Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kamar Operasi
2.1.1 Pengertian
Kamar operasi adalah suatu unit khusus di rumah sakit, tempat
untuk melakukan pembedahan, baik efektif maupun emergency, yang
membutuhkan keadaan suci hama (steril). Kamar bedah adalah ruang
dimana dilakukan tindakan sehubungan dengan pembedahan. Ruangan ini
merupakan ruangan terbatas atau ketat.(HIPKABI:2010 )
2.1.2 Sejarah Kamar Operasi
Perkembangan operasi terjadi di berbagai daerah pada waktu
yang berbeda, di China, India, Ameka Serikat, Mesopotamia, Persia, Arab
dan akhirnya Eropa. Para ahli bedah awal baik imam, penyihir, dokter
atau tukang cukur, pedagang yang memahami anatomi dan merasa
nyaman dengan praktik umum amputasi dan trephination. Trephination
mungkin yang tertua dari operasi yang kita ketahui. Karena melibatkan
pemotongan atau grinding lubang di tengkorak, sisa-sisa yang berlimpah,
seperti tulang tengkorak manusia telah berlangsung selama sebanyak
12.000 tahun yang utuh. Neolitik bukti trephination telah ditemukan
diperadaban yang berbeda, mulai dari pra-inca di AS (2000SM), ke Eropa
awal di Perancis (5100 SM), untuk orang Mesir memperluas kembali
untuk alasan spiritual dan magis, dan dilakukan oleh raja-raja, imam,
penyihir dan dokter.
Kemudian digunakan untuk meredakan tekanan untuk cidera
kepala, kejang dan gangguan mental seperti psikosis. Selama masa ini,
praktisi yang paling umum adalah ahli bedah medan perang, yang
memindahkan panah, perban diterapkan, amputasi dilakukan dan
dibagikan berharap kasar untuk kedua terluka dan mereka yang terus
melawan. Dia, di kali, sangat dihargai baik oleh laki-laki dan petugas
mereka. Seorang ahli bedah “yang tahu bagaimana untuk memotong

5
panah dan meringkan pedih dari luka oleh unguent menenangkan adalah
tentara lebih banyak nilai dari pahlawan lainya.” ‘Dokter’ kata itu
mungkin diciptakan oleh Homer. Nama dari dialek lonia diucapkan di
koloni-koloni Yunani dan Aegea timur berarti “Extraktor anak panah.”
Dahulu prosedur operasi tidak selalu dilakukan dalam
lingkungan khusus rumah sakit, ahli bedah melakukan kunjungan rumah
atau dipanggil untuk memeriksa pasien. Di awal tahun 1900an, perawat
kamar operasi diminta untuk menyiapkan kamar atau ruangan yang sesuai
yaitu ruangan dengan lalu lintas yang minimal dan sedikti suara untuk
prsedur operasi. Biasanya ruang makan, tapi kurang juga dapur.
Segalanya dikeluarkan dari kamar, terutama karpet, gantungan, gambar
dan juga mebel. Kamar operasi diasapi dengan sulfur dioksida selama 12
jam dan jika sudah waktunya mau dipakai. Ini dilakukan dengan
membakar 3 pon sulfur di peruak terbuat dari besi untuk tiap-tiap 100
kaki kubik ruangan. Jendela dan pintu ditutup serapat mungkin. Ketika
pengasapan telah selesai, tembok dan permukaan disikat dengan karbol
5% atau larutan soda panas.
Von Esmarch menggambarkan pembersihan dinding meliputi
proses penggosokan permukaan dengan roti halus, dia mendasarkan
tindakan ini pada eksperiemen pribadi. Jika waktu tidak cukup dilakukan
proses pengasapan/penyikatan, ruangan seharusnya telah dipenuhi
dengan uap dan ceret linen dan handuk yang akan dipakai direbus selama
5 menit di larutan soda untuk digunakan sebagai spon, kompor dan oven
bergna sebagai alat sterilisasi. Batu bata tetap dioven untuk digunakan
sebagai alat penghangat bagi pasien anak yang kedinginan.
Meja dapur atau ruang makan telah dialasi untuk digunakan meja
operasi dan ditempat di bawah tempat lilin, dengan kepala mengarah ke
jendela. Untuk kerahasiaan, kertas tisu yang berwarna putih digunakan di
dekat jendela dengan memakai adonan tepung. Banyak ahli bedah
menggunakan lampu portable untuk digunakan di dalam rumah yang

6
mempuyai listrik. Ini sangat berguna di malam hari. Sprei tempat tidur
putih di paku di semua pojok sebagai lapisan pelindung, lingkungan fisik
sangat penting untuk ahli bedah. Suhu kamar harus dijaga pada suhu 75-
80ºF dan tambahan alat untuk menghangatkan ruangan, seperti selimut
hangat, botol air panas, dan batu bata hangat dibungkus dengan kain
flannel. Disamping menyiapkan lingkunan, perawat kamar operasi
diharuskan mempunyai 10 galon air steril yang panas yang siap
digunakan, Termasuk tugas perawat yaitu meyiapkan larutan garam steril
dengan mendidihkan sebuah wadah besar yang berisi air dan
menambahkan 2 sendok the garam meja. Campuran direbus selam 30
menit, kemudian disaring menggunakan kapas yang sudah dipanggang
sampai berwarna kecoklatan ke dalam botol steril. Gabus dipergunakan
untuk menutup lubang. Terutama bila larutan disimpan untuk penggunaan
yang akan datang, botol yang sudah direbus selama 20 menit selama 3
hari berurutan, ini dipercaya untuk tumbuhnya spora. Sebagai kesimpulan
dari prosedur pembedahan bahwa perawat kamar operasi diperlukan
untuk membongkar, mendidihkan, mengeringkan dan mengepak
instrument ahli bedah ke dalam tasnya. Ruangan dikembalikan pada
keadaan semula dengan melepas dan membuang lembaran-lembaran dari
dinding dan mengeluarkannya untuk dicuci dan mengembalikannya.
Akhirnya perawat kamar operasi meninggalkan ruangan, keadaan diwaktu
dia mau menggunakannya.
Daerah kamar operasi dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
1. Daerah public yaitu daerah yang boleh dimasuki oleh semua orang
tanpa syarat khusus. Misalnya: kamar tunggu, depan komplek kamar
operasi
2. Daerah semi public yaitu daerah yang bisa dimasuki oleh orang-orang
tertentu saja, yaitu petugas. Dan biasanya diberi tulisan “DILARANG
MASUK SELAIN PETUGAS”. Dan sudah ada pembatasan tentang

7
jenis pakaian yang dikenakan oleh petugas (pakaian khusus kamar
operasi) serta penggunaan alas kaki khusus di dalam.
3. Daerah aseptic yaitu daerah kamar bedah sendiri yang hanya bisa
dimasuki oleh orang yang langsung ada hubungannya dengan kegiatan
pembedahan. Umumnya daerah yang harus dijaga kesucihamaannya.
Daerah aseptic dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Daerah aseptik 0 yaitu lapangan operasi, daerah dilakukannya
pembedahan
b. Daerah aseptik 1, yaitu daerah memakai gaun operasi, tempat
duk/kain steril, tempat instrument dan tempat perawat instrument
mengatur dan mempersiapkan alat. (area 1 meter dari aseptik 0 )
c. Daerah aseptik 2, yaitu tempat mencuci tangan, koridor penderita
masuk, daerah sekitar ahli anasthesia dan daerah operasi.
2.1.3 Persyaratan Kamar Bedah
Kamar operasi yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Letak
Letak kamar operassi berada ditengah-tengah rumah sakit berdekatan
dengan unit gawat darurat (IRD), ICU dan unit radiology
2. Bentuk
Kamar operasi tidak bersudut tajam, lantai, dinding, dan langit-langait
berbentuk melengkung dan warna tidak mencolok. Sedangkan lantai
dan dinding harus dari bahan yang rata, kedap air, mudah dibersihkan
dan tidak menampung debu
3. Ukuran
Ukuran kamar bedah bermacam-macam tergantung dari besar kecilnya
RS. Tetapi bisa ditetapkan minimal 5,6 m x 5,6 m ( 29,1m2), dan
untuk kamar operasi khusus 7,2 m x 7,8 m (56m2)
4. Sistem Ventilasi
Ventilasi kamar operasi harus dapat diatur dengan alat control dan
penyaringan udara dengan menggunakan filter. Idealnya menggunakan

