TINJAUAN PUSTAKA
6
7
2. Diabetes mellitus
Penderita diabetes memiliki risiko penyakit vaskular aterosklerotik yang
jauh lebih besar di jantung dan juga di tempat tidur vaskular lainnya Diabetes
meningkatkan risiko MI karena meningkatkan tingkat perkembangan
aterosklerotik dan mempengaruhi profil lipid. Bentuk aterosklerosis akselerasi ini
terjadi terlepas dari apakah pasien memiliki insulin-dependent atau non-insulin-
dependent diabetes.
3. Hipertensi
Tekanan darah tinggi (BP) secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan
risiko MI. Risiko ini terkait dengan hipertensi sistolik dan diastolik. Kontrol
hipertensi dengan pengobatan yang tepat telah ditunjukkan mengurangi risiko MI
secara signifikan.
4. Penggunaan tembakau
Komponen tertentu dari gas pembakaran tembakau dan tembakau
diketahui merusak dinding pembuluh darah. Tubuh itu respon terhadap jenis
cedera ini memunculkan pembentukan aterosklerosis dan perkembangannya,
sehingga meningkatkan risikonya dari MI Sebuah studi kecil pada sekelompok
relawan menunjukkan bahwa merokok secara akut meningk atkan pembentukan
trombus trombosit. Ini tampaknya menargetkan area dengan gaya geser tinggi,
seperti pembuluh stenotik, yang bebas dari penggunaan aspirin.
5. Jenis kelamin laki-laki
Kejadian penyakit pembuluh darah aterosklerotik dan MI lebih tinggi pada
pria daripada wanita di semua kelompok usia. Jenis kelamin ini perbedaan di MI,
bagaimanapun, menyempit seiring bertambahnya usia.
6. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga tentang penyakit koroner prematur meningkatkan risiko
aterosklerosis dan MI seseorang. Penyebabnya kejadian koroner familial
multifaktorial dan mencakup unsur lain, seperti komponen genetik dan
diperolehpraktik kesehatan umum (misalnya merokok, diet tinggi lemak)
(Bolooki, 2015).
10
kritis, atau pada pasien yang menjalani operasi mayor (noncardiac), peningkatan
nilai biomarker jantung dapat terjadi muncul, karena efek toksik langsung dari
tingkat katekolamin bersirkulasi endogen atau eksogen. Juga vasospasme koroner
dan / atau disfungsi endotel miliki berpotensi menyebabkan MI (Thygesen,
2012).
3. Kematian Jantung Akibat Infark Miokard (MI tipe 3)
Pasien yang menderita kematian jantung, dengan gejala sugestif iskemia
miokard disertai dengan dugaan perubahan EKG iskemik baru atau left bundle
branch block (LBBB) - tetapi tanpa nilai biomarker yang tersedia - merupakan
kelompok diagnostik yang menantang. Orang-orang ini mungkin meninggal
sebelum sampel darah untuk biomarker dapat diperoleh, atau sebelum
peningkatan biomarker jantung dapat diidentifikasi. Jika pasien hadir dengan
gambaran klinis iskemia miokard, atau dengan dugaan iskemik baru. Perubahan
EKG, mereka harus diklasifikasikan memiliki MI yang fatal, bahkan jika bukti
biomarker jantung MI berkurang (Thygesen, 2012).
4. Infark Miokard Berhubungan dengan Prosedur Revaskularisasi (tipe
MI 4 dan 5)
Cedera atau infark miokard periprosedur terjadi pada beberapa tahap
dalam instrumentasi jantung yang diperlukan selama prosedur revaskularisasi
mekanis, baik oleh PCI atau coronary artery bypass grafting (CABG).
Peningkatan nilai cTn dapat terdeteksi mengikuti prosedur ini, karena berbagai
penghinaan dapat terjadi yang dapat menyebabkan cedera miokard dengan
nekrosis. Kemungkinan pembatasan cedera tersebut bermanfaat bagi pasien;
Namun, ambang batas untuk prognosis yang memburuk,terkait dengan
peningkatan asimtomatik nilai biomarker jantung tanpa komplikasi prosedural,
tidak didefinisikan dengan baik. Subkategori MI yang berhubungan dengan PCI
adalah terhubung dengan trombosis stent dan restenosis yang mungkin terjadi
setelah prosedur primer (Thygesen,2012).
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner
yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan
oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai
vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis
jaringan otot jantung (miokard) (PERKI, 2015).
Sel-sel jantung dapat bertahan dari iskemia selama 15 menit sebelum
akhirnya mati. Ketika jantung tidak mendapatkan darah dan oksigen, sel jantung
akan menggunakan metabolisme anaerobic, menciptakan lebih sedikit adenosine
trifosfat (ATP) dan lebih banyak asam laktat sebagai hasil sampingannya. Sel
miokardium sangat sensitif terhadap perubahan pH dan fungsinya akan menurun.
Asidosis akan menyebabkan miokarium menjadi lebih rentan terhadap efek dari
enzim lisosom dalam sel. Kontraktilitas juga akan berkurang, sehingga
menurunkan kemampuan jantung sebagai suatu pompa. Saat sel miokardium
mengalami nekrosis, enzim intraselular akan dilepaskan ke dalam aliran darah,
yang kemudian dapat dideteksi dengan pengujian laboratorium (Joyce., 2014).
Dalam beberapa jam IMA, area nekrotik akan meregang dalam suatu
proses yang disebut ekspansi infark. Ekspansi ini didorong juga oleh aktivasi
neurohormonal yang terjadi pada IMA. Peningkatan denyut jantung, dilatasi
ventrikel, dan aktivasi dari sistem renin-angiotensin akan meningkatkan preload
selama IMA untuk menjaga curah jantung. Infark transmural akan sembuh dengan
menyisakan pembentukan jaringan parut di ventrikel kiri, yamg disebut
remodeling. Ekspansi dapat terus berlanjut hingga enam minggu setelah IMA dan
disertai oleh penipisan progresif serta perluasan dari area infark dan non infark.
Ekspresi gen dari sel-sel jantung yang mengalami perombakan akan berubah,
yang menyebabkan perubahan struktural permanen ke jantung. Jaringan yang
14
mengalami remodelisasi tidak berfungsi dengan normal dan dapat berakibat pada
gagal jantung akut atau kronis dengan disfungsi ventrikel kiri, serta peningkatan
volume serta tekanan ventrikel. Remodeling dapat berlangsung bertahun-tahun
setelah IMA (Joyce., 2014).
