Anda di halaman 1dari 35

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

Oleh Dosen Pengampu: Ns. Wijaya Atmadja K, S.Kep., M. Kep.

Disusun Oleh :

Bertha Silvia Juniasi ( PO.62.20.1.16.124)

POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA

DIV KEPERAWATAN

TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan bahan ajar yang berisi tentang “Kajian Benigna
Prostat Hiperplasia” ini. Modul ini disusun dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan
ajar untuk mata kulia Keperawatan Medikal Bedah II bagi mahasiswa yang mengikuti
pendidikan DIV Keperawatan. Bahan ajar ini disusun secara ringkas untuk lebih
memudahkan memahami isi dari satu bab bahan ajar.

Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih, terutama
kepada dosen pengampu. Kami menyadari keterbatasan kami sebagai penulis, oleh karena itu
demi pengembangan kreatif dan penyempurnaan modul ini,kami mengharapkan saran dan
masukan dari pembaca dan para ahli, baik dari segi isi, istilah, dan penerapannya. Penulis
berharap semoga bahan ajar ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pembaca
khususnya mahasiswa. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

Hormat kami.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Depan i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

KONSEP KAJIAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA 1


1. Pengertian 1
2. Etiologi 2
3. Patofisiologi 3
4. Pemeriksaan Diagnostik 5
5. Manifestasis Klinis 9
6. Penatalaksanaan 10

ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA 16


1. Pengkajian 16
2. Diagnosa 16
3. Intervensi Keperawatan 17
4. Implementasi Keperawatan 30
5. Evaluasi Keperawatan 30

DAFTAR PUSTAKA

iii
A. Pengertian
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002). Price & Wilson (2006)
menjelaskan bahwa BPH merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa,
prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral
menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika (Price dan
Wilson, 2006).
BPH sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan
prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian
kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine (Baradero dan Dayrit, 2007). Dari
beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan, bahwa Benigna Prostate Hiperplasia
(BPH) adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh pembesaran kelenjar prostat yang
dapat menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibat terjadinya
dilatasi ureter dan ginjal, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih dan
menyebabkan gangguan perkemihan.

Gambar 1. Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium:

1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis. 
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK
atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flowin continent).
Pembagian berdasarkan tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan
skor IPSS (Internasional Prostate Symptom Score) untuk membantu diagnosis dan
menentukan tingkat beratnya penyakit.

B. Etiologi
Di dalam buku Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan : Arif
Muttaqin & Kumala Sari menyatakan bahwa penyebab yang pasti dari terjadinya
BPH samai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestorteron (DHD) dan proses penuaan (Purnomo, 2005).
Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat, yaitu sebagai berikut :
1. Dihydrotestoteron, peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjer prostat mengalami hiperplasi.
2. Ketidakseimbangnya hormon estrogen-testosteron. Pada proses penuaan pria
terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang
mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel. Peningkatan epidermal growth factor atau fibrolast
growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
C. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umum, kelenjer prostat akan mengalami
hiperplasia. Jika prostat membesar, maka akan meluas ke atas (kandung kemih)
sehingga pada bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan
menyumbat aliran urine.
Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi
terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan kandung kemih
berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus –
menerus menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa hipertropi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selulaa, sekula, dan divertikel kandung kemih.
Tekanan intravesikel yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli – buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko –
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal. (Dikutip dari buku
Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan : Arif Muttaqin, dkk).
Patofisiologi lainnya menurut Mansjoer Arif (2000), pembesaran prostat
terjadi secara perlahan – lahan pada traktur urinarius. Pada tahap awal terjadi
pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan
resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan
kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya, serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan
penonjolan serat detrusor kedalam mukosa buli – buli akan terlihat sebagai balok –
balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi,
mukosa vesika dapat menerobos keluar diantara serat detrusor sehingga terbentuk
tonjolan mukosa yang apabila lebih kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut
diverkel.
Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut
detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan menjadi dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urine total yang berlanjut pada
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. (Dikutip dari buku Keperawatan
Medikal Bedah : Sistem Perkemihan)
Pathway

