Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ETIKA & TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM

ETIKA PROFESI HAKIM ISLAM

DI SUSUN OLEH :
Tiara 10100119074
Zul kasfiyan ruslan 10100119057
Zalfa Alfiah Hamdan 10100119057
Fahmi idris 10100119058

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Gowa, 17 novemberr 2021


Penyusun

KELOMPOK 7
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada era reformasi sekarang ini yang disertai krisis multidimensi di
segala bidang di antaranya dalam bidang hukum, timbul keprihatinan publik
akan kritik tajam sehubungan dengan kacaunya penegakan hukum di
Indonesia, dengan adanya penurunan kualitas hakim dan pengabaian
terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, arah dan orientasi dari
penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan tidak adanya ketidakpastian
dan ketidakadilan hukum dan pihak yang sering disalahkan adalah aparat
penegak hukum itu sendiri, terutama seorang Hakim.
Hakim menurut Ensiklopedia Indonesia (1983, p. 1208), adalah salah
satu aparat penegak hukum (Legal Aparatus) yang sudah memiliki kode etik
sebagai standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal,. Hakim
memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum.
Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh
penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai disini diartikan
sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan,
alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari
maupun tidak. Namun realitanya para kalangan profesi hakim belum
menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan
profesinya sehari-hari, terlihat dengan banyaknya yang mengabaikan kode
etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif dari
masyarakat. Profesi hakim merupakan profesi yang merdeka guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai
kemerdekaan dan keadilan. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari
kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana,
cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang.
Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib
menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini
tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama
manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang
jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada
atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib
menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan
sebagai nilai keterbukaan. Disini juga terlihat jelas bahwa seorang hakim
dalam menjalankan tugasnya selain dibatasi norma hukum atau norma
kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi
yang terdapat dalam kode etik profesi. Kode etik sendiri merupakan
penjabaran tingkah laku atau aturan hakim baik di dalam menjalankan tgas
profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenran maupun pergaulan
dalam masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan
dalam kepatuhan dan ketaatan atas hukum. Dalam hukum Islam pun
mendapat perhatian khusus melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan AlHadits yang
membahas tentang Profesi Hakim seperti dibawah ini : “Hendaklah engkau
menghukum antara mereka menurut pengaturan yang diturunkan Alloh“
(QS.Al-Maidah:49). “Dan jika kamu menghukum antara manusia hendaklah
kamu hukum dengan seadil-adilnya“ (QS.An-Nisaa:58). “ Bahwa Allah adalah
Hakim yang seadil-adilnya “ (Q.S. At-Tin ayat 8 ) Islampun menjelaskan
bahwa hakim adalah seorang yang diberi amanah untuk menegakkan
keadilan dengan nama Tuhan atas sumpah yang telah diucapkan, dalam
pandangan Islam adalah kalimat Tauhid yang merupakan amalan yang harus
diwujudkan dalam bentuk satu kata dan satu perbuatan dengan niat
lillahita’alla. Sehingga pada setiap keputusannya benarbenar mengandung
kebenaran dan keadilan (Siregar, 1995)

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Tanggung jawab Etika Profesi Hakim Islam ?

C. TUJUAN
Untuk mengetahui tanggung jawab Profesi Hakim Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Profesi Hakim Dengan Agama Islam