Lokasi IMA paling sering adalah dinding anterior ventrikel kiri di dekat
apeks, yang terjadi akibat trombosis dari cabang desenden arteri koroner kiri.
Lokasi umum lainnya adalah (1) dinding posterior dari ventrikel kiri di dekat
dasar dan di belakang daun katup/ kuspis posterior dari katup mitral dan (2)
permukaan inferior (diafragmantik) jantung. Infark pada ventrikel kiri posterior
terjadi akibat oklusi arteri koroner kanan atau cabang sirkumfleksi arteri koroner
kiri. Infark inferior terjadi saat arteri koroner kanan mengalami oklusi. Pada
sekitar 25 % dari IMA dinding inferior, ventrikel kanan merupakan lokasi infark.
Infark atrium terjadi pada kurang dari 5 % (Joyce., 2014).
Gambar 2. 6 STEMI
Gambar 2. 7 NSTEMI
3. Biomarker
Biomarker jantung secara konvensional digunakan untuk diagnosis infark
miokard akut. Ini juga telah digunakan pada pasien dengan NSTEMI dan angina
tidak stabil untuk menemukan individu berisiko tinggi. Peningkatan CPK, CPK-
MB dan Troponins I dan T terjadi pada semua pasien dengan nekrosis miokard
yang terlihat pada infark miokard. Serial CK-MB estimasi dilakukan sebelumnya
untuk estimasi ukuran infark sebelum ekokardiografi. Biomarker berguna pada
pasien dengan perubahan EKG samar meskipun relevansi klinis mereka pada
infark miokard akut surut. Mereka masih sangat berguna dalam NSTEMI untuk
stratifikasi risiko. Pada infark miokard periprosedural, peningkatan CK-MB
penting untuk mendiagnosis infark. Secara rutin peningkatan infark miokard CK-
MB dan troponin meskipun dilakukan secara rutin hanya berfungsi dalam
dokumentasi (Pandey et al., 2011).
20
penyebab lain nyeri dada seperti diseksi aorta, perikarditis dan korp pulmonale
akut yang terkait dengan emboli paru. Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik
dan stenosis aorta juga dapat hadir dengan nyeri dada dan perubahan EKG serupa
dan dapat didiagnosis dengan gema di ruang gawat darurat itu sendiri (Pandey et
al., 2011).
Ekokardiogram dapat dilakukan untuk membandingkan daerah ventrikel
kiri yang berkontraksi secara normal dengan yang itu tidak Salah satu tindakan
perlindungan dini sel miokard yang digunakan selama aliran darah terbatas adalah
dengan mematikannya mekanisme yang membutuhkan energi untuk kontraksi;
Mekanisme ini dimulai segera setelah aliran darah normal terganggu
Ekokardiogram dapat membantu dalam mengidentifikasi bagian jantung mana
yang terkena MI dan arteri koroner mana yang paling mungkin tersumbat.
Sayangnya, adanya kelainan gerak dinding pada ekokardiogram mungkin
merupakan hasilI MI akut atau MI sebelumnya atau proses miopatik lainnya, yang
membatasi utilitas diagnostik keseluruhannya (Bolooki, 2015).
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi lain yang mungkin timbul dari MI adalah gagal jantung,
disfungsi katup, takiaritmia ventrikel dan atrial, bradikardia, blok jantung,
perikarditis, stroke sekunder akibat embolisasi trombus LV, tromboemboli vena,
dan ruptur dinding bebas LV.
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terlihat ketika > 40% dari otot miokardium mengalami
luka dan ditandai oleh hipotensi, perfusi perifer yang buruk, serta penurunan
output urine. Syok kardiogenik menandakan prognosis yang sangat buruk (angka
kematian 50-60%) dan merupakan penyebab kematian pada 60% STEMI.
Tekanan darah sistolik < 80 mmHg, tekanan pengisian tinggi >18 mmHg dan
indeks jantung rendah < 1.8 L/mnt/M2. Syok kardiogenik bisa juga disebabkan
oleh otot papiler yang mengalami ruptur atau septum interventrikel.
4. Ruptur
Ruptur masuk ke bagian dalam ruang perikardial dan dapat menyebabkan
kematian mendadak akibat temponade perikardial. Ruptur biasanya merupakan
perburukan infark miokard dinding lateral atau anterior, khususnya pada lansia.
5. Pseudoaneurisma
Pseudoaneurisma adalah suatu ruptur dinding bebas yang tertahan oleh
formasi bekuan darah. Jika ditemuan, pseudoaneurisma mesti diobati melalui
bedah secara cepat. Perbedaan antara pseudoaneurisma dengan suatu aneurisma
yang sesungguhnya adalah bahwa dinding aneurisma yang sesungguhnya
mengandung jaringan miokardium, sementara dinding pseudoaneurisma terdiri
atas gumpalan darah dan jaringan perikardial.
8. Aneurisma
Komplikasi ini bersifat jangka pendek. Jika segmen miokardium
menunjukkan kontraksi lamban akibat infark miokard, maka disebut hipokinetik.
Jika segmen tidak berkontraksi, disebut akinetik. Jika menonjol keluar selama
sistol, disebut diskinetik. Segmen ini biasanya berbentuk aneurisma dan dapat
menyebabkan pembentuk gumpalan darah dan aritmia ventrikel
(Syamsudin,2011).
1. Oksigen
Mengobati semua pasien yang dirawat di rumah sakit dengan MI dengan
oksigen paling sedikit 24 sampai 48 jam adalah praktik umum berdasarkan asumsi
empiris hipoksia dan bukti bahwa peningkatan oksigen di udara yang terinspirasi
dapat melindungi miokardium iskemik. Namun, bukti untuk mendukung
penggunaannya pada orang yang tidak mengalami gagal jantung atau hipoksia
kurang. Pada pasien dengan hipoksia (saturasi oksigen di bawah ~94%), hipoksia
dapat dikoreksi dengan pengiriman oksigen menggunakan masker wajah. Namun,
bagi mereka dengan hipoksia lebih mendalam yang terkait dengan gagal jantung,
diperlukan dukungan ventilasi dan sirkulasi. Sebaliknya, dalam sebuah penelitian
kecil yang membandingkan pemberian oksigen dan udara untuk orang dengan
saturasi oksigen lebih dari 94%, tidak ada bukti manfaat dan kecenderungan
terhadap bahaya (ukuran infark 6 bulan) pada mereka yang diberikan oksigen
tambahan (Morrow, 2017).