8
sentral AC dan pertukaran sirkulasi udara harus berbeda. Daerah tropis
suhu udara diantara 19º - 22º C, sedangkan daerah dingin antara 20º -
24º C, kelembabannya antara 55%.
5. Sistem penerangan
Lampu operasi menggunakan lampu khusus, sehingga tidak
menimbulkan panas, cahaya terang, tidak menyilauakn dan arah sinar
mudah diatur posisinya.Lampu penerangan menggunakan lampu pijar
putih dan mudah dibersihkan. Pencahayaannya antara 300-500 lux,
meja operasi 10.000 – 20.000 lux.
6. Peralatan
Semua peralatan yang ada di kamar operasi harus beroda dan mudah
dibersihkan. Untuk alat elektrik, petunjuk penggunaannya harus
menempel pada alat tersebut agar mudah terbaca. System pelistrikan
dijamin aman dan dilengkapi dengan elektroda untuk memusatkan arus
listrik untuk mencegah bahaya gas anatesi.
7. Sistem instalassi gas medis
Pipa ( out let ) dan konektor N2O dan oksigen , dibedakan warnanya,
dan dijamin tidak bocor seta dilengkapi dengan system
pembuangan/penghisap udara untuk mencegah penimbunan gas
anestesi
8. Pintu
Pintu masuk dan keluar pasien dan petugas harus berbeda. Setiap pintu
harus menggunakan door closer (bila memungkinkan). Dan setiap
pintu diberi kaca pengintai untuk melihat kegiatan kamar tanpa
membuka pintu
9. Pembagian area
Batas tegas antara area bebas terbatas, semi ketat dan area ketat, dan
ada ruangan persipan untuk serah terima pasien dari perawat ruangan
pada parawat kamar operasi

9
10.Penentuan jumlah kamar operasi
Setiap RS merancang kamar oeprasi disesuaikan dengan bentuk dan
lahan yang tersedia, sehingga dikatakan bahwa rancang bentuk kamar
operasi setiap RS berbeda, tergantung dari besar atau tipe RS tersebut.
Makin besar RS tentu membutuhkan jumlah dan luas kamar bedah
yang lebih luas. Jumlah kamar operasi tergantung dari berbagai hal
yaitu :
a. Jumlah dan lama waktu operasi yang dilakukan
b. Jumlah dokter bedah dan macam spesialisasi serta subspesialisasi
bersama fasilitas penunjang
c. Pertimbangan antara operasi berencana dan operasi segera
d. Jumlah kebutuhan waktu pemakaian kamar operasi baik jam per
hari, maupun per minggu
e. Sistem dan prosedur yang ditetapkan untuk arus pasien, petugas dan
penyediaan peralatan
11.Komunikasi
Sistem komunikasi di kamar bedah sangat vital, komunikasi tiap
ruangan menggunakan telepon paralel.
2.1.4 Tata Tertib Kamar Operasi
1. Wajib memakai baju operasi
2. Tahu pembagian area
3. Melaksanakan jadwal operasi
4. Petugas bekerja sesuai urutan tugas
5. Memberikan askep perioperatif
6. Melakukan pemeliharaan alat
7. Mendokumentasikan semua tindakan.
8. Berbicara seperlunya
9. Wajib menjamin kerahasiaan informasi
2.1.5 Alur pasien, petugas dan peralatan
a. Alur pasien

10
 Pintu masuk pasien pre dan pasca bedah berbeda.
 Pintu masuk pasien dan petugas berbeda.
b. Alur petugas Pintu masuk dan keluar petugas melalui pintu satu
c. Alur peralatan Pintu masuknya peralatan bersi dan kotor berbeda
2.1.6 Standart Kamar Operasi
1. Ruang tunggu
Ruang tunggu pasien mempunyi peralatan sebagai berikut :
 Kursi
 Tempat sampah tertutup
2. Ruang tata usaha
Ruang tata usaha mempunyai peralatan sebagai berikut :
a) White broad
b) Alat komunikasi
c) Kursi dan meja kerja
d) Komputer
e) Papan pengumuman
f) Papan jadwal operasi
g) Filling cabinet
h) Tempat sampah tertutup
3. Ruang Kepala Kamar Operasi
Ruang kepala kamar operasi mempunyai peralatan sebagai berikut:
a) White broad
b) Alat komunikasi
c) Kursi dan meja tulis
d) Filling cabinet
e) Tempat sampah tertutup
2. Ruang ganti baju
Ruang ganti baju mempunyai peralatan sebagai berikut:
a) Lemari pakaian
b) Locker

11
c) Rak sepatu
d) Wastafel dan cermin
e) Ember tertutup tempat baju kotor
f) Tempat sampah tertutup
3. Ruang istirahat
Ruang istirahat mempunyai peralatan sebagai berikut:
a) Kursi tamu atau sofa
b) Kursi dan meja makan
c) Tempat sampah terrtutup
d) Wastafel dan cermin
e) Peralatan minum
4. Gudang
Gudang mempunyai peralatan sebagai berikut:
a) Rak
b) Lemari alat
c) Kursi dan meja tulis
5. Kamar mandi dan WC
Kamar mandi dan WC mempunnyai peralatan sbagai berikut:
a) Ember dan gayung
b) Tempat sampah tertutup
c) Sandal kusus kamar mandi
d) Kapstok.
6. Ruang persiapan / premedikasi
Ruang persiapan / premedikasi mempunyai peralatan sebagai berikut:
a. Brancard / kereta dorong
b. Standart infuse
c. Rak baju pasien
d. Suction pump
e. Tabung oksigen lengkap
f. Sampiran

12
g. Termameter
h. Tensimeter
i. Stetoscop
j. Bengkok
k. Pispot
l. Urinal
m. Alat cukur
n. Alat kodokteran dan alat kesehatan lainnya yang harus tersedia
diruang persiapan, tergantung kondisi rumeh sakit setampat.
7. Koridor
a. Papan acara operasi
b. Lampu merah disetiap pintu bagian atas kamar tindakan, jika
menyala menandakan operasi sedang berlangsung
8. Ruang Pulih
Ruang pulih mempunyai peralatan sebagai berikut :
a. Emegensi troli berisi:
1. Obat-obatan penyelamat hidup
2. Cairan infuse
3. Air viva
4. Gudel berbagai ukuran
5. Laringoscop lurus dan bengkok dengan blade berbagai ukuran
6. Magyl forcep
7. Face mask
8. Suction cateter
9. Termometer
10. Spatel lidah
11. Infus set
12. VCV set
13. Tranfusi set
14. Papan resusitasi

13
b. Tabung oksigen lengkap
c. Suction pump
d. DC shok ( untuk RS kelas A dan B )
e. Tensimeter
f. Stetoskop
g. Tempat tidur pasca bedah
h. Bengkok
i. Alat komunikasi ( telepon / aerphon )
j. Formullir observasi
9. Ruang Penyimpanan Alat Steril
Rak / almari
10.Ruang penyimpanan Alat Tidak Steril
Ruang penyimpanan alat tidak sterilmempunyai peralatan sebagai
berikut:
a. Lemari kaca
b. Tromol
11.Ruang Pencucian Instrumen
Ruang pencucian instrumen bekas pankai, mempunyai peralatan
sebagai berikut :
a. Meja kerja kedap air
b. Bak pencuci alat
c. Troli
d. Sikat
e. Tempat sampah
f. Desinfektan/deterjen
12.Ruang Sterilisasi
Ruang sterilisasi mempunhyai alat sebagai berikut :
a. Sterilisator
b. Autoclave
c. Kereta dorong intrumen

14
d. Dry hate sterilizer
e. E.T.O sterilizer (bila memungkinkan)
13.Ruang Cuci Tangan
Ruang cuci tangan mempu nyaia sebagai berikut :
a. Tempat cuci tangan, kran air dengan pengumpil panjang
b. Tempat untuk sikat
c. Desinfektan dalam tempatnya
d. Sikat dari bahan termoplastik
e. Pengungkit kuku (pembersih)
f. Jam dinding
14.Ruang Tindakan
Ruang tindakan (kamar operasi) mempunyai peralatan sebagai berikut:
a. Alat kedokteran untuk anastesi
1. Mesin anastesi
2. Laryngoscope
3. Magyl Forcep
4. Harness
5. Air viva
6. Reservoir bag berbagai ukuran
7. Brush tube
8. Gudel
9. Endotrakeal tube
10. Canul
11. Xylocain jelly
12. Face mask
13. Konektor
14. Trolly ( meja dorong )
15. Suction pump
16. Resusitasi bayi

