Anda di halaman 1dari 9

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Cake adalah salah satu produk olahan dari tepung yang mengalami pengembangan
melalui proses pengocokan, sehingga akan ada udara yang terperangkap dalam adonan.
Cake sangat diminati oleh seluruh masyarakat secara umum. Cake yang baik adalah
yang dapat mengembang, mempunyai struktur crumb yang seragam, serta rasa dan
aroma yang disukai konsumen (Gelinas et al., 1999 dalam Chaiya, 2011).

Pemanfaatan Spirulina sebagai pangan masih kurang optimal, padahal Spirulina


mengandung protein yang sangat tinggi, yaitu mencapai 60-70% (basis kering), karena
tingginya kadar proteinnya maka pada penelitian ini dianalisa kadar protein cake yang
dihasilkan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kadar protein cake dengan
penambahan Spirulina sp. Protein Spirulina sp. mempunyai empat macam fraksi
protein berdasarkan kelarutannya, yaitu albumin, glutelin, globulin, dan prolamin yang
mempunyai karakteristik fungsional seperti sifat emulsifier dan dapat membentuk busa
(foaming). Albumin mempunyai kapasitas emulsi sebesar 44,40%, dan mempunyai daya
foaming sebesar 15,30%. Glutelin mempunyai kapasitas emulsi sebesar 8,40%, dan
mempunyai daya foaming sebesar 81,33%. Globulin mempunyai daya foaming sebesar
37,33%, dan prolamin mempunyai daya foaming sebesar 8% (Tabita, 2012). Maka
Spirulina sp. berpotensi sebagai ingredient yang berfungsi sebagai emulsifier yang
dapat mempengaruhi kualitas cake dari segi fisik terutama pengembangan.

Menurut Deshpande (2003), emulsifier akan meningkatkan kemampuan adonan dalam


memerangkap gas, dengan meningkatnya jumlah gas yang terperangkap akan
menambah volume dari produk yang dihasilkan maka pengembangan kue akan semakin
besar. Subagio, et al. (2003) menyatakan bahwa dalam cake, seluruh pengaruh
pengembangan diperoleh dari udara yang terperangkap. Faktor yang mempengaruhi
keberhasilan produk cake yaitu kemampuan pembentukan matrik protein, penyerapan
dan pengikatan air, pengemulsi dan pembentukan busa dari bahan yang ada dalam
formula, yang selanjutnya akan terjadi ekspansi gas dalam adonan selama pemanasan.

1
2

Untuk itu, beberapa penambahan bahan yang mempunyai kemampuan tersebut


diketahui dapat meningkatkan mutu cake yang dihasilkan.

Spirulina sp. juga mempunyai kelebihan lain, yaitu memiliki nilai kecernaan yang
cukup tinggi, yaitu sebesar 84% (Angka dan Suhartono, 2000), dibandingkan dengan
tepung gandum utuh (whole wheat flour) yang hanya memiliki nilai kecernaan sebesar
9% (Tefera, 2009). Nilai cerna yang tinggi disebabkan karena pada Spirulina, dinding
selnya terbuat dari senyawa mukoprotein yang mudah dicerna, serta kandungan asam
nukleat Spirulina yang lebih rendah dibandingkan dengan sumber protein mikroba
(Angka dan Suhartono, 2000). Pada Spirulina hanya mengandung asam nukleat 2-5%
(Aronson et al., 1980 dalam Panggabean, 1998)

Pada penelitian ini cake dimatangkan dengan metode au bain marie. Bain marie
merupakan cara mematangkan makanan yang menggabungkan dua metode sekaligus
yaitu metode tim dan panggang dengan suhu terkontrol. Metode ini bermanfaat untuk
mencegah overheating untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Bain marie
menghasilkan hidangan yang kering di bagian atas tetapi lembut dan bebas kerak di
bawah maupun pinggirnya, sehingga warna asli tetap terlihat bagus dan tidak berwarna
kecoklatan dan berkerak seperti bila dipanggang dengan cara biasa. Kelebihan metode
ini karena proses pematangan secara perlahan maka cake akan matang sempurna hingga
ke tengah, bertekstur lembut dan halus tetapi tidak menghasilkan lapisan kerak di luar
dan dapat mencegah permukaan yang retak-retak atau pecah. Tekstur halus ini
didapatkan dari bantuan uap air selama proses pemanggangan (Foster, 2013).

