Suzanne Collins - Balada Burung Penyanyi & Ular (The Ballad of Songbirds & Snakes)
Suzanne Collins - Balada Burung Penyanyi & Ular (The Ballad of Songbirds & Snakes)
com
desyrindah.blogspot.com
THE BALLAD OF SONGBIRDS AND SNAKES
by Suzanne Collins
621164002
anggota I PI,
Jakarta, 2021
desyrindah.blogspot.com
www.gpu.id
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 9786020650944
656 hlm; 20 cm
3. 23
4. 24
5. 25
6. 26
7. 27
8. 28
9. 29
10. 30
4. Epilog
Landmarks
1. Cover
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com
BAGIAN I
“SANG MENTOR”
1
pergelangan tangannya. Baju itu terlalu jelek dan tak akan laku dijual pada masa
sulit sekarang. Masa ia harus mengenakannya pada hari pemungutan? Subuh tadi
ia sudah ke kamar sepupunya, tapi sang sepupu dan kemeja itu tak ada di kamar.
Ini bukan pertanda bagus. Apakah Tigris sudah menyerah memperbaiki kemeja
tua itu lalu memberanikan diri ke pasar gelap? Mungkin hanya itu usaha terakhir
untuk menemukan pakaian layak untuknya. Apa benda berharga yang dimiliki
Tigris yang bisa ditukar dengan pakaian? Hanya satu. Tubuhnya. Dan keluarga
Snow belum jatuh hingga serendah itu. Atau jangan-jangan memang sudah jatuh
serendah itu, pikir Coriolanus sembari menggarami kubisnya.
Coriolanus membayangkan orang-orang menawar harga tubuh Tigris. Dengan
tubuh langsing dan hidung mancung, Tigris tidak terlalu cantik, tapi gadis itu
memiliki kelembutan dan kemolekan yang mengundang pelecehan. Dia bisa
mendapat tawaran, jika mau. Membayangkannya saja sudah membuat Coriolanus
muak dan tak berdaya, hingga merasa jijik pada diri sendiri.
Dari ruangan lain apartemen mereka, ia mendengar lagu kebangsaan Capitol,
“Permata Panem” berkumandang. Suara sopran neneknya ikut bernyanyi, bergema
di seluruh penjuru apartemen.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Seperti biasa, suara neneknya sumbang dan ketinggalan tempo. Pada tahun
pertama perang, saat usia Coriolanus lima tahun dan Tigris berusia delapan tahun,
neneknya hanya memutar lagu kebangsaan setiap hari raya nasional untuk
membangun rasa patriotisme mereka. Pemutaran lagu setiap hari dimulai pada
hari kelam itu, ketika para pemberontak dari distrik-distrik mengepung Capitol,
dan memutus jalur pasokan makanan mereka selama sisa dua tahun masa perang.
“Ingat, anak-anak,” katanya, “kita memang terkepung. Tapi, kita tidak menyerah!”
desyrindah.blogspot.com
Lalu neneknya menyanyikan lagu kebangsaan dengan lantang ke luar jendela griya
tawang saat bom menghujani kota. Baginya itu semacam tindakan perlawanan.
Dengan takzim kami bersujud
Pada teladanmu,
Lalu sampailah pada nada yang tak pernah bisa dicapainya…
Dan membaktikan cinta kami padamu!
Coriolanus mengernyit. Sudah sepuluh tahun para pemberontak itu senyap, tapi
neneknya tidak kenal diam. Masih ada dua bait lagi.
Permata Panem,
Jiwa keadilan,
Kebijaksanaan memahkotai rona pualammu.
Dia bertanya-tanya, apakah sebagian suara neneknya bisa teredam jika ada lebih
banyak perabot di apartemen? Tapi, pertanyaan itu teori belaka. Saat ini
apartemen mereka adalah mikrokosmos Capitol, karut-marut dengan bekas
serangan pemberontak yang tak kenal lelah. Dinding apartemen setinggi enam
meter dihiasi retakan. Plafonnya bopeng dengan lubang-lubang di plesternya.
Selotip hitam jelek merekatkan kaca jendela melengkung yang pecah, jendela yang
menghadap ke pemandangan kota. Sepanjang masa perang dan sepuluh tahun
berikutnya, keluarga mereka terpaksa menjual atau melakukan barter atas barang-
barang tersisa, hingga beberapa ruangan pun kosong melompong dan ditutup,
sementara ruangan lain hanya ada perabotan seperlunya. Parahnya lagi, pada
musim dingin yang menggigit saat pengepungan terakhir, ukiran-ukiran kayu dan
berjilid-jilid buku harus dikorbankan untuk dilahap api agar keluarganya tidak
mati kedinginan. Melihat buku-buku bergambar yang berwarna-warni yang dulu
dibacakan oleh ibunya hancur jadi abu selalu membuatnya menangis. Tetapi,
lebih baik sedih daripada mati.
desyrindah.blogspot.com
bisa menambah rasa sup kubisnya. Satu-satunya yang ada di kulkas adalah panci
logam. Saat dia membuka tutup panci, ada seonggok kentang kental yang
tampaknya sudah basi. Apakah neneknya melaksanakan ancamannya untuk
belajar memasak? Apakah onggokan itu masih bisa dimakan? Dia menutup
kembali panci dan membiarkannya, sampai dia tahu mesti diapakan benda itu. Be-
tapa mewah hidupnya jika bisa membuang benda itu ke tempat sampah tanpa
perlu pikir panjang. Dan apa yang dibuangnya akan jadi sampah yang mewah. Dia
ingat, atau samar-samar mengingat, ketika dia masih kecil melihat truk-truk
sampah yang dikemudikan para Avox pekerja yang tak punya lidah adalah
pekerja terbaik, demikian kata neneknya sibuk menyusuri jalan, mengambil
kantong-kantong sampah besar berisi sisa makanan, kotak-kotak pembungkus,
barang-barang rumah tangga yang sudah tak terpakai lagi. Kemudian tiba di suatu
masa ketika tak ada yang bisa dibuang. Tak ada lagi makanan yang tersia-sia, tak
ada barang yang bisa dipertukarkan atau dibakar demi kehangatan, atau disumpal
ke dinding untuk sekat. Semua orang belajar untuk membenci sampah. Namun,
sampah kembali lagi menjadi pakaian. Kemeja layak pakai menjadi tanda
kemakmuran.
Lindungi tanah kami
Dengan tangan besi,
Kemeja. Kemejanya. Pikiran Coriolanus bisa terpusat pada satu masalah seperti
itu masalah apa saja dan tak mau enyah. Seakan dengan menguasai dan
mengendalikan satu bagian dari dunianya akan menyelamatkannya dari kegagalan.
Ini kebiasaan buruk yang membutakannya dari hal-hal lain yang dapat
mencelakainya. Kecenderungan terobsesi pada sesuatu sudah jadi bawaan dalam
otaknya dan kemungkinan besar akan jadi penyebab kehancurannya jika dia tidak
belajar mengakalinya.
Suara neneknya memekik pada kresendo terakhir.
desyrindah.blogspot.com
dalam pikirannya: jika dia tidak muncul, apakah posisinya sebagai mentor akan di-
gantikan orang lain? Kalau itu terjadi, apakah kesempatannya mendapat salah satu
penghargaan dari Akademi saat lulus nanti akan semakin berkurang? Tanpa
penghargaan itu, dia takkan sanggup masuk kuliah.
Artinya tak ada karier, tak ada masa depan. Dia tidak rela jika semua itu lenyap,
dan apa yang bakal menimpa keluarganya, dan
Pintu depan yang sudah bobrok dan miring tiba-tiba terbuka lebar.
“Coryo!” Tigris berseru, dan Coriolanus langsung meletakkan teleponnya.
Nama panggilan yang diberikan Tigris padanya sejak lahir tetap melekat sampai
dewasa. Dia langsung berlari dari dapur, hingga nyaris menabrak Tigris, tapi gadis
itu terlalu girang untuk memarahinya.
“Aku berhasil! Aku berhasil! Yah, aku berhasil melakukan sesuatu.” Tigris
melonjak-lonjak sembari mengangkat gantungan baju yang terbungkus kantong
pakaian. “Lihat, lihat, lihat!”
Coriolanus membuka kantong pakaian itu dan melepaskannya.Kemeja itu bagus
sekali. Bukan cuma bagus, tapi berkelas. Kain kemeja yang tebal itu tidak lagi
berwarna putih seperti semula atau ber warna kuning usang, tapi putih kekuningan
yang indah. Manset dan kerahnya diganti beledu ungu, dan kancing-kancingnya
berbentuk persegi berwarna emas dan hitam. Terbuat dari tessera. Masing-masing
kancing persegi itu memiliki dua lubang kecil untuk benang.
“Kau brilian,” puji Coriolanus dengan tulus. “Dan sepupu terbaik di dunia.” Dia
memegang kemejanya dengan hati-hati agar tidak rusak, lantas memeluk Tigris
dengan tangannya yang bebas. “Snow juaranya!”
“Snow juaranya!” seru Tigris bersemangat. Itu adalah ucapan mereka agar bisa
melewati perang, saat mereka harus berjuang tanpa henti agar tidak terperosok
makin dalam.
“Ceritakan padaku semuanya,” kata Coriolanus, tahu bahwa gadis itu mau
menceritakannya. Tigris senang sekali bicara tentang pakaian.
desyrindah.blogspot.com
bukan merupakan hari perayaan juga di Capitol. Seperti Coriolanus, banyak orang
tidak mau mengingat tentang perang. Tigris akan menghabiskan hari ini dengan
memijat tangan dan kaki bosnya. Sementara, beraneka ragam tamu akan datang
lalu saling bertukar cerita suram tentang kehilangan yang mereka alami selama
masa pengepungan. Mereka juga akan minum sampai mabuk berat. Besok bakal
lebih berat lagi, Tigris harus mengurus mereka yang sakit kepala dan mual sehabis
mabuk.
“Jangan banyak kuatir. Lebih baik kau bergegas dan makan!” Tigris
menyendokkan sup ke mangkuk dan menaruhnya di meja.
Coriolanus melirik jam sambil menggelogok sup tanpa memikirkan rasa panas
yang membakar lidahnya, lalu berlari ke kamar menenteng kemeja itu. Dia sudah
mandi dan bercukur. Untunglah, kulitnya yang putih bersih sedang tanpa noda
hari ini. Pakaian dalam dan kaus kaki hitam dari sekolah juga bersih. Dia
mengenakan celananya, yang terlihat bagus, dan mengenakan sepatu bot bertali.
Sepatunya kekecilan, tapi dia masih bisa tahan.
Dengan hati-hati dia mengenakan kemejanya lalu menyelipkan ujung kemeja ke
dalam celana. Coriolanus menatap dirinya di cermin. Tubuhnya tidak terlalu
jangkung. Seperti kebanyakan anak di generasinya, gizi buruk membuat
pertumbuhan siknya terhambat. Tetapi, tubuhnya ramping atletis dengan postur
yang tegap. Kemeja yang dia kenakan menonjolkan bagian-bagian terbaik siknya.
Semasa kanak-kanak, neneknya memamerkan dirinya sembari berjalan-jalan
dengan jas beledu ungu. Saat itu, dia merasa seperti bangsawan. Itu yang
dirasakannya sekarang. Dia menyugar rambut ikal pirangnya sembari mengejek
bayangannya di cermin, “Salam hormat pada Coriolanus Snow, calon presiden
Panem.”
Demi menyenangkan Tigris, dia berjalan masuk ke ruang tamu dengan penuh
gaya. Coriolanus merentangkan kedua tangan dan memutar tubuhnya untuk
memamerkan kemeja itu.
desyrindah.blogspot.com
Tigris menjerit senang dan bertepuk tangan. “Kau tampak memukau! Sangat
tampan dan modis! Grandma’am, sini lihat!” Grandma’am adalah nama panggilan
dari Tigris sewaktu dia masih kecil. Dia merasa panggilan “Grandma” dan “Nana”
tak cukup untuk memanggil seseorang sepriayi neneknya.
Neneknya datang, menangkup mawar merah yang baru dipotong dengan kedua
tangannya yang gemetar. Dia mengenakan tunik panjang dan longgar berwarna
hitam, jenis pakaian yang populer sebelum perang. Sekarang sudah ketinggalan
zaman dan jadi bahan tertawaan. Alas kakinya berupa sepasang sandal berbordir
yang ujungnya melengkung, jenis sandal yang sekarang jadi bagian kostum
pertunjukan. Helai-helai uban tipis menyelat dari turban beledu usang yang
membungkus kepalanya. Ini adalah sisa-sisa pakaian yang dulunya mewah
beberapa barang layak pakai yang dia simpan untuk dikenakan saat menerima
tamu atau saat langka ketika dadakan hendak ke kota.
“Sini, sini, Nak. Pakai ini. Masih segar baru dipetik dari taman di atap,” kata
neneknya.
Coriolanus mengulurkan tangan mengambil bunga mawar itu, tapi duri mawar
menusuk telapak tangannya. Darah mengalir dari lukanya, dan dia mengangkat
telapak tangannya agar tidak menodai kemejanya yang berharga. Neneknya
tampak bingung.
“Aku cuma mau kau terlihat elegan,” kata neneknya.
“Tentu saja, Grandma’am,” ujar Tigris. “Dan dia akan terlihat elegan.”
Saat Tigris menariknya ke dapur, Coriolanus berpikir bahwa pengendalian diri
adalah ilmu yang penting. Dan dia seharusnya bersyukur, neneknya memberi
kesempatan padanya untuk berlatih setiap hari.
“Darah dari luka tusuk biasanya cepat berhenti,” kata Tigris sembari
membersihkan luka dan membalut tangan Coriolanus dengan perban. Dia
mengambil bunga mawar itu dan mempertahankan satu-dua helai daun hijau, lalu
menyematkannya ke kemeja
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus. “Memang jadi terlihat elegan. Kau kan tahu betapa berharga bunga
mawar buat dia. Berterima kasihlah padanya.”
Dan Coriolanus berterima kasih pada neneknya. Dia berterima kasih pada
keduanya, lalu berlari ke luar pintu, menuruni dua belas lantai dengan tangga
berornamen menuju lobi. Berlari menuju Capitol.
Pintu depan apartemennya membentang ke arah Corso, jalan raya yang sangat
lebar. Saking lebarnya, sampai-sampai delapan kereta kuda bisa berderet bersisian
ketika dahulu Capitol memamerkan pasukan militernya kepada khalayak ramai.
Coriolanus masih ingat semasa kecil ketika dia berdiri di dekat jendela
apartemennya, para tamu pesta membual bahwa mereka duduk paling depan saat
menonton parade. Kemudian datanglah bom-bom itu, dan sekian lama jalan
depan apartemennya tak bisa dilewati. Sekarang, meskipun jalanan sudah bersih
dari reruntuhan, puing-puing masih menumpuk di trotoar. Gedung-gedung masih
rusak. Kondisinya masih sama seperti ketika usai dihajar bom.
Sepuluh tahun setelah kemenangan Capitol, Coriolanus masih saja harus
menghindari bongkahan besar marmer dan batu granit dalam perjalanannya ke
Akademi. Kadang-kadang dia penasaran, apakah puing-puing itu sengaja
dibiarkan di sana untuk mengingatkan para penduduk apa yang telah mereka
alami. Manusia memiliki ingatan yang pendek. Mereka perlu berjalan di antara
puing, merobek kupon ransum makan yang dekil, dan menyaksikan
Hunger Games agar ingatan tentang perang tak pernah hilang dari otak mereka.
Melupakan bisa membuat manusia puas diri, dan
akhirnya mereka akan kembali ke awal masa.
Saat berbelok ke Scholars Road, Coriolanus berusaha mengatur langkahnya. Dia
ingin tiba tepat waktu, tapi dalam keadaan tenang dan santai, bukan acak-acakan
dan berkeringat. Seperti yang sudah-sudah, hari pemungutan ini adalah hari yang
panas. Memangnya cuaca macam apa yang bisa diharapkan pada tanggal 4 Juli di
musim panas? Dia bersyukur karena wangi yang menguar dari bunga mawar ne-
desyrindah.blogspot.com
pemberontak. Dahulu, para peserta dibuang ke Arena Capitol yang pada masa
sebelum perang digunakan sebagai tempat hiburan dan olahraga, dan kini hanya
berupa ruang terbuka yang bobrok. Mereka diberi senjata untuk saling
membunuh di Arena. Para penduduk di Capitol diharapkan menonton, meskipun
banyak orang yang memilih untuk menghindarinya. Tantangannya adalah
bagaimana membuat
Hunger Games lebih menarik perhatian penonton.
Dengan harapan ini, untuk pertama kalinya para peserta didampingi mentor.
Dua puluh empat siswa senior terbaik dan terpandai dari Akademi akan
melaksanakan tugas tersebut. Pokok-pokok peran mentor ini masih disusun. Ada
omongan tentang tugas mentor adalah menyiapkan masing-masing peserta untuk
wawancara, mungkin mendandani mereka agar tampil menarik di depan kamera.
Semua orang sependapat, jika Hunger Games mau dilanjutkan, mereka perlu
membuat sesuatu yang menghasilkan pengalaman berarti. Memasangkan peserta
dari distrik dengan anak muda Capitol diharapkan akan membuat penonton
penasaran.
Coriolanus berjalan melewati hiasan spanduk hitam, melintasi lorong berkubah,
dan memasuki Heavensbee Hall yang luas. Di sanalah mereka akan menonton
siaran upacara pemungutan. Dia belum terlambat, tapi aula itu sudah dipenuhi
para pengajar dan siswa serta sejumlah pejabat yang menangani Hunger Games
yang tak perlu hadir pada siaran langsung hari pembukaan.
Para Avox hilir mudik di antara kerumunan dengan nampan berisi posca, wine
yang dicampur madu dan rempah-rempah. Versi memabukkan dari minuman
asam yang diminum penduduk Capitol semasa perang, yang konon bisa
mencegah penyakit. Coriolanus mengambil secawan posca dan menyesapnya
sedikit sambil agak dikumur, berharap bisa menghilangkan bau kubis dari
napasnya. Dia hanya menelan seteguk minuman itu. Posca minuman yang keras,
dan dia pernah melihat orang-orang kaya yang berbuat konyol karena kebanyakan
desyrindah.blogspot.com
minum.
Dunia ini masih menganggap Coriolanus bergelimang kekayaan. Namun,
kekayaan yang sesungguhnya masih dimiliki Coriolanus adalah pesona, yang
dihamburkannya saat melintasi kerumunan orang. Dia bisa melihat wajah-wajah
yang berbinar ketika dia menyapa para siswa dan guru, menanyakan kabar anggota
keluarga mereka, sambil memberi pujian di sana-sini.
“Saya masih terngiang-ngiang ceramah Anda tentang pembalasan distrik.”
“Aku suka ponimu!”
“Bagaimana operasi punggung ibumu? Bilang pada ibumu, dia pahlawanku.”
Dia terus berjalan melewati ratusan kursi empuk yang ditata khusus untuk acara
ini dan melangkah ke mimbar. Di sana, Satyria sedang menghibur para profesor
Akademi dan pejabat Hunger Games dengan cerita-cerita seru. Meskipun hanya
mendengar kalimat terakhir ”Dan, kubilang, ‘Maaf soal wigmu, tapi kau sendiri
yang memaksa membawa monyet!’” dia ikut tertawa.
“Oh, Coriolanus,” ujar Satyria sembari melambai menyuruhnya mendekat. “Ini
murid kesayanganku.” Coriolanus mencium pipi gurunya dan memperhatikan
bahwa Satyria sudah minum beberapa gelas posca. Wanita itu harus menahan diri
agar tidak terlalu banyak minum, meskipun sebenarnya banyak orang dewasa yang
dikenalnya juga kebanyakan minum. Minum untuk melupakan masalah sudah
menjadi epidemi di kota ini. Namun, Satyria adalah guru yang menyenangkan dan
tak terlalu kaku. Salah satu profesor yang mengizinkan murid-murid menyapanya
dengan nama depan. Satyria mundur selangkah dan memperhatikan Coriolanus.
“Kemeja yang bagus. Di mana kau mendapatkannya?”
Coriolanus melihat kemejanya dengan lagak kaget lalu mengangkat bahu dengan
gaya seolah dia adalah pemuda kaya yang memiliki pilihan tak terbatas.
“Keluarga Snow punya banyak stok di lemari,” katanya dengan gaya tak acuh.
“Aku hanya berusaha tampil sopan tapi terlihat meriah.”
“Dan kau berhasil. Kancing-kancing ini keren, apa ini?” tanya Satyria, sambil
desyrindah.blogspot.com
menghasilkan banyak uang dari pembuatan amunisi perang sehingga dia bisa
memboyong keluarganya tinggal di Capitol. Sekarang, keluarga Plinth menikmati
hak-hak istimewa yang dimiliki keluarga-keluarga ningrat dan kaya raya, yang
memiliki kekuasaan itu selama beberapa generasi. Tak pernah terjadi dalam
sejarah bahwa orang macam Sejanus, anak lelaki yang lahir di distrik, menjadi
siswa Akademi, tapi sumbangan dana ayahnya yang berlimpah membuat sekolah
bisa dibangun lagi setelah perang. Penduduk yang lahir di Capitol akan meminta
gedung baru itu dinamai sesuai nama mereka. Ayah Sejanus hanya meminta anak
lelakinya bisa bersekolah di sana.
Bagi Coriolanus, keluarga Plinth dan orang-orang macam mereka adalah
ancaman bagi semua yang diyakininya. Kehadiran orang-orang kaya baru di
Capitol menggerogoti aturan lama. Ini amat menjengkelkan karena banyak
kekayaan keluarga Snow juga diinvestasikan pada amunisi perang tapi di Distrik
13. Kompleks yang luas, blok demi blok pabrik dan fasilitas riset milik mereka
dibom hingga rata dengan tanah. Distrik 13 sudah dihantam nuklir, dan seluruh
wilayah itu masih belum bisa dihuni karena tingkat radiasi yang tinggi. Pusat
pabrik senjata Capitol dipindahkan ke Distrik 2 dan jatuh ke pangkuan keluarga
Plinth. Ketika kabar bahwa Distrik 13 telah musnah sampai ke Capitol, nenek
Coriolanus menepisnya di depan umum dengan mengatakan bahwa untungnya
mereka masih memiliki banyak aset. Padahal sebenarnya mereka sudah tidak pu-
nya apa-apa.
Sejanus datang ke lapangan sekolah sepuluh tahun lalu. Anak lelaki pemalu dan
sensitif yang mengamati anak-anak lain dengan
hati-hati, dengan sepasang matanya yang cokelat sendu dan tampak terlalu besar
untuk wajahnya yang tegang. Saat tersebar berita bahwa Sejanus berasal dari salah
satu distrik, Coriolanus terdorong untuk bergabung bersama teman-teman
sekelasnya untuk membuat hidup anak baru itu sengsara. Tapi setelah dipikir-pikir
lagi, dia memutuskan mengabaikan anak itu. Anak-anak Capitol lain menganggap
desyrindah.blogspot.com
keputusan Coriolanus tidak menyiksa anak gembel distrik itu karena tidak selevel
dengan stratanya, tapi Sejanus menganggapnya sebagai kebaikan budi. Kedua
anggapan itu tak ada yang tepat, tapi dua-duanya memperkuat kesan bahwa
Coriolanus adalah orang yang berkelas.
Dengan perawakannya yang tangguh, Profesor Sickle berjalan menuju lingkaran
Satyria, membuat bawahan-bawahan Satyria kabur ke segala penjuru. “Selamat
pagi, Profesor Click.”
“Oh, Agrippina, baguslah. Kau ingat perisaimu,” kata Satyria, sambil
menyambut jabat tangan kokoh dari wanita itu. “Aku kuatir anak-anak muda akan
melupakan makna sesungguhnya tentang hari ini. Dan, Sejanus. Tampan sekali
penampilanmu.”
Sejanus berusaha membungkuk memberi hormat, membuat helai-helai
rambutnya yang bandel jatuh mengenai matanya. Perisai yang besar dan berat itu
tersangkut di dadanya.
“Terlalu tampan,” kata Profesor Sickle. “Kukatakan padanya, kalau aku mau
merak yang banyak lagak, aku akan menghubungi toko hewan peliharaan. Mereka
semua seharusnya pakai seragam saja.” Dia memandang Coriolanus.
“Penampilanmu lumayan. Itu kemeja lama ayahmu?”
Oya? Coriolanus sama sekali tidak tahu. Samar-samar kenangan ayahnya
memakai jas malam yang menawan lengkap dengan medali kebesaran terlintas
dalam benaknya. Dia memutuskan mengikuti alur percakapan itu. “Terima kasih
atas perhatiannya, Profesor. Aku memermaknya supaya tidak memberi kesan aku
yang berperang. Tapi, aku ingin ayahku berada di sini bersamaku hari ini.”
“Sudah layak dan sepantasnya,” kata Profesor Sickle. Lalu dia mengalihkan
perhatiannya pada Satyria dan mengutarakan pendapatnya tentang diturunkannya
Penjaga Perdamaian, tentara nasional, ke Distrik 12, karena para penambang batu
bara di sana gagal memenuhi kuota produksi.
Melihat guru mereka sibuk berbincang, Coriolanus mengangguk ke arah perisai.
desyrindah.blogspot.com
tinggal yang mereka miliki. Menjualnya juga percuma, karena Coriolanus tahu
neneknya punya banyak utang dengan apartemen mereka sebagai agunan. Kalau
mereka menjualnya, takkan ada uang yang tersisa. Mereka bakalan mesti pindah
ke lingkungan kumuh dan bergaul dengan rakyat jelata bermasa depan suram,
tanpa status sosial, tanpa prestise, tanpa martabat. Rasa malu akan membunuh
neneknya. Melempar neneknya dari jendela griya tawang rasanya lebih manusiawi.
Paling tidak, kematiannya akan berlangsung cepat.
“Kau baik-baik saja?” Sejanus memandangnya dengan tatapan bingung.
“Wajahmu pucat sekali.”
Coriolanus berusaha menenangkan diri. “Kurasa karena posca. Perutku jadi
mulas.”
“Yeah,” Sejanus sependapat. “Ma selalu memaksaku meminumnya pada zaman
perang.”
Ma? Apakah posisi Coriolanus akan digeser oleh seseorang yang memanggil
ibunya “Ma”? Bisa-bisa dia memuntahkan kubis dan posca-nya. Dia mengambil
napas dalam-dalam dan menahan rasa mualnya. Kebenciannya pada Sejanus tak
pernah sebesar ini sejak anak distrik yang hidup berkecukupan itu pertama kali
menghampirinya, bicara dengan aksen dungu, memegang erat-erat sekantong
permen karet.
Coriolanus mendengar bel berdering dan melihat teman-teman sekolahnya
berkumpul di depan mimbar.
“Kurasa tiba saatnya kita dipasangkan dengan peserta,” kata Sejanus murung.
Coriolanus mengikutinya ke area tempat duduk khusus. Empat kursi berderet
sebanyak enam baris sudah disiapkan untuk para mentor. Dia berusaha
mengenyahkan masalah apartemen itu dari benaknya, dan memusatkan perhatian
pada tugas penting saat ini. Ini saat terpenting baginya untuk unggul, dan untuk
bisa unggul dia harus mendapat peserta yang kompetitif.
Dekan Casca Highbo om, pria yang diyakini sebagai pencipta Hunger Games,
desyrindah.blogspot.com
mengatur sendiri program mentor ini. Dia berdiri di depan para siswa dengan
semangat orang yang berjalan sambil tidur, mata melamun, dan seperti biasa, teler
karena mor n. Tubuhnya yang dulu gagah kini loyo dan ciut dengan kulit keriput.
Potongan rambutnya yang rapi dan jas baru membuat penampilannya yang lesu
makin menonjol. Berkat ketenarannya sebagai penemu Hunger Games, dia masih
punya sedikit kekuasaan di sini, tapi kabarnya Dewan Akademi mulai kehilangan
kesabaran.
“Halo semua,” ucapnya dengan tidak jelas, sambil melambaikan selembar kertas
di atas kepalanya. “Dibacakan sekarang ya.” Para siswa menyuruh satu sama lain
untuk diam, berusaha keras untuk mendengarnya di antara keriuhan di dalam
aula. “Kubacakan nama, lalu kau dapat apa. Ya? Baiklah. Distrik Satu, anak lelaki,
dimentori…” Dekan Highbo om menyipitkan mata melihat kertas di tangannya,
berusaha untuk fokus. “Kacamata,” gumamnya. “Lupa.” Semua orang memandangi
kacamata yang sudah bertengger di hidungnya, dan menunggu sampai jemari sang
dekan menemukan kacamatanya. “Ah, ini dia. Livia Cardew.”
Wajah mungil Livia langsung menyeringai lebar dan dia mengepalkan tinjunya
ke udara, lalu meneriakkan, “Ya!” dengan lantang. Gadis itu memang dikenal suka
pamer. Seakan-akan penugasan yang empuk itu berkat prestasinya sendiri, bukan
karena ibunya yang merupakan pemilik bank terbesar di Capitol.
Coriolanus mulai merasa putus asa ketika Dekan Highbo om membacakan
da arnya, menugasi mentor ke masing-masing anak lelaki dan perempuan dari
distrik. Setelah sepuluh tahun, mulai terlihat pola Hunger Games. Distrik-distrik
yang lebih makmur dan dekat dengan Capitol seperti Distrik 1 dan 2
menghasilkan lebih banyak pemenang, sementara para peserta dari distrik
perikanan dan pertanian seperti Empat dan Sebelas juga menjadi pesaing kuat.
Coriolanus berharap mendapat Distrik 1 atau 2, tapi dia tak mendapatkannya.
Saat Sejanus mendapat anak lelaki Distrik 2, Coriolanus lebih merasa terhina.
Distrik 4 lewat tanpa menyinggung namanya, dan kesempatan terakhirnya untuk
desyrindah.blogspot.com
Anak perempuan Distrik 12? Coriolanus tak pernah merasa terhina separah ini.
Distrik 12 adalah distrik paling kecil. Distrik yang jadi tertawaan dengan anak-
anaknya yang bertubuh kerdil dan kurus kering, yang selalu tewas pada lima menit
pertama. Bukan hanya itu… tapi, anak perempuan? Bukan hanya anak perempuan
yang tak bisa menang, tapi dalam pikiran Coriolanus Hunger Games berkaitan de-
ngan kekejaman dan kebengisan, dan tubuh anak perempuan lebih kecil daripada
anak lelaki, dan itu sudah jadi kekurangan tersendiri. Coriolanus tak pernah
menyukai Dekan Highbo om. Bersama teman-temannya, mereka mengolok-
oloknya dengan julukan si Highbo om tukang teler, Coriolanus tak pernah
menyangka bakal dipermalukan di depan umum begini. Apakah julukan itu
membuat Coriolanus mendapat balasan seperti ini? Atau apakah ini penegasan,
bahwa dalam era dunia yang baru, derajat keluarga Snow turun menjadi golongan
nista?
Coriolanus bisa merasa wajahnya memanas saat dia berusaha menjaga diri agar
tetap tenang. Siswa-siswa lain sudah berdiri dan mengobrol. Dia mesti bergabung
dengan mereka, pura-pura menganggap ini bukan masalah, tapi dia tak mampu
bergerak. Dia hanya mampu menoleh ke kanan, ke tempat Sejanus duduk di
sampingnya. Coriolanus membuka mulut hendak memberi selamat, tapi tak jadi
melakukannya karena melihat wajah anak itu yang penuh penderitaan.
“Ada apa?” tanyanya. “Kau tidak senang? Distrik Dua, anak lelaki itu seperti
permata di antara kotoran.”
desyrindah.blogspot.com
“Kau lupa. Aku bagian dari kotoran itu,” kata Sejanus serak.
Coriolanus mencerna pernyataan Sejanus. Percuma saja Sejanus tinggal selama
sepuluh tahun di Capitol beserta segala kehidupan istimewa yang dijalaninya. Dia
masih menganggap dirinya penduduk distrik. Omong kosong sentimental.
Dahi Sejanus berkerut karena takut. “Aku yakin ayahku yang memintanya. Dia
selalu ingin meluruskan pikiranku.”
Pastinya, pikir Coriolanus. Harta berlimpah dan pengaruh Strabo Plinth
dihormati, walaupun dia bukan dari garis keturunan ningrat. Meskipun pemilihan
mentor seharusnya berdasarkan penilaian kelayakan, jelas ada permainan
kekuasaan di sini.
Para penonton kembali ke tempat duduk masing-masing. Di bagian belakang
mimbar, tirai tersingkap memperlihatkan layar besar dari lantai hingga langit-
langit. Pemungutan disiarkan langsung dari setiap distrik, mulai dari pantai timur
hingga barat, dan disiarkan ke seluruh penjuru negeri. Itu artinya Distrik 12 jadi
yang pertama. Semua orang bangkit berdiri ketika lambang negara Panem
terpampang di layar, diiringi lagu kebangsaan Capitol.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Beberapa siswa susah payah mengingat liriknya, tapi Coriolanus yang
mendengar neneknya membantai lagu ini setiap hari selama bertahun-tahun,
menyanyikan seluruh baitnya dengan penuh semangat, dan mendapat pujian
berupa anggukan. Menyedihkan, tapi dia butuh pujian sekecil apa pun.
Lambang negara memudar digantikan foto Presiden Ravinstill, dengan rambut
beruban dan mengenakan seragam militer sebelum perang, sebagai pengingat
bahwa dia sudah mengendalikan distrik-distrik jauh sebelum Masa Kegelapan dari
pemberontakan. Dia membaca sepotong bagian dari Perjanjian Pengkhianat, yang
desyrindah.blogspot.com
menyatakan bahwa Hunger Games adalah pampasan perang. Nyawa anak muda
dari distrik diambil untuk menggantikan nyawa anak muda Capitol yang tewas.
Harga yang harus dibayar untuk pengkhianatan para pemberontak.
Para Pengawas Permainan mengganti gambar ke alun-alun Distrik 12 yang
suram. Di sana panggung sementara dibangun di depan Gedung Pengadilan
dengan barisan pengawalan Penjaga Perdamaian. Walikota Lipp, pria pendek
dengan wajah berbintik-bintik dan mengenakan jas yang ketinggalan zaman,
berdiri di antara dua karung goni. Dia merogoh karung di sisi kirinya,
mengeluarkan selembar kertas lalu melihatnya sekilas.
“Peserta perempuan Distrik Dua Belas adalah Lucy Gray Baird,” katanya di
mikrofon. Kamera menyorot kerumunan wajah-wajah pucat kelaparan yang
memakai pakaian abu-abu tanpa sentuhan modis sedikit pun, mencari peserta
yang namanya dipanggil. Kamera menyoroti keributan. Anak-anak perempuan
menjauh dari anak perempuan yang terpilih.
Penonton berbisik-bisik kaget saat melihatnya.
Lucy Gray Baird berdiri tegak dengan pakaian warna-warni yang berkibar cerah.
Mungkin dulunya pakaian mewah, tapi sekarang compang-camping. Rambut
keritingnya yang berwarna gelap diikat ke atas dan dijalin dengan bunga-bunga
liar. Penampilannya yang ber warna menarik perhatian, bak kupu-kupu yang
tercabik di ladang penuh ngengat. Dia tidak berjalan lurus ke panggung, tapi
malah berbelok melewati anak-anak perempuan di sebelah kanannya.
Kejadian itu berlangsung cepat. Tangan gadis itu merogoh rumbai di
pinggangnya, lalu benda hijau terang yang menggeliat berpindah dari kantongnya
ke kerah blus gadis berambut merah yang sedang menyeringai. Roknya berdesir
ketika dia melanjutkan langkah. Kamera tetap menyoroti sang korban,
cengirannya berubah jadi ekspresi ketakutan. Dia menjerit ketika jatuh ke tanah
sambil menepuk-nepuk pakaiannya dan berteriak kepada sang walikota. Di latar
belakang, tampak gadis yang menyerangnya tadi melenggok dengan gemulai
menuju panggung. Sekali pun tidak menengok ke belakang.
desyrindah.blogspot.com
bawa pergi. Lipp berbalik ke arah panggung dan memandang peserta terbaru dari
Distrik 12 dengan tatapan membunuh.
Saat Coriolanus melihat Lucy Gray Baird naik ke panggung, dia merasa resah.
Apakah gadis itu tidak waras? Samar-samar dia melihat sesuatu yang dikenalinya
tapi terasa mengganggu pada diri gadis itu. Deretan warna merah muda, biru
terang, kuning cerah…
“Gadis itu seperti pemain sirkus,” komentar salah satu siswa perempuan.
Mentor-mentor lain juga membuat pernyataan senada.
Itu dia. Coriolanus berusaha mengingat kenangan tentang sirkus pada masa
kanak-kanaknya. Para pemain sulap dan akrobat, badut dan gadis-gadis dengan
gaun-gaun mengembang menari berputar-putar, sementara otaknya pening karena
arum manis. Peserta didiknya memilih busana yang begitu meriah untuk acara
paling suram dalam setahun, jelas-jelas menunjukkan keanehan di luar akal sehat.
Waktu yang dialokasikan untuk pemungutan di Distrik 12 seharusnya sudah
habis, tapi mereka belum menentukan peserta laki-laki. Ketika Walikota Lipp
kembali menguasai panggung, dia mengabaikan kantong berisi nama-nama itu
dan berjalan menghampiri peserta perempuan lalu menamparnya keras-keras
hingga gadis itu jatuh berlutut. Tangannya sudah terangkat dan siap memukul
gadis itu lagi ketika dua orang Penjaga Perdamaian menghalanginya, menarik
kedua lengannya dan berusaha mengingatkannya untuk menyelesaikan urusan
yang belum selesai. Sang walikota melawan hingga para Penjaga Perdamaian
menariknya ke Gedung Pengadilan, dan membuat seluruh kegiatan yang sedang
berlangsung terhenti sementara.
Perhatian penonton teralih pada gadis yang berada di atas panggung. Ketika
kamera menyorotinya, Coriolanus meragukan kewarasan Lucy Gray Baird.
Coriolanus tak tahu dari mana gadis itu memperoleh riasan wajahnya, karena
kosmetik baru saja tersedia lagi di Capitol. Kelopak mata gadis itu dirias rona biru
dan celak hitam. Wajahnya dipulas perona pipi, dan bibirnya merah berkilau. Di
desyrindah.blogspot.com
Capitol, gayanya dianggap berani. Di Distrik 12, gayanya di luar kelaziman. Sulit
bagi penonton memalingkan pandangan dari gadis itu ketika dia duduk di
panggung sambil merapikan roknya dengan tangan, berusaha meluruskan rumbai-
rumbainya. Setelah roknya rapi, dia baru mengangkat tangan dan menyentuh
memar di pipinya. Bibir bawahnya sedikit bergetar dan matanya berkaca-kaca
dengan air mata yang nyaris tumpah.
“Jangan menangis,” bisik Coriolanus. Dia tersadar lalu menatap sekelilingnya
dengan gugup dan mendapati siswa-siswa lain tampak terpaku. Ekspresi wajah
mereka menunjukkan kekhawatiran. Walaupun tingkahnya aneh, gadis itu
memperoleh simpati mereka. Mereka tidak tahu siapa gadis itu atau kenapa dia
menyerang Mayfair. Namun, semua orang bisa melihat seringai jahat di wajah
Mayfair dan menyaksikan ayahnya dengan sadis memukul seorang gadis yang
baru saja mendapat hukuman mati dari sang walikota. “Aku yakin mereka
mencuranginya,” kata Sejanus pelan. “Bukan namanya yang tertulis di kertas itu.”
Tepat saat gadis itu nyaris tak mampu lagi menahan tangis, hal aneh terjadi. Dari
kerumunan massa, terdengar suara orang mulai bernyanyi. Suara anak-anak, entah
anak lelaki atau perempuan, tapi nada yang dilantunkannya membuat alun-alun
itu hening seketika.
Kau tak bisa merenggut masa laluku.
Kau tak bisa merenggut sejarahku.
Angin berembus menerpa panggung, dan gadis itu perlahan-
lahan mengangkat kepalanya. Di antara kerumunan, terdengar suara lelaki yang
lebih dalam, ikut bernyanyi.
Kau bisa merenggut ayahku,
tapi namanya adalah sebuah misteri.
Senyum samar tersungging di bibir Lucy Gray Baird. Dia tiba-tiba berdiri dan
berjalan ke tengah panggung, mengambil mikrofon lalu bernyanyi tanpa beban.
desyrindah.blogspot.com
Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup berharga untuk disimpan.
Satu tangannya merogoh rumbai-rumbai di roknya, mengibas-ngibaskannya
hingga berdesir, dan semuanya mulai terasa masuk akal kostum, riasan wajah,
dan rambutnya. Siapa pun gadis itu, sejak awal dia sudah berdandan untuk
pertunjukan. Dia memiliki suara yang bagus; indah dan jernih pada nada-nada
tinggi, serta serak dan empuk pada nada rendah, dan dia bergerak penuh percaya
diri.
Kau tak bisa merenggut pesonaku.
Kau tak bisa merenggut kejenakaanku.
Kau tak bisa merenggut kekayaanku,
Karena itu semua hanya selentingan.
Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup berharga untuk disimpan.
Gadis itu berubah saat bernyanyi, dan Coriolanus tak lagi menganggapnya
mengkhawatirkan. Ada sesuatu yang menyenangkan, bahkan menarik, pada
dirinya. Kamera terus menyorotinya saat dia berjalan ke bagian depan panggung
dan mendekat ke arah penonton. Manis, sekaligus kurang ajar.
Berpikir kau sangat hebat.
Berpikir kau bisa memiliki milikku.
Berpikir kau yang memegang kendali.
Berpikir kau akan mengubahku, mungkin mengaturku.
Pikirkan lagi, jika itu tujuanmu,
karena….
Lalu dia turun dari panggung, berlenggak-lenggok di sekeliling panggung dan
melewati barisan Penjaga Perdamaian. Beberapa di antaranya bahkan tak bisa
menahan senyum. Tak satu pun yang bergerak menghentikannya.
Kau tak bisa merenggut kecongkakanku.
desyrindah.blogspot.com
untuk dirinya, hanya melalui wawancara? Dia tidak terlalu mengingat peserta-
peserta lain, yang kebanyakan hanya makhluk lemah dan menyedihkan. Dia hanya
mencatat siapa-siapa saja peserta yang cukup kuat. Sejanus mendapat anak lelaki
jangkung dari Distrik 2. Anak laki-laki Distrik 1 yang dimentori Livia sepertinya
bakal jadi pesaing tangguh. Anak didik Coriolanus tampaknya sehat, tapi
tubuhnya yang kurus lebih cocok untuk berdansa daripada bertarung satu lawan
satu. Namun, dia yakin gadis itu bisa berlari cepat, dan itu penting.
Pemungutan di distrik hampir selesai semua. Aroma makanan dari meja
prasmanan mulai tercium oleh para tamu. Roti yang baru keluar dari oven.
Bawang. Daging. Coriolanus berusaha menjaga agar perutnya tidak keroncongan
dengan meneguk posca untuk menenangkan rasa laparnya. Dia merasa tegang,
pening, dan kelaparan. Setelah layar menggelap, dia menahan diri sekuat tenaga
agar tidak berlari ke meja prasmanan,
Menahan lapar adalah bagian tak terpisahkan dari hidup Coriolanus. Bukan
pada masa kecilnya atau sebelum perang, tapi pada masa-masa setelah perang. Dia
harus bertarung, bernegosiasi, dan bermain dengan rasa lapar. Apa cara terbaik
untuk mengenyahkan lapar? Makan sekenyang-kenyangnya sekali makan? Makan
sedikit-sedikit tapi sering dalam satu hari? Makan dengan rakus atau me-
ngunyahnya pelan-pelan hingga hancur di mulut? Semua hanyalah permainan
pikiran untuk mengalihkan diri dari kenyataan, bahwa apa yang dia makan tidak
pernah cukup. Tak ada seorang pun membiarkannya merasa kenyang.
Semasa perang, para pemberontak menguasai distrik-distrik yang memproduksi
makanan. Mereka mengacaukan serangan Capitol, berusaha membuat Capitol
kelaparan hingga menyerah demi mendapat makanan. Sekarang keadaan kembali
berbalik. Capitol menguasai persediaan makanan dan membuat keadaan tersebut
selangkah lebih berat dengan sengaja menyakiti mental dan sik warga distrik
melalui Hunger Games. Di tengah kekejaman Hunger Games, ada penderitaan
mendalam dan tak terucapkan yang dirasakan semua orang di Panem,
desyrindah.blogspot.com
keputusasaan untuk memiliki cukup makanan saat matahari bersinar esok hari.
Keputusasaan itu telah mengubah penduduk Capitol yang terhormat menjadi
monster. Orang-orang yang mati kelaparan di jalan menjadi bagian dari rantai
makanan yang mengerikan. Pada suatu malam di musim dingin, Coriolanus dan
Tigris menyelinap keluar dari apartemen untuk mengais sampah di kotak-kotak
kayu yang mereka lihat sebelumnya di gang. Dalam perjalanan, mereka melewati
tiga mayat. Salah satunya mereka kenal sebagai pembantu muda yang menyajikan
teh di rumah keluarga Crane pada acara pertemuan sore.
Salju yang basah dan lebat mulai turun. Mereka mengira jalanan sudah kosong,
tapi dalam perjalanan pulang, sosok berpakaian tebal membuat mereka bergegas
bersembunyi di balik pagar. Mereka melihat tetangga mereka, Nero Price,
penguasa di bidang industri kereta api, sedang menggergaji kaki mayat pembantu
itu. Pisau besar di tangannya bergerak maju-mundur sampai anggota tubuh yang
dipotongnya lepas. Nero Price membungkus potongan kaki tersebut dengan kain
yang dirobeknya dari bagian pinggang rok gadis itu, kemudian berlari ke trotoar
yang menuju rumahnya.
Coriolanus tak pernah membahasnya dengan Tigris, bahkan tak pernah
menyinggungnya sama sekali. Tapi kejadian itu membekas dalam ingatannya.
Kebiadaban yang tertera di wajah Price, gelang kaki berwarna putih dan sepatu
hitam usang di ujung kaki yang terpotong, serta kengerian tak terhingga saat
menyadari bahwa dia pun sekarang bisa dipandang sebagai makanan.
Coriolanus harus berterima kasih pada perencanaan masa depan neneknya
ketika perang baru dimulai, sehingga dia punya kemampuan bertahan hidup
secara moral dan har ah. Kedua orangtuanya sudah meninggal, Tigris juga yatim
piatu. Mereka berdua tinggal bersama nenek mereka. Perlahan tapi pasti, para
pemberontak bergerak menuju Capitol, meskipun kesombongan membutakan
warga kota atas kenyataan itu. Kekurangan makanan bahkan membuat orang kaya
harus mencari bahan makanan tertentu di pasar gelap. Hingga pada suatu malam
desyrindah.blogspot.com
di bulan Oktober, Coriolanus berada di pintu belakang kelab malam yang dulunya
trendi. Dia menarik gerobak kecil berwarna merah dengan satu tangan, sementara
tangan yang satu lagi menggandeng neneknya yang mengenakan sarung tangan.
Mereka datang menemui Pluribus Bell. Lelaki tua itu mengenakan kacamata
berlensa kuning serta wig putih panjang menjulur hingga ke pinggang. Dia dan
partnernya bernama Cyrus, seorang pemusik, adalah pemilik kelab yang sudah
tutup itu. Kini mereka menjadikannya sebagai jalur distribusi perdagangan gelap
melalui gang belakang. Keluarga Snow datang untuk mencari susu kaleng, karena
susu segar sudah tak ditemukan sejak beberapa minggu lalu. Tapi, Pluribus bilang
dia tak punya stok susu kaleng lagi. Yang baru datang adalah kotak-kotak berisi
kacang kara kering yang ditumpuk tinggi di panggung dengan cermin di
belakangnya.
“Kacang itu bisa tahan bertahun-tahun,” Pluribus berjanji pada Grandma’am.
“Rencananya, aku sendiri akan menyimpan dua puluh kotak.”
Nenek Coriolanus tertawa. “Mengerikan sekali.”
“Tidak, sayangku. Yang mengerikan adalah kalau kita tidak punya,” kata
Pluribus.
Dia tidak menjelaskan maksudnya, tapi Grandma’am berhenti tertawa.
Neneknya memandang Coriolanus, dan tangannya mencekal erat tangan
Coriolanus selama sedetik. Rasanya seperti gerakan tak sengaja, seperti kedutan.
Kemudian neneknya memandang kotak-kotak itu dan tampak seperti memikirkan
sesuatu. “Berapa banyak yang bisa kauberikan?” tanya neneknya kepada sang
pemilik kelab.
Coriolanus membawa pulang satu kotak dalam gerobaknya. Dua puluh sembilan
kotak lagi tiba di apartemen mereka pada tengah malam, karena menimbun
makanan dianggap ilegal. Cyrus dan seorang temannya mengangkut kotak-kotak
itu lewat tangga dan menumpuknya di tengah ruang tamu berperabot mewah Di
bagian atas tumpukan, mereka menaruh sekaleng susu, hadiah dari Pluribus, lalu
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus mengambil serbet linen, garpu, dan pisau. Ketika dia mengangkat
tutup wadah prasmanan dari perak, uap makanan hangat itu membelai bibirnya.
Sup krim bawang. Dia menyendok sewajarnya dan berusaha tidak meneteskan
liur. Kentang rebus. Labu kuning. Ham panggang. Roti hangat dan sebongkah
mentega. Bukan sebongkah, dua bongkah. Sepiring penuh, tapi tidak sampai
munjung. Bukan buat remaja lelaki.
Dia menaruh piringnya di meja, di samping Clemensia, lalu pergi mengambil
makanan penutup dari troli makanan. Karena tahun lalu mereka kehabisan,
Coriolanus sama sekali tak mendapat kue ubinya. Jantungnya berdebar cepat saat
dia melihat irisan-irisan pai apel,
masing-masing dihiasi bendera kertas yang menggambarkan lambang Panem. Pai!
Dia tidak ingat kapan terakhir kalinya makan pai. Dia sedang mengambil
potongan berukuran sedang saat seseorang mendorong piring berisi potongan pai
besar ke hadapannya. “Ambil yang besar ini. Anak laki-laki sepertimu pasti
sanggup menghabiskannya.”
Mata Dekan Highbo om berair, tapi sudah tidak kelihatan teler seperti tadi
pagi. Malahan, mata itu memandang Coriolanus dengan tatapan tajam yang tak
terduga.
Coriolanus mengambil piring berisi pai sambil mencengir, dan dia berharap
cengirannya menunjukkan tampilan anak laki-laki yang sopan dan baik. “Terima
kasih, Sir. Perutku selalu bisa menampung pai.”
“Ya, tak pernah sulit bagi kita untuk menampung kenikmatan,” kata sang dekan.
“Aku tahu benar kenyataan itu.”
“Kurasa memang tidak sulit, Sir.” Tapi ucapannya terdengar salah. Maksud
Coriolanus adalah dia setuju dengan bagian tentang menampung kenikmatan, tapi
kedengarannya malah dia mengejek perilaku sang dekan.
“Kau rasa tidak sulit ya.” Mata Dekan Highbo om menyipit sambil terus
memandang Coriolanus. “Jadi, apa rencanamu, Coriolanus, setelah Games?”
desyrindah.blogspot.com
“Aku berharap bisa kuliah,” jawabnya. Pertanyaan yang aneh. Jelas-jelas nilainya
yang gemilang sudah menjadi bukti.
“Ya, aku lihat namamu di antara persaingan memperebutkan hadiah,” kata
Dekan Highbo om. “Tapi, bagaimana kalau kau tidak dapat hadiahnya?”
Coriolanus tergagap. “Yah, kalau begitu… kami… kami akan bayar uang
sekolahnya.”
“Apa bisa?” Dekan Highbo om tertawa. “Lihat saja dirimu, dengan pakaian
tambal sulam dan sepatu kesempitan, berusaha bertahan hidup. Berjalan gagah di
Capitol, padahal aku yakin keluarga Snow sekarang melarat. Bahkan dengan
hadiah, itu pun akan pas-pasan. Dan kau tidak punya uang, kan? Aku penasaran,
apa selanjutnya yang akan terjadi padamu? Apa langkahmu selanjutnya?”
Coriolanus tak bisa menahan diri untuk tak menatap sekelilingnya, kalau-kalau
ada orang yang mendengar ucapan pedas Highbo om tadi. Tampaknya
kebanyakan orang sibuk mengobrol sambil makan.
“Jangan khawatir. Tidak ada yang tahu. Yah, hampir semuanya tidak tahu.
Nikmati painya, Nak.” Dekan Hightbo om berjalan pergi tanpa mengambil pai
sepotong pun.
Coriolanus sebenarnya ingin menaruh painya lalu berlari kabur dari tempat ini,
tapi dia justru menaruh kembali potongan pai besar itu dengan hati-hati di troli
makanan. Nama julukan itu. Pasti julukan itu sampai ke telinga Dekan
Highbo om, dan Coriolanus dicap sebagai biangnya. Ini adalah kebodohannya.
Sang dekan orang yang terlalu berkuasa, bahkan sampai sekarang, dan Coriolanus
mengolok-oloknya di depan umum. Tapi, masa sih seburuk itu? Setiap guru paling
tidak mempunyai satu nama julukan, bahkan banyak yang lebih buruk daripada
julukan untuk Highbo om. Dan si tukang teler itu juga tidak menutupi kebiasaan
buruknya. Dia seakan-akan mengundang cercaan. Apakah mungkin ada alasan
lain sehingga dia sangat membenci Coriolanus?
Apa pun alasannya, Coriolanus harus memperbaikinya. Dia tidak bisa
desyrindah.blogspot.com
mengambil risiko kehilangan hadiah tersebut karena hal macam itu. Setelah lulus
universitas, rencananya dia akan bekerja di bidang profesi yang menguntungkan.
Tanpa pendidikan, kesempatan apa yang terbuka untuknya? Dia berusaha
membayangkan masa depannya bekerja di posisi rendahan… melakukan apa?
Mengawasi distribusi batu bara ke distrik-distrik? Membersihkan kandang mutan
cacat di laboratorium mu ? Memungut pajak untuk Sejanus Plinth yang tinggal di
apartemen megah di Corso, sementara dia tinggal di kampung kumuh berjarak
lima puluh blok dari pusat kota? Itu pun kalau dia beruntung! Sulit mendapat
pekerjaan di Capitol, dan dia bakal jadi lulusan Akademi yang tak punya uang.
Bagaimana dia bisa hidup? Hidup dari utang? Berutang di Capitol berarti jalan hi-
dupnya akan menjadi Penjaga Perdamaian, dengan ikatan dinas selama dua puluh
tahun tanpa tahu akan ditempatkan di mana. Mereka akan mengirimnya ke distrik
terpencil yang mengerikan, di sana dia akan hidup bak binatang.
Hari yang dimulai dengan penuh harapan, kini rasanya hancur luluh untuknya.
Pertama, adanya kemungkinan dia bakal kehilangan apartemen, lalu dia mendapat
peserta dari level terendah yang setelah dipikir-pikir lagi, tampaknya tidak waras
dan sekarang, dia menyadari bahwa Dekan Highbo om cukup membencinya
hingga mampu melenyapkan kesempatannya meraih hadiah dan bakal mem-
buangnya untuk tinggal di distrik!
Semua orang tahu apa yang terjadi kalau seseorang dikirim tinggal di distrik.
Kau jadi orang terbuang. Terlupakan. Di mata Capitol, kau dianggap sudah mati.
desyrindah.blogspot.com
3
dan memutar kuncinya. Rantai logam dan gemboknya jatuh, dan petugas itu
membuka pintu gerbong yang berat. Gerbong itu tampak kosong. Penjaga
Perdamaian itu menarik tongkat pemukulnya dan menghantamkan tongkat ke
rangka pintu. “Baiklah, kalian, ayo bergerak!”
Anak lelaki jangkung berkulit cokelat gelap dan mengenakan pakaian dari
karung goni berdiri di ambang pintu. Coriolanus mengenali anak itu sebagai
peserta didik Clemensia dari Distrik 11, kurus tapi berotot. Anak perempuan
dengan warna kulit senada tapi kurus kering dan batuk-batuk tanpa henti, berjalan
mengikutinya. Mereka berdua telanjang kaki dengan kedua tangan terbelenggu di
depan. Jarak gerbong ke tanah sekitar satu setengah meter, jadi mereka duduk dulu
di tepi gerbong sebelum melompat dan mendarat dengan kaku di peron. Seorang
gadis kecil berwajah pucat dengan gaun garis-garis dan selendang merah
merangkak ke pintu. Dia tampang kebingungan melihat jauhnya jarak gerbong ke
tanah. Penjaga Perdamaian menariknya turun dan dia mendarat membentur
peron, nyaris jatuh terguling dengan tangan terikat. Kemudian Penjaga
Perdamaian itu kembali mengulurkan tangan ke gerbong dan menarik keluar se-
orang anak lelaki yang kelihatannya baru berusia sepuluh tahun tapi pastinya dia
harus berusia minimal dua belas tahun dan juga menjatuhkannya ke peron.
Pada saat itu, bau apak karena pengap bercampur bau pupuk
organik, menguar dari dalam gerbong dan tercium oleh Coriolanus. Mereka
mengangkut para peserta dengan gerbong-gerbong pengangkut ternak yang kotor
dan jorok. Dia bertanya-tanya, apakah mereka sudah diberi makan dan mendapat
udara segar, atau langsung dikunci di sana setelah pemungutan. Dia terbiasa
melihat para peserta di layar televisi, tapi tidak siap melihat langsung kenyataan se-
perti ini. Gelombang rasa iba dan jijik mengaliri sekujur tubuhnya. Mereka adalah
makhluk dari dunia lain. Dunia tanpa harapan dan tak berperikemanusiaan.
Penjaga Perdamaian berjalan ke gerbong kedua dan melepaskan rantainya. Pintu
terbuka. Tampaklah Jessup, peserta lelaki dari Distrik 12, menyipitkan mata
desyrindah.blogspot.com
Akibatnya kepala Coriolanus terjepit di antara jeruji karena dua peserta terdesak
jatuh menimpanya. Dia mendorong mundur sekuat tenaga lalu memutar tu-
buhnya hingga menghadap penumpang-penumpang lain. Semua orang berpe-
gangan pada jeruji, kecuali gadis kecil yang giginya patah, yang berpegangan pada
anak lelaki dari distriknya. Ketika truk menderu menyusuri jalan raya, mereka
baru bisa duduk nyaman.
Coriolanus tahu dia sudah melakukan kesalahan. Bahkan di udara terbuka,
baunya tetap menyengat. Bau kereta pengangkut ternak yang telah menyerap ke
tubuh para peserta, bercampur dengan bau manusia yang tidak mandi
membuatnya mual. Setelah berada dalam jarak dekat, Coriolanus bisa melihat
betapa kotornya mereka. Mata mereka yang merah serta lebam memar di tangan
dan kaki mereka. Lucy Gray terjepit di sudut bagian depan, menyeka luka gores
baru di dahinya dengan rumbai pakaiannya. Gadis itu tampak tidak peduli pada
keberadaan Coriolanus, tapi peserta-peserta lain memelototinya seperti
sekelompok hewan buas mengintai anjing kecil yang biasa dimanja.
Setidaknya keadaanku lebih baik daripada mereka, pikir Coriolanus, dan dia
mengepalkan tinju menggenggam tangkai bunga mawar. Aku mesti bersiap, kalau
mereka menyerang. Tapi apakah dia akan selamat? Melawan orang sebanyak itu.
Truk melambat untuk memberi jalan bagi trem berwarna-warni penuh
penumpang yang menyeberangi jalan di depan mereka. Meskipun berada di
belakang, Coriolanus membungkuk agar tidak dikenali orang-orang di jalan.
“Kenapa, tampan? Kau berada di kandang yang salah?” tanya anak lelaki dari
Distrik 11, yang sama sekali tidak tertawa.
Kebencian yang terang-terangan itu membuat gentar Coriolanus, tapi dia
berusaha tampak tidak takut. “Tidak, ini kandang yang memang kutunggu.”
Tangan anak lelaki itu terulur cepat, mencekik leher Coriolanus dengan
jemarinya yang panjang dan berparut hingga menghantamkan punggung
Coriolanus ke jeruji. Tangannya menahan tubuh Coriolanus agar tidak bisa
desyrindah.blogspot.com
“Kurasa, yang lain tidak terpanggil untuk datang,” kata Lucy Gray. Dia
memalingkan wajah dari Dill dan mengedipkan mata pada Coriolanus.
Truk berbelok ke jalan sempit dan sampai ke jalan buntu. Coriolanus tidak tahu
harus mengambil posisi seperti apa. Dia berusaha mengingat di mana para peserta
ditempatkan tahun-tahun sebelumnya. Apakah di istal yang mengandangkan
kuda-kuda milik Penjaga Perdamaian? Seingatnya begitu. Saat tiba di sana, dia
akan mencari Penjaga Perdamaian dan menjelaskan semuanya. Mungkin meminta
perlindungan juga, mengingat ancaman yang dihadapinya. Setelah Lucy Gray
mengedipkan mata, tampaknya keberadaannya di sini tidak sia-sia.
Sekarang truk mereka mundur ke dalam gedung yang pencahayaannya temaram,
mungkin semacam gudang. Coriolanus menghirup campuran bau ikan busuk dan
jerami apak. Dia bingung dan berusaha memahami tempat ini. Matanya mencoba
mengenali dua pintu baja yang terbuka. Seorang Penjaga Perdamaian membuka
pintu belakang truk. Dan, sebelum ada yang memanjat, kandang itu bergerak
miring hingga menjatuhkan mereka semua ke lempengan lumpur basah dan
dingin. Bukan lempengan, lebih tepatnya adalah seluncuran. Karena kandang
dimiringkan sedemikian rupa, Coriolanus mulai meluncur bersama yang lain. Dia
melepaskan bunga di tangannya saat kedua tangan dan kakinya mencari-cari
tumpuan, tapi tak berhasil. Mereka meluncur turun sekitar tujuh meter sebelum
mendarat di tumpukan barang-barang di atas lantai berpasir.
Sinar matahari menyorot terang sementara Coriolanus berusaha melepaskan
diri dari kerumunan. Dia berjalan beberapa meter, berdiri tegak, dan membelalak
ngeri. Ini bukan istal. Meskipun sudah lama tidak mengunjungi tempat ini, dia
masih ingat jelas tempat apa ini. Pasir di mana-mana. Formasi bebatuan disusun
tinggi. Deretan jeruji besi ditatah membentuk lengkungan-lengkungan lebar untuk
melindungi penonton. Di seberang jeruji, wajah anak-anak Capitol melongo
memandangnya.
Dia berada di kandang monyet di kebun binatang.
desyrindah.blogspot.com
4
pada gadis kecil yang berdiri di samping anak lelaki itu. Gadis kecil itu berdiri
memandang Lucy Gray dengan mata lebarnya sambil mengisap ibu jari.
“Ini Venus,” katanya. “Dia baru empat tahun.”
“Menurutku, empat adalah umur anak pandai,” kata Lucy Gray. “Senang
bertemu denganmu, Venus.”
“Aku suka lagumu,” bisik Venus.
“Oh, ya?” kata Lucy Gray. “Manis sekali. Tonton terus ya, Sayang. Aku akan
mencoba bernyanyi untukmu lain kali. Oke?”
Venus mengangguk lalu membenamkan wajah di gaun ibunya, membuat
penonton tertawa dan berkata awww.
Lucy Gray mulai berjalan ke sisi lain pembatas, berbicara dengan anak-anak
sembari lewat. Coriolanus mundur sedikit untuk memberinya ruang.
“Apakah kau bawa ularmu?” Gadis kecil dengan es stroberi yang lumer di tangan
bertanya padanya penuh harap.
“Kalau bisa, aku sudah membawanya. Ular itu teman kesayanganku,” kata Lucy
Gray padanya. “Kau punya hewan peliharaan?”
“Aku punya ikan,” kata gadis itu. Dia bersandar ke jeruji. “Nama ikanku Bub.”
Dia memindahkan esnya ke tangan yang lain dan mengulurkan tangan bekas
memegang es ke celah jeruji untuk menyentuh Lucy Gray. “Boleh aku pegang
bajumu?” Tetesan sirup berwarna merah delima mengalir dari telapak tangan ke
sikunya. Lucy Gray tertawa dan mengulurkan roknya untuk dipegang. Dengan
ragu-ragu jemari gadis itu mengelus rumbai-rumbainya. “Cantik.”
“Aku juga suka gaunmu.” Warna gaun anak perempuan itu sudah pudar, dan tak
ada yang menonjol dari gaunnya. Tapi Lucy Gray berkata, “Polka dot selalu
membuatku merasa gembira.” Dan wajah gadis kecil itu berseri-seri.
Coriolanus bisa merasakan para penonton mulai bersemangat menyambut
peserta yang dimentorinya. Mereka tak lagi sungkan dan menjaga jarak. Orang-
orang mudah dimanipulasi jika berkaitan dengan anak-anak mereka. Orangtua
desyrindah.blogspot.com
wartawan itu, yang tampaknya berpikir keras mesti bertanya apa lagi. Gadis itu
membiarkannya kebingungan, lalu menunjuk Coriolanus. “Apakah kau kenal
mentorku? Dia bilang namanya Coriolanus Snow. Dia anak Capitol, dan aku bagai
dapat kue dengan krim karena mentor yang lain bahkan tidak mau repot-repot
menyambut mereka.”
“Dia juga mengejutkan kami. Apakah guru-gurumu menyuruhmu kemari,
Coriolanus?” tanya Lepidus.
Coriolanus melangkah maju menghadap kamera, berusaha tampil agar disukai
tapi dengan gaya sedikit kurang ajar. “Mereka tidak melarangku datang.” Terdengar
tawa di antara penonton. “Tapi, aku ingat mereka bilang agar aku
memperkenalkan Capitol pada Lucy Gray, dan aku menganggap serius tugas itu.”
“Jadi kau tidak ragu memutuskan terjun ke kandang bersama para peserta?”
tanya sang wartawan.
“Akan ada keputusan-keputusan lain yang harus diambil di masa yang akan
datang,” kata Coriolanus. “Tapi jika dia berani berada di sini, kenapa aku harus
takut?”
“Tolong diingat, aku tidak punya pilihan,” kata Lucy Gray.
“Tolong diingat, aku juga tidak punya pilihan,” kata Coriolanus. “Setelah aku
mendengarmu bernyanyi, aku tak bisa menjauh. Aku mengaku, aku
penggemarmu.” Lucy Gray mengibaskan roknya ketika terdengar tepuk tangan
dari kerumunan penonton.
“Demi kebaikanmu, kuharap Akademi setuju denganmu, Coriolanus,” kata
Lepidus. “Kurasa kau akan mengetahuinya sebentar lagi.”
Coriolanus menatap pintu-pintu besi di belakangnya, jendela-jendelanya
diperkuat dengan pagar. Pintu itu terbuka langsung ke bagian belakang kandang
monyet. Empat orang Penjaga Perdamaian berderap masuk dan langsung berjalan
ke arahnya. Dia kembali memandang kamera, berusaha pamit dengan penampilan
yang bagus.
desyrindah.blogspot.com
“Terima kasih sudah bergabung bersama kami,” katanya. “Ingatlah, Lucy Gray
Baird, mewakili Distrik Dua Belas. Mampirlah ke kebun binatang kalau Anda ada
waktu, dan Anda bisa menyapanya langsung. Aku jamin, dia layak Anda temui.”
Lucy Gray mengulurkan tangan ke arahnya, menekukkan pergelangan
tangannya dengan gemulai, meminta untuk dikecup. Coriolanus menurutinya,
dan ketika bibirnya menyentuh kulit gadis itu, sekujur tubuhnya menggelenyar
bahagia. Setelah melambai terakhir kalinya, dia berjalan dengan tenang
menghampiri para Penjaga Perdamaian. Salah seorang memanggilnya sekilas, dan
tanpa mengucapkan apa pun dia mengikuti mereka keluar dari kurungan itu
diiringi tepuk tangan.
Ketika pintu tertutup di belakangnya, Coriolanus menghela napas lega dan
menyadari betapa takut dirinya. Diam-diam dia bangga bisa menjaga ketenangan
di bawah tekanan, tapi bentakan dari para Penjaga Perdamaian menunjukkan
mereka tidak senang.
“Apa maksudmu main-main seperti itu?” tanya Penjaga Perdamaian. “Kau tidak
boleh ada di sana.”
“Aku juga pikir begitu, sampai salah satu orangmu menjatuhkanku dengan kasar
di seluncuran,” jawab Coriolanus. Dia pikir perpaduan kata orangmu dan dengan
kasar menunjukkan statusnya yang superior. “Aku hanya menumpang sampai ke
kebun binatang. Dengan senang hati aku akan menjelaskan semuanya pada
pemimpinmu dan menunjuk siapa Penjaga Perdamaian yang melakukan ini. Tapi
aku amat berterima kasih padamu.”
“Oh, ya,” kata Penjaga Perdamaian masa bodoh. “Kami mendapat perintah
untuk mengawalmu kembali ke Akademi.”
“Lebih baik, kalau begitu,” kata Coriolanus, terdengar lebih percaya diri
daripada yang sebenarnya dia rasakan. Reaksi yang amat cepat dari sekolah
membuatnya gelisah.
Meskipun televisi di bagian belakang van Penjaga Perdamaian rusak, dia bisa
desyrindah.blogspot.com
DISTRIK 12
Lelaki Lysistrata Vickers
Perempuan Coriolanus Snow
Dia seperti diingatkan terang-terangan tentang keadaan yang tak jelas nasibnya.
Setelah menghabiskan waktu beberapa menit memikirkan alasan kenapa dia
dibawa ke laboratorium, penjaga di sana bilang dia boleh masuk. Tangannya
mengetuk pintu dengan ragu. Suara yang dikenalinya sebagai suara Dekan
Highbo om menyuruhnya masuk. Dia mengira akan melihat Satyria, tapi di
laboratorium itu hanya ada satu orang lain wanita tua bertubuh kecil dan
bungkuk serta berambut keriting yang sedang mengusik kelinci di kandang
dengan batang besi. Dari celah kandang, wanita itu menyodok kelinci yang sudah
dimodi kasi sehingga rahangnya sekuat anjing pit bull. Kelinci itu merenggut
tongkat besi dari tangan si wanita dan mematahkannya jadi dua. Wanita itu
menegakkan diri sebisa mungkin, lalu mengalihkan perhatiannya pada
Coriolanus, dan berseru, “Wah, wah, wah!”
Dr. Volumnia Gaul, Kepala Pengawas Permainan dan otak di balik divisi senjata
eksperimental Capitol. Wanita itu sudah membuat Coriolanus ngeri sejak kanak-
kanak. Dia berumur sembilan tahun dan sedang mengikuti acara karyawisata
ketika melihat Dr. Gaul melelehkan tikus laboratorium dengan semacam laser. Dia
lalu bertanya apakah ada salah satu dari mereka yang sudah bosan dengan hewan
peliharaannya. Coriolanus tidak punya hewan peliharaan. Lagi pula, bagaimana
mungkin mereka sanggup memelihara hewan? Tapi, Pluribus Bell punya kucing
putih berbulu tebal bernama Boa Bell, yang senang berbaring di pangkuan
pemiliknya dan bermain di ujung wig putih Pluribus. Kucing itu menyukai
Coriolanus, dan mendengkur serak saat Coriolanus mengelus kepalanya. Pada
hari-hari suram ketika dia harus melewati lumpur salju dingin untuk membarter
kacang kara dengan kubis, kehangatan dan kelembutan bulu kucing itu selalu
berhasil menghiburnya. Dia sedih membayangkan Boa Bell berakhir di
desyrindah.blogspot.com
laboratorium.
Coriolanus tahu Dr. Gaul mengajar di universitas, tapi dia jarang melihat wanita
itu di Akademi. Sebagai Kepala Pengawas Permainan, apa pun yang berkaitan
dengan Hunger Games berada di bawah perhatiannya. Apakah tingkahnya di
kebun binatang membawa wanita itu ke sini? Apakah dia akan kehilangan
jabatannya sebagai mentor?
“Wah, wah, wah.” Dr. Gaul tersenyum lebar. “Bagaimana di kebun binatang?”
Kemudian dia tertawa. “Wah, wah, wah, kau jatuh ke kandang dan pesertamu ikut
jatuh juga!”
Bibir Coriolanus membentuk senyum lemah dan tatapannya tertuju pada Dekan
Hightbo om, mencari petunjuk bagaimana bereaksi. Pria itu duduk merosot
bersandar di meja laboratorium, mengusap-usap keningnya seolah-olah sedang
sakit kepala. Tak ada pertolongan untuknya.
“Memang,” kata Coriolanus. “Betul. Kami jatuh ke kandang.”
Dr. Gaul mengangkat alis seakaan mengharapkan jawaban lebih. “Dan?”
“Dan… kami… mendarat di panggung?” lanjutnya.
“Ya! Tepat sekali! Persisnya itu yang terjadi padamu!” Dr. Gaul memandang
senang padanya. “Kau pandai dalam Games. Mungkin suatu hari kau akan jadi
Pengawas Permainan.”
Hal itu tak pernah terlintas dalam benak Coriolanus. Dengan segala hormat
pada Remus, tampaknya pekerjaan itu tidak susah-susah amat. Tidak butuh
keahlian khusus, hanya perlu melempar anak-anak dan berbagai senjata ke arena
dan membiarkan mereka berkelahi. Mungkin mereka mesti mengatur
pemungutan dan merekam pertarungan di Games, tapi dia berharap memiliki
karier yang lebih menantang. “Aku masih perlu banyak belajar sebelum berani me-
mikirkannya,” katanya dengan rendah hati.
“Kau punya insting untuk pekerjaan ini. Itulah yang penting,” kata Dr. Gaul.
“Beritahu aku, apa yang membuatmu masuk ke kandang?”
desyrindah.blogspot.com
Sebenarnya dia tak sengaja masuk ke kandang. Dia hampir berterus terang
ketika dia teringat bisikan Lucy Gray, Kuasai.
“Begini… pesertaku, tubuhnya kecil. Tipe peserta yang akan tewas dalam lima
menit pertama Hunger Games. Tapi dia terlihat menarik walaupun berantakan,
dengan lagu dan lain-lain.” Coriolanus terdiam sejenak, seakan memikirkan
rencananya. “Kurasa dia tidak punya kesempatan menang, tapi bukan di sana
intinya, ya, kan? Aku diberitahu bahwa kita sedang berusaha menarik perhatian
penonton. Itu tugasku. Membuat orang-orang mau menonton. Jadi aku berpikir,
bagaimana caranya aku bisa menarik penonton? Aku pergi ke tempat yang ada
kameranya.”
Dr. Gaul mengangguk. “Ya. Ya, takkan ada Hunger Games tanpa penonton.” Dia
memandang sang dekan. “Casca, lihat anak ini, dia mengambil inisiatif. Dia paham
pentingnya menjaga semangat
Hunger Games.”
Dekan Highbo om menyipitkan mata ragu. “Oya? Atau dia cuma banyak lagak
demi mendapat nilai bagus? Menurutmu, apa tujuan Hunger Games,
Coriolanus?”
“Untuk menghukum distrik-distrik atas pemberontakan mereka,” jawab
Coriolanus tanpa ragu.
“Ya, tapi hukuman bisa ada banyak jenisnya,” kata sang dekan. “Kenapa Hunger
Games?”
Coriolanus membuka mulut hendak menjawab, tapi ragu. Kenapa Hunger
Games? Kenapa tidak menjatuhkan bom, atau memutus pengiriman makanan,
atau melaksanakan hukuman mati di depan Gedung Pengadilan distrik-distrik itu?
Pikirannya tertuju pada Lucy Gray yang berlutut di balik jeruji kandang,
mengobrol dengan anak-anak, mencairkan hati massa. Mereka terhubung dengan
cara yang tak bisa dijelaskan dengan kata-
kata oleh Coriolanus. “Karena… Karena anak-anak. Mereka berarti buat
desyrindah.blogspot.com
masyarakat.”
“Bagaimana mereka berarti?” tanya Dekan Highbo om lagi.
“Orang-orang menyayangi anak-anak,” kata Coriolanus. Saat mengucapkannya
pun, dia mempertanyakan maksud pernyataannya. Semasa perang, dia dibom,
kelaparan, dan disiksa dengan berbagai cara, bukan hanya oleh para pemberontak.
Kubis direnggut dari tangannya. Penjaga Perdamaian menghajar rahangnya saat
dia mengeluyur terlalu dekat ke istana presiden. Dia teringat saat dia pingsan dan
terkapar di jalan karena u angsa dan tak ada, tak ada seorang pun yang berhenti
untuk membantunya. Dia meriang, demam tinggi, semua persendiannya nyeri.
Meskipun sedang sakit juga, Tigris menemukannya di jalan malam itu dan entah
bagaimana berhasil membawanya pulang.
Coriolanus tergagap. “Kadang-kadang orang merasa seperti itu,” katanya, namun
mulai tidak yakin. Saat dia memikirkannya lagi, rasa sayang orang kepada anak-
anak mudah berubah. “Aku tidak tahu kenapa mereka berarti,” Coriolanus
mengaku.
Dekan Highbo om memandang Dr. Gaul. “Lihat sendiri, kan? Ini eksperimen
yang gagal.”
“Gagal kalau tak ada yang menonton!” balas Dr. Gaul. Dia tersenyum ramah
pada Coriolanus. “Dia sendiri masih anak-anak. Beri dia waktu. Aku punya rasat
bagus tentang anak ini. Aku pergi dulu lihat mu -ku.” Dia menepuk lengan
Coriolanus sembari berjalan menyeret kaki ke pintu. “Rahasia ya, ada hasil yang
mengagumkan pada reptil-reptil itu.”
Coriolanus seolah-olah hendak beranjak mengikuti Dr. Gaul, tapi suara Dekan
Highbo om menghentikan langkahnya. “Jadi kau merencanakan seluruh
pertunjukan tadi. Hmm, aneh. Karena saat kau berdiri di kandang tadi, kupikir
kau berpikir hendak melarikan diri.”
“Cara masuknya tidak seperti yang kubayangkan. Aku butuh waktu untuk
menyesuaikan diri dan mengambil sikap. Memang, masih banyak yang harus
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus tak pernah menerima teguran resmi apa pun yang menodai nilai
rapornya yang cemerlang. “Tapi…” dia hendak protes.
“Ayo, nanti kau akan mendapat kecaman kedua karena membangkang,” kata
Dekan Highbo om. Tak ada nada tawar-menawar dalam pernyataannya, tak ada
ruang untuk membantahnya. Coriolanus patuh pada perintahnya.
Apakah Dekan Highbo om sungguh-sungguh mengatakan dikeluarkan?
Coriolanus meninggalkan Akademi dalam keadaan gelisah, tapi gelombang
kegembiraan karena menjadi pusat perhatian berhasil menenangkan
kegundahannya. Mulai dari teman-teman sekolahnya di lorong sekolah, Tigris dan
Grandma’am ketika mereka makan telur goreng dan sup kubis, sampai orang-
orang yang tak dikenalnya ketika dia berjalan menuju kebun binatang malam itu.
Semua memberi selamat dan mengatakan tidak sabar untuk melihatnya di
Hunger Games.
Cahaya oranye lembut menyelubungi kota, dan embusan angin sejuk menyapu
panas siang hari yang mencekik. Para pejabat memperpanjang jam buka kebun
binatang sampai pukul sembilan malam agar warga Capitol bisa melihat para
peserta. Tapi, tak ada lagi tayangan langsung sejak dia terakhir berada di sini.
Coriolanus memutuskan datang ke sana melihat Lucy Gray dan menyarankan
padanya untuk bernyanyi. Penonton akan menyukainya, bahkan mungkin me-
narik perhatian kamera lagi.
Ketika menyusuri jalan menuju kebun binatang, pikirannya dipenuhi nostalgia
desyrindah.blogspot.com
Apakah ransel itu berisi penuh sandwich? Gadis itu bahkan bukan peserta
didiknya.
Saat Sejanus melihat Coriolanus, wajahnya langsung berbinar dan dia melambai
meminta Coriolanus mendekat. Dengan santai, dia berjalan menembus
kerumunan, menikmati perhatian mereka. “Ada masalah?” tanyanya, sembari
melihat isi ransel Sejanus. Ransel itu tidak hanya penuh sandwich, tapi juga buah
prem segar.
“Tak ada satu pun yang percaya padaku. Dan itu memang wajar,” kata Sejanus.
Gadis kecil yang sok tahu berjalan menghampiri mereka dan menunjuk tanda di
pilar di ujung kandang. “Tulisannya, ‘Tolong jangan beri makan binatang’.”
“Tapi, mereka bukan binatang,” kata Sejanus. “Mereka anak-anak, sama seperti
kau dan aku.”
“Mereka tidak seperti aku!” protes gadis kecil itu. “Mereka berasal dari distrik.
Itu sebabnya mereka pantas berada di kandang!”
“Sekali lagi, mereka seperti aku,” kata Sejanus tak acuh. “Coriolanus, bisakah kau
minta pesertamu kemari? Kalau dia mau, yang lain mungkin mau. Mereka pasti
kelaparan.”
Otak Coriolanus berputar cepat. Dia sudah mendapat satu kecaman hari ini dan
tak mau cari gara-gara dengan Dekan Highbo om. Di sisi lain, kecaman itu
diberikan karena dia membahayakan siswa, namun sekarang dia aman berada di
sisi jeruji ini. Dr. Gaul, yang jelas memiliki lebih banyak pengaruh dibandingkan
Dekan Highbo om, memuji inisiatifnya. Dan sejujurnya, dia tidak mau
menyerahkan panggungnya untuk Sejanus. Kebun binatang ini arena pertunjukan,
dengan dia dan Lucy Gray sebagai bintangnya. Dia bisa mendengar Lepidus
berbisik menyebut namanya pada juru kamera, dan merasa mata-mata para
penonton di Capitol sedang mengawasinya.
Dia melihat Lucy Gray berada di bagian belakang kandang, mencuci tangan dan
membasuh wajahnya dengan air keran yang menyembul dari dinding setinggi
desyrindah.blogspot.com
“Kenapa? Supaya aku bisa mematahkan leher Jessup di arena? Kita berdua tahu
itu bukan kelebihanku,” katanya.
Perut Coriolanus keroncongan mencium aroma sandwich. Potongan daging
panggang tebal di antara roti tawar. Dia tidak makan siang di Akademi tadi,
sarapan dan makan malam hanya seadanya di rumah. Saus tomat menetes keluar
dari sandwich Lucy Gray dan dia tak kuat lagi. Dia mengambil sandwich kedua dan
melahapnya. Rasa nikmat mengaliri tubuhnya, dan dia menahan diri untuk tidak
langsung menelan seluruh sandwich itu dalam dua kali gigit.
“Sekarang baru rasanya seperti piknik.” Lucy Gray menengok ke belakang, ke
arah peserta-peserta lain, yang bergerak mendekat tapi masih tidak yakin. “Kalian
mesti ambil. Enak sekali!” seru Lucy Gray. “Ayo, Jessup!”
Pasangan distriknya memberanikan diri dan berjalan canggung perlahan-lahan
mendekati Sejanus dan mengambil sandwich dari tangan pemuda itu. Jessup
menunggu sampai diberi buah prem, lalu beranjak pergi tanpa berkata apa-apa.
