Anda di halaman 1dari 549

desyrindah.blogspot.

com
desyrindah.blogspot.com
THE BALLAD OF SONGBIRDS AND SNAKES

by Suzanne Collins

Copyright © 2020 by Suzanne Collins

Cover art by Tim O’Brien ©2020 Scholastic Inc.

All rights reserved

BALADA BURUNG PENYANYI DAN ULAR

oleh Suzanne Collins

621164002

Hak cipta terjemahan Indonesia:

Penerbit Gramedia Pustaka Utama

Alih bahasa: Hetih Rusli

Penyunting: Raya Fitrah

Penyelaras aksara: Karina Anjani

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit Gramedia Pustaka Utama,

anggota I PI,

Jakarta, 2021
desyrindah.blogspot.com

www.gpu.id
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 9786020650944

ISBN Digital: 9786020650951

656 hlm; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan


desyrindah.blogspot.com
Contents
1. BAGIAN I “SANG MENTOR”
1. 1
2. 2
3. 3
4. 4
5. 5
6. 6
7. 7
8. 8
9. 9
10. 10
2. BAGIAN II “HADIAH”
1. 11
2. 12
3. 13
4. 14
5. 15
6. 16
7. 17
8. 18
9. 19
10. 20
3. BAGIAN III “SANG PENJAGA PERDAMAIAN”
1. 21
2. 22
desyrindah.blogspot.com

3. 23
4. 24
5. 25
6. 26
7. 27
8. 28
9. 29
10. 30
4. Epilog

Landmarks
1. Cover
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com

BAGIAN I
“SANG MENTOR”
1

Coriolanus mencemplungkan segenggam kubis ke panci berisi air mendidih dan


bersumpah akan ada hari ia takkan makan sayuran itu lagi. Tapi bukan hari ini. Ia
butuh menyantap semangkuk besar makanan berwarna pucat itu dan meminum
kuahnya sampai tetes terakhir, agar perutnya tidak keroncongan selama upacara
pemungutan. Ini salah satu tindakan yang dilakukan Coriolanus untuk berjaga-
jaga dan menutupi kenyataan tentang keluarganya, yang meskipun tinggal di
gedung apartemen paling mewah, sama miskinnya dengan gembel yang tinggal di
distrik. Pada usia delapan belas tahun, keturunan keluarga Snow yang dulunya
merupakan keluarga terpandang, kini hanya bisa mengandalkan akalnya untuk
bertahan hidup.
Kemeja yang akan dipakainya untuk hari pemungutan membuatnya kuatir. Ia
punya celana panjang berwarna gelap yang dibelinya di pasar gelap tahun lalu, tapi
kemejalah yang diperhatikan orang-orang. Untungnya, Akademi menyediakan
seragam untuk dipakai sehari-hari. Namun, untuk upacara hari ini, para siswa
diperintahkan mengenakan pakaian modis yang tetap menunjukkan kekhidmatan
acara tersebut. Selama ini, kepiawaian sepupunya dalam urusan menjahitlah yang
menyelamatkannya. Hanya saja, Coriolanus tak bisa selalu mengharapkan adanya
mukjizat.
Kemeja yang mereka temukan di bagian belakang lemari pakaian adalah milik
ayahnya pada masa jaya mereka. Kemeja yang kini sudah menguning dan bernoda,
sebagian kancingnya hilang, bahkan ada bekas sundutan rokok di bagian
desyrindah.blogspot.com

pergelangan tangannya. Baju itu terlalu jelek dan tak akan laku dijual pada masa
sulit sekarang. Masa ia harus mengenakannya pada hari pemungutan? Subuh tadi
ia sudah ke kamar sepupunya, tapi sang sepupu dan kemeja itu tak ada di kamar.
Ini bukan pertanda bagus. Apakah Tigris sudah menyerah memperbaiki kemeja
tua itu lalu memberanikan diri ke pasar gelap? Mungkin hanya itu usaha terakhir
untuk menemukan pakaian layak untuknya. Apa benda berharga yang dimiliki
Tigris yang bisa ditukar dengan pakaian? Hanya satu. Tubuhnya. Dan keluarga
Snow belum jatuh hingga serendah itu. Atau jangan-jangan memang sudah jatuh
serendah itu, pikir Coriolanus sembari menggarami kubisnya.
Coriolanus membayangkan orang-orang menawar harga tubuh Tigris. Dengan
tubuh langsing dan hidung mancung, Tigris tidak terlalu cantik, tapi gadis itu
memiliki kelembutan dan kemolekan yang mengundang pelecehan. Dia bisa
mendapat tawaran, jika mau. Membayangkannya saja sudah membuat Coriolanus
muak dan tak berdaya, hingga merasa jijik pada diri sendiri.
Dari ruangan lain apartemen mereka, ia mendengar lagu kebangsaan Capitol,
“Permata Panem” berkumandang. Suara sopran neneknya ikut bernyanyi, bergema
di seluruh penjuru apartemen.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Seperti biasa, suara neneknya sumbang dan ketinggalan tempo. Pada tahun
pertama perang, saat usia Coriolanus lima tahun dan Tigris berusia delapan tahun,
neneknya hanya memutar lagu kebangsaan setiap hari raya nasional untuk
membangun rasa patriotisme mereka. Pemutaran lagu setiap hari dimulai pada
hari kelam itu, ketika para pemberontak dari distrik-distrik mengepung Capitol,
dan memutus jalur pasokan makanan mereka selama sisa dua tahun masa perang.
“Ingat, anak-anak,” katanya, “kita memang terkepung. Tapi, kita tidak menyerah!”
desyrindah.blogspot.com

Lalu neneknya menyanyikan lagu kebangsaan dengan lantang ke luar jendela griya
tawang saat bom menghujani kota. Baginya itu semacam tindakan perlawanan.
Dengan takzim kami bersujud
Pada teladanmu,
Lalu sampailah pada nada yang tak pernah bisa dicapainya…
Dan membaktikan cinta kami padamu!
Coriolanus mengernyit. Sudah sepuluh tahun para pemberontak itu senyap, tapi
neneknya tidak kenal diam. Masih ada dua bait lagi.
Permata Panem,
Jiwa keadilan,
Kebijaksanaan memahkotai rona pualammu.
Dia bertanya-tanya, apakah sebagian suara neneknya bisa teredam jika ada lebih
banyak perabot di apartemen? Tapi, pertanyaan itu teori belaka. Saat ini
apartemen mereka adalah mikrokosmos Capitol, karut-marut dengan bekas
serangan pemberontak yang tak kenal lelah. Dinding apartemen setinggi enam
meter dihiasi retakan. Plafonnya bopeng dengan lubang-lubang di plesternya.
Selotip hitam jelek merekatkan kaca jendela melengkung yang pecah, jendela yang
menghadap ke pemandangan kota. Sepanjang masa perang dan sepuluh tahun
berikutnya, keluarga mereka terpaksa menjual atau melakukan barter atas barang-
barang tersisa, hingga beberapa ruangan pun kosong melompong dan ditutup,
sementara ruangan lain hanya ada perabotan seperlunya. Parahnya lagi, pada
musim dingin yang menggigit saat pengepungan terakhir, ukiran-ukiran kayu dan
berjilid-jilid buku harus dikorbankan untuk dilahap api agar keluarganya tidak
mati kedinginan. Melihat buku-buku bergambar yang berwarna-warni yang dulu
dibacakan oleh ibunya hancur jadi abu selalu membuatnya menangis. Tetapi,
lebih baik sedih daripada mati.
desyrindah.blogspot.com

Setelah mengunjungi apartemen teman-temannya, Coriolanus tahu bahwa


kebanyakan keluarga sudah mulai memperbaiki rumah mereka, tapi keluarga
Snow bahkan tidak sanggup membeli semeter kain atau kemeja baru. Dia
membayangkan teman-teman sekelasnya mengacak-acak isi lemari pakaian
mereka atau mengenakan pakaian yang baru dijahit, dan penasaran berapa lama
dia bisa berpura-pura seperti ini.
Kau beri kami cahaya.
Kau menyatukan kembali.
Padamu kami berjanji.
Kalau kemeja yang sudah diperbaiki Tigris tak bisa dipakai, apa yang harus ia
lakukan? Pura-pura kena u dan mengaku sakit? Payah. Melangkah maju dengan
mengenakan seragam? Tidak sopan. Mengenakan kemeja merah berkancing yang
dipakainya tahun lalu dan sekarang sudah kekecilan? Jembel. Pilihan mana yang
bisa diterima? Tak ada satu pun.
Mungkin Tigris pergi minta tolong bosnya, Fabricia Whatnot, wanita yang
sekonyol namanya tapi sangat bakat merancang busana. Mau tren seperti bulu
atau kulit, bahan murahan atau mewah, Fabricia punya cara untuk memadukannya
dengan harga yang murah. Tigris tidak suka sekolah dan tidak meneruskan kuliah
setelah lulus dari Akademi demi mengejar impiannya sebagai desainer. Dia seha-
rusnya magang, tapi Fabricia lebih tepat dibilang memperbudaknya dengan
menyuruhnya memijat kaki bahkan membersihkan gumpalan rambut panjang
magenta dari saluran air. Tapi, Tigris tak pernah mengeluh dan tak mendapat
kritik dari bosnya. Dia malah merasa senang dan bersyukur karena mendapat
tempat dalam dunia fashion.
Permata Panem,
Tampuk kekuasaan,
Kekuatan di masa damai, pelindung dalam perselisihan.
Coriolanus membuka kulkas, berharap menemukan bumbu atau sesuatu yang
desyrindah.blogspot.com

bisa menambah rasa sup kubisnya. Satu-satunya yang ada di kulkas adalah panci
logam. Saat dia membuka tutup panci, ada seonggok kentang kental yang
tampaknya sudah basi. Apakah neneknya melaksanakan ancamannya untuk
belajar memasak? Apakah onggokan itu masih bisa dimakan? Dia menutup
kembali panci dan membiarkannya, sampai dia tahu mesti diapakan benda itu. Be-
tapa mewah hidupnya jika bisa membuang benda itu ke tempat sampah tanpa
perlu pikir panjang. Dan apa yang dibuangnya akan jadi sampah yang mewah. Dia
ingat, atau samar-samar mengingat, ketika dia masih kecil melihat truk-truk
sampah yang dikemudikan para Avox pekerja yang tak punya lidah adalah
pekerja terbaik, demikian kata neneknya sibuk menyusuri jalan, mengambil
kantong-kantong sampah besar berisi sisa makanan, kotak-kotak pembungkus,
barang-barang rumah tangga yang sudah tak terpakai lagi. Kemudian tiba di suatu
masa ketika tak ada yang bisa dibuang. Tak ada lagi makanan yang tersia-sia, tak
ada barang yang bisa dipertukarkan atau dibakar demi kehangatan, atau disumpal
ke dinding untuk sekat. Semua orang belajar untuk membenci sampah. Namun,
sampah kembali lagi menjadi pakaian. Kemeja layak pakai menjadi tanda
kemakmuran.
Lindungi tanah kami
Dengan tangan besi,
Kemeja. Kemejanya. Pikiran Coriolanus bisa terpusat pada satu masalah seperti
itu masalah apa saja dan tak mau enyah. Seakan dengan menguasai dan
mengendalikan satu bagian dari dunianya akan menyelamatkannya dari kegagalan.
Ini kebiasaan buruk yang membutakannya dari hal-hal lain yang dapat
mencelakainya. Kecenderungan terobsesi pada sesuatu sudah jadi bawaan dalam
otaknya dan kemungkinan besar akan jadi penyebab kehancurannya jika dia tidak
belajar mengakalinya.
Suara neneknya memekik pada kresendo terakhir.
desyrindah.blogspot.com

Capitol kami, hidup kami!


Wanita tua sinting itu masih melekat erat pada masa sebelum perang.
Coriolanus menyayangi neneknya, tapi wanita itu sudah tidak waras sejak
beberapa tahun lalu. Setiap kali sedang makan, neneknya mengoceh tentang
kebesaran keluarga Snow yang melegenda, bahkan ketika yang mereka santap
hanya sup kacang merah yang kebanyakan air dan biskuit apak.  Dan mendengar
caranya bercerita, seakan masa depan Coriolanus sudah ditetapkan bakal
gemilang. “Saat Coriolanus jadi presiden…” demikian yang sering diucapkan ne-
neknya. “Saat Coriolanus jadi presiden… mulai dari angkatan udara Capitol yang
bobrok sampai harga daging yang setinggi langit, semuanya akan diperbaiki.”
Untunglah elevator rusak dan lutut neneknya yang rematik membuatnya tak bisa
ke luar apartemen, dan tamu yang mengunjunginya sama tuanya dengan sang
nenek.
Sup kubisnya mulai mendidih. Uapnya memenuhi dapur dengan aroma
kemiskinan. Coriolanus menusuk kubisnya dengan sendok kayu. Belum ada
tanda-tanda keberadaan Tigris. Sebentar lagi tak ada waktu baginya untuk
menelepon dan mencari alasan. Semua orang bakal berkumpul di Heavensbee
Hall di Akademi. Dia harus menghadapi kemarahan dan kekecewaan profesor
komunikasinya,
Satyria Click, yang sudah mendukungnya untuk mendapatkan salah satu dari 24
lowongan mentor Hunger Games yang diincar banyak orang. Selain sebagai murid
kesayangan Satyria, Coriolanus adalah asisten pengajar sang profesor, dan pasti
Satyria membutuhkan kehadirannya hari ini. Wanita itu tidak bisa ditebak,
terutama sehabis
minum-minum, dan itu yang biasa dilakukannya pada hari pemungutan.
Sebaiknya dia menelepon dan memberitahu Satyria bahwa dia muntah-muntah
atau sakit apalah dan sedang berusaha memulihkan diri. Dia menguatkan diri dan
bersiap mengangkat telepon untuk pura-pura sakit parah. Mendadak terlintas
desyrindah.blogspot.com

dalam pikirannya: jika dia tidak muncul, apakah posisinya sebagai mentor akan di-
gantikan orang lain? Kalau itu terjadi, apakah kesempatannya mendapat salah satu
penghargaan dari Akademi saat lulus nanti akan semakin berkurang? Tanpa
penghargaan itu, dia takkan sanggup masuk kuliah.
Artinya tak ada karier, tak ada masa depan. Dia tidak rela jika semua itu lenyap,
dan apa yang bakal menimpa keluarganya, dan
Pintu depan yang sudah bobrok dan miring tiba-tiba terbuka lebar.
“Coryo!” Tigris berseru, dan Coriolanus langsung meletakkan teleponnya.
Nama panggilan yang diberikan Tigris padanya sejak lahir tetap melekat sampai
dewasa. Dia langsung berlari dari dapur, hingga nyaris menabrak Tigris, tapi gadis
itu terlalu girang untuk memarahinya.
“Aku berhasil! Aku berhasil! Yah, aku berhasil melakukan sesuatu.” Tigris
melonjak-lonjak sembari mengangkat gantungan baju yang terbungkus kantong
pakaian. “Lihat, lihat, lihat!”
Coriolanus membuka kantong pakaian itu dan melepaskannya.Kemeja itu bagus
sekali. Bukan cuma bagus, tapi berkelas. Kain kemeja yang tebal itu tidak lagi
berwarna putih seperti semula atau ber warna kuning usang, tapi putih kekuningan
yang indah.  Manset dan kerahnya diganti beledu ungu, dan kancing-kancingnya
berbentuk persegi berwarna emas dan hitam. Terbuat dari tessera. Masing-masing
kancing persegi itu memiliki dua lubang kecil untuk benang.
“Kau brilian,” puji Coriolanus dengan tulus. “Dan sepupu terbaik di dunia.” Dia
memegang kemejanya dengan hati-hati agar tidak rusak, lantas memeluk Tigris
dengan tangannya yang bebas. “Snow juaranya!”
“Snow juaranya!” seru Tigris bersemangat. Itu adalah ucapan mereka agar bisa
melewati perang, saat mereka harus berjuang tanpa henti agar tidak terperosok
makin dalam.
“Ceritakan padaku semuanya,” kata Coriolanus, tahu bahwa gadis itu mau
menceritakannya. Tigris senang sekali bicara tentang pakaian.
desyrindah.blogspot.com

Tigris mengangkat kedua tangannya dan mengembuskan tawa. “Mulai dari


mana ya?”
Dia mulai bercerita tentang pemutih. Tigris bilang gorden putih di kamar tidur
Fabricia terlihat kotor dan dia merendam gorden tersebut dalam cairan pemutih,
sekalian dengan kemeja itu. Usahanya lumayan berhasil, tapi setelah sekian lama
direndam noda di kemeja itu tak kunjung hilang. Jadi dia merebus kemeja itu
dengan bunga-bunga marigold yang dipungutnya dari tempat sampah tetangga
Fabricia. Ternyata warna yang dihasilkan celupan bunga itu bisa menutupi noda-
noda kuning di kemeja. Beledu untuk manset berasal dari kantong serut tempat
penyimpanan plaket kakeknya yang kini sudah tidak berguna. Tessera itu
dicongkelnya dari interior lemari di kamar mandi pembantu. Dia meminta
petugas pemeliharaan gedung untuk membuatkan lubang kancing dengan bor,
dan sebagai gantinya Tigris memperbaiki baju kerja pria itu.
“Kau melakukannya pagi ini?” tanya Coriolanus.
“Oh, tidak. Kemarin. Hari Minggu. Pagi ini, aku Kau lihat kentang yang sudah
kumasak?”
Coriolanus mengikuti Tigris yang berjalan ke dapur lantas membuka kulkas dan
mengeluarkan panci logam. “Aku begadang membuat kanji kentang. Lalu aku ke
Doli les’ supaya kemeja ini bisa disetrika. Kusimpan sisa kentangnya buat sup!”
Tigris menuang gumpalan kentang itu ke panci sup kubis yang tengah mendidih
lalu mengaduknya.
Coriolanus memperhatikan lingkaran gelap di bawah mata cokelat keemasan
sepupunya dan merasa bersalah. “Kapan terakhir kau tidur?” tanyanya.
“Oh, aku baik-baik saja kok. Aku makan kulit kentangnya. Kata orang, kulit
kentang mengandung banyak vitamin. Dan hari ini hari pemungutan, jadi bisa
dibilang hari ini libur!” kata Tigris riang.
“Tapi tempat Fabricia tidak libur,” kata Coriolanus. Sesungguhnya, tak ada libur
hari ini. Hari pemungutan adalah hari yang menakutkan di distrik-distrik, tapi
desyrindah.blogspot.com

bukan merupakan hari perayaan juga di Capitol. Seperti Coriolanus, banyak orang
tidak mau mengingat tentang perang. Tigris akan menghabiskan hari ini dengan
memijat tangan dan kaki bosnya. Sementara, beraneka ragam tamu akan datang
lalu saling bertukar cerita suram tentang kehilangan yang mereka alami selama
masa pengepungan. Mereka juga akan minum sampai mabuk berat. Besok bakal
lebih berat lagi, Tigris harus mengurus mereka yang sakit kepala dan mual sehabis
mabuk.
“Jangan banyak kuatir. Lebih baik kau bergegas dan makan!” Tigris
menyendokkan sup ke mangkuk dan menaruhnya di meja.
Coriolanus melirik jam sambil menggelogok sup tanpa memikirkan rasa panas
yang membakar lidahnya, lalu berlari ke kamar menenteng kemeja itu. Dia sudah
mandi dan bercukur. Untunglah, kulitnya yang putih bersih sedang tanpa noda
hari ini. Pakaian dalam dan kaus kaki hitam dari sekolah juga bersih. Dia
mengenakan celananya, yang terlihat bagus, dan mengenakan sepatu bot bertali.
Sepatunya kekecilan, tapi dia masih bisa tahan.
Dengan hati-hati dia mengenakan kemejanya lalu menyelipkan ujung kemeja ke
dalam celana. Coriolanus menatap dirinya di cermin. Tubuhnya tidak terlalu
jangkung. Seperti kebanyakan anak di generasinya, gizi buruk membuat
pertumbuhan siknya terhambat. Tetapi, tubuhnya ramping atletis dengan postur
yang tegap. Kemeja yang dia kenakan menonjolkan bagian-bagian terbaik siknya.
Semasa kanak-kanak, neneknya memamerkan dirinya sembari berjalan-jalan
dengan jas beledu ungu. Saat itu, dia merasa seperti bangsawan. Itu yang
dirasakannya sekarang. Dia menyugar rambut ikal pirangnya sembari mengejek
bayangannya di cermin, “Salam hormat pada Coriolanus Snow, calon presiden
Panem.”
Demi menyenangkan Tigris, dia berjalan masuk ke ruang tamu dengan penuh
gaya. Coriolanus merentangkan kedua tangan dan memutar tubuhnya untuk
memamerkan kemeja itu.
desyrindah.blogspot.com

Tigris menjerit senang dan bertepuk tangan. “Kau tampak memukau! Sangat
tampan dan modis! Grandma’am, sini lihat!” Grandma’am adalah nama panggilan
dari Tigris sewaktu dia masih kecil. Dia merasa panggilan “Grandma” dan “Nana”
tak cukup untuk memanggil seseorang sepriayi neneknya.
Neneknya datang, menangkup mawar merah yang baru dipotong dengan kedua
tangannya yang gemetar. Dia mengenakan tunik panjang dan longgar berwarna
hitam, jenis pakaian yang populer sebelum perang. Sekarang sudah ketinggalan
zaman dan jadi bahan tertawaan. Alas kakinya berupa sepasang sandal berbordir
yang ujungnya melengkung, jenis sandal yang sekarang jadi bagian kostum
pertunjukan. Helai-helai uban tipis menyelat dari turban beledu usang yang
membungkus kepalanya. Ini adalah sisa-sisa pakaian yang dulunya mewah
beberapa barang layak pakai yang dia simpan untuk dikenakan saat menerima
tamu atau saat langka ketika dadakan hendak ke kota.
“Sini, sini, Nak. Pakai ini. Masih segar baru dipetik dari taman di atap,” kata
neneknya.
Coriolanus mengulurkan tangan mengambil bunga mawar itu, tapi duri mawar
menusuk telapak tangannya. Darah mengalir dari lukanya, dan dia mengangkat
telapak tangannya agar tidak menodai kemejanya yang berharga. Neneknya
tampak bingung.
“Aku cuma mau kau terlihat elegan,” kata neneknya.
“Tentu saja, Grandma’am,” ujar Tigris. “Dan dia akan terlihat elegan.”
Saat Tigris menariknya ke dapur, Coriolanus berpikir bahwa pengendalian diri
adalah ilmu yang penting. Dan dia seharusnya bersyukur, neneknya memberi
kesempatan padanya untuk berlatih setiap hari.
  “Darah dari luka tusuk biasanya cepat berhenti,” kata Tigris sembari
membersihkan luka dan membalut tangan Coriolanus dengan perban. Dia
mengambil bunga mawar itu dan mempertahankan satu-dua helai daun hijau, lalu
menyematkannya ke kemeja
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus. “Memang jadi terlihat elegan. Kau kan tahu betapa berharga bunga
mawar buat dia. Berterima kasihlah padanya.”
Dan Coriolanus berterima kasih pada neneknya. Dia berterima kasih pada
keduanya, lalu berlari ke luar pintu, menuruni dua belas lantai dengan tangga
berornamen menuju lobi. Berlari menuju Capitol.
Pintu depan apartemennya membentang ke arah Corso, jalan raya yang sangat
lebar. Saking lebarnya, sampai-sampai delapan kereta kuda bisa berderet bersisian
ketika dahulu Capitol memamerkan pasukan militernya kepada khalayak ramai.
Coriolanus masih ingat semasa kecil ketika dia berdiri di dekat jendela
apartemennya, para tamu pesta membual bahwa mereka duduk paling depan saat
menonton parade. Kemudian datanglah bom-bom itu, dan sekian lama jalan
depan apartemennya tak bisa dilewati. Sekarang, meskipun jalanan sudah bersih
dari reruntuhan, puing-puing masih menumpuk di trotoar. Gedung-gedung masih
rusak. Kondisinya masih sama seperti ketika usai dihajar bom.
Sepuluh tahun setelah kemenangan Capitol, Coriolanus masih saja harus
menghindari bongkahan besar marmer dan batu granit dalam perjalanannya ke
Akademi. Kadang-kadang dia penasaran, apakah puing-puing itu sengaja
dibiarkan di sana untuk mengingatkan para penduduk apa yang telah mereka
alami. Manusia memiliki ingatan yang pendek. Mereka perlu berjalan di antara
puing, merobek kupon ransum makan yang dekil, dan menyaksikan
Hunger Games agar ingatan tentang perang tak pernah hilang dari otak mereka.
Melupakan bisa membuat manusia puas diri, dan
akhirnya mereka akan kembali ke awal masa.
Saat berbelok ke Scholars Road, Coriolanus berusaha mengatur langkahnya. Dia
ingin tiba tepat waktu, tapi dalam keadaan tenang dan santai, bukan acak-acakan
dan berkeringat. Seperti yang sudah-sudah, hari pemungutan ini adalah hari yang
panas. Memangnya cuaca macam apa yang bisa diharapkan pada tanggal 4 Juli di
musim panas? Dia bersyukur karena wangi yang menguar dari bunga mawar ne-
desyrindah.blogspot.com

neknya, sementara kemejanya yang mulai basah menguarkan aroma samar


kentang dan bunga marigold.
Sebagai sekolah menengah terbaik di Capitol, anak-anak yang bersekolah di
Akademi adalah keturunan orang terpandang, kaya, dan berpengaruh. Dengan
lebih dari empat ratus siswa di setiap kelas, Tigris dan Coriolanus bisa diterima
dengan mudah berkat sejarah panjang keluarga mereka dengan Akademi. Tidak
seperti di Universitas, sekolah ini bebas uang sekolah. Para siswa juga mendapat
makan siang, seragam, dan peralatan sekolah. Orang yang memiliki koneksi dan
elitis bersekolah di Akademi, dan Coriolanus butuh koneksi-koneksi itu sebagai
landasan masa depannya.
Tangga utama menuju Akademi bisa memuat seluruh siswa, sehingga bisa
dengan mudah mengakomodasi alur keluar-masuk para pejabat, profesor, dan
siswa yang menuju perayaan hari pemungutan. Coriolanus menaiki tangga
perlahan-lahan, berusaha menjaga gengsi seandainya ada orang yang melihatnya.
Orang-orang mengenalnya paling tidak, mereka kenal orangtua dan kakek-ne-
neknya dan ada standar tertentu yang diharapkan dari seorang Snow. Tahun ini,
dimulai tepat hari ini, dia berharap bisa memiliki reputasi sendiri. Menjadi mentor
di Hunger Games adalah proyek akhirnya sebelum lulus dari Akademi pada
pertengahan musim panas. Jika dia bisa menunjukkan penampilan yang
mengesankan sebagai mentor serta prestasi akademis yang menonjol, Coriolanus
akan mendapat hadiah uang yang cukup untuk membiayai sekolahnya di
Universitas.
Akan ada dua puluh empat peserta dari dua belas distrik yang kalah. Satu anak
lelaki dan satu anak perempuan dari setiap distrik yang ditentukan berdasarkan
undian. Setiap peserta akan masuk ke arena untuk bertarung sampai mati di
Hunger Games. Semua sudah dijelaskan dalam Perjanjian Pengkhianat yang
mengakhiri Masa Kegelapan dari pemberontakan distrik-distrik. Acara ini
merupakan satu dari sekian banyak hukuman yang dijatuhkan pada para
desyrindah.blogspot.com

pemberontak. Dahulu, para peserta dibuang ke Arena Capitol yang pada masa
sebelum perang digunakan sebagai tempat hiburan dan olahraga, dan kini hanya
berupa ruang terbuka yang bobrok. Mereka diberi senjata untuk saling
membunuh di Arena.  Para penduduk di Capitol diharapkan menonton, meskipun
banyak orang yang memilih untuk menghindarinya. Tantangannya adalah
bagaimana membuat
Hunger Games lebih menarik perhatian penonton.
Dengan harapan ini, untuk pertama kalinya para peserta didampingi mentor.
Dua puluh empat siswa senior terbaik dan terpandai dari Akademi akan
melaksanakan tugas tersebut. Pokok-pokok peran mentor ini masih disusun. Ada
omongan tentang tugas mentor adalah menyiapkan masing-masing peserta untuk
wawancara, mungkin mendandani mereka agar tampil menarik di depan kamera.
Semua orang sependapat, jika Hunger Games mau dilanjutkan, mereka perlu
membuat sesuatu yang menghasilkan pengalaman berarti. Memasangkan peserta
dari distrik dengan anak muda Capitol diharapkan akan membuat penonton
penasaran.
Coriolanus berjalan melewati hiasan spanduk hitam, melintasi lorong berkubah,
dan memasuki Heavensbee Hall yang luas. Di sanalah mereka akan menonton 
siaran upacara pemungutan. Dia belum terlambat, tapi aula itu sudah dipenuhi
para pengajar dan siswa serta sejumlah pejabat yang menangani Hunger Games
yang tak perlu hadir pada siaran langsung hari pembukaan.
Para Avox hilir mudik di antara kerumunan dengan nampan berisi posca, wine
yang dicampur madu dan rempah-rempah. Versi memabukkan dari minuman
asam yang diminum penduduk Capitol semasa perang, yang konon bisa
mencegah penyakit. Coriolanus mengambil secawan posca dan menyesapnya
sedikit sambil agak dikumur, berharap bisa menghilangkan bau kubis dari
napasnya. Dia hanya menelan seteguk minuman itu. Posca minuman yang keras,
dan dia pernah melihat orang-orang kaya yang berbuat konyol karena kebanyakan
desyrindah.blogspot.com

minum.
Dunia ini masih menganggap Coriolanus bergelimang kekayaan. Namun,
kekayaan yang sesungguhnya masih dimiliki Coriolanus adalah pesona, yang
dihamburkannya saat melintasi kerumunan orang. Dia bisa melihat wajah-wajah
yang berbinar ketika dia menyapa para siswa dan guru, menanyakan kabar anggota
keluarga mereka, sambil memberi pujian di sana-sini.
“Saya masih terngiang-ngiang ceramah Anda tentang pembalasan distrik.”
“Aku suka ponimu!”
“Bagaimana operasi punggung ibumu? Bilang pada ibumu, dia pahlawanku.”
Dia terus berjalan melewati ratusan kursi empuk yang ditata khusus untuk acara
ini dan melangkah ke mimbar. Di sana, Satyria sedang menghibur para profesor
Akademi dan pejabat Hunger Games dengan cerita-cerita seru. Meskipun hanya
mendengar kalimat terakhir ”Dan, kubilang, ‘Maaf soal wigmu, tapi kau sendiri
yang memaksa membawa monyet!’” dia ikut tertawa.
“Oh, Coriolanus,” ujar Satyria sembari melambai menyuruhnya mendekat. “Ini
murid kesayanganku.” Coriolanus mencium pipi gurunya dan memperhatikan
bahwa Satyria sudah minum beberapa gelas posca. Wanita itu harus menahan diri
agar tidak terlalu banyak minum, meskipun sebenarnya banyak orang dewasa yang
dikenalnya juga kebanyakan minum. Minum untuk melupakan masalah sudah
menjadi epidemi di kota ini. Namun, Satyria adalah guru yang menyenangkan dan
tak terlalu kaku. Salah satu profesor yang mengizinkan murid-murid menyapanya
dengan nama depan. Satyria mundur selangkah dan memperhatikan Coriolanus.
“Kemeja yang bagus. Di mana kau mendapatkannya?”
Coriolanus melihat kemejanya dengan lagak kaget lalu mengangkat bahu dengan
gaya seolah dia adalah pemuda kaya yang memiliki pilihan tak terbatas.
“Keluarga Snow punya banyak stok di lemari,” katanya dengan gaya tak acuh.
“Aku hanya berusaha tampil sopan tapi terlihat meriah.”
“Dan kau berhasil. Kancing-kancing ini keren, apa ini?” tanya Satyria, sambil
desyrindah.blogspot.com

mengelus salah satu kancing mansetnya. “Tessera?”


“Masa sih? Aku jadi teringat pada kamar mandi pembantu,” jawab Coriolanus,
yang membuat teman-temannya tergelak. Ini adalah kesan yang berusaha
dipertahankannya. Sebagai pengingat bahwa dia adalah salah satu dari segelintir
orang yang memiliki kamar mandi pembantu ditambah lagi dengan ubin
bermotif mozaik sebagai bentuk humor yang mengejek diri sendiri tentang
kemejanya.
Dia mengangguk pada Satyria. “Gaun yang indah. Baru, ya?” Sekali lihat pun
Coriolanus tahu bahwa itu adalah gaun yang sama yang selalu dipakai gurunya
pada upacara pemungutan. Hanya saja bulu-bulu hitamnya selau diganti setiap
tahun. Tapi Satyria sudah memuji kemejanya, sehingga dia perlu membalas
kebaikan wanita itu.
“Gaun ini sengaja disiapkan untuk hari ini,” kata Satyria menyambut pertanyaan
itu. “Perayaan tahun kesepuluh dan kemeriahannya.”
“Elegan,” puji Coriolanus. Setelah dipikir-pikir, mereka memang cocok.
Kegembiraannya lenyap ketika Coriolanus melihat nyonya rumah, Profesor
Agrippina Sickle, yang menggunakan bahunya yang berotot untuk bergerak masuk
menembus kerumunan. Di belakangnya menyusul sang ajudan, Sejanus Plinth,
yang membawa hiasan perisai. Setiap tahun Profesor Sickle berkeras memegang
perisai itu untuk foto bersama. Perisai yang dihadiahkan padanya pada akhir
perang karena berhasil mengatur kelancaran latihan keamanan di Akademi pada
saat pegeboman.
Bukan perisai itu yang menarik perhatian Coriolanus, tapi pakaian Sejanus. Jas
abu-abu tua yang lembut dengan kemeja putih cerah dipadukan dengan dasi
berwarna biru gelap, dirancang sedemikian rupa untuk memperkuat sosoknya
yang jangkung dan kurus. Padu padan pakaian itu terlihat modis, baru, dan mahal.
Perang itu menguntungkan, mungkin tepatnya seperti itu. Ayah Sejanus adalah
pemilik pabrik di Distrik 2 yang merupakan pendukung presiden. Ayahnya
desyrindah.blogspot.com

menghasilkan banyak uang dari pembuatan amunisi perang sehingga dia bisa
memboyong keluarganya tinggal di Capitol. Sekarang, keluarga Plinth menikmati
hak-hak istimewa yang dimiliki keluarga-keluarga ningrat dan kaya raya, yang
memiliki kekuasaan itu selama beberapa generasi. Tak pernah terjadi dalam
sejarah bahwa orang macam Sejanus, anak lelaki yang lahir di distrik, menjadi
siswa Akademi, tapi sumbangan dana ayahnya yang berlimpah membuat sekolah
bisa dibangun lagi setelah perang. Penduduk yang lahir di Capitol akan meminta
gedung baru itu dinamai sesuai nama mereka. Ayah Sejanus hanya meminta anak
lelakinya bisa bersekolah di sana.
Bagi Coriolanus, keluarga Plinth dan orang-orang macam mereka adalah
ancaman bagi semua yang diyakininya. Kehadiran orang-orang kaya baru di
Capitol menggerogoti aturan lama. Ini amat menjengkelkan karena banyak
kekayaan keluarga Snow juga diinvestasikan pada amunisi perang tapi di Distrik
13. Kompleks yang luas, blok demi blok pabrik dan fasilitas riset milik mereka
dibom hingga rata dengan tanah. Distrik 13 sudah dihantam nuklir, dan seluruh
wilayah itu masih belum bisa dihuni karena tingkat radiasi yang tinggi. Pusat
pabrik senjata Capitol dipindahkan ke Distrik 2 dan jatuh ke pangkuan keluarga
Plinth. Ketika kabar bahwa Distrik 13 telah musnah sampai ke Capitol, nenek
Coriolanus menepisnya di depan umum dengan mengatakan bahwa untungnya
mereka masih memiliki banyak aset. Padahal sebenarnya mereka sudah tidak pu-
nya apa-apa.
Sejanus datang ke lapangan sekolah sepuluh tahun lalu. Anak lelaki pemalu dan
sensitif yang mengamati anak-anak lain dengan
hati-hati, dengan sepasang matanya yang cokelat sendu dan tampak terlalu besar
untuk wajahnya yang tegang. Saat tersebar berita bahwa Sejanus berasal dari salah
satu distrik, Coriolanus terdorong untuk bergabung bersama teman-teman
sekelasnya untuk membuat hidup anak baru itu sengsara. Tapi setelah dipikir-pikir
lagi, dia memutuskan mengabaikan anak itu. Anak-anak Capitol lain menganggap
desyrindah.blogspot.com

keputusan Coriolanus tidak menyiksa anak gembel distrik itu karena tidak selevel
dengan stratanya, tapi Sejanus menganggapnya sebagai kebaikan budi. Kedua
anggapan itu tak ada yang tepat, tapi dua-duanya memperkuat kesan bahwa
Coriolanus adalah orang yang berkelas.
Dengan perawakannya yang tangguh, Profesor Sickle berjalan menuju lingkaran
Satyria, membuat bawahan-bawahan Satyria kabur ke segala penjuru. “Selamat
pagi, Profesor Click.”
“Oh, Agrippina, baguslah. Kau ingat perisaimu,” kata Satyria, sambil
menyambut jabat tangan kokoh dari wanita itu. “Aku kuatir anak-anak muda akan
melupakan makna sesungguhnya tentang hari ini. Dan, Sejanus. Tampan sekali
penampilanmu.”
Sejanus berusaha membungkuk memberi hormat, membuat helai-helai
rambutnya yang bandel jatuh mengenai matanya. Perisai yang besar dan berat itu
tersangkut di dadanya.
“Terlalu tampan,” kata Profesor Sickle. “Kukatakan padanya, kalau aku mau
merak yang banyak lagak, aku akan menghubungi toko hewan peliharaan. Mereka
semua seharusnya pakai seragam saja.” Dia memandang Coriolanus.
“Penampilanmu lumayan. Itu kemeja lama ayahmu?”
Oya? Coriolanus sama sekali tidak tahu. Samar-samar kenangan ayahnya
memakai jas malam yang menawan lengkap dengan medali kebesaran terlintas
dalam benaknya. Dia memutuskan mengikuti alur percakapan itu. “Terima kasih
atas perhatiannya, Profesor. Aku memermaknya supaya tidak memberi kesan aku
yang berperang. Tapi, aku ingin ayahku berada di sini bersamaku hari ini.”
“Sudah layak dan sepantasnya,” kata Profesor Sickle. Lalu dia mengalihkan
perhatiannya pada Satyria dan mengutarakan pendapatnya tentang diturunkannya
Penjaga Perdamaian, tentara nasional, ke Distrik 12, karena para penambang batu
bara di sana gagal memenuhi kuota produksi.
Melihat guru mereka sibuk berbincang, Coriolanus mengangguk ke arah perisai.
desyrindah.blogspot.com

“Olahraga pagi ini?”


Sejanus tersenyum masam. “Aku selalu merasa terhormat bisa melayani.”
“Kau memolesnya dengan sangat bagus,” puji Coriolanus. Sejanus terlihat
tegang atas maksud tersirat bahwa dia adalah… penjilat? Kacung? Coriolanus
membiarkan momen itu sebelum mencairkannya. “Aku paham kok. Aku yang
memoles semua cawan anggur Satyria.”
Sejanus terlihat lega. “Benarkah?”
“Tidak, tidak juga. Itu karena dia tidak pernah terpikir melakukannya,” kata
Coriolanus, menunjukkan sikap antara meremehkan dan persahabatan.
“Profesor Sickle memikirkan segalanya. Dia tidak sungkan meneleponku, siang
atau malam.” Sejanus tampak seolah-olah ingin lanjut bicara, tapi dia cuma
menghela napas. “Dan, sebentar lagi aku akan lulus, tapi kami akan pindah lebih
dekat ke sekolah. Waktu yang tepat, seperti biasa.”
Mendadak Coriolanus merasa waswas. “Ke daerah mana?”
“Di sekitar Corso. Banyak rumah mewah di sana akan dijual. Para pemiliknya
tidak sanggup membayar pajak atau semacam itulah, kata ayahku.” Perisai yang
dipegangnya menggores lantai, dan Sejanus mengangkatnya.
“Pemerintah tidak membebankan  pajak properti di Capitol. Itu hanya berlaku
di distrik-distrik,” bantah Coriolanus.
“Ini peraturan baru,” Sejanus memberitahunya. “Agar mereka mendapat uang
lebih banyak untuk membangun kembali kota.”
Coriolanus berusaha meredam kepanikan yang mulai bergolak dalam dirinya.
Peraturan baru. Menerapkan pajak pada apartemennya. Berapa yang harus mereka
bayar? Mereka sudah hidup seadanya dengan upah minimum yang diterima Tigris
serta sedikit uang pensiun neneknya berkat jasa sang kakek kepada Panem. Selain
itu, bantuan dana kesejahteraannya sebagai anak pahlawan yang tewas di medan
perang akan berakhir saat dia lulus nanti. Kalau mereka tidak bisa membayar
pajak, apakah mereka akan kehilangan apartemen mereka? Hanya itu tempat
desyrindah.blogspot.com

tinggal yang mereka miliki. Menjualnya juga percuma, karena Coriolanus tahu
neneknya punya banyak utang dengan apartemen mereka sebagai agunan. Kalau
mereka menjualnya, takkan ada uang yang tersisa. Mereka bakalan mesti pindah
ke lingkungan kumuh dan bergaul dengan rakyat jelata bermasa depan suram,
tanpa status sosial, tanpa prestise, tanpa martabat. Rasa malu akan membunuh
neneknya. Melempar neneknya dari jendela griya tawang rasanya lebih manusiawi.
Paling tidak, kematiannya akan berlangsung cepat.
“Kau baik-baik saja?” Sejanus memandangnya dengan tatapan bingung.
“Wajahmu pucat sekali.”
Coriolanus berusaha menenangkan diri. “Kurasa karena posca. Perutku jadi
mulas.”
“Yeah,” Sejanus sependapat. “Ma selalu memaksaku meminumnya pada zaman
perang.”
Ma? Apakah posisi Coriolanus akan digeser oleh seseorang yang memanggil
ibunya “Ma”? Bisa-bisa dia memuntahkan kubis dan posca-nya. Dia mengambil
napas dalam-dalam dan menahan rasa mualnya. Kebenciannya pada Sejanus tak
pernah sebesar ini sejak anak distrik yang hidup berkecukupan itu pertama kali
menghampirinya, bicara dengan aksen dungu, memegang erat-erat sekantong
permen karet.
Coriolanus mendengar bel berdering dan melihat teman-teman sekolahnya
berkumpul di depan mimbar.
“Kurasa tiba saatnya kita dipasangkan dengan peserta,” kata Sejanus murung.
Coriolanus mengikutinya ke area tempat duduk khusus. Empat kursi berderet
sebanyak enam baris sudah disiapkan untuk para mentor.  Dia berusaha
mengenyahkan masalah apartemen itu dari benaknya, dan memusatkan perhatian
pada tugas penting saat ini. Ini saat terpenting baginya untuk unggul, dan untuk
bisa unggul dia harus mendapat peserta yang kompetitif.
Dekan Casca Highbo om, pria yang diyakini sebagai pencipta Hunger Games,
desyrindah.blogspot.com

mengatur sendiri program mentor ini. Dia berdiri di depan para siswa dengan
semangat orang yang berjalan sambil tidur, mata melamun, dan seperti biasa, teler
karena mor n. Tubuhnya yang dulu gagah kini loyo dan ciut dengan kulit keriput.
Potongan rambutnya yang rapi dan jas baru membuat penampilannya yang lesu
makin menonjol. Berkat ketenarannya sebagai penemu Hunger Games, dia masih
punya sedikit kekuasaan di sini, tapi kabarnya Dewan Akademi mulai kehilangan
kesabaran.
“Halo semua,” ucapnya dengan tidak jelas, sambil melambaikan selembar kertas
di atas kepalanya. “Dibacakan sekarang ya.” Para siswa menyuruh satu sama lain
untuk diam, berusaha keras untuk mendengarnya di antara keriuhan di dalam
aula. “Kubacakan nama, lalu kau dapat apa. Ya? Baiklah. Distrik Satu, anak lelaki,
dimentori…” Dekan Highbo om menyipitkan mata melihat kertas di tangannya,
berusaha untuk fokus. “Kacamata,” gumamnya. “Lupa.” Semua orang memandangi
kacamata yang sudah bertengger di hidungnya, dan menunggu sampai jemari sang
dekan menemukan kacamatanya. “Ah, ini dia. Livia Cardew.”
Wajah mungil Livia langsung menyeringai lebar dan dia mengepalkan tinjunya
ke udara, lalu meneriakkan, “Ya!” dengan lantang. Gadis itu memang dikenal suka
pamer. Seakan-akan penugasan yang empuk itu berkat prestasinya sendiri, bukan
karena ibunya yang merupakan pemilik bank terbesar di Capitol.
Coriolanus mulai merasa putus asa ketika Dekan Highbo om membacakan
da arnya, menugasi mentor ke masing-masing anak lelaki dan perempuan dari
distrik. Setelah sepuluh tahun, mulai terlihat pola Hunger Games. Distrik-distrik
yang lebih makmur dan dekat dengan Capitol seperti Distrik 1 dan 2
menghasilkan lebih banyak pemenang, sementara para peserta dari distrik
perikanan dan pertanian seperti Empat dan Sebelas juga menjadi pesaing kuat.
Coriolanus berharap mendapat Distrik 1 atau 2, tapi dia tak mendapatkannya.
Saat Sejanus mendapat anak lelaki Distrik 2, Coriolanus lebih merasa terhina.
Distrik 4 lewat tanpa menyinggung namanya, dan kesempatan terakhirnya untuk
desyrindah.blogspot.com

mendapat pemenang anak lelaki Distrik 11 ditugaskan kepada Clemensia


Dovecote, putri menteri energi. Tidak seperti Livia, Clemensia menerima berita
keberuntungannya dengan bijaksana, merapikan rambut hitamnya ke bahu dan
mencatat peserta yang menjadi tugasnya ke buku catatan.
Ada yang tidak beres ketika Snow, yang merupakan salah satu siswa kehormatan
Akademi, dilewatkan begitu saja. Coriolanus mulai berpikir bahwa mereka
melupakannya mungkin mereka memberinya kedudukan istimewa? dia
sedang menduga-duga ketika dengan ngeri dia mendengar Dekan Highbo om
bergumam, “Dan terakhir, anak perempuan Distrik Dua Belas… jatuh ke tangan
Coriolanus Snow.”
desyrindah.blogspot.com
2

Anak perempuan Distrik 12? Coriolanus tak pernah merasa terhina separah ini.
Distrik 12 adalah distrik paling kecil. Distrik yang jadi tertawaan dengan anak-
anaknya yang bertubuh kerdil dan kurus kering, yang selalu tewas pada lima menit
pertama. Bukan hanya itu… tapi, anak perempuan? Bukan hanya anak perempuan
yang tak bisa menang, tapi dalam pikiran Coriolanus Hunger Games berkaitan de-
ngan kekejaman dan kebengisan, dan tubuh anak perempuan lebih kecil daripada
anak lelaki, dan itu sudah jadi kekurangan tersendiri. Coriolanus tak pernah
menyukai Dekan Highbo om. Bersama teman-temannya, mereka mengolok-
oloknya dengan julukan  si Highbo om tukang teler, Coriolanus tak pernah
menyangka bakal dipermalukan di depan umum begini. Apakah julukan itu
membuat Coriolanus mendapat balasan seperti ini? Atau apakah ini penegasan,
bahwa dalam era dunia yang baru, derajat keluarga Snow turun menjadi golongan
nista?
Coriolanus bisa merasa wajahnya memanas saat dia berusaha menjaga diri agar
tetap tenang. Siswa-siswa lain sudah berdiri dan mengobrol. Dia mesti bergabung
dengan mereka, pura-pura menganggap ini bukan masalah, tapi dia tak mampu
bergerak. Dia hanya mampu menoleh ke kanan, ke tempat Sejanus duduk di
sampingnya. Coriolanus membuka mulut hendak memberi selamat, tapi tak jadi
melakukannya karena melihat wajah anak itu yang penuh penderitaan.
“Ada apa?” tanyanya. “Kau tidak senang? Distrik Dua, anak lelaki itu seperti
permata di antara kotoran.”
desyrindah.blogspot.com

“Kau lupa. Aku bagian dari kotoran itu,” kata Sejanus serak.
Coriolanus mencerna pernyataan Sejanus. Percuma saja Sejanus tinggal selama
sepuluh tahun di Capitol beserta segala kehidupan istimewa yang dijalaninya. Dia
masih menganggap dirinya penduduk distrik. Omong kosong sentimental. 
Dahi Sejanus berkerut karena takut. “Aku yakin ayahku yang memintanya. Dia
selalu ingin meluruskan pikiranku.”
Pastinya, pikir Coriolanus. Harta berlimpah dan pengaruh Strabo Plinth
dihormati, walaupun dia bukan dari garis keturunan ningrat. Meskipun pemilihan
mentor seharusnya berdasarkan penilaian kelayakan, jelas ada permainan
kekuasaan di sini.
Para penonton kembali ke tempat duduk masing-masing. Di bagian belakang
mimbar, tirai tersingkap memperlihatkan layar besar dari lantai hingga langit-
langit. Pemungutan disiarkan langsung dari setiap distrik, mulai dari pantai timur
hingga barat, dan disiarkan ke seluruh penjuru negeri. Itu artinya Distrik 12 jadi
yang pertama. Semua orang bangkit berdiri ketika lambang negara Panem
terpampang di layar, diiringi lagu kebangsaan Capitol.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Beberapa siswa susah payah mengingat liriknya, tapi Coriolanus yang
mendengar neneknya membantai lagu ini setiap hari selama bertahun-tahun,
menyanyikan seluruh baitnya dengan penuh semangat, dan mendapat pujian
berupa anggukan. Menyedihkan, tapi dia butuh pujian sekecil apa pun.
Lambang negara memudar digantikan foto Presiden Ravinstill, dengan rambut
beruban dan mengenakan seragam militer sebelum perang, sebagai pengingat
bahwa dia sudah mengendalikan distrik-distrik jauh sebelum Masa Kegelapan dari
pemberontakan. Dia membaca sepotong bagian dari Perjanjian Pengkhianat, yang
desyrindah.blogspot.com

menyatakan bahwa Hunger Games adalah pampasan perang. Nyawa anak muda
dari distrik diambil untuk menggantikan nyawa anak muda Capitol yang tewas.
Harga yang harus dibayar untuk pengkhianatan para pemberontak.
Para Pengawas Permainan mengganti gambar ke alun-alun Distrik 12 yang
suram. Di sana panggung sementara dibangun di depan Gedung Pengadilan
dengan barisan pengawalan Penjaga Perdamaian. Walikota Lipp, pria pendek
dengan wajah berbintik-bintik dan mengenakan jas yang ketinggalan zaman,
berdiri di antara dua karung goni. Dia merogoh karung di sisi kirinya,
mengeluarkan selembar kertas lalu melihatnya sekilas.
“Peserta perempuan Distrik Dua Belas adalah Lucy Gray Baird,” katanya di
mikrofon. Kamera menyorot kerumunan wajah-wajah pucat kelaparan yang
memakai pakaian abu-abu tanpa sentuhan modis sedikit pun, mencari peserta
yang namanya dipanggil. Kamera menyoroti keributan. Anak-anak perempuan
menjauh dari anak perempuan yang terpilih.
Penonton berbisik-bisik kaget saat melihatnya.
Lucy Gray Baird berdiri tegak dengan pakaian warna-warni yang berkibar cerah.
Mungkin dulunya pakaian mewah, tapi sekarang compang-camping. Rambut
keritingnya yang berwarna gelap diikat ke atas dan dijalin dengan bunga-bunga
liar. Penampilannya yang ber warna menarik perhatian, bak kupu-kupu yang
tercabik di ladang penuh ngengat. Dia tidak berjalan lurus ke panggung, tapi
malah berbelok melewati anak-anak perempuan di sebelah kanannya.
Kejadian itu berlangsung cepat. Tangan gadis itu merogoh rumbai di
pinggangnya, lalu benda hijau terang yang menggeliat berpindah dari kantongnya
ke kerah blus gadis berambut merah yang sedang menyeringai. Roknya berdesir
ketika dia melanjutkan langkah. Kamera tetap menyoroti sang korban,
cengirannya berubah jadi ekspresi ketakutan. Dia menjerit ketika jatuh ke tanah
sambil menepuk-nepuk pakaiannya dan berteriak kepada sang walikota. Di latar
belakang, tampak gadis yang menyerangnya tadi melenggok dengan gemulai
menuju panggung. Sekali pun tidak menengok ke belakang.
desyrindah.blogspot.com

Heavensbee Hall langsung heboh karena para hadirin menyikut orang-orang di


samping mereka.
“Kau lihat?”
“Apa yang ditaruh ke bajunya?”
“Cicak?”
“Yang kulihat sepertinya ular!”
Coriolanus menatap kerumunan di sekelilingnya dan merasakan harapannya
tumbuh. Peserta yang dimentorinya, yang tanpa harapan, yang terbuang, dan yang
menjadi hinaan untuknya telah merebut perhatian Capitol. Ini bagus, seharusnya.
Dengan bantuannya, mungkin gadis itu bisa bertahan, dan Coriolanus bisa
memutar balik coretan arang di mukanya menjadi pertunjukan yang terhormat.
Entah bagaimana, takdir mereka berdua terhubung.
Di layar, tampak Walikota Lipp berlari menuruni tangga panggung. Dia
mendorong orang-orang yang menghalanginya agar bisa menghampiri anak
perempuan yang terbaring di tanah. “Mayfair? Mayfair?” pekiknya. “Anakku butuh
pertolongan!” Orang-orang berdiri mengelilingi gadis itu, tapi niat orang-orang
yang setengah hati membantu terhalang kedua tangan dan kaki gadis itu yang
menyentak-nyentak.
Sang walikota berhasil menembus kerumunan tepat ketika ular kecil berwarna
hijau merayap dari lipatan gaunnya dan menuju kerumunan, membuat orang-
orang berteriak dan berlari menghindar. Kepergian ular itu menenangkan Mayfair,
tapi ketakutannya tadi berganti rasa malu. Dia menatap langsung ke kamera dan
menyadari bahwa seluruh warga negara Panem sedang menontonnya. Satu ta-
ngannya berusaha meluruskan pita yang miring di rambutnya, sementara tangan
yang lain berusaha merapikan pakaian yang kotor berselimut debu batu bara dan
robek akibat cakarannya sendiri. Saat ayahnya membantunya berdiri, terlihat
bahwa gadis itu ternyata sudah mengompol. Walikota melepaskan jasnya untuk
menyelimuti Mayfair dan menyerahkan gadis itu ke Penjaga Perdamaian untuk di-
desyrindah.blogspot.com

bawa pergi. Lipp berbalik ke arah panggung dan memandang peserta terbaru dari
Distrik 12 dengan tatapan membunuh.
Saat Coriolanus melihat Lucy Gray Baird naik ke panggung, dia merasa resah.
Apakah gadis itu tidak waras? Samar-samar dia melihat sesuatu yang dikenalinya
tapi terasa mengganggu pada diri gadis itu. Deretan warna merah muda, biru
terang, kuning cerah…
“Gadis itu seperti pemain sirkus,” komentar salah satu siswa perempuan.
Mentor-mentor lain juga membuat pernyataan senada.
Itu dia. Coriolanus berusaha mengingat kenangan tentang sirkus pada masa
kanak-kanaknya. Para pemain sulap dan akrobat, badut dan gadis-gadis dengan
gaun-gaun mengembang menari berputar-putar, sementara otaknya pening karena
arum manis. Peserta didiknya memilih busana yang begitu meriah untuk acara
paling suram dalam setahun, jelas-jelas menunjukkan keanehan di luar akal sehat.
Waktu yang dialokasikan untuk pemungutan di Distrik 12 seharusnya sudah
habis, tapi mereka belum menentukan peserta laki-laki. Ketika Walikota Lipp
kembali menguasai panggung, dia mengabaikan kantong berisi nama-nama itu
dan berjalan menghampiri peserta perempuan lalu menamparnya keras-keras
hingga gadis itu jatuh berlutut. Tangannya sudah terangkat dan siap memukul
gadis itu lagi ketika dua orang Penjaga Perdamaian menghalanginya, menarik
kedua lengannya dan berusaha mengingatkannya untuk menyelesaikan urusan
yang belum selesai. Sang walikota melawan hingga para Penjaga Perdamaian
menariknya ke Gedung Pengadilan, dan membuat seluruh kegiatan yang sedang
berlangsung terhenti sementara.
Perhatian penonton teralih pada gadis yang berada di atas panggung. Ketika
kamera menyorotinya, Coriolanus meragukan kewarasan Lucy Gray Baird.
Coriolanus tak tahu dari mana gadis itu memperoleh riasan wajahnya, karena
kosmetik baru saja tersedia lagi di Capitol. Kelopak mata gadis itu dirias rona biru
dan celak hitam. Wajahnya dipulas perona pipi, dan bibirnya merah berkilau. Di
desyrindah.blogspot.com

Capitol, gayanya dianggap berani. Di Distrik 12, gayanya di luar kelaziman. Sulit
bagi penonton memalingkan pandangan dari gadis itu ketika dia duduk di
panggung sambil merapikan roknya dengan tangan, berusaha meluruskan rumbai-
rumbainya. Setelah roknya rapi, dia baru mengangkat tangan dan menyentuh
memar di pipinya. Bibir bawahnya sedikit bergetar dan matanya berkaca-kaca
dengan air mata yang nyaris tumpah.
“Jangan menangis,” bisik Coriolanus. Dia tersadar lalu menatap sekelilingnya
dengan gugup dan mendapati siswa-siswa lain tampak terpaku. Ekspresi wajah
mereka menunjukkan kekhawatiran. Walaupun tingkahnya aneh, gadis itu
memperoleh simpati mereka. Mereka tidak tahu siapa gadis itu atau kenapa dia
menyerang Mayfair. Namun, semua orang bisa melihat seringai jahat di wajah
Mayfair dan menyaksikan ayahnya dengan sadis memukul seorang gadis yang
baru saja mendapat hukuman mati dari sang walikota. “Aku yakin mereka
mencuranginya,” kata Sejanus pelan. “Bukan namanya yang tertulis di kertas itu.”
Tepat saat gadis itu nyaris tak mampu lagi menahan tangis, hal aneh terjadi. Dari
kerumunan massa, terdengar suara orang mulai bernyanyi. Suara anak-anak, entah
anak lelaki atau perempuan, tapi nada yang dilantunkannya membuat alun-alun
itu hening seketika.
Kau tak bisa merenggut masa laluku.
Kau tak bisa merenggut sejarahku.
Angin berembus menerpa panggung, dan gadis itu perlahan-
lahan mengangkat kepalanya. Di antara kerumunan, terdengar suara lelaki yang
lebih dalam, ikut bernyanyi.
Kau bisa merenggut ayahku,
tapi namanya adalah sebuah misteri.
Senyum samar tersungging di bibir Lucy Gray Baird. Dia tiba-tiba berdiri dan
berjalan ke tengah panggung, mengambil mikrofon lalu bernyanyi tanpa beban.
desyrindah.blogspot.com

Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup berharga untuk disimpan.
Satu tangannya merogoh rumbai-rumbai di roknya, mengibas-ngibaskannya
hingga berdesir, dan semuanya mulai terasa masuk akal kostum, riasan wajah,
dan rambutnya. Siapa pun gadis itu, sejak awal dia sudah berdandan untuk
pertunjukan. Dia memiliki suara yang bagus; indah dan jernih pada nada-nada
tinggi, serta serak dan empuk pada nada rendah, dan dia bergerak penuh percaya
diri.
Kau tak bisa merenggut pesonaku.
Kau tak bisa merenggut kejenakaanku.
Kau tak bisa merenggut kekayaanku,
Karena itu semua hanya selentingan.
Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup berharga untuk disimpan.
Gadis itu berubah saat bernyanyi, dan Coriolanus tak lagi menganggapnya
mengkhawatirkan. Ada sesuatu yang menyenangkan, bahkan menarik, pada
dirinya. Kamera terus menyorotinya saat dia berjalan ke bagian depan panggung
dan mendekat ke arah penonton. Manis, sekaligus kurang ajar.
Berpikir kau sangat hebat.
Berpikir kau bisa memiliki milikku.
Berpikir kau yang memegang kendali.
Berpikir kau akan mengubahku, mungkin mengaturku.
Pikirkan lagi, jika itu tujuanmu,
karena….
Lalu dia turun dari panggung, berlenggak-lenggok di sekeliling panggung dan
melewati barisan Penjaga Perdamaian. Beberapa di antaranya bahkan tak bisa
menahan senyum. Tak satu pun yang bergerak menghentikannya.
Kau tak bisa merenggut kecongkakanku.
desyrindah.blogspot.com

Kau tak bisa merenggut ucapanku.


Kau bisa enyah sana.
Dan aku melengos saja. 
Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup berharga untuk disimpan.
Pintu Gedung Pengadilan terpentang dan para Penjaga Perdamaian yang tadi
membawa Walikota berderap kembali ke panggung. Gadis itu menghadap ke
depan, tapi tampak sekali dia menyadari keberadaan mereka. Dia berjalan ke
ujung panggung untuk mengakhiri lagunya.
Tidak.
Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup layak.
Ambil saja, kan kuberikan cuma-cuma.
Tak ada ruginya buatku.
Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup berharga untuk disimpan!
Dia sempat meniupkan kecupan sebelum mereka menariknya. “Teman-temanku
memanggilku Lucy Gray kuharap kalian juga memanggilku dengan nama itu!”
teriaknya. Salah satu Penjaga Perdamaian menarik mikrofon dari tangannya
sebelum menyeretnya kembali ke tengah panggung. Dia melambai seakan
mendapat tepuk tangan meriah, bukan keheningan yang menusuk.
Selama beberapa saat, keheningan juga menjalar di Heavensbee Hall. Coriolanus
penasaran apakah yang lain sama seperti dirinya, berharap gadis itu terus
bernyanyi. Lalu semua orang sibuk bicara. Pertama-tama mereka bicara tentang
gadis itu, selanjutnya tentang siapa yang beruntung menjadi mentornya. Murid-
murid lain menjulurkan kepala melihat sekeliling, ada yang mengacungkan jempol
kepada Coriolanus, ada yang memandangnya dengan tatapan benci. Dia berlagak
bingung dan geleng-geleng, tapi dalam hatinya bengah. Snow mendarat di puncak.
Para Penjaga Perdamaian membawa sang walikota keluar dan mereka berdiri
mengapitnya untuk menghindari kon ik lebih lanjut. Lucy Gray mengabaikannya.
Gadis itu terlihat kembali tenang seusai tampil di panggung tadi. Sang walikota
desyrindah.blogspot.com

mendelik ke kamera saat menepakkan tangannya ke dalam kantong kedua lalu


merenggut beberapa gulungan kertas. Sebagian kertas-kertas itu jatuh ke pang-
gung dan dia membacakan sisa kertas yang ada di tangannya. “Peserta laki-laki dari
Distrik Dua Belas adalah Jessup Diggs.”
Anak-anak yang ada di alun-alun bergerak dan memberi jalan untuk Jessup, anak
lelaki berambut hitam dengan poni menutupi dahinya. Bagi Distrik 12, dia jenis
manusia yang bagus, tubuhnya lebih besar daripada anak-anak kebanyakan dan
terlihat kuat. Kemuramannya menunjukkan bahwa dia sudah bekerja di tambang.
Dia kelihatan tidak benar-benar berniat mandi, karena bagian wajahnya saja yang
bersih sedangkan kuku-kukunya hitam karena debu batu bara. Dengan canggung,
dia menaiki tangga untuk berdiri di panggung. Ketika dia berada di dekat
Walikota, Lucy Gray maju selangkah dan mengulurkan tangan. Anak lelaki itu
terlihat ragu, lalu balas menjabat tangan gadis itu. Lucy Gray berputar di
depannya, mengganti posisi tangan kanan dengan tangan kirinya, sehingga mereka
berdiri bersisian sambil berpegangan tangan. Ketika Lucy Gray memberi salam
hormat dengan sedikit membungkuk sambil menekukkan lutut dalam-dalam,
anak lelaki itu terseret ikut membungkuk. Terdengar tepuk tangan dari satu bagian
kerumunan penonton dan teriakan girang satu orang sebelum Penjaga Perdamaian
mendekati massa dan siaran langsung pemungutan pindah ke Distrik 8.
Coriolanus pura-pura memusatkan perhatian pada layar ketika Distrik 8, 6, 11
memanggil para peserta mereka, tapi otaknya tak bisa berhenti berpikir tentang
Lucy Gray Baird. Gadis itu seperti hadiah untuknya, Coriolanus sadar itu, dan dia
mesti memperlakukannya dengan benar. Tapi apa cara terbaik untuk
memanfaatkan penampilan awalnya yang memukau tadi? 
Bagaimana caranya meraup keberhasilan dari gaun, ular, dan nyanyian? Para
peserta akan mendapat waktu singkat yang berharga saat berhadapan dengan
penonton sebelum Hunger Games dimulai. Bagaimana Coriolanus bisa membuat
penonton mencurahkan perhatian kepada Lucy Gray, dan akhirnya perhatian
desyrindah.blogspot.com

untuk dirinya, hanya melalui wawancara? Dia tidak terlalu mengingat peserta-
peserta lain, yang kebanyakan hanya makhluk lemah dan menyedihkan. Dia hanya
mencatat siapa-siapa saja peserta yang cukup kuat. Sejanus mendapat anak lelaki
jangkung dari Distrik 2. Anak laki-laki Distrik 1 yang dimentori Livia sepertinya
bakal jadi pesaing tangguh. Anak didik Coriolanus tampaknya sehat, tapi
tubuhnya yang kurus lebih cocok untuk berdansa daripada bertarung satu lawan
satu. Namun, dia yakin gadis itu bisa berlari cepat, dan itu penting.
Pemungutan di distrik hampir selesai semua. Aroma makanan dari meja
prasmanan mulai tercium oleh para tamu. Roti yang baru keluar dari oven.
Bawang. Daging. Coriolanus berusaha menjaga agar perutnya tidak keroncongan
dengan meneguk posca untuk menenangkan rasa laparnya. Dia merasa tegang,
pening, dan kelaparan. Setelah layar menggelap, dia menahan diri sekuat tenaga
agar tidak berlari ke meja prasmanan,
Menahan lapar adalah bagian tak terpisahkan dari hidup Coriolanus. Bukan
pada masa kecilnya atau sebelum perang, tapi pada masa-masa setelah perang. Dia
harus bertarung, bernegosiasi, dan bermain dengan rasa lapar. Apa cara terbaik
untuk mengenyahkan lapar? Makan sekenyang-kenyangnya sekali makan? Makan
sedikit-sedikit tapi sering dalam satu hari? Makan dengan rakus atau me-
ngunyahnya pelan-pelan hingga hancur di mulut? Semua hanyalah permainan
pikiran untuk mengalihkan diri dari kenyataan, bahwa apa yang dia makan tidak
pernah cukup. Tak ada seorang pun membiarkannya merasa kenyang.
Semasa perang, para pemberontak menguasai distrik-distrik yang memproduksi
makanan. Mereka mengacaukan serangan Capitol, berusaha membuat Capitol
kelaparan hingga menyerah demi mendapat makanan. Sekarang keadaan kembali
berbalik. Capitol menguasai persediaan makanan dan membuat keadaan tersebut
selangkah lebih berat dengan sengaja menyakiti mental dan sik warga distrik
melalui Hunger Games. Di tengah kekejaman Hunger Games, ada penderitaan
mendalam dan tak terucapkan yang dirasakan semua orang di Panem,
desyrindah.blogspot.com

keputusasaan untuk memiliki cukup makanan saat matahari bersinar esok hari.
Keputusasaan itu telah mengubah penduduk Capitol yang terhormat menjadi
monster. Orang-orang yang mati kelaparan di jalan menjadi bagian dari rantai
makanan yang mengerikan. Pada suatu malam di musim dingin, Coriolanus dan
Tigris menyelinap keluar dari apartemen untuk mengais sampah di kotak-kotak
kayu yang mereka lihat sebelumnya di gang. Dalam perjalanan, mereka melewati
tiga mayat. Salah satunya mereka kenal sebagai pembantu muda yang menyajikan
teh di rumah keluarga Crane pada acara pertemuan sore.
Salju yang basah dan lebat mulai turun. Mereka mengira jalanan sudah kosong,
tapi dalam perjalanan pulang, sosok berpakaian tebal membuat mereka bergegas
bersembunyi di balik pagar. Mereka melihat tetangga mereka, Nero Price,
penguasa di bidang industri kereta api, sedang menggergaji kaki mayat pembantu
itu. Pisau besar di tangannya bergerak maju-mundur sampai anggota tubuh yang
dipotongnya lepas. Nero Price membungkus potongan kaki tersebut dengan kain
yang dirobeknya dari bagian pinggang rok gadis itu, kemudian berlari ke trotoar
yang menuju rumahnya.
Coriolanus tak pernah membahasnya dengan Tigris, bahkan tak pernah
menyinggungnya sama sekali. Tapi kejadian itu membekas dalam ingatannya.
Kebiadaban yang tertera di wajah Price, gelang kaki berwarna putih dan sepatu
hitam usang di ujung kaki yang terpotong, serta kengerian tak terhingga saat
menyadari bahwa dia pun sekarang bisa dipandang sebagai makanan.
Coriolanus harus berterima kasih pada perencanaan masa depan neneknya
ketika perang baru dimulai, sehingga dia punya kemampuan bertahan hidup
secara moral dan har ah. Kedua orangtuanya sudah meninggal, Tigris juga yatim
piatu. Mereka berdua tinggal bersama nenek mereka. Perlahan tapi pasti, para
pemberontak bergerak menuju Capitol, meskipun kesombongan membutakan
warga kota atas kenyataan itu. Kekurangan makanan bahkan membuat orang kaya
harus mencari bahan makanan tertentu di pasar gelap. Hingga pada suatu malam
desyrindah.blogspot.com

di bulan Oktober, Coriolanus berada di pintu belakang kelab malam yang dulunya
trendi. Dia menarik gerobak kecil berwarna merah dengan satu tangan, sementara
tangan yang satu lagi menggandeng neneknya yang mengenakan sarung tangan. 
Mereka datang menemui Pluribus Bell. Lelaki tua itu mengenakan kacamata
berlensa kuning serta wig putih panjang menjulur hingga ke pinggang. Dia dan
partnernya bernama Cyrus, seorang pemusik, adalah pemilik kelab yang sudah
tutup itu. Kini mereka menjadikannya sebagai jalur distribusi perdagangan gelap
melalui gang belakang. Keluarga Snow datang untuk mencari susu kaleng, karena
susu segar sudah tak ditemukan sejak beberapa minggu lalu. Tapi, Pluribus bilang
dia tak punya stok susu kaleng lagi. Yang baru datang adalah kotak-kotak berisi
kacang kara kering yang ditumpuk tinggi di panggung dengan cermin di
belakangnya.
“Kacang itu bisa tahan bertahun-tahun,” Pluribus berjanji pada Grandma’am.
“Rencananya, aku sendiri akan menyimpan dua puluh kotak.”
Nenek Coriolanus tertawa. “Mengerikan sekali.”
“Tidak, sayangku. Yang mengerikan adalah kalau kita tidak punya,” kata
Pluribus.
Dia tidak menjelaskan maksudnya, tapi Grandma’am berhenti tertawa.
Neneknya memandang Coriolanus, dan tangannya mencekal erat tangan
Coriolanus selama sedetik. Rasanya seperti gerakan tak sengaja, seperti kedutan.
Kemudian neneknya memandang kotak-kotak itu dan tampak seperti memikirkan
sesuatu. “Berapa banyak yang bisa kauberikan?” tanya neneknya kepada sang
pemilik kelab.
Coriolanus membawa pulang satu kotak dalam gerobaknya. Dua puluh sembilan
kotak lagi tiba di apartemen mereka pada tengah malam, karena menimbun
makanan dianggap ilegal. Cyrus dan seorang temannya mengangkut kotak-kotak
itu lewat tangga dan menumpuknya di tengah ruang tamu berperabot mewah Di
bagian atas tumpukan, mereka menaruh sekaleng susu, hadiah dari Pluribus, lalu
desyrindah.blogspot.com

pamit pergi. Coriolanus dan Tigris membantu Grandma’am menyembunyikan


kotak-kotak itu dalam lemari, dalam laci-laci indah, bahkan dalam jam tua.
“Siapa yang akan makan semua ini?” tanya Coriolanus. Pada saat itu, masih ada
daging asap dalam menu makanannya, kadang ada ayam, dan kadang ada daging
panggang. Susu sesekali ada, tapi keju masih banyak, dan makanan penutup masih
ada saat makan malam, meskipun cuma roti selai.
“Kita yang akan makan. Mungkin sebagian bisa kita jadikan alat barter,” kata
Grandma’am. “Ini akan jadi rahasia kita.”
“Aku tidak suka kacang kara.” Coriolanus cemberut. “Mungkin, kurasa aku tidak
akan suka.”
“Yah, kita akan minta Koki mencari resep yang enak,” kata Grandma’am.
Namun, si koki sudah dipanggil untuk ikut berperang, lalu mati karena u.
Ternyata, Grandma’am tidak tahu cara menyalakan kompor, apalagi memasak
mengikuti resep. Tugas memasak jatuh ke tangan Tigris yang baru berusia delapan
tahun, untuk merebus kacang hingga jadi rebusan kental, lalu jadi sup, lalu kaldu
encer, yang membuat mereka bisa bertahan semasa perang. Kacang kara. Kubis.
Penjatahan roti. Mereka hidup dengan cara seperti itu, hari demi hari, tahun demi
tahun.
Jelas, hal itu menghambat pertumbuhan tubuh Coriolanus. Seandainya dia
makan lebih banyak, tentu dia akan lebih jangkung dan bahunya lebih bidang.
Tapi otaknya berkembang dengan baik; setidaknya dia berharap seperti itu.
Kacang kara, kubis, roti hangus. Coriolanus tumbuh dewasa dengan membenci
makanan itu, tapi makanan itu pula yang membuatnya tetap hidup, tanpa rasa
malu, tanpa harus makan daging mayat manusia yang mati di jalanan.
Coriolanus menelan ludah yang membanjiri mulutnya ketika berada di dekat
nampan bertepian emas dengan logo Akademi. Bahkan pada hari-hari buruk,
Capitol tak kekurangan peralatan makan mewah. Dia sendiri sering makan daun
kubis dari porselen cantik di rumah.
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus mengambil serbet linen, garpu, dan pisau. Ketika dia mengangkat
tutup wadah prasmanan dari perak, uap makanan hangat itu membelai bibirnya.
Sup krim bawang. Dia menyendok sewajarnya dan berusaha tidak meneteskan
liur. Kentang rebus. Labu kuning. Ham panggang. Roti hangat dan sebongkah
mentega. Bukan sebongkah, dua bongkah. Sepiring penuh, tapi tidak sampai
munjung. Bukan buat remaja lelaki.
Dia menaruh piringnya di meja, di samping Clemensia, lalu pergi mengambil
makanan penutup dari troli makanan. Karena tahun lalu mereka kehabisan,
Coriolanus sama sekali tak mendapat kue ubinya. Jantungnya berdebar cepat saat
dia melihat irisan-irisan pai apel,
masing-masing dihiasi bendera kertas yang menggambarkan lambang Panem. Pai!
Dia tidak ingat kapan terakhir kalinya makan pai. Dia sedang mengambil
potongan berukuran sedang saat seseorang mendorong piring berisi potongan pai
besar ke hadapannya. “Ambil yang besar ini. Anak laki-laki sepertimu pasti
sanggup menghabiskannya.”
Mata Dekan Highbo om berair, tapi sudah tidak kelihatan teler seperti tadi
pagi. Malahan, mata itu memandang Coriolanus dengan tatapan tajam yang tak
terduga.
Coriolanus mengambil piring berisi pai sambil mencengir, dan dia berharap
cengirannya menunjukkan tampilan anak laki-laki yang sopan dan baik. “Terima
kasih, Sir. Perutku selalu bisa menampung pai.”
“Ya, tak pernah sulit bagi kita untuk menampung kenikmatan,” kata sang dekan.
“Aku tahu benar kenyataan itu.”
“Kurasa memang tidak sulit, Sir.” Tapi ucapannya terdengar salah. Maksud
Coriolanus adalah dia setuju dengan bagian tentang menampung kenikmatan, tapi
kedengarannya malah dia mengejek perilaku sang dekan.
“Kau rasa tidak sulit ya.” Mata Dekan Highbo om menyipit sambil terus
memandang Coriolanus. “Jadi, apa rencanamu, Coriolanus, setelah Games?”
desyrindah.blogspot.com

 “Aku berharap bisa kuliah,” jawabnya. Pertanyaan yang aneh. Jelas-jelas nilainya
yang gemilang sudah menjadi bukti.
“Ya, aku lihat namamu di antara persaingan memperebutkan hadiah,” kata
Dekan Highbo om. “Tapi, bagaimana kalau kau tidak dapat hadiahnya?”
Coriolanus tergagap. “Yah, kalau begitu… kami… kami akan bayar uang
sekolahnya.”
“Apa bisa?” Dekan Highbo om tertawa. “Lihat saja dirimu, dengan pakaian
tambal sulam dan sepatu kesempitan, berusaha bertahan hidup. Berjalan gagah di
Capitol, padahal aku yakin keluarga Snow sekarang melarat. Bahkan dengan
hadiah, itu pun akan pas-pasan. Dan kau tidak punya uang, kan? Aku penasaran,
apa selanjutnya yang akan terjadi padamu? Apa langkahmu selanjutnya?”
Coriolanus tak bisa menahan diri untuk tak menatap sekelilingnya, kalau-kalau
ada orang yang mendengar ucapan pedas Highbo om tadi. Tampaknya
kebanyakan orang sibuk mengobrol sambil makan.
“Jangan khawatir. Tidak ada yang tahu. Yah, hampir semuanya tidak tahu.
Nikmati painya, Nak.” Dekan Hightbo om berjalan pergi tanpa mengambil pai
sepotong pun.
Coriolanus sebenarnya ingin menaruh painya lalu berlari kabur dari tempat ini,
tapi dia justru menaruh kembali potongan pai besar itu dengan hati-hati di troli
makanan. Nama julukan itu. Pasti julukan itu sampai ke telinga Dekan
Highbo om, dan Coriolanus dicap sebagai biangnya. Ini adalah kebodohannya.
Sang dekan orang yang terlalu berkuasa, bahkan sampai sekarang, dan Coriolanus
mengolok-oloknya di depan umum. Tapi, masa sih seburuk itu? Setiap guru paling
tidak mempunyai satu nama julukan, bahkan banyak yang lebih buruk daripada
julukan untuk Highbo om. Dan si tukang teler itu juga tidak menutupi kebiasaan
buruknya. Dia seakan-akan mengundang cercaan. Apakah mungkin ada alasan
lain sehingga dia sangat membenci Coriolanus?
Apa pun alasannya, Coriolanus harus memperbaikinya. Dia tidak bisa
desyrindah.blogspot.com

mengambil risiko kehilangan hadiah tersebut karena hal macam itu. Setelah lulus
universitas, rencananya dia akan bekerja di bidang profesi yang menguntungkan.
Tanpa pendidikan, kesempatan apa yang terbuka untuknya? Dia berusaha
membayangkan masa depannya bekerja di posisi rendahan… melakukan apa?
Mengawasi distribusi batu bara ke distrik-distrik? Membersihkan kandang mutan
cacat di laboratorium mu ? Memungut pajak untuk Sejanus Plinth yang tinggal di
apartemen megah di Corso, sementara dia tinggal di kampung kumuh berjarak
lima puluh blok dari pusat kota? Itu pun kalau dia beruntung! Sulit mendapat
pekerjaan di Capitol, dan dia bakal jadi lulusan Akademi yang tak punya uang.
Bagaimana dia bisa hidup? Hidup dari utang? Berutang di Capitol berarti jalan hi-
dupnya akan menjadi Penjaga Perdamaian, dengan ikatan dinas selama dua puluh
tahun tanpa tahu akan ditempatkan di mana. Mereka akan mengirimnya ke distrik
terpencil yang mengerikan, di sana dia akan hidup bak binatang.
Hari yang dimulai dengan penuh harapan, kini rasanya hancur luluh untuknya.
Pertama, adanya kemungkinan dia bakal kehilangan apartemen, lalu dia mendapat
peserta dari level terendah yang setelah dipikir-pikir lagi, tampaknya tidak waras
dan sekarang, dia menyadari bahwa Dekan Highbo om cukup membencinya
hingga mampu melenyapkan kesempatannya meraih hadiah dan bakal mem-
buangnya untuk tinggal di distrik!
Semua orang tahu apa yang terjadi kalau seseorang dikirim tinggal di distrik.
Kau jadi orang terbuang. Terlupakan. Di mata Capitol, kau dianggap sudah mati.
desyrindah.blogspot.com
3

Coriolanus berdiri di peron kereta api yang kosong, menunggu kedatangan


peserta yang dimentorinya. Setangkai bunga mawar putih terselip di antara ibu jari
dan telunjuknya. Tigris yang punya ide membawakan hadiah untuk gadis itu.
Tigris pulang larut malam pada hari pemungutan. Tapi, Coriolanus menunggu
sepupunya itu untuk mengajaknya bicara, memberitahunya tentang rasa takut dan
malu yang dia rasakan. Tigris tidak membiarkannya jatuh ke lembah
keputusasaan. Dia akan mendapatkan hadiahnya, dia harus mendapatkannya! Dan
dia akan menjalani masa  universitas yang cemerlang. Sementara untuk urusan
apartemen, mereka harus tahu detailnya dulu. Mungkin pajak takkan terlalu
memberatkan mereka. Jika memang memberatkan, mungkin tidak seketika.
Mungkin mereka bisa mengais cukup uang untuk membayar pajak. Tapi, dia tak
bisa memikirkan caranya. Hanya lewat Hunger Games dia bisa mencari cara untuk
mencapai keberhasilan.
Tigris bilang, di pesta pemungutan Fabricia, semua orang
tergila-gila pada Lucy Gray Baird. Pesertanya memiliki “kualitas seorang bintang”,
kata teman-teman Tigris saat mereka mabuk posca. Saudara sepupunya itu
sependapat bahwa Coriolanus perlu memberi kesan pertama yang baik pada gadis
itu agar dia mau bekerja sama dengannya. Coriolanus sebaiknya tidak bersikap
seperti menghadapi tahanan hukuman mati, tapi seperti menerima tamu. Itu
sebabnya Coriolanus memutuskan menyambut Lucy Gray lebih awal di stasiun
kereta. Ini akan memberinya peluang dalam tugasnya, juga kesempatan untuk
desyrindah.blogspot.com

mendapatkan kepercayaan gadis itu.


“Bayangkan betapa takutnya dia, Coryo,” kata Tigris. “Kesendirian yang
dirasakannya. Kalau aku jadi dia, apa pun yang kaulakukan yang membuatku
merasa sepertinya kau peduli padaku, pasti akan selalu kuingat. Bukan itu saja.
Aku akan merasa berharga. Bawakan dia sesuatu, tanda mata, yang membuatnya
tahu kau menghargainya.”
Coriolanus teringat pada bunga mawar neneknya, yang masih menjadi barang
berharga di Capitol.  Neneknya menanam dan merawat tanamannya dengan susah
payah di taman atap, yang menjadi bagian griya tawang mereka, dan
menempatkanya dalam rumah kaca bertenaga surya. Sang nenek menyerahkan
bungkusan berisi bunga layaknya menyerahkan berlian, dan butuh rayuan agar
neneknya mau memberikan bunga cantik itu. “Aku harus membangun hubungan
dengannya. Seperti Grandma’am bilang, bunga mawar bisa membuka hati siapa
pun.” Neneknya juga menyadari betapa gawatnya keadaan mereka sehingga dia
rela memberikan bunga itu.
Sudah dua hari berlalu sejak hari pemungutan. Matahari panas menyengat kota,
walaupun masih pagi dini hari, stasiun kereta sudah membuat gerah.  Coriolanus
merasa jadi pusat perhatian berada di peron yang luas dan sepi, tapi dia tak mau
ketinggalan kereta gadis itu. Satu-satunya informasi yang berhasil diperolehnya
dari tetangga lantai bawahnya, Remus Doli le calon Pengawas Permainan, adalah
keretanya akan tiba hari Rabu. Remus baru lulus universitas, dan keluarganya
sudah minta tolong dan berusaha keras agar dia bisa mendapat pekerjaan itu.
Meski bayarannya pas-pasan, tapi bisa jadi batu loncatan di masa depan. 
Coriolanus bisa saja bertanya ke Akademi, tapi mereka pasti menganggapnya aneh
kalau mau menyambut pesertanya di stasiun kereta. Memang tak ada aturan soal
itu, tapi dalam pikirannya kebanyakan temannya akan menunggu pertemuan de-
ngan para peserta pada keesokan hari di acara resmi yang diatur Akademi.
Satu jam berlalu, dua jam, dan kereta yang ditunggunya tak kunjung tiba.
desyrindah.blogspot.com

Matahari menyorot dari kaca jendela di langit-langit stasiun kereta. Keringat


sudah membasahi punggungnya. Bunga mawar yang terlihat anggun pagi tadi,
mulai terlihat loyo. Dia mulai mempertanyakan apakah ini ide yang buruk, dan
gadis itu takkan peduli jika disambut seperti ini. Mungkin gadis lain, gadis
kebanyakan, akan terkesan. Tapi, Lucy Gray Baird bukan gadis kebanyakan. Bah-
kan sesungguhnya, ada kesan menakutkan dari gadis yang berani melakukan
perbuatan nekat setelah ditampar sang walikota. Apalagi dia melakukannya
setelah menaruh ular berbisa di pakaian gadis lain. Sebenarnya Coriolanus tidak
tahu apakah ular itu berbisa, tapi itu yang ada di dalam pikiran banyak orang.
Sesungguhnya, dia gadis yang menakutkan. Dan sekarang Coriolanus berdiri di
peron mengenakan seragam, memegang bunga mawar seperti anak sekolah yang
jatuh cinta, berharap gadis itu bakal apa? Menyukainya? Memercayainya?
Takkan membunuhnya?
Kerja sama dari gadis itu sangat penting. Kemarin, Satyria mengadakan rapat
untuk para mentor dan menjelaskan tugas pertama mereka dengan terperinci. Di
masa lalu, para peserta langsung dibawa ke arena pada pagi hari setelah mereka
tiba di Capitol. Tapi, rentang waktunya kini makin panjang dengan adanya
keterlibatan para siswa Akademi. Sudah diputuskan bahwa masing-masing mentor
akan melakukan wawancara dengan peserta yang dimentori. Mereka diberi waktu
lima menit untuk menunjukkan peserta tersebut kepada penduduk Panem melalui
siaran langsung di televisi. Jika ada peserta yang dijagokan oleh penonton, mereka
mungkin bakal benar-benar tertarik menonton Hunger Games. Kalau semuanya
lancar, mereka akan mendapat jam tayang utama di televisi para mentor
mungkin diundang untuk memberikan pendapat tentang peserta mereka pada
saat Games berlangsung. Coriolanus berjanji pada dirinya sendiri bahwa lima
menitnya akan menjadi lima menit yang menonjol.
Satu jam lagi berlalu. Dia hampir menyerah ketika peluit kereta terdengar dari
terowongan. Pada bulan-bulan awal perang, bunyi peluit itu menandakan
desyrindah.blogspot.com

kepulangan ayahnya dari medan perang. Sebagai konglomerat peralatan perang,


ayahnya merasa keikutsertaannya dalam perang akan meningkatkan legitimasinya
dalam bisnis tersebut. Dengan pemikiran yang hebat dalam urusan strategi,
bernyali baja, dan sosok yang berwibawa, ayahnya naik pangkat dengan cepat.
Untuk menunjukkan komitmen kepada Capitol di hadapan umum, keluarga Snow
akan berkumpul di stasiun kereta. Coriolanus mengenakan jas beledunya,
menunggu ayahnya yang hebat pulang. Sampai suatu hari, ketika kereta itu
kembali dengan membawa kabar bahwa peluru pemberontak telah menghabisi
nyawa ayahnya. Sulit menemukan tempat di Capitol yang tidak terkena imbas
perang, tapi tempat ini membawa kenangan buruk. Sejujurnya dia tidak bisa me-
ngatakan bahwa dia menyayangi pria kaku yang asing itu, tapi yang pasti dia
merasa terlindung dengan keberadaannya. Kematian ayahnya menyiratkan
ketakutan dan kerapuhan yang tak pernah bisa dienyahkan oleh Coriolanus.
Peluit kembali berbunyi ketika kereta memasuki stasiun lalu berdecit saat
berhenti.  Keretanya pendek, hanya ada bagian mesin dan dua gerbong. Dia
berusaha mencari keberadaan Lucy Gray Baird di jendela gerbong sebelum
tersadar bahwa tak ada jendela di sana. Gerbong itu bukan untuk penumpang, tapi
untuk kargo. Rantai logam berat yang digembok mengamankan barang yang ada
dalam gerbong.
Salah kereta, pikir Coriolanus. Pulang sajalah. Tapi, samar-samar terdengar
tangisan manusia dari salah satu gerbong kargo dan akhirnya dia tetap berdiri di
sana. 
Coriolanus menunggu kedatangan para Penjaga Perdamaian, tapi kereta itu
bergeming selama beberapa saat tanpa ada yang melakukan apa-apa hingga
beberapa orang tampak berjalan ke rel kereta. Salah satunya berbicara dengan
masinis yang tak kelihatan, lalu serenceng kunci dilempar ke luar jendela. Seorang
Penjaga Perdamaian berjalan mondar-mandir menuju gerbong pertama, mencari-
cari kunci sebelum memilih kunci yang tepat. Dia memasukkannya ke gembok
desyrindah.blogspot.com

dan memutar kuncinya. Rantai logam dan gemboknya jatuh, dan petugas itu
membuka pintu gerbong yang berat. Gerbong itu tampak kosong. Penjaga
Perdamaian itu menarik tongkat pemukulnya dan menghantamkan tongkat ke
rangka pintu. “Baiklah, kalian, ayo bergerak!”
Anak lelaki jangkung berkulit cokelat gelap dan mengenakan pakaian dari
karung goni berdiri di ambang pintu. Coriolanus mengenali anak itu sebagai
peserta didik Clemensia dari Distrik 11, kurus tapi berotot. Anak perempuan
dengan warna kulit senada tapi kurus kering dan batuk-batuk tanpa henti, berjalan
mengikutinya. Mereka berdua telanjang kaki dengan kedua tangan terbelenggu di
depan. Jarak gerbong ke tanah sekitar satu setengah meter, jadi mereka duduk dulu
di tepi gerbong sebelum melompat dan mendarat dengan kaku di peron. Seorang
gadis kecil berwajah pucat dengan gaun garis-garis dan selendang merah
merangkak ke pintu. Dia tampang kebingungan melihat jauhnya jarak gerbong ke
tanah. Penjaga Perdamaian menariknya turun dan dia mendarat membentur
peron, nyaris jatuh terguling dengan tangan terikat. Kemudian Penjaga
Perdamaian itu kembali mengulurkan tangan ke gerbong dan menarik keluar se-
orang anak lelaki yang kelihatannya baru berusia sepuluh tahun tapi pastinya dia
harus berusia minimal dua belas tahun dan juga menjatuhkannya ke peron.
Pada saat itu, bau apak karena pengap bercampur bau pupuk
organik, menguar dari dalam gerbong dan tercium oleh Coriolanus. Mereka
mengangkut para peserta dengan gerbong-gerbong pengangkut ternak yang kotor
dan jorok. Dia bertanya-tanya, apakah mereka sudah diberi makan dan mendapat
udara segar, atau langsung dikunci di sana setelah pemungutan. Dia terbiasa
melihat para peserta di layar televisi, tapi tidak siap melihat langsung kenyataan se-
perti ini. Gelombang rasa iba dan jijik mengaliri sekujur tubuhnya. Mereka adalah
makhluk dari dunia lain. Dunia tanpa harapan dan tak berperikemanusiaan.
Penjaga Perdamaian berjalan ke gerbong kedua dan melepaskan rantainya. Pintu
terbuka. Tampaklah Jessup, peserta lelaki dari Distrik 12, menyipitkan mata
desyrindah.blogspot.com

menatap stasisun yang terang benderang. Coriolanus tersentak. Tubuhnya


menegang penuh penantian. Gadis itu pasti bersamanya. Jessup melompat kaku ke
bawah lalu berbalik ke arah pintu kereta.
Lucy Gray Baird melangkah ke arah cahaya, tangannya yang terbelenggu
menaungi matanya saat berusaha menyesuaikan diri. Jessup mengulurkan kedua
tangannya, pergelangan tangannya terentang selebar jarak rantai yang
membelenggu. Lucy Gray menjatuhkan diri ke depan, membiarkan Jessup
menangkap pinggangnya lalu mengayunkan tubuhnya ke peron dengan gerakan
yang anggun. Dia menepuk lengan pemuda itu sebagai pernyataan terima kasih, la-
lu mendongak untuk menikmati cahaya matahari yang menyinari stasiun kereta
api. Jemarinya menyugar rambut ikalnya, mengurai rambutnya yang acak-acakan
dan berusaha merapikannya.
Perhatian Coriolanus teralih sejenak ke arah para Penjaga Perdamaian yang
meneriakkan berbagai ancaman ke dalam gerbong. Ketika dia menoleh lagi ke
Lucy Gray, gadis itu sedang memandangnya. Coriolanus agak terkejut, tapi dia
teringat bahwa dia satu-satunya orang yang ada di peron selain para Penjaga
Perdamaian. Para tentara itu merutuk sembari membantu salah satu dari mereka
naik ke gerbong kereta untuk memaksa turun para peserta yang tak mau bergerak.
Sekarang atau tidak sama sekali.
Dia menghampiri Lucy Gray, lalu mengulurkan bunga mawar sambil agak
mengangguk. “Selamat datang di Capitol,” kata Coriolanus. Suaranya sedikit serak
karena sudah berjam-jam tidak bicara, tapi dia merasa suaranya memberi kesan
dewasa.
Gadis itu memperhatikannya dengan saksama. Sesaat Coriolanus takut Lucy
Gray akan menjauhinya, atau lebih parah lagi, menertawainya. Namun, gadis itu
mengulurkan tangan dan dengan hati-hati mencabut kelopak bunga yang ada di
tangan Coriolanus.
“Waktu aku masih kecil, mereka memandikanku dengan air susu dan kelopak
desyrindah.blogspot.com

mawar,” katanya, dengan gaya bicara yang meyakinkan, meskipun pernyataannya


nyaris mustahil. Dia mengelus permukaan mawar yang putih mengilap lalu
memasukkan kelopak mawar itu ke mulutnya, memejamkan mata untuk
mengecap rasanya. “Rasanya seperti waktunya tidur.”
Coriolanus memperhatikannya lekat-lekat. Gadis itu tampak berbeda dari
penampilannya pada hari pemungutan. Riasan wajahnya sudah dihapus. Hanya
ada noda di sana-sini, dan dia tampak lebih muda tanpa riasan. Bibirnya pecah-
pecah. Rambutnya tergerai. Gaun pelanginya kotor dan kusut. Tamparan sang
walikota menyisakan lebam ungu gelap. Tapi ada sesuatu pada dirinya. Sekali lagi
Coriolanus mendapat kesan bahwa dia sedang menyaksikan pertunjukan, tapi kali
ini pertunjukan untuk dirinya pribadi.
Saat Lucy Gray membuka matanya, dia mencurahkan seluruh perhatian pada
Coriolanus. “Sepertinya kau tidak seharusnya berada di sini.”
“Mungkin memang tidak,” jawab Coriolanus. “Tapi aku mentormu. Aku ingin
bertemu denganmu saat aku mau. Bukan diatur oleh Pengawas Permainan.”
“Ah, pemberontak ya,” kata gadis itu.
Kata itu bak racun di mulut warga Capitol. Tapi, gadis itu mengucapkannya
dengan gaya memberi pengakuan, sebagai pujian. Atau, apakah Lucy Gray sedang
mengejeknya? Dia ingat bagaimana gadis itu mengantongi ular dan segala aturan
yang lazim seakan tak berlaku untuk gadis itu.
“Apa yang dilakukan mentorku, selain membawakanku bunga mawar?”
tanyanya.
“Aku akan mengurusmu sebaik mungkin,” jawab Coriolanus.
Lucy Gray menengok ke belakang, melihat para Penjaga Perdamaian melempar
dua anak yang setengah kelaparan ke peron. Yang perempuan patah gigi depannya
kena hantam peron, sementara yang lelaki kena tendang beberapa kali setelah
jatuh di peron.
Gadis itu tersenyum pada Coriolanus. “Hmm, semoga beruntung, Ganteng,”
desyrindah.blogspot.com

katanya, lalu berjalan ke arah Jessup, meninggalkannya bersama bunga mawar.