1.2. Tinjauan Pustaka


1.2.1. Cake
Cake merupakan produk manis yang dikembangkan akibat kocokan. Dengan kocokan
maka akan ada udara yang terperangkap ke dalam adonan, dan tersimpan pada jalinan
kantung protein yang ada pada putih telur. Menurut Matz (1992), cake merupakan salah
satu produk bakery yang tergolong dalam leavened product yang diperoleh dari proses
pembakaran adonan yang mengandung tepung, gula, garam, telur, susu, air, lemak, dan
3

shortening. Berdasarkan metode pembuatan, cake dibedakan menjadi: cake metode


butter, cake metode foam dan cake metode chiffon.

Metode sponge merupakan metode yang digunakan untuk cake busa dengan kandungan
lemak yang rendah. Dalam metode ini gula dan telur dikocok dahulu hingga
mengembang kemudian dimasukkan bahan-bahan cair. Penambahan tepung dan bahan
kering lain dilakukan setelah semua bahan cair tercampur rata, dengan kecepatan yang
rendah. Setelah semua bahan masuk dan tercampur rata terakhir dimasukkan margarin
yang telah dilelehkan dan didinginkan (Matz, 1992).

Cake umumnya dimatangkan dengan 2 cara, yaitu dipanggang di dalam oven dan
dikukus. Faktor keberhasilan dalam pembuatan kue adalah dalam cara mengocok
adonan dan pemasakan adonan, misalnya mengocoknya terlalu lama atau terlalu
sebentar ataupun pematangannya tidak sempurna bisa membuat kue tidak jadi (bantat)
(Braker, 2003). Pengukusan merupakan salah satu cara pemasakan bahan, yang
menerapkan proses pemanasan suhu tinggi dan penambahan air sehingga menyebabkan
proses gelatinisasi pati (Harris dan Karmas, 1989).

Pada penelitian ini cake dimatangkan dengan metode au bain marie. Au bain marie
dikenal sebagai steam bake, bake in a waterbath atau double- boiler. Bain marie
merupakan cara mematangkan makanan yang menggabungkan dua metode sekaligus
yaitu metode tim dan panggang untuk suhu terkontrol. Metode ini bermanfaat untuk
mencegah overheating untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Pada metode ini
menggunakan wadah kecil dalam wadah yang lebih besar. Wadah besar diisi dengan
cairan, biasanya air. Bain marie menjaga suhu bahan dalam wadah kecil berada di
bawah titik didih cairan dalam wadah yang lebih besar. Bain marie menghasilkan
hidangan yang kering di bagian atas tetapi lembut dan bebas kerak di bawah maupun
pinggirnya, sehingga warna asli tetap terlihat bagus dan tidak berwarna kecoklatan dan
berkerak seperti bila dipanggang dengan cara biasa. Kelebihan metode ini karena proses
pematangan secara perlahan maka cake akan matang sempurna hingga ke tengah,
bertekstur lembut dan halus tetapi tidak menghasilkan lapisan kerak di luar dan dapat
4

mencegah permukaan yang retak-retak atau pecah. Tekstur halus ini didapatkan dari
bantuan uap air selama proses pemanggangan (Foster, 2013).

1.2.2. Spirulina sp.

Spirulina merupakan mikroorganisme autrotrof berwarna hijau-kebiruan dengan sel


berkolom membentuk filamen terpilin menyerupai spiral (helix), sehingga disebut alga
biru-hijau berfilamen (cyanobacterium). Bentuk tubuh Spirulina sp yang menyerupai
benang merupakan rangkaian sel yang berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis,
berdiameter 1-12 mikrometer (Pamungkas 2005). Spirulina adalah ganggang renik
(mikroalga) yang dapat hidup di darat maupun air, baik air tawar, air payau maupun air
laut (Kabinawa, 2006).

Dibandingkan dengan jenis mikroalga lain, Spirulina lebih banyak digunakan sebagai
bahan pangan karena memiliki beberapa keunggulan, salah satunya adalah kandungan
protein Spirulina yang tinggi yaitu berkisar 60-71% berat kering yaitu jauh lebih besar
dibandingkan dengan jenis bahan pangan lainnya (Spolaroe et al., 2006). Protein sangat
dibutuhkan bagi pertumbuhan manusia karena berfungsi untuk mengatur metabolisme
tubuh (Kabinawa, 2006). Spirulina juga memiliki kandungan asam amino yang cukup
seimbang (kecuali asam amino sulfur) (Angka dan Suhartono, 2000). Sifat-sifat
fungsional protein Spirulina juga dapat mengimbangi sifat fungsional protein lain
sehingga pemakaiannya dalam berbagai industri pengguna protein patut diperhitungkan.
Sifat fungsional protein Spirulina yaitu sifat emulsifier dan dapat membentuk busa
(foaming). Kapasitas emulsi dan daya foaming ini disebabkan adanya protein terlarut
yang memiliki kapasitas emulsi sebesar 49,33% dan memiliki daya foaming sebesar
58,67%, serta adanya fraksi protein albumin yang mempunyai kapasitas emulsi sebesar
44,40%, dan mempunyai daya foaming sebesar 15,30%, fraksi protein glutelin
mempunyai kapasitas emulsi sebesar 8,40%, dan mempunyai daya foaming sebesar
81,33%, fraksi protein globulin mempunyai daya foaming sebesar 37,33%, dan fraksi
protein prolamin mempunyai daya foaming sebesar 8% (Tabita, 2012).
5

