Anda di halaman 1dari 13

A.

DEFINISI

Fistula Enterokutaneus atau Enterocutaneus Fistula (ECF) adalah adanya


hubungan abnormal yang terjadi antara dua pemukaan berepitel yaitu antara saluran
cerna dengan kulit, baik antara usus halus dengan kulit maupun usus besar dengan
kulit. Hubungan antara kedua permukaan tersebut sebagian besar berupa jaringan
granulasi. Fistula enterokutaneus merupakan komplikasi yang biasanya terlihat
setelah operasi di usus kecil atau besar.
Tingkat kematian pada fistula ini adalah mulai dari 5-20%, karena sepsis,
kelainan nutrisi, dan ketidakseimbangan elektrolit. ECF adalah kondisi umum di
sebagian bangsal bedah umum. Selama beberapa dekade terakhir, perbaikan dalam
pengelolaan ECF telah mengakibatkan penurunan bertahap dalam angka kematian.
Morbiditas pasien dengan ECF terkait dengan prosedur pembedahan atau penyakit
primernya menjadi meningkat sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien,
memperpanjang tinggal di rumah sakit, dan meningkatkan biaya keseluruhan untuk
pengobatan.
Dengan memahami patofisiologi serta faktor risikonya dapat membantu untuk
mengurangi terjadinya fistula ini. Selain itu, pedoman pengobatan mapan untuk lesi
ini, bersama dengan beberapa pilihan pengobatan baru, akan membantu dokter untuk
mencapai hasil yang lebih baik pada pasien dengan fistula enterokutaneus.
B. EPIDEMIOLOGI

Enterocutaneous fistula (ECFs) dapat terjadi sebagai komplikasi dari semua jenis
operasi pada saluran pencernaan. Lebih dari 75% dari semua ECF timbul sebagai
komplikasi pasca operasi, sementara sekitar 15-25% dari mereka hasil dari trauma
abdomen atau terjadi secara spontan dalam kaitannya dengan kanker, iradiasi,
penyakit usus inflamasi, atau kondisi iskemik atau infeksi.

C. ETIOLOGI

Berdasarkan atas penyebabnya, maka fistel dikelompokkan menjadi tiga bagian,


yaitu:
1. Congenital ; jenis fistel ini terbentuk sejak lahir, contohnya fistel duodenocolic.
2. Spontan : jenis fistel ini biasanya terbentuk sebagai hasil perjalanan kronis suatu
penyakit. Penyakit yang bisa menimbulkan fistel yakni Chrown disease, TB ,
divertikel, abses, perforasi local, radiasi dan enteritis.
3. Aquaired/ didapat : fistel ini terbentuk karena kesalahan dalam tindakan
pembedahan misalnya dalam operasi anastomosis, drainase abses.
Fistula enterokutaneous dapat disebabkan oleh pasca operasi, trauma, atau
spontan. Kebanyakan fistula terjadi oleh karena infeksi pada rongga perut, kanker
ataupun lisis dari anastomosis saluran cerna dan radiasi.
Pada sebagian kasus dapat terjadi spontan enterokutaneus fistel pada kasus
appendiktomi patofisiologi dapat terjadi oleh karena adanya mikroperforasi yang
menyebabkan adanya koleksi abses yang selanjutnya menjadi fistel.
Berdasarkan proses terjadinya 2 jenis :

1. Spontan

Penyebab:

 Inflamatory Bowel Disease ( 5% -50%)


 Radiasi (5% - 10%)
 Keganasan ( 2% -15%)
 Divertikulitis
 Apendisitis
2. Komplikasi pasca operasi ( 70 – 95 % )
 Operasi keganasan saliran cerna, inflammatory bowel disease dan adhesiolisis
 Faktor predisposisi : leakage anastomosis, abses, obstruksi pada distal
 Pasca apendektomi sering terjadi akibat penyakit yang mendasarinya Tb,
IBD(inflamatory bowel diseases). Sebab lain: erosi sekum atau nekrosis
sekum
Faktor anatomi yang mengakibatkan kecil kemungkinan menutup spontan antara lain:
 Abses yang besar
 Defek dinding usus > 1 cm
 Intestinal discontinuity
 Obstruksi distal
 Penyakit usus di sebelahnya
 Panjang trak < 2 cm
 Trak yang pendek bukan kendala untuk menutup bila epitel usus

tidak tumbuh ke permukaan


 Bila epitel tumbuh ke permukaan, seperti enterostomy (tidak akan menutup
spontan).
D. PATOFISIOLOGI

Salah satu penyebab terbentuknya fistel enterokutaneus adalah chrown disease.


