Anda di halaman 1dari 16

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG SELATAN

MAKALAH

KAJIAN POTENSI KORUPSI DAN STRATEGI PENCEGAHANNYA

PADA KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA (KPPN)

LHOKSEUMAWE

Diajukan oleh:

DANANG AFUAH SETIAJI

NPM: 144060005833

Kelas: 9-A Akuntansi Reguler / No. Absen: 9

Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah

Seminar Anti Korupsi Program Diploma IV Keuangan

Spesialisasi Akuntansi Semester 9 Tahun Akademik 2014/2015


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

I. PENDAHULUAN

Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN) Lhokseumawe adalah instansi

vertikal setingkat eselon III di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB),

Kementerian Keuangan. KPPN Lhokseumawe adalah satu dari enam KPPN di wilayah kerja

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Aceh. KPPN Lhokseumawe

seperti halnya KPPN Tipe A1 lain, memiliki tugas “melaksanakan kewenangan

perbendaharaan dan bendahara umum negara, penyaluran pembiayaan atas beban anggaran,

serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara

berdasarkan peraturan perundang-undangan” (PMK Nomor 169/PMK.01/2012). Secara

singkat dapat dikatakan bahwa tugas KPPN Lhokseumawe yaitu pelaksanaan APBN, baik

dari sisi pengeluaran (belanja negara) maupun dari sisi penerimaan (pendapatan negara).

Sebagai salah satu institusi penyelenggara negara sekaligus pelayanan publik di

pemerintahan, KPPN Lhokseumawe tidak terlepas dari konsep birokrasi dan kekuasaan.

Birokrasi adalah suatu sistem administrasi di institusi pemerintah yang bertujuan untuk

melayani kepentingan rakyat. Namun pada praktiknya, birokrasi di Indonesia mengalami

penyakit Organizational Slack yang ditandai oleh turunnya kualitas pelayanan dan lamban

(berbelit-belitnya) waktu pelayanan (Ihsan, 2014). Penyakit birokrasi tersebut seiring dengan

fenomena korupsi di birokrasi yang semakin meluas. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa korupsi, dalam dimensi yang lebih luas meliputi juga kolusi dan nepotisme (KKN),

menjadi penyakit utama dari birokrasi itu sendiri. Reformasi birokrasi telah dan terus

diupayakan, namun hasilnya secara umum masih jauh dari harapan. Di sisi lain, kekuasaan

cenderung diselewengkan oleh penguasa atau penyelenggara negara. Lord Acton mengatakan

bahwa “kekuasaan cenderung korup” (Haboddin, tanpa tahun). Pernyataan ini berlaku

universal dan sangat relevan di Indonesia jika melihat fakta-fakta banyaknya kasus korupsi di

kalangan penyelenggara negara, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif. Oleh karena

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 1


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

itu, KPPN Lhokseumawe pun tidak terlepas dari potensi korupsi dalam pelaksanaan tugasnya

sehari-hari.

Birokrasi di KPPN Lhokseumawe terlihat misalnya pada penerapan Prosedur Operasi

Standar (SOP) dalam setiap pelaksanaan tugas dan pemberian layanannya. Dari perspektif

satuan kerja (satker) pengguna layanan, SOP ini terkadang dirasa terlalu panjang, lama, atau

berbelit-belit, sehingga menimbulkan insentif bagi oknum satker untuk melakukan hal-hal

yang dapat “mempercepat layanan”. Sedangkan kekuasaan yang ada pada KPPN

Lhokseumawe yaitu sebagai Bendahara Umum Negara di Daerah (BUN-D) yang

melaksanakan APBN, cukup strategis karena menyangkut pendanaan operasional satker.

Kekuasaan ini memberikan peluang dan dorongan bagi oknum pejabat atau pegawai untuk

“menjual” fasilitas atau kemudahan tertentu kepada satker yang berminat untuk “membeli”.

