Anda di halaman 1dari 4

Strategi Penanganan Coovid-19

A. Pendahuluan
Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei,
China. Pada tanggal 7 Januari 2020, China mengidentifkasi pneumonia yang tidak
diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (novel coronavirus).
Pada awal tahun 2020 NCP mulai menjadi pendemi global dan menjadi masalah
kesehatan di beberapa negara di luar RRC. Berdasarkan World Health
Organization (WHO) kasus kluster pneumonia dengan etiologi yang tidak jelas di
Kota Wuhan telah menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia. Penyebaran
epidemi ini terus berkembang hingga akhirnya diketahui bahwa penyebab kluster
pneumonia ini adalah Novel Coronavirus. Pandemi ini terus berkembang hingga
adanya laporan kematian dan kasus-kasus baru di luar China. Pada tanggal 30
Januari 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC)/ Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang
Meresahkan Dunia (KKMMD). Pada tanggal 12 Februari 2020, WHO resmi
menetapkan penyakit novel coronavirus pada manusia ini dengan sebutan
Coronavirus Disease (COVID-19). COVID-19 disebabkan oleh SARS-COV2
yang termasuk dalam keluarga besar coronavirus yang sama dengan penyebab
SARS pada tahun 2003, hanya berbeda jenis virusnya. Gejalanya mirip dengan
SARS, namun angka kematian SARS (9,6%) lebih tinggi dibanding COVID-19
(saat ini kurang dari 5%), walaupun jumlah kasus COVID-19 jauh lebih banyak
dibanding SARS. COVID-19 juga memiliki penyebaran yang lebih luas dan cepat
ke beberapa negara dibanding SARS.
Pandemi COVID-19 merupakan kedaruratan kesehatan masyarakat. Dalam
situasi seperti ini tentu berbagai institusi Pemerintah, non Pemerintah, dan
masyarakat ingin berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung,
diantaranya dalam bentuk sumbangan pemikiran untuk perbaikan strategi
penanganan COVID-19. Sampai saat ini, dalam aspek kesehatan terdapat
beberapa permasalahan yang perlu ditangani yakni: 1) Kapasitas Keamanan
Kesehatan (health security); 2) Kapasitas Pelayanan Kesehatan; 3) Upaya
Promotif-Preventif; dan 4) Manajemen Respons.
B. Strategi Perencanaan
1. Kapasitas Keamanan Kesehatan
Fokus kegiatan utama adalah perbaikan kesiapan (preparedness), khususnya
sistem surveilans terintegrasi, manajemen data dengan SDM yang kompeten,
termasuk pengembangan SDM untuk laboratorium rujukan yang didukung dengan
penguatan pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan. Sistem surveilans
yang terintegrasi pusat-daerah, real-time, dan bersifat mandatory perlu segera
diwujudkan. Rekomendasi konservatif: surveilans diteruskan di bawah koordinasi
Kementerian Kesehatan dengan peningkatan kapasitas sistem dan SDM, tugas
verifikasi kasus diserahkan kepada kabupaten/kota agar mampu interoperable &
real time, monitoring dan evaluasi oleh Kementerian Kesehatan, serta pelatihan
dan pendampingan berkelanjutan. Rekomendasi progressif: sistem surveilans 24
jam, independent, flexible, dan mumpuni, dikelola oleh badan independen dengan
SDM professional, berdisiplin tinggi, serta bekerja 7 hari seminggu 24 jam sehari
selama pandemi COVID-19 belum berakhir. Perbaikan manajemen data yang
didukung SDM terlatih, infrastruktur memadai, dan teknologi yang mumpuni
perlu dilakukan serta perlu keterbukaan untuk mereview sistem lain di luar
birokrasi dan dapat diakses oleh masyarakat secara luas. Pada awal pandemi, data
yang tidak lengkap menyebabkan keterlambatan proses pengambilan spesimen di
lapangan. Peran pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan penanganan
COVID-19 yang responsif perlu diperkuat.
2. Kapasitas Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan dalam pandemi COVID-19 menggunakan prinsip
surge capacity. Penanganan surge capacity yang efektif perlu melibatkan sektor
lain dan swasta, serta memperhitungkan hazard vulnerability assessments
(HVAs). Pemerintah daerah perlu memperhatikan kecukupan jumlah tenaga
kesehatan terlatih, dan menyiapkan tenaga relawan medis dan non medis, mulai
