Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Sejarah bioluminesensi

Tulisan tertua tentang bioluminesensi dibuat 2500 tahun yang lalu oleh Aristoteles dalam
bukunya yang berjudul "Tentang Warna". Aristoteles menyebutkan bahwa telah tersedia sesuatu
yang secara alami seperti anggota kepala ikan dan tinta dari sotong yang dapat menghasilkan
cahaya atau pendaran. Pada tahun 1887, Raphaël Dubois sukses mengisolasi lusiferin (substrat
untuk reaksi bioluminesensi) dan enzim lusiferase (ketalis) dari piddock, sejenis remis laut.
Temuan tersebut dipopulerkan dan dilanjutkan oleh Edmund Newton Harvey yang menyatakan
bahwa senyawa lusiferin dan lusiferase yang ditemukan pada berbagai spesies makhluk hidup
tidak dapat ditukar.

Pada tahun 1967, Robert Boyle, seorang ilmuwan dari Inggris mempublikasikan
penelitiannya tentang reaksi bioluminesensi pada fungi yang memerlukan udara. Laporan
berikutnya menyebutkan bahwa oksigen merupakan komponen udara yang berperan dalam
reaksi tersebut. Penelitian tentang bioluminesensi mengembang pesat setelah Osamu
Shimomura, seorang mahir biologi kelautan dan kimia organik, sukses meneliti tentang protein
yang bertanggungjawab dalam menghasilkan luminesensi pada spesies ubur-ubur Aequorea
victoria yang dinamakan dengan aequorin. Protein tersebut akan berikatan dengan ion kalsium
dan menghasilkan cahaya biru yang diserap oleh protein berpendar hijau ubur-ubur. Pada tahun
1985, aequorin sukses dikloning ke dalam makhluk hidup lainnya dan semenjak itu aplikasi
bioluminesensi mulai banyak diteliti. Hingga saat ini, bioluminesensi telah ditemukan secara
alami pada berbagai macam makhluk hidup seperti cendawan, bakteri, dan organisme di
perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan vertebrata terestrial, amfibi,
dan mamalia. Sebagian besar plankton memiliki kemampuan menghasilkan pendaran, terutama
plankton yang hidup di perairan laut dalam. Pada mikroba, bioluminesensi yang dihasilkan
belum diketahui manfaatnya, sedangkan pada hewan umumnya digunakan sebagai sinyal kawin,
predasi, dan perlindungan terhadap pemangsa.

2.2 Fungsi Bioluminesensi

2.2.1 Pertahanan
Gambar 1. Noctiluca scintillans, salah satu dinoflagelata yang mampu menghasilkan
bioluminesensi.

Setiap makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi
yang berbeda-beda. Beberapa makhluk hidup menggunakannya untuk pertahanan diri, seperti
yang dilakukan himpunan dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi yang
berpendar untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga memberikan kesempatan
kepadanya untuk melarikan diri dari predator. Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda, dan ikan
menggunakan pendaran untuk melakukan kamuflase dalam menghindari predator. Mekanisme
pertahanan seperti ini dinamakan dengan penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang
membuat suatu makhluk hidup tidak terlihat atau tersamarkan di sela sinar lain di sekeliling yang
terkait perairan. Pada spesies bintang ular laut, cacing laut, dan organisme bioluminesensi di
daratan, mereka benar mekanisme pertahanan yang dinamakan aposematisme, yaitu
menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa makhluk tersebut benar toksik (beracun) atau
tidak enak dimakan sehingga predator akan menghindarinya.

Pendaran pada larva kunang-kunang juga merupakan malu satu bangun-bangun


aposematisme yang melindunginya dari predator karena akan diketahui sebagai makanan yang
tidak enak atau tidak menguntungkan. Beberapa organisme di laut takut untuk memakan
zooplankton karena beberapa agung zooplankton benar pendaran yang tetap dapat terlihat saat
mereka berada di dalam perut pemangsanya. Dampaknya organisme yang memakan zooplankton
tampak berpendar dan ini membuatnya mudah diketahui dan diburu oleh predator yang lebih
tinggi tingkatannya. Fenomena ini terlihat pada peristiwa dinoflagelata yang menjadi makanan
udang misid. Udang tersebut akan tampak berluminesensi karena di dalam tubuhnya terdapat
dinoflagelata berpendar sehingga ikan Porichthys notatus dapat lebih mudah memburu dan
memakan udang itu.

