Anda di halaman 1dari 53

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. R
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Simpang Rimbo RT 03
Tanggal MRS : 8 Januari 2013
Tanggal Pemeriksaan : 9 Januari 2013

1.2 ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Mual dan muntah ± 6 kali sejak ± 4 jam SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk via IGD dengan keluhan Mual dan muntah ± 6 kali
sejak ± 4 jam SMRS. Isi muntahan berupa air dan makanan. Nyeri di
rasakan memberat jika terlambat makan, mudah terasa kenyang saat
makan, perut terasa kembung, dan sering merasa mual. Pasien mengaku
sering terlambat makan dan suka makan-makanan pedas.pasien mengaku
tidak dalam keadaan hamil. Nyeri ulu hati (+), sesak (-), nyeri dada (-),
dada berdebar-debar (-), Nafsu makan menurun, badan terasa lemas,os
mengalami sulit BAB dalam 3 hari Cuma sekali,tapi konsistensi tidak
keras & berwarna coklat, kadang-kadang BAK berwarna coklat teh.
Pasien juga mengeluh selama1 bulan ini mengalami penurunan
nafsu makan, sehingga os sering telat makan. 7 hari SMRS os juga
mengalami demam. Demam dirasakan naik turun, disertai menggigil (+),
setelah menggigil os berkeringat & merasa sudah sembuh. Hal ini
dirasakan berulang-ulang dengan waktu yang tidak tentu.mimisan (-), gusi
berdarah (-),lidah kotor (-).

1
Selama tahun ini pasien mengetahui dirinya menderita kencing manis, dan
selalu kontrol berobat

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Penyakit dengan keluhan yang sama disangkal
 Riwayat kencing manis (+)
 riwayat penyakit kuning (+)
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat malaria disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit paru disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit yang sama pada anggota keluarga disangkal
 Riwayat penyakit darah tinggi: nenek os menderita darah tinggi
 Riwayat penyakit kencing manis : bibi os menderita kencing manis
 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda Vital : TD = 120/70 mmHg N= 94 x/menit
RR = 30 x/menit T = 38,6C
4. Kulit
 Warna : sawo matang
 Eflorensensi : (-)
 Pigmentasi : hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
 Jaringan parut/ koloid : (-)
 Pertumbuhan rambut : normal
 Lembab kering : keringat (+)

2
 Turgor : < 2 detik (baik)
5. Kepala dan leher
 Rambut : Warna hitam keputihan, lurus, tidak mudah dicabut,
alopesia (-)
 Kepala : Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Skera ikterik (-/-), edema
pelpebra (-/-), Pupil Isokhor θ: 3mm
 Hidung : Nafas cuping hidung (-), Epistaksis (-), secret (-)
 Mulut : Bentuk normal, bibir sianosis (-), Mukosa anemis (-)
 Tenggorokan : Faring dan tonsil hiperemis (-), Tonsil T1-T1
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kel.Tyroid (-), JVP
(5 – 2) cmH2O, Kaku kuduk (-), Pulsasi vena jugularis
(-).
6. Thoraks
Paru
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, thoracoabdominal, sela iga
melebar (-), sela iga menyempit (-)
 Palpasi : Vocal Fremitus sama kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor, batas paru hati ICS VI linea midclavikularis
dekstra,
 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V di linea midklavikula
sinistra sekitar 1 jari kearah medial, tidak kuat angkat.
 Perkusi :
o Batas atas jantung ICS II linea parasternal sinistra
o Batas jantung kanan linea parasternal dekstra
o Batas jantung kiri ICS V sekitar 1 jari kearah medial
o Pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
 Auskultasi : BJ1-BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)

3
7. Abdomen
 Inspeksi : Datar, jaringan parut (-), kaput medusa (-), striae (-)
 Palpasi : nyeri tekan (+) di epigastrium, asites (-), defans
muskuler (-), hepatomegali (-), Splenomegali (-),
Ballotemen (-), undulasi (-)
 Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-).
 Auskultasi : Bising usus normal
8. Genitalia dan anus : Tidak diperiksa secara langsung
9. Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time (N),
Clubbing finger (-/-), Palmar eritem (-/-)
 Inferior : Akral hangat, Pitting edema pretibial (-/-)

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
 Darah rutin (Tanggal 10 januari 2012)
 WBC : 13,8 103/mm3 (3,5-10,0 103/mm3)
 RBC : 4,35 106/mm3 (3,80-5,80 106/mm3)
 HGB : 11,8 g/dl (11,0-16,5 g/dl)
 HCT : 37,0 % (35,0-50%)
 PLT : 254 103/mm3 (150-390 103/mm3)
 PCT : . 91 % (0,100-0,500 %)
 MCV : 85 µm3 (80-97 µm3)
 MCH : 27,1 pg (26,5-33,5 pg)
 MCHC : 31,9 g/dl (31,5-35,0 g/dl)
 RDW : 15,0% (10,0-15,0 %)
 MPV : 7,5 µm3 (6,5-11,0 µm3)
 PDW : 14,0% (10,0-18,0 %)
Diff:
 % LYM : 7,1 % (17,0-48,0 %)
 % MON : 2,4 % (4,0-10,0 %)

4
 % GRA : 90,5% (43,0-76,0 %)
 # LYM : 0,9 103/mm3 (1,2-3,2 103/mm3)
 # MON : 0,3 103/mm3 (0,3-0,8 103/mm3)
 # GRA : 12,6 103/mm3 (1,2-6,8 103/mm3)

 DDR (+)
 GDS: 227 mg/dl

Pemeriksaan yang disarankan


 GDP, GD2PP
 Cek Urin rutin
(Warna, BJ, pH, albumin, glukosa urin, sedimen urine)
 Cek Faal hati
(Albumin, protein total, SGOT, SGPT)
 Cek kadar lemak
(Kolesterol total, Trigliserida, HDL, LDL)
 Cek Faal ginjal
(Ureum, Kreatinin)

1.5 DIAGNOSIS KERJA


Dispepsia & Malaria dengan DM tipe II
1.6 DIAGNOSIS BANDING
 Gastritis
 DBD
 Diabetes Melitus tipe I

1.7 TATALAKSANA
 Bed rest tidak total
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
 Inj. Ranitidin 2x1 amp
 Arthem hari pertama 1x2 amp

5
Hari ke 2-5 1x1 amp
 Antasida 3x1c
 Paracetamol 3x1 tab
 Ondancentron 3x1 tab
 Edukasi

1.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam

1.9 FOLLOW UP
Tanggal S O A P
9 jan 2013 Sakit kepala, - KU : Sakit sedang Dispepsia + - IVFD RL 20 gtt/I
nyeri ulu hati - Kesadaran: Composmentis Obs. Febris - Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
(+), lemas - TD : 120/70 mmHg + DM tipe - Inj. Ranitidin 2x1
- N : 94 x/menit II amp
- RR : 30 x/menit - Paracetamol 3x1 tab
- Suhu : 38.6 °C
Cek DR, UR, ur/kr,
SGOT/SGPT,DDR,
GDS ulang.