Tiba-tiba, para peserta lain bergegas ke pagar dan menyodorkan tangan-tangan
mereka ke celah jeruji. Sejanus bergegas memberi makanan dari ranselnya secepat
mungkin, dan tak lama kemudian hampir habis semua. Para peserta duduk
menyebar di dalam kandang, berjongkok melindungi makanan mereka, dan
mengunyahnya cepat-cepat.
Satu-satunya peserta yang tidak menghampiri Sejanus adalah peserta didiknya,
anak lelaki dari Distrik 2. Anak itu berdiri di bagian belakang kandang, lengannya
bersedekap, memandang mentornya lekat-lekat.
Sejanus mengeluarkan sandwich terakhir dari ransel lalu mengulurkannya ke
anak dari Distrik 2. “Marcus, ini untukmu. Ambillah. Silakan.” Sejanus memohon.
“Kau pasti lapar.” Marcus memandang Sejanus dari ujung rambut sampai ujung
kaki, lalu berbalik memunggunginya.
Lucy Gray memperhatikan kejadian itu dengan penasaran. “Ada apa di sana?”
“Apa maksudmu?” tanya Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com
“Aku tak tahu tepatnya,” kata Lucy Gray. “Tapi rasanya masalah pribadi.”
Anak lelaki bertubuh kecil, yang kemarin ingin membunuh Coriolanus di truk,
berlari cepat dan mengambil sandwich tak bertuan itu. Sejanus tak mencegahnya.
Kru berita berusaha berbicara dengan Sejanus, tapi dia menghalau mereka lalu
menghilang di antara kerumunan, dengan menyandang ransel kosong di
pundaknya. Mereka mengambil gambar para peserta, lalu berjalan menuju Lucy
Gray dan Coriolanus, yang duduk lebih tegak dan menyapukan lidahnya ke gigi
untuk membersihkan sisa daging panggang yang menempel di sana.
“Kami berada di kebun binatang bersama Coriolanus Snow dan pesertanya,
Lucy Gray Baird. Ada siswa lain yang baru membagikan sandwich. Apakah dia
mentor juga?” Lepidus menyodorkan mikrofon pada mereka untuk mendapat
jawaban.
Coriolanus tidak suka berbagi pusat perhatian, tapi keberadaan Sejanus bisa
melindunginya. Apakah Dekan Highbo om akan memberi kecaman pada putra
dari orang yang membangun kembali Akademi? Beberapa hari lalu dia pikir nama
Snow lebih penting daripada Plinth, tapi penugasan pada hari pemungutan
membuktikan bahwa dia salah. Kalau Dekan ingin menghukumnya, dia lebih suka
ada Sejanus di sampingnya.
“Dia teman sekolahku, Sejanus Plinth,” katanya pada Lepidus.
“Apa maksudnya, membawakan sandwich enak untuk para peserta? Pastinya,
Capitol sudah memberi mereka makan,” kata sang reporter.
“Oh, kuberitahu ya, aku terakhir makan pada malam sebelum hari pemungutan,”
kata Lucy Gray. “Jadi kurasa sudah tiga hari lalu.”
“Oh. Baiklah. Nikmatilah sandiwch itu!” kata Lepidus. Dia mengarahkan kamera
kembali menyoroti peserta-peserta lain.
Lucy Gray berdiri secepat kilat, mencondongkan tubuh ke jeruji dan
mengalihkan perhatian kamera kembali ke dirinya. “Kau tahu, Mr. Reporter, apa
yang bakal menarik? Kalau ada orang yang punya makanan lebih, mereka bisa
desyrindah.blogspot.com
Ketika ibunya hendak melahirkan, mereka tak bisa membawa ibunya ke rumah
sakit, sementara ada masalah dalam persalinannya. Perdarahan, barangkali? Darah
membasahi seprai. Koki dan Grandma’am berusaha menghentikan perdarahan,
sementara Tigris menariknya keluar dari kamar. Lalu ibunya meninggal, bersama
bayinya yang semestinya jadi adik perempuannya. Ayahnya menyusul ibunya
tak lama kemudian. Tetapi, kehilangan ayahnya tidak membuat dunianya hampa
seperti kehilangan ibunya. Coriolanus masih menyimpan kotak bedak ibunya di
laci nakas. Pada masa-masa sulit, ketika susah tidur, dia akan membuka kotak
bedak itu dan menghirup aroma bunga mawar dari bedak padat di dalam kotak
itu. Aroma itu selalu bisa membuatnya tenang dengan ingatan seperti apa rasanya
dicintai.
Bom dan darah. Itulah cara pemberontak membunuh ibunya. Dia ingin tahu
apakah ibu Lucy Gray juga tewas dengan cara yang sama. “Hanya tulang
kerangkanya.” Gadis itu tampaknya tak menyukai Distrik 12, selalu membuat jarak
dengan distrik itu, mengatakan bahwa dia… Pengembara?
“Terima kasih sudah membantu.” Suara Sejanus mengejutkannya. Pemuda itu
duduk tidak jauh di belakangnya, tersembunyi di belakang batu besar,
mendengarkan lagu Lucy Gray.
Coriolanus berdeham. “Tak perlu sungkan.”
“Aku tidak yakin teman-teman sekolah kita yang lain mau membantuku,” kata
Sejanus.
“Teman-teman kita yang lain tak bakalan datang,” jawab Coriolanus. “Itu yang
membedakan kita dan mereka. Apa yang membuatmu berpikir untuk memberi
makan para peserta?”
Sejanus menunduk menatap ransel kosong di dekat kakinya. “Sejak Hari
Pemungutan, aku terus membayangkan jadi salah satu dari mereka.”
Coriolanus nyaris tertawa, tapi dia menyadari bahwa Sejanus serius. “Pikiran
yang aneh.”
desyrindah.blogspot.com
penonton. Kalau dia bisa membuat Lucy Gray jadi favorit penonton, bayangkan
apa yang bisa dia lakukan dengan jagoan seperti Marcus! Kalau dipikir-pikir lagi,
sebesar apa kesempatan yang dimiliki Lucy Gray? Matanya menatap gadis itu
bersandar di jeruji seperti binatang yang terperangkap. Dalam temaram cahaya,
keseluruhan warna gadis itu dan keunikannya memudar, membuatnya kelihatan
seperti makhluk penuh luka yang tidak menarik. Dia bukan tandingan anak-anak
perempuan lain, apalagi anak-anak lelaki. Coriolanus geli membayangkan gadis itu
bisa mengalahkan Marcus. Seperti mengadu burung penyanyi dengan beruang.
Mulutnya nyaris mengucapkan kata baiklah, sebelum dia terdiam.
Menang Hunger Games dengan peserta seperti Marcus bukanlah kemenangan
sejati. Tidak butuh akal, keahlian, atau bahkan keberuntungan untuk menang.
Sangat kecil kemungkinannya menang dengan Lucy Gray sebagai peserta, tapi
akan jadi kemenangan yang dicatat sejarah jika dia berhasil. Lagi pula, apakah
kemenangan adalah tujuannya? Atau kemampuan untuk melibatkan penonton?
Berkat dirinya, Lucy Gray menjadi bintang Hunger Games saat ini, peserta yang
paling diingat tak peduli siapa pun pemenangnya nanti. Dia memikirkan
bagaimana tangan mereka bertautan di kebun binatang saat mereka menguasai
dunia. Dia dan Lucy Gray adalah tim. Gadis itu memercayainya. Dia tidak bisa
membayangkan harus memberitahu gadis itu bahwa dia mencampakkannya demi
Marcus. Atau, yang lebih gawat lagi, bagaimana dia bisa memberitahu penonton.
Selain itu, apa yang bisa menjamin Marcus takkan bersikap sama seperti yang
ditunjukkannya pada Sejanus? Pemuda itu tipe peserta yang akan mendiamkan
mereka semua. Lalu Coriolanus akan seperti orang tolol memohon-mohon
perhatian Marcus sementara Lucy Gray menari mengelilingi Sejanus.
Ada satu hal lagi yang jadi pertimbangannya. Dia memiliki sesuatu yang
diinginkan Sejanus Plinth, amat diinginkannya. Sejanus sudah merampas
kedudukannya, warisannya, pakaiannya, permennya, rotinya, dan hak
istimewanya sebagai keluarga Snow. Sekarang Sejanus mengincar apartemennya,
desyrindah.blogspot.com
“Ini jahat. Ini bertentangan dengan segala yang kuanggap benar di dunia. Aku
tidak bisa jadi bagian semua ini. Apalagi dengan
Marcus. Bagaimanapun caranya, aku mesti keluar dari sini,” kata Sejanus dengan
air mata mengambang.
Penderitaan Sejanus membuat Coriolanus merasa tak enak hati, apalagi dia amat
bersyukur atas kesempatan yang diperolehnya untuk ikut serta dalam Hunger
Games. “Kau bisa bertanya pada mentor yang lain. Kurasa yang lain akan mau.”
“Tidak. Aku tidak mau menyerahkan Marcus pada yang lain. Hanya kau satu-
satunya yang kupercaya.” Sejanus menoleh ke kandang, tampaknya para peserta
bersiap tidur. “Lagi pula, takkan ada bedanya. Kalau bukan Marcus, ada orang lain
yang menggantikannya. Mungkin akan lebih mudah, tapi tetap saja salah.” Sejanus
mengambil ranselnya. “Sebaiknya aku pulang. Pasti bakal menyenangkan di ru-
mah.”
“Menurutku kau tidak melanggar peraturan apa pun,” kata
Coriolanus.
“Aku bersekutu dengan distrik-distrik di depan umum. Di mata ayahku, aku
sudah melanggar satu-satunya peraturan yang penting.” Sejanus tersenyum kecil.
“Terima kasih sudah membantuku.”
“Terima kasih untuk sandwich-nya,” kata Coriolanus. “Enak sekali.”
“Akan kuberitahu Ma kau bilang enak,” kata Sejanus. “Dia pasti senang.”
Kebahagiaan Coriolanus cuma sampai di rumah, karena neneknya marah
melihatnya piknik dengan Lucy Gray.
“Tidak apa-apa kalau memberinya makan,” kata Grandma’am. “Tapi, makan
bersamanya menunjukkan kau menganggapnya setara. Padahal dia tidak setara
denganmu. Distrik-distrik itu barbar. Ayahmu sendiri bilang orang-orang itu
hanya minum air karena tidak ada hujan darah. Kau mengabaikannya dengan
membahayakan dirimu sendiri, Coriolanus.”
“Dia cuma anak perempuan, Grandma’am,” kata Tigris.
desyrindah.blogspot.com
“Dia dari distrik. Percayalah padaku, dia bukan cuma anak perempuan,” sahut
Grandma’am.
Coriolanus gelisah saat teringat kejadian di truk ketika para peserta berdebat
apakah harus membunuhnya atau tidak. Mereka terang-terangan menunjukkan
sikap haus darah. Hanya Lucy Gray yang keberatan.
“Lucy Gray berbeda,” kata Coriolanus. “Dia membelaku di truk saat yang lain
ingin menyerangku. Dan dia juga mendukungku di kandang monyet.”
Grandma’am tetap bertahan dengan pendiriannya. “Apakah dia akan peduli
kalau kau bukan mentornya? Tentu tidak. Dia gadis licik yang memanipulasimu
sejak pertama kalian bertemu. Hati-hati, Nak aku cuma mau bilang itu saja.”
Coriolanus tidak mau repot-repot mendebat, karena Grandma’am selalu
memandang buruk apa pun dari distrik. Dia masuk ke kamar tidur lalu
menjatuhkan diri ke ranjang karena lelah, tapi tidak bisa menenangkan pikirannya.
Dia mengambil kotak bedak ibunya dari laci nakas dan mengelus kotak perak
berat berukir bunga mawar itu.
Mawar merah, Sayang; lembayung biru.
Burung-burung di angkasa tahu aku mencintaimu.
Saat dia mengeklik kenop, kotak itu terbuka dan dia bisa mencium aroma bunga
mawar. Dalam bayangan cahaya dari Corso, mata biru pucatnya terpantul di
cermin bundar yang agak miring. “Seperti mata ayahmu,” Grandma’am sering
mengingatkannya. Dia berharap punya seperti mata ibunya, tapi tak pernah
berterus terang mengatakannya. Mungkin lebih baik dia mirip ayahnya. Ibunya
tidak cukup tangguh untuk dunia ini. Coriolanus akhirnya tertidur, memikirkan
ibunya, tapi yang terlintas dalam benaknya adalah Lucy Gray, berputar-putar
dengan gaun pelanginya, bernyanyi dalam mimpinya.
Pagi harinya Coriolanus terbangun mencium aroma lezat. Dia berjalan ke dapur
dan melihat Tigris sudah memanggang roti sejak sebelum subuh.
desyrindah.blogspot.com
membuat Dr. Gaul senang, itu artinya kau mendapat poin dari fakultas. Dia akan
memberi laporan yang bagus kepada Presiden Ravinstill, dan hasilnya akan bagus
buat kita semua di Akademi. Tapi, kau mesti hati-hati. Kau beruntung hasilnya
seperti itu. Bagaimana kalau berandal-berandal itu menyerangmu di kandang? Pa-
ra Penjaga Perdamaian harus menyelamatkanmu, dan pasti ada korban dari dua
belah pihak. Pasti hasilnya akan berbeda kalau kau tidak punya gadis pelangi kecil
itu.”
“Itu sebabnya aku menolak tawaran Sejanus untuk bertukar peserta,” kata
Coriolanus.
Satyria menganga kaget. “Tidak! Bayangkan bagaimana reaksi Strabo Plinth
kalau berita itu tersebar.”
“Bayangkan dia berutang apa padaku agar berita ini tidak tersebar!”
Membayangkan dirinya memeras si tua Strabo Plinth terasa menarik.
Gurunya tertawa. “Kau bicara seperti layaknya seorang Snow. Sekarang masuk
ke kelas. Catatan rapormu harus tanpa cela kalau kau mau menghapus kecaman
yang kaudapatkan.”
Dua puluh empat mentor menghabiskan pagi itu mengikuti seminar yang
dipimpin Profesor Crispus Demigloss, profesor sejarah yang bersemangat. Mereka
saling bertukar ide dalam kelas bagaimana agar lebih banyak orang menonton
Hunger Games selain dengan adanya mentor. “Buktikan bahwa aku tidak sia-sia
menghabiskan waktu empat tahun bersama kalian,” katanya sambil mengikik.
“Kalau kalian belajar dari sejarah, kalian tahu bagaimana caranya membuat mereka
yang tidak mau menurut menjadi patuh.” Sejanus langsung mengangkat tangan.
“Ah, Sejanus?”
“Sebelum kita bicara tentang bagaimana caranya membuat orang-orang
menonton, bukankah kita harus mulai dengan pertanyaan apakah menonton ini
adalah perbuatan yang benar?” tanyanya.
“Tolong, tetap sesuai topik ya.” Profesor Demigloss memandang seisi kelas
desyrindah.blogspot.com
untuk mendapat jawaban yang lebih kreatif. “Bagaimana cara kita membuat orang
mau menonton?”
Festus Creed mengangkat tangan. Festus adalah teman dekat Coriolanus sejak
lahir. Tubuhnya lebih besar dan lebih kekar dibanding anak-anak seumurannya.
Keluarganya orang kaya lama di Capitol. Kekayaan mereka berupa bisnis kayu di
Distrik 7 sempat rugi banyak pada masa perang, tapi perlahan-lahan kembali jaya
pada masa pembangunan. Dia mendapat anak perempuan Distrik 4, dan itu me-
nunjukkan statusnya. Tinggi, tapi tidak gemilang.
“Coba terangkan pada kami, Festus,” kata Profesor Demigloss.
“Mudah. Kita langsung ke hukuman,” jawab Festus. “Daripada cuma mengimbau
orang untuk menonton, kita jadikan undang-
undang sesuai hukum.”
“Apa yang terjadi kalau kau tidak menonton?” tanya Clemensia, yang tidak
mengangkat tangan, bahkan tanpa mengangkat wajahnya dari catatan yang
dibacanya. Gadis itu populer di kalangan siswa dan guru, dan keramahannya
membuat orang-orang sering memaa ankan kesalahannya.
“Untuk penduduk distrik, kita akan menghukum mati mereka. Untuk penduduk
Capitol, kita akan memindahkan mereka ke distrik, dan kalau dia tetap melanggar
setelah tinggal di distrik, kita akan menghukum mati orang itu,” kata Festus
dengan riang.
Seisi kelas tertawa, kemudian mereka memikirkan ide itu. Bagaimana cara
penerapannya? Tidak mungkin Penjaga Perdamaian mendatangi tiap rumah.
Mungkin pengambilan sampel secara acak, dan kau akan ditanyai pertanyaan-
pertanyaan untuk membuktikan bahwa kau menonton Hunger Games. Dan kalau
kau ketahuan tidak menonton, hukuman apa yang pas? Tentu bukan hukuman
mati atau dibuang ke distrik itu terlalu berlebihan. Mungkin kehilangan bebe-
rapa hak istimewa pagi penduduk Capitol, dan dicambuk di depan umum bagi
penduduk distrik? Itu akan membuat hukumannya mengena secara pribadi bagi
desyrindah.blogspot.com
semuanya.
“Masalah sebenarnya adalah, kegiatan itu memuakkan untuk ditonton,” kata
Clemensia. “Makanya orang-orang memilih tidak menontonnya.”
Sejanus memotong. “Tentu saja! Siapa yang mau menonton sekumpulan anak-
anak saling membunuh? Hanya orang kejam dan tak berperasaan yang mau
menontonnya. Manusia memang tidak sempurna, tapi seharusnya kita tidak
sejahat itu.”
“Kau tahu apa?” ujar Livia kasar. “Bagaimana seseorang dari distrik tahu apa
yang mau kita tonton di Capitol? Kau bahkan tak ada di sini semasa perang.”
Sejanus terdiam, tak bisa menyangkalnya.
“Karena sebagian besar kita pada dasarnya orang baik,” kata Lysistrata Vickers
sambil melipat kedua tangannya dengan rapi di atas buku catatannya. Segalanya
pada diri gadis itu tampak rapi, mulai dari rambutnya yang dikepang rapi sampai
kukunya yang dipotong rata. Ujung lengan baju seragamnya yang putih
menonjolkan kulit cokelatnya yang halus. “Sebagian besar dari kita tidak mau
melihat orang lain menderita.”
“Kita melihat hal-hal yang lebih buruk semasa perang. Dan setelahnya,”
Coriolanus mengingatkan gadis itu. Banyak peristiwa berdarah yang disiarkan
selama Masa Kegelapan, juga ada pelaksanaan hukuman mati yang dilakukan
secara brutal setelah Perjanjian Pengkhianat ditandatangani.
“Tapi kita punya andil nyata di sana, Coryo!” kata Arachne Crane, menyikut
lengan Coriolanus dari tempat duduknya di sebelah kanan. Pemuda itu selalu
berisik. Gemar menyikut orang. Apartemen keluarga Crane berada di seberang
apartemen keluarga Snow, terkadang dari seberang Corso, dia bisa mendengar
teriakan Arachne pada malam hari. “Kita melihat musuh-musuh kita tewas! Mak-
sudku, mereka bajingan pemberontak dan semacamnya. Siapa yang peduli pada
anak-anak ini?”
“Mungkin keluarga mereka,” kata Sejanus.
desyrindah.blogspot.com
melihat mentor mereka berada di balkon, dua kelompok itu saling menatap
selama beberapa saat.
Saat Profesor Sickle menggedor pintu di belakang mereka, para mentor
terlompat kaget. “Jangan cuma memelototi peserta kalian. Ayo, turun ke sana,”
perintahnya. “Kalian hanya punya lima belas menit, manfaatkan dengan bijak.
Dan ingat, isi da ar pertanyaan kalian untuk catatan sebaik mungkin.”
Coriolanus yang pertama bergerak menuruni tangga yang melingkar ke aula.
Ketika matanya bertemu dengan mata Lucy Gray, dia tahu gadis itu juga
mencarinya. Dia gelisah melihat gadis itu dirantai, tapi dia tersenyum
menenangkannya, dan kekuatiran di wajah Lucy Gray pun berkurang.
Dia duduk di seberang Lucy Gray, mengerutkan dahi melihat tangan gadis itu
dibelenggu, lalu memanggil Penjaga Perdamaian di dekatnya. “Permisi, bisakah
rantai ini dilepas?”
Penjaga Perdamaian itu menengok ke arah petugas di pintu yang menggeleng
melarangnya.
“Terima kasih sudah berusaha, walau tak berhasil,” kata Lucy Gray. Dia
mengepang rambutnya dengan cantik, tapi wajahnya terlihat sedih dan letih, serta
memar masih terlihat di wajahnya. Menyadari Coriolanus memperhatikan
memarnya, dia menyentuh bekas luka itu. “Jelek ya?”
“Dalam proses penyembuhan,” kata Coriolanus.
“Kami tidak punya cermin, jadi aku hanya bisa membayangkannya.” Lucy Gray
tidak menampilkan sikap ceria yang ditunjukkannya di depan kamera, dan
Coriolanus lega gadis itu tidak melakukannya. Mungkin Lucy Gray mulai
memercayainya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Coriolanus.
“Takut. Ngantuk. Lapar,” kata Lucy Gray. “Tidak banyak orang yang datang ke
kebun binatang untuk memberi kami makan pagi ini. Aku dapat apel, lumayan tapi
tidak kenyang.”
desyrindah.blogspot.com
“Aku bisa membantumu sedikit.” Dia mengeluarkan bungkusan Tigris dari tas
sekolahnya.
Lucy Gray terlihat girang lalu dengan perlahan-lahan membuka kertas
pembungkus berisi sepotong besar puding roti. Tiba-tiba, air mata mengambang
di kelopak mata gadis itu.
“Oh, tidak. Kau tidak suka ya?” tanyanya. “Aku akan berusaha membawakan
makanan lain. Aku bisa…”
Lucy Gray menggeleng. “Ini kesukaanku.” Dia menelan dengan susah payah.
Ketika ada potongan yang terjatuh dari gigitannya, dia memasukkannya lagi ke
mulut.
“Kesukaanku juga. Sepupuku Tigris memanggangnya tadi pagi, jadi masih
hangat,” katanya.
“Rasanya sempurna. Seperti buatan mamaku. Tolong sampaikan terima kasihku
pada Tigris.” Dia menggigit sekali lagi, sambil berusaha keras untuk tidak
menangis.
Coriolanus merasa hatinya seperti ditusuk. Dia ingin mengulurkan tangan dan
menyentuh wajah gadis itu, mengatakan padanya bahwa segalanya akan baik-baik
saja. Tapi, tentu saja, itu bohong. Gadis itu takkan baik-baik saja. Dia merogoh
saku belakangnya untuk mencari saputangan dan memberikannya pada Lucy
Gray.
“Aku masih punya yang semalam.” Gadis itu merogoh kantongnya.
“Kami punya selaci penuh saputangan,” kata Coriolanus. “Ambillah.”
Lucy Gray mengambil saputangan itu, menyeka matanya dan mengelap
hidungnya. Kemudian dia menarik napas panjang dan menegakkan tubuhnya.
“Jadi, apa rencana kita hari ini?”
“Aku seharusnya mengisi da ar pertanyaan tentang latar belakangmu. Kau
keberatan?” Coriolanus mengeluarkan selembar kertas.
“Sama sekali tidak. Aku senang bicara tentang diri sendiri,” katanya.
desyrindah.blogspot.com
paru-paru, tapi beberapa dari kami sudah cukup umur untuk mengurus diri
sendiri.”
Mereka berlanjut ke pekerjaan. Pada umur enam belas tahun, Lucy Gray belum
cukup umur untuk bekerja di tambang, tapi dia juga tidak bersekolah. “Aku
mendapat penghasilan dengan menghibur orang.”
“Orang-orang membayarmu untuk… bernyanyi dan menari?” tanya Coriolanus.
“Kupikir orang-orang di distrik tidak mampu membayar untuk hiburan.”
“Kebanyakan memang tidak,” katanya. “Kadang mereka patungan, lalu dua atau
tiga pasangan menikah pada hari yang sama, dan mereka menyewa kami. Aku dan
Pengembara lain, maksudnya. Yang tersisa dari kelompok Pengembara. Para
Penjaga Perdamaian mengizinkan kami menyimpan alat-alat musik saat mereka
memeriksa kami. Sebagian mereka merupakan pelanggan terbaik kami.”
Coriolanus ingat bagaimana para Penjaga Perdamaian berusaha tidak tersenyum
pada hari pemungutan, dan tak ada satu pun yang menghalanginya bernyanyi dan
menari. Dia mencatat pekerjaan Lucy Gray, menyelesaikan da ar isian, tapi dia
masih punya banyak pertanyaan. “Ceritakan padaku tentang kaum Pengembara.
Kalian memihak siapa pada masa perang?”
“Tidak memihak siapa-siapa. Kami tidak berpihak ke mana pun. Kami adalah
kami.” Ada sesuatu di belakang Coriolanus yang menarik perhatian Lucy Gray.
“Siapa nama temanmu? Yang membawa sandwich? Kurasa dia sedang dalam
kesulitan.”
“Sejanus?” Dia menoleh ke belakang dan melihat tempat Sejanus duduk di
seberang Marcus. Sandwich-sandwich berisi daging sapi panggang dan kue tak
tersentuh di antara mereka. Sejanus bicara dengan nada penuh permohonan, tapi
Marcus hanya memandang lurus ke depan, kedua lengannya bersedekap,
tubuhnya kaku.
Di ruangan itu kondisi para peserta lain beraneka ragam. Ada yang menutup
wajahnya dan menolak berkomunikasi. Ada yang menangis. Ada menjawab
desyrindah.blogspot.com
hal yang membuatku tetap bertahan saat ini.” Dia mengelus rumbai-rumbai
pakaiannya. “Rasanya seperti dipeluk oleh ibuku.”
Coriolanus teringat pada kotak bedak ibunya. Aroma bedaknya. “Wangi ibuku
seperti bunga mawar,” katanya, lalu dia merasa rikuh. Dia jarang bercerita tentang
ibunya, bahkan di rumah sekalipun. Bagaimana obrolan mereka bisa sampai ke
sini? “Yah, kupikir lagumu menggugah banyak orang.”
“Kau baik sekali. Terima kasih. Tapi itu bukan alasan untuk bernyanyi saat
wawancara,” katanya. “Kalau wawancara diadakan pada malam sebelumnya, kita
bisa mengesampingkan makanan. Aku tidak punya alasan untuk bernyanyi demi
belas kasihan orang agar mendapat makanan pada saat itu.”
Coriolanus berpikir keras untuk mencari alasan, tapi kali ini nyanyian Lucy
Gray hanya akan menghiburnya. “Sayang sekali. Dengan suaramu itu.”
“Aku akan bernyanyi untukmu di belakang panggung,” Lucy Gray berjanji.
Coriolanus akan berusaha membujuknya bernyanyi, tapi untuk sekarang ini, dia
membiarkannya. Dia membiarkan Lucy Gray menanyainya selama beberapa
menit, menjawab pertanyaan tentang keluarganya dan bagaimana mereka
bertahan hidup semasa perang. Entah bagaimana, Coriolanus merasa bisa
bercerita tanpa beban. Apakah karena dia tahu apa yang diceritakannya akan
lenyap di arena beberapa hari lagi?
Lucy Gray tampak lebih baik: tak ada lagi air mata. Mereka saling bertukar
cerita, keakraban tumbuh di antara mereka. Saat peluit berbunyi menandakan
akhir pertemuan mereka, Lucy Gray memasukkan saputangan Coriolanus dengan
rapi ke saku tas sekolah pemuda itu dan meremas lembut lengan Coriolanus
sebagai tanda terima kasih.
Para mentor berjalan dengan patuh ke jalan keluar utama, di sana Profesor Sickle
memerintahkan mereka, “Kalian ke lab biologi untuk tanya-jawab.”
Tak seorang pun mempertanyakan perintah Profesor Sickle, tapi aula bising
dengan pertanyaan mereka tentang alasannya. Coriolanus berharap Dr. Gaul akan
desyrindah.blogspot.com
ada di lab. Da ar pertanyaannya yang terisi penuh dan rapi tampak jomplang
dengan usaha teman-teman sekelasnya yang seadanya, dan ini bisa jadi
kesempatan lain baginya untuk kelihatan menonjol.
“Pesertaku tak mau bicara. Tidak sepatah kata pun!” kata
Clemensia. “Yang kutahu tentang dia sama seperti yang kuketahui setelah pe-
mungutan. Hanya namanya. Reaper Ash. Bisakah kau membayangkan punya anak
bernama Reaper dan jadi peserta Hunger
Games?”
“Belum ada Hunger Games waktu dia lahir,” kata Lysistrata. “Itu nama biasa buat
petani.”
“Mungkin kau benar,” kata Clemensia.
“Pesertaku bicara. Seandainya saja dia tidak bicara!” Arachne nyaris menjerit.
“Kenapa? Apa yang dia katakan?” tanya Clemensia.
“Oh, di Distrik Sepuluh dia menghabiskan waktu dengan menyembelih babi.”
Arachne berlagak mau muntah. “Hoek! Aku mesti bagaimana dengan
kemampuannya itu? Aku berharap punya sesuatu yang lebih baik.” Tiba-tiba dia
berhenti berjalan, sehingga Coriolanus dan Festus menabraknya. “Tunggu! Itu
dia!”
“Awas!” kata Festus, mendorong Arachne agar maju.
Gadis itu mengabaikan Festus dan terus mengoceh, meminta perhatian semua
orang. “Aku bisa menghasilkan sesuatu yang brilian! Aku pernah mengunjungi
Distrik Sepuluh. Tempat itu seperti rumah keduaku!” Sebelum perang, keluarga
Arachne mengembangkan tempat wisata dengan membangun hotel-hotel mewah
di
distrik-distrik, dan dia sering bepergian mengelilingi Panem. Dia masih sering
menyombongkan hal itu, meskipun sejak perang dia hanya tinggal di Capitol. “Aku
bisa memikirkan sesuatu yang lebih baik daripada keadaan rumah jagal!”
“Kau beruntung,” kata Pliny Harrington. Semua orang memanggilnya Pup
desyrindah.blogspot.com
supaya berbeda dari nama panggilan ayahnya, komandan angkatan laut yang
mengawasi perairan Distrik 4. Sang komandan berusaha membentuk Pup seperti
dirinya, berkeras agar sang putra berambut cepak dan sepatu mengilap, tapi
sayangnya Pup tipe remaja jorok dan berantakan. Dia mencungkil sisa potongan
daging dari kawat giginya dengan kuku jempol lalu menjentikkannya ke lantai.
“Paling tidak, dia tidak takut darah.”
“Kenapa? Pesertamu takut?” tanya Arachne.
“Tidak tahu. Gadis itu menangis terus selama lima belas menit nonstop.” Pup
meringis. “Kurasa wakil dari Distrik Tujuh tidak siap untuk cabut kuku, apalagi
Hunger Games.”
“Sebaiknya kau mengancingkan jaketmu sebelum masuk kelas,” Lysistrata
mengingatkannya.
“Oh, ya.” Pup menghela napas. Dia mengancingkan kancing teratas, tapi terlepas
di tangannya. “Seragam bodoh.”
Ketika mereka masuk ke lab, kegembiraan Coriolanus melihat Dr. Gaul lenyap
saat melihat Dekan Highbo om berada di belakang meja profesor sedang
mengumpulkan da ar pertanyaan. Dia mengabaikan Coriolanus, tapi dia memang
tidak ramah pada siapa pun. Dia membiarkan Kepala Pengawas Permainan yang
bicara.
Dr. Gaul menyodok kelinci mutan sampai kelas terisi oleh semua siswa, lalu
menyambut mereka dengan ucapan, “Wah, wah, wah, bagaimana penampilan
kalian? Apakah mereka menyambutmu seperti teman atau hanya duduk dan
memandangmu?” Para siswa saling memandang bingung satu sama lain saat Dr.
Gaul mengambil
kertas-kertas da ar pertanyaan. “Buat kalian yang belum tahu, aku Dr. Gaul,
Kepala Pengawas Permainan. Aku akan menjadi mentor dalam tugas kalian
sebagai mentor. Mari kita lihat orang-orang seperti apa yang aku dapatkan, oke?”
Dia membalik-balik kertas, mengerutkan dahi, lalu menarik selembar kertas dan
desyrindah.blogspot.com
mengangkatnya di depan kelas. “Kalian diminta melakukan ini. Terima kasih, Mr.
Snow. Apa yang terjadi dengan da ar pertanyaan dari yang lainnya?
Dalam hati Coriolanus merasa bangga, tapi dia tidak menunjukkan ekspresi apa-
apa. Langkah terbaik adalah mendukung teman-teman sekelasnya. Setelah terdiam
lama, dia berbicara. “Aku beruntung dengan pesertaku. Dia suka bicara. Tapi
banyak anak-anak lain yang tidak mau berkomunikasi. Bahkan pesertaku tak
melihat ada gunanya berusaha dalam wawancana.”
Sejanus menoleh memandang Coriolanus. “Kenapa mereka mesti berusaha?
Apa gunanya untuk mereka? Apa pun yang mereka lakukan, mereka akan
dilempar ke arena dan dibiarkan berusaha sendiri untuk menyelamatkan diri.”
Gumaman menyetujui terdengar di ruangan.
Dr. Gaul memandang Sejanus. “Kau anak lelaki yang membawa sandwich.
Kenapa kau melakukannya?”
Tubuh Sejanus menegang dan dia menghindari tatapan sang guru. “Mereka
kelaparan. Kita akan membunuh mereka; apakah kita juga akan menyiksa mereka
sebelum bertarung?”
“Huh. Simpatisan pemberontak,” kata Dr. Gaul.
Sejanus masih terus memandangi buku catatannya dan berkata. “Mereka sama
sekali bukan pemberontak. Banyak dari mereka baru berumur dua tahun saat
perang berakhir. Yang paling tua berumur delapan tahun. Sekarang perang sudah
berakhir, mereka juga penduduk Panem, ya kan? Sama seperti kita? Bukankah itu
lagu kebangsaan Capitol? ‘Kauberi kami cahaya. Kau menyatukan kembali’? Seha-
rusnya untuk pemerintahan semuanya, kan?”
“Itu memang garis besarnya. Silakan, teruskan,” Dr. Gaul mendorongnya untuk
melanjutkan.
“Kalau begitu, seharusnya pemerintah melindungi semua orang,” kata Sejanus.
“Itu pekerjaan negara nomor satu! Aku tidak mengerti bagaimana membuat
mereka bertarung sampai mati bisa mencapai hal itu.”
desyrindah.blogspot.com
“Jelas kau tidak setuju dengan Hunger Games,” kata Dr. Gaul. “Pasti sulit bagimu
menjalani tugas sebagai mentor. Pasti penugasanmu jadi terganggu karenanya.”
Sejanus terdiam sesaat. Kemudian dia duduk tegak, terlihat memberanikan diri
dan menatap mata Dr. Gaul. “Mungkin Anda harus menggantiku dan menugasi
orang lain yang lebih pantas.”
Tendengar desah kaget dari seisi kelas.
“Tidak akan, Nak,” Dr. Gaul tergelak. “Belas kasihan adalah kunci Hunger
Games. Kita kekurangan empati. Ya, kan, Casca?” Dia menoleh ke arah Dekan
Highbo om, tapi pria itu hanya mencoret-coret kertas dengan bolpoin.
Sejanus terlihat kecewa, tapi dia tidak menyahut lagi. Coriolanus merasa Sejanus
Plinth mengaku kalah dalam pertempuran kali ini tapi dia belum menyerah dalam
perang. Pemuda itu sesungguhnya lebih tangguh daripada tampilan luarnya.
Bayangkan, dia berani melempar tugas mentor itu ke muka Dr. Gaul.
Tapi percakapan itu tampaknya membuat Dr. Gaul tambah bersemangat. “Nah,
bukankah akan menyenangkan kalau semua orang antusias terhadap para peserta
seperti anak muda ini? Seharusnya itu menjadi tujuan kita.”
“Tidak,” sela Dekan Highbo om.
“Ya! Agar mereka sungguh-sungguh terlibat!” lanjut Dr. Gaul. Dia menepuk
dahinya. “Kau memberiku ide hebat agar orang-orang terlibat langsung dengan
hasil Hunger Games. Bagaimana kalau kita mengizinkan penonton mengirimkan
makanan kepada para peserta di arena? Memberi mereka makan, seperti yang
dilakukan temanmu ini di kebun binatang. Apakah mereka akan merasa lebih
berpartisipasi?”
Festus dengan cepat berkata, “Aku! Kalau aku bisa bertaruh pada peserta yang
kuberi makan! Pagi tadi, Coriolanus bilang mungkin kita harus memasang taruhan
pada para peserta.”
Dr. Gaul berbinar memandang Coriolanus. “Tentu saja dia memberi usul itu.
Baiklah, kalian diskusikan dan rembukan soal ini. Siapkan proposal cara kerjanya,
desyrindah.blogspot.com
berlari dan menaruh makanan di tangan mereka lalu segera mundur. Para peserta
mulai berusaha menarik perhatian, membuat kamera kembali ke bagian tengah
kandang. Gadis kecil bertubuh lentur dari Distrik 9 jumpalitan ke belakang setelah
menerima sepotong roti. Anak lelaki dari Distrik 7 melakukan pertunjukan sulap
dengan tiga buah kenari yang diterimanya. Penonton memberi hadiah pada
peserta yang melakukan pertunjukan dan memberikan lebih banyak makanan.
Lucy Gray dan Coriolanus melanjutkan piknik mereka dan melihat pertunjukan
itu. “Kita semua anggota rombongan sirkus,” kata Lucy Gray sambil mencungkil
daging dari tulang.
“Tak ada satu pun dari mereka yang sebanding denganmu,” kata Coriolanus.
Para mentor yang sebelumnya diabaikan, kini mulai didekati para peserta jika
mereka menawarkan makanan. Ketika Sejanus datang membawa satu tas berisi
telur rebus dan irisan-irisan roti, semua peserta berlari menghampirinya kecuali
Marcus, yang tetap menunjukkan sikap tidak peduli.
Coriolanus mengangguk ke arah mereka. “Kau benar soal Sejanus dan Marcus.
Mereka pernah sekelas di Distrik Dua.”
“Wah, itu rumit. Setidaknya, kita tidak menghadapi masalah semacam itu,” kata
Lucy Gray.
“Ya, ini saja lumayan rumit.” Coriolanus bermaksud bercanda, tapi malah
candaannya gagal. Ini sudah rumit, dan semakin rumit seiring waktu.
Gadis itu tersenyum sedih. “Pasti akan menyenangkan bisa bertemu denganmu
dalam situasi yang berbeda.”
“Seperti apa contohnya?” Ini pertanyaan berbahaya, tapi Coriolanus tak bisa
menahan diri untuk tidak bertanya.
“Oh, misalnya kau datang ke salah satu pertunjukanku dan mendengarku
bernyanyi,” katanya. “Sesudahnya kau menghampiriku untuk mengobrol, lalu kita
mungkin minum-minum dan berdansa.”
Coriolanus bisa membayangkannya. Gadis itu bernyanyi di kelab malam seperti
desyrindah.blogspot.com
milik Pluribus, dia memandang mata gadis itu, terkoneksi bahkan sebelum mereka
bertemu. “Dan aku akan datang lagi keesokan malamnya.”
“Seakan waktu berhenti untuk kita,” kata Lucy Gray.
Lamunan mereka terputus karena teriakan keras “Woo-hoo!” Peserta-peserta
dari Distrik 6 mulai menari kocak, dan si kembar Ring mengajak penonton
bertepuk tangan berirama. Setelah itu, suasana semakin meriah. Orang-orang
makin dekat ke kandang, dan beberapa orang mulai mengobrol dengan para
tahanan.
Coriolanus menganggap perkembangan ini bagus butuh lebih dari sekadar
Lucy Gray untuk mendapat jam tayang utama acara wawancara di televisi. Dia
membiarkan peserta-peserta lain mendapat waktu mereka sendiri dan
memintanya bernyanyi saat kebun binatang tutup. Sementara itu, Coriolanus
bercerita padanya tentang apa yang didiskusikan para mentor tadi siang dan me-
nekankan betapa pentingnya popularitas Lucy Gray di arena, karena sekarang ada
kemungkinan penonton bisa mengirimi mereka hadiah.
Diam-diam, Coriolanus mengkhawatirkan sumber daya yang dimilikinya. Dia
butuh penonton yang lebih makmur, yang bisa membelikan banyak hadiah untuk
gadis itu. Kalau peserta milik Snow tidak mendapat apa-apa di arena,
penampilannya akan terlihat buruk. Mungkin dia bisa membuat ketentuan di
proposal yang menyatakan bahwa mentor tidak boleh memberikan hadiah untuk
pesertanya sendiri. Kalau tidak begitu, bagaimana caranya dia bisa bersaing? Apa-
lagi melawan Sejanus. Dan di dekat jeruji, Arachne mengadakan piknik untuk
pesertanya. Roti hangat, sebongkah keju, dan sesuatu yang dari jauh kelihatannya
seperti buah anggur. Bagaimana caranya Arachne bisa memiliki semua itu?
Mungkin industri biro perjalanan mereka sedang naik daun.
Dia memperhatikan Arachne mengiris keju dengan pisau bergagang kerang
mutiara. Pesertanya, gadis bawel dari Distrik 10, berjongkok tepat di depannya,
menyandar ke jeruji dengan penuh semangat. Arachne membuat sandwich tebal,
desyrindah.blogspot.com
tapi tidak langsung menyerahkannya. Tampaknya dia sedang menguliahi gadis itu
tentang sesuatu. Dia bicara cukup lama. Pada suatu saat, gadis peserta itu meng-
ulurkan tangannya di antara jeruji, dan Arachne menarik sandwich itu, membuat
para penonton tertawa. Arachne menoleh dan tersenyum pada penonton,
menggoyangkan jarinya pada sang peserta, mengulurkan sandwich itu lagi, lalu
menariknya untuk kedua kali, membuat para penonton semakin tertawa geli.
“Dia cari gara-gara,” kata Lucy Gray.
Arachne melambai ke arah penonton lalu menggigit sandwich itu sendiri.
Coriolanus bisa melihat kegeraman di wajah sang peserta, otot-otot lehernya
menegang. Dia juga bisa melihat sesuatu yang lain. Jemari gadis itu terulur di
antara jeruji, melesat cepat, meraih gagang pisau dan memutarnya. Coriolanus
bergerak berdiri, membuka mulut untuk meneriakkan peringatan, tapi terlambat.
Dalam satu gerakan, peserta itu menarik Arachne mendekat dan menggorok
lehernya.
desyrindah.blogspot.com
7
Jeritan terdengar dari penonton yang berada paling dekat dengan serangan itu.
Wajah Arachne memucat ketika dia menjatuhkan sandwich dan menangkup
lehernya. Darah mengalir di antara jemarinya ketika gadis Distrik 10 melepaskan
dan mendorongnya. Arachne bergerak mundur, berbalik dan mengulurkan
tangannya yang meneteskan darah, memohon pertolongan dari penonton. Orang-
orang terlalu kaget atau terlalu takut untuk membantunya. Banyak yang berlari
menjauh ketika gadis itu jatuh berlutut dan mulai kehabisan darah.
Reaksi pertama Coriolanus adalah mundur seperti yang lain, memegang jeruji
kandang monyet agar bisa tetap berdiri, tapi Lucy Gray berbisik, “Bantu dia!” Dia
ingat kamera menyiarkan acara ini langsung ke penonton televisi di Capitol. Dia
tidak tahu harus melakukan apa terhadap Arachne, tapi dia tidak mau kelihatan
ketakutan dan diam saja. Kengeriannya biar disimpan dalam hati, tidak perlu dia
tunjukkan di depan umum.
Dia memaksakan kakinya bergerak dan jadi orang yang pertama tiba di sisi
Arachne. Gadis itu menggenggam kemeja Coriolanus saat meregang nyawa.
“Medik!” dia berteriak sembari membaringkan Arachne ke tanah. “Ada dokter di
sini? Tolong, bantu dia!” Tangan Coriolanus menekan luka untuk menahan aliran
darah, tapi dia langsung mengangkat tangannya saat gadis itu bersuara seperti
tercekik. “Ayolah!” dia berteriak ke arah penonton. Dua orang Penjaga Perdamaian
mendorong kerumunan massa agar bisa menghampirinya, tapi terlambat.
Coriolanus menoleh, melihat gadis dari Distrik 10 mengambil sandwich keju itu
desyrindah.blogspot.com
semenit, isak tangis membuat dadanya sakit. Tapi kemudian sakitnya hilang, dan
dia tidak tahu apakah itu ada hubungannya dengan kesedihan karena kematian
Arachne atau penderitaannya karena kesulitan-kesulitan yang dialaminya.
Mungkin ada bagian dari keduanya. Dia mengenakan jubah sutra milik ayahnya
dan memutuskan untuk mencoba membuat proposal. Lagi pula, dia takkan bisa
tidur, dengan bunyi deguk Arachne yang masih terngiang di telinganya. Aroma
bedak mawar sebanyak apa pun takkan bisa meredakannya. Menenggelamkan diri
dalam tugas itu membantunya tenang, dan dia lebih suka bekerja sendiri, tanpa
perlu repot-repot membantah pemikiran teman-temannya secara diplomatis.
Tanpa adanya gangguan, dia bisa menyusun proposal yang sederhana tapi padat.
Dia memikirkan diskusi di dalam kelas bersama Dr. Gaul dan semangat dari
penonton saat mereka memberi makan para peserta di kebun binatang. Dia
memusatkan rencananya pada makanan. Untuk pertama kalinya, para sponsor
bisa membelikan barang-barang sepotong roti, sebongkah keju untuk dikirim
dengan drone ke peserta tertentu. Akan dibentuk panel untuk meninjau manfaat
dan nilai setiap barang. Pemberi sponsor haruslah penduduk terhormat Capitol
yang tidak ada kaitannya dengan Hunger Games. Ini menyingkirkan para
Pengawas Permainan, mentor, Penjaga Perdamaian yang ditugaskan untuk
menjaga peserta, dan keluarga dari mereka yang disebut di atas. Untuk usulan
pemasangan taruhan, dia menyarankan dibentuknya panel kedua untuk
menentukan lokasi yang mengizinkan warga Capitol memasang taruhan secara
resmi atas pemenang pilihannya, menetapkan rasio peluang, dan mengawasi pem-
bayaran kepada para pemenang taruhan. Pendapatan yang diperoleh dari kedua
program tersebut akan disalurkan untuk membiayai Hunger Games, sehingga
semua ini bisa dibilang gratis bagi pemerintah Panem.
Coriolanus terus bekerja sampai pagi menjelang di hari Jumat itu. Saat matahari
menyorotkan sinarnya menembus jendela, dia mengenakan seragam bersih,
mengepit proposalnya di ketiak, lalu meninggalkan apartemennya tanpa
desyrindah.blogspot.com
menimbulkan suara.
Dr. Gaul mengemban beberapa tugas di bidang akademis, militer, dan riset, jadi
Coriolanus harus berusaha menebak di mana Dr. Gaul berada. Karena ini
berkaitan dengan Hunger Games, dia berjalan ke bangunan mengesankan yang
disebut Citadel, yang menjadi kantor Departemen Perang. Para Penjaga
Perdamaian yang bertugas tidak mengizinkannya masuk ke wilayah keamanan-
tinggi, tapi mereka meyakinkannya bahwa lembaran-lembaran proposalnya akan
diletakkan di meja Dr. Gaul. Hanya itu yang bisa dilakukan Coriolanus.
Ketika dia berjalan pulang ke Corso, layar yang hanya menunjukkan lambang
Panem pada dini hari kini menunjukkan kejadian-kejadian yang terjadi pada
malam sebelumnya. Mereka berulang-ulang menayangkan kejadian ketika sang
peserta menggorok leher Arachne, lalu Coriolanus datang membantunya, dan si
pembunuh tewas diberondong peluru. Anehnya dia merasa terasing dari kejadian
itu, seakan seluruh cadangan perasaannya sudah terkuras setelah letupan
singkatnya di kamar mandi. Karena reaksi awalnya atas kematian Arachne tidak
terlihat tulus, dia lega karena kamera hanya merekam usahanya untuk
menyelamatkan gadis itu, momen ketika dia terlihat berani dan bertanggung
jawab. Kalau diamati lebih cermat, kelihatan tubuhnya gemetar.
Dia senang melihat kamera menyoroti Livia Cardew sekilas, ketika gadis itu
berlari ketakutan mendorong kerumunan saat mendengar bunyi senapan
ditembakkan. Di kelas retorika, Livia pernah menyinggung kegagalannya dalam
menafsir makna sebuah puisi secara mendalam karena Coriolanus terlalu
mementingkan diri sendiri. Ironisnya, pernyataan itu berasal dari mulut Livia!
Tapi, tindakan lebih penting daripada kata-kata. Coriolanus datang membantu,
Livia kabur melarikan diri.
Pada saat Coriolanus tiba di rumah, Tigris dan Grandma’am sudah tidak lagi
shock karena kematian Arachne dan menyatakan Coriolanus sebagai pahlawan
nasional, yang diterimanya dengan gaya enggan tapi dalam hatinya senang. Dia
desyrindah.blogspot.com
tidak merasa lelah, tapi merasakan kegelisahan yang membara, dan pengumuman
bahwa Akademi tidak libur dan tetap ada kelas membuatnya bergelora. Menjadi
pahlawan di rumah tidak cukup; dia butuh lebih banyak penonton.
Setelah sarapan kentang goreng dan mentega susu dingin, dia kembali ke
Akademi dengan wajah muram sesuai dengan suasana. Karena dikenal sebagai
sahabat Arachne, dan telah terbukti dengan usahanya menyelamatkan gadis itu,
tampaknya dia terpilih menjadi orang yang semestinya paling berduka. Di koridor
Akademi, ucapan belasungkawa disampaikan oleh orang-orang yang lewat disertai
pujian atas tindakannya. Ada yang bilang bahwa dia merawat Arachne seakan
gadis itu saudara perempuannya. Meskipun dia tidak melakukan hal semacam itu,
dia membiarkannya. Tak perlu mencela orang yang sudah meninggal.
Sebagai dekan Akademi, seharusnya Highbo om yang memimpin pertemuan
sekolah ini, tapi dia tidak muncul. Sebagai gantinya Satyria yang bicara tentang
Arachne dengan berbunga-bunga: keberaniannya, keterusterangannya, serta selera
humornya. Coriolanus menyeka matanya sembari berpikir, bahwa segala hal yang
menyebalkan pada diri Arachne-lah yang akhirnya membunuh gadis itu. Profesor
Sickle mengambil mikrofon dan memuji Coriolanus dan menyebut nama Festus,
atas reaksi mereka untuk membantu teman. Hippocrata Lunt, guru bimbingan
konseling, mengundang siapa pun yang punya masalah menghadapi masa duka ini
agar mengunjungi kantornya, terutama bagi mereka yang memiliki dorongan
untuk melakukan kekerasan pada orang lain atau pada diri sendiri. Satyria kembali
ke depan mikrofon dan mengumumkan bahwa pemakaman Arachne akan
dilaksanakan esok hari, dan seluruh organisasi siswa akan hadir untuk memberi
penghormatan terakhir. Acara pemakaman itu akan ditayangkan langsung ke
seantero Panem, jadi mereka diminta untuk tampil dan berperilaku layaknya anak
muda Capitol. Selanjutnya mereka diizinkan berbaur, mengenang sahabat mereka,
dan saling memberi penghiburan karena kematian Arachne. Kelas akan
dilanjutkan seusai makan siang.
desyrindah.blogspot.com
Setelah makan salad ikan hambar yang disajikan di atas roti bakar, para mentor
dijadwalkan bertemu Profesor Demigloss lagi, meski tak ada seorang pun yang
bersemangat. Apalagi ketika melihat yang dilakukan sang profesor pertama kali
adalah membagikan lembaran da ar nama mentor dan peserta, dan berkata, “Ini
untuk memudahkan kalian mengikuti perkembangan masing-masing dalam
Hunger Games.”
HUNGER GAMES KE-10
PENUGASAN MENTOR
DISTRIK 1
Lelaki (Facet) Livia Cardew
Perempuan (Velvereen) Palmyra Monty
DISTRIK 2
Lelaki (Marcus) Sejanus Plinth
Perempuan (Sabyn) Florus Friend
DISTRIK 3
Lelaki (Circ) Io Jasper
Perempuan (Teslee) Urban Canville
DISTRIK 4
Lelaki (Mizzen) Persephone Price
Perempuan (Coral) Festus Creed
DISTRIK 5
Lelaki (Hy) Dennis Fling
Perempuan (Sol) Iphigenia Moss
DISTRIK 6
Lelaki (O o) Apollo Ring
Perempuan (Ginnee) Diana Ring
DISTRIK 7
Lelaki (Treech) Vipsania Sickle
desyrindah.blogspot.com
bisanya membuat proposal padahal Arachne baru saja meninggal! Aku menangis
sepanjang malam.” Matanya masih kelihatan bengkak habis menangis.
“Aku juga tidak bisa tidur,” kata Coriolanus keberatan dituduh seperti itu.
“Setelah memeganginya saat dia meninggal, bekerja membuatku tidak ketakutan.”
“Aku tahu. Aku tahu. Masing-masing orang punya caranya sendiri mengatasi
rasa duka. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu.” Clemensia menghela napas.
“Jadi apa yang isi proposal yang seharusnya kita tulis bersama ini?
Coriolanus memberitahunya secara singkat, tapi gadis itu tampaknya masih
kesal. “Maaf, aku bermaksud memberitahumu. Cuma hal mendasar, dan kita
sudah membahasnya secara berkelompok. Aku sudah mendapat satu kecaman
minggu ini aku tidak bisa membiarkan nilaiku ikut dikurangi.”
“Apakah kau juga mencantumkan namaku? Aku tidak mau kelihatan terlalu
lemah sampai tidak bisa berkontribusi,” katanya.
“Aku tidak mencantumkan nama siapa pun. Ini lebih seperti proyek kelas.”
Coriolanus mengangkat tangan putus asa. “Sejujurnya, Clemmie, kupikir aku
membantumu!”
“Oke, oke,” kata Clemensia, menyerah. “Kurasa aku berutang padamu. Tapi, aku
berharap setidaknya aku punya kesempatan membacanya. Bantu aku ya, kalau dia
mulai menanyai kita tentang isi proposal itu.”
“Kau tahu aku pasti akan membantumu. Lagi pula, dia mungkin tidak
menyukainya,” kata Coriolanus. “Maksudku, menurutku proposal kita lumayan
mantap, tapi dia punya cara kerja yang berbeda.”
“Betul juga,” Clemensia sependapat. “Apakah menurutmu
Hunger Games akan tetap diadakan?”
Dia belum berpikir sampai ke sana. “Aku tidak tahu. Kejadian yang menimpa
Arachne, lalu pemakaman… Kalau diadakan pun, mungkin akan ditunda.
Entahlah. Aku tahu kau tidak menyukai acara ini.”
“Kau suka? Apakah ada orang yang menyukainya?” tanya
desyrindah.blogspot.com
Clemensia.
“Mungkin mereka akan memulangkan para peserta.” Ide itu terasa menarik
ketika dia memikirkan Lucy Gray. Dia penasaran bagaimana efek kematian
Arachne pada diri gadis itu. Apakah semua peserta dihukum karena kejadian itu?
Apakah mereka masih akan mengizinkannya menemui Lucy Gray?
“Ya, atau mereka dijadikan Avox, atau semacamnya,” kata Clemensia.
“Mengerikan sih, tapi tidak seburuk kejadian di arena. Maksudku, lebih baik hidup
tanpa lidah daripada mati, ya kan?”
“Aku sih begitu, tapi aku tidak yakin pesertaku mau,” kata Coriolanus. “Apakah
kau masih bisa bernyanyi tanpa lidah?”
“Aku tidak tahu. Mungkin bisa bersenandung.” Mereka tiba di gerbang Citadel.
“Semasa kecil aku takut pada tempat ini.”
“Aku masih takut sampai sekarang,” kata Coriolanus, dan membuat Clemensia
tertawa.
Di pos Penjaga Perdamaian, retina mereka dipindai dan identitas mereka
diperiksa di da ar Capitol. Tas mereka yang berisi buku diambil dan seorang
penjaga mengawal mereka menyusuri koridor panjang kelabu menuju elevator
yang turun dua puluh lima lantai. Coriolanus tak pernah sampai ke bawah sejauh
itu, dan yang mengejutkan, dia ternyata menyukainya. Meskipun menyukai griya
tawang milik keluarga Snow, Coriolanus merasa rapuh ketika bom demi bom
berjatuhan pada saat perang. Di sini, tampaknya tak ada apa pun yang bisa
melukainyai.
Pintu elevator terbuka, dan mereka melangkah ke laboratorium raksasa. Deretan
meja-meja penelitian, mesin-mesin yang asing, dan kotak-kotak kaca berjajar
sampai ke ujung sana. Coriolanus menoleh memandang sang pengawal, tapi
pengawal itu sudah menutup pintu dan meninggalkan mereka tanpa instruksi
lebih lanjut. “Ayo?” dia mengajak Clemensia.
Mereka mulai berjalan ke lab dengan hati-hati. “Aku punya rasat jelek bakal
desyrindah.blogspot.com
Dia merasa sedang diuji. Ujian aneh dari Dr. Gaul, tapi tetap saja ujian. Dan
entah bagaimana, rasanya ini direncanakan. Hanya saja Coriolanus tidak tahu apa
tujuannya. Dia memandang Clemensia dan berusaha mengingat apakah gadis itu
takut pada ular, tapi dia sendiri tidak tahu apakah dia takut ular atau tidak. Tak
pernah ada ular di laboratorium sekolah.
Clemensia tersenyum getir pada Dr. Gaul. “Baiklah. Apakah kami hanya perlu
mengambilnya dari pintu sorong di bagian atas kotak?”
Dr. Gaul membuka seluruh penutup kacanya. “Oh, tidak, kuberi ruang yang
lebih lega. Mr. Snow? Bagaimana kalau kau yang mulai?”
Coriolanus menjangkau proposalnya perlahan-lahan, merasakan kehangatan
udara yang dipanaskan.
“Benar sekali. Perlahan-lahan. Jangan ganggu mereka,” Dr. Gaul memberi
perintah.
Jemarinya menyelip ke bawah ujung lembaran proposalnya dan perlahan-lahan
menariknya keluar dari tindihan ular-ular itu. Mereka saling menumpuk tapi
sepertinya tidak peduli pada apa yang dilakukan Coriolanus. “Kurasa mereka tidak
memperhatikanku,” katanya pada Clemensia, yang tampak pucat.
“Giliranku, kalau begitu.” Dia mengulurkan tangan ke dalam bak kaca.
“Penglihatan mereka tidak terlalu baik, pendengaran mereka juga kurang,” kata
Dr. Gaul. “Tapi, mereka tahu kau ada di sana. Ular bisa mencium baumu dengan
lidah mereka, terutama mu -mu ini.”
Clemensia mengaitkan kukunya ke selembar proposal dan mengangkatnya.
Ular-ular itu bergerak.
“Kalau mereka mengenali baumu, kalau mereka memiliki kaitan menyenangkan
dengan baumu contohnya, bak kaca yang hangat mereka akan
mengabaikanmu. Bau yang baru, asing, akan dianggap sebagai ancaman,” kata Dr.
Gaul. “Selamatkan dirimu, gadis kecil.”
Coriolanus baru paham sepenuhnya saat dia melihat ketakutan di wajah
desyrindah.blogspot.com
Clemensia. Gadis itu segera menarik tangannya keluar dari bak, tapi enam ekor
ular neon keburu menancapkan taring ke kulitnya.
8
gadis itu? Kalau gadis itu meninggal, Coriolanus bisa kena masalah besar.
Dia memperkirakan dalam kondisi darurat pasien akan dibawa Rumah Sakit
Capitol terdekat, jadi Coriolanus langsung berlari ke sana. Setelah masuk ke
bagian depan rumah sakit yang sejuk, dia mengikuti petunjuk menuju ruang IGD.
Pada saat pintu otomatis terbuka, dia bisa mendengar jeritan Clemensia, jeritan
yang sama ketika ular itu menggigitnya. Paling tidak, gadis itu masih hidup.
Coriolanus mengoceh entah apa kepada perawat jaga, dan perawat itu paham apa
maksudnya lalu mengajaknya duduk, tepat ketika pening menghantam kepalanya.
Penampilannya pasti kacau, karena perawat itu membawakan dua bungkus biskuit
dan segelas minuman soda rasa jeruk manis, yang berusaha dia minum pelan-
pelan, tapi malah langsung dia tandaskan, bahkan masih kurang. Gula dalam
minuman itu membuatnya merasa lebih baik, meskipun dia tidak memakan
biskuitnya, yang dia simpan di kantong.
Pada saat dokter jaga muncul dari ruangan di belakang, Coriolanus sudah
hampir bisa menguasai diri sepenuhnya. Dokter itu menenangkannya. Mereka
pernah merawat pasien korban kecelakaan di lab. Karena penangkal racun
langsung disuntikkan padanya, besar kemungkinan Clemensia akan selamat,
meskipun ada kemungkinan terjadi kerusakan saraf. Dia perlu diopname sampai
kondisinya stabil. Gadis itu baru bisa dijenguk beberapa hari lagi.
Coriolanus berterima kasih pada dokter itu sambil menyerahkan tas sekolah
Clemensia, dan menuruti saran sang dokter agar dia pulang, karena itu yang
terbaik untuknya. Saat dia mengingat-ingat kembali jalan ke pintu masuk rumah
sakit, dia melihat orangtua Clemensia berjalan bergegas ke arahnya dan
Coriolanus berhasil bersembunyi di balik pintu. Dia tidak tahu apa yang
diinformasikan kepada keluarga Dovecote, tapi dia tidak pingin bicara dengan me-
reka, apalagi dia belum tahu apa yang mau diceritakannya pada mereka.
Karena tidak ada cerita masuk akal yang bisa membebaskannya dari tuduhan
sebagai penyebab kondisi yang dialami Clemensia, membuatnya mustahil kembali
desyrindah.blogspot.com
ke sekolah.
Tigris akan pulang paling cepat pada saat makan malam, dan Grandma’am akan
ketakutan. Anehnya, dia merasa satu-satunya orang yang ingin dia ajak bicara
adalah Lucy Gray, gadis itu cerdas dan bisa menanggapinya dengan baik.
Kakinya melangkah ke kebun binatang sebelum dia mempertimbangkan
kesulitan-kesulitan apa yang bakal dihadapinya di sana. Dua Penjaga Perdamaian
bersenjata lengkap berjaga di pintu masuk, sementara yang lain berpatroli di
belakang mereka. Awalnya mereka mengusirnya, mereka mendapat perintah
untuk melarang siapa pun masuk ke kebun binatang. Tapi Coriolanus
menggunakan titelnya sebagai mentor, dan beberapa orang Penjaga Perdamaian
mengenalinya sebagai anak lelaki yang berusaha menolong Arachne. Kete-
narannya mampu meyakinkan mereka agar mau meminta pengecualian untuknya.
Penjaga Perdamaian menelepon Dr. Gaul, dan Coriolanus bisa mendengar tawa
kecil yang menjadi ciri khas Dr. Gaul di telepon, meskipun berjarak beberapa
meter dari tempatnya berdiri. Dia diizinkan masuk bersama Penjaga Perdamaian,
tapi tidak boleh berlama-lama.
Sampah dari bekas massa yang melarikan diri masih berserakan di jalur menuju
kandang monyet. Tikus-tikus berlarian, menggerogoti benda-benda yang
tertinggal berupa sisa-sisa makanan yang mulai membusuk sampai sepatu yang
tertinggal karena panik. Walaupun matahari bersinar terik, beberapa ekor rakun
berpesta, meraup remah makanan dengan kedua tangan kecil mereka. Seekor
rakun mengunyah bangkai tikus, memberi peringatan pada yang lain agar jangan
dekat-dekat dengannya.
“Ini bukan kebun binatang yang kuingat,” kata Penjaga Perdamaian. “Hanya ada
anak-anak di kandang dan hewan liar berlarian.”
Di beberapa tempat di sepanjang jalan, Coriolanus bisa melihat wadah-wadah
kecil berisi bubuk putih yang ditaruh di bawah batu atau di dekat dinding. Dia
ingat racun yang digunakan oleh Capitol pada masa pengepungan masa ketika
desyrindah.blogspot.com
Lucy Gray menggeleng. “Tidak. Akan kusimpan untuk Jessup. Dia sekutuku
sekarang.”
“Sekutumu?” Coriolanus bingung. Bagaimana peserta bisa bersekutu di Hunger
Games?
“Iya. Peserta dari Distrik Dua Belas akan bertahan bersama,” kata Lucy Gray.
“Dia mungkin bukan bintang jagoan, tapi dia kuat seperti kerbau.”
Dua potong biskuit sepertinya harga yang murah untuk membayar perlindungan
dari Jessup. “Aku akan membawakanmu makanan sebisaku dan secepat mungkin.
Sepertinya orang-orang akan diizinkan mengirim makanan ke arena. Sudah resmi
sekarang.”
“Baguslah kalau begitu. Lebih banyak makanan lebih baik.” Dia menyandarkan
kepalanya ke depan, menempel pada jeruji. “Dan, seperti katamu, masuk akal jika
aku bernyanyi. Bisa membuat orang-orang mau menolongku.”
“Pada saat wawancara,” kata Coriolanus. “Kau bisa menyayikan lagu lembah
lagi.”
“Mungkin.” Alisnya berkerut saat berpikir. “Mereka akan menayangkannya di
seluruh Panem, atau hanya di Capitol?”
“Seluruh Panem, sepertinya,” jawab Coriolanus. “Tapi kau takkan mendapat apa-
apa dari distrik-distrik.”
“Tidak berharap dari mereka. Bukan itu tujuannya,” kata Lucy Gray. “Mungkin
aku akan bernyanyi. Lebih baik kalau ada gitar atau alat musik lain.”
“Aku akan mencoba mencarikannya untukmu.” Keluarga Snow tidak punya alat
musik. Selain lagu kebangsaan yang dinyanyikan setiap hari oleh Grandma’am dan
lagu pengantar tidur dari ibunya dulu, tak banyak musik dalam hidupnya hingga
Lucy Gray hadir. Dia jarang mendengar siaran radio Capitol, yang biasanya
memutar lagu-lagu perjuangan dan propaganda. Semuanya terdengar sama di te-
linga Coriolanus.
“Hei!” Penjaga Perdamaian melambai padanya dari jalan setapak. “Kau terlalu
desyrindah.blogspot.com
Dua kali dia terpeleset saat berjalan keluar dari kebun binatang, membuat
Coriolanus sadar bahwa dia juga terlalu lelah untuk berpikir mencari solusi atas
segalanya. Sudah terlalu malam sekarang untuk membuat kepulangannya tidak
dicurigai, jadi dia langsung pulang ke apartemen. Malangnya, dia berpapasan
dengan teman sekelasnya Persephone Price, putri Nero Price yang terkenal, yang
pernah mempraktikkan kanibalisme dengan memakan pembantu mereka.
Akhirnya mereka berjalan bersama, karena mereka bertetangga. Persephone
mendapat tugas menjadi mentor Mizzen, anak lelaki tegap berusia tiga belas tahun
dari Distrik 4, demikian yang dipresentasikan di kelas ketika dia dan Clemensia
dipanggil ke luar kelas. Dia takut jika gadis itu menyinggung tentang proposal, tapi
untungnya Persephone masih terlalu terguncang atas kematian Arachne sehingga
tidak bisa bicara tentang hal lain. Biasanya, Coriolanus menghindari Persephone,
karena dia tidak bisa berhenti memikirkan apakah gadis itu tahu sup daging apa
yang dimakannya semasa perang. Ada masanya Coriolanus takut padanya, tapi
sekarang gadis itu hanya membuatnya jijik, meskipun bisa saja Persephone tidak
tahu apa-apa. Dengan lesung pipi dan mata berwarna hijau, Persephone termasuk
gadis paling cantik di angkatannya, mungkin secantik Clemensia… yah,
Clemensia sebelum dipatuk ular. Tapi dia jijik membayangkan mencium bibir
Persephone. Bahkan sekarang, ketika gadis itu memeluknya sambil menangis
sebagai salam perpisahan, yang terbayang olehnya adalah kaki manusia yang
terpotong.
Dengan susah payah Coriolanus menaiki tangga apartemen, pikirannya lebih
kelam daripada kenangan tentang pembantu malang itu terkapar di jalan karena
kelaparan. Berapa lama Lucy Gray mampu bertahan hidup? Gadis itu tidak kuat.
Lemah dan tidak fokus. Terluka dan patah semangat. Dan yang lebih parah,
perlahan-lahan kelaparan sampai mati. Besok, gadis itu mungkin tak sanggup
berdiri. Kalau dia tidak bisa menemukan cara untuk memberi makan, Lucy Gray
akan tewas sebelum Hunger Games dimulai.
desyrindah.blogspot.com
9
melapor langsung ke presiden. Dia akan bilang salah kami karena berbohong.”
Tigris tampak berpikir. “Baiklah. Jangan laporkan dia. Atau bertanya langsung
padanya. Usahakan untuk menghindarinya sejauh mungkin.”
“Sulit bagiku sebagai mentor. Dia sering datang ke Akademi untuk bermain
dengan mu kelinci dan menanyakan banyak pertanyaan sinting. Satu kata darinya
bisa memengaruhi kemungkinanku mendapat hadiah atau tidak.” Dia mengusap
wajahnya dengan kedua tangan. “Arachne tewas, Clemensia keracunan bisa ular,
dan Lucy Gray… itu cerita sedih lainnya. Aku tidak yakin dia bisa bertahan hingga
Hunger Games dimulai, dan mungkin itu demi kebaikannya juga.”
Tigris menyelipkan sendok ke tangan Coriolanus. “Makan supnya. Kita sudah
melewati yang lebih buruk daripada ini. Snow mendarat di puncak?”
“Snow mendarat di puncak,” kata Coriolanus tanpa rasa percaya diri sehingga
mereka berdua tertawa. Dia mulai merasa lebih normal. Dia menyantap beberapa
suap bakmi kuah demi menyenangkan hati Tigris, lalu dia sadar bahwa dia
ternyata kelaparan dan dengan cepat makanan itu pun habis.
Ketika Satyria menelepon lagi, Coriolanus nyaris menceritakan semua kejadian
hari itu. Namun, ternyata Satyria hanya ingin memintanya menyanyikan lagu
kebangsaan di pemakaman Arachne besok pagi. “Tindakan heroikmu, dipadukan
dengan kenyataan bahwa hanya kau satu-satunya siswa yang hafal lirik lagunya,
membuatmu jadi pilihan pertama di sekolah.”
“Tentu saja, aku merasa terhormat melakukannya,” jawab Coriolanus.
“Bagus.” Satyria terdengar menyeruput sesuatu, ada bunyi es dalam gelas di
seberang sana, lalu terdengar wanita itu menghela napas. “Bagaimana keadaan
pesertamu?”
Coriolanus ragu. Dia akan terdengar manja kekanak-kanakan, seakan tidak bisa
mengatasi masalahnya sendiri. Dia nyaris tak pernah meminta bantuan Satyria.
Akan tetapi, dia teringat pada Lucy Gray yang duduk menggelongsor ditimpa
beban rantainya dan Coriolanus pun tak bisa lagi berpikir panjang. “Tidak baik.
desyrindah.blogspot.com
Aku bertemu Lucy Gray hari ini. Cuma sebentar. Dia sangat lemah. Capitol sama
sekali tidak memberinya makan.”
“Belum makan sejak dia meninggalkan Distrik Dua Belas? Apa, kenapa? Sudah
berapa lama? Empat hari?” tanya Satyria, terkejut.
“Lima. Kurasa dia takkan bisa bertahan sampai Hunger Games. Aku takkan
punya peserta untuk dimentori.” katanya. “Banyak dari kami yang akan kehilangan
peserta.”
“Wah, itu tidak adil. Ini seperti menyuruhmu melakukan eksperimen dengan
peralatan yang rusak,” jawab Satyria. “Dan sekarang Hunger Games akan ditunda
satu atau dua hari.” Dia terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Coba kulihat apa
yang bisa kulakukan.”
Coriolanus menutup telepon lalu memandang Tigris. “Mereka mau aku
bernyanyi di pemakaman. Dia tidak menyinggung soal Clemensia. Mereka pasti
merahasiakannya.”
“Kalau begitu, kau juga harus merahasiakannya,” kata Tigris. “Mungkin mereka
berpura-pura bahwa semua ini tak pernah terjadi.”
“Mungkin mereka takkan memberitahu Dekan Highbo om,” katanya, ceria.
Lalu pemikiran lain menghantamnya. “Tigris? Aku baru ingat, aku tidak bisa
bernyanyi.” Dan entah bagaimana, pernyataan ini terdengar lucu.
Namun, bagi Grandma’am ini bukan urusan sepele, karena keesokan paginya dia
bangun subuh-subuh untuk mengajari Coriolanus bernyanyi. Pada setiap akhir
bait, neneknya menusuk pinggang Coriolanus dengan penggaris sambil berteriak,
“Napas!” sehingga mau tak mau Coriolanus mesti melakukannya. Untuk ketiga
kalinya dalam minggu itu, neneknya mengorbankan salah satu kesayangannya bagi
masa depan sang cucu, dengan menyematkan kuntum bunga mawar berwarna
biru muda ke jaket seragamnya yang sudah disetrika rapi, dan berkata, “Nah. Pas
dengan warna matamu.” Coriolanus terlihat rupawan. Dengan perut kenyang terisi
havermut dan pinggang lebam yang mengingatkannya untuk mengambil napas,
desyrindah.blogspot.com
menjadi saksi saat Capitol yang mulia menghadirkan keadilan bagi Panem.”
Genderang mulai berbunyi, lambat-lambat dan berat, sementara prosesi
pemakaman mulai berbelok di tikungan jalan. Walaupun tidak seluas jalan di
Corso, Scholars Road bisa menampung barisan Penjaga Perdamaian, yang berdiri
berderet bersisisan dalam formasi 20-40 dan melangkah serentak sesuai tabuhan
genderang.
Coriolanus penasaran ada strategi apa di balik keputusan Capitol memberitahu
distrik-distrik bahwa gadis Capitol dibunuh oleh peserta, tapi sekarang dia melihat
tujuannya. Di belakang barisan Penjaga Perdamaian ada truk panjang bak terbuka
dengan tiang derek terpasang di sana. Di tiang itu tergantung jasad anak
perempuan Distrik 10, Brandy, dengan tubuh penuh lubang bekas peluru. Sisa dua
puluh tiga peserta terbelenggu di bak truk, tampak kotor dan lunglai. Pendeknya
rantai belenggu itu membuat mereka tidak bisa berdiri, jadi mereka hanya
berjongkok atau duduk di lantai logam bak truk tersebut. Ini satu kesempatan lagi
untuk mengingatkan distrik-distrik bahwa status mereka lebih rendah
dibandingkan Capitol dan akan ada pembalasan jika mereka berani melawan.
Dia bisa melihat Lucy Gray berusaha bertahan dengan sisa harga dirinya, duduk
setegak mungkin dengan tangan dan kaki terbelenggu dan tatapan lurus ke depan,
mengabaikan mayat yang tergantung di atas kepalanya. Tidak ada gunanya. Debu,
belenggu, sorotan publik terlalu banyak yang harus diatasi gadis itu. Dia
berusaha membayangkan dirinya berada dalam kondisi tersebut, sampai dia me-
nyadari bahwa pasti itu juga yang dipikirkan Sejanus, dan dia berusaha kembali ke
kenyataan.
Satu batalion Penjaga Perdamaian mengikuti truk berisi para peserta, membuka
jalan untuk kereta kuda. Empat ekor kuda berhiaskan karangan bunga menarik
kereta penuh hiasan yang mengangkut peti mati putih yang juga berselimutkan
bunga. Di belakang peti mati, ada iringan keluarga Crane, yang berada di atas
kereta kuda dengan kusir. Setidaknya keluarga Crane masih sopan dengan menun-
jukkan sikap tidak nyaman. Prosesi itu berhenti ketika peti mati tepat berada di
desyrindah.blogspot.com
depan podium.
Dr. Gaul yang duduk di samping Presiden mendekati mikrofon. Coriolanus
menduga pasti ada kesalahan dengan membiarkan wanita itu bicara dalam momen
seperti ini. Tetapi, Dr. Gaul tidak sesinting biasanya dan dia tidak mengenakan
gelang ular pinknya, bahkan dia bicara dengan tegas dan jelas. “Arachne Crane,
kami, sesama warga Panem, bersumpah agar kematianmu tidak sia-sia. Ketika
salah satu dari kita disakiti, kita akan membalas sakitnya dua kali lipat. Hunger
Games akan tetap berlangsung, dengan komitmen dan semangat yang lebih besar
daripada sebelumnya. Kami juga akan menambahkan namamu dalam deretan
panjang nama korban-
korban yang tidak bersalah, yang tewas karena membela kebenaran dan keadilan.
Teman-temanmu, keluargamu, dan sesama warga negara memberi penghormatan
terakhir dan mempersembahkan Hunger Games Kesepuluh ini untuk
mengenangmu.”
Jadi Arachne yang banyak omong itu dianggap sebagai pembela kebenaran dan
keadilan. Ya, dia menyerahkan nyawanya karena mengejek pesertanya dengan
sandwich, pikir Coriolanus. Mungkin di nisannya bisa ditulis, “Korban kekonyolan
diri sendiri.”
Sederet Penjaga Perdamaian berselempang merah mengangkat senapan dan
melakukan tembakan salvo beberapa kali, lalu mereka mundur dan berjalan
hingga menghilang di tikungan.
Saat kerumunan massa berkurang, beberapa orang menganggap penderitaan
yang tampak di wajah Coriolanus adalah duka karena kematian Arachne, padahal
ironisnya dia merasa sedang membunuh gadis itu lagi. Dia merasa bisa membawa
diri dengan baik, sampai dia berpaling dan melihat Dekan Highbo om sedang
memandang iba padanya.
“Turut berduka cita atas kematian sahabatmu,” kata sang dekan.
“Juga siswa Anda. Ini hari yang sulit untuk kita semua. Tapi upacaranya sangat
desyrindah.blogspot.com
mengingatkannya. Dia tidak terlalu menyukai pemuda itu, tapi dia juga tidak mau
Sejanus dihukum.
“Yah,” kata Sejanus, meski tampaknya dia hanya bisa menyesap jus anggur.
Setelah makan siang selesai, Satyria mengumpulkan dua puluh dua mentor
untuk memberitahu mereka bahwa Hunger Games tetap berlangsung, dan akan
menjadi Hunger Games yang paling menggemparkan. Mereka harus mencamkan
hal ini, saat diantar menemui peserta mereka dalam tur menuju arena siang itu.
Acara akan disiarkan langsung ke seantero negeri, yang entah bagaimana mene-
gaskan maksud Dr. Gaul dalam sambutannya di upacara pemakaman. Kepala
Pengawas Permainan merasa memisahkan anak-anak Capitol dari anak-anak
distrik menyiratkan kelemahan, seakan mereka terlalu takut akan keberadaan
musuh mereka. Para peserta akan diborgol tapi tidak dibelenggu rantai. Para
penembak jitu anggota Penjaga Perdamaian akan bertugas sebagai bagian
kelompok yang mengawal mereka, tapi para mentor akan berdiri berdampingan
dengan peserta mereka.
Coriolanus bisa merasakan keengganan di antara teman-teman sekolahnya
beberapa orangtua siswa sudah menyampaikan keluhan tentang bobroknya
keamanan terhadap siswa setelah kematian Arachne tapi tidak ada seorang pun
yang bicara. Tak ada seorang pun yang mau tampak seperti pengecut. Dalam hati
Coriolanus berpikir semua ini berbahaya dan keliru apa yang bisa mencegah pe-
serta lain tidak melawan mentor mereka? tapi dia juga tidak menyatakan
pendapatnya. Ada bagian dalam dirinya yang bertanya-tanya jika Dr. Gaul
berharap ada kejadian kekerasan lagi sehingga dia bisa menghukum peserta lain,
mungkin kali ini ditayangkan secara langsung di depan kamera.
Sikap tak berperasaan yang ditunjukkan Dr. Gaul membuatnya merasa ingin
melawan. Dia melihat piring Sejanus. “Sudah selesai?”
“Aku tidak bisa makan hari ini,” kata Sejanus. “Aku tidak tahu mesti melakukan
apa.”
desyrindah.blogspot.com
akan dikunci di sana hanya dengan gudang senjata berisi banyak pisau, pedang,
palu gada, dan semacamnya untuk mempermudah pertumpahan darah yang
disaksikan penonton dari rumah. Pada akhir Hunger Games, mereka yang berhasil
selamat akan dikirim balik ke distrik mereka, mayat-mayat dipindahkan, senjata-
senjata dikumpulkan, dan pintu-pintu dikunci sampai tahun depan. Tidak ada
pemeliharaan. Tidak dibersihkan. Angin dan hujan akan menghapus noda darah,
tapi tangan Capitol tetap berlumuran darah.
Profesor Sickle, pendamping mereka untuk acara itu, memerintahkan para
mentor untuk meninggalkan barang mereka di van saat mereka tiba. Coriolanus
memasukkan serbet berisi makanan di saku depan celananya lalu menutupnya
dengan keliman jaketnya. Ketika mereka keluar dari tempat berpenyejuk udara
menuju matahari yang panas menyengat, dia melihat para peserta berdiri diborgol,
dijaga ketat oleh Penjaga Perdamaian. Para mentor diarahkan untuk berdiri di
samping pesertanya, yang berderet sesuai urutan distrik, jadi dia berdiri di ujung
dekat Lucy Gray. Hanya Jessup dan mentornya,
Lysistrata, yang bertubuh mungil, berdiri di belakangnya. Di depannya, peserta
Clemensia, Reaper yang pernah mencekiknya di truk berdiri melotot
memandangnya. Kalau untuk urusan pertikaian mentor-peserta, keberuntungan
tak ada di pihak Coriolanus.
Meskipun penampilannya lembut, Lysistrata memiliki keberanian. Dia anak
perempuan dari dokter yang merawat Presiden Ravinstill, dia beruntung
mendapat kesempatan sebagai mentor, dan dia tampaknya berusaha keras untuk
bisa dekat dengan Jessup. “Aku membawakanmu salep untuk lehermu.”
Coriolanus mendengarnya berbisik. “Tapi kau harus menyembunyikannya.”
Jessup mendengus patuh. “Aku akan menaruhnya di kantongmu saat ada
kesempatan.”
Para Penjaga Perdamaian mengangkat palang besi berat dari pintu masuk. Kedua
pintu raksasa terbentang membuka, memperlihatkan lobi besar yang penuh stan-
desyrindah.blogspot.com
Di ujung terjauh pintu putar, satu regu Penjaga Perdamaian berderap masuk
melalui lorong yang hanya diterangi cahaya merah lampu darurat di lantai. Di sisi
lain, ada tikungan sempit menuju level-level tempat duduk berbeda yang sudah
diberi tanda. Barisan peserta dan mentor menuruni tangga, diapit rapat oleh
pasukan Penjaga Perdamaian. Ketika mereka berjalan dalam ruangan gelap,
Coriolanus mengambil selembar kertas dari buku milik Lysistrata dan
menggunakan kesempatan itu untuk menyisipkan serbet berisi makanan ke kedua
tangan Lucy Gray yang terborgol. Dengan cepat serbet itu lenyap ke saku roknya.