Saat Penjaga Perdamaian menggiring para peserta berjalan keluar dari stasiun
menuju pintu utama, Coriolanus merasa kesempatannya musnah. Dia tidak
berhasil mendapat kepercayaan gadis itu. Dia tak melakukan apa pun kecuali
membuat gadis itu terhibur sejenak. Jelas Lucy Gray menganggapnya tidak
berguna, dan mungkin itu benar. Tapi, dengan segala yang dipertaruhkannya, dia
harus berusaha. Coriolanus berlari melintasi stasiun kereta, menyusul kerumunan
peserta yang sudah berada di pintu.
“Permisi,” katanya pada Penjaga Perdamaian yang bertugas. “Namaku
Coriolanus Snow dari Akademi.” Dia mencondongkan kepalanya ke arah Lucy
Gray. “Peserta ini sudah ditetapkan jadi peserta didikku untuk Hunger Games.
Bolehkah aku mendampinginya ke pondokan?”
“Ini alasannya kau nongkrong di stasiun sejak pagi? Supaya bisa menumpang
pertunjukan ini?” tanya Penjaga Perdamaian. Mulutnya bau alkohol dan matanya
merah. “Silakan saja, Mr. Snow. Mari bergabung.”
Pada saat itulah Coriolanus melihat truk yang  menjemput para peserta. Lebih
tepat disebut kandang di atas roda daripada truk. Bagian dasar truk itu ditutup
jeruji besi dan atapnya terbuat dari logam baja. Dia kembali teringat pada sirkus
yang pernah dilihatnya semasa kanak-kanak. Di sana hewan-hewan liar harimau
dan beruang diangkut dengan kurungan seperti itu. Sesuai perintah, para
peserta mengangkat tangan mereka untuk dibuka belenggunya, lalu naik ke kan-
dang.
Coriolanus mundur ketakutan, tapi dia melihat Lucy Gray sedang
mengawasinya dan dia tahu inilah saat penentuannya. Kalau dia mundur sekarang,
semuanya akan berakhir. Gadis itu akan menganggapnya pengecut dan
menjauhinya. Coriolanus mengambil napas dalam-dalam lalu naik ke kandang.
Pintu tertutup di belakangnya, lalu truk bergerak maju, membuatnya kehilangan
keseimbangan. Secara re eks dia berpegangan pada batang jeruji besi di sisi kanan.
desyrindah.blogspot.com

Akibatnya kepala Coriolanus terjepit di antara jeruji karena dua peserta terdesak
jatuh menimpanya. Dia mendorong mundur sekuat tenaga lalu memutar tu-
buhnya hingga menghadap penumpang-penumpang lain. Semua orang berpe-
gangan pada jeruji, kecuali gadis kecil yang giginya patah, yang berpegangan pada
anak lelaki dari distriknya. Ketika truk menderu menyusuri jalan raya, mereka
baru bisa duduk nyaman.
Coriolanus tahu dia sudah melakukan kesalahan. Bahkan di udara terbuka,
baunya tetap menyengat. Bau kereta pengangkut ternak yang telah menyerap ke
tubuh para peserta, bercampur dengan bau manusia yang tidak mandi
membuatnya mual. Setelah berada dalam jarak dekat, Coriolanus bisa melihat
betapa kotornya mereka. Mata mereka yang merah serta lebam memar di tangan
dan kaki mereka. Lucy Gray terjepit di sudut bagian depan, menyeka luka gores
baru di dahinya dengan rumbai pakaiannya. Gadis itu tampak tidak peduli pada
keberadaan Coriolanus, tapi peserta-peserta lain memelototinya seperti
sekelompok hewan buas mengintai anjing kecil yang biasa dimanja.
Setidaknya keadaanku lebih baik daripada mereka, pikir Coriolanus, dan dia
mengepalkan tinju menggenggam tangkai bunga mawar. Aku mesti bersiap, kalau
mereka menyerang. Tapi apakah dia akan selamat? Melawan orang sebanyak itu.
Truk melambat untuk memberi jalan bagi trem berwarna-warni penuh
penumpang yang menyeberangi jalan di depan mereka. Meskipun berada di
belakang, Coriolanus membungkuk agar tidak dikenali orang-orang di jalan.
“Kenapa, tampan? Kau berada di kandang yang salah?” tanya anak lelaki dari
Distrik 11, yang sama sekali tidak tertawa.
Kebencian yang terang-terangan itu membuat gentar Coriolanus, tapi dia
berusaha tampak tidak takut. “Tidak, ini kandang yang memang kutunggu.”
Tangan anak lelaki itu terulur cepat, mencekik leher Coriolanus dengan
jemarinya yang panjang dan berparut hingga menghantamkan punggung
Coriolanus ke jeruji. Tangannya menahan tubuh Coriolanus agar tidak bisa
desyrindah.blogspot.com

bergerak. Dalam keadaan terpiting, Coriolanus melakukan satu gerakan yang


selalu membuatnya menang saat perkelahian di sekolah. Dia mengangkat lutut
menghajar selangkangan lawannya dengan keras. Pemuda distrik itu terkesiap dan
merunduk kesakitan, sehingga melepaskan cengkeramannya.
“Dia bakal membunuhmu sekarang.” Gadis dari Distrik 11 batuk di depan wajah
Coriolanus. “Dia membunuh Penjaga Perdamaian di Sebelas. Mereka tak pernah
tahu siapa pelakunya.”
“Diam, Dill,” raung pemuda itu.
“Siapa yang peduli sekarang?” kata Dill.
“Ayo, kita habisi dia,” ajak seorang pemuda bertubuh kecil dengan suara licik.
“Tak ada efeknya buat kita.”
Beberapa peserta bergumam setuju dan mulai mendekati Coriolanus.
Coriolanus tegang karena ketakutan. Membunuhnya? Apakah mereka sungguh-
sungguh akan menghajarnya sampai mati, siang bolong begini, di tengah Capitol?
Tiba-tiba, dia tersadar mereka benar-benar berniat membunuhnya. Lagi pula, apa
ruginya buat mereka? Jantungnya berdebar keras. Dia sedikit membungkuk, kedua
tinjunya siaga, bersiap-siap menghadapi serangan.
Dari sudut tempatnya berdiri, suara merdu Lucy Gray memecahkan ketegangan.
“Mungkin buat kita tidak ada efeknya. Kau punya keluarga di rumah, kan? Ada
orang yang bisa mereka hukum di sana.”
Pernyataan Lucy Gray membuat peserta-peserta lain waspada. Dia berjalan lalu
berdiri di antara mereka dan Coriolanus.
“Lagi pula,” katanya, “dia mentorku. Dia seharusnya membantuku. Aku mungkin
butuh dia.”
“Kenapa kau bisa dapat mandor?” tanya Dill.
“Mentor. Kalian masing-masing akan dapat satu,” Coriolanus menjelaskan,
berusaha menguasai keadaan.
“Kalau begitu, di mana mereka?” tantang Dill. “Kenapa mereka tidak datang?”
desyrindah.blogspot.com

“Kurasa, yang lain tidak terpanggil untuk datang,” kata Lucy Gray. Dia
memalingkan wajah dari Dill dan mengedipkan mata pada Coriolanus.
Truk berbelok ke jalan sempit dan sampai ke jalan buntu. Coriolanus tidak tahu
harus mengambil posisi seperti apa. Dia berusaha mengingat di mana para peserta
ditempatkan tahun-tahun sebelumnya. Apakah di istal yang mengandangkan
kuda-kuda milik Penjaga Perdamaian? Seingatnya begitu. Saat tiba di sana, dia
akan mencari Penjaga Perdamaian dan menjelaskan semuanya. Mungkin meminta
perlindungan juga, mengingat ancaman yang dihadapinya. Setelah Lucy Gray
mengedipkan mata, tampaknya keberadaannya di sini tidak sia-sia.
Sekarang truk mereka mundur ke dalam gedung yang pencahayaannya temaram,
mungkin semacam gudang. Coriolanus menghirup campuran bau ikan busuk dan
jerami apak. Dia bingung dan berusaha memahami tempat ini. Matanya mencoba
mengenali dua pintu baja yang terbuka. Seorang Penjaga Perdamaian membuka
pintu belakang truk. Dan, sebelum ada yang memanjat, kandang itu bergerak
miring hingga menjatuhkan mereka semua ke lempengan lumpur basah dan
dingin. Bukan lempengan, lebih tepatnya adalah seluncuran. Karena kandang
dimiringkan sedemikian rupa, Coriolanus mulai meluncur bersama yang lain. Dia
melepaskan bunga di tangannya  saat kedua tangan dan kakinya mencari-cari
tumpuan, tapi tak berhasil. Mereka meluncur turun sekitar tujuh meter sebelum
mendarat di tumpukan barang-barang di atas lantai berpasir.
Sinar matahari menyorot terang sementara Coriolanus berusaha melepaskan
diri dari kerumunan. Dia berjalan beberapa meter, berdiri tegak, dan membelalak
ngeri. Ini bukan istal. Meskipun sudah lama tidak mengunjungi tempat ini, dia
masih ingat jelas tempat apa ini. Pasir di mana-mana. Formasi bebatuan disusun
tinggi. Deretan jeruji besi ditatah membentuk lengkungan-lengkungan lebar untuk
melindungi penonton. Di seberang jeruji, wajah anak-anak Capitol melongo
memandangnya.
Dia berada di kandang monyet di kebun binatang.
desyrindah.blogspot.com
4

Ini sama memalukannya seperti berdiri telanjang di tengah-tengah Corso. Paling


tidak, di jalanan dia masih bisa melarikan diri. Sekarang dia terperangkap dan jadi
bahan tontonan. Untuk pertama kalinya dia memahami ketidakmampuan hewan-
hewan itu untuk bersembunyi. Anak-anak Capitol mulai sibuk berceloteh sambil
menunjuk seragam sekolahnya, sehingga menarik perhatian orang-orang dewasa.
Wajah-wajah memenuhi celah di antara jeruji. Tapi, yang paling mengerikan
adalah sepasang kamera yang ditempatkan di dua sisi pengunjung.
Berita Capitol. Dengan liputan yang ada di mana-mana dan slogan riang, “Kalau
kau tidak melihatnya di sini, itu tidak sungguh terjadi.”
Oh, itu terjadi. Padanya. Sekarang.
Dia bisa merasakan rekaman wajahnya sedang disiarkan di seantero Capitol.
Untungnya, keterkejutan membuatnya terpaku di tempat. Karena yang lebih
buruk daripada berdiri di antara gembel-gembel distrik di kebun binatang adalah
disorot kamera sedang berlari di dalam kandang berusaha meloloskan diri. Tak
ada jalan keluar. Kandang ini dibuat untuk mengurung hewan-hewan liar.
Berusaha bersembunyi dari tempat ini akan terlihat lebih menyedihkan. Bayang-
kan betapa serunya rekaman itu untuk Berita Capitol. Mereka akan memutarnya
berulang-ulang sampai bosan. Ditambah musik konyol dan keterangan
Kehancuran Snow! Mereka akan memutarnya terus sepanjang sisa hidup
Coriolanus. Dia akan dipermalukan habis-habisan.
Pilihan apa yang dimilikinya? Dia hanya bisa berdiri, memandang kamera lekat-
desyrindah.blogspot.com

lekat, sampai dia diselamatkan.


Dia berdiri tegak, melemaskan pundaknya, dan memasang wajah bosan. Para
penonton mulai meneriakinya. Awalnya lengkingan anak-anak, lalu diikuti suara
orang-orang dewasa. Mereka menanyakan apa yang dilakukannya, kenapa dia ada
di dalam kandang, apakah dia butuh bantuan? Ada orang yang mengenalinya, dan
namanya disebut oleh banyak orang, makin lama makin banyak orang yang
memanggilnya.
“Itu anak lelaki keluarga Snow!”
“Siapa?”
“Kau tahu, keluarga yang punya bunga mawar di atapnya!”
Siapa orang-orang yang keluyuran ke kebun binatang pada hari kerja? Apakah
mereka tidak punya pekerjaan? Bukankah anak-anak itu seharusnya di sekolah?
Tidak heran negara ini jadi berantakan.
Peserta-peserta distrik mulai mengelilinginya, mencemoohnya. Pasangan
Distrik 11, anak lelaki kecil sadis yang menginginkan kematiannya, dan beberapa
peserta lagi. Dia ingat kebencian yang mereka tunjukkan padanya di truk dan
ingin tahu apa yang terjadi jika mereka mengeroyoknya. Mungkin keberadaan
penonton membuat mereka bersemangat.
Coriolanus berusaha tidak panik, tapi dia bisa merasakan keringat mengucur di
tubuhnya. Semua wajah mereka para peserta yang berada di dekatnya dan
orang-orang di jeruji mulai mengabur. Sosok-sosok mereka tampak samar,
hanya ada bintik-bintik gelap dan terang kulit mereka yang berpadu dengan warna
merah muda dari mulut mereka yang terbuka. Tangan dan kakinya seakan-akan
lumpuh, paru-parunya butuh udara. Dia sedang mempertimbangkan kabur ke
seluncuran dan mencoba menaikinya saat terdengar suara di belakangnya,
“Kuasai.”
Tanpa perlu berbalik, Coriolanus tahu suara siapa itu. Suara gadisnya. Dan
Coriolanus merasa amat lega karena tahu bahwa dia tidak sendirian. Dia ingat
desyrindah.blogspot.com

betapa cerdasnya gadis itu mengambil kesempatan setelah diserang Walikota.


Bagaimana dia memenangkan hati mereka dengan lagunya. Tentu saja, Lucy Gray
benar. Dia harus membuat keadaan ini tampak disengaja atau tamatlah riwayatnya.
Coriolanus mengambil napas dalam-dalam lalu berbalik ke arah Lucy Gray yang
sedang duduk. Dengan santai dia merapikan letak bunga di telinga gadis itu.
Tampaknya gadis itu selalu meningkatkan penampilannya. Merapikan roknya di
Distrik 12, menata rambutnya di stasiun kereta, dan sekarang menghiasi dirinya
dengan bunga mawar. Dia mengulurkan tangan seakan dia gadis paling anggun di
Capitol.
Bibir Lucy Gray melengkung membentuk senyuman. Ketika Lucy Gray
memegang tangan Coriolanus, pemuda itu merasakan setruman kecil di
lengannya. Dia merasa seakan-akan pesona panggung gadis itu berpindah
padanya. Coriolanus membungkuk sedikit, sementara Lucy Gray berdiri dengan
keanggunan yang dilebih-lebihkan.
Dia ada di panggung. Kau ada di panggung. Ini adalah pertunjukan, pikir
Coriolanus. Dia mengangkat kepalanya dan bertanya, “Maukah Anda bertemu
dengan beberapa tetanggaku?”
“Dengan senang hati,” jawab Lucy Gray, seakan-akan mereka sedang minum teh
di sore hari. “Sisi kiriku lebih baik,” gumamnya, seraya mengelus pipinya.
Coriolanus tidak tahu mesti berbuat apa, tapi dia mulai membawa Lucy Gray ke
sebelah kiri. Gadis itu tersenyum lebar pada penonton, seolah-olah tampak senang
berada di sana. Tapi, saat Coriolanus membawanya lebih dekat ke jeruji, dia bisa
merasakan jemari gadis itu mencengkeramnya amat erat.
Ada parit dangkal di antara bangunan berbatu dan jeruji kandang monyet, yang
dulunya sebagai pembatas berair antara hewan dan penonton, tapi sekarang parit
itu kering. Mereka menuruni tiga anak tangga, melintasi parit dan naik ke langkan
yang berada di sekeliling pembatas. Kini mereka berdiri sejajar dengan penonton.
Coriolanus memilih tempat berjarak beberapa meter dari salah satu kamera
desyrindah.blogspot.com

membiarkan kamera merekamnya sekawanan anak-anak berdiri berkerumun.


Jarak antar jeruji sekitar sepuluh sentimeter tidak cukup lebar untuk meloloskan
diri, tapi muat jika kau mengulurkan tangan. Anak-anak terdiam saat mereka
mendekat, memeluk kaki orangtua mereka.
Coriolanus membayangkan sedang berada di acara minum teh sore, sehingga dia
terus bersikap santai.
“Bagaimana kabar kalian?” tanya Coriolanus sambil mendekati anak-anak. “Aku
bawa temanku hari ini. Kalian mau bertemu dengannya?”
Anak-anak itu bergerak-gerak, dan ada beberapa yang cekikikan. Lalu satu anak
lelaki yang menyahut, “Ya!” Anak itu memukulkan kedua tangannya ke jeruji
beberapa kali, lalu memasukkan kedua tangannya ke kantong celana. “Kami
melihatnya di televisi.”
Coriolanus membawa Lucy Gray ke dekat jeruji. “Izinkan saya mem-
persembahkan Miss Lucy Gray Baird.”
Penonton terdiam sekarang, gelisah karena jarak gadis itu yang begitu dekat
dengan anak-anak, tapi mereka ingin mendengar apa yang akan diucapkan oleh
sang peserta. Lucy Gray berlutut dengan satu kaki, berjarak sekitar tiga puluh
sentimeter dari jeruji. “Hai. Namaku Lucy Gray. Siapa namamu?”
“Pontius,” kata anak itu, mendongak memandang ibunya minta kepastian. Sang
ibu memandang Lucy Gray dengan hati-hati, tapi gadis itu tidak memedulikannya.
“Apa kabar, Pontius?” tanyanya.
Sebagaimana layaknya anak lelaki Capitol yang sopan, anak itu mengulurkan
tangannya untuk bersalaman. Lucy Gray juga mengulurkan tangan untuk
menjabat tangan anak itu, tapi tetap menjaga tangannya agar tidak melewati jeruji,
yang bisa saja dianggap sebagai ancaman darinya. Akibatnya, anak itu yang harus
memasukkan tangannya ke antara jeruji agar bisa menyentuh Lucy Gray. Gadis itu
menggenggam hangat tangan Pontius.
“Senang bertemu denganmu. Ini adik perempuanmu?” Lucy Gray mengangguk
desyrindah.blogspot.com

pada gadis kecil yang berdiri di samping anak lelaki itu. Gadis kecil itu berdiri
memandang Lucy Gray dengan mata lebarnya sambil mengisap ibu jari.
“Ini Venus,” katanya. “Dia baru empat tahun.”
“Menurutku, empat adalah umur anak pandai,” kata Lucy Gray. “Senang
bertemu denganmu, Venus.”
“Aku suka lagumu,” bisik Venus.
“Oh, ya?” kata Lucy Gray. “Manis sekali. Tonton terus ya, Sayang. Aku akan
mencoba bernyanyi untukmu lain kali. Oke?”
Venus mengangguk lalu membenamkan wajah di gaun ibunya, membuat
penonton tertawa dan berkata awww.
Lucy Gray mulai berjalan ke sisi lain pembatas, berbicara dengan anak-anak
sembari lewat. Coriolanus mundur sedikit untuk memberinya ruang.
“Apakah kau bawa ularmu?” Gadis kecil dengan es stroberi yang lumer di tangan
bertanya padanya penuh harap.
“Kalau bisa, aku sudah membawanya. Ular itu teman kesayanganku,” kata Lucy
Gray padanya. “Kau punya hewan peliharaan?”
“Aku punya ikan,” kata gadis itu. Dia bersandar ke jeruji. “Nama ikanku Bub.”
Dia memindahkan esnya ke tangan yang lain dan mengulurkan tangan bekas
memegang es ke celah jeruji untuk menyentuh Lucy Gray. “Boleh aku pegang
bajumu?” Tetesan sirup berwarna merah delima mengalir dari telapak tangan ke
sikunya. Lucy Gray tertawa dan mengulurkan roknya untuk dipegang. Dengan
ragu-ragu jemari gadis itu mengelus rumbai-rumbainya. “Cantik.”
“Aku juga suka gaunmu.” Warna gaun anak perempuan itu sudah pudar, dan tak
ada yang menonjol dari gaunnya. Tapi Lucy Gray berkata, “Polka dot selalu
membuatku merasa gembira.” Dan wajah gadis kecil itu berseri-seri.
Coriolanus bisa merasakan para penonton mulai bersemangat menyambut
peserta yang dimentorinya. Mereka tak lagi sungkan dan menjaga jarak. Orang-
orang mudah dimanipulasi jika berkaitan dengan anak-anak mereka. Orangtua
desyrindah.blogspot.com

senang melihat anak mereka senang.


Secara naluriah, Lucy Gray tampaknya mengetahui hal tersebut. Sejauh ini dia
mengabaikan orang-orang dewasa. Dia sekarang berada di dekat salah satu kamera
dan wartawan. Dia pasti merasakannya. Tapi, saat dia bangkit dan berhadapan
dengan kamera, dia menunjukkan sikap terkejut, lalu tertawa. “Oh, hai. Apakah
kita masuk televisi?”
Wartawan Capitol itu, pria muda yang haus akan berita, mencondongkan tubuh
dan mendekat penasaran. “Tentu saja kita masuk televisi.”
“Dan siapa namamu?” tanya Lucy Gray.
“Aku Lepidus Malmsey dari Berita Capitol,” katanya, sambil tersenyum lebar.
“Jadi, kau Lucy, peserta dari Distrik Dua Belas?”
“Panggilanku Lucy Gray dan aku tidak benar-benar dari Dua Belas,” katanya.
“Kami Pengembara. Kami bekerja sebagai pemusik. Kami salah berbelok pada
suatu hari dan terpaksa menetap.”
“Oh. Kalau begitu… kau dari distrik berapa?” tanya Lepidus.
“Tidak dari distrik mana pun. Kami berpindah-pindah tempat tinggal ke tempat
yang kami inginkan.” Lucy Gray mendadak tersadar. “Yah, dulu kami seperti itu.
Sebelum Penjaga Perdamaian mengumpulkan kami beberapa tahun lalu.”
“Tapi sekarang kau penduduk Distrik Dua Belas?” wartawan itu bersikeras
bertanya.
“Terserah kalau maumu begitu.” Tatapan Lucy Gray beralih ke kerumunan
penonton, seolah-olah dia bosan.
Wartawan itu tahu bahwa Lucy Gray sudah tidak tertarik lagi. “Gaunmu
menghebohkan Capitol!”
“Benarkah? Kaum Pengembara suka pakaian berwarna-warni, terutama aku.
Tapi gaun ini milik mamaku, jadi sangat spesial buatku,” katanya.
“Ibumu ada di Distrik Dua Belas?” tanya Lepidus.
“Hanya tulangnya, Sayang. Hanya tulang kerangkanya.” Lucy Gray memandang
desyrindah.blogspot.com

wartawan itu, yang tampaknya berpikir keras mesti bertanya apa lagi. Gadis itu
membiarkannya kebingungan, lalu menunjuk Coriolanus. “Apakah kau kenal
mentorku? Dia bilang namanya Coriolanus Snow. Dia anak Capitol, dan aku bagai
dapat kue dengan krim karena mentor yang lain bahkan tidak mau repot-repot
menyambut mereka.”
“Dia juga mengejutkan kami. Apakah guru-gurumu menyuruhmu kemari,
Coriolanus?” tanya Lepidus.
Coriolanus melangkah maju menghadap kamera, berusaha tampil agar disukai
tapi dengan gaya sedikit kurang ajar. “Mereka tidak melarangku datang.” Terdengar
tawa di antara penonton. “Tapi, aku ingat mereka bilang agar aku
memperkenalkan Capitol pada Lucy Gray, dan aku menganggap serius tugas itu.”
“Jadi kau tidak ragu memutuskan terjun ke kandang bersama para peserta?”
tanya sang wartawan.
“Akan ada keputusan-keputusan lain yang harus diambil di masa yang akan
datang,” kata Coriolanus. “Tapi jika dia berani berada di sini, kenapa aku harus
takut?”
“Tolong diingat, aku tidak punya pilihan,” kata Lucy Gray.
“Tolong diingat, aku juga tidak punya pilihan,” kata Coriolanus. “Setelah aku
mendengarmu bernyanyi, aku tak bisa menjauh. Aku mengaku, aku
penggemarmu.” Lucy Gray mengibaskan roknya ketika terdengar tepuk tangan
dari kerumunan penonton.
“Demi kebaikanmu, kuharap Akademi setuju denganmu, Coriolanus,” kata
Lepidus. “Kurasa kau akan mengetahuinya sebentar lagi.”
Coriolanus menatap pintu-pintu besi di belakangnya, jendela-jendelanya
diperkuat dengan pagar. Pintu itu terbuka langsung ke bagian belakang kandang
monyet. Empat orang Penjaga Perdamaian berderap masuk dan langsung berjalan
ke arahnya. Dia kembali memandang kamera, berusaha pamit dengan penampilan
yang bagus.
desyrindah.blogspot.com

“Terima kasih sudah bergabung bersama  kami,” katanya. “Ingatlah, Lucy Gray
Baird, mewakili Distrik Dua Belas. Mampirlah ke kebun binatang kalau Anda ada
waktu, dan Anda bisa menyapanya langsung. Aku jamin, dia layak Anda temui.”
Lucy Gray mengulurkan tangan ke arahnya, menekukkan pergelangan
tangannya dengan gemulai, meminta untuk dikecup. Coriolanus menurutinya,
dan ketika bibirnya menyentuh kulit gadis itu, sekujur tubuhnya menggelenyar
bahagia. Setelah melambai terakhir kalinya, dia berjalan dengan tenang
menghampiri para Penjaga Perdamaian. Salah seorang memanggilnya sekilas, dan
tanpa mengucapkan apa pun dia mengikuti mereka keluar dari kurungan itu
diiringi tepuk tangan. 
Ketika pintu tertutup di belakangnya, Coriolanus menghela napas lega dan
menyadari betapa takut dirinya. Diam-diam dia bangga bisa menjaga ketenangan
di bawah tekanan, tapi bentakan dari para Penjaga Perdamaian menunjukkan
mereka tidak senang.
“Apa maksudmu main-main seperti itu?” tanya Penjaga Perdamaian. “Kau tidak
boleh ada di sana.”
“Aku juga pikir begitu, sampai salah satu orangmu menjatuhkanku dengan kasar
di seluncuran,” jawab Coriolanus. Dia pikir perpaduan kata orangmu dan dengan
kasar menunjukkan statusnya yang superior. “Aku hanya menumpang sampai ke
kebun binatang. Dengan senang hati aku akan menjelaskan semuanya pada
pemimpinmu dan menunjuk siapa Penjaga Perdamaian yang melakukan ini. Tapi
aku amat berterima kasih padamu.”
“Oh, ya,” kata Penjaga Perdamaian masa bodoh. “Kami mendapat perintah
untuk mengawalmu kembali ke Akademi.”
“Lebih baik, kalau begitu,” kata Coriolanus, terdengar lebih percaya diri
daripada yang sebenarnya dia rasakan. Reaksi yang amat cepat dari sekolah
membuatnya gelisah.
Meskipun televisi di bagian belakang van Penjaga Perdamaian rusak, dia bisa
desyrindah.blogspot.com

melihat kilasan-kilasan berita di layar-layar raksasa di sepanjang jalan di Capitol.


Rasa gugupnya mulai meluap ketika melihat Lucy Gray, lalu dirinya, di layar
televisi yang disiarkan ke seluruh penjuru kota. Coriolanus takkan pernah
merencanakan sesuatu yang selancang ini, tapi karena telanjur terjadi, sekalian saja
dia menikmatinya. Dan dia pikir, dia sudah memberikan pertunjukan yang
menarik. Tetap tenang. Bertahan. Penampilan gadis itu
alami. Dia menghadapinya dengan bermartabat dan rasa humor yang ironis.
Pada saat mereka sampai di Akademi, dia sudah kembali tenang dan menaiki
tangga dengan percaya diri. Semua mata memandang ke arahnya, dan jika tak ada
Penjaga Perdamaian yang menahannya, dia yakin teman-teman sekolahnya akan
mengerubunginya. Dia pikir dia akan dibawa ke kantor kepala sekolah, tapi tanpa
disangka Penjaga Perdamaian mendudukkannya di bangku di depan pintu labo-
ratorium biologi, yang biasanya terbatas untuk siswa senior yang genius dalam
bidang sains. Walaupun biologi bukan mata pelajaran favoritnya, karena bau
formaldehida membuatnya mual dan dia benci bekerja berpasangan, dia pandai
dalam rekayasa genetika sehingga bisa masuk kelas ini. Berbeda dengan Io Jasper
yang pandai, yang seakan-akan lahir dengan mikroskop menempel di matanya.
Dia selalu ramah pada Io, dan hasilnya gadis itu memujanya. Bagi orang-orang
yang tidak populer, usaha sekecil itu punya pengaruh besar. 
Tapi siapalah dia, merasa lebih mulia? Di seberang bangku, di papan
pengumuman siswa, ada memo yang terpasang. Tulisannya:
HUNGER GAMES KE-10
PENUGASAN MENTOR
DISTRIK 1
Lelaki Livia Cardew
Perempuan Palmyra Monty
DISTRIK 2
Lelaki Sejanus Plinth
desyrindah.blogspot.com

Perempuan Florus Friend


DISTRIK 3
Lelaki Io Jasper
Perempuan Urban Canville
DISTRIK 4
Lelaki Persephone Price
Perempuan Festus Creed
DISTRIK 5
Lelaki Dennis Fling
Perempuan Iphigenia Moss
DISTRIK 6
Lelaki Apollo Ring
Perempuan Diana Ring
DISTRIK 7
Lelaki Vipsania Sickle
Perempuan Pliny Harrington
DISTRIK 8
Lelaki Juno Phipps
Perempuan Hilarius Heavensbee
DISTRIK 9
Lelaki Gaius Breen
Perempuan Androcles Anderson
DISTRIK 10
Lelaki Domitia Whimsiwick
Perempuan Arachne Crane
DISTRIK 11
Lelaki Clemensia Dovecote
Perempuan Felix Ravinstill
desyrindah.blogspot.com

DISTRIK 12
Lelaki Lysistrata Vickers
Perempuan Coriolanus Snow
Dia seperti diingatkan terang-terangan tentang keadaan yang tak jelas nasibnya.
Setelah menghabiskan waktu beberapa menit memikirkan alasan kenapa dia
dibawa ke laboratorium, penjaga di sana bilang dia boleh masuk. Tangannya
mengetuk pintu dengan ragu. Suara yang dikenalinya sebagai suara Dekan
Highbo om menyuruhnya masuk. Dia mengira akan melihat Satyria, tapi di
laboratorium itu hanya ada satu orang lain wanita tua bertubuh kecil dan
bungkuk serta berambut keriting yang sedang mengusik kelinci di kandang
dengan batang besi. Dari celah kandang, wanita itu menyodok kelinci yang sudah
dimodi kasi sehingga rahangnya sekuat anjing pit bull. Kelinci itu merenggut
tongkat besi dari tangan si wanita dan mematahkannya jadi dua. Wanita itu
menegakkan diri sebisa mungkin, lalu mengalihkan perhatiannya pada
Coriolanus, dan berseru, “Wah, wah, wah!”
Dr. Volumnia Gaul, Kepala Pengawas Permainan dan otak di balik divisi senjata
eksperimental Capitol. Wanita itu sudah membuat Coriolanus ngeri sejak kanak-
kanak. Dia berumur sembilan tahun dan sedang mengikuti acara karyawisata
ketika melihat Dr. Gaul melelehkan tikus laboratorium dengan semacam laser. Dia
lalu bertanya apakah ada salah satu dari mereka yang sudah bosan dengan hewan
peliharaannya. Coriolanus tidak punya hewan peliharaan. Lagi pula, bagaimana
mungkin mereka sanggup memelihara hewan? Tapi, Pluribus Bell punya kucing
putih berbulu tebal bernama Boa Bell, yang senang berbaring di pangkuan
pemiliknya dan bermain di ujung wig putih Pluribus. Kucing itu menyukai
Coriolanus, dan mendengkur serak saat Coriolanus mengelus kepalanya. Pada
hari-hari suram ketika dia harus melewati lumpur salju dingin untuk membarter
kacang kara dengan kubis, kehangatan dan kelembutan bulu kucing itu selalu
berhasil menghiburnya. Dia sedih membayangkan Boa Bell berakhir di
desyrindah.blogspot.com

laboratorium.
Coriolanus tahu Dr. Gaul mengajar di universitas, tapi dia jarang melihat wanita
itu di Akademi. Sebagai Kepala Pengawas Permainan, apa pun yang berkaitan
dengan Hunger Games berada di bawah perhatiannya. Apakah tingkahnya di
kebun binatang membawa wanita itu ke sini? Apakah dia akan kehilangan
jabatannya sebagai mentor?
“Wah, wah, wah.” Dr. Gaul tersenyum lebar. “Bagaimana di kebun binatang?”
Kemudian dia tertawa. “Wah, wah, wah, kau jatuh ke kandang dan pesertamu ikut
jatuh juga!”
Bibir Coriolanus membentuk senyum lemah dan tatapannya tertuju pada Dekan
Hightbo om, mencari petunjuk bagaimana bereaksi. Pria itu duduk merosot
bersandar di meja laboratorium, mengusap-usap keningnya seolah-olah sedang
sakit kepala. Tak ada pertolongan untuknya.
“Memang,” kata Coriolanus. “Betul. Kami jatuh ke kandang.”
Dr. Gaul mengangkat alis seakaan mengharapkan jawaban lebih. “Dan?”
“Dan… kami… mendarat di panggung?” lanjutnya.
“Ya! Tepat sekali! Persisnya itu yang terjadi padamu!” Dr. Gaul memandang
senang padanya. “Kau pandai dalam Games. Mungkin suatu hari kau akan jadi
Pengawas Permainan.”
Hal itu tak pernah terlintas dalam benak Coriolanus. Dengan segala hormat
pada Remus, tampaknya pekerjaan itu tidak susah-susah amat. Tidak butuh
keahlian khusus, hanya perlu melempar anak-anak dan berbagai senjata ke arena
dan membiarkan mereka berkelahi. Mungkin mereka mesti mengatur
pemungutan dan merekam pertarungan di Games, tapi dia berharap memiliki
karier yang lebih menantang. “Aku masih perlu banyak belajar sebelum berani me-
mikirkannya,” katanya dengan rendah hati.
“Kau punya insting untuk pekerjaan ini. Itulah yang penting,” kata Dr. Gaul.
“Beritahu aku, apa yang membuatmu masuk ke kandang?”
desyrindah.blogspot.com

Sebenarnya dia tak sengaja masuk ke kandang. Dia hampir berterus terang
ketika dia teringat bisikan Lucy Gray, Kuasai.
“Begini… pesertaku, tubuhnya kecil. Tipe peserta yang akan tewas dalam lima
menit pertama Hunger Games. Tapi dia terlihat menarik walaupun berantakan,
dengan lagu dan lain-lain.” Coriolanus terdiam sejenak, seakan memikirkan
rencananya. “Kurasa dia tidak punya kesempatan menang, tapi bukan di sana
intinya, ya, kan? Aku diberitahu bahwa kita sedang berusaha menarik perhatian
penonton. Itu tugasku. Membuat orang-orang mau menonton. Jadi aku berpikir,
bagaimana caranya aku bisa menarik penonton? Aku pergi ke tempat yang ada
kameranya.”
Dr. Gaul mengangguk. “Ya. Ya, takkan ada Hunger Games tanpa penonton.” Dia
memandang sang dekan. “Casca, lihat anak ini, dia mengambil inisiatif. Dia paham
pentingnya menjaga semangat
Hunger Games.”
Dekan Highbo om menyipitkan mata ragu. “Oya? Atau dia cuma banyak lagak
demi mendapat nilai bagus? Menurutmu, apa tujuan Hunger Games,
Coriolanus?”
“Untuk menghukum distrik-distrik atas pemberontakan mereka,” jawab
Coriolanus tanpa ragu.
“Ya, tapi hukuman bisa ada banyak jenisnya,” kata sang dekan. “Kenapa Hunger
Games?”
Coriolanus membuka mulut hendak menjawab, tapi ragu. Kenapa Hunger
Games? Kenapa tidak menjatuhkan bom, atau memutus pengiriman makanan,
atau melaksanakan hukuman mati di depan Gedung Pengadilan distrik-distrik itu?
Pikirannya tertuju pada Lucy Gray yang berlutut di balik jeruji kandang,
mengobrol dengan anak-anak, mencairkan hati massa. Mereka terhubung dengan
cara yang tak bisa dijelaskan dengan kata-
kata oleh Coriolanus. “Karena… Karena anak-anak. Mereka berarti buat
desyrindah.blogspot.com

masyarakat.”
“Bagaimana mereka berarti?” tanya Dekan Highbo om lagi.
“Orang-orang menyayangi anak-anak,” kata Coriolanus. Saat mengucapkannya
pun, dia mempertanyakan maksud pernyataannya. Semasa perang, dia dibom,
kelaparan, dan disiksa dengan berbagai cara, bukan hanya oleh para pemberontak.
Kubis direnggut dari tangannya. Penjaga Perdamaian menghajar rahangnya saat
dia mengeluyur terlalu dekat ke istana presiden. Dia teringat saat dia pingsan dan
terkapar di jalan karena u angsa dan tak ada, tak ada seorang pun yang berhenti
untuk membantunya. Dia meriang, demam tinggi, semua persendiannya nyeri.
Meskipun sedang sakit juga, Tigris menemukannya di jalan malam itu dan entah
bagaimana berhasil membawanya pulang.
Coriolanus tergagap. “Kadang-kadang orang merasa seperti itu,” katanya, namun
mulai tidak yakin. Saat dia memikirkannya lagi, rasa sayang orang kepada anak-
anak mudah berubah. “Aku tidak tahu kenapa mereka berarti,” Coriolanus
mengaku.
Dekan Highbo om memandang Dr. Gaul.  “Lihat sendiri, kan? Ini eksperimen
yang gagal.”
“Gagal kalau tak ada yang menonton!” balas Dr. Gaul. Dia tersenyum ramah
pada Coriolanus. “Dia sendiri masih anak-anak. Beri dia waktu. Aku punya rasat
bagus tentang anak ini. Aku pergi dulu lihat mu -ku.” Dia menepuk lengan
Coriolanus sembari berjalan menyeret kaki ke pintu. “Rahasia ya, ada hasil yang
mengagumkan pada reptil-reptil itu.”
Coriolanus seolah-olah hendak beranjak mengikuti Dr. Gaul, tapi suara Dekan
Highbo om menghentikan langkahnya. “Jadi kau merencanakan seluruh
pertunjukan tadi. Hmm, aneh. Karena saat kau berdiri di kandang tadi, kupikir
kau berpikir hendak melarikan diri.”
“Cara masuknya tidak seperti yang kubayangkan. Aku butuh waktu untuk
menyesuaikan diri dan mengambil sikap. Memang, masih banyak yang harus
desyrindah.blogspot.com

kupelajari,” kata Coriolanus.


“Salah satunya adalah batas-batas. Kau akan mendapat kecaman karena
melakukan tindakan gegabah yang bisa melukai siswa sekolah ini. Siswa itu adalah
kau. Ini akan tercatat dalam rapormu,” kata sang dekan.
Kecaman? Apa maksudnya? Coriolanus harus mengecek lagi pedoman Akademi
agar dia bisa mengajukan keberatan atas hukuman ini. Perhatiannya teralih saat
melihat sang dekan mengeluarkan botol kecil dari kantongnya, membuka botol
itu, dan meneteskan tiga tetes cairan bening itu ke lidahnya.
Entah apa isi botol itu, kemungkinan isinya mor n. Reaksinya cepat, karena
tubuh Dekan Highbo om terlihat rileks dan matanya sayu. Dia tersenyum jijik.
“Tiga kali kecaman, kau akan dikeluarkan dari sekolah.”
desyrindah.blogspot.com
5

Coriolanus tak pernah menerima teguran resmi apa pun yang menodai nilai
rapornya yang cemerlang. “Tapi…” dia hendak protes.
“Ayo, nanti kau akan mendapat kecaman kedua karena membangkang,” kata
Dekan Highbo om. Tak ada nada tawar-menawar dalam pernyataannya, tak ada
ruang untuk membantahnya. Coriolanus patuh pada perintahnya.
Apakah Dekan Highbo om sungguh-sungguh mengatakan dikeluarkan?
Coriolanus meninggalkan Akademi dalam keadaan gelisah, tapi gelombang
kegembiraan karena menjadi pusat perhatian berhasil menenangkan
kegundahannya. Mulai dari teman-teman sekolahnya di lorong sekolah, Tigris dan
Grandma’am ketika mereka makan telur goreng dan sup kubis, sampai orang-
orang yang tak dikenalnya ketika dia berjalan menuju kebun binatang malam itu.
Semua memberi selamat dan mengatakan tidak sabar untuk melihatnya di
Hunger Games.
Cahaya oranye lembut menyelubungi kota, dan embusan angin sejuk menyapu
panas siang hari yang mencekik. Para pejabat memperpanjang jam buka kebun
binatang sampai pukul sembilan malam agar warga Capitol bisa melihat para
peserta. Tapi, tak ada lagi tayangan langsung sejak dia terakhir berada di sini.
Coriolanus memutuskan datang ke sana melihat Lucy Gray dan menyarankan
padanya untuk bernyanyi. Penonton akan menyukainya, bahkan mungkin me-
narik perhatian kamera lagi.
Ketika menyusuri jalan menuju kebun binatang, pikirannya dipenuhi nostalgia
desyrindah.blogspot.com

tentang hari-hari menyenangkan yang dihabiskannya di sana semasa kanak-kanak.


Tapi, dia juga merasa sedih melihat kandang-kandang yang kosong di sana.
Kandang-kandang itu dulunya berisi makhluk-makhluk memesona dari bahtera
genetika Capitol. Sekarang, dalam salah satu kandang, ada seekor kura-kura di atas
lumpur, napasnya mendecit. Seekor burung besar ber warna-warni dengan bulu
yang kotor menjerit-jerit di batang pohon, mengepakkan sayapnya dari satu sisi
pagar pembatas ke sisi lain. Mereka makhluk langka yang mampu bertahan hidup
dari perang, karena kebanyakan hewan sudah mati kelaparan atau dijadikan ma-
kanan. Sepasang rakun kurus kering yang kemungkinan besar berasal dari taman
kota yang terhubung dengan kebun binatang tampak mengais-ngais tempat
sampah yang terguling. Satu-satunya jenis hewan yang makmur adalah tikus-tikus
yang berkejaran di sekitar air mancur dan berlari terbirit-birit di jalan yang
lebarnya hanya tiga puluh sentimeter.
Coriolanus kini berada di dekat kandang monyet. Jalan-jalan di sana semakin
ramai. Kerumunan yang jumlahnya sekitar seratus orang mengelilingi jeruji dari
ujung ke ujung. Seseorang mendorong lengannya ketika mereka makin mendesak,
dan dia melihat Lepidus Malmsey maju di antara kerumunan massa bersama juru
kameranya. Keriuhan terjadi di depan, dan dia naik ke langkan agar bisa melihat
lebih jelas.
Dengan kesal, dia melihat Sejanus berdiri di ujung kandang dengan tas ransel
besar di sampingnya. Kelihatannya dia memegang sandwich, yang diberikannya
kepada para peserta lewat celah jeruji. Sejenak, mereka yang di dalam kandang
tertegun. Coriolanus tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Sejanus,
sepertinya dia sedang membujuk Dill, anak perempuan Distrik 11, untuk
mengambil sandwich itu. Apa yang dilakukan Sejanus? Apakah dia berusaha
mengalahkannya dan mencuri perhatian untuk dirinya sendiri? Apakah Sejanus
mencuri idenya dengan datang ke kebun binatang lalu melakukan apa yang tak
sanggup dilakukan oleh Coriolanus, karena dia tak mampu melakukannya?
desyrindah.blogspot.com

Apakah ransel itu berisi penuh sandwich? Gadis itu bahkan bukan peserta
didiknya.
Saat Sejanus melihat Coriolanus, wajahnya langsung berbinar dan dia melambai
meminta Coriolanus mendekat. Dengan santai, dia berjalan menembus
kerumunan, menikmati perhatian mereka. “Ada masalah?” tanyanya, sembari
melihat isi ransel Sejanus. Ransel itu tidak hanya penuh sandwich, tapi juga buah
prem segar.
“Tak ada satu pun yang percaya padaku. Dan itu memang wajar,” kata Sejanus.
Gadis kecil yang sok tahu berjalan menghampiri mereka dan menunjuk tanda di
pilar di ujung kandang. “Tulisannya, ‘Tolong jangan beri makan binatang’.”
“Tapi, mereka bukan binatang,” kata Sejanus. “Mereka anak-anak, sama seperti
kau dan aku.”
“Mereka tidak seperti aku!” protes gadis kecil itu. “Mereka berasal dari distrik.
Itu sebabnya mereka pantas berada di kandang!”
“Sekali lagi, mereka seperti aku,” kata Sejanus tak acuh. “Coriolanus, bisakah kau
minta pesertamu kemari? Kalau dia mau, yang lain mungkin mau. Mereka pasti
kelaparan.”
Otak Coriolanus berputar cepat. Dia sudah mendapat satu kecaman hari ini dan
tak mau cari gara-gara dengan Dekan Highbo om. Di sisi lain, kecaman itu
diberikan karena dia membahayakan siswa, namun sekarang dia aman berada di
sisi jeruji ini. Dr. Gaul, yang jelas memiliki lebih banyak pengaruh dibandingkan
Dekan Highbo om, memuji inisiatifnya. Dan sejujurnya, dia tidak mau
menyerahkan panggungnya untuk Sejanus. Kebun binatang ini arena pertunjukan,
dengan dia dan Lucy Gray sebagai bintangnya. Dia bisa mendengar Lepidus
berbisik menyebut namanya pada juru kamera, dan merasa mata-mata para
penonton di Capitol sedang mengawasinya.
Dia melihat Lucy Gray berada di bagian belakang kandang, mencuci tangan dan
membasuh wajahnya dengan air keran yang menyembul dari dinding setinggi
desyrindah.blogspot.com

lututnya. Dia mengeringkan tangannya di rumbai-rumbai roknya, merapikan


rambutnya, lalu memperbaiki letak bunga mawar di belakang telinganya.
“Aku tidak bisa memperlakukannya seperti memberi makan binatang,” kata
Coriolanus pada Sejanus. Menyodorkan makanan dari celah jeruji tidaklah
konsisten dengan sikapnya dalam memperlakukan Lucy Gray sebagai wanita
terhormat. “Apalagi terhadap pesertaku. Tapi, aku bisa menawarinya makan
malam.”
Sejanus langsung mengangguk. “Ambil apa saja. Ma menyiapkan makanan lebih.
Silakan.”
Coriolanus mengambil dua sandwich dan dua buah prem dari ransel, lalu
berjalan ke ujung kandang monyet, di sana ada batu datar yang bisa dijadikannya
tempat duduk. Tak pernah sekali pun, bahkan pada tahun-tahun terburuk, dia
meninggalkan rumah tanpa saputangan bersih di kantongnya. Grandma’am
berkeras bahwa kesopansantunan bisa menghalau kekacauan. Ada banyak sapu-
tangan di laci-laci pakaian di rumah mereka, mulai dari yang polos, ada rendanya,
sampai yang dibordir bunga. Dia mengeluarkan saputangan usang berbahan linen
putih yang agak kusut di ujungnya dan meletakkannya di atas batu lalu menaruh
makanan itu di sana. Saat dia duduk, Lucy Gray berjalan ke jeruji tanpa dihalangi
yang lain.
“Apakah sandwich itu buat semuanya?” tanya Lucy Gray.
“Hanya untukmu,” jawab Coriolanus.
Lucy Gray duduk berlutut dan menerima sandwich-nya. Setelah memeriksa isi
roti itu, dia menggigit ujungnya. “Kau tidak makan?”
Coriolanus tidak tahu. Sejauh ini yang tertangkap kamera sudah bagus, gadis itu
jadi pusat perhatian lagi dan membuatnya jadi seseorang yang punya arti. Tapi apa
yang terjadi kalau Coriolanus makan bersamanya. Itu mungkin akan dianggap
keterlaluan.
“Lebih baik untukmu saja,” kata Coriolanus. “Agar kau tetap kuat.”
desyrindah.blogspot.com

“Kenapa? Supaya aku bisa mematahkan leher Jessup di arena? Kita berdua tahu
itu bukan kelebihanku,” katanya.
Perut Coriolanus keroncongan mencium aroma sandwich. Potongan daging
panggang tebal di antara roti tawar. Dia tidak makan siang di Akademi tadi,
sarapan dan makan malam hanya seadanya di rumah. Saus tomat menetes keluar
dari sandwich Lucy Gray dan dia tak kuat lagi. Dia mengambil sandwich kedua dan
melahapnya. Rasa nikmat mengaliri tubuhnya, dan dia menahan diri untuk tidak
langsung menelan seluruh sandwich itu dalam dua kali gigit.
“Sekarang baru rasanya seperti piknik.” Lucy Gray menengok ke belakang, ke
arah peserta-peserta lain, yang bergerak mendekat tapi masih tidak yakin. “Kalian
mesti ambil. Enak sekali!” seru Lucy Gray. “Ayo, Jessup!”
Pasangan distriknya memberanikan diri dan berjalan canggung perlahan-lahan
mendekati Sejanus dan mengambil sandwich dari tangan pemuda itu. Jessup
menunggu sampai diberi buah prem, lalu beranjak pergi tanpa berkata apa-apa.
Tiba-tiba, para peserta lain bergegas ke pagar dan menyodorkan tangan-tangan
mereka ke celah jeruji. Sejanus bergegas memberi makanan dari ranselnya secepat
mungkin, dan tak lama kemudian hampir habis semua. Para peserta duduk
menyebar di dalam kandang, berjongkok melindungi makanan mereka, dan
mengunyahnya cepat-cepat.
Satu-satunya peserta yang tidak menghampiri Sejanus adalah peserta didiknya,
anak lelaki dari Distrik 2. Anak itu berdiri di bagian belakang kandang, lengannya
bersedekap, memandang mentornya lekat-lekat.
Sejanus mengeluarkan sandwich terakhir dari ransel lalu mengulurkannya ke
anak dari Distrik 2. “Marcus, ini untukmu. Ambillah. Silakan.” Sejanus memohon.
“Kau pasti lapar.” Marcus memandang Sejanus dari ujung rambut sampai ujung
kaki, lalu berbalik memunggunginya.
Lucy Gray memperhatikan kejadian itu dengan penasaran. “Ada apa di sana?”
“Apa maksudmu?” tanya Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com

“Aku tak tahu tepatnya,” kata Lucy Gray. “Tapi rasanya masalah pribadi.”
Anak lelaki bertubuh kecil, yang kemarin ingin membunuh Coriolanus di truk,
berlari cepat dan mengambil sandwich tak bertuan itu. Sejanus tak mencegahnya.
Kru berita berusaha berbicara dengan Sejanus, tapi dia menghalau mereka lalu
menghilang di antara kerumunan, dengan menyandang ransel kosong di
pundaknya. Mereka mengambil gambar para peserta, lalu berjalan menuju Lucy
Gray dan Coriolanus, yang duduk lebih tegak dan menyapukan lidahnya ke gigi
untuk membersihkan sisa daging panggang yang menempel di sana.
“Kami berada di kebun binatang bersama Coriolanus Snow dan pesertanya,
Lucy Gray Baird. Ada siswa lain yang baru membagikan sandwich. Apakah dia
mentor juga?” Lepidus menyodorkan mikrofon pada mereka untuk mendapat
jawaban.
Coriolanus tidak suka berbagi pusat perhatian, tapi keberadaan Sejanus bisa
melindunginya. Apakah Dekan Highbo om akan memberi kecaman pada putra
dari orang yang membangun kembali Akademi? Beberapa hari lalu dia pikir nama
Snow lebih penting daripada Plinth, tapi penugasan pada hari pemungutan
membuktikan bahwa dia salah. Kalau Dekan ingin menghukumnya, dia lebih suka
ada Sejanus di sampingnya.
“Dia teman sekolahku, Sejanus Plinth,” katanya pada Lepidus.
“Apa maksudnya, membawakan sandwich enak untuk para peserta? Pastinya,
Capitol sudah memberi mereka makan,” kata sang reporter.
“Oh, kuberitahu ya, aku terakhir makan pada malam sebelum hari pemungutan,”
kata Lucy Gray. “Jadi kurasa sudah tiga hari lalu.”
“Oh. Baiklah. Nikmatilah sandiwch itu!” kata Lepidus. Dia mengarahkan kamera
kembali menyoroti peserta-peserta lain.
Lucy Gray berdiri secepat kilat, mencondongkan tubuh ke jeruji dan
mengalihkan perhatian kamera kembali ke dirinya. “Kau tahu, Mr. Reporter, apa
yang bakal menarik? Kalau ada orang yang punya makanan lebih, mereka bisa
desyrindah.blogspot.com

membawanya ke kebun binatang. Tidak ada serunya menonton Hunger Games


kalau kami semua terlalu lemah untuk bertarung, ya kan?”
“Ada benarnya juga,” kata sang reporter, tidak yakin.
“Aku sendiri suka makanan-makanan manis, tapi aku tidak pemilih juga kok.”
Dia tersenyum lalu menggigit buat prem.
“Oke. Baiklah, kalau begitu,” kata sang reporter lalu berjalan pergi.
Coriolanus sadar bahwa reporter itu kebingungan. Apakah dia harus membantu
Lucy Gray mengumpulkan makanan dari warga Capitol? Bukankah ini semacam
hukuman dari Capitol?
Ketika kru berita bergerak ke peserta-peserta lain, Lucy Gray kembali duduk di
seberang Coriolanus. “Berlebihan ya?”
“Bagiku sih tidak. Maaf aku tidak terpikir untuk membawakanmu makanan,”
katanya.
“Aku berusaha menata kelopak bunga mawar ini saat tak ada yang melihat.” Lucy
Gray mengangkat bahu. “Kau tidak tahu.”
Mereka makan dalam diam, melihat reporter tadi gagal mengajak bicara peserta-
peserta lain. Matahari sudah terbenam seluruhnya, dan bulan mulai naik. Sebentar
lagi kebun binatang akan tutup.
“Kupikir mungkin ide yang bagus kalau kau bernyanyi lagi,” kata Coriolanus.
Lucy Gray mengisap sisa daging buah di biji prem. “Mm, hmm, mungkin, pada
saat yang tepat.” Dia menepuk sudut bibirnya dengan rumbai-rumbai pakaiannya
lalu merapikan roknya. Nada suaranya yang biasanya penuh canda kini berubah
serius. “Jadi, sebagai mentorku, kau dapat apa? Kau masih sekolah, kan? Kau dapat
apa? Nilai bagus kalau aku bagus?”
“Mungkin.” Dia merasa malu. Di sini, di sudut tersembunyi, untuk pertama
kalinya dia sadar gadis ini akan tewas beberapa hari lagi. Yah, tentu saja, dia selalu
mengetahuinya. Tapi dia menganggap gadis ini sebagai jagoannya. Kuda pacu
dalam pacuan kuda, anjing pacu dalam balap anjing. Semakin lama Coriolanus
desyrindah.blogspot.com

memperlakukannya sebagai sosok istimewa, semakin gadis itu terlihat sebagai


manusia. Seperti yang dikatakan Sejanus pada gadis kecil tadi, Lucy Gray bukan
binatang, meskipun dia bukan orang Capitol. Dan apa yang dia lakukan di sini?
Berlagak, kata Dekan Highbo om?
“Sesungguhnya, aku tidak tahu akan dapat apa,” kata Coriolanus. “Tak pernah
ada mentor sebelumnya. Kau tidak perlu melakukannya. Bernyanyi, maksudku.”
“Aku tahu,” kata Lucy Gray.
Akan tetapi, dia mau gadis itu bernyanyi. “Kalau orang-orang menyukaimu,
mereka mungkin akan membawakanmu makanan. Kami tidak punya banyak
makanan di rumah.”
Dalam kegelapan, pipi Coriolanus memerah karena malu. Kenapa dia mesti
mengakui hal itu padanya?
“Oya? Aku selalu mengira kalian punya banyak makanan berlebih di Capitol,”
katanya.
Idiot, Coriolanus merutuk dalam hati. Tapi, ketika tatapannya bertemu tatapan
gadis itu, Coriolanus sadar, untuk pertama kalinya Lucy Gray menunjukkan
ketertarikan yang tulus padanya. “Oh, tidak. Apalagi pada masa perang. Pernah
sekali aku makan setengah stoples adonan hanya untuk menghilangkan perih di
perutku.”
“Oya? Seperti apa rasanya?” tanya Lucy Gray.
Pertanyaan itu tak disangka Coriolanus, dan dia tertawa. “Lengket. Sangat
lengket.”
Gadis itu tersenyum lebar. “Pastinya. Tapi masih lebih baik daripada makanan
yang harus kumakan. Aku tidak bermaksud bersaing lho.”
“Tentu saja tidak.” Coriolanus balas tersenyum lebar. “Dengar, maa an aku. Aku
akan mencarikanmu makanan. Kau tidak harus melakukan pertunjukan demi
makanan.”
“Yah, ini bukan kali pertama aku bernyanyi untuk mendapat makanan. Sudah
desyrindah.blogspot.com

sering,” katanya. “Dan aku memang suka bernyanyi.”


Suara dari pelantang mengumumkan kebun binatang akan tutup lima belas
menit lagi.
“Aku harus pergi. Sampai ketemu besok?” tanya Coriolanus.
“Kau tahu di mana mencariku,” kata Lucy Gray.
Coriolanus berdiri dan menepuk-nepuk celana panjangnya. Dia mengibas
saputangan, melipatnya, lalu memberikannya kepada Lucy Gray lewat celah jeruji.
“Ini bersih,” katanya meyakinkan gadis itu. Paling tidak, dia punya sesuatu untuk
mengelap wajahnya.
“Terima kasih. Punyaku ketinggalan di rumah,” jawab Lucy Gray.
Saat Lucy Gray menyebut kata rumah, kata itu mengambang di antara mereka.
Sebuah pengingat bahwa ada pintu yang takkan pernah dibuka lagi oleh gadis itu,
ada orang-orang kesayangan yang takkan pernah ditemuinya lagi. Coriolanus tidak
bisa membayangkan seperti apa rasanya terpisah dari rumahnya sendiri.
Apartemen itu satu-satunya tempat yang dia miliki, tempatnya berlabuh, dan
benteng keluarganya. Karena tidak tahu harus menjawab apa, dia hanya meng-
angguk menyampaikan selamat malam.
Coriolanus sudah berjalan dua puluh langkah ketika langkahnya terhenti saat
mendengar peserta didiknya mulai bernyanyi. Lagu yang lembut dan suara yang
bening menembus udara malam.
Jauh di lembah, nun jauh di sana,
Di malam hari, dengarkan peluit kereta bergema.
Dengarkan, Sayang, peluit kereta bergema.
Di malam hari, dengarkan peluit kereta bergema.
Penonton yang beranjak pergi, berbalik mendengarnya.
Buatkan istana untukku, buat istana yang tinggi,
Supaya aku bisa melihat cinta sejatiku pergi.
desyrindah.blogspot.com

Melihatnya pergi, Sayang, melihatnya pergi.


Supaya aku bisa melihat cinta sejatiku pergi.
Semua orang terdiam penonton dan peserta. Hanya ada Lucy Gray dan desing
kamera yang mendekatinya. Dia masih duduk di sudut tempat mereka duduk tadi,
kepalanya disandarkan ke jeruji besi.
Tulis surat untukku, kirimkan padaku.
Masukan ke amplop, kirimkan ke penjara Capitol.
Penjara Capitol, Sayang, ke penjara Capitol.
Masukan ke amplop, kirimkan ke penjara Capitol.
Suaranya terdengar sedih, kehilangan…
Mawar merah, Sayang; lembayung biru.
Burung-burung di angkasa tahu aku mencintaimu.
Tahu aku mencintaimu, oh, tahu aku mencintaimu,
Burung-burung di angkasa tahu aku mencintaimu.
Coriolanus berdiri tertegun mendengar alunan lagu itu, dan gelombang
kenangan menghantamnya. Ibunya sering menyanyikan lagu sebagai pengantar
tidur. Bukan lagu ini persisnya, tapi ada kata-kata yang sama, mawar merah dan
lembayung biru. Lagu itu juga menyebut bahwa ibunya menyayanginya. Dia
teringat pada foto  dalam pigura perak yang ditaruh di nakas samping tempat
tidurnya. Ibunya yang cantik, menggendongnya saat dia berusia sekitar dua tahun.
Mereka saling memandang dan tertawa. Dia sudah berusaha sekuatnya, tapi tidak
ingat kapan foto itu diambil. Tapi, lagu itu membelai benaknya, menyentuh ibunya
dari relung terdalam. Coriolanus bisa merasakan keberadaan ibunya. Seakan bisa
mencium aroma bedak wangi bunga mawar yang dipakainya, merasakan selimut
hangat yang membungkusnya setiap malam. Sebelum ibunya meninggal. Sebelum
hari-hari mengerikan itu berubah menjadi berbulan-bulan masa perang, dan
serangan besar oleh pemberontak melumpuhkan kota.
desyrindah.blogspot.com

Ketika ibunya hendak melahirkan, mereka tak bisa membawa ibunya ke rumah
sakit, sementara ada masalah dalam persalinannya. Perdarahan, barangkali? Darah
membasahi seprai. Koki dan Grandma’am berusaha menghentikan perdarahan,
sementara Tigris menariknya keluar dari kamar. Lalu ibunya meninggal, bersama
bayinya yang semestinya jadi adik perempuannya. Ayahnya menyusul ibunya
tak lama kemudian. Tetapi, kehilangan ayahnya tidak membuat dunianya hampa
seperti kehilangan ibunya. Coriolanus masih menyimpan kotak bedak ibunya di
laci nakas. Pada masa-masa sulit, ketika susah tidur, dia akan membuka kotak
bedak itu dan menghirup aroma bunga mawar dari bedak padat di dalam kotak
itu. Aroma itu selalu bisa membuatnya tenang dengan ingatan seperti apa rasanya
dicintai.
Bom dan darah. Itulah cara pemberontak membunuh ibunya. Dia ingin tahu
apakah ibu Lucy Gray juga tewas dengan cara yang sama.  “Hanya tulang
kerangkanya.” Gadis itu tampaknya tak menyukai Distrik 12, selalu membuat jarak
dengan distrik itu, mengatakan bahwa dia… Pengembara?
“Terima kasih sudah membantu.” Suara Sejanus mengejutkannya. Pemuda itu
duduk tidak jauh di belakangnya, tersembunyi di belakang batu besar,
mendengarkan lagu Lucy Gray.
Coriolanus berdeham. “Tak perlu sungkan.”
“Aku tidak yakin teman-teman sekolah kita yang lain mau membantuku,” kata
Sejanus.
“Teman-teman kita yang lain tak bakalan datang,” jawab Coriolanus. “Itu yang
membedakan kita dan mereka. Apa yang membuatmu berpikir untuk memberi
makan para peserta?”
Sejanus menunduk menatap ransel kosong di dekat kakinya. “Sejak Hari
Pemungutan, aku terus membayangkan jadi salah satu dari mereka.”
Coriolanus nyaris tertawa, tapi dia menyadari bahwa Sejanus serius. “Pikiran
yang aneh.”
desyrindah.blogspot.com

“Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.” Suara Sejanus makin pelan.


Coriolanus harus berusaha menyimak agar bisa mendengarnya. “Mereka
menyebut namaku. Aku berjalan ke panggung. Mereka memborgolku. Mereka
memukuliku tanpa alasan. Aku berada di dalam kereta, dalam kegelapan,
kelaparan, bersama anak-anak yang harus kubunuh. Kemudian aku jadi bahan
tontonan, di depan orang-orang asing yang membawa anak-anak mereka untuk
melihatku di balik jeruji…”
Bunyi roda berkarat mengalihkan perhatian mereka ke kandang monyet.
Puluhan buntalan jerami meluncur turun dari seluncuran dan jatuh bertumpuk ke
lantai kandang.
“Lihat, itu tempat tidurku,” kata Sejanus.
“Itu takkan terjadi padamu, Sejanus,” kata Coriolanus padanya. 
“Bisa saja. Seandainya kami tidak kaya seperti sekarang,” kata Sejanus. “Aku bisa
berada di Distrik Dua, mungkin masih di sekolah, atau bekerja di tambang, tapi
namaku pasti ada di Pemungutan. Kau lihat pesertaku?”
“Dia terlihat menonjol,” kata Coriolanus mengakui. “Menurutku ada
kemungkinan dia akan menang.”
“Dia teman sekolahku. Maksudku, sebelum aku datang kemari. Dulu semasa di
distrik. Namanya Marcus,” Sejanus menjelaskan. “Bukan teman akrab. Tapi juga
bukan musuh. Suatu hari jariku terjepit pintu, lumayan parah, dan dia meraup
salju dari ambang jendela untuk meredakan bengkaknya. Dia bahkan tak minta
izin guru, dia langsung melakukannya.”
“Menurutmu dia masih ingat padamu?” tanya Coriolanus. “Kalian masih kecil.
Dan banyak kejadian yang terjadi setelah itu.”
“Oh, dia pasti ingat aku. Keluarga Plinth terkenal di kampung halaman.” Sejanus
terlihat menderita. “Terkenal dan sangat dibenci.”
“Dan sekarang kau menjadi mentornya,” kata Coriolanus.
“Dan sekarang aku menjadi mentornya,” ulang Sejanus.
desyrindah.blogspot.com

Lampu-lampu di kandang monyet mulai dipadamkan. Beberapa peserta tampak


bergerak, menata jerami sebagai alas tidur. Coriolanus melihat Marcus minum
dari keran, mengguyur air ke kepalanya. Ketika dia bangkit berdiri dan berjalan
menuju tumpukan jerami, dia terlihat menjulang dibandingkan yang lain.
“Itu bukan salahmu,” kata Coriolanus.
“Aku tahu. Aku tahu. Aku tidak bisa disalahkan. Aku sampai terharu,” kata
Sejanus.
Coriolanus sedang berusaha mengurai maksud Sejanus ketika terjadi 
perkelahian di dalam kandang. Dua anak lelaki memperebutkan buntalan jerami
yang sama dan saling memukul. Marcus turun tangan, menarik kerah masing-
masing anak itu, memisahkan mereka dengan melempar keduanya dengan mudah
seperti melempar boneka kain. Mereka melayang beberapa meter sebelum
mendarat di tumpukan jerami. Saat mereka mengendap-endap di belakang,
Marcus mengambil buntalan jerami itu, tak peduli pada perkelahian tadi.
“Dia akan menang,” kata Coriolanus. Kalau tadinya dia ragu, cara Marcus
menunjukkan kekuatannya membuat mereka terdiam. Coriolanus kembali
merasakan kegetiran karena Plinth diberikan peserta terkuat. Dan dia muak
mendengar rengekan Sejanus tentang ayahnya yang menyogok untuk
membelikannya pemenang. “Mentor mana pun akan senang mendapatkannya.”
Sejanus terlihat agak ceria. “Benarkah? Kalau begitu ambil dia. Dia milikmu.”
“Kau bercanda,” kata Coriolanus.
“Seratus persen serius.” Sejanus berdiri. “Aku mau kau mendapatkannya! Dan
aku akan mengambil Lucy Gray. Rasanya tetap tidak enak, tapi setidaknya aku
tidak mengenalnya. Aku tahu penonton menyukainya, tapi apa gunanya buat dia
di arena? Gadis itu tidak mungkin mengalahkan Marcus. Tukar pesertamu dengan
pesertaku. Menangkan Hunger Games ini. Dapatkan kejayaannya. Tolong aku,
Coriolanus, aku takkan pernah melupakan kebaikanmu.”
Sejenak, Coriolanus dapat merasakan manisnya kemenangan dan riuh sorakan
desyrindah.blogspot.com

penonton. Kalau dia bisa membuat Lucy Gray jadi favorit penonton, bayangkan
apa yang bisa dia lakukan dengan jagoan seperti Marcus! Kalau dipikir-pikir lagi,
sebesar apa kesempatan yang dimiliki Lucy Gray? Matanya menatap gadis itu
bersandar di jeruji seperti binatang yang terperangkap. Dalam temaram cahaya,
keseluruhan warna gadis itu dan keunikannya memudar, membuatnya kelihatan
seperti makhluk penuh luka yang tidak menarik. Dia bukan tandingan anak-anak
perempuan lain, apalagi anak-anak lelaki. Coriolanus geli membayangkan gadis itu
bisa mengalahkan Marcus. Seperti mengadu burung penyanyi dengan beruang.
Mulutnya nyaris mengucapkan kata baiklah, sebelum dia terdiam.
Menang Hunger Games dengan peserta seperti Marcus bukanlah kemenangan
sejati. Tidak butuh akal, keahlian, atau bahkan keberuntungan untuk menang.
Sangat kecil kemungkinannya menang dengan Lucy Gray sebagai peserta, tapi
akan jadi kemenangan yang dicatat sejarah jika dia berhasil. Lagi pula, apakah
kemenangan adalah tujuannya? Atau kemampuan untuk melibatkan penonton?
Berkat dirinya, Lucy Gray menjadi bintang Hunger Games saat ini, peserta yang
paling diingat tak peduli siapa pun pemenangnya nanti. Dia memikirkan
bagaimana tangan mereka bertautan di kebun binatang saat mereka menguasai
dunia. Dia dan Lucy Gray adalah tim. Gadis itu memercayainya. Dia tidak bisa
membayangkan harus memberitahu gadis itu bahwa dia mencampakkannya demi
Marcus. Atau, yang lebih gawat lagi, bagaimana dia bisa memberitahu penonton.
Selain itu, apa yang bisa menjamin Marcus takkan bersikap sama seperti yang
ditunjukkannya pada Sejanus? Pemuda itu tipe peserta yang akan mendiamkan
mereka semua. Lalu Coriolanus akan seperti orang tolol memohon-mohon
perhatian Marcus sementara Lucy Gray menari mengelilingi Sejanus.
Ada satu hal lagi yang jadi pertimbangannya. Dia memiliki sesuatu yang
diinginkan Sejanus Plinth, amat diinginkannya. Sejanus sudah merampas
kedudukannya, warisannya, pakaiannya, permennya, rotinya, dan hak
istimewanya sebagai keluarga Snow. Sekarang Sejanus mengincar apartemennya,
desyrindah.blogspot.com

tempatnya di Universitas, masa depannya, dan berani-beraninya dia mengeluh


soal nasib baiknya. Berusaha menolaknya semua keberuntungannya, bahkan
menganggapnya sebagai hukuman. Kalau Sejanus resah karena Marcus jadi
pesertanya, baguslah. Biarkan dia resah. Lucy Gray adalah milik Coriolanus yang
takkan pernah dimiliki Sejanus.
“Maaf, sobat,” katanya dengan lembut. “Setelah kupikirkan, aku akan tetap
bersama gadis itu.”
desyrindah.blogspot.com
6

Coriolanus menikmati kekecewaan di wajah Sejanus, tapi tidak berlama-lama,


karena akan membuatnya kelihatan picik. “Dengar, Sejanus, kau mungkin tidak
menganggapnya seperti ini, tapi aku sedang membantumu. Coba pikir apa kata
ayahmu kalau dia tahu kau menukar peserta yang sudah dia usahakan untukmu?”
“Aku tidak peduli,” kata Sejanus, tapi terdengar tidak yakin dengan perkataannya
sendiri.
“Baiklah, lupakan ayahmu. Bagaimana dengan Akademi?” tanyanya. “Aku ragu
kita diizinkan bertukar peserta. Aku sudah mendapat satu kecaman hanya karena
menemui Lucy Gray lebih awal. Apa yang bakal terjadi kalau aku berusaha
menukarnya? Lagi pula, anak malang itu sudah dekat denganku.
Mencampakkannya sama kejamnya dengan menendang anak kucing. Kurasa aku
tidak tega melakukannya.”
“Seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Bahkan tidak terpikir bahwa aku
menempatkanmu dalam posisi sulit. Maa an aku. Hanya saja…” Kata-kata
Sejanus mulai tumpah. “Seluruh urusan Hunger Games ini membuatku gila!
Maksudku, apa yang sebenarnya kita lakukan? Menempatkan anak-anak di arena
agar saling membunuh? Rasanya salah dilihat dari sisi mana pun. Bahkan hewan
pun melindungi anak-anak, kan? Dan kita juga begitu. Kita berusaha melindungi
anak-anak! Itu yang menjadikan kita manusia. Siapa yang sebenarnya
menginginkan hal ini? Ini tidak wajar!”
“Ini memang tidak bagus,” Coriolanus sependapat, sembari melihat ke sekeliling.
desyrindah.blogspot.com

“Ini jahat. Ini bertentangan dengan segala yang kuanggap benar di dunia. Aku
tidak bisa jadi bagian semua ini. Apalagi dengan
Marcus. Bagaimanapun caranya, aku mesti keluar dari sini,” kata Sejanus dengan
air mata mengambang.
Penderitaan Sejanus membuat Coriolanus merasa tak enak hati, apalagi dia amat
bersyukur atas kesempatan yang diperolehnya untuk ikut serta dalam Hunger
Games. “Kau bisa bertanya pada mentor yang lain. Kurasa yang lain akan mau.”
“Tidak. Aku tidak mau menyerahkan Marcus pada yang lain. Hanya kau satu-
satunya yang kupercaya.” Sejanus menoleh ke kandang, tampaknya para peserta
bersiap tidur. “Lagi pula, takkan ada bedanya. Kalau bukan Marcus, ada orang lain
yang menggantikannya. Mungkin akan lebih mudah, tapi tetap saja salah.” Sejanus
mengambil ranselnya. “Sebaiknya aku pulang. Pasti bakal menyenangkan di ru-
mah.”
“Menurutku kau tidak melanggar peraturan apa pun,” kata
Coriolanus.
“Aku bersekutu dengan distrik-distrik di depan umum. Di mata ayahku, aku
sudah melanggar satu-satunya peraturan yang penting.” Sejanus tersenyum kecil.
“Terima kasih sudah membantuku.”
“Terima kasih untuk sandwich-nya,” kata Coriolanus. “Enak sekali.”
“Akan kuberitahu Ma kau bilang enak,” kata Sejanus. “Dia pasti senang.”
Kebahagiaan Coriolanus cuma sampai di rumah, karena neneknya marah
melihatnya piknik dengan Lucy Gray.
“Tidak apa-apa kalau memberinya makan,” kata Grandma’am. “Tapi, makan
bersamanya menunjukkan kau menganggapnya setara. Padahal dia tidak setara
denganmu. Distrik-distrik itu barbar. Ayahmu sendiri bilang orang-orang itu
hanya minum air karena tidak ada hujan darah. Kau mengabaikannya dengan
membahayakan dirimu sendiri, Coriolanus.”
“Dia cuma anak perempuan, Grandma’am,” kata Tigris.
desyrindah.blogspot.com

“Dia dari distrik. Percayalah padaku, dia bukan cuma anak perempuan,” sahut
Grandma’am. 
Coriolanus gelisah saat teringat kejadian di truk ketika para peserta berdebat
apakah harus membunuhnya atau tidak. Mereka terang-terangan menunjukkan
sikap haus darah. Hanya Lucy Gray yang keberatan.
“Lucy Gray berbeda,” kata Coriolanus. “Dia membelaku di truk saat yang lain
ingin menyerangku. Dan dia juga mendukungku di kandang monyet.”
Grandma’am tetap bertahan dengan pendiriannya. “Apakah dia akan peduli
kalau kau  bukan mentornya? Tentu tidak. Dia gadis licik yang memanipulasimu
sejak pertama kalian bertemu. Hati-hati, Nak aku cuma mau bilang itu saja.”
Coriolanus tidak mau repot-repot mendebat, karena Grandma’am selalu
memandang buruk apa pun dari distrik. Dia masuk ke kamar tidur lalu
menjatuhkan diri ke ranjang karena lelah, tapi tidak bisa menenangkan pikirannya.
Dia mengambil kotak bedak ibunya dari laci nakas dan mengelus kotak perak
berat berukir bunga mawar itu.
Mawar merah, Sayang; lembayung biru.
Burung-burung di angkasa tahu aku mencintaimu.
Saat dia mengeklik kenop, kotak itu terbuka dan dia bisa mencium aroma bunga
mawar. Dalam bayangan cahaya dari Corso, mata biru pucatnya terpantul di
cermin bundar yang agak miring. “Seperti mata ayahmu,” Grandma’am sering
mengingatkannya. Dia berharap punya seperti mata ibunya, tapi tak pernah
berterus terang mengatakannya. Mungkin lebih baik dia mirip ayahnya. Ibunya
tidak cukup tangguh untuk dunia ini. Coriolanus akhirnya tertidur, memikirkan
ibunya, tapi yang terlintas dalam benaknya adalah Lucy Gray, berputar-putar
dengan gaun pelanginya, bernyanyi dalam mimpinya.
Pagi harinya Coriolanus terbangun mencium aroma lezat. Dia berjalan ke dapur
dan melihat Tigris sudah memanggang roti sejak sebelum subuh.
desyrindah.blogspot.com

Dia meremas bahu sepupunya. “Tigris, kau perlu tidur.”


“Aku tidak bisa tidur, memikirkan apa yang terjadi di kebun binatang,” katanya.
“Banyak anak yang masih kecil tahun ini. Atau aku yang makin bertambah umur.”
“Memang gelisah rasanya melihat mereka dikurung di kandang,” Coriolanus
mengakui.
“Aku juga gelisah melihatmu di dalam sana!” sergah Tigris, memakai sarung
tangan oven dan mengeluarkan senampan puding roti dari oven. “Fabricia
menyuruhku membuang roti basi sisa pesta, tapi kupikir sayang kalau dibuang.
Puding roti hangat yang baru keluar dari oven dan disiram sirup jagung
merupakan salah satu makanan kesukaan Coriolanus. “Kelihatannya enak,”
katanya pada Tigris.
“Ada banyak, kau bisa bawa sepotong buat Lucy Gray. Katanya dia suka
makanan manis dan aku tidak yakin besok-besok dia bisa makan makanan
manis!” Tigris mengempaskan nampan di atas oven. “Maaf. Aku tidak bermaksud
kasar. Entah apa yang merasukiku, aku tegang sekali.”
Coriolanus menyentuh lengan Tigris. “Ini gara-gara Hunger Games. Kau tahu
aku terpilih jadi mentor, kan? Aku punya kesempatan untuk dapat hadiah. Aku
perlu memenangkannya demi kita semua.”
“Ya, tentu, Coryo. Tentu saja. Kami sangat bangga padamu dan keadaanmu.” Dia
memotong seirisan besar puding dan menaruhnya di piring. “Sekarang makan.
Jangan sampai kau terlambat.”
Di Akademi, Coriolanus merasa kekhawatirannya perlahan-
lahan memudar saat dia menikmati reaksi orang-orang atas kenekatannya
kemarin. Selain Livia Cardew, yang dengan jelas menyatakan bahwa Coriolanus
sudah berlaku curang dan harus segera dipecat sebagai mentor, teman-teman
sekelasnya memberi selamat padanya. Profesor-profesornya tidak terang-terangan
memberi dukungan, tapi beberapa dari mereka tersenyum padanya dan menepuk
pelan punggungnya.
Satyria menariknya ke ruangan setelah kelas selesai. “Bagus sekali. Kau sudah
desyrindah.blogspot.com

membuat Dr. Gaul senang, itu artinya kau mendapat poin dari fakultas. Dia akan
memberi laporan yang bagus kepada Presiden Ravinstill, dan hasilnya akan bagus
buat kita semua di Akademi. Tapi, kau mesti hati-hati. Kau beruntung hasilnya
seperti itu. Bagaimana kalau berandal-berandal itu menyerangmu di kandang? Pa-
ra Penjaga Perdamaian harus menyelamatkanmu, dan pasti ada korban dari dua
belah pihak. Pasti hasilnya akan berbeda kalau kau tidak punya gadis pelangi kecil
itu.”
“Itu sebabnya aku menolak tawaran Sejanus untuk bertukar peserta,” kata
Coriolanus.
Satyria menganga kaget. “Tidak! Bayangkan bagaimana reaksi Strabo Plinth
kalau berita itu tersebar.”
“Bayangkan dia berutang apa padaku agar berita ini tidak tersebar!”
Membayangkan dirinya memeras si tua Strabo Plinth terasa menarik. 
Gurunya tertawa. “Kau bicara seperti layaknya seorang Snow. Sekarang masuk
ke kelas. Catatan rapormu harus tanpa cela kalau kau mau menghapus kecaman
yang kaudapatkan.”
Dua puluh empat mentor menghabiskan pagi itu mengikuti seminar yang
dipimpin Profesor Crispus Demigloss, profesor sejarah yang bersemangat. Mereka
saling bertukar ide dalam kelas bagaimana agar lebih banyak orang menonton
Hunger Games selain dengan adanya mentor. “Buktikan bahwa aku tidak sia-sia
menghabiskan waktu empat tahun bersama kalian,” katanya sambil mengikik.
“Kalau kalian belajar dari sejarah, kalian tahu bagaimana caranya membuat mereka
yang tidak mau menurut menjadi patuh.” Sejanus langsung mengangkat tangan.
“Ah, Sejanus?”
“Sebelum kita bicara tentang bagaimana caranya membuat orang-orang
menonton, bukankah kita harus mulai dengan pertanyaan apakah menonton ini
adalah perbuatan yang benar?” tanyanya.
“Tolong, tetap sesuai topik ya.” Profesor Demigloss memandang seisi kelas
desyrindah.blogspot.com

untuk mendapat jawaban yang lebih kreatif. “Bagaimana cara kita membuat orang
mau menonton?”
Festus Creed mengangkat tangan. Festus adalah teman dekat Coriolanus sejak
lahir. Tubuhnya lebih besar dan lebih kekar dibanding anak-anak seumurannya.
Keluarganya orang kaya lama di Capitol. Kekayaan mereka berupa bisnis kayu di
Distrik 7 sempat rugi banyak pada masa perang, tapi perlahan-lahan kembali jaya
pada masa pembangunan. Dia mendapat anak perempuan Distrik 4, dan itu me-
nunjukkan statusnya. Tinggi, tapi tidak gemilang.
“Coba terangkan pada kami, Festus,” kata Profesor Demigloss.
“Mudah. Kita langsung ke hukuman,” jawab Festus. “Daripada cuma mengimbau
orang untuk menonton, kita jadikan undang-
undang sesuai hukum.”
“Apa yang terjadi kalau kau tidak menonton?” tanya Clemensia, yang tidak
mengangkat tangan, bahkan tanpa mengangkat wajahnya dari catatan yang
dibacanya. Gadis itu populer di kalangan siswa dan guru, dan keramahannya
membuat orang-orang sering memaa ankan kesalahannya.
“Untuk penduduk distrik, kita akan menghukum mati mereka. Untuk penduduk
Capitol, kita akan memindahkan mereka ke distrik, dan kalau dia tetap melanggar
setelah tinggal di distrik, kita akan menghukum mati orang itu,” kata Festus
dengan riang.
Seisi kelas tertawa, kemudian mereka memikirkan ide itu. Bagaimana cara
penerapannya? Tidak mungkin Penjaga Perdamaian mendatangi tiap rumah.
Mungkin pengambilan sampel secara acak, dan kau akan ditanyai pertanyaan-
pertanyaan untuk membuktikan bahwa kau menonton Hunger Games. Dan kalau
kau ketahuan tidak menonton, hukuman apa yang pas? Tentu bukan hukuman
mati atau dibuang ke distrik itu terlalu berlebihan. Mungkin kehilangan bebe-
rapa hak istimewa pagi penduduk Capitol, dan dicambuk di depan umum bagi
penduduk distrik? Itu akan membuat hukumannya mengena secara pribadi bagi
desyrindah.blogspot.com

semuanya.
“Masalah sebenarnya adalah, kegiatan itu memuakkan untuk ditonton,” kata
Clemensia. “Makanya orang-orang memilih tidak menontonnya.”
Sejanus memotong. “Tentu saja! Siapa yang mau menonton sekumpulan anak-
anak saling membunuh? Hanya orang kejam dan tak berperasaan yang mau
menontonnya. Manusia memang tidak sempurna, tapi seharusnya kita tidak
sejahat itu.”
“Kau tahu apa?” ujar Livia kasar. “Bagaimana seseorang dari distrik tahu apa
yang mau kita tonton di Capitol? Kau bahkan tak ada di sini semasa perang.”
Sejanus terdiam, tak bisa menyangkalnya.
“Karena sebagian besar kita pada dasarnya orang baik,” kata Lysistrata Vickers
sambil melipat kedua tangannya dengan rapi di atas buku catatannya. Segalanya
pada diri gadis itu tampak rapi, mulai dari rambutnya yang dikepang rapi sampai
kukunya yang dipotong rata. Ujung lengan baju seragamnya yang putih
menonjolkan kulit cokelatnya yang halus. “Sebagian besar dari kita tidak mau
melihat orang lain menderita.”
“Kita melihat hal-hal yang lebih buruk semasa perang. Dan setelahnya,”
Coriolanus mengingatkan gadis itu. Banyak peristiwa berdarah yang disiarkan
selama Masa Kegelapan, juga ada pelaksanaan hukuman mati yang dilakukan
secara brutal setelah Perjanjian Pengkhianat ditandatangani.
“Tapi kita punya andil nyata di sana, Coryo!” kata Arachne Crane, menyikut
lengan Coriolanus dari tempat duduknya di sebelah kanan. Pemuda itu selalu
berisik. Gemar menyikut orang. Apartemen keluarga Crane berada di seberang
apartemen keluarga Snow, terkadang dari seberang Corso, dia bisa mendengar
teriakan Arachne pada malam hari. “Kita melihat musuh-musuh kita tewas! Mak-
sudku, mereka bajingan pemberontak dan semacamnya. Siapa yang peduli pada
anak-anak ini?”
“Mungkin keluarga mereka,” kata Sejanus.
desyrindah.blogspot.com

“Maksudmu segelintir orang tak berguna di distrik-distrik?” Arachne berteriak.