15
b. Alat untuk operasi
1. Set instumen steril sesuai dengan jenis operasi
2. Meja operasi lengkap
3. Meja instrument
4. Meja mayo
5. Lampu operassi
6. Waskom dan stadartnya
7. Suction pump
8. Diatermi/couter
c. Alat kesehatan
1. N.G.T (maag slang)
2. Feeding tube
3. Suction cateter
4. Slang O2
5. Konektor
6. Tampon steril
7. Mata pisau steril berbagai ukuran
8. Jarum steril berbagai ukuran
9. Infus set
10. Blood set
11. Intravena kateter
12. Tube drain steril
13. Drain : sarung tangan, kateter steril
14. Sarung tangan steril dalam tempatnya
15. Urine bag steril
16. Kapas
17. Plaster
18. Verband
19. Gunting balutan
20. Elastik Verband

16
21. Gips
d. Obat-obatan dan cairan
1. Obat-obatan untuk anastesi dan obat lain yang diperlukan
2. Cairan infus berbagai jenis
3. Cairan desinfektan
4. Bangku/kursi
5. Sandal khusus
2.1.7 Pencacatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu aspek dari suatu proses
akhir dalam perioperatif yang mencerminkan pertanggungjawaban dari tim
bedah dalam pelaksanaan pembedahan kepada psien atau masyarakat dan
Rumah sakit.
Adapun pencatatan dan pelaporan tersebut meliputi :
a. Asuhan keperawatan
b. Registrasi kamar bedah
c. Pemakaian obat-obatan, harus ditulis dengan lengkap dan jelas di
formulir yang telah tersedia
d. Peritiwa atau kejadian luar biasa harus segera dilaporkan sesuai dengan
system yang berlaku
e. Catatan kegiatan rutin
f. Cacatan pengiriman dan pemeriksaan laboratorium harus ditulis
lengkap, jelas dan singkat pada formulir yang telah tersedia
g. Laporan operasi harus ditulis lengkap, jelas dan singkat oleh ahli bedah
atau operator
h. Laporan anastesi harus ditulis lengkap, jelas dan singkat oleh dokter ahli
anastesi atau perawat anastesi
2.1.8 Keselamatan dan keamanan kerja
Keselamatan dan keamanan kerja ditujukan pada pasien, petgas dan alat
meliputi hal-hal sebgai berikut :
a. Keselamatan dan keamanan pasien

17
Untuk menjamin keselamatan dan keamanan pasien semua anggota tim
bedah meneliti kembali;
1. Identitas pasien
2. Rencana tindakan
3. Jenis pemberian anastesi yang akan dipakai
4. Faktor-faktor alergi
5. Respon pasien selama perioperatif
6. Menghindari pasien dari bahaya fisik akibat penggunaan alat atau
kurang teliti
b. Keselamatan dan keamanan petugas
1. Melakukan pemeriksaan secara periodic sesuai dengan ketentuan
2. Beban kerja harus sesuai dengan kemampuan dan konddisi petugas
3. Perlu adanya keseimbanagan antara kesejahteraan, penghargaan dan
pendidikan berkelanjutan
4. Melakukan pembinaan secara terus-menerus dalam pempertahankan
hasil kinerja
5. Mmbian kerja sama yang baik inter dana natar profesi dalam
pencapaian tujuan tindakan pembedahan
c. Keselamatan dan keamanan alat-alat
1. Menyediakan pedoman atau manual dalam bahasa Indonesia
tentang cara penggunaan alat-alat dan menggantungakannya pada
alat-alat tersebut
2. Memeriksa secara rutin kondisi alat dan member label khusus untuk
alat yang rusak
3. Semua petugas harus memahami penggunaan secara tepat
4. Melaksanakan pelatihan tentang cara penggunaan dan pemeliharaan
alat secara rutin dan berkelanjutan
5. Memeriksa setiap hari ada tidaknya kebocoran pada pipa gas medis
(pemeriksaan dilakukan oleh petugas IPSRS)
6. Memeriksa alat ventilasi udara agar berfungsi dengan baik

18
7. Memasang symbol khusus untuk daerah rawan bahaya atau
mempuyai resiko mudah terbakar
8. Mengguanakn diatermi tidak boleh bersamaan dengan pemakaian
obat bius ether
9. Memriksa pemadan kebakan dalam keadaan siap pakai
10. Pemerisaan secara rutin alat elektrimedis yang dilakukan oleh
petuga IPSRS
d. Program penjaminan mutu
1. Melaksanakan evaluasi pelayanan di kamar operasi melalui macam-
macam audit
2. Melaksanakan Survailan infeksi nosokomial secara periodic dan
berkesinambungan
2.1.9 Pemeliharaan kamar operasi
Pemeliharaan kamar operasi merupakan proses pembersihan ruangan
beserta alat-alat standart yang ada di kamar operasi. Dilakukan teratur
sesuai jadwal, tujuannya untuk mencegah infeksi silang dari atau kepada
pasien beserta mempertahankan sterilitas.
Cara membersihkan kamar operasi ada 3 :
a. Cara pembersihan rutin atau harian
Pembersihan rutin yairu pembersihan sebelum atau sesudah penggunaan
kamar operasi agar siap pakai, dengan ketentuan sebagai berikut:
 Semua permukaan peralatan yang terdapat dalam kamar operasi harus
dibersihkan menggunakan desinfektan atau dapat menggunakan air
sabun
 Permukaan meja operasi dan matras harus diperiksa dan dibersihkan
 Ember tempat sampah harus dibersihkan setiap selesai dipakai,
kemudian pasang kantong plastic yang baru
 Semua peralatan yang digunakan untuk pembedahan dibersihkan
antara lain :

19
a. Slang suction dibilas
b. Cairan yang ada dalam botol suction dibuang, bak penampung tidak
boleh dibuang diember agar sampah yang ada tidak tercampur
dengan cairan yang berasal dari pasien
c. Alat anastesi dibersihkan, alat yang terbuat dari karet setelah
dibersihkan direndam dengan air desinfektan
 Noda-noda yang ada di dinding harus dibersihkan
 Lantai dibersihkan kemudian dipel dengan menggunakan cairan
desinfektan. Air pembilas dalam meber setiap kotor harus diganti
dan tidak boleh untuk kamar operasi lain
 Lubang angin, kaca dan kusen harus dibersihkan
 Alat tenun bekas pakai dikeluarkan dari kamar operasi. Jika alat
tenun tersebut bekas paien infeksi, maka penanganannya sesuai
prosedur yang berlaku
 Lampu operasi harus dibersihkan tiap hari. Pada waktu
membersihkan lampu harus dalam keadaan dingin
 Alas kaki atau sandal khusus kamar operasi harus dibersihkan tiap
hari
b. Cara pembersihan mingguan
Pembersihan mingguan yaitu pembersihkan yang dilakukan, untuk
membersihkan secara keseluruhan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Dilakukan secara teratur setiap seminggu sekali
b. Semua peralatan yang ada di dalam kamar bedah dikeluarkan dan
diletakkan di koridor/didepan kamar bedah
c. Peralatan kamar bedah harus dibersihkan/dicuci dengan memakai
cairan desinfektan atau cairan sabun. Perhatian harus ditujukan pada
bagian peralatan yang dapat menjadi tempat berakumulasinya sisa
organism, seperti bagian dari meja operasi, di bawah matras
d. Permukaan dicuci dengan menggunakan air mengalir

20
e. Lantai disemprot dengan menggunakan deterjen, kemudian
permukaan lantai disikat. Setelah itu dikeringkan
f. Setelah lantai bersih dan kering, peralatan yang sudah dibersihkan
dapat dipindah kembali dan diatur kedalam kamar operasi
c. Cara pembersihan sewaktu
Pembersihan sewaktu dilakukan bila kamar operasi diggnakan untuk
tindakan pembedahan
2.1.10 Penatalaksanaan Cara Kerja
1. Penatalaksanaan cara kerja
Pelaksanaan atau tata cara kerja perawat instrument merupakan
tindakan yang dilakukan perawat instrument pada waktu sebelum,
selama, dan sesaat sesudah dilingkungan operasi. Tugas dan tanggung
jawab yang dilakukan adalah menyiapkan ruangan, pasien, personil,
maupun alat instrument dan bahan kebutuhan operasi lain nya.
a. Persiapan ruangan sebelum dan selama operasi
Sesaat sebelum operasi, perawat kamar operasi melakukan
pengecekan terhadap kebersihan lingkungan, meja mayo, kelayakan
alat, dll.
b. Persiapan alat dan bahan kebutuhan operasi
Perawat kamar operasi sebaiknya mengetahui dan dapat menyiapkan
alat instrument dimulai dari instrumenat dasar sampai instrument
tambahan. Sesuai dengan macam dan jenis operasi yang dilakukan.
Sesaat sebelum operasi perawat instrument meneliti dan menghitung
jumlah alat dan bahan yang akan digunakan, dan kemudian
menyiapkan alat di atas meja mayo setelah sterilisasi dilaksanakan.
c. Persiapan pasien
Sesaat setelah pasien datang diruang Persiapan, kemudian
dipindahkan ke brancard dan mengganti baju khusus ruang OK
hingga akhir operasi berlangsung.
d. Persiapan personil tim bedah