2.2.2 Predasi
Selain sebagai mekanisme pertahanan, bioluminesensi pada makhluk hidup juga banyak
dimanfaatkan untuk memburu mangsa (predasi), di selanya adalah ikan angel dan hiu Isistius
brasiliensis yang menggunakan luminesensi untuk menarik mangsa mendekat. Hiu I. brasiliensis
benar anggota bawah rahang yang berpendar dan tampak seperti siluet yang dihasilkan dari
penyamaran dengan sinar, dampaknya cumi dan ikan akan mendekat karena mengira siluet
tersebut merupakan penyamaran dari mangsa mereka. Setelah cumi atau ikan mendekati
rahangnya, akan lebih mudah untuk hiu ini dalam menangkap makanannya. Hal serupa juga
dilakukan oleh paus sperma (Physeter macrocephalus) yang secara intensif menghasilkan
pendaran saat berburu mangsa di perairan laut dalam yang gelap. Mangsa yang berupa cumi-
cumi akan datang mendekati anggota mulut paus sperma yang berpendar dan saat itulah paus ini
menangkap mangsanya.

2.2.3 Sinyal Kawin

Berbagai spesies kunang-kunang menggunakan bioluminesensi sebagai sinyal kawin.


Setiap spesies benar pola dan warna pendaran yang beda. Umumnya, kunang-kunang jantan yang
terbang rendah akan memulai memancarkan pendaran untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
Selanjutnya, dalam kurun waktu tertentu kunang-kunang betina akan membalas sinyal tersebut
dengan pola pendaran spesifik yang beda. Malu satu kunang-kunang dari genus Photuris dapat
meniru dan menghasilkan pendaran yang sama seperti yang dimiliki spesies kunang-kunang
lainnya. Dampaknya pejantan atau betina dari spesies lain dapat malu mengenali dan mendekati
Photuris. Hal ini dimanfaatkan Photuris untuk memangsa spesies kunang-kunang lainnya.
Seperti halnya kunang-kunang, sejenis cacing di lautan Bermukah yang dinamakan Odontosyllis
enopla juga menggunakan bioluminesensi untuk menarik pasangannya. Cacing betina akan
mengeluarkan lendir berpendar untuk menarik pejantan. Ketika cacing jantan datang, cacing
betina akan mengeluarkan telur dan jantannya akan mengeluarkan sperma untuk melakukan
fertilisasi.

Photinus pyralis, salah satu spesies kunang-kunang yang dapat berpendar.

2.3 Reaksi Bioluminesensi


Secara umum, reaksi bioluminesensi melibatkan enzim lusiferase dan substrat lusiferin
yang bangunnya dapat beda sela organisme yang satu dengan lainnya. Berikut ini adalah
beberapa jenis lusiferin yang telah dikenal mekanisme dan bangunnya.

2.3.1 Bakteri

Reaksi yang menyebabkan terjadinya pendaran pada bakteri adalah sebagai berikut:

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin
fosfat (FMNH2) (lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak sampai menghasilkan
emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim
heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit
beta (β)[9] Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa)
disandikan oleh gen luxB. Selain luciferase, sedang terdapat beberapa enzim lain yang terlibat
dalam semuanya reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh suatu operon yang
dinamakan operon lux. Enzim lusiferase akan menggunakan substrat senyawa aldehida yang
disintesis di dalam sel dengan bantuan multienzim yang dinamakan kompleks enzim aldehida
lemak reduktase (fatty aldehyde reductase complex). Kompleks enzim ini terdiri dari tiga subunit
enzim yaitu redutase, transferase, dan sintetase yang masing-masing disandikan oleh gen luxC,
luxD, dan luxE[9]. Subunit transferase akan mengkatalisis pemindahan grup lemak asil yang
teraktivasi ke air, oksigen, dan akseptor tiol. Kedua subunit lainnya, yaitu reduktase (~54 kDa)
dan sintetase (~42 kDa)akan mengkatalisis reduksi senyawa asam lemak menjadi aldehida
dengan reaksi sebagai berikut :

RCOOH + NADPH + ATP --> RCHO + NADP + AMP + PPi.