Berhasil. Gadis itu takkan mati kelaparan dalam pengawasannya. Tangan Lucy
Gray meraih tangannya, jemari mereka bertaut dan membuat Coriolanus dag-dig-
dug karena tubuh mereka berdiri amat dekat. Ada keintiman kecil dalam ke-
gelapan ini. Dia menggenggam erat tangan Lucy Gray sebelum melepaskannya
ketika mereka melangkah menuju cahaya matahari di ujung lorong, dan apa yang
dilihatnya di sana sama sekali di luar dugaan.
Semasa kecil dia pernah datang ke arena ini, seringnya diajak orangtuanya
menonton sirkus, terkadang juga untuk melihat pawai arak-arakan militer di
bawah komando ayahnya. Selama sembilan tahun terakhir dia menonton
cuplikan-cuplikan Hunger Games di televisi. Namun, dia tidak siap merasakan
sensasi melangkah keluar dari gerbang utama, berdiri di bawah papan skor raksasa,
dan berjalan menuju lapangan. Beberapa mentor dan peserta melongo kaget
melihat betapa luasnya tempat ini dan kemegahan yang masih terasa bahkan
dalam kondisinya yang kini compang-camping. Saat memandang deretan bangku
penonton yang menjulang di atas sana, dia merasa tak berarti. Dia hanya sebutir
pasir di gurun, setetes air di lautan.
Dia tersadar saat melihat beberapa juru kamera, dan segera menenangkan
parasnya untuk menunjukkan bahwa seorang Snow tidak mudah dibuat terpukau.
Lucy Gray, yang lebih awas dan bergerak lebih mudah tanpa beban belenggunya,
melambai pada Lepidus Malmsey, tapi sama seperti reporter-reporter lain, dia
desyrindah.blogspot.com
menunjukkan wajah kaku dan tidak balas melambai. Arahan kepada mereka sudah
jelas; pembalasan dan hukuman adalah tema utama hari itu.
Satyria menggunakan istilah tur sehingga menyiratkan kegiatan ini berkaitan
dengan wisata melihat-lihat pemandangan. Meskipun tidak menantikan adanya
kegembiraan, Coriolanus juga tidak mengira ada kesedihan yang tampak jelas dari
tempat itu. Para Penjaga Perdamaian yang mengapit mereka bergerak menjauh
ketika anak-anak dengan patuh mengikuti kepala regu mengelilingi lapangan,
membentuk parade berdebu tanpa kegembiraan. Dia ingat pemain sirkus bergerak
dengan cara serupa, menunggang kuda-kuda dan gajah-gajah, berkelip-kelip dan
memancarkan kegembiraan. Selain Sejanus, mungkin semua teman-teman
sekolahnya yang lain pernah menjadi penonton di sini. Ironisnya, Arachne dulu
berada di boks tempat duduk di sebelahnya, memakai pakaian berpayet dan
berteriak riang sekeras-kerasnya.
Coriolanus memantau arena, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa jadi
keuntungan buat Lucy Gray. Tampaknya ada harapan pada dinding tinggi yang
menutupi lapangan, yang membuat penonton bisa mengamati pertunjukan dari
atas. Permukaan dindingnya yang tercungkil di sana-sini bisa jadi pegangan tangan
dan pijakan kaki, hingga pemanjat yang cekatan bisa mencapai tempat duduk
penonton di atas. Beberapa gerbang pagar yang diatur secara simetris di sekeliling
dinding juga tampak menjanjikan, tapi dia tidak yakin apa yang ada di
terowongan-terowongan di balik pagar, dan mereka harus hati-hati. Terlalu mudah
terperangkap di sana. Tempat duduk di atas adalah pilihan terbaik untuk gadis itu,
jika Lucy Gray bisa memanjat. Dia mengingat-ingat hal ini agar bisa
menyampaikannya pada Lucy Gray.
Saat barisan mulai menyebar, Coriolanus berbisik pada Lucy Gray. “Perasaanku
tidak enak tadi pagi. Melihatmu seperti itu.”
“Yah, setidaknya mereka memberi kami makan dulu,” jawabnya.
“Oya?” Dia penasaran apakah obrolannya dengan Satyria yang membuat mereka
desyrindah.blogspot.com
mendapat makanan?
“Beberapa anak jatuh pingsan saat mereka berusaha mengumpulkan kami tadi
malam. Menurutku, mereka memutuskan harus memberi kami makan jika masih
mau ada peserta yang tersisa untuk pertunjukan ini. Mereka memberi kami roti
dan keju. Kami mendapat makan malam, sarapan juga. Tapi jangan kuatir, masih
banyak tempat dalam kantongku.” Lucy Gray terdengar seperti gadis yang dulu
dikenalnya. “Tadi kau yang bernyanyi?”
“Oh. Ya,” Coriolanus mengaku. “Mereka memintaku bernyanyi karena mereka
pikir aku dan Arachne bersahabat akrab. Sebenarnya kami tidak dekat. Dan aku
malu kau mendengarku bernyanyi.”
“Aku suka suaramu. Kalau istilah ayahku, suaramu punya wibawa. Hanya saja
kau tidak terlalu peduli pada lagu yang kaunyanyikan,” kata Lucy Gray.
“Terima kasih. Pujian darimu sangat berarti buatku,” kata Coriolanus.
Lucy Gray menyikutnya. “Aku takkan mengatakannya keras-keras. Banyak orang
di sini yang menganggapku tidak bermoral.”
Coriolanus menggeleng lalu nyengir.
“Apa?” tanya Lucy Gray.
“Kau hanya punya ekspresi yang lucu. Tidak, bukan lucu. ‘Ber warna’ pada
hakikatnya adalah istilah yang lebih tepat,” kata Coriolanus padanya.
“Aku memang tidak pernah bilang ‘pada hakikatnya’, kalau itu yang kau maksud,”
Lucy Gray menggodanya.
“Tidak, aku menyukainya. Kau membuat caraku bicara terkesan kaku. Kau
bilang aku apa waktu hari pertama kita di kebun binatang? Sesuatu tentang kue?”
tanya Coriolanus.
“Oh, kue yang pakai krim? Kalian tidak tahu istilah itu?” tanyanya. “Itu pujian.
Di tempat asalku, kue biasanya kering. Dan krim itu langka seperti gigi ayam.”
Sejenak Coriolanus tertawa, lupa di mana mereka berada dan lupa betapa
menyedihkannya di sekeliling mereka. Sejenak, hanya ada senyum Lucy Gray,
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus tahu bom, dan bom membuatnya takut. Bahkan saat efek ledakan
membuatnya melayang dan melontarkan tubuhnya jauh ke dalam arena, dengan
kedua tangannya menutupi kepala. Ketika dia mendarat jatuh, secara otomatis dia
tiarap. Pipinya menempel di tanah, satu lengannya terangkat untuk melindungi
mata dan telinganya.
Ledakan pertama, yang tampaknya berasal dari gerbang utama, menimbulkan
ledakan berantai di sekeliling arena. Kabur melarikan diri bukanlah pilihan. Yang
bisa dia lakukan adalah bertahan di atas tanah yang bergetar, berharap ledakan
segera berhenti dan berusaha agar tidak panik. Dia memasuki tahap yang dijuluki
oleh dirinya dan Tigris sebagai “waktu bom”, periode sureal ketika momen demi
momen merentang dan berkontraksi dengan cara yang tampaknya mengingkari
sains.
Pada masa perang, Capitol memerintahkan setiap warga negara agar
membangun tempat perlindungan di dekat tempat tinggal mereka. Gedung megah
keluarga Snow memiliki lantai basemen kokoh dan luas yang bisa menampung
setengah warga blok. Sayangnya, sistem pengawasan Capitol amat tergantung pada
listrik. Dengan daya listrik yang tidak bisa diandalkan, yang terkadang nyala-mati
karena gangguan pemberontak di Distrik 5, akibatnya sirene tidak bisa
diandalkan, dan mereka sering tak keburu untuk berlindung ke basemen. Pada
masa-masa itu, dia, Tigris, dan Grandma’am kecuali ketika neneknya sedang
menyanyikan lagu kebangsaan akan berlindung di bawah meja makan di ruang
desyrindah.blogspot.com
tengah, benda megah yang terbuat dari batu marmer raksasa. Bahkan, meski tidak
ada jendela dan batu raksasa di atas kepalanya, otot-otot Coriolanus selalu
menjadi kaku ketakutan ketika mendengar desingan bom, dan butuh waktu
berjam-jam sebelum dia sanggup berjalan dengan baik. Jalan-jalan juga tidak
aman, termasuk Akademi. Bom bisa jatuh di mana saja, tapi biasanya dia memiliki
tempat berlindung yang lebih baik. Sekarang, di tempat terbuka dan tanpa ada
perlindungan dari serangan, dia menunggu jeda “waktu bom” berakhir dan ber-
tanya-tanya luka apa yang dialami organ dalamnya.
Tidak ada pesawat ringan. Kesadaran itu terbentuk dalam benaknya. Tidak ada
pesawat ringan. Artinya bom-bom itu ditanam, kan? Coriolanus bisa mencium
bau asap, jadi kemungkinan ada bom api. Dia menutup mulut dan hidungnya
dengan saputangan yang biasa dibawanya setiap hari. Dengan mata menyipit di
antara asap hitam yang semakin tebal karena debu di arena, dia bisa melihat Lucy
Gray sekitar lima meter jauhnya, meringkuk ketakutan. Dahinya di atas tanah dan
jari-jarinya menyumpal telinga, hanya itu yang bisa dilakukannya dengan kedua
tangan terborgol. Gadis itu terbatuk-batuk hebat.
“Tutup wajahmu! Pakai serbetnya!” seru Coriolanus. Lucy Gray tidak
menengok ke arahnya, tapi gadis itu pasti bisa mendengarnya, karena dia
berguling ke samping dan mengambil serbet dari kantongnya. Biskuit dan ayam
goreng jatuh ke tanah saat dia menutup wajahnya dengan kain itu. Samar-samar
Coriolanus berpikir bahwa keadaan ini tidak baik untuk kemampuan bernyanyi
Lucy Gray.
Kericuhan mereda sehingga Coriolanus berpikir bahwa serangan sudah
berakhir. Tetapi, ketika dia mengangkat kepala, ledakan terakhir di atasnya
menghancurkan stan yang dulunya stan makanan ringan gulali, apel-apel
berbalut karamel lalu serpihan-serpihan benda terbakar menghujaninya.
Sesuatu menghantam kepalanya dengan keras. Sebatang tiang berat menghantam
punggungnya, melintang diagonal, membuatnya tertahan di tanah.
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus kaget setengah mati, dan terbaring nyaris tak sadarkan diri. Bau
sengit benda terbakar menyengat hidungnya, dan dia menyadari tiang yang
menimpanya ternyata terbakar. Dia berusaha menarik dan melepaskan diri dari
tindihan tiang itu, tapi dunianya terasa berputar dan perutnya mual.
“Tolong!” teriaknya. Permohonan yang sama juga terdengar dari sekelilingnya,
tapi dia tidak bisa melihat siapa saja yang terluka dalam kabut asap. “Tolong!”
Api menghanguskan rambutnya, dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan
diri dari impitan tiang. Rasa sakit yang membakar mulai menyerang leher dan
bahunya dengan pemikiran bahwa dia akan tewas terbakar. Dia berteriak berkali-
kali, tapi tak ada seorang pun yang membantu dalam kepulan asap hitam dan
puing-puing yang terbakar. Kemudian dia melihat sosok yang berdiri dari kobaran
api. Lucy Gray memanggil namanya, sambil mencari-cari dirinya, sesuatu di luar
jarak pandang Coriolanus menarik perhatian gadis itu. Kaki Lucy Gray bergerak
menjauh beberapa langkah, lalu dia ragu, kelihatan gadis itu bimbang.
“Lucy Gray!” Coriolanus memohon dengan suara serak. “Tolong!”
Lucy Gray memandang bimbang sekali lagi ke arah yang tak bisa dilihat
Coriolanus, lalu berlari mendekatinya. Tiang yang menimpa punggungnya
terangkat sedikit, lalu jatuh menimpanya lagi. Pada usaha kedua, tiang itu
terangkat cukup tinggi untuk memberinya ruang agar bisa meloloskan diri dari
bawah tiang. Lucy Gray membantunya berdiri, lengan Coriolanus merangkul bahu
gadis itu, mereka berjalan tertatih-tatih menjauhi api lalu terjatuh di bagian tengah
arena.
Pada mulanya, suara batuk dan muntah menyerap perhatiannya, tapi perlahan-
lahan dia merasakan rasa sakit di kepalanya, lalu panas terbakar di leher,
punggung, dan bahunya. Entah bagaimana jemarinya menggenggam erat rok Lucy
Gray yang gosong, seakan hidupnya bergantung pada benda itu. Kedua tangan
Lucy Gray yang terborgol terlihat luka karena terbakar, meringkuk di dekatnya.
Asap sudah mereda sehingga dia bisa melihat pola rangkaian bom yang dipasang
desyrindah.blogspot.com
Membayangkan
Lysistrata selevel seperti Arachne membuatnya kesal.
“Dia hanya memberi satu pernyataan singkat kepada reporter setelah
pengeboman. Menurutku, dia mengatakan yang sebenarnya, Grandma’am,” kata
Tigris. “Mungkin orang-orang dari Distrik Dua Belas tidak seburuk yang
dikatakan orang-orang. Jessup dan Lucy Gray menunjukkan keberanian mereka.”
“Kau melihat Lucy Gray? Di televisi, maksudku. Apakah dia baik-baik saja?”
tanya Coriolanus.
“Aku tidak tahu, Coryo. Mereka belum memperlihatkan rekaman di kebun
binatang. Tapi namanya tidak ada dalam da ar peserta yang tewas,” kata Tigris.
“Masih ada korban selain dari Distrik Enam?” Coriolanus tidak mau terdengar
jahat, tapi mereka adalah pesaing Lucy Gray.
“Ya, beberapa peserta lain tewas setelah bom meledak,” kata Tigris padanya.
Kedua pasangan dari Distrik 1 dan 2 berhasil melarikan diri ke lubang ledakan
di dekat pintu masuk. Anak-anak Distrik 1 tewas ditembak, anak perempuan dari
Distrik 2 berhasil sampai ke sungai dan melompati dinding, tapi tewas terjatuh,
dan Marcus hilang, lenyap. Anak lelaki yang kuat dan berbahaya dari distrik kini
berkeliaran entah di mana di kota ini. Kemungkinan dia memasuki lubang got
yang terbuka ke jalur bawah tanah menuju Transfer, jaringan rel kereta api dan
jalan yang dibangun di bawah Capitol, tapi tak ada yang bisa memastikan
keberadaannya.
“Kurasa mereka melihat arena sebagai simbol,” kata Grandma’am. “Seperti yang
mereka lakukan semasa perang. Bagian terburuknya adalah Capitol butuh waktu
dua puluh detik sebelum memutus siaran ke distrik-distrik. Pasti mereka
merayakannya di sana. Dasar binatang.”
“Tapi, mereka bilang tidak banyak orang di distrik yang melihatnya,
Grandma’am,” sahut Tigris. “Orang-orang di sana tidak suka melihat tayangan
Hunger Games.”
desyrindah.blogspot.com
Tangannya terbalut dalam kain gendongan dan beberapa jahitan di pipinya kena
pecahan logam. Dia bilang kelas-kelas di Akademi ditunda, tapi siswa-siswa
diharuskan datang esok pagi untuk pemakaman Ring bersaudara. Festus terlihat
sedih menyebut nama si kembar, dan Coriolanus penasaran apakah dia akan lebih
berperasaan jika mereka melepaskan cairan infus mor n dari tubuhnya, yang
membuatnya tidak bisa merasa sedih ataupun bahagia. Satyria mampir membawa
kue kering, menyampaikan pesan semoga lekas sembuh dari guru-guru di
Akademi, dan memberitahunya bahwa pengeboman itu adalah kemalangan yang
tidak bisa dihindari, tapi bisa memperbesar peluangnya mendapat hadiah. Tidak
lama kemudian, Sejanus yang tidak terluka datang membawa tas sekolah
Coriolanus yang ditinggal di van dan setumpuk sandiwch daging panggang lezat
buatan ibunya. Dia tidak banyak bicara tentang pesertanya yang melarikan diri.
Terakhir, Tigris datang tanpa Grandma’am, yang beristirahat di rumah tapi
mengirimkan seragam bersih untuk dipakai Coriolanus saat pulang dari rumah
sakit nanti. Kalau ada kamera, neneknya mau Coriolanus menunjukkan
penampilan terbaik. Mereka berbagi sandwich lalu Tigris mengelus kepalanya
sampai dia tertidur, seperti yang dulu sering dilakukan Tigris saat Coriolanus sakit
kepala semasa kanak-kanak.
Saat seseorang membangunkannya pada tengah malam hari Selasa, dia pikir
perawat datang untuk memeriksa keadaannya, lalu dia melihat wajah Clemensia
yang rusak di hadapannya. Bisa ular, atau mungkin penangkal racunnya, membuat
kulit Clemensia yang cokelat keemasan terkelupas dan warna putih di matanya
berubah menjadi warna kuning telur. Tapi, yang lebih parah adalah kedutan tu-
buhnya, membuat wajahnya tampak meringis. Sesekali lidahnya terjulur keluar
dari mulutnya dan kedua tangannya berkedut kejang, bahkan ketika memegang
tangan Coriolanus.
“Sst!” desisnya. “Sebenarnya aku tidak boleh berada di sini. Jangan bilang pada
mereka aku kemari. Mereka bilang apa? Kenapa tak ada seorang pun yang datang
desyrindah.blogspot.com
hologram dirinya berdiri di belakang podium, yang awalnya agak kabur, lalu
perlahan menampilkan gambar yang jernih dan jelas. Orang-orang sering bilang
semakin hari dia semakin mirip ayahnya yang tampan, dan untuk pertama kalinya
dia benar-benar bisa melihatnya. Bukan hanya rahang dan rambutnya, tapi juga
sikap pembawaannya yang terhormat. Lucy Gray benar, suaranya terdengar
memiliki wibawa. Bisa dibilang, penampilannya mengagumkan.
Capitol menunjukkan usaha lebih baik daripada yang ditampilkan pada
pemakaman Arachne, dan Coriolanus merasa sudah selayaknya si kembar
mendapat kehormatan itu. Lebih banyak pidato, lebih banyak Penjaga
Perdamaian, lebih banyak spanduk. Dia tidak keberatan melihat si kembar dipuji,
bahkan secara berlebihan, dan berharap keduanya tahu bahwa hologramnya ikut
serta membuka acara. Jumlah peserta yang tewas bertambah, dua peserta dari
Distrik 9 meninggal karena luka-luka yang mereka derita. Tampaknya, dokter
hewan sudah melakukan yang terbaik, tapi berkali-kali permintaan sang dokter
untuk membawa pasien ke rumah sakit ditolak. Jasad-jasad yang hangus terbakar,
bersama sisa-sisa jasad para peserta Distrik 6, ditaruh di atas kuda-kuda dan diarak
di sepanjang Scholars Road. Dua peserta dari Distrik 1 dan anak perempuan dari
Distrik 2, dianggap pengecut karena telah berusaha melarikan diri, diseret di
belakang mereka. Kemudian disusul truk-truk berkandang yang pernah dinaiki
Coriolanus dalam perjalanan menuju kebun binatang, satu berisi anak-anak lelaki
dan satu lagi untuk anak-anak perempuan. Dia berusaha keras mencari Lucy Gray
tapi tidak bisa menemukannya, dan ini menambah kekuatirannya. Apakah gadis
itu terbaring tak berdaya di lantai, terluka dan kelaparan?
Saat peti mati berwarna perak tampak di layar televisi, yang terpikir oleh
Coriolanus adalah permainan konyol yang mereka mainkan di lapangan sekolah
semasa perang, namanya Mengelilingi Ring. Anak-anak akan mengejar Didi dan
Pollo lalu bergandengan tangan, membentuk lingkaran mengelilingi mereka,
membuat mereka tidak bisa keluar dari lingkaran. Di akhir permainan, mereka
desyrindah.blogspot.com
dari tempat tidur karena gelisah. Selama beberapa jam selanjutnya dia berjalan
mondar-mondar di apartemen, lalu menatap ke luar jendela, memandang Corso
dan melihat jendela-jendela tetangganya di seberang jalan. Entah kapan dan bagai-
mana caranya dia sudah berada di atap, di antara bunga-bunga mawar neneknya,
padahal dia tidak ingat menaiki tangga menuju taman. Udara malam yang segar
dengan wangi bunga membuat kegelisahannya berkurang, tapi tak lama kemudian
dia menggigil kedinginan dan lukanya terasa sakit lagi.
Tigris mendapati Coriolanus sedang duduk di dapur pada dini hari. Tigris
menyeduh teh dan mereka memakan sisa casserole langsung dari pancinya.
Lapisan-lapisan gurih berupa daging, kentang, dan keju melipur hatinya,
sementara Tigris dengan lembut mengingatkannya bahwa apa yang terjadi pada
Lucy Gray bukanlah kesalahannya. Bagaimanapun juga, mereka masih di bawah
umur, yang hidupnya diatur oleh kekuasaan di atas mereka.
Coriolanus merasa lebih tenang sesudahnya, dan berhasil tidur selama beberapa
jam sebelum telepon dari Satyria membangunkannya. Satyria memintanya datang
ke sekolah pagi itu kalau dia merasa sanggup. Ada jadwal pertemuan mentor-
peserta yang bertujuan untuk bekerja sama dalam menghadapi wawancara, yang
sekarang berdasarkan pengajuan diri secara sukarela.
Siang harinya di Akademi, ketika dia memandang Heavensbee Hall dari balkon,
keberadaan kursi-kursi kosong di sana membuatnya terguncang. Dalam
pikirannya dia tahu, delapan peserta sudah tewas dan satu hilang, tapi dia tidak
bisa membayangkan pengaruhnya pada pola tempat duduk 24 meja yang ada di
sana. Kini, susunan tempat duduk kacau dan berantakan. Tidak ada peserta sama
sekali dari Distrik 1, 2, 6, dan 9, dan hanya ada satu dari Distrik 10. Kebanyakan
para peserta yang tersisa kondisinya terluka dan tampak tidak sehat. Saat para
mentor bergabung dengan peserta, kehilangan itu semakin terasa. Enam mentor
tewas atau dirawat di rumah sakit, dan mentor yang kehilangan peserta dari
Distrik 1 dan 2 tidak perlu datang karena tak ada alasan lagi untuk hadir. Livia
desyrindah.blogspot.com
Cardew yang paling ribut mempermasalahkan rangkaian kejadian ini. Dia me-
minta peserta baru dibawa dari distrik atau mendapat Reaper sebagai gantinya,
anak lelaki yang dimentori Clemensia orang-orang mengira gadis itu sedang
dirawat di rumah sakit karena u. Permintaannya tidak dikabulkan, dan Reaper
duduk sendirian di mejanya, dengan perban ternoda darah kering di kepalanya.
Saat Coriolanus duduk di hadapan Lucy Gray, gadis itu tidak tersenyum sedikit
pun. Batuk kering membuat dadanya sakit dan jelaga bekas api masih menempel
di pakaiannya. Kemampuan dokter hewan yang merawat peserta melebihi harapan
Coriolanus, karena kulit di kedua tangan Lucy Gray tampaknya sudah membaik.
“Hai,” kata Coriolanus sambil mendorong sandwich selai kacang dan dua kue
kering dari Satyria ke seberang mejanya.
“Hei,” kata Lucy Gray serak. Gelagat persahabatan atau godaan di antara mereka
tidak terlihat. Dia menepuk sandwich itu, tapi tampak terlalu lelah untuk
memakannya. “Terima kasih.”
“Aku yang berterima kasih padamu karena telah menyelamatkanku.” Coriolanus
mengucapkannya dengan santai, tapi saat dia memandang mata Lucy Gray,
ketidakpeduliannya menjadi luluh.
“Kau bilang begitu ke orang-orang?” tanya Lucy Gray. “Bahwa aku
menyelamatkanmu?”
Coriolanus mengatakannya pada Tigris dan Grandma’am, dan karena tidak
yakin mesti berbuat apa dengan informasi itu, dia menyimpannya dalam hati saja.
Sekarang, dengan kursi-kursi kosong yang ada di sekeliling mereka, ingatan
tentang Lucy Gray yang telah menyelamatkannya di arena terngiang kembali. Dia
tidak bisa mengabaikan betapa berartinya upaya yang dilakukan gadis itu. Kalau
Lucy Gray tidak menolongnya, dia pasti sudah tewas. Terbaring dalam peti mati
berkilau dan bertabur bunga. Kursi yang didudukinya akan kosong. Saat
Coriolanus kembali bicara, dia harus menelan ludah dengan susah payah sebelum
berkata, “Aku memberitahu keluargaku. Sungguh. Terima kasih, Lucy Gray.”
desyrindah.blogspot.com
BAGIAN II
“HADIAH”
11
Kata-kata Lucy Gray menyakiti hati Coriolanus, tapi kalau dipikir-pikir lagi, dia
patut mendengarnya. Coriolanus tak pernah benar-
benar menganggap gadis itu sebagai pemenang di Hunger Games. Dia bahkan
tidak memiliki strategi untuk menjadikannya pemenang. Dia hanya berharap
pesona dan daya tarik Lucy Gray akan melekat padanya dan membuatnya sukses.
Saat Coriolanus meminta Lucy Gray bernyanyi untuk mendapat sponsor, sebenar-
nya itu usaha untuk memperpanjang perhatian gadis itu pada dirinya. Bahkan
barusan, kedua tangan Lucy Gray yang sudah pulih dari luka bakar adalah kabar
baik bagi Coriolanus karena gadis itu bisa bermain gitar pada malam wawancara,
bukan untuk membela diri dari serangan di arena. Kenyataan bahwa Lucy Gray
sangat berarti baginya, sebagaimana yang dikatakannya di kebun binatang, hanya
memperburuk keadaan. Seharusnya dia berusaha menyelamatkan nyawa Lucy
Gray, membantunya menjadi pemenang, sekecil apa pun kesempatan yang dia
miliki.
“Aku serius saat bilang kau adalah kue yang pakai krim,” kata Lucy Gray. “Kau
satu-satunya yang cukup peduli untuk datang. Kau dan sahabatmu Sejanus. Kalian
berdua bersikap seperti layaknya manusia. Tapi, satu-satunya cara agar kau bisa
membalas jasaku sekarang adalah membantuku selamat dari hal ini.”
“Aku setuju.” Langkah maju ini membuatnya merasa sedikit lebih baik. “Mulai
sekarang, kita bermain untuk menang.”
Lucy Gray mengulurkan tangan. “Janji?”
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus balas menjabat tangan gadis itu. “Aku berjanji.” Tantangan ini
membuatnya bersemangat. “Langkah pertama: Aku memikirkan strategi.”
“Kita memikirkan strategi,” Lucy Gray mengoreksi perkataannya. Tapi, gadis itu
tersenyum dan menggigit sandwich-nya.
“Kita memikirkan strategi.” Dia mulai berhitung. “Pesaingmu tersisa empat belas
orang, kecuali mereka menemukan Marcus.”
“Kalau kau bisa membantuku bertahan hidup selama beberapa hari, aku
mungkin bisa menang karena tinggal aku yang tersisa,” katanya.
Coriolanus memandang ke sekeliling aula, melihat peserta-
peserta yang sakit dan terluka serta terbelenggu, yang awalnya membuat dia
berbesar hati sampai dia melihat keadaan Lucy Gray juga tidak terlalu baik.
Namun, dengan tidak adanya lawan dari Distrik 1 dan 2, lalu Jessup yang
melindunginya, juga adanya program sponsor, kemungkinan Lucy Gray menang
jauh lebih besar daripada saat dia pertama kali tiba di Capitol. Mungkin, jika dia
bisa terus memberi Lucy Gray makan, gadis itu bisa lari dan bersembunyi di arena
sementara yang lain saling membunuh atau mati kelaparan. “Aku harus
menanyakan satu hal,” kata Coriolanus. “Kalau memang diperlukan, apakah kau
sanggup membunuh?”
Lucy Gray mengunyah makanannya sambil mempertimbangkan jawaban.
“Mungkin, kalau harus membela diri.”
“Ini Hunger Games. Semuanya membela diri,” kata Coriolanus. “Tapi, mungkin
yang terbaik bagimu adalah lari dari peserta-peserta lain, dan kita mendapat
sponsor makanan. Lalu kita menunggu.”
“Yeah, itu strategi yang lebih baik untukku,” Lucy Gray sependapat. “Bertahan
hidup dalam kondisi yang mengerikan adalah salah satu bakatku.” Sepotong kecil
roti kering membuatnya tersedak hingga batuk.
Coriolanus menyodorkan botol air yang dia ambil dari tas sekolahnya. “Mereka
masih akan melakukan wawancara, tapi sifatnya sukarela. Kau siap?”
desyrindah.blogspot.com
“Tentu saja! Aku sudah punya lagu yang pas untuk suara yang memabukkan ini,”
katanya. “Kau sudah mendapatkan gitar?”
“Belum. Tapi aku akan mendapatkannya hari ini,” Coriolanus berjanji. “Pasti ada
orang yang punya gitar dan bisa kupinjam. Kalau kita bisa mendapatkan sponsor,
kita punya peluang untuk menang.”
Lucy Gray bicara penuh semangat tentang lagu yang akan dinyanyi-
kannya. Mereka hanya mendapat jatah waktu sepuluh menit, dan pertemuan
singkat mereka berakhir saat Profesor Sickle memerintahkan para mentor kembali
ke lab biologi.
Penjagaan keamanan ditingkatkan, sehingga para Penjaga Perdamaian mengawal
mereka, lalu Dekan Highbo om mengabsen nama mereka saat duduk di
laboratorium. Mentor-mentor yang pesertanya tewas dan hilang, seperti Livia dan
Sejanus, sudah duduk di meja laboratorium memperhatikan Dr. Gaul
menjatuhkan wortel-wortel ke kandang kelinci. Coriolanus langsung berkeringat
saat melihat Dr. Gaul yang berada begitu dekat dan masih bersikap sinting.
“Wah, wah, wah, dapat hadiah atau hukuman? Semua orang sekarat dan
kalian…” Wanita itu memandang mereka menunggu jawaban, dan semua orang
kecuali Sejanus mengalihkan pandangan.
“Merasa muak,” kata Sejanus.
Dr. Gaul tertawa. “Ah, si anak baik hati. Di mana pesertamu, Nak? Ada petunjuk
keberadaannya?”
Capitol News tetap meliput pencarian terhadap Marcus, tapi tidak sesering
awalnya dulu. Pernyataan resminya adalah Marcus terperangkap di bagian
tersembunyi di Transfer, dan akan segera bisa ditangkap. Warga Capitol bisa hidup
tenang, mereka sepakat bahwa Marcus mungkin sudah tewas atau akan ditangkap
tidak lama lagi. Kemungkinan besar, Marcus lebih memilih kabur daripada keluar
dari Transfer untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah di Capitol.
“Mungkin sedang dalam perjalanan menuju kebebasannya,” kata Sejanus tegang.
desyrindah.blogspot.com
“Mungkin sudah tertangkap dan ditahan. Mungkin terluka dan bersembunyi. Aku
tidak tahu. Apakah Anda tahu dia di mana?”
Coriolanus mengagumi nyali Sejanus. Tentu saja, dia tidak tahu seberapa
berbahayanya Dr. Gaul. Kalau tidak mampu menjaga mulutnya, Sejanus bisa
berakhir di kandang dengan sepasang sayap burung parkit dan belalai gajah.
“Jangan, tidak usah dijawab,” kata Sejanus. “Dia mungkin sudah mati atau akan
mati saat Anda menangkapnya lalu merantainya, dan menyeretnya di jalan.”
“Itu hak kita,” sahut Dr. Gaul.
“Tidak, itu bukan hak kita! Aku tidak peduli apa yang Anda katakan. Anda tidak
berhak membuat orang kelaparan atau menghukum mereka tanpa alasan. Tidak
berhak merenggut hidup dan kebebasan mereka. Itu hak asasi manusia sejak lahir,
dan Anda tidak berhak merenggutnya. Memenangkan perang tidak memberi
Anda hak itu. Memiliki lebih banyak senjata tidak memberi Anda hak itu. Menjadi
orang Capitol juga tidak memberi Anda hak itu. Tak ada yang berhak. Oh, aku
tidak tahu kenapa aku datang kemari hari ini.” Setelah itu, Sejanus berdiri dan
berderap ke pintu. Saat dia berusaha memutar gagang pintu, gagang itu tak mau
bergerak. Dia menggoyang-
goyangkannya lalu bertanya pada Dr. Gaul. “Sekarang kami dikunci? Ini kandang
monyet untuk kami?”
“Kau belum diizinkan keluar,” kata Dr. Gaul. “Duduk, Nak.”
“Tidak.” Sejanus mengatakannya dengan suara pelan, tapi membuat beberapa
orang berdiri kaget.
Setelah lama terdiam, Dekan Highbo om turun tangan. “Pintunya dikunci dari
luar. Penjaga Perdamaian diperintahkan untuk menjaga kita agar tidak terganggu.
Duduklah.”
“Atau apakah kita perlu meminta mereka mengantarmu ke tempat lain?” tanya
Dr. Gaul. “Kurasa ada kantor ayahmu di dekat sini.” Jelas, meskipun Dr. Gaul
memanggilnya ‘Nak’, dia tahu siapa Sejanus sejak awal.
desyrindah.blogspot.com
Sejanus terbakar amarah dan rasa malu, hingga tidak mau atau tidak sanggup
bergerak. Dia hanya berdiri memandang Dr. Gaul, dan ketegangan di antara
mereka menyengat di udara.
“Ada kursi kosong di sampingku.” Kata-kata itu mendadak terucap dari mulut
Coriolanus.
Tawaran itu mengalihkan perhatian Sejanus, lalu dia tampak kehilangan
semangat. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan di antara kursi-kursi dan
duduk di samping Coriolanus. Satu tangannya memegangi tali tas sekolahnya erat-
erat, sementara tangan yang lain mengepal kuat di atas meja.
Coriolanus berharap Sejanus tutup mulut. Dia memperhatikan Dekan
Highbo om memandangnya dengan tatapan janggal lalu sang dekan
menyibukkan diri dengan membuka buku catatan dan tutup bolpoinnya.
“Kalian sedang emosi,” kata Dr. Gaul kepada murid-murid di kelas. “Aku paham.
Sungguh. Tapi kalian harus belajar memanfaatkan dan menahan emosi itu. Perang
dimenangkan dengan kepala, bukan dengan hati.”
“Kupikir perang sudah berakhir,” cetus Livia. Gadis itu juga tampak marah, tapi
bukan karena alasan yang sama seperti Sejanus. Coriolanus merasa Livia kesal
karena kehilangan pesertanya yang tegap.
“Kaupikir begitu? Setelah apa yang kaualami di arena?” tanya Dr. Gaul.
“Kupikir begitu,” Lysistrata menyela. “Dan kalau perang berakhir, secara teknis
pembunuhan seharusnya berakhir, ya kan?”
“Aku mulai berpikir bahwa perang takkan pernah berakhir,” kata Festus. “Distrik-
distrik akan selalu membenci kita, dan kita akan selalu membenci mereka.”
“Menurutku pendapatmu ada benarnya,” kata Dr. Gaul. “Mari kita pikirkan
sejenak bahwa perang adalah hal yang konstan. Kon iknya mungkin naik-turun,
tapi takkan pernah benar-benar berakhir. Lalu apa yang seharusnya jadi tujuan
kita?”
“Jadi maksud Anda, takkan ada yang jadi pemenang perang ini?” tanya
desyrindah.blogspot.com
Lysistrata.
“Mari kita anggap tidak ada pemenangnya,” kata Dr. Gaul. “Kalau begitu, apa
strategi kita?
Coriolanus menggigit bibirnya agar tidak menceploskan jawaban. Jelas sudah.
Terlalu jelas. Dia sadar, saran Tigris agar menghindari Dr. Gaul sangat tepat,
sekalipun dia mendapat pujian dari wanita itu. Seisi kelas mencerna pertanyaan
tersebut, sementara Dr. Gaul berjalan mondar-mandir di antara kursi-kursi hingga
akhirnya berhenti di depan meja Coriolanus. “Mr. Snow? Bagaimana pendapatmu
tentang apa yang harus kita lakukan dengan perang tanpa akhir ini?”
Coriolanus menenangkan diri dengan berpikir bahwa Dr. Gaul sudah tua dan
tak ada orang yang hidup selamanya.
“Mr. Snow?” desaknya. Coriolanus merasa seperti kelinci yang disodok-sodok
dengan batang besi. “Mau coba menebak jawabannya?”
“Kita mengendalikannya,” kata Coriolanus perlahan. “Kalau perang tidak
mungkin bisa diakhiri, maka selamanya kita harus mengendalikannya. Seperti
yang kita lakukan sekarang. Dengan Penjaga Perdamaian menduduki distrik-
distrik, dengan hukum yang ketat, dan mengingatkan semua orang siapa yang
berkuasa, seperti mengadakan Hunger Games ini. Dalam setiap kemungkinan
yang bisa terjadi, lebih baik kita berada di posisi yang lebih unggul, dengan
menjadi pemenang bukan menjadi yang tersungkur.”
“Meskipun dalam hal ini, jelas tidak bermoral,” gumam Sejanus.
“Tidak ada yang namanya tak bermoral saat kita harus membela diri,” tukas
Livia. “Dan siapa yang tidak mau jadi pemenang?”
“Aku tidak mau jadi salah satu di antaranya,” kata Lysistrata.
“Kalau kau pertimbangkan lagi, itu bukan pilihan,” Coriolanus mengingatkan
Lysistrata, “karena itu tidak menjawab pertanyaannya.”
“Kalau kau pertimbangkan lagi, ya, Casca?” ulang Dr. Gaul ketika berjalan
kembali ke depan. “Sedikit pertimbangan bisa menyelamatkan banyak jiwa.”
desyrindah.blogspot.com
Pada saat pintu di gang belakang terbuka, Boa Bell menggesekkan tubuhnya di
kaki Coriolanus dan mendengkur keras. Umur kucing itu tujuh belas tahun dan
giginya terlihat mengerikan. Dengan hati-hati dan penuh sayang, Pluribus
menggendong kucing itu ke pelukannya.
“Ah, dia selalu senang bertemu teman lama,” kata Pluribus, dan mengajak
Coriolanus masuk.
Kekalahan distrik-distrik tidak terlalu mengubah sistem perdagangan Pluribus,
karena mata pencahariannya masih berkaitan dengan penjualan barang di pasar
gelap, bahkan merambah ke barang-barang mewah. Minuman keras berkualitas,
riasan wajah, dan rokok masih sulit dicari. Distrik 1 perlahan-lahan mengalihkan
perhatian mereka untuk menyediakan kebutuhan Capitol, tapi tidak semua orang
punya akses untuk mendapatkannya, dan jika ada pun biasanya mahal. Keluarga
Snow tidak lagi menjadi pelanggan mereka, tapi sesekali Tigris datang menukar
kupon jatah makanan untuk membeli daging atau kopi, yang biasanya tak sanggup
mereka beli. Orang-orang mau membayar kemewahan dengan membeli sisa kaki
domba.
Pluribus dikenal mampu menyimpan rahasia, hingga Coriolanus tidak harus
berpura-pura kaya di hadapannya. Dia tahu kondisi keuangan keluarga Snow, tapi
tak pernah menggosipkannya atau membuat keluarga Snow merasa rendah diri.
Hari ini dia menuangkan segelas es teh untuk Coriolanus, memenuhi piringnya
dengan kue, dan menawarkan kursi untuk duduk. Mereka berbincang soal penge-
bomam dan bagaimana kejadian itu membangkingkan kenangan buruk tentang
perang, lalu obrolan beralih topik ke Lucy Gray, yang membuat Pluribus amat
terkesan.
“Kalau aku punya beberapa orang seperti dia, mungkin aku bakal berpikir untuk
membuka kembali kelabku,” kata Pluribus. “Oh, tentu saja aku tetap berdagang,
tapi aku bisa mengadakan pertunjukan pada akhir pekan. Sejujurnya, kita semua
sibuk saling membunuh sampai lupa bersenang-senang. Tapi, dia tahu caranya
desyrindah.blogspot.com
semua orang yang ada di dunia ini, ayahnya bersama Dekan Highbo om? Sang
dekan tak pernah menyinggung hal tersebut, meskipun Dekan Highbo om dan
ayahnya memang seumuran. “Kau bercanda, kan?”
“Oh, tidak. Mereka sepasang anak liar,” kata Pluribus. Namun, sebelum dia
sempat menjelaskan, ada pelanggan lain yang datang.
Dengan hati-hati, Coriolanus membawa barang berharga itu ke rumah dan
meletakkannya di meja rias. Tigris dan Grandma’am terkagum-kagum melihatnya,
dan dia tidak sabar melihat reaksi Lucy Gray. Apa pun alat musik yang dimiliki
Lucy Gray di Distrik 12, pasti tidak sebanding dengan milik Pluribus.
Kepala Coriolanus sakit sehingga dia memutuskan tidur pada saat matahari
terbenam, meski tidak bisa langsung terlelap. Otaknya sibuk membayangkan
hubungan antara ayahnya dan “si nakal Casca Highbo om.” Kalau mereka
berteman, seperti kata Pluribus, hubungan baik itu sudah luntur. Dia jadi berpikir
bahwa sedekat apa pun persahabatan sang ayah pada masa clubbing itu, hubungan
mereka tidak berakhir baik. Dia perlu mencari tahu tentang ini dan menanyak-
annya pada Pluribus sesegera mungkin.
Namun, tidak ada kesempatan. Beberapa hari ke depan Coriolanus sibuk
menyiapkan Lucy Gray untuk wawancara, yang dijadwalkan pada Sabtu malam.
Setiap pasangan mentor-peserta diberi ruangan kelas untuk berlatih. Dua Penjaga
Perdamaian tetap berjaga-jaga, tapi Lucy Gray sudah tidak diborgol dan
dibelenggu. Tigris memberikan baju lamanya untuk gadis itu, dan mengatakan ji-
ka Lucy Gray memercayainya, dia bisa mencuci dan menyetrika gaun pelangi
berumbai-rumbai itu agar bisa dipakainya pada saat siaran wawancara. Lucy Gray
ragu, tapi saat Coriolanus memberikan hadiah lain dari Tigris untuknya, sepotong
sabun berbentuk bunga beraroma lavendel, dia menyuruh Coriolanus berbalik
agar dia bisa berganti pakaian.
Cara Lucy Gray memegang gitar dengan penuh sayang seakan benda itu
bernyawa, membuat Coriolanus merasa masa lalu Lucy Gray benar-benar berbeda
desyrindah.blogspot.com
dengan masa lalunya. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa hidup gadis itu.
Lucy Gray menyetem gitar itu lebih dulu lalu memainkan lagu demi lagu, seakan
laparnya pada musik sama seperti laparnya pada makanan yang dibawakan
Coriolanus. Dia membawakan makanan sebanyak yang bisa dia sisakan dari
rumah, juga berbotol-botol teh manis yang diberi sirup jagung untuk
menyegarkan kerongkongan. Pita suaranya semakin membaik pada saat malam
yang dinantikan tiba.
e Hunger Games: Malam Wawancara ditayangkan langsung di hadapan
penonton dari auditorium Akademi dan disiarkan ke seantero Panem. Acara
dipandu oleh penyiar laporan cuaca Capitol TV yang kocak, Lucretius “Lucky”
Flickerman, yang tampil norak dan berlebihan tapi pada saat yang sama terasa
pantas, menjelang segala pembunuhan yang bakal terjadi. Lucky mengenakan jas
biru berkerah tinggi dengan hiasan berlian imitasi. Rambutnya yang diberi gel di-
taburi serbuk berwarna tembaga, dan suasana hatinya tampak ceria. Tirai di
belakang panggung adalah sisa kejayaan sebelum perang, menggambarkan langit
berbintang dan berkelap-kelip.
Setelah lagu kebangsaan berkumandang, Lucky menyapa penonton yang
menyaksikan Hunger Games konsep terbaru dalam sepuluh tahun terakhir, di
mana warga Capitol bisa berpartisipasi sebagai sponsor peserta pilihan mereka.
Dalam kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir, hasil terbaik yang
mampu dilakukan tim Dr. Gaul adalah menawarkan beberapa jenis makanan
utama yang bisa dikirimkan oleh sponsor kepada para peserta.
“Anda penasaran, apa untungnya buat Anda?” tanya Lucky. Kemudian dia
menjelaskan tentang taruhan, sistem sederhana yang menunjukkan kemenangan,
urutan, dan pilihan-pilihan yang tidak asing bagi mereka yang pernah memasang
taruhan pada balap kuda semasa sebelum perang. Siapa pun yang ingin mengirim
uang untuk memberi makan peserta, atau memasang taruhan atas peserta, hanya
perlu datang ke kantor pos, dan para petugas di kantor pos akan dengan senang
desyrindah.blogspot.com
hati membantu mereka. Mulai besok, kantor pos akan buka pukul delapan pagi
sampai delapan malam, memberi waktu bagi penonton untuk memasang taruhan
sebelum Hunger Games dimulai pada hari Senin. Setelah memperkenalkan
konsep baru dalam Hunger Games, Lucky hanya perlu membacakan kartu-kartu
catatan sesuai materi wawancara. Tetapi, beberapa kali dia mengeluarkan kemam-
puan sulapnya, seperti menuang anggur dengan warna berbeda dari botol yang
sama untuk bersulang pada Capitol, dan mengeluarkan burung merpati dari
lubang lengan jasnya.
Dari pasangan mentor-peserta yang berkesempatan berpartisipasi, hanya
setengah yang menampilkan atraksi. Coriolanus meminta untuk tampil terakhir,
menyadari bahwa tak seorang pun bisa bersaing dengan Lucy Gray, dan menjadi
penampil terakhir akan menyisakan efek pada penonton. Mentor-mentor lain
menceritakan latar belakang peserta dengan menambahkan kisah mengesankan,
lalu meminta penonton untuk menjadi sponsor mereka. Untuk menunjukkan
kekuatan Jessup, Lysistrata duduk diam di kursinya sementara pemuda itu
mengangkat kursi yang diduduki
Lysistrata hingga ke atas kepalanya dengan mudah. Io Jasper tampil dengan anak
lelaki Distrik 3 bernama Circ yang berkata bisa menyalakan api dengan
kacamatanya. Dengan kecerdasan pengetahuannya, Io Jasper menyarankan pada
Circ beberapa sudut dan waktu yang tepat untuk bisa mewujudkannya. Juno
Phipps yang sombong mengaku bahwa dia kecewa mendapatkan Bobbin yang
bertubuh kecil. Bukankah sebagai seorang dari keluarga Phipps, anggota keluarga
yang membangun Capitol, dia layak mendapatkan peserta yang lebih baik
daripada Distrik 8? Tapi, Bobbin membuat Juno terpukau saat anak lelaki itu
memberitahunya lima cara untuk membunuh dengan menggunakan jarum jahit.
Coral, anak perempuan Distrik 4 yang dimentori Festus, menunjukkan
kemampuanya menggunakan trisula, senjata yang biasanya ada di arena. Dia
mendemonstrasikannya dengan menggunakan sapu, mengayunkannya dengan
desyrindah.blogspot.com
masuk ke ranah yang amat pribadi dalam hidup Lucy Gray. Dia tahu hadiah demi
hadiah akan tercurah ke arena untuk gadis itu. Keberhasilan Lucy Gray, bahkan
pada saat ini, memantul pada dirinya, membuat ini sebagai keberhasilan
Coriolanus juga. Snow mendarat di puncak. Coriolanus tahu seharusnya dia
merasa bangga atas kesuksesan ini, dalam hati dia berjingkrak riang sementara
wajah dan pembawaannya tetap tenang dan rendah hati.
Namun, yang sesungguhnya dia rasakan adalah cemburu.
desyrindah.blogspot.com
12
“Dan terakhir tapi tak kalah pentingnya, gadis Distrik Dua Belas… milik Coriolanus
Snow.”
“Hasilnya akan berbeda kalau kau tidak punya gadis pelangi kecil itu.”
“Sejujurnya, kita semua sibuk saling membunuh sampai kita lupa bersenang-senang.
Tapi, dia tahu caranya bersenang-senang. Gadismu itu.”
Gadisnya. Miliknya. Di sini di Capitol, Lucy Gray adalah miliknya, seakan gadis
itu tidak punya kehidupan sebelum namanya dipanggil pada hari pemungutan.
Bahkan Sejanus yang sok suci itu percaya bisa menukar Lucy Gray dengan
pesertanya. Kalau itu bukan hak kepemilikan, mana mungkin Sejanus bisa
mengajukan ide tersebut? Dengan lagunya tadi, Lucy Gray telah menyangkal
segala bentuk kepemilikan itu dengan menunjukkan bahwa dia memiliki kehi-
dupan yang tidak ada kaitannya dengan Coriolanus, bahkan berkaitan erat dengan
orang lain. Orang lain yang disebutnya sebagai “kekasih”. Memang dia tidak punya
hak kepemilikan atas hati gadis itu lagi pula dia nyaris tidak mengenalnya! tapi
Coriolanus tidak suka ada orang lain yang mendapat tempat di hati Lucy Gray.
Meskipun lagu tadi nyata-nyatanya berhasil, entah bagaimana Coriolanus merasa
dikhianati. Bahkan merasa dipermalukan.
Lucy Gray berdiri dan membungkuk memberi hormat, lalu dia mengulurkan
tangan kepada Coriolanus. Setelah ragu sejenak, Coriolanus bergabung
dengannya di depan panggung sementara penonton bertepuk tangan sambil
berdiri. Pluribus berteriak meminta Lucy Gray bernyanyi lagi, tapi Lucky
desyrindah.blogspot.com
Dua lelaki Penjaga Perdamaian yang tiba di sisi Lucy Gray memperlakukannya
dengan keramahan yang berbeda sekarang, menanyakan apakah Lucy Gray sudah
siap dan mereka berusaha menahan senyum. Sama seperti para Penjaga
Perdamaian di Dua Belas. Coriolanus penasaran seramah apa Lucy Gray?
Coriolanus memandang tidak senang pada mereka, tapi tak ada gunanya karena
dia mendengar mereka memuji penampilan Lucy Gray saat membawa gadis itu
pergi.
Coriolanus menelan kejengkelannya dan menerima ucapan selamat dari banyak
orang. Mereka membantunya untuk mengingat lagi bahwa dialah bintang
sesungguhnya malam itu. Bahkan jika Lucy Gray melenceng dari tujuan utama
mereka, di mata Capitol gadis itu adalah miliknya. Perasaannya membuncah
senang sampai dia berpapasan dengan Pluribus yang bicara penuh semangat.
“Bakatnya luar biasa, alami sekali! Kalau dia bisa selamat, aku bertekad
menjadikannya bintang di kelabku.”
“Kedengarannya sulit. Bukankah mereka akan memulangkannya?” tanya
Coriolanus.
“Aku bisa minta bantuan di sana-sini,” kata Pluribus. “Oh, Coriolanus, bukankah
dia bintangnya? Aku bersyukur kau mendapatkannya, Nak. Keluarga Snow
memang beruntung.”
Orang tua bodoh yang memakai wig konyol dengan kucing renta. Tahu apa si
tua itu? Coriolanus hendak menjelaskan, saat Satyria muncul dan berbisik di
telinganya, “Kurasa kau dapat jagoannya,” dan Coriolanus pun terdiam.
Sejanus muncul, mengenakan jas baru sambil menggandeng wanita keriput
bertubuh kecil dengan gaun mahal berbunga-bunga. Semua orang bisa
memakaikan gaun pesta pada lobak, dan lobak itu tetap saja minta dibanting.
Coriolanus yakin ini pasti Ma.
Saat Sejanus memperkenalkan mereka, Coriolanus mengulurkan tangan dan
tersenyum hangat pada wanita itu. “Mrs. Plinth, senang bertemu Anda. Maa an
desyrindah.blogspot.com
dengan jelas, dan banyak hal yang dianggap hina bagi keluarga Snow, seperti juga
anggapannya terhadap lagu Lucy Gray. “Yah, itu maknanya bisa
macam-macam.” Apakah dia ingin tahu yang sebenarnya secara terperinci? Tidak.
Sejujurnya dia tidak mau tahu.
Ketika Coriolanus membuka pintu kaca gedung apartemen,
Tigris menjerit kaget. “Oh, ya ampun! Elevatornya berfungsi!”
Coriolanus ragu, karena benda itu sudah tidak berfungsi sejak awal masa perang.
Namun, pintu elevator terbuka dan cahaya lampu di dalamnya terpantul di
dinding-dinding kaca gerbong elevator. Dia lega karena perhatian mereka teralih,
lalu dia membungkuk, mengundang Tigris untuk masuk ke elevator. “Silakan.”
Tigris tergelak dan berjalan masuk ke gerbong layaknya wanita anggun yang
terhormat. “Terima kasih.”
Coriolanus masuk setelahnya, dan sejenak mereka hanya memandangi tombol-
tombol penujuk lantai. “Terakhir kalinya elevator ini berfungsi adalah setelah
pemakaman ayahku. Kita pulang naik elevator, dan setelah itu kita selalu pakai
tangga.”
“Grandma’am pasti senang,” kata Tigris. “Lututnya sudah tidak kuat untuk naik-
turun tangga.”
“Aku senang. Barangkali sesekali Grandma’am bisa keluar dari apartemen,” kata
Coriolanus. Tigris memukul lengannya sambil tertawa. “Sungguh. Bakal
menyenangkan kalau kita bisa di apartemen tanpa Grandma’am sebentar saja.
Mungkin kita tidak perlu mendengar lagu kebangsaan pada pagi hari, atau tidak
perlu memakai dasi saat makan malam. Tapi, bahaya juga kalau dia mulai bicara
dengan orang-orang. ‘Saat Coriolanus jadi presiden, setiap Selasa akan hujan sam-
panye!’”
“Mungkin orang-orang akan mengabaikannya karena dia sudah tua,” kata Tigris.
“Ya, mungkin saja. Baiklah, dipersilakan kepada yang mulia untuk menekan
tombolnya,” kata Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com
Tigris mengulurkan tangan dan menekan tombol menuju griya tawang. Pintu
elevator menutup tak lama kemudian tanpa ada bunyi derit, lalu mereka mulai
bergerak naik. ”Aku heran kenapa dewan pengurus apartemen memutuskan untuk
memperbaikinya sekarang. Pasti mahal biayanya.”
Coriolanus mengerutkan dahi. “Apakah menurutmu mereka memperbaiki
gedung ini dengan harapan bisa menjualnya? Kau tahu, kan, dengan adanya pajak
baru itu.”
Keceriaan di wajah Tigris langsung lenyap. “Mungkin saja. Aku tahu keluarga
Doli le berpikir untuk menjual apartemen mereka jika mendapat tawaran harga
yang cocok. Mereka bilang apartemennya terlalu besar untuk mereka, tapi kita
tahu bukan itu alasannya.”
“Apakah kita juga akan bilang begitu? Rumah warisan keluarga kita jadi terlalu
besar?” tanya Coriolanus ketika pintu elevator terbuka dan memperlihatkan pintu
depan apartemen mereka. “Ayo, aku masih ada pekerjaan rumah.”
Grandma’am sedang menunggu untuk melantunkan pujian-
pujian bagi Coriolanus dan mengatakan bahwa stasiun televisi memutar bagian-
bagian penting dari wawancara itu, berulang-ulang tanpa henti. “Dia anak yang
menyedihkan dan kampungan, gadismu itu, tapi anehnya menarik dengan gayanya
sendiri. Mungkin karena suaranya. Entah bagaimana suaranya merasuk ke dalam
hatimu.”
Jika Lucy Gray bisa memenangkan hati Grandma’am, Coriolanus merasa
seluruh negeri juga merasa seperti itu. Kalau yang lain tak merasa terusik dengan
masa lalu gadis itu, kenapa dia mesti resah memikirkannya?
Coriolanus mengambil segelas susu mentega, mengganti pakaiannya dengan
jubah sutra milik ayahnya, dan duduk untuk menulis tentang segala yang dia sukai
dari perang. Dia mulai menulis, Kata mereka, perang adalah penderitaan, tapi ada
pesona dalam perang. Baginya, kalimat pembuka itu terlihat cerdas, tapi dia tidak
bisa melanjutkannya, dan setengah jam kemudian tulisannya mandek. Seperti kata
desyrindah.blogspot.com
Festus, ini tugas yang sangat singkat. Tapi dia tahu itu tidak akan memuaskan Dr.
Gaul, dan usaha setengah hati hanya akan membuatnya mendapat perhatian yang
tak diinginkannya.
Saat Tigris masuk untuk mengucapkan selamat tidur, dia melempar topik itu
padanya. “Apakah kau ingat ada yang kita sukai dari perang?”
Tigris duduk di tepi ranjang dan memikirkannya. “Aku menyukai seragamnya.
Bukan seragam yang mereka pakai sekarang. Kau ingat jaket merah dengan hiasan
tali emas?”
“Saat parade?” Dia merasakan sensasi kegembiraan ketika mengingat momen di
jendela menunggu para tentara dan pasukannya berjalan berbaris. “Apakah aku
menyukai parade?”
“Kau sangat menyukainya. Kau tidak sabar melihat mereka sampai kami tidak
bisa menyuruhmu sarapan,” kata Tigris. “Kita selalu berkumpul pada hari-hari
parade.”
“Duduk di kursi barisan depan.” Coriolanus menulis kata seragam dan parade di
secarik kertas, lalu menambahkan kembang api. “Apa ada tontonan yang kusukai
semasa aku kanak-kanak?”
“Ingat soal kalkun?” tanya Tigris tiba-tiba.
Saat itu tahun terakhir perang, ketika gencatan senjata membuat Capitol
tersungkur dalam keputusasaan dan kanibalisme. Bahkan kacang kara pun sulit
dicari, dan sudah berbulan-bulan tidak ada daging di meja makan mereka. Untuk
meningkatkan semangat, Capitol mengumumkan tanggal 15 Desember sebagai
Hari Pahlawan Nasional. Mereka menayangkan acara spesial di televisi dan
memberikan penghormatan bagi puluhan warga Capitol yang tewas membela Ca-
pitol, salah satunya termasuk ayah Coriolanus, Jenderal Crassus Snow. Listrik
menyala tepat pada saat siaran televisi dimulai. Sehari sebelumnya listrik padam
sepanjang hari, sehingga mereka tidak bisa menyalakan penghangat udara. Mereka
berpelukan bersama di ranjang Grandma’am sambil menonton penghomatan
desyrindah.blogspot.com
kepada para pahlawan. Pada saat itu, ingatan Coriolanus pada ayahnya sudah me-
mudar. Meskipun dari foto dia tahu wajah ayahnya seperti apa, dia tetap terkejut
mendengar suara ayahnya yang dalam dan kata-katanya yang keras terhadap
distrik-distrik. Setelah lagu kebangsaan berkumandang, ketukan di pintu depan
membangunkan mereka dari ranjang. Di ambang pintu, berdiri tiga tentara muda
berseragam mengantar plakat peringatan dan keranjang berisi sepuluh kilogram
daging kalkun beku, hadiah dari negara. Untuk menunjukkan kemewahan ala
Capitol, di dalam keranjang juga terdapat selai mint yang botolnya berdebu,
sekaleng salmon, tiga batang permen nanas, spons mandi, dan lilin beraroma
bunga. Tentara-tentara itu menaruh keranjang di meja ruang depan, membacakan
pernyataan terima kasih, lalu pamit. Tigris langsung menangis terharu, dan
Grandma’am terduduk, sedangkan yang dilakukan Coriolanus adalah berlari dan
memastikan pintu sudah terkunci untuk melindungi kekayaan baru mereka.
Mereka makan salmon dengan roti panggang dan memutuskan agar keesokan
harinya Tigris di rumah saja tak usah ke sekolah untuk memikirkan cara memasak
kalkun itu. Coriolanus mengirim undangan makan malam yang ditulis di kertas
berlambang keluarga Snow kepada Pluribus, yang datang membawa sebotol
minuman posca dan sekaleng aprikot yang sudah penyok. Dengan bantuan buku
resep lama peninggalan Koki, Tigris berhasil membuktikan kemampuannya, dan
mereka menikmati kalkun dibalur selai mint dengan roti dan isian kubis. Mereka
tak pernah makan makanan selezat itu.
“Itu salah satu hari terbaik dalam hidupku.” Coriolanus tidak tahu kata yang
tepat untuk menjelaskannya, tapi akhirnya dia menulis lepas dari kemiskinan di
da ar itu. “Caramu memasak kalkun itu menakjubkan. Pada saat itu kau tampak
dewasa di mataku, padahal sesungguhnya kau masih kecil,” kata Coriolanus.
Tigris tersenyum. “Kau juga. Dengan taman kemenanganmu di atap.”
“Kalau kau suka peterseli, akulah orang yang kaucari!” Coriolanus tertawa. Dan
dia bangga dengan peterselinya. Bumbu itu menambah cita rasa sup, dan kadang-
desyrindah.blogspot.com
kadang dia membarternya dengan barang lain. Panjang akal, dia menuliskannya di
da ar itu.
Akhirnya Coriolanus melanjutkan menulis tugasnya sembari mengenang
kesenangan-kesenangan masa kecilnya. Tetapi setelah selesai, dia masih kurang
puas. Dia memikirkan kejadian beberapa minggu terakhir, dengan pengeboman di
arena, kematian
teman-teman sekelasnya, pelarian Marcus, dan bagaimana semua itu mem-
bangkitkan kembali kengerian yang dia rasakan saat Capitol diserang. Yang
terpenting saat itu, dan masih yang terpenting saat ini, adalah hidup tanpa rasa
takut. Jadi dia menambahkan satu paragraf tentang kelegaannya karena telah
memenangkan perang dan kepuasannya melihat musuh-musuh Capitol yang telah
memperlakukannya dengan kejam serta merenggut banyak hal dari keluarganya,
kini sudah jatuh tersungkur. Tak berdaya. Tertatih-tatih. Tak bisa melukainya lagi.
Dia menyukai perasaan aman yang berasal dari kekalahan distrik-distrik. Rasa
aman yang hanya bisa dihasilkan dari kekuasaan. Kemampuan untuk
mengendalikan banyak hal. Ya, itu hal yang paling disukainya.
Keesokan paginya, saat mentor-mentor yang tersisa berjalan masuk dengan
lunglai untuk pertemuan hari Minggu, Coriolanus berusaha membayangkan akan
jadi apa mereka jika tak ada perang. Mereka masih balita saat perang dimulai, dan
umur mereka delapan tahun saat perang usai. Meskipun masa-masa sulit sudah
berkurang, dia dan teman-teman sekelasnya masih jauh dari kemakmuran hidup
yang pernah ada saat mereka lahir. Dan membangun kembali dunia mereka terasa
lambat dan membuat mereka berkecil hati. Kalau dia bisa menghapus pembagian
ransum makanan dan pengeboman, kelaparan dan ketakutan, dan menukarnya
dengan kehidupan sejahtera yang dijanjikan pada mereka saat lahir, apakah dia
akan mengenal teman-temannya?
Coriolanus merasa bersalah saat pikirannya tertuju pada Clemensia. Dia belum
menjenguk gadis itu di tengah kesibukannya untuk memulihkan diri, pekerjaan
desyrindah.blogspot.com
rumah, dan menyiapkan Lucy Gray untuk Hunger Games. Sebenarnya bukan
karena dia tidak punya waktu. Dia tidak mau kembali ke rumah sakit dan melihat
kondisi Clemensia. Bagaimana kalau dokter itu berbohong dan sisik Clemensia
sudah menyebar ke sekujur tubuh? Bagaimana jika gadis itu sudah berubah
menjadi ular? Tidak masuk akal sebenarnya, tapi laboratorium Dr. Gaul sangat
mengerikan sehingga pikirannya pun jadi berlebihan. Paranoia menghantuinya.
Bagaimana jika orang suruhan Dr. Gaul menunggunya saat dia menjenguk
Clemensia agar mereka bisa memenjarakannya juga? Memang ini tidak masuk
akal. Kalau mereka mau menahannya, saat yang tepat adalah ketika dia dirawat di
rumah sakit. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa semua hanyalah pikiran
konyolnya. Saat ada kesempatan, Coriolanus akan ke rumah sakit menjenguk
Clemensia.
Dr. Gaul tampak jelas tipe manusia pagi, kebalikan dari Dekan Highbo om
mulai mengulas penampilan tadi malam. Coriolanus dan Lucy Gray unggul di atas
semuanya, meskipun poin diberikan bagi mentor yang berhasil membuat
pesertanya bersedia tampil di panggung untuk wawancara. Di Capitol TV, Lucky
Flickerman memberi informasi tentang bursa taruhan dari kantor pos pusat. Me-
reka menjagokan Tanner dan Jessup sebagai pemenang, tapi Lucy Gray mendapat
hadiah tiga kali lebih banyak daripada pesaing terdekatnya.
“Lihat orang-orang ini,” kata Dr. Gaul. “Mengirim makanan untuk gadis yang
patah hati, walaupun mereka tidak yakin dia bisa menang. Apa pelajaran yang bisa
kita petik di sini?”
“Di adu anjing, aku pernah lihat orang menjagokan anjing kampung yang berdiri
pun susah,” kata Festus. “Orang-orang menyukai mereka yang tak diperhitungkan
dan berhasil menjadi pemenang.”
“Lebih tepatnya, orang-orang menyukai lagu cinta,” kata
Persephone, sambil tersenyum menunjukkan lesung pipinya.
“Orang-orang bodoh,” gerutu Livia. “Gadis itu tidak bakal menang.”
desyrindah.blogspot.com
“Tapi banyak orang-orang yang romantis.” Pup mengedipkan mata pada Livia
dan membuat bunyi seperti orang berciuman. “Ya, gagasan romantis, gagasan
idealis, bisa sangat menarik. Ini sepertinya segmen yang bagus dalam esai kalian.”
Dr. Gaul duduk di bangku laboratorium. “Coba kulihat tulisan kalian.”
Bukannya mengumpulkan esai mereka, Dr. Gaul meminta mereka membacakan
isinya keras-keras. Teman-teman sekelas Coriolanus menyinggung beberapa poin
yang tak terpikir olehnya. Beberapa orang menyebut tentang keberanian para
tentara, dan adanya kesempatan mungkin suatu hari mereka bisa melakukan
tindakan heroik. Teman-temannya yang lain menyebut tentang ikatan yang ter-
bentuk antara para tentara yang berjuang bersama, serta adanya kehormatan
dalam membela Capitol.
“Rasanya kita menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar,” kata Domitia. Dia
mengangguk takzim, sampai kuncir ekor kuda di atas kepalanya bergoyang-
goyang. “Sesuatu yang penting. Kita semua berkorban, dan kita melakukannya
untuk menyelamatkan negara kita.”
Coriolanus merasa tidak terkoneksi dengan “gagasan romantis”, karena dia tidak
melihat pandangan romantis dari perang. Keberanian di medan perang sering
diperlukan karena perencanaan buruk dari orang lain. Dia tidak tahu apakah dia
mau menyabung nyawa demi Festus dan tidak kepingin mencari tahu. Dan apakah
mereka benar-benar percaya tentang gagasan mulia Capitol? Yang diinginkan
Coriolanus tidak berkaitan dengan kemuliaan, tapi tentang kontrol. Bukan berarti
dia tidak punya faktor moral yang kuat. Jelas, dia memilikinya. Tetapi, hampir
segala yang terjadi dalam perang, mulai dari pernyataan perang hingga parade
kemenangan, tampaknya hanya membuang-buang sumber daya. Dia memandang
jam dinding sambil pura-pura terlibat dalam percakapan, berharap waktu berlalu
agar dia tidak perlu membaca apa pun. Parade terdengar dangkal, daya tariknya
terhadap kekuasaan masih nyata, tapi terasa tak berperasaan dibandingkan ocehan
teman-temannya. Dan dia berharap tidak menulis bagian tentang menanam
desyrindah.blogspot.com
Setelah makan siang, Satyria mengajak para mentor ke kantor berita Capitol
News agar mereka bisa berkenalan dengan mesin penggerak Hunger Games di
belakang layar. Para Pengawas Permainan bekerja di ruangan-ruangan kantor yang
jorok. Walaupun ruang kendali muat menampung mereka, tapi tampak terlalu
kecil untuk acara tahunan rutin. Coriolanus agak kecewa melihat semua itu dia
membayangkan sesuatu yang lebih megah tapi para Pengawas Permainan
bersemangat dengan adanya elemen-elemen baru dalam Hunger Games tahun ini
dan terus berceloteh tentang komentar mentor dan partisipasi sponsor. Ruangan
itu terasa sesak ketika mereka memeriksa kamera-kamera yang dioperasikan
secara jarak jauh, yang merupakan peralatan tetap sejak tempat itu masih jadi are-
na olahraga. Enam orang Pengawas Perdamaian sibuk menguji drone-drone
mainan yang akan digunakan untuk mengirim hadiah-hadiah dari sponsor. Drone
itu bisa mencari penerima hadiah dengan teknologi pengenalan wajah dan bisa
membawa hanya satu barang setiap kali terbang.
Berkat keberhasilannya memandu wawancara di televisi, Lucky Flickerman
diminta menjadi pembawa acara didukung tim reporter Capitol News. Coriolanus
girang melihat dia dijadwalkan pukul 08.15 besok pagi, sampai Lucky berkata,
“Kami ingin memastikan kau sudah siap pagi-pagi. Yah, kau tahu kan, sebelum
gadismu percaya dia bisa menang.”
Coriolanus merasa ulu hatinya seperti kena tonjok. Livia memang sengit dan Dr.
Gaul jelas sinting, jadi dia bisa mengabaikan mereka saat mengatakan bahwa Lucy
Gray bukan tandingan. Namun, kata-kata Lucky Flickerman dengan penampilan
absurdnya langsung mengenai sasaran. Ketika dia berjalan pulang ke apartemen
untuk menyiapkan pertemuan terakhirnya dengan Lucy Gray, dia merenungkan
kemungkinan bahwa gadis itu akan tewas besok. Segala perasaannya kemarin
malam, cemburu pada pecundang yang menjadi kekasih Lucy Gray dan kualitas
bintang Lucy Gray yang menerangi dirinya, lenyap sudah. Dia merasa amat dekat
dengan Lucy Gray, gadis yang masuk ke dalam hidupnya secara tak terduga dan
desyrindah.blogspot.com
memancarkan pesona. Dan itu bukan karena penghargaan yang diberikan gadis
itu padanya. Coriolanus sungguh-sungguh menyukai Lucy Gray, yang tak pernah
dia rasakan pada gadis-gadis yang dikenalnya di Capitol. Jika Lucy Gray selamat
oh, ini hanya berandai-andai bagaimana caranya agar mereka bisa memiliki
hubungan jangka panjang? Walaupun berusaha positif, dia tahu keberuntungan ti-
dak memihak Lucy Gray, sehingga kemurungan pun melandanya.
Di rumah, dia berbaring di tempat tidur, takut mengucapkan selamat tinggal.
Dia berharap bisa memberi Lucy Gray sesuatu yang indah yang bisa benar-benar
menunjukkan rasa terima kasihnya. Sesuatu yang menunjukkan nilainya.
Kesempatan untuk bersinar. Hadiah yang berharga. Dan, tentunya, punya makna
dalam hidupnya. Benda itu haruslah sesuatu yang sangat spesial. Berharga. Benda
yang merupakan miliknya sendiri, bukan seperti bunga mawar, yang
sesungguhnya adalah milik Grandma’am. Kalau keadaan memburuk di arena,
Lucy Gray bisa memegang benda itu, sebagai pengingat bahwa Coriolanus
bersamanya, dan semoga bisa membawa kedamaian bahwa gadis itu tidak
sendirian di akhir hidupnya. Ada syal sutra berwarna oranye tua yang mungkin
bisa mengikat rambutnya. Pin emas berukir nama Coriolanus, yang dia
menangkan atas prestasi akademisnya. Mungkin sejumput rambutnya yang diikat
pita? Apa lagi hadiah yang lebih personal daripada itu?
Mendadak, dia merasakan gelombang amarah. Apa gunanya semua barang itu
kalau Lucy Gray tak bisa menggunakannya untuk membela diri? Hadiah-hadiah
semacam itu seperti berusaha menghias mayat agar terlihat cantik. Mungkin dia
bisa mencekik lawan dengan syal, atau menusuk mereka dengan pin? Tapi kalau
soal senjata, Lucy Gray takkan kekurangan senjata di arena.
Coriolanus masih memikirkan hadiah saat Tigris memanggilnya untuk makan
malam. Tigris membawa pulang daging giling lalu mengolahnya menjadi empat
daging burger dan menggorengnya. Daging untuk Tigris terlihat jauh lebih kecil,
yang sebenarnya hendak diprotes Coriolanus, tapi dia tahu sepupunya itu selalu
desyrindah.blogspot.com
mencamil daging yang belum dimasak saat menyiapkan makanan. Satu daging
burger disisakan untuk Lucy Gray, diberi tambahan taburan dan diapit roti besar.
Tigris juga menyiapkan kentang goreng dan selada kubis dengan krim, dan
Coriolanus memilih buah-buahan dan manisan terbaik dari keranjang hadiah yang
dia dapat ketika dirawat di rumah sakit. Tigris menaruh serbet linen sebagai alas
kotak kardus kecil berhiaskan bulu-bulu ayam berwarna cerah dan menata ma-
kanan untuk Lucy Gray, lalu menghias penutup kain putih dengan kuntum bunga
mawar milik Grandma’am. Coriolanus memilih paduan warna kuning dan merah
tua, karena kaum Pengembara, terutama Lucy Gray, sangat menyukai warna.
“Beritahu dia,” kata Tigris, “aku menjagokannya.”
“Beritahu dia,” imbuh Grandma’am, “kami semua sedih dia harus mati.”
Setelah menikmati udara malam hari yang sejuk dan hangat sisa matahari,
Heavensbee Hall yang dingin mengingatkan Coriolanus pada makam keluarga
Snow, tempat peristirahatan terakhir kedua orangtuanya. Aula yang besar itu sepi
dari murid-murid dan keriuhannya, sehingga langkah kaki bahkan desahan pun
bergema keras, menimbulkan perasaan ngeri dalam pertemuan yang sudah muram
ini. Tak ada lampu yang dinyalakan, hanya seberkas cahaya matahari menjelang
malam mengintip lewat jendela, sangat kontras dengan terangnya cahaya pada
pertemuan-pertemuan mereka sebelum ini. Saat mentor-mentor yang tersisa
berkumpul di balkon sambil mengamati pasangan mereka di bawah, keheningan
mencekam di antara mereka.
“Masalahnya adalah,” Lysistrata berbisik pada Coriolanus, “aku telanjur dekat
dengan Jessup.” Gadis itu terdiam sesaat, menata kembali letak bakmi panggang
dan kejunya. “Dia menyelamatkan nyawaku.” Coriolanus penasaran apa yang
dilihat Lysistrata, yang berada paling dekat dengannya dibanding mentor lain, saat
bom meledak. Apakah dia melihat Lucy Gray menyelamatkannya? Apakah gadis
itu menyindirnya?
Saat mereka berjalan menuju meja masing-masing, Coriolanus berusaha keras
desyrindah.blogspot.com
untuk berpikir positif. Tak ada gunanya menghabiskan sepuluh menit terakhir
mereka bersama dengan menangis padahal mereka bisa merancang strategi untuk
menang. Kondisi Lucy Gray terlihat lebih baik dibanding beberapa pertemuan
mereka sebelumnya di aula. Dia kelihatan bersih dan rapi, pakaiannya masih ter-
lihat bagus dalam remang-remang cahaya, sehingga dia kelihatan seperti siap ke
pesta bukan ke pembantaian. Mata Lucy Gray berbinar melihat kotak yang dibawa
Coriolanus.
Coriolanus mempersembahkan kotak yang dibawanya sambil membungkuk.
“Aku datang membawa hadiah.”
Lucy Gray mengambil bunga mawar dengan gaya anggun dan menghirup
aromanya. Dia mencabut sehelai kelopak mawar dan menyelipkannya di antara
bibir. “Rasanya seperti waktunya tidur,” katanya sambil tersenyum sedih. “Betapa
indahnya kotak ini.”
“Tigris menyimpannya untuk acara spesial,” kata Coriolanus. “Makanlah kalau
kau lapar. Mumpung masih hangat.”
“Ya, aku akan makan. Makanan terakhir yang kusantap selayaknya manusia
beradab.” Dia membuka serbet penutupnya dan mengagumi isi kotak itu. “Oh,
makanan ini terlihat lezat.”
“Aku bawa banyak, kau bisa membaginya dengan Jessup,” kata Coriolanus.
“Walaupun kulihat Lysistrata juga membawakannya makanan.”
“Aku mau saja membaginya, tapi Jessup sedang mogok makan.” Lucy Gray
memandang Jessup dengan tatapan kuatir. “Mungkin cuma tegang. Tingkahnya
juga aneh. Dan segala ucapan sinting keluar dari mulut kami saat ini.”
“Contohnya apa?” tanya Coriolanus.
“Contohnya tadi malam Reaper minta maaf pada kami satu per satu karena
harus membunuh kami,” Lucy Gray menjelaskan. “Dia bilang akan membalas jasa
kami saat dia menang. Dia akan membalas dendam pada Capitol, walaupun bagian
itu tidak sejelas bagian dia akan membunuh kami.”
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus melirik cepat ke arah Reaper, yang tidak hanya kuat secara sik tapi
juga pandai memengaruhi pikiran lawan. “Apa reaksi peserta lain mendengar
omongan Reaper?”
“Kebanyakan cuma memandanginya. Jessup meludahi matanya. Aku bilang
belum berakhir sampai mockingjay bernyanyi, tapi dia malah kelihatan bingung.
Kurasa, begitu cara Reaper memahami semua ini. Kami semua terguncang. Tidak
mudah… mengucapkan selamat tinggal pada hidup kita.” Bibir bawah Lucy Gray
mulai bergetar, dan dia mendorong sandwich-nya tanpa memakannya sedikit pun.
Merasa bahwa percakapan mereka jadi membahas kematian, Coriolanus
mengubah topik. “Untungnya kau tak perlu berpikir seperti itu. Untungnya kau
mendapat hadiah tiga kali lebih banyak daripada peserta lain.”
Alis Lucy Gray terangkat. “Tiga kali lipat?”
“Tiga kali lipat. Kau akan memenangkannya, Lucy Gray,” kata Coriolanus. “Aku
sudah memikirkannya. Pada saat mereka membunyikan gong, kau harus berlari.
Berlarilah secepat mungkin. Naik ke bangku penonton dan jaga jarak sejauh
mungkin dari peserta-peserta lain. Cari tempat persembunyian yang bagus. Aku
akan mencarikanmu makanan. Lalu kau pindah ke tempat persembunyian lain.
Tetap bergerak dan berpindah, dan tetap hidup sampai yang lain saling
membunuh atau mati kelaparan. Kau bisa melakukannya.”
“Bisakah aku melakukannya? Aku tahu, aku yang mendesakmu agar percaya
padaku, tapi tadi malam aku berpikir tentang berada di arena. Terperangkap.
Dengan semua senjata itu. Reaper mengejarku. Aku merasa lebih punya harapan
pada siang hari, tapi saat sudah gelap, aku takut aku akan…” Tiba-tiba, air mata
mulai mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya, Lucy Gray tidak bisa menahan
tangis. Pada saat di panggung setelah wali kota menamparnya atau saat Coriolanus
memberinya puding roti, dia hampir menangis, tapi bisa menahan agar air
matanya tidak sampai jatuh. Sekarang, seakan pertahanannya jebol, dan air mata
mengalir seperti air bah.
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus merasakan sesuatu dalam dirinya terburai ketika melihat Lucy Gray
tak berdaya, dan dia juga merasakan ketidakberdayaan itu. Dia meraih tangan
gadis itu. “Oh, Lucy Gray…”
“Aku tidak mau mati,” bisiknya.
Jemarinya menghapus air mata di pipi Lucy Gray. “Tentu saja kau tidak akan
mati. Aku takkan membiarkannya.” Lucy Gray masih terisak. “Aku takkan
membiarkanmu mati, Lucy Gray!”
“Seharusnya kau biarkan saja aku mati. Aku hanya jadi masalah buatmu,” kata
Lucy Gray menahan tangis. “Aku membahayakan nyawamu dan menghabiskan
makananmu. Dan aku tahu kau benci lagu baladaku. Besok kau akan senang
karena aku bakal mati.”
“Aku akan hancur besok! Saat kubilang kau berarti bagiku, maksudku bukan
sebagai pesertaku. Maksudku sebagai dirimu. Kau, sebagai Lucy Gray Baird.
Sebagai sahabatku. Sebagai…” Apa kata yang tepat? Kekasih? Pacar? Dia tidak bisa
bilang lebih dari sekadar naksir, dan mungkin perasaannya bertepuk sebelah
tangan. Tapi, apa ruginya Coriolanus mengakui bahwa gadis itu sudah mengambil
hatinya? “Aku cemburu setelah mendengar baladamu, karena aku mau kau
memikirkanku, bukan seseorang dari masa lalumu. Aku tahu, ini terdengar bodoh.
Tapi, kau gadis paling luar biasa yang pernah kukenal. Sungguh. Luar biasa dalam
segalanya. Dan aku…” Air mata mengambang di matanya, dan Coriolanus
mengerjap agar air matanya tidak jatuh. Dia harus tetap tegar untuk mereka
berdua. “Dan aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku menolak kehilanganmu. Ku-
mohon, jangan menangis.”
“Maa an aku. Maa an aku. Aku tidak akan menangis. Aku hanya… aku merasa
sendirian,” kata Lucy Gray.
“Kau tidak sendirian.” Coriolanus menggenggam tangannya. “Dan kau tidak
akan sendirian di arena; kita akan bersama. Aku akan bersamamu sepanjang saat.
Aku takkan berhenti mengawasimu. Kita akan memenangkan ini bersama-sama,
desyrindah.blogspot.com
Lucy Gray langsung paham. Matanya memandang cepat ke arah para Penjaga
Perdamaian yang tidak terlalu memperhatikan mereka, lalu dia mendekat dan
menghirup isi kotak itu. “Hm, kau masih bisa menciumnya. Menyenangkan.”
“Seperti mawar,” kata Coriolanus.
“Seperti dirimu,” kata Lucy Gray. “Rasanya seperti kau benar-benar bersamaku.”
“Ambillah,” kata Coriolanus. “Bawa aku bersamamu. Bawa ini.”
