Anda di halaman 1dari 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Infark Miokard Akut

Gambar 2. 1Infark Miokard Akut

2.1.1 Definisi Infark Miokard Akut


Infark Miokard Akut (IMA) adalah suatu kondisi dimana otot jantung
tidak mendapatkan cukup darah dan oksigen akibat aterosklerosis pembuluh
darah jantung sehingga sel otot jantung mati (Mugi &Adang, 2012). Infark adalah
kematian jaringan yang disebabkan oleh iskemia. Infark miokard (MI) akut
terjadi saat iskemia miokard yang terlokalisasi menyebabkan perkembangan suatu
regio nekrosis dengan batas yang jelas. MI paling sering disebabkan oleh ruptur
lesi aterosklerotik pada arteri koroner. Hal ini menyebabkan pembentukan
trombus yang menyumbat arteri, sehingga menghentikan pasokan darah ke regio
jantung yang disuplainya (Aaronson & Jeremy, 2010).
Infark miokard, yang biasa dikenal dengan serangan jantung, adalah
nekrosis ireversibel pada otot jantung sekunder. Untuk iskemia berkepanjangan
ini biasanya diakibatkan oleh ketidakseimbangan pasokan oksigen dan
permintaan, yang paling banyak sering disebabkan oleh pecahnya plak dengan
pembentukan trombus di pembuluh koroner, menghasilkan penurunan akut suplai
darah ke sebagian miokardium (Boateng, 2013).

6
7

2.1.2 Epidemiologi Infark Miokard Akut


Sekitar 15 juta orang Amerika berusia di atas 20 tahun memiliki penyakit
jantung koroner (PJK), di mana prevalensi infark miokardium adalah 2,9%.
Prevalensi MI lebih tinggi untuk laki-laki (4,2%, usia rata-rata 65 tahun)
dibandingkan dengan wanita (1,7%, usia rata-rata 72 tahun) dan meningkat
seiring bertambahnya usia. Selain itu, usia di atas 75 tahun merupakan prediktor
terkuat dari angka kematian 90 hari pada pasien dengan elevasi ST-segmen MI
(STEMI) yang menjalani PCI (Rimawi et al, 2013).
Kejadian MI adalah 525.000 kejadian pertama per tahun dan 190.000
berulang serangan per tahun, dimana kira-kira 15% meninggal karena infark akut.
American Heart Association memperkirakan MI akan terjadi di AS setiap 44
detik. PJK tetap menjadi penyebab kematian nomor satu di Amerika Serikat;
akuntansi untuk 1 dari setiap 6 kematian di Amerika Serikat. Meskipun tingkat
kematian ini berkenaan, telah terjadi penurunan kematian kardiovaskular dalam
empat dekade terakhir karena kemajuan yang dibuat dalam diagnosis dan
pengelolaan terdahulu. Intervensi koroner perkutan (PCI), terapi antitrombotik
dan langkah-langkah pencegahan antihipertensi dan lipid telah memberi
kontribusi pada penurunan mortalitas rumah sakit yang signifikan terkait MI
(Rimawi et al, 2013).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan prevalensi
penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter atau gejala
sebesar 1,5% (Riskesdas, 2013). Sebanyak 478.000 pasien di Indonesia
terdiagnosis penyakit jantung koroner menurut Departemen Kesehatan pada tahun
2013. Prevalensi infark miokard akut dengan ST-elevasi saat ini meningkat dari
25% ke 40% (Depkes, 2013).
Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013 pada usia ≥
15 tahun berdasar wawancara terdiagnosis dokter sebesar 0,5 % dan yang
berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 %. Prevalensi penyakit
jantung koroner berdasar jenis kelaminnya, yang didiagnosis dokter atau gejala
lebih tinggi pada perempuan yaitu 0,5% dan 1,5%. Sedangkan pada laki-laki
adalah 0,4% dan 1,3%. Prevalensi infark miokard akut tertinggi berada di Nusa
Tenggara Timur (4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), sedangkan di Jawa
8

Tengah mencapai 0,5 % berdasar wawancara terdiagnosis dokter dan 1,4%


diagnosis dokter atau gejala (Riskesdas, 2013).

2.1.3 EtiologiInfark Miokard Akut


Penyebab IMA paling sering adalah oklusi lengkap atau hampir lengkap
dari arteri koroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak arterosklerosis yang rentan
dan diikuti pleh pembentukan trombus. Ruptur plak dapat dipicu oleh faktor-
faktor internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain karakteristik plak,
seperti ukuran dan konsistensi dari inti lipid dan ketebalan lapisan fibrosa , serta
kondisi bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status koagulasi dan derajat
vasokontriksi arteri (Joyce, 2014).
Faktor eksternal berasal dari aktivitas klien atau kondisi eksternal yang
memengaruhi pasien. Aktivitas fisik berat dan stress emosional berat, seperti
kemarahan, serta peningkatan respon sistem saraf simpatis dapat menyebabkan
rupture plak. Pada waktu yang sama, respon sistem saraf simpatis akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium (Joyce, 2014).
Apapun penyebabnya, ruptur plak aterosklerosis akan menyebabkan (1)
paparan aliran darah terhadap inti plak yang kaya lipid, (2) masuknya darah ke
dalam plak,menyebabkan plak membesar, (3) memicu pembentukan trombus, dan
(4) oklusi parsial atau komplet dari arteri koroner. IMA berasal dari oklusi
lengkap atau signifikan dari arteri koroner yang berlangsung lebih dari 1 jam.
Ketika aliran darah berhenti mendadak, jaringan miokardium yang disuplai oleh
arteri tersebut akan mati. Spasme arteri koroner juga dapat menyebabkan oklusi
akut (Joyce, 2014).

2.1.4 Faktor Resiko Infark Miokard Akut


Enam faktor risiko utama telah diidentifikasi dengan perkembangan
penyakit arteri koroner aterosklerotik dan MI :
1. Hiperlipidemia
Peningkatan kadar kolesterol total, LDL, atau trigliserida dikaitkan dengan
peningkatan risiko koroner aterosklerosis dan MI. Tingkat HDL kurang dari 40
mg/dL juga menunjukkan peningkatan risiko.
9

2. Diabetes mellitus
Penderita diabetes memiliki risiko penyakit vaskular aterosklerotik yang
jauh lebih besar di jantung dan juga di tempat tidur vaskular lainnya Diabetes
meningkatkan risiko MI karena meningkatkan tingkat perkembangan
aterosklerotik dan mempengaruhi profil lipid. Bentuk aterosklerosis akselerasi ini
terjadi terlepas dari apakah pasien memiliki insulin-dependent atau non-insulin-
dependent diabetes.
3. Hipertensi
Tekanan darah tinggi (BP) secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan
risiko MI. Risiko ini terkait dengan hipertensi sistolik dan diastolik. Kontrol
hipertensi dengan pengobatan yang tepat telah ditunjukkan mengurangi risiko MI
secara signifikan.
4. Penggunaan tembakau
Komponen tertentu dari gas pembakaran tembakau dan tembakau
diketahui merusak dinding pembuluh darah. Tubuh itu respon terhadap jenis
cedera ini memunculkan pembentukan aterosklerosis dan perkembangannya,
sehingga meningkatkan risikonya dari MI Sebuah studi kecil pada sekelompok
relawan menunjukkan bahwa merokok secara akut meningk atkan pembentukan
trombus trombosit. Ini tampaknya menargetkan area dengan gaya geser tinggi,
seperti pembuluh stenotik, yang bebas dari penggunaan aspirin.
5. Jenis kelamin laki-laki
Kejadian penyakit pembuluh darah aterosklerotik dan MI lebih tinggi pada
pria daripada wanita di semua kelompok usia. Jenis kelamin ini perbedaan di MI,
bagaimanapun, menyempit seiring bertambahnya usia.
6. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga tentang penyakit koroner prematur meningkatkan risiko
aterosklerosis dan MI seseorang. Penyebabnya kejadian koroner familial
multifaktorial dan mencakup unsur lain, seperti komponen genetik dan
diperolehpraktik kesehatan umum (misalnya merokok, diet tinggi lemak)
(Bolooki, 2015).
10

2.1.5 Klasifikasi Infark Miokard


Sindrom koroner akut (ACS), dalam urutan keparahan yang meningkat,
mencangkup angina takstabil, infarks miokard non-elevasi ST (NSTEMI), dan
infark miokard elevasi ST (STEMI), menggambarkan suatu spektrum kondisi
yang berbahaya dimana iskemia miokard disebabkan oleh suatu penurunan
mendadak aliran darah yang melalui pembuluh koroner. Penurunan ini hampir
selalu diinisiasi oleh ruptur plak aterosklerotik, yang menyebabkan pembentukan
trombus intrakoroner yang menurunkan atau menghilangkan aliran darah
(Aaronson & Jeremy, 2010).
2.1.5.1 Infark Miokard Elevasi Segmen ST
Infark miokard STEMI adalah oklusi koroner yang cukup untuk
menyebabkan nekrosis jantung transmural. Tanda khas STEMI, sindrom koroner
akut paling serius, adalah elevasi menetap segmen ST pada EKG. Hal ini
menunjukkan area miokard yang luas, kemungkinan meliputi seluruh ketebalan
dinding ventrikel, telah mengalami nekrosis (kematian sel, dengan inflamasi dan
pembentukan parut setelahnya) sebagai akibat iskemia memanjang. Nekrosis
miokardium menyebabkan pelepasan protein intraseluler, seperti troponin T dan I.
Troponin ini dapat dideteksi dalam darah dan bekerja sebagai penanda kematian
sel miokardium. STEMI dikonfirmasi bila ditemukan peningkatan kadar penanda
troponin. STEMI biasanya terjadi bila suatu trombus telah menyumbat arteri
koroner secara komplet dalam waktu yang signifikan dan biasanya menyebabkan
gejala yang lebih berat dibandingkan gejala angina takstabil atau NSTEMI
(Aaronson & Jeremy, 2010).

2.1.5.2 Infark Miokard Non-Elevasi Segmen ST


Infark miokard NSTEMI adalah oklusi koroner yang cukup untuk
menyebabkan nekrosis subendokardium. Oklusi koroner inkomplet atau temporer,
atau adanya arteri koroner kolateral yang dapat mempertahankan suplai darah ke
regio yang terkena, dapat menyebabkan iskemia miokard dan nekrosis dengan
derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak
dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan pelepasan penanda
nekrosis. Pasien ditemukan memiliki peningkatan kadar penanda ini, namun tidak
memiliki elevasi segmen ST, diperkirakan mengalami NSTEMI. Studi
11

menunjukkan bahwa episode NSTEMI didahului oleh penurunan aliran darah


koroner, kemungkinan disebabkan oleh perkembangan periodik trombosis dan
vasokonstriksi koroner, yang dicetuskan oleh penyakit arteri koroner (Aaronson
& Jeremy, 2010).

Infark miokard akut diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis berdasarkan


patologi klinis, perbedaan prognosis, dan dengan strategi terapi yang berbeda
yaitu:

Gambar 2.2 Diferensiasi antara MI tipe 1, 2, 3, dan 4

1. Infark Miokard Spontan (MI tipe 1)


Kejadian yang berhubungan dengan ruptur plak aterosklerotik, ulserasi,
fissuring, pengikisan, atau pembedahan dengan trombus intraluminal yang
dihasilkan pada satu atau lebih arteri koroner, yang menyebabkan penurunan
aliran darah miokard atau emboli trombosit distal dengan nekrosis miosit
berikutnya. Pasien mungkin memiliki CAD yang parah namun, kadang-kadang
(5-20%), nonobstruktif atau tidak ada CAD dapat ditemukan pada angiografi,
terutama pada wanita (Thygesen, 2012).
2. Infark Miokard Sekunder Akibat Ketidakseimbangan Iskemik (MI
tipe 2)
Dalam kasus cedera miokard dengan nekrosis, di mana kondisi selain
CAD berkontribusi terhadap ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan / atau
permintaan miokardium, istilah 'MI tipe 2' digunakan Pada pasien yang sakit
12

kritis, atau pada pasien yang menjalani operasi mayor (noncardiac), peningkatan
nilai biomarker jantung dapat terjadi muncul, karena efek toksik langsung dari
tingkat katekolamin bersirkulasi endogen atau eksogen. Juga vasospasme koroner
dan / atau disfungsi endotel miliki berpotensi menyebabkan MI (Thygesen,
2012).
3. Kematian Jantung Akibat Infark Miokard (MI tipe 3)
Pasien yang menderita kematian jantung, dengan gejala sugestif iskemia
miokard disertai dengan dugaan perubahan EKG iskemik baru atau left bundle
branch block (LBBB) - tetapi tanpa nilai biomarker yang tersedia - merupakan
kelompok diagnostik yang menantang. Orang-orang ini mungkin meninggal
sebelum sampel darah untuk biomarker dapat diperoleh, atau sebelum
peningkatan biomarker jantung dapat diidentifikasi. Jika pasien hadir dengan
gambaran klinis iskemia miokard, atau dengan dugaan iskemik baru. Perubahan
EKG, mereka harus diklasifikasikan memiliki MI yang fatal, bahkan jika bukti
biomarker jantung MI berkurang (Thygesen, 2012).
4. Infark Miokard Berhubungan dengan Prosedur Revaskularisasi (tipe
MI 4 dan 5)
Cedera atau infark miokard periprosedur terjadi pada beberapa tahap
dalam instrumentasi jantung yang diperlukan selama prosedur revaskularisasi
mekanis, baik oleh PCI atau coronary artery bypass grafting (CABG).
Peningkatan nilai cTn dapat terdeteksi mengikuti prosedur ini, karena berbagai
penghinaan dapat terjadi yang dapat menyebabkan cedera miokard dengan
nekrosis. Kemungkinan pembatasan cedera tersebut bermanfaat bagi pasien;
Namun, ambang batas untuk prognosis yang memburuk,terkait dengan
peningkatan asimtomatik nilai biomarker jantung tanpa komplikasi prosedural,
tidak didefinisikan dengan baik. Subkategori MI yang berhubungan dengan PCI
adalah terhubung dengan trombosis stent dan restenosis yang mungkin terjadi
setelah prosedur primer (Thygesen,2012).