2. Analgesik
Relief rasa sakit itu penting, tidak hanya untuk meringankan kesusahan,
tapi juga menghindari konsekuensi simulasi simpatik pada jantung, termasuk
25
3. Nitrat
Nitrat biasanya diberikan pada MI akut, dan mereka mungkin meredakan
vasospasme dan mengurangi rasa sakit. Berdasarkan kemampuan mereka untuk
meningkatkan aliran darah koroner dengan vasodilatasi koroner dan untuk
mengurangi preload ventrikel dengan meningkatkan kapasitansi vena, nitrat
sublingual telah direkomendasikan untuk pengobatan awal pasien MI. Saat ini,
satu-satunya kelompok pasien dengan STEMI yang sublingual nitrogliserin tidak
boleh diberikan adalah mereka dengan dugaan infark ventrikel kanan atau
hipotensi yang ditandai (misalnya, tekanan sistolik <90 mmHg), terutama jika
disertai dengan bradikardia. Pasien harus diobservasi untuk perbaikan gejala atau
perubahan hemodinamik. Bahkan dosis kecil pun bisa menghasilkan hipotensi dan
bradikardia mendadak, reaksi yang biasanya bisa dibalik dengan atropin
intravena. Persiapan oral nitrat long acting harus dihindari pada waktu awal
STEMI karena status hemodinamik pasien yang sering berubah. Pada pasien
dengan periode lama waxing dan berkurangnya nyeri dada, nitrogliserin intravena
dapat membantu mengendalikan gejala dan iskemia yang benar, namun
memerlukan pemantauan tekanan darah yang sering. Inisiasi strategi reperfusi
26
pada pasien dengan STEMI tidak boleh ditunda saat menilai respons pasien
terhadap nitrat sublingual atau intravena. Meskipun memiliki alasan patobiologis
yang kuat, pemberian nitrat belum terbukti memperbaiki hasil klinis dibandingkan
dengan plasebo pada pasien MI (Morrow, 2017).
4. Fibrinolisis
Administrasi agen fibrinolitik adalah landasan terapi reperfusi sebelum
pengembangan PCI primer, dan masih merupakan terapi penting dalam setting di
mana PCI primer tidak tersedia atau tidak tersedia dengan cepat. Zat fibrinolitik
tertua (streptokinase dan urokinase) masih banyak digunakan di beberapa belahan
dunia karena biayanya. Evolusi terapi fibrinolitik selanjutnya telah bertujuan
untuk meningkatkan kemudahan dan kecepatan pemberian, serta keseimbangan
efikasi fibrinolitik versus perdarahan. Dibandingkan dengan streptokinase,
fibrinolitik generasi selanjutnya, termasuk alteplase, reteplase, dan tenecteplase,
memiliki efek yang diperkuat pada lokasi pembentukan trombus.
Terlepas dari kesamaan mekanisme awal STEMI dan sindrom koroner
akut (ACSs) tanpa elevasi ST, dan peran kunci trombosis keduanya, fibrinolisis
gagal menunjukkan manfaat pada penelitian awal tentang pengobatan angina yang
tidak stabil. Karena penelitian tersebut termasuk pasien dengan risiko rendah,
beberapa ahli telah menganalisa apakah mungkin ada peran untuk administrasi
koroner agen fibrinolitik modern pada NSTEMI berisiko tinggi. Namun demikian,
karena tidak adanya manfaat yang tepat dan peningkatan risiko pendarahan serius
yang jelas, pedoman masyarakat profesional tidak merekomendasikan pemberian
agen fibrinolitik kepada pasien dengan NSTEMI (Aaronson & Jeremy, 2010).
5. Terapi Antiplatelet
Studi eksperimental dan patologis telah menetapkan peran penting
trombosit dalam trombosis koroner, dan uji klinis selanjutnya secara meyakinkan
menunjukkan bahwa terapi antiplatelet efektif dalam mengurangi komplikasi
trombotik rekuren MI. Generasi agregat trombosit di lokasi gangguan plak
memperkuat agregasi trombosit lebih lanjut dan memicu pembentukan trombus.
Trombosit teraktivasi dan mikropartikel platelet merangsang rumpun koagulasi
melalui aktivasi trombin, dan pada gilirannya, trombin adalah aktivator trombosit
27
Studi awal yang sangat penting membuat peran agen antiplatelet di ACS
dengan menunjukkan manfaat aspirin dalam penelitian RISIKO dan beberapa uji
coba berukuran sederhana di antara pasien dengan NSTE-ACS, 22 dan pada
penelitian ISIS-2 yang besar pada pasien dengan STEMI. Bersama-sama, uji coba
NSTEMI mencakup 2448 pasien, jumlah sederhana menurut standar sekarang,
namun menunjukkan sedikit pengurangan risiko kematian atau MI dan terapi
antiplatelet yang ada sebagai bagian penting pengelolaan ACS (Aaronson &
Jeremy, 2010).
6. Terapi Antikoagulan
Antikoagulan diberikan pada pasien MI dengan tujuan untuk menghambat
pembangkitan dan perambatan "trombus merah" di tempat di mana nidus agregasi
trombosit telah memulai pembentukan trombus ("trombus putih" terutama
mengandung agregat trombosit). Meskipun antikoagulan tetap menjadi elemen
inti dalam pengelolaan MI akut, perubahan pada terapi antiplatelet dan
peningkatan perangkat dan teknik intervensi telah menghasilkan evolusi terapi
antikoagulan pada MI akut. Teknik intervensi dini (balon angioplasti dan stent
generasi pertama) sangat trombogenik, dan dosis tinggi antikoagulan parenteral
biasa digunakan, namun ini memiliki komplikasi perdarahan yang signifikan.