dari pelatihan sampai prosedur perijinan khusus. SDM kesehatan yang telah ada
perlu dipertahankan dengan melindungi kondisi fisik dan mental mereka agar
tidak kelelahan, sehingga rentan terkena COVID-19 dan juga melindungi
masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dari tindakan yang salah. Peran
pemda adalah mengembangkan early warning system sebagai alat bantu
pengambilan keputusan pengadaan dan pendistribusian farmalkes yang lebih cepat
dan akuntabel serta memastikan sistem informasi yang di update secara harian
untuk mengetahui peta kebutuhan logistik guna mengantisipasi surge capacity.
Perampingan administrasi perlu dilakukan, misalnya penyederhanaan protokol
penerbangan dan birokrasi Bea dan Cukai yang memperlambat pasokan alat
kesehatan dan obat. Penambahan fasilitas rawat inap harus sejalan dengan
penambahan ruang isolasi negatif/non-negatif dan ruang isolasi mandiri yang
memegang peran sentral untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih lanjut
maupun munculnya klaster baru. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas bagi
warga yang perlu isolasi mandiri namun tidak memungkinkan isolasi di rumah.
Selain itu, kapasitas fasilitas pengolahan limbah medis dan pemerataannya perlu
ditingkatkan. Pemerintah daerah harus memonitor lewat koordinasi lintas sektor
yang terlibat dalam pengelolaan limbah medis dan antardaerah. Mobilisasi sumber
daya finansial & non-finansial, kesinambungan layanan kesehatan esensial, dan
koordinasi pelayanan kesehatan perlu ditingkatkan. Dana realokasi APBN lewat
identifikasi pos-pos belanja yang bisa dihemat bisa digunakan untuk upgrading
RS Rujukan COVID-19, pengadaan medical supplies dan equipments, penyediaan
insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani pasien COVID-19, hingga
penyediaan biaya perawatan pasien dan pemulangan jenazah.
3. Upaya Promotif dan Preventif
Penerapan PSBB sebenarnya merupakan intervensi efektif untuk
memperlambat mobilitas masyarakat yang secara langsung mempengaruhi angka
reproduksi (R0) COVID-19. 79/2020, namun belum disertai upaya promotif yang
diarahkan ke pembentukan norma baru. Peningkatan upaya promosi melalui
strategi komunikasi yang efektif dapat diukur dari peningkatan health literacy
masyarakat yang tercermin dari persentase masyarakat yang mematuhi protokol
kesehatan. Untuk menunjang perilaku hidup sehat, upaya promosi perlu didukung
upaya identifikasi kelompok yang membutuhkan dukungan pemerintah dalam
pengadaan layanan sanitasi dan hygiene serta air minum. Untuk meningkatkan
penerimaan vaksin, telah disiapkan langkahlangkah komunikasi risiko dan
pemberdayaan masyarakat yang mengidentifikasi cara menjangkau masyarakat
dengan akses informasi paling terbatas, seperti masyarakat miskin dan rentan.
Komunikasi perlu dilakukan oleh pemerintah dalam proses penyiapan sampai
dengan implementasi vaksinasi COVID-19, termasuk komunikasi rencana
komprehensif tentang penyediaan vaksin COVID-19, penentuan prioritas
vaksinasi COVID-19, dan penyiapan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam
vaksinasi COVID-19.
4. Manajemen Respons
Manajemen respons memerlukan kapasitas komunikasi risiko yang
memadai, mobilisasi sumberdaya yang akuntabel dan transparan, serta
kelembagaan dan koordinasi lintas sektor yang membuat masyarakat merasa aman
dan terlindungi oleh negara. Di tengah ketidakpastian, masyarakat berharap
pemerintah menghadirkan informasi yang tegas dan akurat sejak awal pandemi.
Bantuan internasional bermunculan, peningkatan filantropi lokal dan inisiatif
spontan masyarakat sipil termasuk perusahaan swasta nasional dalam pemenuhan
kebutuhan APD dan alat kesehatan di awal pandemi perlu dicatat sebagai bagian
dari sejarah peningkatan yang signifikan keterlibatan masyarakat dalam proses
pembangunan kesehatan. Kendala berupa kelambatan pendistribusian masih
terjadi karena sistem birokrasi yang panjang dari pusat ke daerah dan distribusi
masih diprioritaskan untuk RS Pemerintah walau RS swasta juga membutuhkan
peningkatan ruang isolasi dan tes PCR.

Anda mungkin juga menyukai