Komponen sistem bioluminesensi lainnya adalah flavoprotein yang disandikan oleh gen
luxF.Protein ini hanya ditemukan pada Photobacterium dan fungsinya belum dikenal tapi dari
sekuens asam aminonya, dikenal bahwa protein ini homolog dengan lusiferase. Pada bakteri juga
ditemukan luxG yang diduga benar peranan dalam reaksi bioluminesensi untuk bakteri yang
hidup di sekeliling yang terkait perairan. Khusus untuk V. harveyi, juga ditemukan luxH yang
berperan dalam sistem luminesensinya. Operon lux melakukan pekerjaan dibawah pengaruh
protein regulator yang berupa protein reseptor (luxR) dan autoinduser (luxI). Selain protein-
protein yang disandikan oleh operon lux, sedang terdapat 4 protein lain yang memengaruhi
reaksi bioluminesensi, yaitu lumazine, protein fluoresensi kuning, flavin reduktase, dan aldehida
dehidrogenase. Lumazine yang ditemukan pada Photobacterium dan Vibrio berfungsi
memperpendek panjang gelombang yang dihasilkan dari emisi cahaya (<490 nm), sedangkan
protein fluoresensi kuning berfungsi mengubah panjang gelombang cahaya menjadi 540 nm pada
V. fischeri sehingga cahaya yang diemisikan merasakan perubahan warna. Flavin reduktase
dapat mengkatalisis reduksi FMN menjadi FMNH2 sehingga substrat tersedia berjalin-jalin
karena diregenerasi. Yang terakhir adalah enzim aldehida dehidrogenase yang berperan dalam
degradasi senyawa aldehida.

2.3.2 Dinoflagelata

Pada dinoflagelata, substrat lusiferin yang berperan adalah tetrapirol yang mirip dengan
klorofil namun beda pada ion metalnya.Bangun lusiferin yang seperti hampir sama juga
ditemukan pada sejenis udang yang bergenus euphausiid.Pada malu atu genus dinoflagelata yaitu
Gonyaulax, dikenal bahwa pada pH 8 molekul lusiferinnya akan berikatan dan diamankan oleh
protein pengikat lusiferin. Namun begitu terjadi perubahah pH menjadi ± 6, luciferin akan
merasakan perubahan konformasi dan mengakibatkan sisi aktinya tidak terikat dan dihasilkan
pendaran cahaya.

Bangun lusiferin dinoflagelata

2.3.3 Coelenterazine

Coelenterazine adalah jenis lusiferin dengan bangun imidazopyrazinone yang sangat


banyak ditemukan pada makhluk hidup, terutama di sekeliling yang terkait perairan. Telah
dikenal bahwa telah tersedia 6 filum makhluk hidup yang menggunakan lusiferin jenis ini, di
selanya adalah kopepoda, radiolaria, ctenophore, cnidarian, cumi, serta beberapa jenis ikan dan
udang. Selain lusiferase, lusiferin jenis ini benar fotoprotein yang dinamakan aequorin untuk
menolong penghasilan emisi cahaya
Bangun coelenterazine.

2.3.4 Ostracod

Substrat lusiferin pada ostracod (sejenis udang-udangan) sukses dikristalisasi dan


dikarakterisasi pertama kali pada tahun 1957. Lusiferin jenis ini banyak terdapat pada genus
Cypridina dan Vargula, serta beberapa jenis ikan. Para peneliti menyatakan bahwa lusiferin
ostracod disintesis dari asam amino triptofan, arginin, dan isoleusin namun jalur metabolisme
pembuatannya sedang belum dikenal. Dianggarkan bahwa mekanisme reaksi luminesensi pada
beberapa ikan tergantung dari makanannya. Beberapa jenis ikan dapat selesai berpendar apabila
kekurangan makanan.

Bangun lusiferin ostracod.

2.3.5 Kunang-kunang

Substrat lusiferin pada ostracod (sejenis udang-udangan) sukses dikristalisasi dan


dikarakterisasi pertama kali pada tahun 1957. Lusiferin jenis ini banyak terdapat pada genus
Cypridina dan Vargula, serta beberapa jenis ikan. Para peneliti menyatakan bahwa lusiferin
ostracod disintesis dari asam amino triptofan, arginin, dan isoleusin namun jalur metabolisme
pembuatannya sedang belum dikenal. Dianggarkan bahwa mekanisme reaksi luminesensi pada
beberapa ikan tergantung dari makanannya. Beberapa jenis ikan dapat selesai berpendar apabila
kekurangan makanan.

Bangun lusiferin pada kunang-kunang.