Lucy Gray menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Oke, tapi ini barang
pinjaman.” Dia mengambil kotak bedak itu, menyelipkannya ke saku, dan
menepuknya. “Pikiranku jadi lebih jernih. Entah bagaimana, pemikiran bahwa aku
akan menang Hunger Games terasa jauh di luar jangkauanku. Tapi kalau aku
bilang, ‘Aku harus mengembalikan ini ke Coriolanus,’ rasanya aku sanggup mela-
kukannya.”
Mereka lanjut mengobrol tentang tata letak arena dan di mana saja tempat
persembunyian terbaik. Lucy Gray sudah melahap setengah sandwich dan
menghabiskan buah persik saat Profesor Sickle meniup peluit. Coriolanus tidak
tahu awal kejadiannya, tapi yang pasti mereka berdua berdiri, sama-sama bergerak
maju, karena gadis itu tiba-tiba sudah berada dalam pelukannya. Kedua tangan
Lucy Gray menggenggam bagian depan kemeja Coriolanus, sementara dia men-
dekapnya.
“Hanya kau yang akan kupikirkan di arena itu,” bisik Lucy Gray.
“Bukan cowok di Dua Belas?” tanya Coriolanus setengah bercanda.
desyrindah.blogspot.com
“Tidak, dia sudah membunuh segala perasaan yang kumiliki untuknya,” katanya.
“Satu-satunya pemuda yang punya tempat di hatiku sekarang adalah kau.”
Kemudian Lucy Gray menciumnya. Bukan kecupan ringan. Tapi ciuman
sungguhan di bibir, hingga Coriolanus bisa merasakan aroma bedak dan buah
persik. Rasa bibir Lucy Gray lembut dan hangat di bibir Coriolanus, membuat
sekujur tubuhnya bagai tersetrum. Bukannya menarik diri, Coriolanus malah
memeluknya semakin erat saat rasa dan sentuhan gadis itu membuatnya
melayang. Jadi seperti ini rasanya! Seperti ini rasanya mabuk kepayang! Ketika
akhirnya mereka melepaskan pelukan, Coriolanus menghela napas dalam-dalam,
seakan baru naik ke permukaan air. Lucy Gray membuka matanya, dan tatapannya
menunjukkan perasaan yang sama seperti yang dirasakan Coriolanus. Mereka
bersama-sama maju untuk berciuman sekali lagi sebelum para Penjaga Perdamaian
menarik Lucy Gray dan membawanya pergi.
Festus menyikut Coriolanus ketika berjalan keluar dari aula. “Perpisahan yang
dahsyat tadi.”
Coriolanus mengangkat bahu. “Bagaimana ya? Daya tarikku susah ditolak.”
“Kurasa begitu,” jawab Festus. “Aku berusaha menepuk bahu Coral untuk
memberinya semangat dan dia hampir mematahkan pergelangan tanganku.”
Ciuman itu membuat Coriolanus melayang. Pasti dia sudah melanggar batas,
tapi dia tidak menyesalinya… Ciuman itu istimewa. Dia berjalan pulang
sendirian, mengecap pahit dan manisnya perpisahan, serta bersemangat karena
kenekatannya. Mungkin dia melanggar satu atau dua aturan karena memberikan
kotak bedak itu dan menyarankan agar Lucy Gray mengisinya dengan racun tikus.
Tapi, tak ada buku aturan resmi untuk Hunger Games. Mungkin memang dia
melanggar peraturan. Jika memang pelanggaran, itu setimpal demi Lucy Gray.
Namun, dia tidak memberitahu siapa pun tentang hal ini, bahkan kepada Tigris.
Belum tentu kotak bedak itu ada pengaruhnya. Butuh kecerdikan dan
keberuntungan untuk meracuni peserta lain. Tapi Lucy Gray cerdik, dan
desyrindah.blogspot.com
keberuntungannya setara dengan yang lain. Mereka harus makan racun itu, jadi
tugas Coriolanus adalah mencarikannya makanan untuk digunakan sebagai
umpan. Dia merasa punya kuasa, ada sesuatu yang bisa dilakukannya selain
menonton.
Setelah Grandma’am tidur, dia mengungkapkan isi hatinya pada Tigris. “Kurasa
dia jatuh cinta padaku.”
“Tentu saja. Bagaimana perasaanmu padanya?” tanya Tigris.
“Aku tidak tahu,” jawab Coriolanus. “Aku menciumnya saat berpisah.”
Tigris mengangkat alis. “Mencium pipinya?”
“Tidak. Di bibirnya.” Dia memutar otak berusaha menjelaskan, tapi kalimat yang
bisa diucapkannya adalah “Dia tak ada duanya.” Itu kenyataan yang tak
terbantahkan. Sejujurnya, Coriolanus tidak punya banyak pengalaman untuk
urusan perempuan, apalagi urusan cinta. Merahasiakan situasi keluarga Snow
selalu jadi prioritas utama. Dua saudara sepupu itu hampir tak pernah mengajak
siapa pun ke apartemen, bahkan ketika Tigris jatuh cinta pada tahun terakhirnya
di Akademi. Keengganan Tigris mengajak sang kekasih ke rumah dianggap sebagai
kurangnya komitmen Tigris dan menjadi faktor putusnya hubungan mereka.
Coriolanus memandang kejadian itu sebagai peringatan agar tidak menjalin
hubungan terlalu dekat dengan siapa pun. Banyak teman sekelasnya yang tertarik
padanya, tapi dia mahir menjaga jarak dari mereka. Elevator rusak menjadi alasan
yang bagus, dan Grandma’am menderita penyakit yang dikarangnya, sehingga
beliau butuh ketenangan. Hanya ada satu, tahun lalu, di gang belakang stasiun
kereta api. Tapi itu bukan hubungan asmara, melainkan tantangan dari Festus.
Paduan posca dan kegelapan membuat ingatannya samar tentang kejadian itu.
Setelah dipikir lagi, Coriolanus tidak pernah tahu nama sang gadis, tapi kejadian
itu membuatnya mendapat reputasi sebagai petualang cinta.
Namun, Lucy Gray adalah pesertanya yang bersiap menuju arena. Bahkan jika
keadaannya berbeda, dia tetap gadis dari distrik atau setidaknya bukan dari
desyrindah.blogspot.com
Capitol. Dia warga negara kelas dua. Manusia, tapi serendah binatang. Pintar, tapi
tidak berotak. Bagian dari kemalangan tanpa bentuk, makhluk barbar yang berada
di sudut kesadarannya. Tentunya, jika ada pengecualian, itu adalah Lucy Gray
Baird. Seseorang yang tidak bisa dide nisikan. Jenis langka, sama seperti dirinya.
Bagaimana lagi cara menjelaskan bahwa tekanan bibir gadis itu di bibirnya
membuat lututnya goyah.
Coriolanus tertidur malam itu mengulang-ulang ciuman tadi dalam
pikirannya….
Pagi hari Hunger Games dimulai dengan cuaca cerah. Dia menyiapkan diri,
makan telur yang disiapkan Tigris untuknya, dan berjalan kaki menyusuri jalanan
yang panas dan panjang menuju Capitol News. Dia menolak riasan tebal seperti
yang ditambalkan ke wajah Lucky, tapi dia mengizinkan sapuan bedak tipis di
wajahnya, karena dia tidak mau wajahnya terlihat berkeringat dan berminyak di
layar televisi. Tenang dan santun: itulah sifat-sifat keluarga Snow yang harus dia
tampilkan. Bedak itu wangi, tapi tidak terasa mewah seperti bedak padat milik
ibunya yang tersimpan aman di laci kaus kaki di rumah.
“Selamat pagi, Mr. Snow.” Suara Dr. Gaul menyentaknya kembali ke kenyataan.
Tentu saja, wanita itu ada di studio televisi ini. Memangnya dia bakal ada di mana
pada pagi hari pembukaan Hunger Games?
Justru alasan kemunculan Dekan Highbo om lah yang tidak dia ketahui.
Matanya yang merah mengantuk memandang Coriolanus. “Kami dengar ada
adegan perpisahan yang mengharukan antara kau dan pesertamu tadi malam.”
Uh! Memangnya dua manusia tidak boleh jatuh cinta? Bagaimana mereka bisa
tahu tentang ciuman itu? Profesor Sickle bukan tipe yang suka bergosip, jadi siapa
yang menyebarkannya? Mungkin banyak mentor yang melihatnya….
Tak perlu dipusingkan. Dia takkan membiarkan dua gurunya ini membuatnya
kesal. “Seperti yang dikatakan Dr. Gaul, kami semua terbawa perasaan.”
“Ya, sayangnya dia mungkin tidak bakal bertahan hidup meski cuma sehari,” kata
desyrindah.blogspot.com
Dr. Gaul.
Coriolanus benci sekali pada dua manusia ini. Menertawakannya.
Memancingnya. Namun, dia menunjukkan ketidakpedulian dengan mengangkat
bahu. “Kita lihat saja, ini belum berakhir sampai mockingjay bernyanyi.” Dia puas
melihat kebingungan di wajah kedua gurunya. Mereka tidak sempat bertanya
padanya, karena Remus Doli le datang untuk memberitahu bahwa anak lelaki
peserta dari Distrik 5 meninggal tadi malam karena komplikasi penyakit asma
dokter hewan tidak bisa menyelamatkannya dan mereka harus mengumumkan
kematiannya.
Coriolanus berusaha mengingat-ingat, tapi tidak bisa mengingat anak lelaki itu,
atau bahkan teman sekelasnya yang ditugasi menjadi mentornya. Dalam persiapan
pembukaan Hunger Games, dia memperbarui da ar mentor yang diterimanya
dari Profesor Demigloss. Dia memutuskan menyederhanakan da ar tersebut
dengan mencoret nama mereka secara berpasangan, tanpa memandang apa yang
terjadi pada mereka. Dia tidak bermaksud kejam, tapi tak ada cara lain untuk
membuatnya jelas. Dia mengeluarkan da ar itu dari tas sekolahnya dan mulai
mencatat korban terbaru.
HUNGER GAMES KE-10
PENUGASAN MENTOR
DISTRIK 1
Lelaki (Facet) Livia Cardew
Perempuan (Velvereen) Palmyra Monty
DISTRIK 2
Lelaki (Marcus) Sejanus Plinth
Perempuan (Sabyn) Florus Friend
DISTRIK 3
Lelaki (Circ) Io Jasper
Perempuan (Teslee) Urban Canville
desyrindah.blogspot.com
DISTRIK 4
Lelaki (Mizzen) Persephone Price
Perempuan (Coral) Festus Creed
DISTRIK 5
Lelaki (Hy) Dennis Fling
Perempuan (Sol) Iphigenia Moss
DISTRIK 6
Lelaki (O o) Apollo Ring
Perempuan (Ginnee) Diana Ring
DISTRIK 7
Lelaki (Treech) Vipsania Sickle
Perempuan (Lamina) Pliny Harrington
DISTRIK 8
Lelaki (Bobbin) Juno Phipps
Perempuan (Wovey) Hilarius Heavensbee
DISTRIK 9
Lelaki (Panlo) Gaius Breen
Perempuan (Sheaf) Androcles Anderson
DISTRIK 10
Lelaki (Tanner) Domitia Whimsiwick
Perempuan (Brandy) Arachne Crane
DISTRIK 11
Lelaki (Reaper) Clemensia Dovecote
Perempuan (Dill) Felix Ravinstill
DISTRIK 12
Lelaki ( Jessup) Lysistrata Vickers
Perempuan (Lucy Gray) Coriolanus Snow
Jumlah pesaing Lucy Gray sekarang tinggal tiga belas. Satu lagi yang meninggal,
desyrindah.blogspot.com
gadis itu.
Lysistrata melirik kesal padanya saat giliran gadis itu yang diwawancara.
Coriolanus mengerti kekesalannya saat menyadari bahwa gadis itu berusaha
mengaitkan Jessup dengan Lucy Gray dalam wawancara untuk menarik simpati,
dengan menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan dari Distrik 12. Memang
Jessup adalah penambang batu bara, tapi Jessup dan Lucy Gray sudah
menunjukkan kedekatan alami sejak mereka membungkuk memberi hormat
pertama kali. Orang-orang bisa melihat keakraban di antara mereka, hal yang tak
tampak pada pasangan peserta lain dari distrik yang sama. Bahkan, Lysistrata
yakin mereka saling menyayangi. Dengan kekuatan Jessup dan kemampuan Lucy
Gray menawan hati penonton, Lysistrata yakin pemenang tahun ini berasal dari
Distrik 12.
Alasan keberadaan Dekan Highbo om menjadi jelas saat dia mengikuti
Lysistrata. Sang dekan mendiskusikan program mentor-peserta ini seakan-akan
dia tidak teler sepanjang waktu. Sebenarnya, Coriolanus resah mendengar betapa
jernihnya pemaparan Highbo om. Dia mengatakan bahwa siswa-siswa Capitol
punya prasangka tertentu terhadap peserta-peserta dari distrik, tapi dalam dua
minggu sejak hari pemungutan, terbentuk rasa hormat dan penghargaan pada
mereka. “Pepatah bilang, kenalilah musuhmu. Apa cara yang lebih baik untuk
saling mengenal selain bekerja sama untuk Hunger Games? Capitol
memenangkan perang setelah pertempuran panjang dan keras, bahkan baru-baru
ini arena kita dibom. Membayangkan bahwa dari dua pihak, kita dan mereka,
tidak punya intelijen, kekuatan, atau keberanian adalah kesalahan besar.”
“Tapi tentunya Anda tidak membandingkan anak-anak kita dengan anak-anak
mereka, kan?” tanya Lucky. “Sekali lihat pun kita tahu anak-anak kita merupakan
keturunan yang lebih unggul.”
“Sekali lihat kita tahu anak-anak kita makan lebih banyak, punya pakaian lebih
bagus, dan perawatan gigi yang lebih baik,” kata Dekan Highbo om. “Berasumsi
desyrindah.blogspot.com
bahwa anak-anak ini memiliki keunggulan sik, mental, dan terutama moral
adalah kesalahan besar. Keangkuhan semacam itulah yang nyaris menghabisi kita
dalam perang.”
“Menarik,” kata Lucky, tampaknya tidak tahu harus menanggapinya dengan
jawaban apa. “Pandangan Anda amat menarik.”
“Terima kasih, Mr. Flickerman. Saya sangat menghargai pendapat Anda,” kata
sang dekan dengan wajah tanpa ekspresi.
Coriolanus melihat dekannya memutar bola mata mengejek, tapi Lucky tersipu
mendengarnya. “Anda terlalu memuji, Mr. Highbo om. Kita semua tahu, saya
hanya penyiar berita cuaca rendahan.”
“Dan pesulap yang naik daun,” Dekan Highbo om mengingatkannya.
“Yah, kalau itu aku mengaku!” kata Lucky terkekeh. “Tunggu, apa ini?”
Tangannya terulur ke belakang telinga Dekan Highbo om lalu mengeluarkan
permen kecil bermotif garis-garis cerah. “Saya yakin ini milik Anda.” Dia
menyerahkannya pada Dekan Highbo om, warna permen itu menodai telapak
tangannya yang basah.
Dekan Highbo om tidak bergerak untuk mengambil permen itu. “Astaga. Bisa
muncul dari mana, Lucky?”
“Rahasia perusahaan,” kata Lucky sambil menyeringai penuh arti. “Ini rahasia
perusahaan.”
Mobil-mobil sudah menunggu untuk mengangkut mereka kembali ke Akademi,
dan Coriolanus berada satu mobil dengan Felix dan Dekan Highbo om. Mereka
tampaknya akrab di luar urusan sekolah, dan mengabaikan Coriolanus saat sibuk
bergosip. Coriolanus jadi punya waktu untuk merenungkan apa yang dikatakan
Dekan Highbo om tentang orang-orang di distrik. Mereka sebenarnya sama dan
setara dengan orang-orang di Capitol, hanya saja mereka lebih miskin secara
materi. Pernyataan tersebut termasuk radikal untuk diucapkan sang dekan di
depan umum. Grandma’am dan banyak orang lain pasti menolak pendapat
desyrindah.blogspot.com
masa lalu, Hunger Games adalah acara yang sunyi. Biasanya orang-orang
menghindari kontak mata dan hanya bicara saat diperlukan. Sekarang semangat
yang tinggi sangat terasa di aula, seakan mereka sedang menantikan acara hiburan
yang sudah ditunggu-tunggu.
Di meja, seorang Pengawas Permainan bertanggung jawab menyiapkan barang-
barang yang diperlukan mentor. Semuanya mendapat tanda pengenal berwarna
kuning terang bertuliskan Mentor terpampang jelas untuk dikalungkan di leher
mereka, tapi hanya mentor yang masih memiliki peserta di Hunger Games yang
mendapat alat komunikasi, membuat mentor yang lain merasa iri. Banyak barang
kebutuhan teknologi lenyap semasa perang dan setelahnya, karena pabrik-pabrik
memusatkan produksi mereka untuk kebutuhan yang lebih penting. Pada masa
ini, alat-alat teknologi sederhana jadi idaman. Alat komunikasi itu berbentuk
seperti manset yang dipasang di pergelangan tangan dilengkapi layar kecil, yang
menampilkan jumlah hadiah sponsor berkedip-kedip berwarna merah. Para
mentor hanya perlu menggulirkan petunjuk di layar itu untuk melihat da ar
makanan, memilih satu dari menu yang ada, mengetuknya dua kali dan Pengawas
Permainan akan bersiap mengirimkannya dengan drone. Beberapa peserta ada
yang tidak mendapat hadiah sama sekali. Walaupun tidak tampil di wawancara,
Reaper mendapat beberapa sponsor berkat aksinya di kebun binatang. Namun,
Clemensia tidak kelihatan batang hidungnya, dan alat komunikasinya tergeletak
tak diambil di meja membuat Livia memandang benda itu dengan tatapan iri.
Coriolanus menarik Lysistrata ke samping dan menunjukkan layarnya. “Lihat,
aku dapat rezeki lumayan. Kalau mereka bekerja sama, aku akan mengirimkan
makanan untuk mereka berdua.”
“Terima kasih. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Tadi aku tidak
bermaksud membentakmu seperti itu. Itu bukan salahmu. Seharusnya aku bilang
dulu lebih awal.” Suara Lysistrata berubah menjadi bisikan. “Masalahnya… aku
tidak bisa tidur tadi malam, memikirkan harus duduk menonton ini. Aku tahu
desyrindah.blogspot.com
acara ini untuk menghukum distrik-distrik, tapi bukankah kita sudah cukup meng-
hukum mereka? Berapa lama kita harus menyeret perang ini masuk dalam hidup
kita?”
“Kalau menurut Dr. Gaul sepertinya selamanya,” kata Coriolanus. “Seperti yang
dia katakan di kelas.”
“Bukan hanya dia. Lihat semua orang ini.” Lysistrata menunjuk suasana yang
seperti pesta di ruangan ini. “Memuakkan.”
Coriolanus berusaha menenangkannya. “Sepupuku bilang agar aku ingat bahwa
ini bukan salah kita. Kita juga masih anak-anak.”
“Sarannya tidak membantu. Aku merasa dimanfaatkan seperti ini,” kata
Lysistrata sedih. “Apalagi tiga orang teman kita sudah meninggal.”
Dimanfaatkan? Coriolanus selama ini berpikir menjadi mentor adalah
kehormatan. Suatu cara untuk melayani Capitol dan mungkin meraih sedikit
kejayaan. Tapi Lysistrata ada benarnya. Kalau tujuan perjuangan ini tidak
terhormat, bagaimana ada kehormatan saat berperan serta dalam kegiatan ini?
Coriolanus merasa bingung, lalu merasa ditipu, dan merasa terbuang. Seakan
mereka sama statusnya sebagai peserta, bukannya mentor.
“Beritahu aku bahwa semua ini akan selesai dengan cepat,” kata Lysistrata.
“Ini akan berakhir dengan cepat,” Coriolanus menenangkannya. “Kau mau
duduk di sampingku? Kita bisa bekerja sama mengatur hadiah kita.”
“Ayo,” jawab Lysistrata.
Seluruh mentor berkumpul kali ini. Mereka duduk di tempat duduk yang
disediakan untuk dua puluh empat mentor, seperti ketika pada hari pemungutan.
Semua orang wajib hadir, dengan atau tanpa peserta. “Jangan duduk di depan,”
kata Lysistrata. “Aku tidak mau kamera menyoroti wajahku saat dia terbunuh.”
Gadis itu benar. Kamera akan menyoroti wajah mentor, dan jika Lucy Gray tewas,
terutama jika Lucy Gray tewas, kamera pasti akan menyorotinya dari jarak dekat.
Coriolanus menurut dan berjalan ke deretan belakang. Saat mereka duduk, dia
desyrindah.blogspot.com
setelah pengeboman. Coriolanus bisa melihat pakaian Lucy Gray yang berwarna
cerah menuju sisi terjauh arena. Jemarinya mencengkeram kursi erat-erat, dalam
hati menyuruh gadis itu bergerak. Lari, pekiknya dalam hati. Lari! Menjauh dari
sana! Beberapa peserta terkuat berlari mengambil senjata, dan setelah
mengambilnya, Tanner, Coral, serta Jessup berpencar. Hanya Reaper, yang
mengambil trisula dan pedang panjang, tampak siap bertarung. Tapi pada saat dia
bersiaga, tak ada seorang peserta pun di dekatnya. Dia berbalik dan melihat
punggung-punggung lawannya berlari menjauh. Sambil menghela napas kesal, dia
memanjat ke stan terdekat untuk memulai perburuannya.
Para Pengawas Permainan mengambil kesempatan untuk kembali ke Lucky.
“Anda ingin memasang taruhan, tapi tidak sempat ke kantor pos? Sudah
memutuskan akan mendukung peserta yang mana?” Nomor telepon terpampang
di bagian bawah layar televisi. “Anda bisa melakukannya lewat telepon sekarang!
Hubungi nomor telepon di bawah ini, masukkan nomor penduduk Anda, nama
peserta, dan jumlah taruhan atau hadiah yang Anda berikan, dan Anda akan jadi
bagian dari aksi ini! Atau jika Anda lebih suka bertransaksi langsung, kantor pos
buka setiap hari mulai pukul delapan pagi sampai delapan malam. Ayo, jangan
ketinggalan momen bersejarah ini. Sekarang Anda berkesempatan mendukung
Capitol dan mungkin mendapat keuntungan lumayan. Jadilah bagian dari Hunger
Games dan jadilah pemenang! Sekarang kita kembali ke arena!”
Dalam hitungan menit, arena sudah kosong dari peserta kecuali Reaper, dan
setelah berkeliling di antara stan, dia pun bersembunyi. Marcus dan
penderitaannya kembali menjadi fokus Hunger Games.
“Kau tidak mau mengejar Sejanus?” Lysistrata berbisik pada Coriolanus.
“Menurutku biarkan dia sendiri dulu,” Coriolanus balas berbisik. Mungkin
benar Sejanus ingin sendirian, tapi alasan utama Coriolanus adalah dia tidak mau
ketinggalan Hunger Games, atau memancing reaksi Dr. Gaul, atau menunjukkan
kedekatannya dengan Sejanus di depan umum. Anggapan bahwa mereka
desyrindah.blogspot.com
bersahabat, bahwa dia teman akrab orang yang tak bisa diatur dari distrik, mulai
membuatnya kuatir. Membagikan sandwich berbeda dengan melempar kursi. Pasti
akan ada hukuman atas perilakunya tadi, dan Coriolanus sudah punya cukup
banyak masalah tanpa perlu menambah masalah Sejanus ke dalam urusannya.
Setengah jam yang terasa panjang berlalu sebelum ada kejadian yang menarik
perhatian penonton. Bom-bom yang dipasang dekat pintu masuk telah
meledakkan gerbang utama, tapi barikade sudah terpasang di bawah papan skor.
Berlapis-lapis beton, papan-papan kayu, serta kawat berduri merusak
pemandangan dan menjadi pengingat akan serangan pemberontak. Mungkin itu
sebabnya para Pengawas Permainan tidak menyoroti bagian itu. Akan tetapi,
dengan tidak banyaknya kejadian, mereka terpaksa menunjukkan pada penonton
ada gadis kurus dengan lengan panjang merayap keluar dari barikade tersebut.
“Itu Lamina!” Pup memberitahu Livia yang duduk beberapa baris di depan
Coriolanus.
Coriolanus hanya ingat peserta Pup sebagai anak perempuan yang tak bisa
berhenti menangis pada pertemuan pertama mentor dengan peserta. Pup gagal
menyiapkannya untuk wawancara sehingga kehilangan kesempatan untuk
mempromosikannya. Dia tidak ingat anak itu berasal dari distrik berapa, mungkin
dari Lima? Suara lantang menggelegar menyadarkan Coriolanus. “Sekarang kita
melihat Lamina yang berusia lima belas tahun dari Distrik Tujuh,” kata Lucky.
“Dimentori oleh Pliny Harrington. Distrik Tujuh menyediakan kayu yang
dibutuhkan Capitol untuk memperbaiki arena kita tercinta.”
Lamina mengamati Marcus, mencermati kondisinya yang mengenaskan. Angin
musim panas menyibak rambut pirangnya dan dia menyipitkan mata karena
silaunya cahaya matahari. Lamina memakai pakaian dari karung goni yang diikat
dengan seutas tali membentuk ikat pinggang. Bekas-bekas gigitan serangga
terlihat di kakinya yang telanjang. Matanya yang sembap dan bengkak terlihat me-
merah, tapi tak ada air mata. Bahkan, dia terlihat terlalu tenang dalam keadaan ini.
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus bisa mendengar bunyi ping dari alat komunikasi Pup, menandakan ada
hadiah tambahan untuk Lamina yang tampak nyaman duduk di palang.
Sesungguhnya, itu bukan strategi yang buruk. Lebih aman daripada di bawah,
pastinya. Gadis itu punya rencana. Dia bisa membunuh. Dalam waktu kurang dari
satu jam, Lamina telah menunjukkan diri sebagai pesaing yang patut
diperhitungkan di Hunger Games. Gadis itu tampak lebih tangguh daripada Lucy
Gray. Entah di mana Lucy Gray sekarang berada.
Waktu berlalu. Selain Reaper, yang sesekali berkeliaran di antara stan-stan, tak
ada peserta lain yang menunjukkan diri sebagai pemburu, meskipun mereka
bersenjata. Kalau tidak ada Marcus yang jadi tontonan dan Lamina
menghabisinya, pembukaan ini terasa lambat. Biasanya, Hunger Games dibuka
dengan pertumpahan darah, tapi karena banyak peserta unggulan sudah tewas
sebelum acara dimulai, yang ada di lapangan kebanyakan adalah mangsa.
Gambar arena mengecil di sudut layar televisi dan berganti menampilkan wajah
Lucky. Dia menjelaskan latar belakang distrik dan menginformasikan seperti apa
cuaca di sana agar penonton bisa membayangkannya. Menjadi pembawa acara
Hunger Games adalah tugas baru, dan Lucky berusaha keras untuk menjalankan
tugasnya. Saat Tanner memanjat ke kursi penonton dan berjalan di bagian atas
arena, tayangan beralih kembali ke arena, tapi Tanner hanya duduk di sana di
bawah cahaya matahari lalu menghilang di bawah tempat duduk.
Bunyi gemeresik membuat para penonton menengok ke bagian belakang
Heavensbee Hall dan melihat Lepidus Malmsey berjalan naik bersama kru
kamera. Dia mengundang Pup untuk melakukan wawancara langsung. Pup, yang
sebelumnya tidak dianggap, mengoceh tentang segala hal yang bisa dia ingat
tentang Lamina dan menurut Coriolanus dibumbui cerita yang tidak benar. Wa-
wancara itu tidak berlangsung lama. Pola seperti itu berlangsung sepanjang pagi;
wawancara singkat dengan mentor, kamera menyoroti arena yang sepi dan tak ada
kejadian seru. Semua orang kemudian istirahat makan siang.
desyrindah.blogspot.com
“Kau bohong saat mengatakan semua ini akan berakhir cepat,” gerutu Lysistrata
ketika mereka mengantre mengambil sandwich bacon yang ditumpuk di meja di
aula.
“Keadaan akan berubah,” kata Coriolanus. “Harus.”
Namun, sepertinya tak ada perubahan seharian itu. Hanya ada segelintir peserta
yang terlihat di arena, sementara siang yang panas dan panjang membawa burung-
burung pemakan bangkai terbang di atas Marcus. Lamina berhasil mengiris tali
pengikat Marcus sehingga jasad pemuda itu jatuh ke tanah. Atas usahanya
tersebut, Pup mengiriminya sepotong roti yang kemudian dicuil-cuil Lamina
sehingga membentuk bola-bola kecil, dan gadis itu memakannya satu per satu.
Kemudian Lamina berbaring tengkurap di palang, mengikat tubuhnya yang tinggi
kurus dengan ikat pinggangnya ke palang agar tidak jatuh, lalu dia tidur.
Capitol News menayangkan jeda dengan menampilkan plasa di depan arena, di
sana sudah ada stan-stan pedagang jajanan dan minuman yang melayani
penduduk Capitol yang datang dan menonton Hunger Games di dua layar raksasa
yang mengapit pintu masuk. Karena tidak ada kejadian seru di arena, perhatian
tertuju pada dua ekor anjing yang didandani pakaian ala Lucy Gray dan Jessup
oleh pemiliknya. Coriolanus gundah dia sebenarnya tidak menyukai anjing
pudel konyol itu dipakaikan rumbai-rumbai pelangi hingga beberapa bunyi ping
masuk ke alat komunikasinya dan dia memutuskan bahwa publisitas apa pun baik
untuk Lucy Gray. Tapi anjing-anjing itu kemudian lelah dan pulang, selanjutnya
tak ada apa-apa lagi.
Sudah hampir pukul lima sore saat Lucky memperkenalkan Dr. Gaul pada
penonton. Lucky terlihat letih di bawah tekanan untuk mempertahankan tayangan
Hunger Games tetap menarik. Dia mengangkat kedua tangannya tak mengerti,
“Ada info apa, Kepala Pengawas Permainan?”
Dr. Gaul mengabaikannya, dan bicara langsung ke kamera. “Sebagian dari kalian
mungkin bertanya-tanya kenapa Hunger Games berlangsung lambat. Biar
desyrindah.blogspot.com
kuingatkan, bahwa perjalanan kita sampai ke sini penuh lika-liku. Sepertiga dari
peserta tak sampai ke arena, dan mereka yang bertarung kebanyakan bukanlah
jagoan. Dalam hitungan korban jiwa, posisi kita saat ini hampir serupa dengan
tahun lalu.
“Ya, benar,” kata Lucky. “Tapi aku mewakili banyak orang dengan bertanya, di
mana para peserta tahun ini? Biasanya, mereka mudah ditemukan.”
“Mungkin kau lupa tentang pengeboman baru-baru ini,” kata Dr. Gaul. “Pada
tahun-tahun sebelumnya, area terbuka untuk para peserta terbatas di lapangan dan
stan-stan, tapi serangan minggu lalu membuka banyak celah dan lubang, sehingga
memberikan akses masuk ke labirin-labirin terowongan di dalam dinding-dinding
arena. Ini permainan yang baru, pertama-tama kita mencari di mana peserta
berada, lalu memancing mereka keluar dari sudut-sudut gelap yang tersembunyi.”
“Oh.” Lucky tampak kecewa. “Jadi kita takkan melihat para peserta lagi?”
“Jangan kuatir. Saat mereka lapar, mereka akan menunjukkan diri,” jawab Dr.
Gaul. “Itu pula yang menjadi pengubah permainan tahun ini. Dengan partisipasi
penonton yang menyediakan makanan, Hunger Games bisa berlanjut
berkepanjangan.”
“Berkepanjangan?” tanya Lucky.
“Kuharap kau masih punya banyak trik sulap yang belum kautunjukkan!” kata
Dr. Gaul, terkekeh. “Kau tahu kan, aku punya mu kelinci, mungkin kau bisa
mengeluarkannya dari topi dengan trik sulapmu. Kelinci itu separuh anjing pit
bull.”
Wajah Lucky memucat lalu berusaha tertawa. “Tidak perlu, terima kasih. Aku
punya hewan peliharaanku sendiri, Dr. Gaul.”
“Aku hampir merasa kasihan pada Lucky,” Coriolanus berbisik pada Lysistrata.
“Aku tidak,” jawab Lysistrata. “Mereka serasi.”
Pada pukul lima sore, Dekan Highbo om membubarkan para siswa kecuali
empat belas mentor yang masih memiliki peserta. Alasannya lebih karena alat
desyrindah.blogspot.com
komunikasi mereka hanya bisa berfungsi melalui alat pemancar di Akademi atau
stasiun televisi Capitol News.
Sekitar pukul tujuh malam, makan malam sungguhan disediakan untuk mereka,
sehingga membuat Coriolanus merasa penting dan berada di pusat semesta.
Daging babi panggang dan kentang jelas menu yang lebih baik daripada di rumah
ini alasan lain baginya agar Lucy Gray bertahan hidup. Saat menuang saus ke
piring, Coriolanus memikirkan apakah Lucy Gray lapar. Saat mereka mengambil
kue blueberry dan krim, dia menarik Lysistrata ke samping untuk mendiskusikan
keadaan mereka. Kedua peserta mereka masih punya simpanan makanan dari
pertemuan terakhir, apalagi kalau Jessup tidak nafsu makan, tapi bagaimana
dengan air minum? Apakah ada sumber air di arena? Kalau mereka mau
mengirimkan persediaan minuman, bagaimana cara mereka melakukannya tanpa
mengungkap tempat persembunyian peserta mereka? Dr. Gaul ada benarnya ke-
tika mengatakan para peserta akan muncul ketika mereka menginginkan sesuatu.
Tapi sebelum saat itu tiba, strategi terbaik adalah bersembunyi dan menunggu.
Ketika mereka selesai menyantap makanan penutup, ada kegiatan di arena yang
membuat para mentor kembali ke tempat duduk mereka. Anak lelaki Distrik 3,
Circ, peserta yang dimentori Io Jasper, merangkak keluar dari barikade di dekat
pintu masuk dan mengamati sekelilingnya sebelum melambai memanggil
seseorang agar mendekat. Seorang gadis kecil berpenampilan lusuh dan rambut
acak-acakan berlari menghampirinya. Lamina yang masih tiduran di palang
mengintip dengan sebelah matanya untuk menentukan tingkat ancaman yang
dihadapinya.
“Tak perlu kuatir, Lamina manis,” kata Pup ke layar televisi. “Dua anak itu
bahkan tak bisa memanjat tangga.” Tampaknya Lamina sependapat, karena yang
dia lakukan selanjutnya adalah memperbaiki posisi tubuhnya agar lebih nyaman.
Lucky Flickerman muncul di sudut layar televisi, serbet dia selipkan di kerahnya
dan masih ada sisa blueberry di dagunya. Dia mengingatkan penonton bahwa anak-
desyrindah.blogspot.com
anak itu merupakan peserta dari Distrik 3, distrik teknologi. Circ adalah anak
lelaki yang mengaku bisa membakar benda-benda dengan kacamatanya. “Dan
nama anak perempuan itu adalah…” Lucky melirik kartu sontekannya. “Teslee!
Teslee dari Tiga! Dan dia dimentori oleh…” Lucky melirik kartunya lagi, tapi kali
ini dia terlihat bingung. “Mentornya adalah…”
“Berusahalah lebih keras,” Urban Canville menggerutu dari barisan terdepan.
Seperti Io, orangtua Urban adalah ilmuwan, mungkin ahli sika? Sifat Urban yang
pemarah membuat semua orang merasa berhak kesal padanya ketika dia
mendapat nilai sempurna pada ujian kalkulus. Coriolanus merasa Urban tidak bisa
menyalahkan kemalasan Lucky menghafal nama mentor dan peserta, padahal
Urban sendiri bolos wawancara. Teslee memang kelihatan kecil, tapi bukannya
tanpa harapan.
“Dimentori Turban Canville!” seru Lucky.
“Urban, bukan Turban!” gerutu Urban. “Sungguh, mereka benar-benar tidak
profesional.”
“Sayangnya, kita tidak melihat Turban dan Teslee saat wawancara,” kata Lucky.
“Karena dia tidak mau bicara denganku!” bentak Urban.
“Mungkin gadis itu kebal terhadap pesonanya,” kata Festus, membuat mereka
yang duduk di baris belakang tertawa.
“Aku akan mengirimi Circ sesuatu sekarang. Entah kapan aku bisa melihatnya
lagi,” kata Io, sambil menyentuh layar alat komunikasinya. Coriolanus melihat
Urban juga melakukan hal yang sama.
Circ dan Teslee berada di dekat jasad Marcus, berjongkok memeriksa drone-
drone yang hancur. Tangan mereka bergerak lincah memeriksa peralatan itu,
memperkirakan tingkat kerusakannya dan mengecek bagian-bagian yang masih
bisa digunakan. Circ mengeluarkan benda berbentuk persegi panjang yang
menurut penglihatan Coriolanus adalah baterai lalu mengangkat jempolnya
kepada Teslee. Teslee menyambung kabel-kabel di tangannya dan lampu drone itu
desyrindah.blogspot.com
berburu atau tidak bisa menghadapi penderitaan Dill. Reaper kemudian menepuk
Dill untuk terakhir kali sebelum berlari melompat ke arah barikade.
“Kau tidak mau mengiriminya sesuatu?” Domitia bertanya pada Clemensia.
“Untuk apa? Dia tidak membunuhnya; dia cuma menggendongnya. Aku tidak
mau memberinya hadiah untuk itu,” jawab Clemensia.
Coriolanus, yang memilih menghindari Clemensia seharian, merasa telah
mengambil keputusan yang benar. Clemensia tidak seperti biasanya. Mungkin
pengaruh bisa ular telah mengubah cara kerja otaknya.
“Sebaiknya aku memanfaatkan sedikit yang kupunya. Lagi pula, ini haknya,” kata
Felix sambil menyentuh layar alat komunikasinya.
Dua botol berisi air diterbangkan drone. Dill tampak tidak menyadarinya.
Beberapa menit kemudian, anak lelaki yang diingat Coriolanus bermain sulap
dengan buah kenari di kebun binatang, berlari keluar dari terowongan hingga
rambut hitamnya berkibar. Sambil terus berlari, dia membungkuk dan menyambar
botol air itu, lalu menghilang ke celah besar di dinding. Suara Lucky mengingatkan
penonton bahwa anak lelaki itu bernama Treech, dari Distrik 7, dimentori
Vipsania Sickle.
“Wah, tidak sopan,” kata Felix. “Semestinya dia memberikan minuman terakhir
untuk Dill.”
“Pintar juga,” kata Vipsania. “Menghemat jatahku, karena aku tidak punya
banyak.”
Matahari terbenam di cakrawala dan burung-burung pemakan bangkai terbang
perlahan memasuki arena. Akhirnya, tubuh Dill mengejang, dia batuk hebat
terakhir kalinya dan darah menyembur membasahi bajunya yang kotor.
Coriolanus merasa mual. Darah yang mengalir dari mulut gadis itu membuatnya
jijik dan ngeri.
Lucky Flickerman muncul dan mengumumkan bahwa Dill, anak perempuan
Distrik 11, meninggal karena sebab alami. Sayangnya, ini berarti mereka takkan
desyrindah.blogspot.com
klub istimewa yang jumlahnya akan menyusut hingga tinggal satu orang, tapi akan
tetap ada ikatan di antara mereka.
Saat menyusuri jalan pulang, Coriolanus mulai menghitung. Dua peserta tewas,
meski dia sudah mencoret nama Marcus sejak anak lelaki itu menghilang. Masih
ada tiga belas yang tersisa, dan Lucy Gray harus bertahan hidup dari dua belas
peserta lainnya. Sebagaimana yang sudah dibuktikan Dill dan anak lelaki pengidap
asma dari Distrik 5, bagi beberapa peserta ini hanya masalah bagaimana caranya
bertahan hidup lebih lama daripada yang lain. Dia teringat peristiwa kemarin;
menghapus air mata Lucy Gray, janji untuk menjaganya tetap hidup, dan ciuman.
Apakah gadis itu memikirkan Coriolanus sekarang? Apakah Lucy Gray
merindukannya seperti Coriolanus merindukan gadis itu? Dia berharap Lucy
Gray muncul besok agar dia bisa memberinya air dan makanan. Mengingatkan
penonton tentang keberadaannya. Dia hanya mendapat sedikit hadiah siang tadi,
itu pun mungkin karena Lucy Gray bersekutu dengan Jessup. Pesona burung
penyanyi yang dimiliki Lucy Gray semakin luntur seiring semakin muramnya
kejadian demi kejadian di arena Hunger Games. Hanya Coriolanus yang tahu
tentang racun tikus itu, jadi tidak membantu kedudukan Lucy Gray di mata
penonton.
Coriolanus capek dan lelah setelah seharian yang penuh tekanan ini, dia hanya
ingin mandi lalu tidur di kasurnya. Tapi pada saat dia melangkah masuk ke
apartemen, Coriolanus mencium aroma teh melati yang hanya disuguhkan untuk
tamu. Siapa yang datang berkunjung selarut ini? Di hari pembukaan Hunger
Games pula. Ini sudah terlalu malam untuk jam kunjungan teman-teman
Grandma’am, terlalu malam untuk tetangga mampir, dan mereka bukan tipe te-
tangga yang datang mampir bertamu. Pasti ada yang tidak beres.
Keluarga Snow jarang menyalakan televisi di ruang tamu utama, biasanya hanya
ada di sana untuk pajangan. Layar televisi itu menampilkan gambar arena yang
gelap, masih sama seperti ketika dia meninggalkan Heavensbee Hall. Grandma’am
desyrindah.blogspot.com
yang mengenakan jubah bagus menutupi gaun tidurnya, sedang duduk kaku di
kursi bersandaran tegak di meja minum teh, sementara Tigris menuang cairan
pucat itu ke cangkir tamu mereka.
Mrs. Plinth duduk di balik meja itu, terlihat lusuh, rambut acak-acakan, dan
gaunnya kusut, menangis sambil menutup wajahnya dengan saputangan. “Kalian
baik sekali,” katanya. “Maaf aku datang tiba-tiba seperti ini.”
“Teman Coriolanus juga teman kami,” kata Grandma’am. “Plinch, namamu?”
Coriolanus yakin Grandma’am tahu benar siapa Ma, tapi harus berbasa-basi
pada tamu, pada jam selarut ini apalagi kepada keluarga Plinth, membuat
neneknya mesti mengerahkan segenap kemampuannya.
“Plinth,” kata wanita itu. “Plinth.”
“Grandma’am, kau tahu kan, yang mengirimi kita casserole lezat saat Coriolanus
terluka,” Tigris mengingatkan neneknya.
“Maa an aku. Sudah malam sekarang,” kata Mrs. Plinth.
“Tidak perlu minta maaf. Anda melakukan hal yang tepat,” kata Tigris, sambil
menepuk bahu wanita itu. Dia menyadari kedatangan Coriolanus dan merasa lega.
“Oh, itu sepupuku! Mungkin dia tahu.”
“Mrs. Plinth, senang bertemu Anda. Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya
Coriolanus, seakan wanita itu tidak menunjukkan kabar buruk.
“Oh, Coriolanus. Tidak baik. Buruk sekali. Sejanus belum pulang. Kami dengar
dia meninggalkan Akademi pagi tadi, dan sejak itu aku belum bertemu dengannya.
Aku kuatir,” katanya. “Di mana dia? Aku tahu, melihat Marcus seperti itu
membuatnya terpukul. Apakah kau tahu? Kau tahu di mana dia berada? Apakah
dia marah saat pergi?”
Coriolanus ingat ledakan kemarahan Sejanus sambil melempar kursi serta
berteriak-teriak, itu semua hanya disaksikan oleh penonton di Heavensbee Hall.
“Dia marah, Mrs. Plinth. Tapi kurasa tidak perlu terlalu kuatir. Dia mungkin butuh
waktu untuk meredakan amarahnya. Mungkin dia sedang berjalan-jalan. Aku
desyrindah.blogspot.com
Arachne tewas, dia sekilas melihat Sejanus menjentikkan sesuatu di atas jasad
peserta yang tewas.
“Itu anakmu? Sedang apa dia di sana?” tanya Grandma’am, terkejut ngeri.
“Dia menaburkan remah roti ke jenazah,” kata Ma. “Agar Marcus bisa mendapat
makanan dalam perjalanannya.”
“Perjalanan ke mana?” tanya Grandma’am. “Dia sudah mati!”
“Kembali ke tempat asalnya,” kata Ma. “Ini tradisi kami di kampung halaman.
Saat seseorang meninggal.”
Coriolanus malu mendengarnya. Ini bukti betapa terbelakangnya distrik-distrik.
Orang-orang primitif dengan kebiasaan dan tradisi primitif. Berapa banyak roti
yang dibuang-buang untuk omong kosong ini? Oh, tidak, dia mati kelaparan!
Tolong bawakan roti! Dia punya rasat tidak enak bahwa persahabatan dengan
Sejanus ini akan menghantuinya. Firasatnya langsung jadi kenyataan saat telepon
berdering.
“Apakah seisi kota ini belum tidur?” tanya Grandma’am.
“Permisi.” Coriolanus berjalan menuju telepon di ruang depan. “Halo?” katanya,
berharap yang menelepon salah sambung.
“Mr. Snow, ini Dr. Gaul.” Coriolanus langsung mulas. “Kau ada di dekat
televisi?”
“Aku baru pulang, sebenarnya,” jawab Coriolanus, berusaha mengulur waktu.
“Oh, ya, sedang kulihat. Keluargaku sedang menonton.”
“Ada apa dengan temanmu?” tanya Dr. Gaul.
Coriolanus memalingkan kepalanya dari meja teh dan merendahkan suaranya.
“Dia sesungguhnya bukan…”
“Omong kosong. Kalian selalu bersama,” kata Dr. Gaul. “’Bantu aku
membagikan sandwich, Coriolanus!’, ‘Ada tempat kosong di sampingku, Sejanus!’
Saat aku bertanya pada Casca siapa teman sekelas yang dekat dengannya, hanya
namamu yang terpikir olehnya.”
desyrindah.blogspot.com
tidak mau menjelaskan lebih banyak, karena tidak mau neneknya kena serangan
jantung.
“Apakah dia dalam masalah?” tanya Mrs. Plinth, matanya terbelalak.
“Bermasalah dengan Capitol?”
Coriolanus merasa aneh karena ibu Sejanus lebih menguatirkan masalah dengan
Capitol dibandingkan arena yang penuh dengan peserta bersenjata saat ini, tapi
mungkin dia punya alasan sendiri setelah kejadian yang menimpa Marcus.
“Oh, tidak. Mereka hanya memikirkan keselamatannya. Kami tidak akan lama,
tapi tak usah menunggu,” dia memberitahu Tigris dan Grandma’am.
Coriolanus bergerak secepat mungkin, nyaris menggendong Mrs. Plinth agar
cepat berjalan ke luar, turun dengan elevator, dan melewati lobi. Mobil Mrs. Plinth
berhenti di depan mereka, dan sopirnya yang kemungkinan besar adalah Avox,
hanya mengangguk ketika dia memintanya mengantar mereka ke arena.
“Kami sedang buru-buru,” Coriolanus memberitahu sang sopir, dan mobil
melaju kencang meluncur di jalanan yang sepi. Dengan begini, mungkin mereka
bisa tiba di arena dalam waktu dua puluh menit.
Mrs. Plinth mencengkeram tas tangannya erat-erat dan memandang ke luar
jendela menatap kota yang sepi. “Pertama kali aku tiba di Capitol juga malam hari,
seperti sekarang ini.”
“Oh, ya?” kata Coriolanus, hanya bermaksud sopan. Sejujurnya, dia tidak peduli.
Masa depannya terancam karena putra wanita ini suka melawan. Dan dia harus
mempertanyakan pola asuh macam apa yang diajarkan orangtua kepada anak yang
menganggap bahwa menyelinap masuk ke arena akan menyelesaikan masalah.
“Waktu itu Sejanus duduk di tempatmu dan berkata, ‘Semua akan baik-baik saja,
Ma. Akan baik-baik saja.’ Dia berusaha menenangkanku. Meskipun kami berdua
tahu bahwa kami menuju malapetaka,” kata Mrs. Plinth. “Tapi Sejanus pemberani.
Amat baik. Dia hanya memikirkan ibunya.”
“Hm. Pasti perubahan besar.” Ada apa dengan keluarga Plinth ini? Mereka kerap
desyrindah.blogspot.com
pengawal bersenjata berjaga di sana. Pintu putar yang tidak rusak masih jadi
blokade yang efektif, karena orang tidak bisa keluar, dan jalan masuk lewat sana
hanya dengan token.
“Jadi dia punya token?” tanya Coriolanus.
“Dia punya token,” kata Penjaga Perdamaian yang lebih tua, yang tampaknya
menjadi komandan di sini. “Dia lolos saat kami lengah. Kami tidak menjaga
tempat ini dari orang yang hendak masuk ke arena, hanya menjaga mereka agar
tidak keluar.” Penjaga Perdamaian itu mengeluarkan token dari kantongnya. “Ini
untukmu.”
Coriolanus memutar-mutar token itu dengan jemarinya, tapi tidak berjalan ke
pintu putar. “Apa dia tidak memikirkan cara untuk keluar?”
“Sepertinya tidak,” kata Penjaga Perdamaian.
“Lalu, bagaimana caraku keluar?” tanya Coriolanus. Rencana ini terkesan
berisiko tanpa kepastian.
“Di sana.” Penjaga Perdamaian menunjuk ke arah jeruji. “Kami bisa menarik
kawat berduri dan mendorong palang besinya agar kau bisa merangkak di
bawahnya.”
“Kalian bisa melakukannya dengan cepat?” tanya Coriolanus ragu.
“Kau akan disorot kamera. Kami akan mengangkat jeruji saat kau berhasil
membawanya keluar,” Penjaga Perdamaian itu meyakinkannya.
“Bagaimana kalau aku gagal membujuknya untuk keluar?” tanya Coriolanus.
“Kami tidak mendapat instruksi soal itu.” Penjaga Perdamaian tersebut
mengangkat bahu. “Kurasa kau tetap di sini sampai misi selesai.”
Keringat dingin membasahi tubuh Coriolanus ketika mencerna kata-kata itu.
Dia tak diizinkan keluar tanpa Sejanus. Dia melihat pintu putar hingga ke ujung
lorong, tempat barikade didirikan di bawah papan skor. Tempat Lamina, Circ, dan
Teslee berlari keluar dan bersembunyi siang tadi. “Bagaimana dengan itu?”
“Itu sebenarnya cuma pajangan. Untuk menghalangi pandangan ke lobi dan ke
desyrindah.blogspot.com
Bulan bersinar tinggi di langit, dan di bawah cahaya perak pucat dia bisa melihat
sosok Sejanus memunggunginya, masih berlutut di dekat jasad Marcus. Lamina
masih tidur. Selain itu, tidak ada seorang pun di arena. Benarkah tidak ada?
Reruntuhan karena bom menciptakan banyak persembunyian. Peserta lain bisa
saja bersembunyi hanya beberapa meter jauhnya dan dia tidak mengetahuinya.
Dalam udara dingin, kemejanya yang basah karena keringat terasa lengket di
kulitnya. Dia memikirkan Lucy Gray yang mengenakan gaun tanpa lengan.
Apakah gadis itu sedang meringkuk dalam pelukan Jessup demi mendapat
kehangatan? Bayangan itu membuatnya gelisah, sehingga dia berusaha
mengenyahkannya. Dia tidak bisa memikirkan Lucy Gray sekarang, ada bahaya
yang besar dan Sejanus, dan bagaimana caranya membawa Sejanus keluar dari
tempat ini.
Coriolanus mengambil napas dalam-dalam lalu melangkah ke lapangan. Dia
menapaki tanah berdebu, mengintai seperti hewan pemburu mengintai mangsa.
Senyap, kuat, dan berani. Dia tidak boleh menakuti Sejanus, tapi harus berada
cukup dekat dengannya agar bisa bicara.
Saat jaraknya dengan Sejanus hanya sekitar tiga meter, dia berhenti dan bicara
dengan suara berbisik. “Sejanus? Ini aku.”
Tubuh Sejanus menegang, lalu bahunya mulai berguncang. Awalnya, Coriolanus
mengira Sejanus menangis, tapi ternyata dia tertawa. “Kau tidak bisa berhenti
menyelamatkanku, ya?”
Coriolanus tertawa pelan. “Tidak bisa.”
“Mereka mengirimmu untuk memancingku keluar? Sinting.” Sejanus berhenti
tertawa, lalu bangkit berdiri. “Kau pernah melihat mayat?”
“Sering. Semasa perang.” Coriolanus menganggap pernyataan itu sebagai ajakan
untuk mendekat. Dia bisa memegangi lengan Sejanus, tapi selanjutnya apa? Dia
tidak mungkin menyeretnya di sepanjang arena. Akhirnya Coriolanus
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
desyrindah.blogspot.com
“Aku tidak pernah. Apalagi sedekat ini. Di pemakaman, pernah. Dan di kebun
binatang malam itu, tapi mereka belum lama mati hingga mayatnya kaku,” kata
Sejanus. “Aku tidak tahu apakah aku lebih memilih dimakamkan atau dikremasi.
Lagi pula, itu bukan masalah besar.”
“Kau tidak perlu memutuskannya sekarang.” Mata Coriolanus mengawasi
lapangan. Apakah ada orang bersembunyi di balik dinding?
“Oh, itu bukan keputusanku,” kata Sejanus. “Aku tidak tahu kenapa para peserta
tidak mendatangiku. Aku sudah lama berada di sini.” Dia memandang Coriolanus
untuk pertama kalinya, dan alisnya berkerut kuatir. “Kau harus pergi.”
“Aku mau saja pergi dari sini,” kata Coriolanus dengan hati-hati. “Sungguh.
Masalahnya adalah Ma. Dia menunggumu di luar. Dia sangat sedih. Aku berjanji
akan membawamu keluar menemuinya.”
Paras wajah Sejanus berubah sedih. “Ma yang malang. Kasihan Ma. Kau tahu,
dia tidak pernah menginginkan semua ini. Dia tidak mau uang, tidak mau pindah,
tidak mau pakaian bagus atau sopir. Ma hanya ingin tinggal di Dua. Tapi ayahku…
aku yakin dia tidak ada di sini, kan? Dia akan menjauhi masalah ini sampai
semuanya selesai. Lalu dia akan mulai membeli!”
“Membeli apa?” Angin menerpa rambut Coriolanus, mendesirkan gema hampa
di arena. Dia sudah terlalu lama di sini, dan Sejanus tidak berusaha memelankan
suaranya.
“Membeli segalanya! Dia membeli jalan untuk tinggal di sini, membeli cara agar
aku bisa diterima di sekolah, membeli statusku sebagai mentor, dan dia marah
besar karena tidak bisa membeliku,” kata Sejanus. “Dia akan membelimu kalau
kau mengizinkannya. Atau paling tidak, membayar jasamu karena telah berusaha
menolongku.”
Menyuap, pikir Coriolanus, memikirkan uang sekolahnya tahun depan. Tapi dia
hanya berkata, “Kau sahabatku. Dia tidak perlu membayarku untuk menolongmu.”
Tangan Sejanus memegang bahunya. “Kau satu-satunya alasan aku bisa bertahan
desyrindah.blogspot.com
Setelah mereka lolos, para Penjaga Perdamaian akan bisa melindungi mereka.
Dia tersandung batu dan jatuh, hingga lututnya menancap sesuatu yang tajam
dan menusuk, tapi dia segera berdiri, mengangkat jasad Marcus bersamanya.
Hampir sampai. Hampir…
Terdengar langkah kaki di belakang mereka. Langkah-langkah ringan dan cepat
dari arah barikade, tempat peserta itu menunggu sejak tadi. Re eks, Coriolanus
menjatuhkan jasad Marcus dan berbalik, tepat saat Bobbin menghunjamkan
pisaunya.
desyrindah.blogspot.com
16
Bilah pisau itu mengenai baju pelindung Coriolanus dan menggores lengan kiri
atasnya. Saat Coriolanus melompat ke belakang, dia mengayunkan pukulan ke
arah Bobbin tapi pukulannya hanya mengenai udara. Dia mendarat di atas
reruntuhan, papan-papan bekas, dan plester dinding sementara tangannya
mencari-cari alat untuk melawan. Bobbin menerjangnya lagi, mengarahkan pisau
ke wajahnya. Jemari Coriolanus menggenggam balok kayu, mengangkatnya, lalu
menghantam pelipis Bobbin dengan keras, membuat pemuda itu jatuh berlutut.
Coriolanus kembali berdiri, menggunakan balok kayu itu sebagai pemukul,
menghantamkannya berkali-kali tanpa tahu mengenai bagian mana.
“Kita harus pergi!” teriak Sejanus.
Coriolanus mendengar siulan serta bunyi kaki yang dientak-
entakkan ke tempat duduk di arena. Dalam kebingungannya, dia bergerak menuju
jasad Marcus, tapi Sejanus menariknya pergi.
“Tidak! Tinggalkan dia! Lari!”
Tanpa perlu disuruh lagi, Coriolanus berlari cepat menuju barikade. Siku hingga
bahunya nyeri tapi dia mengabaikan rasa sakit itu, mengentakkan kedua tangannya
sekeras mungkin sebagaimana yang diajarkan Profesor Sickle pada mereka. Saat
sampai di barikade kawat berduri mencungkil kemejanya, Coriolanus berbalik
untuk melepaskan kemejanya yang tersangkut, dan dia melihat mereka. Dua
peserta dari Distrik 4, Coral dan Mizzen, serta Tanner anak rumah jagal
berlari ke arahnya dengan senjata lengkap. Mizzen mengambil ancang-ancang
desyrindah.blogspot.com
untuk melempar trisulanya. Kain di lengan kemeja Coriolanus robek saat dia
menariknya dari kawat berduri dan merayap menghindari serangan, sementara
Sejanus berada di belakangnya.
Cahaya bulan samar-samar menerangi lapisan barikade, dan Coriolanus
menabrak pagar kayu seperti burung yang berusaha terbang dalam kandang. Pasti
kini keberadaannya sudah diketahui semua peserta yang sebelumnya mungkin
tidak menyadari dia ada di dalam arena. Wajahnya menghantam beton, dan
Sejanus menubruknya dari belakang sehingga dahi Coriolanus kembali
menghantam beton. Ketika bangkit, dia merasa seperti menderita gegar otak
permanen, kepalanya berdentam dan sangat pusing.
Para peserta mulai berteriak-teriak, memukul-mukulkan senjata ke barikade saat
mengejar kedua mentor itu ke labirin. Mereka harus ke arah mana? Para peserta
tampaknya mengelilingi mereka. Sejanus memegang lengannya dan menariknya,
dan dia berjalan tersandung di sana-sini, terluka dan ketakutan. Apakah ini
akhirnya? Apakah dia akan mati seperti ini? Amarah atas ketidakadilan serta
hinaan terhadap hidupnya, mengalirkan energi ke tubuh Coriolanus. Dia me-
nerjang melewati Sejanus, merangkak di temaram cahaya merah. Lorong masuk!
Dia bisa melihat pintu putar di ujung lorong, Penjaga Perdamaian berkerumun di
dekat jeruji sementara. Dia berlari secepat-cepatnya.
Lorong itu tidaklah panjang, tapi terasa bagai tiada akhirnya. Kakinya bergerak
seakan berada dalam cairan perekat, dan titik-titik hitam mulai mengaburkan
pandangannya. Sejanus berada di sisinya, tapi dia bisa mendengar peserta semakin
banyak di belakang mereka. Ada benda yang keras dan berat batu bata?
mengenai bagian samping lehernya. Benda lain menusuk rompinya dan menancap
di sana, tergantung di punggungnya hingga kemudian benda itu jatuh berdentang.
Di mana perlindungannya? Tidak ada tembakan senjata dari Penjaga Perdamaian.
Tak ada apa-apa sama sekali, dan jeruji itu masih berdiri tegak di tanah. Dia ingin
berteriak agar mereka membunuh para peserta, menembaki mereka, tapi dia
desyrindah.blogspot.com
Dia takut akan dirawat di rumah sakit hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Dia
hanya ingin segera pergi dari orang-orang ini. Tanpa memedulikan protesnya,
mereka memasang infus di lengannya agar tubuhnya tidak kekurangan cairan dan
menyuntikkan berbagai obat sementara dia berbaring kaku di ranjang, berusaha
untuk tidak melarikan diri. Walaupun dia sudah melaksanakan perintah Dr. Gaul,
dan berhasil, dia tetap merasa terancam. Apalagi sekarang, terluka dan
terperangkap, tersembunyi di sarang wanita itu.
Rasa sakit di lengannya mulai berkurang. Tapi dia tidak merasakan kabut mor n
menyelubunginya. Mungkin mereka menggunakan obat lain, karena dia tidak
teler, tapi pikirannya malah bertambah tajam, dan dia semakin awas atas segalanya,
mulai dari kain seprainya, perekat perban di wajahnya, hingga rasa getir air dari
gelas logam yang terasa di lidahnya. Langkah kaki sepatu bot Penjaga Perdamaian
mendekat lalu menjauh, membawa pergi Sejanus yang pincang. Jauh di dalam
laboratorium, terdengar pekikan hewan atau entah makhluk apa yang sedang
diberi makan, dan Coriolanus bisa mencium bau amis ikan. Setelah itu, ruangan
hening selama beberapa saat. Dia berpikir untuk kabur tapi dalam hati dia tahu
bahwa dia mesti menunggu. Menunggu langkah kaki lembut yang pada akhirnya
masuk ke ruangannya.
Ketika Dr. Gaul menarik tirai, cahaya temaram laboratorium memberi kesan
aneh bahwa Dr. Gaul sedang berdiri di tepi jurang. Jika Coriolanus mendorongnya
sedikit saja, wanita itu akan jatuh ke jurang yang dalam dan lenyap di sana.
Seandainya saja, pikir Coriolanus. Seandainya saja. Dr. Gaul bergerak maju dan
menaruh dua jari di pergelangan tangan Coriolanus, memeriksa denyut nadinya.
Dia tersentak saat merasakan jemari wanita itu yang dingin dan kasar.
“Tahu tidak, aku memulai karier sebagai dokter,” kata Dr. Gaul. “Dokter
kandungan.”
Mengerikan, pikir Coriolanus. Orang pertama yang dilihat bayi yang baru lahir ke
dunia adalah kau.
desyrindah.blogspot.com
“Bukan pekerjaan yang kusukai,” kata Dr. Gaul. “Orangtua selalu ingin kepastian
yang tak bisa kauberikan. Tentang masa depan yang dihadapi anak-anak mereka.
Bagaimana aku bisa tahu apa yang akan mereka hadapi? Seperti kau, malam ini.
Siapa yang bisa membayangkan putra kesayangan Crassus Snow harus bertarung
nyawa di Capitol Arena. Pasti Crassus tak pernah membayangkannya.”
Coriolanus tidak tahu harus menjawab apa. Dia bahkan tidak bisa mengingat
seperti apa ayahnya, apalagi membayangkan isi pikiran ayahnya.
“Seperti apa rasanya di arena?” tanya Dr. Gaul.
“Mengerikan,” kata Coriolanus dengan nada datar.
“Memang dirancang seperti itu.” Dr. Gaul memeriksa manik mata Coriolanus,
menyorotkan cahaya ke masing-masing matanya. “Bagaimana dengan para
peserta?”
Cahaya itu membuat kepalanya tambah sakit. “Ada apa dengan para peserta?”
Dr. Gaul memeriksa jahitan di lengannya. “Apa pendapatmu tentang mereka
sekarang, setelah mereka tidak lagi dibelenggu? Setelah mereka berusaha
membunuhmu? Padahal, kematian kalian tak ada untungnya bagi mereka. Kalian
tidak menjadi bagian dari kompetisi.”
Memang benar. Jarak mereka cukup dekat untuk bisa mengenalinya. Tetap saja
mereka memburu dirinya dan Sejanus Sejanus yang memperlakukan para
peserta dengan baik, memberi mereka makan, membela mereka, bahkan memberi
upacara kematian pada mereka! padahal mereka bisa memanfaatkan
kesempatan tadi untuk saling membunuh.
“Kurasa aku meremehkan kebencian mereka terhadap kita,” kata Coriolanus.
“Dan pada saat kau menyadarinya, apa reaksimu?” tanyanya.
Coriolanus teringat pada Bobbin, pada pelariannya, pada nafsu para peserta
untuk membunuh mereka bahkan setelah dia melewati jeruji. “Aku mau mereka
mati. Aku mau mereka semua mati.”
Dr. Gaul mengangguk. “Tujuanmu tercapai dengan anak dari Delapan itu. Kau
desyrindah.blogspot.com
semua ini sekaligus, tapi penting bagimu untuk berusaha menjawab pertanyaan
itu. Siapa kita sebagai manusia? Karena siapa kita menentukan jenis pemerintahan
yang kita perlukan. Setelah ini, kuharap kau bisa merenung dan jujur pada dirimu
sendiri tentang apa yang kaupelajari malam ini.” Dr. Gaul membungkus lukanya
dengan kain kasa. “Dan beberapa jahitan di lenganmu adalah harga yang murah
untuk membayar pengetahuan ini.”
Coriolanus merasa mual mendengar ucapan Dr. Gaul sekaligus marah
mendengar bahwa wanita itu memaksanya membunuh demi memberinya
pelajaran. Sesuatu yang sepenting itu seharusnya dia putuskan sendiri, bukan
diputuskan oleh wanita itu. Hanya dia yang berhak mengambil keputusannya
sendiri. “Kalau aku binatang buas, kau apa? Kau guru yang mengirim muridnya
menghajar anak lain sampai mati!”
“Oh, ya. Peran itu jatuh padaku.” Dia selesai menutup perban di lengan
Coriolanus dengan rapi. “Tahu tidak, Dekan Highbo om dan aku membaca
esaimu seluruhnya. Tentang apa yang kausukai dari perang. Terlalu berbunga-
bunga. Omong kosong. Hingga di bagian akhir. Bagian tentang kontrol. Untuk
tugasmu berikutnya, aku ingin kau menjelaskannya secara terperinci. Arti dari
kontrol. Apa yang terjadi tanpa adanya kendali. Pikirkan baik-baik. Ini bisa jadi
tambahan menarik dalam lamaran untuk hadiahmu.”
Coriolanus tahu apa yang terjadi tanpa adanya kendali. Dia sudah melihatnya; di
kebun binatang saat Arachne tewas, di arena saat bom meledak, dan malam ini.
“Kekacauan terjadi. Apa lagi?”
“Oh, baguslah. Mulai dari sana. Kekacauan. Tidak ada kontrol, tidak ada hukum,
tidak ada pemerintah sama sekali. Seperti saat berada di arena. Apa selanjutnya?
Perjanjian seperti apa yang diperlukan jika kita ingin hidup dalam damai? Kontrak
sosial seperti apa yang diperlukan untuk bertahan hidup?” Dia melepaskan infus
dari lengan Coriolanus. “Kau harus kembali dua hari lagi agar jahitanmu bisa
diperiksa. Sementara itu, jangan bilang siapa-siapa tentang kejadian malam ini.
desyrindah.blogspot.com
Sebaiknya kau pulang dan tidur selama beberapa jam. Tidak kusangka, pesertamu
masih bertahan dan membutuhkanmu.”
Setelah Dr. Gaul pergi, perlahan-lahan Coriolanus bangkit, memakai kemejanya
yang robek dan ternoda darah lalu mengancingkannya. Dia berjalan tak tentu arah
sampai menemukan elevator yang menuju jalan keluar, dan para penjaga yang tak
peduli hanya melambai menyuruhnya keluar. Trem berhenti beroperasi pada
pukul dua belas malam, dan jam Capitol sudah menunjukkan pukul dua dini hari,
jadi dia berjalan kaki pulang dengan sepatunya yang kotor.
Mobil mewah milik keluarga Plinth berhenti di sampingnya. Jendela kaca mobil
yang diturunkan memperlihatkan Avox, yang melangkah keluar dan membukakan
pintu mobil untuknya. Coriolanus beranggapan bahwa sang sopir sudah
mengantar Sejanus pulang, dan Ma mengirimnya lagi untuk menjemput
Coriolanus. Karena tak ada anggota keluarga Plinth, Coriolanus mau masuk ke
mobil. Ini terakhir kalinya dia berurusan dengan keluarga itu. Saat sopir
mengantarnya sampai apartemen, sopir itu menyerahkan kantong kertas besar
untuknya. Sebelum dia bisa menolak, mobil itu sudah berlalu pergi.
Setibanya di lantai atas, dia mengintip dan melihat Tigris sedang menunggu di
meja minum teh, mengenakan mantel bulu rombeng yang dulu adalah milik
ibunya. Itu selimut yang memberikan rasa aman bagi Tigris, seperti kotak bedak
bagi Coriolanus sebelum beralih peran sebagai kotak senjata. Dia mengambil jas
sekolah dari rak mantel dan memakainya untuk menutupi kemejanya yang robek
dan kotor sebelum Tigris melihatnya.
Coriolanus berusaha mencerahkan suasana yang muram. “Sepertinya tidak
seburuk itu sampai kau butuh mantel.”
Jemari Tigris mengelus bulu di mantelnya. “Ceritakan padaku.”
“Nanti akan kuceritakan semuanya. Besok pagi, ya?” tawar Coriolanus.
“Oke.” Saat Tigris memeluknya untuk mengucapkan selamat malam, tangannya
menyentuh tonjolan perban di lengan Coriolanus. Coriolanus tidak sempat
desyrindah.blogspot.com
sudah rusak selama bertahun-tahun. Tapi dia punya alasan atas kondisi siknya.
Setelah selesai berpakaian dan bersiap-siap, dia menyetel televisi untuk
memastikan tak ada hal buruk yang menimpa Lucy Gray. Tapi kamera tidak
berpindah posisi, dan satu-satunya peserta yang terlihat di bawah cahaya matahari
pagi adalah Lamina di atas palangnya. Dia menghindari Grandma’am, lalu masuk
ke dapur. Di sana Tigris sedang memanaskan sisa teh melati tadi malam.
“Sudah terlambat,” katanya. “Aku harus segera berangkat.”
“Bawa ini untuk sarapan.” Tigris menyerahkan sebungkus makanan ke tangannya
dan memasukkan dua token ke sakunya. “Naik trem saja hari ini.”
Dia perlu menghemat tenaga, dan memutuskan melakukan apa yang
diperintahkan Tigris; naik trem dan makan dua tangkup roti berisi telur dan sosis
yang diberikan Mrs. Plinth. Satu-satunya penyesalan Coriolanus jika menjauh dari
keluarga Plinth adalah tidak lagi mendapat makanan dari Ma.
Para siswa diperintahkan untuk absen masuk pada pukul 7.45 pagi, jadi mereka
yang sudah datang pagi-pagi adalah mentor yang masih memiliki peserta dan
beberapa Avox yang membersihkan aula. Coriolanus memandang Juno Phipps,
yang sedang duduk mendiskusikan strateginya dengan Domitia, dengan tatapan
bersalah. Semestinya dia masih bisa tidur lebih lama di rumah. Coriolanus tidak
terlalu menyukai Juno Phipps gadis itu selalu membawa-bawa silsilah keluarga
saat berbicara seakan nama keluarga Snow tidak sebaik keluarganya tapi
kejadian tadi malam tidak adil buat Juno Phipps. Dia penasaran bagaimana cara
Pengawas Permainan mengungkapkan kematian Bobbin dan bagaimana
perasaannya saat mereka mengungkapkannya, selain rasa mual.
Mereka hanya menyajikan teh di Heavensbee Hall, dan Festus menggerutu.
“Kalau kita harus berada di sini sepagi ini, setidaknya mereka bisa memberi kita
makan. Apa yang terjadi dengan wajahmu?”
“Kecelakaan sepeda,” kata Coriolanus, selantang mungkin agar bisa didengar
semua orang. Dia memberikan roti terakhir yang masih tersisa di kantong kertas
desyrindah.blogspot.com
kepada Festus, senang akhirnya bisa menjadi orang yang memberi makanan. Dia
berutang banyak makanan pada keluarga Creed
“Terima kasih. Kelihatannya enak,” kata Festus, yang langsung menggigit
rotinya.
Lysistrata menyarankan agar Coriolanus memakai krim untuk mencegah infeksi,
lalu mereka berjalan masuk dan duduk di tempat masing-masing saat teman-
teman sekolah mereka mulai tiba.
Walaupun matahari semakin terik, tak banyak perubahan di layar televisi kecuali
hilangnya jasad Marcus. “Kurasa mereka memindahkannya,” kata Pup. Tapi
Coriolanus berpikir mungkin jasad Marcus masih berada di dekat barikade tempat
dia dan Sejanus meninggalkannya tadi malam, hanya saja tidak kena sorotan
kamera.
Tepat pukul delapan, mereka semua bangkit berdiri menyanyikan lagu
kebangsaan, akhirnya teman-teman sekelas Sejanus mulai hafal liriknya. Lalu
Lucky Flickerman muncul, menyambut mereka pada hari kedua Hunger Games.
“Pada saat Anda tidur, terjadi peristiwa penting. Mari kita lihat.” Mereka
menampilkan sudut lebar arena, lalu perlahan-lahan kamera menyorot ke
barikade, memperbesar gambar di sana. Seperti yang diperkirakan Coriolanus,
jasad Marcus masih tergeletak di tempat dia dan Sejanus meninggalkannya. Tidak
jauh dari situ, Bobbin yang babak belur teronggok di atas beton. Bobbin terlihat
lebih buruk daripada yang dia bayangkan. Kaki dan tangannya bersimbah darah,
satu matanya copot, wajahnya bengkak hingga tak bisa dikenali lagi. Apakah dia
benar-benar melakukan hal itu terhadap anak lain? Dan anak itu masih kecil,
dalam kematiannya tubuh Bobbin terlihat menciut. Tampaknya dia tersesat dalam
jaring gelap ketakutan. Keringat mengucur di dahi Coriolanus, dan dia ingin
meninggalkan aula, gedung sekolah, dan seluruh kejadian ini. Tapi, tentu saja, itu
bukanlah pilihan. Memangnya dia siapa Sejanus?
Setelah kamera menyoroti dua jasad itu beberapa lama, tayangan kembali ke
desyrindah.blogspot.com
Lucky yang sedang menduga-duga siapa yang mungkin jadi pelakunya. Kemudian
suasana hatinya berubah cepat. “Yang pasti sudah kita ketahui adalah ada sesuatu
yang patut dirayakan!” Seruannya disusul hujan konfeti, dan Lucky meniup
terompet plastik. “Karena ini berarti kita sudah separo jalan! Ya benar, dua belas
peserta sudah tewas, dan tersisa dua belas lagi!” Sederet saputangan ber warna
cerah terlempar keluar dari tangannya. Dia mengibarkan saputangan itu di atas
kepalanya, sambil berjoget dan bersorak, “Hiyaaa!” Setelah selesai, dia
menunjukkan ekspresi sedih. “Tapi itu berarti kita harus mengucapkan selamat
tinggal pada Miss Juno Phipps. Bukankah begitu, Lepidus?”
Lepidus sudah berada di lorong tempat duduk Juno, yang tak mengira bakal ada
kejadian ini, dan gadis itu tidak punya pilihan selain ikut dengan Lepidus dan
berusaha menunjukkan kekecewaannya di kamera. Karena sudah ada sedikit
waktu untuk menyiapkan diri, Coriolanus membayangkan gadis itu bisa
menghadapinya dengan anggun, tapi Juno menunjukkan wajah masam dan curiga,
mempertanyakan perkembangan terbaru ini sembari membuka buku berlapis
kulit yang bertatahkan lambang keluarga Phipps. “Ada yang mencurigakan di sini,”
katanya pada Lepidus. “Maksudku, apa yang dilakukannya di sana dengan jasad
Marcus? Siapa yang memindahkannya? Dan bagaimana Bobbin bisa tewas? Aku
tidak bisa membayangkan kemungkinan skenario yang terjadi. Menurutku ada ke-
curangan di sini!”
Sang reporter terlihat bingung. “Apa yang dikuali kasikan sebagai kecurangan?
Tepatnya, kecurangan di arena?”
“Ya, aku tidak tahu apa tepatnya,” jawab Juno marah, “tapi aku, pastinya, ingin
melihat tayangan ulang peristiwa tadi malam!”
Semoga beruntung, Juno, pikir Coriolanus. Kemudian dia sadar bahwa rekaman
tadi malam itu ada. Di bagian belakang van, Dr. Gaul dan Dekan Highbo om
menonton dua versi kejadian itu, tayangan yang sebenarnya dan yang digelapkan
untuk menyamarkan misi Coriolanus. Versi yang tidak digelapkan pun sulit
desyrindah.blogspot.com
dilihat. Namun, Coriolanus tetap tidak menyukai adanya rekaman dia membunuh
Bobbin, seberapa pun gelapnya rekaman itu. Jika rekaman itu sampai tersebar…
entah bagaimana caranya, Coriolanus merasa tidak nyaman.
Lepidus tidak berlama-lama dengan Juno, pecundang yang tidak memiliki
kebesaran hati dalam menerima kekalahan seperti Felix, dan Lepidus
mengarahkan gadis itu kembali ke tempat duduk sambil menepuk-nepuk
punggungnya untuk menenangkannya.
Lucky yang masih bertabur konfeti tampak tidak menyadari penderitaan Juno.
Dia mendekatkan diri ke kamera memamerkan senyum girang. “Dan sekarang,
apa lagi yang menanti? Kita punya kejutan ekstrabesar terutama jika kau salah
satu dari dua belas mentor yang tersisa!”
Coriolanus dan teman-temannya bertukar pandang dengan bingung sebelum
Lucky berjalan mengelilingi studio dan memperlihatkan Sejanus duduk bersisian
dengan ayahnya, Strabo Plinth, dengan ekspresi wajah sekeras logam persenjataan
di distrik kampung halamannya. Lucky duduk di kursi pembawa acara dan
menepuk kaki Sejanus. “Sejanus, maa an aku, kemarin kau tidak mendapat
kesempatan untuk memberi komentar atas kematian pesertamu, Marcus.” Sejanus
memandang bingung pada Lucky. Untuk pertama kalinya Lucky memperhatikan
luka-luka lecet di wajah Sejanus. “Ada apa ini? Kau sepertinya juga beraksi.”
“Aku jatuh dari sepeda,” kata Sejanus serak, dan Coriolanus mengernyit. Dua
kecelakaan sepeda dalam periode waktu dua belas jam yang sama bukanlah
sekadar kebetulan.
“Aduh. Tapi sepertinya kau punya kabar besar untuk dibagi dengan kami!” kata
Lucky sembari mengangguk memberi semangat.
Sejanus menunduk sejenak, walaupun tidak terang-terangan, pasangan ayah dan
anak itu sedang bertarung satu sama lain.
“Ya,” kata Sejanus. “Kami, keluarga Plinth, mengumumkan bahwa kami akan
memberikan hadiah berupa beasiswa penuh di Universitas untuk mentor yang
desyrindah.blogspot.com
terbunuh. Ada penampakan beberapa peserta, tapi Lucy Gray tetap tak terlihat.
Pada sore hari, Hunger Games baru menunjukkan aksi yang diharapkan
penonton. Anak perempuan dari Distrik 5, anak yang terlihat lemah dan pernah
ikut dalam kawanan yang menyerang Coriolanus, berjalan ke bangku-bangku
penonton di ujung arena. Lucky berusaha mengingat nama anak perempuan itu
dan mentornya yang juga terlupakan, Iphigenia Moss. Ayah Iphigenia memimpin
Kementerian Pertanian, dan mengatur aliran makanan di seantero Panem. Tapi
Iphigenia tampak seperti gadis yang kekurangan gizi, sering memberikan makan
siangnya pada teman-teman sekelasnya, bahkan pernah pingsan beberapa kali.
Clemensia pernah memberitahu Coriolanus bahwa itulah satu-satunya cara balas
dendam yang bisa dilakukan Iphigenia pada ayahnya, tapi Clemensia tidak men-
jelaskan lebih lanjut.
Seperti dugaan, Iphigenia mengirim makanan yang dia miliki pada pesertanya.
Tetapi pada saat drone-drone itu terbang melintasi arena, Mizzen, Coral, dan
Tanner, yang tampak membentuk semacam persekutuan setelah peristiwa tadi
malam, muncul dari terowongan dan memulai perburuan mereka. Setelah
pengejaran singkat di antara bangku-bangku penonton, mereka berhasil
mengurung gadis itu, dan Coral membunuhnya dengan hunjaman trisula ke
lehernya.
“Wah, wah, hebat,” kata Lucky, masih tidak tahu nama peserta itu. “Apa yang
bisa disampaikan mentornya pada kita, Lepidus?”
Iphigenia sudah lebih dulu menghampiri Lepidus. “Namanya Sol, atau mungkin
Sal. Dia memiliki aksen bicara yang lucu. Tak banyak yang bisa diceritakan.”
Lepidus tampak sependapat. “Usaha yang bagus, berhasil menempatkannya di
paruh kedua, Albina!”
“Iphigenia,” kata Iphigenia sambil berjalan turun dari mimbar.
“Tepat sekali!” kata Lepidus. “Ini artinya hanya tersisa sebelas peserta!”
Artinya hanya ada sepuluh orang lagi di antara aku dan hadiah itu, pikir
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus saat dia melihat Avox menyingkirkan kursi Iphigenia. Dia berharap
bisa mengirimkan makanan dan minuman untuk Lucy Gray. Apa yang akan
terjadi jika dia mengirim hadiah tanpa mengetahui lokasi Lucy Gray? Di layar
terlihat kawanan itu mengambil makanan yang dikirim untuk Sol atau Sal lalu
kembali ke terowongan, mungkin mereka hendak beristirahat sebelum malam
tiba. Apakah dia harus mengambil risiko dengan mengirim makanan sekarang?
Dia berbisik pada Lysistrata, yang merasa tak ada salahnya mencoba mengirim
drone mereka berbarengan. “Kita tidak mau mereka terlalu lemah dan mengalami
dehidrasi. Kurasa Jessup sudah tidak makan beberapa hari. Mari kita tunggu dan
lihat apakah mereka mencoba mengontak kita. Kita tunggu sampai makan
malam.”
Tapi Lucy Gray muncul tepat ketika para siswa diizinkan pulang. Dia melesat
keluar dari terowongan, berlari sekencang-kencangnya. Kepang rambutnya sudah
terurai, hingga rambutnya berkibar ketika dia berlari.
“Di mana Jessup?” tanya Lysistrata mengerutkan dahi. “Kenapa mereka tidak
bersama-sama?”
Sebelum Coriolanus bisa menerka jawabannya, Jessup terhuyung-huyung keluar
dari terowongan yang sama. Awalnya Coriolanus mengira Jessup terluka, mungkin
saat melindungi Lucy Gray. Tapi, apa yang membuat gadis itu melarikan diri?
Apakah mereka dikejar peserta lain? Saat kamera menyorot lebih dekat ke Jessup,
tampak jelas pemuda itu sakit, bukan terluka. Dia bergerak kaku dan gelisah,
tangannya menggapai-gapai ke atas sebelum jatuh berlutut, lalu tiba-tiba dia
tersentak berdiri saat kamera menyorot wajahnya dalam jarak dekat.
Coriolanus bertanya-tanya apakah Lucy Gray berhasil meracuninya, tapi
tindakan itu tidak masuk akal. Jessup terlalu berharga sebagai pelindungnya,
terutama setelah kawanan yang terbentuk tadi malam berkeliaran membunuh
peserta lain. Jadi, apa penyebab sakitnya?