a. Pengertian Hakim
Hakim berasal dari kata yang maknanya adalah memutus.
Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang
yang memutuskan perkara dan menetapkannya. Adapun pengrtian
menurut syar’a yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk
menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselihan
dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat
menyelesaikan tugas peradilan, sebagaimana Nabi Muhammad SAW
telah mengangkat qadhi (‫ ( ىضق‬untuk bertugas menyelesaikan
sengketa diantara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebgaimana ia
telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya. Hal ini terjadi pada
sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani Abbaslah,
diakibatkan dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya
masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan
hakim-hakim untuk menelesaikan perkara yang terjadi. Hakim sendiri
adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
undangundang untuk mengadili. Sedangkan dalam undang-undang
kekuasaan kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan yang wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
masayrakat. Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara
yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan
keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan perkara, seperti yang
telah tertera di undang-undang yang berlaku.
Hakim berasal dari kata hakam yang sama artinya dengan qadhi
yang artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa, hakim adalah
orang yang bijkasana atau orang yang memutuskan perkara dan
menetapkannya. Memberikan keputusan atas setiap perkara yang
dihadapkan kepadanya. Atau dengan kata lain menetapkan hubungan
hukum. Nilai hukum dari perilaku serta kedudukan hukum para pihak
yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan kepadanya atau
menyatakan apa hukumnya bagi situasi konkret tertentu. Secara lebih
filosofis hakim berperan sebagai juru bicara nilai nilai fundamental dari
masyarakat.
Hakim dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat penting.
Hakim atau dalam khazanah Islam sering disebut qadhi adalah
seseorang yang bertanggung jawab dalam menjelaskan hukum Allah
SWT kepada umat Islam. Proses menjelaskan hukum-hukum Allah ini
sendiri disebut dengan qadha'.

b. Eksistensi Hakim Sebagai Penegak Hukum Dalam Islam


Hakim mempunyai tugas sangat penting. Disamping itu hakim
harus mempunyai moral yang tinggi, berbudi luhur, dan menegakan
hukum secara benar dan adil. Sehingga peranan hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan menurut sumber yang penilis kutip dari
situs, dapat dilihat dari tugasnya yaitu:
Penegak Keadilan (QS. An-Nisaa:135) yang artinya berbunyi
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT.
Biarpun terhadap dirimu sendiri, atau Ibu Bapakmu dan Kaum
Kerabatmu, jika Ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya.Maka janganlah kamu mengikuti Hawa Napsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah SWT. Adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”
Pemutus Perkara (QS. An-Nisaa:105) yang artinya berbunyi
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.”

c. Kode Etik Hakim


Kaidah etika profesi adalah sesuatu yang universal sifatnya,
artinya berlaku di manamana baik dulu maupun sekarang karena
mengatur nilai-nilai moral, yaitu perilaku baik yang harus selalu
dipegang teguh oleh seorang yang berprofesi sebagai Hakim dalam
menjalankan tugasnya. Ada empat macam etika profesi bagi seorang
Hakim seperti dikemukakan Socrates yang penulis kutip dari, yaitu;
1. mendengar dengan sopan (to hear courteously)
2. menjawab dengan arif dan bijaksana (to answer wisly)
3. mempertimbangkan dan tidak terpengaruh
4. memutus tak berat sebelah (to decide impartially).

d. Adab Seorang Hakim


Kedudukan hakim adalah suatu kedudukan yang mulia dan
tinggi, oleh karena itu hakim hendaklah mempunyai budi pekerti yang
sebaik-baiknya, seperti di bawah ini:
1. Memperlakukan yang sama terhadap orang-orang yang
berperkara dalam segala hal ;
2. Mendamaikan para pihak yang bersengketa ;
3. Jangan memutus perkara dalam keadaan sedang marah, lapar
dan haus, susah dan gembira, dan sedang sakit
4. Tidak boleh menerima suatu pemberian dari orang yang sedang
berperkara (suap)
5. Apabila telah duduk dua orang yang berperkara, hakim
menyuruh terlebih dahulu orang yang menggugat untuk
menerangkan gugatannya, kemudian giliran orang yang digugat
untuk membela dirinya. Jika tidak diajukan saksi, hakim tidak
boleh menyumpah Tergugat sebelum diminta oleh orang yang
menggugat.
6. Hakim tidak boleh memberi tahu tentang cara mendakwa dan
membela diri pada kedua orang yang sedang berperkara.

