Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM DAN ETIKA BISNIS

DALAM ISLAM

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Tersetruktur Yang Diwajibkan


Dalam Mengikuti Perkuliahan Kewirausahaan

Dosen Pengampu: Miftah Arina Harahap, M.Pd

Oleh:

KELOMPOK 7
Asy Shafa Audina Saragih 0310182065
Devi Syahannur 0310181024
Elsa Listiani Cahya Ningsih 0310182079
Siti Komariah 0310181030

JURUSAN TADRIS BIOLOGI-3/VII


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dialah Allah yang Maha Pencipta, yang Maha Pemilik dan yang Maha
Pemelihara, segala puja dan puji hanya milik Allah SWT, karena limpahan nikmat
dan karunia- Nya Sehingga atas kehendak-Nya penyusun bisa menyelesaikan
makalah penyusun yang berjudul “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dan
Etika Bisnis dalam Islam”. Tidak lupa Shalawat serta salam semoga
dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. semoga dengan
memperbanyak shalawat kita termasuk ummat yang akan mendapatkan syafaat di
hari akhir nantinya.
Saya selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Miftah Arina Harahap M.Pd. Sebagai dosen pengampu mata Kewirausahaan
yang telah memberikan penugasan makalah ini kepada penyusun. Serta kepada
seluruh pihak yang telah membantu penyusun dalam menyusun makalah ini.
Dengan akhir kata, penyusun selaku penyusun menyadari bahwa makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya
penyusun menampung segala kritik dan saran yang membangun guna menjadikan
makalah ini lebih baik lagi dan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi
penyusun khusunya.

Medan, 20 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3
A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam .......................................................... 3
B. Etika Bisnis Dalam Islam ........................................................................9
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 19
A. Kesimpulan ........................................................................................... 19
B. Saran ...................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekonomi Islam sebagai suatu Ilmu pengetahuan lahir melalui proses


pengkajian ilmiah yang panjang, dimana pada awalnya terjadi sikap pesimis
terkait eksistensi Ekonomi Islam dalam kehidupan masyarakat saat ini. Hal ini
terjadi karena di masyarakat telah terbentuk suatu pemikiran bahwa harus terdapat
dikotomi antara agama dengan keilmuan. Dalam hal ini termasuk didalamnya
Ilmu Ekonomi, namun sekarang hal ini sudah mulai terkikis. Para Ekonom Barat
pun mulai mengakui eksistensi Ekonomi Islam sebagai suatu Ilmu Ekonomi yang
memberi warna kesejukan dalam perekonomian dunia dimana Ekonomi Islam
dapat menjadi sistem Ekonomi alternatif yang mampu mengingatkan
kesejahteraan umat, disamping sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang telah
terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan umat.

Bisnis dalam kehidupan ini merupakan kegiatan yang sangat penting bagi
masyarakat dalam menjalani kehidupan mereka. Sekarang ini bisnis banyak
dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar, tidak ada kejujuran dalam menjalani
kegiatan tersebut. Banyak kecurangan yang tejadi dalam dunia bisnis dan bagian-
bagian yang berkaitan dengan bisnis tersebut. Contohnya, para pengusaha-
pengusaha menjual produknya dengan tipuan-tipuan iklan agar menarik pembeli,
tetapi itu merupakan sebuah penipuan. Dan bukan di dunia bisnisnya saja, akan
tetapi kegiatan-kegiatan yang berkaitan atau tergantung oleh bisnis, seperti para
pengusaha tidak bayar pajak, tetapi dia membayar pada orang-orang dalam kantor
perpajakan itu agar tidak membayar pajak.

Oleh karena itu dalam makalah ini kita akan membahas ekonomi islam dan
etika bisnis menurut cara pandang islam, seperti yang diajarkan rosulullah SAW,
berbisnis dengan kejujuran , dan keadilan di dalamnya.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terjadi, yaitu:

1. Bagaimana Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

1
2. Bagaimana Etika Bisnis Dalam Islam
C. Tujuan Masalah

Berdasarkan pemaparan rumusn masalah diatas, dapat dirincikan tujuan


penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
2. Mengetahui Etika Bisnis Dalam Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam


1. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam di Masa Rasulallah SAW
Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Rasulullah Saw. dipilih sebagai seorang Rasul
(utusan Allah Swt). Rasulullah Saw. mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut
berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqh),
politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). Masalah-masalah
ekonomi umat menjadi perhatian Rasulallah Saw. Karena masalah ekonomi merupakan pilar
penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh
Muslim, bahwa Rasulallah Saw. Bersabda "kemiskinan membawa orang kepada kekafiran".
Maka upaya untuk mengentas kemiskinan merupakan bagian dari kebijakan-kebijakan sosial
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.1
Pada fase ketika Rasulullah Saw masih di Mekkah, kegiatan ekonomi belum dilakukan
sebab nabi Saw fokus pada dakwahnya dalam rangka menguatkan ketauhidan pada orang-
orang quraisy yang menyembah berhala pada waktu itu. Kegiatan ekonomi baru pada masa
Rasullullah terlaksana ketika nabi berada dimadinah dengan menata pemerintahan sekaligus
menata perekonomian masyarakat Madinah.
Pada intinya, pada zaman awal-awal islam pendapatan yang didapatkan oleh masyarakat
madinahmasih sangat kecil. Diantara sumber pendapatannya pada masa itu adalah dari harta
rampasan perang, tebusan tawanan perang, pinjaman dari kaum muslimin, zakat fitrah, wakaf
nawaib (pajak bagi muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara maupun pada
bantuan dari kaum muslimin).2
a. Keuangan pada Masa pemerintahan Rasulullah SAW.
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW berakar dari prinsip-prinsip Al-
Qurani. Dalam mengemban amanah sebagi khalifah, manusia diberi kebebasan untuk mencari
nafkah sesuai dengan aturan islam dan prinsip keadilan. Dari sini terbukti bahwa islam
mengakui kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan tetapi melarang
mendapatkan kekayaan dengan cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral.

1
Winarno, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” Dalam Jurnal: Ilmu Syari’ah Dan Perbankan Islam, 2017,
Vol. 2 (1), h. 27-46.
2
Kharidatul Mudhiiah, “Analisis sejarah pemikiran ekonomi islam masa klasik” IQTISHADIA, 2016, Vol 8
(2), h. 199-207.
3
Sebagai negara yang baru saja terbentuk, kota madinah sama sekali tidak mempunyai
anggaran biaya pemasukan maupun pengeluaran. Segala fasilitas dan infrastruktur dibangun
secara gotong royong dan suka rela tanpa adanya gaji tetap kepada penduduk yang ikut
membantu.
Untuk mengenalkan kota Madinah kepada masyarakat luar, Rasulullah membuat
kebijakan dengan mengundang perwakilan-perwakilan dari negara dan kota-kota diluar
Madinah. Rasulullah dibantu dengan bilalnya membantu para tamu tersebut dengan dananya
didapat dari meminjam orang yahudi, baru setelah itu Rasulullah melunasinya.
b. Pedirian Lembaga Baitul Mal dan Kebijakan Fiscal
Rasulullah SAW merupakan kepala Negara pertama yang memperkenalkan konsep baru
dibidang keuangan negara diabad ke 7 tempat pusat pengumpulan dana itu disebut Baitul al-
Mal yang mana pada masa Nabi Muhammad terletak di masjid Nabawi. Pemasukan Negara
yang sangat sedikit disimpan di lembaga ini dalam jangka waktu yang pendek untuk
selanjutnya didistribusikan seluruhnya kepada masyarakat.3
2. Pada Masa Khulafaur Rasyidin
a. Pada Masa Abu Bakar
Dalam menjalankan pemerintahan dan roda ekonomi masyarakat Madinah Abu Bakar
sangatlah memperhatikan perhitungan zakat. Dalam kesempatan yang lain Abu Bakar
memberikan arahan kepada amil yang sama bahwa kekayaan dari orang yang berbeda tidak
dapat di gabungkan, atau kekayaan yang telah digabungkan tidak dapat dipisahkan. Hasil dari
kegiatan pengumpulan zakat yakni sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam baitul
mal untuk langsung didistribusikan kepada kaum muslimin tanpa tersisa. Prinsip yang
digunakan pada masa Abu Bakar dalam penyaluran zakat adalah prinsip kesamarataan yaitu
memberikan jumlah yang sama kepada sahabatnya dan tidak membeda-bedakannya.
b. Pada Masa Umar
Selanjutnya pada masa Umar praktik ekonomi islam semakin luas dan maju
dibandingkan pada masa Abu Bakar dibuktikan dengan ditaklukannya negara-negara yang
ada disekitar jazirah Arabia yang meliputi Romawi kuno (Syiria, Palestina dan Mesir) dan
seluruh Persia termasuk Irak. Adapun titik berat kebijakan ekonomi islam pada masa umar
yakni pada pengelolaan baitul mal dan pajak pengelolaan tanah yang disita dari negara yang
ditaklukannya