Karena teknik telah meningkat, terutama dengan stent generasi terbaru,
instrumentasi, dan terapi antiplatelet ganda yang efektif (aspirin plus ticagrelor
atau prasugrel), diperlukan antikoagulasi yang jauh lebih sedikit, dan komplikasi
perdarahan telah berkurang (misalnya, menggunakan bivalirudin di tempat
heparin plus penghambat glikoprotein IIb / IIIa) (Aaronson & Jeremy, 2010).
28
7. Pemblokir Beta-Adrenergik
Efek beta bloker dalam pengobatan pasien MI dapat dibagi menjadi
penyakit yang segera terjadi (pada awal infark) dan jangka panjang. Pemberian
beta bloker intravena segera mengurangi indeks jantung, denyut jantung, dan
tekanan darah dengan pengurangan bersih konsumsi oksigen miokard.
Beta-bloker bermanfaat pada MI untuk beberapa alasan. Obat ini
mengurangi kebutuhan O2 dengan menurunkan laju denyut jantung dan
mengurangi ketegangan dinding ventrikel dengan menurunkan afterload. Dengan
demikian, obat ini juga mengurangi iskemia rekuren dan ruptur dinding bebas dan
menekan aritmia. Blokade- oral jangka panjang menurunkan mortalitas, MI
rekuren, dan kematian mendadak sekitar 25% (Aaronson & Jeremy, 2010).
8. Agen Trombolitik
Trombolisis merupakan proses pelarutan bekuan darah yang menyumbat
arteri koroner yang mengalami infark. Agen trombolitik menginduksi fibrinolisis,
yaitu fragmentasi benang-benang fibrin yang mengikat bekuan. Hal ini
menyebabkan reperfusi zona infark. Reperfusi membatasi ukuran infark dan
mengurangi resiko komplikasi seperti ekspansi infark, aritmia, dan gagal jantung.
Uji klinis, terutama ISIS-2 (1988), telah memperlihatkan bahwa agen trombolitik
menurunkan mortalitas sekitas 25% pada STEMI, meskipun pasien tanpa elevasi
ST tidak mendapatkan manfaat dari kritikal. Meskipun penurunan mortalitas yang
signifikan terjadi saat agen trombolitik diberikan dalam 12 jam sejak onset,
namun manfaat paling besar terjadi saatterapi diberikan dalam 2 jam.
Dua agen utama untuk trombolisis adalah streptokinase (SK) dan
aktivator plasminogen jaringan (tissue plasminogen activator, tPA). tPA
tampaknya memiliki sedikit manfaat dalam mempertahankan hidup dibandingkan
dengan SK, namun tPA jauh lebih murah sehingga lebih banyak digunakan.
Kedua agen tersebut diberikan melalui infus. tPA sangat cepat dibersihkan dari
plasma, dan reteplase serta tenektelase merupakan agen yang lebih baru yang
telah dibuat dengan memodifikasi struktur tPA untuk memperlambat bersihan
plasma. Oleh sebab itu, kedua agen tersebut dapat diberikan melalui suntikan
bolus, sehingga memudahkan trombolisis prahospital (sebelum penanganan di
rumah sakit).
29
kaptopril (Capoten) diberikan dan, jika ditoleransi, diikuti oleh 12,5 mg 2 jam
kemudian, 25 mg 10–12 jam kemudian, dan kemudian 50 mg dua kali per hari.
Kontraindikasi termasuk hipotensi, gagal ginjal (kreatinin 42,5), dan stenosis
arteri ginjal bilateral (Boateng, 2013).
Tabel II. 1 Jenis dan dosis ACE Inhibitor untuk IMA
Sebaliknya, bahkan satu tunggal ACE Inhibitor akan sangat menurunkan tekanan
darah orang normal jika orang itu telah mengalami deplesi Na+ (Goodman &
Gilman‟s, 2014).
ACE Inhibitor menurunkan mortalitas secara keseluruhan jika pengobatan
dimulai selama periode disekitar infark. Efek menguntungkan ACE Inhibitor pada
infark miokardium akut sangat besar pada pasien hipertensi dan diabetes. Kecuali
dikontraindikasikan (misalnya, syok kardiogenik atau hipotensi parah), ACE
Inhibitor sebaiknya segera diberikan selama fase akut miokardium dan dapat
digunakan bersama dengan trombolitik, aspirin, dan antagonis reseptor β-
adrenergik. Setelah beberapa minggu terapi ACE Inhibitor harus dievaluasi ulang.
Pada pasien beresiko tinggi ( misalnya, infark besar, disfungsi ventrikel sistolik),
inhibisi ace sebaiknya dilanjutkan untuk jangka panjang (Goodman & Gilman‟s,
2014).
ACE Inhibitor menurunkan angka kematian setelah infark miokard.
Manfaat ini merupakan tambahan terhadap manfaat yang diperoleh dengan aspirin
dan penyekat β. Manfaat maksimum terlihat pada pasien beresiko tinggi seperti
pasien lansia atau mengalami infark anterior, riwayat infark, dan fungsi ventrikel
kiri yang secara keseluruhan terganggu. Namun bukti yang ada menunjukkan
bahwa manfaat jangka pendek diperoleh ketika ACE Inhibitor diresepkan secara
tidak selektif kepada seluruh pasien infark miokard yang stabil secara
hemodinamik (yaitu, pasien dengan tekanan darah sistolik > 100mmHg).
Mekanisme ini melibatkan reduksi perubahan bentuk ventrikel setelah infark
disertai reduksi resiko gagal jantung kongestive. Tingkat infark berulang mungkin
rendah pada pasien yang diobati dalam jangka panjang dengan ACE Inhibitor
setelah infark (Syamsudin,2011).
ACE Inhibitor mesti diresepkan dalam waktu 24jam kepada seluruh pasien
infark miokard dan gagal jantung kongestive serta pasien yang mengalami elevasi
segmen ST atau blokade cabang kiri namun stabil dari segi hemodinamika. Tidak
banyak bukti yang mendukung penggunaan ACE Inhibitor pada pasien infark
miokard yang tidak menunjukkan perubahan segmen ST atau hanya menunjukkan
depresi segmen ST tanpa gagal jantung kongestive. Sebelum keluar dari rumah
sakit, fungsi ventrikel kiri mesti dinilai dengan studi pencitraan. ACE Inhibitor
36
mesti dihentikan pada pasien yang mengalami gagal jantung kongestive nyata dan
pada pasien yang studi pencitraannya menunjukkan penurunan fungsi ventrikel
kiri secara global atau kelainan gerak dinding ventrikel atau pasien yang
hipersensitif (Syamsudin, 2011).
