Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KETAHANAN DAN KEAMANAN PANGAN


“DIAGNOSIS TINGKAT KETAHANAN PANGAN WILAYAH DAN
RUMAH TANGGA II”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6
1. Siti Nurhafifa (P 101 19 010)
2. Nur Aulia Salsabillah (P 101 19 040)
3. Anita Triwahyuni (P 101 19 225)
4. Intan (P 101 19 267)
5. Nirwana (P 101 19 292)

KELAS D
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2021

Page 1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Ketahanan Pangan Sulawesi Tengah ini tepat pada waktunya. Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugasmata kuliah
Ketahanan dan Keamanan Pangan.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Palu, April 2021

Penulis

Page 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................... 2
DAFTAR ISI...................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 4
I.1 Latar belakang................................................................................. 4
I.2 Rumusan Masalah........................................................................... 5
I.3 Tujuan Pembahasan........................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................... 6
II.1 Indikator Ketahanan Pangan.......................................................... 6
II.2 Pengukuran Ketahanan Pangan...................................................... 8
II.3 Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi.......................................... 10
II.4 Dietary Diversty Score................................................................... 11
BAB III................................................................................................ 14
III.1 Kesimpulan................................................................................... 14
III.2 Saran............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 15

Page 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ketahanan pangan di Indonesia secara nasional tergolong cukup


apabila dilihat dari sisi ketersediaan, namun tingkat kemiskinan masih cukup
tinggi. Itu artinya meskipun ketersediaan secara nasional melimpah, namun
pangan tersebut tidak bisa diakses oleh semua warga sampai ke tingkat rumah
tangga. Oleh karena itu, ketahanan pangan merupakan salah satu hal yang
perlu terus menerus diawasi keadaannya dari waktu ke waktu. Salah satu
metode untuk mengidentifikasi dan memberikan data/informasi tentang situasi
ketahanan pangan adalah dengan penetapan indeks ketahanan pangan yang
ditujukan untuk membangun instrument (seperangkat software) Sistem
Pendukung Keputusan (SPK) untuk menetapkan indeks ketahanan pangan di
tingkat rumah tangga dan wilayah. SPK untuk Ketahanan Pangan perlu
disusun untuk menjawab kebutuhan akan perlunya sebuah system yang dapat
dengan mudah digunakan untuk mengidentifikasi situasi ketahanan pangan
secara berkala/terus menerus. Dalam skala Rumah Tangga (RT), SPK
diperlukan untu mengukur kemampuan masing-masing RT dalam rangka
mencukupi ketahanan pangan keluarga. Sedangkan untuk wilayah, SPK
diperlukan oleh para pengambil kebijakan di wilayah setempat sehingga
disiapkan strategi yang tepat serta antisipasi dini apabila terjadi situasi
ketahanan pangan yang kurang baik.

Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam


pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi
manusia sehingga pangan sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi
nasional. Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan dalam
jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan
aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari
sepanjang waktu. Dengan demikian ketahanan pangan mencakup tingkat
rumah tangga dan tingkat nasional. Membahas ketahanan pangan pada

Page 4
dasarnya juga membahas hal-hal yang menyebabkan orang tidak tercukupi
kebutuhan pangannya. Hal-hal tersebut meliputi antara lain tersedianya
pangan, lapangan kerja dan pendapatan. Ketiga hal tersebut menentukan
apakah suatu rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang di maksud dengan indikator Ketahanan Pangan?


2. Bagaimana pengukuran ketahanan pangan?
3. Bagaimana sistem kewaspadaan pangan dan gizi?
4. Apa itu dietary diversity score?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui indikator ketahanan pangan


2. Untuk mengetahui pengukuran ketahanan pangan
3. Untuk mengetahui sistem kewaspadaan pangan dan gizi
4. Untuk mengetahui dietary diversity score