Atas dasar fenomena itulah, penulis menyusun makalah tentang potensi korupsi dan

strategi pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe. Penulis berstatus pegawai KPPN

Lhokseumawe (Juli 2011 s.d. sekarang), sehingga sumber utama materi kajian adalah hasil

observasi dan pengalaman empiris yang pernah dilihat maupun dialami oleh penulis sendiri.

Makalah disusun dengan sistematika: I. Pendahuluan, menguraikan latar belakang masalah;

II. Jenis Korupsi yang Pernah Atau Berpotensi Terjadi, menyajikan hasil observasi dan

pengalaman empiris penulis atas potensi dan kejadian korupsi di KPPN Lhokseumawe; III.

Faktor-faktor Penyebab Korupsi, menyajikan analisis penyebab potensi dan kejadian korupsi

di KPPN Lhokseumawe; IV. Strategi/Kesiapan Diri Anti Korupsi, menjelaskan usulan

strategi yang dapat diterapkan di kantor maupun kiat kesiapan diri bagi pegawai dan pejabat

di kantor untuk mencegah dan mengatasi potensi korupsi yang ada; Terakhir, V. Simpulan

dan Saran, menyajikan simpulan dan saran yang dapat diambil dari seluruh pembahasan yang

telah disajikan. Makalah diharapkan dapat memberikan gambaran umum potensi korupsi,

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 2


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

sebab, dan solusi serta pencegahannya dalam organisasi level operasional, khususnya di

KPPN Lhokseumawe.

II. JENIS KORUPSI YANG PERNAH ATAU BERPOTENSI TERJADI DI KPPN

LHOKSEUMAWE

Jenis korupsi secara umum dibagi menjadi tujuh dalam Buku Saku Korupsi (KPK,

2006). Jenis korupsi tersebut meliputi kerugian keuangan negara, suap menyuap,

penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan

dalam pengadaan, serta gratifikasi. Dari pengalaman penulis selama aktif bekerja di KPPN

Lhokseumawe pada Juli 2011 hingga Februari 2014, korupsi dalam arti tindak pidana sesuai

pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) tidak

terjadi. Dalam artian bahwa tindakan yang menjurus korupsi di KPPN Lhokseumawe belum

memenuhi unsur-unsur pidana seperti dirinci dalam UU PTPK. Dapat juga dilihat dari fakta

bahwa selama penulis aktif bekerja, tidak pernah ada pemeriksaan baik kinerja, keuangan,

investigatif, maupun penyelidikan/penyidikan yang dilakukan Inspektorat Jenderal

Kementerian Keuangan, BPKP, BPK, atau KPK. Inspeksi dari institusi atasan yang rutin

dilakukan adalah pembinaan dari Kanwil DJPBN Provinsi Aceh, dan sifatnya lebih kepada

supervisi dan pembinaan, bukan pemeriksaan. Dari sini, penulis ingin mengatakan bahwa

tindakan dan perilaku menjurus korupsi di KPPN Lhokseumawe akan dibahas dalam konteks

“potensi korupsi” saja. Potensi dalam arti bahwa jika unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam

UU PTPK terpenuhi, maka di masa depan tindakan tersebut bukan tidak mungkin dapat

menjadi tindak pidana korupsi.

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 3


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

KPPN Lhokseumawe (selanjutnya disebut kantor) memiliki lima seksi/subbagian

setingkat eselon IV, dimana empat seksi memberikan pelayanan kepada pengguna yaitu

Seksi Pencairan Dana (PD), Seksi Bank, Seksi Verifikasi dan Akuntansi (Vera), dan Seksi

Manajemen Satker dan Kepatuhan Internal (MSKI); serta satu Subbagian Umum sebagai

supporting unit. Penulis pernah bekerja di 3 seksi, yaitu Subbagian Umum, Seksi Bank, dan

Seksi PD. Namun secara umum, penulis cukup mengetahui proses operasional di masing-

masing seksi. Potensi korupsi akan diuraikan menurut masing-masing seksi tersebut. Potensi-

potensi tersebut secara garis besar hanya mengarah pada tiga jenis korupsi pada Buku Saku

Korupsi KPK, yaitu Kerugian Keuangan Negara, Benturan Kepentingan dalam Pengadaan,

dan Gratifikasi. Untuk empat jenis korupsi yang lain, penulis belum mengetahui tindakan

atau perilaku yang sesuai di kantor.