3
Lailatul Qadariyah, Buku Ajar Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Duta Media Publishing, 2018). H. 17-
18.
4
c. Pada Masa Usman
Pada masa Usman tidak mengambil upah dari kantornya melainkan ia meringankan
beban pemerintah dalam hal-hal yang serius bahkan menyimpan uangnya pada bendahara
negara. Kebijakan Usman juga berbeda dengan kebijakan sebelumnya yaitu ia tidak memiliki
control harga.
d. Pada masa Ali bin Abi Thalib
Kebijakan ekonomi pada masa pemerintahannya ialah ia menetapkan pajak terhadap
pemilk hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, gubernur Jufah untuk
memungut zakat sayur segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan. Pada masa
pemerintahannya juga ali memiliki prinsip bahwa pemerataan distribusi uang rakyat yang
sesuai dengan kapasitasnya.4
3. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Daulah Umayyah dan Daulah
Abbasiyah
a. Masa Daulah Umayyah
Selama masa pemerintahan dinasti ini, telah terjadi pergeseran nilai-nilai kepemimpinan
Islami yang sangat mengedepankan asas-asas musyawarah dan kebersamaan menjadi
kepemimpinan otoriter. Keadaan tersebut memacu timbulnya hasrat sebagian besar khalifah
Bani Umayyah untuk memanfaatkan kekuasaan sebagai sarana memperkaya diri dan
keluarganya. Baitul Mal yang merupakan kantor perbendaharaan umat seakan menjadi milik
pribadi para pangeran.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terdapat dua macam Baitul Mal; umum dan
khusus. Pendapatan Baitul Mal Umum diperuntukkan bagi seluruh masyarakat umum.
Sedangkan Baitul Mal khusus diperuntukkan bagi para sultan dan keluarganya. Namun,
dalam prakteknya, tidak jarang berbagai penyimpangan penyaluran harta Baitul Mal tersebut.
Pengeluaran untuk kebutuhan para sultan, keluarga, dan para sahabat dekatnya banyak yang
diambilkan dari kas Baitul Mal Umum. Begitu pula halnya dengan pengeluaran lainnya yang
tidak berhubungan dengan kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan. Dengan demikian
telah terjadi disfungsi penggunaan dana Baitul Mal pada masa dinasti Bani Umayyah.
1) Khalifah Muawiyyah bin Abi Sofyan
Pada masa pemerintahannya, khalifah Muawiyah bin Abi Sofyan mendirikan dinas
beserta dengan berbagai fasilitasnya, menertibkan angkatan perang, mencetak mata uang, dan
mengembangkan jabatan qadi (hakim) sebagai jabatan profesional. Selain itu, khalifah

4
Mudhiiah, “Analisis sejarah pemikiran ekonomi islam masa klasik” IQTISHADIA” 2016, Vol 8 (2), h.
199-207.
5
Muawiyyah bin Abi Sofyan menerapkan kebijakan pemberian gaji tetap kepada para tentara,
pembentukan tentara profesional, serta pengembangan birokrasi, seperti fungsi pengumpulan
pajak dan administrasi politik.
2) Khalifah Abdul Malik bin Marwan
Pemikiran yang serius terhadap penertiban dan pengaturan uang dalam masyarakat Islam
muncul di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan. Hal ini dilatarbelakangi
olehpermintaan pihak Romawi agar khalifah Abdul Malik bin Marwan menghapus kalimat
Bismillahirrohmaanirrohiim dari mata uang yang berlaku pada khilafahnya. Pada saat itu,
bangsa Romawmengimpor dinar Islam dari Mesir. Akan tetapi, permintaantersebut
ditolaknya. Bahkan, khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak mata uang Islam tersendiri
dengan tetap mencantumkan kalimat Bismillahirrohmanirrohim pada tahun74H (659M) dan
menyebarkannya ke seluruh wilayah Islamseraya melarang pemakaian melakukan percetakan
mata uanglain . ia juga menjatuhkan hukuman ta’zir kepada mereka yangmelakukan
percetakan mata uang di luar percetakan NegaraSelain itu ia juga melakukan berbagai
pembenahan administraspemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasaresmi
administrsi pemerintahan Islam (Amalia, 2010).
3) Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Selama masa pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz menerapkan kembali ajaran Islam
secara utuh menyeluruh berbagai pembenahan dilakukannya di seluruh sektor kehidupan
masyarakat tanpa pandang bulu. Langkah ini dimulai berdirinya sendiri. Ketika diangkat
sebagai khalifah, umar bin Abdu Aziz mengumpulkan rakyatnya dan mengumumkan serta
menyerahkan seluruh harta kekayaan diri dan keluarganya yangtidak wajar kepada kaum
muslimin melalui Baitul Mal, mula dari tanah-tanah perkebunan di Maroko, berbagai
tunjangan yang berada di Yamamah, Mukaedes, Jabal Wars, Yaman, dan Fadak, hingga
cincin pemberian Al-Walid. Selama berkuasa, iajuga tidak mengambil sesuatupun dari Baitul
Mal, termasukpendapatan fai yang telah menjadi haknya.
Pada masa pemerintahannya, khalifah Umar bin Abdul Aziz memprioritaskan
pembangunan dalam negeri. Menurutnya memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan
negeri-negeri Islam adalah lebih baik dari pada menambah perluasan wilayah. Dalam rangka
ini pula, ia menjaga hubungan baik dengan pihak oposisi dan memberikan hak kebebasan
beribadah kepada penganut agama lain.5