Kapasitas emulsi adalah kemampuan suspensi atau larutan protein untuk mengemulsi
minyak atau jumlah minyak (ml) yang diemulsikan pada kondisi spesifik oleh satu gram
protein. Kapasitas emulsi dipengaruhi pada kemampuan membentuk lapisan adsorption
di sekitar globula dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan pada oil-water
interface, serta juga dipengaruhi adanya kemampuan untuk unfolding dan membentuk
interfacial film. Protein adalah surface active agent yang efektif karena memiliki
tegangan permukaan yang lebih rendah antara komponen hidrofobik dan hidrofilik
dalam makanan. Protein yang memiliki aktifitas permukaan yang tinggi, dapat diserap
dengan cepat pada permukaan minyak-air dan menghasilkan lapisan permukaan yang
menstabilkan droplet minyak atau lemak berfungsi sebagai emulsifier yang baik. Emulsi
terbentuk saat protein dengan hodrofobisitas yang tinggi terserap pada permukaan air
atau minyak kemudian protein tersebut menurunkan tegangan permukaan sehingga
terbentuk emulsi. Kemampuan suatu protein dalam membentuk emulsi sangat
dipengaruhi oleh komponen hidrofobik di dalam protein tersebut (Katao & Nakai. 1980
dalam Zayas, 1997). Berdasarkan penelitian Moorhead & Capelli (2006), komponen
hidrofobik dari Spirulina sp. sebesar 43,61%. Fraksi protein Spirulina sp. mampu
membentuk emulsi karena komponen hidrofobik di dalamnya cukup besar sehingga
dapat menurunkan tegangan permukaan dan membentuk emulsi, dimana semakin besar
jumlah komponen hidrofobik dalam suatu protein, maka kemampuan protein untuk
membentuk emulsi juga semakin besar (Katao & Nakai, 1980 dalam Zayas 1997).
Menurut Katao & Nakai (1980), protein dengan asama amino non polar lebih dari 30%
memiliki kemampuan membentuk emulsi yang baik. Selain itu protein yang memiliki
kemampuan emulsi dapat dimanfaatkan sebagai emulsifier (Zayas, 1997).

Busa adalah sistem dua fase yang membuat sel udara terpisah oleh lapisan cairan.
Protein berkontribusi pada distribusi sel udara yang seragam dalam struktur makanan.
Foamability adalah ketika busa disiapkan dengan memasukkan udara atau gas pada
larutan protein. Fungsi dasar protein yang paling mempengaruhi pembentukan busa
adalah kemampuan protein untuk menurunkan tegangan permukaan pada permukaan
udara dan cairan, sehingga meningkatkan viskositas dan elastisitas dari fase cairan
membentuk lapisan yang kuat. Busa yang terbentuk disebabkan oleh terbentuknya
sistem koloidal dimana gelembung udara yang sangat kecil terdispersi ke dalam larutan.
6

Dalam pengukurannya, protein dikatakan sebagai sumber pembusaan yang baik apabila
protein tersebut dapat membentuk busa dengan cepat dalam konsentrasi yang rendah
(Zayas, 1997).

Kelebihan lain dari Spirulina yaitu memberikan protein lebih bermanfaat dibandingkan
dengan tepung gandum utuh (whole wheat flour). Kandungan protein tertinggi tepung
gandum utuh hanya mencapai 14% dan hanya 9% yang dapat dicerna (Tefera, 2009).
Sedangkan Spirulina memiliki nilai kecernaan yang cukup tinggi (pada tikus dilaporkan
sebesar 84%). Nilai cerna yang tinggi disebabkan karena pada Spirulina, dinding selnya
terbuat dari senyawa mukoprotein dan bukan dari lignoselulosa, selain itu juga tidak
dijumpai senyawa lainnya yang menyulitkan pencernaan, sedangkan pada umumnya,
kekurangan protein nabati dalam tumbuhan disebabkan karena protein ini biasanya
terikat dengan senyawa lain seperti lignoselulosa yang sulit dicerna atau senyawa
toksik seperti tanin, yang akan menurunkan nilai kecernaan protein tersebut (Angka dan
Suhartono, 2000).

