Anda di halaman 1dari 7

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. Pengertian Filsafat

1. Dari segi etimologis

Sebelum dibahas pengertian filsafat secara material maka dipandang perlu untuk
membahas terlebih dahulu makna dan arti istilah ”filsafat”. Pada umumnya para filsuf maupun
para ahli filsafat mempunyai tujuan yang senada dalam mengartikan istilah filsafat, walaupun
secara harfiah mempunyai peradaban. Istilah ”filsafat” dalam bahasa Indonesia mempunyai
padanan ”falsafah” dalam kata Arab.Sedangkan menurut kata Inggris ”philosophy”, kata Latin
”Philosophia”, kata Belanda ”philosophie”, kata Jerman ”phlosophier”, kata Perancis ”philosophie”,
yang kesemuanya itu diterjemahkan dalam kata Indonesia ”filsafat”.”Philosophia” ini adalah
kata benda yang merupakan hasil dari kegiatan ”philosophien” sebagai kata kerjanya. Sedangkan
kegiatan ini dilakukan oleh philosophos atau filsuf sebagai subjek yang berfilsafat. Menurut Dr.
Harun Nasution, istilah ”falsafah” berasal dari bahasa Yunani ”philein” dan kata ini
mengandung arti ”cinta” dan ”sophos” dalam arti hikmah (wisdom) (Nasution, 1973).
Isitlilah ”filsafat ” berasal dari bahasa Yunani, bangsa Yunani-lah yang mula-mula
berfilsafat seperti lazimnya dipahami oleh orang sampai sekarang. Kata ini bersifat majemuk,
berasal dari kata ”philos” yang berati ”sahabat” dan kata ”sophia” yang berarti ”pengetahuan”
yang bijaksana (wished) dalam bahasa Belanda, atau wisdom kata Inggris, dan hikmat menurut
kata Arab. Maka philosphia menurut arti katanya berati cinta pada pengetahuan yang
bijaksana, oleh karena itu mengusahakannya. ( Sidi Gazalba, 1977 ). Jadi terdapat sedikit
perbedaan arti, disatu pihak menyatakan bahwa filsafat merupakan bentuk majemuk dari
”philein” dan ”sophos”, ( Dr. Harun Nasution, 1973 ) di lain pihak filsafat dinyatakan dalam
bentuk majemuk dari ”philos” dan ”sophia” (Sidi Gazalba, 1977) namun secara sistematis
mengandung makna yang sama.
Dengan demikian istilah ”filsafat” yang dimaksudkan sebagai kata majemuk dari philein
dan sophos mengandung arti mencintai hal-hal yang sifatnya bijaksana, sedangkan filsafat yang
merupakan bentuk majemuk dari philos dan sophia berkonotasi teman dari kebijaksanaan.
Jadi istilah filsafat pada mulanya merupakan suatu istilah yang secara umum
dipergunakan untuk menyebutkan usaha kearah keutamaan mental (the persuit of mental
exellence) (Ali mudhofir, 1980).

2. Lingkup pengertian filsafat sebagai obyek materia dan obyek forma.

Filsafat memiliki bahasan yang sangat luas yaitu segala sesuatu baik yang bersifat
kongkrit maupun yang bersifat abstrak. Maka untuk mengetahui lingkup pengertian filsafat
terlebih dahulu perlu dipahami obyek materia dan forma ilmu filsafat, sebagai berikut:
1. Obyek materia: yaitu obyek pembahasan filsafat yang meliputi segala sesuati baik yang
bersifat material kongkrit maupun yang bersifat abstrak
2. Obyek forma: adalah cara memandang seorang peneliti terhadap obyek materia tersebut.