5
Muhammad Nurul Huda, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Daulah Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah” Dalam Jurnal: Journal Of Social Sciences & Humanities “Estoria” Universitas Indraprasta Pgri, 2021,
Vol 1 (2). h. 136-148.
6
a. Masa Daulah Abbasiyah
Pada masa Daulah Bani Abbasiyah, pusat pemerintahan Islam dipindahkan dari Damaskus
ke Baghdad. Dalam kurun waktu lebih dari lima abad dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Berdasarkan hal ini, Ahmad Syalabi membagi membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah
menjadi tiga periode, yaitu:
1) Periode pertama, berlangsung dari tahun 132 H sampai 232 H.
Pada periode ini, kekuasaan berada ditangan para khalifah secara penuh.
2) Periode kedua, berlangsung dari tahun 232 H sampai 590H.
Pada periode ini kekuasaan politik berpindah dari tangan khalifah kepada golongan Turki
(232 H-334 H), dan Bani Saljuk (447 H-590 H).
3) Periode ketiga, berlangsung dari tahun 590 H sampai 656 H.

Pada periode ini kekuasaan kembali di tangan khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan
sekitarnya. Diantara periode-periode pemerintahannya tersebut, dinastiAbbasiyah mencapai
masa keemasan pada periode pertama. Padamasa ini, secara politis, para khalifah benar-benar
tokoh yangkuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agamasekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapaipuncaknya. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan
bagiperkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.Karena Abdullah Al-Saffah
hanya memerintah dalam waktu yangsingkat, pembina yang sesungguhnya dan Daulah
Abbsiyahadalah Abu Ja’far Al-Manshur (136-148 H).
Pada awal pemerintahan khalifah al-Manshur, perbendaharaan negara dapat dikatakan tidak
ada karena khalifah sebelumnya, al-Saffah, banyak menggunakan dana Baitul Mal untuk
diberikan kepada para sahabat dan tentara demi mengukuhkan kedudukannya sebagai
penguasa. Hal tersebut mendorong khalifah Al-Manshur untuk bersikap keras dalam
peneguhan kedudukan keuangan negara, disamping penumpasan musuh-musuh khalifah,
sehingga masapemerintahannya ini juga dikenal sebagai masa yang penuh dengan kekerasan.
Dalam mengendalikan harga-harga, khalifah al-Manshur memerintahkan para kepala jawatan
pos untuk melaporkan harga pasarang dari setiap bahan makanan dan barang lainnya. Para
walinya agar menurunkan harga-harga ketingkat semula. Disamping itu, khalifah Al-manshur
juga sangat hemat dalam membelanjakan harta Baitul Mal. Ketika ia meninggal, kekayaan kas
negara telah mencapai 810 dirham.
Keberhasilan khalifah al-manshur dalam meletakkan dasar- dasar pemerintahan Daulah
Abbasiyah memudahkan usaha para khalifah berikutnya untuk lebih fokus terhadap
7
permasalahan ekonomi dan keuangan negara, sehingga peningkatan dan pengembangan taraf
hidup rakyat dapat terjamin. Ketika Al-Mahdi (158-169) menjadi khalifah, keadaan negara
telah stabil. Ia banyak menerapkan kebijakan yang menguntungkan rakyat banyak, seperti
pembangunan tempat-tempat persinggahan para musafir haji, pembuatan kolam-kolam air bagi
para kafilah dengan beserta hewan bawaannya, serta memperbaiki dan memperbanyak jumlah
telaga dan perigi. Ia juga mengembalikan seluruh harta yang dirampas ayahnya kepada
pemiliknya masing-masing.
Pada masa pemerintahan Al-Mahdi, perekonomian negara mulai meningkat dengan
peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan, seperti
emas, perak, tembaga dan besi. Di samping itu jalur transit perdagangan antara Timur dan
Barat juga menghasilkan kekayaan. Dalam hal ini, basrah menjadi pelabuhan yang penting.
Dengan demikian, setor-sektor pertanian yang menunjang kemakmuran Daulah Abbasiyah
adalah pertanian, pertambangan dan perdagangan.
Untuk meningkatkan sektor pertanian, pemerintah pengeluarkan berbagai kebijakan yang
membela hak-hak kaum tani, seperti peringanan hasil pajak hasil bumi, penjaminan hak milik
dan keselamatan jiwa, perluasan lahan pertanian di setiap daerah, dan pembangunan berbagai
bendungan dan kanal. Sementara untuk meningkatkan sektor perdagangan, pemerintah
membuat sumur-sumur membangun tempat-tempat peristirahatan para kafilah dagang, dan
mendirikan berbagai armada dagang serta menjaga keamanan pelabuhan dan pantai.
Ketika tampuk pemerintahan dikuasai khalifah Harun AlRasyid (70-193 H), pertumbuhan
ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya.
Pada masa pemerintahannya, khalifah Harun Al-rasyid melakukan diversifikasi sumber
pendapatan negara. Ia membangun Baitul Mal untuk mengurus keuangan negara dengan
menujuk seorang wajiz yang menjadi kepala beberapa diwan, yaitu:
1) Diwan al-khazanah, bertugas mengurus seluruh perbendaharaan negara.
2) Diwan al-Azra’, bertugas mengurus kekayaan negara yang berupa hasil bumi.
3) Diwan Khazain Al-Silah, bertugas mengurus perlengkapan angkatan perang.
4) Sumber pendapatan pada masa pemerintahan ini adalah kharaj, jizyah, zakat, fai,
ghanimah, usyr, dan harta lainnya. Seperti wakaf, sedekah dan harta warisan orang yang
tidak mempunyai ahli waris. Seluruh pendapatan negara tersebut dimasukkan kedalam
baitul Mall dan dikeluarkan berdasarkan kebutuhan pada masa pemerintahan Khalifah
Harun Al-Rasyid, pendapatan Baitul Mal dialokasikan untuk riset ilmiah dan
penterjemahan buku-buku Yunani, disamping untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin

8
pegawai. Pendapatan tersebut juga dialokasikan untuk membiayaai para tahanan dalam
hal penyediaan makanan dan pakaian musim panas dan dingin.
Sepeninggal Harun Al-Rasyid, tampuk pemerintahan Daulah Abbasiyah diserahkan
kepada Khalifah Al-Ma’mun (198-218H). Pribadi AL-Ma’mun adalah pribadi yang sangat
mencintai ilmu dan hal ini sangat mempengaruhi berbagai kebijakannya. Pada masa
pemerintahannya, khalifah Al-Ma’mun memberikan perhatian yang besar terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Ia semakin menggalakkan aktifitas
penerjemahan buku-buku asing.
Untuk menunjang hal tersebut, pemerintah mengalokasikan dana Baitul Mal untuk gaji
para penterjemah. Khalifah Al-Ma’mun juga mendirikan sekolah-sekolah dan yang termasyhur
adalah Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
dilengkapi perpustakaan yang besar. Pada masa tersebut, baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dari gambaran diatas, terlihat bahwa Dinasti Bani
Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam, termasuk kehidupan perekonomian, dari pada perluasan wilayah. Setelah melewati
periode ini, Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dan akhirnya dihancurkan oleh bangsa
Mongol pada tahun 1258 M.6
B. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam
1. Definisi Etika
Secara etimologi, etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos7 mempunyai
beragam arti : pertama, sebagai analisis konsep-konsep terhadap apa yang harus, mesti, tugas,
aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, aplikasi ke
dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, aktualisasi kehidupan yang baik
secara moral. Etika merupakan filsafat tentang moral. Jadi sasaran etika adalah moralitas.
Moralitas adalah istilah yang dipakai untuk mencakup praktek dan kegiatan yang
membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, aturan-aturan yang mengendalikan kegiatan
itu dan nilai yang tersimpul didalamnya, yang dipelihara atau dijadikan sasaran oleh kegiatan
dan praktik tersebut.8 Menurut Robert C. Solomon, moral tidak diartikan sebagai aturanaturan
dan ketaatan, tetapi lebih menunjuk kepada bentuk karakter atau sifat-sifat individu seperti