Spirulina dapat dikonsumsi langsung oleh manusia karena kandungan asam nukleat
Spirulina yang lebih rendah dibandingkan dengan sumber protein mikroba (Angka dan
Suhartono, 2000). Pada Spirulina hanya mengandung asam nukleat 2-5% (Aronson et
al., 1980 dalam Panggabean, 1998). Komposisi kima Spirulina dan beberapa jenis
makanan lain disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi umum beberapa jenis makanan dan alga (% berat kering)
Jenis Mikroalga Protein Karbohidrat Lemak
Roti 39 38 1
Daging 43 1 34
Susu 26 38 28
Beras 8 77 2
Kedelai 37 30 20
Chlorella 51-58 12-17 14-22
Dunaliella 57 32 6
Porphyridium 28-39 40-57 9-14
Scenedesmus 50-56 10-17 12-14
Spirulina 60-71 13-16 6-7
Sumber: Spolaore (2006)
7

Saat ini Spirulina banyak dimanfaatkan dalam bioteknologi nutrisional, dan industri,
lingkungan (Ahsan et al 2008). Hal ini dikarenakan Spirulina memiliki kandungan
protein, mineral, vitamin B12, karotenoida, dan asam lemak esensial seperti asam
linolenat. Kandungan asam linolenat Spirulina mencapai 20% total lipida (Angka dan
Suhartono, 2000). Spirulina juga mengandung senyawa kimia yang mampu merangsang
pembentukan sel darah merah dan darah putih yang berperan penting pada sistem
kekebalan tubuh. Senyawa kimia tersebut diketahui berupa pigmen biru gelap, yakni
phycocyanin (Kozlenko dan Henson, 1998). Bila ditinjau dari segi keamanan pangan
dan faktor kesehatan, Spirulina bebas dikonsumsi manusia. Studi di berbagai negara
oleh berbagai badan internasional selama bertahun-tahun telah melaporkan konfirmasi
efek toksisitas negatif, studi ini meliputi uji teratogenesis pada tikus. Pada saat ini, di
negara-negara Asia timur, konsumsi tepung Spirulina meluas contohnya sebagai bahan
sop, salad dan dalam bentuk pil pangan kesehatan (Angka dan Suhartono, 2000).

Di bidang kesehatan, Spirulina memiliki banyak manfaat seperti menurunkan kadar


gula darah, mengendalikan kolesterol, penambah vitamin A, mengatasi kekurangan gizi,
membantu penderita kanker dalam menjalani kemoterapi, memperbaiki kerusakan liver,
mengontrol berat badan, dan laktasi pada ibu menyusui. Hal ini terlihat dari kandungan
gizi dari Spirulina, yaitu protein sebsesar 60%, karbohidrat sebesar 15%, lemak sebesar
5%, mineral sebesar 7%, dan sisanya adalah vitamin dan fitokimia (Molly & Lae,
2009). Pengolahan Spirulina yang dijual dalam bentuk kapsul atau sebagai tambahan
makanan telah menunjukkan khasiat pengobatan pada hiperkolesterolemia dan
aterosklerosis (Colla et al. 2004), rasa nyeri pre-menstruasi, arthritis dan membantu
menurunkan berat badan (Henrikson, 1994 dalam Colla et al., 2004). Komponen Spirulina
yang berperan dalam hal ini adalah komponen yang mengandung aktivitas antioksidan
seperti PUFA, fikosianin, fenol (Estrada et al., 2001, Miranda et al., 1998 dalam Colla et
al,. 2004).

1.2.3. Bahan Penyusun Cake

Tepung merupakan bahan utama penyusun kue. Pada umumnya, tepung berfungsi
sebagai pembentuk struktur dan tekstur produk, pengikat bahan-bahan lain dan
8

mendistribusikannya secara merata serta berperan dalam membentuk citarasa (Matz dan
Matz,, 1978 dalam Nisviaty, 2006). Selain sebagai pembentuk strukur, tepung sekaligus
sebagai pengeras kue dan sebagai pengering karena ia bersifat menyerap kelembaban,
melalui komponen di dalamnya, yaitu pati dan protein (gluten) (Setiadi, 2008). Tepung
terigu memiliki kandungan protein yang dapat membentuk suatu massa yang lengket
dan elastis ketika dibasahi air. Protein utama tepung terigu adalah gluten yang terdiri
dari glutenin dan gliadin. Glutenin memberikan sifat-sifat yang tegar (elastis) sedangkan
gliadin memberikan sifat yang lengket sehingga mampu memerangkap gas yang
terbentuk selama proses pengembangan adonan dan membentuk struktur remah produk
(Manley, 2000).