Berdasarkan obyek materiadan forma ilmu filsafat tersebut, maka lingkup pengertian
filsafat menjadi sangat luas, yang meliputi sebagai berikut:
a) Filsafat sebagai suatu kebijaksanaan yang rasional dari segala sesuatu. James K.
Feibleman: filsafat sebagai suatu kebijaksanaan yang rasional tentang segala sesuatu
tertentu dalam kaitannya dengan hidup manusia.
b) Filsafat sebagai suatu sikap dan pandangan hidup. Manusia dalam menghadapi segala
macam problema dalam hidupnya yang harus diselesaikan berdasarkan sikap dan
pandangan hidupnya.
c) Filsafat sebagai suatu kelompok persoalan. Persoalan manusia dalam lingkup filsafat
adalah bersifat fundamental, mendalam, hakiki serta memerlukan jawaban yang
mendalam hakiki sampai pada tingkat hakekatnya
d) Filsafat sebagai suatu kelompok teori dan sistem pemikiran. Filsafat dalam pengertian
ini mengacu pada suatu hasil atau teori yang dihasilkan oleh para filsuf
e) Filsafat sebagai suatu proses kritis dan sistematis dari segala pengetahuan manusia.
Filsafat berupaya untuk meninjau secara kritis segala pengetahuan manusia terutama
ilmu pengetahuan yang berkembang secara praktis dalam proses penelitian ilmiah
antara metode, obyek penelitian serta segala instrumen penelitian haruslah memiliki
kesesuaian
f) Filsafat sebagai usaha untuk memperoleh pandangan yang komprehensif. Tujuan
filsafat adalah berupaya menyatupadukan hasil-hasil pengalaman manusia dalam
bidang keagamaan, etika, serta ilmu pengetahuan yang dilakukan secara menyeluruh.

B. Ciri-ciri berfikir secara kefilsafatan

Kegiatan berfikir secara kefilsafatan pada hakekatnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. bersifat kritis: yaitu mempertanyakan segala sesuatu, problema-problema atau


hal-hal yang lain yang sedang dihadapi oleh manusia.
2. bersifat mendalam: yaitu bukan hanya berfikir sampai pada fakta-fakta yang
sifatnya sangat khusus dan empiris belaka namun sampai pada intinya yang terdalam
yaitu substansinya yang bersifat universal.
3. bersifat konseptual, tidak sampai pada persepsi belaka namun sampai pada
pengertian yang bersifat konseptual
4. koheren (runtut), yakni berusaha menyusun suatu bagan yang konseptual
yang koheren (runtut).
5. bersifat rasional, adalah bagan yang bagian-bagiannya berhubungan secara
logis diantara satu dan lainnya.
6. bersifat menyeluruh, pemikiran kefilsafatan bukan hanya berdasar pada suatu
fakta yang khusus dan individual saja namun harus sampai pada suatu kesimpulan
yang sifatnya paling umum
7. bersifat universal, pemikiran kefilsafatan berusaha menemukan kenyataan
kebenaran dengan berusaha untuk sampai pada suatu kesimpulan-kesimpulan yang
bersifat universal.
8. bersifat spekulatif, dicirikan dengan sifatnya yang spekulatif, yaitu pengajuan
dugaan-dugaan yang rasional yang melampaui batas-batas fakta.
9. bersifat sistematis, pemikiran kefilsafatan senantiasa memiliki bagian-bagian
dan diantara bagian-bagian tersebut senantiasa berhubungan antara satu dengan
lainnya. Hubungan tersebut terjalin dalam kerja sama yang saling ketergantungan.
10. bersifat bebas, berfikir secara kefilsafatan adalah berfikir secara bebas untuk
sampai pada hakekat yang terdalam yang universal.