Peningkatan sel estem,peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen,


proses menua, interaksi sel epitel dan stroma, dan berkurangnya sel yang mati

Ketidakseimbangan hormon (peningkatan estrogen dan


penurunan progesteron)

Hiperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar prostat


Respon obstruksi
Penyempitan lumen ureter (pancaran miksi
prostatika lemah,
intermitensi,
Mengahambat aliran urine hesistensi, miksi
Obstruksi tidak puas,
urine Peningkatan tekanan intra vesikal menetes setelah
miksi
MK : retensi
MK :gangguan
urine
pemenuhan
eliminasi urine

Respons perubahan Respons perubahan


Respon iritasi
pada kandung kemih pada ginjal dan
(frekuensi
(hipertropi otot ureter (refluks vesiko
meningkat,
detrusor, trabekulasi, – ureter, hidroureter,
nokturia, urgensi,
selula, divertikel hidronefrosis, gagal
disuria
kandung kemih) ginjal

MK : nyeri
tindakan
pembedahan,
respons psikologis,
koping maladaptif,
kecemasan

MK : cemas MK : kurang MK : resiko


pengetahuan infeksi
D. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain
sebagai berikut (Sjamsuhidajat 2005; De jong, 2004).
1. Anamnesa.
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal
dribbling, terasa adasisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif
dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Rectal touch atau pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
 0 – 1 cm …………. = grade 0
 1 – 2 cm …………. = grade 1
 2 – 3 cm …………. = grade 2
 3 – 4 cm …………. = grade 3
 > 4 cm…………… = grade 4

Gambar 3. Colok dubur


b) Clinical grading
Patokan banyaknya sisa urine dilakukan dengan cara pagi hari pasien
bangun tidur disuruh kencing sampai selesai kemudian masukkan kateter
VU mengukur sisa urine
 Sisa urine 0 cc …………. = normal
 Sisa urine 0 – 50 cc …… = grade 1
 Sisa urine 50 – 150 cc…. = grade 2
 Sisa urine > 150 cc ……. = grade 3
3. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan
untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya
keganasan. Distribusi konsentrasi PSA dalam sampel yang berbeda. Prostat
spesifik antigen konsentrasi (PSA) dalam serum pasien dengan PC, BPH dan pria
sehat diukur dengan ELISA. PSA lebih tinggi terdeteksi pada serum pasien
kelompok (PC dan BPH) dibandingkan dengan orang yang sehat. Konsentrasi rata-
rata PSA pada pasien PC sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien BPH (p <0,03)
(Habibagahi et al, 2009).

Gambar 4. Pemeriksaan Prostatik Spesific Antigen


d) Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara objektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian:
 Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
 Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
 Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
Gambar 5. Pemeriksaan uroflowmetri

e) Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
 BOF (buik overzich foto) untuk melihat adanya batu.

Gambar 6. BOF batu buli


 USG (ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli–buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara transrektal, transuretral dan suprapubik. Pada pemeriksaan
USG akan ditemukan volume prostat > 30 ml.
Gambar 7. Hasil USG pada pasien BPH

 IVP (Pielografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal dan
adanya hidronefrosis.

Gambar 8. IVP pada pasien BPH


E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh BPH salah satunya adalah
adanya obstuksi. Obstruksi prostat ini dapat menimbulkan keluhan pada saluran
kemih maupun keluhan diluar saluran kemih. Purnomo (2011) mengatakan bahwa
manifestasi klinis BPH adalah keluhan pada saluran kemih bagian bawah dan gejala
pada saluran kemih bagian atas.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut:
 Gejala obstruksi meliputi retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), straining/harus mengejan, hesitansi (sulit
memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-
putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi/terminal dribling).
 Gejala iritasi meliputi frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.