4 des 2012 Sakit kepala, - KU : Sakit sedang Dispepsia - IVFD RL 20 gtt/i


mual (+), - Kesadaran: Composmentis + Malaria + - Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
nafsu makan - TD : 130/80 mmHg DM tipe II - Inj. Ranitidin 2x1
tidak ada, - N :83 x/menit amp
lemas - RR : 28 x/menit - Arthem hari pertama
- Suhu : 37,2 °C 1x 2 amp
- Paracetamol 3x1 tab
Hasil DDR (+) - Ondancentron 3x1 tab
GDS = 173 mg/dl - Antasida syr 3x1c

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DISPEPSIA
2.1.1 Definisi
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang
terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah.1

2.1.2 Epidemiologi
Pada dispepsia fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan, oleh
karena 45 tahun ke atas sering ditemukan kasus keganasan, sedangkan dispepsia
fungsional diatas 20 tahun jarang ditemukan keganasan. Begitu pula wanita lebih
sering dari pada laki-laki . Berdasarkan penelitian pada populasi umum
didapatkan bahwa 15 – 30 % orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam
beberapa hari. Di inggris dan skandinavia dilaporkan angka prevalensinya
berkisar 7 – 41 % tetapi hanya 10 – 20 % yang mencari pertolongan medis.
Insiden dispepsia pertahun diperkirakan antara 1 – 8 % . Dan dispepsia cukup
banyak dijumpai. Di negara barat prevalensi yang dilaporkan antara 23 dan 41 %.
Sekitar 4 % penderita berkunjung ke dokter umumnya mempunyai keluhan
dispepsia. Didaerah asia pasifik, dispepsia juga merupakan keluhan yang banyak
dijumpai, prevalensinya sekitar 10 – 20 %.2

2.1.3 Etiologi
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau
duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa
antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis,
kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit
jantung koroner.

7
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak
terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu
dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.1

2.1.4 Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan
pathogenesis terjadinya gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak
dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah;
Hipotesis asam lambung dan inflamasi, hipotesis gangguan motorik, hipotesis
hipersensitivitas visceral, serta hipotesis tentang adanya gangguan psikologik atau
psikiatrik.2
1. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional,umunya mempunyai tingkat sekresi
asam lambung, baik sekresi basal maupun stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam
yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
2. Helicobacter pylori (Hp)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka
kekerapan Hp pada kelompok orang sehat. Memang mulai ada kecenderungan
untuk melakukan eradikasi Hp pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang
gagal dengan pengobatan konservatif baku.
3. Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50%
kasus), gangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan
hipersensitivitas viseral. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada
setengah sampai dua per tiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan
pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional, tetapi
tidak ada korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan
pengosongan lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal memperlihatkan
adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial, disamping

8
juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi ini
diduga yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola
pikir pengobatan yang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang
mengalami perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual,
muntah dan rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas
terhadap distensi lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya
penurunan berat badan. Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang
mengalami gangguan akomodasi lambung waktu makan. Pada keadaan normal,
waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa
meningkatkan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa pada penderita
dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial
pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari adanya pembagian sub grup
dispepsia fungsional menjadi tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus dan tipe
campuran.2
4. Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini
mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau
duodenum. Bagaimana mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dengan
menggunakan balon intragastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dispepsia
fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon
dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa
nyeri pada populasi kontrol.
5. Disfungsi autonom
Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga
diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan
rasa cepat kenyang.2

6. Aktivitas mioelektrik lambung

9
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi
berupa tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40% kasus dispepsia
fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten
7. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam
beberapa percobaan, progesteron, estradiol dan prolaktin mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.2
8. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis
Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress
sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stress kehidupan, fungsi otonom
dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan personaliti yang
karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan kelompok
kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan pada
kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual
abuse atau adanya gangguan psikiatrik.2

2.1.5 Gejala Klinis


Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas /kualitasnya pada setiap
pasien, maka banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional
menjadi beberapa sub grup didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau
dominan.
 Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dyspepsia).

10
 Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling
sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe
seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia)
 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai
dispepsia non spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk
mempermudah diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan
alternatif pengobatan awalnya.2

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
 Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil
pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa
asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA,
dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9

 Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus


dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau
muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan.2

 Endoskopi  bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau


usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari
lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop
untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori.
Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik
sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi
adalah:

11
a.    CLO (rapid urea test)
b.   Patologi anatomi (PA)
c.   Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d.   PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
 Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD
(oesophagus maag duodenum) dengan kontras ganda,
serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test . Pemeriksaan radiologis
dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan
kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagusnyang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik
di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga
sedikit barium yang masuk ke intestin. Pada tukak baik di lambung,
maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu
kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang
jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di
lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat
peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis
akuta perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti
terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari
intestin terutama di jejunum yang disebut  sentinal loops. Kadang
dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan
atau respon kerongkongan terhadap asam.2

2.1.7 Diagnosis
Dispepsia melalui simtom simtomnya saja tidak dapat membedakan antara
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah
diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan
organik atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan
yang pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena
dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan
duodenum. Diikuti dengan USG (Ultra Sono Graphy) dapat mengungkapkan
kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat

12
memberikan perubahan anatomis Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan
dapat mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan
gangguan saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
pertanda tumor.1