“Kenapa kita semua mesti peduli siapa di antara mereka yang menang?”
Livia memandang tajam ke arah Sejanus. “Aku sih tidak peduli.”
“Aku lebih tertarik pada perkelahiannya,” Festus mengaku. “Apalagi kalau aku
bisa bertaruh.”
“Jadi kau suka kalau kita memasang taruhan pada para peserta?” Coriolanus
bercanda. “Itu membuatmu jadi mau menontonnya?”
“Yang pasti taruhan akan membuatnya jadi lebih seru!” kata Festus.
Beberapa orang tertawa, tapi kemudian hening saat mereka mempertimbangkan
ide ini.
“Ide mengerikan,” kata Clemensia, sambil memilin rambutnya dengan jari. “Kau
serius? Menurutmu kita sebaiknya memasang taruhan siapa yang memenangkan
Hunger Games?”
“Tidak juga,” kata Coriolanus, lalu mendongak. “Sebaliknya, kalau ini berhasil,
tentu saja aku mau melakukannya, Clemmie. Aku ingin tercatat dalam sejarah
sebagai orang yang membawa judi ke dalam Hunger Games!”
Clemensia menggeleng gusar. Tapi saat keluar untuk makan siang, Coriolanus
tidak bisa berhenti berpikir bahwa ide itu bagus juga.
Para koki di ruang makan masih mengolah bahan makanan sisa hari
pemungutan. Roti panggang dengan krim dan daging ham menjadi makanan yang
ditunggu pada jam makan siang sekolah. Coriolanus menikmati setiap gigitannya,
tidak seperti pada resepsi prasmanan saat hari pemungutan. Saat itu pikirannya
terganggu karena ancaman Dekan Hightbotom, dan membuatnya nyaris tidak bisa
menikmati makanan.
Para mentor diperintahkan berkumpul di balkon aula Heavensbee Hall setelah
makan siang, sebelum pertemuan resmi pertama mereka dengan para peserta.
Setiap mentor diberi da ar pertanyaan yang akan diselesaikan bersama peserta
didik mereka, sebagian untuk bahan obrolan, dan sebagian lagi untuk catatan.
desyrindah.blogspot.com

Mereka tidak punya banyak catatan informasi tentang peserta-peserta


sebelumnya, dan ini adalah upaya untuk memperbaikinya. Banyak teman sekelas
Coriolanus yang kesulitan menyembunyikan kegugupan mereka dan bicara serta
bercanda keras-keras, tapi dia lebih unggul karena sudah dua kali bertemu dengan
Lucy Gray. Dia merasa nyaman, bahkan tak sabar bertemu gadis itu lagi. Ingin
berterima kasih karena nyanyiannya. Ingin memberikan puding roti dari Tigris pa-
danya. Ingin menyusun strategi wawancara mereka.
Obrolan mereka terhenti ketika para mentor memasuki balkon melewati pintu
ayun dan melihat apa yang menunggu mereka di bawah sana. Tak ada lagi sisa-sisa
perayaan hari pemungutan, hanya ada aula luas yang dingin dan megah. Dua
puluh empat meja kecil diapit dua kursi lipat yang ditata teratur. Masing-masing
meja diberi tanda nomor distrik serta huruf L dan P, lalu di sampingnya ada blok
beton dengan lingkaran besi di atasnya.
Sebelum para siswa sempat membahas susunan tempat duduk, dua Penjaga
Perdamaian masuk dan berdiri berjaga di pintu utama, lalu para peserta dibawa
masuk satu per satu. Jumlah Penjaga Perdamaian mengalahkan mereka dengan
perbandingan dua banding satu, tapi kecil kemungkinan ada peserta yang berniat
melarikan diri, mengingat kedua tangan dan kaki mereka dibelenggu dengan besi
berat. Para peserta dibawa ke meja-meja sesuai dengan distrik dan jenis kelamin
mereka, lalu didudukkan di sana dan dirantai ke blok beton.
Beberapa peserta duduk terkulai di kursi dan menunduk hingga dagu mereka
menyentuh dada, tapi yang lebih berani mengangkat kepala mereka tinggi-tinggi
dan memandang seisi aula. Tempat ini merupakan salah satu ruangan paling
mengagumkan di Capitol hingga membuat membuat para peserta menganga,
terpesona melihat kemegahan tiang-tiang marmer dan jendela-jendela yang me-
lengkung, serta langit-langit yang berkubah. Pasti mereka tercengang melihatnya,
dibandingkan dengan rumah susun dan bangunan jelek yang terdapat di distrik-
distrik. Ketika para peserta memandang sekeliling ruangan, mereka akhirnya
desyrindah.blogspot.com

melihat mentor mereka berada di balkon, dua kelompok itu saling menatap
selama beberapa saat.
Saat Profesor Sickle menggedor pintu di belakang mereka, para mentor
terlompat kaget. “Jangan cuma memelototi peserta kalian. Ayo, turun ke sana,”
perintahnya. “Kalian hanya punya lima belas menit, manfaatkan dengan bijak.
Dan ingat, isi da ar pertanyaan kalian untuk catatan sebaik mungkin.”
Coriolanus yang pertama bergerak menuruni tangga yang melingkar ke aula.
Ketika matanya bertemu dengan mata Lucy Gray, dia tahu gadis itu juga
mencarinya. Dia gelisah melihat gadis itu dirantai, tapi dia tersenyum
menenangkannya, dan kekuatiran di wajah Lucy Gray pun berkurang.
Dia duduk di seberang Lucy Gray, mengerutkan dahi melihat tangan gadis itu
dibelenggu, lalu memanggil Penjaga Perdamaian di dekatnya. “Permisi, bisakah
rantai ini dilepas?”
Penjaga Perdamaian itu menengok ke arah petugas di pintu yang menggeleng
melarangnya.
“Terima kasih sudah berusaha, walau tak berhasil,” kata Lucy Gray. Dia
mengepang rambutnya dengan cantik, tapi wajahnya terlihat sedih dan letih, serta
memar masih terlihat di wajahnya. Menyadari Coriolanus memperhatikan
memarnya, dia menyentuh bekas luka itu. “Jelek ya?”
“Dalam proses penyembuhan,” kata Coriolanus.
“Kami tidak punya cermin, jadi aku hanya bisa membayangkannya.” Lucy Gray
tidak menampilkan sikap ceria yang ditunjukkannya di depan kamera, dan
Coriolanus lega gadis itu tidak melakukannya. Mungkin Lucy Gray mulai
memercayainya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Coriolanus.
“Takut. Ngantuk. Lapar,” kata Lucy Gray. “Tidak banyak orang yang datang ke
kebun binatang untuk memberi kami makan pagi ini. Aku dapat apel, lumayan tapi
tidak kenyang.”
desyrindah.blogspot.com

“Aku bisa membantumu sedikit.” Dia mengeluarkan bungkusan Tigris dari tas
sekolahnya.
Lucy Gray terlihat girang lalu dengan perlahan-lahan membuka kertas
pembungkus berisi sepotong besar puding roti. Tiba-tiba, air mata mengambang
di kelopak mata gadis itu.
“Oh, tidak. Kau tidak suka ya?” tanyanya. “Aku akan berusaha membawakan
makanan lain. Aku bisa…”
Lucy Gray menggeleng. “Ini kesukaanku.” Dia menelan dengan susah payah.
Ketika ada potongan yang terjatuh dari gigitannya, dia memasukkannya lagi ke
mulut.
“Kesukaanku juga. Sepupuku Tigris memanggangnya tadi pagi, jadi masih
hangat,” katanya.
“Rasanya sempurna. Seperti buatan mamaku. Tolong sampaikan terima kasihku
pada Tigris.” Dia menggigit sekali lagi, sambil berusaha keras untuk tidak
menangis.
Coriolanus merasa hatinya seperti ditusuk. Dia ingin mengulurkan tangan dan
menyentuh wajah gadis itu, mengatakan padanya bahwa segalanya akan baik-baik
saja. Tapi, tentu saja, itu bohong. Gadis itu takkan baik-baik saja. Dia merogoh
saku belakangnya untuk mencari saputangan dan memberikannya pada Lucy
Gray.
“Aku masih punya yang semalam.” Gadis itu merogoh kantongnya.
“Kami punya selaci penuh saputangan,” kata Coriolanus. “Ambillah.”
Lucy Gray mengambil saputangan itu, menyeka matanya dan mengelap
hidungnya. Kemudian dia menarik napas panjang dan menegakkan tubuhnya.
“Jadi, apa rencana kita hari ini?”
“Aku seharusnya mengisi da ar pertanyaan tentang latar belakangmu. Kau
keberatan?” Coriolanus mengeluarkan selembar kertas.
“Sama sekali tidak. Aku senang bicara tentang diri sendiri,” katanya.
desyrindah.blogspot.com

Lembaran itu diawali pertanyaan mendasar. Nama, alamat di distrik, tanggal


lahir, warna rambut dan mata, tinggi dan berat badan, cacat sik dan sebagainya.
Pertanyaan semakin sulit ketika sampai ke susunan keluarga. Kedua orangtua
Lucy Gray dan dua kakaknya sudah meninggal.
“Apakah tak ada lagi keluargamu yang tersisa?” tanya Coriolanus.
“Aku punya beberapa sepupu. Dan seluruh kaum Pengembara.” Dia mendekat
melihat kertas itu. “Apakah ada tempat untuk menuliskannya?”
Tidak ada. Seharusnya ada, pikir Coriolanus, mengingat keluarga-keluarga
tercerai-berai karena perang. Seharusnya ada tempat bagi seseorang yang sungguh
peduli padamu. Bahkan, mungkin pertanyaan ini seharusnya dimulai dengan:
Siapa yang peduli padamu? Atau lebih bagus lagi, Siapa yang bisa kauandalkan?
“Sudah menikah?” Coriolanus tertawa, lalu teringat bahwa pernikahan di bawah
umur biasa terjadi di sebagian distrik. Bisa saja, kan? Mungkin Lucy Gray punya
suami di Distrik 12.
“Kenapa? Kau mau melamarku?” tanya Lucy Gray serius. Coriolanus
mendongak kaget. “Karena kupikir pernikahan kita bisa berhasil.”
Coriolanus merasa pipinya bersemu merah mendengar godaan gadis itu. “Aku
yakin kau bisa mendapatkan yang lebih baik.”
“Belum.” Sekilas kepedihan melintas di wajahnya, tapi Lucy Gray me-
nyembunyikannya dengan senyuman. “Aku yakin gadis-gadis antre untuk jadi
pacarmu.”
Godaan dari Lucy Gray membuat Coriolanus terdiam tak berkutik. Sampai di
mana tadi? Dia memeriksa berkasnya. Oh, ya. Keluarga. “Siapa yang merawatmu?
Maksudku, setelah kau kehilangan kedua orangtuamu.”
“Seorang lelaki tua mengambil kami dengan bayaran ada enam anak
Pengembara. Dia tidak merawat kami, tapi dia juga tidak macam-macam dengan
kami. Nasib kami masih lumayan baik,” katanya. “Sungguh, aku bersyukur. Tak
ada yang mau mengambil kami berenam. Dia meninggal tahun lalu karena sakit
desyrindah.blogspot.com

paru-paru, tapi beberapa dari kami sudah cukup umur untuk mengurus diri
sendiri.”
Mereka berlanjut ke pekerjaan. Pada umur enam belas tahun, Lucy Gray belum
cukup umur untuk bekerja di tambang, tapi dia juga tidak bersekolah. “Aku
mendapat penghasilan dengan menghibur orang.”
“Orang-orang membayarmu untuk… bernyanyi dan menari?” tanya Coriolanus.
“Kupikir orang-orang di distrik tidak mampu membayar untuk hiburan.”
“Kebanyakan memang tidak,” katanya. “Kadang mereka patungan, lalu dua atau
tiga pasangan menikah pada hari yang sama, dan mereka menyewa kami. Aku dan
Pengembara lain, maksudnya. Yang tersisa dari kelompok Pengembara. Para
Penjaga Perdamaian mengizinkan kami menyimpan alat-alat musik saat mereka
memeriksa kami. Sebagian mereka merupakan pelanggan terbaik kami.”
Coriolanus ingat bagaimana para Penjaga Perdamaian berusaha tidak tersenyum
pada hari pemungutan, dan tak ada satu pun yang menghalanginya bernyanyi dan
menari. Dia mencatat pekerjaan Lucy Gray, menyelesaikan da ar isian, tapi dia
masih punya banyak pertanyaan. “Ceritakan padaku tentang kaum Pengembara.
Kalian memihak siapa pada masa perang?”
“Tidak memihak siapa-siapa. Kami tidak berpihak ke mana pun. Kami adalah
kami.” Ada sesuatu di belakang  Coriolanus yang menarik perhatian Lucy Gray.
“Siapa nama temanmu? Yang membawa sandwich? Kurasa dia sedang dalam
kesulitan.”
“Sejanus?” Dia menoleh ke belakang dan melihat tempat Sejanus duduk di
seberang Marcus. Sandwich-sandwich berisi daging sapi panggang dan kue tak
tersentuh di antara mereka. Sejanus bicara dengan nada penuh permohonan, tapi
Marcus hanya memandang lurus ke depan, kedua lengannya bersedekap,
tubuhnya kaku.
Di ruangan itu kondisi para peserta lain beraneka ragam. Ada yang menutup
wajahnya dan menolak berkomunikasi. Ada yang menangis. Ada menjawab
desyrindah.blogspot.com

pertanyaan dengan hati-hati, tapi menampilkan wajah penuh kebencian.


“Lima menit,” Profesor Sickle mengumumkan.
Coriolanus teringat lima menit lain yang perlu mereka bahas. “Jadi, pada malam
sebelum Hunger Games dimulai, kita akan melakukan wawancara selama lima
menit di televisi, dan kita bisa melakukan apa saja yang kita mau. Kupikir kau bisa
bernyanyi lagi.”
 Lucy Gray mempertimbangkannya. “Aku tidak yakin ada gunanya. Waktu aku
bernyanyi pada hari pemungutan, itu tidak ada pengaruhnya dengan kalian semua
di sini. Aku tidak merencanakannya. Nyanyian itu hanya bagian dari cerita
panjang nan sedih yang tak dipedulikan orang lain kecuali aku sendiri.”
“Lagu itu menyentuh perasaan,” kata Coriolanus.
“Dan lagu tentang lembah itu, seperti saranmu, mungkin cara untuk
mendapatkan makanan,” katanya.
“Lagu itu indah,” kata Coriolanus. “Aku jadi teringat ibuku… Dia meninggal saat
aku berumur lima tahun. Aku jadi teringat lagu yang biasa dia nyanyikan untukku.”
“Bagaimana dengan ayahmu?” tanya Lucy Gray.
“Sudah meninggal juga. Pada tahun yang sama,” terang Coriolanus.
Gadis itu mengangguk penuh simpati. “Jadi kau yatim piatu, sama sepertiku.”
Coriolanus tidak suka disebut yatim piatu. Livia mengejek keadaannya yang
tidak punya orangtua saat dia kanak-kanak, membuatnya merasa sebatang kara
dan tak ada yang menyayanginya. Ada semacam kehampaan yang tak pernah
benar-benar bisa dipahami anak-anak lain. Tapi Lucy Gray paham, dia juga yatim
piatu. “Keadaanku masih lumayan. Aku punya Grandma’am, dia nenekku. Dan
Tigris.”
“Apakah kau merindukan orangtuamu?” tanya Lucy Gray.
“Oh, aku tidak dekat dengan ayahku. Ibuku… ya, rindu.” Sulit baginya untuk
bicara tentang ibunya. “Kau sendiri bagaimana?”
“Aku sangat rindu. Pada keduanya. Memakai gaun mamaku adalah satu-satunya
desyrindah.blogspot.com

hal yang membuatku tetap bertahan saat ini.” Dia mengelus rumbai-rumbai
pakaiannya. “Rasanya seperti dipeluk oleh ibuku.”
Coriolanus teringat pada kotak bedak ibunya. Aroma bedaknya. “Wangi ibuku
seperti bunga mawar,” katanya, lalu dia merasa rikuh. Dia jarang bercerita tentang
ibunya, bahkan di rumah sekalipun. Bagaimana obrolan mereka bisa sampai ke
sini? “Yah, kupikir lagumu menggugah banyak orang.”
“Kau baik sekali. Terima kasih. Tapi itu bukan alasan untuk bernyanyi saat
wawancara,” katanya. “Kalau wawancara diadakan pada malam sebelumnya, kita
bisa mengesampingkan makanan. Aku tidak punya alasan untuk bernyanyi demi
belas kasihan orang agar mendapat makanan pada saat itu.”
Coriolanus berpikir keras untuk mencari alasan, tapi kali ini nyanyian Lucy
Gray  hanya akan menghiburnya. “Sayang sekali. Dengan suaramu itu.”
“Aku akan bernyanyi untukmu di belakang panggung,” Lucy Gray berjanji.
Coriolanus akan berusaha membujuknya bernyanyi, tapi untuk sekarang ini, dia
membiarkannya. Dia membiarkan Lucy Gray menanyainya selama beberapa
menit, menjawab pertanyaan tentang keluarganya dan bagaimana mereka
bertahan hidup semasa perang. Entah bagaimana, Coriolanus merasa bisa
bercerita tanpa beban. Apakah karena dia tahu apa yang diceritakannya akan
lenyap di arena beberapa hari lagi?
Lucy Gray tampak lebih baik: tak ada lagi air mata. Mereka saling bertukar
cerita, keakraban tumbuh di antara mereka. Saat peluit berbunyi menandakan
akhir pertemuan mereka, Lucy Gray memasukkan saputangan Coriolanus dengan
rapi ke saku tas sekolah pemuda itu dan meremas lembut lengan Coriolanus
sebagai tanda terima kasih.
Para mentor berjalan dengan patuh ke jalan keluar utama, di sana Profesor Sickle
memerintahkan mereka, “Kalian ke lab biologi untuk tanya-jawab.”
Tak seorang pun mempertanyakan perintah Profesor Sickle, tapi aula bising
dengan pertanyaan mereka tentang alasannya. Coriolanus berharap Dr. Gaul akan
desyrindah.blogspot.com

ada di lab. Da ar pertanyaannya yang terisi penuh dan rapi tampak jomplang
dengan usaha teman-teman sekelasnya yang seadanya, dan ini bisa jadi
kesempatan lain baginya untuk kelihatan menonjol.
“Pesertaku tak mau bicara. Tidak sepatah kata pun!” kata
Clemensia. “Yang kutahu tentang dia sama seperti yang kuketahui setelah pe-
mungutan. Hanya namanya. Reaper Ash. Bisakah kau membayangkan punya anak
bernama Reaper dan jadi peserta Hunger
Games?”
“Belum ada Hunger Games waktu dia lahir,” kata Lysistrata. “Itu nama biasa buat
petani.”
“Mungkin kau benar,” kata Clemensia.
“Pesertaku bicara. Seandainya saja dia tidak bicara!” Arachne nyaris menjerit.
“Kenapa? Apa yang dia katakan?” tanya Clemensia.
“Oh, di Distrik Sepuluh dia menghabiskan waktu dengan menyembelih babi.”
Arachne berlagak mau muntah. “Hoek! Aku mesti bagaimana dengan
kemampuannya itu? Aku berharap punya sesuatu yang lebih baik.” Tiba-tiba dia
berhenti berjalan, sehingga Coriolanus dan Festus menabraknya. “Tunggu! Itu
dia!”
“Awas!” kata Festus, mendorong Arachne agar maju.
Gadis itu mengabaikan Festus dan terus mengoceh, meminta perhatian semua
orang. “Aku bisa menghasilkan sesuatu yang brilian! Aku pernah mengunjungi
Distrik Sepuluh. Tempat itu seperti rumah keduaku!” Sebelum perang, keluarga
Arachne mengembangkan tempat wisata dengan membangun hotel-hotel mewah
di
distrik-distrik, dan dia sering bepergian mengelilingi Panem. Dia masih sering
menyombongkan hal itu, meskipun sejak perang dia hanya tinggal di Capitol. “Aku
bisa memikirkan sesuatu yang lebih baik daripada keadaan rumah jagal!”
“Kau beruntung,” kata Pliny Harrington. Semua orang memanggilnya Pup
desyrindah.blogspot.com

supaya berbeda dari nama panggilan ayahnya, komandan angkatan laut yang
mengawasi perairan Distrik 4. Sang komandan berusaha membentuk Pup seperti
dirinya, berkeras agar sang putra berambut cepak dan sepatu mengilap, tapi
sayangnya Pup tipe remaja jorok dan berantakan. Dia mencungkil sisa potongan
daging dari kawat giginya dengan kuku jempol lalu menjentikkannya ke lantai.
“Paling tidak, dia tidak takut darah.”
“Kenapa? Pesertamu takut?” tanya Arachne.
“Tidak tahu. Gadis itu menangis terus selama lima belas menit nonstop.” Pup
meringis. “Kurasa wakil dari Distrik Tujuh tidak siap untuk cabut kuku, apalagi
Hunger Games.”
“Sebaiknya kau mengancingkan jaketmu sebelum masuk kelas,” Lysistrata
mengingatkannya.
“Oh, ya.” Pup menghela napas. Dia mengancingkan kancing teratas, tapi terlepas
di tangannya. “Seragam bodoh.”
Ketika mereka masuk ke lab, kegembiraan Coriolanus melihat Dr. Gaul lenyap
saat melihat Dekan Highbo om berada di belakang meja profesor sedang
mengumpulkan da ar pertanyaan. Dia mengabaikan Coriolanus, tapi dia memang
tidak ramah pada siapa pun. Dia membiarkan Kepala Pengawas Permainan yang
bicara.
Dr. Gaul menyodok kelinci mutan sampai kelas terisi oleh semua siswa, lalu
menyambut mereka dengan ucapan, “Wah, wah, wah, bagaimana penampilan
kalian? Apakah mereka menyambutmu seperti teman atau hanya duduk dan
memandangmu?” Para siswa saling memandang bingung satu sama lain saat Dr.
Gaul mengambil
kertas-kertas da ar pertanyaan. “Buat kalian yang belum tahu, aku Dr. Gaul,
Kepala Pengawas Permainan. Aku akan menjadi mentor dalam tugas kalian
sebagai mentor. Mari kita lihat orang-orang seperti apa yang aku dapatkan, oke?”
Dia membalik-balik kertas, mengerutkan dahi, lalu menarik selembar kertas dan
desyrindah.blogspot.com

mengangkatnya di depan kelas. “Kalian diminta melakukan ini. Terima kasih, Mr.
Snow. Apa yang terjadi dengan da ar pertanyaan dari yang lainnya?
Dalam hati Coriolanus merasa bangga, tapi dia tidak menunjukkan ekspresi apa-
apa. Langkah terbaik adalah mendukung teman-teman sekelasnya. Setelah terdiam
lama, dia berbicara. “Aku beruntung dengan pesertaku. Dia suka bicara. Tapi
banyak anak-anak lain yang tidak mau berkomunikasi. Bahkan pesertaku tak
melihat ada gunanya berusaha dalam wawancana.”
Sejanus menoleh memandang Coriolanus. “Kenapa mereka mesti berusaha?
Apa gunanya untuk mereka? Apa pun yang mereka lakukan, mereka akan
dilempar ke arena dan dibiarkan berusaha sendiri untuk menyelamatkan diri.”
Gumaman menyetujui terdengar di ruangan.
Dr. Gaul memandang Sejanus. “Kau anak lelaki yang membawa sandwich.
Kenapa kau melakukannya?”
Tubuh Sejanus menegang dan dia menghindari tatapan sang guru. “Mereka
kelaparan. Kita akan membunuh mereka; apakah kita juga akan menyiksa mereka
sebelum bertarung?”
“Huh. Simpatisan pemberontak,” kata Dr. Gaul.
Sejanus masih terus memandangi buku catatannya dan berkata. “Mereka sama
sekali bukan pemberontak. Banyak dari mereka baru berumur dua tahun saat
perang berakhir. Yang paling tua berumur delapan tahun. Sekarang perang sudah
berakhir, mereka juga penduduk Panem, ya kan? Sama seperti kita? Bukankah itu
lagu kebangsaan Capitol? ‘Kauberi kami cahaya. Kau menyatukan kembali’? Seha-
rusnya untuk pemerintahan semuanya, kan?”
“Itu memang garis besarnya. Silakan, teruskan,” Dr. Gaul mendorongnya untuk
melanjutkan.
“Kalau begitu, seharusnya pemerintah melindungi semua orang,” kata Sejanus.
“Itu pekerjaan negara nomor satu! Aku tidak mengerti bagaimana membuat
mereka bertarung sampai mati bisa mencapai hal itu.”
desyrindah.blogspot.com

“Jelas kau tidak setuju dengan Hunger Games,” kata Dr. Gaul. “Pasti sulit bagimu
menjalani tugas sebagai mentor. Pasti penugasanmu jadi terganggu karenanya.”
Sejanus terdiam sesaat. Kemudian dia duduk tegak, terlihat memberanikan diri
dan menatap mata Dr. Gaul. “Mungkin Anda harus menggantiku dan menugasi
orang lain yang lebih pantas.”
Tendengar desah kaget dari seisi kelas.
“Tidak akan, Nak,” Dr. Gaul tergelak. “Belas kasihan adalah kunci Hunger
Games. Kita kekurangan empati. Ya, kan, Casca?” Dia menoleh ke arah Dekan
Highbo om, tapi pria itu hanya mencoret-coret kertas dengan bolpoin.
Sejanus terlihat kecewa, tapi dia tidak menyahut lagi. Coriolanus merasa Sejanus
Plinth mengaku kalah dalam pertempuran kali ini tapi dia belum menyerah dalam
perang. Pemuda itu sesungguhnya lebih tangguh daripada tampilan luarnya.
Bayangkan, dia berani melempar tugas mentor itu ke muka Dr. Gaul.
Tapi percakapan itu tampaknya membuat Dr. Gaul tambah bersemangat. “Nah,
bukankah akan menyenangkan kalau semua orang antusias terhadap para peserta
seperti anak muda ini? Seharusnya itu menjadi tujuan kita.”
“Tidak,” sela Dekan Highbo om.
“Ya! Agar mereka sungguh-sungguh terlibat!” lanjut Dr. Gaul. Dia menepuk
dahinya. “Kau memberiku ide hebat agar orang-orang terlibat langsung dengan
hasil Hunger Games. Bagaimana kalau kita mengizinkan penonton mengirimkan
makanan kepada para peserta di arena? Memberi mereka makan, seperti yang
dilakukan temanmu ini di kebun binatang. Apakah mereka akan merasa lebih
berpartisipasi?”
Festus dengan cepat berkata, “Aku! Kalau aku bisa bertaruh pada peserta yang
kuberi makan! Pagi tadi, Coriolanus bilang mungkin kita harus memasang taruhan
pada para peserta.”
Dr. Gaul berbinar memandang Coriolanus. “Tentu saja dia memberi usul itu.
Baiklah, kalian diskusikan dan rembukan soal ini. Siapkan proposal cara kerjanya,
desyrindah.blogspot.com

dan timku akan mempertimbangkannya.”


“Mempertimbangkannya?” tanya Livia. “Maksudnya Anda mungkin bakal
menggunakan ide-ide kami?”
“Kenapa tidak? Kalau ide-idenya bermanfaat.” Dr. Gaul melempar tumpukan
da ar pertanyaan ke meja. “Otak anak muda yang kurang pengalamanya kadang-
kadang lebih idealis. Tak ada yang tak mungkin bagi mereka. Si Casca inilah
pemilik ide konsep Hunger Games saat dia masih kuliah di Universitas, hanya
beberapa tahun lebih tua dari kalian sekarang.”
Semua mata memandang Dekan Highbo om, yang menanggapi Dr. Gaul. “Itu
cuma teorinya.”
“Sama seperti ini, sampai terbukti berguna,” kata Dr. Gaul. “Aku harap
proposalnya sudah ada di mejaku besok pagi.”
Coriolanus mendesah dalam hati. Proyek kelompok lagi. Kompromi yang harus
dilakukan untuk membagi idenya atas nama kerja sama. Idenya bakal tidak
dipakai, atau lebih buruk lagi dimodi kasi sampai kehilangan maknanya. Kelas
mereka memilih komite yang terdiri atas tiga mentor untuk menyusun proposal.
Tentu saja, dia terpilih, dan dia tidak bisa menolaknya. Dr. Gaul harus pergi karena
ada rapat dan menyuruh seisi kelas agar mendiskusikan isi proposal di antara para
siswa. Coriolanus akan bertemu Clemensia dan Arachne malam ini, tapi karena
mereka setuju untuk  mengunjungi peserta mereka lebih dulu, mereka sepakat
untuk bertemu di kebun binatang pada pukul delapan malam. Setelah itu, mereka
akan ke perpustakaan untuk menyusun proposal.
Karena makan siangnya banyak, Coriolanus tidak merasa terlalu lapar saat
makan malam, yang menunya adalah sup kubis sisa kemarin dan sepiring kacang
merah. Setidaknya, kali ini tidak ada kacang kara. Saat Tigris menyendokkan
bagian terakhir sup itu ke mangkuk porselen cantik dan menghiasnya dengan
rempah dedaunan segar dari taman di atap, makanan itu terlihat lumayan untuk
diberikan kepada Lucy Gray. Penyajian makanan penting untuk gadis itu. Perihal
desyrindah.blogspot.com

sup kacangnya, tak ada masalah, gadis itu kelaparan.


Dia merasa percaya diri saat berjalan ke kebun binatang. Pengunjung pagi hari
tidak banyak, tapi sekarang begitu ramai pengunjung sampai tak ada tempat
kosong di depan kandang monyet. Untungnya dia sekarang punya status baru.
Orang-orang mengenalinya, mereka membiarkannya lewat bahkan mereka
membuka jalan untuknya. Dia bukan warga biasa dia adalah mentor!
Dia berjalan ke sudut tempat duduknya, tapi di sana sudah ada si kembar, Pollo
dan Didi Ring, yang sedang bersantai di batunya. Saudara kembar itu memiliki
penampilan serupa, pakaian yang sama, ikatan rambut yang sama, dan keceriaan
yang sama. Mereka memberi tempat tanpa perlu diminta Coriolanus.
“Kau bisa duduk di sini, Coryo,” kata Didi sambil menarik saudara lelakinya
berdiri dari batu tempatnya duduk.
“Tentu, kamu sudah memberi makan peserta-peserta kami,” kata Pollo. “Hei,
maaf kau harus mengurus proposal itu.”
“Yeah, kami memilih Pup, tapi tak ada yang mendukung kami!” Mereka tertawa
lalu berjalan ke kerumunan penonton.
Lucy Gray langsung menghampirinya. Meskipun Coriolanus tidak ikut makan,
gadis itu melahap kacang merah setelah mengagumi betapa mewah makanan yang
disajikan untuknya.
“Apakah kau dapat makanan dari penonton?” Coriolanus bertanya.
“Aku dapat kulit keju dari seorang wanita, dan anak-anak berkelahi
memperebutkan roti yang dilempar seorang pria ke dalam kandang. Aku bisa
melihat orang-orang membawa makanan, tapi menurutku mereka takut untuk
mendekat, walaupun ada Penjaga Perdamaian di dalam sini.” Dia menunjuk bagian
dinding kandang, ada empat Penjaga Perdamaian yang sedang berjaga. “Mungkin
mereka akan merasa lebih aman setelah kau ada di sini sekarang.”
Coriolanus memperhatikan anak lelaki yang berusia sekitar sepuluh tahun
berada di antara kerumunan, memegang kentang rebus. Dia mengedipkan mata
desyrindah.blogspot.com

pada anak itu lalu melambaikan


tangan. Anak itu mendongak memandang ayahnya, yang mengangguk memberi
izin. Anak lelaki itu berjalan ke belakang Coriolanus, masih tetap menjaga jarak.
“Apakah kau membawakan kentang itu untuk Lucy Gray?” tanya Coriolanus.
“Ya. Aku menyimpannya pada saat makan malam. Aku mau memakannya, tapi
aku lebih kepingin memberinya makan,” kata anak itu.
“Kalau begitu, berikan padanya,” Coriolanus menyemangati. “Dia takkan
menggigit kok. Tapi kuingatkan ya, berlakulah sopan padanya.”
Anak itu melangkang malu-malu ke arah Lucy Gray. “Hai, halo,” kata Lucy Gray. 
“Siapa namamu?”
“Horace,” kata anak itu. “Aku membawakanmu kentang.”
“Kau manis sekali. Apakah harus kumakan sekarang atau kusimpan untuk
nanti?” tanya Lucy Gray.
“Sekarang.” Dengan takut-takut anak itu memberikan kentang padanya.
Lucy Gray mengambil kentang itu seakan sedang menggenggam berlian. “Ya
ampun. Ini kentang paling bagus yang pernah kulihat.” Anak lelaki itu tersipu
bangga. “Oke, aku makan ya.” Dia menggigit kentang itu, memejamkan mata, dan
seolah terlihat bahagia. “Rasanya juga enak. Terima kasih, Horace.”
Kamera mendekat pada mereka ketika Lucy Gray menerima wortel yang layu
dari seorang gadis kecil dan sup tulang dari nenek gadis kecil itu. Seseorang
menepuk bahu Coriolanus, dan saat menoleh ke belakang dia melihat Pluribus
Bell berdiri memegang sekaleng kecil susu. “Kita kan teman lama,” katanya sambil
tersenyum lalu membuat lubang di tutup kaleng dan memberikan susu itu kepada
Lucy Gray. “Aku menikmati pertunjukanmu di hari pemungutan. Apakah kau
yang mengarang lagu itu?”
Beberapa peserta yang lebih ramah atau mungkin yang paling lapar mulai
mendekat ke jeruji. Mereka mulai duduk di tanah, mengulurkan kedua tangan
mereka, menundukkan kepala, dan menunggu. Sesekali, biasanya anak kecil,
desyrindah.blogspot.com

berlari dan menaruh makanan di tangan mereka lalu segera mundur. Para peserta
mulai berusaha menarik perhatian, membuat kamera kembali ke bagian tengah
kandang. Gadis kecil bertubuh lentur dari Distrik 9 jumpalitan ke belakang setelah
menerima sepotong roti. Anak lelaki dari Distrik 7 melakukan pertunjukan sulap
dengan tiga buah kenari yang diterimanya. Penonton memberi hadiah pada
peserta yang melakukan pertunjukan dan memberikan lebih banyak makanan.
Lucy Gray dan Coriolanus melanjutkan piknik mereka dan melihat pertunjukan
itu. “Kita semua anggota rombongan sirkus,” kata Lucy Gray sambil mencungkil
daging dari tulang.
“Tak ada satu pun dari mereka yang sebanding denganmu,” kata Coriolanus.
Para mentor yang sebelumnya diabaikan, kini mulai didekati para peserta jika
mereka menawarkan makanan. Ketika Sejanus datang membawa satu tas berisi
telur rebus dan irisan-irisan roti, semua peserta berlari menghampirinya kecuali
Marcus, yang tetap menunjukkan sikap tidak peduli.
Coriolanus mengangguk ke arah mereka. “Kau benar soal Sejanus dan Marcus.
Mereka pernah sekelas di Distrik Dua.”
“Wah, itu rumit. Setidaknya, kita tidak menghadapi masalah semacam itu,” kata
Lucy Gray.
“Ya, ini saja lumayan rumit.” Coriolanus bermaksud bercanda, tapi malah
candaannya gagal. Ini sudah rumit, dan semakin rumit seiring waktu.
Gadis itu tersenyum sedih. “Pasti akan menyenangkan bisa bertemu denganmu
dalam situasi yang berbeda.”
“Seperti apa contohnya?” Ini pertanyaan berbahaya, tapi Coriolanus tak bisa
menahan diri untuk tidak bertanya.
“Oh, misalnya kau datang ke salah satu pertunjukanku dan mendengarku
bernyanyi,” katanya. “Sesudahnya kau menghampiriku untuk mengobrol, lalu kita
mungkin minum-minum dan berdansa.”
Coriolanus bisa membayangkannya. Gadis itu bernyanyi di kelab malam seperti
desyrindah.blogspot.com

milik Pluribus, dia memandang mata gadis itu, terkoneksi bahkan sebelum mereka
bertemu. “Dan aku akan datang lagi keesokan malamnya.”
“Seakan waktu berhenti untuk kita,” kata Lucy Gray.
Lamunan mereka terputus karena teriakan keras “Woo-hoo!” Peserta-peserta
dari Distrik 6 mulai menari kocak, dan si kembar Ring mengajak penonton
bertepuk tangan berirama. Setelah itu, suasana semakin meriah. Orang-orang
makin dekat ke kandang, dan beberapa orang mulai mengobrol dengan para
tahanan.
Coriolanus menganggap perkembangan ini bagus butuh lebih dari sekadar
Lucy Gray untuk mendapat jam tayang utama acara wawancara di televisi. Dia
membiarkan peserta-peserta lain mendapat waktu mereka sendiri dan
memintanya bernyanyi saat kebun binatang tutup. Sementara itu, Coriolanus
bercerita padanya tentang apa yang didiskusikan para mentor tadi siang dan me-
nekankan betapa pentingnya popularitas Lucy Gray di arena, karena sekarang ada
kemungkinan penonton bisa mengirimi mereka hadiah.
Diam-diam, Coriolanus mengkhawatirkan sumber daya yang dimilikinya. Dia
butuh penonton yang lebih makmur, yang bisa membelikan banyak hadiah untuk
gadis itu. Kalau peserta milik Snow tidak mendapat apa-apa di arena,
penampilannya akan terlihat buruk. Mungkin dia bisa membuat ketentuan di
proposal yang menyatakan bahwa mentor tidak boleh memberikan hadiah untuk
pesertanya sendiri. Kalau tidak begitu, bagaimana caranya dia bisa bersaing? Apa-
lagi melawan Sejanus. Dan di dekat jeruji, Arachne mengadakan piknik untuk
pesertanya. Roti hangat, sebongkah keju, dan sesuatu yang dari jauh kelihatannya
seperti buah anggur. Bagaimana caranya Arachne bisa memiliki semua itu?
Mungkin industri biro perjalanan mereka sedang naik daun.
Dia memperhatikan Arachne mengiris keju dengan pisau bergagang kerang
mutiara. Pesertanya, gadis bawel dari Distrik 10, berjongkok tepat di depannya,
menyandar ke jeruji dengan penuh semangat. Arachne membuat sandwich tebal,
desyrindah.blogspot.com

tapi tidak langsung menyerahkannya. Tampaknya dia sedang menguliahi gadis itu
tentang sesuatu. Dia bicara cukup lama. Pada suatu saat, gadis peserta itu meng-
ulurkan tangannya di antara jeruji, dan Arachne menarik sandwich itu, membuat
para penonton tertawa. Arachne menoleh dan tersenyum pada penonton,
menggoyangkan jarinya pada sang peserta, mengulurkan sandwich itu lagi, lalu
menariknya untuk kedua kali, membuat para penonton semakin tertawa geli.
“Dia cari gara-gara,” kata Lucy Gray.
Arachne melambai ke arah penonton lalu menggigit sandwich itu sendiri.
Coriolanus bisa melihat kegeraman di wajah sang peserta, otot-otot lehernya
menegang. Dia juga bisa melihat sesuatu yang lain. Jemari gadis itu terulur di
antara jeruji, melesat cepat, meraih gagang  pisau dan memutarnya. Coriolanus
bergerak berdiri, membuka mulut untuk meneriakkan peringatan, tapi terlambat.
Dalam satu gerakan, peserta itu menarik Arachne mendekat dan menggorok
lehernya.
desyrindah.blogspot.com
7

Jeritan terdengar dari penonton yang berada paling dekat dengan serangan itu.
Wajah Arachne memucat ketika dia menjatuhkan sandwich dan menangkup
lehernya. Darah mengalir di antara jemarinya ketika gadis Distrik 10 melepaskan
dan mendorongnya. Arachne bergerak mundur, berbalik dan mengulurkan
tangannya yang meneteskan darah, memohon pertolongan dari penonton. Orang-
orang terlalu kaget atau terlalu takut untuk membantunya. Banyak yang berlari
menjauh ketika gadis itu jatuh berlutut dan mulai kehabisan darah.
Reaksi pertama Coriolanus adalah mundur seperti yang lain, memegang jeruji
kandang monyet agar bisa tetap berdiri, tapi Lucy Gray berbisik, “Bantu dia!” Dia
ingat kamera menyiarkan acara ini langsung ke penonton televisi di Capitol. Dia
tidak tahu harus melakukan apa terhadap Arachne, tapi dia tidak mau kelihatan
ketakutan dan diam saja. Kengeriannya biar disimpan dalam hati, tidak perlu dia
tunjukkan di depan umum.
Dia memaksakan kakinya bergerak dan jadi orang yang pertama tiba di sisi
Arachne. Gadis itu menggenggam kemeja Coriolanus saat meregang nyawa.
“Medik!” dia berteriak sembari membaringkan Arachne ke tanah. “Ada dokter di
sini? Tolong, bantu dia!” Tangan Coriolanus menekan luka untuk menahan aliran
darah, tapi dia langsung mengangkat tangannya saat gadis itu bersuara seperti
tercekik. “Ayolah!” dia berteriak ke arah penonton. Dua orang Penjaga Perdamaian
mendorong kerumunan massa agar bisa menghampirinya, tapi terlambat.
Coriolanus menoleh, melihat gadis dari Distrik 10 mengambil sandwich keju itu
desyrindah.blogspot.com

dan melahapnya dengan rakus sebelum peluru menembus tubuhnya,


membuatnya jatuh menghantam jeruji. Dia jatuh di kubangan darahnya yang
bercampur dengan darah Arachne. Potongan makanan yang baru separo digigit
jatuh dari mulutnya dan mengambang di kolam darah.
Penonton bergerak mundur saat orang-orang panik berusaha melarikan diri dari
tempat itu. Cahaya langit yang semakin memudar meningkatkan rasa putus asa.
Coriolanus melihat bocah lelaki jatuh dan kakinya terinjak sebelum seorang
wanita menariknya dari tanah. Yang lain tidak seberuntung bocah itu.
Bibir Arachne bergerak-gerak berusaha berbicara, tapi Coriolanus tidak
memahaminya. Ketika napas Arachne berhenti, dia tidak berusaha membantu
dengan napas buatan, tak ada gunanya. Kalau dia memberikan napas buatan ke
mulut Arachne, akan terbuang juga lewat luka terbuka di lehernya. Festus
sekarang berada di sampingnya, dan mereka saling menatap tak berdaya.
Setelah melangkah mundur menjauhi Arachne, Coriolanus tersentak mendapati
cairan merah mengilat menempel di kedua tangannya. Dia menoleh dan melihat
Lucy Gray meringkuk di dekat jeruji kandang, menutup wajahnya dengan gaun
rumbai-rumbainya. Tubuhnya gemetar, dan Coriolanus baru tersadar bahwa dia
juga gemetar. Semua ini: genangan darah, desing peluru, teriakan massa, mem-
buatnya teringat kembali pada saat terburuk masa kecilnya. Sepatu bot
pemberontak berderap di jalanan, dia dan Grandma’am ditembaki, orang-orang
yang tewas bergelimpangan di sekitar mereka… ibunya di ranjang penuh darah…
kerusuhan saat pembagian sembako, wajah-wajah yang kena hajar, orang-orang
mengerang…
Dia berjalan untuk menyembunyikan ketakutannya. Mengepalkan kedua tangan
di sisi tubuhnya. Berusaha mengambil napas dalam-dalam secara perlahan. Lucy
Gray mulai muntah, dan dia memalingkan kepalanya agar tidak ikutan mual.
Petugas medis muncul, mengangkat Arachne dengan brankar. Petugas medis
lain memeriksa apakah ada yang terluka karena peluru-peluru nyasar atau terinjak-
desyrindah.blogspot.com

injak massa. Seorang wanita berdiri di hadapannya, menanyakan apakah dia


terluka, apakah dia berdarah? Setelah mereka tahu itu bukan darahnya, mereka
memberinya handuk untuk menyeka darah itu lalu berjalan pergi.
Saat Coriolanus menyeka darah di tangan dan tubuhnya, dia melihat Sejanus
berjongkok di dekat peserta yang tewas. Sejanus mengulurkan tangannya di antara
jeruji, kelihatannya dia memercikkan sesuatu yang berwarna putih di atas jasad
gadis itu sambil menggumamkan kata-kata. Coriolanus hanya melihat sekilas
sebelum Penjaga Perdamaian datang dan menarik Sejanus pergi. Sekarang tentara-
tentara menyerbu tempat ini, membuat penonton yang masih tersisa bergegas
pergi, lalu membariskan para peserta di bagian belakang kandang dengan kedua
tangan diangkat. Coriolanus sudah lebih tenang dan berusaha menarik perhatian
Lucy Gray, tapi mata gadis itu tertuju ke tanah.
Seorang Penjaga Perdamaian menggamit bahu Coriolanus lalu mendorongnya
dengan tegas tapi sopan menuju pintu keluar. Dia melihat Festus di jalan utama
dan berjalan di belakangnya. Mereka berhenti di air mancur dan berusaha
membersihkan sisa darah yang masih menempel. Mereka sama-sama tidak tahu
harus bicara apa. Arachne memang bukan orang yang disukainya, tapi gadis itu
selalu menjadi bagian dari hidupnya. Mereka bermain semasa bayi, ke acara pesta
ulang tahun, bersama-sama mengantre sembako, masuk kelas yang sama di
sekolah. Arachne memakai pakaian serbahitam dari ujung rambut sampai ujung
kaki saat pemakaman ibunya, dan tahun lalu Coriolanus bersorak memberi
selamat pada kelulusan kakak
laki-laki gadis itu. Sebagai bagian dari orang kaya lama di Capitol, Arachne adalah
keluarga. Dan kita tidak perlu menyukai keluarga kita. Ada ikatan tak kasatmata
yang menyatukan mereka.
“Aku tak bisa menyelamatkannya,” kata Coriolanus. “Aku tidak bisa
menghentikan perdarahannya.”
“Menurutku tak ada yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkannya. Paling
desyrindah.blogspot.com

tidak, kau sudah berusaha. Itu yang penting,” Festus menghiburnya.


Clemensia menghampiri mereka, tubuhnya gemetar ketakutan, dan mereka
berjalan keluar dari kebun binatang bersama-sama.
“Ayo, ke rumahku,” kata Festus, tapi ketika mereka tiba di apartemen, mendadak
Festus menangis. Mereka mengantarnya sampai elevator dan mengucapkan
selamat tinggal.
Saat Coriolanus mengantar Clemensia pulang, mereka baru
ingat tugas yang diberikan Dr. Gaul pada mereka. Proposal tentang tata cara
mengirim makanan kepada peserta di arena dan kemungkinan untuk memasang
taruhan atas mereka. “Mana mungkin dia masih menunggu proposal itu,” kata
Clemensia. “Aku tidak bisa membuatnya malam ini. Aku tidak bisa
memikirkannya. Apalagi tanpa Arachne.”
Coriolanus sependapat, tapi dalam perjalanan pulang dia memikirkan Dr. Gaul.
Sang profesor tipe orang yang akan menghukum mereka jika lewat tenggat waktu,
apa pun alasan dan kondisinya. Mungkin untuk amannya, lebih baik dia
mengarang sesuatu.
Setelah menaiki dua belas lantai apartemen, dia melihat Grandma’am sedang
mengumpat pada distrik-distrik dan mengangin-anginkan gaun hitam terbaiknya
untuk pemakaman Arachne. Sang nenek langsung menghampirinya, menepuk-
nepuk dada dan lengannya, memastikan dia tidak terluka. Tigris menangis. “Aku
tidak percaya Arachne sudah tiada. Aku melihatnya sore tadi di pasar, sedang
membeli buah anggur.”
Coriolanus menenangkan mereka dan berusaha sebaik mungkin untuk
meyakinkan mereka bahwa dirinya aman. “Takkan terjadi lagi. Itu kecelakaan di
luar dugaan. Sekarang keamanan pasti diperketat.”
Setelah keadaan tenang, Coriolanus ke kamar tidurnya, melepaskan seragamnya
yang ternoda darah lalu ke kamar mandi. Di bawah guyuran air panas, dia
menggosok dan membersihkan sisa darah Arachne dari tubuhnya. Selama sekitar
desyrindah.blogspot.com

semenit, isak tangis membuat dadanya sakit. Tapi kemudian sakitnya hilang, dan
dia tidak tahu apakah itu ada hubungannya dengan kesedihan karena kematian
Arachne atau penderitaannya karena kesulitan-kesulitan yang dialaminya.
Mungkin ada bagian dari keduanya. Dia mengenakan jubah sutra milik ayahnya
dan memutuskan untuk mencoba membuat proposal. Lagi pula, dia takkan bisa
tidur, dengan bunyi deguk Arachne yang masih terngiang di telinganya. Aroma
bedak mawar sebanyak apa pun takkan bisa meredakannya. Menenggelamkan diri
dalam tugas itu membantunya tenang, dan dia lebih suka bekerja sendiri, tanpa
perlu repot-repot membantah pemikiran teman-temannya secara diplomatis.
Tanpa adanya gangguan, dia bisa menyusun proposal yang sederhana tapi padat.
Dia memikirkan diskusi di dalam kelas bersama Dr. Gaul dan semangat dari
penonton saat mereka memberi makan para peserta di kebun binatang. Dia
memusatkan rencananya pada makanan. Untuk pertama kalinya, para sponsor
bisa membelikan barang-barang sepotong roti, sebongkah keju untuk dikirim
dengan drone ke peserta tertentu. Akan dibentuk panel untuk meninjau manfaat
dan nilai setiap barang. Pemberi sponsor haruslah penduduk terhormat Capitol
yang tidak ada kaitannya dengan Hunger Games. Ini menyingkirkan para
Pengawas Permainan, mentor, Penjaga Perdamaian yang ditugaskan untuk
menjaga peserta, dan keluarga dari mereka yang disebut di atas. Untuk usulan
pemasangan taruhan, dia menyarankan dibentuknya panel kedua untuk
menentukan lokasi yang mengizinkan warga Capitol memasang taruhan secara
resmi atas pemenang pilihannya, menetapkan rasio peluang, dan mengawasi pem-
bayaran kepada para pemenang taruhan. Pendapatan yang diperoleh dari kedua
program tersebut akan disalurkan untuk membiayai Hunger Games, sehingga
semua ini bisa dibilang gratis bagi pemerintah Panem.
Coriolanus terus bekerja sampai pagi menjelang di hari Jumat itu. Saat matahari
menyorotkan sinarnya menembus jendela, dia mengenakan seragam bersih,
mengepit proposalnya di ketiak, lalu meninggalkan apartemennya tanpa
desyrindah.blogspot.com

menimbulkan suara. 
Dr. Gaul mengemban beberapa tugas di bidang akademis, militer, dan riset, jadi
Coriolanus harus berusaha menebak di mana Dr. Gaul berada. Karena ini
berkaitan dengan Hunger Games, dia berjalan ke bangunan mengesankan yang
disebut Citadel, yang menjadi kantor Departemen Perang. Para Penjaga
Perdamaian yang bertugas tidak mengizinkannya masuk ke wilayah keamanan-
tinggi, tapi mereka meyakinkannya bahwa lembaran-lembaran proposalnya akan
diletakkan di meja Dr. Gaul. Hanya itu yang bisa dilakukan Coriolanus.
Ketika dia berjalan pulang ke Corso, layar yang hanya menunjukkan lambang
Panem pada dini hari kini menunjukkan kejadian-kejadian yang terjadi pada
malam sebelumnya. Mereka berulang-ulang menayangkan kejadian ketika sang
peserta menggorok leher Arachne, lalu Coriolanus datang membantunya, dan si
pembunuh tewas diberondong peluru. Anehnya dia merasa terasing dari kejadian
itu, seakan seluruh cadangan perasaannya sudah terkuras setelah letupan
singkatnya di kamar mandi. Karena reaksi awalnya atas kematian Arachne tidak
terlihat tulus, dia lega karena kamera hanya merekam usahanya untuk
menyelamatkan gadis itu, momen ketika dia terlihat berani dan bertanggung
jawab. Kalau diamati lebih cermat, kelihatan tubuhnya gemetar. 
Dia senang melihat kamera menyoroti Livia Cardew sekilas, ketika gadis itu
berlari ketakutan mendorong kerumunan saat mendengar bunyi senapan
ditembakkan. Di kelas retorika, Livia pernah menyinggung kegagalannya dalam
menafsir makna sebuah puisi secara mendalam karena Coriolanus terlalu
mementingkan diri sendiri. Ironisnya, pernyataan itu berasal dari mulut Livia!
Tapi, tindakan lebih penting daripada kata-kata. Coriolanus datang membantu,
Livia kabur melarikan diri.
Pada saat Coriolanus tiba di rumah, Tigris dan Grandma’am sudah tidak lagi
shock karena kematian Arachne dan menyatakan Coriolanus sebagai pahlawan
nasional, yang diterimanya dengan gaya enggan tapi dalam hatinya senang. Dia
desyrindah.blogspot.com

tidak merasa lelah, tapi merasakan kegelisahan yang membara, dan pengumuman
bahwa Akademi tidak libur dan tetap ada kelas membuatnya bergelora. Menjadi
pahlawan di rumah tidak cukup; dia butuh lebih banyak penonton.
Setelah sarapan kentang goreng dan mentega susu dingin, dia kembali ke
Akademi dengan wajah muram sesuai dengan suasana. Karena dikenal sebagai
sahabat Arachne, dan telah terbukti dengan usahanya menyelamatkan gadis itu,
tampaknya dia terpilih menjadi orang yang semestinya paling berduka. Di koridor
Akademi, ucapan belasungkawa disampaikan oleh orang-orang yang lewat disertai
pujian atas tindakannya. Ada yang bilang bahwa dia merawat Arachne seakan
gadis itu saudara perempuannya. Meskipun dia tidak melakukan hal semacam itu,
dia membiarkannya. Tak perlu mencela orang yang sudah meninggal.
Sebagai dekan Akademi, seharusnya Highbo om yang memimpin pertemuan
sekolah ini, tapi dia tidak muncul. Sebagai gantinya Satyria yang bicara tentang
Arachne dengan berbunga-bunga: keberaniannya, keterusterangannya, serta selera
humornya. Coriolanus menyeka matanya sembari berpikir, bahwa segala hal yang
menyebalkan pada diri Arachne-lah yang akhirnya membunuh gadis itu. Profesor
Sickle mengambil mikrofon dan memuji Coriolanus dan menyebut nama Festus,
atas reaksi mereka untuk membantu teman. Hippocrata Lunt, guru bimbingan
konseling, mengundang siapa pun yang punya masalah menghadapi masa duka ini
agar mengunjungi kantornya, terutama bagi mereka yang memiliki dorongan
untuk melakukan kekerasan pada orang lain atau pada diri sendiri. Satyria kembali
ke depan mikrofon dan mengumumkan bahwa pemakaman Arachne akan
dilaksanakan esok hari, dan seluruh organisasi siswa akan hadir untuk memberi
penghormatan terakhir. Acara pemakaman itu akan ditayangkan langsung ke
seantero Panem, jadi mereka diminta untuk tampil dan berperilaku layaknya anak
muda Capitol. Selanjutnya mereka diizinkan berbaur, mengenang sahabat mereka,
dan saling memberi penghiburan karena kematian Arachne. Kelas akan
dilanjutkan seusai makan siang.
desyrindah.blogspot.com

Setelah makan salad ikan hambar yang disajikan di atas roti bakar, para mentor
dijadwalkan bertemu Profesor Demigloss lagi, meski tak ada seorang pun yang
bersemangat. Apalagi ketika melihat yang dilakukan sang profesor pertama kali
adalah membagikan lembaran da ar nama mentor dan peserta, dan berkata, “Ini
untuk memudahkan kalian mengikuti perkembangan masing-masing dalam
Hunger Games.”
HUNGER GAMES KE-10
PENUGASAN MENTOR
DISTRIK 1
Lelaki (Facet) Livia Cardew
Perempuan (Velvereen) Palmyra Monty
DISTRIK 2
Lelaki (Marcus) Sejanus Plinth
Perempuan (Sabyn) Florus Friend
DISTRIK 3
Lelaki (Circ) Io Jasper
Perempuan (Teslee) Urban Canville
DISTRIK 4
Lelaki (Mizzen) Persephone Price
Perempuan (Coral) Festus Creed
DISTRIK 5
Lelaki (Hy) Dennis Fling
Perempuan (Sol) Iphigenia Moss
DISTRIK 6
Lelaki (O o) Apollo Ring
Perempuan (Ginnee) Diana Ring
DISTRIK 7
Lelaki (Treech) Vipsania Sickle
desyrindah.blogspot.com

Perempuan (Lamina) Pliny Harrington


DISTRIK 8
Lelaki (Bobbin) Juno Phipps
Perempuan (Wovey) Hilarius Heavensbee
DISTRIK 9
Lelaki (Panlo) Gaius Breen
Perempuan (Sheaf) Androcles Anderson
DISTRIK 10
Lelaki (Tanner) Domitia Whimsiwick
Perempuan (Brandy) Arachne Crane
DISTRIK 11
Lelaki (Reaper) Clemensia Dovecote
Perempuan (Dill) Felix Ravinstill
DISTRIK 12
Lelaki ( Jessup) Lysistrata Vickers
Perempuan (Lucy Gray) Coriolanus Snow
Coriolanus, bersama beberapa orang di dekatnya, otomatis mencoret nama anak
perempuan Distrik 10. Selanjutnya apa?  Seharusnya mereka juga mencoret nama
Arachne, tapi rasanya tidak enak. Bolpoinnya mengambang di atas nama Arachne
dan diam beberapa saat. Rasanya keji mencoret nama gadis itu dari da ar begitu
saja.
Sekitar sepuluh menit sebelum masuk kelas, ada catatan dari kantor kepala
sekolah yang memerintahkan Coriolanus dan Clemensia untuk meninggalkan
kelas dan segera melapor ke Citadel. Ini pasti tanggapan atas proposalnya, dan
Coriolanus merasa bersemangat sekaligus gelisah. Apakah Dr. Gaul menyukainya?
Membencinya? Apa maksudnya?
Karena Coriolanus tidak memberitahu Clemensia tentang proposal yang
dibuatnya, gadis itu merasa tidak dilibatkan. “Aku tidak menyangka kau bisa-
desyrindah.blogspot.com

bisanya membuat proposal padahal Arachne baru saja meninggal! Aku menangis
sepanjang malam.” Matanya masih kelihatan bengkak habis menangis.
“Aku juga tidak bisa tidur,” kata Coriolanus keberatan dituduh seperti itu.
“Setelah memeganginya saat dia meninggal, bekerja membuatku tidak ketakutan.”
“Aku  tahu. Aku tahu. Masing-masing orang punya caranya sendiri mengatasi
rasa duka. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu.” Clemensia menghela napas.
“Jadi apa yang isi proposal yang seharusnya kita tulis bersama ini?
Coriolanus memberitahunya secara singkat, tapi gadis itu tampaknya masih
kesal. “Maaf, aku bermaksud memberitahumu. Cuma hal mendasar, dan kita
sudah membahasnya secara berkelompok. Aku sudah mendapat satu kecaman
minggu ini aku tidak bisa membiarkan nilaiku ikut dikurangi.”
“Apakah kau juga mencantumkan namaku? Aku tidak mau kelihatan terlalu
lemah sampai tidak bisa berkontribusi,” katanya.
“Aku tidak mencantumkan nama siapa pun. Ini lebih seperti proyek kelas.”
Coriolanus mengangkat tangan putus asa. “Sejujurnya, Clemmie, kupikir aku
membantumu!”
“Oke, oke,” kata Clemensia, menyerah. “Kurasa aku berutang padamu. Tapi, aku
berharap setidaknya aku punya kesempatan membacanya. Bantu aku ya, kalau dia
mulai menanyai kita tentang isi proposal itu.”
“Kau tahu aku pasti akan membantumu. Lagi pula, dia mungkin tidak
menyukainya,” kata Coriolanus. “Maksudku, menurutku proposal kita lumayan
mantap, tapi dia punya cara kerja yang berbeda.”
“Betul juga,” Clemensia sependapat. “Apakah menurutmu
Hunger Games akan tetap diadakan?”
Dia belum berpikir sampai ke sana. “Aku tidak tahu. Kejadian yang menimpa
Arachne, lalu pemakaman… Kalau diadakan pun, mungkin akan ditunda.
Entahlah. Aku tahu kau tidak menyukai acara ini.”
“Kau suka? Apakah ada orang yang menyukainya?” tanya
desyrindah.blogspot.com

Clemensia.
“Mungkin mereka akan memulangkan para peserta.” Ide itu terasa menarik
ketika dia memikirkan Lucy Gray. Dia penasaran bagaimana efek kematian
Arachne pada diri gadis itu. Apakah semua peserta dihukum karena kejadian itu?
Apakah mereka masih akan mengizinkannya menemui Lucy Gray?
“Ya, atau mereka dijadikan Avox, atau semacamnya,” kata Clemensia.
“Mengerikan sih, tapi tidak seburuk kejadian di arena. Maksudku, lebih baik hidup
tanpa lidah daripada mati, ya kan?”
“Aku sih begitu, tapi aku tidak yakin pesertaku mau,” kata Coriolanus. “Apakah
kau masih bisa bernyanyi tanpa lidah?”
“Aku tidak tahu. Mungkin bisa bersenandung.” Mereka tiba di gerbang Citadel.
“Semasa kecil aku takut pada tempat ini.”
“Aku masih takut sampai sekarang,” kata Coriolanus, dan membuat Clemensia
tertawa.
Di pos Penjaga Perdamaian, retina mereka dipindai dan identitas mereka
diperiksa di da ar Capitol. Tas mereka yang berisi buku diambil dan seorang
penjaga mengawal mereka menyusuri koridor panjang kelabu menuju elevator
yang turun dua puluh lima lantai. Coriolanus tak pernah sampai ke bawah sejauh
itu, dan yang mengejutkan, dia ternyata menyukainya. Meskipun menyukai griya
tawang milik keluarga Snow, Coriolanus merasa rapuh ketika bom demi bom
berjatuhan pada saat perang. Di sini, tampaknya tak ada apa pun yang bisa
melukainyai.
Pintu elevator terbuka, dan mereka melangkah ke laboratorium raksasa. Deretan
meja-meja penelitian, mesin-mesin yang asing, dan kotak-kotak kaca berjajar
sampai ke ujung sana. Coriolanus menoleh memandang sang pengawal, tapi 
pengawal itu sudah menutup pintu dan meninggalkan mereka tanpa instruksi
lebih lanjut. “Ayo?” dia mengajak Clemensia.
Mereka mulai berjalan ke lab dengan hati-hati. “Aku punya rasat jelek bakal
desyrindah.blogspot.com

memecahkan sesuatu,” bisiknya.


Mereka berjalan menyusuri dinding dengan kotak kaca setinggi lima meter. Di
dalamnya terdapat makhluk-makhluk berbentuk binatang. Ada yang masih bisa
dikenali, ada yang sudah direkayasa genetiknya sehingga tak ada label yang bisa
menjelaskan makhluk tersebut. Ada yang berkeliaran dan terengah-engah, atau
berjalan terhuyung-huyung menunjukkan ketidaksenangan mereka. Taring-taring
yang kebesaran, cakar-cakar, sirip-sirip menyapu kaca ketika Coriolanus dan
Clemensia berjalan melewati mereka.
Seorang pria muda dengan jas laboratorium mencegat mereka dan mengantar
mereka melewati bagian kotak-kotak kaca berisi reptil. Mereka melihat Dr. Gaul
yang sedang mengintip ke terarium besar penuh dengan ratusan ekor ular. Warna
ular-ular itu terang dan terlihat tidak normal, kulit mereka berkilau pink cerah,
kuning, dan biru. Panjangnya seukuran penggaris dan tidak lebih besar daripada
pensil, mereka bergelut di karpet psikedelik yang menutupi bagian alas kotak.
“Ah, kau sudah datang,” kata Dr. Gaul sambil menyeringai. “Beri salam pada
bayi-bayi baruku.”
“Halo,” kata Coriolanus, mendekatkan wajahnya ke kaca untuk melihat
makhluk-makhluk yang menggeliat itu. Mereka mengingatkannya pada sesuatu,
tapi dia tidak ingat apa.
“Apakah ada tujuan tertentu dari warna itu?” tanya Clemensia.
“Ada tujuan atau tidak, tergantung pada caramu memandang dunia,” kata Dr.
Gaul. “Dan aku jadi teringat proposalmu. Aku menyukainya. Siapa yang
menyusunnya? Hanya kalian berdua? Atau temanmu yang kurang ajar itu sempat
memberi masukan sebelum lehernya digorok?”
Clemensia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, kesal, tapi Coriolanus melihat
wajahnya menegang. Gadis itu tak mau terintimidasi. “Kami mendiskusikannya
sekelas dalam rapat kelompok.”
“Dan Arachne berencana membantu menuliskannya tadi malam, sebelum…
desyrindah.blogspot.com

seperti yang Anda bilang tadi,” kata Coriolanus.


“Tapi kalian berdua melanjutkannya, begitu?” tanya Dr. Gaul.
“Benar,” kata Clemensia. “Kami menulisnya di perpustakaan, dan aku
mencetaknya di apartemenku tadi malam. Lalu aku memberikannya pada
Coriolanus supaya dia bisa menyerahkannya pagi ini. Sebagaimana yang
ditugaskan kepada kami.”
Dr. Gaul bertanya pada Coriolanus. “Benar begitu kejadiannya?”
Coriolanus merasa tersudut. “Aku memang menyerahkannya tadi pagi. Yah,
hanya menitipkannya pada Penjaga Perdamaian di pos jaga; aku tidak diizinkan
masuk,” katanya berusaha menghindar. Ada yang aneh dari pertanyaan ini.
“Apakah ada masalah?”
“Aku hanya ingin memastikan bahwa kalian berdua memang yang membuat
tugas ini,” kata Dr. Gaul.
“Aku bisa menunjukkan bagian-bagian yang didiskusikan secara berkelompok
dan bagaimana ide itu dikembangkan dalam proposal,” kata Coriolanus.
“Ya. Lakukanlah. Apakah kau membawa salinannya?” tanya Dr. Gaul.
Clemensia memandang Coriolanus penuh harap. “Tidak, aku tidak
membawanya,” kata Coriolanus. Dia kesal Clemensia menyerahkan semua ke
tangannya, padahal gadis itu yang terlalu terguncang untuk membantunya menulis
proposal. Apalagi karena Clemensia salah satu pesaing terberatnya untuk
mendapat hadiah Akademi. “Kau membawanya?”
“Mereka mengambil tas sekolah kami.” Clemensia memandang Dr. Gaul.
“Mungkin kami bisa memakai proposal yang kami berikan kepada Anda?”
“Bisa saja. Tapi, asistenku menaruhnya di kotak kaca ini saat aku sedang makan
siang,” kata Dr. Gaul sambil tertawa.
Coriolanus menatap ular-ular yang menggeliat dan lidah mereka yang terjulur.
Dia bisa melihat kata-kata yang ditulis dalam proposalnya di antara ular itu.
“Bagaimana kalau kalian berdua yang mengambilnya?” kata Dr. Gaul.
desyrindah.blogspot.com

Dia merasa sedang diuji. Ujian aneh dari Dr. Gaul, tapi tetap saja ujian. Dan
entah bagaimana, rasanya ini direncanakan. Hanya saja Coriolanus tidak tahu apa
tujuannya. Dia memandang Clemensia dan berusaha mengingat apakah gadis itu
takut pada ular, tapi dia sendiri tidak tahu apakah dia takut ular atau tidak. Tak
pernah ada ular di laboratorium sekolah.
Clemensia tersenyum getir pada Dr. Gaul. “Baiklah. Apakah kami hanya perlu
mengambilnya dari pintu sorong di bagian atas kotak?”
Dr. Gaul membuka seluruh penutup kacanya. “Oh, tidak, kuberi ruang yang
lebih lega. Mr. Snow? Bagaimana kalau kau yang mulai?”
Coriolanus menjangkau proposalnya perlahan-lahan, merasakan kehangatan
udara yang dipanaskan.
“Benar sekali. Perlahan-lahan. Jangan ganggu mereka,” Dr. Gaul memberi
perintah.
Jemarinya menyelip ke bawah ujung lembaran proposalnya dan perlahan-lahan
menariknya keluar dari tindihan ular-ular itu. Mereka saling menumpuk tapi
sepertinya tidak peduli pada apa yang dilakukan Coriolanus. “Kurasa mereka tidak
memperhatikanku,” katanya pada Clemensia, yang tampak pucat.
“Giliranku, kalau begitu.” Dia mengulurkan tangan ke dalam bak kaca.
“Penglihatan mereka tidak terlalu baik, pendengaran mereka juga kurang,” kata
Dr. Gaul. “Tapi, mereka tahu kau ada di sana. Ular bisa mencium baumu dengan
lidah mereka, terutama mu -mu ini.”
Clemensia mengaitkan kukunya ke selembar proposal dan mengangkatnya.
Ular-ular itu bergerak.
“Kalau mereka mengenali baumu, kalau mereka memiliki kaitan menyenangkan
dengan baumu contohnya, bak kaca yang hangat mereka akan
mengabaikanmu. Bau yang baru, asing, akan dianggap sebagai ancaman,” kata Dr.
Gaul. “Selamatkan dirimu, gadis kecil.”
Coriolanus baru paham sepenuhnya saat dia melihat ketakutan di wajah
desyrindah.blogspot.com

Clemensia. Gadis itu segera menarik tangannya keluar dari bak, tapi enam ekor
ular neon keburu menancapkan taring ke kulitnya.
8

Clemensia menjerit ketakutan, mengibas-ngibaskan tangannya untuk melepaskan


ular-ular berbisa itu. Luka-luka tusukan bekas gigitan ular mengeluarkan nanah
berwarna-warni sesuai warna-warna ular tersebut. Nanah berwarna pink cerah,
kuning, dan biru mengalir ke jemarinya.
Asisten-asisten laboratorium berjas putih muncul. Dua asisten menahan
Clemensia di lantai sementara asisten ketiga menyuntiknya dengan jarum suntik
berisi cairan hitam yang terlihat seram. Bibir Clemensia berubah ungu lalu pucat
pasi sebelum dia pingsan. Para asisten mengangkat tubuh Clamensia ke brankar
lalu membawanya pergi.
Coriolanus beranjak untuk mengikuti mereka, tapi suara Dr. Gaul
menghentikan langkahnya. “Kau tidak ikut, Mr. Snow. Kau di sini.”
“Tapi aku dia ” Coriolanus tergagap. “Apakah dia akan meninggal?”
“Entahlah,” kata Dr. Gaul. Dia memasukkan tangan ke dalam bak kaca dan
jemarinya yang berbonggol mengelus hewan-hewan peliharaannya itu. “Jelas,
baunya tidak ada di kertas. Jadi, kau menulis sendiri proposal itu?”
“Ya, aku sendiri.” Tak ada gunanya berbohong. Mungkin Clemensia tewas
karena telah berbohong. Jelas dia berurusan dengan orang sinting yang harus
dihadapinya dengan hati-hati.
“Bagus. Akhirnya, kebenaran muncul. Aku tidak suka pembohong. Bohong
hanyalah usaha untuk menyembunyikan kelemahan. Kalau aku melihatmu
berbohong lagi, aku akan menghabisimu. Kalau Dekan Highbo om
desyrindah.blogspot.com

menghukummu, aku takkan menghalanginya. Sudah jelas?” Dia mengambil


seekor ular berwarna pink lalu membelitkannya di pergelangan tangan seperti
gelang, dan tampak seakan mengaguminya.
“Sangat jelas,” kata Coriolanus.
“Bagus, proposalmu,” katanya. “Dipikirkan dengan baik dan mudah
dilaksanakan. Aku akan merekomendasikan timku untuk mempertimbangkannya
dan menerapkan tahap pertama dari versi proposalmu.”
“Baiklah,” kata Coriolanus, takut memberi jawaban lebih dari sekadarnya, karena
dia dikelilingi makhluk-makhluk mematikan yang patuh pada perintah Dr. Gaul.
Dr. Gaul tertawa. “Oh, pulanglah. Atau lihat temanmu sana, apakah dia masih
hidup. Sudah waktunya bagiku untuk makan biskuit dan minum susu.”
Coriolanus bergegas pergi, menabrak bak kaca berisi kadal dan membuat isinya
mengamuk. Dia salah belok, lalu salah belok lagi, dan berada di bagian
menyeramkan dari lab itu. Di tempatnya berdiri terlihat kotak-kotak kaca berisi
manusia-manusia dengan bagian-bagian tubuh hewan dicangkokkan di tubuh
mereka. Bulu leher hewan di leher manusia; cakar-cakar, atau bahkan tentakel
menggantikan jemari mereka; dan ada sesuatu semacam insang? ditanam di
dada mereka. Kehadiran Coriolanus mengejutkan mereka, dan beberapa orang
membuka mulut memohon padanya, lalu dia sadar mereka semua Avox. Jeritan
mereka bergema dan dia melihat beberapa ekor burung hitam kecil bertengger di
atas mereka. Dalam pikirannya terlintas nama jabberjay. Ada bab singkat dalam
kelas genetiknya tentang eksperimen yang gagal berupa burung yang bisa
mengulang ucapan manusia dan menjadi alat untuk mata-mata. Hingga suatu saat
para pemberontak menyadari kemampuan burung-burung itu dan mengirim
mereka kembali dengan informasi palsu. Sekarang hewan-hewan tak berguna itu
menciptakan ruang gema berisi rintihan memilukan para Avox
Akhirnya, seorang wanita dengan jas laboratorium dan kacamata plus berwarna
pink kebesaran mencegatnya, lalu memarahinya karena telah mengganggu
desyrindah.blogspot.com

burung-burung itu, dan mengantarnya ke elevator. Saat dia menunggu elevator,


kamera keamanan berkedip-kedip ke arahnya dan dia terdorong untuk
meluruskan selembar halaman proposalnya yang sudah lecek di tangannya. Para
Penjaga Perdamaian menemuinya di atas, mengembalikan tas sekolahnya dan tas
Clemensia, lalu mengawalnya keluar dari Citadel.
Coriolanus berjalan sampai ke jalanan dan berbelok di tikungan sebelum
lututnya lemas hingga terduduk di trotoar. Matahari menyilaukan matanya, dan
dia sudah kehabisan napas. Dia kelelahan karena tidak tidur semalaman, tapi
penuh energi karena adrenalin. Apa yang baru saja terjadi? Apakah Clemensia
tewas? Dia masih belum bisa menerima kematian tragis Arachne, dan sekarang
kejadian ngeri yang menimpa Clemensia. Ini seperti berada dalam Hunger Games.
Perbedaannya adalah mereka bukan anak-anak distrik. Capitol seharusnya
melindungi mereka. Dia teringat ucapan Sejanus pada Dr. Gaul, bahwa tugas
pemerintah adalah melindungi semua orang, termasuk orang-orang di distrik.
Tetapi, dia tidak tahu bagaimana menempatkan pernyataan itu dengan fakta
bahwa mereka sekarang dianggap musuh. Seharusnya dengan menyandang nama
Snow, dia mendapat prioritas. Dia bisa saja tewas andai bukan dia yang menulis
proposal itu. Dia menangkupkan wajah ke kedua telapak tangan. Bingung, marah,
dan amat takut. Takut kepada Dr. Gaul. Takut kepada Capitol. Takut pada
segalanya. Kalau orang-orang yang seharusnya melindungimu bermain-main
dengan hidupmu… bagaimana kau bisa selamat? Tentu saja, dia tidak bisa
memercayai mereka. Dan kalau kau tidak bisa memercayai mereka, siapa yang bisa
kaupercayai? Semua orang mencari selamat sendiri.
Coriolanus menyimpan ingatan saat taring ular menggigit kulit hingga
menancap ke daging. Clemmie yang malang, apakah dia benar-benar sudah
meninggal? Kematiannya mengerikan seperti mimpi buruk. Kalau memang
Clemensia tewas, apakah ini salahnya? Karena tidak jujur dan berterus terang? Ini
hanya pelanggaran kecil, tapi kenapa Dr. Gaul menyalahkannya karena melindungi
desyrindah.blogspot.com

gadis itu? Kalau gadis itu meninggal, Coriolanus bisa kena masalah besar.
Dia memperkirakan dalam kondisi darurat pasien akan dibawa Rumah Sakit
Capitol terdekat, jadi Coriolanus langsung berlari ke sana. Setelah masuk ke
bagian depan rumah sakit yang sejuk, dia mengikuti petunjuk menuju ruang IGD.
Pada saat pintu otomatis terbuka, dia bisa mendengar jeritan Clemensia, jeritan
yang sama ketika ular itu menggigitnya. Paling tidak, gadis itu masih hidup.
Coriolanus mengoceh entah apa kepada perawat jaga, dan perawat itu paham apa
maksudnya lalu mengajaknya duduk, tepat ketika pening menghantam kepalanya.
Penampilannya pasti kacau, karena perawat itu membawakan dua bungkus biskuit
dan segelas minuman soda rasa jeruk manis, yang berusaha dia minum pelan-
pelan, tapi malah langsung dia tandaskan, bahkan masih kurang. Gula dalam
minuman itu membuatnya merasa lebih baik, meskipun dia tidak memakan
biskuitnya, yang dia simpan di kantong.
Pada saat dokter jaga muncul dari ruangan di belakang, Coriolanus sudah
hampir bisa menguasai diri sepenuhnya. Dokter itu menenangkannya. Mereka
pernah merawat pasien korban kecelakaan di lab. Karena penangkal racun
langsung disuntikkan padanya, besar kemungkinan Clemensia akan selamat,
meskipun ada kemungkinan terjadi kerusakan saraf. Dia perlu diopname sampai
kondisinya stabil. Gadis itu baru bisa dijenguk beberapa hari lagi.
Coriolanus berterima kasih pada dokter itu sambil menyerahkan tas sekolah
Clemensia, dan menuruti saran sang dokter agar dia pulang, karena itu yang
terbaik untuknya. Saat dia mengingat-ingat kembali jalan ke pintu masuk rumah
sakit, dia melihat orangtua Clemensia berjalan bergegas ke arahnya dan
Coriolanus berhasil bersembunyi di balik pintu. Dia tidak tahu apa yang
diinformasikan kepada keluarga Dovecote, tapi dia tidak pingin bicara dengan me-
reka, apalagi dia belum tahu apa yang mau diceritakannya pada mereka.
Karena tidak ada cerita masuk akal yang bisa membebaskannya dari tuduhan
sebagai penyebab kondisi yang dialami Clemensia, membuatnya mustahil kembali
desyrindah.blogspot.com

ke sekolah.
Tigris akan pulang paling cepat pada saat makan malam, dan Grandma’am akan
ketakutan. Anehnya, dia merasa satu-satunya orang yang ingin dia ajak bicara
adalah Lucy Gray, gadis itu cerdas dan bisa menanggapinya dengan baik.
Kakinya melangkah ke kebun binatang sebelum dia mempertimbangkan
kesulitan-kesulitan apa yang bakal dihadapinya di sana. Dua Penjaga Perdamaian
bersenjata lengkap berjaga di pintu masuk, sementara yang lain berpatroli di
belakang mereka. Awalnya mereka mengusirnya, mereka mendapat perintah
untuk melarang siapa pun masuk ke kebun binatang. Tapi Coriolanus
menggunakan titelnya sebagai mentor, dan beberapa orang Penjaga Perdamaian
mengenalinya sebagai anak lelaki yang berusaha menolong Arachne. Kete-
narannya mampu meyakinkan mereka agar mau meminta pengecualian untuknya.
Penjaga Perdamaian menelepon Dr. Gaul, dan Coriolanus bisa mendengar tawa
kecil yang menjadi ciri khas Dr. Gaul di telepon, meskipun berjarak beberapa
meter dari tempatnya berdiri. Dia diizinkan masuk bersama Penjaga Perdamaian,
tapi tidak boleh berlama-lama.
Sampah dari bekas massa yang melarikan diri masih berserakan di jalur menuju
kandang monyet. Tikus-tikus berlarian, menggerogoti benda-benda yang
tertinggal berupa sisa-sisa makanan yang mulai membusuk sampai sepatu yang
tertinggal karena panik. Walaupun matahari bersinar terik, beberapa ekor rakun
berpesta, meraup remah makanan dengan kedua tangan kecil mereka. Seekor
rakun mengunyah bangkai tikus, memberi peringatan pada yang lain agar jangan
dekat-dekat dengannya.
“Ini bukan kebun binatang yang kuingat,” kata Penjaga Perdamaian. “Hanya ada
anak-anak di kandang dan hewan liar berlarian.”
Di beberapa tempat di sepanjang jalan, Coriolanus bisa melihat wadah-wadah
kecil berisi bubuk putih yang ditaruh di bawah batu atau di dekat dinding. Dia
ingat racun yang digunakan oleh Capitol pada masa pengepungan masa ketika
desyrindah.blogspot.com

sedikit makanan untuk manusia tapi banyak tikus. Manusia jasad-jasadnya


menjadi makanan tikus setiap hari. Pada masa terburuk, manusia juga makan ma-
nusia lain. Tak ada gunanya merasa lebih mulia daripada tikus.
“Apakah itu racun tikus?” Coriolanus bertanya pada Penjaga Perdamaian.
“Yeah, mereka mencoba racun baru hari ini. Tapi tikus-tikus itu terlalu pintar,
mereka tidak mau mendekatinya.” Penjaga Perdamaian itu mengangkat bahu.
“Cuma itu yang mereka berikan.”
Di dalam kandang, para peserta yang kini sudah dibelenggu lagi sedang
bersandar di dinding  belakang atau duduk di belakang bebatuan, seakan berusaha
agar tidak menarik perhatian.
“Kau harus menjaga jarak,” kata Penjaga Perdamaian. “Gadismu sepertinya
bukan ancaman, tapi siapa tahu? Yang lain mungkin bisa menyerangmu. Kau harus
berada dalam jarak yang tak bisa mereka sentuh.”
Coriolanus mengangguk dan berjalan ke batu tempatnya biasa duduk, tapi dia
hanya berdiri di belakang batu itu. Dia tidak merasa terancam oleh para peserta
mereka sama sekali bukan masalah baginya tapi dia tidak mau memberi alasan
lain bagi Dekan Highbo om untuk menghukumnya.
Mulanya dia tidak bisa menemukan Lucy Gray. Lalu matanya bertatapan dengan
Jessup, yang duduk bersandar di dinding belakang memegang saputangan milik
Snow di lehernya. Jessup menyenggol sesuatu di sampingnya, dan Lucy Gray
terduduk kaget.
Sejenak gadis itu tampak bingung. Saat dia melihat Coriolanus, dia menyeka
kantuk dari matanya dan menyugar rambutnya yang berantakan ke belakang. Dia
kehilangan keseimbangan ketika berdiri dan meraih lengan Jessup agar tidak jatuh.
Langkahnya masih goyah ketika berjalan ke arah Coriolanus melintasi kandang,
menyeret rantai yang membelenggunya. Apakah karena panas? Trauma karena
pembunuhan? Kelaparan? Karena Capitol tidak memberi makan para peserta,
Lucy Gray belum makan apa-apa sejak pembunuhan Arachne. Saat itu dia
desyrindah.blogspot.com

memuntahkan makanan berharga yang didapatnya dari penonton dan mungkin


puding roti serta apel yang diberikan Coriolanus pagi itu. Jadi, selama lima hari
perutnya cuma diisi sandwich daging dan buah prem. Coriolanus akan mencari
cara agar Lucy Gray mendapat makanan, meskipun itu cuma sup kubis.
Ketika Lucy Gray melintasi parit kering, Coriolanus mengangkat tangan. “Maaf,
kita tidak bisa terlalu dekat.”
Lucy Gray berhenti semeter dari jeruji besi. “Aku tidak menyangka kau bisa
masuk.” Leher, kulit, rambut Lucy Gray semua terlihat kering di bawah sinar
matahari yang terik. Lebam di lengannya tidak ada pada malam sebelumnya. Siapa
yang memukulnya? Peserta lain, atau penjaga?
“Aku tidak bermaksud membangunkanmu,” kata Coriolanus. 
Lucy Gray mengangkat bahu. “Tidak apa-apa. Aku dan Jessup bergantian tidur.
Tikus-tikus Capitol suka makan orang.”
“Tikus-tikus itu berusaha memakanmu?” tanya Coriolanus, muak
membayangkannya.
“Ada sesuatu yang menggigit leher Jessup pada malam pertama kami di sini.
Terlalu gelap untuk bisa melihat bentuknya, tapi dia bilang ada bulunya. Dan tadi
malam, ada sesuatu yang merayap di kakiku.” Lucy Gray menunjuk wadah berisi
bubuk putih di dekat jeruji besi. “Barang itu tak ada gunanya.”
Terlintas bayangan mengerikan di benak Coriolanus tentang Lucy Gray, yang
terbaring tewas lalu jasadnya diserbu tikus. Bayangan itu melenyapkan sisa
perlawanan yang dimiliki Coriolanus. Dan keputusasaan menghantamnya. Bagi
Lucy Gray. Bagi Coriolanus. Bagi mereka berdua. “Oh, Lucy Gray, maa an aku.
Maa an aku atas semua ini.”
“Ini bukan salahmu,” kata Lucy Gray.
“Kau pasti membenciku. Kau seharusnya membenciku. Aku bahkan akan
membenci diriku,” kata Coriolanus.
“Aku tidak membencimu. Hunger Games bukan idemu,” sahutnya.
desyrindah.blogspot.com

“Tapi aku berpartisipasi di dalamnya. Aku membantu pelaksanaannya!” Kepala


Coriolanus tertunduk malu. “Seharusnya aku lebih seperti Sejanus, atau
setidaknya mencoba berhenti.”
“Jangan! Tolong jangan. Jangan biarkan aku melewati semua ini sendirian!” Lucy
Gray maju selangkah mendekatinya dan nyaris pingsan. Kedua tangan gadis itu
menangkap jeruji, lalu dia terjatuh ke tanah.
Coriolanus mengabaikan peringatan dari penjaga, tanpa pikir panjang langsung
melompati batu dan berjongkok di seberang jeruji di dekat gadis itu. “Kau baik-
baik saja?” Lucy Gray mengangguk, tapi gadis itu tidak tampak baik-baik saja.
Coriolanus ingin memberitahunya tentang kejadian mengerikan dengan ular tadi
dan Clemensia yang nyaris tewas. Dia ingin meminta saran darinya, tapi
persoalannya tak sebanding dengan keadaan Lucy Gray. Dia teringat biskuit yang
diberikan perawat kepadanya tadi, lalu dia merogoh mengambil kemasan renyuk
di kantongnya. “Kubawakan ini untukmu. Tidak banyak, tapi sangat bergizi.”
Dia terdengar bodoh. Memangnya gizi penting untuk gadis itu? Dia sadar hanya
meniru perkataan guru-gurunya semasa perang, ketika salah satu insentif bagi
siswa yang ke sekolah adalah mendapat makanan kecil yang disediakan
pemerintah. Makanan-makanan tanpa rasa dan sekadarnya, yang harus ditelan
dengan air, adalah makanan yang diperoleh anak-anak itu sepanjang hari. Dia ingat
tangan-tangan mereka yang kurus kering merobek kemasannya dan melahap
isinya dengan putus asa.
Lucy Gray segera merobek kemasan itu dan memasukkan dua potong biskuit
sekaligus ke mulutnya, mengunyah dan berusaha menelan makanan kering itu
dengan susah payah. Satu tangannya memegang perut, lalu dia mendesah, dan
makan sisanya dengan lebih perlahan. Makanan itu tampak membuatnya lebih
fokus, dan suaranya lebih tenang.
“Terima kasih,” katanya. “Aku merasa lebih baik.”
“Makan semuanya,” kata Coriolanus, mengangguk ke arah bungkusan kedua.
desyrindah.blogspot.com

Lucy Gray menggeleng. “Tidak. Akan kusimpan untuk Jessup. Dia sekutuku
sekarang.”
“Sekutumu?” Coriolanus bingung. Bagaimana peserta bisa bersekutu di Hunger
Games?
“Iya. Peserta dari Distrik Dua Belas akan bertahan bersama,” kata Lucy Gray.
“Dia mungkin bukan bintang jagoan, tapi dia kuat seperti kerbau.”
Dua potong biskuit sepertinya harga yang murah untuk membayar perlindungan
dari Jessup. “Aku akan membawakanmu makanan sebisaku dan secepat mungkin.
Sepertinya orang-orang akan diizinkan mengirim makanan ke arena. Sudah resmi
sekarang.”
“Baguslah kalau begitu. Lebih banyak makanan lebih baik.” Dia menyandarkan
kepalanya ke depan, menempel pada jeruji. “Dan, seperti katamu, masuk akal jika
aku bernyanyi. Bisa membuat orang-orang mau menolongku.”
“Pada saat wawancara,” kata Coriolanus. “Kau bisa menyayikan lagu lembah
lagi.”
“Mungkin.” Alisnya berkerut saat berpikir. “Mereka akan menayangkannya di
seluruh Panem, atau hanya di Capitol?”
“Seluruh Panem, sepertinya,” jawab Coriolanus. “Tapi kau takkan mendapat apa-
apa dari distrik-distrik.”
“Tidak berharap dari mereka. Bukan itu tujuannya,” kata Lucy Gray. “Mungkin
aku akan bernyanyi. Lebih baik kalau ada gitar atau alat musik lain.”
“Aku akan mencoba mencarikannya untukmu.” Keluarga Snow tidak punya alat
musik. Selain lagu kebangsaan yang dinyanyikan setiap hari oleh Grandma’am dan
lagu pengantar tidur dari ibunya dulu, tak banyak musik dalam hidupnya hingga
Lucy Gray hadir. Dia jarang mendengar siaran radio Capitol, yang biasanya
memutar lagu-lagu perjuangan dan propaganda. Semuanya terdengar sama di te-
linga Coriolanus.
“Hei!” Penjaga Perdamaian melambai padanya dari jalan setapak. “Kau terlalu
desyrindah.blogspot.com

dekat! Dan waktunya habis!”


Coriolanus berdiri. “Sebaiknya aku pergi agar mereka mengizinkanku masuk
lagi.”
“Tentu. Tentu saja, dan terima kasih. Untuk biskuit dan semuanya,” kata Lucy
Gray, memegangi jeruji agar bisa bangkit.
Coriolanus mengulurkan tangan ke sela jeruji untuk membantunya berdiri.
“Sama-sama.”
“Mungkin tak terlalu penting bagimu,” kata Lucy Gray. “Tapi kehadiranmu
sangat penting bagiku, seolah-olah aku ini berarti.”
“Kau memang berarti,” kata Coriolanus.
“Kenyataan yang terlihat adalah kebalikannya.” Dia menggoyangkan
belenggunya. Kemudian, seakan teringat sesuatu, gadis itu mendongak
memandang langit.
“Kau berarti bagiku,” katanya berkeras. Capitol mungkin tidak menghargainya,
tapi baginya Lucy Gray adalah segalanya. Apakah dia baru saja menyatakan
perasaannya pada gadis itu?
“Waktunya pulang, Mr. Snow!” kata Penjaga Perdamaian.
“Kau berarti bagiku, Lucy Gray,” ulangnya. Kata-kata itu membuat Lucy Gray
kembali memandangnya, tapi gadis itu tampak melamun.
“Dengar, Nak, jangan sampai aku melaporkanmu,” kata Penjaga Perdamaian.
“Aku harus pergi.” Coriolanus bergerak menjauh.
“Hei!” kata Lucy Gray dengan tergesa. Coriolanus menoleh. “Hei, aku ingin kau
tahu bahwa menurutku kau tidak di sini demi nilai atau kemenangan. Kau manusia
langka, Coriolanus.”
“Kau juga,” kata Coriolanus.
Lucy Gray mengangguk sependapat dan berjalan ke arah Jessup, rantainya
meninggalkan jejak pada jerami kotor dan tahi tikus. Saat sampai ke sebelah
Jessup, dia duduk dan bergelung, seakan lelah sehabis pertemuan singkat tadi.
desyrindah.blogspot.com

Dua kali dia terpeleset saat berjalan keluar dari kebun binatang, membuat
Coriolanus sadar bahwa dia juga terlalu lelah untuk berpikir mencari solusi atas
segalanya. Sudah terlalu malam sekarang untuk membuat kepulangannya tidak
dicurigai, jadi dia langsung pulang ke apartemen. Malangnya, dia berpapasan
dengan teman sekelasnya Persephone Price, putri Nero Price yang terkenal, yang
pernah mempraktikkan kanibalisme dengan memakan pembantu mereka.
Akhirnya mereka berjalan bersama, karena mereka bertetangga. Persephone
mendapat tugas menjadi mentor Mizzen, anak lelaki tegap berusia tiga belas tahun
dari Distrik 4, demikian yang dipresentasikan di kelas ketika dia dan Clemensia
dipanggil ke luar kelas. Dia takut jika gadis itu menyinggung tentang proposal, tapi
untungnya Persephone masih terlalu terguncang atas kematian Arachne sehingga
tidak bisa bicara tentang hal lain. Biasanya, Coriolanus menghindari Persephone,
karena dia tidak bisa berhenti memikirkan apakah gadis itu tahu sup daging apa
yang dimakannya semasa perang.  Ada masanya Coriolanus takut padanya, tapi
sekarang gadis itu hanya membuatnya jijik, meskipun bisa saja Persephone tidak
tahu apa-apa. Dengan lesung pipi dan mata berwarna hijau, Persephone termasuk
gadis paling cantik di angkatannya, mungkin secantik Clemensia… yah,
Clemensia sebelum dipatuk ular. Tapi dia jijik membayangkan mencium bibir
Persephone. Bahkan sekarang, ketika gadis itu memeluknya sambil menangis
sebagai salam perpisahan, yang terbayang olehnya adalah kaki manusia yang
terpotong.
Dengan susah payah Coriolanus menaiki tangga apartemen, pikirannya lebih
kelam daripada kenangan tentang pembantu malang itu terkapar di jalan karena
kelaparan. Berapa lama Lucy Gray mampu bertahan hidup? Gadis itu tidak kuat.
Lemah dan tidak fokus. Terluka dan patah semangat. Dan yang lebih parah,
perlahan-lahan kelaparan sampai mati. Besok, gadis itu mungkin tak sanggup
berdiri. Kalau dia tidak bisa menemukan cara untuk memberi makan, Lucy Gray
akan tewas sebelum Hunger Games dimulai.
desyrindah.blogspot.com
9

Saat tiba di apartemen, Grandma’am melihatnya dan menyuruhnya tidur sebelum


makan malam. Coriolanus menjatuhkan diri ke tempat tidur, merasa terlalu stres
untuk bisa tidur. Tahu-tahu, Tigris sudah mengguncang bahunya agar dia bangun.
Nampan di nakasnya menguarkan aroma bakmi kuah. Kadang-kadang tukang
daging memberi Tigris karkas ayam gratis, dan gadis itu akan merebusnya jadi
kuah kaldu dan menjadikannya makanan lezat.
“Coryo,” katanya. “Satyria sudah menelepon tiga kali, dan aku  tidak tahu harus
memberi alasan apa lagi. Ayo, makan malam dan hubungi dia.”
“Apakah dia bertanya tentang Clemensia? Apakah semuanya tahu?” tanya
Coriolanus panik.
“Clemensia Dovecote? Tidak. Memangnya ada apa?” tanya
Tigris.
“Mengerikan sekali.” Dia menceritakan semuanya pada Tigris lengkap dengan
segala kengeriannya.
Ketika Coriolanus bercerita, wajah Tigris memucat. “Dr. Gaul membuat ular-
ular itu menggigitnya? Hanya karena kebohongan kecil seperti itu?”
“Ya. Dan dia sama sekali tidak peduli apakah Clemmie selamat atau tidak,”
katanya. “Dia mengusirku keluar supaya dia bisa makan snack sore.”
“Itu sadis. Atau, tepatnya sinting,” kata Tigris. “Apakah kau akan mela-
porkannya?”
“Melapor ke siapa? Dia Kepala Pengawas Permainan,” kata Coriolanus. “Dia
desyrindah.blogspot.com

melapor langsung ke presiden. Dia akan bilang salah kami karena berbohong.”
Tigris tampak berpikir. “Baiklah. Jangan laporkan dia. Atau bertanya langsung
padanya. Usahakan untuk menghindarinya sejauh mungkin.”
“Sulit bagiku sebagai mentor. Dia sering datang ke Akademi untuk bermain
dengan mu kelinci dan menanyakan banyak pertanyaan sinting. Satu kata darinya
bisa memengaruhi kemungkinanku mendapat hadiah atau tidak.” Dia mengusap
wajahnya dengan kedua tangan. “Arachne tewas, Clemensia keracunan bisa ular,
dan Lucy Gray… itu cerita sedih lainnya. Aku tidak yakin dia bisa bertahan hingga
Hunger Games dimulai, dan mungkin itu demi kebaikannya juga.”
Tigris menyelipkan sendok ke tangan Coriolanus. “Makan supnya. Kita sudah
melewati yang lebih buruk daripada ini. Snow mendarat di puncak?”
“Snow mendarat di puncak,” kata Coriolanus tanpa rasa percaya diri sehingga
mereka berdua tertawa. Dia mulai merasa lebih normal. Dia menyantap beberapa
suap bakmi kuah demi menyenangkan hati Tigris, lalu dia sadar bahwa dia
ternyata kelaparan dan dengan cepat makanan itu pun habis.
Ketika Satyria menelepon lagi, Coriolanus nyaris menceritakan semua kejadian
hari itu. Namun, ternyata Satyria hanya ingin memintanya menyanyikan lagu
kebangsaan di pemakaman Arachne besok pagi. “Tindakan heroikmu, dipadukan
dengan kenyataan bahwa hanya kau satu-satunya siswa yang hafal lirik lagunya,
membuatmu jadi pilihan pertama di sekolah.”
“Tentu saja, aku merasa terhormat melakukannya,” jawab Coriolanus.
“Bagus.” Satyria terdengar menyeruput sesuatu, ada bunyi es dalam gelas di
seberang sana, lalu terdengar wanita itu menghela napas. “Bagaimana keadaan
pesertamu?”
Coriolanus ragu. Dia akan terdengar manja kekanak-kanakan, seakan tidak bisa
mengatasi masalahnya sendiri. Dia nyaris tak pernah meminta bantuan Satyria.
Akan tetapi, dia teringat pada Lucy Gray yang duduk menggelongsor ditimpa
beban rantainya dan Coriolanus pun tak bisa lagi berpikir panjang. “Tidak baik.
desyrindah.blogspot.com

Aku bertemu Lucy Gray hari ini. Cuma sebentar. Dia sangat lemah. Capitol sama
sekali tidak memberinya makan.”
“Belum makan sejak dia meninggalkan Distrik Dua Belas? Apa, kenapa? Sudah
berapa lama? Empat hari?” tanya Satyria, terkejut.
“Lima. Kurasa dia takkan bisa bertahan sampai Hunger Games. Aku takkan
punya peserta untuk dimentori.” katanya. “Banyak dari kami yang akan kehilangan
peserta.”
“Wah, itu tidak adil. Ini seperti menyuruhmu melakukan eksperimen dengan
peralatan yang rusak,” jawab Satyria. “Dan sekarang Hunger Games akan ditunda
satu atau dua hari.” Dia terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Coba kulihat apa
yang bisa kulakukan.”
Coriolanus menutup telepon lalu memandang Tigris. “Mereka mau aku
bernyanyi di pemakaman. Dia tidak menyinggung soal Clemensia. Mereka pasti
merahasiakannya.”
“Kalau begitu, kau juga harus merahasiakannya,” kata Tigris. “Mungkin mereka
berpura-pura bahwa semua ini tak pernah terjadi.”
“Mungkin mereka takkan memberitahu Dekan Highbo om,” katanya, ceria.
Lalu pemikiran lain menghantamnya. “Tigris? Aku baru ingat, aku tidak bisa
bernyanyi.” Dan entah bagaimana, pernyataan ini terdengar lucu.
Namun, bagi Grandma’am ini bukan urusan sepele, karena keesokan paginya dia
bangun subuh-subuh untuk mengajari Coriolanus bernyanyi. Pada setiap akhir
bait, neneknya menusuk pinggang Coriolanus dengan penggaris sambil berteriak,
“Napas!” sehingga mau tak mau Coriolanus mesti melakukannya. Untuk ketiga
kalinya dalam minggu itu, neneknya mengorbankan salah satu kesayangannya bagi
masa depan sang cucu, dengan menyematkan kuntum bunga mawar berwarna
biru muda ke jaket seragamnya yang sudah disetrika rapi, dan berkata, “Nah. Pas
dengan warna matamu.” Coriolanus terlihat rupawan. Dengan perut kenyang terisi
havermut dan pinggang lebam yang mengingatkannya untuk mengambil napas,
desyrindah.blogspot.com

dia berjalan menuju Akademi.