2.1.6 PatofisiologiInfark Miokard Akut


Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
13

Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner
yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan
oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai
vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis
jaringan otot jantung (miokard) (PERKI, 2015).
Sel-sel jantung dapat bertahan dari iskemia selama 15 menit sebelum
akhirnya mati. Ketika jantung tidak mendapatkan darah dan oksigen, sel jantung
akan menggunakan metabolisme anaerobic, menciptakan lebih sedikit adenosine
trifosfat (ATP) dan lebih banyak asam laktat sebagai hasil sampingannya. Sel
miokardium sangat sensitif terhadap perubahan pH dan fungsinya akan menurun.
Asidosis akan menyebabkan miokarium menjadi lebih rentan terhadap efek dari
enzim lisosom dalam sel. Kontraktilitas juga akan berkurang, sehingga
menurunkan kemampuan jantung sebagai suatu pompa. Saat sel miokardium
mengalami nekrosis, enzim intraselular akan dilepaskan ke dalam aliran darah,
yang kemudian dapat dideteksi dengan pengujian laboratorium (Joyce., 2014).
Dalam beberapa jam IMA, area nekrotik akan meregang dalam suatu
proses yang disebut ekspansi infark. Ekspansi ini didorong juga oleh aktivasi
neurohormonal yang terjadi pada IMA. Peningkatan denyut jantung, dilatasi
ventrikel, dan aktivasi dari sistem renin-angiotensin akan meningkatkan preload
selama IMA untuk menjaga curah jantung. Infark transmural akan sembuh dengan
menyisakan pembentukan jaringan parut di ventrikel kiri, yamg disebut
remodeling. Ekspansi dapat terus berlanjut hingga enam minggu setelah IMA dan
disertai oleh penipisan progresif serta perluasan dari area infark dan non infark.
Ekspresi gen dari sel-sel jantung yang mengalami perombakan akan berubah,
yang menyebabkan perubahan struktural permanen ke jantung. Jaringan yang
14

mengalami remodelisasi tidak berfungsi dengan normal dan dapat berakibat pada
gagal jantung akut atau kronis dengan disfungsi ventrikel kiri, serta peningkatan
volume serta tekanan ventrikel. Remodeling dapat berlangsung bertahun-tahun
setelah IMA (Joyce., 2014).

Gambar 2.3 Patofisiologi IMA


15

Lokasi IMA paling sering adalah dinding anterior ventrikel kiri di dekat
apeks, yang terjadi akibat trombosis dari cabang desenden arteri koroner kiri.
Lokasi umum lainnya adalah (1) dinding posterior dari ventrikel kiri di dekat
dasar dan di belakang daun katup/ kuspis posterior dari katup mitral dan (2)
permukaan inferior (diafragmantik) jantung. Infark pada ventrikel kiri posterior
terjadi akibat oklusi arteri koroner kanan atau cabang sirkumfleksi arteri koroner
kiri. Infark inferior terjadi saat arteri koroner kanan mengalami oklusi. Pada
sekitar 25 % dari IMA dinding inferior, ventrikel kanan merupakan lokasi infark.
Infark atrium terjadi pada kurang dari 5 % (Joyce., 2014).

2.1.5.1 Mekanisme IMA

Gambar 2.4 Mekanisme IMA

Plak koroner yang cenderung mengalami ruptur biasanya berukuran kecil


dan non-obstruktif dengan inti besar kaya lipid yang ditutupi oleh selubung
fibrosa tipis. Plak „beresiko‟ tinggi ini biasanya mengandung banyak makrofag
dan limfosit-T yang kemungkinan melepaskan metaloprotease dan sitokin yang
16

melemahkan selubung fibrosa, menyebabakan plak mudah robek atau mengalami


erosi akibat ketegangan dari regangan yang disebabkan oleh alirah darah.
Ruptur plak menyebabkan paparan kolagen subendotel. Yang berperan
gsebgai lokasi adhesi, aktivasi, dan agregasi trombosit. Hal ini menyebabkan : (1)
pelepasan substansi seperti tromboksan A2 (TXA2), fibrinogen, 5-
hidrokstriptamin (5-HT), platelet activating factor dan ADP, yang selanjutnya
memacu agregasi trombosit ; (2) aktivasi kaskade pembekuan, menyebabkan
pembentukan fibrin dan penjalaran serta stabilisasi trombus oklusif (Aaronson &
Jeremy, 2010).
Endotel seringkali rusak di sekitar area penyakit arteri koroner. Defisit
faktor antitrombik yang disebabkannya seperti trombomodulin dan prosktasiklin
memperkuat pembentukan trombus. Selain itu, kecenderungan beberapa faktor
turunan trombosit (misalnya TXA2, 5-HT) untuk menyebabkan vasokonstriksi
menjadi meningkat pada keadaan tidak adanya faktor penyebab relaksasi yang
berasal dari endotel. Hal ini dapat memacu perkembangan vasospasme lokal, yang
memperburuk oklusi koroner.
Kematian mendadak dan onset sinrom koroner akut menunjukkan suatu
vasiasi sirkadian (siklus harian), yang memuncak pada sekitar pukul 9 pagi
kemudian menurun pada sekitar pukul 11 malam. Kadar katekolamin memuncak
sekitar satu jam setelah bangun di pagi hari, menyebabkan level maksimal
agregabilitas trombosit, tonus vaskular, laju denyut jantung, dan tekanan darah,
yang dapat memicu ruptur plak dan trombosis. Peningkatan stres fisik dan mental
juga dapat menyebabkan MI dan kematian mendadak, menunjang peran
peningkaan katekolamin dalam ptofisiologi MI. Lebih jauh lagi, blokade kronik
reseptor adrenergik-β mengaburkan irama sirkadian MI (Aaronson & Jeremy,
2010).

2.1.7 DiagnosisInfark Miokard Akut


Diagnosis infark miokard akut (AMI) harus dilakukan di awal triase
darurat karena kematian maksimal terjadi dalam satu jam pertama dan manfaat
dari semua intervensi lebih besar setelah ini ditetapkan lebih awal. Secara
konvensional, AMI didiagnosis dalam keadaan darurat berdasarkan elevasi
segmen ST lebih dari 1,5 mm dalam 2 atau lebih prospek. Nyeri dada,
17

elektrokardiogram dan enzim jantung secara konvensional telah digunakan untuk


diagnosis AMI. Echocardiography di ruang gawat darurat sedang digunakan lebih
banyak dan lebih sering dengan akurasi yang lebih besar untuk hal yang sama.
Peran pencitraan perfusi miokard untuk diagnosis AMI terbatas pada pengaturan
akut ini karena kurangnya ketersediaan 24 jam dan waktu yang dibutuhkan dalam
melakukan evaluasi ini. Diagnosis juga melibatkan estimasi ukuran infark, durasi
sejak permulaan proses, setiap komplikasi akut dan kemungkinan kapal yang
terlibat, karena ini memiliki implikasi terapeutik yang signifikan. Proses evaluasi
diagnostik juga harus mencakup penilaian cepat dari faktor-faktor risiko pasien
(hipertensi, diabetes dan fungsi ginjal) dan obat-obatan yang sudah diambil pasien
karena ini mempengaruhi pendekatan manajemen selanjutnya (Pandey et al.,
2011).
1. Presentasi klinis
Nyeri dada adalah gejala biasa yang membawa pasien ini ke perawatan
medis. Nyeri parah, difus, retrosternal dan menyebar ke lengan atau dari rahang ke
umbilikus. Nyeri tidak hilang dengan nitrat sublingual atau pembunuh rasa sakit
biasa. Sering dikaitkan dengan eructations dan retrosternal burning. Umumnya
pasien mengira itu gejala asam peptik dan membuang waktu berharga dengan
antasida. Hal ini disertai dengan muntah, berkeringat dan sesak napas. Sekitar 15-
20% infark bisa tidak nyeri khususnya pada lansia dan penderita diabetes. Jumlah
yang sama mungkin memiliki lebih sedikit nyeri daripada yang dijelaskan di atas.
Rasa sakit perlu dibedakan dari penyebab lain nyeri dada akut parah yang dapat
membawa pasien ke ruang gawat darurat (Pandey et al., 2011).
2. Elektrokardiografi (EKG)
EKG umumnya merupakan pemeriksaan pertama yang tersedia untuk
membuat diagnosis pada pasien dengan nyeri dada akut yang parah. Gelombang T
tinggi dan elevasi ST adalah keunggulan presentasi awal dalam beberapa menit
setelah timbulnya rasa sakit. Perubahan ketiga penampilan gelombang Q, tertunda
dan terlihat setelah 6 jam onset. Gelombang Q menunjukkan nekrosis miokard
signifikan. Perubahan awal dari gelombang T tegak lurus dan tinggi dengan
elevasi segmen ST ke atas kemudian, memberikan jalan untuk inversi gelombang
T dan ST coving dengan konveksitas ke atas selama satu hari sampai satu minggu.
18

Gelombang Q sekali mereka muncul umumnya bertahan sepanjang hidup.


Perubahan gelombang T berada di area yang lebih besar dan ini menunjukkan
iskemia, perubahan segmen ST dalam jumlah yang lebih sedikit dan menunjukkan
cedera miokard dan gelombang Q menggarisbawahi dan menunjukkan area sentral
nekrosis miokard. Aritmia sering terjadi pada EKG dini, terutama VPC dan
ventrikel takikardia yang sering dan kompleks pada beberapa pasien. Pasien
infark dinding inferior sering memiliki bradikardia sinus lebih awal.

Gambar 2. 5 Perubahan EKG yang khas pada MI


Tidak lama setelah oklusi arteri koroner, perubahan ECG serial dideteksi
oleh sadapan yang menghadap zona iskemik. Pertama, gelombang T menjadi
tinggi, simetris, dan memuncak (kelas 1 iskemia). Kedua, ada elevasi ST (kelas 2
iskemia) tanpa distorsi bagian terminal dari QRS. Ketiga, perubahan di bagian
terminal kompleks QRS dapat muncul (kelas 3 iskemia).
Perubahan bagian terminal QRS dijelaskan oleh perpanjangan konduksi
listrik di serat Purkinje di daerah iskemik. Perubahan infark umumnya terlihat
pada lead yang melapisi area infark. Dengan demikian, perubahan infark dinding
inferior terlihat pada lead II, III, aVF; pada infark anterior pada sadapan V1 -V4
dan infark anterolateral pada sadapan I, aVL dan V5-V6. Infark RV didiagnosis
oleh elevasi ST di V3 R dan V4 R (Pandey et al., 2011).
19

Pedoman praktek pengelolaan MI pertimbangkan pasien yang EKG


terlihat atau tidak menunjukkan elevasi segmen ST secara terpisah. Seperti
disebutkan sebelumnya, yang pertama disebut sebagai MI elevasi ST dan yang
terakhir adalah MI elevasi non-ST. Selain segmen ST elevasi, 81%
elektrokardiogram selama STEMI menunjukkan depresi segmen ST secara timbal
balik juga (Bolooki, 2015).

Gambar 2. 6 STEMI

Gambar 2. 7 NSTEMI
3. Biomarker
Biomarker jantung secara konvensional digunakan untuk diagnosis infark
miokard akut. Ini juga telah digunakan pada pasien dengan NSTEMI dan angina
tidak stabil untuk menemukan individu berisiko tinggi. Peningkatan CPK, CPK-
MB dan Troponins I dan T terjadi pada semua pasien dengan nekrosis miokard
yang terlihat pada infark miokard. Serial CK-MB estimasi dilakukan sebelumnya
untuk estimasi ukuran infark sebelum ekokardiografi. Biomarker berguna pada
pasien dengan perubahan EKG samar meskipun relevansi klinis mereka pada
infark miokard akut surut. Mereka masih sangat berguna dalam NSTEMI untuk
stratifikasi risiko. Pada infark miokard periprosedural, peningkatan CK-MB
penting untuk mendiagnosis infark. Secara rutin peningkatan infark miokard CK-
MB dan troponin meskipun dilakukan secara rutin hanya berfungsi dalam
dokumentasi (Pandey et al., 2011).
20

Sel myocardial hidup mengandung enzim dan protein (mis., Kreatin


kinase, troponin I dan T, mioglobin) yang terkait dengan fungsi seluler khusus.
Ketika sel miokard mati, membran seluler kehilangan integritas, dan intraselular
enzim dan protein perlahan bocor ke dalam aliran darah. Enzim dan protein ini
dapat dideteksi dengan analisis sampel darah. Nilai ini bervariasi tergantung pada
uji yang digunakan di setiap laboratorium. Mengingat ketajaman STEMI dan
kebutuhan akan intervensi segera, tes laboratorium biasanya tidak tersedia pada
saat diagnosis. Demikian, pengambilan riwayat baik dan EKG digunakan untuk
memulai terapi dalam situasi yang sesuai. Nilai sebenarnya biomarker seperti
troponin terletak pada diagnosis dan prognosis NSTEMI (Bolooki, 2015).