Kaptopril Enalapril
Benazepri Lisinopril
l
37
Fosinopril Perindopril
Quinapril Ramipril
Trandola- Imidapril
pril
Moeksi
pril
38
sehingga mengurangi resistensi perifer total dan tekanan darah. ACE Inhibitor
menyebabkan natriuresis dan diuresis yang membantu efek penurunan tekanan
darahnya dan juga membantu untuk mengembalikan edema pulmonal dan
sistemik dan remodeling jantung yang berperan pada gejala dan progresivitas
gagal jantung kronik. ACE Inhibitor memiliki efek tambahan yaitu mencegah
perombakan peptida bradikinin, yang disintesis dalam plasma oleh ACE dan
menyebabkan vasodilatasi dengan melepaskan oksida nitrat, prostasiklin, dan
EDHF dari endotel. Peningkatan bradikinin dapat membantu kemampuan ACEI
untuk menurunkan tekanan darah dan kemungkinan untuk mencegah remodeling
jantung (Aaronson & Jeremy, 2010).
ACE Inhibitor menekan produksi AngII dan aldosteron, menurunkan
aktivitas sistem saraf simpatik, dan mempotensiasi efek diuretik pada gagal
jantung. Akan tetapi, kadar AngII sering kali kembali ke nilai asal setelah terapi
ACE Inhibitor kronis, yang sebagian disebabkan produksi AngII melalui enzim-
enzim yang tidak bergantung pada ACE, seperti kinase, suatu protease jaringan.
Efektivitas klinis ACE Inhibitor yang terus bertahan meskipun lepasnya AngII
menunjukkan adanya mekanisme lain yang berperan pada efek klinis ACE
Inhibitor pada gagal jantung. ACE juga mendegradasi bradikinin dan kinin-kinin
lain yang menstimulasi produksi NO, GMP siklik, dan eikosanoid vasoaktif. Zat-
zat vasodilator ini terlihat melawan efek AngII pada pertumbuhan otot vaskular
dan fibroblas jantung dan pada produksi matriks ekstravaskuler. Jadi, kadar
bradikinin meningkat akibat penghambatan ACE dapat berperan dalam efek anti-
perubahan bentuk dan hemodinamik ACE Inhibitor.
ACE Inhibitor merupakan dilator arteri yang lebih kuat dibandingkan
vena. Sebagai respon terhadap penghambatan ACE, tekanan arteri rata-rata (mean
arterial pressure, MAP) dapat berkurang atau atau tidak berubah; perubahan
MAP dapat terlihat dari respons volume sekuncup terhadap penurunan afterload.
Denyut jantung biasanya tidak berubah, bahkan saat terdapat penurunan dalam
tekanan arteri sistemik, suatu respons yang kemungkinan menggambarkan
penurunan tonus simpatik sebagai respons terhadap penhambatan ACE.
Penurunan afterload ventrikel kiri menyebabkan volume sekuncup dan curah
40
Parenteral
41
(Enalaprilat) : 1,25
mg/mL untuk injeksi
1. Kaptopril (CAPOTEN)
Kaptopril merupakan ACE Inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak
digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung (Sulistia,
2012). Kaptopril merupakan ACE Inhibitor yang poten dalam kurung (Ki ~ 1,7
nM). Kaptopril yang diberikan secara oral diabsorbsi dengan cepat dan memiliki
bioavailabilitas ~ 75%. Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 1 jam.
Obat dibersihkan dengan t½ ~ 2jam. Sebagian besar obat dieliminasi dalam urin,
40-50% sebagai kaptopril dan sisanya sebgai dimer kaptopril disulfida dan
kaptopril-sistein disulfida. Dosis oral kaptopril berkisar dari 6,25 sampai 150mg
dua hingga tiga kali sehari, yaitu 6,25 mg 3 kali sehari sesuai untuk terapi awal
gagal jantung atau 25mg dua kali sehari untuk terapi awal hipertensi. Sebagian
besar pasien tidak boleh menerima dosis lebih dari 150mg dalam satu hari. Karena
makanan mengurangi 25-30% bioavailabilitas oral kaptopril, obat harus diberikan
1 jam sebelum makan.
2. Enalapril (VASOTEC)
42
Enalapril adalah suatu prodrug oral yang diubah oleh hidrolisis menjadi
suatu ACE Inhibitor, enalaprilat yang berefek serupa dengan efek kaptopril.
Enalaprilat itu sendiri tersedia hanya untuk pemakaian intravena terutama untuk
kedaruratan hipertensif (Katzung, et al., 2012).Enalapril maleat adalah prodrug
yang dihidrolisis oleh esterase di hati menghasilkan asam dikarboksilat aktif, yaitu
enalaprilat. Enalaprilat adalah ACE Inhibitor yang sangat poten dan memilikiKi ~
0,2 nM. Meskipun juga mengandung “pengganti prolin”, enalaprilat berbeda dari
kaptopril, yaitu enalaprilat adalah suatu analaog tripeptida dan bukan dipeptida.
Enalapril cepat diabsorpsi bila diberikan secara oral dan memiliki bioavailabilitas
oral sekitar 60% (tidak dikurangi oleh makanan). Meski pun enalapril mencapai
konsentrasi plasma puncak dalam waktu 1 jam, konsentrasi puncak enalaprilat
baru tercapai setelah 3-4 jam. Enalapril memiliki t½ 1,3 jam; enalaprilat memiliki
t½ plasma ~11 jam karena terikat kuat pada ace. Hampir keseluruhan enalapril
dieliminasi oleh ginjal, baik berupa enalapril utuh atau enalaprilat. Dosis oral
enalapril berkisar dari 2,5 sampai 40 mg per hari (dosis tunggal atau dosis
terbagi), yaitu 2,5 mg per hari sesuai untuk terapi awal gagal jantung dan 5 mg per
hari untuk terapi awal hipertensi. Dosis awal untuk pasien hipertensi yang
menggunakan diuretik, pasien yang mengalami deplesi air atau Na+, atau pasien
yang menderita gagal jantung adalah 2,5 mg per hari.
sampai 40 mg per hari (dosis tunggal atau terbagi), yaitu 5 mg per hari sesuai
untuk terapi awal gagal jantung dan 10 mg per hari untuk terapi awal hipertensi.