Walaupun itu hari Sabtu, seluruh siswa melapor ke kelas sebelum berkumpul di
depan tangga Akademi, terpisah rapi dan berurutan secara abjad kelas. Karena
penugasannya yang istimewa, Coriolanus berada di barisan depan bersama para
pengajar dan tamu-tamu kehormatan, dan paling terhormat adalah Presiden
Ravinstill. Satyria memberinya ikhtisar singkat urutan acara, tapi satu-satunya
yang tertanam di benaknya adalah bagaimana caranya menyanyikan lagu ke-
bangsaan sebagai pembuka upacara. Dia tidak keberatan bicara di depan umum,
tapi tak pernah bernyanyi di depan orang banyak tidak banyak kesempatan
untuk melakukan itu di Panem. Itu salah satu alasan kenapa lagu yang dinyanyikan
Lucy Gray menarik perhatian penonton. Dia berusaha tenang dengan
mengingatkan diri bahwa jika dia melolong seperti anjing pun, toh tak banyak
orang yang tahu lagu aslinya.
Di seberang jalan raya, ada panggung-panggung sementara yang dipasang untuk
prosesi pemakaman dan dipenuhi tamu-tamu yang berkabung mengenakan
pakaian berwarna hitam, satu-satunya warna pakaian yang pasti dimiliki setiap
keluarga, mengingat semua orang pasti kehilangan orang yang mereka sayangi
pada masa perang. Dia mencari keluarga Crane, tapi tidak bisa menemukan me-
reka di antara kerumunan. Gedung Akademi dan gedung-gedung di sekelilingnya
dihiasi spanduk-spanduk muram dan bendera-bendera Capitol yang berkibar di
setiap jendela. Kamera-kamera ditempatkan di berbagai posisi untuk merekam
acara tersebut, dan banyak reporter Capitol TV melaporkan beritanya secara
langsung. Coriolanus berpikir bahwa acara ini tidak sebanding dengan nyawa
Arachne, yang seharusnya bisa selamat jika dia bisa menahan diri untuk tidak sok
pamer. Banyak orang yang meninggal sebagai pahlawan di medan perang, tapi
tidak menerima kehormatan sebesar ini. Dia lega karena hanya diminta bernyanyi,
bukan harus memuji bakat Arachne. Kalau diingat-ingat lagi, bakat gadis itu
hanyalah mampu berteriak cukup lantang tanpa mikrofon hingga bisa terdengar di
desyrindah.blogspot.com

auditorium sekolah dan menyeimbangkan sendok di hidungnya. Sementara


Dekan Highbo om menuduh dirinya banyak lagak? Namun, Coriolanus
mengingatkan diri sendiri bahwa Arachne masih bisa dibilang bagian dari
keluarga.
Jam di Akademi berdentang pukul sembilan, dan penonton langsung hening.
Sesuai arahan, Coriolanus berdiri dan berjalan ke podium. Satyria sudah
menjanjikan akan ada iringan musik, tapi keheningan berlangsung lama hingga dia
bisa mengambil napas sebelum menyanyikan lagu kebangsaan. Perlahan-lahan,
musik mengiringinya dari sistem pengeras suara.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Nyanyiannya lebih seperti kalimat yang tertahan, bukan alunan melodi penuh
semangat. Tetapi, lagu itu memang tidak terlalu menantang. Nada tinggi yang
biasanya tidak bisa dicapai Grandma’am itu pilihan; kebanyakan orang
menyanyikannya dengan oktaf yang lebih rendah. Dengan mengingat penggaris
sang nenek menusuk pinggangnya, dia menyanyikan bagian itu dengan lancar,
tidak ada nada fals atau kehabisan napas. Dia duduk dan menerima tepuk tangan
meriah serta anggukan dari sang presiden yang sedang berdiri di podium.
“Dua hari lalu, hidup Arachne Crane yang masih muda harus berakhir, dan kini
kita berkabung karena perbuatan pemberontak kriminal yang ada di dekat kita,”
kata sang presiden dengan nada tinggi. “Kematiannya sama dengan kematian
pejuang yang gagah berani di medan perang. Kehilangan Arachne Crane lebih
terasa menyakitkan karena saat ini kita menyatakan bahwa kita dalam masa damai.
Tapi, takkan ada perdamaian jika penyakit ini menggerogoti semua yang baik dan
luhur di negara kita. Hari ini kita menghormati pengorbanannya sebagai pengingat
bahwa saat kejahatan masih ada, kita akan mengalahkannya. Dan sekali lagi, kita
desyrindah.blogspot.com

menjadi saksi saat Capitol yang mulia menghadirkan keadilan bagi Panem.”
Genderang mulai berbunyi, lambat-lambat dan berat, sementara prosesi
pemakaman mulai berbelok di tikungan jalan. Walaupun tidak seluas jalan di
Corso, Scholars Road bisa menampung barisan Penjaga Perdamaian, yang berdiri
berderet bersisisan dalam formasi 20-40 dan melangkah serentak sesuai tabuhan
genderang.
Coriolanus penasaran ada strategi apa di balik keputusan Capitol memberitahu
distrik-distrik bahwa gadis Capitol dibunuh oleh peserta, tapi sekarang dia melihat
tujuannya. Di belakang barisan Penjaga Perdamaian ada truk panjang bak terbuka
dengan tiang derek terpasang di sana. Di tiang itu tergantung jasad anak
perempuan Distrik 10, Brandy, dengan tubuh penuh lubang bekas peluru. Sisa dua
puluh tiga peserta terbelenggu di bak truk, tampak kotor dan lunglai. Pendeknya
rantai belenggu itu membuat mereka tidak bisa berdiri, jadi mereka hanya
berjongkok atau duduk di lantai logam bak truk tersebut. Ini satu kesempatan lagi
untuk mengingatkan distrik-distrik bahwa status mereka lebih rendah
dibandingkan Capitol dan akan ada pembalasan jika mereka berani melawan.
Dia bisa melihat Lucy Gray berusaha bertahan dengan sisa harga dirinya, duduk
setegak mungkin dengan tangan dan kaki terbelenggu dan tatapan lurus ke depan,
mengabaikan mayat yang tergantung di atas kepalanya. Tidak ada gunanya. Debu,
belenggu, sorotan publik terlalu banyak yang harus diatasi gadis itu. Dia
berusaha membayangkan dirinya berada dalam kondisi tersebut, sampai dia me-
nyadari bahwa pasti itu juga yang dipikirkan Sejanus, dan dia berusaha kembali ke
kenyataan.
Satu batalion Penjaga Perdamaian mengikuti truk berisi para peserta, membuka
jalan untuk kereta kuda. Empat ekor kuda berhiaskan karangan bunga menarik
kereta penuh hiasan yang mengangkut peti mati putih yang juga berselimutkan
bunga. Di belakang peti mati, ada iringan keluarga Crane, yang berada di atas
kereta kuda dengan kusir. Setidaknya keluarga Crane masih sopan dengan menun-
jukkan sikap tidak nyaman. Prosesi itu berhenti ketika peti mati tepat berada di
desyrindah.blogspot.com

depan podium.
Dr. Gaul yang duduk di samping Presiden mendekati mikrofon. Coriolanus
menduga pasti ada kesalahan dengan membiarkan wanita itu bicara dalam momen
seperti ini. Tetapi, Dr. Gaul tidak sesinting biasanya dan dia tidak mengenakan
gelang ular pinknya, bahkan dia bicara dengan tegas dan jelas. “Arachne Crane,
kami, sesama warga Panem, bersumpah agar kematianmu tidak sia-sia. Ketika
salah satu dari kita disakiti, kita akan membalas sakitnya dua kali lipat. Hunger
Games akan tetap berlangsung, dengan komitmen dan semangat yang lebih besar
daripada sebelumnya. Kami juga akan menambahkan namamu dalam deretan
panjang nama korban-
korban yang tidak bersalah, yang tewas karena membela kebenaran dan keadilan.
Teman-temanmu, keluargamu, dan sesama warga negara memberi penghormatan
terakhir dan mempersembahkan Hunger Games Kesepuluh ini untuk
mengenangmu.”
Jadi Arachne yang banyak omong itu dianggap sebagai pembela kebenaran dan
keadilan. Ya, dia menyerahkan nyawanya karena mengejek pesertanya dengan
sandwich, pikir Coriolanus. Mungkin di nisannya bisa ditulis, “Korban kekonyolan
diri sendiri.”
Sederet Penjaga Perdamaian berselempang merah mengangkat senapan dan
melakukan tembakan salvo beberapa kali, lalu mereka mundur dan berjalan
hingga menghilang di tikungan.
Saat kerumunan massa berkurang, beberapa orang menganggap penderitaan
yang tampak di wajah Coriolanus adalah duka karena kematian Arachne, padahal
ironisnya dia merasa sedang membunuh gadis itu lagi. Dia merasa bisa membawa
diri dengan baik, sampai dia berpaling dan melihat Dekan Highbo om sedang
memandang iba padanya.
“Turut berduka cita atas kematian sahabatmu,” kata sang dekan.
“Juga siswa Anda. Ini hari yang sulit untuk kita semua. Tapi upacaranya sangat
desyrindah.blogspot.com

mengharukan,” jawab Coriolanus.


“Oh ya? Menurutku berlebihan dan norak,” kata Dekan Highbo om.
Coriolanus kaget dan tertawa kecil sebelum dia tersadar dan berusaha tampak
terkejut. Sang dekan memandang kuntum bunga mawar biru milik Coriolanus.
“Luar biasa, betapa tidak banyak hal berubah. Setelah semua pembunuhan itu.
Setelah janji-janji menyiksa untuk mengenang korban. Setelah semua itu, aku
masih belum bisa membedakan bunga yang masih kuntum dengan yang sudah
mekar.” Telunjuknya menyentuh bunga mawar itu, memperbaiki posisinya, lalu
tersenyum. “Jangan terlambat untuk makan siang. Kudengar kita akan makan pai.”
Satu-satunya yang menyenangkan dari percakapan itu adalah menu makan siang
ternyata benar pai persik kali ini terhidang di meja prasmanan khusus di ruang
makan sekolah. Tidak seperti saat Hari Pemungutan, Coriolanus mengisi
piringnya penuh-penuh dengan ayam goreng dan mengambil sepotong besar pai.
Dia menuang mentega banyak-banyak ke biskuitnya dan minum tiga gelas jus
anggur. Gelas terakhir terisi terlalu banyak sampai tumpah dan serbet linennya
basah kuyup terkena noda jus saat dia berusaha membersihkannya. Dia tak peduli
orang membicarakannya. Sebagai orang yang paling berduka dia butuh asupan
gizi. Saat menyantap makanannya, dia sadar bahwa ini pertanda bahwa
kemampuannya untuk mengendalikan diri mulai merosot. Dia menyalahkan
Dekan Highbo om yang terus merisaknya sebagai penyebab semua ini. Apa pula
yang diucapkan si tua itu? Kuntum bunga? Bunga mekar? Highbo om mestinya
dipenjara atau, lebih baik lagi dideportasi ke pos di distrik yang jauh agar
penduduk di Capitol bisa hidup tenang. Membayangkan sang dekan saja
membuat Coriolanus kembali ke meja prasmanan mengambil sepotong pai lagi.
Sebaliknya, Sejanus hanya menusuk-nusuk ayam goreng dan biskuitnya di piring
tanpa menyantapnya. Kalau Coriolanus saja tidak menyukai upacara pemakaman
tadi, pasti acara itu membuat Sejanus sengsara. 
“Mereka akan melaporkanmu kalau kau membuang makanan itu,” Coriolanus
desyrindah.blogspot.com

mengingatkannya. Dia tidak terlalu menyukai pemuda itu, tapi dia juga tidak mau
Sejanus dihukum.
“Yah,” kata Sejanus, meski tampaknya dia hanya bisa menyesap jus anggur.
Setelah makan siang selesai, Satyria mengumpulkan dua puluh dua mentor
untuk memberitahu mereka bahwa Hunger Games tetap berlangsung, dan akan
menjadi Hunger Games yang paling menggemparkan. Mereka harus mencamkan
hal ini, saat diantar menemui peserta mereka dalam tur menuju arena siang itu.
Acara akan disiarkan langsung ke seantero negeri, yang entah bagaimana mene-
gaskan maksud Dr. Gaul dalam sambutannya di upacara pemakaman. Kepala
Pengawas Permainan merasa memisahkan anak-anak Capitol dari anak-anak
distrik menyiratkan kelemahan, seakan mereka terlalu takut akan keberadaan
musuh mereka. Para peserta akan diborgol tapi tidak dibelenggu rantai. Para
penembak jitu anggota Penjaga Perdamaian akan bertugas sebagai bagian
kelompok yang mengawal mereka, tapi para mentor akan berdiri berdampingan
dengan peserta mereka.
Coriolanus bisa merasakan keengganan di antara teman-teman sekolahnya
beberapa orangtua siswa sudah menyampaikan keluhan tentang bobroknya
keamanan terhadap siswa setelah kematian Arachne tapi tidak ada seorang pun
yang bicara. Tak ada seorang pun yang mau tampak seperti pengecut. Dalam hati
Coriolanus berpikir semua ini berbahaya dan keliru apa yang bisa mencegah pe-
serta lain tidak melawan mentor mereka? tapi dia juga tidak menyatakan
pendapatnya. Ada bagian dalam dirinya yang bertanya-tanya jika Dr. Gaul
berharap ada kejadian kekerasan lagi sehingga dia bisa menghukum peserta lain,
mungkin kali ini ditayangkan secara langsung di depan kamera.
Sikap tak berperasaan yang ditunjukkan Dr. Gaul membuatnya merasa ingin
melawan. Dia melihat piring Sejanus. “Sudah selesai?”
“Aku tidak bisa makan hari ini,” kata Sejanus. “Aku tidak tahu mesti melakukan
apa.”
desyrindah.blogspot.com

Bagian meja makan mereka sudah kosong. Di bawah meja, Coriolanus


membentangkan serbet linen di pangkuannya. Dia merasa semakin lancang saat
melihat ada lambang Capitol di serbet itu. “Taruh di sini,” katanya sambil melirik
sembunyi-sembunyi.
Sejanus melihat ke sekelilingnya lalu bergegas memindahkan ayam dan
biskuitnya ke serbet. Coriolanus membungkusnya dan memasukkan makanan itu
ke tas sekolahnya. Mereka tak diizinkan membawa makanan keluar dari ruang
makan, apalagi memberikan makanan itu buat peserta Hunger Games. Tapi di
mana lagi dia bisa mendapatkan makanan sebelum tur dimulai? Lucy Gray tidak
bisa makan di depan kamera, tapi ada kantong di pakaiannya. Dia kesal karena
setengah dari makanan ini akan diberikan ke Jessup, tapi mungkin itu adalah
investasi yang akan memberi hasil pada saat Hunger Games dimulai.
“Terima kasih. Kau ternyata pembangkang ya,” ujar Sejanus ketika mereka
membawa nampan ke ban berjalan yang menuju dapur. 
“Aku memang suka cari masalah,” kata Coriolanus.
Mentor-mentor duduk berdesakan dalam mobil van yang menuju Arena
Capitol, yang dibangun di seberang sungai untuk mencegah kerumunan orang
memadati pusat kota. Pada masanya, gelanggang terbuka berukuran raksasa dan
canggih itu merupakan tempat pelaksanaan kegiatan olahraga, hiburan, dan
militer. Pelaksanaan hukuman mati terhadap musuh negara yang diadakan di sana
membuat tempat itu jadi sasaran pengeboman pemberontak. Struktur bangunan-
nya masih berdiri tegak, tapi kondisinya kumuh dan berantakan sehingga cocok
untuk pelaksanaan Hunger Games. Rumput yang dulu terawat baik kini mati
karena tak terurus. Arena dipenuhi lubang-lubang bekas bom, dengan gulma
sebagai satu-satunya tanaman hijau di hamparan tanah kotor yang terbentang.
Reruntuhan dari ledakan bongkahan-bongkahan logam dan batu tergeletak di
mana-mana, dan dinding setinggi lima meter yang mengelilingi lapangan kini
penuh celah dan tapuk karena pecahan peluru meriam. Setiap tahun, para peserta
desyrindah.blogspot.com

akan dikunci di sana hanya dengan gudang senjata berisi banyak pisau, pedang,
palu gada, dan semacamnya untuk mempermudah pertumpahan darah yang
disaksikan penonton dari rumah. Pada akhir Hunger Games, mereka yang berhasil
selamat akan dikirim balik ke distrik mereka, mayat-mayat dipindahkan, senjata-
senjata dikumpulkan, dan pintu-pintu dikunci sampai tahun depan. Tidak ada
pemeliharaan. Tidak dibersihkan. Angin dan hujan akan menghapus noda darah,
tapi tangan Capitol tetap berlumuran darah.
Profesor Sickle, pendamping mereka untuk acara itu, memerintahkan para
mentor untuk meninggalkan barang mereka di van saat mereka tiba. Coriolanus
memasukkan serbet berisi makanan di saku depan celananya lalu menutupnya
dengan keliman jaketnya. Ketika mereka keluar dari tempat berpenyejuk udara
menuju matahari yang panas menyengat, dia melihat para peserta berdiri diborgol,
dijaga ketat oleh Penjaga Perdamaian. Para mentor diarahkan untuk berdiri di
samping pesertanya, yang berderet sesuai urutan distrik, jadi dia berdiri di ujung
dekat Lucy Gray. Hanya Jessup dan mentornya,
Lysistrata, yang bertubuh mungil, berdiri di belakangnya. Di depannya, peserta
Clemensia, Reaper yang pernah mencekiknya di truk berdiri melotot
memandangnya. Kalau untuk urusan pertikaian mentor-peserta, keberuntungan
tak ada di pihak Coriolanus.
Meskipun penampilannya lembut, Lysistrata memiliki keberanian. Dia anak
perempuan dari dokter yang merawat Presiden Ravinstill, dia beruntung
mendapat kesempatan sebagai mentor, dan dia tampaknya berusaha keras untuk
bisa dekat dengan Jessup. “Aku membawakanmu salep untuk lehermu.”
Coriolanus mendengarnya berbisik. “Tapi kau harus menyembunyikannya.”
Jessup mendengus patuh. “Aku akan menaruhnya di kantongmu saat ada
kesempatan.”
Para Penjaga Perdamaian mengangkat palang besi berat dari pintu masuk. Kedua
pintu raksasa terbentang membuka, memperlihatkan lobi besar yang penuh stan-
desyrindah.blogspot.com

stan dan poster-poster iklan dari acara-acara sebelum perang. Anak-anak


mengikuti para tentara masuk lebih jauh ke dalam lobi, dengan tetap berjalan
berbaris. Di sana ada pintu putar, masing-masing dengan tiga logam melengkung
terbalut debu tebal. Mereka butuh token Capitol untuk akses masuk, token yang
masih digunakan untuk membayar tiket trem listrik.
Jalur masuk ini untuk orang miskin, pikir Coriolanus. Atau mungkin bukan
miskin, lebih tepatnya rakyat jelata. Dahulu, keluarga Snow memasuki arena dari
jalan masuk lain, yang dibatasi tali beledu. Jelas bahwa boks tempat duduk mereka
tidak bisa diakses dengan token. Tidak seperti tempat lain yang ada di arena,
tempat duduk mereka memiliki atap, jendela kaca yang dapat dibuka-tutup, dan
penyejuk udara sehingga membuat hari yang panas pun terasa nyaman. Seorang
Avox ditugasi melayani mereka, membawakan makanan, minuman untuknya dan
Tigris. Kalau dia bosan, dia tidur di sofa berbantal yang empuk.
Para Penjaga Perdamaian memasukkan dua token ke lubang dekat pintu putar
agar setiap peserta dan mentor bisa masuk bersama-sama. Setiap kali pintu
berputar, terdengar suara ceria, ”Selamat menikmati pertunjukan!”
“Kau tidak bisa menyetop akses masuk dengan tiket itu?” tanya Profesor Sickle.
“Bisa saja kalau kita punya kuncinya, tapi tak seorang pun tahu di mana
kuncinya,” kata Penjaga Perdamaian.
“Selamat menikmati pertunjukan!” pintu putar itu berseru pada Coriolanus
ketika dia berjalan melewatinya. Tangan Coriolanus di pinggang berusaha
mendorong palang pintu itu mundur lalu tersadar bahwa tak ada jalan keluar dari
tempat ini. Matanya memandang bagian puncak pintu putar, di sana ada jeruji besi
yang mengisi ruang di antara pintu putar dengan ambang pintu yang melengkung.
Coriolanus berpikir bahwa penonton jelata meninggalkan gedung ini melalui jalan
yang berbeda. Walaupun itu mungkin berarti kerumunan penonton bubar secara
teratur, tapi tidak meredakan kegelisahan mentor yang bertanya-tanya apa tujuan
karyawisata ini.
desyrindah.blogspot.com

Di ujung terjauh pintu putar, satu regu Penjaga Perdamaian berderap masuk
melalui lorong yang hanya diterangi cahaya merah lampu darurat di lantai. Di sisi
lain, ada tikungan sempit menuju level-level tempat duduk berbeda yang sudah
diberi tanda. Barisan peserta dan mentor menuruni tangga, diapit rapat oleh
pasukan Penjaga Perdamaian. Ketika mereka berjalan dalam ruangan gelap,
Coriolanus mengambil selembar kertas dari buku milik Lysistrata dan
menggunakan kesempatan itu untuk menyisipkan serbet berisi makanan ke kedua
tangan Lucy Gray yang terborgol. Dengan cepat serbet itu lenyap ke saku roknya.
Berhasil. Gadis itu takkan mati kelaparan dalam pengawasannya. Tangan Lucy
Gray meraih tangannya, jemari mereka bertaut dan membuat Coriolanus dag-dig-
dug karena tubuh mereka berdiri amat dekat. Ada keintiman kecil dalam ke-
gelapan ini. Dia menggenggam erat tangan Lucy Gray sebelum melepaskannya
ketika mereka melangkah menuju cahaya matahari di ujung lorong, dan apa yang
dilihatnya di sana sama sekali di luar dugaan.
Semasa kecil dia pernah datang ke arena ini, seringnya diajak orangtuanya
menonton sirkus, terkadang juga untuk melihat pawai arak-arakan militer di
bawah komando ayahnya. Selama sembilan tahun terakhir dia menonton
cuplikan-cuplikan Hunger Games di televisi.  Namun, dia tidak siap merasakan
sensasi melangkah keluar dari gerbang utama, berdiri di bawah papan skor raksasa,
dan berjalan menuju lapangan. Beberapa mentor dan peserta melongo kaget
melihat betapa luasnya tempat ini dan kemegahan yang masih terasa bahkan
dalam kondisinya yang kini compang-camping. Saat memandang deretan bangku
penonton yang menjulang di atas sana, dia merasa tak berarti. Dia hanya sebutir
pasir di gurun, setetes air di lautan. 
Dia tersadar saat melihat beberapa juru kamera, dan segera menenangkan
parasnya untuk menunjukkan bahwa seorang Snow tidak mudah dibuat terpukau.
Lucy Gray, yang lebih awas dan bergerak lebih mudah tanpa beban belenggunya,
melambai pada Lepidus Malmsey, tapi sama seperti reporter-reporter lain, dia
desyrindah.blogspot.com

menunjukkan wajah kaku dan tidak balas melambai. Arahan kepada mereka sudah
jelas; pembalasan dan hukuman adalah tema utama hari itu.
Satyria menggunakan istilah tur sehingga menyiratkan kegiatan ini berkaitan
dengan wisata melihat-lihat pemandangan. Meskipun tidak menantikan adanya
kegembiraan, Coriolanus juga tidak mengira ada kesedihan yang tampak jelas dari
tempat itu. Para Penjaga Perdamaian yang mengapit mereka bergerak menjauh
ketika anak-anak dengan patuh mengikuti kepala regu mengelilingi lapangan,
membentuk parade berdebu tanpa kegembiraan. Dia ingat pemain sirkus bergerak
dengan cara serupa, menunggang kuda-kuda dan gajah-gajah, berkelip-kelip dan
memancarkan kegembiraan. Selain Sejanus, mungkin semua teman-teman
sekolahnya yang lain pernah menjadi penonton di sini. Ironisnya, Arachne dulu
berada di boks tempat duduk di sebelahnya, memakai pakaian berpayet dan
berteriak riang sekeras-kerasnya.
Coriolanus memantau arena, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa jadi
keuntungan buat Lucy Gray. Tampaknya ada harapan pada dinding tinggi yang
menutupi lapangan, yang membuat penonton bisa mengamati pertunjukan dari
atas. Permukaan dindingnya yang tercungkil di sana-sini bisa jadi pegangan tangan
dan pijakan kaki, hingga pemanjat yang cekatan bisa mencapai tempat duduk
penonton di atas. Beberapa gerbang pagar yang diatur secara simetris di sekeliling
dinding juga tampak menjanjikan, tapi dia tidak yakin apa yang ada di
terowongan-terowongan di balik pagar, dan mereka harus hati-hati. Terlalu mudah
terperangkap di sana. Tempat duduk di atas adalah pilihan terbaik untuk gadis itu,
jika Lucy Gray bisa memanjat. Dia mengingat-ingat hal ini agar bisa
menyampaikannya pada Lucy Gray.
Saat barisan mulai menyebar, Coriolanus berbisik pada Lucy Gray. “Perasaanku
tidak enak tadi pagi. Melihatmu seperti itu.”
“Yah, setidaknya mereka memberi kami makan dulu,” jawabnya.
“Oya?” Dia penasaran apakah obrolannya dengan Satyria yang membuat mereka
desyrindah.blogspot.com

mendapat makanan?
“Beberapa anak jatuh pingsan saat mereka berusaha mengumpulkan kami tadi
malam. Menurutku, mereka memutuskan harus memberi kami makan jika masih
mau ada peserta yang tersisa untuk pertunjukan ini. Mereka memberi kami roti
dan keju. Kami mendapat makan malam, sarapan juga. Tapi jangan kuatir, masih
banyak tempat dalam kantongku.” Lucy Gray terdengar seperti gadis yang dulu
dikenalnya. “Tadi kau yang bernyanyi?”
“Oh. Ya,” Coriolanus mengaku. “Mereka memintaku bernyanyi karena mereka
pikir aku dan Arachne bersahabat akrab. Sebenarnya kami tidak dekat. Dan aku
malu kau mendengarku bernyanyi.”
“Aku suka suaramu. Kalau istilah ayahku, suaramu punya wibawa. Hanya saja
kau tidak terlalu peduli pada lagu yang kaunyanyikan,” kata Lucy Gray.
“Terima kasih. Pujian darimu sangat berarti buatku,” kata Coriolanus.
Lucy Gray menyikutnya. “Aku takkan mengatakannya keras-keras. Banyak orang
di sini yang menganggapku tidak bermoral.”
Coriolanus menggeleng lalu nyengir.
“Apa?” tanya Lucy Gray.
“Kau hanya punya ekspresi yang lucu. Tidak, bukan lucu. ‘Ber warna’ pada
hakikatnya adalah istilah yang lebih tepat,” kata Coriolanus padanya.
“Aku memang tidak pernah bilang ‘pada hakikatnya’, kalau itu yang kau maksud,”
Lucy Gray menggodanya.
“Tidak, aku menyukainya. Kau membuat caraku bicara terkesan kaku. Kau
bilang aku apa waktu hari pertama kita di kebun binatang? Sesuatu tentang kue?”
tanya Coriolanus.
“Oh, kue yang pakai krim? Kalian tidak tahu istilah itu?” tanyanya. “Itu pujian.
Di tempat asalku, kue biasanya kering. Dan krim itu langka seperti gigi ayam.”
Sejenak Coriolanus tertawa, lupa di mana mereka berada dan lupa betapa
menyedihkannya di sekeliling mereka. Sejenak, hanya ada senyum Lucy Gray,
desyrindah.blogspot.com

alunan nada dalam suaranya, dan percikan rayuan.


Kemudian dunia meledak.
10

Coriolanus tahu bom, dan bom membuatnya takut. Bahkan saat efek ledakan
membuatnya melayang dan melontarkan tubuhnya jauh ke dalam arena, dengan
kedua tangannya menutupi kepala. Ketika dia mendarat jatuh, secara otomatis dia
tiarap. Pipinya menempel di tanah, satu lengannya terangkat untuk melindungi
mata dan telinganya.
Ledakan pertama, yang tampaknya berasal dari gerbang utama, menimbulkan
ledakan berantai di sekeliling arena. Kabur melarikan diri bukanlah pilihan. Yang
bisa dia lakukan adalah bertahan di atas tanah yang bergetar, berharap ledakan
segera berhenti dan berusaha agar tidak panik. Dia memasuki tahap yang dijuluki
oleh dirinya dan Tigris sebagai “waktu bom”, periode sureal ketika momen demi
momen merentang dan berkontraksi dengan cara yang tampaknya mengingkari
sains.
Pada masa perang, Capitol memerintahkan setiap warga negara agar
membangun tempat perlindungan di dekat tempat tinggal mereka. Gedung megah
keluarga Snow memiliki lantai basemen kokoh dan luas yang bisa menampung
setengah warga blok. Sayangnya, sistem pengawasan Capitol amat tergantung pada
listrik. Dengan daya listrik yang tidak bisa diandalkan, yang  terkadang nyala-mati
karena gangguan pemberontak di Distrik 5, akibatnya sirene tidak bisa
diandalkan, dan mereka sering tak keburu untuk berlindung ke basemen. Pada
masa-masa itu, dia, Tigris, dan Grandma’am kecuali ketika neneknya sedang
menyanyikan lagu kebangsaan akan berlindung di bawah meja makan di ruang
desyrindah.blogspot.com

tengah, benda megah yang terbuat dari batu marmer raksasa. Bahkan, meski tidak
ada jendela dan batu raksasa di atas kepalanya, otot-otot Coriolanus selalu
menjadi kaku ketakutan ketika mendengar desingan bom, dan butuh waktu
berjam-jam sebelum dia sanggup berjalan dengan baik. Jalan-jalan juga tidak
aman, termasuk Akademi. Bom bisa jatuh di mana saja, tapi biasanya dia memiliki
tempat berlindung yang lebih baik. Sekarang, di tempat terbuka dan tanpa ada
perlindungan dari serangan, dia menunggu jeda “waktu bom” berakhir dan ber-
tanya-tanya luka apa yang dialami organ dalamnya.
Tidak ada pesawat ringan. Kesadaran itu terbentuk dalam benaknya. Tidak ada
pesawat ringan. Artinya bom-bom itu ditanam, kan? Coriolanus bisa mencium
bau asap, jadi kemungkinan ada bom api. Dia menutup mulut dan hidungnya
dengan saputangan yang biasa dibawanya setiap hari. Dengan mata menyipit di
antara asap hitam yang semakin tebal karena debu di arena, dia bisa melihat Lucy
Gray sekitar lima meter jauhnya, meringkuk ketakutan. Dahinya di atas tanah dan
jari-jarinya menyumpal telinga, hanya itu yang bisa dilakukannya dengan kedua
tangan terborgol. Gadis itu terbatuk-batuk hebat.
“Tutup wajahmu! Pakai serbetnya!” seru Coriolanus. Lucy Gray tidak
menengok ke arahnya, tapi gadis itu pasti bisa mendengarnya, karena dia
berguling ke samping dan mengambil serbet dari kantongnya. Biskuit dan ayam
goreng jatuh ke tanah saat dia menutup wajahnya dengan kain itu. Samar-samar
Coriolanus berpikir bahwa keadaan ini tidak baik untuk kemampuan bernyanyi
Lucy Gray.
Kericuhan mereda sehingga Coriolanus berpikir bahwa serangan sudah
berakhir. Tetapi, ketika dia mengangkat kepala, ledakan terakhir di atasnya
menghancurkan stan yang dulunya stan makanan ringan gulali, apel-apel
berbalut karamel lalu serpihan-serpihan benda terbakar menghujaninya.
Sesuatu menghantam kepalanya dengan keras. Sebatang tiang berat menghantam
punggungnya, melintang diagonal, membuatnya tertahan di tanah.
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus kaget setengah mati, dan terbaring nyaris tak sadarkan diri. Bau
sengit benda terbakar menyengat hidungnya, dan dia menyadari tiang yang
menimpanya ternyata terbakar. Dia berusaha menarik dan melepaskan diri dari
tindihan tiang itu, tapi dunianya terasa berputar dan perutnya mual.
“Tolong!” teriaknya. Permohonan yang sama juga terdengar dari sekelilingnya,
tapi dia tidak bisa melihat siapa saja yang terluka dalam kabut asap. “Tolong!”
Api menghanguskan rambutnya, dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan
diri dari impitan tiang. Rasa sakit yang membakar mulai menyerang leher dan
bahunya dengan pemikiran bahwa dia akan tewas terbakar. Dia berteriak berkali-
kali, tapi tak ada seorang pun yang membantu dalam kepulan asap hitam dan
puing-puing yang terbakar. Kemudian dia melihat sosok yang berdiri dari kobaran
api. Lucy Gray memanggil namanya, sambil mencari-cari dirinya, sesuatu di luar
jarak pandang Coriolanus menarik perhatian gadis itu. Kaki Lucy Gray bergerak
menjauh beberapa langkah, lalu dia ragu, kelihatan gadis itu bimbang.
“Lucy Gray!” Coriolanus memohon dengan suara serak. “Tolong!”
Lucy Gray memandang bimbang sekali lagi ke arah yang tak bisa dilihat
Coriolanus, lalu berlari mendekatinya. Tiang yang menimpa punggungnya
terangkat sedikit, lalu jatuh menimpanya lagi. Pada usaha kedua, tiang itu
terangkat cukup tinggi untuk memberinya ruang agar bisa meloloskan diri dari
bawah tiang. Lucy Gray membantunya berdiri, lengan Coriolanus merangkul bahu
gadis itu, mereka berjalan tertatih-tatih menjauhi api lalu terjatuh di bagian tengah
arena. 
Pada mulanya, suara batuk dan muntah menyerap perhatiannya, tapi perlahan-
lahan dia merasakan rasa sakit di kepalanya, lalu panas terbakar di leher,
punggung, dan bahunya. Entah bagaimana jemarinya menggenggam erat rok Lucy
Gray yang gosong, seakan hidupnya bergantung pada benda itu. Kedua tangan
Lucy Gray yang terborgol terlihat luka karena terbakar, meringkuk di dekatnya.
Asap sudah mereda sehingga dia bisa melihat pola rangkaian bom yang dipasang
desyrindah.blogspot.com

dalam jarak tertentu di sekeliling arena, sementara pemicu ledakan ditempatkan di


pintu masuk. Kerusakannya amat hebat hingga dia bisa melihat jalan raya sekilas
di depan sana dan dua orang berlari kabur dari arena. Apakah itu tadi yang
membuat Lucy Gray bimbang sebelum membantunya? Adanya peluang untuk
melarikan diri? Peserta-peserta lain sudah langsung mengambil kesempatan itu.
Ya, dia mendengar sirene sekarang dan teriakan-teriakan di jalan.
Para petugas medis berjalan di antara reruntuhan dan berlari menolong yang
terluka. “Tidak apa-apa,” katanya pada Lucy Gray. “Pertolongan tiba.” Ada tangan-
tangan yang meraihnya, mengangkatnya ke brankar. Dia melepaskan pegangannya
dari rok Lucy Gray, berpikir bahwa akan ada brankar lain untuk gadis itu. Namun,
saat mereka membawanya pergi, dia bisa melihat seorang Penjaga Perdamaian
memaksa Lucy Gray tiarap dan menyodokkan ujung senapan ke leher gadis itu,
sambil meneriakkan sederet makian kotor padanya. “Lucy Gray!” Coriolanus
berteriak. Tak ada seorang pun yang memedulikannya.
Benturan pada kepalanya membuat Coriolanus sulit berkonsentrasi, tapi dia
sadar bahwa dirinya diangkut dengan ambulans, melewati pintu-pintu rumah sakit
menuju ruang tunggu yang sama ketika dia minum soda rasa jeruk manis pada
hari sebelumnya. Selanjutnya dia dipindahkan ke meja pemeriksaan dengan
sorotan cahaya terang  sementara tim dokter berusaha memeriksa keadaannya.
Dia ingin tidur, tapi dokter-dokter itu berada terlalu dekat dengannya dan berta-
nya macam-macam. Napas mereka yang berbau bekas makan siang membuatnya
mual. Tubuhnya dimasukkan ke mesin. Begitu keluar dari mesin, jarum-jarum
menusuknya, dan akhirnya, dia bisa tidur dengan tenang. Sepanjang malam,
sesekali ada orang masuk ke kamar, membangunkannya lalu menyenter matanya.
Selama dia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, mereka akan me-
ninggalkannya untuk kembali terlelap.
Pada hari Minggu, ketika akhirnya dia terbangun benar-benar bangun dan
sadar cahaya yang menembus jendela menunjukkan hari sudah siang sementara
desyrindah.blogspot.com

Grandma’am dan Tigris menungguinya dengan wajah kuatir. Dia merasakan


ketenangan yang hangat saat melihat mereka. Aku tidak sendirian, pikirnya. Aku
tidak berada di arena. Aku aman.
“Hai, Coryo,” kata Tigris. “Ini kami.”
“Halo.” Coriolanus berusaha tersenyum. “Kalian ketinggalan pengem-
bomannya.”
“Justru rasanya lebih tidak keruan karena tidak berada di sana,” kata Tigris,
“membayangkan kau melewati semuanya seorang diri.”
“Aku tidak sendirian,” kata Coriolanus. Mor n dan gegar otak membuatnya sulit
mengingat dengan jelas. “Lucy Gray ada di sana. Kalau tidak salah ingat, dia
menyelamatkanku.” Dia tidak bisa memaknai perasaannya, tapi rasanya manis.
Dan meresahkan.
Tigris meremas tangannya. “Aku tidak heran. Dia jelas orang baik. Sejak awal,
dia berusaha melindungimu dari peserta-peserta lain.”
Namun, Grandma’am tidak mudah percaya. Setelah Coriolanus menceritakan
rentetan kejadian saat pengeboman, neneknya berkesimpulan: “Yah, barangkali
dia mempertimbangkan bahwa Penjaga Perdamaian akan menembaknya jika dia
kabur. Tapi, dia sudah menunjukkan karakter yang baik. Mungkin seperti
pengakuannya, dia bukan orang distrik.”
Ini jelas pujian, dan berdasarkan ukuran Grandma’am ini pujian tingkat tinggi.
Tigris menceritakan rincian kejadian yang tak diketahui Coriolanus, yang
kemudian menyadari bahwa kejadian ini membuat Capitol tegang. Kejadian ini
menurut berita dari Capitol News membuat penduduk ketakutan menanti
dampak langsung dan efek jangka panjangnya. Mereka tidak tahu siapa yang
memasang bom ya, pemberontak, tapi dari mana? Mereka tidak mungkin
berasal dari salah satu dari dua belas distrik, atau gerombolan sampah masyarakat
yang melarikan diri dari Distrik 13. Atau mungkin, amit-amit, semoga bukan
kelompok teroris dari Capitol sendiri yang sudah lama menunggu kesempatan
desyrindah.blogspot.com

menyerang. Waktu penyerangannya juga membingungkan. Karena arena itu


kosong, terkunci, dan diabaikan selama masa di antara Hunger Games, bom-bom
itu bisa saja ditempatkan di sana enam hari atau enam bulan sebelumnya. Mereka
tidak tahu apakah bom itu diledakkan dengan pemicu jarak jauh atau karena ada
yang menginjaknya, tapi korban-korban yang jatuh karena bom tersebut
mengguncang Capitol. Dua peserta dari Distrik 6 tewas karena kena pecahan bom
tidak terlalu menarik perhatian warga, tapi ledakan yang sama telah merenggut
nyawa si kembar Ring. Tiga orang mentor dirawat di rumah sakit Coriolanus,
Androcles Anderson, dan Gaius Breen, yang mendapat tugas menjadi mentor
Distrik 9. Dua temannya dalam kondisi kritis. Gaius kehilangan kedua kakinya,
dan hampir semua orang yang ada di arena, entah itu mentor, peserta, atau
Penjaga Perdamaian, butuh perawatan medis.
Pikiran Coriolanus kalut. Dia dengan tulus menyukai Pollo dan Didi, bagaimana
mereka berdua menyayangi satu sama lain, dan betapa cerianya mereka. Di rumah
sakit ini juga terbaring Androcles, yang bercita-cita menjadi reporter Capitol
News seperti sang ibu, serta Gaius, anak bandel di Citadel yang tak pernah
kehabisan lelucon garing, yang sedang berjuang meregang nyawa.
“Bagaimana dengan Lysistrata? Apakah dia baik-baik saja?” tanyanya pada Tigris
yang berada di belakangnya.
Grandma’am tampak tidak nyaman dengan pertanyaan Coriolanus itu. “Oh, dia.
Dia baik-baik saja. Dia mengoceh ke mana-
mana, mengatakan bahwa anak lelaki jelek dari Distrik Dua Belas menamenginya
dengan tubuh besar pemuda itu. Tapi tidak tahu, apakah dia jujur atau tidak.
Keluarga Vickers kan suka jadi pusat perhatian.”
“Oya?” tanya Coriolanus ragu. Dia tidak ingat keluarga Vickers suka jadi pusat
perhatian, kecuali saat konferensi pers tahunan saat mereka menyatakan bahwa
Presiden Ravinstill dalam kondisi sehat. Lysistrata adalah gadis mandiri, pendiam,
dan tidak banyak gaya yang menarik perhatian orang pada dirinya.
desyrindah.blogspot.com

Membayangkan
Lysistrata selevel seperti Arachne membuatnya kesal.
“Dia hanya memberi satu pernyataan singkat kepada reporter setelah
pengeboman. Menurutku, dia mengatakan yang sebenarnya, Grandma’am,” kata
Tigris. “Mungkin orang-orang dari Distrik Dua Belas tidak seburuk yang
dikatakan orang-orang. Jessup dan Lucy Gray menunjukkan keberanian mereka.”
“Kau melihat Lucy Gray? Di televisi, maksudku. Apakah dia baik-baik saja?”
tanya Coriolanus.
“Aku tidak tahu, Coryo. Mereka belum memperlihatkan rekaman di kebun
binatang. Tapi namanya tidak ada dalam da ar peserta yang tewas,” kata Tigris.
“Masih ada korban selain dari Distrik Enam?” Coriolanus tidak mau terdengar
jahat, tapi mereka adalah pesaing Lucy Gray.
“Ya, beberapa peserta lain tewas setelah bom meledak,” kata Tigris padanya.
Kedua pasangan dari Distrik 1 dan 2  berhasil melarikan diri ke lubang ledakan
di dekat pintu masuk. Anak-anak Distrik 1 tewas ditembak, anak perempuan dari
Distrik 2 berhasil sampai ke sungai dan melompati dinding, tapi tewas terjatuh,
dan Marcus hilang, lenyap. Anak lelaki yang kuat dan berbahaya dari distrik kini
berkeliaran entah di mana di kota ini. Kemungkinan dia memasuki lubang got
yang terbuka ke jalur bawah tanah menuju Transfer, jaringan rel kereta api dan
jalan yang dibangun di bawah Capitol, tapi tak ada yang bisa memastikan
keberadaannya.
“Kurasa mereka melihat arena sebagai simbol,” kata Grandma’am. “Seperti yang
mereka lakukan semasa perang. Bagian terburuknya adalah Capitol butuh waktu
dua puluh detik sebelum memutus siaran ke distrik-distrik. Pasti mereka
merayakannya di sana. Dasar binatang.”
“Tapi, mereka bilang tidak banyak orang di distrik yang melihatnya,
Grandma’am,” sahut Tigris. “Orang-orang di sana tidak suka melihat tayangan
Hunger Games.”
desyrindah.blogspot.com

“Mereka pasti menyebarkan beritanya,” kata Grandma’am. “Gosip biasanya lebih


cepat tersebar.”
Dokter yang pernah mengobrol dengan Coriolanus sesudah serangan ular yang
lalu, masuk ke kamar dan memperkenalkan diri sebagai Dr. Wane. Dia menyuruh
Tigris dan Grandma’am pulang dan memeriksa Coriolanus sebentar sambil
menjelaskan tentang gegar otaknya (termasuk ringan) dan luka bakar yang
dideritanya, yang membaik setelah mendapat pengobatan. Butuh waktu bagi
Coriolanus untuk sembuh total, tapi jika patuh dan kondisinya membaik, dia
boleh pulang dalam dua hari.
“Apakah Anda tahu bagaimana keadaan pesertaku? Kedua tangannya terbakar
cukup parah.” Setiap kali memikirkan Lucy Gray, dia merasa dihunjam gelisah,
tapi mor n akan menyerap perasaan itu seperti kapas menyerap cairan.
“Aku tidak tahu,” kata sang dokter. “Tapi mereka sudah mengirim dokter hewan
piawai ke sana. Menurut perkiraanku dia akan sehat bugar pada saat Hunger
Games dimulai. Tapi itu bukan urusanmu, Nak. Kau hanya perlu memusatkan
perhatian agar pulih, dan untuk itu, kau butuh tidur.”
Coriolanus menurutinya dengan senang hati. Dia kembali tertidur dan baru
bangun pada Senin pagi. Kepalanya sakit dan badannya babak belur, sehingga dia
tidak berniat buru-buru keluar dari rumah sakit. Penyejuk ruangan mengurangi
sakit pada luka bakarnya dan makanan hambar dengan porsi besar disediakan
setiap jam makan. Dia menonton berita di televisi layar besar sambil minum soda
rasa jeruk manis sebanyak yang dia sanggup habiskan. Pemakaman untuk si
kembar Ring diadakan besok. Pencarian terhadap Marcus terus berlanjut. Capitol
dan distrik-distrik meningkatkan status siaga keamanan.
Tiga mentor tewas, tiga dirawat di rumah sakit sebenarnya empat, kalau
Clemensia dihitung. Enam peserta tewas, satu melarikan diri, beberapa terluka.
Kalau Dr. Gaul mau mengubah konsep Hunger Games, dia berhasil.
Pada siang hari, deretan pengunjung dimulai dengan kedatangan Festus.
desyrindah.blogspot.com

Tangannya terbalut dalam kain gendongan dan beberapa jahitan di pipinya kena
pecahan logam. Dia bilang kelas-kelas di Akademi ditunda, tapi siswa-siswa
diharuskan datang esok pagi untuk pemakaman Ring bersaudara. Festus terlihat
sedih menyebut nama si kembar, dan Coriolanus penasaran apakah dia akan lebih
berperasaan jika mereka melepaskan cairan infus mor n dari tubuhnya, yang
membuatnya tidak bisa merasa sedih ataupun bahagia. Satyria mampir membawa
kue kering, menyampaikan pesan semoga lekas sembuh dari guru-guru di
Akademi, dan memberitahunya bahwa pengeboman itu adalah kemalangan yang
tidak bisa dihindari, tapi bisa memperbesar peluangnya mendapat hadiah. Tidak
lama kemudian, Sejanus yang tidak terluka datang membawa tas sekolah
Coriolanus yang ditinggal di van dan setumpuk sandiwch daging panggang lezat
buatan ibunya. Dia tidak banyak bicara tentang pesertanya yang melarikan diri.
Terakhir, Tigris datang tanpa Grandma’am, yang beristirahat di rumah tapi
mengirimkan seragam bersih untuk dipakai Coriolanus saat pulang dari rumah
sakit nanti. Kalau ada kamera, neneknya mau Coriolanus menunjukkan
penampilan terbaik. Mereka berbagi sandwich lalu Tigris mengelus kepalanya
sampai dia tertidur, seperti yang dulu sering dilakukan Tigris saat Coriolanus sakit
kepala semasa kanak-kanak.
Saat seseorang membangunkannya pada tengah malam hari Selasa, dia pikir
perawat datang untuk memeriksa keadaannya, lalu dia melihat wajah Clemensia
yang rusak di hadapannya. Bisa ular, atau mungkin penangkal racunnya, membuat
kulit Clemensia yang cokelat keemasan terkelupas dan warna putih di matanya
berubah menjadi warna kuning telur. Tapi, yang lebih parah adalah kedutan tu-
buhnya, membuat wajahnya tampak meringis. Sesekali lidahnya terjulur keluar
dari mulutnya dan kedua tangannya berkedut kejang, bahkan ketika memegang
tangan Coriolanus.
“Sst!” desisnya. “Sebenarnya aku tidak boleh berada di sini. Jangan bilang pada
mereka aku kemari. Mereka bilang apa? Kenapa tak ada seorang pun yang datang
desyrindah.blogspot.com

menjengukku? Apakah orangtuaku tahu apa yang terjadi? Apakah mereka


mengira aku sudah mati?”
Linglung karena mengantuk dan obat-obatan, Coriolanus tidak langsung
memahami apa yang dikatakan Clemensia. “Orangtuamu? Mereka sudah kemari.
Aku melihat mereka datang.”
“Tidak ada. Tak ada seorang pun yang menemuiku!” pekiknya. “Aku harus pergi
dari sini, Coryo. Aku takut dia akan membunuhku. Tempat ini tidak aman. Kita
tidak aman!”
“Apa? Siapa yang akan membunuhmu? Omonganmu tidak masuk akal,” kata
Coriolanus.
“Dr. Gaul, tentu saja!” Gadis itu mencengkeram lengannya erat-erat, membuat
luka bakarnya terasa sakit. “Kau tahu, kau ada di sana saat kejadian itu!”
Coriolanus berusaha melepaskan jemari Clemensia. “Kau harus kembali ke
kamarmu. Kau sakit, Clemmie. Kau kena gigitan ular, jadinya kau berhalusinasi.”
“Apakah ini halusinasiku?” Dia membuka bagian belakang baju rumah sakitnya
dan memperlihatkan kulit berwarna belang mulai dari dada hingga ke bahunya.
Belang bersisik itu berwarna biru terang, pink, dan kuning, seperti warna ular-ular
di bak kaca. Saat Coriolanus terkesiap, Clemensia menjerit, “Dan ini menyebar!
Menyebar!”
Dua petugas rumah sakit menahan Clemensia, membopongnya dan
membawanya keluar dari kamar. Coriolanus terbaring tidak bisa tidur sepanjang
malam, memikirkan ular-ular itu, kulit Clemensia, dan kotak-kotak kaca berisi
para Avox dengan modi kasi tubuh hewan mengerikan di laboratorium Dr. Gaul.
Apakah Clemensia akan menjadi seperti itu? Kalau tidak, kenapa orangtuanya
belum bertemu dengannya? Kenapa tak seorang pun tahu apa yang menimpa
gadis itu, kecuali dirinya? Kalau Clemensia meninggal, apakah dia juga akan
dilenyapkan, karena dia satu-satunya saksi? Apakah dia membahayakan Tigris
dengan menceritakan kejadian itu padanya?
desyrindah.blogspot.com

Rumah sakit yang tadinya terasa seperti kepompong membahagiakan, sekarang


bagai perangkap tersembunyi dan berbahaya yang akan mencekiknya sampai
kehabisan napas. Jam demi jam berlalu dan tak ada seorang pun yang datang
memeriksanya, dan ini membuatnya tambah cemas. Akhirnya ketika fajar
menyingsing, Dr. Wane muncul di samping ranjangnya. “Kudengar Clemensia
mendatangimu tadi malam,” kata sang dokter dengan riang. “Apakah dia mem-
buatmu takut?”
“Sedikit.” Coriolanus berusaha tampak tenang.
“Dia akan baik-baik saja. Bisa ular menyebabkan efek samping yang tak wajar
saat berusaha dikeluarkan dari sistem tubuhnya. Itu sebabnya kami belum
mengizinkan orangtuanya datang menjenguk. Mereka mengira Clemensia sedang
dikarantina karena u yang amat menular. Dia akan normal dalam satu atau dua
hari,” kata dokter itu padanya. “Kau boleh menjenguknya kalau mau. Mungkin
bisa sedikit menghiburnya.”
“Baiklah,” kata Coriolanus, merasa lebih tenang. Tapi dia tidak bisa melupakan
apa yang dilihatnya pada diri Clemensia, baik yang di rumah sakit, maupun di lab.
Infus mor n yang dilepaskan dari tubuhnya membuat semua pikiran berkabut
menjadi kelegaan yang menyiksa. Dia mencurigai semua kenyamanan yang
diperolehnya, mulai dari sarapan berlimpah daging asap dan panekuk, sampai se-
keranjang buah segar dan manisan dari Akademi, hingga berita bahwa pe-
nampilannya dalam membawakan lagu kebangsaan akan diputar ulang untuk
pemakaman Ring bersaudara, dan menganggap hal tersebut sebagai pertanda
kualitas dan pengakuan atas pengorbanannya.
Liputan pra-pemakaman dimulai pukul tujuh, dan pada pukul sembilan dewan
siswa mulai memenuhi tangga utama di depan Akademi. Lebih dari seminggu lalu,
dia merasa tidak dianggap penting dengan ditugasi sebagai mentor anak
perempuan dari Distrik 12, dan kini keberaniannya dihormati di depan seluruh
negeri. Dia mengira mereka akan memutar rekaman nyanyiannya, tapi ternyata
desyrindah.blogspot.com

hologram dirinya berdiri di belakang podium, yang awalnya agak kabur, lalu
perlahan menampilkan gambar yang jernih dan jelas. Orang-orang sering bilang
semakin hari dia semakin mirip ayahnya yang tampan, dan untuk pertama kalinya
dia benar-benar bisa melihatnya. Bukan hanya rahang dan rambutnya, tapi juga
sikap pembawaannya yang terhormat. Lucy Gray benar, suaranya terdengar
memiliki wibawa. Bisa dibilang, penampilannya mengagumkan.
Capitol menunjukkan usaha lebih baik daripada yang ditampilkan pada
pemakaman Arachne, dan Coriolanus merasa sudah selayaknya si kembar
mendapat kehormatan itu. Lebih banyak pidato, lebih banyak Penjaga
Perdamaian, lebih banyak spanduk. Dia tidak keberatan melihat si kembar dipuji,
bahkan secara berlebihan, dan berharap keduanya tahu bahwa hologramnya ikut
serta membuka acara. Jumlah peserta yang tewas bertambah, dua peserta dari
Distrik 9 meninggal karena luka-luka yang mereka derita. Tampaknya, dokter
hewan sudah melakukan yang terbaik, tapi berkali-kali permintaan sang dokter
untuk membawa pasien ke rumah sakit ditolak. Jasad-jasad yang hangus terbakar,
bersama sisa-sisa jasad para peserta Distrik 6, ditaruh di atas kuda-kuda dan diarak
di sepanjang Scholars Road. Dua peserta dari Distrik 1 dan anak perempuan dari
Distrik 2, dianggap pengecut karena telah berusaha melarikan diri, diseret di
belakang mereka. Kemudian disusul truk-truk berkandang yang pernah dinaiki
Coriolanus dalam perjalanan menuju kebun binatang, satu berisi anak-anak lelaki
dan satu lagi untuk anak-anak perempuan. Dia berusaha keras mencari Lucy Gray
tapi tidak bisa menemukannya, dan ini menambah kekuatirannya. Apakah gadis
itu terbaring tak berdaya di lantai, terluka dan kelaparan?
Saat peti mati berwarna perak tampak di layar televisi, yang terpikir oleh
Coriolanus adalah permainan konyol yang mereka mainkan di lapangan sekolah
semasa perang, namanya Mengelilingi Ring. Anak-anak akan mengejar Didi dan
Pollo lalu bergandengan tangan, membentuk lingkaran mengelilingi mereka,
membuat mereka tidak bisa keluar dari lingkaran. Di akhir permainan, mereka
desyrindah.blogspot.com

selalu tertawa terbahak-bahak sambil bergulingan di lapangan, termasuk si kembar


Ring. Oh, betapa indahnya masa kanak-kanak, bermain berkejaran dengan teman-
temannya, dan biskuit sudah tersedia ketika dia kembali ke mejanya.
Setelah makan siang, Dr. Wane mengatakan Coriolanus boleh pulang hari ini
kalau dia berjanji akan tetap tenang dan istirahat di rumah. Pesona kenyamanan
rumah sakit sudah sirna, dan dia bergegas mengganti pakaiannya dengan seragam
bersih. Tigris menjemput dan menemaninya dalam perjalanan pulang dengan
trem, tapi Tigris harus kembali bekerja setelah itu. Coriolanus dan Grandma’am
tidur siang, lalu saat dia bangun sudah ada casserole nikmat buatan ibu Sejanus
yang dikirim untuknya.
Tigris menyuruhnya tidur saat matahari terbenam, tapi kantuk tak kunjung
datang. Setiap kali Coriolanus memejamkan mata, dia melihat api di sekelilingnya,
merasakan tanah yang dipijaknya bergetar, mencium bau asap hitam yang
menyesakkan dada. Lucy Gray menggerogoti pikirannya, dan hanya ada gadis itu
dalam benaknya. Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah sembuh dan
mendapat makanan, atau menderita dan kelaparan di kandang monyet yang me-
ngerikan itu? Sementara dirinya terbaring di rumah sakit dengan penyejuk
ruangan dan diinfus mor n, apakah dokter hewan mengobati kedua tangan Lucy
Gray? Apakah asap merusak suaranya yang indah? Apakah Lucy Gray tak punya
harapan lagi untuk mendapat sponsor di arena, demi membantunya mendapat
hadiah? Dia merasa malu saat mengingat rasa takut yang menyergapnya ketika
tiang itu menimpanya, tapi dia lebih malu lagi saat ingat apa yang terjadi selan-
jutnya. Di Capitol TV, liputan pengeboman yang mereka tayangkan di televisi
tidak terlalu jelas karena asap. Tapi, apakah rekaman itu ada? Rekaman saat Lucy
Gray menolongnya, dan yang lebih memalukan, dia memegang rok Lucy Gray
erat-erat ketika menunggu bantuan tiba?
Tangannya mencari-cari di laci nakas lalu mengambil kotak bedak ibunya. Saat
menghirup aroma bunga mawar, pikirannya agak lebih tenang, tapi dia bangkit
desyrindah.blogspot.com

dari tempat tidur karena gelisah. Selama beberapa jam selanjutnya dia berjalan
mondar-mondar di apartemen, lalu menatap ke luar jendela, memandang Corso
dan melihat jendela-jendela tetangganya di seberang jalan. Entah kapan dan bagai-
mana caranya dia sudah berada di atap, di antara bunga-bunga mawar neneknya,
padahal dia tidak ingat menaiki tangga menuju taman. Udara malam yang segar
dengan wangi bunga membuat kegelisahannya berkurang, tapi tak lama kemudian
dia menggigil kedinginan dan lukanya terasa sakit lagi.
Tigris mendapati Coriolanus sedang duduk di dapur pada dini hari. Tigris
menyeduh teh dan mereka memakan sisa casserole langsung dari pancinya.
Lapisan-lapisan gurih berupa daging, kentang, dan keju melipur hatinya,
sementara Tigris dengan lembut mengingatkannya bahwa apa yang terjadi pada
Lucy Gray bukanlah kesalahannya. Bagaimanapun juga, mereka masih di bawah
umur, yang hidupnya diatur oleh kekuasaan di atas mereka.
Coriolanus merasa lebih tenang sesudahnya, dan berhasil tidur selama beberapa
jam sebelum telepon dari Satyria membangunkannya. Satyria memintanya datang
ke sekolah pagi itu kalau dia merasa sanggup. Ada jadwal pertemuan mentor-
peserta yang bertujuan untuk bekerja sama dalam menghadapi wawancara, yang
sekarang berdasarkan pengajuan diri secara sukarela.
Siang harinya di Akademi, ketika dia memandang Heavensbee Hall dari balkon,
keberadaan kursi-kursi kosong di sana membuatnya terguncang. Dalam
pikirannya dia tahu, delapan peserta sudah tewas dan satu hilang, tapi dia tidak
bisa membayangkan pengaruhnya pada pola tempat duduk 24 meja yang ada di
sana. Kini, susunan tempat duduk kacau dan berantakan. Tidak ada peserta sama
sekali dari Distrik 1, 2, 6, dan 9, dan hanya ada satu dari Distrik 10. Kebanyakan
para peserta yang tersisa kondisinya terluka dan tampak tidak sehat. Saat para
mentor bergabung dengan peserta, kehilangan itu semakin terasa.  Enam mentor
tewas atau dirawat di rumah sakit, dan mentor yang kehilangan peserta dari
Distrik 1 dan 2 tidak perlu datang karena tak ada alasan lagi untuk hadir. Livia
desyrindah.blogspot.com

Cardew yang paling ribut mempermasalahkan rangkaian kejadian ini. Dia me-
minta peserta baru dibawa dari distrik atau mendapat Reaper sebagai gantinya,
anak lelaki yang dimentori Clemensia orang-orang mengira gadis itu sedang
dirawat di rumah sakit karena u. Permintaannya tidak dikabulkan, dan Reaper
duduk sendirian di mejanya, dengan perban ternoda darah kering di kepalanya.
Saat Coriolanus duduk di hadapan Lucy Gray, gadis itu tidak tersenyum sedikit
pun. Batuk kering membuat dadanya sakit dan jelaga bekas api masih menempel
di pakaiannya. Kemampuan dokter hewan yang merawat peserta melebihi harapan
Coriolanus, karena kulit di kedua tangan Lucy Gray tampaknya sudah membaik.
“Hai,” kata Coriolanus sambil mendorong sandwich selai kacang dan dua kue
kering dari Satyria ke seberang mejanya.
“Hei,” kata Lucy Gray serak. Gelagat persahabatan atau godaan di antara mereka
tidak terlihat. Dia menepuk sandwich itu, tapi tampak terlalu lelah untuk
memakannya. “Terima kasih.”
“Aku yang berterima kasih padamu karena telah menyelamatkanku.” Coriolanus
mengucapkannya dengan santai, tapi saat dia memandang mata Lucy Gray,
ketidakpeduliannya menjadi luluh.
“Kau bilang begitu ke orang-orang?” tanya Lucy Gray. “Bahwa aku
menyelamatkanmu?”
Coriolanus mengatakannya pada Tigris dan Grandma’am, dan karena tidak
yakin mesti berbuat apa dengan informasi itu, dia menyimpannya dalam hati saja.
Sekarang, dengan kursi-kursi kosong yang ada di sekeliling mereka, ingatan
tentang Lucy Gray yang telah menyelamatkannya di arena terngiang kembali. Dia
tidak bisa mengabaikan betapa berartinya upaya yang dilakukan gadis itu. Kalau
Lucy Gray tidak menolongnya, dia pasti sudah tewas. Terbaring dalam peti mati
berkilau dan bertabur bunga. Kursi yang didudukinya akan kosong. Saat
Coriolanus kembali bicara, dia harus menelan ludah dengan susah payah sebelum
berkata, “Aku memberitahu keluargaku. Sungguh. Terima kasih, Lucy Gray.”
desyrindah.blogspot.com

“Yah, aku punya waktu menolongmu,” katanya, telunjuknya gemetar menyentuh


bunga yang terbuat dari gula di atas kue kering. “Kue-kue yang cantik.”
Kemudian Coriolanus bingung. Kalau Lucy Gray sudah menyelamatkannya, dia
berutang pada gadis itu. Tapi apa? Sandwich dan dua kue kering?  Hanya itu yang
dia berikan untuk membayar utang nyawanya. Tampaknya cuma sebegitu harga
nyawanya. Sejujurnya, dia berutang segalanya pada Lucy Gray. Dia bisa merasakan
pipinya memerah. “Kau bisa saja melarikan diri. Kalau kau kabur, aku sudah tewas
terbakar saat pertolongan tiba.”
“Melarikan diri? Sepertinya itu usaha yang berlebihan untuk ditembak mati,”
kata Lucy Gray.
Coriolanus menggeleng. “Kau bisa bercanda, tapi tidak mengubah apa yang
telah kaulakukan untukku. Aku berharap bisa membalas jasamu entah bagaimana
caranya.”
“Aku juga berharap begitu,” katanya.
Kalimat yang diucapkan Lucy Gray mengubah dinamika hubungan mereka.
Sebagai mentornya, Coriolanus sudah bermurah hati memberi Lucy Gray hadiah,
dan gadis itu selalu bersyukur dan berterima kasih. Saat ini Lucy Gray
membalikkan keadaan dengan memberinya hadiah yang takkan bisa dia balas. Di
luar, segalanya tampak sama. Gadis yang dibelenggu dan anak lelaki yang
memberinya makanan. Para Penjaga Perdamaian menjaga status quo. Tapi, jauh di
dalam diri mereka, keadaan tidak akan pernah sama lagi. Coriolanus akan selalu
berutang pada Lucy Gray. Gadis itu berhak meminta apa saja.
“Aku tidak tahu,” Coriolanus mengakui.
Lucy Gray memandang ke sekeliling ruangan, memperhatikan pesaing-
pesaingnya yang terluka. Kemudian dia memandang Coriolanus lekat-lekat, ada
ketidaksabaran dalam suaranya. “Kau bisa memulainya dengan berpikir bahwa aku
memang bisa menang.”
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com

BAGIAN II
“HADIAH”
11

Kata-kata Lucy Gray menyakiti hati Coriolanus, tapi kalau dipikir-pikir lagi, dia
patut mendengarnya. Coriolanus tak pernah benar-
benar menganggap gadis itu sebagai pemenang di Hunger Games. Dia bahkan
tidak memiliki strategi untuk menjadikannya pemenang. Dia hanya berharap
pesona dan daya tarik Lucy Gray akan melekat padanya dan membuatnya sukses.
Saat Coriolanus meminta Lucy Gray bernyanyi untuk mendapat sponsor, sebenar-
nya itu usaha untuk memperpanjang perhatian gadis itu pada dirinya. Bahkan
barusan, kedua tangan Lucy Gray yang sudah pulih dari luka bakar adalah kabar
baik bagi Coriolanus karena gadis itu bisa bermain gitar pada malam wawancara,
bukan untuk membela diri dari serangan di arena. Kenyataan bahwa Lucy Gray
sangat berarti baginya, sebagaimana yang dikatakannya di kebun binatang, hanya
memperburuk keadaan. Seharusnya dia berusaha menyelamatkan nyawa Lucy
Gray, membantunya menjadi pemenang, sekecil apa pun kesempatan yang dia
miliki.
“Aku serius saat bilang kau adalah kue yang pakai krim,” kata Lucy Gray. “Kau
satu-satunya yang cukup peduli untuk datang. Kau dan sahabatmu Sejanus. Kalian
berdua bersikap seperti layaknya manusia. Tapi, satu-satunya cara agar kau bisa
membalas jasaku sekarang adalah membantuku selamat dari hal ini.”
“Aku setuju.” Langkah maju ini membuatnya merasa sedikit lebih baik. “Mulai
sekarang, kita bermain untuk menang.”
Lucy Gray mengulurkan tangan. “Janji?”
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus balas menjabat tangan gadis itu. “Aku berjanji.” Tantangan ini
membuatnya bersemangat. “Langkah pertama: Aku memikirkan strategi.”
“Kita memikirkan strategi,” Lucy Gray mengoreksi perkataannya. Tapi, gadis itu
tersenyum dan menggigit sandwich-nya.
“Kita memikirkan strategi.” Dia mulai berhitung. “Pesaingmu tersisa empat belas
orang, kecuali mereka menemukan Marcus.”
“Kalau kau bisa membantuku bertahan hidup selama beberapa hari, aku
mungkin bisa menang karena tinggal aku yang tersisa,” katanya.
Coriolanus memandang ke sekeliling aula, melihat peserta-
peserta yang sakit dan terluka serta terbelenggu, yang awalnya membuat dia
berbesar hati sampai dia melihat keadaan Lucy Gray juga tidak terlalu baik.
Namun, dengan tidak adanya lawan dari Distrik 1 dan 2, lalu Jessup yang
melindunginya, juga adanya program sponsor, kemungkinan Lucy Gray menang
jauh lebih besar daripada saat dia pertama kali tiba di Capitol. Mungkin, jika dia
bisa terus memberi Lucy Gray makan, gadis itu bisa lari dan bersembunyi di arena
sementara yang lain saling membunuh atau mati kelaparan. “Aku harus
menanyakan satu hal,” kata Coriolanus. “Kalau memang diperlukan, apakah kau
sanggup membunuh?”
Lucy Gray mengunyah makanannya sambil mempertimbangkan jawaban.
“Mungkin, kalau harus membela diri.”
“Ini Hunger Games. Semuanya membela diri,” kata Coriolanus. “Tapi, mungkin
yang terbaik bagimu adalah lari dari peserta-peserta lain, dan kita mendapat
sponsor makanan. Lalu kita menunggu.”
“Yeah, itu strategi yang lebih baik untukku,” Lucy Gray sependapat. “Bertahan
hidup dalam kondisi yang mengerikan adalah salah satu bakatku.” Sepotong kecil
roti kering membuatnya tersedak hingga batuk.
Coriolanus menyodorkan botol air yang dia ambil dari tas sekolahnya. “Mereka
masih akan melakukan wawancara, tapi sifatnya sukarela. Kau siap?”
desyrindah.blogspot.com

“Tentu saja! Aku sudah punya lagu yang pas untuk suara yang memabukkan ini,”
katanya. “Kau sudah mendapatkan gitar?”
“Belum. Tapi aku akan mendapatkannya hari ini,” Coriolanus berjanji. “Pasti ada
orang yang punya gitar dan bisa kupinjam. Kalau kita bisa mendapatkan sponsor,
kita punya peluang untuk menang.”
Lucy Gray bicara penuh semangat tentang lagu yang akan dinyanyi-
kannya.  Mereka hanya mendapat jatah waktu sepuluh menit, dan pertemuan
singkat mereka berakhir saat Profesor Sickle memerintahkan para mentor kembali
ke lab biologi.
Penjagaan keamanan ditingkatkan, sehingga para Penjaga Perdamaian mengawal
mereka, lalu Dekan Highbo om mengabsen nama mereka saat duduk di
laboratorium. Mentor-mentor yang pesertanya tewas dan hilang, seperti Livia dan
Sejanus, sudah duduk di meja laboratorium memperhatikan Dr. Gaul
menjatuhkan wortel-wortel ke kandang kelinci. Coriolanus langsung berkeringat
saat melihat Dr. Gaul yang berada begitu dekat dan masih bersikap sinting.
“Wah, wah, wah, dapat hadiah atau hukuman? Semua orang sekarat dan
kalian…”  Wanita itu memandang mereka menunggu jawaban, dan semua orang
kecuali Sejanus mengalihkan pandangan.
“Merasa muak,” kata Sejanus.
Dr. Gaul tertawa. “Ah, si anak baik hati. Di mana pesertamu, Nak? Ada petunjuk
keberadaannya?”
Capitol News tetap meliput pencarian terhadap Marcus, tapi tidak sesering
awalnya dulu. Pernyataan resminya adalah Marcus terperangkap di bagian
tersembunyi di Transfer, dan akan segera bisa ditangkap. Warga Capitol bisa hidup
tenang, mereka sepakat bahwa Marcus mungkin sudah tewas atau akan ditangkap
tidak lama lagi. Kemungkinan besar, Marcus lebih memilih kabur daripada keluar
dari Transfer untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah di Capitol.
“Mungkin sedang dalam perjalanan menuju kebebasannya,” kata Sejanus tegang.
desyrindah.blogspot.com

“Mungkin sudah tertangkap dan ditahan. Mungkin terluka dan bersembunyi. Aku
tidak tahu. Apakah Anda tahu dia di mana?”
Coriolanus mengagumi nyali Sejanus. Tentu saja, dia tidak tahu seberapa
berbahayanya Dr. Gaul. Kalau tidak mampu menjaga mulutnya, Sejanus bisa
berakhir di kandang dengan sepasang sayap burung parkit dan belalai gajah.
“Jangan, tidak usah dijawab,” kata Sejanus. “Dia mungkin sudah mati atau akan
mati saat Anda menangkapnya lalu merantainya, dan menyeretnya di jalan.”
“Itu hak kita,” sahut Dr. Gaul.
“Tidak, itu bukan hak kita! Aku tidak peduli apa yang Anda katakan. Anda tidak
berhak membuat orang kelaparan atau menghukum mereka tanpa alasan. Tidak
berhak merenggut hidup dan kebebasan mereka. Itu hak asasi manusia sejak lahir,
dan Anda tidak berhak merenggutnya. Memenangkan perang tidak memberi
Anda hak itu. Memiliki lebih banyak senjata tidak memberi Anda hak itu. Menjadi
orang Capitol juga tidak memberi Anda hak itu. Tak ada yang berhak. Oh, aku
tidak tahu kenapa aku datang kemari hari ini.” Setelah itu, Sejanus berdiri dan
berderap ke pintu. Saat dia berusaha memutar gagang pintu, gagang itu tak mau
bergerak. Dia menggoyang-
goyangkannya lalu bertanya pada Dr. Gaul. “Sekarang kami dikunci? Ini kandang
monyet untuk kami?”
“Kau belum diizinkan keluar,” kata Dr. Gaul. “Duduk, Nak.”
“Tidak.” Sejanus mengatakannya dengan suara pelan, tapi membuat beberapa
orang berdiri kaget.
Setelah lama terdiam, Dekan Highbo om turun tangan. “Pintunya dikunci dari
luar. Penjaga Perdamaian diperintahkan untuk menjaga kita agar tidak terganggu.
Duduklah.”
“Atau apakah kita perlu meminta mereka mengantarmu ke tempat lain?” tanya
Dr. Gaul. “Kurasa ada kantor ayahmu di dekat sini.” Jelas, meskipun Dr. Gaul
memanggilnya ‘Nak’, dia tahu siapa Sejanus sejak awal.
desyrindah.blogspot.com

Sejanus terbakar amarah dan rasa malu, hingga tidak mau atau tidak sanggup
bergerak. Dia hanya berdiri memandang Dr. Gaul, dan ketegangan di antara
mereka menyengat di udara.
“Ada kursi kosong di sampingku.” Kata-kata itu mendadak terucap dari mulut
Coriolanus.
Tawaran itu mengalihkan perhatian Sejanus, lalu dia tampak kehilangan
semangat. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan di antara kursi-kursi dan
duduk di samping Coriolanus. Satu tangannya memegangi tali tas sekolahnya erat-
erat, sementara tangan yang lain mengepal kuat di atas meja.
Coriolanus berharap Sejanus tutup mulut. Dia memperhatikan Dekan
Highbo om memandangnya dengan tatapan janggal lalu sang dekan
menyibukkan diri dengan membuka buku catatan dan tutup bolpoinnya.
“Kalian sedang emosi,” kata Dr. Gaul kepada murid-murid di kelas. “Aku paham.
Sungguh. Tapi kalian harus belajar memanfaatkan dan menahan emosi itu. Perang
dimenangkan dengan kepala, bukan dengan hati.”
“Kupikir perang sudah berakhir,” cetus Livia. Gadis itu juga tampak marah, tapi
bukan karena alasan yang sama seperti Sejanus. Coriolanus merasa Livia kesal
karena kehilangan pesertanya yang tegap.
“Kaupikir begitu? Setelah apa yang kaualami di arena?” tanya Dr. Gaul.
“Kupikir begitu,” Lysistrata menyela. “Dan kalau perang berakhir, secara teknis
pembunuhan seharusnya berakhir, ya kan?”
“Aku mulai berpikir bahwa perang takkan pernah berakhir,” kata Festus. “Distrik-
distrik akan selalu membenci kita, dan kita akan selalu membenci mereka.”
“Menurutku pendapatmu ada benarnya,” kata Dr. Gaul. “Mari kita pikirkan
sejenak bahwa perang adalah hal yang konstan. Kon iknya mungkin naik-turun,
tapi takkan pernah benar-benar berakhir. Lalu apa yang seharusnya jadi tujuan
kita?”
“Jadi maksud Anda, takkan ada yang jadi pemenang perang ini?” tanya
desyrindah.blogspot.com

Lysistrata.
“Mari kita anggap tidak ada pemenangnya,” kata Dr. Gaul. “Kalau begitu, apa
strategi kita? 
Coriolanus menggigit bibirnya agar tidak menceploskan jawaban. Jelas sudah.
Terlalu jelas. Dia sadar, saran Tigris agar menghindari Dr. Gaul sangat tepat,
sekalipun dia mendapat pujian dari wanita itu. Seisi kelas mencerna pertanyaan
tersebut, sementara Dr. Gaul berjalan mondar-mandir di antara kursi-kursi hingga
akhirnya berhenti di depan meja Coriolanus. “Mr. Snow? Bagaimana pendapatmu
tentang apa yang harus kita lakukan dengan perang tanpa akhir ini?”
Coriolanus menenangkan diri dengan berpikir bahwa Dr. Gaul sudah tua dan
tak ada orang yang hidup selamanya.
“Mr. Snow?” desaknya. Coriolanus merasa seperti kelinci yang disodok-sodok
dengan batang besi. “Mau coba menebak jawabannya?”
“Kita mengendalikannya,” kata Coriolanus perlahan. “Kalau perang tidak
mungkin bisa diakhiri, maka selamanya kita harus mengendalikannya. Seperti
yang kita lakukan sekarang. Dengan Penjaga Perdamaian menduduki distrik-
distrik, dengan hukum yang ketat, dan mengingatkan semua orang siapa yang
berkuasa, seperti mengadakan Hunger Games ini. Dalam setiap kemungkinan
yang bisa terjadi, lebih baik kita berada di posisi yang lebih unggul, dengan
menjadi pemenang bukan menjadi yang tersungkur.”
“Meskipun dalam hal ini, jelas tidak bermoral,” gumam Sejanus.
“Tidak ada yang namanya tak bermoral saat kita harus membela diri,” tukas
Livia. “Dan siapa yang tidak mau jadi pemenang?”
“Aku tidak mau jadi salah satu di antaranya,” kata Lysistrata.
“Kalau kau pertimbangkan lagi, itu bukan pilihan,” Coriolanus mengingatkan
Lysistrata, “karena itu tidak menjawab pertanyaannya.”
“Kalau kau pertimbangkan lagi, ya, Casca?” ulang Dr. Gaul ketika berjalan
kembali ke depan. “Sedikit pertimbangan bisa menyelamatkan banyak jiwa.”
desyrindah.blogspot.com

Dekan Highbo om mencoret-coret catatannya.  Mungkin Highbo om juga sama


nasibnya seperti kelinci yang disodok besi, pikir Coriolanus, dan ingin tahu apakah
sia-sia menghabiskan waktunya menguatirkan sang dekan.
“Tapi, kita tetap bersemangat,” kata Dr. Gaul dengan riang. “Layaknya
gelombang kehidupan, perang pun ada pasang-surutnya. Dan itulah tugas kalian
selanjutnya. Tulis esai tentang segala yang menarik dalam perang. Segala yang
kalian sukai dari perang.”
Beberapa teman sekelasnya saling memandang kaget, tapi Coriolanus
bergeming. Wanita ini membuat ular-ularnya menggigit Clemensia hanya untuk
bersenang-senang. Jelas, dia menikmati penderitaan orang lain dan mungkin
berasumsi semua orang sama seperti dirinya.
Lysistrata mengerutkan kening. “Yang kita sukai?”
“Seharusnya tak butuh waktu lama memikirkannya,” kata Festus.
“Apakah ini tugas kelompok?” tanya Livia.
“Bukan, ini tugas individu. Masalah dengan tugas kelompok, biasanya hanya
satu orang yang mengerjakan semuanya,” kata Dr. Gaul sambil mengedipkan mata
pada Coriolanus sehingga membuatnya merinding. “Tapi silakan tanya pada
keluargamu. Kau mungkin akan terkejut mendengar pendapat mereka. Tulis
sejujur-jujurnya. Bawa tugas kalian pada pertemuan mentor hari Minggu.” Dia
mengeluarkan beberapa wortel dari kantongnya lalu berbalik ke arah kelinci, dan
tampak melupakan murid-muridnya.
Saat mereka sudah boleh keluar kelas, Sejanus mengikuti Coriolanus ke aula.
“Kau harus berhenti menolongku.”
Coriolanus menggeleng. “Tampaknya aku tidak bisa menahan diri, seperti gatal
yang harus digaruk.”
“Aku tidak tahu harus berbuat apa kalau kau tidak ada di sini.” Suara Sejanus
makin pelan. “Dia wanita jahat. Dia harus dihentikan.”
Coriolanus merasa apa pun upaya mereka untuk menghentikan niat Dr. Gaul
desyrindah.blogspot.com

akan sia-sia, tapi dia berusaha bersimpati. “Kau sudah berusaha.”


“Aku gagal. Aku berharap keluargaku pulang saja. Kembali ke Distrik Dua,
tempat kami seharusnya berada. Walaupun mereka tidak menginginkan kami di
sana,” kata Sejanus. “Jadi orang Capitol bakal membuatku dibunuh.”
“Ini waktu yang buruk, Sejanus. Dengan Hunger Games dan pengeboman, tak
ada seorang pun yang berbaik hati. Jangan gegabah dengan melarikan diri.” Saat
Coriolanus menepuk bahu Sejanus, dia berpikir, Aku mungkin butuh bantuanmu.
“Melarikan diri ke mana? Bagaimana caranya? Dengan apa?” tanya Sejanus.
“Tapi aku sungguh-sungguh menghargai dukunganmu. Aku berharap bisa
menemukan cara untuk berterima kasih padamu.”
Sesungguhnya ada sesuatu yang dibutuhkan Coriolanus. “Apakah kau punya
gitar yang bisa kupinjam?”
Keluarga Plinth tidak punya gitar, sehingga Coriolanus menghabiskan sepanjang
hari Rabu sore itu untuk memenuhi janjinya pada Lucy Gray. Dia bertanya kepada
beberapa orang di sekolah, tapi jawaban paling memberi harapan mungkin dari
Vipsania Sickle, mentor anak lelaki dari Distrik 7, Treech, yang melakukan pertun-
jukan dengan buah kenari di kebun binatang.
“Oh, sepertinya kami punya gitar semasa perang,” kata Vipsania Sickle padanya.
“Kucari dulu ya. Aku ingin mendengar gadismu bernyanyi lagi!” Coriolanus tidak
tahu mesti percaya pada gadis itu atau tidak; keluarga Sickle bukan tipe
penggemar musik. Vipsania mirip bibinya, Agrippina, yang menyukai persaingan.
Sepengetahuan Coriolanus, gadis itu bisa saja ingin merusak penampilan Lucy
Gray. Tetapi, bukan Vipsania saja yang bisa berpura-pura baik, karena akhirnya
Coriolanus mengatakan bahwa gadis itu penyelamatnya, lalu dia terus
melanjutkan usahanya mencari gitar.
Setelah pencariannya di Akademi berakhir dengan tangan hampa, dia teringat
pada Pluribus Bell. Barangkali pria itu punya alat musik yang tak terpakai dari
masa kejayaan kelab malam.
desyrindah.blogspot.com

Pada saat pintu di gang belakang terbuka, Boa Bell menggesekkan tubuhnya di
kaki Coriolanus dan mendengkur keras. Umur kucing itu tujuh belas tahun dan
giginya terlihat mengerikan. Dengan hati-hati dan penuh sayang, Pluribus
menggendong kucing itu ke pelukannya.
“Ah, dia selalu senang bertemu teman lama,” kata Pluribus, dan mengajak
Coriolanus masuk.
Kekalahan distrik-distrik tidak terlalu mengubah sistem perdagangan Pluribus,
karena mata pencahariannya masih berkaitan dengan penjualan barang di pasar
gelap, bahkan merambah ke barang-barang mewah. Minuman keras berkualitas,
riasan wajah, dan rokok masih sulit dicari. Distrik 1 perlahan-lahan mengalihkan
perhatian mereka untuk menyediakan kebutuhan Capitol, tapi tidak semua orang
punya akses untuk mendapatkannya, dan jika ada pun biasanya mahal. Keluarga
Snow tidak lagi menjadi pelanggan mereka, tapi sesekali Tigris datang menukar
kupon jatah makanan untuk membeli daging atau kopi, yang biasanya tak sanggup
mereka beli. Orang-orang mau membayar kemewahan dengan membeli sisa kaki
domba.
Pluribus dikenal mampu menyimpan rahasia, hingga Coriolanus tidak harus
berpura-pura kaya di hadapannya. Dia tahu kondisi keuangan keluarga Snow, tapi
tak pernah menggosipkannya atau membuat keluarga Snow merasa rendah diri.
Hari ini dia menuangkan segelas es teh untuk Coriolanus, memenuhi piringnya
dengan kue, dan menawarkan kursi untuk duduk. Mereka berbincang soal penge-
bomam dan bagaimana kejadian itu membangkingkan kenangan buruk tentang
perang, lalu obrolan beralih topik ke Lucy Gray, yang membuat Pluribus amat
terkesan.
“Kalau aku punya beberapa orang seperti dia, mungkin aku bakal berpikir untuk
membuka kembali kelabku,” kata Pluribus. “Oh, tentu saja aku tetap berdagang,
tapi aku bisa mengadakan pertunjukan pada akhir pekan. Sejujurnya, kita semua
sibuk saling membunuh sampai lupa bersenang-senang. Tapi, dia tahu caranya
desyrindah.blogspot.com

bersenang-senang. Gadismu itu.”