Gambar 2. Tanda dan Gejala BPH


F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan tergantung dengan penyebab,
keparahan obstruksi, dan kondisi pasien (Smeltzer dan Bare, 2002). Penatalaksanaan
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar
tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik),
mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak
terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang
yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Anjurkan pasien agar sering
mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk
menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Pasien
dianjurkan untuk melakukan kontrol keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa
kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan derajat
obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur
residual urin dan pancaran urin.
a. Residual urin: jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan
cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate): dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Baradero et al (2007) megatakan bahwa tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada pasien BPH adalah sebgai berikut:
a. mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra;
b. mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik);
c. mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone
atau disebut dengan dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut
Purnomo (2011) diantaranya adalah sebagai penghambat adrenergenik alfa,
penghambat enzin 5 alfa reduktase, dan fitofarmaka.
a. Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai diantaranya adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin).
Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat
mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot
polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi
relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan
pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-
gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan
dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang
mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada
beberapa obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan,
obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5
mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat
dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang
besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru
menunjukkan perbaikan sedikit atau 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12
bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
c. Fitofarmaka atau fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus.
Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat
memperkecil volum prostat.
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin
berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan
perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien
bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Smeltzer dan Bare
(2002) mengatakan bahwa intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi
pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka
Beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah
sbegai berikut:
 Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar
prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk
kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi
ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding
dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi
abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen
mayor.
 Prostatektomi perineal
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui
suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat
berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah
mudah terkontaminasi karena insisi di lakukan dekat dengan rektum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah
inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
 Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi
abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis
dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini
sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak
pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi
diruang retropubik.

Gambar 9. Terapi bedah


4. Pembedahan endourologi
Pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai
tenaga elektrik diantaranya:
a. Transurethral Prostatic Resection (TURP): tindakan operasi yang paling
banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra
menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi
tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila
pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk
mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain
tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu
tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak
enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus,
adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero et al, 2007).
b. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP): tindakan ini dilakukan
apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi
dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume
prostat normal atau kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan
adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah
insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari
TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%)
(Smeltzer dan Bare, 2002).
c. Terapi invasive minimal: dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi
terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya
Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon
Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum
Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt (Purnomo,
2011).
d. Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT): dilakukan dengan
cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars
prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek.
e. Transuretral Ballon Dilatation (TUBD): tehnik ini dilakukan dilatasi
(pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan
balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien
dengan prostat kecil, 23 kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar,
sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
f. Transuretral Needle Ablation (TUNA): teknik ini memakai energy dari
frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani
TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi
retensi urine (Purnomo, 2011).
g. Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu
supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati
lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang
tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup
tinggi.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT
HIPERPLASIA

A. Pengertian
1. Anamnesa
a. Data demografi
b. Riwayat Penyakit Klien
c. Keluhan Utama
d. Pola Fungsi Kesehatan
Pengkajian pada klien dengan BPH menurut 11 Pola Fungsional Gordon
adalah sebagai berikut :
 Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
 Pola nutrisi dan metabolik
 Pola eliminasi
 Pola latihan- aktivitas
 Pola istirahat dan tidur
 Pola konsep diri dan persepsi diri
 Pola kognitif- perseptual
 Pola peran dan hubungan
 Pola reproduksi- seksual
 Pola pertahanan diri dan toleransi stres
 Pola keyakinan dan nilai
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan Penunjang

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre operatif
a. Retensi urine berhubungan dengan tekanan urine tinggi, dan sfingter kuat (adanya
obstruksi mekanik pembesaran prostat)
b. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis (iritasi muksa buli – buli, distensi
kandung kemih, infeksi urinaria)
c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (kemungkinan prosedur
pembedahan)
2. Post operatif

a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis (adanya insisi

pembedahan/TURP)