Dosis harian sebesar 2,5 mg direkomendasikan untuk pasian gagal jantng yang
mengalami deplesi Na+ atau mengalami kerusakan ginjal.
5. Benazepril (LOTENSIN)
Pemutusan bagian ester oleh enzim esterase hati mengubah benazepril
(suatu prodrug) menjadi benazeprilat (suatu ACE Inhibitor yang lebih poten
daripada kaptopril, enalaprilat, atau lisinopril). Benazepril cepat diabsorpsi, tetapi
tidak sempurna menjadi benazeprilat dan konjugat glukuronida dari benazepril
dan benazeprilat, yang dieskresikan dalam urine dan empedu. Konsentrasi puncak
benazepril dalam plasma dicapai dalam waktu sekitar 0,5-1 jam, sedangkan
benazeprilat mencapai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam. Benazeprilat memiliki
t½ efektiv dalam plasma sekitar 10-11 jam. Benazeprilat tidak berakumulasi
dalam jaringan, kecuali di dalam paru-paru. Dosis oral benazepril berkisar dari 5-
80 mg per hari (dosis tunggal atau terbagi).
6. Fosinopril (MONOPRIL)
Fosinopril mengandung gugus fosfinat yang terikat pada daerah aktif ace.
Pemutusan bagian ester oleh enzim esterase hati mengubah fosinopril (suatu
prodrug) menjadi fosinoprilat (suatu ACE Inhibitor yang lebih poten daripada
kaptopril, tetapi kurang poten dibandingkan enalaprilat). Fosinopril diabsorpsi
secara perlahan dan tidak sempurna (36%) bila diberikan secara oral. Kecepatan
absorpsi diturunkan oleh makanan, tetapi besar absorpsi tidak. Fosinopril
dimetabolisme dalam jumlah besar menjadi fosinoprilat (75%) dan menjadi
fosinoprilat glukuronida. Senyawa-senyawa ini diekskresikan dalam urin dan
empedu. Konsentrasi puncak fosinoprilat dalam plasma dicapai dalam waktu
sekitar 3 jam. Fosinoprilat memiliki t½ efektif dalam plasma sekitar 12 jam.
Bersihan fosinoprilat tidak terlalu dipengaruhi oleh kerusakan ginjal. Dosis oral
fosinopril berkisar dari 10-80 mg per hari (dosis tunggal atau terbagi). Dosis
dikurangi sampai 5 mg per hari untuk pasien yang mengalami Na+ atau deplesi air
atau gagal ginjal.
7. Trandolapril (MAVIK)
44
8. Kuinapril (ACCUPRIL)
Pemutusan bagian ester oleh enzim esterase hati mengubah kuinapril
(suatu prodrug) menjadi kuinaprilat (suatu ACE Inhibitor yang kira-kira sama
poten dengan benazeprilat). Kuinapril cepat diabsorpsi. Konsentrasi puncak
dicapai dalam 1 jam, tetapi waktu puncak dapat tertunda bila terdapat makanan.
Kecepatan absorpsi oral kemungkinan berkurang oleh makanan, tetai besar
absorpsi (60%) tidak berkurang. Kuinapril dimetabolisme menjadi kuinaprilat
dan beberapa metabolit minor lain. Kuinaprilat diekskresikan dalam urin (61%)
dan feses (37%). Konsentrasi puncak kuinaprilat dalam plasma dicapai dalam
waktu sekitar 2 jam. Konversi kuinapril menjadi kuinaprilat menurun pada pasien
yang menderita penurunan fungsi hati. t½ awal kuinaprilat sekitar 2 jam. t½ akhir
yang diperpanjang (~25 jam) kemungkinan disebabkan obat berikatan dengan
afinitas tinggi dengan ace jaringan. Dosis oral kuinapril adalah 5-80 mg per hari
(dosis tunggal atau terbagi).
9. Ramipril (ALTACE)
45
oleh ginjal. Konsentrasi puncak perindoprilat dalam plasma dicapai dalam 3-7jam.
Perindoprilat menunjukkan kinetika eliminasi 2 fase dengan t½ 3-10jam
(komponen utama eliminasi) dan 30-120 jam (karena perindoprilat dilepaskan
dengan lambat dari ace jaringan). Dosis oral 2-16mg per hari (dosis tunggal atau
terbagi) (Goodman & Gilman‟s, 2014).
2.2.2.4 Karakteristik
1. Kaptopril (Capoten)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak tercapai dalam 1
jam. Kehadiran makanan mengurangi penyerapan oleh 30-40%.
(2) Pada orang dewasa, paruh waktu efektif <3 jam (penentuan waktu
paruh yang akurat tidak mungkin).
(3) Dalam periode 24-jam, 95% dari dosis yang diamati dihilangkan
dalam urin.
(4) Pengurangan BP maksimum pada 60-90 menit setelah pemberian
oral, durasi efek terkait dosis.
(5) Pengurangan BP bisa progresif.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi.
(2) Pengobatan gagal jantung kongestif.
(3) Untuk meningkatkan kelangsungan hidup setelah MI pada pasien
yang stabil secara klinis.
c. Dosis : Sebaiknya diminum 1 jam sebelum makan, dosis harus individual.
Dosis awal adalah 25 mg dua kali per hari atau tiga kali per hari. Dosis
dapat ditingkatkan menjadi 50 mg dua kali per hari atau tiga kali per hari.
Kisaran dosis yang biasa adalah 25-150 mg dua kali per hari atau tiga kali
per hari.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
47
(2) Pasien dengan gangguan ginjal: dosis harian awal harus dikurangi,
peningkatan yang lebih kecil harus digunakan untuk titrasi, dan dosis
efektif minimal harus dihitung.
2. Benazepril (Lotensin)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak tercapai dalam
0,5-1 jam.
(2) Umur paruh efektif pada orang dewasa setelah pemberian dosis
ganda 10-12 jam.