Coriolanus memberitahu Pluribus tentang rencana wawancara dan bertanya
apakah dia bisa meminjam gitar. “Kami akan menjaganya baik-baik, aku berjanji.
Gitarnya akan kusimpan di rumah saat tidak dimainkan Lucy Gray, dan akan
kukembalikan setelah pertunjukan.”
Pluribus tidak butuh dibujuk untuk ini. “Kau tahu, aku mengepak segalanya
setelah bom merenggut nyawa Cyrus. Bodoh, memang. Seakan aku bisa
melupakan cinta sejatiku dengan mudah.” Dia berdiri lalu memindahkan
tumpukan kardus berisi parfum, memperlihatkan pintu lemari di baliknya. Di
dalam lemari, beragam alat musik tertata rapi penuh cinta di rak-rak. Pluribus
mengeluarkan kotak kulit bersih tak berdebu dan membukanya. Aroma kayu tua
dan semir kayu tercium ketika Coriolanus melihat benda keemasan berkilau di
dalamnya. Bentuknya seperti tubuh wanita, enam dawai memanjang di lehernya
hingga ke pasak tala gitar. Pluribus memetik gitar itu perlahan. Walaupun
sumbang, tapi bunyi gitar itu menggetarkan hatinya.
Coriolanus menggeleng. “Ini terlalu bagus. Aku tidak berani ambil risiko
merusaknya.”
“Aku percaya padamu. Dan aku percaya pada gadismu. Aku ingin mendengar apa
yang bisa dihasilkannya dengan gitar ini.” Pluribus menutup kotak itu dan
menyerahkannya pada Coriolanus. “Bawalah dan katakan aku menaruh harapan
padanya. Akan lebih bagus jika dia memiliki teman di antara penonton.”
Coriolanus mengambil gitar itu dengan penuh syukur. “Terima kasih, Pluribus.
Kuharap kau membuka kelabmu lagi. Aku akan jadi pelanggan tetap.”
“Kau seperti ayahmu,” kata Pluribus sambil terkekeh. “Saat seumuranmu,
ayahmu sering membuat heboh di tempat ini setiap malam dengan si nakal Casca
Highbo om.”
Ucapan Pluribus terdengar tidak masuk akal. Ayahnya yang kaku, yang tidak
punya selera humor dan tegas, bersenang-senang di kelab malam? Dan, di antara
desyrindah.blogspot.com

semua orang yang ada di dunia ini, ayahnya bersama Dekan Highbo om? Sang
dekan tak pernah menyinggung hal tersebut, meskipun Dekan Highbo om dan
ayahnya memang seumuran. “Kau bercanda, kan?”
“Oh, tidak. Mereka sepasang anak liar,” kata Pluribus. Namun, sebelum dia
sempat menjelaskan, ada pelanggan lain yang datang.
Dengan hati-hati, Coriolanus membawa barang berharga itu ke rumah dan
meletakkannya di meja rias. Tigris dan Grandma’am terkagum-kagum melihatnya,
dan dia tidak sabar melihat reaksi Lucy Gray. Apa pun alat musik yang dimiliki
Lucy Gray di Distrik 12, pasti tidak sebanding dengan milik Pluribus.
Kepala Coriolanus sakit sehingga dia memutuskan tidur pada saat matahari
terbenam, meski tidak bisa langsung terlelap. Otaknya sibuk membayangkan
hubungan antara ayahnya dan “si nakal Casca Highbo om.” Kalau mereka
berteman, seperti kata Pluribus, hubungan baik itu sudah luntur. Dia jadi berpikir
bahwa sedekat apa pun persahabatan sang ayah pada masa clubbing itu, hubungan
mereka tidak berakhir baik. Dia perlu mencari tahu tentang ini dan menanyak-
annya pada Pluribus sesegera mungkin.
Namun, tidak ada kesempatan. Beberapa hari ke depan Coriolanus sibuk
menyiapkan Lucy Gray untuk wawancara, yang dijadwalkan pada Sabtu malam.
Setiap pasangan mentor-peserta diberi ruangan kelas untuk berlatih. Dua Penjaga
Perdamaian tetap berjaga-jaga, tapi Lucy Gray sudah tidak diborgol dan
dibelenggu. Tigris memberikan baju lamanya untuk gadis itu, dan mengatakan ji-
ka Lucy Gray memercayainya, dia bisa mencuci dan menyetrika gaun pelangi
berumbai-rumbai itu agar bisa dipakainya pada saat siaran wawancara. Lucy Gray
ragu, tapi saat Coriolanus memberikan hadiah lain dari Tigris untuknya, sepotong
sabun berbentuk bunga beraroma lavendel, dia menyuruh Coriolanus berbalik
agar dia bisa berganti pakaian.
Cara Lucy Gray memegang gitar dengan penuh sayang seakan benda itu
bernyawa, membuat Coriolanus merasa masa lalu Lucy Gray benar-benar berbeda
desyrindah.blogspot.com

dengan masa lalunya. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa hidup gadis itu.
Lucy Gray menyetem gitar itu lebih dulu lalu memainkan lagu demi lagu, seakan
laparnya pada musik sama seperti laparnya pada makanan yang dibawakan
Coriolanus. Dia membawakan makanan sebanyak yang bisa dia sisakan dari
rumah, juga berbotol-botol teh manis yang diberi sirup jagung untuk
menyegarkan kerongkongan. Pita suaranya semakin membaik pada saat malam
yang dinantikan tiba.
e Hunger Games: Malam Wawancara ditayangkan langsung di hadapan
penonton dari auditorium Akademi dan disiarkan ke seantero Panem. Acara
dipandu oleh penyiar laporan cuaca Capitol TV yang kocak, Lucretius “Lucky”
Flickerman, yang tampil norak dan berlebihan tapi pada saat yang sama terasa
pantas, menjelang segala pembunuhan yang bakal terjadi. Lucky mengenakan jas
biru berkerah tinggi dengan hiasan berlian imitasi. Rambutnya yang diberi gel di-
taburi serbuk berwarna tembaga, dan suasana hatinya tampak ceria. Tirai di
belakang panggung adalah sisa kejayaan sebelum perang, menggambarkan langit
berbintang dan berkelap-kelip.
Setelah lagu kebangsaan berkumandang, Lucky menyapa penonton yang
menyaksikan Hunger Games konsep terbaru dalam sepuluh tahun terakhir, di
mana warga Capitol bisa berpartisipasi sebagai sponsor peserta pilihan mereka.
Dalam kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir, hasil terbaik yang
mampu dilakukan tim Dr. Gaul adalah menawarkan beberapa jenis makanan
utama yang bisa dikirimkan oleh sponsor kepada para peserta.
“Anda penasaran, apa untungnya buat Anda?” tanya Lucky. Kemudian dia
menjelaskan tentang taruhan, sistem sederhana yang menunjukkan kemenangan,
urutan, dan pilihan-pilihan yang tidak asing bagi mereka yang pernah memasang
taruhan pada balap kuda semasa sebelum perang. Siapa pun yang ingin mengirim
uang untuk memberi makan peserta, atau memasang taruhan atas peserta, hanya
perlu datang ke kantor pos, dan para petugas di kantor pos akan dengan senang
desyrindah.blogspot.com

hati membantu mereka. Mulai besok, kantor pos akan buka pukul delapan pagi
sampai delapan malam, memberi waktu bagi penonton untuk memasang taruhan
sebelum Hunger Games dimulai pada hari Senin. Setelah memperkenalkan
konsep baru dalam Hunger Games, Lucky hanya perlu membacakan kartu-kartu
catatan sesuai materi wawancara. Tetapi, beberapa kali dia mengeluarkan kemam-
puan sulapnya, seperti menuang anggur dengan warna berbeda dari botol yang
sama untuk bersulang pada Capitol, dan mengeluarkan burung merpati dari
lubang lengan jasnya.
Dari pasangan mentor-peserta yang berkesempatan berpartisipasi, hanya
setengah yang menampilkan atraksi. Coriolanus meminta untuk tampil terakhir,
menyadari bahwa tak seorang pun bisa bersaing dengan Lucy Gray, dan menjadi
penampil terakhir akan menyisakan efek pada penonton. Mentor-mentor lain
menceritakan latar belakang peserta dengan menambahkan kisah mengesankan,
lalu meminta penonton untuk menjadi sponsor mereka. Untuk menunjukkan
kekuatan Jessup, Lysistrata duduk diam di kursinya sementara pemuda itu
mengangkat kursi yang diduduki
Lysistrata hingga ke atas kepalanya dengan mudah. Io Jasper tampil dengan anak
lelaki Distrik 3 bernama Circ yang berkata bisa menyalakan api dengan
kacamatanya. Dengan kecerdasan pengetahuannya, Io Jasper menyarankan pada
Circ beberapa sudut dan waktu yang tepat untuk bisa mewujudkannya. Juno
Phipps yang sombong mengaku bahwa dia kecewa mendapatkan Bobbin yang
bertubuh kecil. Bukankah sebagai seorang dari keluarga Phipps, anggota keluarga
yang membangun Capitol, dia layak mendapatkan peserta yang lebih baik
daripada Distrik 8? Tapi, Bobbin membuat Juno terpukau saat anak lelaki itu
memberitahunya lima cara untuk membunuh dengan menggunakan jarum jahit.
Coral, anak perempuan Distrik 4 yang dimentori Festus, menunjukkan
kemampuanya menggunakan trisula, senjata yang biasanya ada di arena. Dia
mendemonstrasikannya dengan menggunakan sapu, mengayunkannya dengan
desyrindah.blogspot.com

lihai hingga orang yang menyaksikan tak meragukan kemampuannya. Calon


pewaris pabrik susu, Domitia Whimsiwick, yang terbiasa bermain dengan sapi
ternyata jadi nilai lebih untuknya. Gadis berpembawaan ceria itu mendapat
peserta Distrik 10 yang berotot, Tanner, dan mereka asyik membicarakan teknik-
teknik yang dipakai di rumah jagal sampai-sampai Lucky harus menghentikan
percakapan mereka karena waktunya habis. Arachne salah besar tentang topik itu,
karena Tanner mendapat tepuk tangan paling ramai sejauh ini.
Coriolanus separo mendengarkan saat dia bersiap-siap naik panggung bersama
Lucy Gray. Felix Ravinstill, keponakan jauh presiden, berusaha menarik perhatian
dengan anak perempuan Distrik 11, Dill. Tapi, Coriolanus tidak tahu ke mana
arah yang dituju Felix, karena Dill terlihat sakit dan lemah, bahkan batuknya pun
nyaris tak terdengar.
Tigris membuat keajaiban pada gaun Lucy Gray. Kotoran dan jelaga yang
menempel di pakaiannya sudah hilang, menjelma menjadi gaun bersih dan indah
bermotif pelangi berumbai-rumbai. Tigris juga menitipkan pemerah pipi yang
sudah dibuang Fabricia, tapi masih ada sisa di bagian dasar botolnya. Dengan
tampilan bersih, pipi dan bibir merah, rambut digelung ke atas seperti pada hari
pemungutan, Lucy Gray tampak seperti seseorang yang masih tahu caranya
bersenang-senang, sebagaimana yang dikatakan Pluribus.
“Tampaknya peluangmu makin meningkat seiring waktu,” kata Coriolanus, lalu
memperbaiki letak kuntum bunga mawar pink di rambut gadis itu. Kuntum bunga
itu serasi dengan kuntum bunga di saku jasnya, sebagai pengingat bagi penonton
siapa pemilik Lucy Gray.
“Seperti kata pepatah, ‘Pertunjukan belum berakhir sampai mockingjay
bernyanyi’,” kata Lucy Gray.
“Mockingjay?” Coriolanus tertawa. “Kau pasti mengarang pepatah ini.”
“Aku tidak mengarangnya. Mockingjay burung sungguhan,” kata Lucy Gray
meyakinkannya.
desyrindah.blogspot.com

“Dan burung itu bernyanyi di pertunjukanmu?” tanya Coriolanus.


“Bukan di pertunjukanku, Sayang. Pertunjukanmu. Lebih tepatnya di Capitol,”
kata Lucy Gray. “Sepertinya sudah giliran kita.”
Dengan gaun Lucy Gray yang bersih dan seragam Coriolanus yang disetrika
rapi, penampilan mereka langsung disambut tepuk tangan meriah dari penonton.
Dia tidak mau buang-buang waktu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang tak ada gunanya kepada Lucy Gray. Coriolanus hanya memperkenalkan diri
lalu melangkah mundur, membiarkan gadis itu menjadi pusat perhatian.
“Selamat malam,” sapanya. “Namaku Lucy Gray Baird, dari Kawanan
Pengembara Baird. Aku mulai menulis lagu ini sewaktu di Distrik Dua Belas,
sebelum aku tahu akhirnya akan seperti apa. Lirik lagu ini adalah kata-kata
ciptaanku dalam lantunan melodi lama. Di tempat asalku, kami menyebutnya
balada. Lagu yang menceritakan kisah. Kurasa ini adalah ceritaku. ‘Balada Lucy
Gray Baird’. Semoga kalian menyukainya.”
Coriolanus sudah mendengar Lucy Gray menyanyikan banyak lagu selama
beberapa hari terakhir, mulai dari lagu tentang indahnya musim semi sampai lagu
sedih yang menyesakkan hati tentang kematian ibunya. Lagu pengantar tidur dan
lagu riang, lagu ratapan dan lagu konyol. Lucy Gray mendengarkan pendapat
Coriolanus, mempertimbangkan tanggapannya pada setiap lagu. Coriolanus pikir
mereka sudah sepakat dengan lagu tentang indahnya jatuh cinta, tapi mendengar
beberapa not yang dimainkan pada awal balada ini, Coriolanus tahu bahwa lagu ini
bukan lagu yang dilatihnya. Lantunan melodi yang menggugah kepedihan dan
lirik lagunya mengoyak hati ketika Lucy Gray mulai bernyanyi dengan suara serak
karena asap dan kesedihan.
Semasa bayi aku terjatuh ke ceruk.
Semasa dewasa aku terjatuh ke pelukanmu.
Kita mengalami masa-masa sulit dan kehilangan warna kita yang ceria.
desyrindah.blogspot.com

Keadaanmu memburuk dan aku hidup dari pesonaku.


Aku berdansa demi makan malam, menebar ciuman semanis  madu.
Kau mencuri, kau berjudi, dan kubilang sudah seharusnya kau begitu.
Kita bernyanyi demi makan malam, kita menghabiskan uang
dengan minum-minum.
Lalu suatu hari kau pergi, kau bilang aku manusia nista.
Yah, memang aku hina, tapi kau juga bukan manusia sempurna
Memang, aku hina, dan semua orang juga tahu.
Kau bilang kau takkan mencintaiku, aku juga takkan mencintaimu
Biar kuingatkan padamu apa artiku bagimu.
Karena akulah yang menjagamu saat kau melompat.
Akulah yang tahu betapa beraninya dirimu. 
Dan akulah yang mendengar igauanmu.
Akan kubawa semua itu sampai ke liang lahat.
Takkan lama lagi waktuku menuju liang kubur tiba.
Takkan lama lagi kau akan sendirian.
Aku bertanya-tanya, kepada siapa kau akan berpaling nantinya?
Karena saat waktuku tiba, Kekasih, kau akan sendirian.
Hanya akulah orang yang kauizinkan melihatmu menangis.
Aku tahu jiwa yang berusaha kau selamatkan.
Sayangnya kau kalah saat memasang taruhan pada diriku di hari pemungutan.
Nah, apa yang akan kaulakukan saat tiba waktuku di liang kubur?
Auditorium hening senyap saat Lucy Gray selesai bernyanyi. Kemudian
terdengar beberapa orang terisak, ada yang batuk-batuk, dan akhirnya terdengar
suara Pluribus berteriak “Bravo” dari bagian belakang auditorium diikuti tepuk
tangan bergemuruh,
Coriolanus tahu bahwa lagu itu berhasil. Lagu yang kelam, mengharukan, dan
desyrindah.blogspot.com

masuk ke ranah yang amat pribadi dalam hidup Lucy Gray. Dia tahu hadiah demi
hadiah akan tercurah ke arena untuk gadis itu. Keberhasilan Lucy Gray, bahkan
pada saat ini, memantul pada dirinya, membuat ini sebagai keberhasilan
Coriolanus juga. Snow mendarat di puncak. Coriolanus tahu seharusnya dia
merasa bangga atas kesuksesan ini, dalam hati dia berjingkrak riang sementara
wajah dan pembawaannya tetap tenang dan rendah hati.
Namun, yang sesungguhnya dia rasakan adalah cemburu.
desyrindah.blogspot.com
12

“Dan terakhir tapi tak kalah pentingnya, gadis Distrik Dua Belas… milik Coriolanus
Snow.”
“Hasilnya akan berbeda kalau kau tidak punya gadis pelangi kecil itu.”
“Sejujurnya, kita semua sibuk saling membunuh sampai kita lupa bersenang-senang.
Tapi, dia tahu caranya bersenang-senang. Gadismu itu.”
Gadisnya. Miliknya. Di sini di Capitol, Lucy Gray adalah miliknya, seakan gadis
itu tidak punya kehidupan sebelum namanya dipanggil pada hari pemungutan.
Bahkan Sejanus yang sok suci itu percaya bisa menukar Lucy Gray dengan
pesertanya. Kalau itu bukan hak kepemilikan, mana mungkin Sejanus bisa
mengajukan ide tersebut? Dengan lagunya tadi, Lucy Gray telah menyangkal
segala bentuk kepemilikan itu dengan menunjukkan bahwa dia memiliki kehi-
dupan yang tidak ada kaitannya dengan Coriolanus, bahkan berkaitan erat dengan
orang lain. Orang lain yang disebutnya sebagai “kekasih”. Memang dia tidak punya
hak kepemilikan atas hati gadis itu lagi pula dia nyaris tidak mengenalnya! tapi
Coriolanus tidak suka ada orang lain yang mendapat tempat di hati Lucy Gray.
Meskipun lagu tadi nyata-nyatanya berhasil, entah bagaimana Coriolanus merasa
dikhianati. Bahkan merasa dipermalukan.
Lucy Gray berdiri dan membungkuk memberi hormat, lalu dia mengulurkan
tangan kepada Coriolanus. Setelah ragu sejenak, Coriolanus bergabung
dengannya di depan panggung sementara penonton bertepuk tangan sambil
berdiri. Pluribus berteriak meminta Lucy Gray bernyanyi lagi, tapi Lucky
desyrindah.blogspot.com

Flickerman mengingatkan bahwa waktu mereka sudah habis, sehingga mereka


membungkuk memberi hormat terakhir kali lalu berjalan turun dari panggung,
bergandengan tangan.
Ketika mereka sampai di sisi panggung, Lucy Gray mulai melepaskan
tangannya, tapi Coriolanus malah mempererat genggamannya. “Wah, kau
memukau penonton. Selamat! Lagu baru?”
“Aku sudah mengerjakannya lumayan lama, tapi baru beberapa jam yang lalu aku
mendapat ide untuk bait terakhir,” terangnya. “Kenapa? Kau suka, tidak?”
“Aku cuma kaget. Kau punya banyak simpanan lagu,” katanya.
“Betul sekali.” Lucy Gray melepaskan tangannya dari genggaman Coriolanus lalu
jemarinya mengelus dawai gitar, memetiknya terakhir kali sebelum
mengembalikan alat musik itu ke kotaknya dengan hati-hati. ”Ini masalahnya,
Coriolanus. Aku akan bertarung habis-habisan untuk memenangkan Hunger
Games, tapi aku akan berada di sana bersama orang-orang seperti Reaper dan
Tanner dan yang lainnya, yang sudah biasa membunuh. Tak ada jaminan atas apa
pun.”
“Dan tentang lagu tadi?” tanya Coriolanus masih penasaran.
“Lagu tadi?” ulang Lucy Gray, tampak berpikir sebelum menjawab. “Ada urusan
yang belum selesai di Distrik Dua Belas. Saat aku jadi peserta… Yah, ada yang
namanya nasib buruk dan ada perkara buruk. Itu perkara buruk. Ada orang yang
berutang banyak padaku. Lagu tadi semacam pembalasan. Banyak orang yang
tidak mengerti, tapi kaum Pengembara akan paham pesanku, amat jelas. Hanya
mereka yang kupikirkan.”
“Hanya dengan sekali dengar?” tanya Coriolanus. “Lagu tadi berakhir dengan
cepat.”
“Sepupuku, Maude Ivory, hanya perlu sekali dengar. Anak itu tak pernah
melupakan apa pun yang ada musiknya,” kata Lucy Gray. “Sepertinya aku sudah
dipanggil.”
desyrindah.blogspot.com

Dua lelaki Penjaga Perdamaian yang tiba di sisi Lucy Gray memperlakukannya
dengan keramahan yang berbeda sekarang, menanyakan apakah Lucy Gray sudah
siap dan mereka berusaha menahan senyum. Sama seperti para Penjaga
Perdamaian di Dua Belas. Coriolanus penasaran seramah apa Lucy Gray?
Coriolanus memandang tidak senang pada mereka, tapi tak ada gunanya karena
dia mendengar mereka memuji penampilan Lucy Gray saat membawa gadis itu
pergi.
Coriolanus menelan kejengkelannya dan menerima ucapan selamat dari banyak
orang. Mereka membantunya untuk mengingat lagi bahwa dialah bintang
sesungguhnya malam itu. Bahkan jika Lucy Gray melenceng dari tujuan utama
mereka, di mata Capitol gadis itu adalah miliknya. Perasaannya membuncah
senang sampai dia berpapasan dengan Pluribus yang bicara penuh semangat.
“Bakatnya luar biasa, alami sekali! Kalau dia bisa selamat, aku bertekad
menjadikannya bintang di kelabku.”
“Kedengarannya sulit. Bukankah mereka akan memulangkannya?” tanya
Coriolanus.
“Aku bisa minta bantuan di sana-sini,” kata Pluribus. “Oh, Coriolanus, bukankah
dia bintangnya? Aku bersyukur kau mendapatkannya, Nak. Keluarga Snow
memang beruntung.”
Orang tua bodoh yang memakai wig konyol dengan kucing renta. Tahu apa si
tua itu? Coriolanus hendak menjelaskan, saat Satyria muncul dan berbisik di
telinganya, “Kurasa kau dapat jagoannya,” dan Coriolanus pun terdiam.
Sejanus muncul, mengenakan jas baru sambil menggandeng wanita keriput
bertubuh kecil dengan gaun mahal berbunga-bunga. Semua orang bisa
memakaikan gaun pesta pada lobak, dan lobak itu tetap saja minta dibanting.
Coriolanus yakin ini pasti Ma.
Saat Sejanus memperkenalkan mereka, Coriolanus mengulurkan tangan dan
tersenyum hangat pada wanita itu. “Mrs. Plinth, senang bertemu Anda. Maa an
desyrindah.blogspot.com

kelalaianku. Sudah berhari-hari aku bermaksud mengirim surat sebagai ungkapan


terima kasih, tapi setiap kali aku duduk untuk menulis, kepalaku sakit karena efek
gegar otak sehingga aku tidak tahu harus menulis apa. Terima kasih atas casserole-
nya yang lezat.”
Mrs. Plinth tersenyum senang lalu tertawa malu. “Itu dari kami untuk berterima
kasih padamu, Coriolanus. Kami bersyukur Sejanus punya teman yang baik. Kalau
kau butuh apa pun, kau bisa mengandalkan kami.”
“Sama-sama, Bu. Aku siap melayani Anda,”  kata Coriolanus, dengan nada
dilebih-lebihkan yang pasti membuat ibu Sejanus curiga. Tapi Ma tidak curiga.
Matanya basah karena air mata dan dia terisak, terharu karena kebaikan budi
Coriolanus. Ma mencari-cari ke dalam tas tangannya, benda jelek seukuran
dompet kecil, lalu mengeluarkan saputangan berenda, dan membersitkan
hidungnya ke saputangan itu. Untungnya, Tigris yang tulus bersikap manis pada
semua orang datang ke belakang panggung untuk mencarinya, lalu
mengobrol dengan keluarga Plinth.
Setelah acara bubar, Tigris dan Coriolanus berjalan pulang bersama sambil
berdiskusi tentang acara malam itu, mulai dari Lucy Gray yang hanya sedikit
menggunakan pemerah pipi sampai gaun jelek yang dipakai Ma. “Sungguh, Coryo,
aku tidak bisa membayangkan keadaan yang lebih baik daripada sekarang ini,” kata
Tigris.
“Jelas aku senang,” kata Coriolanus. “Menurutku kita akan mendapatkan
sponsor untuknya. Aku hanya berharap tidak ada yang merasa keberatan dengan
lagu itu.”
“Aku terharu mendengar lagunya. Kurasa banyak orang juga merasakan hal yang
sama. Kau tidak menyukainya?” tanya Tigris.
“Tentu saja aku menyukainya, tapi aku lebih berpikiran terbuka,” kata
Coriolanus. “Maksudku, menurutmu kejadian apa yang tersirat dalam lagu itu?”
“Kedengarannya dia mengalami masa sulit. Seseorang yang dia cintai
desyrindah.blogspot.com

membuatnya patah hati,” jawab Tigris.


“Itu hanya setengah dari lagunya,” lanjut Coriolanus, karena dia tidak mau
sepupunya berpikir bahwa dia cemburu pada seorang pecundang di distrik. “Ada
bagian tentang dia hidup dari pesonanya.”
“Yah, itu maknanya bisa bermacam-macam. Lagi pula, dia kan penyanyi,” kata
Tigris.
Coriolanus mempertimbangkan pendapat Tigris. “Ya, kurasa begitu.”
“Kau bilang dia sudah tidak punya orangtua. Dia mungkin harus menghidupi
diri sendiri selama bertahun-tahun. Kurasa, siapa pun yang selamat dari perang tak
bisa menyalahkan dia atas usahanya untuk bertahan hidup selama bertahun-tahun
kemudian.” Tigris menunduk. “Kita semua melakukan perbuatan yang tidak kita
banggakan.”
“Tapi kau tidak,” kata Coriolanus.
“Masa?” Tigris bicara dengan kegetirannya yang tidak biasa. “Kita semua
melakukannya. Mungkin kau terlalu kecil untuk mengingatnya. Mungkin kau
tidak tahu seberapa buruk keadaan sesungguhnya saat itu.”
“Bisa-bisanya kau bilang begitu? Cuma masa itu yang kuingat,” sahut
Coriolanus.
“Kalau begitu, bersikaplah lebih baik, Coryo,” bentak Tigris. “Dan jangan
mencemooh orang-orang yang harus memilih antara kematian dan aib.”
Teguran Tigris mengejutkannya, tapi tidak semengejutkan pernyataan Tigris
yang menyinggung tentang perbuatan yang dianggap aib. Apa yang telah
dilakukan Tigris? Karena jika dia melakukannya, pasti itu untuk melindungi
Coriolanus. Dia memikirkan suatu pagi pada hari pemungutan, saat dia bertanya-
tanya apa yang ditukar
Tigris di pasar gelap, tapi dia tidak pernah serius memikirkannya. Atau sebenarnya
dia sudah tahu? Apakah dia memilih untuk tidak mau tahu pengorbanan macam
apa yang rela dilakukan Tigris untuknya? Tigris memang tidak mengatakannya
desyrindah.blogspot.com

dengan jelas, dan banyak hal yang dianggap hina bagi keluarga Snow, seperti juga
anggapannya terhadap lagu Lucy Gray. “Yah, itu maknanya bisa
macam-macam.” Apakah dia ingin tahu yang sebenarnya secara terperinci? Tidak.
Sejujurnya dia tidak mau tahu.
Ketika Coriolanus membuka pintu kaca gedung apartemen,
Tigris menjerit kaget. “Oh, ya ampun! Elevatornya berfungsi!”
Coriolanus ragu, karena benda itu sudah tidak berfungsi sejak awal masa perang.
Namun, pintu elevator terbuka dan cahaya lampu di dalamnya terpantul di
dinding-dinding kaca gerbong elevator. Dia lega karena perhatian mereka teralih,
lalu dia membungkuk, mengundang Tigris untuk masuk ke elevator. “Silakan.”
Tigris tergelak dan berjalan masuk ke gerbong layaknya wanita anggun yang
terhormat. “Terima kasih.”
Coriolanus masuk setelahnya, dan sejenak mereka hanya memandangi tombol-
tombol penujuk lantai. “Terakhir kalinya elevator ini berfungsi adalah setelah
pemakaman ayahku. Kita pulang naik elevator, dan setelah itu kita selalu pakai
tangga.”
“Grandma’am pasti senang,” kata Tigris. “Lututnya sudah tidak kuat untuk naik-
turun tangga.”
“Aku senang. Barangkali sesekali Grandma’am bisa keluar dari apartemen,” kata
Coriolanus. Tigris memukul lengannya sambil tertawa. “Sungguh. Bakal
menyenangkan kalau kita bisa di apartemen tanpa Grandma’am sebentar saja.
Mungkin kita tidak perlu mendengar lagu kebangsaan pada pagi hari, atau tidak
perlu memakai dasi saat makan malam. Tapi, bahaya juga kalau dia mulai bicara
dengan orang-orang. ‘Saat Coriolanus jadi presiden, setiap Selasa akan hujan sam-
panye!’”
“Mungkin orang-orang akan mengabaikannya karena dia sudah tua,” kata Tigris.
“Ya, mungkin saja. Baiklah, dipersilakan kepada yang mulia untuk menekan
tombolnya,” kata Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com

Tigris mengulurkan tangan dan menekan tombol menuju griya tawang. Pintu
elevator menutup tak lama kemudian tanpa ada bunyi derit, lalu mereka mulai
bergerak naik. ”Aku heran kenapa dewan pengurus apartemen memutuskan untuk
memperbaikinya sekarang. Pasti mahal biayanya.”
Coriolanus mengerutkan dahi. “Apakah menurutmu mereka memperbaiki
gedung ini dengan harapan bisa menjualnya? Kau tahu, kan, dengan adanya pajak
baru itu.”
Keceriaan di wajah Tigris langsung lenyap. “Mungkin saja. Aku tahu keluarga
Doli le berpikir untuk menjual apartemen mereka jika mendapat tawaran harga
yang cocok. Mereka bilang apartemennya terlalu besar untuk mereka, tapi kita
tahu bukan itu alasannya.”
“Apakah kita juga akan bilang begitu? Rumah warisan keluarga kita jadi terlalu
besar?” tanya Coriolanus ketika pintu elevator terbuka dan memperlihatkan pintu
depan apartemen mereka. “Ayo, aku masih ada pekerjaan rumah.”
Grandma’am sedang menunggu untuk melantunkan pujian-
pujian bagi Coriolanus dan mengatakan bahwa stasiun televisi memutar bagian-
bagian penting dari wawancara itu, berulang-ulang tanpa henti. “Dia anak yang
menyedihkan dan kampungan, gadismu itu, tapi anehnya menarik dengan gayanya
sendiri. Mungkin karena suaranya. Entah bagaimana suaranya merasuk ke dalam
hatimu.”
Jika Lucy Gray bisa memenangkan hati Grandma’am, Coriolanus merasa
seluruh negeri juga merasa seperti itu. Kalau yang lain tak merasa terusik dengan
masa lalu gadis itu, kenapa dia mesti resah memikirkannya?
Coriolanus mengambil segelas susu mentega, mengganti pakaiannya dengan
jubah sutra milik ayahnya, dan duduk untuk menulis tentang segala yang dia sukai
dari perang. Dia mulai menulis, Kata mereka, perang adalah penderitaan, tapi ada
pesona dalam perang. Baginya, kalimat pembuka itu terlihat cerdas, tapi dia tidak
bisa melanjutkannya, dan setengah jam kemudian tulisannya mandek. Seperti kata
desyrindah.blogspot.com

Festus, ini tugas yang sangat singkat. Tapi dia tahu itu tidak akan memuaskan Dr.
Gaul, dan usaha setengah hati hanya akan membuatnya mendapat perhatian yang
tak diinginkannya.
Saat Tigris masuk untuk mengucapkan selamat tidur, dia melempar topik itu
padanya. “Apakah kau ingat ada yang kita sukai dari perang?”
Tigris duduk di tepi ranjang dan memikirkannya. “Aku menyukai seragamnya.
Bukan seragam yang mereka pakai sekarang. Kau ingat jaket merah dengan hiasan
tali emas?”
“Saat parade?” Dia merasakan sensasi kegembiraan ketika mengingat momen di
jendela menunggu para tentara dan pasukannya berjalan berbaris. “Apakah aku
menyukai parade?”
“Kau sangat menyukainya. Kau tidak sabar melihat mereka sampai kami tidak
bisa menyuruhmu sarapan,” kata Tigris. “Kita selalu berkumpul pada hari-hari
parade.”
“Duduk di kursi barisan depan.” Coriolanus menulis kata seragam dan parade di
secarik kertas, lalu menambahkan kembang api. “Apa ada tontonan yang kusukai
semasa aku kanak-kanak?”
“Ingat soal kalkun?” tanya Tigris tiba-tiba.
Saat itu tahun terakhir perang, ketika gencatan senjata membuat Capitol
tersungkur dalam keputusasaan dan kanibalisme. Bahkan kacang kara pun sulit
dicari, dan sudah berbulan-bulan tidak ada daging di meja makan mereka. Untuk
meningkatkan semangat, Capitol mengumumkan tanggal 15 Desember sebagai
Hari Pahlawan Nasional. Mereka menayangkan acara spesial di televisi dan
memberikan penghormatan bagi puluhan warga Capitol yang tewas membela Ca-
pitol, salah satunya termasuk ayah Coriolanus, Jenderal Crassus Snow. Listrik
menyala tepat pada saat siaran televisi dimulai. Sehari sebelumnya listrik padam
sepanjang hari, sehingga mereka tidak bisa menyalakan penghangat udara. Mereka
berpelukan bersama di ranjang Grandma’am sambil menonton penghomatan
desyrindah.blogspot.com

kepada para pahlawan. Pada saat itu, ingatan Coriolanus pada ayahnya sudah me-
mudar. Meskipun dari foto dia tahu wajah ayahnya seperti apa, dia tetap terkejut
mendengar suara ayahnya yang dalam dan kata-katanya yang keras terhadap
distrik-distrik. Setelah lagu kebangsaan berkumandang, ketukan di pintu depan
membangunkan mereka dari ranjang. Di ambang pintu, berdiri tiga tentara muda
berseragam mengantar plakat peringatan dan keranjang berisi sepuluh kilogram
daging kalkun beku, hadiah dari negara. Untuk menunjukkan kemewahan ala
Capitol, di dalam keranjang juga terdapat selai mint yang botolnya berdebu,
sekaleng salmon, tiga batang permen nanas, spons mandi, dan lilin beraroma
bunga. Tentara-tentara itu menaruh keranjang di meja ruang depan, membacakan
pernyataan terima kasih, lalu pamit. Tigris langsung menangis terharu, dan
Grandma’am terduduk, sedangkan yang dilakukan Coriolanus adalah berlari dan
memastikan pintu sudah terkunci untuk melindungi kekayaan baru mereka.
Mereka makan salmon dengan roti panggang dan memutuskan agar keesokan
harinya Tigris di rumah saja tak usah ke sekolah untuk memikirkan cara memasak
kalkun itu. Coriolanus mengirim undangan makan malam yang ditulis di kertas
berlambang keluarga Snow kepada Pluribus, yang datang membawa sebotol
minuman posca dan sekaleng aprikot yang sudah penyok. Dengan bantuan buku
resep lama peninggalan Koki, Tigris berhasil membuktikan kemampuannya, dan
mereka menikmati kalkun dibalur selai mint dengan roti dan isian kubis. Mereka
tak pernah makan makanan selezat itu.
“Itu salah satu hari terbaik dalam hidupku.” Coriolanus tidak tahu kata yang
tepat untuk menjelaskannya, tapi akhirnya dia menulis lepas dari kemiskinan di
da ar itu. “Caramu memasak kalkun itu menakjubkan. Pada saat itu kau tampak
dewasa di mataku, padahal sesungguhnya kau masih kecil,” kata Coriolanus.
Tigris tersenyum. “Kau juga. Dengan taman kemenanganmu di atap.”
“Kalau kau suka peterseli, akulah orang yang kaucari!” Coriolanus tertawa. Dan
dia bangga dengan peterselinya. Bumbu itu menambah cita rasa sup, dan kadang-
desyrindah.blogspot.com

kadang dia membarternya dengan barang lain. Panjang akal, dia menuliskannya di
da ar itu.
Akhirnya Coriolanus melanjutkan menulis tugasnya sembari mengenang
kesenangan-kesenangan masa kecilnya. Tetapi setelah selesai, dia masih kurang
puas. Dia memikirkan kejadian beberapa minggu terakhir, dengan pengeboman di
arena, kematian
teman-teman sekelasnya, pelarian Marcus, dan bagaimana semua itu mem-
bangkitkan kembali kengerian yang dia rasakan saat Capitol diserang. Yang
terpenting saat itu, dan masih yang terpenting saat ini, adalah hidup tanpa rasa
takut. Jadi dia menambahkan satu paragraf tentang kelegaannya  karena telah
memenangkan perang dan kepuasannya melihat musuh-musuh Capitol yang telah
memperlakukannya dengan kejam serta merenggut banyak hal dari keluarganya,
kini sudah jatuh tersungkur. Tak berdaya. Tertatih-tatih. Tak bisa melukainya lagi.
Dia menyukai perasaan aman yang berasal dari kekalahan distrik-distrik. Rasa
aman yang hanya bisa dihasilkan dari kekuasaan. Kemampuan untuk
mengendalikan banyak hal. Ya, itu hal yang paling disukainya.
Keesokan paginya, saat mentor-mentor yang tersisa berjalan masuk dengan
lunglai untuk pertemuan hari Minggu, Coriolanus berusaha membayangkan akan
jadi apa mereka jika tak ada perang. Mereka masih balita saat perang dimulai, dan
umur mereka delapan tahun saat perang usai. Meskipun masa-masa sulit sudah
berkurang, dia dan teman-teman sekelasnya masih jauh dari kemakmuran hidup
yang pernah ada saat mereka lahir. Dan membangun kembali dunia mereka terasa
lambat dan membuat mereka berkecil hati. Kalau dia bisa menghapus pembagian
ransum makanan dan pengeboman, kelaparan dan ketakutan, dan menukarnya
dengan kehidupan sejahtera yang dijanjikan pada mereka saat lahir, apakah dia
akan mengenal teman-temannya?
Coriolanus merasa bersalah saat pikirannya tertuju pada Clemensia. Dia belum
menjenguk gadis itu di tengah kesibukannya untuk memulihkan diri, pekerjaan
desyrindah.blogspot.com

rumah, dan menyiapkan Lucy Gray untuk Hunger Games. Sebenarnya bukan
karena dia tidak punya waktu. Dia tidak mau kembali ke rumah sakit dan melihat
kondisi Clemensia. Bagaimana kalau dokter itu berbohong dan sisik Clemensia
sudah menyebar ke sekujur tubuh? Bagaimana jika gadis itu sudah berubah
menjadi ular? Tidak masuk akal sebenarnya, tapi laboratorium Dr. Gaul sangat
mengerikan sehingga pikirannya pun jadi berlebihan. Paranoia menghantuinya.
Bagaimana jika orang suruhan Dr. Gaul menunggunya saat dia menjenguk
Clemensia agar mereka bisa memenjarakannya juga? Memang ini tidak masuk
akal. Kalau mereka mau menahannya, saat yang tepat adalah ketika dia dirawat di
rumah sakit. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa semua hanyalah pikiran
konyolnya. Saat ada kesempatan, Coriolanus akan ke rumah sakit menjenguk
Clemensia.
Dr. Gaul tampak jelas tipe manusia pagi, kebalikan dari Dekan Highbo om
mulai mengulas penampilan tadi malam. Coriolanus dan Lucy Gray unggul di atas
semuanya, meskipun poin diberikan bagi mentor yang berhasil membuat
pesertanya bersedia tampil di panggung untuk wawancara. Di Capitol TV, Lucky
Flickerman memberi informasi tentang bursa taruhan dari kantor pos pusat. Me-
reka menjagokan Tanner dan Jessup sebagai pemenang, tapi Lucy Gray mendapat
hadiah tiga kali lebih banyak daripada pesaing terdekatnya.
“Lihat orang-orang ini,” kata Dr. Gaul. “Mengirim makanan untuk gadis yang
patah hati, walaupun mereka tidak yakin dia bisa menang. Apa pelajaran yang bisa
kita petik di sini?”
“Di adu anjing, aku pernah lihat orang menjagokan anjing kampung yang berdiri
pun susah,” kata Festus. “Orang-orang menyukai mereka yang tak diperhitungkan
dan berhasil menjadi pemenang.”
“Lebih tepatnya, orang-orang menyukai lagu cinta,” kata
Persephone, sambil tersenyum menunjukkan lesung pipinya.
“Orang-orang bodoh,” gerutu Livia. “Gadis itu tidak bakal menang.”
desyrindah.blogspot.com

“Tapi banyak orang-orang yang romantis.” Pup mengedipkan mata pada Livia
dan membuat bunyi seperti orang berciuman. “Ya, gagasan romantis, gagasan
idealis, bisa sangat menarik. Ini sepertinya segmen yang bagus dalam esai kalian.”
Dr. Gaul duduk di bangku laboratorium. “Coba kulihat tulisan kalian.”
Bukannya mengumpulkan esai mereka, Dr. Gaul meminta mereka membacakan
isinya keras-keras. Teman-teman sekelas Coriolanus menyinggung beberapa poin
yang tak terpikir olehnya. Beberapa orang menyebut tentang keberanian para
tentara, dan adanya kesempatan mungkin suatu hari mereka bisa melakukan
tindakan heroik. Teman-temannya yang lain menyebut tentang ikatan yang ter-
bentuk antara para tentara yang berjuang bersama, serta adanya kehormatan
dalam membela Capitol.
“Rasanya kita menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar,” kata Domitia. Dia
mengangguk takzim, sampai kuncir ekor kuda di atas kepalanya bergoyang-
goyang. “Sesuatu yang penting. Kita semua berkorban, dan kita melakukannya
untuk menyelamatkan negara kita.”
Coriolanus merasa tidak terkoneksi dengan “gagasan romantis”, karena dia tidak
melihat pandangan romantis dari perang. Keberanian di medan perang sering
diperlukan karena perencanaan buruk dari orang lain. Dia tidak tahu apakah dia
mau menyabung nyawa demi Festus dan tidak kepingin mencari tahu. Dan apakah
mereka benar-benar percaya tentang gagasan mulia Capitol? Yang diinginkan
Coriolanus tidak berkaitan dengan kemuliaan, tapi tentang kontrol. Bukan berarti
dia tidak punya faktor moral yang kuat. Jelas, dia memilikinya. Tetapi, hampir
segala yang terjadi dalam perang, mulai dari pernyataan perang hingga parade
kemenangan, tampaknya hanya membuang-buang sumber daya. Dia memandang
jam dinding sambil pura-pura terlibat dalam percakapan, berharap waktu berlalu
agar dia tidak perlu membaca apa pun. Parade terdengar dangkal, daya tariknya
terhadap kekuasaan masih nyata, tapi terasa tak berperasaan dibandingkan ocehan
teman-temannya. Dan dia berharap tidak menulis bagian tentang menanam
desyrindah.blogspot.com

peterseli, yang sekarang terdengar kekanak-kanakan.


Ketika gilirannya tiba, yang dia lakukan adalah membacakan bagian tentang
kalkun. Domitia mengatakan bahwa dia terharu, Livia memutar bola matanya, dan
Dr. Gaul mengangkat alis lalu bertanya apakah ada lagi yang mau dia bacakan?
Coriolanus menjawab tidak ada.
“Mr. Plinth?” kata Dr. Gaul.
Sejak kelas dimulai, Sejanus diam dan menunduk. Dia membalik selembar
kertas dan membaca, “Satu-satunya hal yang kusukai dari perang adalah kenyataan
bahwa aku masih hidup di rumah. Kalau pertanyaan Anda apakah perang punya
nilai lebih daripada itu, jawabanku adalah kesempatan untuk memperbaiki
beberapa kesalahan.”
“Apakah berhasil?” tanya Dr. Gaul.
“Sama sekali tidak. Keadaan di distrik-distrik lebih buruk daripada sebelum
perang,” kata Sejanus.
Terdengar bantahan di sana-sini di dalam kelas.
“Wah!”
“Dia serius bilang begitu?”
“Kembali saja ke Distrik Dua, kalau begitu! Tak ada yang mau kau di sini.”
Dia sudah kelewat batas, pikir Coriolanus. Tapi dia juga marah. Perang
membutuhkan dua pihak. Perang yang dimulai oleh para pemberontak. Perang
yang menjadikannya yatim piatu.
Namun, Sejanus mengabaikan komentar teman-temannya, dan memusatkan
perhatian pada Kepala Pengawas Permainan. “Boleh saya tahu, apa yang Anda
sukai dari perang, Dr. Gaul?”
Dr. Gaul memandang Sejanus lama, lalu tersenyum. “Aku senang karena perang
membuktikan aku benar.”
Dekan Highbo om mengumumkan jeda makan siang sebelum ada yang
menyeletuk dengan bertanya, benar tentang apa? Kemudian mereka berbaris
desyrindah.blogspot.com

keluar, meninggalkan esai mereka di meja.


Mereka diberi waktu setengah jam untuk makan, tapi Coriolanus lupa
membawa makanan, dan kantin sekolah tak menyediakan makanan karena hari itu
hari Minggu. Dia menghabiskan waktu berbaring di tempat yang teduh di dekat
tangga depan, menyandarkan kepalanya sementara Festus dan Hilarius
Heavensbee, yang menjadi mentor anak perempuan Distrik 8, mendiskusikan
berbagai strategi untuk peserta-peserta perempuan. Coriolanus samar-samar
mengingat peserta Hilarius di stasiun kereta, mengenakan baju bergaris-garis dan
syal merah, tetapi yang paling dia ingat adalah karena anak perempuan itu bersama
Bobbin.
“Masalahnya dengan anak perempuan adalah mereka tidak bertarung dengan
cara yang sama seperti laki-laki,” kata Hilarius. Keluarga Heavensbee adalah
keluarga superkaya, dengan level kekayaan yang sama seperti keluarga Snow
sebelum perang. Namun, seberapa pun banyaknya kelebihan yang dimiliki
keluarganya, Hilarius selalu merasa tertekan.
“Oh, aku tidak tahu,” kata Festus. “Kurasa pesertaku, Coral, bisa menghajar
anak-anak lelaki itu.”
“Pesertaku kecil.” Hilarius mencomot sandwich steik Festus dengan jemari yang
kukunya dimanikur rapi. “Dia menyebut dirinya Wovey. Aku sudah berusaha
melatih si Wovey ini untuk wawancara, tapi kepribadiannya nol besar. Tak ada
seorang pun yang mau menyokongnya, aku tidak bisa memberinya makan, bahkan
jika dia bisa menghindar dari peserta lain.”
“Kalau dia bertahan hidup, dia akan dapat penyokong,” kata Festus.
“Kau dengar aku, tidak? Gadis itu tidak bisa bertarung, dan uangku tidak bisa
dipakai karena keluargaku tidak boleh bertaruh,” rengek Hilarius. “Aku hanya
berharap dia bisa bertahan sampai dua belas besar agar aku masih punya muka di
depan keluargaku. Mereka sudah malu seorang Heavensbee mendapat peserta
seburuk itu.”
desyrindah.blogspot.com

Setelah makan siang, Satyria mengajak para mentor ke kantor berita Capitol
News agar mereka bisa berkenalan dengan mesin penggerak Hunger Games di
belakang layar. Para Pengawas Permainan bekerja di ruangan-ruangan kantor yang
jorok. Walaupun ruang kendali muat menampung mereka, tapi tampak terlalu
kecil untuk acara tahunan rutin. Coriolanus agak kecewa melihat semua itu dia
membayangkan sesuatu yang lebih megah tapi para Pengawas Permainan
bersemangat dengan adanya elemen-elemen baru dalam Hunger Games tahun ini
dan terus berceloteh tentang komentar mentor dan partisipasi sponsor. Ruangan
itu terasa sesak ketika mereka memeriksa kamera-kamera yang dioperasikan
secara jarak jauh, yang merupakan peralatan tetap sejak tempat itu masih jadi are-
na olahraga. Enam orang Pengawas Perdamaian sibuk menguji drone-drone
 mainan yang akan digunakan untuk mengirim hadiah-hadiah dari sponsor. Drone
itu bisa mencari penerima hadiah dengan teknologi pengenalan wajah dan bisa
membawa hanya satu barang setiap kali terbang.
Berkat keberhasilannya memandu wawancara di televisi, Lucky Flickerman
diminta menjadi pembawa acara didukung tim reporter Capitol News. Coriolanus
girang melihat dia dijadwalkan pukul 08.15 besok pagi, sampai Lucky berkata,
“Kami ingin memastikan kau sudah siap pagi-pagi. Yah, kau tahu kan, sebelum
gadismu percaya dia bisa menang.”
Coriolanus merasa ulu hatinya seperti kena tonjok. Livia memang sengit dan Dr.
Gaul jelas sinting, jadi dia bisa mengabaikan mereka saat mengatakan bahwa Lucy
Gray bukan tandingan. Namun, kata-kata Lucky Flickerman dengan penampilan
absurdnya langsung mengenai sasaran. Ketika dia berjalan pulang ke apartemen
untuk menyiapkan pertemuan terakhirnya dengan Lucy Gray, dia merenungkan
kemungkinan bahwa gadis itu akan tewas besok. Segala perasaannya kemarin
malam, cemburu pada pecundang yang menjadi kekasih Lucy Gray dan kualitas
bintang Lucy Gray yang menerangi dirinya, lenyap sudah. Dia merasa amat dekat
dengan Lucy Gray, gadis yang masuk ke dalam hidupnya secara tak terduga dan
desyrindah.blogspot.com

memancarkan pesona. Dan itu bukan karena penghargaan yang diberikan gadis
itu padanya. Coriolanus sungguh-sungguh menyukai Lucy Gray, yang tak pernah
dia rasakan pada gadis-gadis yang dikenalnya di Capitol. Jika Lucy Gray selamat
oh, ini hanya berandai-andai bagaimana caranya agar mereka bisa memiliki
hubungan jangka panjang? Walaupun berusaha positif, dia tahu keberuntungan ti-
dak memihak Lucy Gray, sehingga kemurungan pun melandanya.
Di rumah, dia berbaring di tempat tidur, takut mengucapkan selamat tinggal.
Dia berharap bisa memberi Lucy Gray sesuatu yang indah yang bisa benar-benar
menunjukkan rasa terima kasihnya. Sesuatu yang menunjukkan nilainya.
Kesempatan untuk bersinar. Hadiah yang berharga. Dan, tentunya, punya makna
dalam hidupnya. Benda itu haruslah sesuatu yang sangat spesial. Berharga. Benda
yang merupakan miliknya sendiri, bukan seperti bunga mawar, yang
sesungguhnya adalah milik Grandma’am. Kalau keadaan memburuk di arena,
Lucy Gray bisa memegang benda itu, sebagai pengingat bahwa Coriolanus
bersamanya, dan semoga bisa membawa kedamaian bahwa gadis itu tidak
sendirian di akhir hidupnya. Ada syal sutra berwarna oranye tua yang mungkin
bisa mengikat rambutnya. Pin emas berukir nama Coriolanus, yang dia
menangkan atas prestasi akademisnya. Mungkin sejumput rambutnya yang diikat
pita? Apa lagi hadiah yang lebih personal daripada itu?
Mendadak, dia merasakan gelombang amarah. Apa gunanya semua barang itu
kalau Lucy Gray tak bisa menggunakannya untuk membela diri? Hadiah-hadiah
semacam itu seperti berusaha menghias mayat agar terlihat cantik. Mungkin dia
bisa mencekik lawan dengan syal, atau menusuk mereka dengan pin? Tapi kalau
soal senjata, Lucy Gray takkan kekurangan senjata di arena.
Coriolanus masih memikirkan hadiah saat Tigris memanggilnya untuk makan
malam. Tigris membawa pulang daging giling lalu mengolahnya menjadi empat
daging burger dan menggorengnya. Daging untuk Tigris terlihat jauh lebih kecil,
yang sebenarnya hendak diprotes Coriolanus, tapi dia tahu sepupunya itu selalu
desyrindah.blogspot.com

mencamil daging yang belum dimasak saat menyiapkan makanan. Satu daging
burger disisakan untuk Lucy Gray, diberi tambahan taburan dan diapit roti besar.
Tigris juga menyiapkan kentang goreng dan selada kubis dengan krim, dan
Coriolanus memilih buah-buahan dan manisan terbaik dari keranjang hadiah yang
dia dapat ketika dirawat di rumah sakit. Tigris menaruh serbet linen sebagai alas
kotak kardus kecil berhiaskan bulu-bulu ayam berwarna cerah dan menata ma-
kanan untuk Lucy Gray, lalu menghias penutup kain putih dengan kuntum bunga
mawar milik Grandma’am. Coriolanus memilih paduan warna kuning dan merah
tua, karena kaum Pengembara, terutama Lucy Gray, sangat menyukai warna. 
“Beritahu dia,” kata Tigris, “aku menjagokannya.”
“Beritahu dia,” imbuh Grandma’am, “kami semua sedih dia harus mati.”
  Setelah menikmati udara malam hari yang sejuk dan hangat sisa matahari,
Heavensbee Hall yang dingin mengingatkan Coriolanus pada makam keluarga
Snow, tempat peristirahatan terakhir kedua orangtuanya. Aula yang besar itu sepi
dari murid-murid dan keriuhannya, sehingga langkah kaki bahkan desahan pun
bergema keras, menimbulkan perasaan ngeri dalam pertemuan yang sudah muram
ini. Tak ada lampu yang dinyalakan, hanya seberkas cahaya matahari menjelang
malam mengintip lewat jendela, sangat kontras dengan terangnya cahaya pada
pertemuan-pertemuan mereka sebelum ini. Saat mentor-mentor yang tersisa
berkumpul di balkon sambil mengamati pasangan mereka di bawah, keheningan
mencekam di antara mereka.
“Masalahnya adalah,” Lysistrata berbisik pada Coriolanus, “aku telanjur dekat
dengan Jessup.” Gadis itu terdiam sesaat, menata kembali letak bakmi panggang
dan kejunya. “Dia menyelamatkan nyawaku.” Coriolanus penasaran apa yang
dilihat Lysistrata, yang berada paling dekat dengannya dibanding mentor lain, saat
bom meledak. Apakah dia melihat Lucy Gray menyelamatkannya? Apakah gadis
itu menyindirnya?
Saat mereka berjalan menuju meja masing-masing, Coriolanus berusaha keras
desyrindah.blogspot.com

untuk berpikir positif. Tak ada gunanya menghabiskan sepuluh menit terakhir
mereka bersama dengan menangis padahal mereka bisa merancang strategi untuk
menang. Kondisi Lucy Gray terlihat lebih baik dibanding beberapa pertemuan
mereka sebelumnya di aula. Dia kelihatan bersih dan rapi, pakaiannya masih ter-
lihat bagus dalam remang-remang cahaya, sehingga dia kelihatan seperti siap ke
pesta bukan ke pembantaian. Mata Lucy Gray berbinar melihat kotak yang dibawa
Coriolanus.
Coriolanus mempersembahkan kotak yang dibawanya sambil membungkuk.
“Aku datang membawa hadiah.”
Lucy Gray mengambil bunga mawar dengan gaya anggun dan menghirup
aromanya. Dia mencabut sehelai kelopak mawar dan menyelipkannya di antara
bibir. “Rasanya seperti waktunya tidur,” katanya sambil tersenyum sedih. “Betapa
indahnya kotak ini.”
“Tigris menyimpannya untuk acara spesial,” kata Coriolanus. “Makanlah kalau
kau lapar. Mumpung masih hangat.”
“Ya, aku akan makan. Makanan terakhir yang kusantap selayaknya manusia
beradab.” Dia membuka serbet penutupnya dan mengagumi isi kotak itu. “Oh,
makanan ini terlihat lezat.”
“Aku bawa banyak, kau bisa membaginya dengan Jessup,” kata Coriolanus.
“Walaupun kulihat Lysistrata juga membawakannya makanan.”
“Aku mau saja membaginya, tapi Jessup sedang mogok makan.” Lucy Gray
memandang Jessup dengan tatapan kuatir. “Mungkin cuma tegang. Tingkahnya
juga aneh. Dan segala ucapan sinting keluar dari mulut kami saat ini.”
“Contohnya apa?” tanya Coriolanus.
“Contohnya tadi malam Reaper minta maaf pada kami satu per satu karena
harus membunuh kami,” Lucy Gray menjelaskan. “Dia bilang akan membalas jasa
kami saat dia menang. Dia akan membalas dendam pada Capitol, walaupun bagian
itu tidak sejelas bagian dia akan membunuh kami.”
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus melirik cepat ke arah Reaper, yang tidak hanya kuat secara sik tapi
juga pandai memengaruhi pikiran lawan. “Apa reaksi peserta lain mendengar
omongan Reaper?”
“Kebanyakan cuma memandanginya. Jessup meludahi matanya. Aku bilang
belum berakhir sampai mockingjay bernyanyi, tapi dia malah kelihatan bingung.
Kurasa, begitu cara Reaper memahami semua ini. Kami semua terguncang. Tidak
mudah… mengucapkan selamat tinggal pada hidup kita.” Bibir bawah Lucy Gray
mulai bergetar, dan dia mendorong sandwich-nya tanpa memakannya sedikit pun.
Merasa bahwa percakapan mereka jadi membahas kematian, Coriolanus
mengubah topik. “Untungnya kau tak perlu berpikir seperti itu. Untungnya kau
mendapat hadiah tiga kali lebih banyak daripada peserta lain.”
Alis Lucy Gray terangkat. “Tiga kali lipat?”
“Tiga kali lipat. Kau akan memenangkannya, Lucy Gray,” kata Coriolanus. “Aku
sudah memikirkannya. Pada saat mereka membunyikan gong, kau harus berlari.
Berlarilah secepat mungkin. Naik ke bangku penonton dan jaga jarak sejauh
mungkin dari peserta-peserta lain. Cari tempat persembunyian yang bagus. Aku
akan mencarikanmu makanan. Lalu kau pindah ke tempat persembunyian lain.
Tetap bergerak dan berpindah, dan tetap hidup sampai yang lain saling
membunuh atau mati kelaparan. Kau bisa melakukannya.”
“Bisakah aku melakukannya? Aku tahu, aku yang mendesakmu agar percaya
padaku, tapi tadi malam aku berpikir tentang berada di arena. Terperangkap.
Dengan semua senjata itu. Reaper mengejarku. Aku merasa lebih punya harapan
pada siang hari, tapi saat sudah gelap, aku takut aku akan…” Tiba-tiba, air mata
mulai mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya, Lucy Gray tidak bisa menahan
tangis. Pada saat di panggung setelah wali kota menamparnya atau saat Coriolanus
memberinya puding roti, dia hampir menangis, tapi bisa menahan agar air
matanya tidak sampai jatuh. Sekarang, seakan pertahanannya jebol, dan air mata
mengalir seperti air bah.
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus merasakan sesuatu dalam dirinya terburai ketika melihat Lucy Gray
tak berdaya, dan dia juga merasakan ketidakberdayaan itu. Dia meraih tangan
gadis itu. “Oh, Lucy Gray…”
“Aku tidak mau mati,” bisiknya.
Jemarinya menghapus air mata di pipi Lucy Gray. “Tentu saja kau tidak akan
mati. Aku takkan membiarkannya.” Lucy Gray masih terisak. “Aku takkan
membiarkanmu mati, Lucy Gray!”
“Seharusnya kau biarkan saja aku mati. Aku hanya jadi masalah buatmu,” kata
Lucy Gray menahan tangis. “Aku membahayakan nyawamu dan menghabiskan
makananmu. Dan aku tahu kau benci lagu baladaku. Besok kau akan senang
karena aku bakal mati.”
“Aku akan hancur besok! Saat kubilang kau berarti bagiku, maksudku bukan
sebagai pesertaku. Maksudku sebagai dirimu. Kau, sebagai Lucy Gray Baird.
Sebagai sahabatku. Sebagai…” Apa kata yang tepat? Kekasih? Pacar? Dia tidak bisa
bilang lebih dari sekadar naksir, dan mungkin perasaannya bertepuk sebelah
tangan. Tapi, apa ruginya Coriolanus mengakui bahwa gadis itu sudah mengambil
hatinya? “Aku cemburu setelah mendengar baladamu, karena aku mau kau
memikirkanku, bukan seseorang dari masa lalumu. Aku tahu, ini terdengar bodoh.
Tapi, kau gadis paling luar biasa yang pernah kukenal. Sungguh. Luar biasa dalam
segalanya. Dan aku…” Air mata mengambang di matanya, dan Coriolanus
mengerjap agar air matanya tidak jatuh. Dia harus tetap tegar untuk mereka
berdua. “Dan aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku menolak kehilanganmu. Ku-
mohon, jangan menangis.”
“Maa an aku. Maa an aku. Aku tidak akan menangis. Aku hanya… aku merasa
sendirian,” kata Lucy Gray.
“Kau tidak sendirian.” Coriolanus menggenggam tangannya. “Dan kau tidak
akan sendirian di arena; kita akan bersama. Aku akan bersamamu sepanjang saat.
Aku takkan berhenti mengawasimu. Kita akan memenangkan ini bersama-sama,
desyrindah.blogspot.com

Lucy Gray. Aku berjanji.”


Lucy Gray menggenggam tangan Coriolanus erat-erat. “Rasanya mustahil.”
“Tidak mustahil,” Coriolanus menegaskan. “Mungkin saja. Bahkan bisa berhasil,
kalau kau mengikuti rencana kita.”
“Kau sungguh-sungguh memercayainya?” tanya Lucy Gray, memandang wajah
Coriolanus. “Karena jika kupikir kau sungguh percaya, aku juga bisa
memercayainya.”
Momen seperti ini butuh pembuktian. Untungnya, Coriolanus memilikinya. Dia
tadinya ragu, mempertimbangkan segala risikonya. Tapi dia tidak bisa
meninggalkan Lucy Gray seperti ini, tanpa sesuatu yang bisa dipegangnya. Ini
tentang kehormatan. Lucy Gray adalah gadisnya, yang sudah menyelamatkan
hidupnya, dan dia harus melakukan segala yang bisa dia lakukan untuk
menyelamatkan gadis itu.
“Dengar. Dengar baik-baik.” Lucy Gray masih menangis, tapi tangisannya sudah
berubah menjadi isak yang terputus-putus. “Ibuku menitipkan sesuatu untukku
saat dia meninggal. Ini barang milikku yang paling berharga. Aku mau kau
memilikinya di arena, untuk keberuntungan. Aku ingatkan ya, ini kupinjamkan
untukmu. Aku sangat berharap kau mengembalikannya padaku. Kalau tidak, aku
tidak mau melepaskannya.” Coriolanus merogoh sakunya, mengulurkan tangan,
lalu membuka telapak tangannya. Di tangan Coriolanus, benda itu memantulkan
cahaya matahari yang mulai terbenam. Kotak bedak perak peninggalan ibunya.
Lucy Gray ternganga melihatnya, padahal dia gadis yang tidak mudah kagum.
Dia mengambilnya lalu mengelus ukiran mawar di kotak perak antik itu, sebelum
menyerahkannya kembali dengan penuh sesal. “Oh, aku tidak bisa mengambilnya.
Ini terlalu bagus. Kau sudah cukup baik dengan menawariku, Coriolanus.”
“Kau yakin tidak mau?” tanya Coriolanus, menggodanya. Dia menjentikkan
kunci kotak itu sehingga membuka, dan mengangkatnya agar Lucy Gray bisa
melihat pantulannya di cermin.
desyrindah.blogspot.com

Lucy Gray menghela napas dan tertawa. “Nah, kau memanfaatkan


kelemahanku.” Memang. Gadis itu selalu memperhatikan penampilannya. Bukan
sombong. Hanya lebih ke sadar diri. Dia menyadari lubang kosong yang
sebelumnya adalah wadah bedak padat. “Bukankah di sini mestinya tempat
bedak?”
“Tadinya, tapi…,” kata Coriolanus. Dia terdiam sejenak. Jika dia me-
ngatakannya, tak ada lagi kesempatan mundur. Sebaliknya, jika dia tidak
mengatakannya, dia mungkin bakal kehilangan gadis itu selamanya. Dia berbisik,
“Kupikir kau bisa menggunakannya untuk kau isi sendiri.”
desyrindah.blogspot.com
13

Lucy Gray langsung paham. Matanya memandang cepat ke arah para Penjaga
Perdamaian yang tidak terlalu memperhatikan mereka, lalu dia mendekat dan
menghirup isi kotak itu. “Hm, kau masih bisa menciumnya. Menyenangkan.”
“Seperti mawar,” kata Coriolanus.
“Seperti dirimu,” kata Lucy Gray. “Rasanya seperti kau benar-benar bersamaku.”
“Ambillah,” kata Coriolanus. “Bawa aku bersamamu. Bawa ini.”
Lucy Gray menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Oke, tapi ini barang
pinjaman.” Dia mengambil kotak bedak itu, menyelipkannya ke saku, dan
menepuknya. “Pikiranku jadi lebih jernih. Entah bagaimana, pemikiran bahwa aku
akan menang Hunger Games terasa jauh di luar jangkauanku. Tapi kalau aku
bilang, ‘Aku harus mengembalikan ini ke Coriolanus,’ rasanya aku sanggup mela-
kukannya.”
Mereka lanjut mengobrol tentang tata letak arena dan di mana saja tempat
persembunyian terbaik. Lucy Gray sudah melahap setengah sandwich dan
menghabiskan buah persik saat Profesor Sickle meniup peluit. Coriolanus tidak
tahu awal kejadiannya, tapi yang pasti mereka berdua berdiri, sama-sama bergerak
maju, karena gadis itu tiba-tiba sudah berada dalam pelukannya. Kedua tangan
Lucy Gray menggenggam bagian depan kemeja Coriolanus, sementara dia men-
dekapnya.
“Hanya kau yang akan kupikirkan di arena itu,” bisik Lucy Gray.
“Bukan cowok di Dua Belas?” tanya Coriolanus setengah bercanda.
desyrindah.blogspot.com

“Tidak, dia sudah membunuh segala perasaan yang kumiliki untuknya,” katanya.
“Satu-satunya pemuda yang punya tempat di hatiku sekarang adalah kau.”
Kemudian Lucy Gray menciumnya. Bukan kecupan ringan. Tapi ciuman
sungguhan di bibir, hingga Coriolanus bisa merasakan aroma bedak dan buah
persik. Rasa bibir Lucy Gray lembut dan hangat di bibir Coriolanus, membuat
sekujur tubuhnya bagai tersetrum. Bukannya menarik diri, Coriolanus malah
memeluknya semakin erat saat rasa dan sentuhan gadis itu membuatnya
melayang. Jadi seperti ini rasanya! Seperti ini rasanya mabuk kepayang! Ketika
akhirnya mereka melepaskan pelukan, Coriolanus menghela napas dalam-dalam,
seakan baru naik ke permukaan air. Lucy Gray membuka matanya, dan tatapannya
menunjukkan perasaan yang sama seperti yang dirasakan Coriolanus. Mereka
bersama-sama maju untuk berciuman sekali lagi sebelum para Penjaga Perdamaian
menarik Lucy Gray dan membawanya pergi.
Festus menyikut Coriolanus ketika berjalan keluar dari aula. “Perpisahan yang
dahsyat tadi.”
Coriolanus mengangkat bahu. “Bagaimana ya? Daya tarikku susah ditolak.”
“Kurasa begitu,” jawab Festus. “Aku berusaha menepuk bahu Coral untuk
memberinya semangat dan dia hampir mematahkan pergelangan tanganku.”
Ciuman itu membuat Coriolanus melayang. Pasti dia sudah melanggar batas,
tapi dia tidak menyesalinya… Ciuman itu istimewa. Dia berjalan pulang
sendirian, mengecap pahit dan manisnya perpisahan, serta bersemangat karena
kenekatannya. Mungkin dia melanggar satu atau dua aturan karena memberikan
kotak bedak itu dan menyarankan agar Lucy Gray mengisinya dengan racun tikus.
Tapi, tak ada buku aturan resmi untuk Hunger Games. Mungkin memang dia
melanggar peraturan. Jika memang pelanggaran, itu setimpal demi Lucy Gray.
Namun, dia tidak memberitahu siapa pun tentang hal ini, bahkan kepada Tigris.
Belum tentu kotak bedak itu ada pengaruhnya. Butuh kecerdikan dan
keberuntungan untuk meracuni peserta lain. Tapi Lucy Gray cerdik, dan
desyrindah.blogspot.com

keberuntungannya setara dengan yang lain. Mereka harus makan racun itu, jadi
tugas Coriolanus adalah mencarikannya makanan untuk digunakan sebagai
umpan. Dia merasa punya kuasa, ada sesuatu yang bisa dilakukannya selain
menonton.
Setelah Grandma’am tidur, dia mengungkapkan isi hatinya pada Tigris. “Kurasa
dia jatuh cinta padaku.”
“Tentu saja. Bagaimana perasaanmu padanya?” tanya Tigris.
“Aku tidak tahu,” jawab Coriolanus. “Aku menciumnya saat berpisah.”
Tigris mengangkat alis. “Mencium pipinya?”
“Tidak. Di bibirnya.” Dia memutar otak berusaha menjelaskan, tapi kalimat yang
bisa diucapkannya adalah “Dia tak ada duanya.” Itu kenyataan yang tak
terbantahkan. Sejujurnya, Coriolanus tidak punya banyak pengalaman untuk
urusan perempuan, apalagi urusan cinta. Merahasiakan situasi keluarga Snow
selalu jadi prioritas utama. Dua saudara sepupu itu hampir tak pernah mengajak
siapa pun ke apartemen, bahkan ketika Tigris jatuh cinta pada tahun terakhirnya
di Akademi. Keengganan Tigris mengajak sang kekasih ke rumah dianggap sebagai
kurangnya komitmen Tigris dan menjadi faktor putusnya hubungan mereka.
Coriolanus memandang kejadian itu sebagai peringatan agar tidak menjalin
hubungan terlalu dekat dengan siapa pun. Banyak teman sekelasnya yang tertarik
padanya, tapi dia mahir menjaga jarak dari mereka. Elevator rusak menjadi alasan
yang bagus, dan Grandma’am menderita penyakit yang dikarangnya, sehingga
beliau butuh ketenangan. Hanya ada satu, tahun lalu, di gang belakang stasiun
kereta api. Tapi itu bukan hubungan asmara, melainkan tantangan dari Festus.
Paduan posca dan kegelapan membuat ingatannya samar tentang kejadian itu.
Setelah dipikir lagi, Coriolanus tidak pernah tahu nama sang gadis, tapi kejadian
itu membuatnya mendapat reputasi sebagai petualang cinta.
Namun, Lucy Gray adalah pesertanya yang bersiap menuju arena. Bahkan jika
keadaannya berbeda, dia tetap gadis dari distrik atau setidaknya bukan dari
desyrindah.blogspot.com

Capitol. Dia warga negara kelas dua. Manusia, tapi serendah binatang. Pintar, tapi
tidak berotak. Bagian dari kemalangan tanpa bentuk, makhluk barbar yang berada
di sudut kesadarannya. Tentunya, jika ada pengecualian, itu adalah Lucy Gray
Baird. Seseorang yang tidak bisa dide nisikan. Jenis langka, sama seperti dirinya.
Bagaimana lagi cara menjelaskan bahwa tekanan bibir gadis itu di bibirnya
membuat lututnya goyah.
Coriolanus tertidur malam itu mengulang-ulang ciuman tadi dalam
pikirannya….
Pagi hari Hunger Games dimulai dengan cuaca cerah. Dia menyiapkan diri,
makan telur yang disiapkan Tigris untuknya, dan berjalan kaki menyusuri jalanan
yang panas dan panjang menuju Capitol News. Dia menolak riasan tebal seperti
yang ditambalkan ke wajah Lucky, tapi dia mengizinkan sapuan bedak tipis di
wajahnya, karena dia tidak mau wajahnya terlihat berkeringat dan berminyak di
layar televisi. Tenang dan santun: itulah sifat-sifat keluarga Snow yang harus dia
tampilkan. Bedak itu wangi, tapi tidak terasa mewah seperti bedak padat milik
ibunya yang tersimpan aman di laci kaus kaki di rumah.
“Selamat pagi, Mr. Snow.” Suara Dr. Gaul menyentaknya kembali ke kenyataan.
Tentu saja, wanita itu ada di studio televisi ini. Memangnya dia bakal ada di mana
pada pagi hari pembukaan Hunger Games?
Justru alasan kemunculan Dekan Highbo om lah yang tidak dia ketahui.
Matanya yang merah mengantuk memandang Coriolanus. “Kami dengar ada
adegan perpisahan yang mengharukan antara kau dan pesertamu tadi malam.”
Uh! Memangnya dua manusia tidak boleh jatuh cinta? Bagaimana mereka bisa
tahu tentang ciuman itu? Profesor Sickle bukan tipe yang suka bergosip, jadi siapa
yang menyebarkannya? Mungkin banyak mentor yang melihatnya….
Tak perlu dipusingkan. Dia takkan membiarkan dua gurunya ini membuatnya
kesal. “Seperti yang dikatakan Dr. Gaul, kami semua terbawa perasaan.”
“Ya, sayangnya dia mungkin tidak bakal bertahan hidup meski cuma sehari,” kata
desyrindah.blogspot.com

Dr. Gaul. 
Coriolanus benci sekali pada dua manusia ini. Menertawakannya.
Memancingnya. Namun, dia menunjukkan ketidakpedulian dengan mengangkat
bahu. “Kita lihat saja, ini belum berakhir sampai mockingjay bernyanyi.” Dia puas
melihat kebingungan di wajah kedua gurunya. Mereka tidak sempat bertanya
padanya, karena Remus Doli le datang untuk memberitahu bahwa anak lelaki
peserta dari Distrik 5 meninggal tadi malam karena komplikasi penyakit asma
dokter hewan tidak bisa menyelamatkannya dan mereka harus mengumumkan
kematiannya.
Coriolanus berusaha mengingat-ingat, tapi tidak bisa mengingat anak lelaki itu,
atau bahkan teman sekelasnya yang ditugasi menjadi mentornya. Dalam persiapan
pembukaan Hunger Games, dia memperbarui da ar mentor yang diterimanya
dari Profesor Demigloss. Dia memutuskan menyederhanakan da ar tersebut
dengan mencoret nama mereka secara berpasangan, tanpa memandang apa yang
terjadi pada mereka. Dia tidak bermaksud kejam, tapi tak ada cara lain untuk
membuatnya jelas. Dia mengeluarkan da ar itu dari tas sekolahnya dan mulai
mencatat korban terbaru. 
HUNGER GAMES KE-10
PENUGASAN MENTOR
DISTRIK 1
Lelaki (Facet) Livia Cardew
Perempuan (Velvereen) Palmyra Monty
DISTRIK 2
Lelaki (Marcus) Sejanus Plinth
Perempuan (Sabyn) Florus Friend
DISTRIK 3
Lelaki (Circ) Io Jasper
Perempuan (Teslee) Urban Canville
desyrindah.blogspot.com

DISTRIK 4
Lelaki (Mizzen) Persephone Price
Perempuan (Coral) Festus Creed
DISTRIK 5
Lelaki (Hy) Dennis Fling
Perempuan (Sol) Iphigenia Moss
DISTRIK 6
Lelaki (O o) Apollo Ring
Perempuan (Ginnee) Diana Ring
DISTRIK 7
Lelaki (Treech) Vipsania Sickle
Perempuan (Lamina) Pliny Harrington
DISTRIK 8
Lelaki (Bobbin) Juno Phipps
Perempuan (Wovey) Hilarius Heavensbee
DISTRIK 9
Lelaki (Panlo) Gaius Breen
Perempuan (Sheaf) Androcles Anderson
DISTRIK 10
Lelaki (Tanner) Domitia Whimsiwick
Perempuan (Brandy) Arachne Crane
DISTRIK 11
Lelaki (Reaper) Clemensia Dovecote
Perempuan (Dill) Felix Ravinstill
DISTRIK 12
Lelaki ( Jessup) Lysistrata Vickers
Perempuan (Lucy Gray) Coriolanus Snow
Jumlah pesaing Lucy Gray sekarang tinggal tiga belas. Satu lagi yang meninggal,
desyrindah.blogspot.com

dan anak lelaki. Ini kabar baik untuk gadis itu.


Lembaran mentornya mulai lecek, jadi dia melipatnya dengan rapi dan
menaruhnya di bagian kantong luar tas sekolahnya agar mudah diambil. Saat
membuka tasnya, dia menemukan saputangan. Sejenak dia bingung, karena
saputangannya selalu ada di kantong, lalu dia ingat ini saputangan yang
dikembalikan Lucy Gray setelah menyeka air mata ketika Coriolanus
membawakannya puding roti. Rasanya menyenangkan memiliki sesuatu yang
sifatnya pribadi, semacam jimat, dan dia menyelipkan kertas da ar mentor itu
dengan hati-hati di samping saputangan tersebut.
Mentor yang diundang datang ke acara pra-pertunjukan hanya tujuh orang,
yaitu yang berpartisipasi pada malam wawancara. Secara otomatis, mereka telah
menjadi wajah-wajah Capitol di Hunger Games, meskipun beberapa peserta
mereka tampaknya tak punya harapan. Bagian sudut studio dilengkapi kursi-kursi
ruang tamu berlapis kain, meja kopi, dan tempat lilin yang agak miring.
Kebanyakan mentor mengulang cerita tentang latar belakang peserta mereka, me-
nyoroti elemen-elemen berbahaya yang bisa disampaikan.
Karena Coriolanus memusatkan seluruh wawancaranya pada lagu Lucy Gray,
hanya dia satu-satunya yang punya bahan baru. Senang mendapat sesuatu yang
baru, Lucky Flickerman membiarkan Coriolanus bicara melebihi waktu yang
diberikan. Setelah menjelaskan detail-detail umum, Coriolanus menghabiskan
banyak waktu untuk bicara tentang kaum Pengembara dan menekankan bahwa
Lucy Gray tidak benar-benar dari distrik, sama sekali bukan. Kaum Pengembara
punya sejarah panjang sebagai penyanyi keliling, jenis seniman yang jarang
dikenal, dan mereka bukan penduduk distrik seperti juga penduduk Capitol
bukan warga distrik. Sebenarnya, jika dipikir-pikir lagi, mereka hampir saja
menjadi orang Capitol, hanya karena kemalangan membuat mereka terperangkap
di Distrik 12. Tentunya penonton bisa melihat betapa nyamannya Lucy Gray di
Capitol. Dan Lucky sependapat, setuju bahwa memang ada yang istimewa pada
desyrindah.blogspot.com

gadis itu. 
Lysistrata melirik kesal padanya saat giliran gadis itu yang diwawancara.
Coriolanus mengerti kekesalannya saat menyadari bahwa gadis itu berusaha
mengaitkan Jessup dengan Lucy Gray dalam wawancara untuk menarik simpati,
dengan menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan dari Distrik 12. Memang
Jessup adalah penambang batu bara, tapi Jessup dan Lucy Gray sudah
menunjukkan kedekatan alami sejak mereka membungkuk memberi hormat
pertama kali. Orang-orang bisa melihat keakraban di antara mereka, hal yang tak
tampak pada pasangan peserta lain dari distrik yang sama. Bahkan, Lysistrata
yakin mereka saling menyayangi. Dengan kekuatan Jessup dan kemampuan Lucy
Gray menawan hati penonton, Lysistrata yakin pemenang tahun ini berasal dari
Distrik 12.
Alasan keberadaan Dekan Highbo om menjadi jelas saat dia mengikuti
Lysistrata. Sang dekan mendiskusikan program mentor-peserta ini seakan-akan
dia tidak teler sepanjang waktu. Sebenarnya, Coriolanus resah mendengar betapa
jernihnya pemaparan Highbo om. Dia mengatakan bahwa siswa-siswa Capitol
punya prasangka tertentu terhadap peserta-peserta dari distrik, tapi dalam dua
minggu sejak hari pemungutan, terbentuk rasa hormat dan penghargaan pada
mereka. “Pepatah bilang, kenalilah musuhmu. Apa cara yang lebih baik untuk
saling mengenal selain bekerja sama untuk Hunger Games? Capitol
memenangkan perang setelah pertempuran panjang dan keras, bahkan baru-baru
ini arena kita dibom. Membayangkan bahwa dari dua pihak, kita dan mereka,
tidak punya intelijen, kekuatan, atau keberanian adalah kesalahan besar.”
“Tapi tentunya Anda tidak membandingkan anak-anak kita dengan anak-anak
mereka, kan?” tanya Lucky. “Sekali lihat pun kita tahu anak-anak kita merupakan
keturunan yang lebih unggul.”
“Sekali lihat kita tahu anak-anak kita makan lebih banyak, punya pakaian lebih
bagus, dan perawatan gigi yang lebih baik,” kata Dekan Highbo om. “Berasumsi
desyrindah.blogspot.com

bahwa anak-anak ini memiliki keunggulan sik, mental, dan terutama moral
adalah kesalahan besar. Keangkuhan semacam itulah yang nyaris menghabisi kita
dalam perang.”
“Menarik,” kata Lucky, tampaknya tidak tahu harus menanggapinya dengan
jawaban apa. “Pandangan Anda amat menarik.”
“Terima kasih, Mr. Flickerman. Saya sangat menghargai pendapat Anda,” kata
sang dekan dengan wajah tanpa ekspresi.
Coriolanus melihat dekannya memutar bola mata mengejek, tapi Lucky tersipu
mendengarnya. “Anda terlalu memuji, Mr. Highbo om. Kita semua tahu, saya
hanya penyiar berita cuaca rendahan.”
“Dan pesulap yang naik daun,” Dekan Highbo om mengingatkannya.
“Yah, kalau itu aku mengaku!” kata Lucky terkekeh. “Tunggu, apa ini?”
Tangannya terulur ke belakang telinga Dekan Highbo om lalu mengeluarkan
permen kecil bermotif garis-garis cerah. “Saya yakin ini milik Anda.” Dia
menyerahkannya pada Dekan Highbo om, warna permen itu menodai telapak
tangannya yang basah.
Dekan Highbo om tidak bergerak untuk mengambil permen itu. “Astaga. Bisa
muncul dari mana, Lucky?”
“Rahasia perusahaan,” kata Lucky sambil menyeringai penuh arti. “Ini rahasia
perusahaan.”
Mobil-mobil sudah menunggu untuk mengangkut mereka kembali ke Akademi,
dan Coriolanus berada satu mobil dengan Felix dan Dekan Highbo om. Mereka
tampaknya akrab di luar urusan sekolah, dan mengabaikan Coriolanus saat sibuk
bergosip. Coriolanus jadi punya waktu untuk merenungkan apa yang dikatakan
Dekan Highbo om tentang orang-orang di distrik.  Mereka sebenarnya sama dan
setara dengan orang-orang di Capitol, hanya saja mereka lebih miskin secara
materi. Pernyataan tersebut termasuk radikal untuk diucapkan sang dekan di
depan umum. Grandma’am dan banyak orang lain pasti menolak pendapat
desyrindah.blogspot.com

tersebut. Itu akan mementahkan usaha Coriolanus memperkenalkan Lucy Gray


sebagai seseorang yang bukan dari distrik. Dia penasaran apa pengaruh
pernyataan tadi terhadap strategi kemenangannya, dan seberapa besar hal ini
menggambarkan kegalauan perasaannya terhadap Lucy Gray. 
Ketika mereka berjalan menuju aula dan perhatian Felix teralih melihat juru
kamera, Coriolanus merasakan sentuhan di lengannya. “Kau tahu temanmu dari
Dua itu? Yang penuh emosi?” Dekan Highbo om bertanya padanya.
“Sejanus Plinth,” jawab Coriolanus. Mereka sebenarnya bukan teman akrab, tapi
itu bukan urusan Dekan Highbo om dan dia tidak perlu tahu.
“Kau mungkin bisa mencarikannya tempat duduk di dekat pintu.” Sang dekan
mengeluarkan botol dari kantongnya, merunduk di dekat pilar, dan meneteskan
mor n ke mulutnya.
Sebelum Coriolanus paham maksud Dekan Highbo om, Lysistrata datang
sambil marah-marah. “Tolong ya, Coriolanus, kau kan bisa membantuku! Jessup
terus-terusan bilang Lucy Gray sekutunya!”
“Aku sama sekali tidak tahu maksudmu ke arah sana. Sungguh, aku tidak
bermaksud menjegalmu. Kalau kita punya kesempatan lain, aku akan
mengusahakan sudut pandang kerja sama tim ini,” Coriolanus berjanji.
“Kesempatannya sangat kecil,” kata Lysistrata sambil mengembuskan napas
jengkel.
Satyria berjalan melewati kerumunan dan memperkeruh suasana ketika dia
berkicau, “Wawancara yang cerdas, Nak. Bahkan aku setengah percaya bahwa
gadismu kelahiran Capitol! Ayo jalan. Kau juga, Lysistrata! Kalian butuh tanda
pengenal dan alat komunikasi!”
Satyria membawa mereka melewati aula, yang tidak seperti tahun-tahun
sebelumnya, riuh penuh kehebohan. Orang-orang meneriakkan semoga
beruntung pada Coriolanus, memberi selamat atas wawancaranya. Coriolanus
menikmati perhatian yang diperolehnya, tapi semua ini juga menggelisahkan. Di
desyrindah.blogspot.com

masa lalu, Hunger Games adalah acara yang sunyi. Biasanya orang-orang
menghindari kontak mata dan hanya bicara saat diperlukan. Sekarang semangat
yang tinggi sangat terasa di aula, seakan mereka sedang menantikan acara hiburan
yang sudah ditunggu-tunggu.
Di meja, seorang Pengawas Permainan bertanggung jawab menyiapkan barang-
barang yang diperlukan mentor. Semuanya mendapat tanda pengenal berwarna
kuning terang bertuliskan Mentor terpampang jelas untuk dikalungkan di leher
mereka, tapi hanya mentor yang masih memiliki peserta di Hunger Games yang
mendapat alat komunikasi, membuat mentor yang lain merasa iri. Banyak barang
kebutuhan teknologi lenyap semasa perang dan setelahnya, karena pabrik-pabrik
memusatkan produksi mereka untuk kebutuhan yang lebih penting. Pada masa
ini, alat-alat teknologi sederhana jadi idaman. Alat komunikasi itu berbentuk
seperti manset yang dipasang di pergelangan tangan dilengkapi layar kecil, yang
menampilkan jumlah hadiah sponsor berkedip-kedip berwarna merah. Para
mentor hanya perlu menggulirkan petunjuk di layar itu untuk melihat da ar
makanan, memilih satu dari menu yang ada, mengetuknya dua kali dan Pengawas
Permainan akan bersiap mengirimkannya dengan drone. Beberapa peserta ada
yang tidak mendapat hadiah sama sekali. Walaupun tidak tampil di wawancara,
Reaper mendapat beberapa sponsor berkat aksinya di kebun binatang. Namun,
Clemensia tidak kelihatan batang hidungnya, dan alat komunikasinya tergeletak
tak diambil di meja membuat Livia memandang benda itu dengan tatapan iri.
Coriolanus menarik Lysistrata ke samping dan menunjukkan layarnya. “Lihat,
aku dapat rezeki lumayan. Kalau mereka bekerja sama, aku akan mengirimkan
makanan untuk mereka berdua.”
“Terima kasih. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Tadi aku tidak
bermaksud membentakmu seperti itu. Itu bukan salahmu. Seharusnya aku bilang
dulu lebih awal.” Suara Lysistrata berubah menjadi bisikan. “Masalahnya… aku
tidak bisa tidur tadi malam, memikirkan harus duduk menonton ini. Aku tahu
desyrindah.blogspot.com

acara ini untuk menghukum distrik-distrik, tapi bukankah kita sudah cukup meng-
hukum mereka? Berapa lama kita harus menyeret perang ini masuk dalam hidup
kita?”
“Kalau menurut Dr. Gaul sepertinya selamanya,” kata Coriolanus. “Seperti yang
dia katakan di kelas.”
“Bukan hanya dia. Lihat semua orang ini.” Lysistrata menunjuk suasana yang
seperti pesta di ruangan ini. “Memuakkan.”
Coriolanus berusaha menenangkannya. “Sepupuku bilang agar aku ingat bahwa
ini bukan salah kita. Kita juga masih anak-anak.”
“Sarannya tidak membantu. Aku merasa dimanfaatkan seperti ini,” kata
Lysistrata sedih. “Apalagi tiga orang teman kita sudah meninggal.”
Dimanfaatkan? Coriolanus selama ini berpikir menjadi mentor adalah
kehormatan. Suatu cara untuk melayani Capitol dan mungkin meraih sedikit
kejayaan. Tapi Lysistrata ada benarnya. Kalau tujuan perjuangan ini tidak
terhormat, bagaimana ada kehormatan saat berperan serta dalam kegiatan ini?
Coriolanus merasa bingung, lalu merasa ditipu, dan merasa terbuang. Seakan
mereka sama statusnya sebagai peserta, bukannya mentor.
“Beritahu aku bahwa semua ini akan selesai dengan cepat,” kata Lysistrata.
“Ini akan berakhir dengan cepat,” Coriolanus menenangkannya. “Kau mau
duduk di sampingku? Kita bisa bekerja sama mengatur hadiah kita.”
“Ayo,” jawab Lysistrata.
Seluruh mentor berkumpul kali ini. Mereka duduk di tempat duduk yang
disediakan untuk dua puluh empat mentor, seperti ketika pada hari pemungutan.
Semua orang wajib hadir, dengan atau tanpa peserta. “Jangan duduk di depan,”
kata Lysistrata. “Aku tidak mau kamera menyoroti wajahku saat dia terbunuh.”
Gadis itu benar. Kamera akan menyoroti wajah mentor, dan jika Lucy Gray tewas,
terutama jika Lucy Gray tewas, kamera pasti akan menyorotinya dari jarak dekat.
Coriolanus menurut dan berjalan ke deretan belakang. Saat mereka duduk, dia
desyrindah.blogspot.com

memusatkan perhatian pada layar televisi raksasa dengan Lucky Flickerman


bertindak sebagai pemandu wisata ke distrik-distrik, menceritakan latar belakang
industri mereka, membumbuinya dengan fakta-fakta tentang cuaca, dan sesekali
menunjukkan keahlian sulapnya. Hunger Games adalah kesempatan besar bagi
Lucky, dan dia menceritakan sumber daya energi Distrik 5 dengan alat yang
membuat rambutnya berdiri. “Tersetrum!” serunya.
“Dasar bodoh,” gumam Lysistrata, lalu sesuatu menarik perhatiannya. “Kau pasti
menderita u yang parah.”
Coriolanus mengikuti arah tatapan gadis itu, ke meja tempat Clemensia sedang
mengambil alat komunikasinya. Clemensia mengedarkan pandangan mencari
seseorang… Oh, gadis itu pasti mencarinya! Saat mata mereka bertemu,
Clemensia berjalan ke deretan belakang, dan dia terlihat marah. Sesungguhnya,
gadis itu terlihat mengenaskan. Warna matanya yang kuning cerah berubah jadi
kuning pucat. Dia mengenakan pakaian lengan panjang, kerah tinggi, dan blus
putih untuk menutupi bagian tubuhnya yang bersisik. Meskipun keadaannya
sudah lebih baik, dia masih terlihat sakit. Dia menggaruk kulitnya yang kering dan
pecah-pecah di wajahnya. Dan lidahnya, walau tidak lagi terjulur, tampak
bergerak-gerak di dalam mulutnya. Dia berjalan ke kursi di depan Coriolanus dan
berdiri di sana, menjentikkan serpihan-serpihan kulitnya ke udara sambil menatap
Coriolanus.
“Terima kasih sudah menjengukku, Coryo,” sindir Clemensia.
“Aku sudah berniat, Clemmie, aku lelah ” Coriolanus hendak menjelaskan.
Clemensia memotong kalimatnya. “Terima kasih sudah menghubungi
orangtuaku. Terima kasih sudah memberitahu mereka di mana aku berada.”
Lysistrata tampak bingung. “Kami tahu di mana kau berada, Clem. Mereka
bilang kau tidak boleh dijenguk karena penyakitmu menular. Aku mencoba
menelepon sekali, tapi mereka bilang kau sedang tidur.”
Coriolanus mengikutinya. “Aku juga, Clemmie. Bahkan berkali-kali. Alasan
desyrindah.blogspot.com

mereka bermacam-macam. Dan tentang orangtuamu, dokter bilang mereka sudah


dalam perjalanan menjengukmu.” Coriolanus terpaksa berbohong. Bisa ular itu
pasti membuat otaknya kacau, sebab kalau tidak, kenapa dia sampai meributkan
masalah ini di depan umum? “Kalau aku salah, maa an aku. Seperti kubilang, aku
sedang memulihkan diri.”
“Benarkah?” selidik Clemensia. “Kau terlihat hebat saat wawancara. Kau dan
pesertamu.”
“Tenang, Clem. Bukan salah Coriolanus kau sakit,” kata Festus, yang tiba tepat
saat percakapan mereka berlangsung.
“Diam, Festus. Kau tidak mengerti!” bentak Clemensia, lantas berjalan kesal
menuju tempat duduk di barisan depan.
Festus mengenyakkan tubuh di samping Lysistrata. “Dia ada masalah apa? Selain
penampilannya yang seperti sedang ganti kulit.”
“Entahlah. Kita semua sedang kacau,” kata Lysistrata.
“Yah, tapi Clemensia tidak seperti biasanya. Aku penasaran apa ” kata Festus.
“Sejanus!” Coriolanus memanggil pemuda itu, senang melihat ada yang bisa
dijadikan pengalih perhatian. “Di sini!” Ada kursi kosong di sampingnya, dan dia
butuh mengganti topik percakapan.
“Terima kasih,” kata Sejanus, memilih duduk di kursi paling ujung. Dia terlihat
tidak sehat, lelah, dan berkeringat dingin.
Lysistrata mengulurkan tangan melewati Coriolanus dan meremas satu tangan
Sejanus. “Semakin cepat mulai, semakin cepat berakhir.”
“Sampai tahun depan,” Sejanus mengingatkannya. Tapi dia balas menepuk
tangan gadis itu penuh syukur.
Para siswa baru saja duduk ketika lambang Capitol tampak di layar dan lagu
kebangsaan berkumandang sehingga mereka semua bangkit berdiri. Suara
Coriolanus terdengar lantang mengikuti di antara mentor lainnya yang hanya
bergumam menyanyikan lagu tersebut. Pada saat seperti ini, mestinya mereka
desyrindah.blogspot.com

lebih menunjukkan niat dan usaha.


