KAJIAN TEORI
Tulisan tertua tentang bioluminesensi dibuat 2500 tahun yang lalu oleh Aristoteles dalam
bukunya yang berjudul "Tentang Warna". Aristoteles menyebutkan bahwa telah tersedia sesuatu
yang secara alami seperti anggota kepala ikan dan tinta dari sotong yang dapat menghasilkan
cahaya atau pendaran. Pada tahun 1887, Raphaël Dubois sukses mengisolasi lusiferin (substrat
untuk reaksi bioluminesensi) dan enzim lusiferase (ketalis) dari piddock, sejenis remis laut.
Temuan tersebut dipopulerkan dan dilanjutkan oleh Edmund Newton Harvey yang menyatakan
bahwa senyawa lusiferin dan lusiferase yang ditemukan pada berbagai spesies makhluk hidup
tidak dapat ditukar.
Pada tahun 1967, Robert Boyle, seorang ilmuwan dari Inggris mempublikasikan
penelitiannya tentang reaksi bioluminesensi pada fungi yang memerlukan udara. Laporan
berikutnya menyebutkan bahwa oksigen merupakan komponen udara yang berperan dalam
reaksi tersebut. Penelitian tentang bioluminesensi mengembang pesat setelah Osamu
Shimomura, seorang mahir biologi kelautan dan kimia organik, sukses meneliti tentang protein
yang bertanggungjawab dalam menghasilkan luminesensi pada spesies ubur-ubur Aequorea
victoria yang dinamakan dengan aequorin. Protein tersebut akan berikatan dengan ion kalsium
dan menghasilkan cahaya biru yang diserap oleh protein berpendar hijau ubur-ubur. Pada tahun
1985, aequorin sukses dikloning ke dalam makhluk hidup lainnya dan semenjak itu aplikasi
bioluminesensi mulai banyak diteliti. Hingga saat ini, bioluminesensi telah ditemukan secara
alami pada berbagai macam makhluk hidup seperti cendawan, bakteri, dan organisme di
perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan vertebrata terestrial, amfibi,
dan mamalia. Sebagian besar plankton memiliki kemampuan menghasilkan pendaran, terutama
plankton yang hidup di perairan laut dalam. Pada mikroba, bioluminesensi yang dihasilkan
belum diketahui manfaatnya, sedangkan pada hewan umumnya digunakan sebagai sinyal kawin,
predasi, dan perlindungan terhadap pemangsa.
2.2.1 Pertahanan
Gambar 1. Noctiluca scintillans, salah satu dinoflagelata yang mampu menghasilkan
bioluminesensi.
Setiap makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi
yang berbeda-beda. Beberapa makhluk hidup menggunakannya untuk pertahanan diri, seperti
yang dilakukan himpunan dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi yang
berpendar untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga memberikan kesempatan
kepadanya untuk melarikan diri dari predator. Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda, dan ikan
menggunakan pendaran untuk melakukan kamuflase dalam menghindari predator. Mekanisme
pertahanan seperti ini dinamakan dengan penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang
membuat suatu makhluk hidup tidak terlihat atau tersamarkan di sela sinar lain di sekeliling yang
terkait perairan. Pada spesies bintang ular laut, cacing laut, dan organisme bioluminesensi di
daratan, mereka benar mekanisme pertahanan yang dinamakan aposematisme, yaitu
menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa makhluk tersebut benar toksik (beracun) atau
tidak enak dimakan sehingga predator akan menghindarinya.
2.2.2 Predasi
Selain sebagai mekanisme pertahanan, bioluminesensi pada makhluk hidup juga banyak
dimanfaatkan untuk memburu mangsa (predasi), di selanya adalah ikan angel dan hiu Isistius
brasiliensis yang menggunakan luminesensi untuk menarik mangsa mendekat. Hiu I. brasiliensis
benar anggota bawah rahang yang berpendar dan tampak seperti siluet yang dihasilkan dari
penyamaran dengan sinar, dampaknya cumi dan ikan akan mendekat karena mengira siluet
tersebut merupakan penyamaran dari mangsa mereka. Setelah cumi atau ikan mendekati
rahangnya, akan lebih mudah untuk hiu ini dalam menangkap makanannya. Hal serupa juga
dilakukan oleh paus sperma (Physeter macrocephalus) yang secara intensif menghasilkan
pendaran saat berburu mangsa di perairan laut dalam yang gelap. Mangsa yang berupa cumi-
cumi akan datang mendekati anggota mulut paus sperma yang berpendar dan saat itulah paus ini
menangkap mangsanya.