2.4 Aplikasi Bioluminesensi

 Hal telah tersedia penemuan tentang bioluminesensi telah dimanfaatkan manusia di


dalam berbagai anggota, malu satunya adalah anggota medis. Di anggota tersebut
bioluminesensi dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel kanker dalam tubuh
secara lebih cepat menempuh suatu teknologi baru yang dinamakan bioluminescence
imaging (BLI). Dengan BLI, ukuran dan lokasi sel kanker dalam tubuh dapat dikenal
sehingga tindakan perawatan yang akurat dapat ditentukan. Temuan ini juga dapat
mempermudah riset mengenai perawatan atau obat kanker yang efektif dapat mengatasi
penyakit tersebut karena perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan lebih mudah.
 Selain itu, bioluminesensi juga telah dimanfaatkan sebagai gen pelapor untuk melihat
perkembangan atau ploriferasi sel punca manusia. Penggunaan bioluminesensi sebagai
gen pelapor juga telah diaplikasikan pada tanaman transgenik hasil rekayasa genetika.
Malu satu penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan gen dari kunang-kunang
pada tanaman tembakau transgenik yang diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens
untuk mengamati ekspresi dari gen yang dibawa masuk ke tanaman tembakau tersebut.
 Dalam anggota ekologi, mikroorganisme penghasil luminesensi juga dapat dipakai untuk
pembuatan biosensor untuk mendeteksi keberadaan polutan atau kontaminan tertentu di
sekeliling yang terkait. Malu satu contoh yang telah diaplikasikan adalah pembuatan
biosensor untuk deteksi senyawa ekotoksik organotin. Dalam industri makanan,
bioluminesensi yang memanfaakan penggunaan ATP juga telah dimanfaatkan untuk
mendeteksi mikroba patogen yang terkandung di dalam makanan.

2.5 Contoh Beberapa Spesies Bioluminesence


Spesies Bioluminesence Nama dan Penjelasan
Cumi kunang-kunang
Bioluminescence adalah cahaya yang
dihasilkan oleh reaksi kimia dalam
organisme hidup. Keindahan bercahaya
ini adalah cumi kunang-kunang,
cepahlopod kecil (sekitar 8 sentimeter,
atau 3 inci) asli perairan Jepang.

Sisir Jelly
Kebanyakan organisme bioluminescent
ditemukan di laut, di mana mereka
menyediakan hampir semua cahaya di
lingkungan bentik (laut dalam). Tubuh
ubur-ubur sisir ini tembus cahaya, tetapi
menunjukkan bioluminesensi yang
cerah.

Cacing Kereta Api


Kebanyakan bioluminesensi terlihat
sebagai cahaya hijau kebiruan.
Kebanyakan organisme bioluminescient
juga hanya dapat mengekspresikan satu
warna. Cacing kereta api ini
(sebenarnya, larva kumbang) adalah
pengecualian—bahan kimia yang
berbeda di kepala dan tubuhnya
menyebabkannya bersinar dalam dua
warna yang sangat berbeda.
ikan pemancing
Bioluminescence digunakan oleh
makhluk hidup untuk berburu mangsa.
Anglerfish, seperti betina ini,
menggunakan filamen panjang yang
menyala di kepala mereka untuk
memikat mangsa. Ikan yang lebih kecil
hanya terlambat melihat rahang raksasa
yang bersembunyi di balik bobble yang
cerah.

Bintang rapuh
Beberapa hewan bercahaya, seperti
bintang rapuh ini, dapat melepaskan
bagian tubuh untuk mengalihkan
perhatian pemangsa. Pemangsa
mengikuti lengan bersinar bintang
rapuh, sementara sisa hewan merangkak
pergi dalam gelap. (Bintang rapuh,
seperti semua bintang laut, dapat
menumbuhkan kembali lengannya.)

ikan kapak
Hatchetfish seperti ini juga
menggunakan bioluminescence untuk
mengalihkan perhatian predator.
Rangkaian bioluminesensi yang
mempesona menyembunyikan bentuk
asli ikan dan membingungkan
pemangsa.
Kunang-kunang
Mungkin salah satu organisme
bioluminescent yang paling dikenal
adalah kunang-kunang. Kunang-kunang
menyala untuk menarik pasangan.
Meskipun kunang-kunang jantan dan
betina adalah bioluminescent,
kebanyakan kunang-kunang yang
berkedip di Amerika Utara adalah
jantan (kanan). Pola kilatan mereka
memberi tahu betina di sekitar spesies
kunang-kunang apa mereka dan bahwa
mereka tertarik untuk kawin.

Rubah api
Foxfire adalah julukan jamur
bioluminescent yang tahan lama.
Foxfire hadir di kayu yang membusuk,
dan terkadang cukup kuat untuk dibaca.
Cacing-cacing yang bercahaya
Meskipun sebagian besar organisme
bioluminescent hidup di laut, hampir
tidak ada yang asli habitat air tawar.
"Cacing bercahaya" ini berkilauan di
langit-langit dan dinding Claustral
Canyon di New South Wales, Australia,
tetapi tidak ada yang hidup di sungai
atau kolam di bawahnya.

Anda mungkin juga menyukai