6
Huda, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Daulah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah” Dalam
Jurnal: Journal Of Social Sciences & Humanities “Estoria” Universitas Indraprasta Pgri, 2021, Vol 1 (2). h. 136-
148.
7
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 32
8
O.P. Simorangkir, Etika Bisnis, (Jakarta: Aksara Persada, 1992), h. 4.
9
kebajikan, kasih sayang, kemurahan hati dan sebagainya, yang semuanya itu tidak terdapat
dalam hukum.9
Menurut K. Bertens dalam buku Etika10, merumuskan pengertian etika kepada tiga
pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik.
Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk. Menurut Ahmad Amin11 memberikan
batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.
Dalam ajaran Islam, istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika dalam Al-
Quran adalah Khuluq. Dalam kamus al-Munawwir, khuluq berarti ; ta'biat, budi pekerti,
kebiasaan , kesatriaan dan keperwiraan, agama.12 Kata khuluq dari kholuqo sangat dengan
khalq dari kholaqo yang berarti ; menjadikan, menciptakan . Dari kata kholaqo – yakhluqu
keluar kata khaliq ; sang pencipta, dan makhluk ; yang diciptakan. Dan dari kata kholuqo –
yakhluqu keluar istilah al-akhlaq yang kemudian sudah menjadi sebuah ilmu tersendiri.
Dalam khazanah pemikiran Islam, etika dipahami sebagai Al-Akhlaq atau Al-Adab yang
bertujuan untuk mendidik moralitas manusia. Etika terdapat dalam materi-materi kandungan
ayat-ayat Al-Quran yang sangat luas, dan dikembangkan dalam pengaruh filsafat Yunani
hingga para sufi.
2. Definisi Bisnis
Kata bisnis dalam Alquran biasanya yang digunakan al-tijarah, al-baal-bai', tadayantum
dan isytara13. Tetapi yang seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab
tijaraha, berawal dari kata dasar tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau
berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan14(menurut kamus
almunawwir). Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib Al-Qur’an, at-
Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa term bisnis dalam Al-Qur’an dari tijarah pada

9
O.P. Simorangkir, Etika Bisnis, h. 4.
10
K. Barten, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 27.
11
Ahmad Amin, Etika : Ilmu Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 36.
12
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
h. 364.
13
Dalam QS. 2 : 282 ; QS An-Nisa : 29, QS. At-Taubah : 34 ; QS An-Nur : 37 ; QS As-Shaff : 10.
14
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, h. 534.
10
hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan mencari keuntungan
material semata, tetapi bersifat material sekaligus immaterial, bahkan lebih meliputi dan
mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan kualitas. Aktivitas bisnis tidak hanya
dilakukan semata manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah swt., bahwa
bisnis harus dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam proses administrasi dan
perjanjian-perjanjian dan bisnis tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan, kebohongan,
hanya karena memperoleh keuntungan. Dalam hal ini, ada dua definisi tentang pengertian
perdagangan, dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu menurut mufassir dan ilmu fikih:
1) Menurut Mufassir, Bisnis adalah pengelolaan modal untuk mendapatkan keuntungan ;
2) Menurut Tinjauan Ahli Fikih, Bisnis adalah saling menukarkan harta dengan harta
secara suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya penggantian15.
Menurut cara yang dibolehkan penjelasan dari pengertian di atas :
a) Perdagangan adalah satu bagian muamalat yang berbentuk transaksi antara seorang
dengan orang lain.
b) Transaksi perdagangan itu dilaksanakan dalam bentuk jual beli yang diwujudkan
dalam bentuk ijab dan qabul.

c) Perdagangan yang dilaksanakan bertujuan atau dengan motif untuk mencari


keuntungan.
3. Definisi Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam

Etika sebagai perangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang
salah, sedangkan bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan pelaku bisnis,
maka etika diperlukan dalam bisnis. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, etika bisnis
adalah norma-norma atau kaidah etik yang dianut oleh bisnis, baik sebagai institusi atau
organisasi, maupun dalam interaksi bisnisnya dengan “stakeholders”nya. Etika dan tindak
tanduk etisnya menjadi bagian budaya perusahaan dan “built-in” sebagai perilaku (behavior)
dalam diri karyawan biasa sampai CEO. bahkan pengusaha sekalipun yang standarnya tidak
uniform atau universal. Tapi lazimnya harus ada standar minimal. Ketidak universalan itu
mencuatkan berbagai perspektif suatu bangsa dalam menjiwai, mengoperasikan dan setiap
kali menggugat diri.

Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita
tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan

15
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 13.
11
usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika bisnis harus dimulai dengan
menyediakan kerangka prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan
istilah baik dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas
implikasi-implikasi terhadap dunia bisnis. Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis
secara umum dan menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan mendeskripsikan
beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan
dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.

Dengan demikian, bisnis dalam Islam memposisikan pengertian bisnis yang pada
hakikatnya merupakan usaha manusia untuk mencari keridhaan Allah swt.. Bisnis tidak
bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi
matematika, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab
pribadi dan sosial dihadapan masyarakat, negara dan Allah swt.