Potensi korupsi di Subbagian Umum terutama adalah dari kegiatan pengadaan barang,

pengelolaan anggaran/DIPA kantor oleh Pejabat Perbendaharaan, dan pengelolaan absensi

dan uang lembur. Dalam pengadaan barang di kantor, penulis tidak pernah masuk dalam

panitia pengadaan. Namun, hal yang teramati adalah ada satu atau dua rekanan yang setiap

tahun selalu mendapat proyek/menang tender dari kantor. Satu atau dua oknum rekanan ini

terlihat dekat, sering berkomunikasi, dan masuk ke ruang Kepala Kantor. Apa dan bagaimana

persisnya yang terjadi tidak diketahui, namun hal itu adalah indikasi adanya fenomena

(potensi korupsi) dalam pengadaan barang di kantor di bawah panitia pengadaan/Subbag

Umum.

Dalam pengelolaan DIPA kantor, penulis sering mendengar cerita dari bendahara

(penulis juga belum pernah menjadi bendahara), bahwa ada satu akun/pos dana taktis.

Sepengetahuan penulis, dana taktis ini adalah dana dari akun yang belum memiliki

peruntukkan (dana cadangan/lain-lain) ditambah hasil revisi dari pos-pos dana lain yang

berlebih. Penggunaan akun ini sering menjadi kebijakan prerogatif Kuasa Pengguna

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 4


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Bendahara hanya sebagai operator

dan eksekutor. Dana taktis ini pernah digunakan untuk pembelian alat fitness kantor.

Penggunaan rutin dana ini adalah untuk pembelian air mineral kantor (tidak tersedia di

DIPA) dan terkadang untuk memberikan jamuan makan malam bagi pejabat dari Kanwil atau

Kantor Pusat yang datang ke kantor. Bagaimana penafsiran keabsahan penggunaan dana ini

masih butuh kajian lebih jauh, karena selain peruntukkannya belum spesifik (ada

kemungkinan fleksibel), penggunaan dana ini terkadang juga bermanfaat bagi kantor, semisal

air mineral.

Pengelolaan absensi dan uang honor terkadang juga dapat menjadi polemik tersendiri.

Mesin absen sidik jari (finger print) dapat disetting jam masuk maupun pulang kantor oleh

admin atas perintah kepala kantor. Namun sepengetahuan penulis, setting jam masuk tidak

dimaksudkan untuk menghindari keterlambatan atau pulang sebelum waktunya (PSW),

hanya dilakukan sesekali misalnya dalam momen-momen akhir tahun setelah malam

sebelumnya lembur hingga tengah malam atau PSW karena tidak sengaja absen sebelum

waktu. Dalam masalah uang lembur, sering dijumpai absen fiktif (tidak benar-benar lembur).

Namun mungkin ini hanya kebijakan kepala kantor dalam hal kesejahteraan honorer, karena

uang lembur tersebut dibagi rata untuk semua pegawai PNS maupun honorer. Selain itu,

meskipun tidak secara resmi lembur (tidak ada ST), pegawai kantor yang masih muda

terbiasa pulang malam (beberapa sampai menginap di kantor), karena tuntutan tugas dan

pekerjaan. Potensi korupsi di Subbag Umum ini dapat mengarah kepada jenis korupsi

Kerugian Keuangan Negara maupun Gratifikasi jika dilakukan dalam skala besar.