Pada penyakit Chrown, terjadi inflamasi kronis dan subakut yang meluas ke seluruh
lapisan dinding usus dari mukosa usus, ini disebut juga transmural. Pembentukan
fistula,fisura dan abases terjadi terjadi sesuai luasnya inflamasi ke dalam peritoneum.
Jika proses inflamasi terus berlanjut maka saluran abnormal yang terbentuk bisa
mencapai kutan (kulit) abdomen sehingga terbentuklah fistel enterokutaneus. Lesi
(ulkus) tidak pada kontak terus-menerus satu sama lain dan dipisahkan oleh jaringan
normal. Pada kasus lanjut, mukosa usus mengalami penebalan dan menjadi fibrotic
dan akhirnya lumen usus menyempit.

E. KLASIFIKASI

Fistula enterokutan diklasifikasikan berdasarkan output yang dihasilkan dalam


satuan mililiter setiap 24 jam.
a. Low
Output sebanyak 200ml dalam 24 jam, pada umumnya berasal dari usus

kecil
b. Moderate
Output >200 – 500 ml dalam 24 jam
c. High
d. Output >500 ml dalam 24 jam, pada umunya berasal dari usus besar

F. MANIFESTASI KLINIK

Penyempitan lumen usus mempengaruhi kemampuan usus untuk mentranspor


produk dari pencernaan usus atas melalui lumen terkonstriksi dan akhirnya
mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Karena peristaltic usus dirangsang oleh
makanan, maka nyeri biasanya timbul setelah makan. Untuk menghindari nyeri ini,
maka sebagian pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi
jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi.
Akibatnya penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.
Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan ditempat terjadinya
inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari
usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan nutrisi juga
bisa terjadi karena gangguan pada absorbs. Akibanya adalah individu menjadi kurus
karena masukan makanan tidak adekuat dan cairan hilang secara terusmenerus. Pada
beberapa pasien, usus yang terinflamasi dapat mengalami demam dan leukositosis.
Pada pasien post operasi, fistula enterokutan dapat diidentifikasi dengan drainase
isi usus. Pasien dengan fistula enterokutan terdiagnosis pada hari ke lima atau
keenam pasca operasi, dengan gejala demam, illeus yang menetap, dan abses luka
operasi. Apabila dilakukan drainase abses, demam akan menghilang. Dalam waktu 24
jam, fistula akan tampak jelas dan tampak isi usus yang keluar dari luka operasi.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dengan penggunaan CT scan dan MRI, maka dapat menunjukkan adanya


penebalan dinding usus dan fistula saluran. Hitung darah dapat dilakukan untuk
mengkaji hematokrit dan kadar hemoglobin yang biasanya menurun serta hitung sel
darah putih yang biasanya mengalami peningkatan. laju sedimentasi biasanya akan
meningkat. Kadar albumin dan protein juga mengalami penurunan. Penurunan nilai
albumin dan protein ini dapat menjadi indicator pertanda malnutrisi.