Telur dalam pembuatan cake berfungsi untuk membentuk suatu kerangka sebagai
pembentuk struktur. Telur juga berfungsi sebagai pelembut dan pengikat, untuk aerasi,
yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara
menyebar rata pada adonan, sebagai koagulasi yang menyebabkan terekatnya berbagai
ingridien pangan dalam suatu adonan sehingga menjadi kompak atau lebih homogen
(Anonim, 2012). Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih
telur (Matz dan Matz, 1978 dalam Nisviaty 2006). Protein putih telur memberikan sifat
pembentukan busa (foaming) karena mampu memperangkap udara yang masuk dalam
matriks protein. Ini berarti juga menambah volume produk. Lemak kuning telur
memberikan sifat fungsional sebagai pengemulsi yaitu membentuk suspensi yang stabil
dua jenis cairan yang kurang dapat bercampur. Sifat pengemulsi kuning telur berasal
dari komponen fosfolipidnya yaitu jenis lemak yang mengandung gugus polar
(menyukai air) dan non polar (tidak menyukai air). Emulsifikasi pada intinya adalah
menyatukan komponen lemak dan komponen air dalam adonan sehingga menyatu
dengan stabil. Bersatunya komponen-komponen tersebut memberikan tekstur yang
kental, halus, dan mengkilat (Anonim, 2012).

Cake emulsifier berfungsi untuk meningkatkan kestabilan emulsi yang terdapat di dalam
adonan dengan menyatukan cairan dengan lemak (Matz, 1992). Menurut Shyu & Sung
(2010), bahan pengemulsi pada sponge cake dapat meningkatkan aktivitas emulsi,
stabilitas emulsi dan menstabilkan busa pada adonan, gelembung udara pada adonan
9

juga akan lebih seragam dan stabil. Menurut Deshpande (2003), emulsifier akan
meningkatkan kemampuan adonan dalam memerangkap gas, dengan meningkatnya
jumlah gas yang terperangkap akan menambah volume dari produk yang dihasilkan
maka pengembangan kue akan semakin besar.

Penambahan gula pada pembuatan cake dimaksudkan untuk memberi rasa manis dan
kenampakan yang lebih baik pada produk akhir yang dihasilkan. Gula juga dapat
berpengaruh pada tekstur dan memberikan efek browning pada permukaan produk.
Jenis susu yang banyak digunakan dalam proses pembuatan cake adalah susu skim dan
krim. Pada penelitian ini jenis susu yang digunakan adalah susu krim karena
mengandung lemak yang tinggi sehingga memberikan kelembutan dan aroma. Susu
yang digunakan untuk pembuatan cake pada umumnya dalam bentuk bubuk (powder).
Menurut Setiadi (2008), susu dalam bentuk bubuk, di samping turut berkontribusi dalam
pembentuk struktur kue, juga bersifat sebagai pengering, karena susu bersifat menyerap
kelembaban. Tujuan pemakaian susu dalam pembuatan cake adalah menyebabkan
produk menjadi lebih empuk, memberikan pengaruh terhadap warna kulit juga dapat
memperbaiki rasa dan aroma (Matz, 1992).

Dalam teknologi bakery, shortening dapat memodifikasi sifat fisik dan kimia adonan
sehingga adonan lebih mudah diproses, berperan dalam melumasi struktur internal dari
adonan sehingga adonan dapat mengembang lebih baik pada saat pemanggangan, dapat
membuat tekstur menjadi lebih empuk. Margarin merupakan salah satu shortening yang
merupakan konsistensi dari lemak, dan terbuat dari lemak nabati. Margarin dapat
meminimalkan penampakan yang berminyak yang biasanya terdapat pada produk
bakery yang menggunakan mentega. Margarin dapat berpengaruh pada tekstur dan
aroma serta flavor yang dihasilkan pada produk akhir cake (Matz, 1992).

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan Spirulina sp.
terhadap karakteristik fisik dan sensori cake yang dihasilkan.

Anda mungkin juga menyukai