b. Gangguan Eliminasi Urine Berhubungan Dengan Obstruksi Anatomik (Bekuan

Darah, Oedem, Trauma, Prosedur Bedah, Tekanan Dan Iritasi Pada Ballon

c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (alat selama pembedahan,

catheter, iritasi kandung kemih serta trauma insisi bedah

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


keperawatan Hasil

1. Retensi Urine NOC : NIC :

Defenisi :  Symtom severity Urinary Elimination


 Urinary Management
Pengosongan
elimination
kandung kemih tidak  memantau eliminasi urin
komplet/inkomplit termasuk frekuensi, konsistensi,
Kriteria hasil : bau, volume, dan warna yang
Batasan
sesuai
karakteristik :  Pengosongan
 memantau tanda dan gejala
bladder
 Tidak ada haluan retensi urin
 secara sempurna
urine  mengajarkan pasien untuk
 Warna urin dbn
 Distensi kandung menegtahui tanda gejala
 Bau urin dbn
kemih adanya infeksi saluran kemih
 Urin terbebas dari
 Menetes  pantau waktu eliminasi kemih
partikel
 Disuria terakhir
 Balance cairan
 Sering berkemih  anjurkan pasien untuk minum 8
selama 24 jam
 Inkontinensia gelas per hari
 Urin dapat keluar
urine berlebih  membantu pasien dalam
tanpa kesakitan
 Residu urine toileting
 Sensasi kandung  anjurkan pasien mengosong kan
kemih enuh kandung kemih sebelum
 Berkemih sedikit prosedur yang relevan
Faktor  catat waktu prosedur berkemih
berhubungan : pertama
 batasi cairan sesuai kebutuhan
 Hambatan
 anjurkan pasien memantau tanda
 Tekanan ureter
– tanda infeksi saluran kemih
tinggi
urinary retention care
 Inhibisi arkus
refleks  melakukan penilaian kemih
 Sfingter kuat komprehensif berfokus pada
inkontinensia
 memantau penggunaan agen
nonprescription dengan
antikolinergik atau alfa-agonis-
sifat \
 memonitor efek dari obat-
obatan yang diresepkan, seperti
calcium channel blockers dan
antikolinergik
 Sediakan privacy untuk
eliminasi
 Gunakan sugesti dengan
menghidupkan kran air
 Stimulasi reflex kencing dengan
memberikan media dingin di
perut atau mengaliri genital
dengan air
 Sediakan waktu untuk
pengosongan bladder ( 10 menit
)
 Lakukan katerisasi
 Catat pengeluaran urin
 Anjurkan pasien untuk mencegh
terjadinya impaksi atau
kontsipasi
 Monitor derajat didtensi bladder
 Monitor intake dan output
cairan
 Lakukan pemasangan kateter
secara intermitent
 Rujuk ke spesialis urologi
2. Nyeri akut NOC : NIC :