H. PENATALAKSANAAN
1. Non operative management:
Jika fistula merupakan akibat dari karsinoma, tuberculosis, penyakit Crohn atau
colitis, maka penyakit primer harus diterapi dengan tepat agar lesi ini sembuh.
Kebanyakan ahli bedah menolak melakukan operasi anorectum pada pasien
dengan penyakit peradangan usus, karena kekambuhan lokal dan kegagalan
penyembuhan luka. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi jumlah

output fistula, dengan cara:


 Pemasangan nasogatric tube (NGT)
 Pemberian antagonis H2 atau proton pump inhibitor (PPI)
 Drainase abses
 Koreksi keseimbangan cairan, elektrolit, dan nutrisi
 Pemberian antibiotik spektrum luas
 Penggunaan somastostatin atau octreotide untuk menghambat sekresi
gaster, pankreas, sistem bilier, dan usus

2. Terapi bedah :
Fistulektomi (eksisi saluran fistula) adalah prosedur yang dianjurkan. Usus bawah
dievakuasi secara seksama dengan enema yang diprogramkan. Selama
pembedahan saluran sinus diidentifikasi dengan memasang alat ke dalamnya atau
dengan menginjeksi saluran dengan larutan biru metilen. Fistula didiseksi ke luar
atau dibiarkan terbuka, dan insisi lubang rektalnya mengarah keluar. Luka diberi
tampon dengan kassa.
Komplikasi :

 Sepsis
 Gangguan cairan dan elektrolit
 Nekrosis pada kulit
 Malnutrisi
Tabel fase pengobatan pada fistula enterocutanus
Phase Time Course Primary goals
1. Recognition and 24–48 hours Correct fluid and electrolyte

stabilization imbalances
Drainage of intra-abdominal

abscesses
Control of sepsis
Control of fistula drainage
Ensure adequate skin care
Aggressive nutritional support
Phase Time Course Primary goals
2. Investigation after 7–10 days Determine anatomy and fistula

characteristics
3. Decision up to 4–6 weeks Determine likelihood of

spontaneous closure
Plan course of therapy
4. Definitive therapy after 4–6 weeks or if Closure of fistula

closure is unlikely
Reestablish gastrointestinal

continuity
Secure closure of abdomen
5. Healing 5–10 days after closure Ensure adequate nutritional

onward support
Transition to oral intake

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan

Riwayat kesehatan diambil untuk mengidentifikasi awitan, durasi dan


karakteristik nyeri abdomen, adanya diare atau dorongan fekal, mual, anoreksia atau
penurunan berat badan dan riwayat keluarga tentang penyakit usus inflamasi.
Pengkajian pola eliminasi usus mencakup karakter, frekuensi dan adanya darah, pus,
lemak, atau mucus. Alergi penting untuk dokumnetasi, khususnya intoleransi usus
atau lactose. Pasien menunjukkan gangguan pola tidur bila diare atau nyeri terjadi
padamalam hari.
Pengkajian objektif mencakup auskultasi abdomen terhadap bising usus dan
karakteristiknya, palpasi abdomen terhadap distensi, nyeri tekan, atau nyeri dan
inspeksi kulit terhadap bukti adanya saluran fistula atau gejala dehidrasi. Feses di
inspeksi terhadap adanya darah dan mucus. Gejala paling utama adalah nyeri
intermitten yang terjadi pada diare tetapi tidak hilang setelah defekasi. Nyeri pada
daerah periumbilikal biasanya menunjukkan keterlibatan ileum terminalis (Brunner &
Suddarth, 2002).

2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
2. Resiko infeksi
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh\
4. Diare
5. Cemas
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M. 2018. Nursing Intervention


Classification (NIC), 5th edition. United States: Mosby.
Sabiston, Buku Ajar Ilmu Bedah, bagian I, cetakan ke-dua, EGC, Jakarta,2012.
Henry MM, Thompson JN , 2015, Principles of Surgery, 2nd edition, Elsevier
Saunders, page 431-445.
Herdman, T.H. 2010. Nursing Diagnoses: Definition and Calssification 2010-2012.
Philadelpia: Wiley-Blackwell.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L., Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes
Classification (NOC), 4th edition. United States: Mosby.
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2,Jakarta,
EGC, Hal: 683-684.
Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, Kartono D, Hutagalaung EU, Sumardi R,Lutfia C,
Ramli M, Rachmat KB, Dachlan M, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Bagian
Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia,1995, Jakarta:
Binarupa Aksara Hal: 364-365.
Schwartz, Shires, Spencer, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, EGC,Jakarta,
Hal 554

Anda mungkin juga menyukai