Selanjutnya pada Seksi Bank, pemangku kepentingan yang terlibat terutama adalah

bank-bank umum, baik sebagai Bank Persepsi maupun Bank Operasional (BO). Seksi Bank

juga memberikan pelayanan bagi satker misalnya pembukaan rekening pemerintah dan

legalisasi fotokopi PNBP sebagai lampiran SPM sumber dana PNBP. Sedikit potensi korupsi

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 5


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

dari seksi ini. Yang teramati misalnya masalah pembukaan rekening satker, denda

keterlambatan setor bank persepsi, dan legalisasi fotokopi PNBP satker. Dalam hal

pembukaan rekening satker, dalam beberapa kasus satker membuka rekening di bank tanpa

izin dari dan melapor kepada Seksi Bank sesuai SOP. Selanjutnya, dalam hal denda

keterlambatan setor, beberapa bank persepsi terkadang memiliki itikad kurang baik dalam

penyelesaian dan pembayaran denda ini sebagai PNBP. Lalu dalam hal legalisasi PNBP,

terkadang tidak semua fotokopi PNBP dicek (apakah PNBP ini benar sudah disetor) oleh

petugas seksi Bank akibat banyaknya jumlah lembar yang harus dicek. Hal-hal tersbut

mungkin hanya kekurangan dalam pengendalian intern dan pelaksanaan SOP, namun jika

tidak mendapat perhatian semestinya, dapat juga menjadi potensi korupsi.

Seksi PD dapat dikatakan adalah seksi inti KPPN, yang memberikan pelayanan utama,

berupa pencairan dana APBN. Walaupun strategis dalam hal pengeluaran uang negara dalam

jumlah besar, menurut penulis potensi korupsi di seksi ini tidak sampai atau kecil

kemungkinan menyebabkan Kerugian Keuangan Negara dengan dua alasan. Pertama, karena

SOP Pencairan Dana semua telah terotomasi (menggunakan aplikasi), hingga tanda tangan

digital KPA satker. Penggunaan teknologi dalam ranah ini menurut penulis sudah cukup

memadai untuk menghindari kecurangan. Kedua, pencairan yang dilakukan hanyalah bersifat

transito, yaitu hanya berpindah ke rekening satker, dan belum sah menjadi belanja negara.

Tanggung jawab penggunaan dana tetap berada di KPA Satker. Namun tetap ada beberapa

potensi yang menjadi polemik, misalnya soal peruntukkan dana di redaksi SPM yang

terkadang tidak sesuai dengan nomor akun, masalah antrian dalam pelayanan di front office

(FO), perlakuan khusus bagi petugas satker polisi, dan pemberian cuma-cuma dari oknum

satker.

Masalah redaksi peruntukkan di SPM yang tidak sesuai akun terkadang menjadi

polemik bagi petugas FO karena belanja dan keperluan satker yang bermacam-macam.

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 6


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

Misalnya apakah dana akun belanja barang honorarium dapat dipakai untuk pembayaran

honor kegiatan tertentu. Termasuk dalam perlakuan khusus bagi satker Polri adalah untuk

masalah ini. Belanja yang bermacam-macam terkadang hanya disebutkan pada redaksi SPM

sebagai “belanja barang” saja tanpa dirinci lebih lanjut. Petugas FO (termasuk penulis)

terkadang sungkan untuk menolak atau mengoreksinya. Penulis merasakan ada semacam

intimidasi halus, walaupun tidak secara verbal diungkapkan, sehingga tingkat kekritisan

petugas FO menjadi turun ketika dihadapkan kepada petugas dari satker Polri. Antrian satker

sebenarnya sudah memakai mesin antrian. Masalah muncul ketika petugas satker “istimewa”

datang dan terkadang meminta “keistimewaan” dalam hal antrian maupun pelayanan.

Keistimewaan ini diduga berkaitan dengan pemberian cuma-cuma bagi petugas kantor

dengan misalnya yang sering adalah mentraktir/membelikan snack atau minuman ringan.