(3) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi : Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau
dikombinasikan dengan diuretik tiazid.
c. Dosis : Dosis awal untuk orang dewasa yang tidak menerima diuretik
adalah 10 mg sekali sehari. Rentang perawatan biasa adalah 20-40 mg per
hari dalam satu atau dua dosis yang sama.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pada pasien dengan insufisiensi ginjal (tingkat pembersihan
kreatinin ≤30 mL / min / 1,73 m²) dan peningkatan paruh waktu
awal, waktu untuk kondisi tunak dapat tertunda.
(3) Dosis awal yang direkomendasikan pada pasien tersebut adalah 5 mg
sekali sehari. Dosis dapat dititrasi ke atas sampai tekanan darah
terkontrol atau dosis harian maksimum maksimum 40 mg.
3. Enalapril (Vasotec)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi serum puncak terjadi dalam 1
jam.
(2) Terutama ginjal, 94% dosis ditemukan dalam urin dan feses.
48
4. Fosinopril (Monopril)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi puncak dicapai dalam 3 jam.
(2) Terminal eliminasi paruh adalah 12 jam.
(3) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dengan diuretik
tiazid.
(2) Untuk gagal jantung sebagai terapi tambahan ketika ditambahkan ke
terapi konvensional, termasuk diuretik dengan atau tanpa digitalis.
c. Dosis : Dosis awal adalah 10 mg sekali sehari, baik sebagai monoterapi
dan ketika obat ditambahkan ke diuretik.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
49
(2) Pada anak-anak, dosis antara 0,1 dan 0,6 mg / kg. Untuk anak-anak
dengan berat lebih dari 50 kg, dosisnya 5-10 mg sekali sehari.
(3) Untuk pasien gagal jantung, dosis awal 5 mg dapat ditingkatkan
selama beberapa minggu tetapi tidak melebihi 40 mg sekali sehari.
6. Moexipril (Univasc)
a. Farmakokinetik :
(1) Bioavailabilitas obat oral adalah 13% dibandingkan dengan IV;
sangat terpengaruh oleh makanan.
50
(2) Setelah pemberian oral, 7% muncul dalam urin (vs 40% dari dosis
IV), 52% dalam tinja (vs 20% dari dosis IV).
b. Indikasi : Pengobatan hipertensi.
c. Dosis : Dosis awal pada pasien yang tidak menerima diuretik adalah 7,5
mg 1 jam sebelum makan, sekali sehari. Kisaran dosis yang dianjurkan
adalah 7,5–30 mg setiap hari dalam satu atau dua dosis terbagi. Terapi
diuretik idealnya harus dihentikan atau dosis awal 3,75 mg harus
digunakan dengan pengawasan medis. Untuk pasien dengan bersihan
kreatinin ≤ 40 mL / menit / 1,73 m², dosis awal yang dianjurkan adalah
3,75 mg sekali sehari, dapat dititrasi hingga dosis harian maksimum 15
mg.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Dosis harus disesuaikan untuk populasi dengan penurunan fungsi
ginjal, sirosis ringan sampai sedang dan pada pasien usia lanjut.
7. Perindopril (Aceon)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak terjadi pada
sekitar 1 jam.
(2) Berarti paruh 0,8-1,0 jam.
(3) Pembersihan hampir secara eksklusif ginjal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan
dengan tiaziddiuretik.
(2) Penyakit arteri koroner stabil: untuk mengurangi risiko mortalitas
kardiovaskular atau MI nonfatal.
c. Dosis : Dosis awal adalah 4 mg sekali sehari. Dapat dititrasi ke atas sampai
BP dikontrol hingga maksimum 16 mg per hari. Kisaran dosis biasa adalah
4-8 mg sebagai dosis harian tunggal. Dapat diberikan dalam dua dosis
terbagi.
51
8. Quinapril (Accupril)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak tercapai dalam 1
jam.
(2) Setelah beberapa dosis oral, paruh efektif dalam 2 jam.
(3) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dengan diuretik
tiazid.
(2) Manajemen gagal jantung sebagai terapi tambahan ketika
ditambahkan ke terapi konvensional, termasuk diuretik dan / atau
digitalis.
c. Dosis : Dosis awal untuk pasien yang tidak diuretik adalah 10-20 mg satu
kali sehari. Dosis disesuaikan menurut BP diukur pada puncak dan palung.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pasien dengan gangguan ginjal dan gagal jantung: dosis harian awal
harus dikurangi.
52
(3) Dosis yang dianjurkan untuk pasien usia lanjut adalah 10 mg sekali
sehari diikuti dengan titrasi ke respon optimal.
9. Ramipril (Altace)
a. Farmakokinetik :
(1) Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma puncak tercapai dalam 1
jam.
(2) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan
dengan tiaziddiuretik.
(2) Pengurangan risiko MI, stroke, dan kematian akibat kardiovaskular
untuk pasien 55 tahun atau lebih pada risiko kardiovaskular tinggi.
c. Dosis : Dosis awal untuk pasien yang tidak menerima diuretik adalah 2,5
mg sekali sehari. Penyesuaian dosis sesuai dengan respon BP. Dosis
pemeliharaan biasa adalah 2,5–20 mg sekali sehari dalam dosis tunggal
atau dibagi rata menjadi dua dosis.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pasien dengan gangguan ginjal: dosis harian awal harus dikurangi,
peningkatan yang lebih kecil harus digunakan untuk titrasi dan dosis
efektif minimal harus dihitung.
(3) Dibersihkan terutama oleh ekskresi ginjal pada subjek dengan fungsi
ginjal normal.
b. Indikasi :
(1) Pengobatan hipertensi. Dapat digunakan sendiri atau dengan obat
antihipertensi lainnya.
(2) Gagal jantung pasca-MI atau disfungsi pasca-MI LV. Digunakan
untuk mengurangi risiko kematian dan rawat inap terkait gagal
jantung.
c. Dosis : Dosis awal pada pasien yang tidak menerima diuretik adalah 1 mg
satu kali sehari pada pasien yang tidak berkulit hitam dan 2 mg pada
pasien kulit hitam. Dosis disesuaikan menurut BP.
d. Penyesuaian dosis untuk populasi khusus :
(1) Ketika digunakan dalam kehamilan selama trimester kedua dan
ketiga, ACEI dapat menyebabkan cedera dan bahkan kematian pada
janin yang sedang berkembang.