2.1.8 Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
a. Pendekatan umum
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional
menggambarkan bahwa adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya
respon placebo yang tinggi (sekitar 45%) mempersulit untuk mencari regimen
pengobatan yang kebih pasti. Penjelasan kepada pasien mengenai latar belakang
keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Buat diagnosis
klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang
mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang
dideritanya. Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk menghindari
makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik
akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.3
b. Dietetik
Tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan keluhan secara
bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan
pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam,
tinggi lemak, kopi sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional
dan jangan sampai menurunkan/mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila
keluhan cepat kenyang, dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tapi sering dan
rendah lemak.2

2. Medikamentosa
a. Antasid
Antasid merupakan obat yang paling umum di konsumsi oleh penderita
dispepsia, tapi dalam penelitian, obat ini tidak lebih unggul dibanding plasebo.
b. Penyekat H2 reseptor
Obat ini juga umum diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi
acak ganda tersamar, didapatkan hasil yang kontroversial. Sebagian gagal

13
menunjukkan manfaatnya pada dispepsia fungsional dan sebagian lagi berhasil.
Berdasarkan penelitian diperkirakan manfaat terapinya 20% di atas plasebo.
Umumnya manfaatnya ditujukan untuk menghilangkan nyeri pada ulu hati.3
c. Penghambat pompa proton
Obat ini tampaknya cukup superior dibandingkan plasebo pada dispepsia
fungsional, walaupun pada banyak studi secara tidak sengaja juga terlibat kasus
penyakit refluks gastroesofageal yang tidak terdeteksi. Respons terbaik terlihat
pada kelompok dispepsia fungsional tipe seperti ulkus.2
d. Sitoproteksi
Obat ini, misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya untuk
memperoleh kemanfaatan yang dapat dinilai.
e. Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis reseptor
dopamin D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar
otak) dan cisapride (agonis reseptor 5-HT4). Dalam berbagai penelitian, baik
domperidon dan cisapride mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo
dalam mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang distensi abdomen dan mual..3
Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia
fungsional, tapi terbatas studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya.
Cisapride tergolong agonis reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang
secara penelitian memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan
plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat
ini adalah setelah diketahui efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama
perpanjangan masa Q-T, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.

2.1.9 Komplikasi
Pada dispepsia fungsional, tidak terjadi komplikasi dari perdarahan seperti
kurang darah, penurunan berat badan atau muntah-muntah.  Penggunaan obat
yang sembarangan akan menimbulkan komplikasi yang tidak kita harapkan.
Seperti gastritis sedamg smpai berat misalnya.3

2.1.10 Prognosis

14
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik.3

2.2 MALARIA
2.2.1 Definisi

Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh

protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan

pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit

infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang

menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam

darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.5

2.2.2 Epidemiologi

Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin lebih berkaitan dengan

perbedaan derajat kekebalan tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

perempuan mempunyai respon imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-

laki, namun kehamilan dapat maningkatkan resiko malaria. Ada beberapa faktor

yang turut mempengaruhi seseorang terinfeksi malaria adalah 6:

1. Ras atau suku bangsa

Pada penduduk benua Afrika prevalensi Hemoglobin S (HbS) cukup tinggi

sehingga lebih tahan terhadap infeksi P. falciparum karena HbS dapat

menghambat perkembangbiakan P. falciparum.

2. Kekurangan enzim tertentu

Kekurangan terhadap enzim Glukosa 6 Phosphat Dehidrogenase (G6PD)

memberikan perlindungan terhadap infeksi P. falciparum yang berat. Defisiensi

15
terhadap enzim ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada

wanita.

3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu mengancurkan

Plasmodium yang masuk atau mampu menghalangi perkembangannya.

2.2.3 Etiologi

Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus

Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada

manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,

Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan

oleh nyamuk betina Anopheles ataupun ditularkan langsung melalui transfusi

darah atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya.7

Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut juga sebagai malaria

tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria

kuartana. P. ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum

menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies terakhir ini paling

berbahaya, karena malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam

waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga

menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh.7

2.2.4 Siklus Hidup Plasmodium

Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia

dan nyamuk anopheles betina.(7)

2.2.4.1 Siklus Pada Manusia

16
Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia, sporozoit

yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dsalam peredaran darah

selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati

dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang

terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus

eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada P. vivak dan

P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon,

tetapi ada yang memjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit

tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-

tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga

dapat menimbulkan relaps (kambuh).7

Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam

peredaran darah dan menginfeksi sela darah merah. Di dalam sel darah merah,

parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30

merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya

eritrosit yang terinfeksi skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi

sel darah merah lainnya. Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer.

Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah

merah dan membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina.7

2.2.4.2 Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina

Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung

gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan

pembuahan menjadi zigot. Zigot ini akan berkembang menjadi ookinet kemudian

menembus dinding lambung nyamuk. Di luas dinding lambung nyamuk ookinet

17
akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya akan

bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.7

Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit

masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan

demam bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium. Sedangkan masa prepaten

atau rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi

dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik.7

2.2.5 Patogenesis Malaria

Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan

lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan

permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Oeleh karena

skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya

anemi tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit

selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang

menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa

sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia

mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.6

Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga

mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering

terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada

malaria kronis terjadi hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag.6

Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi

merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung

parasit mengalami perubahan struktur danmbiomolekular sel untuk

18
mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme,

diantaranya transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting7.

Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.

falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu

eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk

roset.5

Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang

mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit

non parasit, sehingga berbentu seperti bunga. Salah satu faktor yang

mempengaruhi terjadinya resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya

antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan

eritrosit yang tidak terinfeksi.5,7

Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan

berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Penghancuran eritrosit

Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga

terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia

dan hipoksemia jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi

hemoglobinuria (black white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal7.

2. Mediator endotoksin-makrofag

Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag

yang sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin

mungkin berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan

faktor nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam

19
peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan

sitokin dapat menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit

pernapasan pada orang dewasa7.

3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka

Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan-tonjolan

(knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi

dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang

mengandung parasit terhadap endothelium kapiler alat dalam, sehingga skizogoni

berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada

endothelium dan membentuk gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan

menimbulkan anoksia dan edema jaringan7.