Page 5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Indikator Ketahanan Pangan
Indikator yang digunakan untuk mengukur ketersediaan pangan adalah
tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan rasio swasembada
beras. Tingkat kecukupan energi menggambarkan jumlah ketersediaan energi
untuk konsumsi per kapita dibandingkan dengan angka kecukupan energi
(AKE). Tingkat kecukupan protein digambarkan melalui ketersediaan protein
yang mencakup protein nabati dan protein hewani untuk konsumsi per kapita
yang dibandingkan angka kecukupan protein (AKP). Rasio antara jumlah
jumlah produksi beras domestik dan total ketersediaan relevan sebagai
indikator kemandirian pangan. Semakin tinggi rasio menunjukkan
kemandirian pangan suatu wilayah semakin rendah.
Definisi ketahanan pangan berubahubah dan menyangkut aspek yang
sangat luas, sehingga indikator, cara dan data yang digunakan oleh peneliti
atau para pakar untuk mengukur ketahanan pangan juga sangat beragam.
Soekirman (1996) mengemukakan bahwa untuk mengukur ketahanan pangan
di Indonesia tidak hanya pada tingkat agregatif nasional atau regional tetapi
juga dapat diukur pada tingkat rumah tangga dan individu.
Menurut Suhardjo (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga
dapat dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain:
1. Tingkat kerusakan tanaman, ternak, perikanan;
2. Penurunan produksi pangan;
3. Tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga;
4. Proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total;
5. Fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah
tangga;
6. Perubahan kehidupan sosial (misalnya migrasi, menjual/menggadaikan
harta miliknya, peminjaman);
7. Keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas) dan
8. Status gizi. Berkaitan dengan indikator (7) dan (8) di atas,

Page 6
Kodyat (1997) juga mengemukakan bahwa indikator ketahanan
pangan dapat dilihat dari konsumsi pangan rumah tangga dan keadaan gizi
masyarakat. Sementara itu Soetrisno (1997) mengungkapkan bahwa mengacu
pada pengertian ketahanan pangan sesuai dengan Undang-Undang Pangan No.
7 tahun 1996 dan rencana Aksi KTT Pangan Dunia, maka indikator yang
dapat digunakan selain yang telah disebutkan terdahulu adalah angka indeks
ketahanan pangan rumah tangga, angka rasio antara stok dengan konsumsi
pada berbagaitingkatan wilayah, skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk
tingkat ketersediaan dan konsumsi, kondisi keamanan pangan, keadaan
kelembagaan cadangan pangan masyarakat dan tingkat cadangan pangan
pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan. Berkaitan dengan stok pangan,
salah satu indikator penting dalam ketahanan pangan baik di tingkat nasional
maupun rumah tangga adalah kemampuan untuk melakukan stok pangan
(Suryana dkk., 1996).

Indikator pendapatan dan konsumsi gizi rumah tangga untuk mengukur


derajat ketahanan rumah tangga. Dalam hal ini kedua peneliti tersebut
menggunakan indikator pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi
energi untuk mengukur derajat ketahanan pangan rumah tangga. Rumah
tangga dikategorikan tahan pangan apabila memiliki pangsa pengeluaran
pangan rendah (kurang dari 60% dari pengeluaran rumah tangga) dan cukup
mengkonsumsi energi (> 80% syarat kecukupan energi). Rumah tangga rentan
pangan didefinisikan sebagai rumah tangga yang memiliki pangsa pengeluaran
pangan tinggi (> 60% dari pengeluaran rumah tangga) namun cukup
mengkonsumsi energi; rumah tangga kurang pangan apabila memiliki pangsa
pengeluaran pangan rendah dan konsumsi energi kurang (< 80% dari syarat
kecukupan).

Sedangkan rumah tangga termasuk kategori rawan pangan apabila


memiliki pangsa pengeluaran pangan tinggi dan tingkat konsumsi energinya
kurang. Survei di Amerika Serikat masih menemukan 800.000 rumah tangga

Page 7
yang masih mengalami ketidakcukupan pangan (kelaparan) atau kelompok
rawan pangan yang memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut:

(1) Tidak memiliki rumah tinggal,

(2) Anak-anak miskin,

(3) Umumnya kepala rumah tangga perempuan,

(4) Pekerja yang miskin,

(5) Migran legal dengan bantuan terbatas,

(6) Sebagai orang tua tunggal,

(7) Orang tua terinfeksi HIV, dan

(8) Pekerja pertanian musiman dan pekerja migran.

2.2 Pengukuran Ketahanan Pangan

FAO (1994) dalam Soetrisno (1995) telah mengembangkan ukuran


ketahanan pangan rumah tangga dengan menggunakan indeks ketahanan
pangan rumah tangga atau average household food security index = AHFSI)
untuk beberapa negara berkembang. Formula AHFSI = 100 —[ H {G + (1-G)
IP+ 0,5 Q (1-H (G + (1-G) IP) } ] 100dimana:

H : ratio penduduk yang mengalami kekurangan pangan (undernourished)


terhadap jumlah penduduk.