e. Hubungan Profesi Hakim Dengan Ekonomi


Dalam membangun perekonomian negeri, hakim memiliki peran
dan cara tersendiri. Salah satunya dengan membangun dan
menegakkan keadilan tanpa menerima bentuk suap apapun. Kata
mengadili merupakan rumusan yang sederhana, namun didalamnya
terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia, yaitu
meninjau dan menetapkan suatu hal secara adil atau memberikan
keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas
dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas tersebut,
penyelenggaraan peradilan harus bersifat tekhnis profesional dan
harus bersifat non politis serta non pertisan. Peradilan dilakukan sesuai
standart profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa
pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan
pihak-pihak. Untuk itu, kondisi ekonomi seorang hakim juga harus
diperhatikan oleh pemerintah dalam mengatur system penggajiannya,
karena dikhawatirkan jika kondisi ekonomi hakim kurang baik, maka
tindakan seorang hakim tidak netral dan objektif lagi, seperti dengan
mudah menerima segala bentuk iming-iming suap dari pihak tertentu
untuk berbuat tidak adil di mata hukum. Secara tidak langsung,
ekonomi memiliki hubungan yang kuat dalam menekan angka tindakan
korupsi di negeri ini. Pertumbuhan Ekonomi dalam negeri pun menjadi
lebih baik kedepannya, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa profesi hakim dalam perspektif Syari’at Islam


itu harus memiliki moralitas yang tinggi dan memiliki tanggung jawab
intelektual dalam mengemban tugas mulianya yang sarat dengan resiko dan
tantangan, sehingga adakalanya harus melakukan suatu “ Ijtihad “, yaitu
Ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan Ijtihad dalam
penerapan hukumnya, yang disebut Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi. Jika
seorang hakim memiliki intelektualitas dan moralitas yang tinggi maka ia akan
menyadari bahwa tugasnya menjadi hakim bukan sebagai abdi negara
semata, tetapi memiliki tanggung jawab moral sebagai tugas keagamaan
yang di dalamnya terdapat masalah pahala dan dosa. Didalam hadits lain
Rasulullah SAW. Bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Arba’ah
: “Barang siapa yang mau diangkat menjadi hakim, berarti dia telah
merelakan dirinya untuk disembelih dengan tanpa pisau”. Selain itu kaitannya
dengan integritas moral yang harus dimiliki hakim dalam menjalankan
tugasnya , Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Arba’ah dan disahkan oleh Ibnu Khusaimah
dan Ibnu Hibban sebagai berikut : “Hakim itu ada tiga golongan, yang satu
golongan akan masuk Syurga dan dua golongan lainnya akan masuk Neraka.
Golongan hakim yang akan masuk Syurga adalah hakim yang memenuhi
persyaratan intlektualitas, profesionalisme dan memiliki moral yang baik serta
memutus perkara dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Allah dan
Rasulnya.
Sedangkan satu golongan hakim yang masuk Neraka adalah hakim
yang memiliki ilmu pengetahuan/intlektual dan profisionalisme yang tinggi,
tetapi dia tidak memutus perkara dengan tuntunan Allah dan Rasulnya tetapi
dia memutus perkara dengan hawa nafsunya. Dan satu golongan lagi hakim
yang akan masuk Neraka adalah hakim yang bodoh, tidak memiliki ilmu
pengetahuan yang cukup dan tidak memiliki profesionalisme dalam bidang
tugasnya serta memutus perkara dengan kebodohannya Jika hal ini dapat
direalisasikan maka tindakan “pelecehan hukum” akan dapat diminimalisir
dan upaya “penegakan supremasi hukum” akan dapat direalisir. Seorang
hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
professional, dan berpengalaman di bidang hukum (Al-Qur’an dan Al-Hadits),
agar tidak keliru dalam memutuskan suatu perkara. Hakim adalah profesi
yang bebas yang tidak boleh mempunyai ikatan-ikatan yang membatasi
kewajibannya untuk menegakan hukum yang adil dan benar dengan cara
yang jujur dan bertanggung jawab, tentu hal ini harus harus didukung oleh
kondisi hakim yang harus siap baik secara mental maupun sikap seperti sikap
hakim ketika memimpin persidangan harus dalam kondisi tidak marah, karena
akan mempengaruhi proses persidangan. Disamping itu dalam proses
persidangan tidak boleh adanya konspirasi antara para pihak yang berperkara
dengan hakim atau melalui pengacara untuk memenangkan perkara.

Anda mungkin juga menyukai