(2) Pasien dengan gangguan ginjal: dosis harian awal harus dikurangi,
peningkatan yang lebih kecil harus digunakan untuk titrasi dan dosis
efektif minimal harus dihitung (Sanders et al., 2011).
awal ACE Inhibitor yang sangat kecil atau asupan garam harus ditambah dan
pemberian diuretik dihentikan sebelum terapi dimulai.
2. Batuk
ACE Inhibitor menimbulkan batuk kering pada 5-20% pasien. Batuk
tersebut biasanya tidak berhubungan dengan dosis, lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria, biasanya mulai terjadi pada 1 minggu dan 6 bulan setelah
terapi awal, dan terkadang mengharuskan pergantian terapi. Efek yang tidak
diinginkan ini kemungkinan diperantarai oleh bradikinin, substansi P, dan/atau
prostaglandin. Antagonisme tromboksan, aspirin, dan pemberian suplemen besi
mengurangi batuk yang diinduksi oleh ACE Inhibitor. Begitu ACE Inhibitor
dihentikan, batuk menghilang, biasanya dalam 4 hari.
3. Hiperkalemia
Meskipun terjadi penurunan konsentrasi aldosteron, retensi K+ yang
signifikan jarang ditemukan pada pasien yang memiliki fungsi ginjal normal dan
tidak menggunakan obat-obat lain yang menyebabkan retensi K+. Akan tetapi,
ACE Inhibitor dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien insufisiensi ginjal
atau pada pasien yang menggunakan diuretik hemat-K+, suplemen K+, antagonis
reseptor β-adenergik, atau OAINS.
4. Gagal ginjal akut
Dengan mengkonstriksi arteriol eferen, AngII membentu mempertahankan
filtrasi glomerulus yang memadai tekanan perfusi ginjal rendah. Akibatnya,
inhibisi ace dapat menyebabkan insufisiensi ginjal akut pada pasien yang
menderita stenosis arteri ginjal bilateral, stenosis arteri ke satu ginjal yang masih
baik, gagal jantung, atau deplesi volume akibat diare atau diuretik. Pasien tua
yang menderita gagal jantung kongestive sangat rentan terhadap gagal ginjal akut
yang diimbas oleh ACE Inhibitor. Namun demikian, hampir semua pasien yang
menerima pengobatan yang sesuai mengalami pemulihan fungsi ginjal tanpa
diikuti oleh kemunculan penyakit lain.
5. Potensi fetopatik
Penggunaan ACE Inhibitor selama trimester kedua dan ketiga dapat
menyebabkan oligohidramnios, hipoplasia kalvarium pada janin, hipoplasia paru-
paru janin, retardasi pertumbuhan janin, kematian janin, anuria neonatus, dan
55
Kaukasian. Meskipun jarang, angioedema pada usus, yang dicirikan oleh emesis,
diare berair, dan nyeri abdomen, juga pernah terjadi pada penggunaan ACE
Inhibitor.
9. Efek merugikan lain
Disgeusia, suatu perubahan atau kehilangan rasa, dapat terjadi. Efek ini
kemungkinan lebih sering terjadi pada pemakaian kaptopril dan bersifat
reversibel. Neutropenia merupakan efek samping ACE Inhibitor yang jarang
terjadi, tetapi berbahaya. Efek ini terutama terjadi pada pasien hipertensi yang
juga menderita penyakit parenkima ginjal atau kolagenvaskular. Jika konsentrasi
kreatinin serum sebesar 2 mg/dl atau lebih, dosis ACE Inhibitor harus dijaga tetap
rendah, dan pasien harus disarankan untuk melakukan evaluasi medis jika terlihat
simtom-simtom tertentu ( misalnya, sakit tenggorok, demam). Glikosuria tanpa
adanya hiperglikemia merupakan efek samping yang sangat jarang terjadi dan
bersifat reversibel. Mekanisme efek ini belum diketahui. Hepatotoksisitas,
biasanya dalam bentuk kolestatik, juga sangat jarang terjadi dan bersifat
reversibel. Mekanisme efek ini juga belum diketahui (Goodman& Gilman‟s,
2014).
Dapat mengakibatkan hipotensi berat pada dosis awal, dan efek hipotensi
sinergis saat pasien menggunakan enalapril dengan bunazosin.
3. ACE Inhibitor + Antasida
Mylanta (dapat mengandung alumunium/magnesium hidroklorida)
mengurangi bioavaibilitas dari fosinopril menjadi 30%. Untuk ACE Inhibitor lain,
antasida kemungkinan dapat mengurangi bioavaibilitas dari jumlah ACE Inhibitor
tetapi tidak mempengaruhi efek klinis yang dihasilkan, kecuali fosinopril.
4. ACE Inhibitor + Antidiabetes
Penggunaan ACE Inhibitor bersamaan dengan antidiabetes biasanya tidak
menimbulkan keluhan. Terdapat laporan hipoglikemia saat pasien menggunakan
insulin atau sulfonilurea dengan captoprol, enalapril,lisinopril atau perindopril,
namun tidak terbukti adanya interaksi satu sama lain.
5. ACE Inhibitor + Aspirin
Efektivitas dari kaptopril dan enalapril dapat menurun karena dosis aspirin
yang tinggi (50% dari seluruh pasien).Aspirin dengan dosis rendah (kurang dari
atau ekuivalen dengan 100mg perhari)menunjukkan efek yang kecil. Belum
diketahui pasti apakah aspirin mengurangi manfaat ACE Inhibitor pada penyakit
arteri koroner dan gagal jantung. Adanya interaksi tergantung pada kondisi
penyakit pasien.
6. ACE Inhibitor + Azathioprine
Anemia dapat terjadi pada pasien transplantasi ginjal yang menerima
azathioprine dengan enalaprin atau kaptopril. Leukimia kadang-kadang terjadi
ketika kaptopril diberikan bersamaan dengan azathioprine. Aziathioprine cepat
dan segera dimetabolisme menjadi merkapturin.
7. ACE Inhibitor + Siklosporin
Gagal jantung akut telah dilaporkan pada pasien yang telah menjalani
transplantasi ginjal dan menerima terapi siklosporin dengan kaptopril. Resiko
hiperkalemia meningkat karena ACE Inhibitor diberikan dengan siklosporin
karena meningkatkan kadar potasium. Oligouria juga telah dilaporkan pada
penggunaan ACE Inhibitor dengan siklosporin.
8. ACE Inhibitor + Clomidine
58