Anda di halaman 1dari 4

A.

Empirisme

1. Pengertian Empirisme

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau
pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan
tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang
digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka
empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda dengan tema yang telah dirintis
oleh Descartes. Mereka lebih mengikuti Jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme. Empirisme
adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil
dari bahasa yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah
lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama sekali. Dapat
dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau rasionalisme
dilihat dalam bingkai empirisme.
Penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman.
Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang
diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman.
Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.

2. Tokoh – Tokoh Empirisme dan Pemikirannya.

1. Thomas Hobbes (1588-1679)

Pemikiran filsuf ini sering disebut sebagai realisme yang naif karena pandangannya yang
sensualistik. Tulisan Hobbes yang sangat berpengaruh adalah di bidang sosial politik yakni teori
kontrak kerja. Bentuk negara Monarki absolut oleh Hobbes dianggap paling cocok untuk
mengatasi keadaan alamiah manusia yang penuh pertikaian dan peperangan.

2. John Loche (1632-1704)

Dalam teori pengetahuannya, Loche memahamkan emperia atau pengalaman dengan


cakupan lebih luas dibandingkan pemahaman Hobbes. Ajarannya tentang sosial politik yang
sangat berpengaruh adalah konsepsi tentang hak-hak dasar yang harus dilindungi. Sementara itu
konsepsinya bahwa kekuasaan negara perlu dibagi ke dalam 3 bidang kekuasaan menjadi cikal
bakal pemikiran Montesquieu, yakni teori trias politika.

3. George Barkeley (12 Maret 1685-14 Januari 1753)

Ia adalah seorang filsuf Irlandia yang juga menjabat sebagai uskup di Gereja Anglikan.
Bersama John Locke dan David Hume, ia tergolong sebagai filsuf empiris Inggris yang terkenal.
Berkeley mengembangkan suatu pandangan tentang pengenalan visual tentang jarak dan ruang.
Selain itu, ia juga mengembangkan sistem metafisik yang serupa dengan idealisme untuk
melawan pandangan skeptisisme. Inti pandangan filsafat Berkeley adalah tentang “pengenalan”.
Menurut Berkeley, pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subyek yang mengamati
dan obyek yang diamati. Pengamatan justru terjadi karena hubungan pengamatan antara
pengamatan indra yang satu dengan pengamatan indra yang lain. Misalnya, jika seseorang
mengamati meja, hal itu dimungkinkan karena ada hubungan antara indra pelihat dan indra
peraba. Indra penglihatan hanya mampu menunjukkan ada warna meja, sedangkan bentuk meja
didapat dari indra peraba. Kedua indra tersebut juga tidak menunjukkan jarak antara meja dengan
orang itu, sebab yang memungkinkan pengenalan jarak adalah indra lain dan pengalaman.
Dengan demikian, Berkeley mengatakan bahwa pengenalan hanya mungkin terhadap sesuatu
yang kongkret.

4. David Hume (1711-1776)

Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari pengalaman yang diterima oleh kesan
indrawi, sehingga untuk menemukan sebuah pengetahuan diperlukan pengalaman. Dengan
demikian, bahwa untuk membuktikan sebuah kebenaran akan pengetahuan itu memerlukan
penelitian di lapangan, observasi, percobaan yang mana dengan cara-cara seperti itulah
merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia.

Selanjutnya, Hume menerapkan teori empirismenya dalam mengkaji eksistensi Tuhan,


dan mengungkapkan bahwa Tuhan yang menurut orang rasionalisme memang sudah ada dalam
alam bawaan sebenarnya tidak nyata. Menurut Hume, pengetahuan akan Tuhan merupakan
sebuah hal yang tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya kesan pengalaman yang dirasakan
akan Tuhan. Persoalan Tuhan merupakan persoalan yang berkaitan dengan metafisika.
Pembahasan dalam metafisika tidak bisa didekati dengan pembuktian menuntut adanya suatu
yang empiris dan nyata. Jauh dari kritik destruktif terhadap metafisika dan teologi, Hume
memberi analisis yang kontruktif yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru sambil
membuat orang sadar akan kebutuhan mendasarkan teori pada fakta pengalaman.

B. Rasionalisme

1. Pengertian Rasionalisme

Rasionalisme secara etimologis berasal dari bahasa Inggris rationalism dan kata ini
berakar dari bahasa Latin yaitu ratio artinya “akal”. Kemudian secara terminologis ialah aliran
yang memiliki paham dan berpegang pada prinsip bahwa akal merupakan sumber utama ilmu
pengetahuan yang benar. Akal menduduki posisi unggul dan bebas atau terlepas dari pengamatan
inderawi, pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal,
dengan demikian paham rasionalisme ialah berpusat pada akal. Jadi, Rasionalisme adalah suatu
paham yang menganggap bahwa semua ilmu pengetahuan itu diperoleh melalui proses berpikir
secara rasional dan sistematis.

Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan aksioma dasar yang dipakai
membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas,
tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk
mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, tetapi mempelajari lewat
pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “ di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan
pikiran manusia.

Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip
itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak
mungkinkan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang a priori, dan
karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya
dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut. Dalam perkembangannya Rasionalisme
diusung oleh banyak tokoh,masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap
dalam satu koridor yang sama.

2. Tokoh –Tokoh Rasionalisme dan Pemikirannya

1. Rene Descartes (1596-1650)

Juga adalah pendiri filsafat modern. Rene Descartes dijuluki sebagai Bapak Filsafat
Modern. Ungkapannya yang terkenal adalah “Co Ergo Sum” (Aku berpikir maka aku ada).
Ungkapan ini mempunyai makna lebih dalam dari sekedar pengertian harfiah. Dengan ungkapan
itu hendak dinyatakan metode yang dianut Descrates yakni metode kesangsian. Deskrates
mengatakan bahwa segalanya harus disangsikan secara radikal dan tidak boleh diterima begitu
saja. Jika suatu kebenaran tahan terhadap kesangsian (artinya tidak disangsikan lagi), itulah
kebenaran yang sesungguhnya dan harus menjadi fondamen bagi ilmu pengetahuan.

Menurut Descartes, dalam diri manusia terdapat tiga ide bawaan sejak lahir, yait : pikiran,
Tuhan, dan keluasan. Itulah yang merupakan kebenaran. Menurutnya juga manusia tediri dari
jiwa (pemikiran) dan tubuh (keluasan). Tubuh adalah mesin yang dijalankan jiwa. Dengan
pandangan seperti ini, Descartes mengakui dualisme dalam manusia.

2. Baruch de Spinoza (1632-1677)

Seperti halnya Descartez, ia bertumpu pada rasio sebagai sarana menemukan kebenaran,
terutama di bidang epistomologi. Ia menggunakan metode matematis yang bertolak dari aksioma
untuk menemukan kebenaran faktual. Aksioma merupakan pengertian-pengertian yang
kebenarannya tidak perlu dibuktikan lagi karena sudah jelas dan pasti. Perbedaan yang mencolok
antara pemikiran Spinoza dan Descartes adalah di bidang ontologi (mengenai hakikat realitas).
Descartes adalah seorang dualist yang mengajarkan ada dua realitas yang hakiki, yaitu pemikiran
(cogitatio) dan keluasan (extentio). Sementara Spinoza adalah seorang monist yang mengajarkan
hanya ada satu realitas hakiki, yaitu substansi yang tidak lain adalah Tuhan. Itulah sebabnya
pendirian Spinoza disebut panteisme: Tuhan disamakan dengan segala sesuatu yang ada. Ia
beranggapan pula bahwa satu substansi itu mempunyai ciri yang tak terhingga jumlahnya dan
setiap ciri mengekspresikan hakekat Tuhan seluruhnya. Tetapi kita hanya mengenal dua ciri saja:
pemikiran dan keluasaan. Pada manusia kedua ciri tersebut terdapat bersama-sama pemikiran
(jiwa) dan serentak juga keluasaan (tubuh). Karena itulah buat Spinoza tidak lagi sesuatu
persoalan mengenai hubungan jiwa dengan tubuh, karena jiwa dan tubuh hanya merupakan dua
aspek yang menyangkut substansi yang sama

3. Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716)

Bersama dengan Descartes dan Spinoza, Leibniz juga meyakini bahwa hanya dengan
menggunakan rasionya manusia menemukan kebenaran. Yang membedakan Leibniz dari
Descartes dan Spinoza adalah pada bidang ontologi, Leibniz adalah pluralis. Menurut Leibniz,
hakiki itu bukan satu, dua, melainkan tak terhingga jumlahnya, dan substansi hakiki yang tak
terhingga jumlahnya itu disebut sebagai “Monade”. Menurut dia monade-monade tidak bersifat
jasmani dan tidak dapat dibagi-bagi. Jiwa merupakan suatu monade, tetapi juga materi terdiri
dari banyak monade. Dalam suatu kalimat yang kemudian terkenal ia mengatakan: “Monade-
monade tidak mempunyai jendela-jendela, tempat sesuatu bisa masuk atau keluar.” Itu berarti
bahwa semua monade harus dianggap tertutup, sebagimana “cogito”, atau kesadaran yang hanya
mengenal dirinya dan ide-ide yang ada padanya sedangkan yang lainnya dikenal secara tidak
langsung melalui ide-ide tersebut.

Anda mungkin juga menyukai