2.2.6 Patologi Malaria

Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi dalam sel hepar tanpa

menyebabkan reaksi inflamasi, kemudian merozoit yang dihasilkan menginfeksi

eritrosit yang merupakan proses patologi dari penyakit malaria. Proses terjadinya

patologi malaria serebral yang merupakan salah satu dari malaria berat adalah

terjadinya perdarahan dan nekrosis di sekitar venula dan kapiler. Kapiler dipenuhi

leukosit dan monosit, sehingga terjadi sumbatan pembuluh darah oleh roset

eritrosit yang terinfeksi5.

2.2.7 Manifestasi Klinis

Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium

mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan

20
dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI

(glycosyl phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada

beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik)

banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari

malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali5,6,7.

Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:

1. Masa inkubasi

Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit

(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya

infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes.

Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara

induksi (misalnya transfuse darah yang mengandung stadium aseksual)5.

2. Keluhan-keluhan prodromal

Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:

malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot,

anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di

punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale,

sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas7.

3. Gejala-gejala umum

Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym)

secara berurutan:

 Periode dingin

Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering

membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering

21
seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan.

Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan

meningkatnya temperatur5,6,7.

 Periode panas

Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan

panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka

selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-

muntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase

dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat5,6,7.

 Periode berkeringat

Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita

merasa capek dan sering tertidur. Bial penderita bangun akan merasa sehat dan

dapat melakukan pekerjaan biasa5.

Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih

sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah

3 hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis5.

Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum. pada

infeksi P. falciparum dapat meimbulkan malaria berat dengan komplikasi

umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan

sebagai infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi

sebagai berikut:5

1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11.

2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung

parasit >10.000/µl.

22
3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau

<12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan

kreatinin >3mg%.

4. Edema paru.

5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.

6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg diserta keringat dingin

atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC.

7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai

kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.

8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada

hipertermis.

9. Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).

10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan

karena obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat

Dehidrogenase.

11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada

pembuluh kapiler jaringan otak.

2.2.8 Diagnosis

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti

infeksi malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik

atau tes diagnostic cepat.

1. Anamnesis

23
 Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat

disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.

 Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu

ke daerah endemik malaria.

 Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.

 Riwayat sakit malaria.

 Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.

 Riwayat mendapat transfusi darah.

Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka penderita malaria berat,

dapat ditemukan keadaan di bawah ini:

 Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.

 Keadaan umum yang lemah.

 Kejang-kejang.

 Panas sangat tinggi.

 Mata dan tubuh kuning.

 Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.

 Nafas cepat (sesak napas).

 Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.

 Warna air seni seperti the pekat dan dapat sampai kehitaman.

 Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.

 Telapak tangan sangat pucat.

2. Pemeriksaan Fisik

 Demam (≥37,5oC)

 Kunjunctiva atau telapak tangan pucat

24
 Pembesaran limpa

 Pembesaran hati

Pada penderita tersangaka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis

sebagai berikut:

 Temperature rectal ≥40oC.

 Nadi capat dan lemah.

 Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg

pada anak-anak.

 Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali

permenit pada balita, dan >50 kali permenit pada anak dibawah 1

tahun.

 Penurunan kesadaran.

 Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.

 Tanda-tanda dehidrasi.

 Tanda-tanda anemia berat.

 Sklera mata kuning.

 Pembesaran limpa dan atau hepar.

 Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.

 Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan dengan mikroskopik

Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada

penderita adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah

tepi(13). Pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk menentukan:

25
 Ada/tidaknya parasit malaria.

 Spesies dan stadium Plasmodium

 Kepadatan parasit

- Semi kuantitatif:

(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB

(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB

(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB

(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB

(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB

- Kuantitatif

Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah

tebal atau sediaan darah tipis.

b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)

Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,

dengan menggunakan metoda immunokromatografi dalam bentuk dipstik.

c. Tes serologi

Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap

malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang

bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibodi baru terbentuk setelah

beberapa hari parasitemia. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan

tes >1:20 dinyatakan positif.

2.2.9 Pengobatan Malaria

26
Obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin,

sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivate artemisin. Klorokuin

merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria klinis

dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan

malaria, sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita

malaria falciparum tanpa komplikasi. Kina merupakan obat anti malaria pilihan

untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina

juga digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi.

Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis,

pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat. Artemisin digunakan untuk

pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrugs.7.

Beberapa obat antibiotika dapat bersifat sebagai antimalaria. Khusus di

Rumah Sakit, obat tersebut dapat digunakan dengan kombinasi obat antimalaria

lain, untuk mengobati penderita resisten multidrugs. Obat antibiotika yang sudah

diujicoba sebagai profilaksis dan pengobatan malaria diantaranya adalah derivate

tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, sulfametoksazol-trimetoprim dan

siprofloksasin. Obat-obat tersebut digunakan bersama obat anti malaria yang

bekerja cepat dan menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina7.

a. Pengobatan malaria falciparum

Lini pertama: Artesunat+Amodiakuin+Primakuin

dosis artesunat= 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin= 10 mg/kgBB (dosis

tunggal), primakuin= 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal).

27
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita,

pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur. Dosis makasimal

penderita dewasa yan dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-

masing 4 tablet, 3 tablet untuk primakuin.

Tabel 2. Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut Kelompok


Umur5.
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥15 th
Har Jenis obat
bln
i
Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
I Primakuin - - ¾ 1½ 2 2-3
Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
II
Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
III
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria

falciparum. Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh

parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan untuk membunuh

gametosit yang berada di dalam darah5.

Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila pengobatan lini

pertama tidak efektif.

Lini kedua: Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin

Dosis kina=10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), doksisiklin= 4 mg/kgBB/hr

(dewasa, 2x/hr selama 7 hari), 2 mg/kgBB/hr (8-14 th, 2x/hr selama 7 hari),

tetrasiklin= 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari).

Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat

badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur.