4. Tujuan Umum Etika Bisnis Islam


Dalam hal ini, etika bisnis Islam adalah merupakan hal yang penting dalam perjalanan
sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika
bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal
sebagai berikut 16:
a. Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode
berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar
melindungi pelaku bisnis dari risiko.
b. Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku
bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas
segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah swt..
c. Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan
yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
d. Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi
antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja. Sebuah hal yang
dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua.

16
Husein Syahata, Etika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 12
12
5. Prinsip-prinsip Etika Bisnis Dalam Al-Qur’an17
Etika bisnis Islam merupakan etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai al Qur’an.
Oleh karena itu, beberapa nilai dasar dalam etika bisnis Islam yang disarikan dari inti ajaran
Islam itu sendiri adalah, antara lain :
a. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik,
sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan
keteraturan yang menyeluruh.
Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu,
vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem
Islam.
Jika konsep tauhid diaplikasikan dalam etika bisnis, maka seorang pengusaha muslim
tidak akan :
1) Berbuat diskriminatif terhadap pekerja, pemasok, pembeli, atau siapapun dalam bisnis atas
dasar ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama.
2) Dapat dipaksa untuk berbuat tidak etis, karena ia hanya takut dan cinta kepada Allah swt.
Ia selalu mengikuti aturan prilaku yang sama dan satu, dimanapun apakah itu di masjid,
ditempat kerja atau aspek apapun dalam kehidupannya.
3) Menimbun kekayaan dengan penuh keserakahan. Konsep amanah atau kepercayaan
memiliki makna yang sangat penting baginya karena ia sadar bahwa semua harta dunia
bersifat sementara dan harus dipergunakan secara bijaksana.
b. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat
curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan
besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang
selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci
keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin
untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan

17
D. Darmawati. 2013. “Etika Bisnis dalam Perspektif Islam: Eksplorasi Prinsip Etis Al-Qur’an dan
Sunnah”. Dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 11, No. 1. Hlm. 58-68.
13
kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
‫ت اِ َ ذَ فَاَْ اَْل اوَ ْفو ََا‬
‫َط ََم لل ََ اْْ َ َِْ ْ مْ ا‬
ْ ‫افَافَ ولَِ ََم اَ َ اَ َْ ا َ َْ َ ل َِ اف ْْلَِ َ ْْ ََمْْ ََسا‬

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Isra’:35)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak
terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Maidah : 8
‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ هللِ ُشهَدَآ َء بِ ْالقِ ْس ِط َوالَ يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَئَانُ قَوْ ٍم َعلَى أَالَّ تَ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا هُ َو أَ ْق َربُ لِلتَّ ْق َوى‬
َ‫ُُ بِ َما تَ ْع َملُون‬
ُ ‫َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن هللاَ َخبِير‬
Artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
c. Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya
batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja
dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak
terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya
melalui zakat, infak dan sedekah.
d. Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena
tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis
prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa
yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya.

e. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran


Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran
dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi)
14
proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan keuntungan.
Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku
preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi,
kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis yang
dijadikan sebagai prinsip, di antaranya ialah:18
1) Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran
merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens
menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau bersabda:“Tidak
dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia
menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan
kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis.
Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang
baru di bagian atas.
2) Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak
hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan
Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun
(menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis,
bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan
bagi orang lain dengan menjual barang.
3) Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para
pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah
hadis riwayat Abu Dawud, dari Abu Hurairah bahwanya saya mendengar Rasulullah saw
bersabda, “Sumpah itu melariskan dagangan tetapi menghapuskan keberkahan”. Praktek
sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan
pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus
disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak
berkah.
4) Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis.
Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan
toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).