Saat Lucky Flickerman kembali dan merentangkan kedua tangannya
menyambut mereka, Coriolanus bisa melihat noda permen hasil sulapnya tadi di
telapak tangannya. “Saudara-saudara sekalian,” katanya, “maka dimulailah Hunger
Games Kesepuluh!”
Gambar lebar arena menggantikan wajah Lucky. Empat belas peserta yang
tersisa berdiri melingkar, menunggu bunyi gong pembuka. Tak ada yang
memperhatikan mereka, atau sisa-sisa kerusakan akibat bom yang mengotori
lapangan, atau senjata-senjata yang berserakan di tanah berdebu, atau bendera
Panem yang dipasang di tiang dan memberikan sentuhan dekoratif pada arena.
Semua mata bergerak mengikuti arah kamera, terpaku memandang layar yang
perlahan-lahan menyoroti sepasang tiang besi tidak jauh dari pintu masuk utama
arena. Tinggi tiang itu sekitar tujuh meter, dihubungkan dengan palang melintang
yang panjangnya juga sekitar tujuh meter. Di palang itu, Marcus tergantung
dengan pergelangan tangan terbelenggu, babak belur dan berdarah-darah hingga
Coriolanus berpikir bahwa mereka memamerkan mayatnya. Kemudian bibir
Marcus yang bengkak mulai bergerak-gerak, menunjukkan giginya yang patah dan
nyawanya yang masih tersisa.
desyrindah.blogspot.com
14

Coriolanus mual tapi tidak mampu mengalihkan pandangannya. Melihat makhluk


hidup dipamerkan begitu saja anjing, monyet, tikus sudah mengerikan,
apalagi melihat manusia diperlakukan sesadis itu? Dan satu-satunya kesalahan
anak lelaki itu hanyalah kabur menyelamatkan diri. Kalau Marcus membunuhi
orang-orang di Capitol, mungkin urusannya berbeda, tapi tak ada laporan pembu-
nuhan sejak dia melarikan diri. Coriolanus teringat parade pemakaman yang
menjadi pertunjukan menakutkan Brandy digantung di pengait dan para peserta
diseret di jalanan biasanya untuk mereka yang sudah meninggal. Hunger Games
piawai dalam urusan kesintingan, saling mengadu anak-anak distrik agar tangan
Capitol tetap bersih dan tidak dikotori kekejaman. Tak pernah ada siksaan yang
dipertunjukkan seperti kepada Marcus. Di bawah pengawasan Dr. Gaul, Capitol
mencapai level baru dalam pembalasan dendam.
Dia bisa merasakan kemarahan Sejanus, dan dia baru saja ingin menenangkan
pemuda itu ketika Sejanus berdiri dan lari ke depan. Ada lima kursi kosong di
tempat duduk mentor yang dicadangkan untuk teman-teman sekelasnya yang
sudah tiada. Sejanus mengambil satu kursi di sudut dan melemparkannya ke layar
televisi, menghantam gambar wajah Marcus yang memar. “Monster!” teriaknya.
“Kalian semua monster!” Kemudian Sejanus berlari ke selasar dan keluar dari
pintu utama ke aula. Tak ada seorang pun yang bergerak untuk menghentikannya.
Gong berbunyi pada saat itu, dan para peserta berlari menyebar. Banyak yang
berlari ke gerbang menuju terowongan, beberapa gerbang ada yang terbuka lebar
desyrindah.blogspot.com

setelah pengeboman. Coriolanus bisa melihat pakaian Lucy Gray yang berwarna
cerah menuju sisi terjauh arena. Jemarinya mencengkeram kursi erat-erat, dalam
hati menyuruh gadis itu bergerak. Lari, pekiknya dalam hati. Lari! Menjauh dari
sana! Beberapa peserta terkuat berlari mengambil senjata, dan setelah
mengambilnya, Tanner, Coral, serta Jessup berpencar. Hanya Reaper, yang
mengambil trisula dan pedang panjang, tampak siap bertarung. Tapi pada saat dia
bersiaga, tak ada seorang peserta pun di dekatnya. Dia berbalik dan melihat
punggung-punggung lawannya berlari menjauh. Sambil menghela napas kesal, dia
memanjat ke stan terdekat untuk memulai perburuannya.
Para Pengawas Permainan mengambil kesempatan untuk kembali ke Lucky.
“Anda ingin memasang taruhan, tapi tidak sempat ke kantor pos? Sudah
memutuskan akan mendukung peserta yang mana?” Nomor telepon terpampang
di bagian bawah layar televisi. “Anda bisa melakukannya lewat telepon sekarang!
Hubungi nomor telepon di bawah ini, masukkan nomor penduduk Anda, nama
peserta, dan jumlah taruhan atau hadiah yang Anda berikan, dan Anda akan jadi
bagian dari aksi ini! Atau jika Anda lebih suka bertransaksi langsung, kantor pos
buka setiap hari mulai pukul delapan pagi sampai delapan malam. Ayo, jangan
ketinggalan momen bersejarah ini. Sekarang Anda berkesempatan mendukung
Capitol dan mungkin mendapat keuntungan lumayan. Jadilah bagian dari Hunger
Games dan jadilah pemenang! Sekarang kita kembali ke arena!”
Dalam hitungan menit, arena sudah kosong dari peserta kecuali Reaper, dan
setelah berkeliling di antara stan, dia pun bersembunyi. Marcus  dan
penderitaannya kembali menjadi fokus Hunger Games.
“Kau tidak mau mengejar Sejanus?” Lysistrata berbisik pada Coriolanus.
“Menurutku biarkan dia sendiri dulu,” Coriolanus balas berbisik. Mungkin
benar Sejanus ingin sendirian, tapi alasan utama Coriolanus adalah dia tidak mau
ketinggalan Hunger Games, atau memancing reaksi Dr. Gaul, atau menunjukkan
kedekatannya dengan Sejanus di depan umum. Anggapan bahwa mereka
desyrindah.blogspot.com

bersahabat, bahwa dia teman akrab orang yang tak bisa diatur dari distrik, mulai
membuatnya kuatir. Membagikan sandwich berbeda dengan melempar kursi. Pasti
akan ada hukuman atas perilakunya tadi, dan Coriolanus sudah punya cukup
banyak masalah tanpa perlu menambah masalah Sejanus ke dalam urusannya.
Setengah jam yang terasa panjang berlalu sebelum ada kejadian yang menarik
perhatian penonton. Bom-bom yang dipasang dekat pintu masuk telah
meledakkan gerbang utama, tapi barikade sudah terpasang di bawah papan skor.
Berlapis-lapis beton, papan-papan kayu, serta kawat berduri merusak
pemandangan dan menjadi pengingat akan serangan pemberontak. Mungkin itu
sebabnya para Pengawas Permainan tidak menyoroti bagian itu. Akan tetapi,
dengan tidak banyaknya kejadian, mereka terpaksa menunjukkan pada penonton
ada gadis kurus dengan lengan panjang merayap keluar dari barikade tersebut.
“Itu Lamina!” Pup memberitahu Livia yang duduk beberapa baris di depan
Coriolanus.
Coriolanus hanya ingat peserta Pup sebagai anak perempuan yang tak bisa
berhenti menangis pada pertemuan pertama mentor dengan peserta. Pup gagal
menyiapkannya untuk wawancara sehingga kehilangan kesempatan untuk
mempromosikannya. Dia tidak ingat anak itu berasal dari distrik berapa, mungkin
dari Lima? Suara lantang menggelegar menyadarkan Coriolanus. “Sekarang kita
melihat Lamina yang berusia lima belas tahun dari Distrik Tujuh,” kata Lucky.
“Dimentori oleh Pliny Harrington. Distrik Tujuh menyediakan kayu yang
dibutuhkan Capitol untuk memperbaiki arena kita tercinta.”
Lamina mengamati Marcus, mencermati kondisinya yang mengenaskan. Angin
musim panas menyibak rambut pirangnya dan dia menyipitkan mata karena
silaunya cahaya matahari. Lamina memakai pakaian dari karung goni yang diikat
dengan seutas tali membentuk ikat pinggang. Bekas-bekas gigitan serangga
terlihat di kakinya yang telanjang. Matanya yang sembap dan bengkak terlihat me-
merah, tapi tak ada air mata. Bahkan, dia terlihat terlalu tenang dalam keadaan ini.
desyrindah.blogspot.com

Dengan gerakan tenang dan tak terburu-buru, Lamina menyeberang menuju


tempat senjata dan memilih-milih senjata di sana. Pertama-tama dia mengambil
pisau, lalu kapak kecil, kemudian mengetes ketajaman bilah senjata itu dengan ibu
jarinya. Dia menyelipkan pisau di ikat pinggangnya lalu mengibas-ngibaskan ka-
pak ke depan dan belakang untuk merasakan bobotnya. Kemudian dia berjalan
menuju salah satu tiang. Tangannya meraba tiang besi itu, yang berkarat dan
terkena cipratan cat. Coriolanus pikir dia akan berusaha menebangnya, karena dia
berasal dari distrik perkayuan, tapi gadis itu menggigit batang kapak dan mulai
memanjat tiang menggunakan lutut dan telapak kakinya yang kapalan untuk me-
napakinya. Gerakannya luwes seperti ulat, tapi Coriolanus yang pernah memanjat
tali di kelas olahraga tahu betapa besar kekuatan yang dibutuhkan untuk bisa
memanjat seperti itu.
Ketika Lamina berada di puncak tiang, dia berdiri di sana, dan menyelipkan
kapaknya ke ikat pinggang. Walaupun lebar palang itu sekitar lima belas
sentimeter, dia berjalan dengan santai di sana hingga berada di atas Marcus. Gadis
itu duduk di palang, mengunci pergelangan kakinya agar tidak jatuh dan
mendekatkan dirinya ke kepala Marcus. Lamina mengucapkan sesuatu yang tak
bisa ditangkap mikrofon, tapi Marcus mendengarnya, karena bibir pemuda itu
bergerak menjawab. Lamina duduk tegak dan mengawasi sekitarnya. Kemudian
dia bersiap-siap, lalu mengayunkan tubuhnya ke bawah dan membacok bagian
samping leher Marcus. Sekali. Dua kali. Dan pada bacokan ketiga, darah
memuncrat. Dia berhasil membunuh Marcus. Lamina kembali duduk, mengelap
kedua tangannya ke pakaian lalu memandang jauh ke arena.
“Itu gadisku!” Pup berteriak. Tiba-tiba, Pup muncul di layar ketika kamera di
Heavensbee Hall menyoroti reaksinya. Coriolanus melihat sekilas sosok dirinya
beberapa baris di belakang Pup sehingga dia langsung duduk lebih tegak. Pup
tersenyum lebar, memperlihatkan sisa-sisa sarapan telur yang menempel di kawat
giginya, lalu dia mengepalkan tinjunya. “Pembunuhan pertama hari ini! Itu
desyrindah.blogspot.com

pesertaku, Lamina, dari Distrik Tujuh,” katanya ke kamera. Dia mengangkat


pergelangan tangan menunjukkan alat komunikasinya. “Alat komunikasiku siap
menerima kiriman. Tak ada kata terlambat untuk menunjukkan dukungan Anda
dan mengirimkan hadiah!”
Nomor telepon kembali terpampang di layar televisi, dan Coriolanus bisa
mendengar bunyi ping samar dari alat komunikasi Pup saat Lamina menerima
hadiah-hadiah dari sponsor. Hunger Games terasa lebih cair, lebih tak menentu
daripada yang dia perkirakan. Bangun! Katanya dalam hati. Kau bukan penonton,
kau adalah mentor!
“Terima kasih!” Pup melambai ke kamera. “Menurutku, dia layak mendapatkan
sesuatu, ya kan?” Dia menekan alat komunikasinya lalu memandang layar televisi
dengan penuh harap, karena ini adalah upaya pertama dari Pengawas Permainan
untuk mengirim hadiah kepada peserta. Satu menit berlalu. Lima menit terlewati.
Coriolanus mulai meragukan kemampuan teknologi yang digunakan Pengawas
Permainan saat drone kecil membawa botol berisi air minum di penjepitnya
muncul di bagian atas arena di dekat pintu masuk dan bergerak-gerak goyah ke
arah Lamina. Drone itu berputar dan menukik bahkan berbalik arah sebelum
menabrak palang sekitar tiga meter dari Lamina dan jatuh ke tanah seperti
serangga yang ditepuk. Botol yang dibawanya pecah, dan airnya pun meresap ke
tanah.
Lamina memandangi hadiahnya tanpa ekspresi, seakan dia memang tidak
berharap akan mendapat sesuatu, tapi Pup berteriak marah, “Hei, tunggu! Itu
tidak adil. Orang membayar mahal untuk memberinya hadiah itu!” Penonton
bergumam setuju. Tidak ada ganti rugi seketika, tapi botol pengganti
diterbangkan sepuluh menit kemudian, dan kali ini Lamina berhasil mengambil
botolnya dari drone, yang kemudian jatuh ke tanah seperti drone sebelumnya.
Lamina menyesap minumnya sedikit-sedikit, tapi selain itu, tak banyak gerakan
yang terjadi di arena, hanya ada lalat yang beterbangan di sekitar jasad Marcus.
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus bisa mendengar bunyi ping dari alat komunikasi Pup, menandakan ada
hadiah tambahan untuk Lamina yang tampak nyaman duduk di palang.
Sesungguhnya, itu bukan strategi yang buruk. Lebih aman daripada di bawah,
pastinya. Gadis itu punya rencana. Dia bisa membunuh. Dalam waktu kurang dari
satu jam, Lamina telah menunjukkan diri sebagai pesaing yang patut
diperhitungkan di Hunger Games. Gadis itu tampak lebih tangguh daripada Lucy
Gray. Entah di mana Lucy Gray sekarang berada.
Waktu berlalu. Selain Reaper, yang sesekali berkeliaran di antara stan-stan, tak
ada peserta lain yang menunjukkan diri sebagai pemburu, meskipun mereka
bersenjata. Kalau tidak ada Marcus yang jadi tontonan dan Lamina
menghabisinya, pembukaan ini terasa lambat. Biasanya, Hunger Games dibuka
dengan pertumpahan darah, tapi karena banyak peserta unggulan sudah tewas
sebelum acara dimulai, yang ada di lapangan kebanyakan adalah mangsa.
Gambar arena mengecil di sudut layar televisi dan berganti menampilkan wajah
Lucky. Dia menjelaskan latar belakang distrik dan menginformasikan seperti apa
cuaca di sana agar penonton bisa membayangkannya. Menjadi pembawa acara
Hunger Games adalah tugas baru, dan Lucky berusaha keras untuk menjalankan
tugasnya. Saat Tanner memanjat ke kursi penonton dan berjalan di bagian atas
arena, tayangan beralih kembali ke arena, tapi Tanner hanya duduk di sana di
bawah cahaya matahari lalu menghilang di bawah tempat duduk.
Bunyi gemeresik membuat para penonton menengok ke bagian belakang
Heavensbee Hall dan melihat Lepidus Malmsey berjalan naik bersama kru
kamera. Dia mengundang Pup untuk melakukan wawancara langsung. Pup, yang
sebelumnya tidak dianggap, mengoceh tentang  segala hal yang bisa dia ingat
tentang Lamina dan menurut Coriolanus dibumbui cerita yang tidak benar. Wa-
wancara itu tidak berlangsung lama. Pola seperti itu berlangsung sepanjang pagi;
wawancara singkat dengan mentor, kamera menyoroti arena yang sepi dan tak ada
kejadian seru. Semua orang kemudian istirahat makan siang.
desyrindah.blogspot.com

“Kau bohong saat mengatakan semua ini akan berakhir cepat,” gerutu Lysistrata
ketika mereka mengantre mengambil sandwich bacon yang ditumpuk di meja di
aula.
“Keadaan akan berubah,” kata Coriolanus. “Harus.”
Namun, sepertinya tak ada perubahan seharian itu. Hanya ada segelintir peserta
yang terlihat di arena, sementara siang yang panas dan panjang membawa burung-
burung pemakan bangkai terbang di atas  Marcus. Lamina berhasil mengiris tali
pengikat Marcus sehingga jasad pemuda itu jatuh ke tanah. Atas usahanya
tersebut, Pup mengiriminya sepotong roti yang kemudian dicuil-cuil Lamina
sehingga membentuk bola-bola kecil, dan gadis itu memakannya satu per satu.
Kemudian Lamina berbaring tengkurap di palang, mengikat tubuhnya yang tinggi
kurus dengan ikat pinggangnya ke palang agar tidak jatuh, lalu dia tidur.
Capitol News menayangkan jeda dengan menampilkan plasa di depan arena, di
sana sudah ada stan-stan pedagang jajanan dan minuman yang melayani
penduduk Capitol yang datang dan menonton Hunger Games di dua layar raksasa
yang mengapit pintu masuk. Karena tidak ada kejadian seru di arena, perhatian
tertuju pada dua ekor anjing yang didandani pakaian ala Lucy Gray dan Jessup
oleh pemiliknya. Coriolanus gundah dia sebenarnya tidak menyukai anjing
pudel konyol itu dipakaikan rumbai-rumbai pelangi hingga beberapa bunyi ping
masuk ke alat komunikasinya dan dia memutuskan bahwa publisitas apa pun baik
untuk Lucy Gray. Tapi anjing-anjing itu kemudian lelah dan pulang, selanjutnya
tak ada apa-apa lagi.
Sudah hampir pukul lima sore saat Lucky memperkenalkan Dr. Gaul pada
penonton. Lucky terlihat letih di bawah tekanan untuk mempertahankan tayangan
Hunger Games tetap menarik. Dia mengangkat kedua tangannya tak mengerti,
“Ada info apa, Kepala Pengawas Permainan?”
Dr. Gaul mengabaikannya, dan bicara langsung ke kamera. “Sebagian dari kalian
mungkin bertanya-tanya kenapa Hunger Games berlangsung lambat. Biar
desyrindah.blogspot.com

kuingatkan, bahwa perjalanan kita sampai ke sini penuh lika-liku. Sepertiga dari
peserta tak sampai ke arena, dan mereka yang bertarung kebanyakan bukanlah
jagoan. Dalam hitungan korban jiwa, posisi kita saat ini hampir serupa dengan
tahun lalu.
“Ya, benar,” kata Lucky. “Tapi aku mewakili banyak orang dengan bertanya, di
mana para peserta tahun ini? Biasanya, mereka mudah ditemukan.”
“Mungkin kau lupa tentang pengeboman baru-baru ini,” kata Dr. Gaul. “Pada
tahun-tahun sebelumnya, area terbuka untuk para peserta terbatas di lapangan dan
stan-stan, tapi serangan minggu lalu membuka banyak celah dan lubang, sehingga
memberikan akses masuk ke labirin-labirin terowongan di dalam dinding-dinding
arena. Ini permainan yang baru, pertama-tama kita mencari di mana peserta
berada, lalu memancing mereka keluar dari sudut-sudut gelap yang tersembunyi.”
“Oh.” Lucky tampak kecewa. “Jadi kita takkan melihat para peserta lagi?”
“Jangan kuatir. Saat mereka lapar, mereka akan menunjukkan diri,” jawab Dr.
Gaul. “Itu pula yang menjadi pengubah permainan tahun ini. Dengan partisipasi
penonton yang menyediakan makanan, Hunger Games bisa berlanjut
berkepanjangan.”
“Berkepanjangan?” tanya Lucky.
“Kuharap kau masih punya banyak trik sulap yang belum kautunjukkan!” kata
Dr. Gaul, terkekeh. “Kau tahu kan, aku punya mu   kelinci, mungkin kau bisa
mengeluarkannya dari topi dengan trik sulapmu. Kelinci itu separuh anjing pit
bull.”
Wajah Lucky memucat lalu berusaha tertawa. “Tidak perlu, terima kasih. Aku
punya hewan peliharaanku sendiri, Dr. Gaul.”
“Aku hampir merasa kasihan pada Lucky,” Coriolanus berbisik pada Lysistrata.
“Aku tidak,” jawab Lysistrata. “Mereka serasi.”
Pada pukul lima sore, Dekan Highbo om membubarkan para siswa kecuali
empat belas mentor yang masih memiliki peserta. Alasannya lebih karena alat
desyrindah.blogspot.com

komunikasi mereka hanya bisa berfungsi melalui alat pemancar di Akademi atau
stasiun televisi Capitol News.
Sekitar pukul tujuh malam, makan malam sungguhan disediakan untuk mereka,
sehingga membuat Coriolanus merasa penting dan berada di pusat semesta.
Daging babi panggang dan kentang jelas menu yang lebih baik daripada di rumah
ini alasan lain baginya agar Lucy Gray bertahan hidup. Saat menuang saus ke
piring, Coriolanus memikirkan apakah Lucy Gray lapar. Saat mereka mengambil
kue blueberry dan krim, dia menarik Lysistrata ke samping untuk mendiskusikan
keadaan mereka. Kedua peserta mereka masih punya simpanan makanan dari
pertemuan terakhir, apalagi kalau Jessup tidak nafsu makan, tapi bagaimana
dengan air minum? Apakah ada sumber air di arena? Kalau mereka mau
mengirimkan persediaan minuman, bagaimana cara mereka melakukannya tanpa
mengungkap tempat persembunyian peserta mereka? Dr. Gaul ada benarnya ke-
tika mengatakan para peserta akan muncul ketika mereka menginginkan sesuatu.
Tapi sebelum saat itu tiba, strategi terbaik adalah bersembunyi dan menunggu.
Ketika mereka selesai menyantap makanan penutup, ada kegiatan di arena yang
membuat para mentor kembali ke tempat duduk mereka. Anak lelaki Distrik 3,
Circ, peserta yang dimentori Io Jasper, merangkak keluar dari barikade di dekat
pintu masuk dan mengamati sekelilingnya sebelum melambai memanggil
seseorang agar mendekat. Seorang gadis kecil berpenampilan lusuh dan rambut
acak-acakan berlari menghampirinya. Lamina yang masih tiduran di palang
mengintip dengan sebelah matanya untuk menentukan tingkat ancaman yang
dihadapinya.
“Tak perlu kuatir, Lamina manis,” kata Pup ke layar televisi. “Dua anak itu
bahkan tak bisa memanjat tangga.” Tampaknya Lamina sependapat, karena yang
dia lakukan selanjutnya adalah memperbaiki posisi tubuhnya agar lebih nyaman.
Lucky Flickerman muncul di sudut layar televisi, serbet dia selipkan di kerahnya
dan masih ada sisa blueberry di dagunya. Dia mengingatkan penonton bahwa anak-
desyrindah.blogspot.com

anak itu merupakan peserta dari Distrik 3, distrik teknologi. Circ adalah anak
lelaki yang mengaku bisa membakar benda-benda dengan kacamatanya. “Dan
nama anak perempuan itu adalah…” Lucky melirik kartu sontekannya. “Teslee!
Teslee dari Tiga! Dan dia dimentori oleh…” Lucky melirik kartunya lagi, tapi kali
ini dia terlihat bingung. “Mentornya adalah…”
“Berusahalah lebih keras,” Urban Canville menggerutu dari barisan terdepan.
Seperti Io, orangtua Urban adalah ilmuwan, mungkin ahli sika? Sifat Urban yang
pemarah membuat semua orang merasa berhak kesal padanya ketika dia
mendapat nilai sempurna pada ujian kalkulus. Coriolanus merasa Urban tidak bisa
menyalahkan kemalasan Lucky menghafal nama mentor dan peserta, padahal
Urban sendiri bolos wawancara. Teslee memang kelihatan kecil, tapi bukannya
tanpa harapan.
“Dimentori Turban Canville!” seru Lucky.
“Urban, bukan Turban!” gerutu Urban. “Sungguh, mereka benar-benar tidak
profesional.”
“Sayangnya, kita tidak melihat Turban dan Teslee saat wawancara,” kata Lucky.
“Karena dia tidak mau bicara denganku!” bentak Urban.
“Mungkin gadis itu kebal terhadap pesonanya,” kata Festus, membuat mereka
yang duduk di baris belakang tertawa.
“Aku akan mengirimi Circ sesuatu sekarang. Entah kapan aku bisa melihatnya
lagi,” kata Io, sambil menyentuh layar alat komunikasinya. Coriolanus melihat
Urban juga melakukan hal yang sama.
Circ dan Teslee berada di dekat jasad Marcus, berjongkok memeriksa drone-
drone yang hancur. Tangan mereka bergerak lincah memeriksa peralatan itu,
memperkirakan tingkat kerusakannya dan mengecek bagian-bagian yang masih
bisa digunakan. Circ mengeluarkan benda berbentuk persegi panjang yang
menurut penglihatan Coriolanus adalah baterai lalu mengangkat jempolnya
kepada Teslee. Teslee menyambung kabel-kabel di tangannya dan lampu drone itu
desyrindah.blogspot.com

berkedip. Mereka saling memandang lalu tersenyum.


“Wah!” seru Lucky. “Ada kejadian seru di sini!”
“Lebih seru lagi kalau mereka punya alat kendalinya,” kata
Urban, kemarahannya sudah mereda.
Pasangan Distrik 3 itu masih memeriksa drone ketika dua drone lagi terbang
masuk lalu menjatuhkan roti dan air di dekat mereka. Saat mereka mengumpulkan
hadiah, ada sosok yang muncul dari kegelapan arena. Mereka berdiskusi, lalu
masing-masing mengumpulkan pecahan drone dan bergegas kembali ke barikade.
Sosok itu ternyata Reaper, yang berjalan membungkuk di dalam salah satu
terowongan dan keluar membopong seseorang. Ketika kamera menyorot mereka,
Coriolanus melihat Dill meringkuk di kedua tangan Reaper. Gadis kecil itu
memandang kosong ke matahari senja yang menyinari kulit pucatnya. Saat dia
terbatuk, ludah bercampur darah menyembur dari mulutnya.
“Aku tidak menyangka gadis itu bisa bertahan sehari,” Felix berkomentar entah
pada siapa.
Reaper melangkah keluar dari sisa-sisa runtuhan hingga tiba di tempat yang
terkena sinar matahari dan membaringkan Dill di atas sebatang kayu yang gosong.
Gadis itu menggigil meskipun hangat matahari menyinarinya. Reaper menunjuk
ke atas ke matahari dan mengucapkan sesuatu, tapi Dill tidak bereaksi.
“Bukankah itu anak lelaki yang berjanji membunuh mereka semua?” tanya Pup.
“Dia tidak kelihatan tangguh,” kata Urban.
“Anak perempuan itu, Dill, pasangan dari distriknya,” kata Lysistrata. “Dan anak
itu sedang sekarat. Mungkin TBC.”
Ucapan Lysistrata membuat yang lain terdiam. TBC masih menular di sekeliling
Capitol dan termasuk penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan. Tentu,
mereka yang menderita TBC di distrik-distrik berarti hanya tinggal menunggu
ajal.
Reaper berjalan mondar-mandir gelisah, entah dia tidak sabar untuk kembali
desyrindah.blogspot.com

berburu atau tidak bisa menghadapi penderitaan Dill. Reaper kemudian menepuk
Dill untuk terakhir kali sebelum berlari melompat ke arah barikade.
“Kau tidak mau mengiriminya sesuatu?” Domitia bertanya pada Clemensia.
“Untuk apa? Dia tidak membunuhnya; dia cuma menggendongnya. Aku tidak
mau memberinya hadiah untuk itu,” jawab Clemensia.
Coriolanus, yang memilih menghindari Clemensia seharian, merasa telah
mengambil keputusan yang benar. Clemensia tidak seperti biasanya. Mungkin
pengaruh bisa ular telah mengubah cara kerja otaknya.
“Sebaiknya aku memanfaatkan sedikit yang kupunya. Lagi pula, ini haknya,” kata
Felix sambil menyentuh layar alat komunikasinya.
Dua botol berisi air diterbangkan drone. Dill tampak tidak menyadarinya.
Beberapa menit kemudian, anak lelaki yang diingat Coriolanus bermain sulap
dengan buah kenari di kebun binatang, berlari keluar dari terowongan hingga
rambut hitamnya berkibar. Sambil terus berlari, dia membungkuk dan menyambar
botol air itu, lalu menghilang ke celah besar di dinding. Suara Lucky mengingatkan
penonton bahwa anak lelaki itu bernama Treech, dari Distrik 7, dimentori
Vipsania Sickle.
“Wah, tidak sopan,” kata Felix. “Semestinya dia memberikan minuman terakhir
untuk Dill.”
“Pintar juga,” kata Vipsania. “Menghemat jatahku, karena aku tidak punya
banyak.”
Matahari terbenam di cakrawala dan burung-burung pemakan bangkai terbang
perlahan memasuki arena. Akhirnya, tubuh Dill mengejang, dia batuk hebat
terakhir kalinya dan darah menyembur membasahi bajunya yang kotor.
Coriolanus merasa mual. Darah yang mengalir dari mulut gadis itu membuatnya
jijik dan ngeri.
Lucky Flickerman muncul dan mengumumkan bahwa Dill, anak perempuan
Distrik 11, meninggal karena sebab alami. Sayangnya, ini berarti mereka takkan
desyrindah.blogspot.com

bertemu Felix Ravinstill lagi. “Lepidus, bisakah kita berbincang sejenak


dengannya dari Heavensbee Hall?”
Lepidus menarik Felix keluar dan bertanya bagaimana perasaannya harus
meninggalkan Hunger Games.
“Yah, sebenarnya ini bukan kejutan. Nyawa anak itu sudah tinggal separo saat
tiba di sini,” kata Felix.
“Menurutku kau sangat berperan dalam keberhasilannya melakukan
wawancara,” kata Lepidus bersimpati. “Banyak mentor yang gagal melakukannya.”
Coriolanus penasaran, apakah pujian kepada Lepidus ada kaitannya dengan
Felix sebagai cucu keponakan sang presiden, tapi dia tidak mau memikirkannya.
Ini menjadi ukuran keberhasilan yang sudah dia lewati, jadi meskipun Lucy Gray
tidak bisa selamat melewati malam ini, dia sudah dianggap sebagai mentor yang
menonjol. Tapi Lucy Gray harus selamat melewati malam ini, dan malam
selanjutnya, dan selanjutnya, sampai berhasil menang. Dia sudah berjanji
membantu gadis itu, tapi sejauh ini dia tidak melakukan apa-apa kecuali sekadar
mempromosikan gadis itu kepada penonton.
Kembali ke studio, Lucky memberi pujian lebih banyak kepada Felix sebelum
pamit mundur. “Seiring malam tiba di arena, banyak peserta yang sudah tidur, dan
sebaiknya Anda juga beristirahat. Kami akan mengawasi keadaan di sini,
barangkali kejadian seru baru ada lagi saat pagi tiba. Selamat tidur, mimpi indah.”
Para Pengawas Permainan menyoroti arena, dan Coriolanus hanya bisa melihat
siluet Lamina tiduran di palang. Setelah malam tiba, tak ada cahaya di arena selain
cahaya bulan, dan biasanya itu pun tidak memperlihatkan banyak hal. Dekan
Highbo om menganjurkan mereka pulang, tapi menyarankan agar mereka
sebaiknya membawa pakaian ganti dan sikat gigi untuk besok dan hari selanjutnya.
Mereka semua menjabat tangan Felix dan memberi selamat padanya, dan ke-
banyakan memang tulus melakukannya. Pengalaman sepanjang hari ini telah
menciptakan ikatan antarmentor dengan cara yang baru. Mereka adalah anggota
desyrindah.blogspot.com

klub istimewa yang jumlahnya akan menyusut hingga tinggal satu orang, tapi akan
tetap ada ikatan di antara mereka.
Saat menyusuri jalan pulang, Coriolanus mulai menghitung. Dua peserta tewas,
meski dia sudah mencoret nama Marcus sejak anak lelaki itu menghilang. Masih
ada tiga belas yang tersisa, dan Lucy Gray harus bertahan hidup dari dua belas
peserta lainnya. Sebagaimana yang sudah dibuktikan Dill dan anak lelaki pengidap
asma dari Distrik 5, bagi beberapa peserta ini hanya masalah bagaimana caranya
bertahan hidup lebih lama daripada yang lain. Dia teringat peristiwa kemarin;
menghapus air mata Lucy Gray, janji untuk menjaganya tetap hidup, dan ciuman.
Apakah gadis itu memikirkan Coriolanus sekarang? Apakah Lucy Gray
merindukannya seperti Coriolanus merindukan gadis itu? Dia berharap Lucy
Gray muncul besok agar dia bisa memberinya air dan makanan. Mengingatkan
penonton tentang keberadaannya. Dia hanya mendapat sedikit hadiah siang tadi,
itu pun mungkin karena Lucy Gray bersekutu dengan Jessup. Pesona burung
penyanyi yang dimiliki Lucy Gray semakin luntur seiring semakin muramnya
kejadian demi kejadian di arena Hunger Games. Hanya Coriolanus yang tahu
tentang racun tikus itu, jadi tidak membantu kedudukan Lucy Gray di mata
penonton.
Coriolanus capek dan lelah setelah seharian yang penuh tekanan ini, dia hanya
ingin mandi lalu tidur di kasurnya. Tapi pada saat dia melangkah masuk ke
apartemen, Coriolanus mencium aroma teh melati yang hanya disuguhkan untuk
tamu. Siapa yang datang berkunjung selarut ini? Di hari pembukaan Hunger
Games pula. Ini sudah terlalu malam untuk jam kunjungan teman-teman
Grandma’am, terlalu malam untuk tetangga mampir, dan mereka bukan tipe te-
tangga yang datang mampir bertamu. Pasti ada yang tidak beres.
Keluarga Snow jarang menyalakan televisi di ruang tamu utama, biasanya hanya
ada di sana untuk pajangan. Layar televisi itu menampilkan gambar arena yang
gelap, masih sama seperti ketika dia meninggalkan Heavensbee Hall. Grandma’am
desyrindah.blogspot.com

yang mengenakan jubah bagus menutupi gaun tidurnya, sedang duduk kaku di
kursi bersandaran tegak di meja minum teh, sementara Tigris menuang cairan
pucat itu ke cangkir tamu mereka.
Mrs. Plinth duduk di balik meja itu, terlihat lusuh, rambut acak-acakan, dan
gaunnya kusut, menangis sambil menutup wajahnya dengan saputangan. “Kalian
baik sekali,” katanya. “Maaf aku datang tiba-tiba seperti ini.”
“Teman Coriolanus juga teman kami,” kata Grandma’am. “Plinch, namamu?”
Coriolanus yakin Grandma’am tahu benar siapa Ma, tapi harus berbasa-basi
pada tamu, pada jam selarut ini apalagi kepada keluarga Plinth, membuat
neneknya mesti mengerahkan segenap kemampuannya.
“Plinth,” kata wanita itu. “Plinth.”
“Grandma’am, kau tahu kan, yang mengirimi kita casserole lezat saat Coriolanus
terluka,” Tigris mengingatkan neneknya.
“Maa an aku. Sudah malam sekarang,” kata Mrs. Plinth.
“Tidak perlu minta maaf. Anda melakukan hal yang tepat,” kata Tigris, sambil
menepuk bahu wanita itu. Dia menyadari kedatangan Coriolanus dan merasa lega.
“Oh, itu sepupuku! Mungkin dia tahu.”
“Mrs. Plinth, senang bertemu Anda. Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya
Coriolanus, seakan wanita itu tidak menunjukkan kabar buruk.
“Oh, Coriolanus. Tidak baik. Buruk sekali. Sejanus belum pulang. Kami dengar
dia meninggalkan Akademi pagi tadi, dan sejak itu aku belum bertemu dengannya.
Aku kuatir,” katanya. “Di mana dia? Aku tahu, melihat Marcus seperti itu
membuatnya terpukul. Apakah kau tahu? Kau tahu di mana dia berada? Apakah
dia marah saat pergi?”
Coriolanus ingat ledakan kemarahan Sejanus sambil melempar kursi serta
berteriak-teriak, itu semua hanya disaksikan oleh penonton di Heavensbee Hall.
“Dia marah, Mrs. Plinth. Tapi kurasa tidak perlu terlalu kuatir. Dia mungkin butuh
waktu untuk meredakan amarahnya. Mungkin dia sedang berjalan-jalan. Aku
desyrindah.blogspot.com

mungkin akan melakukan hal itu kalau jadi dia.”


“Tapi ini sudah malam. Sejanus bukan tipe yang menghilang tanpa memberi
kabar ke ibunya,” kata Ma.
“Apakah ada tempat yang terpikir oleh Anda? Atau seseorang yang mungkin di
kunjungi?” tanya Tigris.
Mrs. Plinth menggeleng. “Tidak. Tidak ada. Sepupumu adalah satu-satunya
sahabatnya.”
Menyedihkan, pikir Coriolanus. Tidak punya teman. Tapi dia hanya berkata,
“Memang, kalau dia butuh teman menurutku dia akan datang mencariku. Kulihat
dia mungkin butuh waktu sendirian… untuk mencerna semua ini. Aku yakin dia
baik-baik saja. Kalau ada apa-apa, Anda pasti sudah diberitahu.”
“Apakah Anda sudah bertanya pada Penjaga Perdamaian?” tanya Tigris.
Mrs. Plinth mengangguk. “Tak ada yang melihatnya.”
“Ya, kan?” kata Coriolanus. “Tak ada masalah. Barangkali dia sudah ada di
rumah sekarang.”
“Sebaiknya kau pulang dan memastikannya,” Grandma’am memberi saran, yang
jelas tujuannya untuk mengusir Mrs. Plinth.
Tigris memelototi neneknya. “Atau Anda bisa menelepon ke rumah untuk
memastikannya.”
Tapi Mrs. Plinth sekarang sudah lebih tenang dan bisa menangkap maksud
Grandma’am. “Nenekmu benar. Seharusnya aku berada di rumah. Agar kalian
semua bisa beristirahat dan tidur.”
“Coriolanus akan mengantar Anda,” kata Tigris dengan tegas.
Karena Tigris tak memberinya pilihan, Coriolanus mengangguk. “Tentu saja.”
“Mobilku menunggu di bawah.” Mrs. Plinth berdiri dan merapikan rambutnya.
“Terima kasih. Kalian semua sangat baik. Terima kasih.” Dia mengambil tas
tangannya yang besar dan hendak berbalik pergi ketika sesuatu di layar televisi
menarik perhatiannya. Dia terkesiap.
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus mengikuti arah tatapannya dan melihat ada sesosok bayangan


menyelinap keluar dari barikade dan berjalan ke arah
Lamina. Sosok itu jangkung, anak lelaki, dan membawa sesuatu di tangannya.
Reaper atau Tanner, pikir Coriolanus. Anak lelaki itu berhenti di dekat jasad
Marcus dan mendongak memandang gadis yang tidur di atas sana. Akhirnya salah
satu peserta memutuskan untuk bergerak menghabisinya. Sebagai mentor, dia tahu
dia seharusnya menonton adegan selanjutnya, tapi dia ingin menyingkirkan Mrs.
Plinth dulu.
“Mari kuantar ke mobil Anda,” katanya. “Aku yakin Anda akan menemukan
Sejanus sedang tidur di kamarnya.”
“Tidak, Coriolanus,” kata Mrs. Plinth dengan suara berbisik. “Tidak.” Mrs.
Plinth mengangguk ke layar televisi. “Anakku ada di sana.”
desyrindah.blogspot.com
15

Saat Ma mengatakannya, Coriolanus tahu Ma benar. Mungkin awalnya hanya


seorang ibu yang mengenali sosok anaknya dalam gelap, tapi setelah Ma
mengatakannya dia juga mengenali Sejanus. Perawakannya, tubuhnya yang agak
bungkuk, serta bentuk kepalanya. Kemeja putih Akademi samar terlihat dalam
kegelapan, dan Coriolanus bisa melihat tanda pengenal mentor berwarna kuning
yang masih dia kalungkan. Dia tidak tahu cara Sejanus masuk ke arena. Anak dari
Capitol apalagi seorang mentor, mungkin tidak terlalu menarik perhatian di pintu
masuk, karena itu tempat kau bisa membeli jajanan atau minuman ringan dan
bergabung dengan kerumunan yang menonton Hunger Games di layar raksasa.
Apakah Sejanus berbaur dengan penonton atau memanfaatkan statusnya untuk
menghalau kecurigaan? Pesertaku tamat riwayatnya, dan aku mau bersenang-
senang! Berpose untuk difoto? Berbicang-bincang dengan Penjaga Perdamaian
dan menyelinap masuk ketika mereka tidak melihatnya? Siapa yang menyangka
Sejanus bakal masuk ke arena, dan kenapa dia melakukannya?
Di layar, sosok Sejanus berlutut, menaruh bungkusan, dan menelentangkan
jasad Marcus. Dia berusaha sebisa mungkin untuk meluruskan kaki Marcus dan
melipat kedua lengannya di dada, tapi jasad Marcus sudah kaku dan sulit
digerakkan. Coriolanus tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, ada sesuatu dalam
bungkusan, tapi Sejanus kemudian berdiri dan mengangkat tangannya di atas
jasad Marcus.
Itu juga yang dia lakukan di kebun binatang, pikir Coriolanus. Dia ingat saat
desyrindah.blogspot.com

Arachne tewas, dia sekilas melihat Sejanus menjentikkan sesuatu di atas jasad
peserta yang tewas.
“Itu anakmu? Sedang apa dia di sana?” tanya Grandma’am, terkejut ngeri.
“Dia menaburkan remah roti ke jenazah,” kata Ma. “Agar Marcus bisa mendapat
makanan dalam perjalanannya.”
“Perjalanan ke mana?” tanya Grandma’am. “Dia sudah mati!”
“Kembali ke tempat asalnya,” kata Ma. “Ini tradisi kami di kampung halaman.
Saat seseorang meninggal.”
Coriolanus malu mendengarnya. Ini bukti betapa terbelakangnya distrik-distrik.
Orang-orang primitif dengan kebiasaan dan tradisi primitif. Berapa banyak roti
yang dibuang-buang untuk omong kosong ini? Oh, tidak, dia mati kelaparan!
Tolong bawakan roti! Dia punya rasat tidak enak bahwa persahabatan dengan
Sejanus ini akan menghantuinya. Firasatnya langsung jadi kenyataan saat telepon
berdering.
“Apakah seisi kota ini belum tidur?” tanya Grandma’am.
“Permisi.” Coriolanus berjalan menuju telepon di ruang depan. “Halo?” katanya,
berharap yang menelepon salah sambung.
“Mr. Snow, ini Dr. Gaul.” Coriolanus langsung mulas. “Kau ada di dekat
televisi?”
“Aku baru pulang, sebenarnya,” jawab Coriolanus, berusaha mengulur waktu.
“Oh, ya, sedang kulihat. Keluargaku sedang menonton.”
“Ada apa dengan temanmu?” tanya Dr. Gaul.
Coriolanus memalingkan kepalanya dari meja teh dan merendahkan suaranya.
“Dia sesungguhnya bukan…”
“Omong kosong. Kalian selalu bersama,” kata Dr. Gaul. “’Bantu aku
membagikan sandwich, Coriolanus!’, ‘Ada tempat kosong di sampingku, Sejanus!’
Saat aku bertanya pada Casca siapa teman sekelas yang dekat dengannya, hanya
namamu yang terpikir olehnya.”
desyrindah.blogspot.com

Kesopanannya pada Sejanus telah disalahartikan. Sebenarnya mereka tidak lebih


dari sekadar kenalan. “Dr. Gaul, kalau aku boleh menjelaskan…”
“Aku tak punya waktu untuk penjelasan. Saat ini si Plinth lepas di arena yang
penuh sekawanan serigala. Kalau mereka melihatnya, mereka akan langsung
membunuhnya.” Dr. Gaul berbicara dengan orang lain. “Tidak, jangan mendadak
dipotong, itu hanya akan menarik perhatian. Coba gelapkan sebisamu. Buat
sealami mungkin. Gelapkan perlahan-lahan, seakan awan menutupi bulan.”
Selanjutnya dia kembali ke Coriolanus. “Kau anak yang cerdas. Pesan apa yang
akan sampai ke penonton jika itu sampai terjadi? Dampak buruknya tak terhitung.
Kita harus memperbaiki keadaan ini sekarang juga.”
“Anda bisa mengirim Penjaga Perdamaian,” kata Coriolanus.
“Dan menyuruh mereka menyetrumnya seperti menyetrum kelinci?” bentak Dr.
Gaul. “Coba bayangkan situasinya, para Penjaga Perdamaian berusaha
mengejarnya dalam kegelapan. Tidak, kita akan membujuknya keluar semulus
mungkin, jadi kita butuh orang-orang yang dia pedulikan. Dia benci ayahnya,
tidak punya saudara kandung, dan tak punya teman yang lain. Jadi tinggal kau dan
ibunya. Kami sedang mencari keberadaan ibunya sekarang.”
Coriolanus merasa jantungnya mencelus. “Ibunya ada di sini,” katanya
mengakui. Percuma saja membela dirinya dengan mengatakan bahwa mereka
“tidak akrab”.
“Kalau begitu, beres sudah. Aku mau kalian berdua datang ke arena dalam dua
puluh menit. Lewat dari itu, aku yang akan memberimu kecaman, bukan
Highbo om. Jangan harap kau akan menang dan mendapat hadiah.” Setelah itu,
Dr. Gaul menutup telepon.
Di layar televisi, Coriolanus bisa melihat gambarnya sudah digelapkan. Dia
nyaris tidak bisa melihat sosok Sejanus sama sekali. “Mrs. Plint, yang barusan
menelepon itu Kepala Pengawas Permainan. Beliau ingin Anda menemuinya di
arena untuk menjemput Sejanus, dan aku akan mendampingi Anda.” Coriolanus
desyrindah.blogspot.com

tidak mau menjelaskan lebih banyak, karena tidak mau neneknya kena serangan
jantung.
“Apakah dia dalam masalah?” tanya Mrs. Plinth, matanya terbelalak.
“Bermasalah dengan Capitol?”
Coriolanus merasa aneh karena ibu Sejanus lebih menguatirkan masalah dengan
Capitol dibandingkan arena yang penuh dengan peserta bersenjata saat ini, tapi
mungkin dia punya alasan sendiri setelah kejadian yang menimpa Marcus.
“Oh, tidak. Mereka hanya memikirkan keselamatannya. Kami tidak akan lama,
tapi tak usah menunggu,” dia memberitahu Tigris dan Grandma’am.
Coriolanus bergerak secepat mungkin, nyaris menggendong Mrs. Plinth agar
cepat berjalan ke luar, turun dengan elevator, dan melewati lobi. Mobil Mrs. Plinth
berhenti di depan mereka, dan sopirnya yang kemungkinan besar adalah Avox,
hanya mengangguk ketika dia memintanya mengantar mereka ke arena.
“Kami sedang buru-buru,” Coriolanus memberitahu sang sopir, dan mobil
melaju kencang meluncur di jalanan yang sepi. Dengan begini, mungkin mereka
bisa tiba di arena dalam waktu dua puluh menit.
Mrs. Plinth mencengkeram tas tangannya erat-erat dan memandang ke luar
jendela menatap kota yang sepi. “Pertama kali aku tiba di Capitol juga malam hari,
seperti sekarang ini.”
“Oh, ya?” kata Coriolanus, hanya bermaksud sopan. Sejujurnya, dia tidak peduli.
Masa depannya terancam karena putra wanita ini suka melawan. Dan dia harus
mempertanyakan pola asuh macam apa yang diajarkan orangtua kepada anak yang
menganggap bahwa menyelinap masuk ke arena akan menyelesaikan masalah.
“Waktu itu Sejanus duduk di tempatmu dan berkata, ‘Semua akan baik-baik saja,
Ma. Akan baik-baik saja.’ Dia berusaha menenangkanku. Meskipun kami berdua
tahu bahwa kami menuju malapetaka,” kata Mrs. Plinth. “Tapi Sejanus pemberani.
Amat baik. Dia hanya memikirkan ibunya.”
“Hm. Pasti perubahan besar.” Ada apa dengan keluarga Plinth ini? Mereka kerap
desyrindah.blogspot.com

memandang keberuntungan sebagai tragedi. Sekali lihat interior mobil ini;


perabotan dan kursi berlapis kulit serta bar tempat minuman dengan botol-botol
kristal berisi cairan berwarna-warni, orang-orang pasti tahu bahwa keluarga Plinth
termasuk keluarga terkaya di Panem.
“Keluarga dan teman-teman memutuskan hubungan dengan kami,” lanjut Mrs.
Plinth. “Tidak ada teman dan keluarga baru di sini. Strabo ayahnya masih
menganggap ini keputusan yang tepat. Tidak ada masa depan di Dua. Ini adalah
caranya melindungi kami. Caranya menjaga Sejanus agar tidak terpilih mengikuti
Hunger Games.”
“Ironis, mengingat keadaan yang terjadi saat ini.” Coriolanus berusaha
mengarahkannya. “Aku tidak tahu apa rencana Dr. Gaul, tapi dalam bayanganku
dia ingin Anda membantunya membujuk Sejanus keluar dari arena.”
“Aku tidak tahu apakah aku bisa,” kata Mrs. Plinth. “Dia sangat marah. Aku bisa
mencoba membujuknya, dan membuat dia berpikir bahwa itu perbuatan yang
benar untuk dilakukan.”
Perbuatan yang benar untuk dilakukan. Coriolanus sadar bahwa inilah yang selalu
menentukan tindakan Sejanus, tekadnya untuk melakukan perbuatan benar.
Tekad ini pula yang membuatnya berani menentang Dr. Gaul sementara yang lain
memilih menghindar, dan inilah yang membuatnya dijauhi teman-teman di
sekolah. Sejujurnya, Sejanus bisa jadi amat menyebalkan dengan komentar-
komentar congkaknya. Tapi memanfaatkan hal itu mungkin bisa jadi cara untuk
mengendalikannya.
Saat mobil berhenti di depan pintu masuk arena, Coriolanus melihat adanya
upaya untuk merahasiakan krisis ini. Tidak banyak Penjaga Perdamaian yang
berjaga, dan hanya ada beberapa orang Pengawas Permainan. Stan-stan makanan
dan minuman ditutup, penonton yang berkumpul pada siang hari sudah
membubarkan diri, sehingga tidak ada alasan untuk menarik perhatian penonton
yang ingin tahu. Saat melangkah turun dari mobil, Coriolanus menyadari bahwa
desyrindah.blogspot.com

suhu lebih dingin dibandingkan saat dia berjalan pulang.


Di bagian belakang van, monitor Capitol News menayangkan layar yang terbagi
dua antara tayangan sesungguhnya di arena dan versi yang digelapkan untuk
penonton umum. Dr. Gaul, Dekan Highbo om, dan beberapa orang Penjaga
Perdamaian berkumpul di sana. Saat Coriolanus masuk bersama Mrs. Plinth, dia
melihat Sejanus masih berlutut di samping jasad Marcus, tak bergerak seperti
patung.
“Setidaknya, kau tepat waktu,” kata Dr. Gaul. “Mrs. Plint, benar?”
“Ya, ya,” jawab Mrs. Plinth, suaranya gemetar. “Maaf kalau Sejanus
menimbulkan ketidaknyamanan. Dia anak yang baik, sungguh. Hanya saja dia
sangat dipengaruhi oleh perasaannya.”
“Tidak ada yang bisa menuduhnya tak peduli,” Dr. Gaul sependapat. Dia beralih
kepada Coriolanus. “Ada ide bagaimana cara kita menyelamatkan sahabat baikmu
itu, Mr. Snow?”
Coriolanus mengabaikan ejekan Dr. Gaul dan mengamati layar. “Dia sedang
apa?”
“Tampaknya hanya berlutut di sana,” kata Dekan Highbo om. “Mungkin masih
merasa terguncang.”
“Dia tampak tenang. Mungkin kita bisa mengirim Penjaga Perdamaian masuk
diam-diam?” saran Coriolanus.
“Terlalu berisiko,” kata Dr. Gaul.
“Bagaimana kalau ibunya bicara lewat pengeras suara?” Coriolanus melanjutkan.
“Kalau kalian bisa menggelapkan layar, tentunya bisa memanipulasi audio juga.”
“Bisa dilakukan pada siaran televisi. Tapi di arena, itu artinya kita meng-
umumkan pada semua peserta bahwa ada anak lelaki dari Capitol yang tak
bersenjata di dekat mereka,” kata Dekan Highbo om.
Coriolanus mulai merasa tidak enak. “Jadi apa saran Anda?”
“Menurut kami, seseorang yang dikenalnya bisa masuk diam-diam ke arena dan
desyrindah.blogspot.com

membujuknya keluar,” kata Dr. Gaul. “Seseorang itu adalah kau.”


“Oh, tidak!” seru Mrs. Plinth terkejut. “Jangan Coriolanus. Kita tidak perlu
membahayakan nyawa anak lain. Aku saja yang masuk.”
Coriolanus menghargai tawaran Mrs. Plinth, tapi dia tahu peluangnya tipis.
Dengan mata merah dan sembap, sepatu berhak tinggi, wanita itu tidak
meyakinkan sebagai intel yang mengemban tugas rahasia.
“Yang kita perlukan adalah seseorang yang bisa berlari jika diperlukan. Mr. Snow
cocok untuk tugas itu.” Dr. Gaul memberi tanda pada Penjaga Perdamaian, dan
mereka memakaikan baju pelindung pada Coriolanus untuk masuk ke arena.
“Rompi ini akan melindungi organ vitalmu. Ini ada semprotan merica dan senter
yang akan membutakan musuhmu selama beberapa waktu, seandainya
diperlukan.”
Dia memandang botol kecil semprotan merica dan senter. “Tidak ada pistol?
Atau pisau, setidaknya?”
“Karena kau tidak terlatih menggunakannya, benda-benda ini lebih aman. Ingat,
kau di sana bukan untuk berkelahi. Kau di sana untuk membawa keluar temanmu
secepat dan setenang mungkin,” perintah Dr. Gaul.
Siswa lain, atau bahkan mungkin Coriolanus sendiri akan memprotes situasi ini.
Berkeras akan menelepon orangtua atau wali. Memohon agar tidak disuruh ke
arena. Tetapi, setelah serangan ular terhadap Clemensia, kejadian setelah
pengeboman, dan siksaan terhadap Marcus, Coriolanus tahu protes pun tidak
akan ada gunanya. Kalau Dr. Gaul sudah memutuskan dia harus masuk ke Arena
Capitol, maka dia harus masuk, meskipun tanpa pertaruhan hadiah. Dia hanyalah
sasaran eksperimen wanita itu. Baik siswa dan peserta hanya dianggap seperti para
Avox di kandang. Tak berdaya melawan.
“Kau tidak bisa melakukannya. Dia masih di bawah umur. Izinkan aku
menelepon suamiku,” Mrs. Plinth memohon.
Dekan Highbo om tersenyum simpul pada Coriolanus. “Dia akan baik-baik
desyrindah.blogspot.com

saja. Tidak mudah membunuh seorang Snow.”


Apakah ini ide sang dekan? Apakah Dekan Highbo om menemukan jalan
pintas untuk menghancurkan masa depan Coriolanus? Tampaknya dia tak peduli
pada permohonan Ma.
Bersama Penjaga Perdamaian di kedua sisinya entah demi keamanannya atau
mungkin mencegahnya melarikan diri? Coriolanus menyeberang ke arena. Dia
tidak terlalu ingat ke mana dia diangkut setelah pengeboman mungkin mereka
lewat jalan keluar lain? tapi sekarang dia bisa melihat kerusakan parah di pintu
masuk utama. Salah satu pintunya hancur kena ledakan, menyisakan lubang besar
menganga yang dibingkai logam melengkung. Selain penjaga, tak banyak
pengamanan untuk menjaga area ini. Mereka hanya menaruh beberapa baris
beton setinggi pinggang orang dewasa di lubang itu. Takkan sulit bagi Sejanus
untuk masuk ke arena jika perhatian penjaga teralih, dan siang tadi suasananya
meriah seperti ada perayaan. Kalau Penjaga Perdamaian menguatirkan kegiatan
pemberontak, mereka akan memusatkan perhatian pada orang yang menyasar
kerumunan massa. Tapi dengan lolosnya Sejanus, menunjukkan kesan para
penjaga terlalu santai. Bagaimana kalau ada peserta lain yang berusaha melarikan
diri?
Coriolanus dan pengawalnya berjalan melintasi penghalang dan memasuki lobi
yang porak poranda. Beberapa bohlam yang masih berfungsi di sekitar ruang
depan dan stan jajanan diselimuti debu tebal bekas ledakan plafon dan lantai.
Pilar-pilar dan tiang jatuh terguling. Mereka harus berjalan menghindari puing-
puing untuk bisa tiba di pintu putar, dan dia bisa melihat bagaimana dengan sedi-
kit kesabaran dan keberuntungan Sejanus bisa melewati tempat ini tanpa
ketahuan. Pintu putar di sisi kanan juga menjadi sasaran bom, menyisakan
pecahan logam yang meleleh dan tak keruan bentuknya sekaligus menjadi jalan
masuk. Di sini, para Penjaga Perdamaian membuat barikade keamanan
sungguhan, memasang jeruji besi yang dibungkus kawat berduri. Enam orang
desyrindah.blogspot.com

pengawal bersenjata berjaga di sana. Pintu putar yang tidak rusak masih jadi
blokade yang efektif, karena orang tidak bisa keluar, dan jalan masuk lewat sana
hanya dengan token.
“Jadi dia punya token?” tanya Coriolanus.
“Dia punya token,” kata Penjaga Perdamaian yang lebih tua, yang tampaknya
menjadi komandan di sini. “Dia lolos saat kami lengah. Kami tidak menjaga
tempat ini dari orang yang hendak masuk ke arena, hanya menjaga mereka agar
tidak keluar.” Penjaga Perdamaian itu mengeluarkan token dari kantongnya. “Ini
untukmu.”
Coriolanus memutar-mutar token itu dengan jemarinya, tapi tidak berjalan ke
pintu putar. “Apa dia tidak memikirkan cara untuk keluar?”
“Sepertinya tidak,” kata Penjaga Perdamaian.
“Lalu, bagaimana caraku keluar?” tanya Coriolanus. Rencana ini terkesan
berisiko tanpa kepastian.
“Di sana.” Penjaga Perdamaian menunjuk ke arah jeruji. “Kami bisa menarik
kawat berduri dan mendorong palang besinya agar kau bisa merangkak di
bawahnya.”
“Kalian bisa melakukannya dengan cepat?” tanya Coriolanus ragu.
“Kau akan disorot kamera. Kami akan mengangkat jeruji saat kau berhasil
membawanya keluar,” Penjaga Perdamaian itu meyakinkannya.
“Bagaimana kalau aku gagal membujuknya untuk keluar?” tanya Coriolanus.
“Kami tidak mendapat instruksi soal itu.” Penjaga Perdamaian tersebut
mengangkat bahu. “Kurasa kau tetap di sini sampai misi selesai.”
Keringat dingin membasahi tubuh Coriolanus ketika mencerna kata-kata itu.
Dia tak diizinkan keluar tanpa Sejanus. Dia melihat pintu putar hingga ke ujung
lorong, tempat barikade didirikan di bawah papan skor. Tempat Lamina, Circ, dan
Teslee berlari keluar dan bersembunyi siang tadi. “Bagaimana dengan itu?”
“Itu sebenarnya cuma pajangan. Untuk menghalangi pandangan ke lobi dan ke
desyrindah.blogspot.com

jalanan. Kita tidak bisa memperlihatkan itu di kamera,” Penjaga Perdamaian


menjelaskan. “Kau tak akan kesulitan melewatinya.”
Berarti para peserta juga bisa melewatinya, pikir Coriolanus. Ibu jarinya mengelus
permukaan token yang licin.
“Kami menjagamu sampai barikade,” kata Penjaga Perdamaian. 
“Jadi kau akan membunuh peserta yang menyerangku?” Coriolanus berusaha
memastikan.
“Mengusir mereka menjauhimu,” kata Penjaga Perdamaian. “Jangan kuatir, kami
menjagamu.”
“Baguslah,” kata Coriolanus, sama sekali tidak yakin. Dia menguatkan diri lalu
memasukkan token ke lubang, lalu mendorong lengan-lengan besi itu. “Selamat
menikmati pertunjukan!” pintu putar berseru mengingatkannya, terdengar
sepuluh kali lebih nyaring dalam kesunyian malam. Salah satu Penjaga Perdamaian
tergelak.
Coriolanus berjalan ke arah dinding di sebelah kanan dan melangkah secepat
mungkin tanpa menimbulkan bunyi. Satu-satunya penerangan yang ada hanyalah
lampu darurat berwarna merah, menyelimuti lorong itu dengan cahaya temaram
kemerahan. Dia mengatupkan mulut rapat-rapat, mengatur pernapasannya
melalui hidung. Kaki kanan, kiri, kanan, kiri. Tak ada gerakan apa-apa di arena.
Mungkinkah, seperti kata Lucky, para peserta sudah tidur?
Dia berhenti sejenak di barikade. Seperti kata Penjaga Perdamaian, itu cuma
pajangan. Kawat berduri yang dipasang di atas rangka rapuh serta palang kayu
goyah dan lapisan beton disusun untuk menghalangi pandangan, bukan
memenjarakan peserta. Barangkali tak ada waktu untuk memasang barikade
sungguhan, atau mungkin dianggap tidak perlu lagi dengan adanya jeruji dan
Penjaga Perdamaian di belakang mereka. Seperti kata Penjaga Perdamaian itu, dia
hanya perlu berjalan melewati barikade pajangan itu dan sudah berada di tepi
arena. Dia ragu sejenak di belakang kawat berduri, mengawasi keadaan.
desyrindah.blogspot.com

Bulan bersinar tinggi di langit, dan di bawah cahaya perak pucat dia bisa melihat
sosok Sejanus memunggunginya, masih berlutut di dekat jasad Marcus. Lamina
masih tidur. Selain itu, tidak ada seorang pun di arena. Benarkah tidak ada?
Reruntuhan karena bom menciptakan banyak persembunyian. Peserta lain bisa
saja bersembunyi hanya beberapa meter jauhnya dan dia tidak mengetahuinya.
Dalam udara dingin, kemejanya yang basah karena keringat terasa lengket di
kulitnya. Dia memikirkan Lucy Gray yang mengenakan gaun tanpa lengan.
Apakah gadis itu sedang meringkuk dalam pelukan Jessup demi mendapat
kehangatan? Bayangan itu membuatnya gelisah, sehingga dia berusaha
mengenyahkannya. Dia tidak bisa memikirkan Lucy Gray sekarang, ada bahaya
yang besar dan Sejanus, dan bagaimana caranya membawa Sejanus keluar dari
tempat ini.
Coriolanus mengambil napas dalam-dalam lalu melangkah ke lapangan. Dia
menapaki tanah berdebu, mengintai seperti hewan pemburu mengintai mangsa.
Senyap, kuat, dan berani. Dia tidak boleh menakuti Sejanus, tapi harus berada
cukup dekat dengannya agar bisa bicara.
Saat jaraknya dengan Sejanus hanya sekitar tiga meter, dia berhenti dan bicara
dengan suara berbisik. “Sejanus? Ini aku.”
Tubuh Sejanus menegang, lalu bahunya mulai berguncang. Awalnya, Coriolanus
mengira Sejanus menangis, tapi ternyata dia tertawa. “Kau tidak bisa berhenti
menyelamatkanku, ya?”
Coriolanus tertawa pelan. “Tidak bisa.”
“Mereka mengirimmu untuk memancingku keluar? Sinting.” Sejanus berhenti
tertawa, lalu bangkit berdiri. “Kau pernah melihat mayat?”
“Sering. Semasa perang.” Coriolanus menganggap pernyataan itu sebagai ajakan
untuk mendekat. Dia bisa memegangi lengan Sejanus, tapi selanjutnya apa? Dia
tidak mungkin menyeretnya di sepanjang arena. Akhirnya Coriolanus
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
desyrindah.blogspot.com

“Aku tidak pernah. Apalagi sedekat ini. Di pemakaman, pernah. Dan di kebun
binatang malam itu, tapi mereka belum lama mati hingga mayatnya kaku,” kata
Sejanus. “Aku tidak tahu apakah aku lebih memilih dimakamkan atau dikremasi.
Lagi pula, itu bukan masalah besar.”
“Kau tidak perlu memutuskannya sekarang.” Mata Coriolanus mengawasi
lapangan. Apakah ada orang bersembunyi di balik dinding?
“Oh, itu bukan keputusanku,” kata Sejanus. “Aku tidak tahu kenapa para peserta
tidak mendatangiku. Aku sudah lama berada di sini.” Dia memandang Coriolanus
untuk pertama kalinya, dan alisnya berkerut kuatir. “Kau harus pergi.”
“Aku mau saja pergi dari sini,” kata Coriolanus dengan hati-hati. “Sungguh.
Masalahnya adalah Ma. Dia menunggumu di luar. Dia sangat sedih. Aku berjanji
akan membawamu keluar menemuinya.”
Paras wajah Sejanus berubah sedih. “Ma yang malang. Kasihan Ma. Kau tahu,
dia tidak pernah menginginkan semua ini. Dia tidak mau uang, tidak mau pindah,
tidak mau pakaian bagus atau sopir. Ma hanya ingin tinggal di Dua. Tapi ayahku…
aku yakin dia tidak ada di sini, kan? Dia akan menjauhi masalah ini sampai
semuanya selesai. Lalu dia akan mulai membeli!”
“Membeli apa?” Angin menerpa rambut Coriolanus, mendesirkan gema hampa
di arena. Dia sudah terlalu lama di sini, dan Sejanus tidak berusaha memelankan
suaranya.
“Membeli segalanya! Dia membeli jalan untuk tinggal di sini, membeli cara agar
aku bisa diterima di sekolah, membeli statusku sebagai mentor, dan dia marah
besar karena tidak bisa membeliku,” kata Sejanus. “Dia akan membelimu kalau
kau mengizinkannya. Atau paling tidak, membayar jasamu karena telah berusaha
menolongku.”
Menyuap, pikir Coriolanus, memikirkan uang sekolahnya tahun depan. Tapi dia
hanya berkata, “Kau sahabatku. Dia tidak perlu membayarku untuk menolongmu.”
Tangan Sejanus memegang bahunya. “Kau satu-satunya alasan aku bisa bertahan
desyrindah.blogspot.com

selama ini, Coriolanus. Aku harus berhenti membuatmu susah.”


“Aku tidak tahu keadaannya seburuk ini bagimu. Seharusnya kita bertukar
peserta saat kau memintanya,” jawab Coriolanus.
Sejanus menghela napas. “Tidak penting lagi. Tak ada artinya lagi.”
“Tentu saja penting,” Coriolanus berkeras. Mereka mulai bergerak, dia bisa
merasakannya. Dia bisa merasakan gerombolan peserta mendekatinya.
“Keluarlah  bersamaku.”
“Tidak. Tidak ada gunanya,” kata Sejanus. “Tidak ada yang bisa kulakukan
kecuali mati.”
Coriolanus mendesaknya. “Begitu? Jadi itu satu-satunya pilihanmu?”
“Ini satu-satunya caraku melawan. Biar dunia melihatku mati sebagai bentuk
protesku,” kata Sejanus. “Bahkan kalau aku bukan benar-benar orang Capitol, aku
juga bukan dari distrik. Seperti Lucy Gray, tapi tanpa bakatnya.”
“Kaupikir mereka akan menayangkannya? Mereka akan mengeluarkan mayatmu
diam-diam dan mengatakan bahwa kau mati karena u.” Coriolanus terdiam
mendadak, merasa dia sudah terlalu banyak bicara, seakan merujuk pada kejadian
yang menimpa Clemensia. Tapi, Dr. Gaul dan Dekan Highbo om kan tidak bisa
mendengarnya. “Mereka menggelapkan layar untuk tayangan televisi saat ini.”
Wajah Sejanus berubah muram. “Mereka tidak akan menayangkannya?”
“Sama sekali tidak. Kau akan mati sia-sia dan kau akan membuang kesempatan
untuk membuat keadaan lebih baik.” Terdengar suara batuk, pelan dan teredam,
tapi jelas itu suara batuk. Suara itu berasal dari stan di sebelah kanan. Coriolanus
tidak sedang mengkhayalkannya.
“Kesempatan apa?” tanya Sejanus.
“Kau punya uang. Mungkin bukan sekarang, tapi suatu hari kau akan jadi orang
kaya. Uang memiliki banyak manfaat. Lihat bagaimana uang mengubah duniamu.
Mungkin kau bisa membuat perubahan-perubahan juga. Perubahan yang baik.
Perubahan yang mungkin jika tidak kaulakukan, akan membuat banyak orang
desyrindah.blogspot.com

lebih menderita.” Tangan kanan Coriolanus menggenggam botol semprotan


merica, lalu berpindah memegang senternya. Mana di antara kedua benda ini yang
akan membantunya jika dia diserang?
“Apa yang membuatmu berpikir aku bisa melakukannya?’ tanya Sejanus.
“Kau satu-satunya yang punya nyali melawan Dr. Gaul,” kata Coriolanus. Dia
sebenarnya tidak mau mengatakannya, tapi memang itulah kenyataannya. Sejanus
satu-satunya orang di kelas yang berani melawan wanita itu.
“Terima kasih.” Sejanus terdengar lelah, tapi lebih waras. “Terima kasih telah
mengatakannya.”
Tangan Coriolanus memegang lengan Sejanus seakan ingin menenangkannya,
tapi sesungguhnya dia memeganginya supaya pemuda itu tidak melarikan diri.
“Kita dikepung. Aku akan pergi. Ikutlah denganku.” Dia bisa melihat Sejanus
mulai menyerah. “Ayolah. Apa yang ingin kaulakukan, melawan para peserta atau
melawan demi mereka? Jangan buat Dr. Gaul puas karena mengalahkanmu. Jangan
menyerah.”
Sejanus memandang Marcus lama, menimbang-nimbang pilihannya. “Kau
benar,” akhirnya dia berkata. “Kalau aku meyakini apa yang kukatakan, berarti
sudah jadi tanggung jawabku untuk menghancurkannya. Entah bagaimana
caranya, aku harus mengakhiri kekejian ini.” Dia mengangkat kepala, seakan
mendadak menyadari keadaan mereka. Matanya melirik ke arah stan-stan, tempat
suara batuk yang didengar Corionalus berasal. “Tapi aku takkan meninggalkan
Marcus.”
Coriolanus mengambil keputusan. “Aku akan memegangi kakinya.” Kaki Marcus
kaku dan berat serta mengeluarkan bau amis darah dan kotoran, tapi dia
membengkokkan lutut Marcus dengan kedua lengannya sebisa mungkin dan
menarik bagian bawah tubuh Marcus. Sejanus memeluk dada Marcus dengan
kedua lengannya, dan mereka mulai bergerak. Setengah menarik, setengah
menyeret tubuhnya menuju barikade. Sepuluh meter, lima meter, tidak jauh lagi.
desyrindah.blogspot.com

Setelah mereka lolos, para Penjaga Perdamaian akan bisa melindungi mereka.
Dia tersandung batu dan jatuh, hingga lututnya menancap sesuatu yang tajam
dan menusuk, tapi dia segera berdiri, mengangkat jasad Marcus bersamanya.
Hampir sampai. Hampir…
Terdengar langkah kaki di belakang mereka. Langkah-langkah ringan dan cepat
dari arah barikade, tempat peserta itu menunggu sejak tadi. Re eks, Coriolanus
menjatuhkan jasad Marcus dan berbalik, tepat saat Bobbin menghunjamkan
pisaunya.
desyrindah.blogspot.com
16

Bilah pisau itu mengenai baju pelindung Coriolanus dan menggores lengan kiri
atasnya. Saat Coriolanus melompat ke belakang, dia mengayunkan pukulan ke
arah Bobbin tapi pukulannya hanya mengenai udara. Dia mendarat di atas
reruntuhan, papan-papan bekas, dan plester dinding sementara tangannya
mencari-cari alat untuk melawan. Bobbin menerjangnya lagi, mengarahkan pisau
ke wajahnya. Jemari Coriolanus menggenggam balok kayu, mengangkatnya, lalu
menghantam pelipis Bobbin dengan keras, membuat pemuda itu jatuh berlutut.
Coriolanus kembali berdiri, menggunakan balok kayu itu sebagai pemukul,
menghantamkannya berkali-kali tanpa tahu mengenai bagian mana.
“Kita harus pergi!” teriak Sejanus.
Coriolanus mendengar siulan serta bunyi kaki yang dientak-
entakkan ke tempat duduk di arena. Dalam kebingungannya, dia bergerak menuju
jasad Marcus, tapi Sejanus menariknya pergi.
“Tidak! Tinggalkan dia! Lari!”
Tanpa perlu disuruh lagi, Coriolanus berlari cepat menuju barikade. Siku hingga
bahunya nyeri tapi dia mengabaikan rasa sakit itu, mengentakkan kedua tangannya
sekeras mungkin sebagaimana yang diajarkan Profesor Sickle pada mereka. Saat
sampai di barikade kawat berduri mencungkil kemejanya, Coriolanus berbalik
untuk melepaskan kemejanya yang tersangkut, dan dia melihat mereka. Dua
peserta dari Distrik 4, Coral dan Mizzen, serta Tanner anak rumah jagal
berlari ke arahnya dengan senjata lengkap. Mizzen mengambil ancang-ancang
desyrindah.blogspot.com

untuk melempar trisulanya. Kain di lengan kemeja Coriolanus robek saat dia
menariknya dari kawat berduri dan merayap menghindari serangan, sementara
Sejanus berada di belakangnya.
Cahaya bulan samar-samar menerangi lapisan barikade, dan Coriolanus
menabrak pagar kayu seperti burung yang berusaha terbang dalam kandang. Pasti
kini keberadaannya sudah diketahui semua peserta yang sebelumnya mungkin
tidak menyadari dia ada di dalam arena. Wajahnya menghantam beton, dan
Sejanus menubruknya dari belakang sehingga dahi Coriolanus kembali
menghantam beton. Ketika bangkit, dia merasa seperti menderita gegar otak
permanen, kepalanya berdentam dan sangat pusing.
Para peserta mulai berteriak-teriak, memukul-mukulkan senjata ke barikade saat
mengejar kedua mentor itu ke labirin. Mereka harus ke arah mana? Para peserta
tampaknya mengelilingi mereka. Sejanus memegang lengannya dan menariknya,
dan dia berjalan tersandung di sana-sini, terluka dan ketakutan. Apakah ini
akhirnya? Apakah dia akan mati seperti ini? Amarah atas ketidakadilan serta
hinaan terhadap hidupnya, mengalirkan energi ke tubuh Coriolanus. Dia me-
nerjang melewati Sejanus, merangkak di temaram cahaya merah. Lorong masuk!
Dia bisa melihat pintu putar di ujung lorong, Penjaga Perdamaian berkerumun di
dekat jeruji sementara. Dia berlari secepat-cepatnya.
Lorong itu tidaklah panjang, tapi terasa bagai tiada akhirnya. Kakinya bergerak
seakan berada dalam cairan perekat, dan titik-titik hitam mulai mengaburkan
pandangannya. Sejanus berada di sisinya, tapi dia bisa mendengar peserta semakin
banyak di belakang mereka. Ada benda yang keras dan berat batu bata?
mengenai bagian samping lehernya. Benda lain menusuk rompinya dan menancap
di sana, tergantung di punggungnya hingga kemudian benda itu jatuh berdentang.
Di mana perlindungannya? Tidak ada tembakan senjata dari Penjaga Perdamaian.
Tak ada apa-apa sama sekali, dan jeruji itu masih berdiri tegak di tanah. Dia ingin
berteriak agar mereka membunuh para peserta, menembaki mereka, tapi dia
desyrindah.blogspot.com

sudah nyaris kehabisan napas.


Seseorang dengan langkah berat semakin dekat di belakang mereka, tapi dia
teringat kembali latihan dari Profesor Sickle, agar tidak menghabiskan waktu
untuk menoleh dan mencari tahu siapa di belakangnya. Di depan, para Penjaga
Perdamaian akhirnya mengangkat jeruji ke dalam, menyisakan celah sekitar tiga
puluh sentimeter di atas tanah. Coriolanus menukik, dagunya terseret di tanah
kasar ketika tangannya berada di bawah  jeruji, dan Penjaga Perdamaian menarik
tangannya dengan sekali entakan ke tempat aman. Tapi, dia terlambat
memalingkan kepala sehingga wajahnya juga menggerus tanah kotor itu. 
Para Penjaga melepaskannya segera untuk menarik Sejanus, yang menjerit
kesakitan ketika pisau Tanner merobek betisnya sesaat sebelum berhasil
meloloskan diri. Jeruji itu kembali ke posisi semula, lalu dikunci, tapi para peserta
yang ada di sana tak peduli. Tanner, Mizzen, dan Coral menyodok-nyodokkan
senjata mereka ke celah jeruji mengarah pada Coriolanus dan Sejanus,
melontarkan umpatan-umpatan kebencian sementara para Penjaga Perdamaian
memukul-mukul batang besi pintu putar dengan tongkat. Tak ada peluru yang
ditembakkan. Bahkan tak ada tembakan gas air mata. Coriolanus sadar bahwa
mereka pasti mendapat perintah untuk tidak melukai para peserta.
Saat para Penjaga Perdamaian membantunya berdiri, dia mengumpat marah,
“Terima kasih sudah melindungi kami!”
“Hanya menjalankan perintah. Jangan salahkan kami kalau Gaul menganggapmu
bisa dikorbankan, Nak,” kata Penjaga Perdamaian paling tua yang berjanji akan
melindunginya.
Seseorang berusaha memegangi Coriolanus tapi dia mendorong mereka. “Aku
bisa jalan sendiri! Aku bisa jalan sendiri, tanpa bantuan kalian!” Lalu dia berjalan
miring, hampir jatuh lagi sebelum mereka kembali membantunya berdiri tegak
dan berjalan ke lobi. Coriolanus menceracau umpatan panjang, tapi mereka
bergeming dan tetap memeganginya seperti mengangkat batu, hingga akhirnya
desyrindah.blogspot.com

mereka menjatuhkannya seperti membuang sampah tepat di luar arena. Tidak


lama kemudian mereka menempatkan Sejanus di sampingnya. Mereka berdua
terkapar terengah-engah di ubin yang menghiasi bagian depan arena.
“Maa an aku, Coryo,” kata Sejanus. “Maa an aku.”
Coryo adalah nama panggilannya untuk teman-teman dekatnya. Untuk
keluarganya. Untuk orang-orang Coriolanus sayangi. Dan pada saat seperti ini
berani-beraninya Sejanus memanggil dia dengan nama itu? Kalau masih ada
tenaga, dia sudah mengulurkan tangan mencekik Sejanus.
Tak ada yang memperhatikan mereka. Ma sudah menghilang. Dr. Gaul dan
Dekan Highbo om memperdebatkan volume audio sambil melihat tayangan di
televisi. Penjaga Keamanan berdiri berderet menunggu perintah. Lima menit
kemudian ambulans datang dan pintu belakangnya terbuka. Mereka diangkut
masuk ke ambulans tanpa dilirik sedikit pun oleh pihak berwenang.
Petugas medis memberi Coriolanus perban untuk ditekan ke luka di lengannya,
sementara petugas itu mengobati luka yang lebih mendesak di betis Sejanus, yang
mengeluarkan lumayan banyak darah. Coriolanus ngeri membayangkan harus
kembali dirawat di rumah sakit dengan Dr. Wane yang tak bisa dipercaya itu,
sampai dia melihat melalui bagian kecil di jendela bahwa mereka tiba di Citadel,
dan itu membuatnya lebih takut. Mereka dipindahkan ke brankar, lalu dibawa
masuk dengan cepat ke laboratorium tempat Clemensia diserang, membuat
Coriolanus berpikir apa yang akan dilakukan terhadap mereka.
Kecelakaan di lab pasti sering terjadi, karena klinik medis ada di sana. Klinik
tersebut tidak cukup canggih untuk mengobati Clemensia, tapi cukup layak untuk
mengobati mereka berdua. Tirai berwarna putih memisahkan ranjang mereka,
tapi Coriolanus bisa mendengar Sejanus menjawab satu kata atas setiap
pertanyaan dokter. Dia kesakitan ketika mereka menjahit lengannya dan
membersihkan luka di wajahnya. Kepalanya sakit, tapi dia tidak berani
memberitahu mereka adanya kemungkinan dia kembali mengalami gegar otak.
desyrindah.blogspot.com

Dia takut akan dirawat di rumah sakit hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Dia
hanya ingin segera pergi dari orang-orang ini. Tanpa memedulikan protesnya,
mereka memasang infus di lengannya agar tubuhnya tidak kekurangan cairan dan
menyuntikkan berbagai obat sementara dia berbaring kaku di ranjang, berusaha
untuk tidak melarikan diri.  Walaupun dia sudah melaksanakan perintah Dr. Gaul,
dan berhasil, dia tetap merasa terancam. Apalagi sekarang, terluka dan
terperangkap, tersembunyi di sarang wanita itu.
Rasa sakit di lengannya mulai berkurang. Tapi dia tidak merasakan kabut mor n
menyelubunginya. Mungkin mereka menggunakan obat lain, karena dia tidak
teler, tapi pikirannya malah bertambah tajam, dan dia semakin awas atas segalanya,
mulai dari kain seprainya, perekat perban di wajahnya, hingga rasa getir air dari
gelas logam yang terasa di lidahnya. Langkah kaki sepatu bot Penjaga Perdamaian
mendekat lalu menjauh, membawa pergi Sejanus yang pincang. Jauh di dalam
laboratorium, terdengar pekikan hewan atau entah makhluk apa yang sedang
diberi makan, dan Coriolanus bisa mencium bau amis ikan. Setelah itu, ruangan
hening selama beberapa saat. Dia berpikir untuk kabur tapi dalam hati dia tahu
bahwa dia mesti menunggu. Menunggu langkah kaki lembut yang pada akhirnya
masuk ke ruangannya.
Ketika Dr. Gaul menarik tirai, cahaya temaram laboratorium memberi kesan
aneh bahwa Dr. Gaul sedang berdiri di tepi jurang. Jika Coriolanus mendorongnya
sedikit saja, wanita itu akan jatuh ke jurang yang dalam dan lenyap di sana.
Seandainya saja, pikir Coriolanus. Seandainya saja. Dr. Gaul bergerak maju dan
menaruh dua jari di pergelangan tangan Coriolanus, memeriksa denyut nadinya.
Dia tersentak saat merasakan jemari wanita itu yang dingin dan kasar.
“Tahu tidak, aku memulai karier sebagai dokter,” kata Dr. Gaul. “Dokter
kandungan.”
Mengerikan, pikir Coriolanus. Orang pertama yang dilihat bayi yang baru lahir ke
dunia adalah kau.
desyrindah.blogspot.com

“Bukan pekerjaan yang kusukai,” kata Dr. Gaul. “Orangtua selalu ingin kepastian
yang tak bisa kauberikan. Tentang masa depan yang dihadapi anak-anak mereka.
Bagaimana aku bisa tahu apa yang akan mereka hadapi? Seperti kau, malam ini.
Siapa yang bisa membayangkan putra kesayangan Crassus Snow harus bertarung
nyawa di Capitol Arena. Pasti Crassus tak pernah membayangkannya.”
Coriolanus tidak tahu harus menjawab apa. Dia bahkan tidak bisa mengingat
seperti apa ayahnya, apalagi membayangkan isi pikiran ayahnya.
“Seperti apa rasanya di arena?” tanya Dr. Gaul.
“Mengerikan,” kata Coriolanus dengan nada datar.
“Memang dirancang seperti itu.” Dr. Gaul memeriksa manik mata Coriolanus,
menyorotkan cahaya ke masing-masing matanya. “Bagaimana dengan para
peserta?”
Cahaya itu membuat kepalanya tambah sakit. “Ada apa dengan para peserta?”
Dr. Gaul memeriksa jahitan di lengannya. “Apa pendapatmu tentang mereka
sekarang, setelah mereka tidak lagi dibelenggu? Setelah mereka berusaha
membunuhmu? Padahal, kematian kalian tak ada untungnya bagi mereka. Kalian
tidak menjadi bagian dari kompetisi.”
Memang benar. Jarak mereka cukup dekat untuk bisa mengenalinya. Tetap saja
mereka memburu dirinya dan Sejanus Sejanus yang memperlakukan para
peserta dengan baik, memberi mereka makan, membela mereka, bahkan memberi
upacara kematian pada mereka! padahal mereka bisa memanfaatkan
kesempatan tadi untuk saling membunuh.
“Kurasa aku meremehkan kebencian mereka terhadap kita,” kata Coriolanus.
“Dan pada saat kau menyadarinya, apa reaksimu?” tanyanya.
Coriolanus teringat pada Bobbin, pada pelariannya, pada nafsu para peserta
untuk membunuh mereka bahkan setelah dia melewati jeruji. “Aku mau mereka
mati. Aku mau mereka semua mati.”
Dr. Gaul mengangguk. “Tujuanmu tercapai dengan anak dari Delapan itu. Kau
desyrindah.blogspot.com

menghajarnya sampai bonyok. Kita harus mengarang cerita untuk disampaikan si


bodoh Flickerman itu besok pagi. Tapi ini kesempatan yang sangat bagus
untukmu. Transformatif.”
“Oya?” Coriolanus teringat bunyi berdebuk balok menghajar Bobbin. Jadi apa
yang telah dilakukannya? Membunuh anak lelaki itu? Tidak, bukan
membunuhnya. Jelas-jelas yang dilakukannya adalah membela diri. Lalu apa
selanjutnya? Dia jelas sudah membunuh anak itu. Dia takkan pernah bisa
menghapusnya. Dia sudah melewati ambang batas kesucian diri. Dia telah
merenggut nyawa manusia lain.
“Kau tidak menyadarinya? Ini lebih dari yang kuharapkan. Aku butuh kau
mengeluarkan Sejanus dari arena, tapi aku juga mau kau mencicipi bagaimana
rasanya,” kata Dr. Gaul.
“Walaupun aku bisa saja mati karenanya?” tanya Coriolanus.
“Tanpa ancaman maut, tidak banyak pelajaran yang bisa kauperoleh,” kata Dr.
Gaul. “Apa yang terjadi di arena? Seperti itulah rasanya kemanusiaan yang dilucuti.
Bagi para peserta. Dan kau juga. Betapa cepatnya kesantunan lenyap. Segala
kesopanan, pendidikan, latar belakang keluarga, segala yang kaubanggakan pada
dirimu, tercerabut dalam sekejap, menyingkap siapa dirimu yang sesungguhnya.
Anak lelaki yang memukuli anak lain dengan balok sampai mati. Itulah manusia
dalam keadaan alamiah.”
Setelah disampaikan dengan gamblang, gagasan itu mengejutkannya, tapi
Coriolanus berusaha tertawa. “Apakah kita semua benar-benar seburuk itu?”
“Jawabanku adalah, ya, tentu saja. Tapi ini opini pribadi.” Dr. Gaul mengeluarkan
segulung kain kasa dari saku jas lab-nya. “Kalau menurutmu, bagaimana?”
“Menurutku, aku takkan menghajar orang sampai mati kalau kau tidak
memaksaku ke arena!” balas Coriolanus.
“Kau tidak bisa menyalahkan keadaan, lingkungan, tapi kau mengambil
pilihanmu sendiri, bukan orang lain. Mungkin terlalu berat untuk mencerna
desyrindah.blogspot.com

semua ini sekaligus, tapi penting bagimu untuk berusaha menjawab pertanyaan
itu. Siapa kita sebagai manusia? Karena siapa kita menentukan jenis pemerintahan
yang kita perlukan. Setelah ini, kuharap kau bisa merenung dan jujur pada dirimu
sendiri tentang apa yang kaupelajari malam ini.” Dr. Gaul membungkus lukanya
dengan kain kasa. “Dan beberapa jahitan di lenganmu adalah harga yang murah
untuk membayar pengetahuan ini.”
Coriolanus merasa mual mendengar ucapan Dr. Gaul sekaligus marah
mendengar bahwa wanita itu memaksanya membunuh demi memberinya
pelajaran. Sesuatu yang sepenting itu seharusnya dia putuskan sendiri, bukan
diputuskan oleh wanita itu. Hanya dia yang berhak mengambil keputusannya
sendiri. “Kalau aku binatang buas, kau apa? Kau guru yang mengirim muridnya
menghajar anak lain sampai mati!”
“Oh, ya. Peran itu jatuh padaku.” Dia selesai menutup perban di lengan
Coriolanus dengan rapi. “Tahu tidak, Dekan Highbo om dan aku membaca
esaimu seluruhnya. Tentang apa yang kausukai dari perang. Terlalu berbunga-
bunga. Omong kosong. Hingga di bagian akhir. Bagian tentang kontrol. Untuk
tugasmu berikutnya, aku ingin kau menjelaskannya secara terperinci. Arti dari
kontrol. Apa yang terjadi tanpa adanya kendali. Pikirkan baik-baik. Ini bisa jadi
tambahan menarik dalam lamaran untuk hadiahmu.”
Coriolanus tahu apa yang terjadi tanpa adanya kendali. Dia sudah melihatnya; di
kebun binatang saat Arachne tewas, di arena saat bom meledak, dan malam ini.
“Kekacauan terjadi. Apa lagi?”
“Oh, baguslah. Mulai dari sana. Kekacauan. Tidak ada kontrol, tidak ada hukum,
tidak ada pemerintah sama sekali. Seperti saat berada di arena. Apa selanjutnya?
Perjanjian seperti apa yang diperlukan jika kita ingin hidup dalam damai? Kontrak
sosial seperti apa yang diperlukan untuk bertahan hidup?” Dia melepaskan infus
dari lengan Coriolanus. “Kau harus kembali dua hari lagi agar jahitanmu bisa
diperiksa. Sementara itu, jangan bilang siapa-siapa tentang kejadian malam ini.
desyrindah.blogspot.com

Sebaiknya kau pulang dan tidur selama beberapa jam. Tidak kusangka, pesertamu
masih bertahan dan membutuhkanmu.”
Setelah Dr. Gaul pergi, perlahan-lahan Coriolanus bangkit, memakai kemejanya
yang robek dan ternoda darah lalu mengancingkannya. Dia berjalan tak tentu arah
sampai menemukan elevator yang menuju jalan keluar, dan para penjaga yang tak
peduli hanya melambai menyuruhnya keluar. Trem berhenti beroperasi pada
pukul dua belas malam, dan jam Capitol sudah menunjukkan pukul dua dini hari,
jadi dia berjalan kaki pulang dengan sepatunya yang kotor.
Mobil mewah milik keluarga Plinth berhenti di sampingnya. Jendela kaca mobil
yang diturunkan memperlihatkan Avox, yang melangkah keluar dan membukakan
pintu mobil untuknya. Coriolanus beranggapan bahwa sang sopir sudah
mengantar Sejanus pulang, dan Ma mengirimnya lagi untuk menjemput
Coriolanus. Karena tak ada anggota keluarga Plinth, Coriolanus mau masuk ke
mobil. Ini terakhir kalinya dia berurusan dengan keluarga itu. Saat sopir
mengantarnya sampai apartemen, sopir itu menyerahkan kantong kertas besar
untuknya. Sebelum dia bisa menolak, mobil itu sudah berlalu pergi.
Setibanya di lantai atas, dia mengintip dan melihat Tigris sedang menunggu di
meja minum teh, mengenakan mantel bulu rombeng yang dulu adalah milik
ibunya. Itu selimut yang memberikan rasa aman bagi Tigris, seperti kotak bedak
bagi Coriolanus sebelum beralih peran sebagai kotak senjata. Dia mengambil jas
sekolah dari rak mantel dan memakainya untuk menutupi kemejanya yang robek
dan kotor sebelum Tigris melihatnya.
Coriolanus berusaha mencerahkan suasana yang muram. “Sepertinya tidak
seburuk itu sampai kau butuh mantel.”
Jemari Tigris mengelus bulu di mantelnya. “Ceritakan padaku.”
“Nanti akan kuceritakan semuanya. Besok pagi, ya?” tawar Coriolanus.
“Oke.” Saat Tigris memeluknya untuk mengucapkan selamat malam, tangannya
menyentuh tonjolan perban di lengan Coriolanus. Coriolanus tidak sempat
desyrindah.blogspot.com

menghentikan Tigris yang menarik lepas jaketnya dan melihat darah di


kemejanya. Gadis itu menggigit bibirnya. “Oh, Coryo. Mereka memaksamu
masuk ke arena, ya?”
Coriolanus memeluknya. “Tidak seburuk itu kok. Aku sudah di sini. Dan
berhasil mengeluarkan Sejanus juga.”
“Tidak seburuk itu? Aku ngeri membayangkan kau di sana. Membayangkan
siapa pun ada di sana!” pekiknya. “Lucy Gray yang malang.”
Lucy Gray. Setelah masuk ke arena, dia membayangkan keadaan Lucy Gray
lebih buruk daripada yang dia perkirakan. Dia membayangkan gadis itu
meringkuk dalam kegelapan arena yang dingin dan terlalu takut untuk
memejamkan mata. Hati Coriolanus sakit membayangkan hal itu. Untuk pertama
kalinya, dia lega sudah membunuh Bobbin. Setidaknya dia menyelamatkan Lucy
Gray dari binatang itu. “Semuanya akan baik-baik saja, Tigris. Tapi kau harus
mengizinkanku beristirahat. Kau juga butuh tidur.”
Tigris mengangguk, meski dia tahu sulit baginya untuk tidur. Coriolanus
menyerahkan kantong kertas padanya. “Hadiah dari Ma Plinth. Sarapan, kalau dari
aromanya. Sampai nanti ya.”
Coriolanus tak sempat mandi, langsung jatuh tertidur tak sadarkan diri sampai
suara Grandma’am menyanyikan lagu kebangsaan membangunkannya. Memang
sudah waktunya bangun. Tubuhnya sakit dari kepala sampai ujung kaki. Dia
berjalan dengan susah payah ke kamar mandi, melepaskan kain kasa dari
lengannya, dan membiarkan air panas mengguyur kulitnya yang penuh luka. Ada
salep yang dibawanya dari rumah sakit, walaupun tidak tahu kegunaan salep itu
dia mengoleskannya ke luka di wajah dan dagunya. Jahitan di lengannya
menggesek kemeja bersihnya, tapi tak ada perdarahan baru. Dia mengenakan
jaketnya hari ini untuk berjaga-jaga. Dia memasukkan sikat gigi dan seragam
bersih ke dalam tas sekolahnya, lalu memandang wajahnya di cermin dan
menghela napas. Kecelakaan sepeda, pikirnya. Itu alasannya. Walaupun sepedanya
desyrindah.blogspot.com

sudah rusak selama bertahun-tahun. Tapi dia punya alasan atas kondisi siknya.
Setelah selesai berpakaian dan bersiap-siap, dia menyetel televisi untuk
memastikan tak ada hal buruk yang menimpa Lucy Gray. Tapi kamera tidak
berpindah posisi, dan satu-satunya peserta yang terlihat di bawah cahaya matahari
pagi adalah Lamina di atas palangnya. Dia menghindari Grandma’am, lalu masuk
ke dapur. Di sana Tigris sedang memanaskan sisa teh melati tadi malam.
“Sudah terlambat,” katanya. “Aku harus segera berangkat.”
“Bawa ini untuk sarapan.” Tigris menyerahkan sebungkus makanan ke tangannya
dan memasukkan dua token ke sakunya. “Naik trem saja hari ini.”
Dia perlu menghemat tenaga, dan memutuskan melakukan apa yang
diperintahkan Tigris; naik trem dan makan dua tangkup roti berisi telur dan sosis
yang diberikan Mrs. Plinth. Satu-satunya penyesalan Coriolanus jika menjauh dari
keluarga Plinth adalah tidak lagi mendapat makanan dari Ma.
Para siswa diperintahkan untuk absen masuk pada pukul 7.45 pagi, jadi mereka
yang sudah datang pagi-pagi adalah mentor yang masih memiliki peserta dan
beberapa Avox yang membersihkan aula. Coriolanus memandang Juno Phipps,
yang sedang duduk mendiskusikan strateginya dengan Domitia, dengan tatapan
bersalah. Semestinya dia masih bisa tidur lebih lama di rumah. Coriolanus tidak
terlalu menyukai Juno Phipps gadis itu selalu membawa-bawa silsilah keluarga
saat berbicara seakan nama keluarga Snow tidak sebaik keluarganya tapi
kejadian tadi malam tidak adil buat Juno Phipps. Dia penasaran bagaimana cara
Pengawas Permainan mengungkapkan kematian Bobbin dan bagaimana
perasaannya saat mereka mengungkapkannya, selain rasa mual.
Mereka hanya menyajikan teh di Heavensbee Hall, dan Festus menggerutu.
“Kalau kita harus berada di sini sepagi ini, setidaknya mereka bisa memberi kita
makan. Apa yang terjadi dengan wajahmu?”
“Kecelakaan sepeda,” kata Coriolanus, selantang mungkin agar bisa didengar
semua orang. Dia memberikan roti terakhir yang masih tersisa di kantong kertas
desyrindah.blogspot.com

kepada Festus, senang akhirnya bisa menjadi orang yang memberi makanan. Dia
berutang banyak makanan pada keluarga Creed
“Terima kasih. Kelihatannya enak,” kata Festus, yang langsung menggigit
rotinya.
Lysistrata menyarankan agar Coriolanus memakai krim untuk mencegah infeksi,
lalu mereka berjalan masuk dan duduk di tempat masing-masing saat teman-
teman sekolah mereka mulai tiba.
Walaupun matahari semakin terik, tak banyak perubahan di layar televisi kecuali
hilangnya jasad Marcus. “Kurasa mereka memindahkannya,” kata Pup. Tapi
Coriolanus berpikir mungkin jasad Marcus masih berada di dekat barikade tempat
dia dan Sejanus meninggalkannya tadi malam, hanya saja tidak kena sorotan
kamera.
Tepat pukul delapan, mereka semua bangkit berdiri menyanyikan lagu
kebangsaan, akhirnya teman-teman sekelas Sejanus mulai hafal liriknya. Lalu
Lucky Flickerman muncul, menyambut mereka pada hari kedua Hunger Games.
“Pada saat Anda tidur, terjadi peristiwa penting. Mari kita lihat.” Mereka
menampilkan sudut lebar arena, lalu perlahan-lahan kamera menyorot ke
barikade, memperbesar gambar di sana. Seperti yang diperkirakan Coriolanus,
jasad Marcus masih tergeletak di tempat dia dan Sejanus meninggalkannya. Tidak
jauh dari situ, Bobbin yang babak belur teronggok di atas beton. Bobbin terlihat
lebih buruk daripada yang dia bayangkan. Kaki dan tangannya bersimbah darah,
satu matanya copot, wajahnya bengkak hingga tak bisa dikenali lagi. Apakah dia
benar-benar melakukan hal itu terhadap anak lain? Dan anak itu masih kecil,
dalam kematiannya tubuh Bobbin terlihat menciut. Tampaknya dia tersesat dalam
jaring gelap ketakutan. Keringat mengucur di dahi Coriolanus, dan dia ingin
meninggalkan aula, gedung sekolah, dan seluruh kejadian ini. Tapi, tentu saja, itu
bukanlah pilihan. Memangnya dia siapa Sejanus?
Setelah kamera menyoroti dua jasad itu beberapa lama, tayangan kembali ke
desyrindah.blogspot.com

Lucky yang sedang menduga-duga siapa yang mungkin jadi pelakunya. Kemudian
suasana hatinya berubah cepat. “Yang pasti sudah kita ketahui adalah ada sesuatu
yang patut dirayakan!” Seruannya disusul hujan konfeti, dan Lucky meniup
terompet plastik. “Karena ini berarti kita sudah separo jalan! Ya benar, dua belas
peserta sudah tewas, dan tersisa dua belas lagi!” Sederet saputangan ber warna
cerah terlempar keluar dari tangannya. Dia mengibarkan saputangan itu di atas
kepalanya, sambil berjoget dan bersorak, “Hiyaaa!” Setelah selesai, dia
menunjukkan ekspresi sedih. “Tapi itu berarti kita harus mengucapkan selamat
tinggal pada Miss Juno Phipps. Bukankah begitu, Lepidus?”
Lepidus sudah berada di lorong tempat duduk Juno, yang tak mengira bakal ada
kejadian ini, dan gadis itu tidak punya pilihan selain ikut dengan Lepidus dan
berusaha menunjukkan kekecewaannya di kamera. Karena sudah ada sedikit
waktu untuk menyiapkan diri, Coriolanus membayangkan gadis itu bisa
menghadapinya dengan anggun, tapi Juno menunjukkan wajah masam dan curiga,
mempertanyakan perkembangan terbaru ini sembari membuka buku berlapis
kulit yang bertatahkan lambang keluarga Phipps. “Ada yang mencurigakan di sini,”
katanya pada Lepidus. “Maksudku, apa yang dilakukannya di sana dengan jasad
Marcus? Siapa yang memindahkannya? Dan bagaimana Bobbin bisa tewas? Aku
tidak bisa membayangkan kemungkinan skenario yang terjadi. Menurutku ada ke-
curangan di sini!”
Sang reporter terlihat bingung. “Apa yang dikuali kasikan sebagai kecurangan?
Tepatnya, kecurangan di arena?”
“Ya, aku tidak tahu apa tepatnya,” jawab Juno marah, “tapi aku, pastinya, ingin
melihat tayangan ulang peristiwa tadi malam!”
Semoga beruntung, Juno,  pikir Coriolanus. Kemudian dia sadar bahwa rekaman
tadi malam itu ada. Di bagian belakang van, Dr. Gaul dan Dekan Highbo om
menonton dua versi kejadian itu, tayangan yang sebenarnya dan yang digelapkan
untuk menyamarkan misi Coriolanus. Versi yang tidak digelapkan pun sulit
desyrindah.blogspot.com

dilihat. Namun, Coriolanus tetap tidak menyukai adanya rekaman dia membunuh
Bobbin, seberapa pun gelapnya rekaman itu. Jika rekaman itu sampai tersebar…
entah bagaimana caranya, Coriolanus merasa tidak nyaman.
Lepidus tidak berlama-lama dengan Juno, pecundang yang tidak memiliki
kebesaran hati dalam menerima kekalahan seperti Felix, dan Lepidus
mengarahkan gadis itu kembali ke tempat duduk sambil menepuk-nepuk
punggungnya untuk menenangkannya.
Lucky yang masih bertabur konfeti tampak tidak menyadari penderitaan Juno.
Dia mendekatkan diri ke kamera memamerkan senyum girang. “Dan sekarang,
apa lagi yang menanti? Kita punya kejutan ekstrabesar terutama jika kau salah
satu dari dua belas mentor yang tersisa!”
Coriolanus dan teman-temannya bertukar pandang dengan bingung sebelum
Lucky berjalan mengelilingi studio dan memperlihatkan Sejanus duduk bersisian
dengan ayahnya, Strabo Plinth, dengan ekspresi wajah sekeras logam persenjataan
di distrik kampung halamannya. Lucky duduk di kursi pembawa acara dan
menepuk kaki Sejanus. “Sejanus, maa an aku, kemarin kau tidak mendapat
kesempatan untuk memberi komentar atas kematian pesertamu, Marcus.” Sejanus
memandang bingung pada Lucky. Untuk pertama kalinya Lucky memperhatikan
luka-luka lecet di wajah Sejanus. “Ada apa ini? Kau sepertinya juga beraksi.”
“Aku jatuh dari sepeda,” kata Sejanus serak, dan Coriolanus mengernyit. Dua
kecelakaan sepeda dalam periode waktu dua belas jam yang sama bukanlah
sekadar kebetulan.
“Aduh. Tapi sepertinya kau punya kabar besar untuk dibagi dengan kami!” kata
Lucky sembari mengangguk memberi semangat.
Sejanus menunduk sejenak, walaupun tidak terang-terangan, pasangan ayah dan
anak itu sedang bertarung satu sama lain.
“Ya,” kata Sejanus. “Kami, keluarga Plinth, mengumumkan bahwa kami akan
memberikan hadiah berupa beasiswa penuh di Universitas untuk mentor yang
desyrindah.blogspot.com

pesertanya memenangkan Hunger Games.”