Gambar 2. 8 Nilai Biomarker


4. Ekokardiografi
Ekokardiografi sangat membantu dalam evaluasi nyeri dada, terutama
selama nyeri dada aktif. Tidak adanya kelainan gerakan dinding LV selama nyeri
dada biasanya tetapi tidak selalu mengecualikan iskemia miokard atau infark, dan
adanya kelainan gerakan dinding regional membantu dalam menegakkan
diagnosis.

Ini membantu dalam diagnosis dan pengecualian MI akut pada pasien


dengan nyeri dada berkepanjangan dan temuan elektrokardiografi nondiagnostik;
perkiraan jumlah miokardium pada risiko dan ukuran infark akhir setelah terapi
reperfusi; evaluasi pasien dengan temuan hemodinamik yang tidak stabil dan
mendeteksi komplikasi mekanis; evaluasi viabilitas miokard; perkiraan fraksi
ejeksi; dan segala kelainan terkait. Echo juga membantu dalam mengesampingkan
21

penyebab lain nyeri dada seperti diseksi aorta, perikarditis dan korp pulmonale
akut yang terkait dengan emboli paru. Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik
dan stenosis aorta juga dapat hadir dengan nyeri dada dan perubahan EKG serupa
dan dapat didiagnosis dengan gema di ruang gawat darurat itu sendiri (Pandey et
al., 2011).
Ekokardiogram dapat dilakukan untuk membandingkan daerah ventrikel
kiri yang berkontraksi secara normal dengan yang itu tidak Salah satu tindakan
perlindungan dini sel miokard yang digunakan selama aliran darah terbatas adalah
dengan mematikannya mekanisme yang membutuhkan energi untuk kontraksi;
Mekanisme ini dimulai segera setelah aliran darah normal terganggu
Ekokardiogram dapat membantu dalam mengidentifikasi bagian jantung mana
yang terkena MI dan arteri koroner mana yang paling mungkin tersumbat.
Sayangnya, adanya kelainan gerak dinding pada ekokardiogram mungkin
merupakan hasilI MI akut atau MI sebelumnya atau proses miopatik lainnya, yang
membatasi utilitas diagnostik keseluruhannya (Bolooki, 2015).

2.1.8 Komplikasi
Komplikasi lain yang mungkin timbul dari MI adalah gagal jantung,
disfungsi katup, takiaritmia ventrikel dan atrial, bradikardia, blok jantung,
perikarditis, stroke sekunder akibat embolisasi trombus LV, tromboemboli vena,
dan ruptur dinding bebas LV.

2.1.8.1 Jangka Pendek


1. Henti jantung (cardiac arrest)
Henti jantung menjadi penyebab sebagian besar kematian akut yang
berkomplikasi dengan infark miokard dan terjadi karena fibrilasi ventrikel.
Pengobatan adalah dengan defibrilasi segera. Perlu dipahami bahwa komplikasi
infark miokard akut ini paling mematikan. Oleh karena pemahaman tersebut,
pasien sebaiknya menjalani monitoring ICU. Resiko ini terlihat 48 jam pertama
infark miokard. Ventricle fibrilation arrest yang muncul setelah lebih dari 48 jam
menunjukkan adanya cedera miokardium ekstensif dan fungsi miokardium yang
buruk. Kondisi ini juga memprediksi kemungkinan kekambuhan ventricle
fibrilation arrest di masa mendatang.
22

2. Gagal jantung kongestif


Suatu konsekuensi dari infark miokard berukuran besar (>25% otot
jantung) merupakan faktor penentu paling penting untuk prognosis setelah STEMI
akut sehingga menghasilkan prognosis yang buruk.

3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terlihat ketika > 40% dari otot miokardium mengalami
luka dan ditandai oleh hipotensi, perfusi perifer yang buruk, serta penurunan
output urine. Syok kardiogenik menandakan prognosis yang sangat buruk (angka
kematian 50-60%) dan merupakan penyebab kematian pada 60% STEMI.
Tekanan darah sistolik < 80 mmHg, tekanan pengisian tinggi >18 mmHg dan
indeks jantung rendah < 1.8 L/mnt/M2. Syok kardiogenik bisa juga disebabkan
oleh otot papiler yang mengalami ruptur atau septum interventrikel.

4. Ruptur
Ruptur masuk ke bagian dalam ruang perikardial dan dapat menyebabkan
kematian mendadak akibat temponade perikardial. Ruptur biasanya merupakan
perburukan infark miokard dinding lateral atau anterior, khususnya pada lansia.

5. Pseudoaneurisma
Pseudoaneurisma adalah suatu ruptur dinding bebas yang tertahan oleh
formasi bekuan darah. Jika ditemuan, pseudoaneurisma mesti diobati melalui
bedah secara cepat. Perbedaan antara pseudoaneurisma dengan suatu aneurisma
yang sesungguhnya adalah bahwa dinding aneurisma yang sesungguhnya
mengandung jaringan miokardium, sementara dinding pseudoaneurisma terdiri
atas gumpalan darah dan jaringan perikardial.

6. Ruptur otot papiler


Ruptur otot papiler menyebabkan regurgatasi mitral akut, terlebih lebih
sering setelah terjadinya infark miokard inferior, dan diobati melalui bedah.

7. Ruptur septum interventrikuler


Ruptur septum interventrikuler biasanya setelah terjadinya infark miokard
akut pada dinding anterior; menyebabkan gagal jantung dan memerlukan terapi
bedah.
23

8. Aneurisma
Komplikasi ini bersifat jangka pendek. Jika segmen miokardium
menunjukkan kontraksi lamban akibat infark miokard, maka disebut hipokinetik.
Jika segmen tidak berkontraksi, disebut akinetik. Jika menonjol keluar selama
sistol, disebut diskinetik. Segmen ini biasanya berbentuk aneurisma dan dapat
menyebabkan pembentuk gumpalan darah dan aritmia ventrikel
(Syamsudin,2011).

2.1.8.2 Jangka Panjang


Akibat jangka panjang dari infark miokard adalah gagal jantung dan
kematian jantung secara tiba-tiba. Penyakit arteri koroner adalah penyebab gagal
jantung kongestif yang paling umum ditemukan di negara barat. Sementara itu,
kematian otot jantung secara tiba-tiba umumnya disebabkan aritmia ventrikel
(Syamsudin,2011).

2.1.9 Penatalaksanaan Infark Miokard Akut


Prinsip utama yang mendasari pengelolaan infark miokard (MI)
didasarkan pada patofisiologi kondisi dan waktu terjadinya cedera miokard
ireversibel. Tujuan mendasar penanganan MI akut meliputi (1) meminimalkan
durasi paparan miokardium terhadap iskemia, (2) cepat membangun reperfusi
yang efektif, (3) mencegah iskemia rekuren dan oklusi balik, (4) mengelola
komplikasi aritmia dan mekanik, dan (5) memodifikasi aterosklerosis yang
mendasari menuju pencegahan sekunder jangka panjang.
Manifestasi klinis dan komplikasi MI bergantung pada luas dan durasi
iskemia dan volume miokardium yang terkena. Hubungan temporal ketat ini
dengan hasil tujuan manajemen awal untuk MI akut dan pentingnya
mengembangkan sistem perawatan yang mencapai tujuan ini. Iskemia miokard
akut dapat terwujud secara klinis sebagai MI elevasi ST (STEMI), sebagai MI
non elevasi (NSTEMI), atau jika tidak ada cedera yang terdeteksi, karena angina
tidak stabil.
24

Gambar 2. 9 Penatalaksanaan IMA

1. Oksigen
Mengobati semua pasien yang dirawat di rumah sakit dengan MI dengan
oksigen paling sedikit 24 sampai 48 jam adalah praktik umum berdasarkan asumsi
empiris hipoksia dan bukti bahwa peningkatan oksigen di udara yang terinspirasi
dapat melindungi miokardium iskemik. Namun, bukti untuk mendukung
penggunaannya pada orang yang tidak mengalami gagal jantung atau hipoksia
kurang. Pada pasien dengan hipoksia (saturasi oksigen di bawah ~94%), hipoksia
dapat dikoreksi dengan pengiriman oksigen menggunakan masker wajah. Namun,
bagi mereka dengan hipoksia lebih mendalam yang terkait dengan gagal jantung,
diperlukan dukungan ventilasi dan sirkulasi. Sebaliknya, dalam sebuah penelitian
kecil yang membandingkan pemberian oksigen dan udara untuk orang dengan
saturasi oksigen lebih dari 94%, tidak ada bukti manfaat dan kecenderungan
terhadap bahaya (ukuran infark 6 bulan) pada mereka yang diberikan oksigen
tambahan (Morrow, 2017).

2. Analgesik
Relief rasa sakit itu penting, tidak hanya untuk meringankan kesusahan,
tapi juga menghindari konsekuensi simulasi simpatik pada jantung, termasuk
25

peningkatan afterload dan aritmogenesis. Analgesia opioid intravena adalah terapi


yang paling umum digunakan dan harus dititrasi dengan hati-hati, dan sering
diberikan dengan antiemetik. Misalnya, morfin sulfat intravena pada dosis 2
sampai 8 mg yang diulang pada interval 5 sampai 15 menit telah
direkomendasikan, sampai rasa sakit berkurang atau efek samping (misalnya,
hipotensi, depresi pernapasan, atau muntah berat) muncul. Pengurangan
kecemasan dengan analgesia yang berhasil mengurangi kegelisahan pasien dan
aktivitas sistem saraf otonom, dengan konsekuensi pengurangan kebutuhan
metabolik jantung. Morfin juga dapat memberikan efek yang menguntungkan
pada pasien dengan edema paru yang disebabkan oleh pelebaran arteri dan vena
perifer, pengurangan kerja pernapasan, dan perlambatan detak jantung sekunder
akibat penarikan nada simpatik dan peningkatan nada vagal. Studi observasional
telah mengidentifikasi hubungan antara pemberian morfin dan hasil buruk pada
pasien dengan ACS; Namun, ini menantang untuk menguraikan pengamatan ini
dari perancu oleh indikasi (Morrow, 2017).

3. Nitrat
Nitrat biasanya diberikan pada MI akut, dan mereka mungkin meredakan
vasospasme dan mengurangi rasa sakit. Berdasarkan kemampuan mereka untuk
meningkatkan aliran darah koroner dengan vasodilatasi koroner dan untuk
mengurangi preload ventrikel dengan meningkatkan kapasitansi vena, nitrat
sublingual telah direkomendasikan untuk pengobatan awal pasien MI. Saat ini,
satu-satunya kelompok pasien dengan STEMI yang sublingual nitrogliserin tidak
boleh diberikan adalah mereka dengan dugaan infark ventrikel kanan atau
hipotensi yang ditandai (misalnya, tekanan sistolik <90 mmHg), terutama jika
disertai dengan bradikardia. Pasien harus diobservasi untuk perbaikan gejala atau
perubahan hemodinamik. Bahkan dosis kecil pun bisa menghasilkan hipotensi dan
bradikardia mendadak, reaksi yang biasanya bisa dibalik dengan atropin
intravena. Persiapan oral nitrat long acting harus dihindari pada waktu awal
STEMI karena status hemodinamik pasien yang sering berubah. Pada pasien
dengan periode lama waxing dan berkurangnya nyeri dada, nitrogliserin intravena
dapat membantu mengendalikan gejala dan iskemia yang benar, namun
memerlukan pemantauan tekanan darah yang sering. Inisiasi strategi reperfusi
26

pada pasien dengan STEMI tidak boleh ditunda saat menilai respons pasien
terhadap nitrat sublingual atau intravena. Meskipun memiliki alasan patobiologis
yang kuat, pemberian nitrat belum terbukti memperbaiki hasil klinis dibandingkan
dengan plasebo pada pasien MI (Morrow, 2017).

4. Fibrinolisis
Administrasi agen fibrinolitik adalah landasan terapi reperfusi sebelum
pengembangan PCI primer, dan masih merupakan terapi penting dalam setting di
mana PCI primer tidak tersedia atau tidak tersedia dengan cepat. Zat fibrinolitik
tertua (streptokinase dan urokinase) masih banyak digunakan di beberapa belahan
dunia karena biayanya. Evolusi terapi fibrinolitik selanjutnya telah bertujuan
untuk meningkatkan kemudahan dan kecepatan pemberian, serta keseimbangan
efikasi fibrinolitik versus perdarahan. Dibandingkan dengan streptokinase,
fibrinolitik generasi selanjutnya, termasuk alteplase, reteplase, dan tenecteplase,
memiliki efek yang diperkuat pada lokasi pembentukan trombus.
Terlepas dari kesamaan mekanisme awal STEMI dan sindrom koroner
akut (ACSs) tanpa elevasi ST, dan peran kunci trombosis keduanya, fibrinolisis
gagal menunjukkan manfaat pada penelitian awal tentang pengobatan angina yang
tidak stabil. Karena penelitian tersebut termasuk pasien dengan risiko rendah,
beberapa ahli telah menganalisa apakah mungkin ada peran untuk administrasi
koroner agen fibrinolitik modern pada NSTEMI berisiko tinggi. Namun demikian,
karena tidak adanya manfaat yang tepat dan peningkatan risiko pendarahan serius
yang jelas, pedoman masyarakat profesional tidak merekomendasikan pemberian
agen fibrinolitik kepada pasien dengan NSTEMI (Aaronson & Jeremy, 2010).