Terkadang diajak pula untuk makan bersama, namun tidak sering. Nominalnya tidak

seberapa, namun sedikit banyak hal ini akan mempengaruhi obyektifitas petugas FO.

Perilaku-perilaku tersebut mengarah kepada Gratifikasi.

Seksi Vera bertugas memeriksa laporan keuangan satker serta melakukan rekonsiliasi

transaksi keuangan. Potensi korupsi di seksi ini tidak jauh berbeda dengan di Seksi PD

karena sama-sama memiliki petugas FO. Masalah petugas satker “istimewa” sepertinya

menjadi polemik utama. Penulis belum pernah bekerja di seksi ini.

Terakhir, Seksi MSKI adalah seksi baru yang bertugas melakukan pembinaan satker

dan implementasi pengendalian dan kepatuhan intern. Tidak banyak perilaku yang mengarah

pada korupsi karena seksi ini tidak memberikan pelayanan core business kantor. Hanya saja

ketidakoptimalan terlihat karena laporan dan tugas yang dikerjakan seksi hanya sebatas

formalitas, tidak sampai menyentuh substansi dan menggugah kesadaran pegawai-pegawai

kantor. Penulis juga belum pernah bekerja di seksi ini.

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 7


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

III. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KORUPSI DI KPPN LHOKSEUMAWE

Secara garis besar, faktor-faktor penyebab korupsi (Kemendikbud RI, 2011) meliputi:

A. Faktor Internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri sendiri, dapat dirinci

menjadi:

1. Aspek Perilaku Individu

 Sifat tamak/rakus manusia.

 Moral yang kurang kuat.

 Gaya hidup yang konsumtif.

2. Aspek Sosial

 Dorongan keluarga dan lingkungan.

B. Faktor Eksternal, yaitu pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri

pelaku, meliputi:

1. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi

 Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.

 Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat

sendiri.

 Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.

 Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas

bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan.

2. Aspek ekonomi

 Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan.

3. Aspek politis

 Kontrol sosial.

 Instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 8


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

4. Aspek organisasi

 Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan.

 Tidak adanya kultur organisasi yang benar.

 Kurang memadainya sistem akuntabilitas.

 Kelemahan sistim pengendalian manajemen.

 Lemahnya pengawasan.

Mengapa di Indonesia marak terjadi korupsi? Pertanyaan tersebut telah menjadi klasik

dan menjadi topik dalam berbagai macam makalah, jurnal ilmiah, skripsi, maupun tesis.

Berbagai macam pemaparan agaknya belum mampu menggugah kesadaran anti korupsi,

terutama di kalangan penyelenggara negara dan pihak swasta terkait (rekanan). Korupsi di

Indonesia tampaknya telah mengakar di berbagai sendi kehidupan berbangsa. Tak terkecuali

di KPPN Lhokseumawe, potensi korupsi tetap ada seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Sebab utama korupsi adalah hal yang menjadikan korupsi begitu mengakar, seakan menjadi

fondasi kokoh (sulit diberantas) dan suburnya praktik korupsi. Penulis berpendapat bahwa

faktor internal berupa kecintaan pada materi/dunia (harta, tahta, wanita/keluarga) dan

ukuran-ukuran keliru kesuksesan hidup lah yang menjadi sebab utama korupsi.

Senada dengan pendapat penulis, sangat tepat ketika masalah ketergantungan materi

menjadi awal pembahasan Bab Faktor Penyebab Korupsi dalam Buku Pendidikan Anti

Korupsi untuk Perguruan Tinggi (Kemendikbud RI, 2011). Disebutkan disana bahwa “ketika

perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih

“mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi”

(Ansari Yamamah, 2009). Disebutkan juga bahwa “penyebab seseorang melakukan korupsi

adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu

ditahannya” (Nur Syam, 2000). Hal-hal seperti ini akan mengarahkan pada “cara pandang

terhadap kekayaan yang salah” (Kemendikbud RI, 2011), yang dalam bahasa penulis adalah