Banyak hal yang bisa menyebabkan Jessup sakit, bisa karena virus atau
desyrindah.blogspot.com
semacamnya, tapi petunjuknya menjadi jelas saat mulut pemuda itu mulai
mengeluarkan busa.
17
duduk dan entah bagaimana bisa lolos dari serangan bom. Lucy Gray berhenti
sejenak, terengah-engah sambil memikirkan Jessup yang mengejarnya, lalu gadis
itu berhasil sampai di reruntuhan stan penjual makanan di dekat sana. Rangkanya
utuh, tapi bagian tengahnya hancur berkeping-keping dan atapnya melayang
hingga sepuluh meter jauhnya. Dengan batu bata dan tripleks berserakan, area itu
menjadi jalur halang rintang yang harus dilewati Lucy Gray sebelum tiba di bagian
puncaknya.
Para Pengawas Permainan mengambil kesempatan saat Lucy Gray tidak
bergerak, dan memperbesar gambarnya dalam jarak dekat. Coriolanus melihat
bibir Lucy Gray pecah-pecah dan langsung mengakses alat komunikasinya. Gadis
itu tampaknya belum minum sejak masuk arena, dan itu sudah satu setengah hari
yang lalu. Dia menyentuh layar untuk mengirim sebotol air. Kecepatan pengirim-
an hadiah dengan drone kini semakin baik. Bahkan jika dia tetap berlari, mereka
tetap bisa mengirim air jika Lucy Gray berada di tempat terbuka. Kalau dia bisa
lolos dari Jessup, Coriolanus bisa mengiriminya makanan dan minuman, untuk
dirinya sendiri dan sebagai umpan racun tikus. Tapi urusan racun itu tampaknya
masih menjadi rencana masa depan yang belum terpikirkan caranya.
Jessup berhasil menyeberangi arena dan tampak bingung karena Lucy Gray
menjauhinya. Dia berusaha memanjat menyusulnya ke stan, tapi tidak bisa
menyeimbangkan diri. Ketika dia masuk ke lautan puing, koordinasi langkahnya
semakin kacau. Dua kali dia terjatuh, lutut dan pelipisnya luka robek. Setelah luka
kedua, yang mengeluarkan banyak darah, dia jatuh terduduk, tertegun di tangga
berusaha menggapai Lucy Gray. Mulut Jessup bergerak-gerak sementara liur
berbusa menetes ke dagunya
Lucy Gray tetap bergeming, memandang Jessup dengan tatapan sedih. Mereka
menampilkan ilustrasi aneh: anak lelaki yang kena rabies, gadis yang terperangkap,
bangunan yang habis dibom. Pasangan kekasih bernasib malang yang tiba di ujung
takdir mereka. Kisah pembalasan karma. Saga perang yang tak kenal ampun.
desyrindah.blogspot.com
kursi, kakinya tersandung, dan dia terempas ke luar dinding arena dan jatuh ke
lapangan.
Bunyi tulang-tulang patah terdengar ketika Jessup mendarat menghantam tanah,
dan dia jatuh di bagian lapangan yang memiliki perekam audio bagus. Dia
terbaring telentang, tak bergerak, hanya dadanya naik-turun. Botol-botol yang
tersisa menghujaninya dengan air sementara Jessup mengernyit dan matanya
memandang tanpa berkedip ke cahaya matahari yang terang menyilaukan sisa-sisa
air.
Lucy Gray berlari menuruni tangga dan memandangnya dari susuran tangga.
“Jessup!” Pemuda itu berhasil mengarahkan pandangannya ke wajah Lucy Gray.
Coriolanus samar-samar mendengar Lysistrata berbisik, “Oh, jangan biarkan dia
mati sendirian.”
Lucy Gray menimbang-nimbang bahaya dan mengantisipasi ancaman di arena
sebelum turun dan menyelinap dari celah dinding di sisi Jessup terbaring.
Coriolanus ingin berteriak Lucy Gray harus pergi dari sana tapi dia tidak bisa
melakukannya karena ada
Lysistrata di sampingnya. “Dia takkan meninggalkannya,” Coriolanus me-
nenangkan Lysistrata, teringat bagaimana Lucy Gray menarik tubuhnya dari tiang
yang terbakar. “Itu bukan gayanya.”
“Aku masih punya uang,” kata Lysistrata sambil menyeka matanya. “Aku akan
mengiriminya makanan.”
Jessup menggerakkan matanya memandang Lucy Gray yang melompat ke
lapangan, tapi dia tidak bisa bergerak. Mungkinkah dia lumpuh karena jatuh?
Lucy Gray mendekatinya dengan hati-hati dan berlutut di dekatnya sambil
menggenggam lengan Jessup yang panjang. Dia berusaha tersenyum dan bicara,
“Tidurlah, Jessup, kau dengar, tidak? Tidurlah dulu, sekarang giliranku berjaga.”
Ada sesuatu yang masuk ke dalam kenangan Jessup, suara Lucy Gray atau
mungkin pengulangan kata-kata yang diucapkan Lucy Gray selama dua minggu
desyrindah.blogspot.com
memunguti hadiah makanan dan minuman, mereka akan lebih mudah diracuni.
Dia tidak bisa lama-lama memikirkan caranya, karena Lepidus datang mendekati
Lysistrata.
“Wah!” kata Lepidus. “Mengejutkan! Apakah kau tahu dia menderita rabies?”
“Tentu saja tidak. Kalau tahu, aku akan memberitahu pihak ber wenang agar
memeriksa rakun di kebun binatang,” kata Lysistrata.
“Apa? Maksudmu dia tidak membawa penyakitnya dari distrik?” tanya Lepidus.
Lysistrata teguh dengan pendapatnya. “Tidak, dia digigit di sini, di Capitol.”
“Di kebun binatang?” Lepidus tampak kuatir. “Banyak orang Capitol yang
menghabiskan waktu di kebun binatang. Ada rakun yang berlari di peralatanku,
mencakar-cakar dengan tangan mereka yang kecil…”
“Kau tidak kena rabies,” kata Lysistrata.
Lepidus membuat gerakan mencakar-cakar. “Rakun itu menyentuh barang-
barangku.”
“Kau punya pertanyaan tentang Jessup?” tanya Lysistrata.
“Jessup? Tidak, aku tak pernah dekat dengannya. Oh, hm, maksudmu… Apakah
kau bisa berbagi perasaanmu?” tanyana.
“Ya.” Lysistrata mengambil napas panjang. “Aku ingin semua orang tahu bahwa
Jessup adalah orang yang baik. Dia melindungiku dengan tubuhnya dari ledakan
bom di arena. Dia bahkan melakukannya tanpa sadar. Dia melakukannya secara
re eks. Itulah sejatinya Jessup. Seorang pelindung. Kurasa dia takkan
memenangkan Hunger Games, karena dia lebih memilih mati untuk melindungi
Lucy Gray.”
“Oh, seperti anjingnya.” Lepidus mengangguk. “Anjing yang baik.”
“Bukan. Bukan seperti anjing. Seperti manusia,” kata Lysistrata.
Lepidus memandangnya lekat-lekat, berusaha menafsir apakah Lysistrata
bergurau atau tidak. “Hm. Lucky, ada pendapat dari markas pusat?”
Kamera menangkap sosok Lucky yang sedang menggigit bintil kukunya. “Oh,
desyrindah.blogspot.com
apa? Hei! Tak ada apa-apa saat ini. Bagaimana kalau kita kembali arena?”
Saat kamera tak lagi mengarah padanya, Lysistrata mengambil barang-
barangnya.
“Jangan pergi dulu. Makan malamlah dengan kami,” kata Coriolanus.
“Tidak. Aku hanya ingin pulang. Terima kasih sudah mendampingiku. Coryo.
Kau sekutu yang baik,” kata Lysistrata.
Coriolanus memeluknya. “Kau juga. Aku tahu ini tidak mudah.”
Lysistrata menghela napas. “Yah, setidaknya, aku sudah tidak terlibat.”
Mentor-mentor yang lain berkumpul di sekelilingnya, mengatakan bahwa dia
sudah melakukan tugasnya dengan baik dan lain-lain, lalu Lysistrata meninggalkan
aula tanpa menunggu yang lain keluar. Tak lama kemudian, siswa-siswa lain keluar
dan hanya menyisakan sepuluh mentor. Mereka mengawasi satu sama lain dengan
pandangan baru setelah Hadiah Plinth menjadi taruhannya, masing-masing tidak
hanya berharap memiliki pemenang, tapi menjadi pemenang Hunger Games.
Pemikiran yang sama pasti juga terlintas di pikiran Pengawas Permainan, karena
Lucky melihat layar televisi menampilkan da ar peserta yang tersisa beserta
mentor mereka. Layar terbagi dua menunjukkan foto pasangan mentor dan
peserta bersisisan, diiringi suara latar. Beberapa mentor mengerang saat menyadari
foto identitas siswa mereka terpampang di sana, tapi Coriolanus lega karena
mereka tidak menunjukkan wajahnya yang saat ini lecet-lecet. Para peserta, yang
memang tidak memiliki foto resmi, ditampilkan dengan foto mereka yang
terpotret usai hari pemungutan.
Da ar itu berurutan secara distrik, dimulai dari Distrik 3, pasangan Urban-
Teslee dan Io-Circ. “Peserta-peserta dari distrik teknologi membuat kita bertanya-
tanya, apa yang mereka lakukan pada drone-drone itu?” kata Lucky. Selanjutnya
foto Festus dan Coral, berikutnya Persephone dan Mizzen. “Para peserta Distrik
Empat melaju memasuki sepuluh besar!” Foto Lamina di atas palang dan Pup
membuat Pup bersorak sampai foto itu digantikan Treech yang sedang main sulap
desyrindah.blogspot.com
di kebun binatang dan Vipsania. “Favorit penonton Lamina dan Pliny Harrington
juga anak lelaki Distrik Tujuh, Treech, dan mentornya Vipsania Sickle! Jadi,
Distrik Tiga, Empat, dan Tujuh masih lengkap pesertanya! Sekarang kita ke
peserta tunggal.” Foto buram Wovey yang berjongkok di kebun binatang, dipa-
sangkan dengan foto Hilarius yang jerawatan. “Wovey dari Delapan dengan
Hilarius Heavensbee sebagai mentor!” Karena mereka menggunakan foto saat
wawancara, Tanner terlihat lebih baik ketika fotonya dipasang dengan Domitia.
“Anak lelaki dari Sepuluh tidak sabar untuk menggunakan teknik rumah jagalnya!”
Kemudian, Reaper, yang berdiri tegak di arena, bersama Clemensia yang tanpa ca-
cat. “Inilah peserta yang membuatmu berpikir ulang! Reaper dari Sebelas!”
Akhirnya Coriolanus melihat fotonya tidak jelek, tidak terlalu bagus juga
dengan foto Lucy Gray yang memesona sedang bernyanyi saat wawancara. “Dan
pasangan paling populer jatuh kepada Coriolanus Snow dan Lucy Gray dari Dua
Belas!”
Paling populer? Dia tersanjung, tapi Coriolanus menganggapnya tidak
menakutkan buat yang lain. Tapi tak apa-apa. Populer membuat Lucy Gray
mendapat banyak hadiah. Gadis itu masih hidup, mendapat makanan dan
minuman, juga memiliki persediaan. Semoga Lucy Gray bisa bersembunyi sampai
yang lain kehabisan energi dan sumber daya. Kehilangan Jessup sebagai pelindung
adalah hantaman telak, tapi lebih mudah bagi gadis itu untuk bersembunyi sendi-
rian. Coriolanus sudah berjanji hadis itu takkan sendirian di arena, dia akan
menemaninya sepanjang saat. Apakah Lucy Gray sedang memegang kotak bedak
itu? Memikirkan Coriolanus seperti dia sedang memikirkan Lucy Gray sekarang?
Coriolanus memperbarui lembaran mentornya, sedih saat harus mencoret nama
Jessup dan Lysistrata.
HUNGER GAMES KE-10
PENUGASAN MENTOR
DISTRIK 1
desyrindah.blogspot.com
“Tapi sekarang kau harus memberitahuku,” kata Coriolanus. “Atau, aku akan
membayangkan kemungkinan terburuk. Tolong, beritahu aku.”
“Kita akan pikirkan cara mengatasinya.” Tigris hendak berdiri.
“Tigris.” Coriolanus menariknya. “Apa?”
Dengan enggan Tigris merogoh kantong mantelnya, mengeluarkan selembar
surat dengan logo Capitol, dan menyerahkannya pada Coriolanus. “Tagihan pajak
datang hari ini.”
Tigris tidak perlu menjelaskan. Ekspresinya sudah menjelaskan segalanya. Tanpa
uang untuk membayar pajak, dan tanpa ada cara meminjam uang, keluarga Snow
akan kehilangan rumah mereka.
desyrindah.blogspot.com
18
secangkir cokelat panas ditambah sirup jagung lalu membelai kepala Coriolanus
yang berdenyut sakit sampai dia tertidur. Coriolanus bermimpi tentang hal-hal
yang tidak menyenangkan dan sadis, kejadian di arena terulang-ulang dalam
benaknya, dan dia terbangun seperti biasa.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Apakah Grandma’am masih akan bernyanyi di rumah sewaan mereka satu atau
dua bulan lagi? Atau neneknya akan terlalu malu untuk bernyanyi keras-keras lagi?
Walaupun dia sering mencemooh nyanyian pagi neneknya, membayangkan
neneknya tidak lagi melakukan itu membuatnya sedih.
Saat Coriolanus berpakaian, jahitan di lengannya tertarik, dan dia ingat harus
mampir ke Citadel untuk memeriksakan lukanya. Lecet-lecet di wajahnya sudah
menjadi keropeng merah gelap dan tidak bengkak lagi. Dia menaburkan bedak
ibunya di wajah, yang meskipun tidak menutupi keropengnya, tapi membuatnya
lebih tenang karena mencium aromanya.
Keputusasaan dalam menghadapi situasi keuangan mereka membuat
Coriolanus menerima token yang diberikan Tigris tanpa pikir panjang. Kenapa
harus repot-repot menghemat uang receh sementara mereka juga tetap tidak
punya uang? Di trem, dia menelan biskuit yang dilapisi selai kacang dan berusaha
tidak membandingkannya dengan roti buatan Ma. Terpikir olehnya karena dia
telah menyelamatkan Sejanus, keluarga Plinth mungkin mau meminjamkan uang,
atau bahkan memberinya uang untuk tutup mulut. Tapi Grandma’am takkan
pernah mengizinkan hal itu, neneknya tidak ikhlas kalau keluarga Snow harus
memohon-mohon pada keluarga Plinth. Hadiah Plinth adalah permainan yang
adil, dan Tigris benar. Beberapa hari ke depan menentukan masa depan
Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com
Di Akademi, sepuluh mentor minum teh pagi dan menyiapkan diri untuk tampil
di depan kamera. Semakin hari mereka semakin disorot. Para Pengawas
Permainan mengirim penata rias, yang berhasil menutupi keropeng Coriolanus
dan merapikan alisnya. Tak ada yang kepingin bicara tentang Hunger Games,
kecuali Hilarius Heavensbee, yang cuma itu saja topik omongannya.
“Persertaku berbeda,” kata Hilarius. “Aku memeriksa da arku. Setiap peserta
yang tersisa di arena sudah mendapat makanan, atau minuman. Kecuali Wovey
yang tak pernah kelihatan. Di mana gadis itu? Maksudku, bagaimana jika dia
meringkuk bersembunyi lalu mati di terowongan? Mungkin dia sudah mati, dan
aku duduk di sini seperti orang bodoh, bermain dengan alat komunikasiku!”
Coriolanus ingin menyuruhnya diam karena orang lain punya masalah
sungguhan, tapi dia hanya berjalan ke kursi di deretan belakang, di samping
Festus, yang berdiskusi serius dengan Persephone.
Lucky Flickerman membuka acara dengan melaporankan secara ringkas tentang
peserta yang tersisa dan mengundang Lepidus untuk meminta komentar dari para
mentor. Coriolanus yang dipanggil pertama kali untuk menanggapi kejadian
dengan Jessup. Dia memuji Lysistrata dalam menangani situasi rabies kemarin dan
berterima kasih atas kemurahan hati Lysistrata pada menit-menit terakhir hidup
Jessup. Coriolanus lalu berbalik ke bagian tempat duduk mentor yang kalah,
meminta Lysistrata untuk berdiri, dan mengajak penonton bertepuk tangan.
Mereka tidak hanya bertepuk tangan, setengahnya bahkan berdiri. Lysistrata
tampak malu, tapi Coriolanus melihat gadis itu tidak keberatan dengan sanjungan
tersebut. Kemudian Coriolanus menambahkan, bahwa dia berharap tebakan
Lysistrata benar perihal pemenangnya adalah peserta dari Distrik 12, yaitu, Lucy
Gray. Penonton bisa melihat sendiri betapa cerdasnya peserta yang dia mentori.
Dan mereka pasti takkan lupa bagaimana Lucy Gray mendampingi Jessup hingga
akhir hidupnya. Sikap seperti itu mungkin bisa dibayangkan jika gadis itu berasal
dari Capitol, bukan gadis barbar dari distrik. Sikap seperti itulah yang harusnya
dipertimbangkan, seberapa besar mereka menghargai karakter pemenang di Hu-
desyrindah.blogspot.com
sebagai penutup kepala dan tubuhnya, Reaper duduk bersandar di salah satu tiang
sambil makan roti dan keju. Mereka tidak saling bicara lagi. Namun, ketenangan
tidak berlangsung lama saat sekawanan peserta muncul dari ujung arena. Lamina
menunjuk ke arah mereka. Reaper mengangguk berterima kasih lalu berlari
bersembunyi ke belakang barikade.
Coral, Mizzen, dan Tanner duduk di stan-stan dan membuat gerakan makan.
Festus, Persephone, dan Domitia mematuhi mereka, dan ketiga peserta itu saling
berbagi roti, keju, dan apel yang dijatuhkan dari drone.
Kembali ke studio, Lucky sudah membawa Jubilee, burung kakaktua
peliharaannya, ke panggung dan berusaha membujuk burung itu untuk berkata,
“Hai, Tampan!” pada Dekan Highhbo om. Burung itu, makhluk menyedihkan
dengan penyakit kulit, bertengger di pergelangan tangan Lucky, tak mau bicara,
sementara sang dekan bersedekap dan menunggu. “Oh, ucapkanlah! Ayolah! ‘Hai,
Tampan! Hai, Tampan!’”
“Kurasa dia tidak mau bicara, Lucky,” kata Dekan Highbo om. “Mungkin dia
tidak menganggapku tampan.”
“Apa? Ha! Tidaaak. Dia hanya malu di depan banyak orang asing.” Dia
mengulurkan burungnya. “Kau mau memegangnya?”
Sang dekan mundur. “Tidak.”
Lucky menarik Jubilee ke dadanya dan mengelus bulu burung kakaktua itu
dengan ujung jarinya. “Jadi, bagaimana menurut Anda, Dekan Highbo om?”
“Bagaimana… apa?” tanya Dekan Highbo om.
“Semua ini. Semua kejadian di Hunger Games ini.” Lucky melambaikan
tangannya di udara. “Semua ini!”
“Yah, yang kuperhatikan adalah adanya interaksi baru dalam Hunger Games,”
kata Dekan Highbo om.
Lucky mengangguk. “Interaksi baru. Silakan lanjutkan.”
“Sejak awal sebenarnya. Bahkan sebelum pertarungan dimulai. Saat
desyrindah.blogspot.com
karena dia makan apa pun yang gratis, dan itu penting untuk mempertahankan
staminanya. Ada keriuhan di aula yang menandakan sesuatu terjadi di layar
televisi, dan dia bergegas kembali ke tempat duduk. Mungkinkah Lucy Gray
muncul?
Lucy Gray tidak muncul, tapi kawanan mulai bergerak. Mereka bertiga berjalan
menyeberangi arena sampai tiba di bawah palang Lamina. Gadis itu tidak
memperhatikannya, sampai Tanner memukulkan pedangnya ke salah satu tiang
untuk menarik perhatian Lamina. Lamina duduk dan memperhatikan kawanan
itu, dan dia pasti merasakan perubahan suasana, karena dia mengeluarkan kapak
dan pisau lalu mengasahnya di bendera.
Setelah berdiskusi singkat, para peserta Distrik 4 memberikan trisula mereka
pada Tanner, lalu kawanan itu berpisah. Coral dan Mizzen masing-masing
memegang tiang besi yang menopang palang, dan Tanner berdiri di bawah
Lamina, memegang sepasang trisula. Sambil menggigit pisau, Coral dan Mizzen
saling mengangguk dan mereka mulai memanjat tiang palang.
Festus mengubah posisi duduknya. “Mulai seru.”
“Mereka takkan berhasil,” kata Pup gelisah.
“Mereka terlatih bekerja di kapal laut. Mereka memanjat tali sebagai bagian dari
pekerjaan mereka,” kata Persephone.
“Laberang,” kata Festus.
“Ya, aku mengerti. Ayahku kan komandan kapal laut,” kata Pup. “Memanjat tali
berbeda. Tiang-tiang ini lebih mirip pohon.”
Pup membuat semua orang kesal, bahkan mentor-mentor yang tidak lagi
memiliki peserta pun tidak tahan untuk tidak berkomentar
“Bagaimana dengan tiang kapal?” tanya Vipsania.
“Atau tiang bendera?” imbuh Urban.
“Mereka takkan berhasil,” kata Pup.
Pasangan Distrik 4 tidak memiliki teknik memanjat sehalus Lamina, tapi mereka
desyrindah.blogspot.com
sementara Mizzen hanya bisa berjalan beberapa langkah dengan ragu sebelum
Lamina bergerak mendekatinya. Lemparan kedua Tanner lebih baik, tapi trisula
itu hanya mengenai bagian samping palang dan mendarat di tanah.
Mizzen sibuk berjongkok dan berusaha menangkap trisula, dan baru berhasil
berdiri ketika Lamina berada di hadapannya, menghantam lutut Mizzen dengan
bagian tumpul kapaknya. Hantaman itu membuat mereka berdua kehilangan
keseimbangan. Lamina segera memeluk palang, sementara Mizzen terjatuh,
kehilangan pisaunya, dan hanya bertahan dengan satu tangan.
Bahkan mikrofon di arena bisa menangkap teriakan Coral ketika gadis itu tiba di
puncak. Tanner berjalan ke sisi tiang tempat Coral berdiri dan berhasil melempar
trisula dalam jangkauan Coral. Cara Coral menangkap senjata itu dengan mudah
di udara membuat penonton di Capitol bersorak kagum. Lamina menatap
Mizzen, dan tidak menganggapnya sebagai ancaman, jadi dia bersiap-siap meng-
hadapi serangan Coral. Lamina memiliki keseimbangan yang lebih baik, tapi
senjata Coral memiliki jangkauan yang lebih bagus. Setelah Lamina berhasil
menangkis beberapa kali dengan kapaknya, Coral memutar trisulanya sehingga
mengalihkan perhatian Lamina lalu menancapkannya ke perut lawan. Coral
melepaskan senjata sembari mundur, lalu mengeluarkan pisaunya sebagai senjata
cadangan, tapi dia tak perlu menggunakannya. Lamina jatuh dari palang dan tewas
seketika.
“Tidak!” Pup berteriak, dan suaranya bergema di Heavensbee Hall. Dia berdiri
terkesiap selama beberapa saat, lalu mengambil kursinya dan meninggalkan
wilayah tempat duduk mentor, serta mengabaikan Lepidus yang menyodorkan
mikrofon. Dia membanting kursi di samping Livia lalu berjalan keluar dari aula.
Coriolanus menduga Pup berusaha agar tidak menangis.
Coral berjalan ke arah Mizzen dan berdiri sejenak di sana, hingga Coriolanus
berpikir apakah dia akan menendang tangan
Mizzen agar jatuh menyusul Lamina. Namun, Coral duduk di palang, mengunci
desyrindah.blogspot.com
kakinya agar mendapat pijakan, lalu menolong pemuda itu. Hantaman kapak
melukai lututnya, meskipun sulit diperkirakan seberapa parah lukanya. Mizzen
meluncur turun dari tiang, disusul Coral yang memungut trisula yang terjatuh di
tanah sehabis dilempar Tanner. Mizzen bersandar di tiang, memeriksa lututnya.
Setelah melakukan semacam tarian di dekat jenazah Lamina, Tanner menyusul
mereka. Mizzen menyeringai dan mengangkat tangannya untuk saling tos
kemenangan. Tangan Tanner baru saja menyentuh tangan Mizzen saat Coral
menancapkan trisula ke punggung Tanner. Pemuda itu terjatuh ke depan
menimpa Mizzen yang bertahan di tiang dan langsung mendorongnya. Tanner
jatuh berputar, satu tangannya berusaha menggapai ke belakang mencabut trisula,
tapi tombak itu menancap amat dalam. Dia jatuh berlutut dengan ekspresi wajah
menunjukkan sakit hati dan bukannya terkejut, lalu dia terjatuh tengkurap di
tanah. Mizzen menghabisi nyawa Tanner dengan menusukkan pisau ke lehernya.
Mizzen lalu kembali dan bersandar di tiang sementara Coral merobek kain
bendera yang dipakai Lamina dan mengikat lutut Mizzen.
Di studio, wajah Lucky menunjukkan keterkejutan yang dibuat-buat. “Kalian
lihat apa yang kulihat?”
Domitia mengumpulkan barang-barangnya tanpa bicara, bibirnya mengatup
kecewa. Tapi saat Lepidus menyorongkan mikrofon ke arahnya, gadis itu bicara
dengan nada tenang dan tak terbawa perasaan. “Mengejutkan. Kupikir Tanner bisa
memenangkan ini. Mungkin bisa saja dia menang andai sekutunya tidak
mengkhianatinya. Kurasa itu kesimpulannya. Berhati-hatilah pada orang yang kau-
percayai.”
“Di dalam dan luar arena,” kata Lepidus sambil mengangguk bijaksana.
“Di mana-mana,” Domitia sependapat. “Tanner orang yang sangat sopan. Dan
Distrik Empat memanfaatkan hal itu.” Dia memandang sedih ke arah Festus dan
Persephone, menyiratkan bahwa hal ini berdampak buruk untuk mereka, dan
Lepidus juga mendecakkan lidah kecewa. “Ini satu hal yang kupelajari saat
desyrindah.blogspot.com
banyak pemberontak yang dibutuhkan untuk mengikat tali sepatu. “Aku tak
pernah menjenguknya di rumah sakit. Kapan pemakamannya?”
“Sedang direncanakan. Jangan beritahu siapa-siapa sampai kami meng-
umumkannya secara resmi,” Dr. Gaul memperingatkannya. “Aku hanya
memberitahumu sekarang supaya setidaknya salah satu dari kalian bisa
mengatakan sesuatu yang cerdas pada Lepidus. Aku yakin kau bisa mengatasinya.”
“Ya, tentu saja. Aneh rasanya mengumumkan ini pada saat
Hunger Games. Seperti kemenangan pada para pemberontak,” kata Coriolanus.
“Tepat sekali. Tapi tenang saja, akan ada pembalasan. Bahkan sesungguhnya,
gadismu yang memberiku gagasan ini. Kalau dia menang, kami bisa bertukar
pikiran. Dan aku belum lupa kau masih utang tulisan.” Dr. Gaul pergi, menutup
tirai di belakangnya.
Coriolanus boleh pulang, dia mengancingkan kemejanya dan mengambil tas
sekolahnya. Apa yang mesti dia tulis? Sesuatu tentang kekacauan? Kontrol?
Kontrak? Dia yakin kata itu dimulai dengan huruf K. Saat tiba di elevator, dia
berpapasan dengan dua orang asisten lab yang berusaha memasukkan troli ke
dalam elevator. Di dalam troli ada kotak kaca berisi ular yang menyerang
Clemensia.
“Apakah dia bilang untuk membawakan pendingin?” tanya salah satu asisten.
“Aku tidak ingat,” jawab satunya lagi. “Kupikir mereka sudah diberi makan.
Sebaiknya kita cek lagi. Kalau kita salah, dia bisa mengamuk.” Sang asisten
menyadari keberadaan Coriolanus. “Maaf, kami harus mundur keluar.”
“Silakan,” kata Coriolanus, dan melangkah ke samping agar mereka bisa
mendorong kotak kaca itu keluar. Pintu elevator menutup, dan dia mendengar
mesin itu menderu naik.
“Oh, maaf, elevatornya akan kembali sebentar lagi,” kata asisten kedua.
“Tidak apa-apa,” kata Coriolanus. Tapi dia mulai mencurigai adanya masalah
besar. Dia memikirkan aktivitas di lab, dan Hunger Games disebut-sebut, serta Dr.
desyrindah.blogspot.com
hendak bermain sulap. Dia berjalan ke kotak kaca berisi ular, memunggungi
kamera keamanan, mencondongkan tubuhnya, menyandarkan tangannya di
penutup kaca seakan terpukau melihat ular-ular itu. Dari sudut pandang itu, dia
melihat saputangannya jatuh dari lubang penutup dan lenyap di antara ular-ular
itu.
desyrindah.blogspot.com
19
Apa yang telah dia lakukan? Apa yang telah dilakukannya? Jantungnya berdebar
cepat saat dia berjalan bergegas menyusuri jalan lalu berbelok sambil memikirkan
perbuatannya. Dia tak bisa berpikir jernih tapi dia punya rasat tidak enak bahwa
dia sudah melanggar batas yang seharusnya tak boleh dilanggar.
Dia merasa jalanan dipenuhi mata yang memandangnya. Beberapa pejalan kaki
dan pengemudi berada di jalanan di sekitarnya, dan dia merasa mereka
memelototinya. Coriolanus merunduk ke taman dan bersembunyi di balik
bayangan, duduk bangku taman yang dikelilingi semak. Dia berusaha mengatur
napasnya, menghitung sampai empat saat menarik napas lalu empat lagi saat
mengembuskannya, hingga jantungnya tidak lagi berdegup cepat. Kemudian dia
berusaha berpikir rasional.
Memang, dia menjatuhkan saputangan yang memiliki bau Lucy Gray
saputangan yang berada di kantong luar tas sekolahnya ke dalam kotak kaca
berisi ular. Dia melakukannya agar ular-ular itu tidak menggigit Lucy Gray seperti
yang mereka lakukan pada Clemensia. Supaya ular-ular itu tidak membunuhnya.
Karena dia peduli pada gadis itu. Karena dia peduli pada gadis itu? Atau karena dia
mau Lucy Gray memenangkan Hunger Games agar dia bisa memperoleh Hadiah
Plinth? Kalau dia melakukannya karena ingin Lucy Gray menang, artinya dia
sudah berbuat curang.
Tunggu dulu. Dia tidak tahu apakah ular-ular itu bakal ditaruh di arena, pikirnya.
Dua asisten tadi tidak memberitahunya. Tak pernah ada kejadian seperti itu di
desyrindah.blogspot.com
arena. Mungkin tadi dia tidak waras saja. Seandainya benar ular-ular itu ditaruh di
arena, Lucy Gray mungkin tak akan bertemu ular. Arena itu luas, dan ular kan
tidak ke sana kemari menyerang manusia. Manusia harus menginjak ular atau
berada di dekatnya. Bahkan seandainya Lucy Gray berpapasan dengan ular, dan
ular itu tidak menggigitnya, bagaimana mereka bisa menyimpulkan bahwa dialah
penyebabnya? Butuh terlalu banyak pengetahuan tentang keamanan dan akses
yang tak dimilikinya. Saputangan dengan bau Lucy Gray? Kenapa dia bisa
memilikinya? Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja.
Kecuali batas itu. Entah apakah ada orang yang bisa menarik kesimpulan dari
perbuatannya atau tidak, dia tahu dia sudah melanggar batas itu. Sesungguhnya,
dia tahu sudah menyerempet batas selama ini. Seperti saat dia mengambil
makanan Sejanus dari ruang makan untuk diberikan kepada Lucy Gray. Apa yang
dilakukannya adalah pelanggaran kecil, didorong keinginan untuk menjaga Lucy
Gray tetap hidup dan kemarahannya atas kelalaian Pengawas Permainan. Dia bisa
berargumen bahwa perbuatannya itu berlandaskan kepatutan mendasar. Tapi itu
bukan satu-satunya kejadian. Dia bisa melihatnya sekarang, perbuatannya yang
menyerempet batas hingga terpeleset melewatinya telah terjadi selama beberapa
minggu, dimulai dari sisa makanan Sejanus dan berakhir dengan dirinya berada di
sini, gemetaran di dalam gelap, duduk di kursi taman yang sepi. Apa yang akan
bakal terjadi padanya jika dia tidak bisa berhenti melanggar batas? Apa lagi yang
sanggup dia lakukan? Cukup sudah. Ini harus diakhiri. Tanpa kehormatan, dia tak
memiliki apa-apa. Tak ada lagi kecurangan. Tak ada lagi strategi licik. Tak ada lagi
pembenaran. Mulai sekarang dia akan hidup jujur, dan jika dia mesti menjalani hi-
dup sebagai pengemis, setidaknya dia masih punya kehormatan.
Kakinya melangkah semakin jauh dari rumah, tapi dia menyadari lokasi
apartemen keluarga Plinth hanya beberapa menit. Kenapa dia tidak mampir
sekalian lewat?
Seorang Avox mengenakan seragam asisten rumah tangga membuka pintu dan
desyrindah.blogspot.com
menawarkan diri untuk membawakan tas sekolah Coriolanus. Dia menolak dan
bertanya apakah Sejanus ada di rumah. Avox itu mengantarnya ke ruang tamu dan
menunjuk ke kursi agar dia duduk. Sembari menunggu, dia memperhatikan
perabot dengan saksama. Mebel yang indah, karpet tebal, permadani bersulam,
patung perunggu entah siapa. Walaupun eksterior apartemennya biasa saja, tapi
interiornya mewah. Keluarga Plinth hanya butuh alamat di Corso untuk
menguatkan status mereka.
Mrs. Plinth masuk ke ruang tamu sambil minta maaf dengan pakaian penuh
tepung. Tampaknya Sejanus sudah tidur, sementara ibunya sibuk di dapur. Apakah
dia mau turun sebentar untuk minum teh? Atau mungkin mereka akan
menyajikan teh di ruang tamu, sebagaimana yang dilakukan keluarga Snow. Tidak,
tidak perlu, Coriolanus menenangkannya, di dapur juga tidak apa-apa. Hanya
keluarga Plinth yang melayani tamu di dapur. Tapi dia tidak datang kemari untuk
memberikan pendapat. Dia kemari untuk berterima kasih, dan kalau itu ditambah
kue yang baru dipanggang tentu akan lebih baik.
“Kau mau pai? Ada blackberry. Atau persik kalau kau mau menunggu.” Dia
mengangguk ke arah deretan pai yang sedang menunggu masuk ke oven. “Atau
mungkin kau mau kue? Aku membuat puding susu siang tadi. Avox menyukainya,
karena mudah ditelan. Kopi, teh, atau susu?” Kerutan di dahi Ma semakin dalam
menunjukkan kegelisahannya, seakan apa yang ditawarkan pada Coriolanus tak
cukup baik.
Walaupun dia sudah makan malam, kejadian di Citadel dan berjalan kaki tadi
membuat tenaganya habis. “Oh, susu boleh. Dan pai blackberry kedengaran enak
sekali. Tak ada yang bisa menandingi masakan Anda.”
Ma mengisi gelas besar dengan susu sampai ke tepi gelas. Dia memotong
seperempat bagian pai dan menaruhnya ke piring. “Kau suka es krim?” tanyanya.
Dilanjutkan dengan beberapa sauk es krim vanila ke piringnya. Mrs. Plinth
menarik kursi di meja kayu sederhana. Kursi itu terletak di bawah sulaman
desyrindah.blogspot.com
“Sama sekali tidak. Kalau ya, kau takkan mau masuk ke arena menolong
anakku,” lanjut Mr. Plinth. “Mustahil membayangkan Crassus Snow menyabung
nyawa demi menolongku. Aku terus bertanya-tanya kenapa kau melakukannya.”
Sebenarnya, karena tak ada pilihan lain, pikir Coriolanus. “Dia sahabatku,”
ucapnya.
“Berapa kali pun kudengar jawaban itu, aku masih sulit percaya. Tapi sejak awal,
Sejanus membedakanmu dengan yang lain. Barangkali sifatmu mirip ibumu. Dia
selalu ramah kepadaku saat aku ke Capitol untuk urusan bisnis sebelum perang.
Dia tidak memandang latar belakangku. Ibumu adalah perwujudan wanita
terhormat. Tak pernah kulupakan.” Mr. Plinth memandang Coriolanus lekat-lekat.
“Apakah kau mirip ibumu?”
Percakapan ini tidak seperti yang dibayangkan Coriolanus. Tidak ada omongan
tentang uang hadiah. Dia tidak bisa menerimanya jika tidak ditawarkan. “Aku pikir
ada miripnya, dalam beberapa hal.”
“Dalam hal apa saja?” tanya Mr. Plinth.
Pertanyaan ini terasa aneh. Dalam hal apa dia mirip sosok yang penyayang,
mengagumkan, yang melagukan ninabobo untuknya tiap malam? “Kami sama-
sama menyukai musik.” Benarkah? Ibunya menyukai musik, dan dia tidak
membencinya, pikir Coriolanus.
“Musik, ya?” kata Mr. Plinth, seakan Coriolanus baru saja mengatakan hal
dangkal dan konyol.
“Dan kupikir kami sama-sama percaya bahwa nasib baik… mesti ditebus…
setiap hari. Bukan sesuatu yang kita terima begitu saja,” lanjutnya. Coriolanus
tidak paham sepenuhnya apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya Mr. Plinth bisa
mengerti.
Mr. Plinth merenungkannya. “Aku setuju denganmu.”
“Oh, baguslah. Ya, jadi… Sejanus,” Coriolanus mengingatkannya.
Wajah Mr. Plinth terlihat letih. “Sejanus. Oh ya, terima kasih sudah
desyrindah.blogspot.com
menyelamatkan nyawanya.”
“Tidak perlu berterima kasih. Seperti kubilang, dia temanku.” Sekaranglah
saatnya. Saatnya untuk ditawari uang, dia menolak, dibujuk, akhirnya menerima.
“Baiklah. Kurasa sudah saatnya kau pulang. Pesertamu masih ada di Hunger
Games, kan?” tanya Mr. Plinth.
Kaget karena diusir secara halus, Coriolanus bangkit dari kursinya. “Oh. Ya.
Anda benar. Aku hanya ingin tahu kabar Sejanus. Apakah dia akan segera kembali
ke sekolah?”
“Entahlah,” kata Mr. Plinth. “Tapi terima kasih sudah mampir.”
“Tentu saja. Beritahu dia bahwa teman-teman merindukannya,” kata Coriolanus.
“Selamat malam.”
“Malam.” Mr. Plinth mengangguk. Tak ada uang. Bahkan tak ada jabat tangan.
Coriolanus bingung dan kecewa. Sekantong besar makanan dan sopir yang
disediakan untuk mengantarnya pulang ibarat hadiah hiburan, tapi pada akhirnya
kunjungan ini hanya menghabiskan waktu, terutama karena masih ada tugas Dr.
Gaul yang mesti ditulisnya. “Tambahan menarik dalam lamaran untuk hadiahmu.”
Kenapa segalanya harus jadi perjuangan sulit baginya?
Coriolanus memberitahu Tigris bahwa dia menjenguk Sejanus, dan Tigris tidak
bertanya lebih lanjut tentang keterlambatannya. Tigris menyeduhkan secangkir
teh melati untuknya suatu bentuk kemewahan seperti berfoya-foya dengan
token, tapi buat apa dipikirkan sekarang? Dia bersiap-siap menulis tiga K di
selembar kertas. Kekacauan, kontrol, dan apa yang ketiga? Oh, ya. Kontrak. Apa
yang terjadi jika tak ada seorang pun yang mengontrol kemanusiaan? Itu topik
yang harus dia sampaikan. Dan dia juga menyebut tentang kekacauan. Dr. Gaul
mau dia mulai dari sana.
Kekacauan. Kerusuhan ekstrem dan kegaduhan. “Seperti berada di arena,” kata
Dr. Gaul. “Kesempatan yang sangat bagus,” begitu kata Dr. Gaul. Itu “transformatif.”
Coriolanus memikirkan seperti apa rasanya di arena, tanpa adanya peraturan,
desyrindah.blogspot.com
celananya mulai kesempitan. Nanti malam dia akan pulang berjalan kaki.
Tali beledu membatasi bagian mimbar yang berisi delapan mentor tersisa, dan
papan nama mentor terpasang di punggung kursi. Tempat duduk yang ditentukan
ini sesuatu yang baru, mungkin ini upaya untuk meredakan omongan sinis yang
terlontar selama beberapa hari terakhir. Coriolanus tetap duduk di deretan
belakang, di antara Io dan Urban. Festus yang malang terjepit di antara Vipsania
dan Clemensia.
Lucky menyambut penonton bersama Jubilee yang tampak sengsara, dikurung
dalam kandang lebih lebih cocok untuk kelinci daripada untuk burung. Tak ada
kejadian berarti di arena, para peserta tampaknya sedang tidur. Satu-satunya
perkembangan baru adalah seseorang, kemungkinan Reaper, menyeret jasad
Jessup ke deretan peserta yang sudah tewas di dekat barikade.
Coriolanus harap-harap cemas menunggu pengumuman kematian Gaius Breen,
tapi tak ada berita tentang itu. Para Pengawas Permainan menghabiskan waktu
dengan kerumunan penonton di depan arena, yang makin lama makin ramai.
Tampak kelompok-kelompok penggemar yang mengenakan kaus-kaus bergambar
wajah peserta dan mentor favorit mereka. Coriolanus merasa senang sekaligus
malu melihat foto dirinya di kaus dan terpampang di layar raksasa.
Menjelang siang barulah ada peserta yang kelihatan di arena, dan penonton di
studio tidak langsung mengenalinya.
“Itu Wovey!” Hilarius berteriak lega. “Dia masih hidup!”
Coriolanus mengingat Wovey yang kurus. Sekarang gadis itu tampak hanya
tulang dibalut kulit, kedua tangan dan kakinya ceking, pipinya cekung. Wovey
berjongkok di mulut terowongan dengan rok garis-garis kotor, menyipitkan mata
karena terangnya cahaya matahari dan memegangi botol air kosong.
“Tunggu, Wovey! Makanan segera datang!” kata Hilarius, menekan layar di alat
komunikasinya. Wovey tidak mendapat banyak sponsor, tapi ada saja orang yang
memasang taruhan pada mereka yang tak punya peluang menang.
desyrindah.blogspot.com
seperti itu. Seharusnya dia keluar lebih cepat supaya aku bisa memberinya makan.
Tapi aku merasa patut berbangga, delapan besar bukan hal yang bisa dianggap
enteng!”
Coriolanus mengingat da arnya. Sepasang peserta dari Tiga, sepasang dari
Empat, lalu Treech dan Reaper. Tinggal mereka penghalang Lucy Gray untuk
menjadi pemenang. Enam peserta dan segenggam keberuntungan.
Sejenak kematian Wovey tak menjadi perhatian di arena. Barulah saat menjelang
makan siang Reaper keluar dari barikade, masih mengenakan jubah bendera. Dia
mendekati Wovey dengan hati-hati, meski gadis itu tidak menjadi ancaman saat
masih hidup, apalagi sekarang dalam kondisi tak bernyawa. Reaper berjongkok di
sampingnya dan mengambil sebuah apel, lalu mengerutkan dahi saat mengamati
wajah Wovey dengan saksama.
Dia tahu, pikir Coriolanus. Setidaknya dia curiga gadis itu meninggal secara tidak
wajar.
Reaper menjatuhkan apelnya. Dia menggendong jasad Wovey sambil berjalan
menuju deretan jenazah peserta, meninggalkan makanan dan minuman Wovey di
tanah.
“Kalian lihat?” tanya Clemensia entah pada siapa. “Kalian lihat apa yang harus
kuhadapi? Otak pesertaku tidak beres.”
“Kurasa kau benar,” kata Festus. “Maaf tentang sebelumnya.”
Jadi, kematian Wovey tidak menimbulkan kecurigaan di luar arena, dan di dalam
arena hanya Reaper yang mempertanyakan penyebab kematiannya. Lucy Gray
bukan tipe yang ceroboh. Mungkin dia memilih Wovey yang lemah sebagai
sasaran karena anak itu sudah dalam kondisi tidak sehat dan bisa menyamarkan
keracunan sebagai penyebab kematian. Coriolanus merasa frustrasi karena tidak
bisa berkomunikasi dengan Lucy Gray dan membahas strategi mereka. Dengan
semakin berkurangnya peserta, apakah bersembunyi masih menjadi cara terbaik,
atau lebih baik Lucy Gray bertindak lebih agresif? Tentu saja dia tidak tahu. Lucy
desyrindah.blogspot.com
Gray bisa saja sedang menaruh racun di makanan dan minuman saat ini. Kalau
benar itu yang sedang dia lakukan, artinya Lucy Gray butuh lebih banyak
makanan dan minuman, dan Coriolanus tidak bisa memberikannya kalau gadis itu
tidak muncul. Walaupun tidak percaya sepenuhnya, dia berusaha menghubungi
Lucy Gray secara telepati. Izinkan aku menolongmu, Lucy Gray. Atau setidaknya
biarkan aku tahu kau baik-baik saja, pikir Coriolanus. Lalu dia menambahkan, Aku
merindukanmu.
Reaper kembali ke terowongan pada saat peserta Distrik 4 memunguti makanan
Wovey. Ketidakpedulian mereka pada asal makanan itu meyakinkan Coriolanus
bahwa racun sebagai penyebab kematian tidak terpikirkan oleh peserta lain.
Mereka duduk di tempat Wovey tewas dan menghabiskan makanan yang ada, lalu
berjalan kembali ke terowongan mereka. Mizzen berjalan pincang, tapi dia masih
bisa mengalahkan peserta lain jika harus bertarung. Coriolanus penasaran, jika
pada akhirnya hanya tersisa Coral dan Mizzen, apakah mereka akan memutuskan
peserta Distrik 4 mana yang akan jadi pemenangnya?
Selama bertahun-tahun Coriolanus tak pernah menyisakan makan siangnya,
tapi bakmi dengan kacang kara membuatnya mual. Dia masih kenyang karena
sarapan dari keluarga Plinth, dan tak bisa menelan sesendok pun makanannya.
Untuk menghindari teguran, dia segera menyodorkan mangkuknya kepada Festus
yang sudah menghabiskan makanannya. “Untukmu. Kacang kara mengingatkanku
pada perang.”
“Buatku adalah havermut. Sekali mencium aromanya, aku mau bersembunyi di
bungker,” kata Festus, yang segera menghabiskan lagi makanannya. “Terima kasih.
Aku ketiduran dan tidak sempat sarapan.”
Coriolanus berharap kacang kara itu bukan pertanda buruk. Lalu dia memarahi
dirinya sendiri. Sekarang bukan saatnya percaya pada takhayul. Dia harus
mempertahankan akal sehatnya, tampil memesona di depan kamera, dan
melewati hari ini dengan baik. Lucy Gray pasti sudah lapar sekarang. Dia
desyrindah.blogspot.com
Saat Lucy Gray mulai melantunkan liriknya, terdengar suaranya yang lembut
namun bening.
Kau menuju surga,
Menuju akhirat yang indah dan manis,
Aku sudah setengah jalan ke sana.
Tapi sebelum aku bisa terbang ke sana,
Ada urusan yang harus kuselesaikan.
Di sini
Di alam fana.
Lagu lama, pikir Coriolanus. Omongan tentang akhirat ini mengingatkannya
pada Sejanus dan remah roti, tapi ada juga bait tentang alam fana. Itu artinya masa
kini. Di sini. Sekarang. Saat gadis itu masih hidup.
Aku akan menyusul
Setelah laguku usai,
Setelah simfoniku berakhir,
Setelah permainanku selesai,
Setelah semua utangku lunas,
Setelah segala penyesalan terjungkir,
Di sini
Di alam fana,
Setelah tak ada lagi yang tersisa.
Pengawas Permainan memotong adegan dengan menyorot sudut gambar yang
lebih luas, yang membuat Coriolanus ingin berteriak keberatan sampai dia
menyadari alasannya. Semua ular di arena tampaknya terpikat pada nyanyian Lucy
Gray dan berbondong-bondong ke arahnya. Termasuk ular yang menunggu Teslee
di bawah tiang, yang sudah siap mematuknya, tampak menjauh pergi dari sasaran
dan merayap ke arah Lucy Gray berada. Teslee yang masih trauma, turun ke tanah
desyrindah.blogspot.com
Di alam fana,
Setelah tak ada lagi yang tersisa
...lalu mencapai crescendo di bagian akhir.
Setelah hatiku seputih merpati
Setelah aku memahami cinta sejati
Di sini
Di alam fana,
Setelah tak ada lagi yang tersisa.
Nada terakhir menggantung di udara sementara penonton menahan napas. Ular-
ular menanti lagu berakhir, lalu entah ini imajinasinya atau bukan? mereka
bergerak. Lucy Gray bersenandung lembut, seakan hendak menenangkan bayi
yang gelisah. Para penonton juga perlahan-lahan menjadi tenang seperti halnya
ular-ular yang ada di dekat gadis itu.
Lucky tampak tersihir seperti ular-ular itu ketika kamera kembali menyorotinya,
matanya agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Dia tersadar ketika melihat
gambar dirinya di layar televisi, dan mengalihkan perhatiannya ke Dr. Gaul yang
menunjukkan wajah kaku tanpa emosi. “Wah, Kepala Pengawas Permainan, aku…
memberi… hormat!”
Heavensbee Hall riuh dengan penonton yang berdiri sambil bertepuk tangan,
tapi Coriolanus tidak dapat mengalihkan pandangannya dari Dr. Gaul. Ada apa di
balik ekspresi wajah yang tak terbaca itu? Apakah dia mengaitkan perilaku ular-
ular itu dengan nyanyian Lucy Gray, atau dia mencurigai adanya kecurangan? Jika
Dr. Gaul tahu tentang saputangan itu, mungkin dia akan memaa annya, karena
hasilnya ternyata dramatis.
Dr. Gaul mengangguk singkat. “Terima kasih. Tapi fokus hari ini seharusnya
bukan kepadaku, tapi kepada Gaius Breen. Barangkali ada teman-temannya yang
ingin menyumbang satu atau dua patah kata untuk mengenangnya.”
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus belum menghabiskan pudingnya saat Lucy Gray tak kelihatan lagi di
layar dan petir mengguncang arena. Dia berharap sambaran kilat bisa memberi
semacam penerangan, tapi hujan deras yang mengiringi badai membuat mereka
tidak bisa melihat apa-apa.
Coriolanus memutuskan untuk menginap di Heavensbee Hall, dan keempat
mentor yang tersisa juga melakukan hal yang sama. Hanya Vipsania yang terpikir
untuk membawa alas tidur, sehingga yang lain harus mengatur posisi di kursi-kursi
berbantalan, mengganjal kaki mereka, dan menggunakan tas sekolah sebagai
bantal. Hujan malam itu menyejukkan aula, Coriolanus setengah tertidur di
kursinya, setengah mengawasi kegiatan di layar televisi. Badai
mengaburkan segalanya, hingga akhirnya dia terlelap. Menjelang subuh, dia
terbangun kaget dan memandang sekelilingnya. Vipsania, Urban, dan Persephone
masih tidur lelap. Dari jarak beberapa meter, dia bisa melihat mata Clemensia
berbinar dalam keremangan cahaya.
Dia tidak mau jadi musuh gadis itu. Kalau pertahan keluarga Snow terancam
runtuh, dia butuh teman-temannya. Sebelum musibah dengan ular-ular itu, dia
menganggap Clemensia salah satu sahabat baiknya. Apalagi gadis itu juga
bersahabat dengan Tigris. Tapi bagaimana caranya mereka bisa berbaikan?
Salah satu tangan Clemensia berada di dalam kemeja, jemarinya menyentuh
tulang selangka yang diperlihatkannya di rumah sakit. Bagian yang tertutup sisik.
“Apakah bisa hilang?” bisik Coriolanus.
Clemensia menegang. “Memudar. Akhirnya. Mereka bilang mungkin butuh
waktu setahun untuk pulih.”
“Sakit, tidak?” Untuk pertama kalinya Coriolanus terpikir apakah Clemensia
kesakitan.
“Tidak sakit. Tapi seperti menarik kulitku.” Clemensia meraba sisiknya. “Susah
dijelaskan.”
Jawaban Clemensia membuatnya bersemangat, sehingga dia memberanikan diri.
desyrindah.blogspot.com
“Kita juga tidak bermusuhan,” kata Clemensia. Bahkan saat mereka membasuh
wajah sebelum tampil di depan kamera, Clemensia meminjamkan sabunnya agar
Coriolanus tidak perlu menggunakan sabun kesat di kamar mandi. Kebaikan kecil
ini membuat Coriolanus tahu bahwa dia telah dimaa an.
Tak ada sarapan yang disediakan, tapi Festus datang pagi-pagi sekali
membagikan sandwich telur dan apel dalam semangat persaudaraan. Wajah
Persephone berseri-seri ketika minum teh sambil memandang Festus. Karena
Clemensia sudah lebih santai, Coriolanus tidak lagi merasa terancam di antara
para mentor. Mereka ingin menang, tapi semuanya tergantung peserta mereka.
Dia menakar para pesaing Lucy Gray. Teslee, bertubuh kecil dan cerdas.
Mizzen, mematikan tapi sedang terluka. Treech, bertubuh atletis tapi masih
misterius. Reaper, tak ada kata yang bisa menjelaskan keanehannya.
Awan-awan gelap digantikan cahaya matahari. Ular-ular yang tewas menyampah
di arena, tertimbun puing-puing atau mengambang di genangan air. Mungkin
mereka tenggelam, tidak mampu bertahan hidup dalam udara dingin dan basah.
Beberapa makhluk hasil rekayasa genetika tampaknya tidak bisa bertahan hidup di
luar laboratorium. Lucy Gray dan Teslee tidak tampak di layar, tiga anak lelaki de-
ngan pakaian basah belum turun dari tempat mereka yang tinggi. Mizzen sedang
tidur, tubuhnya diikat ke palang. Ketika siswa-siswa lain datang memenuhi
Heavensbee Hall, Vipsania dan Clemensia, yang tampak normal, mengirim
makanan untuk peserta mereka.
Saat drone-drone itu tiba, Treech makan dengan lahap, tapi Reaper tidak mau
menyentuh makanannya. Dia malah turun ke arena untuk meraup air dari
genangan hujan. Reaper tak peduli pada Treech dan Mizzen yang akhirnya
terbangun, lalu mengambil jasad Coral serta Circ, dan menderetkannya. Anak-
anak lelaki lain mengamatinya dengan hati-hati, tapi tak ada yang mau
melawannya. Entah takut pada tingkahnya yang aneh atau tidak mau menghadapi
kemungkinan masih adanya ular di arena. Mereka mungkin berharap yang lain
desyrindah.blogspot.com
akan membunuhnya, tapi tak ada seorang pun yang mengganggu kegiatan Reaper
hingga dia kembali ke boks tempat duduk wartawan setelah merapikan barisan
jenazah. Treech duduk di ujung papan skor, menggoyang-goyangkan kaki,
sementara
Mizzen membuat gerak isyarat makan. Persephone langsung bertindak dan
mengiriminya sarapan berisi banyak makanan.
Tidak lama kemudian Teslee muncul. Wajahnya terlihat serius berkonsentrasi,
gadis itu mengeluarkan drone yang mirip aslinya, tapi dengan sedikit perubahan.
Dia berdiri tepat di bawah Mizzen.
“Apakah dia pikir benda itu bisa terbang?” tanya Vipsania sangsi. “Seandainya
bisa, bagaimana dia mengendalikannya?”
Urban, yang cemberut memandang layar, mendadak duduk tegak di kursinya.
“Dia tidak perlu mengendalikannya. Dia tidak perlu jika… Tapi bagaimana cara
dia…” Urban terdiam, tampak berpikir keras.
Teslee menjentikkan sakelar, mengangkat kedua tangannya, dan meluncurkan
drone ke udara. Benda itu naik, memperlihatkan kabel yang menghubungkan
bagian bawah drone dengan gulungan kabel di pergelangan tangan gadis itu.
Dalam keadaan tertambat, drone itu mulai terbang melingkar separo jalan antara
Teslee dan Mizzen.
Mizzen memandang ke bawah, tampak bingung, tapi perhatiannya teralih dengan
kedatangan drone pertama kiriman Persephone. Drone itu menjatuhkan
sebongkah roti pada Mizzen lalu terbang kembali seperti biasanya, Namun, selang
beberapa meter, drone itu terbang kembali ke arah Mizzen. Pemuda itu mundur,
terkejut. Secara re eks dia menghalau drone itu, tapi benda tersebut kembali
terbang ke atasnya, membuka capitannya untuk mengirim hadiah yang tak ada,
lalu terbang memutar dan kembali lagi.
“Kenapa drone itu?” tanya Persephone.
Tak ada yang tahu jawabannya. Sesaat kemudian, drone kedua datang membawa
desyrindah.blogspot.com
air, dan ketiga datang membawa keju. Setelah mengirimkan hadiah, drone-drone
itu terbang mengitari Mizzen, berusaha mengirim lagi hadiahnya. Kemudian
drone-drone yang biasanya mengirim hadiah dengan mulus, mulai saling
menabrak, dan sesekali mengenai Mizzen. Bagian ekor salah satu drone mengenai
matanya, dan Mizzen berteriak, lalu memukul drone itu.
“Apakah aku bisa menghubungi Pengawas Permainan? Karena aku mengirim
tiga lagi!” kata Persephone.
“Mereka tidak bisa melakukan apa-apa,” kata Urban terpukau. “Gadis itu
menemukan cara meretasnya. Dia menghalangi drone untuk menemukan arah
balik, sehingga wajah Mizzen menjadi satu-satunya tujuan mereka.”
Seperti dugaan Urban, saat tiga drone lain tiba, satu per satu mengalami
kerusakan yang sama. Mizzen menjadi satu-satunya sasaran mereka, kejadian yang
awalnya kocak berubah jadi mematikan. Dia berdiri dan berusaha menuruni tiang,
tapi drone-drone itu mengerubunginya seperti lebah mendekati wadah madu.
Mizzen meninggalkan trisulanya di tanah, sehingga dia hanya mengeluarkan pisau
dan berusaha menghalau mereka, tapi dia hanya bisa menjauhkan mereka untuk
sesaat. Drone-drone itu tidak diprogram untuk mengenainya, tapi saat mereka
terpantul setelah bertabrakan dan mengenai pisaunya, semakin banyak pula drone
yang menabraknya, sehingga tampak seakan mengeroyok dan menyerangnya.
Mizzen meraba-raba berusaha menuruni tiang tiang yang sama yang dipeluk
Teslee untuk bertahan hidup tapi lutut Mizzen goyah. Kini dalam keadaan
panik, Mizzen mengayunkan pukulan ke drone-drone itu, sehingga berat badannya
bertumpu pada kakinya yang terluka dengan lututnya tidak kuat menahan beban.
Mizzen kehilangan keseimbangan dan jatuh menghantam tanah, lehernya
terpuntir ke samping ketika jatuh.
“Aduh!” Persephone menjerit saat Mizzen jatuh. “Oh, dia membunuhnya!”
Vipsania mengerutkan dahi memandang layar. “Dia lebih cerdas daripada
penampilannya.”
desyrindah.blogspot.com
Teslee tersenyum puas dan menarik kabel drone-nya, mematikan sakelarnya lalu
memeluk drone-nya dengan sayang.
“Jangan menilai seseorang dari penampilannya.” Urban tergelak sembari
mengetuk alat komunikasinya untuk mengirimi Teslee hadiah. “Apalagi jika dia
milikku.”
Kegembiraan Urban hanya berlangsung singkat. Ketika menampilkan insiden
drone, para Pengawas Permainan tidak memperlihatkan gambar yang lebih lebar,
di mana Treech sudah turun dari papan skor lalu berjalan melewati stan-stan dan
melompat turun ke arena. Treech muncul tiba-tiba, meloncat dalam sorotan
kamera dan menghantamkan kapaknya ke tubuh Teslee dengan kuat. Teslee tidak
sempat menghindar saat mata kapak mengenai tengkoraknya, hingga kepalanya
pecah dan menewaskannya seketika. Treech membungkuk, kedua tangannya
memegangi lutut sambil terengah-engah, lalu dia duduk di tanah di samping gadis
itu, menatap darah yang mengalir di atas pasir. Drone-drone yang datang
menghujani makanan untuk Teslee membuat Treech kembali bergerak. Dia
mengambil lebih dari sepuluh bungkusan makanan lalu bersembunyi di belakang
barikade.
Urban menunjukkan keterkejutannya dengan wajah jijik, lalu bangkit berdiri
dan pergi. Dia tidak bisa melarikan diri dari Lepidus yang sudah siap siaga dengan
mikrofon, dan nyaris tak bisa menahan diri untuk menggeram saat berkata,
“Selesai sudah. Sempat senang sebentar, kan?” Lalu Urban berjalan menjauh,
meninggalkan Persephone yang sedang menyampaikan penyesalannya dan
berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepadanya sebagai mentor
Mizzen.
“Kau berhasil masuk lima besar!” Lepidus berseri-seri memandang Persephone.
“Tak ada seorang pun yang bisa merenggutnya darimu.”
“Tidak,” katanya sangsi. “Memang tidak. Hal semacam itu akan selalu diingat
orang.”
desyrindah.blogspot.com
tidak malu-malu melontarkan pujian berlebihan. Coriolanus tidak tahu kapan lagi
ada kesempatan untuk membuktikan bahwa gadis itu bukan dari distrik, kalau
bukan sekarang. “Aku merasakan ketidakadilan yang menimpanya bukan hanya
saat hari pemungutan, tapi selama tinggal di Distrik Dua Belas. Para penonton
bisa menilai sendiri. Kalau Anda sependapat denganku, atau bahkan menganggap
aku ada benarnya, kalian tahu apa yang mesti Anda lakukan.” Saat kiriman masuk
melalui alat komunikasinya menunjukkan dukungan pada Lucy Gray, Coriolanus
tidak tahu bagaimana semua ini bisa membantunya. Dia barangkali bisa memberi
makan Lucy Gray selama berminggu-minggu dengan apa yang sekarang
dimilikinya.
Namun, satu-satunya peserta yang tampak di arena adalah
Reaper, yang sudah turun dari boks tempat duduk wartawan sambil memotong
bendera lain saat berjalan turun. Dia berjalan terhuyung-huyung, menambahkan
Teslee dan Mizzen ke deretan koleksinya, dan menggunakan secarik bendera
untuk menutup jasad mereka. Dengan upaya keras, dia memanjat ke deretan
belakang arena. Di sana dia menikmati cahaya matahari, menjemur jubahnya agar
kering. Coriolanus penasaran, apakah tak lama lagi Reaper akan tewas karena
sebab alami? Itu pun kalau kelaparan sampai mati bisa dianggap sebagai sebab
alami. Dia tidak yakin. Apakah wajar jika kelaparan digunakan sebagai senjata?
Dia lega saat melihat Lucy Gray muncul dari balik bayangan terowongan tepat
sebelum tengah hari. Gadis itu mengamati arena, dan setelah menilainya aman dia
baru melangkah keluar ke tempat yang kena cahaya matahari. Lumpur di ujung
rok Lucy Gray mulai mengeras, tapi pakaiannya yang basah masih menempel ke
tubuhnya. Saat Coriolanus memesan makanan untuk gadis itu melalui alat
komunikasinya, Lucy Gray berjalan ke genangan air tempat Reaper minum dan
berlutut di sana. Dia meraup air, berusaha menghilangkan dahaga sekaligus
membasuh wajahnya. Setelah menyugar rambut, Lucy Gray mengepang
rambutnya, dan menyelesaikan kepangannya ketika sepuluh drone terbang
desyrindah.blogspot.com
memasuki arena.
Gadis itu tampak tidak memperhatikan kedatangan drone-drone tersebut ketika
mengeluarkan botol dari kantongnya, mencelupkan botol hingga ke bagian
lehernya ke genangan air, mengambil sedikit air. Setelah mengocok botolnya, Lucy
Gray menuang air di dalam botol ke genangan dan mengisi kembali botolnya saat
kedatangan drone-drone tersebut menarik perhatiannya. Saat makanan dan air
mulai berjatuhan di dekatnya, dia membuang botol lamanya lalu mengumpulkan
hadiah-hadiah baru itu dengan roknya.
Lucy Gray berlari ke terowongan terdekat, tapi dia sempat mendongak dan
melihat Reaper tiduran di stan-stan. Dia berputar haluan, berlari ke tempat Reaper
menaruh jenazah. Saat mengangkat kain bendera penutupnya, bibir Lucy Gray
bergerak ketika menghitung peserta yang tewas.
“Dia berusaha mencari tahu siapa yang tersisa di Hunger Games,” kata
Coriolanus ke mikrofon yang disodorkan Lepidus ke hadapannya.
“Mungkin kita seharusnya memasang pengumuman itu di papan skor,” kata
Lepidus bercanda.
“Itu akan sangat membantu para peserta,” kata Coriolanus. “Serius, itu ide yang
bagus.”
Tiba-tiba, Lucy Gray mendongak lagi. Ketika dia berbalik dan lari, jatah
makanan di roknya jatuh ke tanah. Gadis itu pasti mendengar sesuatu yang tak
bisa ditangkap penonton. Treech melesat keluar dari balik barikade, mengayunkan
kapak, dan menangkap pergelangan tangan Lucy Gray ketika gadis itu berlari di
bawah palang. Lucy Gray memutar tubuhnya, jatuh berlutut, meronta-ronta
sementara Treech mengangkat kapaknya.
“Tidak!” Coriolanus langsung berdiri, mendorong Lepidus. “Lucy Gray!”
Dua kejadian berlangsung bersamaan. Saat kapak itu terayun, Lucy Gray jatuh
ke pelukan Treech dan bergelayut di sana, menghindari bilah kapak. Anehnya,
mereka tampak berpelukan terlalu lama, lalu mata Treech membelalak ngeri.
desyrindah.blogspot.com
bisa diraup airnya untuk diminum. Lucy Gray beristirahat di atas reruntuhan,
roknya dikembangkan agar kena sinar matahari. Ketenangan itu membuat Lucky
melaporkan ramalan cuaca, termasuk memberi saran menghadapi cuaca panas
dan tips untuk menghindari kram, kelelahan, dan sengatan panas. Antrean
mengular di depan stan limun di luar arena, dan orang-orang berlindung di bawah
payung atau berdiri berdekatan di tempat yang teduh. Aula Heavensbee yang
biasanya sejuk juga terasa panas, beberapa murid melepas jaket dan mengipas-
ngipas dengan buku catatan mereka. Pada tengah hari, sekolah menyediakan sirup
buah sehingga suasana di aula semakin meriah.
Lucy Gray tetap mengawasi Reaper, tapi pemuda itu tidak bergerak
mendekatinya. Tiba-tiba, Lucy Gray bangkit seakan tidak sabar menghadapi
keaadaan lalu berjalan ke tempat jasad Treech berada. Dia mencengkeram
pergelangan kaki Treech, dan mulai menyeretnya ke tempat Reaper menaruh
deretan jenazah. Reaper langsung bangun saat Lucy Gray menyentuh jasad
Treech. Pemuda itu menjulurkan tubuhnya dan berteriak tidak jelas, lalu bergegas
turun dari stan-stan. Lucy Gray melepaskan Treech lalu berlari ke terowongan
terdekat. Reaper mengambil alih tugas mengangkut jasad Treech,
menderetkannya dengan rapi di barisan peserta yang tewas dan menutupinya
dengan sisa-sisa bendera. Setelah puas, Reaper berjalan kembali ke arah stan, tapi
dia baru sampai ke dinding ketika Lucy Gray berlari dari terowongan kedua,
menarik potongan bendera dari atas jenazah-jenazah di sana sembari berteriak.
Reaper berbalik cepat dan berlari ke arah Lucy Gray. Gadis itu segera kabur ke
belakang barikade. Reaper mengganti bendera yang diambil Lucy Gray,
menyelipkan kainnya di bawah jenazah-jenazah itu agar tidak mudah lepas, lalu
berjalan kembali untuk beristirahat dan bersandar di tiang. Beberapa menit
kemudian, Reaper tampak tertidur. Matanya terpejam kena sinar matahari. Lucy
Gray kembali melesat berlari, menarik lepas satu bagian bendera, dan kali ini
membawa bendera itu berkibar di belakangnya. Pada saat Reaper menyadari
desyrindah.blogspot.com
kekacauan yang dibuat Lucy Gray, gadis itu sudah berlari menjauh sekitar lima
puluh meter dari tempatnya beristirahat. Keraguannya untuk mengejar membuat
Lucy Gray semakin menjauh. Gadis itu membawa bendera ke tengah arena,
mencampakkannya ke tanah, lalu kembali berjalan ke arah stan-stan. Reaper
murka, dia berlari dan mengambil kembali benderanya. Dia mengambil langkah
mengejar Lucy Gray, tapi tenaganya habis. Kedua tangan Reaper menekan pelipis,
napasnya terengah-engah, meskipun dia tidak terlihat berkeringat. Sebagaimana
yang dijelaskan Lucky tadi, bisa jadi yang dialami Reaper adalah tanda sengatan
panas.
Lucy Gray berusaha membuat Reaper kelelahan sampai mati, pikir Coriolanus.
Dan rencana ini kemungkinan bisa berhasil.
Reaper terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Sambil menyeret bendera, dia
berjalan menuju genangan, salah satu dari beberapa genangan yang tidak
mengering sepanjang siang. Dia berlutut untuk minum, menyeruput airnya hingga
hanya tersisa lumpur basah di lubang genangan. Saat dia duduk bertumpu pada
tumitnya, wajah Reaper tampak aneh, dan jemarinya mengusap dada dan rusuk-
nya. Dia memuntahkan sebagian air yang diminumnya, lalu muntah-muntah lagi
sambil berlutut dengan kedua tangan dan kaki di tanah sebelum akhirnya bisa
bangkit dan berdiri dengan langkah goyah. Reaper masih menggenggam bendera
dengan satu tangan, lalu berjalan perlahan dan tertatih-tatih, kembali ke
tempatnya menaruh jenazah. Reaper tiba di sana lalu ambruk, menyeret tubuhnya
ke sebelah Treech. Satu tangannya berusaha menyelimuti jenazah-jenazah lain
termasuk dirinya, tapi hanya berhasil menutupi sebagian dirinya sebelum
gerakannya terhenti dan tubuhnya kaku.
Coriolanus duduk terpana menanti kejadian selanjutnya. Apakah sudah selesai?
Apakah dia sungguhan menang? e Hunger Games? Hadiah Plinth? Gadisnya?
Dia mengamati wajah Lucy Gray yang sedang memandangi Reaper dari stan, tapi
gadis itu tampak termenung, seakan dia berada jauh dari arena.
desyrindah.blogspot.com
sudah menang. Dia memenangkan kejayaan, masa depan, dan mungkin cinta. Tak
lama lagi, Lucy Gray akan berada dalam pelukannya. Oh, Snow memang mendarat
di puncak. Dia berusaha terlihat santai saat tiba di pintu, dan merapikan jaketnya
untuk menutupi kenyataan bahwa dia sedikit mabuk. Dr. Gaul pasti tidak senang
melihatnya seperti itu.
Saat dia membuka pintu lab biologi, hanya ada Dekan Highbo om di sana,
duduk di tempatnya biasa duduk. “Tutup pintunya.” Coriolanus mematuhi
perintahnya. Barangkali sang dekan ingin memberi selamat padanya tanpa ada
orang lain yang tahu. Atau mungkin ingin minta maaf karena telah
menyusahkannya. Bintang jatuh mungkin bakal butuh bintang yang bersinar.
Namun saat dia berjalan mendekati sang dekan, dia merasakan kengerian. Di
meja, ada tiga benda tertata seperti spesimen laboratorium: serbet Akademi yang
kena noda jus anggur, kotak bedak perak milik ibunya, dan saputangan putih
kumal.
Pertemuan mereka berlangsung tidak lebih dari lima menit. Setelah itu,
sebagaimana yang disepakati, Coriolanus langsung menuju Pusat Rekrutmen, di
sana dia akan menjadi Penjaga Perdamaian Panem.
desyrindah.blogspot.com
BAGIAN III
“SANG PENJAGA
PERDAMAIAN”
desyrindah.blogspot.com
21
atau menyebut nama Lucy Gray. Lebih baik begitu. Pada saat itu, dia ingin tidak
dikenali. Dia hanya akan membawa malu nama keluarga dalam kondisi sekarang
ini. Dia marah saat mengingat percakapannya dengan Dekan Highbo om...
“Kau dengar tidak, Coriolanus? Itu suara Snow jatuh.”
Dia sangat membenci Dekan Highbo om. Wajah gembungnya di atas barang
bukti. Ujung bolpoinnya menunjuk barang-barang di meja laboratorium. “Serbet
ini. Sudah terkon rmasi ada DNA-mu. Digunakan untuk menyelundupkan
makanan dari ruang makan ke arena. Kami menemukannya sebagai barang bukti
dari TKP setelah pengeboman. Setelah dilakukan pemeriksaan, inilah buktinya.”
“Kau membuatnya kelaparan setengah mati,” kata Coriolanus, suaranya pecah.
“Itu prosedur standar dalam Hunger Games. Ini bukan masalah memberi makan
peserta, yang kami abaikan pada semua mentor, tapi mencuri dari Akademi.
Perbuatan yang amat terlarang,” kata Dekan Highbo om. “Aku sudah siap
membongkar kelakuanmu, memberimu kecaman lain, dan mendiskuali kasimu
dari Hunger Games, tapi Dr. Gaul merasa kau lebih bermanfaat sebagai martir dari
gerakan yang melukai Capitol. Jadi kami memilih untuk menayangkan
rekamanmu menyanyikan lagu kebangsaan saat kau memulihkan diri di rumah
sakit.”
“Lalu kenapa mengungkitnya sekarang?” tanya Coriolanus.
“Agar bisa membuktikan pola perilaku.” Bolpoin Highbo om mengetuk kotak
perak bunga mawar. “Nah, kotak bedak ini. Sudah tak terhitung berapa kali aku
melihat ibumu mengeluarkan kotak ini dari tasnya untuk becermin. Ibumu yang
cantik, dan hambar, yang entah bagaimana meyakinkan dirinya bahwa ayahmu
bakal memberinya kebebasan dan cinta. Seperti kata pepatah, lepas dari mulut
harimau masuk ke mulut buaya.”
“Dia tidak seperti itu.” Coriolanus hanya bisa berucap begitu. Ibunya tidaklah
hambar, maksudnya.
“Hanya keluguan yang membuatnya menarik, dan dia tampaknya menjadi anak-
desyrindah.blogspot.com
anak selamanya. Kebalikan dari gadismu, Lucy Gray. Masih muda tapi dewasa,”
demikian kata Dekan Highbo om.
“Dia memberikan kotak bedak itu?” Jantung Coriolanus seakan berhenti
berdetak membayangkannya.
“Oh, jangan salahkan dia. Para Penjaga Perdamaian harus bergulat dengannya
untuk mengambil kotak bedak itu. Sudah sewajarnya kami menggeledah para
pemenang saat mereka meninggalkan arena.” Sang dekan menelengkan kepalanya
dan tersenyum. “Langkah cerdas dengan meracuni Wovey dan Reaper. Bisa
dibilang curang, tapi telanjur. Mengirimnya kembali ke Distrik Dua Belas sudah
merupakan hukuman. Dia bilang racun tikus itu adalah idenya, kotak bedak itu
hanyalah tanda mata.”
“Memang,” kata Coriolanus. “Itu tanda mata perasaanku. Aku tidak tahu
menahu tentang racun.”
“Anggap saja aku percaya padamu, meski sesungguhnya aku tidak percaya. Tapi
anggaplah aku percaya. Lalu, apa maksud dari benda ini?” Dekan Highbo om
mengangkat saputangan dengan ujung bolpoinnya. “Salah satu asisten lab
menemukannya di kotak ular kemarin pagi. Mulanya semua orang bingung,
memeriksa saku
masing-masing apakah ada sapu tangan yang tertinggal, karena siapa lagi yang
berada di dekat mu -mu itu? Salah satu anak muda di sana mengaku bahwa itu
saputangannya, mengatakan bahwa alerginya kambuh parah dan saputangannya
tertinggal entah di mana beberapa hari sebelumnya. Tapi saat dia menyerahkan
surat pengunduran diri, ada yang mengenali inisial di sapu tangan itu. Bukan
namamu. Nama ayahmu. Disulam rapi di tepinya.”
CXS. Sulaman inisal dengan benang putih itu sama seperti warna tepiannya.
Bagian dari pola sulaman yang tidak kentara kecuali dilihat secara saksama, tapi
jelas ada di sana. Coriolanus tak pernah benar-benar memperhatikan
saputangannya; dia hanya mengambil satu lalu mengantonginya sebelum ke luar
desyrindah.blogspot.com
rumah. Dia tak bisa membantahnya karena inisial nama tengah yang disulam di
sana sangat unik. Xanthos. Satu-satunya nama yang diketahui Coriolanus diawali
dengan abjad X, dan satu-satunya orang yang memiliki nama itu adalah ayahnya.
Crassus Xanthos Snow.
Tidak perlu lagi menantang untuk melakukan tes DNA, karena pasti Dekan
Highbo om sudah melakukannya dan menemukan DNA Coriolanus serta Lucy
Gray di sana. “Kenapa Anda tidak mengumumkannya ke publik?”
“Oh, percayalah padaku. Aku tergoda melakukannya. Tapi saat mengeluarkan
siswa, Akademi memiliki tradisi untuk menawari mereka kesempatan kedua,” sang
dekan menjelaskan. “Pilihan selain dipermalukan di depan umum adalah kau bisa
menjadi Penjaga Perdamaian mulai hari ini.”
“Tapi... kenapa aku harus melakukannya? Maksudku, kenapa aku mau
melakukannya? Padahal aku baru... memenangi Hadiah Plinth untuk kuliah di
Universitas?” katanya terbata-bata.
“Entahlah. Mungkin karena kau seorang patriot? Karena kau percaya bahwa
belajar membela negaramu adalah pendidikan yang lebih baik daripada
pengetahuan lewat buku?” Dekan Highbo om mulai tertawa. “Karena Hunger
Games mengubahmu, dan kau pergi ke tempat kau bisa melayani Panem dengan
lebih baik? Kau pemuda cerdas, Coriolanus. Aku yakin kau bisa memikirkan
alasannya.”
“Tapi... tapi aku...?” Kepalanya pening karena posca dan lonjakan adrenalin.
“Kenapa? Kenapa kau sangat membenciku?” ucapnya. “Kusangka kau teman
ayahku!”
Sang dekan kembali serius. “Kusangka juga begitu. Dulu. Tapi ternyata aku
hanya jadi orang yang dia sukai karena bisa dia manfaatkan. Bahkan sampai saat
ini.”
“Tapi dia sudah meninggal! Sudah bertahun-tahun dia meninggal!” pekik
Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com
“Dia layak mati, tapi tampaknya dia hidup dalam dirimu.” Sang dekan
menggusahnya. “Kau sebaiknya bergegas. Kantor penda aran tutup dua puluh
menit lagi. Kalau kau berlari, mungkin masih sempat.”
Maka Coriolanus pun berlari, tak tahu lagi harus berbuat apa. Setelah menda ar,
dia langsung ke Citadel, berharap mendapat pengampunan dari Dr. Gaul. Dia
tidak diizinkan masuk, meskipun dia mengatakan luka jahitannya mengalami
infeksi. Para Penjaga Perdamaian menelepon lab dan Coriolanus diminta untuk ke
rumah sakit. Salah satu penjaga kasihan padanya dan menawarkan bantuan untuk
menyerahkan surat terakhirnya kepada Dr. Gaul. Tapi tidak janji bakal berhasil.
Dia hendak mulai menuliskan permohonan agar Dr. Gaul menengahi
permasalahan ini, tapi lalu merasa hal ini akan sia-sia. Akhirnya dia menulis Terima
kasih. Dia tidak tahu untuk apa dia berterima kasih, tapi dia tidak mau Dr. Gaul
menangkap keputusasaannya.
Dalam perjalanan pulang, ucapan selamat dari para tetangga terasa seperti belati
yang dihunjamkan ke jantungnya. Namun, duka sesungguhnya dimulai saat dia
memasuki apartemen dan disambut sorak gembira serta bunyi terompet. Tigris
dan Grandma’am mengeluarkan peralatan pesta yang biasanya mereka pakai untuk
merayakan tahun baru dan membeli kue dari toko roti untuk acara ini. Dia
berusaha tersenyum, lalu menangis tersedu. Kemudian dia menceritakan
semuanya pada mereka. Setelah selesai, mereka terdiam dan terlihat amat tenang,
seperti sepasang patung marmer.
“Kapan kau pergi?” tanya Tigris.
“Besok pagi,” jawabnya.
“Kapan kau akan kembali?” tanya Grandma’am.
Dia tidak sanggup menjawab, dua puluh tahun lagi. Neneknya takkan bertahan
selama itu. Saat mereka bertemu lagi, neneknya sudah berada di makam. “Aku
tidak tahu.”
Neneknya mengangguk paham, lalu bangkit dari kursinya.
desyrindah.blogspot.com
“Ingatlah, Coriolanus, ke mana pun kau pergi, kau tetaplah seorang Snow. Tak ada
yang bisa merenggut hal itu darimu.”
Justru itulah masalahnya. Dia tidak mungkin menjadi seorang Snow di dunia
pascaperang seperti ini, mengingat semua hal yang telah dilakukannya atas nama
Snow. Tapi dia hanya berkata, “Suatu hari nanti, aku pasti akan menjadi seseorang
yang pantas menyandang nama itu.”
Tigris berdiri. “Ayo, Coryo. Aku akan membantumu berkemas.” Dia mengikuti
Tigris ke kamar. Gadis itu tidak menangis. Dia tahu Tigris akan menahan air
matanya sampai dia pergi.
“Tidak banyak yang harus dibawa. Mereka bilang kenakan saja pakaian lama
yang bakalan dibuang. Mereka menyediakan seragam, peralatan mandi, dan
segalanya. Aku hanya boleh membawa barang-barang pribadi yang muat
dimasukkan ke dalam ini.” Coriolanus mengeluarkan kotak dari tas sekolahnya,
berukuran sekitar dua puluh kali tiga puluh senti dengan kedalaman sekitar tujuh
senti. Mereka berdua lama memandangi kotak itu.
“Apa yang akan kau bawa?” tanya Tigris. “Bawa benda yang berharga bagimu.”
Foto-foto ibunya menggendong Coriolanus saat balita, foto ayahnya yang
mengenakan seragam, foto Tigris dan Grandma’am, dan beberapa foto sahabatnya.