28
Tabel 3. Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparum
Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-11 bln 1-4 th 5- 9 th 10-14 th ≥ 15 th
*
Kina 3x½ 3x1 3x½ 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
I Primakuin - ¾ 1½ 2 2-2
*
Kina 3x½ 3x1 3x½ 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
II-VII
*
: dosis diberikan per kgBB
**
: 2x50 mg doksisiklin
***
: 2x100 mg doksisiklin

b. Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale

Lini pertama: Klorokuin+Primakuin

Kombinasi ini digunakan sebagai piliha utama untuk pengobatan malaria

vivax dan ovale. Pemakaian klorokuin bertujuan membunuh parasit stadium

aseksual dan seksual. Pemberian primakuin selain bertujuan untuk membunuh

hipnozoit di sel hati, juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit5.

Dosis total klorokuin= 25 mg/kgBB (1x/hr selama 3 hari), primakuin= 0,25

mg/kgBB/hr (selama 14 hari).

Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan

penderita obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur, sesuai dengan tabel.

Tabel 4. Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale


Hari Jenis obatJumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥15 th
Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
I
Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
II
Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2

29
III Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
IV-XIV Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28 setelah pemberian

obat, ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari keempat) dan

tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ketujuh. Pengobatan tidak

efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat:5

 Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau

 Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau

timbul kembali setelah hari ke-14.

 Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari

ke-15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).

Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin

Lini kedua: Kina+Primakuin

Dosis kina= 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), primakuin= 0,25 mg/kgBB

(selama 14 hari).

Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan

golongan umur sebagai berikut:

Tabel 5. Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin


Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th
Hari Jenis obat
bln
* *
1-7 Kina 3x½ 3x1 3x2 3x3
1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
*
: dosis diberikan per kgBB

Pengobatan malaria vivax yang relaps

30
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang

ditingkatkan. Dosis klorokuin diberikan 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis

total 25 mg/kgBB dan primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5

mg/kgBB/hari. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis

berdasarkan golongan umur5.

Tabel 6. Pengobatan Malaria vivax yang Relaps


Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 1-4 th 5-9 th 10-14 ≥ 15 th
Hari Jenis obat
bln th
Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
1
Klorokuin ¼ ½ - 2 3 3-4
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
2
Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
Primakuin - - ½ 1 1½ 2
3
14-14 Primakuin - - ½ 1 1½ 2

c. Pengobatan malaria malariae

Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB.

Klorokuin dapat membunuh parasit bentuk aseksual dan seksual P. malariae.

Pengobatan dapat juga diberikan berdasarkan golongan umur penderita5.

Tabel 7. Pengobatan Malaria Malariae

Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur


0-1 bln 2-11 1-4 th 5-9 th 10-14 ≥ 15 th
Hari Jenis obat
bln th
I Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
II Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4

III Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2

31
d. Kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria

sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat. Kemoprofilaksis ini

ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah endemis malaria dalam waktu

yang tidak terlalu lama, seperti turis, peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain.

Untuk kelompok atau individu yang akan bepergian atau tugas dalam jangka

waktu yang lama, sebaiknya menggunakan personal protection seperti pemakaian

kelambu, kawat kassa, dan lain-lain5.

Oleh karena P. falciparum merupakan spesies yang virulensinya cukup tinggi

maka kemoprofilaksisnya terutama ditujukan pada infeksi spesies ini. Sehubungan

dengan laporan tingginya tingkat resistensi P. falciparum terhadap klorokuin,

maka doksisiklin menjadi pilihan. Doksisiklin diberikan setiap hari dengan dosis 2

mg/kgBB selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Kemoprofilaksis untuk P. vivax

dapat diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB setiap minggu. Obat tersebut

diminum 1 minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah

kembali.5

Tabel 8. Dosis Pengobatan Pencegahan Dengan Klorokuin

Golongan umur (thn) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal, 1x/minggu)


<1 ¼
1-4 ½
5-9 1
10-14 1½
>14 2

2.2.10 Prognosis

32
1. Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis

serta pengobatan6.

2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan

pada anak-anak 15%, dewasa 20% dan pada kehamilan meningkat sampai

50%.

3. Prognosis malaria berat dengan gangguan satu fungsi organ lebih baik

daripada gangguan 2 atau lebih fungsi organ7.

 Mortalitas dengan gangguan 3 fungsi organ adalah 50%.

 Mortalitas dengan gangguan 4 atau lebih fungsi organ adalah 75%.

 Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:

 Kepadatan parasit <100.000/µL, maka mortalitas <1%.

 Kepadatan parasit >100.000/µL, maka mortalitas >1%.

 Kepadatan parasit >500.000/µL, maka mortalitas >5%.

2.3 DIABETES MELITUS


2.3.1Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes Melitus
adalah salah satu penyakit metabolik berupa gangguan metabolisme karbohidrat,
yakni penurunan penggunaan glukosa yang rendah sehingga mengkibatkan
adanya penumpukan glukosa di dalam darah (hiperglikemia). Adapun penyebab
terjadinya penimbunan kadar glukosa di dalam darah tersebut ialah adanya
gangguan berupa kurangnya sekresi enzim insulin pada pancreas ( DM tipe 1),
atau terjadin gangguan fungsi pada enzim insulin tersebut dalam metabolisme
glukosa (DM tipe 2).8

2.3.1 Epidemiologi

33
Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup
besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000
menunjukkan jumlah penderita diabetes di dunia sekitar 171 juta dan
diprediksikan akan mencapai 366 juta jiwa tahun 2030. Di Asia tenggara terdapat
46 juta dan diperkirakan meningkat hingga 119 juta jiwa. Di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia
merupakan urutan keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita
diabetes terbanyak setelah India, Cina, Uni Soviet, Jepang, Brazil.