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 9


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

“ukuran-ukuran keliru kesuksesan hidup”. Jika kondisi ini terjadi secara “berjamaah”, yaitu

mayoritas orang/pegawai dalam keadaan ini, maka akan terbentuk semacam budaya (dalam

artian negatif) “materiyyah/duniawiyyah”. Terbentuknya budaya inilah yang menjadi sebab

utama korupsi. Akar terdalam dan terbesar dari korupsi di Indonesia, terutama juga di KPPN

Lhokseumawe, adalah faktor “budaya materiyyah” tersebut.

Terkadang faktor-faktor eksternal tidak salalu dapat dikaitkan langsung dengan tiap-

tiap kasus potensi korupsi. Tetapi faktor internal berupa budaya materiyyah hampir selalu

relevan atas setiap kasus tersebut. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor eksternal hanya

merupakan turunan dari budaya materiyyah. Sebagai contoh, kasus pengurusan denda

keterlambatan setor Bank Persepsi dan “satker istimewa” di KPPN Lhokseumawe. Jika

dianalisis dari faktor eksternal, sulit menilai apakah hal tersebut adalah efek kurangnya

keteladanan pemimpin (aspek organisasi), kurangnya kontrol sosial masyarakat (aspek

politis), atau pendapatan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan (aspek ekonomi). Namun

jika mau jujur mengakui, motif semua potensi korupsi itu adalah ketertarikan si oknum untuk

mengejar materi (uang, jabatan) yang terkadang berlebihan hingga menghalalkan segala cara.

Ketertarikan berlebihan itu dipicu oleh ukuran kinerja kantor oknum yang didasarkan atas

capaian materi (biasanya berkorelasi dengan pendapatan oknum). Misalnya target-target

finansial capaian keuntungan/kerugian di Bank Persepsi. Kasus “satker istimewa” juga dapat

dijelaskan sebagai pengusahaan materi semata, misalnya tuntutan dari kepala dan pegawai-

pegawai kantor satker si oknum untuk dapat secepatnya mencairkan dan menerima uang

honor, bagaimanapun caranya.

Jika ditelusuri lebih jauh, pada ujung analisis akan ditemukan seorang individu yang

memandang kekayaan sebagai ukuran kesuksesan hidup yang utama. Lalu dimana nilai-nilai

kebajikan semisal integritas, kesabaran, kejujuran (dalam perspektif agama Islam tercakup

dalam nilai ketakwaan) diperjuangkan? Nilai-nilai tersebut memang banyak dikampanyekan

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 10


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

dalam nilai-nilai organisasi misalnya “Nilai-Nilai Kementerian Keuangan”. Namun jika

ukuran sukses itu (takwa) disandingkan dengan ukuran kinerja yang memiliki korelasi

dengan pendapatan (materi), sementara dalam satu kasus keduanya bertentangan, mana yang

akan dipilih? Jawabannya sudah menjadi rahasia umum.

Tidak peduli seberapa kaya seseorang, keinginan akan materi tidak akan pernah

terpuaskan. Maka tidak heran jika koruptor-koruptor banyak dari kalangan pejabat,

pengusaha, politikus, selebritis meskipun dari sisi kekayaan, popularitas, dan kehormatan

sudah sangat memadai. Penjelasan lain dapat dilihat dari perspektif ilmu agama Islam, dalam

firman Allah yang secara makna yaitu manusia memang dijadikan menyukai kesenangan

hidup di dunia (materi), tetapi ada yang lebih baik dari itu semua di sisi Allah, yaitu surga

yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (Q.S. Ali ‘Imran (3): 14-15). Jadi manusia

memang cenderung untuk berbudaya materiyyah, mengejar materi. Namun ada yang lebih

baik dan bermanfaat insya Allah yaitu bagaimana kita memperjuangkan nilai-nilai

ketakwaan. Bisa jadi bahwa maraknya korupsi adalah peringatan Ilahi bahwa manusia terlalu

banyak yang terlalaikan oleh dunia, dan lupa akan hal yang lebih utama dan merupakan

ukuran kesuksesan hidup sejati, yaitu ketakwaan sebagai bekal menuju akhirat dan surga,

wallahu a’lam.