C. Cabang-cabang Filsafat dan aliran-alirannya


Sebagaimana ilmu lainnya, filsafat memiliki cabang-cabang yang berkembang sesuai
dengan persoalan filsafat yang dikemukakannya, maka muncullah cabang-cabang filsafat
tersebut dan berkembang terus sesuai dengan pemikiran dan problem yang dihadapi manusia.
Cabang-cabang filsafat tradisional terdiri atas empat, yaitu: logika, metafisika,
epistemologi dan etika. (lihat Titus, 1984: 17). Namun demikian berangsur-angsur berkembang
sejalan dengan persoalan yang dihadapi oleh manusia. Maka untuk mempermudah
pemahaman kita perlu diutarakan cabang-cabang filsafat yang pokok:
a. Metafisika, yang berkaitan dengan persoalan tentang hakekat yang ada (segala sesuatu
yang ada).
Aliran-aliran dalam Metafisika, dibedakan dalam tiga pandangan, yakni dari segi
kuantitas, segi kualitas dan segi proses.
Dari segi kuantitas timbul aliran-aliran filsafat antara lain:
a) Monisme, adalah aliran yang menyatakan hanya ada satu kenyataan yang
terdalam (fundamental). Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-
545), Anaximander (610 -647), Anaximenes (585- 528).
b) Dualisme, aliran yang menyatakan adanya dua substansi pokok yang masing-
masing berdiri sendiri. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain: Plato (428 –
348), Rene Descartes (1596 -1650), Leibniz (1946 – 1716), Immanuel Kant (1724 –
1804).
c) Pluralisme, adalah aliran filsafat yang tidak mengakui adanya satu substansi atau
hanya dua substansi melainkan mengakui adanya banyak substansi. Tokoh-
tokoh dalam aliran ini antara lain: Empedokles (490 – 430), Anaxagoras (500 –
428).

Dari segi kwalitas, timbul aliran-aliran filsafat antara lain:


a) Spiritualisme, yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam alam
semesta adalah roh. Adapun tokoh-tokoh aliran ini antara lain: Plato (430 – 348),
Leibnis (1646 -1716).
b) Materialisme, yang menyatakan bahwa : tidak ada hal yang nyata kecuali
materi. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain: Demokritos (460 – 370), Thomas
hobbes (1588 -1679).
Sedangkan dari segi proses, timbul aliran-aliran filsafat antara lain:
a) Mekanisme (mesin). Menurut aliran ini, semua gejala atau peristiwa seluruhnya
dapat diterangkan berdasarkan pada asas-asas mekanis (mesin). Adapun
tokohnya antara lain: Leocippus dan Demikritus (460 – 370), Galileo (1564 –
1641), Republik Descartes (1596 -1650).
b) Telelogis. Aliran ini tidak mengingkari hukum sebab akibat, tetapi berpendirian
bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah hukum sebab akibat, tetapi
awal mulanya memang ada suatu kemauan, atau kekuatan yang mengarah
pada satu tujuan. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain: Plato (428 -348), Aristoteles
(384 – 322)
c) Fitalisme. Menyatakan bahwa hidup tidak dapat dijelaskan secara fisik kimiawi,
karena berbeda dengan segala sesuatu yang tidak hidup. Tokoh-tokoh aliran ini
antara lain: Hans Adolf Eduard Driesch (1867 – 1940), Bergson (1859 – 1941).
b. Epistemologi: yang berkaitan dengan persoalan hakekat pengetahuan manusia, yaitu
tentang sumber, watak dan kebenaran pengetahuan.
Aliran-aliran Epistemologi:
a) Rasionalisme. Aliran ini berpendapat bahwa semua pengetahuan bersumber pada
akal pikiran atau rasio. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain: Renedes
Descartes, Spinoza (1632 – 1677), Leibniz (1646 -1716).
b) Empirisme. Adalah aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia
diperoleh melalui pengalaman indera. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain:
John Locke (1632 – 1704), David Hume (1711 – 1776).
c) Realisme. Yaitu aliran filsafat yang menyatakan bahwa obyek-obyek yang kita
serap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek tersebut. Tokoh-tokoh dalam
aliran ini antara lain: Aristoteles (384 – 322).
d) Kritisisme. Menyatakan bahwa: akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari
empiris (yang meliputi indera dan pengalaman). Tokoh-tokoh dalam aliran ini
antara lain: Emmanuel Kant (1724 -1804).
e) Positivisme. Berpandangan bahwa: sejarah perkembangan pemikiran manusia
dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:
i. Tahap Teologis, dimana manusia masih percaya dengan
pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini
masih dikuasai oleh tahayul, sehingga subyek dan obyek tidak bisa
dibedakan.
ii. Tahap Metafisis, dimana pemikiran manusia berusaha
memahami dan memikirkan kenyataan, akan tetapi belum mampu
membuktikan dengan fakta.
iii. Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk
menemukan hukum-hukum dan saling hubungan lewat fakta. Tokoh
dalam aliran ini adalah Auguste Comte.
f) Skeptisisme, menyatakan bahwa penyerapan indera adalah bersifat menipu atau
menyesatkan. Namun pada jaman modern berkembang menjadi skeptisme
metodis (sistematis), yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu
pengetahuan diakui benar. Tokoh dalam aliran ini adalah: Rene deskartes (1596 –
1650).
g) Pragmatisme, aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakekat pengetahuan,
namun mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari
pengetahuan tersebut. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain: C.S.Pierce (1839
-1914), William Jemes (1820 – 1910).