21
Personil yang dimaksud adalah operator, asisten, perawat instrument,
dan yang terlibat langsung dalam aseptic 0.
e. Instrument
Instrument adalah alat-alat yang digunakan untuk tindakan
pembadahan. Instrument terbagi menjadi 2 macam yaitu :
1. Instrument dasar (basic instrument)
Instrument dasar digunakan untuk pembedahan yang sifatnya
sederhana dan tidak memerlukan instrument tambahan.
a. Pinset anatomis (Tissue forceps) :2
b. Pinset chirurgis (Dissecting forceps) :2
c. Gunting metzembaum (Metzemboum scissor) :1
d. Gunting jaringan (Surgical scissor) :1
e. Gunting lurus (Surgical scissor straiht) :1
f. Desinfeksi klem (washing and dressing forcep) :1
g. Doek klem (towel klem) :4
h. Mosquito klem ((Baby mosquito klem pean) :2
i. Klem pean bengkok (Forcep pean curve) :3
j. Klem kocher bengkok(Forcep kocher curve) : 10
k. Alise klem (Allies clamp) :2
l. Haak tajam gigi 4 (wound hook sharp) :2
m.Langenbeck (Rectractor US army) :2
n. Nald volder (Needle holder) :2
o. Handle mess :1
b. Instrument tambahan
Instrument tambahan yang dimaksud adalah alat-alat yang
dipergunakan untuk tindakan pembedahan yang sifatnya
kompleks dalam macam pembedahan maupun jenis pembedahan.

22
2.2 Konsep Teori Anestesi
2.2.1 Pengertian Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunanian-"tidak,
tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik,
pengawasan keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya,
bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian
terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
2.2.2 Skala Resiko “ASA”
“American Society of Anaesthesiologists” (ASA) menetapkan sistem
penilaian yang membagi status fisik penderita ke dalam lima kelompok.

Golongan Status Fisik


I Tidak ada gangguan organic, biokimia dan psikiatri,
misalnya penderita dengan hernia inguinalis tanpa
kelainan lain, orang tua sehat dan bayi muda yang sehat.
II Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan
disebabkan oleh penyakit yang akan dibedah, misalnya
penderita dengan obesitas, penderita bronchitis dan
penderita DM ringan yang akan menjalani apendektomi
III Penyakit sistemik berat, misalnya penderita DM dengan
komplikasi pembuluh darah dan datang dengan
appendicitis akut

IV Penyakit gangguan sistemik berat yang membahayakan


jiwa yang tidak selalu dapat diperbaiki dengan
pembedahan, missal insufisiensi koroner atau MCI

23
V Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil,
pembedahan dilakukan sebagai pilihan terakhir, missal
penderita syok berat karena perdarahan akibat kehamilan
di luar uterus yang pecah.

2.2.3 Pembagian Anestesi


1. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali
(reversible). Komponen trias anastesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia
dan relaksasi otot.
Cara pemberian anastesi umum:
a. Parenteral (intramuscular/intravena)
Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anastesi.
b. Perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan
singkat.
c. Anastesi Inhalasi
Yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau cairan anastesi
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui
udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan berupa
campuran gas (denganO 2 ) dan konsentrasi zat anestetik tersebut
tergantung dari tekanan parsialnya.
Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4
stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).

24
Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium I I I dibagi menjadi 4
plana yaitu:
1) Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut
seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut
kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum
tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai
menurun).
2) Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang
sehingga dikerjakan intubasi.
3) Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
4) Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks
cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV

25
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung
berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan
pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
Obat-obat anestesi umum
a. Tiopenthal :
1) Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul
500/1000 mg. Dilarutkan dengan aquades sampai konsentrasi
2,5%. Dosis 3-7 mg/kgBB.
2) Melindungi otak oleh karena kekurangan O2.
3) Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke
arteri yang menyebabkan nekrosis jaringan sekitar.
b. Propofol:
Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan
kepekatan 1%. Dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB, rumatan 4-
12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB.
Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%.
Dosis dikurangi pada manula, dan tidak dianjurkan pada anak
dibawah 3 thn dan ibu hamil.
c. Ketamin:
1) Kurang disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi,
nyeri kepala. Paska anestesi mual, muntah, pandangan kabur dan
mimpi buruk. Dosis bolus iv 1-2mg/kgBB, im 3-10mg/kgBB.
2) Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%.
d. Opioid:
1) Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk pasien dengan kelainan jantung.
2) Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1
mg/kgBB/mnt.

26
Untuk memberikan cairan dalam waktu singkat dapat
digunakan vena-vena di punggung tangan, di dalam pergelangan
tangan, lengan bawah atau daerah kubiti. Pada anak kecil dan
bayi digunakan punggung kaki, depan mata kaki atau di kepala.
Bayi bari lahir digunakan vena umbilikus.
2. Anestesi Lokal/Regional
Anestesi lokal/regional adalah tindakan menghilangkan
nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangmya kesadaran.
Pemberian anestetik lokal dapat dengan tekhnik:
a. Anastesi Permukaan
Yaitu pengolesan atu penyemprotan analgetik lokal diatas selaput
mukosa, seperti mata, hidung atau faring.
b. Anastesi Infiltrasi
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan
disekitar tempat lesi, luka dan insisi.
c. Anastesi Blok
Penyuntikan analgetik lokal langsung ke saraf utama atau pleksus
saraf. Hal ini bervariasi dari blokade pada saraf tunggal, misal
saraf oksipital dan pleksus brachialis, anastesi spinal, anastesi
epidural, dan anestesi kaudal. Pada anestesi spinal, anestesi lokal
disuntikkan ke ruang subarakhnoid.
3. Anastesi Spinal
Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas
dengan memasukkan anestesi local dalam rung subarachnoid di tingkat
lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anesthesia pada
ekstermitas bawah, perenium dan abdomen bawah. Untuk prosedur
fungsi lumbal, pasien dibaringkan miring dalam posisi lutut-dada.
Teknik steril diterapkan saat melakukan fungsi lumbal dan medikasi
disuntikkan melalui jarum. Segera setelah penyuntikan, pasien

27
dibaringkan terlentang. Jika diinginkan tingkat blok yang secara
relative tinggi, maka kepala dan bahu pasien diletakkan lebih rendah.
Penyebab agens anastetik dan tingkat anesthesia bergantung
pada jumlah cairan yang disuntikkan, posisi pasie setelah penyuntikan,
dan berat jenis agens. Jika berat jenis agens lebih berat dari berat jenis
cairan serebrospinal (CSS), agens akan bergerak keposisi dependen
spasium subarachnoid, jika berat jenis agens anastetik lebih kecil dadri
CSS, maka anasteti akan bergerak menjauh bagian dependen.
Perbatasan ini dikendalikan oleh ahli anestesi. Secara umum, agens
yang digunakan adalah prokain, tetrakain (Pontocaine), dan lidokain
(Xylokain).
Dalam beberapa menit, anestesia dan paralisis mempengaruhi
jari-jari kaki dan perineum dan kemudian secara bertahap
mempengaruhi tungkai dan abdomen. Jika anestetik mencapai toraks
bagian atas dan medulla spinalis dalam konsentrasi yang tinggi, dapat
terjadi paralisis respiratori temporer, parsial atau komplit. Paralisis oto-
otot pernapasan diatasi dengan mempertahankan respirasi artificial
sampai efek anestetik pada saraf respiratori menghilang. Mual, muntah
dan nyeri dapat terjadi selama pembedahan ketika digunakan anestesia
spinal. Sebagai aturan, reaksi ini terjadi akibat traksi pada berbagai
struktur, terutama pada struktur di dalam rongga abdomen. Reaksi
tersebut dapat dihindari dengan pemberian intarvena secara simultan
larutan teopental lemah dan inhalasi oksida nitrat.
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang
melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga
digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi,
bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan
bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah
bayi ditidurkan dengan anestesi umum.