IV. STRATEGI/KESIAPAN DIRI ANTI KORUPSI DI KPPN LHOKSEUMAWE

Strategi anti korupsi dapat dilihat dari dua segi, pencegahan dan pemberantasan. Dari

segi pencegahan, strategi anti korupsi terutama difokuskan kepada penanaman nilai dan

prinsip anti korupsi kepada pegawai. Sedangkan dari segi pemberantasan, strategi anti

korupsi diarahkan untuk menanggulangi praktik korupsi yang telah terjadi. Strategi dan

kesiapan diri anti korupsi, baik secara umum di Indonesia maupun secara khusus di KPPN

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 11


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

Lhokseumawe dapat dibangun atas dasar faktor-faktor penyebab korupsi, baik internal

maupun eksternal, yang telah dijelaskan sebelumnya.

Strategi yang utama tentu didasarkan atas sebab utama korupsi. Dalam hal ini, perlu

untuk menghilangkan sedikit demi sedikit budaya dan pola pikir materiyyah. Caranya yaitu

dengan merubah cara pandang pejabat dan pegawai terhadap kekayaan dan ukuran

kesuksesan hidup sejati. Nilai-nilai ketakwaan perlu lebih diresapi, diimplementasikan, dan

diperjuangkan dalam setiap aktivitas tugas dan pelayanan di kantor. Nilai-nilai ini harus lebih

diberi bobot dan perhatian dalam penetapan target dan pengukuran kinerja, tidak melulu

didasarkan pada angka-angka finansial yang rentan menjadi motif perilaku korup. Terpenting

adalah kesadaran ini harus dimulai dari setiap individu pegawai, sehingga akan lebih mudah

ketika diimplementasikan di tingkat organisasi, hingga negara. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa strategi anti korupsi yang utama adalah strategi dari segi pencegahan,

melalui nilai dan prinsip anti korupsi.

Nilai-nilai anti korupsi meliputi 9 nilai (Kemendikbud RI, 2011), yaitu

kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, pertanggungjawaban, kerja keras,

kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Dari perspektif agama, kesembilan nilai tersebut

sebenarnya telah tercakup semua ke dalam nilai ketakwaan. Sehingga secara sederhana

dikatakan bahwa keberhasilan pencegahan korupsi bergantung kepada seberapa siap

seseorang untuk menjadi lebih bertakwa. Namun pada praktiknya, nilai-nilai anti korupsi

seringkali dikampanyekan secara terpisah seperti tersebut di atas. Nilai-nilai ini akan

mendukung prinsip-prinsip anti korupsi untuk dapat dijalankan dengan baik. Prinsip-prinsip

ini terdiri dari 5 prinsip (Kemendikbud RI, 2011), meliputi akuntabilitas, transparansi,

kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan.

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 12


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

Penerapan dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip anti korupsi tersebut di KPPN

Lhokseumawe dapat mencegah terjadinya tindakan yang potensial menjadi korupsi. Dalam

kasus “satker istimewa” misalnya, nilai keadilan dan keberanian akan mencegah petugas FO

mengistimewakan satker Polri akibat intimidasi halus. Di sisi lain dengan nilai kepedulian

dan kejujuran, petugas satker Polri juga akan menghindari praktik intimidasi tersebut. Prinsip

akuntabilitas dan kontrol kebijakan akan membatasi penggunaan dana taktis oleh pejabat

perbendaharaan di kantor hanya untuk keperluan-keperluan yang dapat

dipertanggungjawabkan. Demikian juga untuk potensi-potensi korupsi yang lain, nilai dan

prinsip anti korupsi tersebut akan memberikan efek pencegahan.