c. Metodologi, yang berkaitan dengan persoalan hakekat metode ilmiah.


d. Logika. Pada hakekatnya mempelajari teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan
dari suatu perangkat bahan-bahan tertentu atau dari suatu premis-premis tertentu.
Logika dibagi dua macam, yakni : logika deduktif dan induktif
e. Etika. Berkaitan dengan persoalan moralitas. Etika dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
etika deskriptif, normatif dan metaetika.
Aliran-aliran dalam etika, antara lain:
a) Idealisme, yang mengakui hal-hal: adanya suatu nilai-nilai, asas-asas moral atau
aturan-aturan untuk bertindak; lebih mengutamakan pada hal yang bersifat
spiritual dari pada hal-hal yang bersifat indrawi dan bendawi; lebih
mengutamakan kebebasan moral dari pada kejiwaan /alami; lebih
mengutamakan hal yang umum dari pada yang khusus.
b) Teleologi, menyatakan bahwa kebaikan suatu tindakan sepenuhnya bergantung
pada suatu tujuan.
c) Hedonisme, menyatakan bahwa kebahagiaan yang didasarkan pada suatu
kenikmatan adalah merupakan suatu tujuan dari tindakan manusia. Tokoh
dalam aliran ini: Jeremi Bentham (abad 18).
d) Utilatianisme, menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
menimbulkan jumlah yang sebanyak-banyaknya kenikmatan atau kebahagiaan
di dunia (principle of utylity).
e) Intuisionisme, berpandangan bahwa jenis-jenis tindakan dapat diketahui baik
atau buruk secara langsung tanpa memikirkan nilai yang terdapat dalam akibat-
akibat dari tindakan tersebut. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain: H. A.
Prichard, E.F. Carrit, W.D. Ross.

f. Estetika. Adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan persoalan keindahan. Dalam
perkembangan berikutnya muncullah cabang-cabang filsafat baru yang sering kali
diistilahkan dengan filsafat khusus, antara lain:
a) Filsafat hukum
b) Filsafat bahasa
c) Filsafat sosial
d) Filsafat ilmu
e) Filsafat politik
f) Filsafat kebudayaan dan
g) Filsafat lingkungan.

D. Pengertian Pancasila sebagai suatu sistem

Pancasila yang terdiri atas lima sila , pada hakekatnya merupakan sistem filsafat. Yang
dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling
bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sistem memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. suatu kesatuan bagian-bagian
2. bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri;
3. saling berhubungan, saling ketergantungan;
4. kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama (tujuan sistem).
5. terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (shore dan Foich, 1974:22).

Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila, setiap sila pada
hakekatnya merupakan asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri dan tujuan tertentu, yaitu suatu
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sila-sila pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakekatnya merupakan satu
kesatuan organik. Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan
saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasi oleh sila-sila yang lainnya, maka
Pancasila pada hakekatnya merupakan sistem dalam pengertian bahwa bagian-bagian sila-
silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh.
Kenyataan Pancasila yang demikian disebut sebagai kenyataan yang obyektif, yaitu
bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau terlepas
dari pengetahuan orang. Kenyataan obyektif yang ada dan terlekat pada Pancasila, sehingga
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbeda dengan sistem-sistem filsafat
yang lain. Hal ini secara ilmiah disebut sebagai filsafat secara obyektif (Notonegoro,1975: 14)
E. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat.

Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakekatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang
bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistimologis, serta
dasar aksiologis dari sila Pancasila. Secara filosofis Pancasila sebagai satu kesatuan sistem filsafat
memiliki dasar ontologis, dasar epistimologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda
dengan sistem filsafat lainnya, misalnya: materialisme, liberalisme, prakmatisme,komunisme,
idealisme dan lain-lain faham filsafat di dunia.

1. Dasar Ontologis sila-sila Pancasila

Dasar ontologis Pancasila pada hakekatnya adalah manusia yang memiliki hakekat
mutlak monopluralis, hakekat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek
pendukung pokok-pokok Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Bahwa yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang ber persatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
permusyawaratan/perwakilan, serta yang berkeadilan sosial adalah manusia
(Notonegoro, 1975: 23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa
Pancasila sebagai dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat ,
dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat
Pancasila bahwa hakekat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki
hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan
rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, serta
kedudukan kodrat manusia sebagai pribadi berdiri sendiri dan sebagai makluk Tuhan
yang Maha Esa. Oleh karena itu kedudukan kodrat manusia sebagai makluk pribadi
berdiri sendiri dan sebagai makluk Tuhan inilah maka secara hirarkis sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang
lainnya (Notonegoro, 1975: 53).

2. Dasar Epistemologis sila-sila Pancasila

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakekatnya juga merupakan suatu sistem
pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi
bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat,bangsa dan
negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah
yang terjadi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian yang demikian ini telah
menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan yang telah menyangkut praksis,
karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal ini berarti filsafat telah menjelma menjadi ideologi
(Abdul Gani, 1998) . sebagai suatu ideologi maka Pancasila memiliki 3 unsur pokok agar dapat
menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu:

1. Logos, yaitu rasionalitas atau penalarannya


2. Pathos, yaitu penghayatannya
3. Ethos, yaitu kesusilaannya (Wibisono,1996:3)
Sebagai suatu sistem filsafat atau ideologi maka pancasila harus memiliki unsur
rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.
Terdapat 3 persoalan dalam etimologi yaitu:
1.Tentang sumber pengetahuan manusia,
2.Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia,
3. Tentang watak pengetahuan manusia (Titus,1984:20)
Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Sebagai suatu sistem pengetahuan pancasila memiliki susunan yang bersifat formal
logis baik dalam arti susunan pancasila maupun isi arti sila-sila pancasila. Susunan
kesatuan sila-sila pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal.

3. Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila

Sila-sila pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar
aksiologisnya, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga
merupakan satu kesatuan. Pada hakekatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa
saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.
Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolong-golongkan nilai dan
penggolongan tersebut beraneka ragam tergantung pada sudut pandangannya masing-masing.
Misalnya: kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang tertinggi adalah nilai
material, kalangan hedonis, berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan.
Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua
macam sudut pandang, yaitu: bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subyek
pemberi nilai, yaitu manusia. Hal ini bersifat subyektif namun juga terdapat pandangan bahwa
pada hakekatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri, memang bernilai. Hal ini
merupakan pandangan dari faham obyektifisme.
Max Scheler mengemukakan bahwa nilai pada hakekatnya berjenjang, jadi tidak sama
tingginya dan tidak sama luhurnya. Noto Nagoro merinci nilai disamping bertingkat juga
berdasarkan jenisnya, ada yang bersifat material dan non material. Nilai-nilai Pancasila
termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai
fital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila tergolong nilai kerohanian, yang juga mengandung
nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, yaitu nilai material, nilai fital, nilai kebenaran, nilai
keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral maupun nilai kesucian yang secara
keseluruhan bersifat sistematik – hirarkhis, dimana Sila Pertama sebagai basisnya sampai
dengan Sila Kelima sebagai tujuannya (Darmo Diharjo, 1978).

Anda mungkin juga menyukai