2.3.2 Etiologi dan Faktor Resiko


2.3.2.1 Etiologi9
1. Diabetes Melitus Tipe 1
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin).
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik funsi sel-β:
 Kromosom 12, HNF-1 alfa (dahulu MODY 3)
 Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
 Kromosom 20, HNF-4 alfa (dahulu MODY 1)
 DNA mitokondria
 Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
 HNF-1 (MODY 5)
 NeuroD1 (MODY 6)
 Subunits of ATP-sensitive potassium channel
 Proinsulin or insulin conversion
b. Defek genetik kerja insulin:
 Type A insulin resistance
 Sindrom Rabson-Mendenhall
 Sindrom Lipodystrophy

34
c. Penyakit eksokrin pankreas:
 Pankreatitis
 Trauma/pankreatektomi
 Neoplasma
 Kista fibrosis
 Hemokromatosis
 Pankreatopati fibro kalkulus
d. Endokrinopati:
 Akromegali
 Sindrom cushing
 Feokromositoma
 Hipertiroidisme
e. Karena obat/zat kimia:
 Vancor, interferon
 Pentamidin, tiazin, dilatin
 Asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid
f. Infeksi : rubella kongenital dan CMV
g. Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin
h. Sindroma genetik lain : Sindrom Down, sindrom Kliniferter, sindrom
Turner, sindrom wolfram’s. Ataksia Friedreich’s, Chorea Huntington,
sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom
Prader Willi.
4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)

2.3.2.2 Faktor Risiko8


Sudah lama diketahui bahwa diabetes merupakan penyakit keturunan.
Artinya bila orang tuanya menderita diabetes, anak-anaknya akan menderita
diabetes juga. Hal itu memang benar. Tetapi faktor keturunan saja tidak cukup.
Diperlukan faktor lain yang disebut faktor resiko atau faktor pencetus misalnya:
 Adanya infeksi virus (pada DM tipe 1)
 Obesitas (terutama yang bersifat sentral)

35
 Pola makan yang salah
 Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
 Proses penuaan
 Hipertensi (TD ≥ 140/90 mm Hg)
 Dyslipidemia HDL kolesterol < 40 mg/dL atau TG > 150 mg/dL
 Stress

2.3.3 Klasifikasi8
2.3.3.1 Diabetes Melitus Tipe I / Juvenile
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen
insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens dia-
betes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam
dua subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel
beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui
sumbernya.

2.3.3.2 Diabetes Melitus Tipe II / Onset maturitas


Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas
dan tipe nondependen insulin.Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini.

Tabel 3.1 Perbedaan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2.


Type 1 (insulin dependent) Type 2 (non-insulin
dependent)
Nama lama DM Juvenil DM Dewasa
Epidemiologi Anak - anak / remaja (biasanya Orang tua (biasanya berumur >
berumur < 30 tahun) 30 tahun)
Berat badan  Biasanya kurus Sering obesitas
Heredity HLA-DR3 or DR4 in > 90% Tidak ada hubungan HLA
Patogenesis Penyakit Autoimmune : Tidak berhubungan dengan
Islet cell autoantibodies autoimun
Insulitis Insulin resistance
Klinikal Defisiensi Insulin Defisiensi Partial insulin
Berhungan dengan ketoacidosis Berhubungan dengan
hyperosmolar
 Pengobatan Insulin, diet, olah raga Diet, olah raga, tablet, insulin

36
Biochemical Kemungkinan Persisten peptida-C
kehilanganpeptida-C

2.3.3.3 Diabetes Gestasional (GDM)


Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kah selama kehamilan dan
memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes
gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah
suatu keadaan diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes
secara genetik mungkin akan memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi
klinis diabetes pada kehamilan.
Kriteria diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan adalah
kriteria yang diusulkan oleh O'Sullivan dan Mahan (1973). Menurut kriteria ini,
GDM terjadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau dilampaui
sesudah pemberian 75 g glukosa oral: puasa, 105 mg/dl; I jam, 190 mg/dl; 2 jam,
165 mg/dl; 3 jam, 145 mg/dl. Pengenalan diabetes seperti ini penting karena
penderita berisiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan
mempunyai frekuensi kematian janin viabel yang lebih tinggi. kematian janin
viabel yang lebih tinggi. Kebanyakan perempuan hamil harus menjalani penapisan
untuk diabetes selama usia kehamilan 24 hingga 28 minggu.

2.3.4 Patofisiologi 8.9


2.3.4.1 Diabetes Melitus Tipe 1
Pada diabetes tipe 1 timbul karena adanya reaksi atoimun yang disebabkan
adanya peradangan pada sel-β insulinitis. Ini menyebabkan timbulnya anti bodi
terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta)
dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel-β.
Insulinitis bisa disebabkan macam-macam diantaranya virus, seperti virus
cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain. Yang diserang pada insulinitis itu
hanya sel-β, biasanya sel-α dan delta tetap utuh.

2.3.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2

37
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk
ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, sehingga
meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya
(reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan
kekurangan glukosa dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan
demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Peebedaannya adalah DM
tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi atau normal
keadaan ini disebut resistensi insulin.
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah sel-β berkurang sampai 50-60% dari
normal. Jumlah sel-α meningkat. Yang menyolok adalah adanya peningkatan
jumlah jaringan amiloid pada sel-β yang disebut amilin.

2.3.4.3 Diabetes Gestational


Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes
gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah
suatu keadaan diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes
secara genetik mungkin akan memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi
klinis diabetes pada kehamilan.

2.3.5 Gejala Klinis8


2.3.5.1 Gejala Khas
a. Penurunan berat badan dan rasa lemah
Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah hebat yang menyebabkan penurunan
prestasi di sekolah dan lapangan olah raga juga mencolok. Hal ini disebabkan
glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan
bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber

38
tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya
penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.
b. Banyak kencing (poliuria)
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan
banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat
mengganggu penderita, terutama pada waktu malam. Untuk mekanisme lihat
gambar 05 dibawah ini.

c. Banyak minum (polidipsia)


Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan
yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalahtafsirkan. Dikiranya
sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk
menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak. Untuk lebih jelanya lihat
gambar 05 dibawah ini.
d. Banyak makan (polifagia)
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisasikan menjadi
glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, oleh karena itu
penderita selalu merasa lapar.

2.3.5.2 Gejala Tidak Khas


a. Gangguan saraf tepi/kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu
malam, sehingga mengganggu tidur.
b. Gangguan penglihatan
Pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan
yang mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia
tetap dapat melihat dengan baik.
c. Gatal/bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah
lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan

39
timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal
yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
d. Gangguan ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak
secara terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya
masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi
menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.
e. Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan
dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.
2.3.6 Diagnosis8
Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM


berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu
 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

40
Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa1

Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis
DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa  126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu  200 mg/dl pada hari lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan  200 mg/dl.