G : proporsi angka kekurangan energi terhadap angka rata-rata kebutuhan


energi. Angka ini diukur dari selisih antara ketersediaan rata-rata energi
untuk kelompok penduduk kekurangan pangan dengan rata-rata
kebutuhan energi.

IP: ketimpangan dalam distribusi (inequality in the distribution of food-gaps)


yang diukur dengan koefisien GINI dari distribusi konsumsi energi.

Page 8
Q : koefisien variasi DES (dietary energy supplies) atau ketersediaan energi
untuk konsumsi, yang menjadi ukuran kemungkinan yang dikaitkan
dengan ketidak tahanan pangan yang mendadak (temporary food
insecurity). Dengan menggunakan ukuran tersebut,

AHFSI mengemukakan bahwa negara-negara berkembang di dunia


dikelompokkan menjadi empat yaitu:

1. Negara yang memiliki AHFSI tinggi (di atas 85) termasuk negara yang
memiliki ketahanan pangan tinggi (sangat tahan);
2. Negara-negara dengan AHFSI menengah (75-85) termasuk tahan;
3. Negara yang tidak tahan adalah negaranegara dengan AHFSI rendah (65-
75); dan
4. Negara-negara yang memiliki AHFSI rendah (di bawah 65) merupakan
negara yang memiliki ketahanan pangan sangat rawan (kritis). Menurut
perhitungan FAO tersebut, Indonesia termasuk negara pada kelompok (1)
yaitu negara yang memiliki ketahanan pangan sangat tahan.

Tabel Indikator pengukuran ketahanan pangan tingkat rumah tangga

Tingkat Konsumsi Proporsi Pengeluaran Pangan


Rendah (<60% Tinggi (≥60%
Energi
pengeluaran total)
Cukup (>80% 1. Tahan Pangan 2. Rentan Pangan
kecukupan energi)
Kurang (80% 3. Kurang Pangan 4. Rawan Pangan
kecukupan energi)
Sumber : Jonsson dan Toole, 1991 dalam Maxwel S, et al (2000) dalam Arida
(2015)

2.3 Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Page 9
Kewaspadaan pangan merupakan suatu kegiatan untuk mengantisipasi
terjadinya kasus rawan pangan (Lamabelawa, Y. R. G. 2006).
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) merupakan sebuah kegiatan
analisa guna mengetahui situasi pangan dan gizi pada suatu daerah. Menurut
Departemen Kesehatan RI Tahun 1998/1999 dalam Lamabelawa, Y. R. G
(2006), sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) merupakan kegiatan
yang dinamis yaitu secara terus menerus mengumpulkan, menganalisis data,
menyebarkan informasi, menetapkan langkahlangkah tindakan yang
diperlukan, dan tindakan pencegahan ataupun penanggulangan. Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (2015) menjelaskan bahwa, SKPG
merupakan sistem informasi yang dapat digunakan sebagai alat bagi
pemerintah daerah untuk mengetahui situasi pangan dan gizi masyarakat.
Situasi pangan dan gizi digunakan sebagai kondisi awal tingkat
pencapaian pelayanan dasar dan target penanganan daerah rawan pangan
yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang Sistem Pelayanan Minimal (SPM)
bidang ketahanan pangan di propinsi dan 14 kabupaten/kota khususnya
mengenai penanganan kerawanan pangan (Badan Ketahanan Pangan
Kementerian Pertanian. 2015).
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi merupakan alat analisis
pemantauan situasi pangan dan gizi yang telah disempurnakan oleh Badan
Ketahanan Pangan sejak tahun 2010. Kegiatan SKPG merupakan kegiatan
yang tediri dari dari analisis data situasi pangan dan gizi bulanan dan tahunan
serta penyebaran informasi. Data bulanan dan tahunan tersebut
menginformasikan tentang tiga aspek utama, yaitu ketersediaan pangan, akses
terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan di suatu daerah. Hasil analisis
SKPG dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan investigasi untuk
menentukan tingkat kedalaman kejadian rawan pangan dan gizi pada suatu
daerah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan masyarakat.
Secara garis besar, situasi pangan dan gizi suatu daerah dalam kegiatan
SKPG terbagi menjadi dua komponen, yaitu :
(1) situasi pangan dan
(2) situasi gizi.
Situasi pangan sendiri mencakup dua aspek pembahasan, yaitu : aspek
ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan. Aspek ketersediaan pangan
berkaitan dengan kenaikan atau penurunan produksi bahan pangan yang
berpengaruh pada kecukupan konsumsi masyarakat. Sedangkan, aspek akses
terhadap pangan berkaitan dengan fluktuasi harga pangan dan berpengaruh
pada daya beli masyarakat untuk mengakses bahan pangan. Untuk situasi gizi
masyarakat berkaitan dengan kondisi kesehatan balita yang berpengaruh pada
tumbuh kembang balita. Situasi tersebut menggambarkan kondisi kecukupan
pangan suatu daerah dan potensi terjadinya hal ketidakcukupan pangan
(Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. 2015).