Kompas tua yang terbuat dari kuningan, yang dulu milik ayahnya. Bedak padat
beraroma mawar yang dulu ada di dalam kotak bedak ibunya, kini terbungkus rapi
dalam syal sutra oranye. Tiga sapu tangan. Alat tulis dengan emblem keluarga
Snow. Kartu identitas Akademi-nya. Potongan tiket pertunjukan sirkus semasa
kanak-kanak, yang dicap dengan gambar arena Hunger Games. Pecahan batu dari
pengeboman. Dia merasa menggenggam dunia seperti Ma Plinth yang
menyimpan semua kenangan Distrik 2 di dapurnya.
Mereka berdua tidak bisa tidur. Coriolanus dan Tigris naik ke atap dan
memandangi Capitol sampai matahari terbit. “Kau dijebak untuk gagal,” kata
Tigris. “Hunger Games adalah hukuman buatan manusia yang kejam. Bagaimana
desyrindah.blogspot.com
terhadapnya pun berhenti. Dia mengganti pakaian dengan seragam baru yang
terbuat dari bahan murahan dan menerima tas jinjing berisi pakaian ekstra,
peralatan mandi, botol minum, dan sebungkus makanan berisi beberapa sandwich
isi kornet sebagai bekal perjalanan dengan kereta. Kemudian dia menandatangani
setumpuk berkas. Salah satu formulir yang ditandatanganinya menyatakan bahwa
dia akan mengirim setengah gajinya yang sedikit itu untuk Tigris dan
Grandma’am. Hal itu membuatnya sedikit terhibur.
Setelah dicukur, didandani, dan divaksin, Coriolanus bergabung dengan para
rekrut lain naik bus menuju stasiun kereta api. Di dalam bus sudah ada anak-anak
lelaki dan perempuan dari Capitol, kebanyakan baru lulus SMA yang
pengumuman kelulusannya lebih awal daripada di Akademi. Dia duduk di sudut
stasiun sambil menonton Capitol News, ngeri membayangkan jika ada berita
memalukan tentang dirinya. Tapi hanya ada berita yang biasanya tayang pada hari
Sabtu. Laporan cuaca. Pengalihan lalu lintas karena adanya perbaikan jalan. Resep
salad sayuran yang cocok untuk musim panas. Seakan-akan Hunger Games tak
pernah terjadi.
Aku sedang dihapus, pikirnya. Dan untuk menghapusku, mereka mesti menghapus
Hunger Games.
Siapa yang tahu tentang dirinya yang dipermalukan? Pihak sekolah? Teman-
temannya? Tak ada seorang pun yang menghubunginya. Mungkin kabar belum
beredar. Tapi kabar itu pasti akan beredar. Orang-orang akan berspekulasi. Gosip
akan tersebar. Segala rupa kabar burung dan kebenaran akan bercampur aduk, dan
yang tersebar adalah berita paling seru. Livia Cardew bakal besar kepala.
Clemensia akan mendapat Hadiah Plinth pada saat kelulusan. Pada saat liburan
musim panas, mereka bakal ingin tahu tentang kabarnya. Beberapa temannya
mungkin akan merasa kehilangan. Mungkin Festus, atau Lysistrata. Pada bulan
September, teman-teman sekelasnya akan mulai kuliah. Dan lambat laun dia akan
terlupakan.
desyrindah.blogspot.com
Untuk menghapus Hunger Games berarti menghapus Lucy Gray juga. Di mana
gadis itu? Apakah dia sudah dikirim pulang ke kampung halamannya? Apakah saat
ini dia kembali ke Distrik 12, dikunci di dalam gerbong kereta pengangkut ternak
yang bau seperti saat dia dibawa ke Capitol? Dekan Highbo om menyiratkan
itulah yang akan terjadi, tapi keputusan akhir ada di tangan Dr. Gaul dan wanita
itu mungkin bukan tipe pemaaf untuk urusan kecurangan. Di bawah perintahnya,
Lucy Gray mungkin dipenjara, dibunuh, atau dijadikan Avox. Atau, lebih buruk
lagi, dihukum menjadi kelinci percobaan di laboratorium horor Dr. Gaul.
Saat mengingat dirinya sedang berada di dalam kereta api, Coriolanus
memejamkan mata, kuatir air matanya bakal menetes. Dia tidak mau terlihat
menangis terisak seperti anak kecil, jadi dia berusaha keras mengendalikan
perasaannya. Dia menenangkan diri dengan berpikir bahwa mengembalikan Lucy
Gray ke Distrik 12 adalah strategi terbaik bagi Capitol. Barangkali, seiring
berlalunya waktu, Dr. Gaul bisa menemukan cara untuk memanfaatkan gadis itu
lagi, terutama setelah Coriolanus sudah tak menghalanginya lagi. Bisa saja Lucy
Gray dipanggil ke Capitol untuk bernyanyi sebagai penanda Hunger Games
berikutnya dimulai. Pelanggaran Lucy Gray, jika memang ada, adalah pelanggaran
kecil dibanding yang dia lakukan. Apalagi penonton menyukai gadis itu, kan?
Barangkali pesona Lucy Gray bisa menyelamatkan dirinya kembali.
Sesekali kereta berhenti dan menurunkan para rekrut di distrik tempat mereka
bertugas atau transit menunggu transportasi yang mengatar mereka menuju
tempat tugas. Kadang-kadang dia memandang ke luar jendela, memandangi kota-
kota mati dan tak berpenghuni yang mereka lewati, bertanya-tanya seperti apa
tempat itu dulu pada masa kejayaannya. Pada masa ketika negara ini disebut
Amerika Utara, bukan Panem. Pasti dulunya ini tempat yang bagus. Negeri yang
kota-kotanya seperti Capitol. Sayang sekali...
Sekitar tengah malam, pintu kompartemen terbuka dan dua gadis yang bertugas
di Distrik 8 masuk membawa seliter lebih posca yang entah bagaimana berhasil
desyrindah.blogspot.com
siang.
Coriolanus berdiri di bawah pancuran mandi, mendongak, lalu menggelogok air
hangat yang mengalir dari keran. Setelah selesai mandi, dia menyeka tubuh
dengan handuk sampai tiga kali hingga akhirnya pasrah dengan kondisi lembab
tubuhnya yang akan terus dia alami di distrik ini. Kemudian dia mengenakan
pakaian bersih dari bahan murahan yang sudah disiapkan. Setelah mengeluarkan
barang-barang dari tas jinjing dan menyimpan kotak berharganya di rak loker
paling atas, dia naik ke kasur dan membaca buku panduan Penjaga Perdamaian
dengan saksama atau pura-pura membacanya untuk menghindari percakapan
dengan Junius, pemuda gugup yang butuh diyakinkan sementara Coriolanus tidak
bisa memberikan itu sekarang. Dia ingin berkata, Hidupmu sudah berakhir, Junius;
terimalah kenyataan ini. Namun butuh banyak rasa percaya diri untuk
mengucapkan kata-kata itu, dan dia tidak punya. Tanggung jawab yang mendadak
hilang dalam hidupnya terhadap sekolahnya, keluarganya, masa depannya
telah menguras habis tenaganya. Bahkan tugas yang kelihatannya sepele pun jadi
melelahkan.
Menjelang pukul sebelas, teman sekamar mereka pemuda bawel berwajah
bundar bernama Smiley dan sahabatnya yang bertubuh kecil bernama Bug
menjemput Coriolanus dan Junius. Berempat mereka berjalan ke ruang makan, di
sana terdapat meja makan panjang dengan kursi-kursi plastik yang sudah retak-
retak.
“Hari ini Selasa, berarti menunya kentang!” kata Smiley. Walaupun baru
seminggu menjadi Penjaga Perdamaian, Smiley tidak hanya hafal rutinitas di
tempat ini, dia bahkan menikmatinya. Coriolanus mengambil nampan yang isinya
mirip makanan anjing dijejali kentang. Rasa lapar dan semangat teman-temannya
membuat Coriolanus berani, jadi dia mencicipinya sedikit dan ternyata makanan
itu layak dimakan, seandainya diberi garam lebih banyak. Dia juga mendapat dua
buah pir kalengan dan segelas besar susu. Bukan makanan mewah, tapi
desyrindah.blogspot.com
SMDP,
Tigris
Coriolanus menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Capitol
mempermalukan nama Snow? Grandma’am mulai pikun? Tempat tinggal mereka
di kamar-kamar jelek di atas kelab malam, tempat Tigris menjahit payet kostum
pertunjukan? Apakah keluarga Snow yang hebat akan bernasib seperti ini?
Bagaimana dengan dirinya, Coriolanus Snow, calon presiden Panem? Hidupnya,
yang tragis dan sia-sia terbentang di hadapannya. Dia bisa membayangkan dirinya
dua puluh tahun dari sekarang, semakin gemuk dan bodoh, melupakan
pendidikannya, pikirannya menumpul hingga hanya ada pikiran mendasar yang
sifatnya hewani, seperti makan dan tidur. Lucy Gray sudah lama mati setelah
mengalami siksaan di lab Dr. Gaul, dan hatinya juga mati bersama gadis itu. Dua
puluh tahun yang terbuang percuma, lalu apa? Setelah masa hukumannya
berakhir, apa yang akan dilakukannya? Dia akan menda ar kembali sebagai
Penjaga Perdamaian karena pulang berarti menghadapi rasa malu yang terlalu
besar. Lagi pula, apa yang menunggunya di Capitol? Grandma’am sudah wafat.
Tigris sudah separo baya, tapi penampilannya terlihat jauh lebih tua dan tetap
membudakkan diri dengan menjahit, kebaikan hatinya pun terasa tidak menarik,
hidupnya jadi lelucon bagi orang-orang yang menjadi tempatnya menggantung
rezeki. Tidak, dia takkan pernah pulang lagi. Dia akan tinggal di Dua Belas seperti
lelaki tua di ruang makan tadi, karena inilah hidupnya sekarang. Tanpa pasangan,
tanpa anak, tanpa alamat rumah, hanya tinggal di barak. Para Penjaga Perdamaian
lain adalah keluarganya. Smiley, Bug, Beanpole adalah saudara seperjuangannya.
Dan dia takkan pernah bertemu orang-orang dari Capitol. Takkan pernah lagi.
Rasa nyeri menusuk dadanya ketika gelombang rindu pada rumah dan
keputusasaan membanjirinya. Saat itu dia merasa yakin sedang mengalami
serangan jantung, tapi tidak berusaha mencari bantuan. Dia hanya memeluk
dirinya sendiri dan menempelkan wajahnya ke dinding. Mungkin inilah cara
desyrindah.blogspot.com
terbaik. Karena tak ada jalan keluar baginya. Tak ada tempat untuk berlari. Apa
lagi yang dia nantikan? Kentang campur daging? Jatah minumal alkohol
mingguan? Naik jabatan dari mencuci piring menjadi menggosok piring?
Bukankah lebih baik mati sekarang, dengan cepat, tidak perlu memperpanjang
penderitaan selama bertahun-tahun.
Di suatu tempat yang terdengar amat jauh dia mendengar pintu dibanting
menutup. Terdengar langkah-langkah kaki di ruang depan, berhenti sejenak lalu
langkah berlanjut mendekatinya. Dia mengatupkan gigi, berharap jantungnya
berhenti saat itu juga, karena dia sudah putus hubungan dengan dunia ini dan
sudah saatnya mereka berpisah. Tapi langkah-langkah kaki itu terdengar makin
keras lalu berhenti di depan pintunya. Apakah mereka mencarinya? Apakah
mereka sedang berpatroli? Apakah mereka sedang memandanginya dalam posisi
memalukan? Menikmati kemalangannya? Coriolanus menunggu suara tawa,
ejekan, dan perintah untuk membersihkan jamban.
Namun, dia mendengar suara pelan yang berkata, “Apakah ranjang ini ada
pemiliknya?” Suara pelan yang familier.
Coriolanus berbalik di ranjangnya, matanya memastikan pendengarannya. Di
ambang pintu, dengan seragam dari bahan murahan tapi anehnya pemakainya
terlihat nyaman, Sejanus Plinth berdiri.
desyrindah.blogspot.com
22
Baru kali ini Coriolanus merasa amat gembira bertemu seseorang yang
dikenalnya. “Sejanus!” panggilnya. Dia melompat turun dari ranjangnya, mendarat
goyah dia lantai beton, dan merangkul sang pendatang baru.
Sejanus balas memeluknya. “Ini sambutan yang sangat hangat untuk orang yang
hampir menghancurkanmu!”
Coriolanus hampir tertawa terbahak-bahak, dan sejenak dia berpikir bahwa
pernyataan tersebut ada benarnya. Memang, Sejanus membahayakan hidupnya
dengan menerobos masuk ke arena, tapi berlebihan rasanya untuk menyalahkan
Sejanus atas kejadian lainnya. Seburuk apa pun perbuatan Sejanus, pemuda itu
tidak ada kaitannya dengan dendam Dekan Highbo om terhadap ayahnya atau
bencana akibat saputangan itu. “Tidak, tidak. Malah sebaliknya.” Dia melepaskan
pelukan Sejanus lalu memandanginya. Lingkaran hitam tampak di bawah matanya
dan beratnya mungkin turun sekitar delapan kilogram. Tapi pembawaan Sejanus
secara keseluruhan terlihat lebih santai, seakan seluruh beban yang dibawanya di
Capitol sudah terangkat. “Apa yang kaulakukan di sini?”
“Hm. Apa ya? Setelah melawan Capitol dengan memasuki arena, aku juga di
ambang pengusiran. Ayahku menemui dewan dan mengatakan bahwa dia akan
membayar pembangunan ruang olahraga baru untuk Akademi kalau mereka
mengizinkanku lulus dan menda ar sebagai Penjaga Perdamaian. Mereka setuju,
tapi aku mengatakan bahwa aku tak mau menerima perjanjian ini kecuali mereka
meluluskanmu juga. Karena Profesor Sickle sangat menginginkan ruang olahraga
desyrindah.blogspot.com
baru, dia bilang tidak ada pengaruhnya kita lulus atau tidak jika terikat perjanjian
tugas selama dua puluh tahun.” Sejanus meletakkan tas jinjingnya ke lantai dan
mengeluarkan kotak berisi barang pribadinya.
“Jadi aku lulus?” tanya Coriolanus.
Sejanus membuka kotak itu, mengambil map kulit kecil dengan logo sekolah di
sampulnya, dan menyerahkannya dengan gaya penuh hormat. “Selamat. Kau
bukan lagi anak putus sekolah.”
Coriolanus membuka sampulnya dan melihat ijazah dengan namanya terukir
dengan huruf kaligra indah. Ijazah itu pasti ditulis sebelum kepergiannya, karena
tertera di sana bahwa dia lulus dengan Kehormatan Tinggi. “Terima kasih. Ini
terlihat bodoh, tapi hal ini masih penting buatku.”
“Kau tahu, kan, kalau kau mau ikut ujian masuk pegawai negeri, ijazah ini
penting. Kau harus lulus SMA. Dekan Highbo om mengatakan sesuatu tentang
kau tidak boleh mendapat kesempatan ini. Dia bilang kau melanggar peraturan
untuk membantu Lucy Gray dalam Hunger Games. Yah, lalu dia kalah suara.”
Sejanus tergelak. “Dia memuakkan bagi banyak orang.”
“Jadi aku tidak dianggap hina di mata dunia?” tanya Coriolanus.
“Karena apa? Karena jatuh cinta? Menurutku lebih banyak orang yang iba
padamu. Ternyata sebagian besar guru kita romantis,” kata Sejanus. “Dan Lucy
Gray memberi kesan yang bagus.”
Coriolanus mencekal lengan Sejanus. “Di mana dia? Kau tahu apa yang terjadi
padanya?”
Sejanus menggeleng. “Biasanya mereka memulangkan pemenang ke distrik
mereka, ya kan?”
“Aku takut mereka melakukan sesuatu yang buruk padanya. Karena kami
berbuat curang di Hunger Games,” Coriolanus mengaku. “Aku merecoki ular-ular
itu supaya tidak menggigitnya. Tapi Lucy Gray hanya menggunakan racun tikus di
arena.”
“Jadi itu yang terjadi? Aku tidak mendengar apa-apa tentang hal itu. Atau
desyrindah.blogspot.com
Lucy siapa itu. Jantung Coriolanus melonjak dan dia menyengir sangat lebar.
Sejanus ikut tersenyum padanya. “Benarkah? Wah, aku tidak sabar menunggu
acara itu.”
Setelah lampu padam, Coriolanus berbaring memandang
langit-langit. Bukan saja Lucy Gray masih hidup, dia ada di Dua Belas, dan
Coriolanus akan bertemu dengannya minggu depan. Gadisnya. Cintanya. Lucy
Gray-nya. Entah bagaimana, mereka selamat dari sang dekan, dokter sinting, dan
Hunger Games. Setelah berminggu-minggu ketakutan, rindu, dan tanpa kepastian,
dia akan memeluk Lucy Gray dan takkan melepaskannya lagi. Bukankah itu
alasannya datang ke Dua Belas?
Namun, senyumnya bukan hanya karena berita tentang Lucy Gray. Walaupun
terdengar ironis, kehadiran Sejanus orang yang dia anggap menyebalkan selama
sepuluh tahun terakhir telah membantu mengembalikan hidupnya. Bukan
hanya membawakannya ijazah dan kue-kue seperti yang dia janjikan, atau
meyakinkannya bahwa Capitol tidak membuangnya, atau bahkan membuka
harapan bahwa dia bisa berkarier sebagai pegawai negeri. Coriolanus lega
memiliki seseorang yang bisa diajak bicara, yang mengenal dunianya, dan yang
lebih penting lagi mengetahui jati dirinya di dunia ini. Dia berbesar hati karena
Strabo Plinth mengizinkan Sejanus meminta kelulusannya menjadi bagian
perjanjian untuk gedung olahraga baru, dan menganggapnya sebagai bayaran atas
usaha menyelamatkan hidup Sejanus. Strabo Plinth tidak melupakannya, dia yakin
pria itu akan rela menggunakan kekayaan dan kekuasaan untuk membantunya di
masa depan. Dan, tentu saja, ada Ma yang menyayanginya. Mungkin keadaannya
tidak buruk-buruk amat.
Bersama Sejanus, dan beberapa orang dari distrik-distrik berbeda, sudah ada dua
puluh rekrut yang mengisi penuh tim skuadron mereka, dan mereka mulai
berlatih bersama. Tidak diragukan lagi, latihan olahraga di Akademi membuat
Sejanus dan Coriolanus unggul dalam kekuatan sik dan kemampuan berlatih,
desyrindah.blogspot.com
meskipun tak ada kelas latihan senjata api di Capitol. Senapan standar Penjaga
Perdamaian adalah senjata yang dahsyat, mampu menembakkan ratusan peluru
sebelum diisi ulang. Awalnya, mereka harus mempelajari bagian-bagian senjata
saat membersihkan dan memasangnya, lalu membongkar dan memasang ulang
senjata-senjata tersebut sampai mereka hafal luar kepala. Coriolanus agak gelisah
pada hari pertama mereka berlatih menembak sasaran. Ingatannya tentang perang
amat buruk, tapi dia sadar bahwa memiliki senjata sendiri membuatnya merasa
lebih aman. Lebih kuat. Sejanus ternyata berbakat sebagai penembak jitu dan
langsung mendapat nama julukan Bull’s Eye. Coriolanus bisa melihat bahwa nama
julukan itu membuat Sejanus merasa tidak nyaman, tapi dia menerimanya.
Pada hari Senin setelah kedatangan Sejanus, tanggal 1 Agustus mendatangkan
kekecewaan bagi Coriolanus. Para rekrut diberitahu bahwa mereka harus sudah
bertugas sebulan penuh sebelum mengambil gaji pertama mereka. Smiley sangat
kecewa, karena dia sudah menunggu-nunggu gajinya agar bisa berpesta pora pada
akhir pekan. Coriolanus juga patah semangat. Bagaimana dia bisa menonton
pertunjukan Lucy Gray kalau tidak punya uang untuk membayar tiket?
Setelah tiga hari penuh latihan, hari Kamis membawa keceriaan. Kiriman paket
Ma tiba, penuh dengan makanan manis yang lezat. Beanpole, Smiley, dan Bug
terpesona saat mereka membongkar paket berisi kue tar ceri, berondong jagung
karamel, dan kue kering cokelat. Sejanus dan Coriolanus menyatakan kue-kue itu
sebagai milik bersama di kamar, sehingga memperkuat ikatan persaudaraan di
antara mereka. “Tahu tidak,” kata Smiley dengan mulut penuh kue, “kalau kita
mau, aku berani taruhan kita bisa memanfaatkan makanan ini pada hari Sabtu.
Untuk dibarter dengan gin atau apalah.” Kemudian mereka sepakat, sebagian
makanan akan disisihkan untuk acara Sabtu malam.
Terpompa semangat karena asupan gula, Coriolanus menulis surat terima kasih
untuk Ma dan surat untuk Tigris, menenangkan sepupunya bahwa dia baik-baik
saja. Dia berusaha meringankan gambaran tentang rutinitas hariannya yang
desyrindah.blogspot.com
transportasi siang ini dengan seragam lengkap. Ikuti perintah, dan kalian akan
baik-baik saja.”
Coriolanus dan Sejanus terburu-buru menghabiskan makan siang dan bergegas
kembali ke barak untuk berganti pakaian. “Jadi, pembunuh itu sengaja
menargetkan Penjaga Perdamaian?” tanya Coriolanus ketika mengenakan seragam
putih bersih Penjaga Perdamaian untuk pertama kalinya.
“Kudengar dia berusaha menyabotase produksi batu bara dan tidak sengaja
membunuh tiga orang,” kata Sejanus.
“Menyabotase produksi? Apa tujuannya?” tanya Coriolanus.
“Aku tidak tahu,” kata Sejanus. “Mungkin berharap pemberontakan dimulai
lagi?”
Coriolanus hanya menggeleng. Kenapa orang-orang ini menganggap bahwa
yang mereka butuhkan untuk memulai pemberontakan adalah kemarahan?
Mereka tidak punya pasukan, senjata, atau wewenang. Di Akademi, mereka diajari
bahwa perang dimulai oleh para pemberontak di Distrik 13 yang bisa mengakses
dan menyebarluaskan senjata dan alat komunikasi pada kelompok-kelompok
pendukung mereka di Panem. Tapi Tiga Belas telah lenyap bersama asap nuklir,
membawa serta kekayaan keluarga Snow. Tak ada yang tersisa, dan gagasan untuk
membangkitkan kembali pemberontakan benar-benar gagasan bodoh.
Saat mereka melapor untuk bertugas, Coriolanus kaget dia diberi pistol, karena
dia nyaris tidak mendapat latihan untuk menggunakannya. “Jangan kuatir, mayor
bilang kita hanya perlu berdiri siaga,” kata seorang rekrut padanya. Mereka
diangkut dengan truk bak terbuka, yang keluar dari markas dan menyusuri jalan
yang mengelilingi Distrik 12. Coriolanus merasa gelisah sekaligus senang, karena
ini tugas sungguhan pertamanya sebagai Penjaga Perdamaian. Beberapa minggu
lalu dia cuma anak sekolah, tapi sekarang dia mengenakan seragam dan membawa
senjata yang menegaskan statusnya sebagai pria dewasa. Bahkan sebagai Penjaga
Perdamaian level rendah, dia memiliki kuasa lebih karena berasal dari Capitol.
desyrindah.blogspot.com
tambahan yang horizontal. Tepat di bawahnya, ada landasan dengan dua pintu
jebakan. “Mereka menjanjikan tiang gantungan yang bagus,” kata mayor separo
baya yang memimpin acara. “Untuk sementara, kita terpaksa memakai gantungan
ala kadarnya ini. Dulu kita cukup menarik mereka hingga tergantung di atas tanah,
tapi butuh waktu lama sampai mereka mati. Siapa yang mau menghabiskan waktu
menunggu selama itu?”
Salah satu rekrut perempuan yang yang pernah dilihat Coriolanus sewaktu
berjalan ke barak mengangkat tangan ragu-ragu. “Siapa yang akan kita gantung?”
“Oh, seorang penjahat yang berniat menutup tambang,” kata sang mayor.
“Mereka semua penjahat, tapi yang satu ini pemimpinnya. Namanya Arlo siapa-
itu. Kita masih melacak jejak yang lain, walaupun tidak tahu mereka akan kabur ke
mana. Tak ada tempat untuk kabur. Oke, semuanya keluar!”
Peran Coriolanus dan Sejanus lebih bersifat pajangan. Mereka berdiri berderet
di barisan belakang yang terdiri atas dua puluh orang yang mengapit landasan
penggantungan itu. Enam puluh orang Penjaga Perdamaian lain menyebar di
lapangan. Coriolanus tidak suka memunggungi hutan belantara dengan segala
tumbuhan dan binatang liarnya, tapi perintah tetap perintah. Mereka memandang
jauh ke depan, melintasi lapangan ke arah distrik, memandangi massa berdatangan
dari arah tersebut. Kelihatannya banyak yang datang langsung dari tambang,
terlihat dari debu batu bara yang hitam di wajah mereka. Mereka didampingi
wanita dan anak-anak yang wajahnya sedikit lebih bersih saat keluarga-keluarga itu
mulai berkumpul di sekitar lapangan. Coriolanus mulai gelisah saat seratusan
orang sudah berkumpul, dan masih banyak yang berdatangan, mendorong
kerumunan massa bergerak maju dengan beringas.
Tiga kendaraan perlahan-lahan masuk ke jalan berdebu menuju tiang gantungan.
Dari kendaraan pertama, mobil tua yang termasuk mobil mewah pada masa
sebelum perang, tampak Walikota Lipp dari Distrik 12 melangkah keluar. Wanita
separo baya yang rambutnya disemir pirang mendampinginya, serta Mayfair, anak
desyrindah.blogspot.com
perempuan yang menjadi sasaran ular Lucy Gray pada hari pemungutan. Mereka
berdiri berimpitan di sisi landasan. Komandan Ho dan enam orang tentara
keluar dari mobil kedua berbendera Panem di atapnya. Gelombang kesedihan
melanda penonton saat pintu belakang kendaraan terakhir membuka. Dari van
putih milik Penjaga Perdamaian itu turun dua penjaga, lalu keduanya berbalik
untuk membantu sang tahanan turun. Seorang pria jangkung dan kurus yang
terbelenggu tetap berdiri tegak ketika mereka mengawalnya ke landasan gantung.
Dengan susah payah, dia menarik rantainya menjejak tangga-tangga reyot,
kemudian dua penjaga menempatkannya di atas dua pintu jebakan.
Sang mayor meneriakkan perintah bersiap, dan tubuh Coriolanus langsung
tegak siaga. Secara teknis, pandangannya ke depan, tapi dia bisa melihat kejadian
yang berlangsung di sudut matanya, dan dia merasa tertutup di barisan belakang.
Dia tak pernah menyaksikan eksekusi hukuman mati secara langsung, hanya di
televisi, dan dia tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Kerumunan massa hening, dan seorang penjaga perdamaian membacakan da ar
kejahatan yang dituduhkan pada terhukum. Arlo Chance, terbukti bersalah
membunuh tiga orang. Walaupun berusaha keras, suara si penjaga perdamaian
terdengar lemah dalam udara yang panas dan lembap. Setelah selesai membacakan
dakwaan, sang komandan mengangguk pada para Penjaga Perdamaian di landasan.
Mereka menawari terhukum penutup mata, yang ditolaknya, lalu mereka
memasang tali gantungan ke lehernya. Pria itu berdiri tenang, memandang ke
kejauhan menanti ajalnya.
Genderang ditabuh di ujung landasan, memicu tangisan dari bagian depan
kerumunan. Coriolanus mengalihkan pandangan ke sumber suara. Seorang wanita
muda berkulit cokelat gelap dan rambut hitam panjang terangkat dari antara
kerumunan massa saat seorang pria berusaha membopongnya pergi, tapi wanita
itu melawan dan berusaha untuk maju, sembari berteriak, “Arlo! Arlo!” Para
Penjaga Perdamaian segera mendekatinya.
desyrindah.blogspot.com
Bulu kuduk Coriolanus meremang, dan dia bisa merasakan rekrut-rekrut lain
bergerak-gerak gelisah.
“Lari! Lari, Lil! La…!”
Teriakan itu seakan menyebar dan melingkupinya, memantul di antara
pepohonan dan menyerangnya dari belakang. Sesaat, Coriolanus merasa dirinya
sudah tidak waras. Dia melanggar perintah dan menolehkan ke sekelilingnya,
bersiap menghadapi serbuan tentara Arlo dari hutan di belakangnya. Tapi tak ada
apa-apa. Tak ada seorang pun. Lalu suara itu terdengar lagi dari dahan pohon be-
berapa meter di atasnya.
“Lari! Lari, Lil! La…!”
Saat melihat burung kecil berwarna hitam, ingatannya melayang ke lab Dr. Gaul.
Dia pernah melihat burung-burung itu, hinggap di atas kurungan. Jabberjay.
Hutan ini penuh dengan burung ini, meniru teriakan Arlo sebelum tewas
sebagaimana mereka meniru raungan para Avox di lab.
“Lari! Lari, Lil! La…! Lari! Lari, Lil! La…! Lari! Lari, Lil! La…!”
Saat Coriolanus memusatkan perhatian kembali, dia bisa melihat kekacauan
yang ditimbulkan burung-burung itu terhadap para rekrut yang berdiri di barisan
belakang, meskipun para Penjaga Perdamaian lain tetap berdiri tak terpengaruh.
Mereka sudah terbiasa, pikir Coriolanus. Dia tidak yakin dirinya bisa terbiasa
mendengar pekikan seseorang di ambang kematian berulang-ulang. Bahkan saat
teriakan Arlo berubah mengalun berirama seperti sekarang. Deretan nada yang
desyrindah.blogspot.com
memantul dari suara Arlo entah bagaimana terdengar lebih menakutkan daripada
kata-kata yang terucap.
Di antara kerumunan massa, Penjaga Perdamaian menangkap wanita itu, Lil,
dan membawanya pergi. Lil meraung pedih, dan
burung-burung itu juga menirunya, awalnya meniru persis suaranya lalu
menggabungkannya sebagai bagian dari aransemen lagu. Ucapan manusianya
sudah tidak terdengar lagi, yang tersisa adalah paduan suara musikal dari kata-kata
Arlo dan Lil.
“Mockingjay,” gerutu tentara di depannya. “Mu sialan.”
Coriolanus ingat saat berbicara dengan Lucy Gray sebelum wawancara.
“Seperti kata pepatah, ‘Pertunjukan belum berakhir sampai mockingjay bernyanyi’.”
“Mockingjay? Kau pasti mengarang pepatah ini.”
“Aku tidak mengarangnya. Mockingjay burung sungguhan.”
“Dan burung itu bernyanyi di pertunjukanmu?”
“Bukan di pertunjukanku, Sayang. Pertunjukanmu. Lebih tepatnya Capitol.”
Pasti ini yang dimaksud Lucy Gray. Pertunjukan Capitol adalah hukuman
gantung. Mockingjay adalah burung sungguhan. Bukan jabberjay. Entah bagaimana
dua burung ini jenis yang berbeda. Tergantung wilayah, pikir Coriolanus. Tapi
anehnya, para tentara menyebut burung itu mu . Matanya menyipit berusaha
mengamati seekor di antara dedaunan. Setelah tahu apa yang harus dicarinya, dia
melihat beberapa ekor burung jabberjay. Mungkin mockingjay bentuknya sama…
tapi tunggu, di sana! Di tempat yang lebih tinggi. Seekor burung hitam, agak lebih
besar daripada jabberjay, tiba-
tiba mengembangkan sayap dan memperlihatkan dua titik putih saat mengangkat
paruhnya untuk bernyanyi. Coriolanus yakin sudah melihat mockingjay untuk
pertama kalinya, dan dia tidak menyukai burung itu.
Burung penyanyi itu meresahkan penonton. Bisikan berubah menjadi
gumaman, yang berubah menjadi protes saat para Penjaga Perdamaian
desyrindah.blogspot.com
mendorong Lil masuk ke van yang tadi digunakan untuk mengangkut Arlo.
Coriolanus takut akan kemungkinan amuk massa. Apakah mereka akan melawan
para tentara? Tanpa sadar, dia merasakan ibu jarinya melepas pengaman pistolnya.
Rentetan tembakan membuatnya terlonjak, dan dia menoleh mencari-cari
apakah ada yang berdarah kena peluru tapi Coriolanus hanya melihat seorang
petugas menurunkan pistolnya. Petugas itu tertawa lalu mengangguk ke
komandan, sehabis menembakkan pelurunya ke pepohonan dan membuat
burung-burung terbang berhamburan. Di antara burung-burung itu, Coriolanus
bisa melihat sekitar sepuluh pasang sayap hitam-putih. Tembakan senjata itu
menenangkan kerumunan, dan para Penjaga Perdamaian mengusir mereka sambil
berteriak, “Kembali bekerja!” dan “Pertunjukan berakhir!” Saat lapangan itu
kosong, Coriolanus tetap berdiri siaga, berharap tak ada seorang pun yang
memperhatikan kegelisahannya.
Ketika mereka semua masuk ke truk dan kembali ke pangkalan, sang mayor
berkata, “Seharusnya tadi aku memperingatkan kalian tentang burung-burung itu.”
“Burung apa mereka sebenarnya?” tanya Coriolanus.
Sang mayor mendengus. “Sebenarnya mereka kesalahan, menurutku.”
“Mu ?” tanya Coriolanus penasaran.
“Semacam itu. Yah, itu dan keturunannya,” kata sang mayor. “Setelah perang,
Capitol melepas mu -mu jabberjay supaya mati dan punah di alam liar.
Seharusnya begitu, karena semua burung jabberjay berjenis jantan. Tapi mereka
berhasil kawin dengan burung mockingbird. Sekarang kita harus berhadapan
dengan burung aneh mockingjay. Beberapa tahun lagi semua jabberjay akan punah,
dan mari kita lihat apakah burung-burung baru ini bisa kawin dan berkembang
biak.”
Coriolanus tidak mau menghabiskan dua puluh tahun mendatang
mendengarkan mereka melantunkan nyanyian tentang hukuman mati. Barangkali,
kalau dia berhasil jadi pegawai negeri, dia bisa mengorganisir perburuan besar-
desyrindah.blogspot.com
Kutanyakan padanya ada masalah apa, tapi dia cuma berkata “Seperti laron-laron
terbang menuju cahaya.” Dia agak mabuk. Kupikir mereka akan berbaikan, tapi
mungkin tidak pernah. Mereka berdua bekerja tidak lama kemudian, dan aku
jarang melihat mereka. Orang-orang melanjutkan hidup.
Potongan cerita itu memberi penjelasan singkat mengenai kebencian Dekan
Highbo om padanya. Pertengkaran. Permusuhan. Dia tahu mereka tak pernah
berbaikan, kecuali yang satu mengalahkan yang lain, karena dia merasakan nada
getir sang dekan saat bicara tentang ayahnya. Betapa picik dan kerdilnya hati
Dekan Highbo om yang tidak bisa menutup luka masa lalu semasa dia bersekolah
dulu. Bahkan sampai saat ini, saat musuh bayangannya sudah lama tewas. Tak
bisakah kau melupakannya? pikir Coriolanus. Bagaimana mungkin permusuhan
lama bisa berbuntut panjang?
Saat makan malam, Smiley, Beanpole, dan Bug ingin mendengar cerita tentang
pelaksanaan hukuman gantung, dan Coriolanus berusaha sebaik mungkin untuk
memuaskan mereka. Idenya untuk menggunakan mockingjay sebagai sasaran
latihan ditanggapi dengan antusias, dan teman-teman sekamarnya mendorong
Coriolanus untuk menyampaikan usulan ini kepada yang berwenang. Satu-
satunya yang terlihat sedih adalah Sejanus, yang duduk diam dan menarik diri,
mendorong nampan makanannya yang berisi mi agar dimakan oleh yang lain.
Coriolanus cemas. Terakhir kali Sejanus kehilangan nafsu makan, dia juga
kehilangan kewarasannya.
Setelah itu, saat mereka mengepel ruang makan, Coriolanus menghampirinya.
“Apa yang meresahkanmu? Dan jangan bilang tidak ada apa-apa.”
Sejanus mencelupkan tangkai pelnya ke ember berisi air kecokelatan. “Aku tidak
tahu. Aku terus berandai-andai apa yang terjadi hari ini jika penonton jadi
beringas. Apakah kita harus menembak mereka?”
“Oh, mungkin tidak,” kata Coriolanus, walaupun dia juga memikirkan hal yang
sama. “Mungkin kita hanya perlu menembak beberapa kali ke udara.”
desyrindah.blogspot.com
wajib latihan menembak sasaran. Dia menganggapnya sebagai bagian dari bisnis
keluarga.”
Coriolanus berusaha mencerna informasi itu. “Kenapa kau tidak berusaha
menyembunyikan kemampuanmu?”
“Kupikir aku sudah melakukannya. Sebenarnya aku bisa menembak jauh lebih
baik daripada saat latihan. Aku berusaha tidak terlalu menonjol, tapi anggota tim
yang lain payah sekali.” Sejanus langsung tersadar. “Tapi kau tidak payah.”
“Ya, aku payah.” Coriolanus tertawa. “Dengar, menurutku kau terlalu berlebihan
menyikapi hal ini. Kita kan tidak melaksanakan hukuman gantung setiap hari. Jika
saatnya tiba kau harus menggunakan senjata, tembakkan saja agar meleset dari
sasaran.”
Tapi ucapan Coriolanus malah mengobarkan amarah Sejanus. “Bagaimana kalau
itu artinya kau, atau Beanpole, atau Smiley malah tewas karena aku tidak
melindungi kalian?”
“Oh, Sejanus!” Coriolanus mendesah putus asa. “Kau harus berhenti berpikir
terlalu panjang! Kau membayangkan segala kemungkinan terburuk. Itu tidak akan
terjadi. Kita semua akan mati di sini karena usia tua atau kebanyakan mengepel,
entah yang mana yang akan merenggut nyawa kita lebih dulu. Sebelum itu terjadi,
jangan menembak mengenai sasaran! Atau kau bisa mengada-ada soal matamu!
Atau hantamkan tanganmu ke pintu!”
“Dengan kata lain, jangan terlalu manja,” kata Sejanus.
“Yah, kau memang penuh drama. Itu sebabnya kau sampai berada di arena, ingat
tidak?” tanya Coriolanus.
Sejanus seakan tertampar oleh ucapan Coriolanus. Sesaat, dia mengangguk
sadar. “Saat itu kita berdua hampir tewas. Kau benar, Coryo. Terima kasih. Aku
akan memikirkan lagi saranmu.”
Badai datang pada hari Sabtu, menyisakan lumpur dan udara basah dan lembap.
Dia mulai ketagihan makanan gurih yang disiapkan Cookie dan menghabiskan
desyrindah.blogspot.com
makanannya sampai tandas setiap kali makan. Latihan harian membuat tubuhnya
lebih kuat, lebih eksibel, dan lebih percaya diri. Dia sudah bisa menandingi
penduduk lokal, bahkan jika harus menghabiskan sepanjang hari di pertam-
bangan. Mungkin tidak sampai perkelahian satu lawan satu, apalagi dengan
perlengkapan senjata Penjaga Perdamaian, tapi dia siap kalau itu yang terjadi.
Selama latihan menembak sasaran, dia memperhatikan Sejanus, yang
tembakannya selalu meleset. Baguslah. Kemampuannya yang mendadak turun
pasti akan menarik perhatian. Kalau anak lelaki lain yang seperti itu pasti
Coriolanus akan curiga, tapi dia tahu Sejanus bukan tipe yang menyombongkan
diri. Kalau dia bilang dia penembak jitu, dia pasti penembak jitu. Itu artinya dia
bakal jadi aset berharga dalam perburuan mockingjay kalau dia mau dibujuk untuk
ikut. Seusai latihan, Coriolanus menyampaikan ide tersebut pada sersan pelatih,
dan merasa tersanjung saat dijawab: “Ide yang lumayan. Sekali tepuk dua lalat.”
“Oh, kalau bisa lebih,” Coriolanus bergurau, dan sang sersan menggeram
menanggapinya.
Setelah menghabiskan sore hari yang terik untuk mencuci pakaian, bolak-balik
memasukkan dan mengeluarkan seragam ke mesin cuci dan pengering, memilah-
milah pakaian dan melipatnya, Coriolanus bergegas makan malam lalu mandi.
Apakah cuma khayalannya, atau benarkah jenggotnya mulai tumbuh? Dia
menganggumi jenggotnya saat mencukurnya dengan pisau cukur. Pertanda lain
bahwa dia sudah meninggalkan masa kanak-kanaknya. Dia mengeringkan rambut
dengan handuk, rambutnya kini sudah tidak terlalu cepak. Rambut ikalnya mulai
tumbuh di sana-sini.
Suasana gembira terasa di kamar mandi karena berita bahwa akan ada band
musik di Hob malam itu. Tampaknya, tak ada satu rekrut pun yang menonton
Hunger Games tahun ini.
“Ada gadis yang akan bernyanyi di sana.”
“Yeah, dari Capitol.”
desyrindah.blogspot.com
Apakah gadis itu sudah mendengar Coriolanus ada di sini? Sepertinya tidak, siapa
yang bisa memberitahu
nya? Di pangkalan dia biasa dipanggil Gent, dan tak ada seorang pun yang
menyinggung soal perbuatannya di Hunger Games.
Malam tiba dan ada orang yang menjentik sakelar, menyalakan lampu yang
tergantung acak-acakan dengan kabel seadanya, serta colokan dan sambungan
yang berantakan. Coriolanus mengedarkan pandangan mencari jalan keluar
terdekat, mengantisipasi terjadinya kebakaran. Bangunan tua ditambah debu batu
bara, hanya dengan percikan api kecil bisa menghasilkan kebakaran hebat dalam
sekejap. Hob mulai dipenuhi orang, Penjaga Perdamaian dan penduduk lokal
bergabung, kebanyakan laki-laki dan hanya beberapa perempuan. Kurang-lebih
dua ratus orang berkumpul saat anak lelaki kurus yang usianya sekitar dua belas,
mengenakan pakaian berbulu berwarna-warni naik ke panggung dan memasang
mikrofon, lalu menarik kabel ke kotak hitam ke samping. Dia menyeret kotak kayu
di belakang mikrofon lalu mundur ke bagian yang ditutupi selimut compang-
camping. Penampilannya memancing reaksi penonton, satu-dua orang mulai
bertepuk tangan, yang menular ke orang-orang lain. Bahkan Coriolanus pun ikut
bertepuk tangan. Terdengar teriakan-teriakan yang meminta agar pertunjukan
segera dimulai. Setelah menunggu lama, akhirnya bagian samping selimut terbuka.
Seorang gadis kecil dengan gaun merah muda melangkah keluar. Dia mem-
bungkuk memberi hormat.
Penonton bersorak saat gadis kecil itu menabuh genderang yang tergantung
dengan tali di lehernya kemudian menari ke arah mikrofon. “Waaah, Maude
Ivory!” teriak seorang Penjaga Perdamaian di dekat Coriolanus. Dia langsung tahu
bahwa gadis kecil ini adalah sepupu Lucy Gray yang pernah diceritakannya, gadis
yang bisa mengingat semua lagu yang pernah dia dengar. Hebat sekali untuk anak
sekecil itu, umurnya mungkin sekitar delapan atau sembilan tahun.
Gadis itu melompat naik ke kotak di belakang mikrofon lalu melambai kepada
desyrindah.blogspot.com
penonton. “Hai, semuanya, terima kasih sudah datang malam ini! Sudah cukup
panas, belum?” katanya dengan suara yang manis melengking, lalu penonton
tertawa. “Kami berencana membuat malam ini lebih panas. Namaku Maude Ivory,
dengan senang hati aku memperkenalkan kaum Pengembara!” Penonton bersorak
dan bertepuk tangan.
Gadis itu memberi hormat hingga penonton cukup tenang dan dia bisa
memperkenalkan mereka satu per satu. “Pada mandolin, ada Tam Amber!”
Seorang pria muda jangkung dan kurus kering mengenakan topi berbulu muncul
dari balik tirai, memetik alat musik mirip gitar tapi lebih kecil. Dia berjalan ke
samping Maude Ivory tanpa menyapa penonton, sementara jemarinya bergerak
memetik dawai mandolin.
Selanjutnya, anak lelaki yang tadi memasang mikrofon muncul membawa biola.
“Clerk Carmine pada biola!” kata Maude Ivory, saat anak lelaki itu menggesek
biola di panggung.
“Dan Darb Azure pada bas!” Sambil membawa alat musik yang bentuknya
seperti biola raksasa, seorang gadis muda langsing mengenakan gaun biru kotak-
kotak melambai malu-malu kepada penonton dan bergabung dengan yang lain di
panggung.
“Dan selanjutnya, baru saja pulang dari tugas di Capitol, satu-
satunya Lucy Gray Baird!”
Coriolanus menahan napas ketika Lucy Gray naik ke panggung, membawa gitar
dengan satu tangan. Dia mengenakan gaun berumbai-rumbai berwarna hijau
terang, wajahnya terlihat cerah dengan riasan. Penonton berdiri. Dia berlari kecil
saat Tam Amber mendorong kotak Maude Ivory dan berada di tengah panggung
di belakang mikrofon.
“Halo, Distrik Dua Belas, apakah kalian merindukanku?” Dia tersenyum lebar
saat penonton bersorak menjawabnya. “Aku yakin kalian tak menyangka bisa
melihatku lagi, aku juga tak mengira bisa bertemu kalian. Tapi aku kembali. Aku
desyrindah.blogspot.com
sungguh-sungguh kembali.”
Seorang Penjaga Perdamaian, yang didorong teman-temannya, dengan malu-
malu berjalan mendekati panggung dan menyerahkan setengah botol berisi cairan
bening pada Lucy Gray.
“Wah, apa ini? Ini untukku?” tanya Lucy Gray sambil menerima botol
pemberian itu. Sang Penjaga Perdamaian mengisyaratkan bahwa hadiah itu dari
kelompoknya. “Wah, kalian semua kan tahu aku sudah berhenti minum alkohol
sejak umur dua belas!” Terdengar tawa membahana dari penonton. “Apa?
Sungguh kok! Tapi tentu saja tidak ada salahnya menyimpan sedikit untuk
menjaga kesehatan. Terima kasih, aku sangat menghargainya.” Dia memperhatikan
botol di tangannya, lalu memandang penonton dengan penuh arti lalu meneguk
cairan dari botol itu. “Untuk menjernihkan pita suaraku!” katanya polos
menanggapi keriuhan penonton. “Tahu tidak, seburuk apa pun kalian
memperlakukanku, entah kenapa aku selalu kembali kemari. Betul.
Mengingatkanku pada lagu lama.”
Lucy Gray memetik gitarnya lalu menatap kaum Pengembara lainnya, yang
berkumpul setengah lingkaran di sekitar mikrofon. “Oke, teman-teman. Satu, dua,
tiga…” Terdengar musik ceria dan bersemangat. Coriolanus merasa tumitnya ikut
mengentak-entak mengikuti irama bahkan sebelum Lucy Gray mulai bernyanyi.
Hatiku sungguh bodoh, dan itu jadi masalah.
Bukan salah Kupido, dia cuma memanah.
Lepaskan, luruhkan, gugurkan,
Rasa ini tetap menjalar.
Hati tak kenal logika.
Kau seperti madu, memancing lebah.
Menyengat, memagut, mengempas.
Rasa ini tetap menjalar.
desyrindah.blogspot.com
itu memang jatah untuk tiket. Mengenal Ma, dia tahu kiriman kue dan popcorn
sedang dalam perjalanan.
Maude Ivory memberi hormat berterima kasih dengan memutar tubuh, lalu
bergegas berlari menembus penonton ke arah panggung. Di panggung, dia
menarik rok Lucy Gray, memperlihatkan hadiah yang diperolehnya di keranjang.
Coriolanus bisa melihat bibir Lucy Gray membentuk ooh dan bertanya dari mana
Maude Ivory mendapatkannya. Coriolanus tahu inilah saatnya, dan dia melangkah
keluar dari kegelapan. Tubuhnya menegang penuh harap ketika Maude Ivory
mengangkat tangan dan menunjuknya. Apa yang akan dilakukan Lucy Gray?
Apakah gadis itu akan mengakui keberadaannya? Mengabaikannya? Apakah Lucy
Gray akan mengenalinya, menyadari bahwa dia menjadi Penjaga Perdamaian?
Mata Lucy Gray mengikuti arah jari Maude Ivory hingga tatapannya mendarat
ke Coriolanus. Kebingungan terlintas di wajahnya, lalu dia mengenalinya, dan
wajahnya terlihat gembira. Lucy Gray menggeleng tidak percaya lalu tertawa.
“Oke, oke, semuanya. Ini… malam ini mungkin malam terbaik dalam hidupku.
Terima kasih pada semuanya yang sudah hadir. Bagaimana kalau aku menyanyikan
satu lagu penutup? Kalian mungkin pernah mendengar lagu ini, tapi lagu ini
memiliki makna baru untukku di Capitol. Kurasa kalian bisa menebaknya.”
Coriolanus mundur kembali ke tempat duduknya Lucy Gray tahu di mana
mencarinya sekarang untuk mendengarkan dan menikmati pertemuan mereka,
yang hanya berjarak satu lagu. Mata Coriolanus berkaca-kaca saat gadis itu
menyanyikan lagu yang dinyanyikannya di kebun binatang.
Jauh di lembah, nun jauh di sana,
Di malam hari, dengarkan peluit kereta bergema.
Dengarkan, Sayang, peluit kereta bergema.
Di malam hari, dengarkan peluit kereta bergema.
Coriolanus merasa pinggangnya disikut dan menoleh melihat Sejanus
tersenyum berseri-seri ke arahnya. Menyenangkan rasanya mengetahui ada
desyrindah.blogspot.com
seseorang yang memahami makna lagu itu. Seseorang yang tahu apa yang sudah
mereka lalui bersama.
Buatkan istana untukku, buat istana yang tinggi,
Supaya aku bisa melihat cinta sejatiku pergi.
Melihatnya pergi, Sayang, melihatnya pergi.
Supaya aku bisa melihat cinta sejatiku pergi.
Aku orangnya, Coriolanus ingin memberitahu orang-orang di sekitarnya. Akulah
cinta sejatinya. Dan aku menyelamatkannya.
Tulis surat untukku, kirimkan padaku.
Masukkan ke amplop, kirimkan ke penjara Capitol.
Penjara Capitol, Sayang, ke penjara Capitol.
Masukan ke amplop, kirimkan ke penjara Capitol.
Apakah dia perlu menyapanya lebih dulu? Atau langsung menciumnya?
Mawar merah, Sayang; lembayung biru.
Burung-burung di angkasa tahu aku mencintaimu.
Cium. Langsung cium saja.
Tahu aku mencintaimu, oh, tahu aku mencintaimu,
Burung-burung di angkasa tahu aku mencintaimu.
“Selamat malam, semuanya. Semoga kita bisa berjumpa lagi minggu depan,
tetaplah menyanyikan lagumu,” kata Lucy Gray, dan kelompok pemusik
Pengembara memberi salam hormat perpisahan. Ketika penonton bertepuk
tangan, dia tersenyum pada Coriolanus. Coriolanus mulai melangkah
menghampirinya, berusaha melewati orang-orang yang sedang mengumpulkan
kursi-kursi ke tumpukan di pojok. Beberapa Penjaga Perdamaian berkumpul
mengelilingi Lucy Gray, dan gadis itu mengobrol dengan mereka, tapi Coriolanus
bisa melihat tatapan gadis itu ditujukan ke arahnya. Dia berhenti melangkah untuk
desyrindah.blogspot.com
memberi gadis itu waktu bagi dirinya sendiri dan agar dia bisa berlama-lama
memandang Lucy Gray, berbinar dan mencintainya.
Para Penjaga Perdamaian mengucapkan selamat malam padanya, berangsur-
angsur pulang. Coriolanus merapikan rambutnya dan bergerak maju. Jarak mereka
tinggal dua setengah meter ketika terjadi kegaduhan di Hob, bunyi kaca pecah dan
suara ribut-ribut protes, membuat Coriolanus menoleh ke asal keributan. Seorang
pemuda berambut gelap seumuran dengannya, mengenakan kaus tanpa lengan
dan celana yang robek di bagian lutut, mendorong kerumunan penonton yang
menipis. Wajahnya berkeringat, dan dari gerakannya terlihat dia sudah
kebanyakan minum alkohol. Di bahunya tersampir kotak alat musik dengan kibor
piano di satu sisi. Di belakangnya, putri sang wali kota, Mayfair, berjalan
mengikuti dan berusaha tidak menyenggol penonton, mulutnya terkatup jijik.
Coriolanus memalingkan pandangannya ke panggung, di sana ekspresi penuh
harap dari Lucy Gray berganti dengan tatapan dingin dan terpaku. Anggota band
lain bergerak mendekat melindunginya, keceriaan mereka saat pertunjukan tadi
kini berubah menjadi campuran kemarahan dan kesedihan.
Dia orangnya, pikir Coriolanus yakin, perutnya mulas. Dia pemuda yang
dicintainya dalam lagu itu.
desyrindah.blogspot.com
24
sendirian.”
Beberapa Penjaga Perdamaian mulai mendekatinya. Pemuda yang memberi
Lucy Gray botol berisi minuman menyentuh lengan Billy Taupe. “Ayolah,
pertunjukan sudah berakhir.”
Billy Taupe menyentak lengannya dari sentuhan pemuda itu lalu mendorongnya
dalam gerakan orang mabuk. Seketika, suasana akrab di Hob berubah. Coriolanus
bisa merasakan ketegangan yang tajam menusuk. Penambang-penambang yang
tadinya mengabaikan pemuda itu atau menyadari kehadirannya kini seakan sudah
siap berkelahi. Para Penjaga Perdamaian sudah berdiri tegak, mendadak siaga, dan
Coriolanus juga otomatis waspada. Saat enam orang Penjaga Perdamaian bergerak
mendekati Billy Taupe, dia merasa para penambang juga bergerak maju.
Coriolanus bersiap-siap akan terlibat tawuran saat ada orang yang mencabut
sakelar lampu, sehingga Hob gelap total.
Seketika semuanya terdiam, lalu kekacauan pecah. Ada tinju yang menghantam
mulut Coriolanus, sehingga tinjunya juga balas beraksi. Dia berkelahi untuk
melerai, memusatkan perhatian untuk mengamankan sekelilingnya. Dia
merasakan naluri hewani serupa yang dialaminya saat para peserta memburunya
di arena. Suara
Dr. Gaul bergema di telinganya. “Itulah manusia dalam keadaan alamiah. Itulah
kemanusiaan yang dilucuti.” Dan sekarang inilah dia kembali dalam kondisi
kemanusiaan yang ditelanjangi, dan menjadi bagian kondisi itu. Memukul,
menendang, giginya mengatup dalam kegelapan.
Klakson terdengar berkali-kali di luar Hob, dan cahaya lampu depan truk
menyinari bagian pintu. Peluit ditiup, dan suara-suara berteriak membubarkan
keributan. Orang-orang berlari ke pintu keluar. Coriolanus berusaha menahan
gelombang warga, mencari Lucy Gray, tapi kemudian memutuskan bahwa
kemungkinan terbaik baginya menemukan gadis itu adalah di luar. Dia
mendorong dan mendesak di antara manusia-manusia lain, masih sambil
desyrindah.blogspot.com
memukul sesekali, sampai akhirnya bisa berada di luar Hob menghirup udara
malam. Di sana beberapa penduduk lokal juga berhasil melarikan diri. Penjaga
Perdamaian menangkap yang tersisa dan ogah-ogahan mengejar mereka yang
kabur. Kebanyakan Penjaga Perdamaian di sini tidak sedang bertugas, dan tidak
ada unit yang ditugasi khusus untuk menangani keributan mendadak ini. Dalam
kegelapan, tak ada yang tahu siapa melawan siapa. Lebih baik cari aman saja.
Namun, Coriolanus merasa ngeri; tidak seperti saat pelaksanaan hukuman
gantung, kali ini para penambang melawan mereka.
Sambil menggigit bibirnya yang pecah, Coriolanus berdiri mengawasi pintu
keluar, tapi setelah orang terakhir dari yang tersisa keluar, tidak tampak
keberadaan Lucy Gray, kaum Pengembara, bahkan Billy Taupe. Dia frustrasi
berada begitu dekat dengan Lucy Gray tapi tidak bisa bicara dengannya. Apakah
ada pintu keluar lain di Hob? Ya, dia ingat ada pintu di dekat panggung, yang pasti
jadi jalur mereka menyelinap keluar. Mayfair Lipp tidak seberuntung itu. Dia
berdiri diapit dua Penjaga Perdamaian, tidak ditahan tapi tidak bisa bebas pergi
juga.
“Aku tidak berbuat salah. Kalian tidak berhak menahanku,” dia membentak para
Penjaga Perdamaian.
“Maaf, Nona,” kata seorang Penjaga Perdamaian. “Demi keselamatan Anda, kami
tidak bisa mengizinkan Anda pulang sendiri. Pilihannya adalah kami mengawal
Anda pulang atau kami menghubungi ayah Anda untuk instruksi lebih lanjut.”
Mendengar mereka akan menghubungi ayahnya langsung membungkam
Mayfair, tapi gadis itu tetap banyak tingkah. Mayfair menahan amarah, bibirnya
terkatup rapat, tampak bahwa dia berniat membalas perlakuan ini, tunggu saja
waktunya.
Tampaknya tidak ada yang antusias mendapat tugas mengantarnya pulang,
sehingga Coriolanus dan Sejanus yang kebagian tugas tersebut, entah karena
mereka terlihat bertugas dengan baik saat pelaksanaan hukuman gantung atau
desyrindah.blogspot.com
karena mereka berdua tidak terlalu mabuk. Dua tentara dan tiga Penjaga
Perdamaian lain ikut menemani. “Sudah larut, dengan cuaca seperti ini lebih baik
dari cari aman saja,” kata salah satu tentara. “Tempatnya tidak terlalu jauh.”
Saat mereka menyusuri jalanan, sepatu bot mereka menggerus pasir, Coriolanus
menyipitkan mata melihat dalam kegelapan. Lampu-lampu jalanan menerangi
Capitol, tapi di sini mereka harus berharap pada cahaya yang sesekali berkedip
dari jendela-jendela rumah dan cahaya bulan yang pucat. Tanpa senjata, tanpa
perlindungan seragam putihnya, Coriolanus merasa rentan dan berjalan dekat-
dekat yang lain. Semoga tentara-tentara ini punya senjata, agar bisa mengamankan
mereka dari serangan. Dia ingat petuah Grandma’am. “Ayahmu sering berkata
orang-orang itu hanya minum air karena tidak ada hujan darah. Jangan lupa itu demi
kebaikanmu sendiri, Coriolanus.” Apakah mereka ada di sini sekarang, mengawasi
dan menunggu kesempatan untuk memuaskan dahaga mereka? Coriolanus rindu
rasa aman berada di pangkalan.
Untungnya tidak terlalu jauh, jalanan mengarah ke lapangan terbuka, yang
disadari Coriolanus sebagai lokasi hari pemungutan. Beberapa lampu sorot
membantunya melihat batu-batuan besar yang ada di jalan.
“Aku bisa pulang sendiri dari sini,” kata Mayfair.
“Kami tidak terburu-buru,” kata salah satu tentara.
“Kenapa kalian tidak mau membiarkanku sendiri?” bentak
Mayfair.
“Kenapa kau tidak berhenti bergaul dengan pemuda tak berguna itu?” kata salah
satu tentara itu. “Percayalah, hubungan itu takkan berakhir baik.”
“Halah, urus hidup kalian sendiri,” sahutnya.
Mereka menyeberangi lapangan, meninggalkan alun-alun, dan menyusuri jalan
beraspal ke seberang jalan. Rombongan itu berhenti di depan rumah besar yang
mungkin termasuk mansion di Distrik 12 tapi tidak luar biasa di Capitol. Di balik
jendela yang terbentang, membuka lebar pada bulan Agustus yang panas,
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus bisa melihat sekilas ruangan terang, bermebel, dengan kipas angin lis-
trik meniup-niup tirai. Hidungnya mencium aroma makan malam daging ham,
pikirnya liurnya menetes sedikit dan membuatnya merasakan darah di bibirnya.
Untung juga dia tidak bertemu Lucy Gray; bibirnya tidak kondusif untuk
berciuman.
Saat salah satu tentara memegang pagar, Mayfair mendorongnya, berjalan ke
jalan masuk, dan menyelinap ke dalam rumah.
“Apakah kita perlu memberitahu orangtuanya?” tanya tentara yang lain.
“Untuk apa?” kata tentara pertama. “Kau tahu bagaimana sang walikota. Dia
yang keluyuran pada malam hari, tapi kita yang akan disalahkan. Aku malas
diceramahi.”
Tentara yang lain bergumam sependapat, dan rombongan itu kembali
menyeberangi lapangan. Saat Coriolanus mengikuti rombongan, terdengar bunyi
dengung pelan, lalu dia menoleh ke arah semak-semak di samping rumah. Dia bisa
melihat sosok yang berdiri tak bergerak dalam kegelapan, menyandarkan
punggungnya pada dinding. Lampu di lantai dua menyala, dan cahaya kuning
menyinari sampai ke bawah memperjelas sosok itu, Billy Taupe, hidungnya
berdarah dan melotot ke arah Coriolanus. Dia memeluk alat musiknya, yang
menjadi sumber bunyi dengungan itu.
Coriolanus hendak membuka mulut untuk memberitahu yang lain, tapi lidah
kelu. Apa yang terjadi? Ketakutan? Ketidakpedulian? Tidak bisa menduga apa
reaksi Lucy Gray? Band Pengembara sudah menegaskan posisi mereka sebagai
musuh, namun dia tidak tahu apa reaksi mereka jika Coriolanus mengadukan Billy
Taupe, bahkan mungkin membuatnya masuk penjara. Bagaimana jika aduannya
malah membuat orang bersimpati pada Billy Taupe, membuat pemuda itu
dimaa an dan dielu-elukan? Dia bisa melihat kesetiaan kaum Pengembara sangat
kuat. Namun, barangkali mereka justru menyambutnya? Terutama Lucy Gray,
yang mungkin tertarik untuk tahu bahwa mantannya ke rumah putri walikota
desyrindah.blogspot.com
untuk mencari penghiburan. Apa yang telah dilakukan pemuda itu hingga dia
diasingkan dari kaum Pengembara, band, dan rumahnya? Coriolanus teringat
pada bagian terakhir dari lirik lagu Lucy Gray, balada yang dinyanyikannya saat
wawancara.
Sayangnya kau kalah saat memasang taruhan pada diriku di hari pemungutan.
Nah, apa yang akan kaulakukan saat tiba waktuku di liang kubur?
Pasti jawabannya ada di sana.
Mayfair tampak di jendela lalu dia menutup jendelanya. Kemudian menarik tirai
sehingga menghalangi cahaya, dan Billy Taupe tak kelihatan lagi. Semak-semak
bergemeresik, Coriolanus pun kehilangan kesempatannya.
“Coryo?” Sejanus menghampirinya. “Kau ikut?”
“Maaf, tadi aku melamun,” kata Coriolanus.
Sejanus mengangguk ke arah rumah walikota. “Tempat itu mengingatkanku
pada Capitol.”
“Maksudmu rumah,” Coriolanus mengoreksi.
“Bukan. Bagiku, rumah selalu ada di Distrik Dua,” Sejanus menegaskan. “Tapi
tidak penting lagi. Aku mungkin takkan pernah melihat dua tempat itu lagi.”
Saat mereka berjalan pulang, Coriolanus berpikir tentang kemungkinan dirinya
bisa melihat Capitol lagi. Sebelum Sejanus datang, dia pikir kemungkinannya nol.
Tapi kalau dia bisa kembali sebagai pegawai negeri, atau bahkan sebagai pahlawan
perang, keadaan mungkin bakal berbeda. Tentu saja, dia butuh perang untuk bisa
menunjukkan kemampuan diri, sama seperti Sejanus butuh perang untuk latihan
sebagai petugas medis.
Ketegangan Coriolanus reda saat gerbang pangkalan tertutup setelah mereka
masuk. Dia membasuh wajahnya dan memanjat naik ke ranjangnya di atas
Beanpole yang mengorok teler. Bibirnya yang bengkak berdenyut seirama debaran
jantungnya ketika membayangkan kejadian malam itu. Rasanya seperti mimpi
desyrindah.blogspot.com
mendatangi Lucy Gray. Diam-diam. Hari ini dia punya kesempatan langka untuk
mencari gadis itu, tapi dia butuh pendamping agar bisa meninggalkan pangkalan.
“Menurutku sebaiknya hubungan kami tetap jadi rahasia. Lucy Gray bisa kena
masalah kalau datang kemari. Sejanus, kau ada rencana apa hari…” Coriolanus
mulai bicara.
“Dia tinggal di tempat bernama Seam,” potong Sejanus. “Di dekat hutan.”
“Apa?” tanya Coriolanus.
“Aku bertanya pada salah seorang penambang tadi malam. Sambil lalu.” Sejanus
tersenyum. “Jangan kuatir, dia terlalu mabuk untuk ingat. Dan ya, dengan senang
hati aku akan menemanimu.”
Sejanus memberitahu teman-temannya bahwa mereka akan ke kota untuk
melihat apakah mereka bisa membarter permen karet Capitol dengan kertas surat,
tapi mereka tak perlu mencari-cari
alasan lain, karena teman-teman sekamar mereka langsung kembali tidur sehabis
sarapan. Coriolanus berharap dia punya uang untuk membeli hadiah atau
semacamnya, tapi sepeser pun dia tak punya. Ketika melewati ruang makan, dia
melihat mesin es, dan dia punya ide. Dalam cuaca panas terik begini, para tentara
diizinkan mengambil es sebanyak yang mereka mau untuk minum atau
menyejukkan diri. Menggosokkan bongkah-bongkah es ke tubuh memberikan
kenyamanan di dapur yang panas.
Karena ketelatenan Coriolanus mencuci piring, Cookie kini baik padanya, dan
pria tua itu memberinya kantong plastik bekas. Karena cuaca panas, dia setuju
Coriolanus membawa es dalam perjalanannya untuk menghindari serangan panas.
Coriolanus tidak tahu apakah kaum Pengembara punya kulkas, tapi dari tampilan
rumah-rumah yang dilewatinya saat dalam perjalanan menuju hukuman gantung,
sepertinya kulkas adalah kemewahan yang hanya bisa dimiliki segelintir orang.
Lagi pula es ini gratis, dan dia tidak mau datang dengan tangan kosong.
Mereka melapor untuk keluar di gerbang, dan penjaga yang bertugas
desyrindah.blogspot.com
memperingatkan agar berhati-hati, lalu mereka berjalan ke arah yang mereka ingat
menuju alun-alun kota. Coriolanus gelisah. Karena tambang ditutup sehari,
suasana sunyi meliputi distrik. Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka
tampak tidak acuh. Hanya ada satu toko roti kecil yang buka di alun-alun kota,
pintunya dibuka lebar agar angin bisa masuk untuk meredakan panas oven.
Pemilik toko roti itu, wanita dengan wajah merah padam, tampaknya tidak terlalu
mau meladeni mereka yang cuma bertanya dan tidak membeli rotinya. Ketika
Sejanus membarter permen karet mahalnya dengan sebongkah roti, wanita itu
langsung melunak, membawa mereka ke alun-alun dan menunjukkan arah jalan
menuju Seam.
Seam terbentang beberapa kilometer di luar pusat kota, jalan-jalan biasa
berubah menjadi jalur-jalur kecil yang berakhir menjadi jalan buntu tanpa alasan
jelas. Beberapa rumah berderet di sisi jalan; sementara beberapa rumah dibangun
seadanya yang cuma pantas disebut gubuk. Banyak rumah yang cuma ditopang,
diplester, atau rusak hingga rangka rumahnya pun sudah hancur. Banyak pula
rumah yang ditinggalkan dan diambil puing-puingnya yang masih berharga.
Tidak adanya rambu dan petunjuk jalan membuat Coriolanus panik, dan
kegelisahannya muncul lagi. Sesekali mereka melewati orang yang sedang duduk
di serambi atau di bawah naungan atap rumah. Tak ada satu pun dari mereka yang
bertampang ramah. Satu-
satunya makhluk yang ramah adalah agas, yang terus-menerus mendekati bibirnya
yang luka sehingga Coriolanus harus menggusahnya. Matahari bersinar terik,
lelehan air es di kantong plastik membasahi celananya. Semangat Coriolanus juga
ikut meleleh. Mabuk kepayang yang dirasakannya tadi malam di Hob, berpadu de-
ngan alkohol dan kerinduan, serasa seperti mimpi sekarang. “Mungkin ini ide yang
buruk.”
“Yang benar?” tanya Sejanus. “Aku yakin kita berjalan ke arah yang benar. Lihat
pepohonan di sana?”
desyrindah.blogspot.com
Dia sedang memecahkan kacang dengan batu di tanah yang berabu arang sambil
mengikuti lagu.
“Oh, kasihku” krak “oh kasihku” krak “Oh, kasihku, Clementine!”
krak. Dia mendongak dan tersenyum ketika melihat Coriolanus dan Sejanus. “Aku
kenal kau!” Dia membersihkan sisa-
sisa kulit kacang dari roknya lalu berlari ke dalam rumah.
Coriolanus menyeka wajahnya dengan lengan kemejanya, berharap bibirnya
tidak kelihatan terlalu parah saat Lucy Gray muncul. Tapi Maude Ivory malah
muncul bersama Barb Azure yang masih mengantuk, dengan rambut yang
dikepang buru-buru. Sama seperti Maude Ivory, dia mengganti kostumnya dengan
pakaian yang biasa dikenakan orang di Distrik 12. “Selamat pagi,” katanya. “Kau
mencari Lucy Gray?”
“Dia temannya dari Capitol,” Maude Ivory mengingatkannya. “Orang yang
memperkenalkannya di televisi, cuma dia sekarang hampir botak. Dia memberiku
popcorn.”
“Kami menikmati makanan itu dan menghargai semua yang kaulakukan untuk
Lucy Gray,” kata Barb Azure. “Kurasa kau bisa menemukannya di Padang
Rumput. Dia biasanya ke sana pagi-pagi untuk bekerja, agar tidak mengganggu
tetangga.”
“Akan kutunjukkan. Ayo!” Maude Ivory melompat dari beranda dan
menggandeng tangan Coriolanus seakan mereka teman lama. “Lewat sini.”
Tak punya adik atau keluarga lain membuat Coriolanus tidak berpengalaman
dengan anak-anak, tapi dia merasa istimewa dengan cara Maude Ivory menempel
padanya serta tangan mungil yang menggenggam tangannya penuh rasa percaya.
“Jadi, kau melihatku di televisi?”
“Cuma satu malam. Gambar di televisi jelas dan Tam Amber menggunakan
banyak kertas perak. Biasanya hanya ada gambar statis di layar, tapi TV bisa
ditonton melihat acara istimewa,” Maude Ivory menjelaskan. “Seringnya tidak ada
desyrindah.blogspot.com
yang bisa dilihat. Lagi pula, biasanya hanya ada berita lama yang membosankan.”
Dr. Gaul bisa mengoceh panjang lebar tentang melibatkan masyarakat dalam
Hunger Games, tapi kalau hampir semua orang di distrik tidak punya televisi,
pengaruhnya hanya sejauh hari pemungutan ketika semua orang berkumpul di
depan umum.
Saat mereka berjalan memasuki hutan, Maude Ivory berceloteh tentang
pertunjukan tadi malam dan perkelahian yang terjadi. “Maaf, kau jadi kena pukul,”
katanya, menunjuk bibir Coriolanus. “Yah, Billy Taupe memang begitu. Ke mana
pun dia pergi, masalah mengikutinya.”
“Apakah dia kakakmu?” tanya Sejanus.
“Oh, tidak, dia keluarga Clade. Dia dan Clark Carmine adalah kakak-beradik.
Kami semua sepupu keluarga Baird. Maksudnya, semua yang wanita. Dan Tam
Amber tidak punya siapa-siapa,” kata Maude Ivory terus terang.
Jadi Lucy Gray bukan satu-satunya yang memiliki cara bicara tidak lazim. Ini
pasti ciri khas Pengembara. “Tidak punya siapa-siapa?” tanya Coriolanus.
“Ya. Kaum Pengembara menemukan Tam Amber saat dia masih bayi. Ada yang
meninggalkannya di kotak kardus di tepi jalan, jadi dia milik kami. Mereka yang
rugi, karena dia pemusik hebat,” kata Maude Ivory. “Tapi dia tidak banyak bicara.
Apakah itu es?”
Coriolanus mengayunkan bongkahan es yang sudah mencair. “Sisanya.”
“Oh, Lucy Gray akan menyukainya. Kami punya kulkas, tapi pendinginnya
sudah lama rusak,” kata Maude Ivory. “Rasanya mewah punya es pada musim
panas. Seperti bunga pada musim dingin. Langka.”
Coriolanus setuju. “Nenekku menanam bunga mawar pada musim dingin.
Orang-orang meributkannya.”
“Lucy Gray bilang baumu seperti mawar,” kata Maude Ivory. “Apakah rumahmu
penuh dengan mawar?”
“Nenekku menanamnya di atap,” Coriolanus memberitahunya.
desyrindah.blogspot.com
“Di atap?” Maude Ivory terkikik. “Tempat yang konyol untuk menanam bunga.
Apakah bunganya tidak meluncur jatuh?”
“Atapnya datar, tempatnya juga tinggi. Kena banyak sinar matahari,” kata
Coriolanus. “Kau bisa melihat seluruh Capitol dari sana.”
“Lucy Gray tidak suka Capitol. Mereka berusaha membunuhnya,” kata Maude
Ivory.
“Ya,” kata Coriolanus sependapat. “Bukan tempat yang menyenangkan
untuknya.”
“Dia bilang kau satu-satunya hal baik dari sana, dan sekarang kau ada di sini.”
Maude Ivory menarik tangannya. “Kau akan tinggal di sini, kan?”
“Rencananya begitu,” kata Coriolanus.
“Aku senang. Aku menyukaimu, dan itu akan membuatnya bahagia,” kata Maude
Ivory.
Mereka bertiga tiba di padang luas yang terus menuju hutan. Tidak seperti
hamparan rumput liar di depan pohon gantung, padang rumput ini bersih dengan
rumput-rumput tinggi dan bunga-bunga liar yang cerah. “Itu dia di sana, bersama
Shamus.” Maude Ivory menunjuk sosok yang duduk sendirian di batu.
Mengenakan gaun yang sesuai namanya abu-abu Lucy Gray duduk
membelakangi mereka, kepalanya menunduk di atas gitar.
Shamus? Siapa Shamus? Anggota Pengembara lain? Atau apakah dia salah
menerka peran Billy Taupe dalam hidup gadis itu, dan Shamus adalah kekasihnya?
Coriolanus menaruh tangan di atas kedua matanya, untuk menghalangi cahaya
matahari tapi dia hanya bisa melihat sosok gadis itu.
“Shamus?”
“Dia kambing kami. Jangan tertipu dengan nama jantannya; kambing betina itu
bisa memberi kami segalon susu sehari saat dia segar,” kata Maude Ivory. “Kami
berusaha membuat mentega dari susu, tapi butuh waktu lama sekali.”
“Oh, aku suka mentega,” kata Sejanus. “Aku jadi ingat, aku lupa memberimu roti
desyrindah.blogspot.com
akan kabur, tapi keterkejutannya berubah jadi kelegaan saat dia melihat
Coriolanus. Lucy Gray menggeleng, terlihat malu dan memeluk gitarnya sambil
bersandar di batu. “Maaf. Naluriku masih tersisa dari arena.”
Jika masa singkatnya di arena Hunger Games membuat Coriolanus gelisah dan
dihantui mimpi buruk, dia tak bisa membayangkan apa yang dirasakan Lucy Gray.
Sebulan terakhir ini hidup mereka jungkir balik dan mengubah diri mereka
selamanya. Sedih sebenarnya, karena mereka berdua adalah orang yang luar biasa
tapi mendapat perlakuan amat kejam dari dunia.
“Ya, memang menyisakan kesan buruk,” kata Coriolanus. Mereka berdiri
berpandangan, saling menikmati keberadaan satu sama lain sebelum mereka
bergerak bersama-sama. Kantong es terlepas dari tangannya ketika Lucy Gray
memeluknya, melelehkan tubuhnya ke tubuh Coriolanus. Dia balas memeluknya,
teringat betapa takutnya dia akan kehilangan Lucy Gray, juga takut pada apa yang
menimpanya, dan betapa dia tidak berani membayangkan momen seperti ini bisa
terjadi. Tapi mereka ada di sini, aman di padang rumput yang indah. Ribuan
kilometeter dari arena. Mereka berpelukan begitu erat hingga cahaya pun tak bisa
menyelinap di antara mereka.
“Kau menemukanku,” katanya.
Di Distrik 12? Di Panem? Di dunia ini? Tak penting lagi. “Kau tahu aku pasti
akan menemukanmu.”
“Aku berharap. Tapi entahlah. Keberuntungan sepertinya tidak berpihak
padaku.” Lucy Gray mundur sedikit untuk membebaskan satu tangannya dan
mengusap bibir Coriolanus yang luka dengan jemarinya. Dia bisa merasakan
jemari Lucy Gray yang kapalan karena sering memetik gitar serta kelembutan
kulitnya saat memeriksa luka akibat perkelahian tadi malam. Lalu, dengan sedikit
malu-malu, Lucy Gray menciumnya, membuat tubuh Coriolanus seperti
tersetrum. Mengabaikan rasa sakit di bibirnya, Coriolanus membalas ciuman itu,
penuh damba dan rasa penasaran, sekujur tubuhnya bergelora. Dia menciumnya
desyrindah.blogspot.com
sampai bibirnya mulai berdarah lagi, dan akan terus menciumnya kalau gadis itu
tidak melepaskan diri.
“Sini,” kata Lucy Gray. “Duduk di tempat teduh.”
Sisa es terinjak olehnya, dan dia mengambilnya. “Untukmu.”
“Wah, terima kasih.” Lucy Gray menariknya duduk di batu. Dia mengambil
kantong plastik berisi es itu, menggigit ujung plastik untuk membuat lubang kecil
lalu mengangkat plastik dan membiarkan air es yang meleleh itu menetes ke
mulutnya. “Ah. Ini pasti satu-satunya benda dingin di bulan November.”
Tangannya meremas kantong plastik, menyemprotkan air ke wajahnya. “Rasanya
menyenangkan. Mundur...” Coriolanus mendongak dan merasakan air
menyemprot ke bibirnya, lalu dia menjilat bibir dan mereka kembali berciuman
lama. Kemudian Lucy Gray mengangkat kedua lututnya dan berkata, “Jadi, apa
yang dilakukan Coriolanus Snow di padang rumputku?”
Apa yang dilakukannya? “Hanya menghabiskan waktu bersama gadisku,”
jawabnya.
“Sulit kupercaya.” Lucy Gray memandangi Padang Rumput. “Segala yang terjadi
setelah hari pemungutan terasa tidak nyata. Dan Hunger Games seperti mimpi
buruk.”
“Aku juga merasa begitu,” kata Coriolanus. “Tapi aku ingin mendengar apa yang
terjadi padamu. Di luar sorotan kamera.”
Mereka duduk bersisian; bahu, rusuk, pinggang mereka berdempet, kedua
tangan mereka bertaut, saling bertukar cerita sambil berbagi air es. Lucy Gray
memulai cerita dengan hari-hari pertama di arena, bersembunyi bersama Jessup
yang menggila. “Kami berpindah-pindah tempat di terowongan. Di sana seperti
labirin. Jessup yang malang semakin sakit seiring waktu. Malam pertama itu, kami
tidur dekat pintu masuk. Kau yang datang, bukan? Yang datang memindahkan
Marcus?”
“Aku dan Sejanus. Dia menyelinap masuk untuk… aku tidak tahu apa tujuannya,
desyrindah.blogspot.com
membunuh Treech dengan ular berbisa adalah tindakan membela diri. Aku masih
tidak mengerti kenapa ular-ular itu menyukaiku. Aku tidak percaya gara-gara nya-
nyianku. Ular tidak bisa mendengar dengan baik.”
Akhirnya Coriolanus memberitahunya. Tentang lab, Clemensia, dan rencana Dr.
Gaul untuk melepas ular di arena, dan bagaimana dia diam-diam menjatuhkan
saputangannya, tepatnya saputangan ayahnya, ke kotak kaca berisi ular, agar
mereka mengenali aroma Lucy Gray. “Tapi mereka menemukan saputangan itu,
penuh jejak DNA kita berdua.”
“Dan itu sebabnya kau di sini? Bukan karena racun tikus di dalam kotak bedak?”
tanyanya.
“Ya,” kata Coriolanus. “Kau melindungiku dengan baik soal kotak bedak itu.”
“Aku berusaha sebaik mungkin.” Lucy Gray merenung. “Jadi aku
menyelamatkanmu dari api, dan kau menyelamatkanku dari ular. Kita
bertanggung jawab atas hidup satu sama lain sekarang.”
“Benarkah?” tanya Coriolanus.
“Tentu saja,” jawab Lucy Gray. “Kau milikku dan aku milikmu. Ini sudah takdir.”
“Kita tidak bisa menghindari takdir.” Coriolanus mendekat dan menciumnya
lagi, mabuk oleh kebahagiaan, karena meskipun dia tidak percaya takdir gadis itu
memercayainya, dan itu cukup untuk menjamin kesetiaannya. Bukan berarti
kesetiaan dirinya dipertanyakan. Kalau dia tidak bisa jatuh cinta dengan gadis-
gadis di Capitol, kecil kemungkinan gadis-gadis Distrik 12 membuatnya tergoda.
Sensasi aneh di lehernya membuatnya menoleh, dan dia melihat Shamus sedang
menjilati kerahnya. “Oh, halo. Ada yang bisa kubantu, Bu?”
Lucy Gray tertawa. “Kebetulan kau bisa membantu, kalau kau tidak keberatan.
Susunya perlu diperah.”
“Memerah susu. Aku tidak tahu bagaimana caranya,” kata Coriolanus.
“Dengan ember. Ada di rumah.” Lucy Gray menyemprotkan sedikit air es ke
arah Shamus, dan kambing itu melepaskan kerah Coriolanus. Dia merobek
desyrindah.blogspot.com
sangat mengejutkannya. Kenapa titisan iblis itu mau membantu pacarnya? Rasa
hormat? Kasihan? Merasa bersalah? Perbuatan yang dilakukannya karena
pengaruh narkoba? Dia masih memikirkan alasannya saat sampai di depan rumah
gadis itu, dan Lucy Gray mengikatkan tali kekang Shamus di tiang.
“Ayo masuk. Bertemu dengan keluargaku.” Lucy Gray menggenggam tangan
Coriolanus dan menariknya ke pintu. “Apa kabar Tigris? Aku berharap bisa
berterima kasih langsung padanya atas kiriman sabun dan gaun untukku. Sekarang
aku sudah di rumah, aku bermaksud mengiriminya surat, dan barangkali sebuah
lagu kalau aku bisa menciptakan satu lagu yang cukup bagus untuknya.”
“Dia pasti akan menyukainya,” kata Coriolanus. “Keadaan di rumah kurang
baik.”