Dari segi pemberantasan, jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, misalnya di level

negara, dapat digunakan strategi anti korupsi yang dikembangkan oleh United Nations yang

dinamakan The Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations

Anti-Corruption Toolkit (UNODC, 2004 dalam Kemendikbud RI, 2011), yang meliputi 6

strategi sebagai berikut:

1. Pembentukan lembaga anti-korupsi.

2. Pencegahan korupsi di sektor publik.

3. Pencegahan sosial dan pemberdayaan masyarakat.

4. Pengembangan dan pembuatan berbagai instrumen hukum yang mendukung

pencegahan dan pemberantasan korupsi.

5. Monitoring dan evaluasi

6. Kerjasama internasional

Namun, strategi anti korupsi dari segi pemberantasan terlihat kurang relevan jika hanya

dilihat dalam konteks KPPN Lhokseumawe. Praktik-praktik yang terjadi baru sebatas potensi

korupsi dan belum menjadi tindak pidana korupsi seperti telah dijelaskan sebelumnya. Dalam

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 13


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

penanganan kondisi semacam itu, strategi pencegahan lebih relevan untuk diterapkan di

KPPN Lhokseumawe.

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Masih terdapat potensi-potensi korupsi di KPPN Lhokseumawe yang terutama

bersumber dari konsep birokrasi dan kekuasaan. Namun praktik-praktik yang ada

belum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

2. Faktor penyebab potensi korupsi di KPPN Lhokseumawe terdiri dari faktor internal

dan faktor eksternal. Budaya dan pola pikir materiyyah menjadi sebab utama potensi

korupsi tersebut.

3. Strategi anti korupsi dari segi pencegahan dan kesiapan diri melalui nilai dan prinsip

anti korupsi lebih relevan diterapkan di KPPN Lhokseumawe daripada strategi dari

segi pemberantasan.

B. Saran

Dari pembahasan di atas, dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Seluruh pegawai KPPN Lhokseumawe perlu meningkatkan pemahaman dan

kesadaran akan potensi korupsi dan faktor-faktor penyebabnya di lingkungan

kantornya.

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 14


Kajian Potensi Korupsi dan Strategi Pencegahannya pada KPPN Lhokseumawe

2. Seluruh pegawai KPPN Lhokseumawe diharapkan dapat merubah cara pandang

terhadap kekayaan dan ukuran kesuksesan hidup sejati sebagai upaya utama

pencegahan korupsi.

3. Seluruh pegawai KPPN Lhokseumawe agar memahami dan mengimplementasikan

nilai dan prinsip anti korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Haboddin, Muhtar. Tanpa tahun. Kekuasaan dan Korupsi di Tingkat Lokal. Jurnal FISIP

Universitas Brawijaya Malang

(http://interaktif.ub.ac.id/index.php/interaktif/article/view/129/126 - diakses pada

tanggal 5 Agustus 2015).

Ihsan, Faris. 2014. Korupsi dan Birokrasi. Jurnal BKD dan Diklat Provinsi NTB

(http://bkddiklat.ntbprov.go.id/wp-content/uploads/2014/09/KORUPSI-DAN-

BIROKRASI.pdf - diakses pada tanggal 5 Agustus 2015).

Korupsi, Komisi Pemberantasan. 2006. Memahami untuk Membasmi. Buku Saku untuk

Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK.

(https://nindityo.files.wordpress.com/2008/04/buku-saku-korupsi-kpk.pdf – diakses

pada bulan Mei 2015).

Korupsi, Tim Penulis Buku Pendidikan Anti. 2011. Pendidikan Anti Korupsi untuk

Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud RI.

------------------------. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.01/2012 Tentang

Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

Danang Afuah Setiaji / 144060005833 / 9-A Akuntansi Reguler / 9 15

Anda mungkin juga menyukai