Page
10
Peranan keluarga menjadi sangat penting dalam hal membangun
ketahanan pangan dikarenakan makanan pertama yang masuk di tubuh
manusia disajikan di dalam keluarga. Pengetahuan ibu mengenai pemberian
ASI eksklusif juga menjadi hal yang palin penting dalam 1000 hari pertama
kehidupan manusia yang akan berpengaruh terhadap kehidupan masa yang
akan datang.Pola konsumsi pangan B2SA merupakan pola makan yang
menggunakan susunan makanan untuk sekali makan atau untuk sehari
menurut waktu makan (pagi, siang dan sore/malam), yang mengandung zat
gizi untuk memenuhi kebutuhan tubuh dengan jumlah yang memenuhi kaidah
gizi seimbang yang sesuai dengan daya terima (selera, budaya) dan
kemampuan daya beli masyarakat serta aman untuk di konsumsi.
Tujuan utama pola konsumsi pangan Beragam Bergizi Seimbang (B2SA)
adalah meningkatkan kesadaran dan membudayakan pola konsumsi pangan
beragam, bergizi, seimbang, dan aman untuk hidup sehat, aktif, dan produktif
kepada masyarakat. Gerakan pola konsumsi B2SA bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat terkait prinsip B2SA dalam olahan
pangan lokal serta mendorong kreativitas dan inovasi olahan pangan lokal
B2SA yang bernilai komersial dengan sasaran tim penggerak PKK dan
masyarakat umum melalui promosi dan sosialisasi B2SA, pameran, gekan,
dan lomba cipta menu. Empat pilar gizi seimbang terdiri dari mengkonsumsi
makanan beragam, membiasakan perilaku hidup sehat, melakukan aktivitas
fisik, serta mempertahankandan memantau berat badan normal. Menu makan
1 porsi ideal atau yang dikenal dengan diagram isi piringku meliputi 33,33%
makanan pokok, 33,33% sayuran, 16,67% lauk pauk, 16,67% buah-buahan.
KRPL merupakan Konsep lingkungan perumahan penduduk atau suatu
lingkungan aktivitas/ tempat tinggal kelompok masyarakat yang secara
bersama-sama mengusahakan pekarangan atau lahan sekitarnya untuk
kegiatan budidaya secara intensif sehingga dapat dimanfaatkan menjadi
sumber pangan secara berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan gizi warga
setempat. Tujuan KRPL adalah memberdayakan rumah tangga dan
masyarakat dan penyediaan sumber pangan dan gizi serta meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pola konsumsi B2SA. Komponen
KRPL meliputi kebun bibit, demplot, pengembangan lahan pakarangan,
pengembangan kebun sekolah, pengolahan hasil pekarangan. Sabut kelapa,
barang daur ulang seperti botol minuman dan kemasan detergent atau
minyak goring, pelepah pisang, sepatu atau topi bekas juga bisa dimanfaatkan
sebagai media tanam di KRPL dengan berbagai model penanaman.
2.4 Dietary Diversity Score
a. Kualitas Diet Skor
kualitas diet adalah indeks komposit dari keragaman makanan,
kecukupan zat gizi mikro, dan pemenuhan rekomendasi WHO terhadap
pencegahan PTM. Keragaman makanan (dietary diversity) berdasarkan
jumlah yang dikonsumsi dari sembilan kelompok makanan yaitu pati,