Definisi :  Pain Level,


 pain control, Pain Management
Pengalaman sensorik
 comfort level  Lakukan pengkajian nyeri secara
dan emosional yang
komprehensif termasuk lokasi,
tidak menyenangkan
karakteristik, durasi, frekuensi,
dan muncul akibat Kriteria Hasil :
kualitas dan faktor presipitasi
kerusakan jaringan
 Mampu  Observasi reaksi nonverbal dari
actual atau potensial
mengontrol nyeri ketidaknyamanan
atau digambarkan
(tahu penyebab  Gunakan teknik komunikasi
dalam hal kerusakan
nyeri, mampu terapeutik untuk mengetahui
sedemikian rupa
menggunakan pengalaman nyeri pasien
(International
tehnik  Kaji kultur yang mempengaruhi
Association for
nonfarmakologi respon nyeri
study of pain) :
untuk mengurangi  Evaluasi pengalaman nyeri masa
awitan yang tiba -
nyeri, mencari lampau
tiba atau lambat dari
bantuan)  Evaluasi bersama pasien dan tim
intensitas ringan
 Melapo kesehatan lain tentang
hingga berat dengan
rkan bahwa nyeri ketidakefektifan kontrol nyeri
akhir yang dapat
berkurang dengan masa lampau
diantisipasi atau
menggunakan  Bantu pasien dan keluarga untuk
diprediksi dan
manajemen nyeri mencari dan menemukan
berlangsung selama
 Mampu dukungan
> 6 bulan
mengenali nyeri  Kontrol lingkungan yang dapat
Batasan (skala, intensitas, mempengaruhi nyeri seperti suhu
karakteristik : frekuensi dan tanda ruangan, pencahayaan dan
nyeri) kebisingan
 Melaporkan nyeri
 Menyat  Kurangi faktor presipitasi nyeri
secara verbal
akan rasa nyaman  Pilih dan lakukan penanganan
 Gangguan tidur
setelah nyeri nyeri (farmakologi, non
(mata capek,
berkurang farmakologi dan inter personal)
tampak sayu,
 Tanda  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
sulit atau gerakan
vital dalam rentang menentukan intervensi
kacau dan
normal  Ajarkan tentang teknik non
meringis)
farmakologi (relaksasi, tarik
 Diaforesis
nafas dalam, terapi musik)
 Perubahan
 Evaluasi keefektifan kontrol
tekanan darah
nyeri
 Perubahan
 Tingkatkan istirahat
frekuensi
 Kolaborasikan dengan dokter
pernafasan
jika ada keluhan dan tindakan
 Perubahan selera
nyeri tidak berhasil
makan
 Monitor penerimaan pasien
 Tingkah laku
tentang manajemen nyeri
ekspresif
Analgesic Administration
(gelisah, marah,
menangis,  Tentukan lokasi, karakteristik,
merintih, kualitas, dan derajat nyeri
waspada, nafas sebelum pemberian obat
panjang, iritabel)  Cek instruksi dokter tentang
 Indikasi nyeri jenis obat, dosis, dan frekuensi.
yang dapat Obatnya (antibiotika dosis
diamati tinggi secara oral maupun
Faktor yang suntikan, anti tetanus serum
berhubungan : dan toksoid, anti inflamasi,
 Cek riwayat alergi
Agen cedera
 Pilih analgesik yang diperlukan
(minsalnya biologis,
atau kombinasi dari analgesik
zat kimia, fisik, dan
ketika pemberian lebih dari satu
psikologis)
 Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala (efek samping)
3. Ansietas NOC : NIC :

Definisi:  Anxiety Anxiety Reduction (penurunan

control kecemasan)
perasaan tidak
 Coping  Gunakan pendekatan yang
nyaman atau
Kriteria Hasil : menenangkan
kekhawatiran yang
 Nyatakan dengan jelas harapan
samar disertai  Klien mampu
terhadap pelaku pasien
respons autonom mengidentifik
(sumber sering kali asi dan  Jelaskan semua prosedur dan

tidak spesifik atau mengungkapk apa yang dirasakan selama

tidak diketahui oleh an gejala prosedur

individu); perasaan cemas  Temani pasien untuk

takut yang  Mengidentifik memberikan keamanan dan

disebabkan oleh asi, mengurangi takut

antisipasi terhadap mengungkapk  Berikan informasi faktual

bahaya. Hal ini an dan mengenai diagnosis, tindakan

merupakan isyarat menunjukkan prognosis

kewaspadaan yang tehnik untuk  Dorong keluarga untuk


memperingatkan mengontol menemani anak
individu akan cemas  Lakukan back / neck rub
adanya bahaya dan  Vital sign  Dengarkan dengan penuh
memampukan dalam batas perhatian
individu untuk normal  Identifikasi tingkat kecemasan
bertindak  Postur tubuh,  Bantu pasien mengenal situasi
menghadapi ekspresi yang menimbulkan kecemasan
ancaman. wajah, bahasa  Dorong pasien untuk
tubuh dan mengungkapkan perasaan,
Batasan
tingkat ketakutan, persepsi
karakteristik:
aktivitas
 Instruksikan pasien
Perilaku menunjukkan
menggunakan teknik relaksasi
 Penurunan berkurangnya
 Barikan obat untuk
produktifitas kecemasan
mengurangi kecemasan
 Mengekspresik
an
kekhawatiran
karena
perubahan
dalam
peristiwa
hidup
 Gerakan yang
irelevan
 Gelisah
 Melihat
sepintas
 Insomnia
 Kontak mata
yang buruk
 Agitasi
 Mengintai
 Tampak
waspada
Afektif