5. Terapi Antiplatelet
Studi eksperimental dan patologis telah menetapkan peran penting
trombosit dalam trombosis koroner, dan uji klinis selanjutnya secara meyakinkan
menunjukkan bahwa terapi antiplatelet efektif dalam mengurangi komplikasi
trombotik rekuren MI. Generasi agregat trombosit di lokasi gangguan plak
memperkuat agregasi trombosit lebih lanjut dan memicu pembentukan trombus.
Trombosit teraktivasi dan mikropartikel platelet merangsang rumpun koagulasi
melalui aktivasi trombin, dan pada gilirannya, trombin adalah aktivator trombosit
27

yang ampuh. Akibatnya, manajemen diarahkan untuk menghambat trombosit aktif


dan penghambatan trombin. Namun, keseimbangan kunci aktivasi platelet dan
antikoagulan parenteral diperlukan; keseimbangan ini harus cukup untuk
menghambat trombosis, namun tidak cukup untuk memicu pendarahan besar.
Tujuan klinis terapi antiplatelet adalah untuk menghambat propagasi trombus,
untuk meminimalkan komplikasi trombotik, termasuk emboliasi distal, oklusi,
atau reoklusi pada lokasi gangguan plak, dan trombosis stent (Aaronson &
Jeremy, 2010).

Studi awal yang sangat penting membuat peran agen antiplatelet di ACS
dengan menunjukkan manfaat aspirin dalam penelitian RISIKO dan beberapa uji
coba berukuran sederhana di antara pasien dengan NSTE-ACS, 22 dan pada
penelitian ISIS-2 yang besar pada pasien dengan STEMI. Bersama-sama, uji coba
NSTEMI mencakup 2448 pasien, jumlah sederhana menurut standar sekarang,
namun menunjukkan sedikit pengurangan risiko kematian atau MI dan terapi
antiplatelet yang ada sebagai bagian penting pengelolaan ACS (Aaronson &
Jeremy, 2010).

6. Terapi Antikoagulan
Antikoagulan diberikan pada pasien MI dengan tujuan untuk menghambat
pembangkitan dan perambatan "trombus merah" di tempat di mana nidus agregasi
trombosit telah memulai pembentukan trombus ("trombus putih" terutama
mengandung agregat trombosit). Meskipun antikoagulan tetap menjadi elemen
inti dalam pengelolaan MI akut, perubahan pada terapi antiplatelet dan
peningkatan perangkat dan teknik intervensi telah menghasilkan evolusi terapi
antikoagulan pada MI akut. Teknik intervensi dini (balon angioplasti dan stent
generasi pertama) sangat trombogenik, dan dosis tinggi antikoagulan parenteral
biasa digunakan, namun ini memiliki komplikasi perdarahan yang signifikan.
Karena teknik telah meningkat, terutama dengan stent generasi terbaru,
instrumentasi, dan terapi antiplatelet ganda yang efektif (aspirin plus ticagrelor
atau prasugrel), diperlukan antikoagulasi yang jauh lebih sedikit, dan komplikasi
perdarahan telah berkurang (misalnya, menggunakan bivalirudin di tempat
heparin plus penghambat glikoprotein IIb / IIIa) (Aaronson & Jeremy, 2010).
28

7. Pemblokir Beta-Adrenergik
Efek beta bloker dalam pengobatan pasien MI dapat dibagi menjadi
penyakit yang segera terjadi (pada awal infark) dan jangka panjang. Pemberian
beta bloker intravena segera mengurangi indeks jantung, denyut jantung, dan
tekanan darah dengan pengurangan bersih konsumsi oksigen miokard.
Beta-bloker bermanfaat pada MI untuk beberapa alasan. Obat ini
mengurangi kebutuhan O2 dengan menurunkan laju denyut jantung dan
mengurangi ketegangan dinding ventrikel dengan menurunkan afterload. Dengan
demikian, obat ini juga mengurangi iskemia rekuren dan ruptur dinding bebas dan
menekan aritmia. Blokade- oral jangka panjang menurunkan mortalitas, MI
rekuren, dan kematian mendadak sekitar 25% (Aaronson & Jeremy, 2010).

8. Agen Trombolitik
Trombolisis merupakan proses pelarutan bekuan darah yang menyumbat
arteri koroner yang mengalami infark. Agen trombolitik menginduksi fibrinolisis,
yaitu fragmentasi benang-benang fibrin yang mengikat bekuan. Hal ini
menyebabkan reperfusi zona infark. Reperfusi membatasi ukuran infark dan
mengurangi resiko komplikasi seperti ekspansi infark, aritmia, dan gagal jantung.
Uji klinis, terutama ISIS-2 (1988), telah memperlihatkan bahwa agen trombolitik
menurunkan mortalitas sekitas 25% pada STEMI, meskipun pasien tanpa elevasi
ST tidak mendapatkan manfaat dari kritikal. Meskipun penurunan mortalitas yang
signifikan terjadi saat agen trombolitik diberikan dalam 12 jam sejak onset,
namun manfaat paling besar terjadi saatterapi diberikan dalam 2 jam.
Dua agen utama untuk trombolisis adalah streptokinase (SK) dan
aktivator plasminogen jaringan (tissue plasminogen activator, tPA). tPA
tampaknya memiliki sedikit manfaat dalam mempertahankan hidup dibandingkan
dengan SK, namun tPA jauh lebih murah sehingga lebih banyak digunakan.
Kedua agen tersebut diberikan melalui infus. tPA sangat cepat dibersihkan dari
plasma, dan reteplase serta tenektelase merupakan agen yang lebih baru yang
telah dibuat dengan memodifikasi struktur tPA untuk memperlambat bersihan
plasma. Oleh sebab itu, kedua agen tersebut dapat diberikan melalui suntikan
bolus, sehingga memudahkan trombolisis prahospital (sebelum penanganan di
rumah sakit).
29

Resiko utama trombolisis adalah perdarahan, terutama perdarahan


intraserebral (stroke), yang terjadi pada ~1% kasus. Kontraindikasi terhadap
terapi trombolitik adalah stroke yang pernah terjadi sebelumnya atau resiko tinggi
perdarahan intraserebral, dan hipertensi yang tidak terkontrol (Aaronson &
Jeremy, 2010).

9. Calcium channel blockers


Penghambat saluran kalsium memiliki tindakan vasodilatasi, antianginal,
dan antihipertensi. Calcium channel blokers tidak mengurangi mortalitas pada
pasien dengan MI dan tidak direkomendasikan untuk terapi rutin atau pencegahan
sekunder. Pada pasien yang antagonis betaadrenergik merupakan kontraindikasi,
verapamil (Isoptin) atau diltiazem (Cardizem) mungkin tepat sebagai alternatif
(Boateng, 2013).

10. ACE Inhibitor


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-
miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal
jantung klinis.
a. ACE Inhibitor diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali
ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan
pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik
(PGK).
b. ACE Inhibitor hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain
seperti di atas.
c. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard
yang intoleran terhadap ACE Inhibitor dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (PERKI, 2015).
ACE Inhibitor mengurangi beban kerja jantung dan menurunkan
remodeling jantung pasca-MI. ACE Inhibitor telah terbukti mengurangi mortalitas
pada pasien MI, terutama mereka dengan infark anterior, kongesti paru, atau
fraksi ejeksi kurang dari 40%. ACE Inhibitor harus diberikan secara oral dalam 24
jam gejala. [mis., lisinopril (Prinivil) 5 mg setiap hari]. dosis awal 6,25 mg
30

kaptopril (Capoten) diberikan dan, jika ditoleransi, diikuti oleh 12,5 mg 2 jam
kemudian, 25 mg 10–12 jam kemudian, dan kemudian 50 mg dua kali per hari.
Kontraindikasi termasuk hipotensi, gagal ginjal (kreatinin 42,5), dan stenosis
arteri ginjal bilateral (Boateng, 2013).
Tabel II. 1 Jenis dan dosis ACE Inhibitor untuk IMA

ACE Inhibitor Dosis


Kaptopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

2.2 Tinjauan ACE Inhibitor


2.2.1 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRRA)
Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRRA) berperan dalam
pengaturan tekanan darah dan volume cairan tubuh. Sistem ini tidak terlalu aktif
pada individu dengan volume darah dan kadar natrium normal, tapi sangat penting
bila ada penurunan tekanan darah atau deplesi cairan atau garam. Reaksi pertama
tubuh terhadap penurunan volume darah adalah peningkatan sekresi renin dari sel
jukstaglomeruler di arteriol aferen ginjal.
Renin adalah enzim proteolitik yang disintesis oleh sel-sel
jukstaglomeruler di ginjal dan merupakan penentu (rate limiting step) aktivitas
SRAA. Sekresinya meningkat bila terjadi penurunan aliran darah ginjal (misalnya
akibat penurunan TD, stenosis arteri renalis, gagal jantung, perdarahan dan
dehidrasi), hiponatremia (akibat diet rendah garam) dan rangsangan adrenergik
melalui reseptor 1.
Angiotensinogen adalah suatu globulin yang disintesis dalam hati dan
beredar dalam darah. Renin berfungsi mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I (AngI) yang merupakan hormon yang belum aktif. Selanjutnya
AngI akan diubah oleh angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi
angiotensin II (AngII) yang memliki efek vasokonstriksi yang sangat kuat dan
merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
31

Gambar 2. 10 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron


ACE disintesis dalam sel-sel endotel seluruh sistem vaskuler terutama
dalam sistem kapiler paru-paru dan ginjal. Di samping mengubah AngI mrnjadi
AngII, ACE juga berperan dalam degradasi bridikinin menjadi kinin non aktif.
Bradikinin merupakan vasodilator yang poten yang berkerja dengan
meningkatkan sintesis EDRF (endothelium derived relaxing factor) dan
prostasiklin (PGI2) di sel-sel endotel vaskuler (Sulistia et al., 2012).

2.2.1.1 Mekanisme kerja Angiotensin II


Angiotensin II adalah suatu oktapeptida yang merupakan komponon aktif
dalam SRAA dan bekerja pada sistem kardiovaskular dan neuro-endokrin.
Dikenal dua jenis reseptor angiotensin II, yaitu reseptor AT1 dan AT2, tapi yang
paling berperan dalam efek fisiologis AngII adalah reseptor AT1. Ikatan AngII
pada reseptor AT1 akan mengaktifkan fosfolipase C (PLC). PLC selanjutnya
mengubah difosfat (IP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasil gliserol
(DAG). IP3 menyebabkan mobilisasi kalsium dan retikulum sarkospasma ke
32

sitoplasma sehingga terjadi peningkatan kalsium di sitoplasma. Hal ini


menyebabkan depolarisasi membran sel dan terbukanya kanal kalsium.
Selanjutnya terjadi influks masif kalsium ke dalam sel dan menyebabkan
kontraksi sel otot polos vaskular (vasokonstriksi) efek ini merupakan mekanisme
utama peningkatan tekanan darah oleh sistem renin angiotensin.
Pada sistem kardiovaskular, AngII menyebabkan vasokonstriksi arteriol
dan venula (efek pada arteriol lebih kuat) dan meningkatkan kekuatan kontraksi
miokard. Pada sistem neuro-endokrin terjadi stimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal yang menyebabkan retensi air dan natrium serta ekskresi kalium
di ginjal. Selain itu di tingkat SSP, AngII menyebabkan stimulasi rasa haus dan
penngkatan sekresi ADH (vasopresin), sehingga mempertinggi volume cairan
dalam sirkulasi dan memperkuat efek vasokonstriksi. AngII juga meningkatkan
sekresi katekolamin dari ujung saraf simpatis dan menambah efek vaaokontriksi
dan stimulasi jantung. Semua ini akan berakibat peningkatan tekanan darah.
Dalam jangka panjang AngII merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh
darah dan miokard dan memfasilitasi proses aterosklerosis. AngII sendiri
menyebabkan reaksi umpan balik negatif di ginjal yang mengurangi sekresi renin
(Sulistia et al., 2012).