28
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat
dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok),
koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial. Kontraindikasi
relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung,
penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan
dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi
yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan
laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila
diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian
anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan
ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan
adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat
anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah
teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke
dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah
dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada

29
di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan
serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine,
alcohol, dan duk steril juga harus disiapkan. Jarum spinal. Dikenal 2
macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang
ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan
spinal.
Teknik Anestesi Spinal
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan
posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi
meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan
tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien
tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah
antara vertebrata lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung
pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke
arah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid.
5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
6. Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang
subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat
ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.
Komplikasi

30
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat
penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine,
meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal
total.
Pengkajian keperawatan yang dilakukan setelah anestesia
spinal, selain memantau tekanan darah, perawat perlu
mengobservasi pesien dengan cermat dan mencatat waktu saat
perjalanan sensasi kaki dan jari kembali. Jika sensasi pada jari kaki
telah kembali sepenuhnya, pasien dapat dipertimbangkan telah
pulih dari efek anestetik spinal.
4. Blok Epidural
Anestesia epidural dicapai dengan menyuntikkan anestetik
local ke dalam kanalis spinalis dalam spasium sekeliling durameter.
Anestesia epidural memblok fungsi sensori, motor dan otonomik yang
mirip, tetapi tempat injeksinya yang membedakannya dari anestesi
spinal. Dosis epidural lebih besar disbanding dosis yang diberikan
selama anestesi spinal karena anestesi epidural tidak membuat kontak
langsung dengan medulla atau radiks saraf. Keuntungan dari anestesi
epidural adalah tidak adanya sakit kepala yang kadang disebabkan oleh
penyuntikan subarachnoid. Kerugiannya adalah memiliki tantangan
teknik yang lebih besar dalam memasukkan anestetik ke dalam
epidural dan bukan ke dalam spasium subarachnoid. Jika terjadi
penyuntikan subarachnoid secara tidak sengaja selama anestesi
epidural dan anestetik menjalar ke arah kepala, akan terjadi anestesia
spinal “tinggi”. Anestesia spinal tinggi dapat menyebabkan hipotensi
berat dan depresi atau henti napas. Pengobatan untuk komplikasi ini
adalah dukungan jalan napas, cairan intravena, dan penggunaan
vasopresor.
5. Blok Pleksus Brakialis
Blok pleksus brakialis menyebabkan anestesia pada lengan.

31
6. Anestesia Paravertebral
Anestesia paravertebral menyebabkan anestesia pada saraf yang
mempersarafi dada, dindind abdomen dan ekstremitas.
7. Blok Transakral (Kaudal)
Blok transakral menyebabkan anestesia pada perineum dan kadang
abdomen bawah.
8. Anastesi Regional Intravena
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal. Ekstremitas dieksanguinasi dan
diisolasi bagian proksimalnya dari sirkulasi sistemik dengan torniquet
pneumatik.
2.2.4 Obat Premedikasi
A. Pemberian obat premedikasi bertujuan untuk:
1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan
kekhawatiran, memberikan ketenangan, membuat amnesia,
memberikan analgesi).
2. Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan
sadar dari anastesi.
3. Mengurangi jumlah obat-obatan anastesi.
4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan
muntah pascaanastesi.
5. Mengurangi stres fisiologis (takikardi, napas cepat, dan
lain-lain).
6. Mengurangi keasaman lambung.
B. Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada
tindakananestesi adalah sebagai berikut:
1. Analgetik narkotik
a. Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB)
intramuskular diberikan untuk mengurangi kecemasan dan
ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu pada

32
pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang
dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu
pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter.
b. Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena
diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta
merangsang otol polos. Dosis induksi 1-2 mg/kg BB intravena.
2. Barbiturat
Penobarbital dansekobarbital. Diberikan untuk menimbulkan
sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kg BB
secara oral atau intramuslcular.
3. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan
dan bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular
bekerja setelah 10-15 menit.
4. Obatpenenang (tranquillizer)
a. Diazepam
Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepin. Dosis
premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral
(0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi
pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena.
Dosis induksi 0,2-1 mg/kg BB intravena.
b. Midazolam
Mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek
dibandingkan dengan diazepam.

2.2.5 Obat Anestesi Inhalasi


Zat Untung Rugi
N2O Analgesik kuat, Jarang digunakan tunggal,

33
baunya manis, tidak harus disertai O2 minimal
iritasi, tidak terbakar. 25%, anestetik lemah,
memudahkan hipoksia difusi.
Halotan Baunya enak. Tidak Vasodilator serebral,
merangsang jalan meningkatkan aliran darah
nafas, anestesi kuat otak yang sulit dikendalikan,
analgesik lemah.
Kelebihan dosis akan
menyebabkan depresi nafas,
menurunnya tonus simpatis,
hipotensi, bradikardi,
vasodilator perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard.
Kontraindikasi gangguan
hepar. Paska pemberian
menyebabkan menggigil.
Enfluran Induksi dan Pada EEG, menunjukkan
pemulihan lebih cepat kondisi epileptik. Depresi
dari halotan. Efek nafas, iritatif, depresi
relaksasi terhadap sirkulasi.
otot lebih baik
Isofluran Menurunkan laju Meninggikan aliran darak
meta-bolisme otak otak dan TIK.
terhadap O2
Desfluran Sangat mudah menguap,
potensi rendah.
Simpatomimetik, depresi
nafas, me-rangsang jalan
nafas atas.

34
Sevoflura Bau tidak menyengat,
n tidak merangsang
jalan nafas,
kardiovaskular stabil

2.2.6 Posisi Pasien Di Meja Operasi


Posisi pasien di meja operasi bergantung pada prosedur operasi yang akan
dilakukan juga pada kondisi fisik pasien. Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Pasien harus dalam posisi senyaman
mungkin, apakah ia tetidur atau sadar.
2. Area operatif harus terpajan secara
adekuat.
3. Pasokan vascular tidak boleh terbendung
akibat posisi yang salah.
4. Pernapasan pasien harus bebas dar
gangguan tekanan lengan pada dada atau konstriksi pada leher dan
dada yang disebabkan oleh gaun.
5. Saraf harus dilindungi dari tekanan yang
tidak perlu. Pengaturan posisi lengan, tangan, tungkai, atau kaki yang
tidak tepat dapat mengakibatkan cedera serius atau paralisis. Bidang
bahu harus tersangga dengan baik untuk mencegah cedera saraf yang
tidak dapat diperbaiki, terutama jika posisi Trendelenburg diperlukan.
6. Tindak kewaspadaan untuk keselamatan
pasien harus diobservasi, terutama pada pasien kurus, lansia atau obes.
7. Pasien membutuhkan restrain tidak keras
sebelum induksi, untuk berjaga-jaga bila pasien melawan

2.2.7 Macam-macam Posisi pasien di meja operasi:


1. Posisi Dorsal Rekumben

35
Posisi lazim untuk pembedahan adalah terlentang dasar; satu lengan di
sisi tubuh, dengan telapak tangan tertelungkup; tangan satunya
diposisikan di atas sebuah papan lengan untuk infuse intravena. Posisi
ini kebanyakan digunakan pada bedah abdomen, kecuali untuk bedah
kandung empedu dan pelvis.
2. Posisi Trendelenberg
Posisi ini biasanya digunakan untuk pembedahan abdomen bawah dan
pelvis untuk mendapat pajanan area operasi yang baik dengan
mengeser intestine ke dalam abdomen atas. Dalam posisi ini kepala
dan badan lebih rendah dan lutut dalam keadaan fleksi.
3. Posisi Litotomi
Dalam posisi litotomi, pasien terlentang dengan tungkai dan paha
fleksi dengan sudut yang tepat. Posisi ini dipertahankan dengan
menempatkan telapak kaki pada pijakan kaki. Posisi ini digunakan
pada pembedahan perineal, rectal dan vaginal.
4. Untuk Bedah Ginjal
Pasien dibaringkan miring pada sisi tubuh yang tidak dioperasi dalam
posisi Sims menggunakan bantal udara dengan ketebalan 12,5 cm
samapai 15 cm di bawah pinggang, atau di atas meja dengan ginjal dan
punggung di atas.
5. Untuk Bedah Dada dan
Abdominotorakik
Posisi yang dibutuhkan beragam sesuai dengan pembedahan yang akan
dilakukan. Ahli bedah dan ahli anestesi membaringkan pasien dalam
posisi yang diinginkan.
6. Pembedahan pada Leher
Bedah leher, misalnya bedah tiroid, dilakukan dengan pasien dalam
posisi terlentang, leher ekstensi menggunakan bantal yang diletakkan
dibawah bahu, dan kepala serta dada ditinggikan untuyk mengurangi
aliran balik vena.