 Gelisah
 Kesedihan yang
mendalam
 Distress
 Ketakutan
 Perasaan tidak
adekuat
 Berfokus pada
diri sendiri
 Peningkatan
kewaspadaan
 Iritabilitas
 Gugup
 Senang
berlebihan
 Rasa nyeri yang
meningkatkan
ketidakberdayaa
n
 Peningkatan
rasa
ketidakberdayaa
n yang persisten
 Bingung
 Menyesal
 Ragu/tidak
percaya diri
 Khawatir

Fisiologis

 Wajah tegang
 Tremor tangan
 Peningkatan
keringat
 Peningkatan
ketegangan
 Gemetar
 Tremor
 Suara bergetar

Simpatik

 Anoreksia
 Eksitabilitas
 Diare
 Mulut kering
 Wajah merah
 Jantung
berdebar-debar
 Peningkatan
tekanan darah
 Peningkatan
denyut nadi
 Peningkatan
refleks
 Peningkatan
frekuensi
pernafasan
 Pupil melebar
 Kesulitan
bernapas
 Vasokonstriksi
superficial
 Kedutan pada
otot
 Lemah
Parasimpatik

 Nyeri abdomen
 Penurunan
tekanan darah
 Penurunan
denyut nadi
 Diare
 Vertigo
 Letih
 Mual
 Gangguan tidur
 Kesemutan pada
ekstremitas
 Sering berkemih
 Anyang-
anyangan
 Dorongan
berkemih
(keinginan
mendesak untuk
berkemih)
Kognitif

 Menyadari
gejala fisilogis
 Bloking pikiran
 Konfusi
 Penurunan
lapang persepsi
 Kesulitan
berkonsentrasi
 Penurunan
kemampuan
untuk belajar
 Penurunan
kemampuan
untuk
memecahkan
masalah
 Ketakutan
terhadap
konsekuensi
yang tidak
spesifik
 Lupa
 Gangguan
perhatian
 Khawatir
 Melamun
 Cenderung
menyalahkan
orang lain
Faktor yang
berhubungan:

 Perubahan
dalam:
 Status
ekonomi
 Lingkungan
 Status
kesehatan
 Pola interaksi
 Fungsi peran
 Status peran
 Pemajanan
toksin
 Terkait keluarga
 Herediter
 Infeksi/kontami
nan
interpersonal
 Penularan
penyakit
interpersonal
 Krisis maturasi
 Krisis
situsional
 Stress
 Penyalahgun
aan zat
 Ancaman
kematian
 Ancaman
pada:
- Status
ekonomi
- Lingkung
an
- Status
kesehatan
- Pola
interaksi
- Fungsi
peran
- Status
peran
- Konsep
diri
-
4. gangguan eliminasi NOC : NIC :
urinarius  Symptom severity
 Urinary
defenisi Urinary Elimination
elimination
Management
disfungsi pada
eliminasi urine  memantau eliminasi urin
Kriteria hasil :
termasuk frekuensi, konsistensi,
batasan
 Pengosongan bau, volume, dan warna yang
karakteristik
bladder sesuai
 Disuria  secara sempurna  memantau tanda dan gejala
 Sering berkemih  Warna urin dbn retensi urin
 Anyang –  Bau urin dbn  mengajarkan pasien untuk
anyangan  Urin terbebas dari menegtahui tanda gejala
 Nokturia partikel adanya infeksi saluran kemih
 Retensi  Balance cairan  pantau waktu eliminasi kemih
 Dorongan selama 24 jam terakhir
Faktor yang  Urin dapat keluar anjurkan pasien untuk minum 8
berhubungan tanpa kesakitan
 membantu pasien dalam
 Obstruksi
toileting
anatomik
 anjurkan pasien mengosong kan
 Penyebab
kandung kemih sebelum
multipel
prosedur yang relevan
 Gangguan sensori
 catat waktu prosedur berkemih
motorik
pertama
 Infeksi saluran
 batasi cairan sesuai kebutuhan
kemih
 anjurkan pasien memantau tanda
– tanda infeksi saluran kemih
bladder irrigation