2.2.2 ACE Inhibitor


ACE Inhibitor (ACEI) digunakan oleh puluhan juta orang Amerika untuk
mengobati tekanan darah tinggi dan gagal jantung, untuk mencegah serangan
jantung berulang, untuk membalikkan penebalan jantung akibat tekanan darah
tinggi, dan untuk mencegah penurunan fungsi ginjal. pada orang dengan tekanan
darah tinggi dan / atau diabetes (Consumers Union, 2011).
ACEI efektif, obat-obatan yang menyelamatkan jiwa dengan penggunaan
aman selama lebih dari 20 tahun. Mereka membantu menurunkan risiko serangan
jantung dan stroke fatal dan non-fatal, dan gagal ginjal. Mereka meningkatkan
kualitas hidup. Laporan ini membandingkan efektivitas, keamanan, dan biaya dari
ACEI. Kami telah memilih lima ACEI berikut sebagai Consumer Reports Health
Best Buy Drugs berdasarkan pada bukti efektifitasnya, namun juga pada
kenyamanan dan biaya pemberian dosis dalam merawat kondisi berikut:
1. Untuk tekanan darah tinggi: benazepril, enalapril, dan lisinopril
33

2. Untuk gagal jantung: kaptopril, dan enalapril


3. Setelah serangan jantung: lisinopril
4. Bagi penderita diabetes: ramipril
5. Bagi penderita penyakit ginjal: benazepril, dan ramipril
Semua obat ini adalah obat generik berbiaya murah atau cukup mahal.
Semua telah terbukti sama efektifnya atau lebih unggul dari ACEI lainnya dalam
merawat populasi umum. Studi telah terbukti ramipril sangat efektif dalam
mengobati orang-orang yang memiliki diabetes dan faktor risiko disfungsi jantung
lainnya, dan dalam pencegahan penurunan fungsi ginjal pada penderita diabetes
(Consumers Union, 2011).
Secara umum ACE Inhibitor dibedakan atas dua kelompok: 1) yang
bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril ; 2) prodrug, contohnya
enalapril,kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazeprilat, fosinoprilat dan
lain-lain (Sulistia et al., 2012). Enalapril, benazepril, fosinopril, moeksipril,
perindopril, kuinapril, ramipril, dan trandolapril adalah anggota kelompok yang
bekerja lama. Semuanya adalah prodrug dan diubah menjadi obat aktif oleh
hidrolisis terutama di hati (Katzung et al., 2012). Sebagian besar ACEI
(misalnya enalapril, ramipril, kelas II) diberikan secara oral sebagai pro-obat
inaktif, yang bersifat lipofilik dan diproses dalam hati untuk menghasilkan suatu
metabolit aktif. Kaptopril (kelas I), ACEI pertama, merupakan bentuk aktif,
namun juga diproses oleh hati untuk menghasilkan metabolit aktif. Lisinopril
(Kelas III) bersifat aktif, larut air dan dieskresikan oleh ginjal dan bukan
dimetabolisme dalam hati (Aaronson & Jeremy, 2010).
ACE Inhibitor menghambat perubahan AngI menjadi AngII sehingga
terjadivasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi
bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan
berperan dalam efek vasodilatasi ACE Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung
akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium (Sulistia et al., 2012).
Pada gagal jantung kongestif efek ini akan sangat mengurangi beban
jantung dan akan memperbaiki keadaan pasien. Walaupun kadar AngI dan renin
meningkat, namun pemberian ACE Inhibitor jangka panjang tidak menimbulkan
34

toleransi dan penghentian obat ini biasanya tidak menimbulkan hipertensi


rebound. Selain itu, ACE Inhibitor menurunkan retensi perifer tanpa diikuti
refleks takikardia. Besarnya penurunan tekanan darah pada pemberian akut
sebanding dengan tingginya kadar renin plasma. Namun obat ini tidak hanya
efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang tinggi, tapi juga hipertensidengan
renin normal maupun rendah. Hal ini karena ACE Inhibitor menghambat
degradasi bradikinin yang mempunyai efek vasodilatasi. Selain itu, ACE Inhibitor
juga diduga berperan menghambat pembentukan AngII secara lokal di endotel
pembuluh darah. Pemberian diuretik dan pembatasan asupan garam akan
memperkuat efek antihipertensinya (Sulistia et al., 2012).
Efek utama senyawa-senyawa ini pada sistem renin-angiotensin adalah
menghambat konversi AngI menjadi AngII yang aktif (atau konversi [des-Asp1]
AngI menjadi AngIII). Jadi, ACE Inhibitor melemahkan atau menghilangkan
respon terhadap AngI, tetapi tidak terhadap AngII. Senyawa-senyawa ini tidak
berinteraksi secara langsung dengan komponen-komponen lain dalam sistem
renin-angiotensin; semua efek farmakologis dan klinis terutama tampaknya
muncul dari suppresive sintesis AngII. Namun, ACE Inhibitor merupakan suatu
enzim yang memiliki banyak substrat. ACE Inhibitor dapat memicu efek-efek
yang tidak berkaitan dengan penurunan kadar AngII. Karena ACE Inhibitor
meningkatakan kadar bradikinin dan bradikinin menstimulasi biosintesis
prostaglandin, bradikinin dan/atau prostaglandin dapat berperan pada efek
farmakologi ACE Inhibitor. Selain itu, ACE Inhibitor memengaruhi umpan balik
negatif, baik lengkung pendek maupun lengkung panjang, pada pelepasan renin.
Akibatnya, ACE Inhibitor meningkatkan pelepasan renin dan laju pembentukan
AngI. Karena metabolisme AngI menjadi AngII diblok oleh ACE Inhibitor, AngI
diarahkan turun ke rute metabolik alternatif sehingga meningkatkan produksi
berbagai peptida, seperti Ang (1-7). Apakah peptida yang aktif secara biologi
seperti angiotensin (1-7) berperan pada efek farmakologi ACE Inhibitor belum
diketahui (Goodman & Gilman‟s, 2014).
Pada manusia yang sehat dan memiliki Na+ penuh, dosis oral tunggal
suatu ACE Inhibitor memiliki efek yang kecil pada tekanan darah. Namun, dosis
berulang selama beberapa hari menyebabkan sedikit penurunan tekanan darah.
35

Sebaliknya, bahkan satu tunggal ACE Inhibitor akan sangat menurunkan tekanan
darah orang normal jika orang itu telah mengalami deplesi Na+ (Goodman &
Gilman‟s, 2014).
ACE Inhibitor menurunkan mortalitas secara keseluruhan jika pengobatan
dimulai selama periode disekitar infark. Efek menguntungkan ACE Inhibitor pada
infark miokardium akut sangat besar pada pasien hipertensi dan diabetes. Kecuali
dikontraindikasikan (misalnya, syok kardiogenik atau hipotensi parah), ACE
Inhibitor sebaiknya segera diberikan selama fase akut miokardium dan dapat
digunakan bersama dengan trombolitik, aspirin, dan antagonis reseptor β-
adrenergik. Setelah beberapa minggu terapi ACE Inhibitor harus dievaluasi ulang.
Pada pasien beresiko tinggi ( misalnya, infark besar, disfungsi ventrikel sistolik),
inhibisi ace sebaiknya dilanjutkan untuk jangka panjang (Goodman & Gilman‟s,
2014).
ACE Inhibitor menurunkan angka kematian setelah infark miokard.
Manfaat ini merupakan tambahan terhadap manfaat yang diperoleh dengan aspirin
dan penyekat β. Manfaat maksimum terlihat pada pasien beresiko tinggi seperti
pasien lansia atau mengalami infark anterior, riwayat infark, dan fungsi ventrikel
kiri yang secara keseluruhan terganggu. Namun bukti yang ada menunjukkan
bahwa manfaat jangka pendek diperoleh ketika ACE Inhibitor diresepkan secara
tidak selektif kepada seluruh pasien infark miokard yang stabil secara
hemodinamik (yaitu, pasien dengan tekanan darah sistolik > 100mmHg).
Mekanisme ini melibatkan reduksi perubahan bentuk ventrikel setelah infark
disertai reduksi resiko gagal jantung kongestive. Tingkat infark berulang mungkin
rendah pada pasien yang diobati dalam jangka panjang dengan ACE Inhibitor
setelah infark (Syamsudin,2011).
ACE Inhibitor mesti diresepkan dalam waktu 24jam kepada seluruh pasien
infark miokard dan gagal jantung kongestive serta pasien yang mengalami elevasi
segmen ST atau blokade cabang kiri namun stabil dari segi hemodinamika. Tidak
banyak bukti yang mendukung penggunaan ACE Inhibitor pada pasien infark
miokard yang tidak menunjukkan perubahan segmen ST atau hanya menunjukkan
depresi segmen ST tanpa gagal jantung kongestive. Sebelum keluar dari rumah
sakit, fungsi ventrikel kiri mesti dinilai dengan studi pencitraan. ACE Inhibitor
36

mesti dihentikan pada pasien yang mengalami gagal jantung kongestive nyata dan
pada pasien yang studi pencitraannya menunjukkan penurunan fungsi ventrikel
kiri secara global atau kelainan gerak dinding ventrikel atau pasien yang
hipersensitif (Syamsudin, 2011).

2.2.2.1 Farmakologis Klinis


Berdasarkan struktur, ACE Inhibitor dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok : (1) ACE Inhibitor yang mengandung sulfhidril, seperti pada
kaptopril; (2) ACE Inhibitor yang mengandung dikarboksil, seperti pada enalapril
(misalnya, lisinopril, benazepril, kuinapril, moeksipril, ramipril, trandolapril, dan
perindopril); dan (3) ACE Inhibitor yang mengandung fosfor, seperti pada
lisinopril. Banyak ACE Inhibitor merupakan prodrug yang mengandung ester
yang 100-1000 kali kurang poten dari pada molekul aktif, tetapi memiliki
bioavailabilitas oral yang jauh lebih baik dari pada molekul aktif tersebut.

Tabel II. 2 Struktur kimia obat-obatan ACE Inhibitor

Obat Struktur kimia Obat Struktur kimia

Kaptopril Enalapril

Benazepri Lisinopril
l
37

Fosinopril Perindopril

Quinapril Ramipril

Trandola- Imidapril
pril

Moeksi
pril
38

Pada saat ini, tersedia 11 ACE Inhibitor untuk penggunaan klinis di


Amerika Serikat. Secara umum, perbedaan berbagai ACE Inhibitor terletak pada 3
sifat : (1) potensi, (2) apakah inhibisi ace terutama disebabkan oleh efek obat itu
sendiri atau efek suatu metabolit aktif, dan (3) farmakokinetika (yakni besar
absorpsi, efek makanan pada absorpsi, t½ plasma, distribusi jaringan, dan
mekanisme eliminasi).
Semua ACE Inhibitor memblok konversi AngI menjadi AngII secara
efektif dan semua memiliki indikasi terapeutik, profil efek merugikan dan
kontraindikasi yang sama. Inhibitor-ACE Inhibitor terutama berbeda dalam hal
distribusi jaringan. Perbedaan ini dapat dimanfaatkan untuk menghambat
beberapa sistem renin-angiotensin lokal, sementara beberapa sistem yang lain
dibiarkan relatif utuh. Keuntungan terapeutik yang mungkin diperoleh masih
diteliti.

2.2.2.2 Mekanisme Kerja

Gambar 2. 11 Mekanisme Kerja ACE Inhibitor


ACE Inhibitor memblokade fungsi sistem RAA, maka mensupresi
berbagai efek vasokontriksi angiotensin II dalam susunan pembuluh darah,
39

sehingga mengurangi resistensi perifer total dan tekanan darah. ACE Inhibitor
menyebabkan natriuresis dan diuresis yang membantu efek penurunan tekanan
darahnya dan juga membantu untuk mengembalikan edema pulmonal dan
sistemik dan remodeling jantung yang berperan pada gejala dan progresivitas
gagal jantung kronik. ACE Inhibitor memiliki efek tambahan yaitu mencegah
perombakan peptida bradikinin, yang disintesis dalam plasma oleh ACE dan
menyebabkan vasodilatasi dengan melepaskan oksida nitrat, prostasiklin, dan
EDHF dari endotel. Peningkatan bradikinin dapat membantu kemampuan ACEI
untuk menurunkan tekanan darah dan kemungkinan untuk mencegah remodeling
jantung (Aaronson & Jeremy, 2010).
ACE Inhibitor menekan produksi AngII dan aldosteron, menurunkan
aktivitas sistem saraf simpatik, dan mempotensiasi efek diuretik pada gagal
jantung. Akan tetapi, kadar AngII sering kali kembali ke nilai asal setelah terapi
ACE Inhibitor kronis, yang sebagian disebabkan produksi AngII melalui enzim-
enzim yang tidak bergantung pada ACE, seperti kinase, suatu protease jaringan.
Efektivitas klinis ACE Inhibitor yang terus bertahan meskipun lepasnya AngII
menunjukkan adanya mekanisme lain yang berperan pada efek klinis ACE
Inhibitor pada gagal jantung. ACE juga mendegradasi bradikinin dan kinin-kinin
lain yang menstimulasi produksi NO, GMP siklik, dan eikosanoid vasoaktif. Zat-
zat vasodilator ini terlihat melawan efek AngII pada pertumbuhan otot vaskular
dan fibroblas jantung dan pada produksi matriks ekstravaskuler. Jadi, kadar
bradikinin meningkat akibat penghambatan ACE dapat berperan dalam efek anti-
perubahan bentuk dan hemodinamik ACE Inhibitor.
ACE Inhibitor merupakan dilator arteri yang lebih kuat dibandingkan
vena. Sebagai respon terhadap penghambatan ACE, tekanan arteri rata-rata (mean
arterial pressure, MAP) dapat berkurang atau atau tidak berubah; perubahan
MAP dapat terlihat dari respons volume sekuncup terhadap penurunan afterload.
Denyut jantung biasanya tidak berubah, bahkan saat terdapat penurunan dalam
tekanan arteri sistemik, suatu respons yang kemungkinan menggambarkan
penurunan tonus simpatik sebagai respons terhadap penhambatan ACE.
Penurunan afterload ventrikel kiri menyebabkan volume sekuncup dan curah
40

jantung meningkat. Venodilatasi menyebabkan penurunan tekanan pengisian


jantung kanan dan kiri dan volume diastolik akhir (Goodman & Gilman‟s, 2014).
Tabel II. 3 Beberapa Sediaan Obat ACE Inhibitor dan Farmakokinetiknya
Sediaan Prodrug Metabolit Metabolisme Eliminasi
aktif di hati