18
D. Darmawati. 2013. “Etika Bisnis dalam Perspektif Islam: Eksplorasi Prinsip Etis Al-Qur’an dan
Sunnah”. Dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 11, No. 1. Hlm. 58-68.
15
5) Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli
dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis
najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga,
bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).
6) Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan
maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
7) Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa
tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun
diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
8) Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar
dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: Celakalah bagi orang yang
curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi” ( QS. 83: 112).
9) Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang
tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan
membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan
menjadi goncang”.
10) Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini
mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah
harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
11) Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi
monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu
tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti
barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi,
tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
12) Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat
merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan
bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal,
seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya
menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi
hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.
16
13) Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram,
seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-
patung” (H.R. Jabir).
14) Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil,
kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS.
4: 29).
15) Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim
yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-
baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
16) Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda
Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang
atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada
hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
17) Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang
yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah::
278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275).
Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
18) Membangun hubungan baik antar kolega. Islam menekankan hubungan konstruktif
dengan siapapun antar sesame pelaku bisnis. Islam tidak menghendaki dominasi pelaku
yang satu atas pelaku yang lainnya baik dalam bentuk monopoli, oligopoly, maupun
bentuk-bentuk lain yang tidak mencerminkan nilai keadilan atau pemerataan pendapatan.
19) Menetapkan harga dengan transparan. Harga yang tidak transparan bisa mengandung
penipuan. Untuk itu menetapkan harga secara terbuka dan wajar sangat dihormati dalam
Islam agar tidak terjerumus dalam Riba. Kendati dalam bisnis kita sangat ingin
memperoleh keuntungan, tetapi hak-hak pembeli harus tetap dihormati.
20) Tertib administrasi. Dalam dunia perdagangan wajar terjadi praktik pinjam meminjam.
Dalam hubungan ini al Qur’an mengajarkan perlunya administrasi hutang piutang tersebut
agar manusia terhindar dari kesalahan yang mungkin terjadi.
6. Upaya Mewujudkan Etika Bisnis untuk Membangun Bisnis yang Islami untuk
Menghadapi Tantangan Bisnis di Masa Depan
Dalam upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun bisnis yang islami yang
harus dilakukan adalah pertama, suatu rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis.
17
Pandangan bahwa etika bisnis sebagai bagian tak terpisahkan atau menyatu merupakan
struktur fundamental sebagai perubahan terhadap anggapan dan pemahaman tentang
kesadaran sistem bisnis amoral yang telah memasyarakat.
Bisnis dalam Al-Qur’an disebut sebagai aktivitas yang bersifat material sekaligus
immaterial. Sehingga suatu bisnis dapat disebut bernilai, apabila kedua tujuannya yaitu
pemenuhan kebutuhan material dan spiritual telah dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan
pandangan kesatuan bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika suatu bisnis
bernilai, apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang, tidak
mengandung kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Akan tetapi mengandung nilai
kesatuan, keseimbangan, kehendak bebas, pertanggung-jawaban, kebenaran, kebajikan dan
kejujuran. Dengan demikian etika bisnis dapat dilaksanakan oleh siapapun. Kedua, yang patut
dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun tatanan bisnis
yang Islami yaitu diperlukan suatu cara pandang baru dalam melakukan kajian-kajian
keilmuan tentang bisnis dan ekonomi yang lebih berpijak pada paradigma pendekatan
normatif etik sekaligus empirik induktif yang mengedepankan penggalian dan pengembangan
nilai-nilai Al-Qur’an agar dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman yang semakin
cepat, atau dalam kategori pengembangan ilmu pengetahuan modern harus dikembangkan
dalam pola pikir abductive pluralistic19

19
Taufiq Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 27.
18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh
pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan
hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien.

Dasar – dasar hukum bisnis dalam Islam terdapat di Al-Qur’an antara lain: dalam surat
An-Nisa’ : 29, At-Taubah : 24, An-Nur : 37, dan lain-lain.

Adapun etika dalam bisnis Islam antara lain:


1. Kesatuan (Tauhid/Unity)
2. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
3. Kehendak Bebas (Free Will)
4. Tanggungjawab (Responsibility)
5. Kebenaran; Kebajikan dan Kejujuran

B. SARAN
Penyusun menyadari bahwa makalah ini terdapat banyak kesalahan didalam
penulisannya, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka penyusun mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari ibu dosen dan semua para pembaca demi perbaikan
makalah selanjutnya, serta menuju arah yang lebih baik lagi kedepannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1982. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.

Amin, Ahmad. 1995. Etika: Ilmu Akhlak. Jakarta: Bulan Bintang.

D. Darmawati. 2013. “Etika Bisnis dalam Perspektif Islam: Eksplorasi Prinsip Etis Al-
Qur’an dan Sunnah”. Dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 11, No. 1. Hlm.
58-68.

Mudhiiah, Kharidatul. 2016. “Analisis sejarah pemikiran ekonomi islam masa klasik”
IQTISHADIA. Vol 8 (2). h. 199-207.

Huda, Muhammad Nurul. 2021. “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Daulah
Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah” Dalam Jurnal: Journal Of Social Sciences &
Humanities “Estoria” Universitas Indraprasta Pgri. Vol 1 (2). h. 136-148.

Husein Syahata. 2002. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

K. Barten. 2002. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

O.P. Simorangkir. 1992. Etika Bisnis. Jakarta: Aksara Persada.

Warson Munawwir, Ahmad. 1997. Al Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya:


Pustaka Progressif.

Wardi Muslich, Ahmad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.

Winarno. 2017. “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” Dalam Jurnal: Ilmu Syari’ah Dan
Perbankan Islam. Vol. 2 (1). h. 27-46.

Qadariyah, Lailatul. 2018. Buku Ajar Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Duta Media
Publishing.

20
21

Anda mungkin juga menyukai