUHP, dalam rumusan tersebut pidana mati juga dicantumkan sebagai salah satu
pidana pokok. Selain itu, dalam beberapa ketentuan di Indonesia, baik didalam
maupun luar KUHP, telah mengatur hukuman mati sebagai salah satu sanksinya
diantaranya terhadap kejahatan makar, pembunuhan berencana, terorisme, natkotika
dan lain-lain. Hukuman mati merupakan sanksi pidana yang dilakukan dengan
menghilangkan nyawa pelaku yang bertanggung jawab atas tindak pidana atau
kejahatan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan.

Pidana mati dalam lingkungan hukum, terutama hukum pidana masih saling
diperdebatkan. Dalam hal ini, maka perlu kita tinjau juga hukuman mati dalam
perspektif Pancasila sebagai landasan dari segala hukum yang berlaku di Indonesia.

1. Sila Ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa

Menurut Mohammad Hatta Sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa tercantum
dalam Pancasila untuk memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan
segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat. Nilai-nilai ketuhanan, menurutnya lebih
lanjut, adalah nilai yang bersumber dari agama.

Maka dari itu penyelenggaran hukum di Indonesia juga tidak luput dari nilai-nilai
ketuhanan yang dalam hal ini bersumber dari agama. Dalam agama Islam hukuman mati
atau yang disebut sebagai qishaash juga dikenal sebagai salah satu hukuman atau sanksi
atas suatu kejahatan tertentu, seperti pembunuhan yang disengaja yang didasarkan pada
surah Al-Baqarah ayat 178-179. yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara
yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang
sangat pedih (178). dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
Hai orangorang yang berakal, supaya kamu bertakwa.(179)”

Berdasatkan kedua ayat tersebut dapat diketahui bahwa hukuman mati itu sendiri
dalan Islam dipergunakan demi menjamin hak manusia terutama hak untuk hidup.

Selain itu hukuman mati juga dikenal dalam agama Kristen. Menurut Qodariyah
Barkah, para ulama Kristen, baik Katolik maupun protestan pada prinsipnya menyetujui
adanya hukuman mati yang digunakan khusus terhadap kejahatan-kejahatan kepada
Negara. Pandangan para Ulama Kristen tersebut merujuk pada pandangan Paulus, bahwa
negara adalah wakil tuhan dalam menjalankan kekuasaan duniawi, diberikan pedang yang
dipergunakan untuk menjamin hidup negara.

2. Sila ke-2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradap

Perdebatan dalam hukuman pidana mati sebenarnya bertitik fokus pada permasalahan
terhadap kemanusiaan, hal ini karena hukuman mati dianggap mencederai hak asasi
manusia beruoa hak untuk hidup.

Namun, menurut N.N Termadjaja terdapat batasan dalam nilai kemanusiaan, terutama
dalam kaitannya dengan pidana mati, yaitu “Perikemanusiaan hendaknya dipandang dari
sudut orang-orang yang mempunyai kemanusiaan. Perikemanusiaan justru diadakan
untuk melindungi orang-orang yang tidak mempunyai perikemanusiaan atau orang-orang
yang tidak menghargai hak-hak asasi orang lain. Hal tersebut juga sejalan dengan
pendapat Rachmad Djatmiko, yang menyayakan bahwa pidana mati tidak bertentangan
dengan peri kemanusiaan, karena dasar keadilan pidana mati adalah perikemanusiaan
yang menjaga pertumpahan darah secara sewenang-wenang.

Berdasarkan rumusan diatas maka dapat diketahui bahwa pidana mati itu sendiri
sebenarnya jusru berpihak kepda nilai kemanusiaan, yaitu untuk menjaga serta
melindungi orang-orang yang memiliki kemanusiaan dari orang yang tidak memiliki
kemanusiaan. Maka dalam hal ini, hukuman mati merupakan sarana pencegahan yang
sangat tegas demi menjamin kehidupan dalam masyarakat.