Kaptopril Tidak - + Ginjal

Lisinopril Tidak - - Ginjal

Perindopril Ya Perindoprilat + Ginjal

Enalapril Ya Enalaprilat + Ginjal

Ramipril Ya Ramiprilat + Ginjal

Quinapril Ya Quinaprilat + Ginjal

Silazapril Ya Silazaprilat + Ginjal

Benazepril Ya Benazeprilat + Ginjal

Fosinopril Ya Fosinoprilat + Ginjal

2.2.2.3 Obat-obatan ACE Inhibitor

Tabel II. 4 Obat ACE Inhibitor


Obat Dosis Nama Frekuensi Sediaan
(mg/hari) Generik/ pemberian
Dagang

Kaptopril 25-100 Capoten 2-3 x Tab 12,5, 25,50, 100


mg

Benazepril 10-40 Lotensin 1-2 x Tab 5,10, 20, 40 mg

Enalapril 2,5-40 Vasotec 1-2 x Oral : Tab 2,5, 5, 10,


20 mg

Parenteral
41

(Enalaprilat) : 1,25
mg/mL untuk injeksi

Fosinopril 10-40 Monopril 1x Tab 10, 20, 40 mg

Lisinopril 10-40 Prinivil, 1x Tab 2,5, 5, 10, 20,


Zestril 40 mg

Perindopril 4-8 Aceon 1-2 x Tab 2, 4, 8 mg

Quinapril 10-40 Accupril 1x Tab 5, 10, 20, 40 mg

Ramipril 2,5-20 Altace 1x Kapsul 1,25, 2,5, 5,


10 mg

Trandolapril 1-4 Mavik 1x Tab 1, 2, 4 mg

Imidapril 2,5-10 1x Tab 5 dan 10 mg

Moeksipril Univasc Tab 7,5, 15 mg

1. Kaptopril (CAPOTEN)
Kaptopril merupakan ACE Inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak
digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung (Sulistia,
2012). Kaptopril merupakan ACE Inhibitor yang poten dalam kurung (Ki ~ 1,7
nM). Kaptopril yang diberikan secara oral diabsorbsi dengan cepat dan memiliki
bioavailabilitas ~ 75%. Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 1 jam.
Obat dibersihkan dengan t½ ~ 2jam. Sebagian besar obat dieliminasi dalam urin,
40-50% sebagai kaptopril dan sisanya sebgai dimer kaptopril disulfida dan
kaptopril-sistein disulfida. Dosis oral kaptopril berkisar dari 6,25 sampai 150mg
dua hingga tiga kali sehari, yaitu 6,25 mg 3 kali sehari sesuai untuk terapi awal
gagal jantung atau 25mg dua kali sehari untuk terapi awal hipertensi. Sebagian
besar pasien tidak boleh menerima dosis lebih dari 150mg dalam satu hari. Karena
makanan mengurangi 25-30% bioavailabilitas oral kaptopril, obat harus diberikan
1 jam sebelum makan.

2. Enalapril (VASOTEC)
42

Enalapril adalah suatu prodrug oral yang diubah oleh hidrolisis menjadi
suatu ACE Inhibitor, enalaprilat yang berefek serupa dengan efek kaptopril.
Enalaprilat itu sendiri tersedia hanya untuk pemakaian intravena terutama untuk
kedaruratan hipertensif (Katzung, et al., 2012).Enalapril maleat adalah prodrug
yang dihidrolisis oleh esterase di hati menghasilkan asam dikarboksilat aktif, yaitu
enalaprilat. Enalaprilat adalah ACE Inhibitor yang sangat poten dan memilikiKi ~
0,2 nM. Meskipun juga mengandung “pengganti prolin”, enalaprilat berbeda dari
kaptopril, yaitu enalaprilat adalah suatu analaog tripeptida dan bukan dipeptida.
Enalapril cepat diabsorpsi bila diberikan secara oral dan memiliki bioavailabilitas
oral sekitar 60% (tidak dikurangi oleh makanan). Meski pun enalapril mencapai
konsentrasi plasma puncak dalam waktu 1 jam, konsentrasi puncak enalaprilat
baru tercapai setelah 3-4 jam. Enalapril memiliki t½ 1,3 jam; enalaprilat memiliki
t½ plasma ~11 jam karena terikat kuat pada ace. Hampir keseluruhan enalapril
dieliminasi oleh ginjal, baik berupa enalapril utuh atau enalaprilat. Dosis oral
enalapril berkisar dari 2,5 sampai 40 mg per hari (dosis tunggal atau dosis
terbagi), yaitu 2,5 mg per hari sesuai untuk terapi awal gagal jantung dan 5 mg per
hari untuk terapi awal hipertensi. Dosis awal untuk pasien hipertensi yang
menggunakan diuretik, pasien yang mengalami deplesi air atau Na+, atau pasien
yang menderita gagal jantung adalah 2,5 mg per hari.

3. Enalaprilat (VASOTEC INJECTION)


Enalaprilat tidak diabsorpsi secara oral, tetapi tersedia untuk pemberian
intravena bila tidak dapat dilakukan terapi oral. Untuk pasien hipertensi, diberikan
dosis sebesar 0,625-1.25 mg secara intravena selama 5 menit. Dosis dapat diulang
setiap 6 jam.

4. Lisinopril (PRINIVIL, ZESTRIL)


Lisinopril adalah analog lisin enalaprilat. Tidak seperti enalapril, lisinopril
bersifat aktif. Lisinopril sedikit lebih poten daripada enalaprilat. Pada pemberian
oral, lisinopril diabsorpsi secara perlahan, beragam, dan tidak sempurna (sekitar
30%). Bioavailabilitas tidak berkurang oleh makanan. Konsentrasi plasma puncak
dicapai sampai dalam ~7 jam. Obat ini dibersihkan sebagai senyawa utuh oleh
ginjal dan t½ dalam plasma sekitar 12 jam. Dosis oral lisinopril berkisar dari 5
43

sampai 40 mg per hari (dosis tunggal atau terbagi), yaitu 5 mg per hari sesuai
untuk terapi awal gagal jantung dan 10 mg per hari untuk terapi awal hipertensi.
Dosis harian sebesar 2,5 mg direkomendasikan untuk pasian gagal jantng yang
mengalami deplesi Na+ atau mengalami kerusakan ginjal.

5. Benazepril (LOTENSIN)
Pemutusan bagian ester oleh enzim esterase hati mengubah benazepril
(suatu prodrug) menjadi benazeprilat (suatu ACE Inhibitor yang lebih poten
daripada kaptopril, enalaprilat, atau lisinopril). Benazepril cepat diabsorpsi, tetapi
tidak sempurna menjadi benazeprilat dan konjugat glukuronida dari benazepril
dan benazeprilat, yang dieskresikan dalam urine dan empedu. Konsentrasi puncak
benazepril dalam plasma dicapai dalam waktu sekitar 0,5-1 jam, sedangkan
benazeprilat mencapai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam. Benazeprilat memiliki
t½ efektiv dalam plasma sekitar 10-11 jam. Benazeprilat tidak berakumulasi
dalam jaringan, kecuali di dalam paru-paru. Dosis oral benazepril berkisar dari 5-
80 mg per hari (dosis tunggal atau terbagi).

6. Fosinopril (MONOPRIL)
Fosinopril mengandung gugus fosfinat yang terikat pada daerah aktif ace.
Pemutusan bagian ester oleh enzim esterase hati mengubah fosinopril (suatu
prodrug) menjadi fosinoprilat (suatu ACE Inhibitor yang lebih poten daripada
kaptopril, tetapi kurang poten dibandingkan enalaprilat). Fosinopril diabsorpsi
secara perlahan dan tidak sempurna (36%) bila diberikan secara oral. Kecepatan
absorpsi diturunkan oleh makanan, tetapi besar absorpsi tidak. Fosinopril
dimetabolisme dalam jumlah besar menjadi fosinoprilat (75%) dan menjadi
fosinoprilat glukuronida. Senyawa-senyawa ini diekskresikan dalam urin dan
empedu. Konsentrasi puncak fosinoprilat dalam plasma dicapai dalam waktu
sekitar 3 jam. Fosinoprilat memiliki t½ efektif dalam plasma sekitar 12 jam.
Bersihan fosinoprilat tidak terlalu dipengaruhi oleh kerusakan ginjal. Dosis oral
fosinopril berkisar dari 10-80 mg per hari (dosis tunggal atau terbagi). Dosis
dikurangi sampai 5 mg per hari untuk pasien yang mengalami Na+ atau deplesi air
atau gagal ginjal.

7. Trandolapril (MAVIK)
44

Sekitar 10% dosis oral transdolapril tersedia secara hayati sebagai


transdolapril dan 70% sebagai trandolaprilat. Kecepatan absorpsi berkurang bila
ada makanan, tetapi besar absorpsi tidak. Sebagai ACE Inhibitor, trandolaprilat
sekitar 8 kali lebih poten daripada trandolapril. Trandolapril dimetabolisme
menjadi trandolaprilat dan metabolit yang tidak aktif (sebgaian besar berupa
trandolapril glukuronida dan produk-produk de-esterifikasi); senyawa-senyawa ini
ditemukan di dalam urin (33%, sebagian besar berupa trandolaprilat) dan feses
(66%). Konsentrasi puncak trandolaprilat dalam plasma dicapai dalam waktu 4-10
jam. Trandolaprilat menunjukkan kinetika eliminasi dua fase dengan t½ awal ~10
jam (komponen utama eliminasi), diikuti dengan t½ yang lebih panjang karena
trandolaprilat dilepaskan dengan lambat dari ace jaringan. Bersihan plasma
trandolaprilat menurun pada kondisi insufisiensi ginjal mau pun hati. Dosis oral
berkisar dari 1-8 mg per hari (dosis tunggal atau terbagi). Dosis awal untuk
pasien yang menggunakan diuretik atau pasien yang menderita kerusakan ginjal
adalah 0,5 mg.

8. Kuinapril (ACCUPRIL)
Pemutusan bagian ester oleh enzim esterase hati mengubah kuinapril
(suatu prodrug) menjadi kuinaprilat (suatu ACE Inhibitor yang kira-kira sama
poten dengan benazeprilat). Kuinapril cepat diabsorpsi. Konsentrasi puncak
dicapai dalam 1 jam, tetapi waktu puncak dapat tertunda bila terdapat makanan.
Kecepatan absorpsi oral kemungkinan berkurang oleh makanan, tetai besar
absorpsi (60%) tidak berkurang. Kuinapril dimetabolisme menjadi kuinaprilat
dan beberapa metabolit minor lain. Kuinaprilat diekskresikan dalam urin (61%)
dan feses (37%). Konsentrasi puncak kuinaprilat dalam plasma dicapai dalam
waktu sekitar 2 jam. Konversi kuinapril menjadi kuinaprilat menurun pada pasien
yang menderita penurunan fungsi hati. t½ awal kuinaprilat sekitar 2 jam. t½ akhir
yang diperpanjang (~25 jam) kemungkinan disebabkan obat berikatan dengan
afinitas tinggi dengan ace jaringan. Dosis oral kuinapril adalah 5-80 mg per hari
(dosis tunggal atau terbagi).

9. Ramipril (ALTACE)
45

Pemutusan bagian ester oleh enzim esterase hati mengubah ramipril


menjadi ramiprilat, suatu ACE Inhibitor yang kira-kira sama poten dengan
benazeprilat dan kuinaprilat. Ramipril cepat diabsorpsi (konsentrasi puncak
ramipril tercapai dalam 1 jam). Kecepatan absorpsi oral berkurang oleh makanan,
tetapi besar absorpsi (50-60%) tidak berkurang. Ramipril dimetabolisme menjadi
ramiprilat dan metabolit yang tidak aktif (ramipril glukuronida, ramiprilat
glukuronida, serta asam dan ester diketopiperazin) yang terutama diekskresikan
oleh ginjal. Konsentrasi puncak ramiprilat dalam plasma dicapai dalam waktu
sekitar 3 jam. Ramiprilat menunjukkan kinetika eliminasi trifase dengan t½ 2-4
jam, 9-18 jam dan > 50 jam. Eliminasi trifase ini disebakan oleh distribusi
ekstensif di seluruh jaringan (t½ awal), bersihan ramiprilat bebas dari plasma (t½
tengah) dan pelepasan ramiprilat dari ace jaringan (t½ akhir). Dosis oral ramipril
adalah 1,25-20 mg per hari (dosis tunggal atau terbagi).

10. Moeksipril (UNIVASC)


Moeksipril adalah suatu prodrug. Aktivitas antihipertensi moeksipril
hampir secara keseluruhan dihasilkan oleh metabolit hasil deesterifikasi, yaitu
moeksiprilat. Absropsi moeksipril tidak sempurna, bioavailabilitas sebagai
moeksiprilat ~ 13%. Bioavailabilitas sangat berkurang oleh adanya makanan.
Oleh sebab itu, obat ini harus digunakan 1 jam sebelum makan. Konsentrasi
plasma puncak moeksiprilat dicapai dalam waktu hampir 1,5 jam dan t½ eliminasi
senyawa ini bervariasi (2-12 jam). Dosis yang direkomendasikan berkisar 7,5-
30mg per hari dalam satu atau dua dosis terbagi. Pasien yang menggunakan
diuretik atau pasien yang mengalami kerusakan ginjal diberikan setengah rentang
dosis tersebut.

11. Perindopril (ACEON)


Perindopril erbumin adalah suatu prodrug. Seanyak 30%-50% perindopril
yang terdapat di sistemik diubah menjadi perindoprilat oleh enzim esterase hati.
Bioavailabilitas oral perindopril adalah 75%. Bioavailabilitas tidak dipengaruhi
oleh makanan. Perindopril dimetabolisme menjadi perindoprilat dan metabolit
yang tidak aktif (perindopril glukuronida, perindoprilat glukuronida, perindopril
dehidrat, dan diastereomer perindoprilar dehidrat) yang terutama diekskresikan
46

oleh ginjal. Konsentrasi puncak perindoprilat dalam plasma dicapai dalam 3-7jam.
Perindoprilat menunjukkan kinetika eliminasi 2 fase dengan t½ 3-10jam
(komponen utama eliminasi) dan 30-120 jam (karena perindoprilat dilepaskan
dengan lambat dari ace jaringan). Dosis oral 2-16mg per hari (dosis tunggal atau
terbagi) (Goodman & Gilman‟s, 2014).