36
7. Pembedahan pada Tulang
Tengkorak dan Otak
Prosedur ini membutuhkan posisi dan peralatan khusus, biasanya
diataur oleh ahli bedah.
2.2.8 Peralatan
Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan.
Secara umum mesin anestesi terdiri dari tiga komponen yang saling
berhubungan yaitu:
1. Komponen 1: sumber gas, penunjuk aliran gas (flow meter),dan alat
penguap (vaporizer).
2. Komponen 2: sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan
sistem Magill.
3. Komponen 3: alat yang menghubungkan sistem napas dengan
pasien yaitu sungkup muka (face mask), pipa endotrakhea
(endotrakheal tube).
2.2.9 Tahapan
1. Persipan
Praanestesi
Keadaan fisis pasien telah dinilai sebelumnya. Dilakukan penilaian
praoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, akses intravena dipasang untuk
pemberian cairan infus, transfusi dan obat-obatan. Dilakukan
pemantauan elektrografi, tekanan darah, saturasi Cb, kadar CO2 dalam
darah (kapnograf), dan tekanan vena sentral (CVP). Premedikasi dapat
diberikan. oral, rektal, intramuskular, atau intravena.
2. Induksi Anestesi
Pasien diusahakan tenang dan diberikan O2 melalui sungkup muka.
Obat-obat induksi diberikan secara intravena seperti tipental, ketamin,
diazepam, midazolam, dan profol. Jalan napas dikontrol dengan sungkup
muka atau napas orofaring/nasofaring. Setelah itu dilakukan intubasi
trakhea. Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi pasien disesuaikan.

37
3. Perawatan
Anestesi
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hal-hal
yang dipantau adalah fungsi vital (pernapasan, tekanan darah, nadi,
dan kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan, batuk, mengedan,
perubahan pola napas, takikardi, hipertensi, keringat, air mata,
midriasis.
Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali
tergantung jenis, lama, dan posisi operasi. Cairan infus diberikan
dengan memperhitungkan kebutuhan puasa, rumatan, perdarahan,
evaporasi, dan lain-lain.
Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan frekuensi nadi dan
tekanan darah. Peningkatan tekanan darah dan dan frekuensi nadi
terjadi bila anestesi kurang dalam. Hal ini disebabkan karena terjadi
sekresi adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu
dengan meningkatkan konsentrasi halotan atau suntikan barbiturat.
Penurunan tekanan darah dan nadi halus sebagai tanda syok dapat
disebabkan karena kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi dengan
pemberian cairan pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah
dan frekuensi nadi dapat disebabkan karena anestesi terlalu dalam atau
terlalu ringan serta kehilangan banyak darah atau cairan. Peningkatan
tekanan darah dan tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi
disebabkan transfusi yang berlebihan. Diatasi dengan penghentian
transfusi.
4. Pemulihan
Pasca-Anestesi
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery
room) atau keruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum,
ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau
sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum,

38
kesadaran, tekanan darah, nadi, pemapasan, suhu, sensibilitas nyeri,
perdarahan dari drain, dan lain-lain.
Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai adalah warna kulit,
kesadaran, sirkulasi, pemapasan dan aktivitas motorik, seperti Skor
Aldrette. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total
adalah 10. namun bila skor total telah diatas 8 pasien boleh dipindahkan
dari ruang pemulihan.
5. Skor Pemulihan Pasca-Anestesi
Penilaian Nilai
Merah muda 2
Warna Pucat 1
Sianotik 0
Dapat bernafas dalam dan batuk 2
Pernapasa Dangkal namun pertukaran udara 1
n adekuat
Apnea atau obstruksi 0
Tekanan darah menyimpang 2
<20%>
Tekanan darah menyimpang 20- 1
Sirkulasi
50% dari normal
Tekanan darah menyimpang 0
>50% dari normal
Sadar, siaga, dan orientasi 2
Bangun namun cepat kembali 1
Kesadaran
tertidur
Tidak berespon 0
Seluruh ekstremitas dapat 2
digerakkan
Aktivitas
Seluruh ekstermitas tidak dapat 1
digerakkan

39
2.3 KONSEP PERSIAPAN OPERASI
Pelaksanaan atau tata cara kerja perawat instrument merupakan tindakan yang
dilakukan perawat instrument pada waktu sebelum, selama, dan sesaat sesudah
dilingkungan operasi. Tugas dan tanggung jawab yang dilakukan adalah
menyiapkan ruangan, pasien, personil, maupun alat instrument dan bahan
kebutuhan operasi lain nya.
2.3.1 Persiapan ruangan sebelum dan selama operasi
Sesaat sebelum operasi, perawat kamar operasi melakukan pengecekan
terhadap kebersihan lingkungan, meja mayo, kelayakan alat, dll.
2.3.2 Persiapan pasien
Sesaat setelah pasien datang diruang Persiapan, kemudian dipindahkan ke
brancard dan mengganti baju khusus ruang OK hingga akhir operasi
berlangsung.
2.3.3 Persiapan personil tim bedah
Personil yang dimaksud adalah operator, asisten, perawat instrument, dan
yang terlibat langsung dalam aseptic 0.
2.3.4 Instrument
Instrument adalah alat-alat yang digunakan untuk tindakan pembadahan.
Instrument terbagi menjadi 2 macam yaitu :
a. Instrument dasar (basic instrument)
Instrument dasar digunakan untuk pembedahan yang sifatnya
sederhana dan tidak memerlukan instrument tambahan.
- Pinset anatomis (Tissue forceps) : 2 buah
- Pinset chirurgis (Dissecting forceps) : 2 buah
- Gunting metzembaum (Metzemboum scissor) : 1 buah
- Gunting jaringan (Surgical scissor) : 1 buah
- Gunting lurus (Surgical scissor straiht) : 1 buah
- Desinfeksi klem (washing and dressing forcep) : 1 buah

40
- Doek klem (towel klem) : 4 buah
- Mosquito klem ((Baby mosquito klem pean) : 2 buah
- Klem pean bengkok (Forcep pean curve) : 3 buah
- Klem kocher bengkok(Forcep kocher curve) : 10 buah
- Alise klem (Allies clamp) : 2 buah
- Haak tajam gigi 4 (wound hook sharp) : 2 buah
- Langenbeck (Rectractor US army) : 2 buah
- Nald volder (Needle holder) : 2 buah
- Handle mess : 1 buah
b. Instrument tambahan
Instrument tambahan yang dimaksud adalah alat-alat yang
dipergunakan untuk tindakan pembedahan yang sifatnya kompleks
dalam macam pembedahan maupun jenis pembedahan.
c. Linen Set
 Duk besar :3
 Duk sedang :4
 Duk kecil :4
 Duk kombinasi :1
 Duk lubang :1
 Scort/baju Operasi :5
 Sarung meja Mayo :1
 Handuk kecil :5
d. Bahan Habis Pakai
 Mess no. 10 :1
 Handscoun : secukupnya
 Underpad steril/on : 2/1
 Sufratul :1
 Sponsngostan :1
 Urin bag :1
 Kateter no 16 :1

41
 Spuit 10 :2
 Betadine 10 % : secukupnya
 NS 0,9 % : 1 liter
 Jelly : secukupnya
 Kassa : 10 lembar
 Deppers : 5 buah
 Deppers kecil ( kacang ) : 1 buah
 Pita gulung : 30 cm
 Hepavik : secukupnya
 Benang vicryl 0 :2
 Benang prolene 2-0 / 3-0 : 1/1
2.4 Konsep Teori Kasus
2.4.1 Definisi fraktur
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price&Wilson, 2006)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2000)
2.4.2 Fraktur Maxila

Fraktur maxilla adalah suatu trauma pada fisik yang mengenai


jaringan lunak dan keras pada wajah, yang terdiri cidera pada wajah,
mulut dan rahang. Hampir setiap orang mengalami cidera tersebut, atau
yang mengetahui seseorang yang mengalami fraktur maxilla. Fraktur
maxilla sebagian besar mengenai pada tulang rahang dan perabaan serta
menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada tulang rahang jarang
menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin dikarenakan
komplikasi yang lebih parah, seperti pada pasien dengan batas kesadaran
yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah,

42
patahan gigi dan gigi tiruan (Sjamsuhidajat, 2010).