Langkah Diagnostik DM dan TGT dari TTGO

Cara pelaksanaan TTGO:8


 3 hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
 Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
 Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum
air putih diperbolehkan
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

41
 Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

Kriteria diagnostik Diabetes Melitus dan gangguan toleransi glukosa8

1. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena)  200 mg/dl
“Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan maktu makan terakhir”
Atau
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl
3 Kadar glukosa plasma  200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram pada TTGO

2.3.7 Tatalaksana
Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala, mengusahakan
keadaan gizi dimana berat badan ideal dan mencegah terjadinya komplikasi.
Secara garis besar pengobatannya dilakukan dengan:

1. Diet10
Prinsip umum : diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes
diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misal : vitamin dan
mineral)
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c. Memenuhi kebutuhan energi
d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-
cara yang aman dan praktis
e. Menurunkan makan pada penderita DM
Pencernaan makan pada penderita DM
1) Kebutuhan kalori

42
Tujuan yang paling penting adalah pengendalian asupan kalori
total untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang
sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah.
Rencana makan bagi penyandang diabetes juga memfokuskan
presentase kalori yang berasal dari karbohidrat, protein dan lemak
Ada 2 tipe karbohidrat yang utama, yaitu :
a) Karbohidrat kompleks (seperti : roti, sereal, nasi dan pasta)
b) Karbohidrat sederhana (seperti : buah yang manis dan gula)
Jumlah kalori diperhitungkan sebagai berikut :
a) BB ideal = (TB cm – 100) kg – 10 % . pada waktu istirahat,
diperlukan 25 kkal/kg BB ideal
b) Kemudian diperhitungkan pula
Aktivitas, kerja ringan : ditambah 10 – 20 %, kerja sedang
ditambah 30 %, kerja berat ditambah 50 % dan kerja berat
sekali ditambah 20 – 30 %)
Pada berat badan gemuk – 20%, Pada berat badan lebih –
10%, Pada berat badan kurus + 20%.

2) Karbohidrat
Tujuan diet ini adalah meningkatkan konsumsi karbohidrat
kompleks (khususnya yang berserat tinggi) seperti roti, gandum
utuh, nasi beras tumbuk, sereal dan pasta / mie yang berasal dari
gandum yang masih mengandung bekatul.
Karbohidrat sederhana tetap harus dikonsumsi dalam jumlah yang
tidak berlebihan dan lebih baik jika dicampur ke dalam sayuran
atau makanan lain daripada dikonsumsi secara terpisah
3) Lemak
Pembatasan asupan total kolesterol dari makanan hingga < 300
mg / hr untuk membantu mengurangi faktor resiko, seperti
kenaikan kadar kolesterol serum yang berhubungan dengan proses
terjadinya penyakit koroner yang menyebabkan kematian pada
penderita diabetes

43
4) Protein
Makanan sumber protein nabati (misal : kacang-kacangan dan biji-
bijian yang utuh) dapat membantu mengurangi asupan kolesterol
serta lemak jenuh. (Brunner & Suddarth, 2002)

2. Olah raga / latihan


Sangat penting dalam penatalaksanaan DM karena afeknya dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko
kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
insulin, sirkulasi darah dan tonus otot.
Latihan ini sangat bermanfaat pada pendrita diabetes karena dapat
menurunkan BB, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran
tubuh. Mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL)-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol
total serta trigliserida.
Meskipun demikian penderita diabetes dengan kadar glukosa >250
mg/dl (14 mmol/dL) dan menunjukkan adanya keton dalam urine tidak
boleh melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urine
memperlihatkan hasil negatif dan kadar glukosa darah telah mendekati
normal.
Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan
meningkatkan sekresi glukogen, Growth Hormone (GH) dan katekolamin.
Peningkatan hormon ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa
sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah

3. Obat-obatan9,10,11
Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik
golongan sulfonilurea, metformin maupun inhibitor glukosidase alfa, harus
diperhatikan benar fungsi hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk

44
memberikan obat-obat tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi hati
atau ginjal
Klasifikasi Obat Hiperglikemik Oral:
 Golongan Insulin Sensitizing
Golongan insulin sensitizing terdiri dari: Biguanid dan Glitazone
 Golongan Sekretagok Insulin
Golongan sekretagok insulin terdiri dari: Sulfonil Urea dan Glinid
 Penghambat Alfa glukosidase

a. Golongan biguanid
Tidak sama dengan sulfonilurea, karena tidak merangsang sekresi
insulin.
1) Menurunkan kadar GD menjadi normal dan istimewanya tidak
menyebabkan hipoglikemia
2) Cara kerja belum diketahui secara pasti, tetapi jelas terdapat:
a) Gangguan absorbsi glukosa dalam usus
b) Peningkatan kecepatan ambalan glukosa dalam otot
b. Golongan sulfonilurea
1) Cara kerja :
a) Merangsang sel beta pancreas untuk mengeluarkan insulin, jadi
hanya bekerja bila sel-sel beta utuh
b) Menghalangi pengikatan insulin
c) Mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin
d) Menekan pengeluaran glukogen
2) Indikasi
a) Bila BB ideal ± 10% dan BB ideal
b) Bila kebutuhan insulin < 40 u/hr
c) Bila tidak ada stress akut, misal: infeksi berat / operasi
d) Dipakai pada diabetes dewasa, baru dan tidak pernah
ketoasidosis sebelumnya
3) Efek samping
a) Mual, muntah, sakit kepala, vertigo dan demam

45
b) Dermatitis, pruritus
c) Lekopeni, trombositopeni, anemia
4) Kontra indikasi
Penyakit hati, ginjal dan thyroid

c. Inhibitor Glukosidase Alfa (Acarbose)


Obat golongan ini mempunyai efek utama menurunkan puncak
glikemik sesudah makanTerutama bermanfaat untuk pasien dengan
kadar glukosa darah puasa yang masih normal. Biasanya dimulai
dengan dosis 2 kali 50 mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika
tidak didapati keluhan gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan menjadi
3 kali 100 mg. Pada pasien yang menggunakan acarbose jangka
panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal secara serial, terutama
pasien yang sudah mengalami gangguan faal hati dan ginjal

d. Insulin
1) Indikasi
a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM / NIDDM)
dalam keadaan ketoasidosis
b) Diabetes yang masuk dalam klasifikasi IDDM yaitu juvenile
diabetes
c) Penderita yang kurus
d) Bila dengan obat oral tidak berhasil
e) Kehamilan
f) Bila ada komplikasi mikroangiopati, misal: retinopati /
nefropati
g) ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat
h) stres berat (infeksi sistemik, operasi berat)
i) berat badan yang menurun dengan cepat