2.3.1 Bakteri
Reaksi yang menyebabkan terjadinya pendaran pada bakteri adalah sebagai berikut:
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin
fosfat (FMNH2) (lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak sampai menghasilkan
emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim
heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit
beta (β)[9] Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa)
disandikan oleh gen luxB. Selain luciferase, sedang terdapat beberapa enzim lain yang terlibat
dalam semuanya reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh suatu operon yang
dinamakan operon lux. Enzim lusiferase akan menggunakan substrat senyawa aldehida yang
disintesis di dalam sel dengan bantuan multienzim yang dinamakan kompleks enzim aldehida
lemak reduktase (fatty aldehyde reductase complex). Kompleks enzim ini terdiri dari tiga subunit
enzim yaitu redutase, transferase, dan sintetase yang masing-masing disandikan oleh gen luxC,
luxD, dan luxE[9]. Subunit transferase akan mengkatalisis pemindahan grup lemak asil yang
teraktivasi ke air, oksigen, dan akseptor tiol. Kedua subunit lainnya, yaitu reduktase (~54 kDa)
dan sintetase (~42 kDa)akan mengkatalisis reduksi senyawa asam lemak menjadi aldehida
dengan reaksi sebagai berikut :
Komponen sistem bioluminesensi lainnya adalah flavoprotein yang disandikan oleh gen
luxF.Protein ini hanya ditemukan pada Photobacterium dan fungsinya belum dikenal tapi dari
sekuens asam aminonya, dikenal bahwa protein ini homolog dengan lusiferase. Pada bakteri juga
ditemukan luxG yang diduga benar peranan dalam reaksi bioluminesensi untuk bakteri yang
hidup di sekeliling yang terkait perairan. Khusus untuk V. harveyi, juga ditemukan luxH yang
berperan dalam sistem luminesensinya. Operon lux melakukan pekerjaan dibawah pengaruh
protein regulator yang berupa protein reseptor (luxR) dan autoinduser (luxI). Selain protein-
protein yang disandikan oleh operon lux, sedang terdapat 4 protein lain yang memengaruhi
reaksi bioluminesensi, yaitu lumazine, protein fluoresensi kuning, flavin reduktase, dan aldehida
dehidrogenase. Lumazine yang ditemukan pada Photobacterium dan Vibrio berfungsi
memperpendek panjang gelombang yang dihasilkan dari emisi cahaya (<490 nm), sedangkan
protein fluoresensi kuning berfungsi mengubah panjang gelombang cahaya menjadi 540 nm pada
V. fischeri sehingga cahaya yang diemisikan merasakan perubahan warna. Flavin reduktase
dapat mengkatalisis reduksi FMN menjadi FMNH2 sehingga substrat tersedia berjalin-jalin
karena diregenerasi. Yang terakhir adalah enzim aldehida dehidrogenase yang berperan dalam
degradasi senyawa aldehida.
2.3.2 Dinoflagelata
Pada dinoflagelata, substrat lusiferin yang berperan adalah tetrapirol yang mirip dengan
klorofil namun beda pada ion metalnya.Bangun lusiferin yang seperti hampir sama juga
ditemukan pada sejenis udang yang bergenus euphausiid.Pada malu atu genus dinoflagelata yaitu
Gonyaulax, dikenal bahwa pada pH 8 molekul lusiferinnya akan berikatan dan diamankan oleh
protein pengikat lusiferin. Namun begitu terjadi perubahah pH menjadi ± 6, luciferin akan
merasakan perubahan konformasi dan mengakibatkan sisi aktinya tidak terikat dan dihasilkan
pendaran cahaya.
2.3.3 Coelenterazine
2.3.4 Ostracod
2.3.5 Kunang-kunang
Sisir Jelly
Kebanyakan organisme bioluminescent
ditemukan di laut, di mana mereka
menyediakan hampir semua cahaya di
lingkungan bentik (laut dalam). Tubuh
ubur-ubur sisir ini tembus cahaya, tetapi
menunjukkan bioluminesensi yang
cerah.
Bintang rapuh
Beberapa hewan bercahaya, seperti
bintang rapuh ini, dapat melepaskan
bagian tubuh untuk mengalihkan
perhatian pemangsa. Pemangsa
mengikuti lengan bersinar bintang
rapuh, sementara sisa hewan merangkak
pergi dalam gelap. (Bintang rapuh,
seperti semua bintang laut, dapat
menumbuhkan kembali lengannya.)
ikan kapak
Hatchetfish seperti ini juga
menggunakan bioluminescence untuk
mengalihkan perhatian predator.
Rangkaian bioluminesensi yang
mempesona menyembunyikan bentuk
asli ikan dan membingungkan
pemangsa.
Kunang-kunang
Mungkin salah satu organisme
bioluminescent yang paling dikenal
adalah kunang-kunang. Kunang-kunang
menyala untuk menarik pasangan.
Meskipun kunang-kunang jantan dan
betina adalah bioluminescent,
kebanyakan kunang-kunang yang
berkedip di Amerika Utara adalah
jantan (kanan). Pola kilatan mereka
memberi tahu betina di sekitar spesies
kunang-kunang apa mereka dan bahwa
mereka tertarik untuk kawin.
Rubah api
Foxfire adalah julukan jamur
bioluminescent yang tahan lama.
Foxfire hadir di kayu yang membusuk,
dan terkadang cukup kuat untuk dibaca.
Cacing-cacing yang bercahaya
Meskipun sebagian besar organisme
bioluminescent hidup di laut, hampir
tidak ada yang asli habitat air tawar.
"Cacing bercahaya" ini berkilauan di
langit-langit dan dinding Claustral
Canyon di New South Wales, Australia,
tetapi tidak ada yang hidup di sungai
atau kolam di bawahnya.