2.4.3 Fraktur Orbita

Fraktur orbital atau patah tulang orbital merupakan masalah


yang sangat menarik perhatian masyarakat. Banyak kejadian yang tidak
terduga yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur orbital, baik
Terjadinya hantaman benda tumpul pada bola mata secara tiba-tiba yang
menyebabkan fraktur seringkali membuat orang panik dan tidak tahu
tindakan apa yang harus dilakukan. Ini disebabkan tidak adanya
kesiapan dan kurangnya pengetahuan terhadap fraktur orbital tersebut.
Seringkali untuk penanganan fraktur ini tidak tepat, mungkin
dikarenakan kurangnya informasi yang tersedia. Contohnya ada
seseorang yang mengalami fraktur orbital Tetapi, karena kurangnya
pengetahuan dalam penanganan pertolongan pertama terhadap fraktur, ia
pergi ke dukun pijat karena mungkin ia menganggap bahwa gejala
fraktur mirip dengan gejala orang yang terkilir. Oleh karena itu, kita
harus mengetahui paling tidak bagaimana penanganan pada korban
fraktur ini.

2.4.4 Anatomi
Tulang-tulang wajah terdiri: tulang nasal/hidung, tulang
zygomatikus/pipi, tulang maksila/rahang atas, tulang
mandibula/rahang bawah.
Norma Frontalis
Dilihat dari depan tengkorak tampak oval dengan bagian atas
lebih lebar dari pada bagian bawah. Bagian atas dibentuk oleh
os frontal yang konveks dan halus sedangkan bagian bawah
sangat irreguler. Diatas kedua cavum orbita terdapat tonjolan
yang melengkung dinamakan arkus superciliaris yang tampak
lebih menonjol pada pria dibandingkan dengan pada wanita
dan diantara kedua arkus terdapat bagian yang menonjol yang

43
disebut glabela. Dibawah glabela terdapat nasion yang
merupakan pertemuan antara sutura internasal dan sutura
frontonasal. Cavum orbita menyerupai segi empat dimana pada
sisi atas (supra orbita margin) dibentuk oleh os frontal yang
pada 1/3 medialnya terdapat supra orbital notch yang
merupakan tempat keluarnya pembuluh darah dan saraf supra
orbita. Sisi lateral dibentuk oleh proccesus frontal os
zygomaticum dan proccesus zygomaticum os frontale. Sisi
bawah atau posterior orbital margin dibentuk oleh os
zygomaticum dan os maksila. Sisi medial dibentuk oleh bagian
atas os frontal dan bagian bawah os lakrimal.

Pada norma frontalis tampak :


1. Os. Frontale
 uberculum frontale
 tonjolan pada dahi dikanan dan kiri
 arcus superciliaris

44
 tonjolan yang melengkung diatas mata
 Sinus frontalis : kedua dinding anterior dan posterior dapat
mengalami cedera, karena dinding posterior berhubungan dengan
duramater dimana dapat terjadi kerusakan dari sistem saraf pusat
yang manifestasi sebagai kebocoran dari cairan serebro spinal
2. Orbita
Fossa orbita terdiri atas 7 macam tulang yang memiliki
ketebalan yang berbeda.Tulang frontal membentuk rima orbita
dan atap dari fossa orbita, permukaan medial dibentuk oleh
tulang ethmoid dan greter wing of sphenoid dan zygoma
membentuk dinding lateral, di inferior lantai fossa orbita
dibentuk oleh rima infraorbita yang dibentuk oleh
oszigomatikus dan tulang maxilla, daerah ini sangat tipis maka
pada umumnya fraktur dapat terjadi disini. Fraktur pada lantai
fossa orbita dikenal dengan blow-out fraktur yang dapat
menyebabkan terjepitnya otot pergerak bola mata yaitu m.
rektus inferior yang membatasi gerakan bola mata ke arah atas.
3. Nasal
Fraktur os nasal adalah salah satu yang paling umum
terjadi diantar fraktur fasial yang lain. Contoh, fraktur
nasoorbitiethmoid adalah fraktur yang serius, dimana trauma
terjadi pada jembatan antar tulang os nasalfraktur, dapat meluas
ke os frontal dan maxilla,dan yang paling berbahaya adalah
terjadinya fraktur atau diskontuinitas dari fossa kribosa yang
ditandai oleh gejala rhinorea.
4. Zygomatica / komplek zygomaticomaxilla
Seperti os nasal, tulang ini juga merupakan tulang pada
muka yang menonjol, sehingga rentan terhadap trauma. Pada
fraktur tulang zygoma ini dapat terjadi depresi sentral dan
dengan fraktur pada ke dua ujung dari tulang zygoma, fragmen

45
fraktur sentral dari tulang ini dapat menyebabkan trismus
dengan mempengaruhi otot temporal. Tulang zygoma adalah
tulang yang tebal maka insiden fraktur isolasi jarang terjadi,
namun trauma dapat mempengaruhi ke tulang yang lebih tipis
disekitar tulang zigoma seperti os. orbita dan dan maksilla.
fraktur seperti ini dikenal sebagi fraktur tetrapod atau fraktur
tripod.
5. Maksilla
Rene Lefort pertama kali mendiskripsikan pembagian fraktur maxilla
pada tahun 1901.

 Lefort I : Adalah fraktur tansversal maksilla yang terjadi pada


batas atas dari akar apikal, diantara dan dibawah dari batas inferior
os nasal

 Le fort II : fraktur tranversal,fraktur rima infra orbita yang meluas


ke arah lateral dan posterior ke pterygomaksillar

 Le fort III : Fraktur maksilla ini juga dikenal sebagai craniofacial


dysfungtion, yang akibat dari kecelakkan motor atau mobil
sehingga mengakibatkan terjadinya hilangnya kontak tulang mid
face dengan basis kranii
6. Mandibulla

Fraktur mandibula dapat terjadi pada simfisis, corpus, ramus,


atau pada regio condyle dan supra condyle. Pada kecelakaan
motor fraktur paling sering terjadi pada daerah condyle dan
simfisis yang dikarenakan oleh tekanan langsung pada dagu.
Atau fraktur pada sudut mandibula yang disebabkan oleh
pukulan.

2.4.5 Etiologi

Kejadian terbanyak sering disebabkan karena perkelahian

46
( 34 % ), kecelakaan ( 28 % ), dan olahraga ( 23% ). Ratio antara
pria dan wanita pada fraktur hidung 2 : 1, dan terjadi pada usia 15
– 30 tahun, pada anak-anak kejadian tersering dikarenakan
terjatuh.

2.4.6 Patofisiologi

Fraktur berdasarkan arah datangnya tekanan ke hidung dibedakan


menjadi :
1. Depan, dapat menyebabkan fraktur yang simpel sampai
pendataran hidung bagian dalam
2. Lateral, hanya mengenai 1 sisi dari tulang hidung, akantetapi
dengan kekuatan yang besar dapat pula kedua tulang menjadi
displaced. Tekanan dari lateral dapat menyebabkan septum
berpindah atau bisa saja berupa patah dengan tipe buckle.
3. Atas, hal ini sangat jarang. Ini dapat menyebakan septum
fraktur dan dislokasi dari kartilago quadrangular
2.4.7 Gejala Klinis

Bisa didapat dari riwayat trauma hidung atau wajah dengan ditandai :

 Epistaksis

 Perubahan bentuk hidung

 Obstruksi udara di hidung

 Ekimosis di supra orbita

2.4.8 Diagnosis Banding


 Fraktur naso- etmoidalis kompleks
 Fraktur maksila
2.4.9 Pemeriksaan Penunjang
 Foto nasal
 Foto waters

47
2.4.10 Penatalaksanaan

 Reposisi fraktur nasal : Tindakan melakukan pengembalian


dari fragmen tulang nasal yang mengalami patah tulang
kembali ke kedudukan semula.