Page
11
kacang-kacangan, sayuran, buah, telur, daging sapi, daging ayam, ikan, dan
susu.Rata-rata skor keragamanan makanan 1.93±0.42. Pada subjek dengan
SSE rendah 1.93±0.5, SSE menengah 1.92±0.4, SSE tinggi 2.00±0.
Proporsi subjek yang memenuhi 75% dari AKG pada 11 zat gizi mikro
sangat rendah kecuali magnesium (77.55%) dan vitamin A (72.44%).
Sementara asupan vitamin E dan asam folat tidak ada.Skor kualitas diet
dengan membandingkan tiga indeks agar dapat menggambarkan bukan
hanya diet yang seimbang namun diet yang mampu mencegah dari PTM.
Skor total kualitas diet sangat rendah dengan rata-rata 7.14 dari maksimal
skor 21 (34%). Keragaman makanan merupakan aspek penting dari diet
yang sehat dan seimbang (Ruel 2002) dan hal ini berhubungan dengan
kecukupan zat gizi khususnya zat gizi mikro. Pada negara berkembang
yang memungkinkan terjadi transisi gizi cenderung akan tinggi lemak jenuh
dan gula dan berkurangnya asupan serat.

b. Hubungan Kualitas Diet, Pengetahuan Gizi, Status Sosial Ekonomi, Status


Gizi
Analisa hubungan pengetahuan gizi, status gizi dan status sosial
ekonomi dengan uji Spearman. Rata-rata skor pengetahuan gizi 43.3±24.6
dari skor maksimal 131 (33%). Skor pengetahuan gizi tidak berhubungan
dengan IMT, skor dietary diversity, skor pencegahan PTM (p>0.05), namun
berhubungan posistif dengan SSE (p<0,05). , total skor kualitas diet, skor
kecukupan zat gizi mikro (p<0,01). SSE umumnya pada kelompok
menengah (56.1%). Tidak ada hubungan antara SSE dengan IMT,skor
keragamanan pangan, kecukupan zat gizi mikro, dan skor pencegahan PTM
rekomendasi WHO (p>0.05) namun hanya berhubungan dengan
pengetahuan gizi (p<0.05).

Status gizi dengan indikator IMT tidak berhubungan dengan


pengetahuan gizi, SSE, kecukupan zat gizi mikro, dan pencegahan PTM
(p>0.05), namun hanya berhubungan dengan skor dietary diversity (p0.05),
namun berhubungan dengan pengetahuan gizi (p<0,01). Penelitian lainnya

Page
12
yang dilakukan pada kelompok sasaran anak menyimpulkan terdapat
hubungan yang positif antara status gizi dengan pendapatan per kapita
(p<0,05).

Page
13
BAB III
KESIMPULAN
III.1 Kesimpulan
Indikator yang digunakan untuk mengukur ketersediaan pangan
adalah tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan rasio
sumber pada beras. FAO (1994) dalam Soetrisno (1995) telah
mengembangkan ukuran ketahanan pangan rumah tangga dengan
menggunakan indeks ketahanan pangan rumah tangga atau average
household food security index = AHFSI) untuk beberapa negara
berkembang. Adapun Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
merupakan sebuah kegiatan analisa guna mengetahui situasi pangan dan gizi
pada suatu daerah. kualitas diet adalah indeks komposit dari keragaman
makanan, kecukupan zat gizi mikro, dan pemenuhan rekomendasi WHO
terhadap pencegahan PTM
III.2 Saran
Untuk memenuhi kebutuhan gizi dan ketahanan pangan
masyarakat kita sebagai mahasiswa kesmas melakukan promosi dengan
memberikan edukasi tentang kebutuhan gizi kepada ibu rumah tangga dan
edukasi kualitas diet yang baik dan tepat.

Page
14
DAFTAR PUSTAKA
FAO. 1996. World Food Summit, FAO, Rome. . 1997. Assessment of The
Household Food Security Situation, Based on The Aggregate Household
Security Index and The Sixth World Food Survey. Committe on World
Food Security, Twenty-third Session, Rome.
Marut UD. 2007. Aspek Sosial ekonomi dan Kaitannya dengan Masalah Gizi
Kurang di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan
pangan, 2(3), 36—43.
Pakpahan, A; H.P. Saliem, S.H. Suhartini dan N. Syafa'at. 1993. Penelitian
Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah.
Monograph Series No. 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.
Suryana, Kariyasa K. 2008. Ekonomi Padi Di Asia: suatu Tinjauan Berbasis
Kajian Komparatif. Forum Penelitian agro ekonomi. Volume 26 no 1, Juli
2008: 17-31.
Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia. Konsep, Pengukuran dan Faktor
Dominan. Majalah Pangan No.21. Vol. V.

Page
15

Anda mungkin juga menyukai