“Aku yakin mereka merindukanmu. Apakah ada masalah lain?” tanya Lucy Gray.
Sebelum sempat menjawab, mereka sudah melangkah masuk ke rumah. Di
dalam terdapat satu ruangan besar terbuka, dan area tidur berada di loteng. Di
bagian belakang, ada kompor batu bara, bak cuci, rak peralatan makan, dan kulkas
kuno menandai wilayah dapur. Rak berisi kostum berderet di sisi kanan dinding,
peralatan musik di sebelah kiri. Televisi tua berada di atas kotak, dengan antena
kebesaran yang bercabang seperti tanduk ditambah puntiran-puntiran kertas
perak aluminium. Selain beberapa kursi dan sebuah meja, tidak ada mebel lain di
tempat itu.
Tam Amber bersandar di salah satu kursi, memegang mandolin di pangkuan tapi
tidak memainkannya. Clerk Carmine duduk melamun di loteng, memandang
sebal ke arah Barb Azure dan Maude Ivory, yang juga terlihat jengkel. Saat melihat
mereka, Maude Ivory langsung berlari dan mulai menarik Lucy Gray ke arah
jendela yang mengarah ke halaman belakang. “Lucy Gray, dia berulah lagi!”
“Kau mengizinkannya masuk?” tanya Lucy Gray, tampaknya tahu siapa yang
dimaksud Maude Ivory.
“Tidak. Dia bilang mau ambil sisa barangnya. Kami lempar
desyrindah.blogspot.com
Sejanus terkejut, dan Coriolanus melihat dia tampak merasa bersalah dengan
bergegas berdiri dan menepuk-nepuk debu dari seragamnya. Sebaliknya, Billy
Taupe berdiri perlahan-lahan, tampak malas untuk menghadapi mereka.
“Wah, lihat siapa yang akhirnya memutuskan berbicara denganku,” katanya,
tersenyum gelisah pada Lucy Gray. Apakah ini kali pertama mereka bicara sejak
Hunger Games?
“Sejanus, Maude Ivory marah besar karena kau tidak mengerjakan tugasmu
membuka kacang,” katanya.
“Ya, aku melalaikan tugasku.” Sejanus mengulurkan tangan ke arah Billy Taupe,
yang tidak ragu langsung menyambut bersalaman. “Senang bertemu denganmu.”
“Sama-sama. Kau bisa mencariku saat senggang di Hob, kalau kau masih mau
bicara,” jawab Billy Taupe.
“Ya, akan kuingat,” kata Sejanus, berjalan kembali ke rumah.
Lucy Gray melepaskan tangannya dari Coriolanus dan berdiri berhadapan
dengan Billy Taupe. “Pergilah, Billy Taupe. Dan jangan pernah kembali.”
“Atau apa, Lucy Gray? Kau akan mengirim Penjaga Perdamaian-mu untuk
menghajarku?” Dia tertawa.
“Ya, kalau perlu,” kata Lucy Gray.
Billy Taupe melirik Coriolanus. “Tampaknya bukan jagoan.”
“Kau tidak paham. Tidak bisa lagi kembali ke masa lalu,” kata Lucy Gray.
Billy Taupe marah. “Kau tahu aku tidak berusaha membunuhmu.”
desyrindah.blogspot.com
“Aku tahu kau masih bersama gadis yang mencoba membunuhku,” sahut Lucy
Gray. “Kudengar kau sudah betah di rumah walikota.”
“Coba pikir, siapa yang mengirimku ke sana? Aku muak kau mempermainkan
anak-anak itu. Lucy Gray yang malang. Kasihan,” ejeknya.
“Mereka tidak bodoh. Mereka juga mau kau pergi,” sahut Lucy Gray.
Tangan Billy Taupe terulur cepat, meraih pergelangan tangan Lucy Gray dan
menarik gadis itu. “Ke mana aku harus pergi tepatnya?”
Sebelum Coriolanus turun tangan, Lucy Gray sudah menancapkan giginya ke
tangan Billy Taupe, sehingga pemuda itu menjerit dan melepaskannya. Billy Taupe
mendelik ke arah Coriolanus yang bergerak maju melindungi Lucy Gray di
sampingnya. “Sepertinya kau juga tidak kesepian. Ini pemuda kerenmu dari
Capitol? Mengejarmu jauh-jauh kemari? Tunggu saja kejutan yang menantinya.”
“Aku sudah tahu segalanya tentangmu.” Sebenarnya Coriolanus tidak tahu apa-
apa. Tapi setidaknya pernyataan itu membuatnya tidak terlalu lugu.
Billy Taupe tertawa tak percaya. “Aku? Aku kuntum bunga mawar di atas
tumpukan kotoran.”
“Kenapa kau tidak pergi saja, seperti yang dia minta?” kata Coriolanus ketus.
“Baik. Kau akan dapat pelajaran.” Billy Taupe mengambil barang-barang
miliknya. “Tidak lama lagi kau akan dapat pelajaran.” Pemuda itu pun berjalan
pergi di bawah terik matahari pagi yang panas.
Lucy Gray memandanginya berlalu sambil menggosok pergelangan tangan yang
tadi ditarik Billy Taupe. “Kalau kau mau kabur, sekaranglah saatnya.”
“Aku tidak mau kabur,” kata Coriolanus, meskipun adu mulut dengan Billy
Taupe tadi membuatnya gelisah.
“Dia pembohong dan jahat. Memang, aku bergenit-genit dengan banyak orang.
Itu bagian pekerjaanku. Tapi, apa yang dia siratkan itu tidak benar.” Lucy Gray
memandang ke jendela. “Bagaimana kalau memang benar? Bagaimana jika
pilihannya itu atau membiarkan Maude Ivory kelaparan? Tak ada yang mau itu
terjadi, dan aku rela berbuat apa saja. Namun, dia punya aturan sendiri untuk
desyrindah.blogspot.com
dirinya dan untukku. Selalu begitu. Seolah-olah dia menjadi korban dan
membuatku jadi sampah.”
Ucapan Lucy Gray membuatnya teringat pada percakapannya dengan Tigris,
dan Coriolanus segera mengubah topik pembicaraan. “Jadi dia bersama putri
walikota sekarang?”
“Begitulah. Aku memintanya ke sana untuk mengambil uang hasil mengajar
piano, tahu-tahu ayah gadis itu memanggil namaku pada hari pemungutan,” kata
Lucy Gray. “Tidak tahu apa yang dikatakan gadis itu pada ayahnya. Ayahnya bakal
mengamuk kalau tahu putrinya berkeliaran dengan Billy Taupe. Aku selamat dari
Capitol hanya untuk kembali ke situasi yang sama.”
Ada sesuatu dalam sikapnya, kesedihan mendalam yang meyakinkan
Coriolanus. Dia menyentuh lengan gadis itu. “Kalau begitu, mulailah hidup baru.”
Lucy Gray menautkan jemarinya ke jemari Coriolanus. “Hidup baru.
Bersamamu.” Tapi gadis itu tetap terlihat resah.
Coriolanus menyikutnya. “Bukankah kita perlu memerah susu kambing?”
Wajah Lucy Gray menjadi lebih rileks. “Benar.” Lucy Gray mengajaknya masuk
ke rumah, dan ternyata Maude Ivory sudah mengajari Sejanus memerah susu
Shamus.
“Dia tidak bisa menolaknya. Dia kena masalah karena sudah bicara dengan
musuh,” kata Barb Azure, yang mengambil sepanci kecil susu dari kulkas tua dan
menaruhnya di meja, lalu mulai memeriksanya. Clerk Carmine mengambil kendi
kaca dari atas rak. Ada engkol di tutup kendi yang menggerakkan pengocok di
dalamnya.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Coriolanus.
“Usaha yang sia-sia.” Barb Azure tertawa. “Berusaha mendapat krim yang cukup
banyak dari susu agar kami bisa membuat mentega. Sayangnya susu kambing tidak
seperti susu sapi.”
“Mungkin kita perlu tunggu sehari lagi?” kata Clerk Carmine.
desyrindah.blogspot.com
berjalan cepat. “Kupikir kau sudah tidak mau berurusan dengan pemberontakan
lagi!”
Sejanus bergegas mengikutinya. “Aku tidak bisa! Ini bagian dari diriku. Dan kau
sendiri yang bilang aku bisa menolong orang-orang di distrik kalau aku bersedia
keluar dari arena.”
“Kurasa, persisnya aku bilang kau bisa berjuang untuk para peserta, yang artinya
kau mungkin bisa menyediakan kondisi yang lebih layak dan manusiawi untuk
mereka,” Coriolanus mengoreksinya.
“Kondisi manusiawi seperti apa?” sembur Sejanus. “Mereka dipaksa untuk saling
membunuh! Dan para peserta berasal dari distrik-distrik, jadi aku tidak melihat
ada bedanya di sini. Mencari tahu tentang gadis ini cuma urusan sepele, Coryo!”
“Jelas ini bukan urusan sepele,” kata Coriolanus. “Bukan urusan sepele bagi Billy
Taupe, pastinya. Kenapa dia buru-buru menghapus gambar peta itu? Karena dia
tahu apa yang dimintanya. Dia tahu dia menjadikanmu kaki tangannya. Kau tahu
apa yang terjadi pada kaki tangan pemberontak?”
“Kupikir…” kata Sejanus.
“Tidak, Sejanus, kau sama sekali tidak berpikir!” kata Coriolanus marah.
“Parahnya lagi, kau percaya pada seseorang yang sepertinya tidak bisa berpikir
jernih. Billy Taupe? Apa kaitannya dengan dia? Uang? Karena menurut Lucy Gray,
kaum Pengembara bukanlah pemberontak. Juga bukan Capitol. Mereka punya
identitas mereka sendiri, apa pun itu.”
“Aku tidak tahu. Dia bilang… dia minta tolong mewakili temannya,” Sejanus
tergagap.
“Teman?” Coriolanus sadar bahwa dia sudah berteriak dan segera merendahkan
suaranya hingga berbisik. “Teman Arlo yang baik, yang memasang peledak di
tambang? Rencana yang amat brilian. Hasil apa yang dia harapkan? Mereka tidak
punya sumber daya, sama sekali tidak punya apa-apa untuk memulai perang lagi.
Sementara itu, mereka menghancurkan sumber mata pencaharian mereka sendiri,
desyrindah.blogspot.com
bagaimana cara mereka mencari makan di Dua Belas tanpa tambang-tambang itu?
Mereka tidak punya banyak pilihan di sini. Strategi macam apa itu?”
“Strategi putus asa. Tapi lihatlah sekelilingmu!” Sejanus menarik lengan
Coriolanus, memaksanya berhenti berjalan. “Berapa lama mereka bisa hidup
seperti ini?”
Coriolanus merasakan kebenciannya membuncah saat teringat pada perang,
kehancuran dalam hidupnya yang ditimbulkan oleh pemberontak. Dia menarik
tangannya agar lepas dari cengkeraman Sejanus. “Mereka kalah perang. Perang
yang mereka mulai. Mereka mengambil risiko itu. Inilah harga yang harus mereka
bayar.”
Sejanus melihat ke sekeliling, seakan tidak yakin arah yang ditujunya, lalu duduk
bersandar di dinding yang sudah rusak di tepi jalan. Perasaan Coriolanus tidak
enak, merasa bahwa dia bakal mengambil posisi sebagai Strabo Plinth dalam
diskusi tanpa akhir tentang kesetiaan Sejanus. Dia tidak kepingin melakukannya.
Sebaliknya, kalau Sejanus tak bisa dikendalikan di sini, entah apa yang bakal
terjadi nanti.
Coriolanus duduk di sampingnya. “Dengar, menurutku keadaan akan membaik.
Sungguh. Tapi bukan seperti ini caranya. Seiring dengan membaiknya keadaan
semua distrik, di sini juga akan membaik, tapi bukan dengan cara mereka
meledakkan tambang. Yang mereka lakukan hanyalah menambah jumlah korban
jiwa.”
Sejanus mengangguk, dan beberapa anak kecil berpakaian
compang-camping melintasi mereka yang masih duduk bersandar di dinding,
berjalan sambil menendang kaleng. “Apakah menurutmu aku sudah melakukan
pengkhianatan?”
“Nyaris,” kata Coriolanus setengah tersenyum.
Sejanus mencabuti rumput liar yang tumbuh di dinding. “Menurut Dr. Gaul
sudah. Ayahku bertemu dengannya, sebelum bertemu Dekan Highbo om dan
desyrindah.blogspot.com
dewan sekolah. Semua orang tahu Dr. Gaul-lah yang sebenarnya berkuasa. Ayahku
menemuinya untuk meminta kesempatan seperti yang kauperoleh, menda ar
sebagai Penjaga Perdamaian.”
“Kupikir itu sudah otomatis,” kata Coriolanus. “Kalau kau dikeluarkan dari
sekolah seperti aku.”
“Itu juga harapan ayahku. Tapi Dr. Gaul bilang, ‘Jangan mencampuradukkan
tindakan dua pemuda itu. Kesalahan dalam strategi tidak setara dengan tindakan
pengkhianatan untuk mendukung pemberontakan.’” Ada nada getir dalam suara
Sejanus. “Selanjutnya dibuatkan cek untuk laboratorium baru Dr. Gaul dan mu -
nya. Itu pasti harga tiket paling mahal menuju Distrik Dua Belas.”
Coriolanus bersiul. “Jadi ruang olahraga dan lab?”
“Terserah apa katamu, aku melakukan pembangunan untuk Capitol lebih
daripada yang dilakukan presiden,” kata Sejanus setengah bergurau. “Kau benar,
Coriolanus. Aku sudah berbuat bodoh.
Lagi-lagi. Aku akan lebih berhati-hati di masa depan. Entah apa yang terjadi nanti.”
“Mungkin nanti akan ada sosis goreng,” kata Coriolanus.
“Kalau begitu, ayo jalan,” kata Sejanus, dan mereka melanjutkan perjalanan
menuju pangkalan.
Teman-teman sekamar mereka baru turun dari ranjang saat mereka kembali.
Sejanus mengajak Beanpole berlatih, sementara Smiley dan Bug melihat ada
kegiatan apa di ruang rekreasi. Coriolanus berencana menggunakan waktu sampai
makan malam untuk belajar ujian pegawai negeri, tapi percakapannya dengan
Sejanus menimbulkan gagasan lain. Gagasan itu berkembang cepat hingga
menghapus pikiran lain. Dr. Gaul membelanya. Yah, bukan membelanya secara
langsung. Tapi dia memastikan agar Strabo Plinth paham bahwa Coriolanus
berbeda kelas dengan putranya yang penjahat. Kejahatan Coriolanus hanyalah
“kesalahan strategi”, yang sama sekali tidak terdengar seperti kejahatan. Mungkin
Dr. Gaul tidak sepenuhnya mencoret Coriolanus dari hidupnya? Dr. Gaul tampak
desyrindah.blogspot.com
secara teori, tapi beda rasanya saat ada tinju menghajar mulutmu. Tapi, kali ini aku
merasa lebih siap. Aku tidak yakin bahwa kita semua pada dasarnya kejam
sebagaimana Anda bilang, tapi hanya butuh sedikit dorongan untuk menampilkan
kekejaman itu ke permukaan, apalagi dalam lindungan kegelapan. Aku penasaran,
berapa banyak penambang yang berani melayangkan tinju jika Capitol bisa melihat
wajah-wajah mereka? Pada siang terik di hari pelaksanaan hukuman gantung,
mereka menggerutu tapi tidak berani melawan.
Ini sesuatu yang bisa kupikirkan sembari menunggu bibirku sembuh.
Dia menambahkan bahwa dia tidak terlalu berharap suratnya akan dibalas, tapi
berharap Dr. Gaul baik-baik saja. Dua halaman. Singkat dan manis. Tidak terlalu
mengharapkan perhatian. Tidak meminta apa pun. Tidak meminta maaf. Dia
melipat surat itu dengan rapi, memasukkannya ke dalam amplop dan
mengalamatkannya ke Dr. Gaul di Citadel. Untuk menghindari pertanyaan,
terutama dari Sejanus, dia pergi ke tempat pos dan memasukkannya ke kotak
surat. Coba-coba saja, pikir Coriolanus.
Pada saat makan malam, mereka mendapat sosis goreng dengan saus apel dan
bongkahan kentang berminyak, dan dia melahap semua yang ada di nampannya
dengan nikmat. Setelah makan malam, Sejanus membantunya belajar untuk ujian,
tidak berkomentar apa-apa karena dia tidak tertarik.
“Mereka hanya membuka kesempatan tiga kali setahun, dan ada tes hari Rabu
siang ini,” kata Coriolanus. “Kita berdua sebaiknya ikut. Walaupun cuma untuk
latihan.”
“Tidak, aku belum menguasai urusan militer ini. Menurutku kau akan lulus,”
kata Sejanus. “Bahkan kalau kau agak meleset, kau akan berhasil di bagian lain,
dan skor keseluruhanmu bisa cukup tinggi untuk lolos. Lanjutkan saja, ikuti
ujiannya sebelum kau lupa semua ilmu matematika.” Sejanus ada benarnya.
Coriolanus merasa ilmu geometrinya mulai karatan.
desyrindah.blogspot.com
“Kalau kau jadi pegawai negeri, mungkin mereka akan mengizinkanmu belajar
sebagai dokter. Kau sangat hebat dalam bidang sains,” kata Coriolanus, berusaha
mencari tahu isi pikiran Sejanus setelah percakapan mereka tadi siang. Sejanus
butuh sesuatu yang baru, yang bisa jadi pusat perhatiannya. “Dan kau bisa
membantu orang, seperti yang kau mau.”
“Benar juga.” Sejanus merenungkannya. “Mungkin aku akan bicara dengan
dokter-dokter di klinik dan menanyakan bagaimana caranya bisa bertugas di sana.”
Keesokan paginya, setelah tidur dengan mimpi aneh terombang-ambing antara
mencium Lucy Gray dan memberi makan ular-ular Dr. Gaul, Coriolanus
menuliskan namanya di da ar nama peserta ujian. Petugas yang berjaga
memberitahunya bahwa dia boleh tidak ikut latihan, yang sepertinya jadi
keuntungan mereka yang menda ar, karena ramalan cuaca minggu ini
mengatakan akan panas terik. Sesungguhnya lebih dari itu. Panasnya memang tak
tertahankan, tapi dia mulai bosan dengan hidupnya sehari-hari. Kalau dia bisa jadi
pegawai negeri, Coriolanus bisa mendapat tugas-tugas yang lebih menantang.
Hari ini ada dua perubahan dalam jadwal tetapnya. Pertama, mereka mulai
bertugas jaga, dan itu tidak terlalu membuatnya bersemangat, karena tugas itu
dikenal membosankan. Namun, Coriolanus pikir, dia lebih baik bertugas jaga
duduk di belakang meja di depan barak daripada membersihkan panci. Barangkali
dia bisa menyempatkan diri untuk membaca atau menulis.
Perubahan kedua membuatnya terkesima. Saat mereka melapor untuk latihan
menembak, mereka diberitahu bahwa usul Coriolanus untuk menembak burung-
burung di sekitar pohon tempat hukuman gantung telah disetujui. Namun,
sebelumnya, Citadel ingin mereka menangkap ratusan ekor jabberjay dan
mockingjay dalam keadaan hidup lalu mengembalikannya ke lab, untuk dipelajari.
Skuadronnya diperintahkan memasang perangkap-perangkap di pohon, artinya
dia akan bekerja sama dengan para ilmuwan dari lab Dr. Gaul. Tim dari Citadel
tiba dengan pesawat ringan pagi itu. Dia hanya pernah melihat beberapa orang di
Citadel, tapi membayangkan dirinya bertemu dengan seseorang dari lab, yang
desyrindah.blogspot.com
pasti tahu ulahnya dengan ular dan membuatnya dibuang kemari, membuat
Coriolanus tegang. Lalu pikiran buruk menghantamnya: Dr. Gaul tentu takkan
kemari untuk mengawasi pengumpulan burung itu secara langsung, bukan?
Mengiriminya surat dengan tetap menjaga jarak di Panem terkesan
menyenangkan, tapi bertemu berhadapan langsung dengannya sejak dibuang ke
distrik ini membuat Coriolanus gentar.
Coriolanus terguncang-guncang di bagian belakang truk, tak bersenjata dan
mungkin sebentar lagi rahasianya terbongkar. Optimisme yang dia rasakan sejak
akhir pekan sudah musnah. Penjaga Perdamaian lain asyik mengobrol dan terlihat
gembira karena bisa berjalan-jalan sementara Coriolanus diam membisu.
Namun, Sejanus memahami ketakutannya. “Dr. Gaul tidak bakal ada di sini,”
bisiknya. “Kalau kita dilibatkan, artinya ini pekerjaan kacung.” Coriolanus
mengangguk tapi tidak sepenuhnya yakin.
Saat truk mereka berhenti di bawah pohon gantung, dia bersembunyi di
belakang skuadron sambil memantau empat ilmuwan Capitol yang mengenakan
jas lab putih, seakan mereka hendak menemukan rahasia hidup abadi bukannya
menjebak burung jadi-jadian dalam udara panas hampir empat puluh derajat
Celsius. Dia memperhatikan wajah mereka satu per satu, tapi tak ada satu pun
yang dikenalnya, dan dia merasa lebih tenang. Ada ratusan ilmuwan dalam
laboratorium besar itu, dan yang datang ini adalah spesialis burung, bukan reptil.
Mereka menyambut kedatangan para tentara dengan ramah, mengarahkan semua
orang untuk mengambil perangkap berjaring kawat yang mirip kandang,
sementara mereka menjelaskan rencana mereka. Para Penjaga Perdamaian patuh
melaksanakan perintah, mengambil perangkap-perangkap itu, lalu duduk di tepi
hutan dekat tiang gantung.
Sejanus mengacungkan ibu jarinya setelah melihat tak ada Dr. Gaul, dan
Coriolanus hendak balas mengacungkan ibu jarinya saat dia memperhatikan sosok
yang berdiri di tanah lapang dekat hutan. Seorang wanita yang mengenakan jas lab
desyrindah.blogspot.com
sekitar seratus meter sampai tiba ke wilayah yang dahannya ditandai warna merah,
yang menjadi titik awal mereka. Di bawah arahan sang ilmuwan, mereka menyebar
perangkap secara konsentris dari titik awal, bekerja berpasangan untuk memasang
umpan dan menempatkannya tinggi di pohon.
Coriolanus berpasangan dengan Bug, yang ternyata jago memanjat pohon
karena dibesarkan di Distrik 11. Di sana anak-anak membantu bekerja di kebun
buah-buahan. Mereka menghabiskan dua jam berkeringat dan bekerja. Coriolanus
menaruh umpan dan Bug memanjat untuk memasang perangkap-perangkap di
dahan-dahan pohon. Setelah mereka berkumpul kembali, Coriolanus bergegas
pergi dan duduk di belakang truk, memeriksa gigitan-gigitan serangga di kulitnya
sambil menjaga jarak dengan Dr. Kay. Wanita itu tidak memperhatikannya sama
sekali. Jangan paranoid, pikirnya. Dia tidak mengingatmu.
Hari Selasa berlangsung seperti biasa. Coriolanus menyempatkan diri untuk
membaca bahan ujian pada saat makan dan sesaat sebelum lampu dipadamkan.
Dia tidak sabar ingin kembali bertemu Lucy Gray. Gadis itu terbayang-bayang
dalam benaknya, tapi Coriolanus berusaha menyingkirkan bayangan gadis itu,
berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia baru boleh mengkhayal setelah ujian
selesai.
Pada hari Rabu, dia mengerahkan segenap kekuatannya untuk olahraga pagi,
duduk sendirian pada saat makan siang sambil membaca buku panduan ujian
terakhir kalinya, lalu masuk kelas untuk pelajaran taktis. Dua Penjaga Perdamaian
lain juga menda ar ikut ujian, yang satu berusia akhir dua puluhan yang
mengatakan sudah ikut lima kali dan satu lagi hampir lima puluh tahun, yang
tampaknya sudah terlalu tua untuk menjalani perubahan hidup.
Melaksanakan ujian adalah salah satu bakat Coriolanus, dan dia merasakan
dorongan semangat yang tak asing lagi ketika membuka buklet ujian. Dia
menyukai tantangan, dan sifatnya yang obsesif membuatnya bisa langsung
menyerap rintangan mental di hadapannya. Tiga jam kemudian, dengan
desyrindah.blogspot.com
bercucuran keringat dan gembira, dia menyerahkan bukletnya dan pergi ke ruang
makan untuk mengambil es. Dia duduk di tempat teduh di depan barak,
menggosokkan es ke tubuhnya sambil memikirkan pertanyaan-pertanyaan ujian
tadi. Kesedihan karena tidak bisa kuliah menyengatnya, tapi dia segera
mengenyahkan kesedihan itu dengan memikirkan kemungkinan menjadi
pemimpin militer legendaris seperti ayahnya. Mungkin ini memang sudah
takdirnya.
Sisa pasukan masih di luar bersama ilmuwan Citadel, memanjat pohon dan
memasang perangkap, jadi dia pergi mengambil surat untuk kamarnya. Dua kotak
besar dari Ma Plinth menyambutnya, memberi kesempatan untuk menghabiskan
malam yang liar di Hob. Dia membawa kotak-kotak dari Ma, tapi memutuskan
untuk membukanya setelah yang lain kembali. Ma juga mengiriminya surat
terpisah, berterima kasih atas segala yang sudah dia lakukan untuk Sejanus dan
memintanya untuk terus mengawasi putranya.
Coriolanus menaruh suratnya dan menghela napas saat berpikir harus menjadi
penjaga Sejanus. Meninggalkan Capitol bisa menghalau penderitaan Sejanus
untuk sementara, tapi dia sudah separo jalan menjadi pemberontak. Berkonspirasi
dengan Billy Taupe. Ikut menderita memikirkan gadis yang ada di rumah tahanan.
Berapa lama lagi sebelum Sejanus bertingkah seperti menyelinap masuk ke arena?
Lalu sekali lagi, orang-orang akan mencari Coriolanus untuk membantu pemuda
itu keluar dari masalah.
Masalahnya adalah, Coriolanus tidak percaya Sejanus bisa benar-benar berubah.
Mungkin Sejanus tidak mampu berubah, atau malahan tidak mau berubah. Dia
sudah menolak kehidupan yang ditawarkan sebagai Penjaga Perdamaian: pura-
pura tidak bisa menembak, menolak ikut ujian calon pegawai negeri,
menunjukkan dengan jelas bahwa dia tidak ingin unggul mewakili Capitol. Distrik
2 selalu jadi rumahnya. Penduduk distrik selalu jadi keluarganya. Pemberontak
distrik selalu ada benarnya… dan sudah jadi kewajiban moral Sejanus untuk
desyrindah.blogspot.com
membantu mereka.
Coriolanus merasakan ancaman baru perlahan-lahan timbul dalam dirinya. Dia
berusaha mengabaikan tingkah serampangan Sejanus di Capitol, tapi di sini
berbeda. Di sini dia dipandang sebagai orang dewasa, dan konsekuensi
perbuatannya adalah hidup dan mati. Jika dia membantu pemberontak, dia bisa
dihukum mati. Apa yang dipikirkan Sejanus?
Tanpa pikir panjang, Coriolanus membuka loker Sejanus, mengambil kotak
untuknya dan menaruh isinya ke bagian dasar loker dengan hati-hati. Di dalamnya
ada setumpuk kenang-kenangan, sekotak permen karet, dan tiga botol obat yang
diresepkan dokter di Capitol. Dua botol obat berisi obat tidur dan botol ketiga
berisi mor n dengan alat tetes di penutupnya, seperti yang sering dia lihat
digunakan Dekan Highbo om. Dia tahu Sejanus mendapat obat-obatan pada
masa sulitnya. Ma sudah memberitahunya, tapi kenapa Sejanus membawa obatnya
kemari? Apakah Ma menyelipkan obat-obatan untuk berjaga-jaga? Dia
membongkar isi kotak. Ada secarik kain, kertas surat, bolpoin, sepotong marmer
yang diukir kasar membentuk hati, dan setumpuk foto. Keluarga Plinth berfoto
bersama tiap tahun, dan dia bisa melihat pertumbuhan Sejanus sejak bayi sampai
tahun lalu. Semua foto adalah foto keluarga, kecuali selembar foto lama
sekelompok anak sekolah. Coriolanus mengira itu foto kelas mereka, tapi tak satu
pun anak di foto itu yang dikenalinya, dan kebanyakan anak di foto memakai baju
yang lusuh dan tidak pas ukurannya. Dia melihat Sejanus, dengan jas rapi
tersenyum murung di barisan kedua. Di belakangnya berdiri menjulang seorang
anak laki-laki yang tampak lebih tua. Setelah mengamati lebih saksama, semuanya
jadi jelas. Marcus. Ini adalah foto tahun terakhir Sejanus di Distrik 2. Tak ada
kenangan dari teman-teman sekolahnya di Capitol, bahkan tak ada Coriolanus.
Entah bagaimana, ini menegaskan di mana letak kesetiaan Sejanus.
Di bagian bawah tumpukan barang, dia menemukan pigura perak, yang ternyata
berisi ijazah Sejanus. Lembar ijazahnya sudah dilepas dari map kulit dan
desyrindah.blogspot.com
membelinya. Tentu saja ada hal-hal lain yang bisa dibeli dengan uang. Seperti
informasi, akses, dan tutup mulut. Di dalam uang ada sogokan. Ada kekuatan.
Coriolanus mendengar suara teman-temannya kembali. Dia bergegas
mengembalikan uang itu ke tempat persembunyiannya di pigura perak, dengan
hati-hati membiarkan tepian uangnya sedikit menyembul. Dia merapikan isi kotak
itu dan menyimpannya lagi ke loker Sejanus. Pada saat teman-teman sekamarnya
masuk, dia sudah berdiri di dekat kotak-kotak kiriman Ma dengan kedua tangan
terentang sambil tersenyum lebar bertanya, “Siapa yang menganggur hari Sabtu?”
Saat Smiley, Beanpole, dan Bug membuka kotak-kotak itu dan membongkar
harta karun di dalamnya, Sejanus duduk di tepi ranjang dan memperhatikan
dengan gembira.
Coriolanus bersandar pada ranjang tingkat di atas Sejanus. “Syukurlah ada
ibumu. Kalau tidak, kita semua melarat.”
“Ya, kita tak punya uang sepeser pun,” kata Sejanus.
Satu-satunya hal yang tak pernah dipertanyakan Coriolanus adalah kejujuran
Sejanus. Kalau bisa, dia malah tidak mau Sejanus terlalu jujur. Tapi pemuda itu
baru saja berbohong mentah-mentah yang disampaikan secara lugas. Ini artinya,
apa pun yang dikatakan Sejanus sekarang patut dicurigai.
desyrindah.blogspot.com
26
baik di Capitol saat Lucy Gray terpenjara, karena dia tahu apa yang sedang
dilakukan gadis itu. Di sini, kali ini, yang dia tahu Billy Taupe berusaha kembali
menggeliat masuk ke hati gadis itu. Kenapa dia harus berpura-pura tidak
cemburu? Mungkin seharusnya dia menangkapnya…
Saat kembali ke barak Coriolanus menulis surat singkat untuk Ma, memuji
hadiah kirimannya, dan surat lain untuk Pluribus, berterima kasih atas bantuannya
lalu menanyakan apakah dia bisa mencarikan dawai untuk Lucy Gray. Otaknya
lelah karena ujian, Coriolanus tidur lelap dan bangun bersimbah keringat pada
pagi hari bulan Agustus yang panas. Kapan musim panas ini berakhir? September?
Oktober? Pada saat makan siang, antrean ke mesin es memanjang sampai keluar
ruang makan. Coriolanus mendapat tugas dapur dan sudah menyiapkan diri
untuk menghadapi yang terburuk, tapi ternyata dia naik pangkat dari menangani
tugas mencuci piring menjadi tugas memotong bahan makanan. Perubahan ini
seharusnya menyenangkan kalau dia tidak disuruh memotong bawang. Tidak ma-
salah kalau air matanya ikut keluar, tapi dia tidak tahan dengan bau bawang yang
menyengat di kedua tangannya. Bahkan setelah mengepel pada malam hari,
teman-temannya di barak masih berkomentar bahwa dia bau bawang, padahal dia
sudah mengepel lantai sepenuh tenaga untuk menghilangkan baunya. Apakah dia
masih akan bau bawang saat bertemu Lucy Gray nanti?
Jumat pagi, walaupun panas dan gelisah karena berada dekat para ilmuwan dari
Citadel, dia merasa lega karena siang itu hanya berurusan dengan burung.
Walaupun tidak suka, tapi mereka tidak menyisakan bau. Ketika Beanpole pingsan
saat latihan, sersan pelatih menyuruh teman-teman sekamar Beanpole
mengangkatnya ke klinik, di sana Coriolanus meminta sekaleng bedak untuk
mengobati biang keringat di dada dan di bawah ketiak kanannya. “Jaga agar tetap
kering,” kata petugas medis. Dia menahan diri untuk tidak memutar bola matanya.
Tubuhnya tak pernah kering sedetik pun sejak tiba di sauna Distrik 12.
Setelah makan siang sandwich isi daging dingin, mereka naik truk menuju hutan,
desyrindah.blogspot.com
di sana para ilmuwan yang masih mengenakan jas lab putih telah menunggu
mereka. Pada saat mereka bekerja berpasangan, Coriolanus baru tahu bahwa Bug,
yang tidak punya partner pada hari Rabu lalu bekerja berpasangan dengan Dr.
Kay. Wanita itu kagum dengan kelincahan Bug memanjat pohon, sehingga dia me-
minta bekerjasama dengan Bug lagi. Sudah terlambat untuk berganti pasangan,
jadi Coriolanus mengikuti mereka ke pepohonan, berusaha menjaga jarak sejauh
mungkin.
Sia-sia saja menghindar. Ketika dia mengamati Bug memanjat pohon pertama
sambil membawa kandang berisi umpan lalu menukarnya dengan kandang yang
sudah terpasang dan berisi burung jabberjay, Dr. Kay berdiri di belakangnya.
“Jadi, bagaimana menurutmu distrik-distrik ini, Prajurit Snow?”
Dia terperangkap seperti burung. Terperangkap seperti para peserta di kebun
binatang. Dia tak mungkin kabur ke pepohonan. Dia teringat pada nasihat Lucy
Gray yang menolongnya di kandang monyet. Kuasai.
Dia menoleh memandang Dr. Kay sambil tersenyum, terlihat cukup malu untuk
menunjukkan bahwa dia ketahuan, tapi tampak geli untuk menunjukkan bahwa
dia tidak peduli. “Setelah kupikir-pikir aku belajar lebih banyak tentang Panem
dalam satu hari bertugas sebagai Penjaga Perdamaian daripada tiga belas tahun
belajar di sekolah.”
Dr. Kay tertawa. “Ya. Dunia di luar sekolah penuh dengan pelajaran. Aku
ditugasi ke Dua Belas pada saat perang. Tinggal di pangkalanmu. Bekerja di hutan
ini.”
“Anda bagian dari proyek jabberjay saat itu?” tanya Coriolanus. Setidaknya
mereka berdua punya kegagalan.
“Aku mengepalainya,” kata Dr. Kay serius.
Kegagalan besar. Coriolanus merasa lebih tenang. Dia hanya mempermalukan
diri di Hunger Games, bukan di perang akbar. Mungkin Dr. Kay akan bersimpati
dan memberi laporan yang bagus tentang dirinya kepada Dr. Gaul saat kembali
desyrindah.blogspot.com
nanti. Berusaha mendekatkan diri dengan Dr. Kay mungkin bagus untuk masa
depannya. Dia ingat bahwa jabberjay semuanya jantan dan tak bisa menghasilkan
keturunan satu sama lain. “Jadi jabberjay ini benar-benar burung yang Anda
gunakan untuk menjadi mata-mata semasa perang?”
“Mm-hmm. Mereka anak-anakku. Aku tak pernah menyangka bisa melihat
burung-burung ini lagi. Dari hasil konsensus, burung-burung ini takkan bertahan
melewati musim dingin. Hewan hasil rekayasa genetika sering kali tidak bisa
bertahan hidup di alam liar. Tapi burung-
burungku ini kuat, dan alam punya kemauannya sendiri,” kata Dr. Kay.
Bug tiba kembali ke dahan paling bawah dan menyerahkan kandang berisi
jabberjay. “Sebaiknya kita tetap mengurung mereka.” Dia memberi pernyataan,
bukan pertanyaan.
“Ya. Bisa mengurangi stres karena dipindahkan,” Dr. Kay sependapat.
Bug mengangguk, meluncur turun ke tanah, lalu mengambil perangkap lain dari
tangan Coriolanus. Tanpa bertanya, dia memanjat pohon kedua. Dr. Kay
memperhatikan dengan senang. “Ada orang-orang yang memang memahami
burung.”
Dengan segenap keyakinannya Coriolanus merasa bahwa dia bukanlah tipe
orang yang memahami burung, tapi dia bisa berpura-pura jadi orang semacam itu
selama beberapa jam. Dia berjongkok di samping perangkap memperhatikan
jabberjay yang mengoceh. “Aku tak pernah mengerti cara kerja burung-burung
ini.” Dia juga tak pernah berusaha mencari tahu. “Aku tahu mereka merekam per-
cakapan, tapi bagaimana caranya mengontrol mereka?”
“Mereka dilatih untuk merespons perintah audio. Kalau kita beruntung, aku bisa
menunjukkannya padamu.” Dr. Kay mengeluarkan alat kecil berbentuk segi empat
dari kantongnya. Beberapa tombol berwarna-warni tampak di atasnya, tak ada
satu pun yang ditandai, mungkin karena sudah lama dan sering digunakan tanda
di tombolnya pudar. Dr. Kay berlutut memeriksa kandang, berhadapan dengan
desyrindah.blogspot.com
pangkalan, padahal kami hanya memanggil mereka pulang saat larut malam. Jadi,
mustahil melihat mereka terbang dalam kegelapan, dan hanya beberapa ekor yang
terbang pulang berbarengan. Kemungkinan besar kami tidak menutupi jejak
dengan baik. Kami tidak memastikan bahwa informasi yang kami peroleh bisa
berasal dari sumber selain rekaman di hutan. Hal itu membangkitkan kecurigaan.
Meskipun bulu mereka yang gelap bisa menjadi kamu ase pada malam hari, tapi
kegiatan mereka dalam kegelapan bisa menjadi petunjuk. Kemudian, kupikir
mereka mulai bereksperimen dengan memberi informasi palsu pada kami dan
melihat bagaimana reaksi kami.” Dr. Kay mengangkat bahu. “Atau mungkin
mereka punya mata-mata di pangkalan. Aku tidak yakin kita akan pernah tahu
yang terjadi sesungguhnya.”
“Kenapa Anda tidak menggunakan alat itu untuk memanggil mereka pulang?
Daripada ” Coriolanus berhenti bicara, tidak mau tampak cerewet.
“Daripada membawa kalian semua berpanas-panas digigit nyamuk di sini?” Dr.
Kay tertawa. “Seluruh sistem transmisi sudah dibongkar, dan kandang burung di
pangkalan sudah disimpan di gudang persediaan. Selain itu, aku lebih suka turun
tangan mengambil mereka secara langsung. Kita tidak mau mereka terbang pergi
dan tak pernah kembali, kan?”
“Tentu saja tidak,” Corilanus berdusta. “Apakah mereka bisa melakukannya?”
“Aku tidak yakin apa yang akan mereka lakukan setelah berada di habitatnya.
Seusai perang, aku menempatkan mereka dalam mode netral. Jika tidak, itu
artinya aku kejam. Burung yang bisu sulit menghadapi tantangan alam. Mereka
tidak hanya bertahan hidup tapi berhasil kawin dengan mockingbird. Jadi kita
sekarang memiliki spesies baru.” Dr. Kay menunjuk seekor mockingjay di antara
dedaunan. “Mockingjay, itu sebutan penduduk lokal.”
“Dan apa yang bisa mereka lakukan?” tanya Coriolanus.
“Entah. Aku mengamati mereka selama beberapa hari terakhir. Mereka tidak
punya kemampuan untuk meniru ucapan. Tapi kemampuan mereka dalam hal
desyrindah.blogspot.com
mengulang musik lebih baik daripada induk mereka,” katanya. “Coba kau
bernyanyi.”
Coriolanus hanya hafal satu lagu.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Mockingjay menelengkan kepala lalu menyanyikan ulang bait itu. Tidak ada
kata-kata, tetapi melodinya sama persis. Suaranya separo suara manusia, separo
suara burung. Beberapa ekor burung di sekitarnya meniru lagu itu dan
merangkainya menjadi struktur harmoni, yang mengingatkan Coriolanus pada
kaum Pengembara dengan lagu-lagu lama mereka.
“Kita harus membunuh mereka semua.” Kata-kata itu keluar dari mulutnya
tanpa bisa dicegah.
“Membunuh mereka semua? Kenapa?” tanya Dr. Kay terkejut.
“Mereka tidak alami.” Coriolanus berusaha mengalihkan komentarnya agar dia
terdengar sebagai penggemar burung. “Mereka mungkin akan melukai spesies
lain.”
“Mereka tampaknya rukun. Dan mereka ada di seantero Panem, di segala tempat
jabberjay dan mockingbird hidup bersama. Kita akan membawa pulang beberapa
ekor dan melihat apakah mockingjay dengan mockingjay bisa bereproduksi. Kalau
mereka tidak bisa berkembang biak, mereka akan punah dalam beberapa tahun.
Kalau mereka berhasil, kita punya tambahan satu jenis burung penyanyi lagi,” kata
Dr. Kay.
Coriolanus sependapat bahwa mereka mungkin tidak berbahaya. Dia
menghabiskan sepanjang siang dengan bertanya dan memperlakukan burung-
burung itu dengan lembut untuk menghapus sarannya yang terdengar tidak
berperasaan. Dia tidak punya masalah dengan jabberjay dari sudut pandang
desyrindah.blogspot.com
militer, burung ini menarik tapi ada sesuatu dari mockingjay yang membuat
Coriolanus jijik. Dia tidak suka kenyataan bahwa mereka tercipta secara spontan.
Seolah-olah alam gila sesaat. Mockingjay harus punah. Secepat mungkin.
Saat tugas berakhir hari itu, mereka mendapat tiga puluh ekor jabberjay, tapi tak
ada satu pun mockingjay yang masuk perangkap.
“Mungkin jabberjay tidak gampang curiga, mengingat mereka sudah terbiasa
dengan perangkap. Lagi pula, mereka dibesarkan di kandang,” kata Dr. Kay sambil
berpikir. “Tidak masalah. Kita beri waktu beberapa hari lagi, dan jika perlu, kita
akan mengeluarkan jaring.”
Atau senjata, pikir Coriolanus.
Saat mereka kembali berada di pangkalan, dia dan Bug dipilih untuk
menurunkan kandang-kandang dan membantu para ilmuwan menaruh kandang-
kandang itu di hanggar tua yang dulu jadi rumah sementara burung-burung itu.
“Apakah kalian mau membantu mengurus burung-burung itu sampai kami
membawanya ke Capitol?” tanya Dr. Kay pada mereka. Bug tersenyum
mengiyakan, dan Coriolanus menerima penugasan itu dengan penuh semangat.
Selain ingin memberi kesan yang baik, udara di hanggar lebih sejuk karena di-
lengkapi beberapa kipas angin besar. Kondisi ini lebih baik untuk meredakan
biang keringatnya yang semakin menjadi-jadi saat bertugas di hutan. Setidaknya
ada perubahan rutinitas.
Sebelum lampu dipadamkan, teman-teman sekamarnya menata hadiah dari Ma
dan menyusun rencana untuk dua akhir pekan yang akan datang di Hob, berjaga-
jaga seandainya Ma tidak rutin mengirimkan kotak-kotak hadiah. Dengan
kelihaiannya berdagang, Smiley menjadi aset mereka. Dengan cermat dia
menyiapkan dua kali jatah minuman keras dan uang untuk ditaruh di ember kaum
Pengembara setelah pertunjukkan. Sisanya dibagi lima. Untuk jatahnya,
Coriolanus mengambil enam kotak popcorn, dan dia hanya akan mengambil satu
untuk dirinya. Sisanya akan dia berikan pada kaum Pengembara.
Hari Sabtu pagi, Coriolanus terbangun karena badai menerjang atap pangkalan.
desyrindah.blogspot.com
oleh teman-teman sekamarnya yang tidak punya uang. Setelah kejadian dengan
peta itu, Sejanus tampaknya sungguh menyesal. Semoga saja dia menyadari
bahayanya menjadi perantara dengan Lil. Apakah Billy Taupe atau pemberontak
lain berusaha mendekatinya lagi, karena Sejanus sempat menunjukkan niat untuk
membantu? Sejanus adalah sasaran empuk. Cara termudah adalah membawanya
bertemu kaum Pengembara setelah Coriolanus kabur dari rombongan.
“Kau mau ke belakang panggung bersamaku?” dia bertanya pada Sejanus saat
mereka tiba di Hob.
“Apakah aku diundang?”tanya Sejanus.
“Tentu saja,” kata Coriolanus, meskipun sebenarnya hanya dia yang diundang.
Mungkin ini bagus. Kalau Sejanus bisa menghibur Maude Ivory, Coriolanus bisa
punya waktu berduaan dengan Lucy Gray. “Tapi kita harus memisahkan diri dari
teman-teman.”
Ternyata mudah, karena penonton lebih banyak daripada minggu sebelumnya,
dan minuman keras kali ini lebih keras lagi. Mereka meninggalkan Smiley, Bug,
dan Beanpole yang sibuk tawar-
menawar, lalu menemukan pintu di dekat panggung yang mengarah ke jalan
belakang yang sepi dan sempit.
Gubuk yang disebut Lucy Gray ternyata bekas bengkel yang bisa menampung
delapan mobil. Pintu-pintu besar tempat masuk mobil dikunci dengan rantai, tapi
pintu yang lebih kecil di sisi gedung tepat di seberang pintu panggung diganjal
dengan batu bata dan dibiarkan terbuka. Saat Coriolanus mendengar obrolan dan
alat musik yang disetel, dia tahu dia tidak salah tempat.
Mereka masuk dan melihat kaum Pengembara sudah menguasai tempat itu,
bersantai di atas ban-ban dan perabotan tua seperti di rumah sendiri. Kotak-kotak
peralatan dan alat-alat musik berserakan. Bahkan, meski pintu kedua yang berada
di ujung ruangan dibuka, tempat itu masih sepanas oven. Berkas cahaya malam
menerobos celah-celah jendela, menyorot debu yang mengambang di udara pe-
desyrindah.blogspot.com
ngap.
Saat Maude Ivory melihat mereka, gadis kecil yang mengenakan rok merah
muda itu bergegas berlari menghampiri. “Hei!”
“Selamat malam.” Coriolanus membungkuk lalu menyodorkan paket berisi
bungkusan popcorn. “Yang manis untuk si gadis manis.”
Maude Ivory membuka kemasan paket lalu melompat dengan satu kaki sebelum
memberi hormat. “Terima kasih, Tuan yang baik, aku akan menyanyikan lagu
spesial untukmu malam ini!”
“Hanya itu harapan kedatanganku,” kata Coriolanus. Lucunya bahasa basa-basi
ala Capitol tampaknya cocok dengan kaum Pengembara.
“Oke, tapi aku tidak bisa menyebut namamu, karena kau rahasia,” Maude Ivory
terkikik.
Gadis itu berlari menghampiri Lucy Gray, yang duduk bersilang kaki di meja tua
sambil menyetem gitarnya. Lucy Gray tersenyum pada Maude Ivory yang
menunjukkan tampang girang, tapi berkata dengan tegas, “Simpan untuk dimakan
nanti.” Maude Ivory melompat-lompat menunjukkan harta berharganya kepada
teman-teman band lainnya. Sejanus bergabung dengan anggota band sementara
Coriolanus melambai pada mereka saat berjalan ke arah Lucy Gray. “Kau tidak
perlu melakukannya. Kau terlalu memanjakannya.”
“Hanya ingin memberi kebahagiaan di pikirannya,” kata Coriolanus.
“Bagaimana dengan pikiranku?” Lucy Gray menggodanya. Coriolanus
mendekat lalu mengecupnya. “Oke, itu awal yang baik.” Gadis itu bergeser dan
menepuk meja di sampingnya.
Coriolanus duduk dan memperhatikan gubuk itu. “Tempat apa ini?”
“Sekarang jadi tempat istirahat. Kami datang kemari sebelum dan sesudah
pertunjukan dan saat kami turun panggung di antara lagu,” Lucy Gray
memberitahunya.
“Tapi siapa pemiliknya?” Dia berharap mereka tidak melanggar wilayah orang
desyrindah.blogspot.com
lain.
Lucy Gray tampak tidak kuatir. “Entahlah. Kami akan bertengger di sini sampai
mereka mengusir kami.”
Burung. Selalu ada hubungan dengan burung pada diri gadis itu, pada para
Pengembara. Bernyanyi, bertengger, hingga hiasan bulu di topi mereka. Burung-
burung yang indah. Coriolanus memberitahunya tentang penugasan mengurus
burung jabberjay, berharap gadis itu akan kagum karena dirinya terpilih bekerja
bersama para ilmuwan, tapi hal itu tampaknya malah membuat Lucy Gray sedih.
“Aku tidak suka membayangkan mereka terkurung di kandang, padahal mereka
pernah mencicipi kebebasan,” kata Lucy Gray. “Mereka berharap bakal
menemukan apa di lab?”
“Aku tidak tahu. Mungkin memastikan apakah senjata mereka masih berfungsi?”
tebak Coriolanus.
“Kedengarannya seperti siksaan, ada orang yang mengendalikan suaramu seperti
itu.” Tangan Lucy Gray terangkat menyentuh lehernya.
Coriolanus menganggap Lucy Gray bersikap dramatis tapi dia berusaha
menenangkannya. “Menurutku mereka tidak bisa disamakan dengan manusia.”
“Oh ya? Apakah kau selalu merasa bebas mengutarakan isi pikiranmu,
Coriolanus Snow?” tanya Lucy Gray, memandangnya ingin tahu.
Bebas mengutarakan isi pikirannya? Tentu saja. Yah, setidaknya yang masih
masuk akal. Dia tidak mengucapkan segala yang terlintas dalam pikirannya. Apa
maksud pertanyaan Lucy Gray? Apakah maksudnya terkait pendapat Coriolanus
tentang Capitol? Hunger Games? Dan distrik-distrik? Sejujurnya, dia mendukung
sebagian besar keputusan Capitol, dan sisanya dia tidak terlalu peduli. Tapi jika
diharuskan, dia akan mengutarakan pendapatnya. Benarkah? Benarkah dia berani
menentang Capitol? Seperti yang dilakukan Sejanus? Bahkan jika dia harus
menghadapi hukuman? Dia tidak tahu, tapi dia merasa perlu membela diri.
“Tentu. Menurutku kau harus mengutarakan isi pikiranmu.”
desyrindah.blogspot.com
“Itu juga kata ayahku. Dan dia berakhir dengan lubang peluru di tubuhnya, lebih
banyak daripada yang bisa kuhitung dengan jari di kedua tanganku,” katanya.
Apa yang disiratkan Lucy Gray? Tanpa perlu dikatakan pun, Coriolanus yakin
peluru-peluru itu berasal dari senjata Penjaga Perdamaian. Barangkali dari orang
yang berseragam sama seperti yang dikenakan Coriolanus sekarang. “Dan ayahku
tewas oleh peluru penembak jitu pemberontak.”
Lucy Gray menghela napas. “Kau jadi marah.”
“Tidak.” Tapi sebenarnya dia marah. Coriolanus berusaha meredam
kemarahannya. “Aku hanya lelah. Aku sudah menunggu-
nunggu kesempatan bertemu denganmu. Turut menyesal atas kejadian yang
menimpa ayahmu juga pada apa yang menimpa ayahku tapi bukan aku yang
memimpin Panem.”
“Lucy Gray!” Maude Ivory memanggilnya dari seberang ruangan. “Sudah
waktunya!” Kaum Pengembara mulai berkumpul di pintu, sambil membawa alat
musik di tangan.
“Sebaiknya aku juga pergi.” Coriolanus turun dari meja. “Semoga per-
tunjukannya sukses.”
“Apakah aku akan bertemu denganmu setelah pertunjukan?” tanya Lucy Gray.
Coriolanus menyeka seragamnya. “Aku harus kembali sebelum jam malam.”
Lucy Gray berdiri dan mengalungkan gitarnya. “Baiklah. Besok kami berencana
piknik ke danau, kalau kau senggang.”
“Danau?” Apakah ada tempat menyenangkan di distrik menyedihkan ini?
“Ada danau di hutan. Mesti sedikit mendaki, tapi airnya bisa untuk berenang,”
katanya. “Ikutlah. Ajak Sejanus sekalian. Kita akan punya waktu seharian.”
Dia ingin pergi. Menghabiskan waktu seharian bersama Lucy Gray. Dia masih
kesal, tapi konyol rasanya. Gadis itu tidak menuduhnya apa-apa. Obrolan mereka
hanya melenceng dari topik. Semuanya gara-gara burung bodoh. Lucy Gray hanya
berusaha mencari bahan obrolan; kenapa dia harus menepis usahanya?
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus sulit berjumpa dengan Lucy Gray, tak ada gunanya dia uring-uringan.
“Baiklah. Kami akan datang setelah sarapan.”
“Oke, kalau begitu.” Lucy Gray mengecup pipinya lalu bergabung dengan
Pengembara lainnya ketika meninggalkan gubuk.
Sekembalinya di Hob, dia dan Sejanus berdesakan di dalam ruangan yang
temaram, udara berbau keringat dan minuman keras. Mereka melihat teman-
teman sekamar mereka berada di tempat yang sama seperti minggu sebelumnya.
Bug sudah mengamankan kotak kayu untuk mereka, Coriolanus dan Sejanus
berdiri mengapit Bug, menyesap minuman keras dari botol bersama.
Maude Ivory berlari tergesa-gesa untuk memperkenalkan anggota band. Musik
membahana saat kaum Pengembara naik panggung.
Coriolanus bersandar di dinding dan menghabiskan minuman keras banyak-
banyak. Dia tak akan bertemu Lucy Gray nanti, jadi apa salahnya mabuk-
mabukan? Kemarahan di dadanya mulai reda saat dia memandang Lucy Gray.
Gadis itu sangat menarik, begitu memikat, dan penuh semangat hidup. Dia mulai
merasa tidak enak hati karena sudah marah, dan bahkan tidak ingat apa ucapan
Lucy Gray yang membuatnya naik darah. Mungkin tidak ada sama sekali. Minggu
ini terasa panjang dan melelahkan dengan jadwal ujian masuk, burung-burung,
dan kebodohan Sejanus. Dia layak bersenang-senang.
Dia menenggak minumannya lagi dan merasa lebih ramah pada dunia. Alunan
musik, lagu-lagu lama dan baru, bergelora dalam dirinya. Bahkan sekali dia ikut
bernyanyi bersama penonton dan langsung berhenti bernyanyi saat
menyadarinya, lalu melihat tak ada satu pun yang peduli atau tidak mabuk untuk
bisa mengingat apa yang mereka lakukan.
Pada suatu saat, Barb Azure, Tam Amber, dan Clerk Carmine meninggalkan
panggung, mungkin mereka beristirahat di gubuk, meninggalkan Maude Ivory di
atas kotaknya di belakang mikrofon bersama Lucy Gray yang memetik gitar di
sampingnya.
desyrindah.blogspot.com
“Aku berjanji pada sahabatku akan menyanyikan lagu spesial untuknya malam
ini, dan inilah lagunya,” kata Maude Ivory. “Masing-masing Pengembara berutang
nama pada sebuah balada, dan lagu ini milik gadis cantik di sini!” Dia menunjuk
Lucy Gray, yang membungkuk memberi hormat saat penonton bertepuk tangan.
“Lagu yang sangat lawas ciptaan seseorang bernama Wordsworth. Kami me-
madukannya dengan lirik lain agar lebih masuk akal, tapi kalian harus
mendengarnya baik-baik.” Maude Ivory menekan jari telunjuknya ke bibir, lalu
penonton pun menahan suara.
Coriolanus menggeleng-geleng berusaha memusatkan perhatian. Kalau ini
lagunya Lucy Gray, dia ingin mendengarkan dengan saksama agar bisa
mengatakan sesuatu yang menyenangkan besok.
Maude Ivory mengangguk pada Lucy Gray agar menyanyikan intro yang
dimulai dengan khidmat:
Sering kudengar nama Lucy Gray
Saat aku melintasi hutan belantara,
Aku sempat melihatnya pada dini hari
Anak penyendiri.
Tak ada kenalan, tak ada sahabat yang dikenal Lucy;
Dia berdiam di tempat yang tak dihuni,
Di tempat tumbuhnya tumbuhan terindah
Di sisi pegunungan!
Oke, jadi ada gadis kecil yang tinggal di gunung. Dan tampaknya dia sulit
berteman.
Kau bisa mengintai anak rusa sedang bermain
Kelinci di antara rerumputan;
Tapi wajah manis Lucy Gray
Takkan pernah terlihat lagi.
desyrindah.blogspot.com
Dan gadis itu meninggal. Bagaimana? Firasatnya mengatakan dia akan tahu
sebentar lagi.
“Malam ini akan datang badai
Kau harus pergi ke kota;
Dan bawalah lentera, Nak, untuk menerangi
Ibumu yang berjalan melintasi salju.”
“Dengan senang hati aku akan melakukannya, Ayah;
Jelang sore hari ini
Jam di desa berdentang pukul dua,
Dan bulan terlihat di langit sana!”
Sang ayah membuka pengait,
Untuk memulai hari;
Dia menjalankan pekerjaannya dan Lucy
Membawa lentera sepanjang perjalanannya.
Sebebas kelinci gunung;
Dia menembus jalan baru
Kakinya tenggelam dalam salju berbubuk,
Yang mengepul bagaikan asap.
Badai datang sebelum waktunya;
Dia menjelajah naik dan turun;
Banyak lembah dan gunung yang dilalui Lucy;
Namun, dia tak pernah tiba di kota.
Ah. Banyak kata-kata yang masuk akal, tapi intinya gadis itu tersesat di salju. Yah,
tidak heran sih, kalau mereka mengirimnya keluar menuju badai salju. Barangkali
gadis itu mati beku.
Kedua orangtua yang sepanjang malam itu
desyrindah.blogspot.com
pangkalan. Tak ada kesempatan berdiskusi lebih lanjut. Kalau benar Sejanus
menyelinap keluar untuk menyusun rencana dengan para pemberontak, artinya
teguran langsung Coriolanus padanya setelah kejadian dengan Billy Taupe jelas
gagal. Coriolanus butuh strategi baru.
Hari Minggu matahari bersinar kelewat terang dan menghantam kepala
Coriolanus yang berdenyut-denyut. Dia memuntahkan cairan bening minuman
keras dan berdiri di bawah pancuran sampai matanya bisa memandang dengan
jelas lagi. Telur-telur yang berminyak di ruang makan tak menggugah seleranya,
jadi dia hanya makan roti panggang sementara Sejanus menghabiskan dua porsi
makanan mereka, sehingga menegaskan kecurigaan Coriolanus bahwa Sejanus
nyaris tidak minum alkohol tadi malam, dan yang jelas tidak minum banyak
sampai tak bisa menahan kencing. Tiga orang teman sekamar mereka bahkan
tidak bisa bangun untuk sarapan. Dia harus mengawasi Sejanus dengan ketat
sebelum bisa menemukan pendekatan terbaik, apalagi saat mereka meninggalkan
pangkalan. Paling tidak hari ini, karena dia butuh pendamping untuk ke danau.
Walaupun semangat Coriolanus sudah memudar, Sejanus menerima ajakan itu
dengan gembira. “Kedengarannya seperti liburan. Kita bawakan es buat mereka!”
Saat Sejanus bicara dengan Cookie untuk meminta kantong plastik, Coriolanus
pergi ke klinik meminta obat pereda sakit kepala. Mereka bertemu di gerbang jaga
lalu berangkat bersama.
Mereka tidak tahu jalan pintas ke Seam, sehingga mereka berjalan ke alun-alun
dulu kemudian mengikuti jalan yang mereka lalui minggu lalu. Coriolanus berniat
bicara dari hati ke hati lagi dengan Sejanus, tapi kalau ancaman bahwa
tindakannya bisa dianggap pengkhianatan tidak membuat Sejanus berubah
pikiran, apa yang bisa mengubahnya? Dan Coriolanus tidak sepenuhnya yakin
Sejanus berkomplot dengan para pemberontak. Mungkin dia memang kepingin
kencing tadi malam, menuduhnya berkomplot malah akan membuat pemuda itu
makin defensif. Satu-satunya bukti nyata adalah uang yang disembunyikan,
desyrindah.blogspot.com
mungkin saja Strabo berkeras agar Sejanus membawanya tapi dia bertekad tak
mau menggunakannya. Dia tidak menghargai uang, dan uang hasil penjualan
senjata barangkali menjadi beban untuknya. Mungkin bagi Sejanus sukses tanpa
bantuan ayahnya adalah semacam bentuk kehormatan.
Lucy Gray tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia masih kesal karena
cekcok kemarin malam. Gadis itu menyambutnya di pintu belakang dengan
ciuman dan segelas air dingin untuk menyegarkannya hingga mereka sampai ke
danau. “Butuh waktu dua sampai tiga jam, tergantung semak-semak mawar liar,
tapi sepadan dengan pemandangannya.”
Untuk pertama kalinya kaum Pengembara meninggalkan alat-alat musik mereka.
Barb Azure tinggal di rumah untuk menjaga barang-barang. Dia mengantar
mereka keluar dengan membawa ember berisi sebotol air, sebongkah roti, dan
selimut tua.
“Barb Azure sedang dekat dengan gadis di ujung jalan,” kata Lucy Gray saat
mereka sudah berjalan meninggalkan rumah. “Mungkin mereka senang karena
bisa berduaan di rumah.”
Tam Amber memimpin rombongan melintasi Padang Rumput memasuki hutan.
Clerk Carmine, Maude Ivory, dan Sejanus berbaris di belakangnya, meninggalkan
Lucy Gray dan Coriolanus berdua di belakang. Tidak ada jalan setapak. Mereka
menyusuri hutan, melangkahi batang-batang pohon yang tumbang, menggeser-
ranting-ranting pohon, berusaha menghindari semak-semak berduri di tanah.
Sepuluh menit kemudian, yang tersisa dari Distrik 12 adalah bau tajam dari
tambang. Dalam dua puluh menit mereka sudah berada dalam hutan lebat. Daun-
daun rimbun pepohonan menaungi mereka dari matahari tapi tak menghalangi
panas. Dengungan serangga, cicit tupai, dan nyanyian burung memenuhi udara,
tak terganggu dengan kehadiran manusia.
Walaupun sudah dua hari bertugas memerangkap burung,
Coriolanus merasa makin cemas saat berjalan menjauhi kota. Dia bertanya-tanya
desyrindah.blogspot.com
apakah ada hewan-hewan lain yang lebih besar, lebih kuat, dan bertaring
mengintai di pepohonan. Dia tidak punya senjata sama sekali. Setelah
menyadarinya, dia pura-pura butuh tongkat kayu untuk membantunya berjalan
dan berhenti sejenak mengambil cabang pohon yang hampir terlepas dari
dahannya.
“Bagaimana dia bisa tahu jalan?” Coriolanus bertanya pada Lucy Gray sambil
mengangguk ke arah Tam Amber.
“Kami semua tahu jalannya,” kata Lucy Gray. “Ini rumah kedua bagi kami.”
Karena yang lain tidak kelihatan kuatir, Coriolanus berjalan mengikuti mereka
menapaki hutan yang seakan tak berujung arahnya. Dia sempat senang ketika Tam
Amber mengumpulkan mereka, tapi pemuda itu hanya berkata, “Separo jalan lagi.”
Mereka menggilir kantong es, meminum air dari es yang mencair dan mengisap es
batu yang tersisa.
Maude Ivory mengeluh kakinya sakit lalu melepas sepatu cokelatnya yang sudah
jebol untuk menunjukkan lecet-lecet di kakinya. “Sepatu ini tidak enak dipakai
berjalan.”
“Sepatu itu bekas Clerk Carmine. Kami berusaha agar sepatunya bisa bertahan
hingga musim panas berakhir,” kata Lucy Gray, memeriksa lecet-lecet di kaki
Maude Ivory sambil mengernyit.
“Sepatunya kesempitan,”kata Maude Ivory. “Aku mau sepatu sandal seperti
dalam lirik lagu itu.”
Sejanus berjongkok, menawarkan punggungnya. “Bagaimana kalau
kugendong?”
Maude Ivory langsung melompat ke punggung Sejanus.
“Hati-hati kepalaku!”
Setelah itu mereka bergantian menggendong gadis kecil itu. Karena tidak perlu
bersusah payah berjalan, Maude Ivory mengerahkan tenaganya untuk bernyanyi.
desyrindah.blogspot.com
mengajak Sejanus bermain tangkap bola dengan menggunakan biji pinus sebagai
bola. Coriolanus ikut bermain, gembira bisa bersenang-senang. Tekanan menjadi
orang dewasa setiap hari ternyata melelahkan.
Setelah beristirahat sejenak, Tam Amber membuat dua pancing dengan ranting
pohon dan memasang kail di ujung benang. Saat Clerk Carmine menggali tanah
mencari cacing, Maude Ivory menugasi Sejanus untuk memetik buah beri.
“Jauh-jauh dari petak tanah di dekat bebatuan,” Lucy Gray memberi
peringatan.“Ular senang bersembunyi di sana.”
“Dia selalu tahu di mana ular berada,” Maude Ivory memberitahu Sejanus sambil
menggamit lengan pemuda itu. “Dia bisa menangkap ular dengan tangan, tapi aku
takut ular.”
Coriolanus berduaan dengan Lucy Gray untuk mengambil kayu bakar. Hari ini
dia merasa gembira, berenang setengah telanjang di antara hewan-hewan liar,
membuat api unggun, dan bisa berduaan tanpa rencana dengan Lucy Gray. Gadis
itu punya korek api, tapi mesti dihemat pemakaiannya dan dia bilang kalau bisa
hanya pakai sebatang untuk menyalakan api. Saat api menyala di tumpukan daun
kering, Coriolanus duduk di tanah di dekat Lucy Gray sambil menyulut ranting-
ranting kering, membuat api menyala semakin besar, dan merasa bahagia bisa
hidup menikmati semua ini.
Lucy Gray bersandar di bahunya.“Maa an aku, kalau aku membuatmu kesal
tadi malam. Aku tidak menyalahkanmu atas kematian ayahku. Kita masih kanak-
kanak saat itu terjadi.”
“Aku tahu. Aku juga minta maaf karena bereaksi berlebihan. Tapi, aku tidak bisa
berpura-pura. Aku tidak setuju dengan segala yang dilakukan Capitol, tapi aku
orang Capitol, dan aku rasa aku sependapat tentang perlunya tata tertib,” kata
Coriolanus.
“Kaum Pengembara percaya bahwa kau ada di dunia untuk meringankan
penderitaan, bukan menambah derita. Apakah menurutmu Hunger Games
desyrindah.blogspot.com
Hunger Games.”
Coriolanus tidak bisa membalas lagi. Kalau dia menganggap Capitol
memerlukan Hunger Games, mengapa dia berusaha menggagalkannya? Bukankah
itu berarti dia juga membantah kekuasan Capitol? Melawan, katanya? Tidak
seperti Sejanus, yang jelas-jelas memberontak, Coriolanus melakukannya dengan
caranya sendiri yang lebih tertutup, lebih tak kentara. “Ini yang kuyakini, kalau-
Capitol tidak berkuasa, kita takkan mengobrol seperti ini sekarang, karena kita
pasti sudah sama-sama musnah.”
“Orang-orang sudah lama hidup tanpa Capitol. Menurutku manusia tetap bisa
hidup lama setelah Capitol tidak ada lagi,” kata Lucy Gray.
Coriolanus memikirkan kota-kota mati yang dia lewati dalam perjalanan ke
Distrik 12. Lucy Gray bilang kaum Pengembara bepergian, jadi dia pasti pernah
melihatnya. “Tidak semuanya. Panem dulu indah permai. Lihat bagaimana
keadaannya sekarang.”
Clerk Carmine membawa tanaman yang dia cabut dari akarnya di danau untuk
Lucy Gray, dengan daun-daun lancip dan bunga-bunga putih. “Hei, kau
menemukan tanaman katniss. Bagus sekali, CC.” Coriolanus ingin tahu apakah
tanaman itu hanya untuk hiasan, seperti bunga mawar milik neneknya, tapi Lucy
Gray memeriksa akar umbi tumbuhan tersebut. “Masih terlalu muda.”
“Yeah,” Clerk Carmine sependapat.
“Untuk apa?” tanya Coriolanus.
“Untuk dimakan. Beberapa minggu lagi, umbi tanaman ini akan tumbuh
seukuran kentang dan bisa dipanggang,” kata Lucy Gray. “Ada yang menyebutnya
kentang rawa, tapi aku lebih suka menyebutnya katniss. Namanya terdengar
cocok.”
Tam Amber datang membawa beberapa ekor ikan yang sudah dibersihkan,
dibuang isi perutnya dan dipotong-potong. Dia membungkus ikan itu dengan
daun dan menaburkan berbagai rempah, dan Lucy Gray memanggang ikan-ikan
desyrindah.blogspot.com
itu di atas api. Pada saat Maude Ivory dan Sejanus datang membawa ember berisi
buah-buah beri, ikan yang dipanggang pun sudah matang. Setelah perjalanan jauh
dan berenang, nafsu makan Coriolanus pun kembali. Dia makan seluruh jatah
ikan, roti, dan buah berinya. Kemudian Sejanus mengeluarkan hadiah kejutan
enam potong kue kering Ma yang menjadi jatah pembagian isi kotak kirimannya.
Setelah makan siang, mereka membentangkan selimut di bawah pepohonan,
setengah dari mereka berbaring di atas selimut dan sisanya bersandar di dahan-
dahan pohon, sambil memandang awan seputih kapas di langit yang cerah.
“Aku tak pernah melihat langit dengan warna seperti itu,” kata Sejanus.
“Itu warna nilakandi,” Maude Ivory memberitahunya. “Seperti arti nama Azure
dari Barb Azure. Itu warnanya.”
“Warnanya?” tanya Coriolanus.
“Ya. Kami mendapat nama pertama kami dari balada dan nama kedua dari
warna.” Gadis itu duduk untuk menjelaskan. “Barb dari ‘Barbara Allen’ dan Azure
seperti warna biru langit. Namaku, ‘Maude Clare’ dan Ivory seperti warna gading
tuts piano. Dan Lucy Gray spesial karena namanya utuh berasal dari balada. Lucy
dan Gray.”
“Benar sekali. Gray seperti warna musim dingin yang kelabu,” kata Lucy Gray
sambil tersenyum.
Coriolanus tidak menyadarinya sebelum ini, dia mengira mereka punya nama
Pengembara yang aneh. Ivory dan Amber mengingatkannya pada ornamen-
ornamen perhiasan dari gading dan batu ambar milik Grandma’am. Dia tidak
mengenal warna Azure, Taupe, dan Carmine. Sementara itu, dia sama sekali tidak
tahu-menahu tentang balada mereka. Sepertinya ini cara yang aneh untuk
menamai anak.
Maude Ivory menyikut perutnya. “Namamu terdengar seperti nama
Pengembara.”
“Bagaimana bisa?” tanya Coriolanus sabil tertawa.
desyrindah.blogspot.com
“Karena ada Snow-nya. Snow kan artinya salju. Atau Snow White,” Maude Ivory
terkikik. “Apakah ada balada dengan nama
Coriolanus?”
”Setahuku tidak. Kenapa tidak kaukarang balada dengan nama Coriolanus?”
tanyanya sambil mencolek punggung Maude Ivory. “Balada Coriolanus Snow.”
Maude Ivory tengkurap. “Lucy Gray yang menulis lagu. Kau minta saja
padanya.”
“Jangan goda dia.” Lucy Gray menarik Maude Ivory agar duduk di sampingnya.
“Kau perlu tidur siang sebelum kita berjalan pulang.”
“Aku bakal digendong pulang,” kata Maude Ivory, sambil berusaha melepaskan
diri dari Lucy Gray. “Dan aku akan bernyanyi untuk mereka!”
Oh, kekasihku, oh kekasihku
“Oh, diamlah,” kata Clerk Carmine.
“Sini, cobalah berbaring,” kata Lucy Gray.
“Baiklah, asal kau mau bernyanyi untukku. Nyanyikan lagu saat aku sakit batuk.”
Dia membaringkan kepalanya di pangkuan Lucy Gray.
“Oke, asal kau janji akan diam.” Lucy Gray mengelus rambut Maude Ivory,
menyelipkannya ke belakang telinga gadis kecil itu dan menunggunya sampai
tenang lalu mulai bernyanyi.
Jauh di padang rumput, di bawah pohon willow
Tempat tidur dari rumput, yang hijau, lembut dan kemilau
Letakkan kepalamu, dan tutup matamu yang mengantuk
Dan saat matamu kembali membuka, fajar akan mengetuk.
Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat
Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.
desyrindah.blogspot.com
“Billy Taupe selalu mengoceh bahwa dia paling bahagia saat sendirian, tapi yang
sebenarnya dia inginkan adalah seorang gadis yang mengurusinya. Kurasa Mayfair
cocok mengemban tugas itu, jadi dia mengejarnya. Tak ada seorang pun yang bisa
memesona seperti Billy Taupe. Gadis itu pasti takluk. Selain itu, dia pasti kesepian.
Tidak ada saudara kandung. Tidak punya teman. Para penambang membenci
keluarganya. Mereka naik mobil mewah untuk menyaksikan pelaksanaan
hukuman gantung.” Maude Ivory terbangun, dan Lucy Gray mengelus rambutnya.
“Orang-orang mencurigai kami, tapi mereka membenci keluarganya.”
Coriolanus tidak suka melihat Lucy Gray sudah tidak marah lagi pada Billy
Taupe. “Apakah dia berusaha kembali padamu?”
Lucy Gray mengambil sehelai bulu itu dengan ibu jari dan telunjuknya lalu
memutar-mutarnya sebelum menjawab. “Tentu saja. Dia datang ke padang rumput
kemarin dengan rencana-rencana besarnya. Memintaku datang menemuinya di
pohon gantung dan kabur bersama.”
“Pohon gantung?” Coriolanus teringat saat Arlo tergantung di pohon dan
burung-burung meniru kata-kata terakhirnya. “Kenapa di sana?”
“Itu tempat kami biasa bertemu. Satu-satunya tempat di Distrik Dua Belas yang
tak ada mata-matanya,” kata Lucy Gray. “Dia mau kami ke utara. Dia berpikir ada
orang di sana. Orang-orang bebas. Dia bilang kami akan menemukan mereka lalu
setelahnya pulang kemari menjemput yang lain. Dia menyimpan persediaan,
entah bagaimana dia punya uang untuk itu. Tapi semua itu tidak penting, aku tak
bisa memercayainya lagi.”
Coriolanus merasakan cemburu membakar di dalam dirinya. Dia pikir dia sudah
menyingkirkan Billy Taupe, dan sekarang dengan santai Lucy Gray
memberitahunya bahwa mereka kebetulan bertemu di Padang Rumput. Pasti
bukan kebetulan. Billy Taupe pasti tahu di mana mencarinya. Berapa lama mereka
berduaan di sana, sementara pemuda itu menebar pesona dan merayunya untuk
kabur bersama? Kenapa Lucy Gray diam dan mendengarkannya? “Kepercayaan
desyrindah.blogspot.com
sangatlah penting.”
“Menurutku kepercayaan lebih penting daripada cinta. Maksudku, aku
menyukai banyak hal yang tidak kupercayai. Petir… minuman keras… ular.
Kadang-kadang kupikir aku menyukainya karena aku tidak bisa memercayainya.
Kacau ya?” Lucy Gray menghela napas dalam-dalam. “Tapi, aku percaya padamu.”
Dia merasa ini pengakuan yang sulit bagi Lucy Gray, bahkan mungkin lebih sulit
daripada pernyataan cinta, tapi pengakuan ini tidak mengenyahkan bayangan Billy
Taupe sedang merayu gadis itu di Padang Rumput. “Kenapa?”
“Kenapa ya? Kupikirkan dulu jawabannya.” Saat Lucy Gray menciumnya,
Coriolanus balas mencium, tapi dengan pikiran yang terbagi. Perkembangan-
perkembangan baru ini membuatnya cemas. Mungkin terlalu dekat dengan gadis
itu adalah kesalahan. Dan ada hal lain yang mengganggunya. Tentang lagu yang
dinyanyikan Lucy Gray di Padang Rumput pada hari pertama itu. Dia teringat
lagu itu, tentang hukuman gantung, yang juga menyinggung pertemuan di pohon
gantung. Kalau itu tempat mereka biasa bertemu, kenapa dia masih
menyanyikannya? Mungkin dia memanfaatkannya untuk mendapatkan Billy
Taupe kembali. Mempermainkan perasaan mereka berdua.
Maude Ivory bangun dan mengagumi helai bulunya, lalu meminta Lucy Gray
memasangkan bulu itu di rambutnya. Mereka lalu bersiap-siap untuk pulang,
membereskan selimut, tempat minum, dan ember. Coriolanus menawarkan diri
untuk menggendong Maude Ivory pada giliran pertama. Saat mereka berjalan
meninggalkan danau, dia sengaja berjalan paling belakang agar bisa bertanya
padanya, “Kau pernah bertemu Billy Taupe belakangan ini?”
“Oh, tidak.” katanya. “Dia bukan bagian dari kami lagi.” Pernyataan itu membuat
Coriolanus senang, tapi itu artinya Lucy Gray merahasiakan pertemuannya
dengan Billy Taupe dari para Pengembara, sehingga Coriolanus pun makin curiga.
Maude Ivory menunduk dan berbisik di telinga Coriolanus. “Jangan biarkan dia
mendekati Sejanus. Sejanus manis, dan yang manis seperti itu jadi makanannya
desyrindah.blogspot.com
Billy Taupe.”
Coriolanus berani taruhan Billy Taupe juga “makan” uang. Memangnya dari
mana bisa membayar persediaan untuk pelariannya?
Tam Amber memilih rute berbeda, agak memutar untuk memetik buah-buah
beri sepanjang jalan pulang dan memasukkanya ke ember. Saat mereka hampir
sampai di kota, Clerk Carmine melihat pohon apel yang mulai berbuah. Clerk
Carmine memanjat pohon lalu melemparkan beberapa buah apel ke tanah.
Coriolanus memungutinya lalu memasukkannya ke rok Lucy Gray. Hari
menjelang sore ketika mereka sampai di rumah. Coriolanus merasa lelah dan siap
kembali ke pangkalan, tapi Barb Azure duduk sendirian di meja dapur, memilih-
milih buah beri. “Tam Amber mengajak Maude Ivory ke Hob, mencoba
membarter buah beri dengan sepatu. Kubilang pergi saja dan cari sepatu tebal,
tidak lama lagi musim dingin akan tiba.”
“Dan Sejanus?” Coriolanus melihat ke halaman belakang.
“Dia pergi tidak lama setelahnya. Dia bilang akan bertemu denganmu di sana,”
kata Barb Azure.
Hob. Coriolanus segera pamit. “Aku harus pergi. Kalau mereka melihat Sejanus
di sana tanpa didampingi Penjaga Perdamaian lain, dia bakal kena sangsi. Aku juga
bakal kena. Kami harus bersama-sama sepanjang waktu. Dia tahu tentang ini
entah apa yang dipikirkannya.” Namun, sejujurnya, dia tahu apa yang dipikirkan
Sejanus. Ini kesempatan untuk mengunjungi Hob tanpa diawasi Coriolanus. Dia
menarik Lucy Gray untuk menciumnya. “Hari ini menyenangkan. Terima kasih.
Apakah kita akan bertemu Sabtu depan di gubuk?” Dia berjalan ke luar pintu
sebelum Lucy Gray sempat menjawabnya.
Coriolanus setengah berlari, bergegas menuju Hob, dan langsung masuk ke
pintu terbuka. Sekitar sepuluh orang berada di Hob, melihat-lihat barang
dagangan di kios-kios. Maude Ivory duduk di atas tong sementara Tam Amber
mengikatkan tali sepatunya. Di ujung gudang, Sejanus berdiri di dekat konter,
desyrindah.blogspot.com
melepasnya, dan seketika burung itu lenyap di antara dedaunan. Makhluk yang
menyebalkan. Dr. Kay membersihkan lalu membalut tangannya, dan Coriolanus
teringat Tigris melakukan hal yang sama pada hari pemungutan, saat duri dari
bunga mawar Grandma’am menusuknya. Kejadian itu belum lewat dua bulan lalu.
Hari itu dia merasa penuh harap, sekarang lihatlah apa yang terjadi padanya. Sibuk
mengumpulkan keturunan mu di distrik-distrik. Sepanjang siang dia membawa
sangkar-sangkar burung ke truk. Tangannya yang luka bukan alasan untuk
menghindari tugas, dan dia lanjut membersihkan sangkar-sangkar saat kembali
berada di hanggar.
Coriolanus mulai terbiasa dengan keberadaan jabberjay. Mereka alat teknologi
yang mengagumkan. Beberapa alat pengendali tergeletak di laboratorium, dan
para ilmuwan mengizinkannya bermain-main dengan burung setelah mendatanya
dalam katalog. “Tak ada salahnya,” kata seorang tentara. “Burung-burung itu se-
pertinya juga menikmati interaksi ini.” Bug tidak mau ikutan, tapi saat Coriolanus
bosan, dia memerintahkan burung-burung itu merekam kalimat-kalimat konyol
dan menyanyikan potongan dari lagu kebangsaan, lalu melihat seberapa banyak
yang bisa dia kendalikan dengan menekan tombol alat pengendali. Kadang bisa
sampai empat ekor burung, kalau sangkar mereka berdekatan. Dia selalu
menghapus rekaman-rekaman itu dengan menimpanya dengan rekaman terakhir,
di dalamnya dia tidak bersuara, hening, untuk memastikan agar suaranya tidak
sampai ke lab di Citadel. Dia tidak lagi bernyanyi saat mockingjay mulai
menangkap lagunya, meskipun ada kepuasan tersendiri baginya mendengar
burung-burung itu menyanyikan pujian untuk Capitol. Dia tidak punya cara untuk
mendiamkan
burung-burung itu, dan mereka bisa mengulang melodi tanpa henti.
Sebenarnya, dia mulai bosan terhadap pengaruh musik dalam hidupnya. Invasi
barangkali kata yang lebih tepat. Musik sepertinya ada di mana-mana: nyanyian
burung, nyanyian Pengembara, nyanyian burung-dan-Pengembara. Mungkin dia
desyrindah.blogspot.com
Coriolanus memunggungi sangkar, kedua tangannya bersandar pada meja, dan dia
menunggu.
“Jadi begini,” kata Sejanus, suaranya terdengar penuh emosi. “Beberapa
pemberontak berencana meninggalkan Distrik Dua Belas selamanya. Mereka akan
ke utara untuk memulai hidup jauh dari Panem. Mereka bilang kalau aku bersedia
membantu membebaskan Lil, aku juga bisa ikut mereka.”