Pup berteriak senang, dan mentor-mentor lain saling tersenyum. Coriolanus
tahu, kebanyakan mereka tidak butuh uang seperti dirinya, dan hadiah ini hanya
seperti penghias yang melengkapi kemenangan.
“Luar biasa!” kata Lucky. “Pasti kedua belas mentor ini sekarang merasakan
kobaran semangat. Apakah ini idemu, Strabo? Untuk menciptakan Hadiah
Plinth?”
“Sebenarnya, ini ide putraku,” kata Strabo, ujung bibirnya melengkung naik
seakan berusaha tersenyum.
“Betapa murah hati dan baik sekali niat ini, mengingat kekalahan Sejanus. Kau
mungkin tidak memenangkan Hunger Games, tapi jelas kau membawa pulang
hadiah sebagai mentor paling sportif. Aku berterima kasih, mewakili Capitol!”
Lucky tersenyum lebar pada pasangan ayah dan anak itu, tapi mereka tak lanjut
bicara, sehingga Lucky pun mengayunkan lengannya. “Baiklah, kalau begitu, kita
kembali ke arena!”
Coriolanus berpikir keras tentang perkembangan terbaru ini. Sejanus benar
tentang ayahnya yang berusaha menutupi tingkah putranya yang keterlaluan
dengan uang. Walaupun itu tidak mengubah apa yang sudah terjadi. Dia tidak
mendengar reaksi teman-temannya di Heavensbee Hall tentang Sejanus yang
mengamuk melempar kursi, tapi dia merasa gosip pasti sudah beredar. Hadiah
untuk mentor sepertinya harga yang murah untuk membayarnya. Apa yang akan
ditawarkan keluarga Plinth untuk mencegah bocornya berita tentang Sejanus yang
menerobos masuk ke arena? Apakah dia juga berencana menyuap Coriolanus agar
tutup mulut?
Jangan pikirkan itu, jangan pikirkan itu, Coriolanus berkata dalam hati. Berita
lebih besar adalah kemungkinan memenangkan Hadiah Plinth. Hadiah ini
terpisah dari Akademi, jadi Dekan Highbo om tak bisa menghalanginya. Bahkan
Dr. Gaul pun tidak bisa. Beasiswa penuh akan membebaskan Coriolanus dari
desyrindah.blogspot.com

kekuasaan mereka dan mengangkat beban kecemasan tentang masa depannya!


Pertaruhan yang sudah tinggi dalam Hunger Games kini makin menjulang. Fokus,
katanya dalam hati, lalu mengambil napas panjang perlahan-lahan. Fokus untuk
membantu Lucy Gray.
Tapi apa yang bisa dilakukannya, sampai gadis itu menunjukkan diri? Pagi
berlalu, tidak banyak peserta yang menunjukkan diri. Coral dan Mizzen
berkeliaran bersama sebentar, mengambil makanan dan air dari Festus dan
Persephone, mentor mereka. Festus dan Persephone banyak menghabiskan waktu
berduaan, berembuk merancang strategi untuk peserta mereka, dan Coriolanus
bisa melihat Festus naksir Persephone. Apakah kau akan memberitahu teman
baikmu bahwa gadis yang ditaksirnya adalah kanibal? Tak ada buku panduan
untuk hal semacam ini.
Saat mereka kembali ke mimbar setelah makan siang, mereka melihat hanya ada
dua belas kursi untuk mentor yang masih memiliki peserta di Hunger Games.
“Permintaan Pengawas Permainan,” kata Satyria pada dua belas mentor. “Agar
penonton lebih mudah mengikuti siapa yang masih menjadi pesaing. Kita akan
menyingkirkan kursi saat pesertamu terbunuh.”
“Seperti permainan kursi musikal,” kata Domitia dengan wajah senang.
“Tapi dengan orang-orang mati jadi korbannya,” kata Lysistrata.
Keputusan untuk menyingkirkan mereka yang kalah dari mimbar membuat
Livia makin getir, dan Coriolanus lega karena Livia pindah ke tempat duduk
penonton umum, dan dia tidak perlu mendengar komentar-komentar sinis gadis
itu. Sebaliknya, dia tidak bisa menjauh dari Clemensia, yang memelototinya
sepanjang waktu. Coriolanus duduk di deretan paling belakang, diapit Festus dan
Lysistrata, dan berusaha terlihat sibuk.
Hari semakin siang, kepala Coriolanus semakin berat, sampai-sampai Lysistrata
harus menyikutnya dua kali agar dia tidak ketiduran. Untungnya siang ini
keberadaannya tidak terlalu dibutuhkan, mengingat tadi malam dia nyaris
desyrindah.blogspot.com

terbunuh. Ada penampakan beberapa peserta, tapi Lucy Gray tetap tak terlihat.
Pada sore hari, Hunger Games baru menunjukkan aksi yang diharapkan
penonton. Anak perempuan dari Distrik 5, anak yang terlihat lemah dan pernah
ikut dalam kawanan yang menyerang Coriolanus, berjalan ke bangku-bangku
penonton di ujung arena. Lucky berusaha mengingat nama anak perempuan itu
dan mentornya yang juga terlupakan, Iphigenia Moss. Ayah Iphigenia memimpin
Kementerian Pertanian, dan mengatur aliran makanan di seantero Panem. Tapi
Iphigenia tampak seperti gadis yang kekurangan gizi, sering memberikan makan
siangnya pada teman-teman sekelasnya, bahkan pernah pingsan beberapa kali.
Clemensia pernah memberitahu Coriolanus bahwa itulah satu-satunya cara balas
dendam yang bisa dilakukan Iphigenia pada ayahnya, tapi Clemensia tidak men-
jelaskan lebih lanjut.
Seperti dugaan, Iphigenia mengirim makanan yang dia miliki pada pesertanya.
Tetapi pada saat drone-drone   itu terbang melintasi arena, Mizzen, Coral, dan
Tanner, yang tampak membentuk semacam persekutuan setelah peristiwa tadi
malam, muncul dari terowongan dan memulai perburuan mereka. Setelah
pengejaran singkat di antara bangku-bangku penonton, mereka berhasil
mengurung gadis itu, dan Coral membunuhnya dengan hunjaman trisula ke
lehernya.
“Wah, wah, hebat,” kata Lucky, masih tidak tahu nama peserta itu. “Apa yang
bisa disampaikan mentornya pada kita, Lepidus?”
Iphigenia sudah lebih dulu menghampiri Lepidus. “Namanya Sol, atau mungkin
Sal. Dia memiliki aksen bicara yang lucu. Tak banyak yang bisa diceritakan.”
Lepidus tampak sependapat. “Usaha yang bagus, berhasil menempatkannya di
paruh kedua, Albina!”
“Iphigenia,” kata Iphigenia sambil berjalan turun dari mimbar.
“Tepat sekali!” kata Lepidus. “Ini artinya hanya tersisa sebelas peserta!”
Artinya hanya ada sepuluh orang lagi di antara aku dan hadiah itu, pikir
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus saat dia melihat Avox menyingkirkan kursi Iphigenia. Dia berharap
bisa mengirimkan makanan dan minuman untuk Lucy Gray. Apa yang akan
terjadi jika dia mengirim hadiah tanpa mengetahui lokasi Lucy Gray? Di layar
terlihat kawanan itu mengambil makanan yang dikirim untuk Sol atau Sal lalu
kembali ke terowongan, mungkin mereka hendak beristirahat sebelum malam
tiba. Apakah dia harus mengambil risiko dengan mengirim makanan sekarang?
Dia berbisik pada Lysistrata, yang merasa tak ada salahnya mencoba mengirim
drone mereka berbarengan. “Kita tidak mau mereka terlalu lemah dan mengalami
dehidrasi. Kurasa Jessup sudah tidak makan beberapa hari. Mari kita tunggu dan
lihat apakah mereka mencoba mengontak kita. Kita tunggu sampai makan
malam.”
Tapi Lucy Gray muncul tepat ketika para siswa diizinkan pulang. Dia melesat
keluar dari terowongan, berlari sekencang-kencangnya. Kepang rambutnya sudah
terurai, hingga rambutnya berkibar ketika dia berlari.
“Di mana Jessup?” tanya Lysistrata mengerutkan dahi. “Kenapa mereka tidak
bersama-sama?”
Sebelum Coriolanus bisa menerka jawabannya, Jessup terhuyung-huyung keluar
dari terowongan yang sama. Awalnya Coriolanus mengira Jessup terluka, mungkin
saat melindungi Lucy Gray. Tapi, apa yang membuat gadis itu melarikan diri?
Apakah mereka dikejar peserta lain? Saat kamera menyorot lebih dekat ke Jessup,
tampak jelas pemuda itu sakit, bukan terluka. Dia bergerak kaku dan gelisah,
tangannya menggapai-gapai ke atas sebelum jatuh berlutut, lalu tiba-tiba dia
tersentak berdiri saat kamera menyorot wajahnya dalam jarak dekat.
Coriolanus bertanya-tanya apakah Lucy Gray berhasil meracuninya, tapi
tindakan itu tidak masuk akal. Jessup terlalu berharga sebagai pelindungnya,
terutama setelah kawanan yang terbentuk tadi malam berkeliaran membunuh
peserta lain. Jadi, apa penyebab sakitnya?
Banyak hal yang bisa menyebabkan Jessup sakit, bisa karena virus atau
desyrindah.blogspot.com

semacamnya, tapi petunjuknya menjadi jelas saat mulut pemuda itu mulai
mengeluarkan busa.
17

“Dia kena rabies,” kata Lysistrata pelan.


Rabies kembali mewabah di Capitol pada masa perang. Karena dokter
diperlukan di medan perang, sementara fasilitas medis dan jalur persediaan obat-
obatan lumpuh karena pengeboman, maka perawatan medis untuk manusia pun
seadanya saja seperti yang dialami ibu Coriolanus. Hewan peliharaan Capitol yang
biasanya dimanja bahkan tidak mendapat perawatan sama sekali. Memvaksin
kucing tidak lagi jadi prioritas saat kau tidak punya uang untuk membeli roti. Awal
wabah rabies ini pun masih jadi perdebatan mungkinkah anjing hutan yang
terinfeksi rabies turun dari pegunungan? Atau kelelawar? tapi anjing lah yang
penyebar rabies. Banyak anjing yang kelaparan, mereka pun menjadi korban
perang. Penularan terjadi dari anjing ke anjing, lalu ke manusia. Virus yang
mematikan berkembang cepat, menewaskan lebih dari sepuluh orang penduduk
Capitol sebelum program vaksinasi massal mengendalikan penularan ini.
Coriolanus teringat pada poster-poster yang memperingatkan penduduk bahwa
penularan bisa terjadi pada manusia dan hewan, menambah satu lagi ancaman
pada dunia. Dia teringat pada Jessup dengan saputangan yang ditekan ke lehernya.
“Gigitan tikus?”
“Bukan tikus,” kata Lysistrata, keterkejutan dan kesedihan tergambar di
wajahnya. “Tikur hampir tak pernah menyebarkan rabies. Mungkin rakun kudisan
itu.”
“Lucy Gray bilang Jessup menyebut-nyebut binatang berbulu, jadi aku
desyrindah.blogspot.com

berasumsi…” Coriolanus terdiam. Tidak penting binatang apa yang menggigit


Jessup; dilihat dari sisi mana pun ini adalah hukuman mati untuk pemuda itu. Dia
pasti tertular sekitar dua minggu lalu. “Seharusnya cepat, ya kan?”
“Sangat cepat. Karena dia digigit di bagian leher. Semakin cepat virusnya sampai
ke otak, semakin cepat pula kau meninggal,” Lysistrata menjelaskan. “Dan,
tentunya, dia juga kelaparan dan tubuhnya lemah.”
Kalau Lysistrata yang mengatakannya, mungkin memang benar seperti itu.
Coriolanus membayangkan seperti inilah diskusi keluarga Vickers saat makan
malam, dengan pembahasan klinis dan tenang.
“Jessup yang malang,” kata Lysistrata. “Bahkan kematiannya pun harus seburuk
ini.”
Kesadaran akan penyakit yang diderita Jessup membuat penonton tegang,
menghasilkan komentar-komentar jijik dan takut.
“Rabies! Bagaimana dia bisa kena rabies?”
“Pasti dia membawa penyakitnya dari distrik!”
“Gawat, dia bakal menulari seluruh kota!”
Semua siswa kembali ke tempat duduk masing-masing, tidak mau ketinggalan
tayangan di layar, sementara pikiran mereka mengingat kembali kenangan akan
penyakit itu semasa mereka kanak-kanak.
Coriolanus diam sebagai bentuk solidaritas terhadap Lysistrata, tapi
kekuatirannya bertambah saat Jessup berlari zig-zag menyeberangi arena ke arah
Lucy Gray. Tak ada yang tahu apa yang ada dalam pikiran Jessup. Dalam keadaan
normal, Coriolanus yakin Jessup akan melindungi Lucy Gray, tapi Jessup jelas
sudah kehilangan akal sehatnya kalau Lucy Gray berlari menyelamatkan diri
seperti itu.
Kamera mengikuti Lucy Gray yang berlari cepat melintasi arena dan mulai
memanjat dinding yang sempal menuju stan-stan yang menjadi tempat wartawan
meliput. Posisinya di bagian tengah arena, terdiri atas beberapa baris tempat
desyrindah.blogspot.com

duduk dan entah bagaimana bisa lolos dari serangan bom. Lucy Gray berhenti
sejenak, terengah-engah sambil memikirkan Jessup yang mengejarnya, lalu gadis
itu berhasil sampai di reruntuhan stan penjual makanan di dekat sana. Rangkanya
utuh, tapi bagian tengahnya hancur berkeping-keping dan atapnya melayang
hingga sepuluh meter jauhnya. Dengan batu bata dan tripleks berserakan, area itu
menjadi jalur halang rintang yang harus dilewati Lucy Gray sebelum tiba di bagian
puncaknya.
Para Pengawas Permainan mengambil kesempatan saat Lucy Gray tidak
bergerak, dan memperbesar gambarnya dalam jarak dekat. Coriolanus melihat
bibir Lucy Gray pecah-pecah dan langsung mengakses alat komunikasinya. Gadis
itu tampaknya belum minum sejak masuk arena, dan itu sudah satu setengah hari
yang lalu. Dia menyentuh layar untuk mengirim sebotol air. Kecepatan pengirim-
an hadiah dengan drone  kini semakin baik. Bahkan jika dia tetap berlari, mereka
tetap bisa mengirim air jika Lucy Gray berada di tempat terbuka. Kalau dia bisa
lolos dari Jessup, Coriolanus bisa mengiriminya makanan dan minuman, untuk
dirinya sendiri dan sebagai umpan racun tikus. Tapi urusan racun itu tampaknya
masih menjadi rencana masa depan yang belum terpikirkan caranya.
Jessup berhasil menyeberangi arena dan tampak bingung karena Lucy Gray
menjauhinya. Dia berusaha memanjat menyusulnya ke stan, tapi tidak bisa
menyeimbangkan diri. Ketika dia masuk ke lautan puing, koordinasi langkahnya
semakin kacau. Dua kali dia terjatuh, lutut dan pelipisnya luka robek. Setelah luka
kedua, yang mengeluarkan banyak darah, dia jatuh terduduk, tertegun di tangga
berusaha menggapai Lucy Gray. Mulut Jessup bergerak-gerak sementara liur
berbusa menetes ke dagunya
Lucy Gray tetap bergeming, memandang Jessup dengan tatapan sedih. Mereka
menampilkan ilustrasi aneh: anak lelaki yang kena rabies, gadis yang terperangkap,
bangunan yang habis dibom. Pasangan kekasih bernasib malang yang tiba di ujung
takdir mereka. Kisah pembalasan karma. Saga perang yang tak kenal ampun.
desyrindah.blogspot.com

Tolong matilah, pikir Coriolanus. Apa yang membuatmu meninggal karena


rabies? Kau tidak bisa bernapas, atau mungkin jantungmu berhenti? Apa pun itu,
semakin cepat Jessup mati, semakin baik buat semua orang.
Drone yang membawa botol berisi air tampak terbang ke arena, dan Lucy Gray
mendongak melihat arah terbangnya. Lidahnya mengecap seakan menunggu.
Namun, ketika air itu melewati kepala Jessup, pemuda itu bergidik. Dia
menghantam botol itu dengan balok, dan drone itu jatuh menghantam stan. Air
yang menyembur keluar dari botor membuatnya makin rusuh. Dia mundur
menjauh agar tidak kena siram air, tersandung kursi-kursi di sana, lalu mengejar
Lucy Gray. Akibatnya, Lucy Gray memanjat makin tinggi.
Coriolanus panik. Strategi memanfaatkan reruntuhan sebagai pemisah antara
dirinya dengan Jessup memang berhasil, tapi Lucy Gray terancam kehabisan
tempat perlindungan. Virus itu mungkin mengurangi kemampuan gerak Jessup,
tapi juga membuatnya semakin kuat hingga taraf mania, dan tak ada yang bisa
mengalihkan perhatiannya dari Lucy Gray. Kecuali saat ada air, pikir Coriolanus.
Air. Kata itu terlintas dalam otaknya. Kata-kata yang tercantum pada poster yang
pernah ditempel di banyak tempat di Capitol. Hidrofobia. Fobia terhadap air.
Kesulitan menelan membuat korban rabies menggila saat melihat air.
Jemari Coriolanus hendak menekan alat komunikasinya untuk memesan
berbotol-botol air. Barangkali air bisa membuat Jessup kabur ketakutan. Kalau
memang perlu menghabiskan uangnya, Coriolanus akan menghabiskannya untuk
mengirim air.
Tangan Lysistrata menyentuh tangannya, menghentikan niat Coriolanus.
“Jangan, aku saja. Lagi pula, dia pesertaku.” Lysistrata memesan berbotol-botol air.
Mengirim air ke arena untuk membuat Jessup makin menggila. Wajah Lysistrata
tidak menunjukkan banyak emosi, tapi setetes air mata mengalir di pipinya, dan
dia menghapusnya sebelum air mata itu mengenai ujung bibirnya.
“Lyssie…” Coriolanus sudah lama tidak memanggil gadis itu dengan panggilan
desyrindah.blogspot.com

tersebut. “Kau tidak harus melakukannya.”


“Kalau Jessup tidak bisa menang, aku mau Lucy Gray yang menang. Itu yang
diinginkan Jessup. Dan Lucy Gray tidak bisa menang kalau Jessup
membunuhnya,” kata Lysistrata. “Itu bisa saja terjadi.”
Di layar, Coriolanus bisa melihat Lucy Gray berada dalam posisi terjepit. Di
sebelah kirinya ada dinding tinggi arena, di sebelah kanannya ada kaca tebal
tempat duduk wartawan. Ketika Jessup melanjutkan pengejaran, Lucy Gray
berusaha kabur, tapi Jessup terus menghalangi. Ketika mereka hanya berjarak
enam meter, Lucy Gray berbicara pada Jessup, tangannya terulur berusaha
menenangkan pemuda itu. Jessup berhenti mengejar, tapi hanya sebentar, lalu dia
bergerak mendekati Lucy Gray lagi.
Di ujung arena, botol air pertama kiriman Lysistrata atau mungkin botol
pengganti yang pecah tadi, mulai bergerak ke arah peserta. Drone ini tampak lebih
kokoh dan terbang lebih tepat arah, diiringi botol-botol air di belakangnya. Pada
saat Lucy Gray melihat iringan drone pembawa air, dia berhenti melarikan diri.
Coriolanus melihatnya menepuk kantong rumbai-rumbai roknya, tempatnya
menyimpan kotak perak, dan dia menganggap itu pertanda bahwa Lucy Gray me-
mahami pentingnya air. Lucy Gray menunjuk ke arah drone, mulai berteriak, dan
berhasil membuat Jessup menoleh ke belakang.
Jessup tertegun, dan matanya memandang ngeri. Ketika drone-drone itu
mendekat, dia berusaha mengaisnya, tapi tidak kena. Ketika mereka mulai
menjatuhkan botol-botol air itu, dia kehilangan kendali. Alat peledak mungkin
tidak menghasilkan reaksi sebesar ketika air yang jatuh ke tempat duduk
mencipratkan air kepada Jessup. Salah satu air di botol tumpah mengenai
tangannya, dan dia terlonjak seakan kena siram air keras. Dia berusaha kembali ke
arah lapangan, tapi sekitar sepuluh drone tiba dan menghujaninya. Karena drone-
drone itu dikirim langsung kepada peserta yang dituju, dia tidak bisa menghindar.
Ketika dia berusaha kabur di antara kursi-
desyrindah.blogspot.com

kursi, kakinya tersandung, dan dia terempas ke luar dinding arena dan jatuh ke
lapangan.
Bunyi tulang-tulang patah terdengar ketika Jessup mendarat menghantam tanah,
dan dia jatuh di bagian lapangan yang memiliki perekam audio bagus. Dia
terbaring telentang, tak bergerak, hanya dadanya naik-turun. Botol-botol yang
tersisa menghujaninya dengan air sementara Jessup mengernyit dan matanya
memandang tanpa berkedip ke cahaya matahari yang terang menyilaukan sisa-sisa
air.
Lucy Gray berlari menuruni tangga dan memandangnya dari susuran tangga.
“Jessup!” Pemuda itu berhasil mengarahkan pandangannya ke wajah Lucy Gray.
Coriolanus samar-samar mendengar Lysistrata berbisik, “Oh, jangan biarkan dia
mati sendirian.”
Lucy Gray menimbang-nimbang bahaya dan mengantisipasi ancaman di arena
sebelum turun dan menyelinap dari celah dinding di sisi Jessup terbaring.
Coriolanus ingin berteriak Lucy Gray harus pergi dari sana tapi dia tidak bisa
melakukannya karena ada
Lysistrata di sampingnya. “Dia takkan meninggalkannya,” Coriolanus me-
nenangkan Lysistrata, teringat bagaimana Lucy Gray menarik tubuhnya dari tiang
yang terbakar. “Itu bukan gayanya.”
“Aku masih punya uang,” kata Lysistrata sambil menyeka matanya. “Aku akan
mengiriminya makanan.”
Jessup menggerakkan matanya memandang Lucy Gray yang melompat ke
lapangan, tapi dia tidak bisa bergerak. Mungkinkah dia lumpuh karena jatuh?
Lucy Gray mendekatinya dengan hati-hati dan berlutut di dekatnya sambil
menggenggam lengan Jessup yang panjang. Dia berusaha tersenyum dan bicara,
“Tidurlah, Jessup, kau dengar, tidak? Tidurlah dulu, sekarang giliranku berjaga.”
Ada sesuatu yang masuk ke dalam kenangan Jessup, suara Lucy Gray atau
mungkin pengulangan kata-kata yang diucapkan Lucy Gray selama dua minggu
desyrindah.blogspot.com

terakhir. Ketegangan di wajah Jessup berangsur lenyap, dan bulu matanya


bergerak-gerak. “Ya benar. Lepaskan dirimu. Bagaimana kau bisa bermimpi kalau
kau tidak tidur?” Lucy Gray menggeser maju tubuhnya dan tangannya menyentuh
kepala Jessup. “Tidak apa-apa. Aku akan menjagamu. Aku ada di sini. Aku me-
nemanimu.” Jessup memandang Lucy Gray tak berkedip seiring maut merenggut
kehidupan dari tubuhnya dan dadanya pun berhenti bergerak.
Lucy Gray merapikan poni Jessup dan duduk berlutut. Dia menghela napas
panjang, dan Coriolanus bisa merasakan kelelahan gadis itu. Lucy Gray
menggeleng-gelengkan kepalanya seakan berusaha bangun, lalu dia mengambil
botol berisi air yang ada di dekatnya, membuka penutup botol dan meneguk habis
isinya dalam beberapa tegukan. Selanjutnya dia menghabiskan botol kedua, lalu
ketiga, lalu menyeka mulutnya dengan punggung tangan. Dia berdiri dan meng-
amati Jessup, lalu membuka botol lain dan menuang air ke wajah Jessup,
membersihkan busa dan air liur di wajahnya. Dia mengeluarkan serbet linen putih
dari kantongnya, serbet yang dibawa Coriolanus sebagai alas kotak pikniknya pada
malam terakhir mereka. Dia mendekat dan menggunakan ujung serbet untuk
menutup kelopak mata Jessup, lalu mengibas kain itu dan menutup wajah pemuda
itu agar tidak jadi tontonan.
Kiriman makanan dari Lysistrata berjatuhan di sekelilingnya dan me-
ngembalikan Lucy Gray pada kenyataan. Dia bergegas mengambil potongan-
potongan roti dan keju dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong
pakaiannya. Dia mengumpulkan botol-botol air dengan roknya, tapi berhenti
ketika melihat Reaper di ujung arena. Lucy Gray tidak membuang waktu untuk
lari kabur ke terowongan terdekat membawa hadiah-hadiahnya. Reaper tidak
mengejarnya tapi mendekat untuk mengambil botol-botol air yang tersisa dalam
cahaya matahari yang mulai menghilang, memperhatikan Jessup tapi tidak
melakukan apa-apa terhadap jenazahnya.
Coriolanus menganggap ini pertanda baik. Kalau para peserta terbiasa
desyrindah.blogspot.com

memunguti hadiah makanan dan minuman, mereka akan lebih mudah diracuni.
Dia tidak bisa lama-lama memikirkan caranya, karena Lepidus datang mendekati
Lysistrata.
“Wah!” kata Lepidus. “Mengejutkan! Apakah kau tahu dia menderita rabies?”
“Tentu saja tidak. Kalau tahu, aku akan memberitahu pihak ber wenang agar
memeriksa rakun di kebun binatang,” kata Lysistrata.
“Apa? Maksudmu dia tidak membawa penyakitnya dari distrik?” tanya Lepidus.
Lysistrata teguh dengan pendapatnya. “Tidak, dia digigit di sini, di Capitol.”
“Di kebun binatang?” Lepidus tampak kuatir. “Banyak orang Capitol yang
menghabiskan waktu di kebun binatang.  Ada rakun yang berlari di peralatanku,
mencakar-cakar dengan tangan mereka yang kecil…”
“Kau tidak kena rabies,” kata Lysistrata.
Lepidus membuat gerakan mencakar-cakar. “Rakun itu menyentuh barang-
barangku.”
“Kau punya pertanyaan tentang Jessup?” tanya Lysistrata.
“Jessup? Tidak, aku tak pernah dekat dengannya. Oh, hm, maksudmu… Apakah
kau bisa berbagi perasaanmu?” tanyana.
“Ya.” Lysistrata mengambil napas panjang. “Aku ingin semua orang tahu bahwa
Jessup adalah orang yang baik. Dia melindungiku dengan tubuhnya dari ledakan
bom di arena. Dia bahkan melakukannya tanpa sadar. Dia melakukannya secara
re eks. Itulah sejatinya Jessup. Seorang pelindung. Kurasa dia takkan
memenangkan Hunger Games, karena dia lebih memilih mati untuk melindungi
Lucy Gray.”
“Oh, seperti anjingnya.” Lepidus mengangguk. “Anjing yang baik.”
“Bukan. Bukan seperti anjing. Seperti manusia,” kata Lysistrata.
Lepidus memandangnya lekat-lekat, berusaha menafsir apakah Lysistrata
bergurau atau tidak. “Hm. Lucky, ada pendapat dari markas pusat?”
Kamera menangkap sosok Lucky yang sedang menggigit bintil kukunya. “Oh,
desyrindah.blogspot.com

apa? Hei! Tak ada apa-apa saat ini. Bagaimana kalau kita kembali arena?”
Saat kamera tak lagi mengarah padanya, Lysistrata mengambil barang-
barangnya.
“Jangan pergi dulu. Makan malamlah dengan kami,” kata Coriolanus.
“Tidak. Aku hanya ingin pulang. Terima kasih sudah mendampingiku. Coryo.
Kau sekutu yang baik,” kata Lysistrata.
Coriolanus memeluknya. “Kau juga. Aku tahu ini tidak mudah.”
Lysistrata menghela napas. “Yah, setidaknya, aku sudah tidak terlibat.”
Mentor-mentor yang lain berkumpul di sekelilingnya, mengatakan bahwa dia
sudah melakukan tugasnya dengan baik dan lain-lain, lalu Lysistrata meninggalkan
aula tanpa menunggu yang lain keluar. Tak lama kemudian, siswa-siswa lain keluar
dan hanya menyisakan sepuluh mentor. Mereka mengawasi satu sama lain dengan
pandangan baru setelah Hadiah Plinth menjadi taruhannya, masing-masing tidak
hanya berharap  memiliki pemenang, tapi menjadi pemenang Hunger Games.
Pemikiran yang sama pasti juga terlintas di pikiran Pengawas Permainan, karena
Lucky melihat layar televisi menampilkan da ar peserta yang tersisa beserta
mentor mereka. Layar terbagi dua menunjukkan foto pasangan mentor dan
peserta bersisisan, diiringi suara latar. Beberapa mentor mengerang saat menyadari
foto identitas siswa mereka terpampang di sana, tapi Coriolanus lega karena
mereka tidak menunjukkan wajahnya yang saat ini lecet-lecet. Para peserta, yang
memang tidak memiliki foto resmi, ditampilkan dengan foto mereka yang
terpotret usai hari pemungutan.
Da ar itu berurutan secara distrik, dimulai dari Distrik 3, pasangan Urban-
Teslee dan Io-Circ. “Peserta-peserta dari distrik teknologi membuat kita bertanya-
tanya, apa yang mereka lakukan pada drone-drone itu?” kata Lucky. Selanjutnya
foto Festus dan Coral, berikutnya Persephone dan Mizzen. “Para peserta Distrik
Empat melaju memasuki sepuluh besar!” Foto Lamina di atas palang dan Pup
membuat Pup bersorak sampai foto itu digantikan Treech yang sedang main sulap
desyrindah.blogspot.com

di kebun binatang dan Vipsania. “Favorit penonton Lamina dan Pliny Harrington
juga anak lelaki Distrik Tujuh, Treech, dan mentornya Vipsania Sickle! Jadi,
Distrik Tiga, Empat, dan Tujuh masih lengkap pesertanya! Sekarang kita ke
peserta tunggal.” Foto buram Wovey yang berjongkok di kebun binatang, dipa-
sangkan dengan foto Hilarius yang jerawatan. “Wovey dari Delapan dengan
Hilarius Heavensbee sebagai mentor!” Karena mereka menggunakan foto saat
wawancara, Tanner terlihat lebih baik ketika fotonya dipasang dengan Domitia.
“Anak lelaki dari Sepuluh tidak sabar untuk menggunakan teknik rumah jagalnya!”
Kemudian, Reaper, yang berdiri tegak di arena, bersama Clemensia yang tanpa ca-
cat. “Inilah peserta yang membuatmu berpikir ulang! Reaper dari Sebelas!”
Akhirnya Coriolanus melihat fotonya tidak jelek, tidak terlalu bagus juga
dengan foto Lucy Gray yang memesona sedang bernyanyi saat wawancara. “Dan
pasangan paling populer jatuh kepada Coriolanus Snow dan Lucy Gray dari Dua
Belas!”
Paling populer? Dia tersanjung, tapi Coriolanus menganggapnya tidak
menakutkan buat yang lain. Tapi tak apa-apa. Populer membuat Lucy Gray
mendapat banyak hadiah. Gadis itu masih hidup, mendapat makanan dan
minuman, juga memiliki persediaan. Semoga Lucy Gray bisa bersembunyi sampai
yang lain kehabisan energi dan sumber daya. Kehilangan Jessup sebagai pelindung
adalah hantaman telak, tapi lebih mudah bagi gadis itu untuk bersembunyi sendi-
rian. Coriolanus sudah berjanji hadis itu takkan sendirian di arena, dia akan
menemaninya sepanjang saat. Apakah Lucy Gray sedang memegang kotak bedak
itu? Memikirkan Coriolanus seperti dia sedang memikirkan Lucy Gray sekarang?
Coriolanus memperbarui lembaran mentornya, sedih saat harus mencoret nama
Jessup dan Lysistrata.
HUNGER GAMES KE-10
PENUGASAN MENTOR
DISTRIK 1
desyrindah.blogspot.com

Lelaki (Facet) Livia Cardew


Perempuan (Velvereen) Palmyra Monty
DISTRIK 2
Lelaki (Marcus) Sejanus Plinth
Perempuan (Sabyn) Florus Friend
DISTRIK 3
Lelaki (Circ) Io Jasper
Perempuan (Teslee) Urban Canville
DISTRIK 4
Lelaki (Mizzen) Persephone Price
Perempuan (Coral) Festus Creed
DISTRIK 5
Lelaki (Hy) Dennis Fling
Perempuan (Sol) Iphigenia Moss
DISTRIK 6
Lelaki (O o) Apollo Ring
Perempuan (Ginnee) Diana Ring
DISTRIK 7
Lelaki (Treech) Vipsania Sickle
Perempuan (Lamina) Pliny Harrington
DISTRIK 8
Lelaki (Bobbin) Juno Phipps
Perempuan (Wovey) Hilarius Heavensbee
DISTRIK 9
Lelaki (Panlo) Gaius Breen
Perempuan (Sheaf) Androcles Anderson
DISTRIK 10
Lelaki (Tanner) Domitia Whimsiwick
desyrindah.blogspot.com

Perempuan (Brandy) Arachne Crane


DISTRIK 11
Lelaki (Reaper) Clemensia Dovecote
Perempuan (Dill) Felix Ravinstill
DISTRIK 12
Lelaki ( Jessup) Lysistrata Vickers
Perempuan (Lucy Gray) Coriolanus Snow
Da ar itu semakin pendek, tapi beberapa peserta yang masih hidup sulit untuk
dikalahkan. Reaper, Tanner, pasangan Distrik 4 itu… dan siapa yang bisa
menebak rencana pasangan cerdas dari Distrik 3?
Saat sepuluh mentor berkumpul menikmati daging domba rebus dan buah plum
kering, Coriolanus kehilangan Lysistrata. Gadis itu adalah sekutu sejatinya,
sebagaimana Jessup bagi Lucy Gray.
Setelah makan malam, dia duduk di antara Festus dan Hilarius, berusaha sebaik
mungkin agar tidak ketiduran. Pada sekitar pukul sembilan, tanpa ada kejadian
menarik setelah kematian Jessup, mereka disuruh pulang dengan perintah agar
besok datang lebih pagi. Perjalanan pulang terasa suram, tapi dia ingat token kedua
yang diberikan Tigris dan dia bersyukur saat naik ke trem, yang menurunkannya
tidak jauh dari apartemen.
Grandma’am sudah tidur, tapi Tigris menunggunya di kamar dengan
mengenakan mantel bulu ibunya. Coriolanus menjatuhkan diri di kursi malas
yang terletak di ujung kaki Tigris, sadar bahwa dia berutang penjelasan tentang
kejadian di arena. Bukan hanya kelelahan yang membuatnya ragu untuk bercerita.
“Aku tahu kau ingin mendengar tentang kejadian tadi malam,” kata Coriolanus
padanya, “tapi aku takut memberitahumu. Aku takut kau akan kena masalah bila
mengetahuinya.”
“Tidak apa-apa, Coryo. Kemejamu sudah memberitahu banyak hal.” Tigris
memungut kemeja yang dipakai Coriolanus di arena. “Tahu tidak, pakaian
desyrindah.blogspot.com

berbicara padaku.” Dia menyusuri kemeja itu di pangkuannya dan mulai


merekonstruksi kengerian yang dialami Coriolanus malam itu, pertama-tama
mengangkat robekan yang ternoda darah di bagian lengan. “Di sini. Di sini pisau
mengenaimu.” Jemari Tigris menyusuri bagian kain yang rusak. “Robekan-
robekan kecil ini, dengan tanah di dalamnya, memberitahuku bahwa kau melun-
cur di tanah atau mungkin diseret yang sesuai dengan luka lecet di dagumu
dan darah di kerahmu.” Tigris menyentuh garis leher kemeja, lalu melanjutkan.
“Bagian lengan yang lain, dari bentuk robekannya, aku menduga ini tersangkut
kawat berduri. Mungkin di barikade. Tapi darah di sini, yang menciprati bagian
manset… kurasa ini bukan darahmu. Kurasa kau pasti melakukan sesuatu yang
mengerikan di sana.”
Coriolanus memandangi darah itu dan merasakan efek hantaman balok di
kepala Bobbin. “Tigris…”
Tigris memijat pelipisnya. “Dan aku bertanya-tanya bagaimana bisa seperti ini.
Sepupu tersayangku, yang tidak akan membunuh lalat, harus berjuang bertahan
hidup di arena.”
Coriolanus tidak ingin membicarakan hal ini sekarang. “Aku tidak tahu. Aku tak
punya pilihan.”
“Aku tahu. Tentu saja aku tahu itu.” Tigris memeluknya. “Aku benci pada apa
yang mereka lakukan padamu.”
“Aku tidak apa-apa,” kata Coriolanus. “Tidak akan lama lagi. Bahkan kalau aku
tidak menang, kemungkinan besar aku bisa dapat hadiah lain. Sungguh, kurasa
keadaan kita akan membaik.”
“Tentu saja. Ya. Aku yakin itu. Snow mendarat di puncak,” Tigris sependapat.
Tapi paras wajahnya menyatakan sebaliknya.
“Ada apa?” tanya Coriolanus. Gadis itu menggeleng. “Ayolah, ada apa?”
“Aku tidak mau memberitahumu sebelum Hunger Games berakhir…” Tigris
terdiam.
desyrindah.blogspot.com

“Tapi sekarang kau harus memberitahuku,” kata Coriolanus. “Atau, aku akan
membayangkan kemungkinan terburuk. Tolong, beritahu aku.”
“Kita akan pikirkan cara mengatasinya.” Tigris hendak berdiri.
“Tigris.” Coriolanus menariknya. “Apa?”
Dengan enggan Tigris merogoh kantong mantelnya, mengeluarkan selembar
surat dengan logo Capitol, dan menyerahkannya pada Coriolanus. “Tagihan pajak
datang hari ini.”
Tigris tidak perlu menjelaskan. Ekspresinya sudah menjelaskan segalanya. Tanpa
uang untuk membayar pajak, dan tanpa ada cara meminjam uang, keluarga Snow
akan kehilangan rumah mereka.
desyrindah.blogspot.com
18

Coriolanus selama ini mengingkari kenyataan tentang pajak, tapi sekarang


kenyataan bahwa keluarganya mungkin harus pindah dari rumah ini
menghantamnya dengan keras. Bagaimana dia bisa berpisah dengan satu-satunya
rumah yang dia tahu? Dengan ibunya, dengan masa kecilnya, dengan segala
kenangan manis hidupnya sebelum perang? Dinding-dinding ini tidak hanya
menjaga keluarganya tetap aman, ini juga pelindung legenda kekayaan keluarga
Snow. Dia akan kehilangan rumahnya, sejarahnya, dan identitasnya sekaligus.
Mereka punya waktu enam minggu untuk mendapatkan uang. Mengumpulkan
uang yang besarnya setara dengan pendapatan
Tigris setahun. Saudara sepupu itu berusaha menghitung apa saja barang yang bisa
mereka jual, tapi seandainya mereka menjual semua perabot bahkan hiasan,
jumlahnya hanya cukup untuk membayar tagihan beberapa bulan. Dan tagihan
pajak akan terus datang setiap bulan. Mereka butuh hasil penjualan benda-benda
milik mereka, seberapa pun kecilnya, untuk membiayai sewa tempat tinggal baru.
Mereka harus menghindari pengusiran karena masalah pajak; itu artinya
dipermalukan di depan umum, dan itu takkan dilupakan orang. Jadi mereka harus
pindah.
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Coriolanus.
“Tidak melakukan apa-apa sampai Hunger Games selesai. Kau harus
memusatkan perhatian agar kau mendapat Hadiah Plinth, atau setidaknya hadiah
lain. Aku akan mengatasi yang ini,” kata Tigris tegas. Tigris membawakan
desyrindah.blogspot.com

secangkir cokelat panas ditambah sirup jagung lalu membelai kepala Coriolanus
yang berdenyut sakit sampai dia tertidur. Coriolanus bermimpi tentang hal-hal
yang tidak menyenangkan dan sadis, kejadian di arena terulang-ulang dalam
benaknya, dan dia terbangun seperti biasa.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Apakah Grandma’am masih akan bernyanyi di rumah sewaan mereka satu atau
dua bulan lagi? Atau neneknya akan terlalu malu untuk bernyanyi keras-keras lagi?
Walaupun dia sering mencemooh nyanyian pagi neneknya, membayangkan
neneknya tidak lagi melakukan itu membuatnya sedih.
Saat Coriolanus berpakaian, jahitan di lengannya tertarik, dan dia ingat harus
mampir ke Citadel untuk memeriksakan lukanya. Lecet-lecet di wajahnya sudah
menjadi keropeng merah gelap dan tidak bengkak lagi. Dia menaburkan bedak
ibunya di wajah, yang meskipun tidak menutupi keropengnya, tapi membuatnya
lebih tenang karena mencium aromanya.
Keputusasaan dalam menghadapi situasi keuangan mereka membuat
Coriolanus menerima token yang diberikan Tigris tanpa pikir panjang. Kenapa
harus repot-repot menghemat uang receh sementara mereka juga tetap tidak
punya uang? Di trem, dia menelan biskuit yang dilapisi selai kacang dan berusaha
tidak membandingkannya dengan roti buatan Ma. Terpikir olehnya karena dia
telah menyelamatkan Sejanus, keluarga Plinth mungkin mau meminjamkan uang,
atau bahkan memberinya uang untuk tutup mulut. Tapi Grandma’am takkan
pernah mengizinkan hal itu, neneknya tidak ikhlas kalau keluarga Snow harus
memohon-mohon pada keluarga Plinth. Hadiah Plinth adalah permainan yang
adil, dan Tigris benar. Beberapa hari ke depan menentukan masa depan
Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com

Di Akademi, sepuluh mentor minum teh pagi dan menyiapkan diri untuk tampil
di depan kamera. Semakin hari mereka semakin disorot. Para Pengawas
Permainan mengirim penata rias, yang berhasil menutupi keropeng Coriolanus
dan merapikan alisnya. Tak ada yang kepingin bicara tentang Hunger Games,
kecuali Hilarius Heavensbee, yang cuma itu saja topik omongannya.
“Persertaku berbeda,” kata Hilarius. “Aku memeriksa da arku. Setiap peserta
yang tersisa di arena sudah mendapat makanan, atau minuman. Kecuali Wovey
yang tak pernah kelihatan. Di mana gadis itu? Maksudku, bagaimana jika dia
meringkuk bersembunyi lalu mati di terowongan? Mungkin dia sudah mati, dan
aku duduk di sini seperti orang bodoh, bermain dengan alat komunikasiku!”
Coriolanus ingin menyuruhnya diam karena orang lain punya masalah
sungguhan, tapi dia hanya berjalan ke kursi di deretan belakang, di samping
Festus, yang berdiskusi serius dengan Persephone.
Lucky Flickerman membuka acara dengan melaporankan secara ringkas tentang
peserta yang tersisa dan mengundang Lepidus untuk meminta komentar dari para
mentor. Coriolanus yang dipanggil pertama kali untuk menanggapi kejadian
dengan Jessup. Dia memuji Lysistrata dalam menangani situasi rabies kemarin dan
berterima kasih atas kemurahan hati Lysistrata pada menit-menit terakhir hidup
Jessup. Coriolanus lalu berbalik ke bagian tempat duduk mentor yang kalah,
meminta Lysistrata untuk berdiri, dan mengajak penonton bertepuk tangan.
Mereka tidak hanya bertepuk tangan, setengahnya bahkan berdiri. Lysistrata
tampak malu, tapi Coriolanus melihat gadis itu tidak keberatan dengan sanjungan
tersebut. Kemudian Coriolanus menambahkan, bahwa dia berharap tebakan
Lysistrata benar perihal pemenangnya adalah peserta dari Distrik 12, yaitu, Lucy
Gray. Penonton bisa melihat sendiri betapa cerdasnya peserta yang dia mentori.
Dan mereka pasti takkan lupa bagaimana Lucy Gray mendampingi Jessup hingga
akhir hidupnya. Sikap seperti itu mungkin bisa dibayangkan jika gadis itu berasal
dari Capitol, bukan gadis barbar dari distrik. Sikap seperti itulah yang harusnya
dipertimbangkan, seberapa besar mereka menghargai karakter pemenang di Hu-
desyrindah.blogspot.com

nger Games, seberapa besar pemenang menunjukkan nilai-nilai mereka. Para


penonton pasti merasa tergugah, karena lebih dari sepuluh ping masuk ke alat
komunikasi Coriolanus. Dia mengangkat tangannya yang dipasangi alat
komunikasi ke arah kamera dan berterima kasih atas kemurahan hati para sponsor.
Seakan tidak tahan pada perhatian yang dicurahkan pada Coriolanus, Pup
berdiri dan berteriak lantang, “Sebaiknya aku mengirim sarapan kepada Lamina!”
lalu dia memesan makanan dan minuman. Mentor yang lain tidak bisa bersaing,
karena hanya Lamina satu-satunya peserta yang terlihat di arena, dan menjadikan
Pup semakin menyebalkan. Satu-satunya yang membuat Coriolanus bersyukur
adalah tak ada bunyi ping di alat komunikasi pesaingnya.
Dia tahu namanya tidak akan dipanggil lagi sampai semua mentor diwawancarai,
sehingga dia menunjukkan wajah tertarik tapi tidak mendengarkan. Pikirannya
melayang pada Strabo Plinth, niatan untuk meminta uang padanya bukan
memerasnya, tentu saja, tapi memberinya kesempatan untuk memberi hadiah
uang sebagai ucapan terima kasih. Bagaimana kalau dia mampir ke rumah Plinth
untuk menjenguk Sejanus? Kaki Sejanus terluka parah. Ya, bagaimana jika dia
mampir dan melihat apa yang bakal terjadi?
Lucky menyela pendapat Io tentang kemungkinan yang dilakukan Circ pada
drone “Jika diode pemancar cahaya di drone tidak rusak, mungkin dia bisa
membuat semacam senter, yang akan menguntungkannya pada malam hari.”
dan mengarahkan perhatian penonton kepada Reaper yang muncul dari barikade.
Lamina, yang sudah mengumpulkan air, roti, dan keju dari enam drone,
menderetkan hadiahnya di sepanjang palang. Gadis itu nyaris tidak menyadari
kehadiran Reaper, yang berjalan ke arahnya dengan tujuan khusus. Reaper
menunjuk ke matahari lalu ke wajah Lamina. Untuk pertama kalinya, Coriolanus
memperhatikan pengaruh tempat terbuka pada kulit Lamina. Kulit gadis itu
terbakar sinar matahari, hingga kulit bagian hidungnya terkelupas. Saat dilihat
makin dekat, bagian atas kakinya yang telanjang pun merah. Reaper menunjuk
desyrindah.blogspot.com

kakinya. Lamina mengusap kakinya dan tampak mempertimbangkan tawaran


Reaper. Mereka masih saling tunjuk, lalu keduanya mengangguk sepakat. Reaper
berlari menyeberangi arena dan memanjat ke bendera Panem. Dia mengeluarkan
pisau panjangnya dan menancapkan pisau ke kain bendera itu.
Terdengar protes keras dari penonton di aula. Perbuatan yang jelas-jelas tidak
menghormati bendera nasional mengejutkan mereka. Saat Reaper mulai
mengoyak bendera, memotong-motongnya jadi beberapa bagian, penonton
semakin gelisah. Perbuatan ini pasti akan ada akibatnya. Reaper pasti akan
mendapat hukuman. Tapi mengingat menjadi peserta Hunger Games adalah
hukuman tertinggi, tak seorang pun tahu bentuk hukuman selain ini.
Lepidus bergegas menghampiri Clemensia untuk menanyakan pendapatnya
tentang tingkah laku pesertanya, “Langkah bodoh, ya kan? Siapa yang mau
menjadi sponsornya sekarang?”
“Tidak ada bedanya juga, karena kau tak pernah memberinya makan,” komentar
Pup.
“Aku akan memberinya makan saat dia melakukan sesuatu yang layak
membuatnya mendapat makanan,” kata Clemensia. “Kurasa kau sudah
menyelesaikan masalah itu hari ini.”
Pup mengerutkan dahi. “Aku?”
Clemensia mengangguk ke layar saat Reaper berlari kembali ke palang.
Negosiasi kembali berlangsung antara Reaper dan Lamina. Lalu, tampaknya pada
hitungan ketiga, Reaper melempar gulungan bendera itu ke atas sementara
Lamina menjatuhkan rotinya. Bendera itu tidak terlontar cukup tinggi untuk bisa
ditangkap Lamina. Mereka kembali bernegosiasi. Saat Reaper akhirnya berhasil
melontarkan bendera setelah mencoba berkali-kali, Lamina menghadiahinya se-
bongkah keju.
Mereka tidak bersekutu secara resmi, tapi barter itu tampaknya mempererat
hubungan mereka. Lamina mengibarkan bendera itu dan menggunakannya
desyrindah.blogspot.com

sebagai penutup kepala dan tubuhnya, Reaper duduk bersandar di salah satu tiang
sambil makan roti dan keju. Mereka tidak saling bicara lagi. Namun, ketenangan
tidak berlangsung lama saat sekawanan peserta muncul dari ujung arena. Lamina
menunjuk ke arah mereka. Reaper mengangguk berterima kasih lalu berlari
bersembunyi ke belakang barikade.
Coral, Mizzen, dan Tanner duduk di stan-stan dan membuat gerakan makan.
Festus, Persephone, dan Domitia mematuhi mereka, dan ketiga peserta itu saling
berbagi roti, keju, dan apel yang dijatuhkan dari drone.
Kembali ke studio, Lucky sudah membawa Jubilee, burung kakaktua
peliharaannya, ke panggung dan berusaha membujuk burung itu untuk berkata,
“Hai, Tampan!” pada Dekan Highhbo om. Burung itu, makhluk menyedihkan
dengan penyakit kulit, bertengger di pergelangan tangan Lucky, tak mau bicara,
sementara sang dekan bersedekap dan menunggu. “Oh, ucapkanlah! Ayolah! ‘Hai,
Tampan! Hai, Tampan!’”
“Kurasa dia tidak mau bicara, Lucky,” kata Dekan Highbo om. “Mungkin dia
tidak menganggapku tampan.”
“Apa? Ha! Tidaaak. Dia hanya malu di depan banyak orang asing.” Dia
mengulurkan burungnya. “Kau mau memegangnya?”
Sang dekan mundur. “Tidak.”
Lucky menarik Jubilee ke dadanya dan mengelus bulu burung kakaktua itu
dengan ujung jarinya. “Jadi, bagaimana menurut Anda, Dekan Highbo om?”
“Bagaimana… apa?” tanya Dekan Highbo om.
“Semua ini. Semua kejadian di Hunger Games ini.” Lucky melambaikan
tangannya di udara. “Semua ini!”
“Yah, yang kuperhatikan adalah adanya interaksi baru dalam Hunger Games,”
kata Dekan Highbo om.
Lucky mengangguk. “Interaksi baru. Silakan lanjutkan.”
“Sejak awal sebenarnya. Bahkan sebelum pertarungan dimulai. Saat
desyrindah.blogspot.com

pengeboman terjadi di arena, bukan merenggut hanya nyawa peserta, tetapi


mengubah lanskap permainan,” lanjut sang dekan.
“Mengubah lanskap,” ulang Lucky.
“Ya. Sekarang kita memiliki barikade. Tiang. Akses ke terowongan. Ini arena
yang baru, dan membuat para peserta berperilaku dengan cara yang baru,” kata
sang dekan menjelaskan.
“Dan kita punya drone!” kata Lucky.
“Tepat sekali. Sekarang penonton bisa berperan aktif dalam Hunger Games.”
Dekan Highbo om mendekatkan kepalanya ke arah Lucky. “Dan kau tahu apa itu
artinya.”
“Apa?” tanya Lucky.
Sang dekan mengucapkan kata-kata selanjutnya dengan perlahan, seakan sedang
memberi penjelasan pada anak kecil. “Itu artinya kita semua berada di arena
bersama-sama, Lucky.”
Lucky mengerutkan dahi. “Hah. Aku tidak paham.”
Dekan Highbo om mengetukkan jari ke pelipis. “Coba pikir.”
“Hai, Tampan,” Jubilee berkaok putus asa.
“Nah, kan! Sudah kubilang dia bisa!” seru Lucky.
“Ya, kau sudah bilang,” kata sang dekan. “Tapi saatnya tak terduga.”
Tak banyak kejadian sebelum makan siang. Lucky memberitakan laporan cuaca
per distrik, dengan hiburan dari Jubilee, tapi burung itu menolak bicara lagi
sehingga Lucky berbicara dengan suara bernada tinggi menirukan burung itu.
“Bagaimana keadaan cuaca di Distrik Dua Belas, Jubilee?” “Di sana bersalju,
Lucky.” “Salju Snow di bulan Juli, Jubilee?” “Coriolanus Snow!”
Coriolanus mengangkat kedua ibu jarinya saat kamera diarahkan kepadanya
untuk menangkap reaksinya. Dia tidak menyangka hidupnya seperti sekarang ini.
Makan siang mengecewakan, karena menunya adalah roti isi selai kacang, dan
dia sudah makan selai kacang untuk sarapan. Coriolanus tetap memakannya,
desyrindah.blogspot.com

karena dia makan apa pun yang gratis, dan itu penting untuk mempertahankan
staminanya. Ada keriuhan di aula yang menandakan sesuatu terjadi di layar
televisi, dan dia bergegas kembali ke tempat duduk. Mungkinkah Lucy Gray
muncul?
Lucy Gray tidak muncul, tapi kawanan mulai bergerak. Mereka bertiga berjalan
menyeberangi arena sampai tiba di bawah palang Lamina. Gadis itu tidak
memperhatikannya, sampai Tanner memukulkan pedangnya ke salah satu tiang
untuk menarik perhatian Lamina. Lamina duduk dan memperhatikan kawanan
itu, dan dia pasti merasakan perubahan suasana, karena dia mengeluarkan kapak
dan pisau lalu mengasahnya di bendera.
Setelah berdiskusi singkat, para peserta Distrik 4 memberikan trisula mereka
pada Tanner, lalu kawanan itu berpisah. Coral dan Mizzen masing-masing
memegang tiang besi yang menopang palang, dan Tanner berdiri di bawah
Lamina, memegang sepasang trisula. Sambil menggigit pisau, Coral dan Mizzen
saling mengangguk dan mereka mulai memanjat tiang palang.
Festus mengubah posisi duduknya. “Mulai seru.”
“Mereka takkan berhasil,” kata Pup gelisah.
“Mereka terlatih bekerja di kapal laut. Mereka memanjat tali sebagai bagian dari
pekerjaan mereka,” kata Persephone.
“Laberang,” kata Festus.
“Ya, aku mengerti. Ayahku kan komandan kapal laut,” kata Pup. “Memanjat tali
berbeda. Tiang-tiang ini lebih mirip pohon.”
Pup membuat semua orang kesal, bahkan mentor-mentor yang tidak lagi
memiliki peserta pun tidak tahan untuk tidak berkomentar
“Bagaimana dengan tiang kapal?” tanya Vipsania.
“Atau tiang bendera?” imbuh Urban.
“Mereka takkan berhasil,” kata Pup.
Pasangan Distrik 4 tidak memiliki teknik memanjat sehalus Lamina, tapi mereka
desyrindah.blogspot.com

berhasil, perlahan-lahan naik makin tinggi. Tanner mengarahkan mereka,


menyuruh Coral menunggu saat Mizzen tertinggal.
“Lihat, mereka mengatur waktu agar sampai di puncak tiang
bersama-sama,” kata Io.
“Mereka membuat Lamina memilih akan melawan siapa, dan yang satunya lagi
akan mencapai palang.”
“Dia akan membunuh salah satu dan menuruni tiang,” kata Pup.
“Tanner sudah menunggu di bawah,” Coriolanus mengingatkannya.
“Ya, aku tahu!” kata Pup. “Kau mau aku berbuat apa? Dia kan tidak kena rabies,
dan tak ada cara mudah melawannya seperti dengan mengirim air!”
“Kau tidak akan terpikir untuk melakukannya,” kata Festus.
“Tentu saja akan terpikir olehku,” bentak Pup. “Diam! Semuanya diam!”
Ruangan pun hening, tapi lebih karena Coral dan Mizzen sudah hampir sampai
ke puncak. Lamina menoleh ke kiri dan kanan saat memutuskan siapa yang akan
dia hadapi lebih dulu. Kemudian dia mendekati Coral.
“Tidak, jangan lawan yang perempuan, yang lelaki!” seru Pup, sambil melompat
berdiri. “Dia harus melawan anak lelaki itu di palang.”
“Aku akan mengambil pilihan yang sama. Aku takkan melawan gadis itu di
palang,”  kata Domitia, dan beberapa mentor menggumamkan hal yang sama.
“Oya?” Pup berpikir ulang. “Mungkin kau benar.”
Lamina tiba di ujung tiang dan mengayunkan kapak ke arah Coral tanpa ragu,
tidak mengenai kepalanya tapi memapas ujung rambutnya. Coral mundur, turun
sekitar satu meter, tapi Lamina mengayunkan kapaknya berkali-kali, berusaha
mengenai ujung kapaknya ke kepala Coral. Sebagaimana yang sudah diduga,
Mizzen berkesempatan untuk naik ke palang, tapi saat Tanner melempar trisula
kepadanya, trisula itu hanya naik lebih dari setengah jalan ke udara sebelum jatuh
ke tanah. Lamina mengayunkan kapak sekali lagi ke Coral sebelum bergerak ke
arah Mizzen. Pemuda itu bukan tandingan Lamina yang mantap berjalan di palang
desyrindah.blogspot.com

sementara Mizzen hanya bisa berjalan beberapa langkah dengan ragu sebelum
Lamina bergerak mendekatinya. Lemparan kedua Tanner lebih baik,  tapi trisula
itu hanya mengenai bagian samping palang dan mendarat di tanah.
Mizzen sibuk berjongkok dan berusaha menangkap trisula, dan baru berhasil
berdiri ketika Lamina berada di hadapannya, menghantam lutut Mizzen dengan
bagian tumpul kapaknya. Hantaman itu membuat mereka berdua kehilangan
keseimbangan. Lamina segera memeluk palang, sementara Mizzen terjatuh,
kehilangan pisaunya, dan hanya bertahan dengan satu tangan.
Bahkan mikrofon di arena bisa menangkap teriakan Coral ketika gadis itu tiba di
puncak. Tanner berjalan ke sisi tiang tempat Coral berdiri dan berhasil melempar
trisula dalam jangkauan Coral. Cara Coral menangkap senjata itu dengan mudah
di udara membuat penonton di Capitol bersorak kagum. Lamina menatap
Mizzen, dan tidak menganggapnya sebagai ancaman, jadi dia bersiap-siap meng-
hadapi serangan Coral. Lamina memiliki keseimbangan yang lebih baik, tapi
senjata Coral memiliki jangkauan yang lebih bagus. Setelah Lamina berhasil
menangkis beberapa kali dengan kapaknya, Coral memutar trisulanya sehingga
mengalihkan perhatian Lamina lalu menancapkannya ke perut lawan. Coral
melepaskan senjata sembari mundur, lalu mengeluarkan pisaunya sebagai senjata
cadangan, tapi dia tak perlu menggunakannya. Lamina jatuh dari palang dan tewas
seketika.
“Tidak!” Pup berteriak, dan suaranya bergema di Heavensbee Hall. Dia berdiri
terkesiap selama beberapa saat, lalu mengambil kursinya dan meninggalkan
wilayah tempat duduk mentor, serta mengabaikan Lepidus yang menyodorkan
mikrofon. Dia membanting kursi di samping Livia lalu berjalan keluar dari aula.
Coriolanus menduga Pup berusaha agar tidak menangis.
Coral berjalan ke arah Mizzen dan berdiri sejenak di sana, hingga Coriolanus
berpikir apakah dia akan menendang tangan
Mizzen agar jatuh menyusul Lamina. Namun, Coral duduk di palang, mengunci
desyrindah.blogspot.com

kakinya agar mendapat pijakan, lalu menolong pemuda itu. Hantaman kapak
melukai lututnya, meskipun sulit diperkirakan seberapa parah lukanya. Mizzen
meluncur turun dari tiang, disusul Coral yang memungut trisula yang terjatuh di
tanah sehabis dilempar Tanner. Mizzen bersandar di tiang, memeriksa lututnya.
Setelah melakukan semacam tarian di dekat jenazah Lamina, Tanner menyusul
mereka. Mizzen menyeringai dan mengangkat tangannya untuk saling tos
kemenangan. Tangan Tanner baru saja menyentuh tangan Mizzen saat Coral
menancapkan trisula ke punggung Tanner. Pemuda itu terjatuh ke depan
menimpa Mizzen yang bertahan di tiang dan langsung mendorongnya. Tanner
jatuh berputar, satu tangannya berusaha menggapai ke belakang mencabut trisula,
tapi tombak itu menancap amat dalam. Dia jatuh berlutut dengan ekspresi wajah
menunjukkan sakit hati dan bukannya terkejut, lalu dia terjatuh tengkurap di
tanah. Mizzen menghabisi nyawa Tanner dengan menusukkan pisau ke lehernya.
Mizzen lalu kembali dan bersandar di tiang sementara Coral merobek kain
bendera yang dipakai Lamina dan mengikat lutut Mizzen.
Di studio, wajah Lucky menunjukkan keterkejutan yang dibuat-buat. “Kalian
lihat apa yang kulihat?”
Domitia mengumpulkan barang-barangnya tanpa bicara, bibirnya mengatup
kecewa. Tapi saat Lepidus menyorongkan mikrofon ke arahnya, gadis itu bicara
dengan nada tenang dan tak terbawa perasaan. “Mengejutkan. Kupikir Tanner bisa
memenangkan ini. Mungkin bisa saja dia menang andai sekutunya tidak
mengkhianatinya. Kurasa itu kesimpulannya. Berhati-hatilah pada orang yang kau-
percayai.”
“Di dalam dan luar arena,” kata Lepidus sambil mengangguk bijaksana.
“Di mana-mana,” Domitia sependapat. “Tanner orang yang sangat sopan. Dan
Distrik Empat memanfaatkan hal itu.” Dia memandang sedih ke arah Festus dan
Persephone, menyiratkan bahwa hal ini berdampak buruk untuk mereka, dan
Lepidus juga mendecakkan lidah kecewa. “Ini satu hal yang kupelajari saat
desyrindah.blogspot.com

menjadi mentor di Hunger Games. Aku akan selalu mengingat pengalamanku di


sini, dan aku mengharapkan yang terbaik bagi mentor yang tersisa.”
“Bagus sekali, Domitia. Kurasa kau baru menunjukkan pada mentor lainnya
bagaimana menjadi orang yang sportif,” kata Lepidus. “Lucky?”
Tayangan berpindah menyorot Lucky yang berusaha membujuk Jubilee turun
dari lampu gantung dengan iming-iming biskuit. “Apa? Bukankah kau akan bicara
dengan anak satunya lagi? Siapa namanya? Anak komandan itu?”
“Dia menolak berkomentar,” kata Lepidus.
“Kalau begitu, mari kembali ke acara!” seru Lucky.
Namun, tidak banyak kegiatan di arena. Coral sudah selesai membebat lutut
Mizzen dan mengambil trisula mereka, mencabutnya dari jenazah korban. Mizzen
berjalan pincang saat mereka bergerak perlahan menuju terowongan.
Satyria datang dan memerintahkan para mentor menyusun kursi mereka
menjadi dua baris yang masing-masing empat kursi. Io, Urban, Clemensia, dan
Vipsania di baris depan. Coriolanus, Festus, Persephone, dan Hilarius di bagian
belakang. Kursi musikal berlanjut. 
Mungkin karena terhina menjadi bahan kekonyolan Lucky, Jubilee menolak
turun dari lampu gantung. Lucky bersandar pada kayu-kayu penopang di
Heavensbee Hall dan di depan arena, tempat yang disiapkan bagi penonton untuk
menyemangati peserta. Tim Lucy Gray terdiri atas orang tua, anak muda, lelaki
dan perempuan, bahkan beberapa orang Avox tapi mereka tidak dihitung,
karena tugas mereka adalah membawa papan petunjuk.
Coriolanus berharap Lucy Gray bisa melihat seberapa banyak orang yang
menyayanginya. Dia berharap gadis itu tahu betapa dia mendukungnya. Dia
menjadi lebih aktif, menarik Lepidus mendekat pada saat tenang di arena dan
memuji Lucy Gray setinggi langit. Hasilnya, hadiah-hadiah dari sponsor untuk
Lucy Gray mencapai rekor baru, dan dia yakin dari hadiahnya dia bisa memberi
makan Lucy Gray selama seminggu. Saat ini yang bisa dia lakukan hanyalah me-
desyrindah.blogspot.com

nonton dan menunggu.


Treech muncul untuk mengambil kapak Lamina, dan Vipsania memberinya
makan. Teslee memunguti drone yang jatuh dan mengambil makanan dari Urban.
Tak banyak kejadian sampai siang menjelang sore, ketika Reaper mengeluyur
keluar dari barikade sambil menggosok matanya yang setengah mengantuk. Dia
berusaha memahami apa yang ada di depan matanya, sosok Tanner dan Lamina
terkapar dengan tubuh tertusuk benda tajam. Setelah berjalan di dekat mereka, dia
mengangkat jasad Lamina, membawanya ke tempat Bobbin dan Marcus terbaring,
dan menyusunnya berderet tiga di tanah. Selama beberapa saat, dia berjalan
mondar-mandir di dekat palang, lalu menyeret jasad Tanner ke sisi Lamina.
Selama satu jam berikutnya, dia mengambil Dill dan Sol, menderetkan mereka di
taman makam buatannya.
Hanya Jessup yang ditinggal. Mungkin Reaper takut tertular rabies. Setelah
menderetkan jasad para peserta, dia mengusir lalat yang beterbangan. Setelah
berpikir sesaat, Reaper kembali memotong bendera, membungkus jasad-jasad itu
dengan kain bendera dan menimbulkan gelombang kemarahan di aula. Reaper
mengambil sisa bendera Lamina lalu mengikatkannya di bahu seperti jubah. Jubah
itu tampak memberinya inspirasi, sehingga dia mulai berputar perlahan,
menengok ke belakang melihat jubah itu berkibar. Dia berlari, merentangkan
kedua tangannya ketika bendera itu menyambut cahaya matahari. Kelelahan
karena kegiatan hari itu, dia akhirnya memanjat ke stan dan menunggu.
“Ya ampun, beri dia makan, Clemmie!” kata Festus.
“Jangan ikut campur,” kata Clemensia.
“Kau tidak berperasaan,” kata Festus padanya.
“Aku manajer yang baik. Ini bisa jadi Hunger Games yang panjang.” Dia
tersenyum penuh kebencian pada Coriolanus. “Bukan berarti aku tidak
memedulikannya.”
Coriolanus terpikir untuk mengajaknya ke Citadel, melakukan pemeriksaan
desyrindah.blogspot.com

lanjutannya. Gadis itu bisa menemaninya, sekalian mengunjungi ular-ularnya.


Pukul lima sore siswa-siswa dibubarkan, dan delapan mentor yang tersisa
berkumpul makan daging sapi rebus dan kue. Dia bukannya merindukan Domitia,
apalagi Pup, tapi dia kehilangan pembatas yang mereka ciptakan antara dirinya
dengan Clemensia, Vipsania, dan Urban. Bahkan Hilarius, dengan kisah sedihnya
menyandang nama Heavensbee, terasa menyiksa Coriolanus. Saat Satyria menyu-
ruh mereka pulang pada pukul delapan malam, dia bergegas keluar sekolah,
berharap belum terlambat untuk memeriksakan lengannya.
Para penjaga di Citadel mengenalinya, dan setelah mereka memeriksa tas
sekolahnya, dia diizinkan masuk membawa tas sekolah dan ke laboratorium tanpa
dikawal. Dia keluyuran sebentar sebelum ke tempat tujuannya, lalu duduk di
klinik selama setengah jam sebelum dokter muncul. Sang dokter memeriksa
kondisi vitalnya, memeriksa jahitannya yang masih bagus, dan menyuruhnya
menunggu.
Ada energi berbeda di dalam lab. Langkah-langkah cepat, suara-suara lantang,
perintah-perintah tak sabar. Coriolanus berusaha mendengar apa yang
dibicarakan, tapi dia tidak tahu apa yang membuat mereka bersemangat. Dia
mendengar kata-kata seperti arena dan Games lebih dari sekali, dan berpikir apa
hubungannya. Saat Dr. Gaul akhirnya muncul, dia hanya melihat sekilas jahitan di
lengan Coriolanus.
“Beberapa hari lagi,” katanya. “Beritahu aku, Mr. Snow, apakah kau pernah kenal
Gaius Breen?”
“Pernah?” tanya Coriolanus, segera menyadari penggunaan bentuk lampau
dalam pertanyaan itu. “Kenal. Maksudku, kami teman sekelas. Aku tahu dia
kehilangan kakinya di arena. Apakah dia…”
“Dia meninggal. Komplikasi karena pengeboman,” kata Dr. Gaul.
“Oh, tidak.” Coriolanus tidak bisa memahaminya. Gaius meninggal? Gaius
Breen? Dia ingat lelucon Gaius yang pernah diceritakan padanya tentang berapa
desyrindah.blogspot.com

banyak pemberontak yang dibutuhkan untuk mengikat tali sepatu. “Aku tak
pernah menjenguknya di rumah sakit. Kapan pemakamannya?”
“Sedang direncanakan. Jangan beritahu siapa-siapa sampai kami meng-
umumkannya secara resmi,” Dr. Gaul memperingatkannya. “Aku hanya
memberitahumu sekarang supaya setidaknya salah satu dari kalian bisa
mengatakan sesuatu yang cerdas pada Lepidus. Aku yakin kau bisa mengatasinya.”
“Ya, tentu saja. Aneh rasanya mengumumkan ini pada saat
Hunger Games. Seperti kemenangan pada para pemberontak,” kata Coriolanus.
“Tepat sekali. Tapi tenang saja, akan ada pembalasan. Bahkan sesungguhnya,
gadismu yang memberiku gagasan ini. Kalau dia menang, kami bisa bertukar
pikiran. Dan aku belum lupa kau masih utang tulisan.” Dr. Gaul pergi, menutup
tirai di belakangnya.
Coriolanus boleh pulang, dia mengancingkan kemejanya dan mengambil tas
sekolahnya. Apa yang mesti dia tulis? Sesuatu tentang kekacauan? Kontrol?
Kontrak? Dia yakin kata itu dimulai dengan huruf K. Saat tiba di elevator, dia
berpapasan dengan dua orang asisten lab yang berusaha memasukkan troli ke
dalam elevator. Di dalam troli ada kotak kaca berisi ular yang menyerang
Clemensia.
“Apakah dia bilang untuk membawakan pendingin?” tanya salah satu asisten.
“Aku tidak ingat,” jawab satunya lagi. “Kupikir mereka sudah diberi makan.
Sebaiknya kita cek lagi. Kalau kita salah, dia bisa mengamuk.” Sang asisten
menyadari keberadaan Coriolanus. “Maaf, kami harus mundur keluar.”
“Silakan,” kata Coriolanus, dan melangkah ke samping agar mereka bisa
mendorong kotak kaca itu keluar. Pintu elevator menutup, dan dia mendengar
mesin itu menderu naik.
“Oh, maaf, elevatornya akan kembali sebentar lagi,” kata asisten kedua.
“Tidak apa-apa,”  kata Coriolanus. Tapi dia mulai mencurigai adanya masalah
besar. Dia memikirkan aktivitas di lab, dan Hunger Games disebut-sebut, serta Dr.
desyrindah.blogspot.com

Gaul menjanjikan pembalasan. “Mau dibawa ke mana ularnya?” tanya Coriolanus


sepolos mungkin.
“Oh, cuma ke lab lain,” kata salah satu asisten, tapi kedua asisten itu bertukar
pandang. “Ayo, butuh dua orang mengangkut pendingin.” Dua asisten itu masuk ke
lab, meninggalkan Coriolanus bersama ular dalam kota kaca.  “Bahkan
sesungguhnya, gadismu yang memberiku gagasan ini.” Gadisnya. Lucy Gray. Dia
masuk Hunger Games dengan menjatuhkan ular ke punggung anak perempuan
wali kota. “Kalau dia menang, kami bisa bertukar pikiran.” Bertukar pikiran tentang
apa? Bagaimana caranya menggunakan ular sebagai senjata? Dia memandangi
reptil yang menggeliat itu, membayangkan mereka dilepas di arena. Apa yang akan
mereka lakukan? Bersembunyi? Berburu? Menyerang? Seandainya pun dia tahu
pola perilaku ular, dia tidak yakin ular-ular ini akan mengikuti pola normal, karena
Dr. Gaul sudah melakukan rekayasa genetika pada mereka.
Mendadak, Coriolanus membayangkan Lucy Gray pada pertemuan terakhir
mereka, saat gadis itu menggenggam tangannya dan dia berjanji Lucy Gray bisa
menang. Dia tidak mungkin bisa melindunginya dari makhluk-makhluk dalam
kotak kaca itu, sama seperti dia tidak bisa melindunginya dari trisula dan pedang.
Paling tidak, Lucy Gray bisa bersembunyi dari senjata-senjata itu. Dia tidak yakin,
tapi perkiraannya adalah ular-ular itu akan masuk ke terowongan-terowongan.
Kegelapan dalam terowongan tidak mengurangi indra penciuman ular.  Mereka
takkan mengenali bau Lucy Gray, sama seperti mereka tak mengenali bau
Clemensia. Lucy Gray akan menjerit dan jatuh ke tanah, bibirnya berubah ungu,
lalu pucat, sementara nanah berwarna pink, biru, dan kuning merembes keluar
dari gaun rumbai-rumbainya Itu dia! Pertama kali dia melihat ular itu, dia
teringat sesuatu. Warna ular itu mirip dengan warna gaunnya. Seakan mereka
sudah ditakdirkan bersama…
Tanpa tahu bagaimana, Coriolanus sudah memilin-milin saputangannya
sehingga membentuk buntalan di tangannya seperti yang dilakukan Lucky ketika
desyrindah.blogspot.com

hendak bermain sulap. Dia berjalan ke kotak kaca berisi ular, memunggungi
kamera keamanan, mencondongkan tubuhnya, menyandarkan tangannya di
penutup kaca seakan terpukau melihat ular-ular itu. Dari sudut pandang itu, dia
melihat saputangannya jatuh dari lubang penutup dan lenyap di antara ular-ular
itu.
desyrindah.blogspot.com
19

Apa yang telah dia lakukan? Apa yang telah dilakukannya? Jantungnya berdebar
cepat saat dia berjalan bergegas menyusuri jalan lalu berbelok sambil memikirkan
perbuatannya. Dia tak bisa berpikir jernih tapi dia punya rasat tidak enak bahwa
dia sudah melanggar batas yang seharusnya tak boleh dilanggar.
Dia merasa jalanan dipenuhi mata yang memandangnya. Beberapa pejalan kaki
dan pengemudi berada di jalanan di sekitarnya, dan dia merasa mereka
memelototinya. Coriolanus merunduk ke taman dan bersembunyi di balik
bayangan, duduk bangku taman yang dikelilingi semak. Dia berusaha mengatur
napasnya, menghitung sampai empat saat menarik napas lalu empat lagi saat
mengembuskannya, hingga jantungnya tidak lagi berdegup cepat. Kemudian dia
berusaha berpikir rasional.
Memang, dia menjatuhkan saputangan yang memiliki bau Lucy Gray
saputangan yang berada di kantong luar tas sekolahnya ke dalam kotak kaca
berisi ular. Dia melakukannya agar ular-ular itu tidak menggigit Lucy Gray seperti
yang mereka lakukan pada Clemensia. Supaya ular-ular itu tidak membunuhnya.
Karena dia peduli pada gadis itu. Karena dia peduli pada gadis itu? Atau karena dia
mau Lucy Gray memenangkan Hunger Games agar dia bisa memperoleh Hadiah
Plinth? Kalau dia melakukannya karena ingin Lucy Gray menang, artinya dia
sudah berbuat curang.
Tunggu dulu. Dia tidak tahu apakah ular-ular itu bakal ditaruh di arena, pikirnya.
Dua asisten tadi tidak memberitahunya. Tak pernah ada kejadian seperti itu di
desyrindah.blogspot.com

arena. Mungkin tadi dia tidak waras saja. Seandainya benar ular-ular itu ditaruh di
arena, Lucy Gray mungkin tak akan bertemu ular. Arena itu luas, dan ular kan
tidak ke sana kemari menyerang manusia. Manusia harus menginjak ular atau
berada di dekatnya. Bahkan seandainya Lucy Gray berpapasan dengan ular, dan
ular itu tidak menggigitnya, bagaimana mereka bisa menyimpulkan bahwa dialah
penyebabnya? Butuh terlalu banyak pengetahuan tentang keamanan dan akses
yang tak dimilikinya. Saputangan dengan bau Lucy Gray? Kenapa dia bisa
memilikinya? Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja.
Kecuali batas itu. Entah apakah ada orang yang bisa menarik kesimpulan dari
perbuatannya atau tidak, dia tahu dia sudah melanggar batas itu. Sesungguhnya,
dia tahu sudah menyerempet batas selama ini. Seperti saat dia mengambil
makanan Sejanus dari ruang makan untuk diberikan kepada Lucy Gray. Apa yang
dilakukannya adalah pelanggaran kecil, didorong keinginan untuk menjaga Lucy
Gray tetap hidup dan kemarahannya atas kelalaian Pengawas Permainan. Dia bisa
berargumen bahwa perbuatannya itu berlandaskan kepatutan mendasar. Tapi itu
bukan satu-satunya kejadian. Dia bisa melihatnya sekarang, perbuatannya yang
menyerempet batas hingga terpeleset melewatinya telah terjadi selama beberapa
minggu, dimulai dari sisa makanan Sejanus dan berakhir dengan dirinya berada di
sini, gemetaran di dalam gelap, duduk di kursi taman yang sepi. Apa yang akan
bakal terjadi padanya jika dia tidak bisa berhenti melanggar batas? Apa lagi yang
sanggup dia lakukan? Cukup sudah. Ini harus diakhiri. Tanpa kehormatan, dia tak
memiliki apa-apa. Tak ada lagi kecurangan. Tak ada lagi strategi licik. Tak ada lagi
pembenaran. Mulai sekarang dia akan hidup jujur, dan jika dia mesti menjalani hi-
dup sebagai pengemis, setidaknya dia masih punya kehormatan.
Kakinya melangkah semakin jauh dari rumah, tapi dia menyadari lokasi
apartemen keluarga Plinth hanya beberapa menit. Kenapa dia tidak mampir
sekalian lewat?
Seorang Avox mengenakan seragam asisten rumah tangga membuka pintu dan
desyrindah.blogspot.com

menawarkan diri untuk membawakan tas sekolah Coriolanus. Dia menolak dan
bertanya apakah Sejanus ada di rumah. Avox itu mengantarnya ke ruang tamu dan
menunjuk ke kursi agar dia duduk. Sembari menunggu, dia memperhatikan
perabot dengan saksama. Mebel yang indah, karpet tebal, permadani bersulam,
patung perunggu entah siapa. Walaupun eksterior apartemennya biasa saja, tapi
interiornya mewah. Keluarga Plinth hanya butuh alamat di Corso untuk
menguatkan status mereka.
Mrs. Plinth masuk ke ruang tamu sambil minta maaf dengan pakaian penuh
tepung. Tampaknya Sejanus sudah tidur, sementara ibunya sibuk di dapur. Apakah
dia mau turun sebentar untuk minum teh? Atau mungkin mereka akan
menyajikan teh di ruang tamu, sebagaimana yang dilakukan keluarga Snow. Tidak,
tidak perlu, Coriolanus menenangkannya, di dapur juga tidak apa-apa. Hanya
keluarga Plinth yang melayani tamu di dapur. Tapi dia tidak datang kemari untuk
memberikan pendapat. Dia kemari untuk berterima kasih, dan kalau itu ditambah
kue yang baru dipanggang tentu akan lebih baik.
“Kau mau pai? Ada blackberry. Atau persik kalau kau mau menunggu.” Dia
mengangguk ke arah deretan pai yang sedang menunggu masuk ke oven. “Atau
mungkin kau mau kue? Aku membuat puding susu siang tadi. Avox menyukainya,
karena mudah ditelan. Kopi, teh, atau susu?” Kerutan di dahi Ma semakin dalam
menunjukkan kegelisahannya, seakan apa yang ditawarkan pada Coriolanus tak
cukup baik.
Walaupun dia sudah makan malam, kejadian di Citadel dan berjalan kaki tadi
membuat tenaganya habis. “Oh, susu boleh. Dan pai blackberry kedengaran enak
sekali. Tak ada yang bisa menandingi masakan Anda.”
Ma mengisi gelas besar dengan susu sampai ke tepi gelas. Dia memotong
seperempat bagian pai dan menaruhnya ke piring. “Kau suka es krim?” tanyanya.
Dilanjutkan dengan beberapa sauk es krim vanila ke piringnya. Mrs. Plinth
menarik kursi di meja kayu sederhana. Kursi itu terletak di bawah sulaman
desyrindah.blogspot.com

pemandangan gunung yang ditimpa tulisan satu kata: RUMAH. “Saudara


perempuanku yang mengirimnya. Sekarang hanya dia yang benar-benar masih
berhubungan denganku. Atau tepatnya, yang mau berhubungan denganku.
Sulaman itu tidak sesuai dengan hiasan rumah ini, tapi aku punya sudutku sendiri
di sini. Silakan duduk. Makanlah.”
Sudutnya berisi meja dengan tiga kursi yang tidak serasi, sulaman, dan rak yang
berisi pernak-pernik. Tempat garam dan lada berbentuk sepasang ayam, hiasan
telur marmer, dan boneka kain dengan pakaian tambal sulam. Keseluruhan barang
yang dibawanya dari kampung halaman, pikir Coriolanus. Altar pemujaannya
untuk Distrik 2. Menyedihkan melihatnya bertahan pada wilayah pegunungan
yang terbelakang itu. Orang malang yang salah tempat, tanpa ada harapan bisa
menyesuaikan diri di tempat baru. Menghabiskan hari-harinya membuat puding
susu untuk Avox yang takkan pernah bisa merasakannya, serta merindukan masa
lalu. Coriolanus mengamatinya memasukkan pai ke oven lalu menyuap painya
sendiri ke dalam mulut. Lidahnya menikmati pai yang lezat.
“Bagaimana rasanya?” tanya Mrs. Plinth penasaran. 
“Luar biasa,” kata Coriolanus. “Seperti semua masakan Anda, Mrs. Plinth.”
Coriolanus memang tidak memuji berlebihan. Ma mungkin menyedihkan, tapi
dia seniman di dapur.
Ma Plinth tersenyum dan duduk bersamanya di meja dapur. “Kalau kau mau
lagi, pintu rumahku selalu terbuka. Aku tak tahu bagaimana caranya berterima
kasih padamu, Coriolanus, atas segala yang telah kaulakukan bagi kami. Sejanus
segalanya bagiku. Maaf, dia tidak bisa mengunjungimu. Dia mendapat banyak
obat bius. Kalau tidak diberi obat, dia tidak bisa tidur. Dia marah dan kehilangan
arah. Aku tidak perlu menceritakan padamu betapa kesalnya Sejanus.”
“Capitol bukan tempat yang cocok untuknya,” kata Coriolanus. 
“Sebenarnya tidak cocok untuk Plinth sekeluarga. Strabo bilang walaupun sulit
buat kami sekarang, akan lebih baik untuk Sejanus dan anak-anaknya nanti, tapi
desyrindah.blogspot.com

entahlah.” Dia memandang raknya. “Keluarga dan teman-temanmu, itulah


kehidupanmu yang sebenarnya, Coriolanus, dan kami meninggalkan semuanya di
Distrik Dua. Tapi kau sudah paham. Aku bisa melihatnya. Aku bersyukur kau pu-
nya nenekmu dan sepupumu yang manis.”
Coriolanus akhirnya berusaha menghibur Mrs. Plinth, mengatakan bahwa
keadaan akan lebih baik pada saat Sejanus lulus Akademi. Akan lebih banyak
orang di Universitas, dengan beragam macam orang dari seantero Capitol, dan
Sejanus akan bertemu teman-
teman baru.
Mrs. Plinth mengangguk tapi tampak tidak yakin. Asisten rumah tangga Avox
menarik perhatiannya melalui semacam bahasa isyarat. “Baiklah, dia akan naik
setelah selesai makan pai,” kata Mrs. Plinth padanya. “Suamiku ingin bertemu
denganmu, kalau kau tidak keberatan. Kurasa dia mau berterima kasih padamu.”
Saat Coriolanus menelan potongan pai terakhir, dia pamit mengucapkan selamat
malam pada Ma dan mengikuti asisten rumah tangga itu menaiki tangga ke ruang
utama. Karpet tebal membuat langkah kaki mereka tak terdengar, sehingga
mereka tiba di ruang perpustakaan yang pintunya terbuka secara mendadak, dan
dia bisa melihat Strabo Plinth yang sedang santai. Pria itu berdiri di dekat perapian
batu yang mewah, sikunya menopang tubuhnya yang jangkung bersandar pada rak
di atas perapian, memandangi tungku perapian yang baru akan dinyalakan pada
musim lain. Saat ini, tungku perapian itu kosong dan dingin, dan Coriolanus
penasaran apa yang dilihat pria itu di sana sehingga ekspresinya terlihat sedih. Satu
tangannya memegang kerah jas beledu yang mahal, yang tampak tidak cocok
dengan keseluruhan dirinya, seperti gaun buatan desainer yang dipakai Mrs.
Plinth atau jas Sejanus. Pakaian keluarga Plinth selalu menyiratkan mereka
berusaha keras menjadi orang Capitol. Kualitas pakaian yang mewah dan mahal
bertolak belakang dengan kepribadian distrik mereka, ibarat Grandma’am
dipakaikan baju dari karung goni tetap akan menunjukkan statusnya sebagai orang
desyrindah.blogspot.com

yang tinggal di Corso.