46
j) kehamilan/DM gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan.
2) Efek samping
a) Lipodistrofi : atrofi jaringan
subkutan pada tempat penyuntikan
b) Hipoglikemia : dosis insulin
berlebih atau kebutuhan insulin yang berkurang
c) Reaksi alergi
d) Resistensi terhadap insulin
3) Jenis Insulin
Jenis Awitan Puncak kerja Lama kerja
kerja (jam) (jam) (jam)
Insulin kerja 0,5 – 1 2–4 5–8
pendek
Insulin kerja 1 – 2 4 – 12 8 – 24
menengah
Insulin kerja 2 6 – 20 18 – 36
panjang
Insulin 0,5 – 1 2 - 4 dan 6 -12 8 – 24
campuran

Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai


dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan kadar glukosa darah pasien. Kalau dengan sulfonilurea atau
metformin sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik
oral yang berbeda (sulfonilurea + metformin atau metformin +
sulfonilurea, acarbose + metformin atau sulfonilurea). Ada berbagai cara
kombinasi OHO dan insulin (OHO + insulin kerja cepat 3 kali sehari,
OHO + insulin kerja sedang pagi hari, OHO + insulin kerja sedang malam
hari). Yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin
malam hari mengingat walaupun dapat diperoleh keadaan kendali glukosa
darah yang sama, tetapi jumlah insulin yang diperlukan paling sedikit pada
kombinasi OHO dan insulin kerja sedang malam hari.

47
2.3.8 Komplikasi DM
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronik.
1. Komplikasi akut :
- ketoasidosis diabetic
- hiperosmolar non ketotik
- hipoglikemia
2. Komplikasi kronik
 Makroangiopati:
- Pembuluh darah jantung (penyakit jantung kororner
- Pembuluh darah tepi
- Pembuluh darah otak (stroke)
 Mikroangiopati:
- Retinopati diabetic
- Nefropati diabetic

3. Neuropati
4. Rentan infeksi, seperti misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan
infeksi saluran kemih
5. Kaki diabetik/Ulkus Diabetik (gabungan 1 sampai dengan 4)

48
BAB III
PEMBAHASAAN

Pada laporan kasus ini, pasien Ny. R (60 tahun) didiagnosa dengan
Dispepsia + Malaria + DM tipe II. Dasar diagnosa pada pasien ini adalah sebagai
berikut :

3.1 Dispepsia
Hal ini didapatkan pada saat keterangan di IGD bahwa Pasien Mual dan
muntah ± 6 kali sejak ± 4 jam SMRS. Isi muntahan berupa air dan
makanan. Nyeri di rasakan memberat jika terlambat makan, mudah terasa
kenyang saat makan, perut terasa kembung, dan sering merasa mual.
Pasien mengaku sering terlambat makan dan suka makan-makanan
pedas.pasien mengaku tidak dalam keadaan hamil. Nyeri ulu hati (+),
Nafsu makan menurun & badan terasa lemas

49
Dari keluhan dan anamnesa yang di dapat disimpulkan pasien ini menderita
dispepsia.
Pada pasien ini, mual dan muntah kemungkinan di sebabkan oleh :
 Peningkatan sekresi asam lambung
 Peranan infeksi Helicobacter pylori
 Diet
 Keterlambataan pengosongan lambung
Pada pasien ini di berikan salah satu obat untuk menurunkan sekresi asam
lambung, yaitu Ranitidin, dengan pemberian obat ini di harapkan gejala dispepsia
akan hilang.

3.2 Malaria
Hal ini didapatkan dari hasil anamnesis bahwa 7 hari SMRS os juga
mengalami demam. Demam dirasakan naik turun, disertai menggigil (+),
setelah menggigil os berkeringat & merasa sudah sembuh. Hal ini dirasakan
berulang-ulang dengan waktu yang tidak tentu & dari hasil pemeriksaan DDR
(+). Pada pasien ini diberikan salah satu obat untuk malaria, yaitu Arthem.
3.3 Diabetes Melitus Tipe II dengan Neuropati diabetik
Hal ini didapatkan dari hasil anamnesis bahwa selama ini penderita telah
mengalami kencing manis selama.
Dari hasil pemeriksaan GDS pasien pada tanggal 8 januari 2013,
didapatkan GDS yaitu 227 mg/dl.
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa selama ini pasien
mengalami diabetes melitus tipe II.
Pada pasien ini di berikan terapi :
 Bed rest tidak total
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
 Inj. Ranitidin 2x1 amp
 Arthem hari pertama 1x2 amp
Hari ke 2-5 1x1 amp
 Antasida 3x1c

50
 Paracetamol 3x1 tab
 Ondancentron 3x1 tab
 Edukasi

DAFTAR PUSTAKA

1.Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2006. Hal. 352

2. Sujono A. Gastroenterologi. Bandung 2002. Hal. 156-159

3. Isselbacher, Braunwald et al. Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit

dalam. Edisi 13. Volume IV. Balai Penerbit EGC. Jakarta 2005. Hal.

1532-1543

51
4. Soegondo S. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. Jakarta

2009. Hal.19-29

5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di

Indonesia. Jakarta, 2006; Hal:1-12, 15-23, 67-68.

6. Harijanto PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006; Hal: 1754-60.

7. Gunawan S. Epidemiologi Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,

Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta:

EGC, 2000; Hal: 1-15.

8. Yunir E, Soebardi S. Terapi Non-Farmakologik pada Diabetes Melitus.

Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,

editor. Jilid III. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2007. Hal 1864-

1867.

9. Soegondo S. Prinsip Penanganan Diabetes, Insulin dan Obat Hipoglikemik

Oral. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Melitis Terpadu, editor. Balai

Penerbit FKUI. Jakarta. 2009. Hal. 111-133

10. Soegondo S. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus

Tipe 2. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, editor. Jilid III. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. Hal

1860-1863

11. Manaf A. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Dalam:

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, editor.

Jilid III. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI; Jakarta: 2007. Hal 1868-1869

52
53

Anda mungkin juga menyukai