Coriolanus mengangkat alisnya, seakan mempertanyakan pernyataan tersebut.
Sejanus tergagap-gagap. “Aku tahu, aku tahu, tapi mereka membutuhkanku.
Masalahnya adalah, mereka bertekad membebaskan Lil dan membawanya kabur.
Kalau tidak, Capitol akan menggantungnya bersama kelompok pemberontak yang
selanjutnya mereka tangkap. Sebenarnya rencananya sederhana. Penjaga penjara
bertugas dalam sif empat jam. Aku akan membius dua penjaga di luar dengan kue
dari Ma. Obat-obatan yang mereka berikan padaku di Capitol bisa membuatmu
tidur seketika…” Sejanus menjentikkan jari. “Aku akan mengambil satu senjata
mereka. Penjaga-penjaga di dalam tidak bersenjata, jadi aku bisa menodong
mereka masuk ke ruang interogasi. Ruangan itu kedap suara, jadi tidak ada yang
bisa mendengar teriakan mereka. Lalu aku akan membebaskan Lil. Kakaknya bisa
meloloskan kami melalui pagar. Kami akan segera ke utara. Kami punya waktu
beberapa jam sebelum mereka menemukan para penjaga yang pingsan. Karena
kami tidak melewati gerbang, mereka akan berasumsi kami bersembunyi di
pangkalan, jadi mereka akan mengunci tempat ini dan mencari kami di dalam
desyrindah.blogspot.com
lebih dulu. Pada saat rencana ini terbongkar, kami sudah pergi jauh. Tak ada yang
terluka. Dan ini rencana terbaik.”
Coriolanus menunduk dan menggosok alis dengan ujung-ujung jarinya, seakan
berpikir keras, tidak tahu berapa lama dia bisa tidak berkata-kata tanpa terkesan
mencurigakan.
Tapi Sejanus melanjutkan. “Aku tidak bisa pergi tanpa memberitahumu. Kau
seperti saudara kandung bagiku. Aku tak pernah lupa pada apa yang kaulakukan
untukku di arena. Aku akan berusaha mencari cara untuk memberitahu Ma apa
yang terjadi padaku. Dan ayahku juga. Memberitahunya bahwa nama Plinth tetap
hidup, walaupun tanpa kejelasan.”
Ini dia. Nama Plinth. Sudah cukup. Tangan kirinya menemukan alat pengendali
dan menekan tombol NET L dengan ibu jarinya. Jabberjay melanjutkan lagu
yang dinyanyikannya tadi.
Mata Coriolanus melihat sesuatu. “Bug datang.”
“Bug datang,” burung itu mengulang perkataannya.
“Hus, dasar bodoh,” kata Coriolanus pada jabberjay itu, dalam hati bersyukur
burung tersebut sudah kembali ke pola netral normalnya. Tak ada yang bisa
dicurigai Sejanus. Dia segera menulis di kain penutup sangkar dan menandainya
dengan J1.
“Kita butuh botol air lagi. Rusak satu,” kata Bug saat memasuki hanggar.
“Rusak satu,” kata burung itu dengan suara Bug, lalu mulai meniru kaok burung
gagak yang terbang lewat.
“Akan kucarikan.” Coriolanus menyerahkan sangkar itu pada Bug. Saat Bug
pergi, Coriolanus berjalan ke tempat penyimpanan dan mulai mencari-cari di
sana. Sebaiknya dia menjauh dari jabberjay saat melanjutkan obrolan mereka.
Kalau mereka keseringan meniru, Sejanus bisa heran kenapa burung pertama
diam saja walaupun dia tidak tahu bagaimana cara kerja burung-burung itu. Dr.
Kay tidak menjelaskannya pada mereka semua.
desyrindah.blogspot.com
Dia sudah berusaha untuk tidak bicara saat jabberjay merekam Sejanus agar
tuduhan tidak dijatuhkan padanya. Tapi Dr. Gaul akan memahami rujukan
tentang arena, dan dia juga bakal tahu Coriolanus merekam secara sengaja. Jika dia
mengirim burung itu ke Citadel, Dr. Gaul akan memutuskan bagaimana
menangani masalah ini. Mungkin dia akan menelepon Strabo Plinth, memecat
dan menarik pulang Sejanus sebelum ulahnya menimbulkan masalah lebih ba-
nyak. Ya, itu yang terbaik buat semua orang. Dia menaruh alat pengendali ke
tempat penyimpanan barang persediaan burung. Kalau semuanya lancar, dalam
hitungan hari Sejanus Plinth bukan lagi jadi urusannya.
Ketenangan ternyata tidak berlangsung lama. Coriolanus terbangun karena
mimpi buruk setelah tidur beberapa jam. Dia bermimpi berada di kursi penonton
di arena, melihat Sejanus, yang berlutut di samping jasad Marcus yang rusak.
Sejanus menaburkan remah-remah roti, tidak menyadari ular berwarna-warni
mendekatinya dari berbagai penjuru. Coriolanus berteriak berkali-kali,
menyuruhnya berdiri, lari, tapi Sejanus seakan tidak mendengarnya. Saat ular
mematuknya, dia hanya bisa berteriak sendiri.
Coriolanus dirundung rasa bersalah dan bermandi keringat, menyadari bahwa
dia tidak memikirkan akibat lebih jauh saat mengirim jabberjay itu. Sejanus bisa
kena masalah besar. Dia bersandar ke sisi ranjang dan merasa lebih tenang saat
melihat Sejanus tidur dengan damai di ranjang di seberangnya. Dia hanya bersikap
berlebihan. Kemungkinan besar, para ilmuwan takkan pernah mendengar
rekamannya, apalagi menyerahkannya ke Dr. Gaul. Lagi pula kenapa mereka mesti
menekan tombol PUTAR? Tak ada alasan bagi mereka untuk melakukannya.
Jabberjay-jabberjay itu sudah dites di hanggar. Perbuatan Sejanus patut
dipertanyakan, tapi tidak sampai berakibat pada kematian Sejanus, dengan ular
atau cara lain.
Pikiran itu menenangkannya hingga dia menyadari bahwa dia berada dalam
bahaya karena sudah mengetahui rencana pemberontak. Penyelamatan Lil,
desyrindah.blogspot.com
Pagi harinya, dia turun dari ranjang dalam kondisi lelah dan kesal. Para ilmuwan
sudah terbang pulang ke Capitol tadi malam, dan meninggalkan mereka untuk
melaksanakan tugas rutin membosankan. Dia melewati hari itu dengan susah
payah, berusaha tidak memikirkan bagaimana caranya dia bisa memulai
pendidikan purnawaktu di Universitas. Memilih kelas yang akan diikutinya.
Berjalan-jalan di kampus. Membeli buku-buku pelajaran. Untuk urusan Sejanus,
dia berpikir bahwa tak ada seorang pun yang bakal mendengar rekaman jabberjay,
jadi sebaiknya dia mendatangi Sejanus dan mencekokinya dengan pemikiran yang
logis. Dia sudah muak dengan tingkah tolol Sejanus. Sayangnya, hari itu dia tidak
punya kesempatan untuk menyampaikan ultimatumnya.
Tambahan berita buruk datang pada hari Jumat dengan tibanya surat dari Tigris.
Calon-calon pembeli dan beberapa orang yang suka ikut campur sudah berkeliling
melihat-lihat apartemen keluarga Snow. Mereka mendapat dua penawaran,
keduanya jauh di bawah jumlah yang mereka butuhkan untuk bisa pindah ke
apartemen sederhana yang sudah dilihat-lihat Tigris. Para tamu itu meresahkan
Grandma’am, yang bersembunyi di kebun mawar untuk menghindari kedatangan
mereka. Namun, dia mendengar percakapan salah satu pasangan, yang sedang
memeriksa atap, dan bicara tentang mengganti taman di atap dengan kolam ikan
mas. Bayangan bahwa bunga mawar, simbol dinasti Snow, akan dihancurkan
membuat Grandma’am makin gelisah dan bingung. Sekarang Grandma’am nyaris
tidak bisa ditinggal sendirian. Tigris sudah kehabisan akal dan meminta sarannya,
tapi saran apa yang bisa diberikan Coriolanus? Dia gagal dengan segala cara dan
tidak bisa memikirkan jalan keluar dari keputusasaan mereka. Kemarahan,
ketidakberdayaan, rasa malu hanya itu yang dimilikinya sekarang.
Pada hari Sabtu, dia menantikan saat untuk mendatangi Sejanus. Dia berharap
bisa melampiaskan kemarahannya. Harus ada yang membayar hinaan terhadap
keluarga Snow, dan tak ada bayaran yang lebih baik daripada keluarga Plinth.
Smiley, Bug, dan Beanpole sudah tidak sabar pergi ke Hob, walaupun pada hari
desyrindah.blogspot.com
Minggu mereka tidak bisa apa-apa selain tidur. Saat mereka bersiap-siap untuk
pergi malam itu, teman-teman sekamarnya memutuskan untuk tidak minum
minuman bening itu dan mencoba fermentasi sari apel, alkoholnya tidak terlalu
tinggi tapi tetap memabukkan. Coriolanus tidak berniat minum sama sekali. Dia
mau pikirannya tetap jernih saat berhadapan dengan Sejanus.
Saat mereka bersiap meninggalkan barak, mereka mendapat tambahan tugas
dari Cookie, dan menghabiskan setengah jam untuk membongkar muatan berupa
kotak-kotak kayu dari pesawat ringan. “Kalian bakal bersyukur minggu depan.
Pesta ulang tahun Komandan,” katanya, dan menyisipkan botol untuk mereka
yang isinya ternyata wiski murah. Minuman ini jauh lebih baik daripada oplosan
lokal.
Saat mereka tiba di Hob, mereka nyaris tidak sempat mengambil kotak-kotak
kayu dan mendapat tempat mereka yang biasanya di dekat dinding sebelum
Maude Ivory berdansa di panggung dan memperkenalkan para Pengembara.
Mereka mendapat tempat yang tidak terlalu enak, tapi wiski dari Cookie dan bisa
menikmati makanan dari Ma tanpa harus membarternya dengan minuman keras,
membuat mereka bisa tetap menikmati malam itu. Walaupun dalam hati
Coriolanus kecewa tidak bisa menghabiskan waktu bersama Lucy Gray di gubuk.
Dia menaruh kotaknya tepat di samping Sejanus agar dia bisa melihat jika Sejanus
mencoba menghilang lagi. Benar saja, sekitar satu jam setelah pertunjukan, dia
merasa Sejanus berdiri dan berjalan ke pintu utama. Coriolanus menghitung
sampai sepuluh sebelum mengikutinya, berusaha tidak terlalu menarik perhatian,
tapi posisi mereka memang berada di dekat pintu keluar dan tak ada seorang pun
yang memperhatikannya.
Lucy Gray mulai menyanyikan lagu sendu, dan para Pengembara memainkan
musik sedih di belakangnya.
Kau pulang terlambat,
desyrindah.blogspot.com
untuk memastikan rencana pelarian mereka? Dia tidak mau masuk ke gubuk dan
berhadapan dengan mereka. Coriolanus memutuskan untuk menunggu, saat
wanita dari Hob, yang dilihatnya pernah bersama Sejanus saat mengaku ingin
membeli pisau lipat, berjalan ke luar pintu sambil memasukkan segepok uang ke
kantongnya. Wanita itu menghilang dalam kegelapan jalanan, meninggalkan Hob.
Jadi ini yang dilakukannya. Sejanus datang memberinya uang untuk membeli
senjata, kemungkinan besar senapan-senapan yang hendak dipakainya untuk
berburu di utara. Ini saat yang tepat untuk menghadapinya, saat barang bukti ada
di tangan. Dia mengendap-endap ke gubuk, tidak mau mengejutkan Sejanus
seandainya pemuda itu memegang pistol, langkah kaki Coriolanus tersamar oleh
suara musik.
Kau di sini, kau tak di sini.
Ini bukan tentangku,
Ini bukan tentangmu, ini lebih tentang kita.
Mereka masih muda dan lembut, mereka cemas.
Mereka perlu tahu, kau akan datang atau pergi.
Bintang tidak berkilau untukmu.
Kaupikir begitu, tapi kau salah.
Kau macam-macam denganku, aku akan menyakitimu juga...
Aku akan mengkhianatimu demi sebuah lagu.
Pada saat tepuk tangan membahana, Coriolanus mengintip ke ambang pintu
gubuk yang terbuka. Satu-satunya cahaya berasal dari lentera kecil, jenis lentera
yang digunakan penambang pada saat pelaksanaan hukuman gantung Arlo.
Lentera itu ditaruh di atas kotak kayu di bagian belakang gubuk. Dalam
keremangan cahaya, dia bisa melihat sosok Sejanus dan Billy Taupe berjongkok di
atas karung, di mulut karung tampak beberapa moncong senjata. Saat Coriolanus
berjalan mendekat, dia terkesiap, mendadak menyadari ada ujung senapan
menodong pinggangnya.
desyrindah.blogspot.com
Dia menarik napas panjang dan mulai mengangkat kedua tangan perlahan-lahan
saat mendengar langkah sepatu di belakangnya diiringi tawa Lucy Gray. Kedua
tangan Lucy Gray mendarat di bahunya sambil menyapa, “Hei! Kulihat kau keluar.
Barb Azure bilang kau…” Kemudian Lucy Gray ikut menegang, menyadari
kehadiran orang bersenjata.
“Masuk!” hanya itu yang diucapkan pria itu. Coriolanus bergerak mendekati
cahaya sementara Lucy Gray memeluk lengannya erat-erat. Dia mendengar batako
menggesek lantai semen dan pintu menutup di belakang mereka.
Sejanus langsung berdiri. “Tidak. Tidak apa-apa, Spruce. Dia bersamaku.
Mereka berdua bersamaku.”
Spruce bergerak mendekati lentera. Coriolanus mengenalinya sebagai pria yang
memegangi Lil pada hari pelaksanaan hukuman gantung. Pasti ini kakak lelaki Lil,
yang disebut-sebut Sejanus.
Pemberontak itu memandang mereka. “Kupikir kita sudah sepakat urusan ini
hanya antara kita saja.”
“Dia sudah seperti saudara kandungku,” kata Sejanus. “Dia akan melindungiku
saat kita kabur. Memberi kita waktu lebih banyak.”
Coriolanus tidak pernah menjanjikan hal itu, tapi dia mengangguk.
Spruce mengarahkan moncong senjatanya ke Lucy Gray. “Bagaimana dengan
dia?”
“Aku sudah memberitahumu tentang dia,” kata Billy Taupe. “Dia akan ke utara
bersama kita. Dia kekasihku.”
Coriolanus bisa merasakan tangan Lucy Gray menggenggamnya makin erat, lalu
melepasnya. “Kalau kau mau membawaku, aku ikut,” kata Lucy Gray.
“Bukankah kalian berdua pacaran?” tanya Spruce, matanya yang kelabu
memandang Coriolanus dan Lucy Gray bergantian. Coriolanus juga
mempertanyakan hal ini. Apakah Lucy Gray sungguh akan pergi bersama Billy
Taupe? Apakah gadis itu hanya memanfaatkannya, seperti yang dicurigainya?
desyrindah.blogspot.com
Gray.
Tanpa ragu, Spruce menembak dada Billy Taupe. Letusan senjata
mendorongnya ke belakang, dan Billy Taupe terjatuh ke lantai.
Dalam keheningan yang mengikuti kejadian itu, samar-samar Coriolanus
mendengar musik dari Hob untuk pertama kalinya setelah Lucy Gray selesai
bernyanyi. Maude Ivory mengajak seisi Hob untuk ikut bernyanyi bersama.
Tetaplah ceria, selalu ceria,
“Sebaiknya lakukan apa yang dia katakan,” Spruce memberitahu Lucy Gray.
“Sebelum mereka menyadari kau tidak ada dan mencarimu.”
Tetaplah ceria dalam hidup.
Lucy Gray tidak dapat melepaskan pandangan dari jasad Billy Taupe. Coriolanus
memegang bahu gadis itu, memaksa Lucy Gray memandangnya. “Pergi. Aku akan
mengurus ini.” Dia mendorongnya ke pintu.
Akan membantu kita setiap hari, akan ceria sepanjang waktu.
Lucy Gray membuka pintu, dan mereka berdua memandang ke luar aman.
Aman.
Kalau kita tetap ceria dalam hidup.
Ya, tetap ceria dalam hidup.
Seisi Hob ikut bernyanyi riang, menandakan akhir lagu Maude Ivory. Waktu
kian mendesak. “Kau tak pernah ada di sini,” Coriolanus berbisik di telinga Lucy
Gray saat melepasnya pergi. Gadis itu tersandung-sandung berlari menuju Hob.
Coriolanus mengaitkan kakinya menutup pintu.
Sejanus memeriksa denyut nadi Billy Taupe.
Spruce memasukkan senjata-senjata itu ke dalam karung. “Tak ada gunanya.
Mereka sudah mati. Aku berencana akan merahasiakan ini. Bagaimana dengan
desyrindah.blogspot.com
kalian?”
“Sama. Rahasia, tentu,” kata Coriolanus. Sejanus memandang mereka, masih
shock. “Dia juga. Akan kupastikan.”
“Kalian sebaiknya berpikir untuk ikut kami. Ada orang yang bakal dikorbankan
untuk kejadian ini,” kata Spruce. Dia mengambil lentera dan menghilang lewat
pintu belakang, membuat gubuk gelap gulita.
Coriolanus tertatih-tatih maju hingga menemukan Sejanus dan menariknya
keluar menyusul Spruce. Dia mendorong jasad Mayfair dengan paksa ke dalam
gubuk dengan sepatu botnya dan menutup pintu tempat pembunuhan itu dengan
bahunya. Sudah. Dia berhasil masuk dan keluar gubuk tanpa menyentuh apa pun.
Kecuali senapan yang digunakannya membunuh Mayfair, yang pastinya penuh
DNA dan sidik jarinya, tapi Spruce akan membawa senjata itu kabur dari Distrik
12 dan tak pernah kembali lagi. Dia tak mau kejadian saputangan terulang lagi.
Suara Dekan Highbo om masih terngiang…
“Kau dengar tidak, Coriolanus? Itu suara Snow jatuh.”
Untuk sesaat dia menghirup udara malam. Musik, semacam lagu instrumental,
meliputi mereka. Lucy Gray barangkali sudah berada di atas panggung, tapi belum
bisa bernyanyi. Dia menarik siku Sejanus, membawanya mengelilingi gubuk dan
memeriksa jalanan di antara dua bangunan itu. Kosong. Dia bergegas menariknya
ke samping Hob, berhenti sebelum berbelok masuk. “Jangan bicara apa-apa,”
desisnya.
Sejanus, dengan mata terbelalak dan keringat membasahi kerahnya, mengulang
ucapan Coriolanus, “Jangan bicara apa-apa.”
Di dalam Hob, mereka duduk di tempat masing-masing. Di sebelah mereka,
Beanpole duduk bersandar di dinding, tampak sudah hilang kesadaran. Di
sebelahnya lagi, Smiley sedang mengobrol dengan seorang gadis sementara Bug
menghabiskan wiski. Tampaknya tak ada yang kehilangan mereka.
Musik instrumental berakhir dan Lucy Gray yang sudah tenang kembali
bernyanyi, memilih lagu yang bisa dinyanyikan bersama-sama Pengembara lain.
desyrindah.blogspot.com
Pintar. Kemungkinan besar mereka yang akan menemukan jenazah Billy Taupe
dan Mayfair Lipp, karena gubuk itu tempat istirahat mereka. Semakin lama
mereka bersama-sama di atas panggung, semakin bagus alibi mereka, semakin
lama waktu yang dimiliki Spruce untuk membawa pergi senjata-senjata dari TKP,
dan semakin sulit bagi penonton untuk menentukan waktu siapa berada di mana
dan kapan.
Jantung Coriolanus berdegup kencang saat berusaha menghitung kerusakan
yang terjadi. Sepertinya tidak akan ada yang terlalu memedulikan Billy Taupe,
mungkin hanya Clerk Carmine. Tapi Mayfair? Putri tunggal Wali Kota? Spruce
benar; akan ada orang yang harus membayar kematian gadis itu.
Lucy Gray membuka permintaan lagu dari penonton dan berhasil membuat
mereka berlima tetap di panggung sampai akhir acara. Maude Ivory
mengumpulkan uang dari penonton seperti biasa. Lucy Gray berterima kasih
pada semua orang, para Pengembara memberi hormat, dan penonton mulai
berjalan ke arah pintu keluar.
“Kita harus langsung pulang,” kata Coriolanus berbisik pada Sejanus. Mereka
berdua merangkul dan membopong Beanpole lalu berjalan keluar dengan Bug dan
Smiley mengikuti di belakang mereka. Mereka baru berjalan sekitar dua puluh
meter saat jeritan histeris Maude Ivory berkumandang di udara malam, sehingga
semua orang berbalik lagi. Kalau mereka terus berjalan akan mencurigakan, se-
hingga Coriolanus dan Sejanus ikut berbalik membopong Beanpole. Tak lama
kemudian, peluit Penjaga Perdamaian berbunyi, dan dua petugas keamanan
menyuruh mereka kembali ke pangkalan. Mereka membaur dalam kerumunan
dan tidak saling bicara hingga mereka tiba di barak, mendengar teman-teman
sekamar mereka mendengkur, lalu menyelinap ke kamar mandi.
“Kita tidak tahu apa-apa. Itu cerita kita,” bisik Coriolanus. “Kita keluar dari Hob
sebentar untuk kencing. Selain itu, kita menonton pertunjukan sepanjang malam.”
“Baiklah,” kata Sejanus. “Bagaimana dengan yang lain?”
desyrindah.blogspot.com
“Spruce sudah kabur entah ke mana dan Lucy Gray takkan bilang siapa-siapa,
bahkan tidak ke Pengembara lain. Dia takkan menempatkan mereka dalam
bahaya,” katanya. “Besok kita berdua akan kelihatan masih mabuk dan seharian di
pangkalan.”
“Ya. Ya. Seharian di pangkalan.” Sejanus tampak tidak fokus sehingga kelihatan
kacau.
Coriolanus menangkup wajah Sejanus dengan kedua tangannya. “Sejanus, ini
masalah hidup dan mati. Kau harus kuat.” Sejanus sependapat, tapi Coriolanus
tahu dia tak bakal bisa tidur sepanjang malam. Di dalam pikirannya, dia
mengulang-ulang penembakan itu. Dia membunuh untuk kedua kalinya. Kalau
dia membela diri saat membunuh Bobbin, bagaimana dengan Mayfair? Pastinya
bukan pembunuhan berencana. Tidak bisa dibilang pembunuhan juga. Hanya
sejenis pembelaan diri. Hukum mungkin tidak melihatnya seperti itu, tapi dia
melihatnya seperti itu. Mayfair memang tidak membawa pisau, tapi dia punya
kuasa untuk membuatnya dihukum gantung. Belum lagi entah apa yang mungkin
diperbuatnya terhadap Lucy Gray dan yang lain. Barangkali karena dia tidak
melihat langsung kematian Mayfair, juga tidak berlama-lama melihat jasadnya, dia
tidak terlalu terguncang seperti saat membunuh Bobbin. Atau barangkali
pembunuhan kedua lebih mudah daripada pembunuhan pertama. Jika bisa
diulang, dia tahu dia akan menembak Mayfair lagi, dan entah bagaimana itu
menguatkan alasan perbuatannya.
Keesokan paginya, bahkan teman-teman sekamarnya yang mabuk datang ke
ruang makan untuk sarapan. Smiley mendapat bocoran dari temannya yang
perawat, yang bertugas di klinik tadi malam, saat mereka membawa jenazah ke
klinik. “Dua korbannya adalah penduduk lokal, tapi salah satunya adalah putri
wali kota. Satunya lagi pemusik atau semacamnya, tapi kita belum pernah
melihatnya di panggung. Mereka tewas ditembak di bengkel di belakang Hob.
Tepat saat pertunjukan berlangsung! Kita semua tak mendengarnya karena
desyrindah.blogspot.com
Lucy Gray, selain para Pengembara, dan Lucy Gray akan menyuruh mereka tutup
mulut. Akan tetapi, kalau gadis itu punya pacar baru, kenapa dia masih peduli pada
Billy Taupe? Mereka mungkin punya motif untuk membunuh Mayfair, sebagai
semacam bentuk balas dendam, dan Billy Taupe mungkin berusaha melindungi
Mayfair. Sebenarnya, itu tidak jauh berbeda dari kenyataan yang terjadi. Tapi
ratusan saksi bisa bersumpah bahwa Lucy Gray berada di panggung nyaris
sepanjang waktu pertunjukan. Tak ada senjata yang ditemukan. Sulit
membuktikan bahwa Lucy Gray bersalah. Coriolanus mesti bersabar, menunggu
situasi mereda, barulah mereka bisa bersama lagi. Dia merasa jauh lebih dekat
dengan Lucy Gray sekarang, karena mereka memiliki ikatan baru yang tak
tergoyahkan ini.
Karena kejadian tadi malam, komandan menutup pangkalan selama satu hari.
Corioalanus tidak punya rencana juga dia harus menjauh dari para Pengembara
untuk sementara waktu. Dia dan Sejanus berkeliling di dalam pangkalan, berusaha
terlihat normal. Bermain kartu, menulis surat, membersihkan sepatu bot mereka.
Saat mereka membersihkan lumpur dari tapak sepatu, Coriolanus berbisik.
“Bagaimana dengan rencana pelariannya? Apakah tetap jadi?”
“Aku tidak tahu,” jawab Sejanus. “Pesta ulang tahun Komandan berlangsung
minggu depan. Pada malam itulah kami seharusnya bertindak. Coryo, bagaimana
jika mereka menangkap orang yang tak bersalah untuk pembunuhan-
pembunuhan ini?”
Maka kita tidak punya masalah lagi, pikir Coriolanus. Tapi dia hanya berkata.
“Kurasa kemungkinannya sangat kecil, tanpa adanya senjata. Kita pikirkan nanti
saja kalau memang sudah kejadian.”
Coriolanus tidur nyenyak malam itu. Pada hari Senin pangkalan tak lagi ditutup,
dan kabar yang beredar adalah pembunuhan-pembunuhan itu terjadi karena
pertikaian di dalam kelompok pemberontak. Kalau mereka mau saling
membunuh, biarkan saja. Wali kota datang ke pangkalan dan menyampaikan
desyrindah.blogspot.com
unek-unek tentang putrinya pada sang komandan, tapi karena dia sendiri terlalu
memanjakan Mayfair dan membiarkannya bebas keluyuran seperti kucing liar, dia
hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri kalau selama ini putrinya bergaul dengan
pemberontak.
Pada hari Selasa siang, keingintahuan orang-orang terhadap pembunuhan yang
terjadi mulai luntur sehingga Coriolanus mulai berani membuat rencana-rencana
masa depan sembari mengupas kentang untuk sarapan besok. Yang pertama harus
dipastikan adalah Sejanus sudah menyerah untuk melarikan diri. Semoga saja ke-
jadian di gubuk meyakinkannya bahwa dia hanya cari masalah kalau meneruskan
niatnya. Besok malam giliran mereka mengepel bersama, dan waktu yang tepat
untuk berbicara dengannya. Kalau Sejanus tetap nekat ingin kabur, Coriolanus tak
punya pilihan selain melaporkannya pada sang komandan. Dia merasa lega, hingga
bersemangat mengupas kentang dan selesai lebih awal, dan
Cookie mengizinkannya istirahat setengah jam sebelum giliran tugasnya berakhir.
Dia memeriksa surat dan menemukan kotak kiriman Pluribus, berisi senar dawai
gitar dan pernak-pernik alat musik lain, serta catatan yang mengatakan bahwa ini
semua gratis. Dia menyimpan barang itu di loker, senang saat memikirkan betapa
bahagianya kaum Pengembara saat keadaan sudah aman bagi mereka untuk
bertemu lagi. Barangkali dia bisa bertemu mereka satu atau dua minggu lagi, jika
keadaan makin tenang.
Coriolanus mulai merasa seperti sedia kala saat berjalan menuju ruang makan.
Selasa berarti menunya kentang. Dia masih punya waktu beberapa menit untuk
mengambil sekaleng bedak untuk mengobati biang keringatnya yang mulai
sembuh. Namun, saat dia berjalan keluar dari klinik, ambulans berhenti. Pintu
belakangnya terbuka, lalu dua petugas medis mengeluarkan seorang pria di atas
usungan. Orang itu mungkin sudah mati melihat kemejanya bersimbah darah, tapi
saat dibawa masuk, pria itu menoleh. Matanya tepat memandang Coriolanus, yang
tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Spruce. Kemudian pintu menutup,
desyrindah.blogspot.com
Selama dua hari berikutnya, waktu berlalu begitu saja, sementara Coriolanus
berusaha meyakinkan diri bahwa ini semua demi kebaikan Sejanus. Permohonan
teman-teman sekamarnya untuk bisa menemui Sejanus di tahanan ditolak. Dia
menunggu tibanya Strabo Plinth, turun dari pesawat pribadinya untuk
menegosiasikan pembebasan putranya, menawarkan armada pesawat baru, lalu
membawa pulang putranya yang sesat jalan. Apakah Strabo Plinth tahu masalah
yang dihadapi Sejanus? Ini bukanlah Akademi, mereka tidak menelepon
orangtuamu kalau kau bikin salah.
Secara sambil lalu, Coriolanus bertanya pada tentara yang lebih tua apakah
mereka diizinkan untuk menelepon ke rumah. Semua orang diizinkan menelepon
dua kali dalam setahun, tapi izin itu baru diberikan setelah mereka bertugas
selama enam bulan. Semua bentuk korespondensi harus melalui surat. Karena
tidak tahu berapa lama Sejanus bakal dipenjara, Coriolanus menulis surat singkat
pada Ma, memberitahunya bahwa Sejanus dalam masalah dan menyarankan agar
Strabo menelepon mencari tahu. Dia bergegas hendak mengirim surat itu pada
hari Jumat pagi tapi terhalang pengumuman bahwa seluruh personel, kecuali yang
bertugas, untuk datang ke aula. Di aula, Komandan mengumumkan bahwa salah
satu anggota mereka akan dihukum gantung siang itu. Yaitu Sejanus Plinth.
Rasanya aneh, seperti berada dalam mimpi buruk. Pada saat latihan, tubuhnya
bergerak seperti boneka tali yang disentakkan dengan tali tak kasatmata. Setelah
latihan selesai, sang sersan memanggil Coriolanus, dan semua orang teman-
teman satu timnya, Smiley, Bug, dan Beanpole memperhatikan saat Coriolanus
diberi perintah untuk hadir pada saat hukuman gantung untuk mengisi barisan.
Sekembalinya di barak, jemarinya terasa kaku hingga tidak sanggup
mengancingkan seragamnya, masing-masing kancing logam perak itu
menunjukkan logo Capitol. Kedua kakinya juga sulit digerakkan seperti saat
terjadi pengeboman di arena, tapi dengan susah payah dia berjalan ke gudang
senjata mengambil senapan. Para Penjaga Perdamaian lain yang tidak dia kenal,
desyrindah.blogspot.com
memberinya tempat duduk yang luas di truk. Coriolanus yakin dirinya sudah jadi
bahan omongan karena mengenal baik si terhukum.
Sama seperti saat pelaksanaan hukuman gantung Arlo, Coriolanus diperintah
untuk berdiri di barisan yang mengapit pohon gantung. Dia bingung melihat
penonton yang banyak dan ramai Sejanus pasti tidak mungkin mendapat
dukungan sebanyak ini hanya dalam hitungan minggu hingga mobil Penjaga
Perdamaian tiba lalu menurunkan Sejanus dan Lil yang terbelenggu. Para
penonton memanggil saat melihat gadis itu.
Arlo, mantan prajurit yang ditempa bertahun-tahun di tambang, bisa menahan
diri hingga mendengar teriakan Lil di kerumunan. Namun, Sejanus dan Lil terlihat
lemah dalam ketakutan, tampak jauh lebih muda daripada usia mereka sebenarnya
hingga memberi kesan bahwa mereka hanyalah anak-anak yang diseret ke tiang
gantung. Lil, yang berjalan dengan kaki gemetar nyaris terjatuh, didorong ke
depan oleh dua Penjaga Perdamaian berwajah muram, yang mungkin
menghabiskan minuman keras banyak-banyak besok malam untuk menghapus
ingatan ini.
Tatapan Coriolanus berserobok dengan Sejanus ketika pemuda itu berjalan
melewatinya, dan saat itu Coriolanus hanya melihatnya sebagai bocah berusia
delapan tahun yang bermain di taman, tangannya menggenggam erat sekantong
permen karet. Tapi bocah ini tampak ketakutan. Bibir Sejanus menyebut namanya,
Coryo, dan wajahnya mengernyit kesakitan. Entah dia memohon atau menuduh-
nya berkhianat, Coriolanus tidak tahu pasti.
Para Penjaga Perdamaian menempatkan terhukum bersisian di atas pintu
jebakan. Penjaga Perdamaian lain membacakan da ar tuduhan pada para
terhukum sambil diteriaki massa, Coriolanus hanya bisa menangkap kata
pengkhianatan. Dia mengalihkan pandangannya ketika Penjaga Perdamaian
memasang tali gantungan, dan dia melihat wajah Lucy Gray yang terbelalak ngeri.
Gadis itu berdiri di depan mengenakan gaun lusuh abu-abu, rambutnya ditutupi
desyrindah.blogspot.com
juga sangat menyukai benda-benda berwarna-warni. Dia tidak tahu cara me-
ngirimnya kepada Lucy Gray, tapi jika dia masih di sini sampai hari Minggu,
barangkali dia bisa keluar dari pangkalan dan bertemu untuk terakhir kalinya. Dia
menaruh selendang yang terlipat rapi bersama senar dawai kiriman Pluribus.
Setelah menyeka ingus dan air matanya, Coriolanus berpakaian lalu berjalan ke
kantor pos untuk mengirim uang ke rumahnya.
Pada saat makan malam, dia berbisik pada teman-teman sekamarnya yang
kelihatan sedih, memperhalus cerita tentang pelaksanaan hukuman gantung.
“Menurutku dia tewas seketika. Dia tidak kesakitan.”
“Aku masih tidak percaya dia melakukannya,” kata Smiley.
Suara Beanpole gemetar. “Kuharap mereka tidak menganggap kita terlibat.”
“Bug dan aku bisa dicurigai sebagai simpatisan pemberontak, karena kami
berasal dari distrik,” kata Smiley. “Apa yang kalian kuatirkan? Kalian kan orang
Capitol.”
“Sejanus juga,” Beanpole mengingatkannya.
“Tidak sepenuhnya, kan? Ingat bagaimana dia selalu menyebut-nyebut Distrik
Dua?” kata Bug.
“Tidak, tidak juga,” kata Coriolanus.
Coriolanus menghabiskan malam itu bertugas jaga di penjara yang kini kosong.
Dia tidur lelap seperti orang mati, tidak heran karena dalam beberapa jam lagi dia
bakal mati sungguhan.
Dia menjalani latihan pagi secara otomatis, dan nyaris merasa lega ketika seusai
makan siang ajudan Komandan Ho datang dan meminta Coriolanus
mengikutinya. Tidak sedramatis Sejanus yang dijemput polisi militer, tapi ini
masuk akal karena mereka berusaha menormalkan kembali suasana di antara
pasukan. Dia yakin bakal dibawa ke penjara setelah dari kantor komandan, dan
menyesal tidak membawa barang dari rumah untuk menemaninya di saat-saat
akhir. Kotak bedak ibunya bisa menenangkannya saat menunggu tali gantungan.
desyrindah.blogspot.com
beberapa hari ke depan. Sementara itu, Dr. Gaul dan aku memutuskan untuk
merahasiakan bantuanmu dalam masalah Sejanus ini demi keamananmu. Kau
tidak mau jadi sasaran pemberontak, kan?”
“Aku juga lebih memilih begitu,” kata Coriolanus. “Menghadapi keputusanku
sendiri saja sudah berat rasanya.”
“Aku mengerti. Tapi setelah semuanya berlalu, ingatlah bahwa kau sudah berjasa
besar pada negaramu. Cobalah melupakan urusan ini.” Kemudian, seakan baru
menyadarinya, Ho berkata, “Hari ini ulang tahunku.”
“Ya, aku membantu menurunkan wiski untuk pestanya,” kata Coriolanus.
“Akan ada hiburan. Cobalah bersenang-senang.” Ho berdiri dan mengulurkan
tangan.
Coriolanus berdiri dan menjabat tangannya. “Akan kuusahakan. Selamat ulang
tahun, Sir.”
Teman-teman sekamarnya menyambut Coriolanus dengan gembira saat dia
kembali, menghujaninya dengan pertanyaan demi pertanyaan tentang alasan sang
komandan memanggilnya.
“Komandan tahu aku dan Sejanus sudah berteman lama, dan dia mau
memastikan aku baik-baik saja,” Coriolanus memberitahu mereka.
Berita itu mengangkat semangat mereka, dan informasi tentang jadwal siang
mereka menyenangkan hati Coriolanus. Latihan mereka kali ini bukan menembak
sasaran biasa, tapi mendapat izin untuk menembaki burung jabberjay dan
mockingjay di pohon gantung. Kesabarannya habis pada saat burung-burung itu
bernyanyi meniru teriakan terakhir Sejanus.
Coriolanus merasa pening saat menembaki mockingjay dari dahan-dahan pohon,
dan dia berhasil membunuh tiga ekor. Tidak terlalu pintar kau sekarang! pikirnya.
Sayang, setelahnya banyak burung yang kabur dan terbang di luar jangkauan
tembak. Tapi mereka akan kembali. Dia juga akan kembali, kalau dia tidak
mendapat hukuman gantung.
desyrindah.blogspot.com
Untuk menghormati ulang tahun sang komandan, mereka semua mandi, lalu
mengenakan seragam baru sebelum ke ruang makan. Cookie menyajikan
makanan istimewa berupa steik, kentang tumbuk lengkap dengan kuah daging,
dan kacang polong segar, bukan kalengan. Masing-masing tentara mendapat
segelas besar bir, dan Ho memotong sendiri kue ulang tahun raksasa. Setelah
makan malam, mereka berkumpul di gimnasium yang sudah didekorasi dengan
spanduk dan panji-panji untuk acara ulang tahun sang komandan. Wiski mengalir
bebas, dan berkali-kali mereka bersulang dengan memberi ucapan selamat lewat
mikrofon yang dipasang untuk acara ini. Tapi Coriolanus tidak menyadari akan
ada acara hiburan sampai beberapa tentara menyiapkan kursi-kursi.
“Tentu saja ada hiburan,” kata seorang tentara. “Kami menyewa band dari Hob.
Komandan sangat menyukai mereka.”
Lucy Gray. Ini kesempatannya. Mungkin kesempatan terakhirnya untuk
bertemu gadis itu. Dia berlari ke barak, mengambil kotak dari Pluribus yang berisi
senar dawai dan selendang, lalu bergegas kembali ke pesta. Dia bisa melihat
teman-teman sekamarnya menyisakan tempat duduk di tengah, tapi dia memilih
berdiri di belakang penonton. Kalau ada kesempatan, dia tidak mau menarik
perhatian. Lampu-lampu utama dimatikan, menyisakan cahaya menyoroti
mikrofon, dan penonton pun hening. Semua mata tertuju ke arah ruang ganti yang
ditutupi selimut, seperti yang dilakukan para Pengembara di Hob.
Maude Ivory berlari kecil dengan gaun kuningnya yang berkibar-kibar lalu
melompat ke atas kotak kayu yang sudah ditaruh di belakang mikrofon. “Halo,
semuanya! Malam ini istimewa, dan kalian tahu alasannya! Hari ini ulang tahun
seseorang!”
Para Penjaga Perdamaian bertepuk tangan riuh. Maude Ivory mulai
menyanyikan lagu ulang tahun, dan semua orang ikut bernyanyi:
Selamat ulang tahun
desyrindah.blogspot.com
lalu berjalan ke gedung tempat generator berada, tidak peduli jika bakal ditangkap.
Rasa kecewanya tak terperikan, saat kesempatan kedua untuk memiliki masa
depan cerah kembali terampas. Dia harus mengingatkan dirinya tentang tali, tiang
gantungan, dan jabberjay yang meniru kata-kata terakhirnya agar pikirannya fokus.
Dia akan desersi dari tugasnya sebagai Penjaga Perdamaian; jadi pikirannya harus
terpusat.
Saat tiba di ruang generator, dia menoleh ke belakang, tapi pangkalan masih
senyap, dan dia bisa mengendap-endap ke belakang tanpa ketahuan. Dia
memeriksa pagar, tapi tidak menemukan apa-apa. Dia mencengkeram pagar dan
mengguncang-guncangnya dengan kesal. Tak lama kemudian, jeruji pagar itu
menarik lepas tiang penambat, menyisakan ruang yang cukup untuk dia keluar
lewat lubang sempit. Dia berjalan mengitari bagian belakang pangkalan menuju
hutan hingga tiba di jalan setapak ke arah pohon gantung. Setelah sampai di sana,
dia mengikuti jalur yang biasa dilalui truk sebelumnya, berjalan santai, tidak
terburu-buru agar tidak menarik perhatian. Kecil kemungkinannya menarik
perhatian pada hari Minggu yang panas sepagi ini. Kebanyakan pekerja tambang
dan Penjaga Perdamaian masih tidur.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, dia tiba di tanah lapang pohon gantung,
dan langsung bersembunyi di balik pepohonan. Tidak ada tanda-tanda
keberadaan Lucy Gray. Saat dia berjalan melewati dahan-dahan pohon, dia
berpikir apakah dia salah menafsirkan pesan gadis itu dan seharusnya mereka
bertemu di Seam? Kemudian sekilas dia melihat warna oranye dan dia
mengikutinya sampai ke tanah lapang. Lucy Gray berdiri di sana dengan selendang
membungkus kepalanya, menurunkan barang-barang dari gerobak kecil. Dia ber-
lari menghampiri Coriolanus dan memeluknya, yang dibalas dengan pelukan erat
oleh Coriolanus meskipun dia merasa cuaca terlalu panas untuk pelukan ini.
Ciuman yang menyusul pelukan itu membuat suasana hari Coriolanus menjadi
lebih baik.
Tangan Coriolanus memegang selendang di kepala Lucy Gray. “Warna ini
desyrindah.blogspot.com
Gray dengan niat terselubung dalam suaranya. “Aku harap suatu hari burung-
burung itu bisa mengikuti ke mana aku pergi.”
“Kau tahu apa yang tak kurindukan? Manusia,” kata Coriolanus. “Kalau dipikir-
pikir, kebanyakan manusia menyebalkan. Terkecuali beberapa orang.”
“Sebenarnya manusia tidak seburuk itu,” kata Lucy Gray. “Mereka jadi seperti itu
karena cara dunia memperlakukan mereka. Seperti yang terjadi pada kami di
arena. Kami melakukan perbuatan yang tak pernah terbayang akan kami lakukan
jika mereka tidak mengganggu kami.”
“Entahlah. Aku membunuh Mayfair, dan tidak di arena,” kata Coriolanus.
“Hanya demi menyelamatkanku.” Lucy Gray merenung. “Menurutku ada
kebaikan alami dalam diri manusia. Kau sadar saat kau melewati batas ketika
berbuat jahat, dan tantangan hidup adalah berusaha berada di sisi yang benar.”
“Kadang-kadang itu keputusan yang sulit.” Coriolanus sudah mengambil
keputusan-keputusan semacam itu sepanjang musim panas.
“Aku tahu. Tentu saja aku tahu. Aku pemenang Hunger Games,” katanya dengan
sedih. “Akan lebih baik kalau aku tidak perlu membunuh manusia lagi dalam
hidupku yang baru.”
“Aku setuju. Tiga orang sudah cukup untuk satu kehidupan ini. Dan pastinya
cukup untuk satu musim panas.” Suara binatang terdengar di dekat mereka,
mengingatkan Coriolanus bahwa dia tidak punya senjata. “Aku mau membuat
tongkat untuk berjalan. Kau mau?”
Lucy Gray berhenti melangkah. “Tentu. Tongkat bisa digunakan untuk hal lain
selain berjalan.”
Mereka menemukan dua batang kokoh, dan Lucy Gray memegangi batang itu
sementara Coriolanus mematahkan bagian ujung dahannya. “Siapa yang ketiga?”
“Apa?” Lucy Gray memandang aneh padanya. Pegangan Coriolanus terlepas,
sehingga kulit kayu menusuk kukunya. “Aw.”
Lucy Gray mengabaikan lukanya. “Orang yang kaubunuh. Kau bilang kau
desyrindah.blogspot.com
“Mungkin saja. Tapi kita sudah terlalu jauh.” Lucy Gray minum seteguk lalu
mengelap mulutnya dengan punggung tangan. “Apakah mereka akan
mengejarmu?”
Dia tidak yakin Penjaga Perdamaian akan berpikir bahwa dia melarikan diri.
Kenapa dia mau kabur padahal dia sudah diterima di sekolah pegawai negeri elite?
Kalau ada yang kehilangan dirinya, mereka mungkin berpikir dia ke kota bersama
Penjaga Perdamaian lain. Kecuali mereka menemukan senjata-senjata itu. Dia
tidak mau memikirkan urusan sekolah, hatinya masih perih. “Aku tidak tahu. Saat
mereka sadar aku kabur, mereka juga tidak tahu harus ke mana mencariku.”
Mereka mendaki menuju danau, masing-masing sibuk dengan pikirannya
sendiri. Semua ini tampak tidak nyata bagi Coriolanus, seakan ini hanya jalan-jalan
liburan, seperti yang mereka lakukan dua minggu lalu. Seakan mereka hendak
piknik, dan dia harus kembali tepat waktu sebelum jam malam dan makan malam
sosis goreng. Tapi tidak. Saat mereka tiba di danau, mereka akan berjalan menuju
hutan, menjalani hidup seadanya untuk bertahan hidup. Bagaimana cara mereka
makan? Di mana mereka akan tinggal? Apa yang akan mereka lakukan setelah
punya tempat tinggal dan menemukan cara mendapat makanan? Lucy Gray tanpa
musik. Dia tanpa sekolah, atau militer, atau apa pun. Memiliki keluarga? Rasanya,
melahirkan anak ke dunia yang buruk ini seperti kutukan untuk sang anak.
Apakah keinginannya untuk mendapat kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan sudah
lenyap? Apakah tujuannya saat ini hanya semata-mata bertahan hidup?
Sibuk dengan isi pikirannya, tanpa terasa mereka sudah sampai di danau.
Mereka menaruh barang-barang bawaan di tepi danau, dan Lucy Gray langsung
mencari ranting-ranting pohon yang bisa digunakan untuk memancing ikan. “Kita
tidak tahu apa yang ada di depan sana, jadi lebih baik kita mengumpulkan
makanan di sini,” katanya. Lucy Gray menunjukkan padanya cara memasang
benang dan kail pada ranting kayu. Coriolanus merasa jijik harus
mengobok-obok lumpur mencari cacing, dan dia bertanya-tanya apakah ini yang
desyrindah.blogspot.com
harus dilakukannya setiap hari? Kalau mereka lapar, bisa saja ini yang harus
dilakukannya. Mereka memasang umpan di ujung kail dan duduk tanpa bicara di
tepi danau, menunggu ikan memakan umpan mereka sementara burung-burung
bernyanyi di sekeliling mereka. Lucy Gray berhasil menangkap dua ekor ikan. Dia
tidak menangkap seekor pun.
Awan gelap mulai bergulung di langit, memberi rasa lega dari panas menyengat,
tapi dia makin tertekan. Inilah hidupnya sekarang. Mengobok-obok tanah mencari
cacing dan menggantungkan nasibnya pada cuaca. Berharap pada alam. Hidup
seperti binatang. Dia tahu ini akan lebih mudah jika dia bukanlah manusia luar
biasa. Yang terbaik dan tercerdas yang bisa dihasilkan dari umat manusia. Peserta
termuda yang lulus ujian masuk pegawai negeri. Kalau dia bodoh dan tak berguna,
hilangnya kehidupan beradab semacam ini takkan membuatnya merasa kosong.
Dia akan menerimanya dengan tenang. Tetes-tetes air hujan mulai jatuh
membasahinya, menyisakan jejak-jejak basah di seragamnya.
“Kita tak bisa memasak dalam cuaca seperti ini,” kata Lucy Gray. “Lebih baik
kita masuk. Ada perapian yang bisa kita gunakan.”
Yang dimaksud Lucy Gray adalah rumah di dekat danau yang masih memiliki
atap. Mungkin ini atap terakhirnya, selanjutnya dia harus membuat atap sendiri.
Bagaimana cara manusia membuat atap? Pertanyaan itu tidak ada dalam tes ujian
masuk pegawai negeri.
Setelah membersihkan ikan dengan cepat lalu membungkusnya dengan daun-
daun, mereka mengumpulkan barang-barang bawaan mereka dan bergegas lari ke
rumah. Hujan turun semakin deras. Kalau ini bukan kehidupan nyata, mungkin
rasanya menyenangkan. Hanya petualangan beberapa jam bersama gadis yang
memesona sementara dia memiliki masa depan cerah di tempat lain. Pintu itu
macet, tapi Lucy Gray mendorong paksa dengan pinggulnya hingga terbuka. Me-
reka segera masuk menghindari hujan dan menaruh barang-barang bawaan
mereka. Hanya ada satu ruangan, dengan dinding-dinding bata, langit-langit, dan
desyrindah.blogspot.com
lantai. Tidak ada tanda-tanda bahwa rumah ini memiliki listrik, tapi cahaya masuk
dari jendela pada keempat sisi rumah dan pintu. Matanya tertuju ke perapian, pe-
nuh abu sisa pembakaran dengan dedaunan kering tertumpuk rapi di sampingnya.
Paling tidak, mereka tidak perlu mencari dan mengumpulkan daun.
Lucy Gray berjalan mendekati perapian, menaruh ikan di atas bata dekat
perapian lalu mulai mengatur kayu-kayu kering dan ranting di atas jeruji logam.
“Kami menyimpan kayu di sini, jadi selalu ada kayu kering.”
Coriolanus memikirkan kemungkinan untuk tinggal di rumah kecil yang kokoh
ini. Banyak kayu bakar di sekitar rumah dan danau untuk memancing ikan. Tapi,
terlalu berbahaya baginya berada sedekat ini dengan Distrik 12. Kalau kaum
Pengembara tahu tempat ini, pasti ada orang lain yang mengetahuinya. Tempat
berlindung ini pun harus direnggut dari tangannya. Akankah dia berakhir dengan
tinggal di gua? Dia membayangkan griya tawang keluarga Snow, dengan lantai
marmer dan lampu gantung kristal. Rumahnya. Rumah yang menjadi haknya.
Tiupan angin membuat hujan bertempias, sehingga celananya terciprat air dingin.
Dia menutup pintu di belakangnya lalu terkesiap. Pintu tadi menyembunyikan
sesuatu. Karung goni panjang. Tampak ujung laras senapan mencuat dari bagian
yang terbuka.
Tidak mungkin. Coriolanus menahan napas, lalu menendang karung itu dengan
sepatu botnya hingga terbuka. Ada pistol dan senapan Penjaga Perdamaian. Ada
pula pelontar granat. Tidak diragukan lagi, ini adalah senjata-senjata yang dibeli
Sejanus di pasar gelap di gubuk. Dan di antara senjata ini terdapat senjata-senjata
pembunuhan.
Lucy Gray menyalakan api. “Aku membawa kaleng logam, mungkin kita bisa
membawa batu bara yang masih menyala ke mana-mana. Aku tidak punya banyak
korek api, dan tidak mudah membuat api dengan batu api.”
“He-eh,” kata Coriolanus. “Ide bagus.” Bagaimana senjata-senjata itu bisa sampai
kemari? Tapi sesungguhnya tidak mengherankan. Billy Taupe bisa saja mengajak
desyrindah.blogspot.com
Spruce ke danau, atau mungkin Spruce memang sudah tahu tempat ini. Rumah ini
bisa jadi tempat persembunyian pemberontak semasa perang. Dan Spruce cukup
cerdas untuk tahu bahwa dia tidak bisa menyembunyikan barang bukti senjata di
Distrik 12.
“Hei, kau menemukan apa di sana?” Lucy Gray menghampirinya dan
berjongkok, menarik karung goni itu sehingga senjata-senjata tersebut keluar dari
tempatnya. “Oh. Apakah ini yang ada di gubuk?”
“Pastinya begitu,” kata Coriolanus. “Apakah sebaiknya kita membawa senjata-
senjata ini?”
Lucy Gray berdiri lalu mundur, dan berpikir sejenak. “Sebaiknya tidak. Aku
tidak percaya pada senjata. Tapi ini bisa berguna.” Lucy Gray mengeluarkan pisau
panjang, tangannya memutar-mutar belati itu. “Aku akan menggali-gali mencari
katniss, karena kita sudah punya api. Ada tanaman katniss bagus di dekat danau.”
“Kupikir tanaman itu belum siap panen,” kata Coriolanus.
“Dua minggu bisa membuat banyak perubahan,” kata Lucy Gray.
“Masih hujan,” kata Coriolanus keberatan. “Kau akan basah kuyup.”
Lucy Gray tertawa. “Aku kan bukan gadis lemah tak berdaya.”
Sebenarnya, Coriolanus lega punya waktu untuk berpikir sendirian. Setelah
Lucy Gray pergi, dia mengangkat bagian bawah karung goni, dan senjata-senjata
itu jatuh ke lantai. Dia berjongkok di sampingnya, lalu mengambil senapan
Penjaga Perdamaian yang dipakainya untuk membunuh Mayfair dan menimang-
nimang senjata itu. Ini dia. Senjata pembunuhan. Senjata ini tidak ada di lab
forensik Capitol, tapi di sini, di tangannya, di tengah hutan belantara, dan benda
ini tidak menjadi ancaman untuknya. Yang perlu dia lakukan hanyalah
menghancurkannya, dan dia akan bebas dari hukuman gantung. Bebas untuk
kembali ke pangkalan. Bebas untuk pergi ke Distrik 2. Bebas untuk kembali ke
peradaban manusia tanpa rasa takut. Air mata bahagia membasahi wajahnya, dan
dia mulai tertawa gembira. Bagaimana cara menghancurkannya? Membakarnya di
desyrindah.blogspot.com
Sejanus. Gadis itu pasti tahu Sejanus adalah orang ketiga yang dibunuh
Coriolanus. Lucy Gray mungkin tidak tahu apa yang dilakukannya dengan
jabberjay, tapi gadis itu tahu dia orang kepercayaan Sejanus. Sementara Sejanus
adalah pemberontak, Coriolanus adalah pembela Capitol. Tapi, bagaimana
mungkin gadis itu berpikir dia tega membunuhnya? Dia memandang senapan di
tangannya. Mungkin seharusnya dia meninggalkannya di gubuk. Mengejar gadis
itu sambil membawa senjata tidak kelihatan bagus. Seakan dia sedang
memburunya. Padahal Coriolanus tidak benar-benar ingin membunuhnya. Dia
hanya ingin berbicara dan memastikan Lucy Gray bisa memahami perbuatannya.
Taruh senjatamu, katanya pada diri sendiri, tapi tangannya menolak bekerja
sama. Gadis itu hanya punya pisau. Pisau yang besar. Yang bisa dia lakukan adalah
menyampirkan senapan itu ke punggung. “Lucy Gray! Kau tidak apa-apa? Kau
membuatku takut! Kau di mana?”
Lucy Gray hanya perlu berkata, “Aku mengerti, aku akan pergi sendiri seperti
rencana awalku.” Tapi, pagi tadi Lucy Gray mengaku dia merasa tidak bisa
bertahan sendirian, dan bakal kembali ke kelompok Pengembara dalam beberapa
hari. Lucy Gray tahu Coriolanus takkan memercayainya.
“Lucy Gray, kumohon, aku hanya ingin bicara denganmu!” teriaknya. Apa
rencana gadis itu? Bersembunyi sampai Coriolanus lelah dan kembali ke
pangkalan? Lalu mengendap pulang ke rumahnya nanti malam? Itu tidak bagus
untuk Coriolanus. Bahkan tanpa keberadaan senjata pembunuhan itu, gadis itu
masih berbahaya. Bagaimana kalau Lucy Gray kembali ke Distrik 12 lalu Wali
Kota berhasil menangkapnya? Bagaimana kalau mereka menginterogasi atau
bahkan menyiksanya? Rahasianya mungkin bocor. Lucy Gray tidak membunuh
siapa pun di gudang. Coriolanus pelakunya. Jadi hanya ucapannya yang melawan
ucapan Lucy Gray. Seandainya pun mereka tidak memercayai Lucy Gray,
reputasinya akan hancur. Hubungan asmara mereka akan terungkap, bersama
cerita kecurangannya di Hunger Games. Dekan Highbo om barangkali akan
desyrindah.blogspot.com
Jejak selendang. Ular yang sudah disiapkan. Maude Ivory pernah bilang Lucy Gray
tahu di mana harus mencari ular. Ini adalah perangkap, dan Coriolanus terjebak
dalam perangkapnya! Kasihan betul! Dia mulai bersimpati pada Billy Taupe.
Coriolanus tidak tahu apa-apa tentang ular, selain ular-ular berwarna pelangi di
arena. Dia berdiri tegak, jantungnya berdebar kencang, dan mengira bakal mati
seketika itu. Namun, dia masih tetap berdiri walaupun lukanya terasa sakit. Dia
tidak tahu berapa lama waktu yang dimilikinya, tapi demi nama baik Snow, gadis
itu akan membayar perbuatannya. Apakah dia harus membebat tangannya?
Mengisap dan membuang bisa ular dari bekas gigitannya? Mereka belum pernah
menjalani latihan kesiapan menghadapi ular. Tidak mau mengambil risiko bisa
ular menyebar cepat di tubuhnya, dia menarik lengan seragamnya untuk menutupi
luka bekas gigitan, mengambil senapan yang tersampir di bahu, dan mulai
mengejar gadis itu. Dalam situasi berbeda, mungkin dia akan menertawakan ironi
betapa cepat hubungan mereka berubah menjadi Hunger Games pribadi semacam
ini.
Lucy Gray semakin sulit dikejar, dan dia sadar bahwa petunjuk-petunjuk tadi
sengaja ditinggalkan agar dia menemukan ular itu. Tapi Lucy Gray pasti belum
jauh. Gadis itu pasti ingin tahu apakah ular tadi membunuhnya, atau barangkali
sedang menyusun serangan lain. Mungkin Lucy Gray berharap dia pingsan agar
bisa menggorok lehernya dengan pisau panjang. Dia berusaha mengatur napasnya
sambil berjalan semakin jauh ke dalam ke hutan, perlahan-lahan mendorong
ranting-ranting pohon dengan laras senapan. Tapi, mustahil baginya menemukan
Lucy Gray.
Pikir, katanya dalam hati. Ke mana Lucy Gray pergi? Jawabannya menghantam
pikiran Coriolanus. Lucy Gray takkan mau bertarung dengannya yang memiliki
senapan, sementara gadis itu cuma punya pisau. Lucy Gray akan kembali ke
rumah danau untuk mengambil pistol. Barangkali dia hanya berjalan memutar dan
sudah berada di rumah danau saat ini. Coriolanus menajamkan pendengarannya.
desyrindah.blogspot.com
Ya! Dia bisa mendengar sesuatu bergerak di sebelah kanannya, menuju ke danau.
Coriolanus mulai berlari ke arah suara itu lalu berhenti mendadak. Tampaknya,
setelah mendengar Coriolanus mengejarnya, dia langsung melesat menembus
semak belukar. Lucy Gray sadar bahwa Coriolanus sudah mengetahui niatnya, dan
tak peduli meskipun Coriolanus mendengarnya. Coriolanus memperkirakan
jaraknya dengan Lucy Gray hanya sekitar sepuluh meter, lalu dia mengangkat
senapannya dan menembakkan rentetan peluru ke arah gadis itu. Sekawanan
burung mengaok ketika terbang ke udara, dan Coriolanus bisa mendengar
tangisan samar. Kena kau, pikirnya. Dia terus berlari ke asal suara, tidak peduli
dahan-dahan pohon serta semak menggores seragam dan wajahnya, hingga tiba di
tempat yang dia perkirakan Lucy Gray berada. Tak ada jejak keberadaan gadis itu.
Tak masalah. Lucy Gray pasti akan berpindah lagi, dan saat dia bergerak,
Coriolanus akan menemukannya.
“Lucy Gray,” panggil Coriolanus dengan suara normal. “Lucy Gray. Belum
terlambat untuk mencari jalan keluar.” Tentu saja semuanya sudah terlambat, tapi
masa bodoh. Coriolanus tidak berutang apa-apa pada gadis itu dan dia tidak perlu
mempertanggungjawabkan kebenaran padanya. “Lucy Gray, bicaralah padaku.”
Suara gadis itu mengejutkannya, tiba-tiba terdengar dan terasa manis di udara.
Apakah kau
Akan datang ke pohon
Memakai kalung dari tali, bersamaku bersebelahan
Hal-hal aneh terjadi di sini
Kita takkan jadi orang asing,
Jika bertemu tengah malam di pohon gantung
Ya, aku paham, pikir Coriolanus. Kau tahu tentang Sejanus. “Kalung dari tali” dan
semua itu.
Coriolanus melangkah ke arah asal suara, tepat ketika seekor mockingjay meniru
desyrindah.blogspot.com
dia masih hidup dan akan membawanya saat melarikan diri. Dia melemparkan
ikan yang terbungkus daun ke perapian agar habis terbakar, lalu beranjak pergi,
menutup rumah rapat-rapat sebelum meninggalkannya.
Hujan mulai turun lagi, kali ini amat deras. Dia berharap hujan akan menghapus
jejaknya. Senjata-senjata itu sudah tidak ada. Barang-barang bawaan yang
tertinggal di rumah kosong itu milik Lucy Gray. Satu-satunya yang tersisa dari
Coriolanus adalah jejak kakinya, yang akan segera terhapus air hujan. Awan-awan
gelap menyesatkan pikirannya. Dia berusaha keras untuk berpikir jernih.
Kembalilah. Kau harus kembali ke pangkalan. Tapi ke arah mana? Dia
mengeluarkan kompas milik ayahnya dari saku, kagum karena benda itu masih
berfungsi walau sudah tercebur ke danau. Roh Crassus Snow ada di sekitar sini,
melindunginya.
Coriolanus memegang kompas itu erat-erat, panduannya di tengah badai saat
berjalan ke selatan. Dia bersusah payah melewati hutan, ketakutan dan sendirian,
tapi bisa merasakan keberadaan sang ayah di sampingnya. Crassus mungkin tidak
terlalu menyayanginya, tapi ayahnya ingin warisannya tetap hidup. Mungkin
Coriolanus berhasil membuktikan dirinya hari ini. Tapi semua perjuangan ini tak
akan ada artinya kalau bisa ular itu membunuhnya. Dia berhenti sejenak untuk
muntah, menyesal tak sempat membawa botol air. Dia menyadari bahwa jejak
DNA-nya ada di botol itu, tapi siapa yang bakal peduli? Botol air bukanlah senjata
pembunuhan. Tidak penting. Dia sudah aman. Jika para Pengembara menemukan
jasad Lucy Gray, mereka takkan melaporkannya. Mereka tidak ingin menarik per-
hatian. Bisa jadi mereka malah tersangkut urusan pemberontakan dan tempat
persembunyian mereka jadi ketahuan. Itu pun kalau jasad Lucy Gray ditemukan.
Dia tidak tahu apakah tembakannya berhasil mengenai gadis itu.
Coriolanus berhasil kembali. Bukan tiba di Pohon Gantung, tapi sampai ke
Distrik 12. Dia terus berjalan melewati pepohonan dan pondok-pondok pekerja
tambang hingga menemukan jalan utama. Petir menggelegar dan kilat menyambar
desyrindah.blogspot.com
di alun-alun kota. Dia tidak melihat seorang pun ketika tiba di pangkalan, lalu
masuk lewat pagar. Dia langsung ke klinik, mengaku sedang mengikat tali
sepatunya saat seekor ular menyerang tiba-tiba dan menggigitnya.
Sang dokter mengangguk. “Ular-ular keluar saat hujan.”
“Oh ya?” Tadinya dia mengira cerita itu akan dikira bohong atau diragukan
kebenarannya.
Tapi dokter itu tidak tampak curiga. “Kau melihat jenis ularnya?”
“Tidak sempat. Hujan deras dan ular itu bergerak cepat,” jawabnya. “Apakah aku
akan mati?”
“Sama sekali tidak,” dokter itu tergelak. “Ular ini tidak beracun. Lihat bekas
gigitannya? Tidak ada bekas taring. Tapi bakal terasa sakit selama beberapa hari.”
“Anda yakin? Aku muntah dan pusing,” katanya.
“Mungkin saja kau panik.” Dokter membersihkan lukanya. “Mungkin bakal ada
bekas luka.”
Bagus, pikir Coriolanus. Luka ini akan menjadi pengingat untuk lebih berhati-hati.
Sang dokter menyuntiknya dan memberinya sebotol obat. “Datang lagi besok,
dan kita periksa lagi lukanya.”
“Besok aku ditugaskan ke Distrik Dua,” jawab Coriolanus.
“Kalau begitu, periksakan ke klinik di sana,” kata dokternya. “Semoga
beruntung, Prajurit.”
Corioalanus kembali ke kamarnya, kaget bahwa ternyata baru tengah hari.
Teman-teman sekamarnya bahkan belum bangun, masih teler akibat minuman
keras dan hujan. Dia menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi kantongnya. Air
danau membuat bedak ibunya jadi benda lengket yang menjijikkan, dan dia
membuangnya ke tempat sampah. Foto-foto yang dibawanya juga menempel, dan
terkoyak ketika dia berusaha memisahkannya, jadi dia membuangnya juga. Hanya
kompas yang selamat. Dia melepaskan seragamnya dan membasuh dirinya dari
sisa-sisa air danau. Setelah berpakaian, dia mengambil tas jinjing, menaruh
desyrindah.blogspot.com
Jantungnya berdebar kencang saat mereka melewati Scholars Road dan Akademi
yang sepi dan sunyi pada siang hari musim panas. Lalu melintasi taman tempat
mereka biasa berkumpul seusai sekolah. Dan toko roti yang menjual cupcake kesu-
kaannya. Setidaknya dia masih bisa melihat kota kelahirannya lagi. Nostalgia
memudar ketika truk menikung tajam dan dia sadar bahwa mereka menuju
Citadel.
Di dalam, para penjaga menyuruhnya masuk elevator. “Beliau sudah
menunggumu di lab.”
Dia berharap “beliau” yang dimaksud adalah Dr. Kay, bukan Dr. Gaul, tapi
musuh lamanya melambai dari lab ketika melihatnya keluar dari elevator. Kenapa
dia ada di sini? Apakah dia akan dijadikan kelinci percobaan dan dimasukkan ke
kandang? Ketika Coriolanus berjalan mendekat, dia melihat Dr. Gaul
memasukkan anak tikus yang masih hidup ke kotak kaca penuh ular berwarna
keemasan.
“Pemenang kita telah kembali. Pegang ini.” Dr. Gaul menyerahkan mangkuk
logam berisi anak-anak tikus ke tangannya.
Coriolanus menahan diri untuk tidak muntah. “Halo, Dr. Gaul.”
“Aku menerima suratmu,” katanya. “Dan jabberjay-mu. Plinth muda yang
malang. Tapi itu sudah nasibnya. Aku senang melihatmu terus belajar di Dua
Belas. Mengembangkan pandanganmu terhadap dunia.”
Coriolanus merasa sedang menjadi murid bimbingan Dr. Gaul lagi, seakan tak
pernah terjadi apa-apa selama ini. “Ya, pengalaman yang membuka mata. Aku
memikirkan segala hal yang kita diskusikan. Kekacauan, kontrol, kontrak. Tiga K.”
“Apakah kau berpikir tentang Hunger Games?” tanya Dr. Gaul. “Pada hari
pertama kita bertemu, Casca bertanya padamu apa tujuannya, dan kau menjawab
dengan yakin. Untuk menghukum distrik-distrik. Kau mau mengubah jawabanmu
sekarang?”
Coriolanus teringat percakapannya dengan Sejanus ketika mereka membongkar
desyrindah.blogspot.com
tas di barak. “Aku ingin menjabarkannya. Hunger Games bukan hanya untuk
menghukum distrik-distrik, tapi bagian dari perang abadi. Masing-masing distrik
memiliki pertarungan mereka. Daripada berperang sungguhan, kita berperang
dengan sesuatu yang bisa kita kendalikan.”
“Hm.” Dr. Gaul menjauhkan seekor tikus dari mulut ular yang terbuka. “Hei, kau
jangan rakus!”
“Dan sebagai pengingat apa yang kita lakukan terhadap satu sama lain, apa
kemungkinan yang bisa terjadi, karena itu sudah sifat kita,” lanjutnya.
“Apakah kau sudah menetapkan siapa kita?” tanya Dr. Gaul.
“Makhluk-makhluk yang membutuhkan Capitol untuk selamat.” Dia tak bisa
menahan diri untuk tidak melanjutkan. “Tapi ini semua tak ada gunanya. Hunger
Games. Tak ada seorang pun di Dua Belas yang menontonnya. Kecuali saat hari
pemungutan. Tak ada televisi, bahkan di pangkalan sekalipun.”
“Itu masalah di masa depan, tapi jadi hal yang disyukuri tahun ini, mengingat
aku harus menghapus seluruh kekacauan ini,” kata
Dr. Gaul. “Melibatkan para siswa ikut campur adalah kesalahan. Terutama saat
mereka jadi korban. Itu membuat Capitol tampak rentan.”
“Anda menghapusnya?” tanya Coriolanus.
“Semuanya. Tak ada yang tersisa untuk disiarkan lagi.” Dr. Gaul menyeringai.
“Aku punya rekaman utamanya, kusimpan dengan aman, tapi itu hanya untuk
kesenanganku sendiri.”
Coriolanus lega mendengar penghapusan siaran itu. Ini hanya satu cara untuk
melenyapkan nama Lucy Gray dari dunia ini. Capitol akan melupakannya, distrik-
distrik tak ada yang mengenalnya, dan Distrik 12 tak pernah menganggap gadis itu
sebagai bagian dari mereka. Beberapa tahun lagi, dia hanyalah kenangan samar
bahwa seorang gadis pernah bernyanyi di arena. Lambat laun hal itu pun akan
terlupakan. Selamat tinggal, Lucy Gray, kami tak pernah mengenalmu.
“Tidak semuanya buruk. Kurasa kita akan melibatkan Flickerman lagi tahun
desyrindah.blogspot.com
depan. Dan idemu tentang taruhan juga akan dilanjutkan,” kata Dr. Gaul.
“Bagaimanapun caranya, Anda perlu mewajibkan mereka menonton Hunger
Games. Tak ada seorang pun di Dua Belas yang akan memilih menonton sesuatu
yang penuh tekanan seperti itu,” Coriolanus memberitahunya. “Mereka
menghabiskan waktu luang yang tersisa dengan mabuk-mabukan untuk
melupakan realita hidup.”
Dr. Gaul tergelak. “Tampaknya kau belajar banyak selama liburan musim panas,
Mr. Snow.”
“Liburan?” tanyanya, bingung.
“Lagi pula, apa yang kaulakukan di sini? Bermalas-malasan di Capitol,
mendandani rambut ikalmu? Kupikir menjadi Penjaga Perdamaian selama musim
panas akan jauh lebih mendidik.” Dr. Gaul memperhatikan keheranan di wajah
Coriolanus. “Memangnya kaupikir aku menghabiskan banyak waktu untukmu
hanya untuk menyerahkanmu pada orang-orang tolol di distrik?”
“Aku tidak mengerti, aku diberitahu…” kata Coriolanus.
Dr. Gaul memotong ucapannya. “Aku memerintahkan agar kau diberhentikan
dengan hormat sebagai Penjaga Perdamaian, berlaku mulai saat ini. Kau akan
belajar dariku di Universitas.”
“Universitas? Di sini? Di Capitol?” katanya terkejut.
Dr. Gaul menjatuhkan tikus terakhir ke kotak kaca. “Kelas pertama dimulai pada
hari Kamis.”
desyrindah.blogspot.com
EPILOG
Pada sore hari bulan Oktober yang cerah di musim gugur, Snow menuruni tangga
marmer di Pusat Sains Universitas, mengabaikan orang-orang yang
memperhatikannya. Dia tampak tampan dengan jas baru, apalagi rambut ikalnya
kini sudah tumbuh, dan tugas khususnya sebagai Penjaga Perdamaian
memberinya keunggulan yang membuat pesaing-pesaingnya kesal.
Dia baru menyelesaikan kelas kehormatan khusus dalam pelajaran strategi
militer bersama Dr. Gaul, setelah menghabiskan pagi hari di Citadel untuk magang
sebagai Pengawas Permainan. Walaupun hanya magang, sebenarnya semua orang
di sana memperlakukannya selevel dengan pekerja utama. Mereka sudah
mengembangkan ide-ide untuk lebih melibatkan distrik, juga Capitol, dalam
Hunger Games tahun depan. Snow pula yang menjelaskan bahwa selain dua pe-
serta yang mungkin tak mereka kenal, orang-orang di distrik tidak terlibat dalam
Hunger Games. Mereka menelurkan ide agar semua orang di distrik menerima
paket makanan kalau peserta dari distrik mereka menang. Dan untuk mendorong
orang mau jadi peserta, Snow menyarankan agar pemenang mendapat hadiah
rumah mewah di wilayah elite di kampung halaman mereka, yang disebut Desa
Pemenang, sehingga penduduk yang tinggal di pondok kecil atau gubuk iri
melihatnya. Selain itu, sang pemenang juga membawa pulang hadiah uang, dan ini
diharapkan akan menghasilkan peserta-peserta berkualitas.
Jemarinya mengelus tas kulit yang bahannya lembut, hadiah kembali ke sekolah
desyrindah.blogspot.com
dari keluarga Plinth. Dia masih tergagap memanggil mereka. Memanggil “Ma”
mudah baginya, tapi memanggil ayah ke Strabo Plinth rasanya tidak cocok, jadi
dia seringnya memanggil Strabo dengan “Sir”. Mereka tidak mengadopsinya secara
resmi; umurnya sudah delapan belas dan dianggap usia dewasa. Selain itu, dia
lebih suka sebatas menjadi pewaris keluarga Plinth. Dia takkan melepas nama
Snow, walau dibayar dengan kekayaan berlimpah dari pabrik senjata.
Semuanya terjadi begitu saja. Kepulangannya. Duka cita mereka. Penyatuan dua
keluarga. Kematian Sejanus menghancurkan keluarga Plinth. Strabo berkata,
“Istriku butuh tujuan hidup. Aku pun begitu. Kau kehilangan orangtuamu. Kami
kehilangan putra kami. Kupikir kita bisa mengatur sesuatu.” Strabo membeli
apartemen keluarga Snow sehingga mereka tidak perlu pindah, dan mereka juga
membeli apartemen keluarga Doli le di bawah sebagai tempat tinggalnya dan Ma.
Ada niatan untuk melakukan renovasi, membuat tangga putar atau mungkin
elevator pribadi yang menghubungkan dua unit apartemen tersebut, tapi tidak
perlu dikerjakan segera. Ma datang setiap hari membantu Grandma’am, yang
menganggap Ma sebagai “pembantu” baru. Ma dan Tigris bisa bersahabat baik.
Keluarga Plinth yang membayar semua pengeluaran mereka: pajak apartemen,
uang sekolah, hingga koki. Mereka juga memberinya uang saku dalam jumlah
besar. Ini sangat membantunya, karena dengan uang kirimannya untuk Tigris dari
Distrik 12 yang dikantonginya sekalipun, biaya kehidupan di universitas sangat
mahal. Strabo tak pernah mempertanyakan pengeluarannya atau mencereweti
pakaian-pakaian baru yang dibelinya, dan dia tampaknya senang saat Snow
meminta nasihat padanya. Mereka sangat serasi. Kadang-kadang dia hampir lupa
Plinth berasal dari distrik. Hampir.
Malam ini seharusnya ulang tahun Sejanus yang kesembilan belas, dan mereka
berkumpul makan malam bersama untuk mengenangnya. Snow mengundang
Festus dan Lysistrata untuk datang bergabung, karena mereka paling menyukai
Sejanus dibandingkan teman-teman lainnya dan mereka bisa mengucapkan hal-
hal baik tentang Sejanus. Dia berencana menyerahkan kotak dari loker Sejanus
desyrindah.blogspot.com
kepada keluarga Plinth sebagai hadiah, tapi ada satu hal yang perlu dia lakukan
lebih dulu.
Udara segar dalam perjalanannya ke Akademi membuat pikirannya makin
jernih. Dia tidak mau membuat janji, dan lebih memilih untuk datang langsung.
Para siswa sudah bubar satu jam lalu, dan langkah kakinya bergema di lorong.
Meja sekretaris Dekan Highbo om kosong, jadi dia langsung ke kantor sang
dekan dan mengetuk pintunya. Dekan Highbo om menyuruhnya masuk. Kondisi
sang dekan terlihat memburuk, karena berat badannya turun dan tubuhnya
gemetar, dia terduduk lemas di kursinya.
“Wah, dalam rangka apa aku mendapat kehormatan ini?” tanyanya.
“Aku berharap bisa mengambil kotak bedak ibuku, karena Anda juga tidak
membutuhkannya lagi,” kata Snow.
Dekan Highbo om membuka laci dan menaruh kotak bedak itu di meja. “Itu
saja?”
“Tidak.” Dia mengeluarkan kotak Sejanus dari tas. “Aku akan mengembalikan
barang-barang pribadi Sejanus pada orangtuanya malam ini. Aku tidak tahu apa
yang harus kuperbuat dengan ini.” Dia mengeluarkan isi kotak tersebut,
meletakkannya di meja, dan mengambil ijazah yang dibingkai. “Menurutku, Anda
tidak ingin ijazah ini tersebar. Ijazah Akademi. Diberikan kepada pengkhianat.”
“Kau sangat bertanggung jawab,” kata Dekan Highbo om.
“Berkat latihan sebagai Penjaga Perdamaian.” Snow melepas bagian belakang
bingkai dan mengeluarkan lembar ijazah tersebut. Kemudian, seolah karena
dorongan hati, dia menggantinya dengan foto keluarga Plinth. “Kupikir
orangtuanya lebih suka seperti ini.” Mereka berdua memandang sisa-sisa
kehidupan Sejanus. Kemudian dia membuang tiga botol obat ke tempat sampah
sang dekan. “Semakin sedikit kenangan buruk, semakin baik.”
Dekan Highbo om memandangnya. “Jadi, kau bersimpati pada distrik-distrik?”
“Bukan pada distrik. Pada Hunger Games,” Snow mengoreksinya. “Aku harus
desyrindah.blogspot.com
“Karena kita menganggap anak-anak sebagai makhluk yang polos tanpa dosa.
Namun, jika yang polos pun bisa menjadi pembunuh di Hunger Games, apa
kesimpulannya? Bahwa pada dasarnya sifat dasar manusia adalah kejam,” Snow
menjelaskan.
“Menghancurkan diri sendiri,” gumam Dekan Highbo om.
Snow teringat pernyataan Pluribus tentang pertengkaran ayahnya dengan Dekan
Highbo om dan mengutip suratnya. “Seperti laron terbang menuju cahaya.” Mata
sang dekan menyipit, tapi Snow hanya tersenyum dan berkata, “Tentunya, Anda
hanya mengujiku. Anda lebih mengenal Dr. Gaul dibanding aku.”
“Aku tidak yakin.” Jari Dekan Highbo om menyusuri bunga mawar di kotak
bedak perak. “Apa katanya saat kau bilang padanya bahwa kau akan pergi?”
“Dr. Gaul?” tanya Snow.
“Burung penyanyimu,” kata sang dekan. “Saat kau meninggalkan Dua Belas.
Apakah dia sedih melihatmu pergi?”
“Yah, kami berdua sama-sama agak sedih.” Snow mengantongi kotak bedak itu
dan memasukkan barang-barang Sejanus ke kotak. “Aku pamit dulu. Kami
menunggu kiriman perabot baru untuk ruang tamu, dan aku berjanji pada
sepupuku untuk mengawasi pindahannya.”
“Silakan,” kata Dekan Higbo om. “Pulanglah ke griya tawangmu.”
Snow tidak mau membicarakan Lucy Gray dengan siapa pun, terutama dengan
Dekan Highbo om. Smiley sudah mengiriminya surat ke alamat Plinth,
memberitahunya bahwa Lucy Gray menghilang. Semua orang beranggapan Wali
Kota membunuhnya, tapi mereka tidak bisa membuktikannya. Komandan baru
menggantikan Ho , dan keputusan pertamanya adalah melarang pertunjukan di
Hob, karena musik menimbulkan masalah.
Ya, pikir Snow. Jelas.
Nasib Lucy Gray masih misteri, sama seperti nasib gadis kecil di lagu aneh itu.
desyrindah.blogspot.com
Apakah dia masih hidup, mati, atau jadi hantu yang gentayangan di hutan?
Mungkin takkan ada yang tahu. Tak penting lagi salju telah menghancurkan
mereka. Lucy Gray yang malang. Hantu gadis malang yang bernyanyi dengan
burung-burungnya.
Apakah kau
Akan datang ke pohon
Tempat aku menyuruhmu lari, agar kita bisa bebas.
Gadis itu bisa berkeliaran di Distrik 12 semaunya, tapi dia dan mockingjay
takkan pernah menyakiti Snow lagi.
Kadang-kadang dia mengingat momen manis kebersamaan mereka dan nyaris
berharap hubungan mereka berakhir berbeda. Tapi, hubungan mereka takkan
berhasil, meskipun dia tetap di Dua Belas. Mereka terlalu berbeda. Dan dia tidak
menyukai cinta, karena perasaan itu membuatnya bodoh dan rapuh. Kalau pun
dia memutuskan menikah, dia akan memilih seseorang yang takkan menggugah
hatinya. Seseorang yang dia benci, agar orang itu tidak bisa memanipulasinya
sebagaimana yang dilakukan Lucy Gray padanya. Tak pernah membuatnya merasa
cemburu. Atau lemah. Livia Cardew pilihan sempurna. Dia membayangkan
mereka berdua, sebagai presiden dan istri presiden, mengawasi keberlangsungan
Hunger Games beberapa tahun dari sekarang. Dia akan melanjutkan Hunger
Games, tentu saja, saat memimpin Panem. Orang-orang akan menganggapnya
tiran, bertangan besi, dan kejam. Tapi setidaknya dia akan memastikan mereka
bertahan hidup, memberi mereka kesempatan untuk berkembang. Apa lagi yang
bisa diharapkan kemanusiaan? Seharusnya mereka berterima kasih padanya.
Dia melewati kelab malam Pluribus dan tersenyum. Orang bisa membeli racun
tikus di banyak tempat, tapi diam-diam dia mengambil sedikit demi sedikit dari
gang belakang minggu lalu dan membawanya pulang. Tidak mudah memasukkan
racun tikus ke dalam botol mor n, apalagi mengenakan sarung tangan, tapi akhir-
nya dia berhasil memasukkan cukup banyak dosis mematikan ke dalam botol. Dia
desyrindah.blogspot.com
TAMAT
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com