3. Sila ke-3 Persatuan Indonesia

Mohammad Hatta memberikan pendapat mengenai nilai kesatuan yaitu bahwa “Tanah
Air Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi. Persatuan Indonesia mencerminkan
susunan Negara nasional yang bercorak Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam berbagai
suku bangsa yang batasnya ditentukan dalam Proklamasi Indonesia”.
Berdasarkan pandangan tersebut menunjukkan bahwa Pancasila terutama sila ke-3
“Persatuan Indonesia” menegaskan berdiri tegaknya persuatuan dan kesatuan dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia yang bercorak Bhineka Tunggal Ika. Oleh
sebab itu, harus dilakukan suatu penindakan serta pencegahan yamg tegas terhadap hal-
hal yang menganggu ataupun berpotensi dapat memecah persatuan.

Dalam hal ini kaitannya dengan hukuman mati, yaitu hukuman mati sebagai sarana
pencegah (preventif) yang bersifat ultimum remedium atau sebagai sarana terakhir dalam
pencegahan kejahatan-kejahatan, terutama kejahatan yang dapat mengancam negara serta
persatuan Indonessia, seperti diantatanya makar dalam Pasal 104 dan Pasal 140 KUHP,
Pasal 124 bis KUHP yakni kejahatan menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara,
serta Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Terorisme, yang juga mencantumkan ancaman
hukuman mati sebagai salah satu sanksi pidananya.

4. Sila ke-4 Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan Perwakilan

Menurut Mohammad Hatta asas kerakyatan (demokrasi) menciptakan pemerintah


yang adil yang dilakukan dengan rasa tanggung jawab, agar tersusun sebaik-baiknya
Demokrasi Indonesia yang mencakup demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.

Dalam kaitannya dengan hukuman mati Mohammad Hatta pernah berpendapat bahwa
jika suatu pemerintahan digulinhkan karena alasan ditaktor, rakyat selalu menuntut untuk
terjadinya hukuman mati terhadap pemimpin negara yang ditaktor tersebut, tuntutan
hukuman mati cukup umum terdengar di hampir seluruh negara apabila terjadi kudeta
terhadap seorang diktator.

Sehingga dalam hal ini, hukuman mati tidak bertentangan dengan asas kerakyatan
yang ditujukan untuk menjaga rakyat dari kepemimpinan yang ditaktor atau sewenang-
wenang. Walaupun dalam UUD belum mengatur tentang pertanggungjawaban Presiden
jika melakukan tindak pidana termasuk hukuman mati, dalam hal ini berdasarkan Tap
III/MPR/1978 dinyatakan bahwa MPR dapat menyelenggarakan Sidang Istimewa jika
presiden dianggap telah melanggar haluan negara. Oleh karena itu mekanisme
pertanggungjawaban presiden dapat dilaksanakan dengan menyelenggarakannSidang
Istimewa.

5. Sila ke-5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Nilai keadilan sosial yang terkandung dalam sila kelima mengisyaratkan keadilan
terhadap seluruh bidang kehidupan sosial didalam masyarakat yang didasarkan pada
persamaan hak tanpa adanya diskriminasi. Ir. Soekarno mengemukakan definisi keadilan
sosial sebagai suatu sifat masyarakat adil dan makmur, berbahagia untuk semua orang,
tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, dan tidak ada penghisapan.
Dalam menjaga keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia, maka diperlukan suatu
aturan yang tegas demi menjamin terwujudnya cita-cita tersebut. Dalam hal ini, atutan-
aturan yang mencantumkan hukuman mati, dapat menjadi pencegah terjadinya kejahatan-
kajahatan yang berpotensi mencederai kesejahteraan rakyat.

Sumber :

Barkah, Q. (2013). Pro-Kontra Hukuman Mati (Presepsi Tokoh Agama Islam dan Praktisi
Hukum di Kota Palembang). Intizar, 19(2), 343-370.

Anda mungkin juga menyukai