 Operasi : Indikasi : Deformitas, Kontra indikasi : Tidak ada


 Tindakan Operasi :
o Reduksi tertutup
o Reduksi terbuka

Nasal

a ) Dilihat dari depan b ) Dilihat dari atas

2.4.11 Komplikasi
1. Komplikasi awal/cepat
Edema, ekimosis, epistaksis, hematoma, infeksi dan kebocoran
liquor.
2. Komplikasi lanjut
Komplikasi ini berupa obstruksi jalan nafas, fibrosis/kontraktur,
deformitas sekunder, sinekia, hidung pelana dan perforasi septal.
Penatalaksanaan terbaik dari komplikasi ini adalah dengan
mencegah terjadinya komplikasi itu sendiri, diantaranya :

48
a. Hematom
Cukup serius dan membutuhkan drainase. Harus dicari adanya
hematom septal pada setiap kasus trauma septal karena kondisi
ini menyebabkan timbulnya infeksi sehingga kartilago septal
hilang dan akhirnya terbentuk deformitas pelana. Hematom
septal harus dicurigai jika didapati nyeri dan pembengkakan
yang menetap; komplikasi ini perlu diperhatikan pada anak-
anak. Splint silastic dapat digunakan untuk mencegah
reakumulasi darah pada tempat hematom.
b. Epistaksis
Biasanya sembuh spontan tapi jika kambuh kembali perlu
dikauter, tampon nasal atau ligasi pembuluh darah. Perdarahan
anterior karena laserasi arteri etmoid anterior, cabang dari arteri
optalmikus (sistem karotis interna). Perdarahan dari posterior
dari arteri etmoid posterior atau dari arteri sfenopalatina cabang
nasal lateral, dan mungkin perlu ligasi arteri maksila interna
untuk menghentikannya. Jika menggunakan tampon nasal, tidak
perlu terlalu banyak, karena dapat mempengaruhi suplai darah
pada septum yang mengalami trauma sehingga menyebabkan
nekrosis.
c. Infeksi
Tidak umum terjadi, tapi antibiotik profilaksis penting untuk
pasien yang mempunyai penyakit kelemahan kronis, immuno-
compromised dan dengan hematom septal.
d. Kebocoran liquor
Jarang dan disebabkan fraktur ‘cribriform plate’ atau dinding
posterior sinus frontal. Kebocoran kulit cukup diobservasi
selama 4 sampai 6 minggu dan biasanya terjadi penutupan
spontan. Konsultasi bedah saraf.

49
2.4.12 Perawatan Pasca bedah

- Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari


- Antibitika profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali
pemberianAnalgetika diberikan kalau perlu
- Penderita sadar betul boleh minum sedikit , sedikit
- Bila 8 jam kemudian tidak apa apa boleh makan bubur ( lanjutkan 1
minggu )
- Perhatikan posisi tidur , jangan sampai daerah operasi tertekan.
- Rawat luka pada hari ke 2 - 3 , angkat jahitan hari ke-7..
2.5 Fraktur maxilla
2.5.1 Definisi
Tulang maksila membentuk komponen terbesar dari 1 /3
bagian tulang muka. Tulang maksila adalah tulang yang penting di
pertengahan muka karena tulang tersebut menyokong struktural
antara basis kranii dengan cavum orbita. Insidensi fraktur
seringkali lebih rendah daripada tulang nasal atau mandibula
karena tulang ini mempunyai struktural yang kuat. Pada
pertengahan wajah terdapat tulang dengan struktural yang kuat
( lebih tebal ), sehingga mempunyai daya untuk menahan
kekuatan trauma. Struktural tulang yang kuat ini menyediakan
perlindungan ke otak, ke pertengahan wajah, dan cavum orbita.

2.5.2 Etiologi

Fraktur Maxilla terjadi karena high-energy blunt force


terhadap tulang wajah. Fraktur maksila saat ini lebih sering terjadi
karena kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma yang disebabkan
oleh gaya yang besar kadang – kadang tidak bisa diklasifikasikan
dalam klasifikasi Le Fort, namun dapat di deskripsikan secara
sederhana berdasarkan struktural anatomi dari fraktur.

50
2.5.3 Klasifikasi
Renee Le Fort ( tahun 1901 ) mengklasifikasikan
fraktur maksila untuk pertama kali. Klasifikasi ini menjelaskan
secara umum ”garis besar yang melemahkan wajah ”. Pembahasan
fraktur maksila tidaklah cukup tanpa klasifikasi Le Fort.

a. Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I, atau fraktur transversal, meluas


melalui dasar dari sinus maksilaris diatas dari apikal gigi dan
memisahkan prosesus alveolar, palatal, dan processus pterygoid
dan struktur di atasnya. Fraktur transversal ini, melewati
seluruh maksila bagian bawah, memisahkan alveolar sebagai
suatu segmen yang mobile dari bagian pertengahan wajah yang
lain. Dislokasi dari segmen alveolar juga bisa terjadi pada
fraaktur ini. Gaya trauma yang besar dapat memisahkan palatal

51
ke garis pertengahan.

b. Fraktur Le Fort II
Fraktur piramida dari maksila disebut juga dengan
fraktur Le Fort II. Pola fraktur ini mulai dari lateral, sama
seperti Le Fort I, tetapi dari medial menjalar ke arah superior,
termasuk bagian medial dari cavum orbita dan nasal. Fraktur
ini meluas melewati hidung dengan berbagai variabilitas,
melibatkan tulang rawan hidung, atau meluas dan memisahkan
sutura nasofrontal, dapat juga meluas secara diagonal dari
tulang pterygoid melalui maksila ke bagian inferior dari rima
orbita dan ke atas mengenai bagian medial dari fossa orbita
yang berakhir di os nasal, hal tersebut menyebabkan alveolus
maksila, dinding medial cavum orbita dan hidung menjadi
terpisah.

c. Fraktur Le Fort III

Fraktur Le Fort III atau craniofasial dysjunction.


Fraktur ini memisahkan pertengahan tulang wajah dari
cranium. Fraktur menjalar transversal memisahkan sutura
zygomatikus frontalis sampai ke dasar dari cavum orbita dan
berakhir di sutura nasofrontal. Tulang cavum orbita terpisah
dari dinding lateral, dasar, dan medial dari cavum orbita. Hal
tersebut tidak umum jika fraktur hanya terjadi pada satu
fragmen tulang, tetapi biasanya merupakan kombinasi dari
fraktur zygoma, nasoethmoid dan cavum orbita. Fraktur ini
menyebabkan terjadinya asimetris wajah dan mobilitas yang
minimal.

52
2.5.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan CT- Scan 3 dimensi memberi manfaat yang


besar dalam diagnosis, klasifikasi, dan perencanaan pre – operatif
untuk kompleks fraktur maksila.

2.5.5 Penatalaksanaan

Terapi fraktur maksila adalah reduksi dan imobilisasi. Hal tersebut


tergantung dari jenis fraktur. Tujuan dari terapi fraktur Le Fort adalah
menstabilkan oklusi pre- trauma dengan tinggi dan proyeksi wajah yang
normal. Oklusi yang benar dapat dicapai dengan fiksasi intermaksila dan
dengan fiksasi maksilomandibular. Terapi secara tepat dan cepat dengan
IMF dapat menghindari terjadinya deformitas sekunder . Ini adalah salah
satu terapi yang sederhana namun efektif dan digunakan untuk imobilisasi
dan stabilisasi.

Akhir- akhir ini telah berkembang teknik reduksi terbuka


menggunakan fiksasi dengan plate dan screw. Bone graft dapat dipakai
untuk menggantikan tulang yang mengalami fraktur yang kominutif atau
missing bone. Pendekatan pembedahan telah mengalami perkembangan
pesat dan memberikan hasil estetik dengan insiden defotmitas sekunder
yang lebih rendah.
1. Konservatif : Imobilisasi, mengistirahatkan daerah fraktur
2. Operatif : Dengan pemasangan traksi, Pen, Plate, Screw,
Wire
3. Penatalaksanaa untuk maxilla
a. Fiksasi Maksilomandibular
Tehnik ini merupakan langkah pertama dalam treatment fraktur
maksila untuk memungkinkan restorasi hubungan oklusal yang
tepat dengan aplikasi Archbars serta kawat interdental pada arkus
dental atas dan bawah. Prosedur ini memerlukan anastesi umum
yang diberikan melalui nasotracheal tube

53
b. Akses fiksasi
Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat
tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain
kemudahan untuk mencapainya. Untuk mencapai maksila anterior
dilakukan insisi pada sulkus gingicovobuccal, rima infra orbita,
lantai orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty ( insisi
subsilari ). Daerah zygomaticofrontal dicapai melalui batas lateral
insisi blepharoplasty. Untuk daerah segmen fraktur ditempatkan
kembali secara anatomis, tergantung pada kompleksitas fraktur,
stabilisasi awal sering dilakukan dengan kawat interosseous.
c. Stsbilisasi plat dan sekrup
Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih disukai. Pada le fort I,
plat mini ditempatkan pada setiap butters nasomaxilary dan
zygomaticomaxilary. Pada le fort II fiksasi tambahan dilakukan
pada nasofrontal dan rima infraorbita, pada lefort III plat mini
ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi.
d. Cangkok tulang primer
Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur harus diganti saat
rekonstruksi awal. Cangkok tulang di ambil dari cranium karena
aksesibilitasnya ( terutama jika dilakukan insisi koronal ),
morbiditas tempat donor diambil minimal, dan memiliki
densitaskortikal tinggi dengan volum yang berlimpah.
Pemasangan cangkokan juga dilakukan dengan plat mini dan
skrup.

54

Anda mungkin juga menyukai