2.2.2.4 Karakteristik
1. Kaptopril (Capoten)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak tercapai dalam 1
jam. Kehadiran makanan mengurangi penyerapan oleh 30-40%.
(2) Pada orang dewasa, paruh waktu efektif <3 jam (penentuan waktu
paruh yang akurat tidak mungkin).
(3) Dalam periode 24-jam, 95% dari dosis yang diamati dihilangkan
dalam urin.
(4) Pengurangan BP maksimum pada 60-90 menit setelah pemberian
oral, durasi efek terkait dosis.
(5) Pengurangan BP bisa progresif.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi.
(2) Pengobatan gagal jantung kongestif.
(3) Untuk meningkatkan kelangsungan hidup setelah MI pada pasien
yang stabil secara klinis.
c. Dosis : Sebaiknya diminum 1 jam sebelum makan, dosis harus individual.
Dosis awal adalah 25 mg dua kali per hari atau tiga kali per hari. Dosis
dapat ditingkatkan menjadi 50 mg dua kali per hari atau tiga kali per hari.
Kisaran dosis yang biasa adalah 25-150 mg dua kali per hari atau tiga kali
per hari.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
47

(2) Pasien dengan gangguan ginjal: dosis harian awal harus dikurangi,
peningkatan yang lebih kecil harus digunakan untuk titrasi, dan dosis
efektif minimal harus dihitung.

2. Benazepril (Lotensin)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak tercapai dalam
0,5-1 jam.
(2) Umur paruh efektif pada orang dewasa setelah pemberian dosis
ganda 10-12 jam.
(3) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi : Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau
dikombinasikan dengan diuretik tiazid.
c. Dosis : Dosis awal untuk orang dewasa yang tidak menerima diuretik
adalah 10 mg sekali sehari. Rentang perawatan biasa adalah 20-40 mg per
hari dalam satu atau dua dosis yang sama.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pada pasien dengan insufisiensi ginjal (tingkat pembersihan
kreatinin ≤30 mL / min / 1,73 m²) dan peningkatan paruh waktu
awal, waktu untuk kondisi tunak dapat tertunda.
(3) Dosis awal yang direkomendasikan pada pasien tersebut adalah 5 mg
sekali sehari. Dosis dapat dititrasi ke atas sampai tekanan darah
terkontrol atau dosis harian maksimum maksimum 40 mg.

3. Enalapril (Vasotec)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi serum puncak terjadi dalam 1
jam.
(2) Terutama ginjal, 94% dosis ditemukan dalam urin dan feses.
48

(3) Umur paruh efektif setelah beberapa dosis adalah 11 jam.


(4) Dengan GFR ≤ 30 mL / menit, waktu hingga konsentrasi puncak dan
steady state tertunda.
b. Indikasi : Pengobatan hipertensi.
c. Dosis : 10-40 mg per hari dalam satu atau dua dosis terbagi. Dosis harian
tidak boleh melebihi 50 mg. Pengurangan dosis dan / atau penghentian
mungkin diperlukan untuk beberapa pasien yang mengembangkan
peningkatan urea darah dan kreatinin serum.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang. Enalapril telah terdeteksi dalam ASI
manusia.
(2) Pemilihan dosis untuk pasien lanjut usia harus hati-hati, biasanya
dimulai pada rentang dosis rendah.

4. Fosinopril (Monopril)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi puncak dicapai dalam 3 jam.
(2) Terminal eliminasi paruh adalah 12 jam.
(3) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dengan diuretik
tiazid.
(2) Untuk gagal jantung sebagai terapi tambahan ketika ditambahkan ke
terapi konvensional, termasuk diuretik dengan atau tanpa digitalis.
c. Dosis : Dosis awal adalah 10 mg sekali sehari, baik sebagai monoterapi
dan ketika obat ditambahkan ke diuretik.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
49

(2) Pada anak-anak, dosis antara 0,1 dan 0,6 mg / kg. Untuk anak-anak
dengan berat lebih dari 50 kg, dosisnya 5-10 mg sekali sehari.
(3) Untuk pasien gagal jantung, dosis awal 5 mg dapat ditingkatkan
selama beberapa minggu tetapi tidak melebihi 40 mg sekali sehari.

5. Lisinopril (Prinivil; Zestril)


a. Farmakokinetik :
(1) Mencapai konsentrasi serum puncak dalam 7 jam.
(2) Pada beberapa dosis, akumulasi paruh waktu efektif adalah 12 jam.
(3) Diekskresikan terutama melalui ginjal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi.
(2) Sebagai terapi tambahan dalam manajemen gagal jantung yang tidak
merespons diuretik dan digitalis.
(3) MI akut untuk pengobatan pasien yang hemodinamik stabil, untuk
meningkatkan kelangsungan hidup.
c. Dosis : Dosis awal adalah 10 mg sekali sehari, dosis biasa berkisar 20–40
mg setiap hari dalam satu dosis tunggal. Pasien dengan dosis diuretik harus
disesuaikan dengan respon BP, dan diuretik idealnya harus dihentikan.
Untuk pasien dengan bersihan kreatinin ≤ 10 mL / menit, dosis awal yang
direkomendasikan adalah 2,5 mg, dapat dititrasi ke atas hingga maksimal
40 mg setiap hari.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pemilihan dosis untuk pasien usia lanjut harus dimulai pada rentang
dosis rendah.

6. Moexipril (Univasc)
a. Farmakokinetik :
(1) Bioavailabilitas obat oral adalah 13% dibandingkan dengan IV;
sangat terpengaruh oleh makanan.
50

(2) Setelah pemberian oral, 7% muncul dalam urin (vs 40% dari dosis
IV), 52% dalam tinja (vs 20% dari dosis IV).
b. Indikasi : Pengobatan hipertensi.
c. Dosis : Dosis awal pada pasien yang tidak menerima diuretik adalah 7,5
mg 1 jam sebelum makan, sekali sehari. Kisaran dosis yang dianjurkan
adalah 7,5–30 mg setiap hari dalam satu atau dua dosis terbagi. Terapi
diuretik idealnya harus dihentikan atau dosis awal 3,75 mg harus
digunakan dengan pengawasan medis. Untuk pasien dengan bersihan
kreatinin ≤ 40 mL / menit / 1,73 m², dosis awal yang dianjurkan adalah
3,75 mg sekali sehari, dapat dititrasi hingga dosis harian maksimum 15
mg.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Dosis harus disesuaikan untuk populasi dengan penurunan fungsi
ginjal, sirosis ringan sampai sedang dan pada pasien usia lanjut.

7. Perindopril (Aceon)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak terjadi pada
sekitar 1 jam.
(2) Berarti paruh 0,8-1,0 jam.
(3) Pembersihan hampir secara eksklusif ginjal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan
dengan tiaziddiuretik.
(2) Penyakit arteri koroner stabil: untuk mengurangi risiko mortalitas
kardiovaskular atau MI nonfatal.
c. Dosis : Dosis awal adalah 4 mg sekali sehari. Dapat dititrasi ke atas sampai
BP dikontrol hingga maksimum 16 mg per hari. Kisaran dosis biasa adalah
4-8 mg sebagai dosis harian tunggal. Dapat diberikan dalam dua dosis
terbagi.
51

d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :


(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pemilihan dosis untuk pasien usia lanjut harus dimulai pada rentang
dosis rendah.
(3) Pasien dengan gangguan ginjal: dosis harian awal harus dikurangi.

8. Quinapril (Accupril)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak tercapai dalam 1
jam.
(2) Setelah beberapa dosis oral, paruh efektif dalam 2 jam.
(3) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dengan diuretik
tiazid.
(2) Manajemen gagal jantung sebagai terapi tambahan ketika
ditambahkan ke terapi konvensional, termasuk diuretik dan / atau
digitalis.
c. Dosis : Dosis awal untuk pasien yang tidak diuretik adalah 10-20 mg satu
kali sehari. Dosis disesuaikan menurut BP diukur pada puncak dan palung.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pasien dengan gangguan ginjal dan gagal jantung: dosis harian awal
harus dikurangi.
52

(3) Dosis yang dianjurkan untuk pasien usia lanjut adalah 10 mg sekali
sehari diikuti dengan titrasi ke respon optimal.

9. Ramipril (Altace)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak tercapai dalam 1
jam.
(2) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan
dengan tiaziddiuretik.
(2) Pengurangan risiko MI, stroke, dan kematian akibat kardiovaskular
untuk pasien 55 tahun atau lebih pada risiko kardiovaskular tinggi.
c. Dosis : Dosis awal untuk pasien yang tidak menerima diuretik adalah 2,5
mg sekali sehari. Penyesuaian dosis sesuai dengan respon BP. Dosis
pemeliharaan biasa adalah 2,5–20 mg sekali sehari dalam dosis tunggal
atau dibagi rata menjadi dua dosis.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pasien dengan gangguan ginjal: dosis harian awal harus dikurangi,
peningkatan yang lebih kecil harus digunakan untuk titrasi dan dosis
efektif minimal harus dihitung.

10. Trandolapril (Mavik)


a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral dalam kondisi puasa, konsentrasi puncak
terjadi dalam 1 jam.
(2) Waktu paruh efektif sekitar 6 jam.
53

(3) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dengan obat
antihipertensi lainnya.
(2) Gagal jantung pasca-MI atau disfungsi pasca-MI LV. Digunakan
untuk mengurangi risiko kematian dan rawat inap terkait gagal
jantung.
c. Dosis : Dosis awal pada pasien yang tidak menerima diuretik adalah 1 mg
satu kali sehari pada pasien yang tidak berkulit hitam dan 2 mg pada
pasien kulit hitam. Dosis disesuaikan menurut BP.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pasien dengan gangguan ginjal: dosis harian awal harus dikurangi,
peningkatan yang lebih kecil harus digunakan untuk titrasi dan dosis
efektif minimal harus dihitung (Sanders et al., 2011).

2.2.2.5 Efek Samping


Efek merugikan ACE Inhibitor reaksi serius yang tidak diharapkan dari
ACE Inhibitor jarang terjadi dan umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping
metabolik tidak ditemukan selama terapi ACE Inhibitor jangka panjang. Obat-
obat ini tidak mengubah konsentrasi asam urat atau Ca2+ dalam plasma dan
sebenarnya dapat memperbaiki sensitivitas insulin pada pasien yang mengalami
resistensi insulin dan menurunkan kadar kolesterol dan lipoprotein (a) pada
penyakit proteinurik ginjal. Efek samping ACE Inhibitor, antara lain :
1. Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tajam dapat terjadi setelah pemberian dosis
pertama ACE Inhibitor pada pasien yang memiliki nilai PRA yang tinggi.
Perhatian khusus harus diberikan pada pasien yang engalami deplesi garam,
pasien yang diobati dengan beberapa obat antihipertensi, dan pasien yang
menderita gagal jantung kongestive. Pasien pasien seperti ini harus diberi dosis
54

awal ACE Inhibitor yang sangat kecil atau asupan garam harus ditambah dan
pemberian diuretik dihentikan sebelum terapi dimulai.
2. Batuk
ACE Inhibitor menimbulkan batuk kering pada 5-20% pasien. Batuk
tersebut biasanya tidak berhubungan dengan dosis, lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria, biasanya mulai terjadi pada 1 minggu dan 6 bulan setelah
terapi awal, dan terkadang mengharuskan pergantian terapi. Efek yang tidak
diinginkan ini kemungkinan diperantarai oleh bradikinin, substansi P, dan/atau
prostaglandin. Antagonisme tromboksan, aspirin, dan pemberian suplemen besi
mengurangi batuk yang diinduksi oleh ACE Inhibitor. Begitu ACE Inhibitor
dihentikan, batuk menghilang, biasanya dalam 4 hari.
3. Hiperkalemia
Meskipun terjadi penurunan konsentrasi aldosteron, retensi K+ yang
signifikan jarang ditemukan pada pasien yang memiliki fungsi ginjal normal dan
tidak menggunakan obat-obat lain yang menyebabkan retensi K+. Akan tetapi,
ACE Inhibitor dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien insufisiensi ginjal
atau pada pasien yang menggunakan diuretik hemat-K+, suplemen K+, antagonis
reseptor β-adenergik, atau OAINS.
4. Gagal ginjal akut
Dengan mengkonstriksi arteriol eferen, AngII membentu mempertahankan
filtrasi glomerulus yang memadai tekanan perfusi ginjal rendah. Akibatnya,
inhibisi ace dapat menyebabkan insufisiensi ginjal akut pada pasien yang
menderita stenosis arteri ginjal bilateral, stenosis arteri ke satu ginjal yang masih
baik, gagal jantung, atau deplesi volume akibat diare atau diuretik. Pasien tua
yang menderita gagal jantung kongestive sangat rentan terhadap gagal ginjal akut
yang diimbas oleh ACE Inhibitor. Namun demikian, hampir semua pasien yang
menerima pengobatan yang sesuai mengalami pemulihan fungsi ginjal tanpa
diikuti oleh kemunculan penyakit lain.
5. Potensi fetopatik
Penggunaan ACE Inhibitor selama trimester kedua dan ketiga dapat
menyebabkan oligohidramnios, hipoplasia kalvarium pada janin, hipoplasia paru-
paru janin, retardasi pertumbuhan janin, kematian janin, anuria neonatus, dan
55