 Tentukan apakah irigasi akan


dilakukan secara berkelanjutan
atau hanya sementara
 Jelaskan tujuan tindakan kepada
klien
 Sediakan perlatan irigasi streril
sesuai protokol
 membersihkan tempat masuk
atau akhir Y - konektor dengan
alkohol
 Monitor dan jaga aliran irigasi
sesuai indikasi
 Catat jumlah cairan yang
digunakan, karakteristik cairan,
jumlah pengeluaran dan respon
pasien
5 Resiko Infeksi NOC : NIC :

Definisi :  Immune Status Infection Control (Kontrol


Peningkatan resiko  Knowledge : infeksi)
masuknya organisme Infection
 Bersihkan lingkungan setelah
patogen control
dipakai pasien lain
 Risk control
 Pertahankan teknik isolasi
Kriteria Hasil :
 Batasi pengunjung bila perlu
Faktor-faktor
 Klien bebas dari  Instruksikan pada pengunjung
resiko :
tanda dan gejala untuk mencuci tangan saat
- Prosedur Infasif infeksi berkunjung dan setelah
- Ketidakcukupan  Menunjukkan berkunjung meninggalkan
pengetahuan kemampuan pasien
untuk untuk mencegah  Gunakan sabun antimikrobia
menghindari timbulnya untuk cuci tangan
paparan patogen infeksi
 Cuci tangan setiap sebelum
- Trauma  Jumlah leukosit
dan sesudah tindakan
- Kerusakan dalam batas
kperawtan
jaringan dan normal
 Gunakan baju, sarung tangan
peningkatan  Menunjukkan
sebagai alat pelindung
paparan perilaku hidup
 Pertahankan lingkungan
lingkungan sehat
aseptik selama pemasangan
- Ruptur membran
amnion alat
- Agen farmasi  Ganti letak IV perifer dan line
(imunosupresan) central dan dressing sesuai
- Malnutrisi dengan petunjuk umum
- Peningkatan  Gunakan kateter intermiten
paparan untuk menurunkan infeksi
lingkungan kandung kencing
patogen  Tingktkan intake nutrisi
- Imonusupresi  Berikan terapi antibiotik bila
- Ketidakadekuata perlu
n imum buatan
- Tidak adekuat
Infection Protection (proteksi
pertahanan
terhadap infeksi)
sekunder
(penurunan Hb,  Monitor tanda dan gejala
Leukopenia, infeksi sistemik dan lokal
penekanan  Monitor hitung granulosit,
respon WBC
inflamasi)  Monitor kerentanan terhadap
- Tidak adekuat
infeksi
pertahanan
 Batasi pengunjung
tubuh primer
 Saring pengunjung terhadap
(kulit tidak utuh,
penyakit menular
trauma jaringan,
 Partahankan teknik aspesis
penurunan kerja
pada pasien yang beresiko
silia, cairan
 Pertahankan teknik isolasi k/p
tubuh statis,
 Berikan perawatan kuliat pada
perubahan
area epidema
sekresi pH,
 Inspeksi kulit dan membran
perubahan
mukosa terhadap kemerahan,
peristaltik)
panas, drainase
- Penyakit kronik
 Ispeksi kondisi luka / insisi
bedah
 Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai resep
 Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara menghindari
infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
 Laporkan kultur positif
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M  and  Alice, C.G., 2000. Rencana  Asuhan  Keperawatan : 
Pedoman  Untuk  Perencanaan  Dan  Pendokumentasian  Perawatan  Pasien.
Jakarta, Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.

Long, B.C., 1996.  Perawatan  Medikal  Bedah : Suatu  Pendekatan  Proses  Keperawatan.
Jakarta,  Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.

Lab / UPF  Ilmu  Bedah, 1994.  Pedoman  Diagnosis  Dan  Terapi. Surabaya, Fakultas 
Kedokteran  Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai