TANGERANG SELATAN
MAKALAH
LHOKSEUMAWE
Diajukan oleh:
NPM: 144060005833
I. PENDAHULUAN
Kementerian Keuangan. KPPN Lhokseumawe adalah satu dari enam KPPN di wilayah kerja
perbendaharaan dan bendahara umum negara, penyaluran pembiayaan atas beban anggaran,
serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara
singkat dapat dikatakan bahwa tugas KPPN Lhokseumawe yaitu pelaksanaan APBN, baik
dari sisi pengeluaran (belanja negara) maupun dari sisi penerimaan (pendapatan negara).
pemerintahan, KPPN Lhokseumawe tidak terlepas dari konsep birokrasi dan kekuasaan.
Birokrasi adalah suatu sistem administrasi di institusi pemerintah yang bertujuan untuk
penyakit Organizational Slack yang ditandai oleh turunnya kualitas pelayanan dan lamban
(berbelit-belitnya) waktu pelayanan (Ihsan, 2014). Penyakit birokrasi tersebut seiring dengan
fenomena korupsi di birokrasi yang semakin meluas. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa korupsi, dalam dimensi yang lebih luas meliputi juga kolusi dan nepotisme (KKN),
menjadi penyakit utama dari birokrasi itu sendiri. Reformasi birokrasi telah dan terus
diupayakan, namun hasilnya secara umum masih jauh dari harapan. Di sisi lain, kekuasaan
cenderung diselewengkan oleh penguasa atau penyelenggara negara. Lord Acton mengatakan
bahwa “kekuasaan cenderung korup” (Haboddin, tanpa tahun). Pernyataan ini berlaku
universal dan sangat relevan di Indonesia jika melihat fakta-fakta banyaknya kasus korupsi di
kalangan penyelenggara negara, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif. Oleh karena
itu, KPPN Lhokseumawe pun tidak terlepas dari potensi korupsi dalam pelaksanaan tugasnya
sehari-hari.
Standar (SOP) dalam setiap pelaksanaan tugas dan pemberian layanannya. Dari perspektif
satuan kerja (satker) pengguna layanan, SOP ini terkadang dirasa terlalu panjang, lama, atau
berbelit-belit, sehingga menimbulkan insentif bagi oknum satker untuk melakukan hal-hal
yang dapat “mempercepat layanan”. Sedangkan kekuasaan yang ada pada KPPN
Kekuasaan ini memberikan peluang dan dorongan bagi oknum pejabat atau pegawai untuk
“menjual” fasilitas atau kemudahan tertentu kepada satker yang berminat untuk “membeli”.
Atas dasar fenomena itulah, penulis menyusun makalah tentang potensi korupsi dan
Lhokseumawe (Juli 2011 s.d. sekarang), sehingga sumber utama materi kajian adalah hasil
observasi dan pengalaman empiris yang pernah dilihat maupun dialami oleh penulis sendiri.
II. Jenis Korupsi yang Pernah Atau Berpotensi Terjadi, menyajikan hasil observasi dan
pengalaman empiris penulis atas potensi dan kejadian korupsi di KPPN Lhokseumawe; III.
Faktor-faktor Penyebab Korupsi, menyajikan analisis penyebab potensi dan kejadian korupsi
strategi yang dapat diterapkan di kantor maupun kiat kesiapan diri bagi pegawai dan pejabat
di kantor untuk mencegah dan mengatasi potensi korupsi yang ada; Terakhir, V. Simpulan
dan Saran, menyajikan simpulan dan saran yang dapat diambil dari seluruh pembahasan yang
telah disajikan. Makalah diharapkan dapat memberikan gambaran umum potensi korupsi,
sebab, dan solusi serta pencegahannya dalam organisasi level operasional, khususnya di
KPPN Lhokseumawe.
LHOKSEUMAWE
Jenis korupsi secara umum dibagi menjadi tujuh dalam Buku Saku Korupsi (KPK,
2006). Jenis korupsi tersebut meliputi kerugian keuangan negara, suap menyuap,
dalam pengadaan, serta gratifikasi. Dari pengalaman penulis selama aktif bekerja di KPPN
Lhokseumawe pada Juli 2011 hingga Februari 2014, korupsi dalam arti tindak pidana sesuai
pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) tidak
terjadi. Dalam artian bahwa tindakan yang menjurus korupsi di KPPN Lhokseumawe belum
memenuhi unsur-unsur pidana seperti dirinci dalam UU PTPK. Dapat juga dilihat dari fakta
bahwa selama penulis aktif bekerja, tidak pernah ada pemeriksaan baik kinerja, keuangan,
Kementerian Keuangan, BPKP, BPK, atau KPK. Inspeksi dari institusi atasan yang rutin
dilakukan adalah pembinaan dari Kanwil DJPBN Provinsi Aceh, dan sifatnya lebih kepada
supervisi dan pembinaan, bukan pemeriksaan. Dari sini, penulis ingin mengatakan bahwa
tindakan dan perilaku menjurus korupsi di KPPN Lhokseumawe akan dibahas dalam konteks
“potensi korupsi” saja. Potensi dalam arti bahwa jika unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam
UU PTPK terpenuhi, maka di masa depan tindakan tersebut bukan tidak mungkin dapat
setingkat eselon IV, dimana empat seksi memberikan pelayanan kepada pengguna yaitu
Seksi Pencairan Dana (PD), Seksi Bank, Seksi Verifikasi dan Akuntansi (Vera), dan Seksi
Manajemen Satker dan Kepatuhan Internal (MSKI); serta satu Subbagian Umum sebagai
supporting unit. Penulis pernah bekerja di 3 seksi, yaitu Subbagian Umum, Seksi Bank, dan
Seksi PD. Namun secara umum, penulis cukup mengetahui proses operasional di masing-
masing seksi. Potensi korupsi akan diuraikan menurut masing-masing seksi tersebut. Potensi-
potensi tersebut secara garis besar hanya mengarah pada tiga jenis korupsi pada Buku Saku
Korupsi KPK, yaitu Kerugian Keuangan Negara, Benturan Kepentingan dalam Pengadaan,
dan Gratifikasi. Untuk empat jenis korupsi yang lain, penulis belum mengetahui tindakan
Potensi korupsi di Subbagian Umum terutama adalah dari kegiatan pengadaan barang,
dan uang lembur. Dalam pengadaan barang di kantor, penulis tidak pernah masuk dalam
panitia pengadaan. Namun, hal yang teramati adalah ada satu atau dua rekanan yang setiap
tahun selalu mendapat proyek/menang tender dari kantor. Satu atau dua oknum rekanan ini
terlihat dekat, sering berkomunikasi, dan masuk ke ruang Kepala Kantor. Apa dan bagaimana
persisnya yang terjadi tidak diketahui, namun hal itu adalah indikasi adanya fenomena
Umum.
Dalam pengelolaan DIPA kantor, penulis sering mendengar cerita dari bendahara
(penulis juga belum pernah menjadi bendahara), bahwa ada satu akun/pos dana taktis.
Sepengetahuan penulis, dana taktis ini adalah dana dari akun yang belum memiliki
peruntukkan (dana cadangan/lain-lain) ditambah hasil revisi dari pos-pos dana lain yang
berlebih. Penggunaan akun ini sering menjadi kebijakan prerogatif Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Bendahara hanya sebagai operator
dan eksekutor. Dana taktis ini pernah digunakan untuk pembelian alat fitness kantor.
Penggunaan rutin dana ini adalah untuk pembelian air mineral kantor (tidak tersedia di
DIPA) dan terkadang untuk memberikan jamuan makan malam bagi pejabat dari Kanwil atau
Kantor Pusat yang datang ke kantor. Bagaimana penafsiran keabsahan penggunaan dana ini
masih butuh kajian lebih jauh, karena selain peruntukkannya belum spesifik (ada
kemungkinan fleksibel), penggunaan dana ini terkadang juga bermanfaat bagi kantor, semisal
air mineral.
Pengelolaan absensi dan uang honor terkadang juga dapat menjadi polemik tersendiri.
Mesin absen sidik jari (finger print) dapat disetting jam masuk maupun pulang kantor oleh
admin atas perintah kepala kantor. Namun sepengetahuan penulis, setting jam masuk tidak
hanya dilakukan sesekali misalnya dalam momen-momen akhir tahun setelah malam
sebelumnya lembur hingga tengah malam atau PSW karena tidak sengaja absen sebelum
waktu. Dalam masalah uang lembur, sering dijumpai absen fiktif (tidak benar-benar lembur).
Namun mungkin ini hanya kebijakan kepala kantor dalam hal kesejahteraan honorer, karena
uang lembur tersebut dibagi rata untuk semua pegawai PNS maupun honorer. Selain itu,
meskipun tidak secara resmi lembur (tidak ada ST), pegawai kantor yang masih muda
terbiasa pulang malam (beberapa sampai menginap di kantor), karena tuntutan tugas dan
pekerjaan. Potensi korupsi di Subbag Umum ini dapat mengarah kepada jenis korupsi
Kerugian Keuangan Negara maupun Gratifikasi jika dilakukan dalam skala besar.
Selanjutnya pada Seksi Bank, pemangku kepentingan yang terlibat terutama adalah
bank-bank umum, baik sebagai Bank Persepsi maupun Bank Operasional (BO). Seksi Bank
juga memberikan pelayanan bagi satker misalnya pembukaan rekening pemerintah dan
legalisasi fotokopi PNBP sebagai lampiran SPM sumber dana PNBP. Sedikit potensi korupsi
dari seksi ini. Yang teramati misalnya masalah pembukaan rekening satker, denda
keterlambatan setor bank persepsi, dan legalisasi fotokopi PNBP satker. Dalam hal
pembukaan rekening satker, dalam beberapa kasus satker membuka rekening di bank tanpa
izin dari dan melapor kepada Seksi Bank sesuai SOP. Selanjutnya, dalam hal denda
keterlambatan setor, beberapa bank persepsi terkadang memiliki itikad kurang baik dalam
penyelesaian dan pembayaran denda ini sebagai PNBP. Lalu dalam hal legalisasi PNBP,
terkadang tidak semua fotokopi PNBP dicek (apakah PNBP ini benar sudah disetor) oleh
petugas seksi Bank akibat banyaknya jumlah lembar yang harus dicek. Hal-hal tersbut
mungkin hanya kekurangan dalam pengendalian intern dan pelaksanaan SOP, namun jika
Seksi PD dapat dikatakan adalah seksi inti KPPN, yang memberikan pelayanan utama,
berupa pencairan dana APBN. Walaupun strategis dalam hal pengeluaran uang negara dalam
jumlah besar, menurut penulis potensi korupsi di seksi ini tidak sampai atau kecil
kemungkinan menyebabkan Kerugian Keuangan Negara dengan dua alasan. Pertama, karena
SOP Pencairan Dana semua telah terotomasi (menggunakan aplikasi), hingga tanda tangan
digital KPA satker. Penggunaan teknologi dalam ranah ini menurut penulis sudah cukup
memadai untuk menghindari kecurangan. Kedua, pencairan yang dilakukan hanyalah bersifat
transito, yaitu hanya berpindah ke rekening satker, dan belum sah menjadi belanja negara.
Tanggung jawab penggunaan dana tetap berada di KPA Satker. Namun tetap ada beberapa
potensi yang menjadi polemik, misalnya soal peruntukkan dana di redaksi SPM yang
terkadang tidak sesuai dengan nomor akun, masalah antrian dalam pelayanan di front office
(FO), perlakuan khusus bagi petugas satker polisi, dan pemberian cuma-cuma dari oknum
satker.
Masalah redaksi peruntukkan di SPM yang tidak sesuai akun terkadang menjadi
polemik bagi petugas FO karena belanja dan keperluan satker yang bermacam-macam.
Misalnya apakah dana akun belanja barang honorarium dapat dipakai untuk pembayaran
honor kegiatan tertentu. Termasuk dalam perlakuan khusus bagi satker Polri adalah untuk
masalah ini. Belanja yang bermacam-macam terkadang hanya disebutkan pada redaksi SPM
sebagai “belanja barang” saja tanpa dirinci lebih lanjut. Petugas FO (termasuk penulis)
terkadang sungkan untuk menolak atau mengoreksinya. Penulis merasakan ada semacam
intimidasi halus, walaupun tidak secara verbal diungkapkan, sehingga tingkat kekritisan
petugas FO menjadi turun ketika dihadapkan kepada petugas dari satker Polri. Antrian satker
sebenarnya sudah memakai mesin antrian. Masalah muncul ketika petugas satker “istimewa”
datang dan terkadang meminta “keistimewaan” dalam hal antrian maupun pelayanan.
Keistimewaan ini diduga berkaitan dengan pemberian cuma-cuma bagi petugas kantor
dengan misalnya yang sering adalah mentraktir/membelikan snack atau minuman ringan.
Terkadang diajak pula untuk makan bersama, namun tidak sering. Nominalnya tidak
seberapa, namun sedikit banyak hal ini akan mempengaruhi obyektifitas petugas FO.
Seksi Vera bertugas memeriksa laporan keuangan satker serta melakukan rekonsiliasi
transaksi keuangan. Potensi korupsi di seksi ini tidak jauh berbeda dengan di Seksi PD
karena sama-sama memiliki petugas FO. Masalah petugas satker “istimewa” sepertinya
Terakhir, Seksi MSKI adalah seksi baru yang bertugas melakukan pembinaan satker
dan implementasi pengendalian dan kepatuhan intern. Tidak banyak perilaku yang mengarah
pada korupsi karena seksi ini tidak memberikan pelayanan core business kantor. Hanya saja
ketidakoptimalan terlihat karena laporan dan tugas yang dikerjakan seksi hanya sebatas
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab korupsi (Kemendikbud RI, 2011) meliputi:
A. Faktor Internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri sendiri, dapat dirinci
menjadi:
2. Aspek Sosial
B. Faktor Eksternal, yaitu pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri
pelaku, meliputi:
sendiri.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas
2. Aspek ekonomi
3. Aspek politis
Kontrol sosial.
4. Aspek organisasi
Lemahnya pengawasan.
Mengapa di Indonesia marak terjadi korupsi? Pertanyaan tersebut telah menjadi klasik
dan menjadi topik dalam berbagai macam makalah, jurnal ilmiah, skripsi, maupun tesis.
Berbagai macam pemaparan agaknya belum mampu menggugah kesadaran anti korupsi,
terutama di kalangan penyelenggara negara dan pihak swasta terkait (rekanan). Korupsi di
Indonesia tampaknya telah mengakar di berbagai sendi kehidupan berbangsa. Tak terkecuali
di KPPN Lhokseumawe, potensi korupsi tetap ada seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Sebab utama korupsi adalah hal yang menjadikan korupsi begitu mengakar, seakan menjadi
fondasi kokoh (sulit diberantas) dan suburnya praktik korupsi. Penulis berpendapat bahwa
faktor internal berupa kecintaan pada materi/dunia (harta, tahta, wanita/keluarga) dan
ukuran-ukuran keliru kesuksesan hidup lah yang menjadi sebab utama korupsi.
Senada dengan pendapat penulis, sangat tepat ketika masalah ketergantungan materi
menjadi awal pembahasan Bab Faktor Penyebab Korupsi dalam Buku Pendidikan Anti
Korupsi untuk Perguruan Tinggi (Kemendikbud RI, 2011). Disebutkan disana bahwa “ketika
perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih
“mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi”
(Ansari Yamamah, 2009). Disebutkan juga bahwa “penyebab seseorang melakukan korupsi
adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu
ditahannya” (Nur Syam, 2000). Hal-hal seperti ini akan mengarahkan pada “cara pandang
terhadap kekayaan yang salah” (Kemendikbud RI, 2011), yang dalam bahasa penulis adalah
“ukuran-ukuran keliru kesuksesan hidup”. Jika kondisi ini terjadi secara “berjamaah”, yaitu
mayoritas orang/pegawai dalam keadaan ini, maka akan terbentuk semacam budaya (dalam
utama korupsi. Akar terdalam dan terbesar dari korupsi di Indonesia, terutama juga di KPPN
Terkadang faktor-faktor eksternal tidak salalu dapat dikaitkan langsung dengan tiap-
tiap kasus potensi korupsi. Tetapi faktor internal berupa budaya materiyyah hampir selalu
relevan atas setiap kasus tersebut. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor eksternal hanya
merupakan turunan dari budaya materiyyah. Sebagai contoh, kasus pengurusan denda
keterlambatan setor Bank Persepsi dan “satker istimewa” di KPPN Lhokseumawe. Jika
dianalisis dari faktor eksternal, sulit menilai apakah hal tersebut adalah efek kurangnya
politis), atau pendapatan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan (aspek ekonomi). Namun
jika mau jujur mengakui, motif semua potensi korupsi itu adalah ketertarikan si oknum untuk
mengejar materi (uang, jabatan) yang terkadang berlebihan hingga menghalalkan segala cara.
Ketertarikan berlebihan itu dipicu oleh ukuran kinerja kantor oknum yang didasarkan atas
finansial capaian keuntungan/kerugian di Bank Persepsi. Kasus “satker istimewa” juga dapat
dijelaskan sebagai pengusahaan materi semata, misalnya tuntutan dari kepala dan pegawai-
pegawai kantor satker si oknum untuk dapat secepatnya mencairkan dan menerima uang
Jika ditelusuri lebih jauh, pada ujung analisis akan ditemukan seorang individu yang
memandang kekayaan sebagai ukuran kesuksesan hidup yang utama. Lalu dimana nilai-nilai
kebajikan semisal integritas, kesabaran, kejujuran (dalam perspektif agama Islam tercakup
ukuran sukses itu (takwa) disandingkan dengan ukuran kinerja yang memiliki korelasi
dengan pendapatan (materi), sementara dalam satu kasus keduanya bertentangan, mana yang
Tidak peduli seberapa kaya seseorang, keinginan akan materi tidak akan pernah
terpuaskan. Maka tidak heran jika koruptor-koruptor banyak dari kalangan pejabat,
pengusaha, politikus, selebritis meskipun dari sisi kekayaan, popularitas, dan kehormatan
sudah sangat memadai. Penjelasan lain dapat dilihat dari perspektif ilmu agama Islam, dalam
firman Allah yang secara makna yaitu manusia memang dijadikan menyukai kesenangan
hidup di dunia (materi), tetapi ada yang lebih baik dari itu semua di sisi Allah, yaitu surga
yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (Q.S. Ali ‘Imran (3): 14-15). Jadi manusia
memang cenderung untuk berbudaya materiyyah, mengejar materi. Namun ada yang lebih
baik dan bermanfaat insya Allah yaitu bagaimana kita memperjuangkan nilai-nilai
ketakwaan. Bisa jadi bahwa maraknya korupsi adalah peringatan Ilahi bahwa manusia terlalu
banyak yang terlalaikan oleh dunia, dan lupa akan hal yang lebih utama dan merupakan
ukuran kesuksesan hidup sejati, yaitu ketakwaan sebagai bekal menuju akhirat dan surga,
wallahu a’lam.
Strategi anti korupsi dapat dilihat dari dua segi, pencegahan dan pemberantasan. Dari
segi pencegahan, strategi anti korupsi terutama difokuskan kepada penanaman nilai dan
prinsip anti korupsi kepada pegawai. Sedangkan dari segi pemberantasan, strategi anti
korupsi diarahkan untuk menanggulangi praktik korupsi yang telah terjadi. Strategi dan
kesiapan diri anti korupsi, baik secara umum di Indonesia maupun secara khusus di KPPN
Lhokseumawe dapat dibangun atas dasar faktor-faktor penyebab korupsi, baik internal
Strategi yang utama tentu didasarkan atas sebab utama korupsi. Dalam hal ini, perlu
untuk menghilangkan sedikit demi sedikit budaya dan pola pikir materiyyah. Caranya yaitu
dengan merubah cara pandang pejabat dan pegawai terhadap kekayaan dan ukuran
kesuksesan hidup sejati. Nilai-nilai ketakwaan perlu lebih diresapi, diimplementasikan, dan
diperjuangkan dalam setiap aktivitas tugas dan pelayanan di kantor. Nilai-nilai ini harus lebih
diberi bobot dan perhatian dalam penetapan target dan pengukuran kinerja, tidak melulu
didasarkan pada angka-angka finansial yang rentan menjadi motif perilaku korup. Terpenting
adalah kesadaran ini harus dimulai dari setiap individu pegawai, sehingga akan lebih mudah
dikatakan bahwa strategi anti korupsi yang utama adalah strategi dari segi pencegahan,
kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Dari perspektif agama, kesembilan nilai tersebut
sebenarnya telah tercakup semua ke dalam nilai ketakwaan. Sehingga secara sederhana
seseorang untuk menjadi lebih bertakwa. Namun pada praktiknya, nilai-nilai anti korupsi
seringkali dikampanyekan secara terpisah seperti tersebut di atas. Nilai-nilai ini akan
mendukung prinsip-prinsip anti korupsi untuk dapat dijalankan dengan baik. Prinsip-prinsip
ini terdiri dari 5 prinsip (Kemendikbud RI, 2011), meliputi akuntabilitas, transparansi,
Lhokseumawe dapat mencegah terjadinya tindakan yang potensial menjadi korupsi. Dalam
kasus “satker istimewa” misalnya, nilai keadilan dan keberanian akan mencegah petugas FO
mengistimewakan satker Polri akibat intimidasi halus. Di sisi lain dengan nilai kepedulian
dan kejujuran, petugas satker Polri juga akan menghindari praktik intimidasi tersebut. Prinsip
akuntabilitas dan kontrol kebijakan akan membatasi penggunaan dana taktis oleh pejabat
dipertanggungjawabkan. Demikian juga untuk potensi-potensi korupsi yang lain, nilai dan
Dari segi pemberantasan, jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, misalnya di level
negara, dapat digunakan strategi anti korupsi yang dikembangkan oleh United Nations yang
dinamakan The Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations
Anti-Corruption Toolkit (UNODC, 2004 dalam Kemendikbud RI, 2011), yang meliputi 6
6. Kerjasama internasional
Namun, strategi anti korupsi dari segi pemberantasan terlihat kurang relevan jika hanya
dilihat dalam konteks KPPN Lhokseumawe. Praktik-praktik yang terjadi baru sebatas potensi
korupsi dan belum menjadi tindak pidana korupsi seperti telah dijelaskan sebelumnya. Dalam
penanganan kondisi semacam itu, strategi pencegahan lebih relevan untuk diterapkan di
KPPN Lhokseumawe.
A. Simpulan
bersumber dari konsep birokrasi dan kekuasaan. Namun praktik-praktik yang ada
2. Faktor penyebab potensi korupsi di KPPN Lhokseumawe terdiri dari faktor internal
dan faktor eksternal. Budaya dan pola pikir materiyyah menjadi sebab utama potensi
korupsi tersebut.
3. Strategi anti korupsi dari segi pencegahan dan kesiapan diri melalui nilai dan prinsip
anti korupsi lebih relevan diterapkan di KPPN Lhokseumawe daripada strategi dari
segi pemberantasan.
B. Saran
kantornya.
terhadap kekayaan dan ukuran kesuksesan hidup sejati sebagai upaya utama
pencegahan korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Haboddin, Muhtar. Tanpa tahun. Kekuasaan dan Korupsi di Tingkat Lokal. Jurnal FISIP
Ihsan, Faris. 2014. Korupsi dan Birokrasi. Jurnal BKD dan Diklat Provinsi NTB
(http://bkddiklat.ntbprov.go.id/wp-content/uploads/2014/09/KORUPSI-DAN-
Korupsi, Komisi Pemberantasan. 2006. Memahami untuk Membasmi. Buku Saku untuk
(https://nindityo.files.wordpress.com/2008/04/buku-saku-korupsi-kpk.pdf – diakses
Korupsi, Tim Penulis Buku Pendidikan Anti. 2011. Pendidikan Anti Korupsi untuk