kematian neonatus. Efek fetopatik ini kemungkinan sebagian disebabkan oleh


hipotensi pada janin. Meskipun ACE Inhibitor tidak dikontraindikasikan pada
wanita usia subur, begitu kehamilan terdiagnosis, penggunaan ACE Inhibitor
harus segera dihentikan. Jika perlu, regimen antihipertensi alternatif sebaiknya
diberikan. Janin tidak mengalami resiko patologi yang dipicu oleh ACE Inhibitor
jika ACE Inhibitor dihentikan pada trimester pertama kehamilan.
6. Ruam kulit
ACE Inhibitor terkadang menyebabkan ruam makulopapular yang
kemungkinan berupa pruritus. Ruam dapat sembuh sendiri dan dapat merespon
antihistamin yang dosisnya diturunkan atau antihistamin yang diberikan dalam
waktu singkat. Meskipun awalnya diduga disebabkan oleh keberadaan gugus
sulfhidril pada kaptopril, ruam juga dapat terjadi pada pemakaian ACE Inhibitor
lain, walaupun lebih jarang.
7. Proteinuria
ACE Inhibitor pernah menyebabkan proteinuria (lebih dari 1g/hari); akan
tetapi, hubungan sebab-akibat masih sulit ditentukan. Secara umum, proteinuria
bukan suatu kontraindikasi untuk ACE Inhibitor karena ACE Inhibitor bersifat
renoprotektif pada penyakit yang berkaitan dengan proteinuria, misalnya nefropati
diabetik.
8. Angioedema
Pada 0,1-0,5% pasien, ACE Inhibitor menyebabkan pembengkakan cepat
pada hidung, kerongkongan, mulut, glotis, laring, bibir, dan/atau lidah. Efek yang
tidak diinginkan ini disebut angioedema. Efek ini tampaknya tidak berkaitan
dengan dosis dan jika terjadi, efek teradi selama minggu pertama terapi, biasanya
dalam waktu beberapa jam pertama setelah dosis awal. Obstruksi jalan napas dan
gangguan pernapasan dapat menyebab kematian. Meskipun mekanismenya belum
diketahui, angioedema kemungkinan menyebabkan akumulasi bradikinin atau
inhibisi komplemen 1-inhibitor esterase. Jika ACE Inhibitor dihentikan,
angioedema hilang dalam beberapa jam; sementara itu, jalan napas pasien harus
dilindungi dan, jika perlu sebaiknya diberikan epinefrin, suatu antihistamin,
dan/atau suatu glukokortikoid. Orang Afro Amerika beresiko 4,5 kali lebih besar
mengalami angioedema yang dipicu oleh ACE Inhibitor dibandingkan orang
56

Kaukasian. Meskipun jarang, angioedema pada usus, yang dicirikan oleh emesis,
diare berair, dan nyeri abdomen, juga pernah terjadi pada penggunaan ACE
Inhibitor.
9. Efek merugikan lain
Disgeusia, suatu perubahan atau kehilangan rasa, dapat terjadi. Efek ini
kemungkinan lebih sering terjadi pada pemakaian kaptopril dan bersifat
reversibel. Neutropenia merupakan efek samping ACE Inhibitor yang jarang
terjadi, tetapi berbahaya. Efek ini terutama terjadi pada pasien hipertensi yang
juga menderita penyakit parenkima ginjal atau kolagenvaskular. Jika konsentrasi
kreatinin serum sebesar 2 mg/dl atau lebih, dosis ACE Inhibitor harus dijaga tetap
rendah, dan pasien harus disarankan untuk melakukan evaluasi medis jika terlihat
simtom-simtom tertentu ( misalnya, sakit tenggorok, demam). Glikosuria tanpa
adanya hiperglikemia merupakan efek samping yang sangat jarang terjadi dan
bersifat reversibel. Mekanisme efek ini belum diketahui. Hepatotoksisitas,
biasanya dalam bentuk kolestatik, juga sangat jarang terjadi dan bersifat
reversibel. Mekanisme efek ini juga belum diketahui (Goodman& Gilman‟s,
2014).

2.2.2.6 Interaksi Obat


Antasida dapat menurunkan bioavailabilitas oral ACE Inhibitor; kapsaisin
dapat memperburuk batuk yang disebabkan oleh ACE Inhibitor; OAINS,
termasuk aspirin, dapat mengurangi respon antihipertensi terhadap ACE Inhibitor;
diuretik hemat K+ dan suplemen K+ dapat memperburuk hiperkalemia yang
disebabkan oleh ACE Inhibitor. ACE Inhibitor dapat meningkatkan kadar plasma
digoksin dan litium dan dapat meningkatkan reaksi hipersensitivitas terhadap
alopurinol. Untuk lebih lanjutnya sebagai berikut :
1. ACE Inhibitor + Allopurinol
Dilaporkan tiga kasus Stevens Johnson syndrome dan dua kasus
hipersensivitas pada pasien yang menggunakan kaptopril dengan allopurinol.
Anafilaksis dan infark miokardial terjadi pada seorang pasien laki-laki yang
menggunakan enalapril dengan allopurinol. Kombinasi ACE Inhibitor dan
allopurinol dapat meningkatkan resiko leukimia dan infeksi serius.
2. ACE Inhibitor + Alpha Bloker
57

Dapat mengakibatkan hipotensi berat pada dosis awal, dan efek hipotensi
sinergis saat pasien menggunakan enalapril dengan bunazosin.
3. ACE Inhibitor + Antasida
Mylanta (dapat mengandung alumunium/magnesium hidroklorida)
mengurangi bioavaibilitas dari fosinopril menjadi 30%. Untuk ACE Inhibitor lain,
antasida kemungkinan dapat mengurangi bioavaibilitas dari jumlah ACE Inhibitor
tetapi tidak mempengaruhi efek klinis yang dihasilkan, kecuali fosinopril.
4. ACE Inhibitor + Antidiabetes
Penggunaan ACE Inhibitor bersamaan dengan antidiabetes biasanya tidak
menimbulkan keluhan. Terdapat laporan hipoglikemia saat pasien menggunakan
insulin atau sulfonilurea dengan captoprol, enalapril,lisinopril atau perindopril,
namun tidak terbukti adanya interaksi satu sama lain.
5. ACE Inhibitor + Aspirin
Efektivitas dari kaptopril dan enalapril dapat menurun karena dosis aspirin
yang tinggi (50% dari seluruh pasien).Aspirin dengan dosis rendah (kurang dari
atau ekuivalen dengan 100mg perhari)menunjukkan efek yang kecil. Belum
diketahui pasti apakah aspirin mengurangi manfaat ACE Inhibitor pada penyakit
arteri koroner dan gagal jantung. Adanya interaksi tergantung pada kondisi
penyakit pasien.
6. ACE Inhibitor + Azathioprine
Anemia dapat terjadi pada pasien transplantasi ginjal yang menerima
azathioprine dengan enalaprin atau kaptopril. Leukimia kadang-kadang terjadi
ketika kaptopril diberikan bersamaan dengan azathioprine. Aziathioprine cepat
dan segera dimetabolisme menjadi merkapturin.
7. ACE Inhibitor + Siklosporin
Gagal jantung akut telah dilaporkan pada pasien yang telah menjalani
transplantasi ginjal dan menerima terapi siklosporin dengan kaptopril. Resiko
hiperkalemia meningkat karena ACE Inhibitor diberikan dengan siklosporin
karena meningkatkan kadar potasium. Oligouria juga telah dilaporkan pada
penggunaan ACE Inhibitor dengan siklosporin.
8. ACE Inhibitor + Clomidine
58

Clonidine dapat meningkatkan efek dari ACE Inhibitor. Namun, terdapat


bukti yang menunjukkan bahwa efek kaptopril mungkin terunda ketika pasien
berhenti dari penggunaan clonidine. Selain itu, penghentian clonidine secara tiba-
tiba dapat menyebabkan rebound hipertensi.
9. ACE Inhibitor + Co-trimoxazole
Dua laporan menunjukkan adanya hiperkalemia berat disebabkan oleh
penggunaan bersama trimetoprim dengan enalapril atau quinalapril yang berkaitan
dengan gangguan ginjal.
10. ACE Inhibitor + Digoxin
Tidak ada interaksi yang signifikan terlihat antara digoxin dan ACE
Inhibitor. Beberapa kali menemukan bahwa kadar serum digoxin naik sekitar 20%
atau lebih jika kaptopril digunakan (tidak pada ACE Inhibitor lain). Adanya
interaksi hanya terjadi pada pasien yang memiliki gangguan ginjal.
11. ACE Inhibitor + Diuretik
Penggunaan ACE Inhibitor dengan loop diuretics atau tiazis biasanya
aman dan efektif, tetapi pada dosis pertama dapat terjadi hipotensi (pusing,
pingsan), terutama jika dosis diuretik tinggi (furosemid > 80mg sehari atau seta)
dan sering berkaitan dengan kondisi predisposisi (gagal jantung, hipertensi
renovaskular, hemodialisis, peningkatan renin dan angiotensisn yang tinggi, diet
rendah natrium, dehidrasi, diare atau muntah dan lain lain). Selain itu, gangguan
ginjal, kegagalan ginjal akut telah dilaporkan.
12. ACE Inhibitor + Epoetin
Secara teoritis, epoetin dapat menyebabkan hipertensi, mengurangi efek
ACE Inhibitor dan efek adisi hiperkalemia
13. ACE Inhibitor + Makanan
Makanan mengurani penyerapan imidapril dan moexipril serta mengurangi
metabolisme perindopril menjadi metabolit aktif perindoprilat.
14. ACE Inhibitor + Heparin
Tinjauan literatur menunjukkan bahwa heparin (heparin utuh dan heparin
dengan berat molekul rendah) dan heparinoids dapat menghambat sekresi
aldosteron yang menyebabkan hiperkalemia.
15. ACE Inhibitor + Herbal medicines or Dietary
59

Pasien yang mendapat terapi lisinopril dan mengalami hipotensi dan


pingsan setelah mengkonsumsi kapsul bawang putih.
16. ACE Inhibitor + Lithium
ACE Inhibitor dapat meningkatkan kadar lithium, dan pada beberapa
keracunan lithium telah dilaporkan pada pasien yang diberikan kaptopril, enalapril
atau lisinopril ( dan mungkin perindopril). Salah satu analisis menemukan
peningkatan resiko relatif7,6 toksisitas lithium yang membutuhkan rawat inap
pada psien lanjut usia. Faktier resiko untuk interaksi ini kemungkinan karena
fungsi ginjal yang buruk, gagal jantung, penurunan volume distribusi, dan
peningkatan usia.
17. ACE Inhibitor + LMWH
Tinjauan luas literatur menemukan bahwa heparin (bentuk utuh dan
LWMH) dan heparinoids menghambat sekresi aldosterone, yang dapat
menyebabkan hiperkalemia karena kemungkinan adanya efek adisi hiperkalemia
dengan ACE Inhibitor
18. ACE Inhibitor + NSAID
Ada bukti bahwa sebagian besar NSAID dapat meningkatkan tekanan
darah pada pasien yang menggunakan obat antihipertensi, termasuk ACE
Inhibitor, walaupun beberapa studi belum menemukan peningkatan relevan secara
klinis. Kombinasi NSAID dan ACE Inhibitor mungkin meningkatkan resiko
gangguan ginjal dan hiperkalemia.
19. ACE Inhibitor + Potassium
ACE Inhibitor dapat meingkatkan kadar pottasium. Oleh karena
kemungkinan pemberian suplemen kalium atau pengganti garam kalium terutama
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
20. ACE Inhibitor + Probenecid
Probenecid mengurangi klirens ginjal kaptopril dan meningkatkan kadar
serum enalapril
21. ACE Inhibitor + Procainamide
Kombinasi kaptopril (atau ACE Inhibitor lainnya) dengan procainamide
mungkin meningkatkan resiko leukopenia, terutama pada pasien dengan gangguan
60

ginjal. Tidak ada interaksi farmakokinetik terjadi antara kaptopril dan


procainamide.
22. ACE Inhibitor + Rifampicin
Sebuah laporan yang terisolasi menggambarkan peningkatan tekanan
darah pada satu pasien hipertensi, yang disebabkan karena interaksi anata
enalapril dan rifampisin. Rifampicin mungkin mengurangi kadar plasma dari
metabolit aktif imidapril dan spirapril.
23. ACE Inhibitor + Sirolimus
Edema lidah,wajah, bibir, leher, dan dada telah dilaporkan pada pasien
yang memaksi sirolimus dengan enalapril dan ramipril yang sebelumnya telah
menerima pengobatan ACE Inhibitor tanpa ada efek samping.
24. ACE Inhibitor + Tacrolimus
Tacrolimus dapat menyebabkan nefrotoksisitas dan hiperkalemia yang
mungkin aditif dengan efek dari ACE Inhibitor.
25. ACE Inhibitor + Tetrasiklin
Penyerapan tetrasiklin oral berkurang dengan adanya eksipien magnesium
karbonat pada formulasi quinapril.
26. ACE Inhibitor + Trimetoprim
Dua laporan menunjukkan hiperkalemia serius yang disebabkan oleh
penggunaan bersamaan trimetoprim dengan enalapril atau quinalpril, berkaitan
dengan gangguan ginjal ( Baxter,2009).

Anda mungkin juga menyukai