Mr. Plinth memandangnya, dan Coriolanus merasakan sensasi yang diingatnya
saat bertatapan dengan ayahnya. Campuran antara kegelisahan dan kecanggungan,
seakan pada saat itu dia sudah melakukan perbuatan bodoh. Namun, pria ini
adalah seorang Plinth, bukan Snow.
Coriolanus menunjukkan senyum terbaiknya. “Selamat malam, Mr. Plinth.
Apakah saya mengganggu Anda?”
“Sama sekali tidak. Ayo masuk. Duduklah.” Mr. Plinth menyuruhnya duduk di
sofa kulit di depan perapian, bukannya di kursi di dekat meja oak besar. Artinya ini
urusan pribadi, bukan bisnis. “Kau sudah makan? Pasti sudah, kau tidak mungkin
keluar dari dapur tanpa diberi makan sampai kenyang oleh istriku. Kau mau
minum? Mungkin wiski?”
Orang dewasa tak pernah menawarinya minuman lebih keras daripada posca,
yang biasanya langsung naik ke kepalanya. Dia tidak berani mengambil risiko itu
dalam percakapan ini. “Perutku sudah penuh,” kata Coriolanus sambil tertawa,
menepuk perutnya ketika hendak duduk di sofa. “Silakan, Anda saja yang minum.”
“Oh, aku tidak minum.” Mr. Plinth duduk di kursi yang berhadapan dengannya
dan memandang Coriolanus. “Kau mirip ayahmu.”
“Aku sering dengar orang bilang begitu,” kata Coriolanus. “Apakah Anda
mengenalnya?”
“Bisnis kami sesekali bersinggungan.” Strobo Plinth mengetukkan jemarinya
yang panjang ke lengan kursi. “Kemiripan sik kalian luar biasa. Tapi kau sama
sekali tidak seperti ayahmu.”
Tidak, pikir Coriolanus. Aku miskin dan tak berdaya. Walaupun mungkin
perbedaan Coriolanus dengan ayahnya justru bagus dalam tujuan percakapan
malam ini. Ayahnya yang membenci distrik akan jijik melihat Strabo Plinth
diterima di Capitol dan menjadi konglomerat industri senjata. Itu bukan alasan
ayahnya menyerahkan jiwa raganya ke medan perang.
desyrindah.blogspot.com

“Sama sekali tidak. Kalau ya, kau takkan mau masuk ke arena menolong
anakku,” lanjut Mr. Plinth. “Mustahil membayangkan Crassus Snow menyabung
nyawa demi menolongku. Aku terus bertanya-tanya kenapa kau melakukannya.”
Sebenarnya, karena tak ada pilihan lain, pikir Coriolanus. “Dia sahabatku,”
ucapnya.
“Berapa kali pun kudengar jawaban itu, aku masih sulit percaya. Tapi sejak awal,
Sejanus membedakanmu dengan yang lain. Barangkali sifatmu mirip ibumu. Dia
selalu ramah kepadaku saat aku ke Capitol untuk urusan bisnis sebelum perang.
Dia tidak memandang latar belakangku. Ibumu adalah perwujudan wanita
terhormat. Tak pernah kulupakan.” Mr. Plinth memandang Coriolanus lekat-lekat.
“Apakah kau mirip ibumu?”
Percakapan ini tidak seperti yang dibayangkan Coriolanus. Tidak ada omongan
tentang uang hadiah. Dia tidak bisa menerimanya jika tidak ditawarkan. “Aku pikir
ada miripnya, dalam beberapa hal.”
“Dalam hal apa saja?” tanya Mr. Plinth.
Pertanyaan ini terasa aneh. Dalam hal apa dia mirip sosok yang penyayang,
mengagumkan, yang melagukan ninabobo untuknya tiap malam? “Kami sama-
sama menyukai musik.” Benarkah? Ibunya menyukai musik, dan dia tidak
membencinya, pikir Coriolanus.
“Musik, ya?” kata Mr. Plinth, seakan Coriolanus baru saja mengatakan hal
dangkal dan konyol.
“Dan kupikir kami sama-sama percaya bahwa nasib baik… mesti ditebus…
setiap hari. Bukan sesuatu yang kita terima begitu saja,” lanjutnya. Coriolanus
tidak paham sepenuhnya apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya Mr. Plinth bisa
mengerti.
Mr. Plinth merenungkannya. “Aku setuju denganmu.”
“Oh, baguslah. Ya, jadi… Sejanus,” Coriolanus mengingatkannya.
Wajah Mr. Plinth terlihat letih. “Sejanus. Oh ya, terima kasih sudah
desyrindah.blogspot.com

menyelamatkan nyawanya.”
“Tidak perlu berterima kasih. Seperti kubilang, dia temanku.” Sekaranglah
saatnya. Saatnya untuk ditawari uang, dia menolak, dibujuk, akhirnya menerima.
“Baiklah. Kurasa sudah saatnya kau pulang. Pesertamu masih ada di Hunger
Games, kan?” tanya Mr. Plinth.
Kaget karena diusir secara halus, Coriolanus bangkit dari kursinya. “Oh. Ya.
Anda benar. Aku hanya ingin tahu kabar Sejanus. Apakah dia akan segera kembali
ke sekolah?”
“Entahlah,” kata Mr. Plinth. “Tapi terima kasih sudah mampir.”
“Tentu saja. Beritahu dia bahwa teman-teman merindukannya,” kata Coriolanus.
“Selamat malam.”
“Malam.” Mr. Plinth mengangguk. Tak ada uang. Bahkan tak ada jabat tangan.
Coriolanus bingung dan kecewa. Sekantong besar makanan dan sopir yang
disediakan untuk mengantarnya pulang ibarat hadiah hiburan, tapi pada akhirnya
kunjungan ini hanya menghabiskan waktu, terutama karena masih ada tugas Dr.
Gaul yang mesti ditulisnya. “Tambahan menarik dalam lamaran untuk hadiahmu.”
Kenapa segalanya harus jadi perjuangan sulit baginya?
Coriolanus memberitahu Tigris bahwa dia menjenguk Sejanus, dan Tigris tidak
bertanya lebih lanjut tentang keterlambatannya. Tigris menyeduhkan secangkir
teh melati untuknya suatu bentuk kemewahan seperti berfoya-foya dengan
token, tapi buat apa dipikirkan sekarang? Dia bersiap-siap menulis tiga K di
selembar kertas. Kekacauan, kontrol, dan apa yang ketiga? Oh, ya. Kontrak. Apa
yang terjadi jika tak ada seorang pun yang mengontrol kemanusiaan? Itu topik
yang harus dia sampaikan. Dan dia juga menyebut tentang kekacauan. Dr. Gaul
mau dia mulai dari sana.
Kekacauan. Kerusuhan ekstrem dan kegaduhan. “Seperti berada di arena,” kata
Dr. Gaul. “Kesempatan yang sangat bagus,” begitu kata Dr. Gaul. Itu “transformatif.”
Coriolanus memikirkan seperti apa rasanya di arena, tanpa adanya peraturan,
desyrindah.blogspot.com

tanpa hukum, tanpa ada konsekuensi atas tindakannya. Pedoman moralnya


bergerak tanpa arah. Didorong rasa takut menjadi mangsa, dia pun berubah
menjadi pemangsa yang tanpa ragu menghajar Bobbin sampai mati. Jelas, dia
bertransformasi, tapi menjadi seseorang yang tidak dia banggakan. Dengan
menyandang nama Snow, seharusnya dia lebih bisa mengendalikan diri. Dia
berusaha membayangkan apa yang terjadi jika seluruh dunia berada dalam situasi
seperti itu. Tak ada konsekuensi. Orang-orang mengambil apa pun yang mereka
mau, saat mereka mau, dan kalau perlu hingga membunuh. Bertahan hidup adalah
segalanya. Ada hari-hari semasa perang ketika mereka semua terlalu takut untuk
keluar dari apartemen. Hari-hari ketika anarki menjadikan Capitol sebagai arena
Hunger Games.
Ya, ketiadaan hukum dan tata tertib, itulah intinya. Jadi masyarakat perlu sepakat
untuk mematuhi peraturan hukum dan tata tertib. Apakah itu yang dimaksud Dr.
Gaul dengan “kontrak sosial”? Kesepakatan untuk tidak merampas, menganiaya,
atau membunuh satu sama lain. Dan dalam pelaksanaannya, hukum dan tata tertib
membutuhkan kontrol. Tanpa adanya kontrol untuk melaksanakan kontrak,
kekacauan bakal merajalela. Kekuatan untuk mengontrol ini harus lebih besar
daripada kekuatan rakyat jika tidak, rakyat akan menentangnya. Satu-satunya
entitas yang sanggup melakukan kontrol ini adalah Capitol.
Pada pukul dua pagi dia baru menyelesaikannya, dan itu pun tidak sampai satu
halaman penuh. Dr. Gaul pasti ingin lebih banyak, tapi hanya sebanyak ini yang
sanggup dia tulis malam ini. Dia naik ke tempat tidur, berbaring, lalu bermimpi
Lucy Gray dikejar ular-ular berwarna pelangi. Dia terbangun kaget, gemetar,
hingga mendengar alunan lagu kebangsaan. Kau harus kuat, kata Coriolanus
mengingatkan dirinya sendiri. Hunger Games sebentar lagi usai.
Sarapan lezat yang disediakan Mrs. Plinth memberinya kekuatan untuk
melewati hari keempat Hunger Games. Di trem, dia menyantap sepotong pai
blackberry, roti isi sosis, dan tar keju. Hunger Games dan keluarga Plinth membuat
desyrindah.blogspot.com

celananya mulai kesempitan. Nanti malam dia akan pulang berjalan kaki.
Tali beledu membatasi bagian mimbar yang berisi delapan mentor tersisa, dan
papan nama mentor terpasang di punggung kursi. Tempat duduk yang ditentukan
ini sesuatu yang baru, mungkin ini upaya untuk meredakan omongan sinis yang
terlontar selama beberapa hari terakhir. Coriolanus tetap duduk di deretan
belakang, di antara Io dan Urban. Festus yang malang terjepit di antara Vipsania
dan Clemensia.
Lucky menyambut penonton bersama Jubilee yang tampak sengsara, dikurung
dalam kandang lebih lebih cocok untuk kelinci daripada untuk burung. Tak ada
kejadian berarti di arena, para peserta tampaknya sedang tidur. Satu-satunya
perkembangan baru adalah seseorang, kemungkinan Reaper, menyeret jasad
Jessup ke deretan peserta yang sudah tewas di dekat barikade.
Coriolanus harap-harap cemas menunggu pengumuman kematian Gaius Breen,
tapi tak ada berita tentang itu. Para Pengawas Permainan menghabiskan waktu
dengan kerumunan penonton di depan arena, yang makin lama makin ramai.
Tampak kelompok-kelompok penggemar yang mengenakan kaus-kaus bergambar
wajah peserta dan mentor favorit mereka. Coriolanus merasa senang sekaligus
malu melihat foto dirinya di kaus dan terpampang di layar raksasa.
Menjelang siang barulah ada peserta yang kelihatan di arena, dan penonton di
studio tidak langsung mengenalinya.
“Itu Wovey!” Hilarius berteriak lega. “Dia masih hidup!”
Coriolanus mengingat Wovey yang kurus. Sekarang gadis itu tampak hanya
tulang dibalut kulit, kedua tangan dan kakinya ceking, pipinya cekung. Wovey
berjongkok di mulut terowongan dengan rok garis-garis kotor, menyipitkan mata
karena terangnya cahaya matahari dan memegangi botol air kosong.
“Tunggu, Wovey! Makanan segera datang!” kata Hilarius, menekan layar di alat
komunikasinya. Wovey tidak mendapat banyak sponsor, tapi ada saja orang yang
memasang taruhan pada mereka yang tak punya peluang menang.
desyrindah.blogspot.com

Lepidus langsung mendatanginya, dan Hilarius bicara panjang lebar tentang


kelebihan-kelebihan Wovey. Hilarius menjelaskan ketidakmunculan Wovey
sebagai rencana siluman, mengatakan bahwa mereka memang sudah berencana
agar gadis itu bersembunyi sampai tidak ada musuh di arena. “Lihat dia! Dia ada
dalam delapan besar!” Enam drone terbang meluncur ke arah Wovey, dan Hilarius
makin bersemangat. “Itu makanan dan minuman untuknya! Yang perlu dia
lakukan hanyalah mengambilnya lalu kembali bersembunyi!”
Ketika makanan dan minuman itu menghujaninya, Wovey
mengangkat kedua tangannya seperti terpukau. Dia merangkak di tanah,
mengambil sebotol air, dan berjuang membuka tutup botol. Setelah minum
beberapa tegukan, dia mundur kembali ke dinding lalu bersendawa. Cairan
menetes di sisi mulutnya lalu dia tak bergerak.
Penonton memandang layar, tak mengerti apa yang terjadi.
“Dia tewas,” kata Urban.
“Tidak! Dia tidak tewas. Dia cuma beristirahat!” kata Hilarius.
Semakin lama Wovey memandang ke arah matahari tanpa berkedip, semakin
sulit untuk percaya bahwa gadis itu masih hidup. Coriolanus memperhatikan air
liur Wovey tidak bening atau berdarah, tapi agak keruh dan penasaran apakah
Lucy Gray akhirnya berhasil menggunakan racun tikusnya. Tidak sulit untuk
menaruh racun di sisa air dalam botol lalu membuangnya di salah satu
terowongan. Wovey yang putus asa takkan berpikir panjang untuk meminumnya.
Tapi tak ada seorang pun, termasuk Hilarius, menganggap kejadian ini
mencurigakan.
“Entahlah,” kata Lepidus kepada Hilarius. “Kurasa temanmu benar.”
Mereka menunggu selama sepuluh menit dan tak melihat tanda-tanda
kehidupan pada Wovey, lalu Hilarius menyerah dan mengangkat kursinya.
Lepidus mencurahi pemuda itu pujian, yang walaupun kecewa, Hilarius mengakui
bahwa keadaan bisa lebih buruk lagi. “Dia bisa bertahan cukup lama dalam kondisi
desyrindah.blogspot.com

seperti itu. Seharusnya dia keluar lebih cepat supaya aku bisa memberinya makan.
Tapi aku merasa patut berbangga, delapan besar bukan hal yang bisa dianggap
enteng!”
Coriolanus mengingat da arnya. Sepasang peserta dari Tiga, sepasang dari
Empat, lalu Treech dan Reaper. Tinggal mereka penghalang Lucy Gray untuk
menjadi pemenang. Enam peserta dan segenggam keberuntungan.
Sejenak kematian Wovey tak menjadi perhatian di arena. Barulah saat menjelang
makan siang Reaper keluar dari barikade, masih mengenakan jubah bendera. Dia
mendekati Wovey dengan hati-hati, meski gadis itu tidak menjadi ancaman saat
masih hidup, apalagi sekarang dalam kondisi tak bernyawa. Reaper berjongkok di
sampingnya dan mengambil sebuah apel, lalu mengerutkan dahi saat mengamati
wajah Wovey dengan saksama.
Dia tahu, pikir Coriolanus. Setidaknya dia curiga gadis itu meninggal secara tidak
wajar.
Reaper menjatuhkan apelnya. Dia menggendong jasad Wovey sambil berjalan
menuju deretan jenazah peserta, meninggalkan makanan dan minuman Wovey di
tanah.
“Kalian lihat?” tanya Clemensia entah pada siapa. “Kalian lihat apa yang harus
kuhadapi? Otak pesertaku tidak beres.”
“Kurasa kau benar,” kata Festus. “Maaf tentang sebelumnya.”
Jadi, kematian Wovey tidak menimbulkan kecurigaan di luar arena, dan di dalam
arena hanya Reaper yang mempertanyakan penyebab kematiannya. Lucy Gray
bukan tipe yang ceroboh. Mungkin dia memilih Wovey yang lemah sebagai
sasaran karena anak itu sudah dalam kondisi tidak sehat dan bisa menyamarkan
keracunan sebagai penyebab kematian. Coriolanus merasa frustrasi karena tidak
bisa berkomunikasi dengan Lucy Gray dan membahas strategi mereka. Dengan
semakin berkurangnya peserta, apakah bersembunyi masih menjadi cara terbaik,
atau lebih baik Lucy Gray bertindak lebih agresif? Tentu saja dia tidak tahu. Lucy
desyrindah.blogspot.com

Gray bisa saja sedang menaruh racun di makanan dan minuman saat ini. Kalau
benar itu yang sedang dia lakukan, artinya Lucy Gray butuh lebih banyak
makanan dan minuman, dan Coriolanus tidak bisa memberikannya kalau gadis itu
tidak muncul. Walaupun tidak percaya sepenuhnya, dia berusaha menghubungi
Lucy Gray secara telepati. Izinkan aku menolongmu, Lucy Gray. Atau setidaknya
biarkan aku tahu kau baik-baik saja, pikir Coriolanus. Lalu dia menambahkan, Aku
merindukanmu.
Reaper kembali ke terowongan pada saat peserta Distrik 4 memunguti makanan
Wovey. Ketidakpedulian mereka pada asal makanan itu meyakinkan Coriolanus
bahwa racun sebagai penyebab kematian tidak terpikirkan oleh peserta lain.
Mereka duduk di tempat Wovey tewas dan menghabiskan makanan yang ada, lalu
berjalan kembali ke terowongan mereka. Mizzen berjalan pincang, tapi dia masih
bisa mengalahkan peserta lain jika harus bertarung. Coriolanus penasaran, jika
pada akhirnya hanya tersisa Coral dan Mizzen, apakah mereka akan memutuskan
peserta Distrik 4 mana yang akan jadi pemenangnya?
Selama bertahun-tahun Coriolanus tak pernah menyisakan makan siangnya,
tapi bakmi dengan kacang kara membuatnya mual. Dia masih kenyang karena
sarapan dari keluarga Plinth, dan tak bisa menelan sesendok pun makanannya.
Untuk menghindari teguran, dia segera menyodorkan mangkuknya kepada Festus
yang sudah menghabiskan makanannya. “Untukmu. Kacang kara mengingatkanku
pada perang.”
“Buatku adalah havermut. Sekali mencium aromanya, aku mau bersembunyi di
bungker,” kata Festus, yang segera menghabiskan lagi makanannya. “Terima kasih.
Aku ketiduran dan tidak sempat sarapan.”
Coriolanus berharap kacang kara itu bukan pertanda buruk. Lalu dia memarahi
dirinya sendiri. Sekarang bukan saatnya percaya pada takhayul. Dia harus
mempertahankan akal sehatnya, tampil memesona di depan kamera, dan
melewati hari ini dengan baik. Lucy Gray pasti sudah lapar sekarang. Dia
desyrindah.blogspot.com

merencanakan pengiriman makanan berikutnya sambil menyesap air.


Dengan keluarnya Hilarius, tiga kursi mentor di belakang bergerak ke depan,
dan Coriolanus duduk di kursinya di tengah. Seperti kata Domitia, ini seperti
permainan kursi musikal, dan Coriolanus memainkan permainan ini semasa
kanak-kanak bersama orang-orang yang ada di sini. Kalau dia punya anak, dan dia
berencana akan punya anak suatu hari nanti, apakah mereka masih jadi bagian
kelompok sosial elite di Capitol? Atau status mereka merosot ke kelas lebih
rendah? Seandainya mereka memiliki jaringan keluarga yang lebih luas mungkin
bakal membantu, tapi hanya dia dan Tigris yang menyandang nama Snow di
generasi mereka. Tanpa Tigris, Coriolanus berjalan menuju masa depan seorang
diri.
Tak banyak kejadian menarik di arena siang itu. Coriolanus menunggu
kemunculan Lucy Gray, berharap ada kesempatan memberinya makan, tapi gadis
itu tidak kelihatan batang hidungnya. Penonton di luar arena bersemangat saat
penggemar Coral beradu pendapat dengan penggemar Treech tentang siapa yang
layak menjadi pemenang. Baku hantam sempat terjadi sebelum Penjaga
Perdamaian memisahkan dua kelompok itu ke dua sisi berbeda. Coriolanus lega
penggemarnya tidak kampungan seperti itu.
Pada sore hari, saat Lucky melanjutkan liputannya, Dr. Gaul duduk di
hadapannya memegangi Jubilee yang berada di dalam kandang. Burung itu
bergerak maju-mundur seperti anak kecil yang sedang menenangkan diri. Lucky
memandangi hewan peliharaannya dengan cemas, mungkin kuatir burung itu
akan dibawa ke lab. “Kita kedatangan tamu istimewa hari ini: Kepala Pengawas
Permainan, Dr. Gaul, yang berteman dengan Jubilee. Kudengar Anda punya kabar
sedih untuk kami, Dr. Gaul.”
Dr. Gaul memindahkan kandang Jubilee ke meja. “Ya. karena luka-luka yang
dialami pada saat bom diledakkan pemberontak di arena, salah satu siswa
Akademi, Gaius Breen tewas.”
desyrindah.blogspot.com

Saat teman-teman sekolahnya menangis, Coriolanus berusaha memusatkan diri.


Dia akan dipanggil untuk menanggapi kematian Gaius, tapi bukan itu yang
menjadi penyebab kegelisahannya. Mudah baginya untuk membuat eulogi bagi
Gaius; pemuda itu tidak punya musuh.
“Kurasa aku mewakili semua orang dengan mengatakan kami turut berduka dan
bersimpati pada keluarga almarhum,” kata Lucky.
Wajah Dr. Gaul tampak kaku. “Ya. Tapi perbuatan lebih baik daripada perkataan,
dan musuh pemberontak tampaknya tidak mudah paham. Sebagai balasannya,
kami merencanakan sesuatu yang spesial untuk anak-anak mereka di arena.”
“Boleh kita lihat?” kata Lucky.
Di bagian tengah arena, Teslee dan Circ berjongkok di atas tumpukan puing,
menyodok-nyodok sesuatu. Tampaknya, mereka tidak tertarik pada Reaper, yang
duduk di antara stan-stan di atas sana, memunggungi dinding arena, terbungkus
jubah. Tiba-tiba, Treech berlari keluar dari terowongan dan menyerbu para
peserta Distrik 3, yang langsung kabur ke barikade.
Gumaman bingung terdengar di antara penonton. Di mana “sesuatu yang spesial”
yang dijanjikan Dr. Gaul? Pertanyaan itu terjawab dengan kemunculan drone besar
yang terbang ke dalam arena, mengangkut kotak kaca berisi ular pelangi.
Coriolanus tadinya meyakinkan diri bahwa serangan ular itu hanyalah
imajinasinya, tapi masuknya kotak itu mengakhiri harapannya. Otaknya berusaha
menyusun teori secara tepat. Dia tidak tahu apa reaksi ular-ular itu saat dilepaskan,
tapi dia pernah berada di dalam laboratorium. Dr. Gaul tidak membiakkan anjing
peliharaan lucu; dia merancang senjata.
Paket yang tidak lazim itu menarik perhatian Treech. Mungkin dia pikir ada
hadiah yang dikirimkan untuknya, karena Treech terdiam ketika drone tiba di
tengah arena. Teslee dan Circ juga berhenti berlari, bahkan Reaper bangkit
memperhatikan kiriman itu. Drone melepas kotak tanpa penutup itu sekitar
sepuluh meter dari atas tanah. Kotak itu tidak pecah, tapi terpental ketika jatuh.
desyrindah.blogspot.com

Lalu dinding-dinding kotak itu terbuka, seperti bunga yang mekar.


Ular melesat keluar ke segala arah, menciptakan semburat warna pelangi di
tanah.
Di barisan depan, Clemensia melompat berdiri dan menjerit ketakutan, hampir
membuat Festus jatuh dari kursi. Karena kebanyakan penonton baru melihat
perkembangan terbaru ini di layar televisi, reaksi Clemensia terasa berlebihan.
Coriolanus takut
Clemensia akan membocorkan cerita karena panik, sehingga dia berdiri dan
memeluk gadis itu dari belakang, tidak yakin apakah tujuannya untuk
menenangkan atau menahannya. Tubuh Clemensia kaku tapi dia terdiam.
“Mereka tidak ada di sini. Mereka ada di arena,” bisik Coriolanus di telinganya.
“Kau aman.” Coriolanus tetap memeganginya saat ular-ular itu beraksi.
Mungkin latar belakang Treech dari distrik perkayuan membuatnya mengenali
ular-ular itu. Pada saat mereka keluar dari kotak kaca, dia berbalik lalu berlari cepat
ke stan-stan. Puing-puing terpental ketika dia menendangnya saat berlari,
melompati kursi-kursi ketika naik ke stan.
Keheranan yang dialami Teslee dan Circ selama beberapa waktu harus dibayar
mahal. Teslee berhasil lari sampai ke salah satu tiang dan berhasil memanjat naik
beberapa meter untuk menyelamatkan diri, tapi Circ tersandung tombak karatan,
dan ular-ular mematuknya. Sekitar sepuluh taring ular menancap di tubuhnya, lalu
tidak lama kemudian ular-ular itu pergi menjauh, seakan sudah puas. Warna merah
muda, kuning, biru mewarnai tubuhnya ketika luka-luka di tubuhnya
mengeluarkan nanah berwarna-warni. Dengan tubuh lebih kecil daripada
Clemensia, dan bisa ular dua kali lipat di tubuhnya, Circ berjuang untuk bernapas
selama sekitar sepuluh detik sebelum tewas. 
Teslee memandangi tubuh Circ dan menangis ketakutan sambil memeluk tiang.
Di bawahnya, ular-ular berkumpul, memandang ke atas, dan berkeliling
menunggu.
desyrindah.blogspot.com

Suara Lucky berkumandang. “Apa yang terjadi?”


“Ini adalah mu -mu yang kami kembangkan di laboratorium di Capitol,” Dr.
Gaul memberitahu penonton. “Mereka hanya anak ular, tapi saat dewasa mereka
akan dengan mudah mengejar manusia, dan dengan mudah memanjat tiang itu.
Mereka dirancang untuk memburu manusia dan bereproduksi dengan cepat
sehingga bisa diganti kalau ada yang mati.”
Treech sudah memanjat lorong sempit di atas papan skor, dan Reaper
menemukan tempat perlindungan di atap tempat duduk wartawan. Beberapa ekor
ular berhasil naik ke puing-puing dan mendaki ke stan-stan.
Dari mikrofon terdengar suara jeritan teredam anak perempuan.
Ular-ular itu menyerang Lucy Gray, pikir Coriolanus putus asa. Saputangannya
gagal.
Tapi pada saat itu, Mizzen melesat keluar dari barikade terdekat, diikuti Coral
yang menjerit-jerit. Seekor ular menggantung di lengan Coral. Dia menarik lepas
ular itu, tapi puluhan ekor lain menyerangnya, menyasar bagian bawah kakinya.
Mizzen melempar trisulanya lalu terbang melompat meraih tiang di seberang
Teslee. Meskipun lututnya terluka, Mizzen hanya butuh setengah waktu
dibandingkan kali pertama dia memanjat tiang untuk sampai ke puncak. Dari atas,
dia melihat Coral menggelepar, tapi tidak lama kemudian berhenti bergerak.
Karena target-target mereka di lapangan sudah tewas, kebanyakan ular
berkumpul di bawah Teslee. Pegangannya pada tiang mulai melemah, dan dia
berteriak minta tolong pada Mizzen, tapi pemuda itu menggeleng, lebih karena
takut bukannya jahat.
Penonton saling menyuruh agar tidak berisik meskipun Coriolanus tidak tahu
alasannya. Saat aula itu senyap, dia menangkap suara yang tadinya tak terdengar.
Di sana, samar-samar, ada yang bernyanyi di arena.
Gadisnya.
Lucy Gray keluar dari terowongan perlahan-lahan dan berjalan mundur. Dia
desyrindah.blogspot.com

mengangkat kakinya dengan hati-hati ketika melangkah ke belakang, bergerak


dengan lembut mengikuti irama musiknya.
La, la, la, la,
La, la, la, la, la, la,
La, la, la, la, la, la…
Liriknya hanya seperti itu, tapi menarik perhatian. Seakan terpesona mendengar
melodi yang dilantunkannya, sekitar enam ekor ular mengikutinya.
Coriolanus melepaskan Clemensia yang kini sudah tenang, dan mendorong
gadis itu perlahan ke arah Festus. Dia melangkah mendekati layar, menahan napas
saat Lucy Gray terus melangkah lalu berbelok ke tempat jasad Jessup terbaring.
Suaranya terdengar makin keras saat mendekati mikrofon, entah gadis itu
menyadarinya atau tidak. Mungkin ini lagu terakhir, penampilan terakhirnya.
Tak ada seekor ular pun yang ingin menyerangnya. Bahkan, Lucy Gray
tampaknya menarik mereka dari seantero arena. Sekawanan ular yang ada di
bawah tiang Teslee berkurang, beberapa ekor ular jatuh dari stan-stan, dan
puluhan lain merayap keluar dari terowongan untuk bergabung mendekati Lucy
Gray. Ular-ular itu mengelilinginya, berkelompok dari segala arah, sehingga Lucy
Gray tidak bisa mundur lagi. Gelombang warna-warni mengerubungi kakinya
yang telanjang, mengeliling tumitnya ketika dia duduk di atas sebongkah marmer.
Dengan ujung jemarinya, dia melebarkan gaun rumbai-rumbainya, seakan
mengundang mereka. Ketika ular-ular itu mengerumuninya, gaun pudarnya
perlahan lenyap dan berganti anyaman ular berwarna-warni sebagai roknya.
desyrindah.blogspot.com
20

Coriolanus mengepalkan kedua tangannya, tak bisa memastikan niat ular-ular


berbisa itu. Setelah mencium baunya dari proposal, ular-ular di dalam kotak kaca
mengabaikannya. Tapi ular-ular ini seakan tertarik ke Lucy Gray bagaikan magnet
menarik besi. Apakah lingkungan yang membuat tingkah ular-ular itu berbeda?
Secara mendadak mereka dilepas dari lingkungan hangat dan sempit dalam kotak
kaca ke arena luar tak terlindung, apakah mereka mencari satu-satunya bau yang
mereka kenali? Apakah mereka mendekati Lucy Gray untuk mencari
perlindungan di rok gadis itu?
Lucy Gray tidak tahu apa-apa tentang hal ini, karena ketika Coriolanus berniat
memberitahunya tentang kejadian yang menimpa Clemensia dan ular-ular
tersebut, keadaan Lucy Gray lebih buruk dibanding dirinya sehingga dia
memutuskan tutup mulut. Seandainya dia memberitahu Lucy Gray pun, butuh
keajaiban agar dia bisa menemukan cara untuk campur tangan saat mereka
menaruh ular di arena Hunger Games. Dalam pikiran Lucy Gray apa yang
mengendalikan ular-ular itu? Pasti dia pikir nyanyiannya. Apakah dia bernyanyi
pada ular-ular di kampung halamannya? “Ular itu teman kesayanganku,” katanya
pada anak kecil di kebun binatang. Barangkali dia berteman dengan ular di Distrik
12. Barangkali Lucy Gray berpikir kalau dia berhenti bernyanyi, ular-ular itu akan
membunuhnya. Barangkali ini lagu terakhirnya. Dia takkan mau mati tanpa
penutup yang epik. Dia kepingin mati dalam kejayaannya, dalam sorotan cahaya
paling terang.
desyrindah.blogspot.com

Saat Lucy Gray mulai melantunkan liriknya, terdengar suaranya yang lembut
namun bening.
Kau menuju surga,
Menuju akhirat yang indah dan manis,
Aku sudah setengah jalan ke sana.
Tapi sebelum aku bisa terbang ke sana,
Ada urusan yang harus kuselesaikan.
Di sini
Di alam fana.
Lagu lama, pikir Coriolanus. Omongan tentang akhirat ini mengingatkannya
pada Sejanus dan remah roti, tapi ada juga bait tentang alam fana. Itu artinya masa
kini. Di sini. Sekarang. Saat gadis itu masih hidup.
Aku akan menyusul
Setelah laguku usai,
Setelah simfoniku berakhir, 
Setelah permainanku selesai,
Setelah semua utangku lunas,
Setelah segala penyesalan terjungkir,
Di sini 
Di alam fana,
Setelah tak ada lagi yang tersisa.
Pengawas Permainan memotong adegan dengan menyorot sudut gambar yang
lebih luas, yang membuat Coriolanus ingin berteriak keberatan sampai dia
menyadari alasannya. Semua ular di arena tampaknya terpikat pada nyanyian Lucy
Gray dan berbondong-bondong ke arahnya. Termasuk ular yang menunggu Teslee
di bawah tiang, yang sudah siap mematuknya, tampak menjauh pergi dari sasaran
dan merayap ke arah Lucy Gray berada. Teslee yang masih trauma, turun ke tanah
desyrindah.blogspot.com

dengan tubuh gemetar dan terpincang-pincang menuju pagar yang dirantai di


salah satu bagian barikade. Dia memanjat ke tempat aman yang lebih tinggi
sementara lagu berlanjut.
Aku akan mengikutimu
Setelah minumanku habis,
Setelah teman-temanku binasa,
Setelah segalanya tamat,
Setelah air mataku tandas,
Setelah ketakutanku musnah,
Di sini
Di alam fana,
Setelah tak ada lagi yang tersisa.
Kamera kembali menyorot Lucy Gray dalam jarak dekat. Coriolanus punya
rasat gadis itu biasa bernyanyi untuk penonton yang mabuk. Pada hari-hari
sebelum wawancara, dia mendengar beberapa orang mabuk berkumpul bernyanyi
sambil mengangkat gelas kaleng berisi minuman keras sambil mengayunkan
tubuh bersama-sama di bar murahan. Akan tetapi minuman keras ternyata bukan
bahan utamanya, karena ketika dia menoleh ke belakang, dia melihat beberapa
orang di Heavensbee Hall mulai bergerak mengikuti irama. Suara Lucy Gray
makin lantang, bergema di arena…
Akan kubawakan berita
Setelah aku selesai berdansa,
Setelah tubuhku letih,
Setelah kapalku kandas
Setelah permainan tamat,
Dan aku terbaring di lantai,
Di sini
desyrindah.blogspot.com

Di alam fana,
Setelah tak ada lagi yang tersisa
...lalu mencapai crescendo di bagian akhir.
Setelah hatiku seputih merpati
Setelah aku memahami cinta sejati
Di sini 
Di alam fana,
Setelah tak ada lagi yang tersisa.
Nada terakhir menggantung di udara sementara penonton menahan napas. Ular-
ular menanti lagu berakhir, lalu entah ini imajinasinya atau bukan? mereka
bergerak. Lucy Gray bersenandung lembut, seakan hendak menenangkan bayi
yang gelisah. Para penonton juga perlahan-lahan menjadi tenang seperti halnya
ular-ular yang ada di dekat gadis itu.
Lucky tampak tersihir seperti ular-ular itu ketika kamera kembali menyorotinya,
matanya agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Dia tersadar ketika melihat
gambar dirinya di layar televisi, dan mengalihkan perhatiannya ke Dr. Gaul yang
menunjukkan wajah kaku tanpa emosi. “Wah, Kepala Pengawas Permainan, aku…
memberi… hormat!”
Heavensbee Hall riuh dengan penonton yang berdiri sambil bertepuk tangan,
tapi Coriolanus tidak dapat mengalihkan pandangannya dari Dr. Gaul. Ada apa di
balik ekspresi wajah yang tak terbaca itu? Apakah dia mengaitkan perilaku ular-
ular itu dengan nyanyian Lucy Gray, atau dia mencurigai adanya kecurangan? Jika
Dr. Gaul tahu tentang saputangan itu, mungkin dia akan memaa annya, karena
hasilnya ternyata dramatis.
Dr. Gaul mengangguk singkat. “Terima kasih. Tapi fokus hari ini seharusnya
bukan kepadaku, tapi kepada Gaius Breen. Barangkali ada teman-temannya yang
ingin menyumbang satu atau dua patah kata untuk mengenangnya.”
desyrindah.blogspot.com

Lepidus langsung beraksi di Heavensbee Hall, mengumpulkan cerita dari


teman-teman sekelas Gaius. Untunglah Dr. Gaul sudah memberinya bocoran,
karena hanya Coriolanus yang bisa menghubungkan kepahlawanan Gaius, ular,
dan pembalasan yang mereka saksikan di arena, sementara teman-temannya hanya
berbagi cerita lucu dan lelucon. “Kita tak bisa membiarkan kematian pemuda
Capitol yang luar biasa tanpa pembalasan. Saat diserang, kita balas menyerang dua
kali lipat, seperti yang pernah disebutkan Dr. Gaul di masa lalu.”
Lepidus berusaha mengalihkan topik ke penampilan Lucy Gray bersama ular-
ularnya, tapi Coriolanus hanya berkata, “Lucy Gray tampil menakjubkan. Tapi Dr.
Gaul benar. Momen ini milik Gaius. Kita bicara tentang Lucy Gray besok saja.”
Setelah mengenang Gaius selama satu jam, Lepidus mengucapkan selamat
tinggal pada Festus dan Io karena Coral dan Circ tewas dipatuk ular. Coriolanus
memeluk Festus erat-erat, merasa terharu melihat sahabatnya meninggalkan
mimbar. Dia juga merasa kehilangan Io, karena gadis itu lebih netral, tidak
seagresif  mentor-mentor lain. Mungkin dengan pengecualian Persephone, yang
jadi teman makan malamnya. Dia memilih kanibal dibandingkan manusia-
manusia bengis.
Siswa-siswa yang lain pulang, meninggalkan beberapa mentor yang masih
bertugas untuk menyantap makan malam daging steik. Coriolanus memandang ke
sekelilingnya, menatap para pesaing yang masih tersisa. Berada dalam lima besar
seharusnya membuat Coriolanus melayang bahagia. Kalau pemenangnya orang
lain, Dekan Highbo om tetap akan memberinya hadiah yang tidak cukup untuk
membayar biaya kuliahnya, mungkin dengan menyebut kecaman sebagai
alasannya. Hanya Hadiah Plinth yang bisa benar-benar melindunginya.
Dia mengalihkan perhatian ke layar, di sana Lucy Gray masih bersenandung
pada hewan-hewan peliharaannya. Teslee bersembunyi ke belakang barikade,
sementara Mizzen, Treech, dan Reaper bertahan di tempat tinggi. Awan
menggulung, menandakan datangnya badai dan menciptakan pemandangan
matahari terbenam yang indah. Cuaca buruk membuat gelap lebih cepat tiba.
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus belum menghabiskan pudingnya saat Lucy Gray tak kelihatan lagi di
layar dan petir mengguncang arena. Dia berharap sambaran kilat bisa memberi
semacam penerangan, tapi hujan deras yang mengiringi badai membuat mereka
tidak bisa melihat apa-apa.
Coriolanus memutuskan untuk menginap di Heavensbee Hall, dan keempat
mentor yang tersisa juga melakukan hal yang sama. Hanya Vipsania yang terpikir
untuk membawa alas tidur, sehingga yang lain harus mengatur posisi di kursi-kursi
berbantalan, mengganjal kaki mereka, dan menggunakan tas sekolah sebagai
bantal. Hujan malam itu menyejukkan aula, Coriolanus setengah tertidur di
kursinya, setengah mengawasi kegiatan di layar televisi. Badai
mengaburkan segalanya, hingga akhirnya dia terlelap. Menjelang subuh, dia
terbangun kaget dan memandang sekelilingnya. Vipsania, Urban, dan Persephone
masih tidur lelap. Dari jarak beberapa meter, dia bisa melihat mata Clemensia
berbinar dalam keremangan cahaya.
Dia tidak mau jadi musuh gadis itu. Kalau pertahan keluarga Snow terancam
runtuh, dia butuh teman-temannya. Sebelum musibah dengan ular-ular itu, dia
menganggap Clemensia salah satu sahabat baiknya. Apalagi gadis itu juga
bersahabat dengan Tigris. Tapi bagaimana caranya mereka bisa berbaikan?
Salah satu tangan Clemensia berada di dalam kemeja, jemarinya menyentuh
tulang selangka yang diperlihatkannya di rumah sakit. Bagian yang tertutup sisik.
“Apakah bisa hilang?” bisik Coriolanus.
Clemensia menegang. “Memudar. Akhirnya. Mereka bilang mungkin butuh
waktu setahun untuk pulih.”
“Sakit, tidak?” Untuk pertama kalinya Coriolanus terpikir apakah Clemensia
kesakitan.
“Tidak sakit. Tapi seperti menarik kulitku.” Clemensia meraba sisiknya. “Susah
dijelaskan.”
Jawaban Clemensia membuatnya bersemangat, sehingga dia memberanikan diri.
desyrindah.blogspot.com

“Maa an aku, Clemmie. Sungguh. Tentang semuanya.”


“Kau kan tidak tahu apa yang dia rencanakan,” kata Clemensia.
“Memang tidak. Tapi setelahnya, di rumah sakit, aku seharusnya menemanimu.
Aku seharusnya mendobrak pintu-pintu untuk memastikan kau baik-baik saja,”
kata Coriolanus.
“Ya!” kata Clemensia dengan tegas, tapi dia tampak melunak se-telahnya. “Tapi
aku tahu kau juga terluka. Di arena.”
“Oh, jangan mencari alasan untukku.” Coriolanus mengangkat kedua tangannya.
“Aku memang sampah dan kita berdua sama-sama tahu!”
Clemensia tersenyum samar. “Yah. Kurasa aku harus berterima kasih padamu
karena menahanku sehingga tidak kelihatan konyol siang tadi.”
“Benarkah?” Coriolanus menyipitkan mata berusaha berpikir. “Yang kuingat
adalah aku berpegangan padamu. Walaupun bisa juga dibilang bersembunyi di
belakangmu. Tapi yang jelas aku berpegangan padamu.”
Clemensia tertawa kecil, tapi lalu berubah serius. “Seharusnya aku tidak
menyalahkanmu. Maa an aku. Aku ketakutan.”
“Kau punya alasan untuk takut. Aku berharap kau tidak perlu melihat ular-ular
itu di televisi,” kata Coriolanus.
“Mungkin itu malah jadi katarsisku. Entah bagaimana, aku merasa lebih baik,”
katanya. “Apakah aku jahat?”
“Tidak,” kata Coriolanus. “Kau pemberani.”
Dan persahabatan mereka yang sempat goyah pun terjalin kembali. Mereka
membiarkan yang lain tidur sementara mereka berbagi kue tar keju terakhir yang
disimpan Coriolanus sambil mengobrol simpang siur, bahkan memikirkan
gagasan untuk membentuk persekutuan antara Lucy Gray dan Reaper di arena.
Tapi mereka mengabaikan gagasan itu, karena hal itu di luar kuasa mereka. Kalau
Lucy Gray dan Reaper ingin bersekutu, mereka akan melakukannya.
“Setidaknya, kita bersekutu lagi,” kata Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com

“Kita juga tidak bermusuhan,” kata Clemensia. Bahkan saat mereka membasuh
wajah sebelum tampil di depan kamera, Clemensia meminjamkan sabunnya agar
Coriolanus tidak perlu menggunakan sabun kesat di kamar mandi. Kebaikan kecil
ini membuat Coriolanus tahu bahwa dia telah dimaa an. 
Tak ada sarapan yang disediakan, tapi Festus datang pagi-pagi sekali
membagikan sandwich telur dan apel dalam semangat persaudaraan. Wajah
Persephone berseri-seri ketika minum teh sambil memandang Festus. Karena
Clemensia sudah lebih santai, Coriolanus tidak lagi merasa terancam di antara
para mentor. Mereka ingin menang, tapi semuanya tergantung peserta mereka.
Dia menakar para pesaing Lucy Gray. Teslee, bertubuh kecil dan cerdas.
Mizzen, mematikan tapi sedang terluka. Treech, bertubuh atletis tapi masih
misterius. Reaper, tak ada kata yang bisa menjelaskan keanehannya.
Awan-awan gelap digantikan cahaya matahari. Ular-ular yang tewas menyampah
di arena, tertimbun puing-puing atau mengambang di genangan air. Mungkin
mereka tenggelam, tidak mampu bertahan hidup dalam udara dingin dan basah.
Beberapa makhluk hasil rekayasa genetika tampaknya tidak bisa bertahan hidup di
luar laboratorium. Lucy Gray dan Teslee tidak tampak di layar, tiga anak lelaki de-
ngan pakaian basah belum turun dari tempat mereka yang tinggi. Mizzen sedang
tidur, tubuhnya diikat ke palang. Ketika siswa-siswa lain datang memenuhi
Heavensbee Hall, Vipsania dan Clemensia, yang tampak normal, mengirim
makanan untuk peserta mereka.
Saat drone-drone itu tiba, Treech makan dengan lahap, tapi Reaper tidak mau
menyentuh makanannya. Dia malah turun ke arena untuk meraup air dari
genangan hujan. Reaper tak peduli pada Treech dan Mizzen yang akhirnya
terbangun, lalu mengambil jasad Coral serta Circ, dan menderetkannya. Anak-
anak lelaki lain mengamatinya dengan hati-hati, tapi tak ada yang mau
melawannya. Entah takut pada tingkahnya yang aneh atau tidak mau menghadapi
kemungkinan masih adanya ular di arena. Mereka mungkin berharap yang lain
desyrindah.blogspot.com

akan membunuhnya, tapi tak ada seorang pun yang mengganggu kegiatan Reaper
hingga dia kembali ke boks tempat duduk wartawan setelah merapikan barisan
jenazah. Treech duduk di ujung papan skor, menggoyang-goyangkan kaki,
sementara
Mizzen membuat gerak isyarat makan. Persephone langsung bertindak dan
mengiriminya sarapan berisi banyak makanan.
Tidak lama kemudian Teslee muncul. Wajahnya terlihat serius berkonsentrasi,
gadis itu mengeluarkan drone yang mirip aslinya, tapi dengan sedikit perubahan.
Dia berdiri tepat di bawah Mizzen. 
“Apakah dia pikir benda itu bisa terbang?” tanya Vipsania sangsi. “Seandainya
bisa, bagaimana dia mengendalikannya?”
Urban, yang cemberut memandang layar, mendadak duduk tegak di kursinya.
“Dia tidak perlu mengendalikannya. Dia tidak perlu jika… Tapi bagaimana cara
dia…” Urban terdiam, tampak berpikir keras.
Teslee menjentikkan sakelar, mengangkat kedua tangannya, dan meluncurkan
drone   ke udara. Benda itu naik, memperlihatkan kabel yang menghubungkan
bagian bawah drone   dengan gulungan kabel di pergelangan tangan gadis itu.
Dalam keadaan tertambat, drone itu mulai terbang melingkar separo jalan antara
Teslee dan Mizzen.
Mizzen memandang ke bawah, tampak bingung, tapi perhatiannya teralih dengan
kedatangan drone pertama kiriman Persephone. Drone itu menjatuhkan
sebongkah roti pada Mizzen lalu terbang kembali seperti biasanya, Namun, selang
beberapa meter, drone itu terbang kembali ke arah Mizzen. Pemuda itu mundur,
terkejut. Secara re eks dia menghalau drone itu, tapi benda tersebut kembali
terbang ke atasnya, membuka capitannya untuk mengirim hadiah yang tak ada,
lalu terbang memutar dan kembali lagi.
“Kenapa drone itu?” tanya Persephone.
Tak ada yang tahu jawabannya. Sesaat kemudian, drone kedua datang membawa
desyrindah.blogspot.com

air, dan ketiga datang membawa keju. Setelah mengirimkan hadiah, drone-drone
itu terbang mengitari Mizzen, berusaha mengirim lagi hadiahnya. Kemudian
drone-drone yang biasanya mengirim hadiah dengan mulus, mulai saling
menabrak, dan sesekali mengenai Mizzen. Bagian ekor salah satu drone mengenai
matanya, dan Mizzen berteriak, lalu memukul drone itu.
“Apakah aku bisa menghubungi Pengawas Permainan? Karena aku mengirim
tiga lagi!” kata Persephone.
“Mereka tidak bisa melakukan apa-apa,” kata Urban terpukau. “Gadis itu
menemukan cara meretasnya. Dia menghalangi drone untuk menemukan arah
balik, sehingga wajah Mizzen menjadi satu-satunya tujuan mereka.”
Seperti dugaan Urban, saat tiga drone lain tiba, satu per satu mengalami
kerusakan yang sama. Mizzen menjadi satu-satunya sasaran mereka, kejadian yang
awalnya kocak berubah jadi mematikan. Dia berdiri dan berusaha menuruni tiang,
tapi drone-drone itu mengerubunginya seperti lebah mendekati wadah madu.
Mizzen meninggalkan trisulanya di tanah, sehingga dia hanya mengeluarkan pisau
dan berusaha menghalau mereka, tapi dia hanya bisa menjauhkan mereka untuk
sesaat. Drone-drone   itu tidak diprogram untuk mengenainya, tapi saat mereka
terpantul setelah bertabrakan dan mengenai pisaunya, semakin banyak pula drone
yang menabraknya, sehingga tampak seakan mengeroyok dan menyerangnya.
Mizzen meraba-raba berusaha menuruni tiang tiang yang sama yang dipeluk
Teslee untuk bertahan hidup tapi lutut Mizzen goyah. Kini dalam keadaan
panik, Mizzen mengayunkan pukulan ke drone-drone itu, sehingga berat badannya
bertumpu pada kakinya yang terluka dengan lututnya tidak kuat menahan beban.
Mizzen kehilangan keseimbangan dan jatuh menghantam tanah, lehernya
terpuntir ke samping ketika jatuh.
“Aduh!” Persephone menjerit saat Mizzen jatuh. “Oh, dia membunuhnya!”
Vipsania mengerutkan dahi memandang layar. “Dia lebih cerdas daripada
penampilannya.”
desyrindah.blogspot.com

Teslee tersenyum puas dan menarik kabel drone-nya, mematikan sakelarnya lalu
memeluk drone-nya dengan sayang.
“Jangan menilai seseorang dari penampilannya.” Urban tergelak sembari
mengetuk alat komunikasinya untuk mengirimi Teslee hadiah. “Apalagi jika dia
milikku.”
Kegembiraan Urban hanya berlangsung singkat. Ketika menampilkan insiden
drone, para Pengawas Permainan tidak memperlihatkan gambar yang lebih lebar,
di mana Treech sudah turun dari papan skor lalu berjalan melewati stan-stan dan
melompat turun ke arena. Treech muncul tiba-tiba, meloncat dalam sorotan
kamera dan menghantamkan kapaknya ke tubuh Teslee dengan kuat. Teslee tidak
sempat menghindar saat mata kapak mengenai tengkoraknya, hingga kepalanya
pecah dan menewaskannya seketika. Treech membungkuk, kedua tangannya
memegangi lutut sambil terengah-engah, lalu dia duduk di tanah di samping gadis
itu, menatap darah yang mengalir di atas pasir. Drone-drone yang datang
menghujani makanan untuk Teslee membuat Treech kembali bergerak. Dia
mengambil lebih dari sepuluh bungkusan makanan lalu bersembunyi di belakang
barikade.
Urban menunjukkan keterkejutannya dengan wajah jijik, lalu bangkit berdiri
dan pergi. Dia tidak bisa melarikan diri dari Lepidus yang sudah siap siaga dengan
mikrofon, dan nyaris tak bisa menahan diri untuk menggeram saat berkata,
“Selesai sudah. Sempat senang sebentar, kan?” Lalu Urban berjalan menjauh,
meninggalkan Persephone yang sedang menyampaikan penyesalannya dan
berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepadanya sebagai mentor
Mizzen. 
“Kau berhasil masuk lima besar!” Lepidus berseri-seri memandang Persephone.
“Tak ada seorang pun yang bisa merenggutnya darimu.”
“Tidak,” katanya sangsi. “Memang tidak. Hal semacam itu akan selalu diingat
orang.”
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus memandang Clemensia lalu Vipsania. “Tampaknya tinggal kita yang


tersisa.” Mereka bertiga mengatur tempat duduk agar berderet, dengan Coriolanus
duduk di tengah, sementara yang lain memindahkan kursi-kursi mentor yang
jagoannya sudah tumbang. 
Lucy Gray. Treech. Reaper. Tiga peserta terakhir. Gadis terakhir. Hari terakhir?
Mungkin saja.
Lucky masuk dengan topi yang dipasangi lima kembang api. “Halo, Panem!
Kurancang ini khusus untuk lima besar, tapi dua sudah padam!” Dia melepas dua
batang kembang api dari topinya dan melemparnya ke belakang begitu saja. “Tiga
besar, para hadirin!”
Sebatang kembang api jatuh ke lantai, kembang api kedua mengeluarkan asap,
membuat Lucky berteriak melengking sambil
melonjak-lonjak. Seorang kru berlari membawa alat pemadam api untuk
mengatasinya, membuat Lucky bisa menenangkan diri. Saat tiga kembang api di
topinya padam, nomor untuk sponsor dan mereka yang ingin memasang taruhan
berkedip-kedip di bagian bawah layar. “Wahhh! Pasar taruhan makin seru dan
panas! Jangan ketinggalan keseruannya!”
Alat komunikasi Coriolanus berdenting teratur, juga alat komunikasi milik
Vipsania dan Clemensia. “Barang-barang ini tak ada gunanya,” Clemensia
bergumam pada Coriolanus. “Dia tak cukup percaya padaku untuk memakan apa
pun yang kukirim padanya.”
Lucy Gray pasti lapar, tapi Coriolanus berasumsi bahwa gadis itu sedang
beristirahat di terowongan. Dia ingin mengiriminya makanan dan air, untuk
mempertahankan kekuatannya juga sebagai cara untuk menaruh racunnya.
Karena dua lawan terakhir Lucy Gray jauh lebih kuat, Coriolanus harus
melakukan sesuatu untuk membantunya. Saat ini, yang terpikirkan olehnya adalah
membuat penonton mendukung Lucy Gray. Saat Lepidus menghampirinya untuk
menagih janji mengenai pendapatnya tentang penampilan Lucy Gray, Coriolanus
desyrindah.blogspot.com

tidak malu-malu melontarkan pujian berlebihan. Coriolanus tidak tahu kapan lagi
ada kesempatan untuk membuktikan bahwa gadis itu bukan dari distrik, kalau
bukan sekarang.  “Aku merasakan ketidakadilan yang menimpanya bukan hanya
saat hari pemungutan, tapi selama tinggal di Distrik Dua Belas. Para penonton
bisa menilai sendiri. Kalau Anda sependapat denganku, atau bahkan menganggap
aku ada benarnya, kalian tahu apa yang mesti Anda lakukan.” Saat kiriman masuk
melalui alat komunikasinya menunjukkan dukungan pada Lucy Gray, Coriolanus
tidak tahu bagaimana semua ini bisa membantunya. Dia barangkali bisa memberi
makan Lucy Gray selama berminggu-minggu dengan apa yang sekarang
dimilikinya.
Namun, satu-satunya peserta yang tampak di arena adalah
Reaper, yang sudah turun dari boks tempat duduk wartawan sambil memotong
bendera lain saat berjalan turun. Dia berjalan terhuyung-huyung, menambahkan
Teslee dan Mizzen ke deretan koleksinya, dan menggunakan secarik bendera
untuk menutup jasad mereka. Dengan upaya keras, dia memanjat ke deretan
belakang arena. Di sana dia menikmati cahaya matahari, menjemur jubahnya agar
kering. Coriolanus penasaran, apakah tak lama lagi Reaper akan tewas karena
sebab alami? Itu pun kalau kelaparan sampai mati bisa dianggap sebagai sebab
alami. Dia tidak yakin. Apakah wajar jika kelaparan digunakan sebagai senjata?
Dia lega saat melihat Lucy Gray muncul dari balik bayangan terowongan tepat
sebelum tengah hari. Gadis itu mengamati arena, dan setelah menilainya aman dia
baru melangkah keluar ke tempat yang kena cahaya matahari. Lumpur di ujung
rok Lucy Gray mulai mengeras, tapi pakaiannya yang basah masih menempel ke
tubuhnya. Saat Coriolanus memesan makanan untuk gadis itu melalui alat
komunikasinya, Lucy Gray berjalan ke genangan air tempat Reaper minum dan
berlutut di sana. Dia meraup air, berusaha menghilangkan dahaga sekaligus
membasuh wajahnya. Setelah menyugar rambut, Lucy Gray mengepang
rambutnya, dan menyelesaikan kepangannya ketika sepuluh drone terbang
desyrindah.blogspot.com

memasuki arena.
Gadis itu tampak tidak memperhatikan kedatangan drone-drone tersebut ketika
mengeluarkan botol dari kantongnya, mencelupkan botol hingga ke bagian
lehernya ke genangan air, mengambil sedikit air. Setelah mengocok botolnya, Lucy
Gray menuang air di dalam botol ke genangan dan mengisi kembali botolnya saat
kedatangan drone-drone tersebut menarik perhatiannya. Saat makanan dan air
mulai berjatuhan di dekatnya, dia membuang botol lamanya lalu mengumpulkan
hadiah-hadiah baru itu dengan roknya.
Lucy Gray berlari ke terowongan terdekat, tapi dia sempat mendongak dan
melihat Reaper tiduran di stan-stan. Dia berputar haluan, berlari ke tempat Reaper
menaruh jenazah. Saat mengangkat kain bendera penutupnya, bibir Lucy Gray
bergerak ketika menghitung peserta yang tewas.
“Dia berusaha mencari tahu siapa yang tersisa di Hunger Games,” kata
Coriolanus ke mikrofon yang disodorkan Lepidus ke hadapannya.
“Mungkin kita seharusnya memasang pengumuman itu di papan skor,” kata
Lepidus bercanda. 
“Itu akan sangat membantu para peserta,” kata Coriolanus. “Serius, itu ide yang
bagus.”
Tiba-tiba, Lucy Gray mendongak lagi. Ketika dia berbalik dan lari, jatah
makanan di roknya jatuh ke tanah. Gadis itu pasti mendengar sesuatu yang tak
bisa ditangkap penonton. Treech melesat keluar dari balik barikade, mengayunkan
kapak, dan menangkap pergelangan tangan Lucy Gray ketika gadis itu berlari di
bawah palang. Lucy Gray memutar tubuhnya, jatuh berlutut, meronta-ronta
sementara Treech mengangkat kapaknya.
“Tidak!” Coriolanus langsung berdiri, mendorong Lepidus. “Lucy Gray!”
Dua kejadian berlangsung bersamaan. Saat kapak itu terayun, Lucy Gray jatuh
ke pelukan Treech dan bergelayut di sana, menghindari bilah kapak. Anehnya,
mereka tampak berpelukan terlalu lama, lalu mata Treech membelalak ngeri.
desyrindah.blogspot.com

Treech mendorong Lucy Gray dan menjatuhkan kapaknya, lalu merenggut


sesuatu dari leher belakangnya. Tangannya terulur, jemarinya menggenggam erat
ular berwarna merah muda cerah. Kemudian Treech jatuh berlutut dan
menghantamkan ular itu ke tanah, berkali-kali, sampai dia juga jatuh tersungkur
tewas di tanah, ular yang sudah mati itu masih tergenggam erat di tangannya.
Dada Lucy Gray turun-naik, lalu dia memutar tubuhnya mencari Reaper, tapi
pemuda itu masih duduk santai di stan-stan. Untuk sementara dia aman. Lucy
Gray memegang dadanya lalu melambai kepada penonton.
Ketika para penonton di aula bertepuk tangan, Coriolanus mengembuskan
napas keras-keras lalu memutar tubuhnya untuk menerima tepuk tangan itu.
Coriolanus berhasil. Lucy Gray berhasil. Dengan kantong penuh berisi racun,
gadis itu berhasil menjadi dua peserta tersisa. Dia pasti mengantongi ular pink itu,
seperti dia mengantongi ular hijau di hari pemungutan. Apakah masih ada ular di
kantongnya? Atau Treech sudah menghabisi sisa ularnya? Entahlah. Tapi
kemungkinan bahwa dia memiliki ular sebagai senjata membuat Lucy Gray
tampak sebagai lawan yang mematikan.
Saat Lepidus mengantar Vipsania keluar yang berterima kasih pada Pengawas
Permainan dengan berat hati Coriolanus duduk di kursinya dan melihat Lucy
Gray mengambil kembali makanannya.  Dia mencondongkan tubuhnya ke arah
Clemensia dan berbisik, “Aku bersyukur tinggal kita berdua.” 
Saat Lucy Gray meratakan pembungkus kirimannya dan menata seluruh
makanannya dengan cantik, Coriolanus teringat piknik mereka di kebun binatang.
Apakah Lucy Gray berpiknik di arena karena teringat padanya? Dadanya
bergemuruh, dan dia terbayang kenangan ciuman mereka. Apakah akan ada
ciuman seperti itu lagi di masa depan? Selama beberapa saat, dia melamun dan
membayangkan Lucy Gray menang, meninggalkan arena, dan hidup bersamanya
di griya tawang keluarga Snow, yang entah bagaimana selamat dari urusan pajak.
Dia kuliah berkat Hadiah Plinth sementara Lucy Gray menjadi bintang di kelab
desyrindah.blogspot.com

malam milik Pluribus yang dibuka kembali, karena Capitol mengizinkannya


tinggal. Coriolanus belum memikirkannya secara terperinci, tapi intinya dia bisa
bersama gadis itu. Aman dan berada di dekatnya. Saling mengagumi. Berbakti
padanya. Dan sepenuhnya milik Coriolanus. Kalau Lucy Gray jujur mengatakan
ini “Satu-satunya pemuda yang memiliki tempat di hatiku sekarang adalah kau.”
sebelum menciumnya, dia pasti menginginkan hal yang sama, kan?
Hentikan! Coriolanus berkata dalam hati. Belum ada yang memenangkan apa
pun! Lucy Gray menghabiskan hampir semua makanannya, sehingga Coriolanus
mengiriminya makanan lagi dalam jumlah banyak agar gadis itu bisa bersembunyi
selama beberapa hari ke depan, seandainya dia perlu bersembunyi dan menunggu
Reaper tewas. Rencana yang bagus, risikonya rendah dan bisa berhasil kalau
Reaper tetap menolak makan seperti yang dilakukannya selama ini. Tapi
bagaimana jika Reaper tidak melakukannya? Bagaimana jika Reaper sadar dan
memutuskan untuk memakan kiriman Clemensia yang jumlahnya nyaris tak ada
habisnya? Pada akhirnya mereka akan beradu sik, dan Lucy Gray tidak memiliki
keunggulan kecuali dia masih menyimpan ular di sakunya.
Setelah drone-drone selesai mengantar hadiah untuknya, Lucy Gray memilahnya
lalu menyimpan makanan-makanan itu di sakunya. Saku-sakunya pasti tidak muat
menampung semua makanan dan minuman itu jika ada ular di dalamnya, tapi
gadis itu sangat cerdas. Coriolanus bahkan tidak melihatnya mengeluarkan ular
yang membunuh Treech.
Festus membawakan sandwich untuk makan siang Coriolanus dan Clemensia,
tapi mereka berdua terlalu gelisah untuk makan. Murid-murid lain juga makan di
kursi masing-masing, tak mau ketinggalan tayangan di televisi. Coriolanus bisa
mendengar bisik-bisik penuh semangat tentang siapa yang unggul hari itu.
Seingatnya, dulu orang-orang tak memedulikan hal tersebut.
Sinar matahari yang panas menyengat mengeringkan arena, menyerap genangan
air dangkal dan hanya menyisakan beberapa genangan yang cukup dalam hingga
desyrindah.blogspot.com

bisa diraup airnya untuk diminum. Lucy Gray beristirahat di atas reruntuhan,
roknya dikembangkan agar kena sinar matahari. Ketenangan itu membuat Lucky
melaporkan ramalan cuaca, termasuk memberi saran menghadapi cuaca panas
dan tips untuk menghindari kram, kelelahan, dan sengatan panas. Antrean
mengular di depan stan limun di luar arena, dan orang-orang berlindung di bawah
payung atau berdiri berdekatan di tempat yang teduh. Aula Heavensbee yang
biasanya sejuk juga terasa panas, beberapa murid melepas jaket dan mengipas-
ngipas dengan buku catatan mereka. Pada tengah hari, sekolah menyediakan sirup
buah sehingga suasana di aula semakin meriah.
Lucy Gray tetap mengawasi Reaper, tapi pemuda itu tidak bergerak
mendekatinya. Tiba-tiba, Lucy Gray bangkit seakan tidak sabar menghadapi
keaadaan lalu berjalan ke tempat jasad Treech berada. Dia mencengkeram
pergelangan kaki Treech, dan mulai menyeretnya ke tempat Reaper menaruh
deretan jenazah. Reaper langsung bangun saat Lucy Gray menyentuh jasad
Treech. Pemuda itu menjulurkan tubuhnya dan berteriak tidak jelas, lalu bergegas
turun dari stan-stan. Lucy Gray melepaskan Treech lalu berlari ke terowongan
terdekat. Reaper mengambil alih tugas mengangkut jasad Treech,
menderetkannya dengan rapi di barisan peserta yang tewas dan menutupinya
dengan sisa-sisa bendera. Setelah puas, Reaper berjalan kembali ke arah stan, tapi
dia baru sampai ke dinding ketika Lucy Gray berlari dari terowongan kedua,
menarik potongan bendera dari atas jenazah-jenazah di sana sembari berteriak.
Reaper berbalik cepat dan berlari ke arah Lucy Gray. Gadis itu segera kabur ke
belakang barikade. Reaper mengganti bendera yang diambil Lucy Gray,
menyelipkan kainnya di bawah jenazah-jenazah itu agar tidak mudah lepas, lalu
berjalan kembali untuk beristirahat dan bersandar di tiang. Beberapa menit
kemudian, Reaper tampak tertidur. Matanya terpejam kena sinar matahari. Lucy
Gray kembali melesat berlari, menarik lepas satu bagian bendera, dan kali ini
membawa bendera itu berkibar di belakangnya. Pada saat Reaper menyadari
desyrindah.blogspot.com

kekacauan yang dibuat Lucy Gray, gadis itu sudah berlari menjauh sekitar lima
puluh meter dari tempatnya beristirahat. Keraguannya untuk mengejar membuat
Lucy Gray semakin menjauh. Gadis itu membawa bendera ke tengah arena,
mencampakkannya ke tanah, lalu kembali berjalan ke arah stan-stan. Reaper
murka, dia berlari dan mengambil kembali benderanya. Dia mengambil langkah
mengejar Lucy Gray, tapi tenaganya habis. Kedua tangan Reaper menekan pelipis,
napasnya terengah-engah, meskipun dia tidak terlihat berkeringat. Sebagaimana
yang dijelaskan Lucky tadi, bisa jadi yang dialami Reaper adalah tanda sengatan
panas.
Lucy Gray berusaha membuat Reaper kelelahan sampai mati, pikir Coriolanus.
Dan rencana ini kemungkinan bisa berhasil.
Reaper terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Sambil menyeret bendera, dia
berjalan menuju genangan, salah satu dari beberapa genangan yang tidak
mengering sepanjang siang. Dia berlutut untuk minum, menyeruput airnya hingga
hanya tersisa lumpur basah di lubang genangan. Saat dia duduk bertumpu pada
tumitnya, wajah Reaper tampak aneh, dan jemarinya mengusap dada dan rusuk-
nya. Dia memuntahkan sebagian air yang diminumnya, lalu muntah-muntah lagi
sambil berlutut dengan kedua tangan dan kaki di tanah sebelum akhirnya bisa
bangkit dan berdiri dengan langkah goyah. Reaper masih menggenggam bendera
dengan satu tangan, lalu berjalan perlahan dan tertatih-tatih, kembali ke
tempatnya menaruh jenazah. Reaper tiba di sana lalu ambruk, menyeret tubuhnya
ke sebelah Treech. Satu tangannya berusaha menyelimuti jenazah-jenazah lain
termasuk dirinya, tapi hanya berhasil menutupi sebagian dirinya sebelum
gerakannya terhenti dan tubuhnya kaku.
Coriolanus duduk terpana menanti kejadian selanjutnya. Apakah sudah selesai?
Apakah dia sungguhan menang? e Hunger Games? Hadiah Plinth? Gadisnya?
Dia mengamati wajah Lucy Gray yang sedang memandangi Reaper dari stan, tapi
gadis itu tampak termenung, seakan dia berada jauh dari arena.
desyrindah.blogspot.com

Penonton di aula mulai berbisik-bisik riuh. Apakah Reaper tewas? Apakah


mereka akan mengumumkan pemenangnya? Coriolanus dan Clemensia
mengibaskan tangan pada Lepidus yang sudah menyorongkan mikrofon
sementara mereka harap-harap cemas menunggu hasilnya. Setengah jam berlalu
saat Lucy Gray turun dari stan-stan dan menghampiri Reaper. Jarinya menyentuh
leher Reaper, memeriksa nadinya. Wajahnya tampak puas, lalu dia memejamkan
mata dan dengan lembut merapikan bendera yang menutupi jenazah para peserta,
seakan dia menyelimuti mereka sebelum tidur. Selanjutnya dia berjalan ke arah
tiang, duduk bersandar di sana. Menunggu.
Hal ini tampaknya meyakinkan Pengawas Permainan, karena Lucky muncul
sambil melonjak-lonjak girang, mengumumkan bahwa Lucy Gray Baird, peserta
dari Distrik 12, dan mentornya, Coriolanus Snow, memenangkan Hunger Games
Kesepuluh.
Heavensbee Hall riuh rendah di sekeliling Coriolanus, dan Festus mengorganisir
teman-temannya untuk mengangkat kursi Coriolanus dan membawanya
berkeliling mimbar. Setelah mereka menurunkannya, Lepidus mencecar
Coriolanus dengan rentetan pertanyaan. Dia hanya menjawab bahwa pengalaman
ini menyenangkan dan membuatnya bersyukur. Selanjutnya seluruh siswa diminta
ke ruang makan, di sana kue dan posca sudah disediakan untuk perayaan.
Coriolanus duduk di kursi kehormatan, menerima ucapan selamat dan minum
posca lebih banyak daripada biasanya. Tidak ada salahnya, kan? Saat ini,
Coriolanus merasa di atas angin.
Satyria menyelamatkannya saat dia mulai merasa pening, membawanya pergi
dari ruang makan menuju laboratorium biologi. “Sepertinya mereka membawa
gadismu kemari. Jangan kaget kalau mereka menempatkan kalian berdua di depan
kamera. Bagus sekali.”
Coriolanus spontan memeluk Satyria dan bergegas ke lab, bersyukur bisa punya
waktu sendirian. Dia merasa bibirnya sakit karena kebanyakan tersenyum. Dia
desyrindah.blogspot.com

sudah menang. Dia memenangkan kejayaan, masa depan, dan mungkin cinta. Tak
lama lagi, Lucy Gray akan berada dalam pelukannya. Oh, Snow memang mendarat
di puncak. Dia berusaha terlihat santai saat tiba di pintu, dan merapikan jaketnya
untuk menutupi kenyataan bahwa dia sedikit mabuk. Dr. Gaul pasti tidak senang
melihatnya seperti itu.
Saat dia membuka pintu lab biologi, hanya ada Dekan Highbo om di sana,
duduk di tempatnya biasa duduk. “Tutup pintunya.” Coriolanus mematuhi
perintahnya. Barangkali sang dekan ingin memberi selamat padanya tanpa ada
orang lain yang tahu. Atau mungkin ingin minta maaf karena telah
menyusahkannya. Bintang jatuh mungkin bakal butuh bintang yang bersinar.
Namun saat dia berjalan mendekati sang dekan, dia merasakan kengerian. Di
meja, ada tiga benda tertata seperti spesimen laboratorium: serbet Akademi yang
kena noda jus anggur, kotak bedak perak milik ibunya, dan saputangan putih
kumal.
Pertemuan mereka berlangsung tidak lebih dari lima menit. Setelah itu,
sebagaimana yang disepakati, Coriolanus langsung menuju Pusat Rekrutmen, di
sana dia akan menjadi Penjaga Perdamaian Panem.
desyrindah.blogspot.com
BAGIAN III
“SANG PENJAGA
PERDAMAIAN”
desyrindah.blogspot.com
21

Coriolanus menyandarkan pelipisnya di jendela kaca, berusaha menyerap


kesejukan yang tersisa di sana. Gerbong kereta yang panas menyesakkan
menurunkan enam orang rekrutmen baru di Distrik 9. Akhirnya dia sendirian. Dia
sudah berada di dalam kereta selama dua puluh empat jam tanpa ada waktu
sendirian. Kereta melaju diselingi jeda tunggu yang lama dan entah untuk apa. Di
antara kegelisahan dalam perjalanan dan ocehan para rekrut, dia tidak bisa tidur
sedetik pun. Dia hanya pura-pura tidur agar tak ada yang mengajaknya mengobrol.
Mungkin sekarang dia bisa tidur sebentar, lalu terbangun dari mimpi buruk yang
sedang dialaminya, dan tak bisa dipungkiri adalah kehidupan nyatanya saat ini.
Dia menggosok keropeng di pipi dengan manset kasar kemeja Penjaga
Perdamaian yang dia kenakan, dan itu membuatnya makin putus asa.
Betapa jeleknya tempat ini, pikirnya saat kereta api melaju pelan melewati Distrik
9. Gedung-gedung beton yang kumuh dan catnya sudah mengelupas terpanggang
terik matahari sore hari. Distrik 12 pastilah lebih jelek, apalagi ditambah debu dari
tambang batu bara. Dia tidak pernah benar-benar memperhatikan distrik itu, yang
dia ingat hanyalah alun-alun suram pada hari pemungutan. Tempat itu tampak
tidak layak dihuni manusia.
Saat dia meminta untuk ditugasi ke sana, petugas yang mendengar
permintaannya mengangkat alis terkejut. “Permintaan langka,” katanya, tapi sang
petugas membubuhkan cap tanpa bertanya lebih lanjut. Tampaknya, tak semua
orang mengikuti Hunger Games, karena petugas itu tidak mengenal Coriolanus
desyrindah.blogspot.com

atau menyebut nama Lucy Gray. Lebih baik begitu. Pada saat itu, dia ingin tidak
dikenali. Dia hanya akan membawa malu nama keluarga dalam kondisi sekarang
ini. Dia marah saat mengingat percakapannya dengan Dekan Highbo om...
“Kau dengar tidak, Coriolanus? Itu suara Snow jatuh.”
Dia sangat membenci Dekan Highbo om. Wajah gembungnya di atas barang
bukti. Ujung bolpoinnya menunjuk barang-barang di meja laboratorium. “Serbet
ini. Sudah terkon rmasi ada DNA-mu. Digunakan untuk menyelundupkan
makanan dari ruang makan ke arena. Kami menemukannya sebagai barang bukti
dari TKP setelah pengeboman. Setelah dilakukan pemeriksaan, inilah buktinya.”
“Kau membuatnya kelaparan setengah mati,” kata Coriolanus, suaranya pecah.
“Itu prosedur standar dalam Hunger Games. Ini bukan masalah memberi makan
peserta, yang kami abaikan pada semua mentor, tapi mencuri dari Akademi.
Perbuatan yang amat terlarang,” kata Dekan Highbo om. “Aku sudah siap
membongkar kelakuanmu, memberimu kecaman lain, dan mendiskuali kasimu
dari Hunger Games, tapi Dr. Gaul merasa kau lebih bermanfaat sebagai martir dari
gerakan yang melukai Capitol. Jadi kami memilih untuk menayangkan
rekamanmu menyanyikan lagu kebangsaan saat kau memulihkan diri di rumah
sakit.”
“Lalu kenapa mengungkitnya sekarang?” tanya Coriolanus.
“Agar bisa membuktikan pola perilaku.” Bolpoin Highbo om mengetuk kotak
perak bunga mawar. “Nah, kotak bedak ini. Sudah tak terhitung berapa kali aku
melihat ibumu mengeluarkan kotak ini dari tasnya untuk becermin. Ibumu yang
cantik, dan hambar, yang entah bagaimana meyakinkan dirinya bahwa ayahmu
bakal memberinya kebebasan dan cinta. Seperti kata pepatah, lepas dari mulut
harimau masuk ke mulut buaya.”
“Dia tidak seperti itu.” Coriolanus hanya bisa berucap begitu. Ibunya tidaklah
hambar, maksudnya.
“Hanya keluguan yang membuatnya menarik, dan dia tampaknya menjadi anak-
desyrindah.blogspot.com

anak selamanya. Kebalikan dari gadismu, Lucy Gray. Masih muda tapi dewasa,”
demikian kata Dekan Highbo om.
“Dia memberikan kotak bedak itu?” Jantung Coriolanus seakan berhenti
berdetak membayangkannya.
“Oh, jangan salahkan dia. Para Penjaga Perdamaian harus bergulat dengannya
untuk mengambil kotak bedak itu. Sudah sewajarnya kami menggeledah para
pemenang saat mereka meninggalkan arena.” Sang dekan menelengkan kepalanya
dan tersenyum. “Langkah cerdas dengan meracuni Wovey dan Reaper. Bisa
dibilang curang, tapi telanjur. Mengirimnya kembali ke Distrik Dua Belas sudah
merupakan hukuman. Dia bilang racun tikus itu adalah idenya, kotak bedak itu
hanyalah tanda mata.”
“Memang,” kata Coriolanus. “Itu tanda mata perasaanku. Aku tidak tahu
menahu tentang racun.”
“Anggap saja aku percaya padamu, meski sesungguhnya aku tidak percaya. Tapi
anggaplah aku percaya. Lalu, apa maksud dari benda ini?” Dekan Highbo om
mengangkat saputangan dengan ujung bolpoinnya. “Salah satu asisten lab
menemukannya di kotak ular kemarin pagi. Mulanya semua orang bingung,
memeriksa saku
masing-masing apakah ada sapu tangan yang tertinggal, karena siapa lagi yang
berada di dekat mu -mu itu? Salah satu anak muda di sana mengaku bahwa itu
saputangannya, mengatakan bahwa alerginya kambuh parah dan saputangannya
tertinggal entah di mana beberapa hari sebelumnya. Tapi saat dia menyerahkan
surat pengunduran diri, ada yang mengenali inisial di sapu tangan itu. Bukan
namamu. Nama ayahmu. Disulam rapi di tepinya.”
CXS. Sulaman inisal dengan benang putih itu sama seperti warna tepiannya.
Bagian dari pola sulaman yang tidak kentara kecuali dilihat secara saksama, tapi
jelas ada di sana. Coriolanus tak pernah benar-benar memperhatikan
saputangannya; dia hanya mengambil satu lalu mengantonginya sebelum ke luar
desyrindah.blogspot.com

rumah. Dia tak bisa membantahnya karena inisial nama tengah yang disulam di
sana sangat unik. Xanthos. Satu-satunya nama yang diketahui Coriolanus diawali
dengan abjad X, dan satu-satunya orang yang memiliki nama itu adalah ayahnya.
Crassus Xanthos Snow.
Tidak perlu lagi menantang untuk melakukan tes DNA, karena pasti Dekan
Highbo om sudah melakukannya dan menemukan DNA Coriolanus serta Lucy
Gray di sana. “Kenapa Anda tidak mengumumkannya ke publik?”
“Oh, percayalah padaku. Aku tergoda melakukannya. Tapi saat mengeluarkan
siswa, Akademi memiliki tradisi untuk menawari mereka kesempatan kedua,” sang
dekan menjelaskan. “Pilihan selain dipermalukan di depan umum adalah kau bisa
menjadi Penjaga Perdamaian mulai hari ini.”
“Tapi... kenapa aku harus melakukannya? Maksudku, kenapa aku mau
melakukannya? Padahal aku baru... memenangi Hadiah Plinth untuk kuliah di
Universitas?” katanya terbata-bata.
“Entahlah. Mungkin karena kau seorang patriot? Karena kau percaya bahwa
belajar membela negaramu adalah pendidikan yang lebih baik daripada
pengetahuan lewat buku?” Dekan Highbo om mulai tertawa. “Karena Hunger
Games mengubahmu, dan kau pergi ke tempat kau bisa melayani Panem dengan
lebih baik? Kau pemuda cerdas, Coriolanus. Aku yakin kau bisa memikirkan
alasannya.”
“Tapi... tapi aku...?” Kepalanya pening karena posca dan lonjakan adrenalin.
“Kenapa? Kenapa kau sangat membenciku?” ucapnya. “Kusangka kau teman
ayahku!”
Sang dekan kembali serius. “Kusangka juga begitu. Dulu. Tapi ternyata aku
hanya jadi orang yang dia sukai karena bisa dia manfaatkan. Bahkan sampai saat
ini.”
“Tapi dia sudah meninggal! Sudah bertahun-tahun dia meninggal!” pekik
Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com

“Dia layak mati, tapi tampaknya dia hidup dalam dirimu.” Sang dekan
menggusahnya. “Kau sebaiknya bergegas. Kantor penda aran tutup dua puluh
menit lagi. Kalau kau berlari, mungkin masih sempat.”
Maka Coriolanus pun berlari, tak tahu lagi harus berbuat apa. Setelah menda ar,
dia langsung ke Citadel, berharap mendapat pengampunan dari Dr. Gaul. Dia
tidak diizinkan masuk, meskipun dia mengatakan luka jahitannya mengalami
infeksi. Para Penjaga Perdamaian menelepon lab dan Coriolanus diminta untuk ke
rumah sakit. Salah satu penjaga kasihan padanya dan menawarkan bantuan untuk
menyerahkan surat terakhirnya kepada Dr. Gaul. Tapi tidak janji bakal berhasil.
Dia hendak mulai menuliskan permohonan agar Dr. Gaul menengahi
permasalahan ini, tapi lalu merasa hal ini akan sia-sia. Akhirnya dia menulis Terima
kasih. Dia tidak tahu untuk apa dia berterima kasih, tapi dia tidak mau Dr. Gaul
menangkap keputusasaannya.
Dalam perjalanan pulang, ucapan selamat dari para tetangga terasa seperti belati
yang dihunjamkan ke jantungnya. Namun, duka sesungguhnya dimulai saat dia
memasuki apartemen dan disambut sorak gembira serta bunyi terompet. Tigris
dan Grandma’am mengeluarkan peralatan pesta yang biasanya mereka pakai untuk
merayakan tahun baru dan membeli kue dari toko roti untuk acara ini. Dia
berusaha tersenyum, lalu menangis tersedu. Kemudian dia menceritakan
semuanya pada mereka. Setelah selesai, mereka terdiam dan terlihat amat tenang,
seperti sepasang patung marmer.
“Kapan kau pergi?” tanya Tigris.
“Besok pagi,” jawabnya.
“Kapan kau akan kembali?” tanya Grandma’am.
Dia tidak sanggup menjawab, dua puluh tahun lagi. Neneknya takkan bertahan
selama itu. Saat mereka bertemu lagi, neneknya sudah berada di makam. “Aku
tidak tahu.”
Neneknya mengangguk paham, lalu bangkit dari kursinya.
desyrindah.blogspot.com

“Ingatlah, Coriolanus, ke mana pun kau pergi, kau tetaplah seorang Snow. Tak ada
yang bisa merenggut hal itu darimu.”
Justru itulah masalahnya. Dia tidak mungkin menjadi seorang Snow di dunia
pascaperang seperti ini, mengingat semua hal yang telah dilakukannya atas nama
Snow. Tapi dia hanya berkata, “Suatu hari nanti, aku pasti akan menjadi seseorang
yang pantas menyandang nama itu.”
Tigris berdiri. “Ayo, Coryo. Aku akan membantumu berkemas.” Dia mengikuti
Tigris ke kamar. Gadis itu tidak menangis. Dia tahu Tigris akan menahan air
matanya sampai dia pergi.
“Tidak banyak yang harus dibawa. Mereka bilang kenakan saja pakaian lama
yang bakalan dibuang. Mereka menyediakan seragam, peralatan mandi, dan
segalanya. Aku hanya boleh membawa barang-barang pribadi yang muat
dimasukkan ke dalam ini.” Coriolanus mengeluarkan kotak dari tas sekolahnya,
berukuran sekitar dua puluh kali tiga puluh senti dengan kedalaman sekitar tujuh
senti. Mereka berdua lama memandangi kotak itu.
“Apa yang akan kau bawa?” tanya Tigris. “Bawa benda yang berharga bagimu.”
Foto-foto ibunya menggendong Coriolanus saat balita, foto ayahnya yang
mengenakan seragam, foto Tigris dan Grandma’am, dan beberapa foto sahabatnya.
Kompas tua yang terbuat dari kuningan, yang dulu milik ayahnya. Bedak padat
beraroma mawar yang dulu ada di dalam kotak bedak ibunya, kini terbungkus rapi
dalam syal sutra oranye. Tiga sapu tangan. Alat tulis dengan emblem keluarga
Snow. Kartu identitas Akademi-nya. Potongan tiket pertunjukan sirkus semasa
kanak-kanak, yang dicap dengan gambar arena Hunger Games. Pecahan batu dari
pengeboman. Dia merasa menggenggam dunia seperti Ma Plinth yang
menyimpan semua kenangan Distrik 2 di dapurnya.
Mereka berdua tidak bisa tidur. Coriolanus dan Tigris naik ke atap dan
memandangi Capitol sampai matahari terbit. “Kau dijebak untuk gagal,” kata
Tigris. “Hunger Games adalah hukuman buatan manusia yang kejam. Bagaimana
desyrindah.blogspot.com

mungkin orang sebaik dirimu diharapkan bisa mengikuti aturan mereka?”


“Kau tidak boleh bicara seperti itu kepada orang lain. Berbahaya,” Coriolanus
mengingatkannya.
“Aku tahu,” kata Tigris. “Dan itu pun salah.”
Coriolanus mandi dan mengenakan celana seragamnya yang rombeng, kaus
yang sudah tipis, dan sepatu yang jebol, lalu minum secangkir teh di dapur. Dia
mencium Grandma’am sambil berpamitan lalu memandang rumahnya untuk
terakhir kali sebelum berjalan keluar.
Di ruang depan, Tigris memberikan topi lebar dan kacamata hitam yang dulu
milik ayahnya. “Untuk di perjalanan.”
Coriolanus paham tujuannya untuk penyamaran dan dia memakainya sambil
bersyukur, berusaha menyembunyikan rambut ikalnya di bawah topi. Tak ada
yang berbicara saat mereka berjalan di jalan sepi menuju Pusat Rekrutmen.
Kemudian Coriolanus menoleh memandang Tigris, suaranya serak karena emosi.
“Aku meninggalkanmu dengan segala masalah. Apartemen, pajak, Grandma’am.
Aku minta maaf. Kalau kau tidak pernah bisa memaa anku, aku mengerti.”
“Tidak ada yang perlu dimaa an,” kata Tigris. “Surati aku sesempat kau bisa ya.”
Mereka berpelukan amat erat hingga Coriolanus merasa jahitan luka di
lengannya ada yang terlepas. Kemudian dia berjalan tegap memasuki Pusat
Rekrutmen, di sana sekitar tiga ratus orang penduduk Capitol berseliweran
menunggu diberangkatkan menuju kehidupan baru mereka. Dia merasakan
secercah harapan bahwa mungkin saja dia gagal dalam tes sik, tapi langsung
panik setelahnya. Takdir apa yang menantinya jika dia gagal? Ditelanjangi di
depan umum? Penjara? Dekan Highbo om tidak mengatakan apa-apa, tapi dia
bisa membayangkan kemungkinan terburuk. Dia lolos tes sik dengan mudah,
bahkan mereka melepaskan jahitan lukanya tanpa berkomentar. Potongan rambut
cepak yang menggantikan rambut ikal khasnya membuatnya merasa telanjang,
tapi penampilannya jadi berubah total sehingga tatapan penasaran orang-orang
desyrindah.blogspot.com

terhadapnya pun berhenti. Dia mengganti pakaian dengan seragam baru yang
terbuat dari bahan murahan dan menerima tas jinjing berisi pakaian ekstra,
peralatan mandi, botol minum, dan sebungkus makanan berisi beberapa sandwich
isi kornet sebagai bekal perjalanan dengan kereta. Kemudian dia menandatangani
setumpuk berkas. Salah satu formulir yang ditandatanganinya menyatakan bahwa
dia akan mengirim setengah gajinya yang sedikit itu untuk Tigris dan
Grandma’am. Hal itu membuatnya sedikit terhibur.
Setelah dicukur, didandani, dan divaksin, Coriolanus bergabung dengan para
rekrut lain naik bus menuju stasiun kereta api. Di dalam bus sudah ada anak-anak
lelaki dan perempuan dari Capitol, kebanyakan baru lulus SMA yang
pengumuman kelulusannya lebih awal daripada di Akademi. Dia duduk di sudut
stasiun sambil menonton Capitol News, ngeri membayangkan jika ada berita
memalukan tentang dirinya. Tapi hanya ada berita yang biasanya tayang pada hari
Sabtu. Laporan cuaca. Pengalihan lalu lintas karena adanya perbaikan jalan. Resep
salad sayuran yang cocok untuk musim panas. Seakan-akan Hunger Games tak
pernah terjadi.
Aku sedang dihapus, pikirnya. Dan untuk menghapusku, mereka mesti menghapus
Hunger Games.
Siapa yang tahu tentang dirinya yang dipermalukan? Pihak sekolah? Teman-
temannya? Tak ada seorang pun yang menghubunginya. Mungkin kabar belum
beredar. Tapi kabar itu pasti akan beredar. Orang-orang akan berspekulasi. Gosip
akan tersebar. Segala rupa kabar burung dan kebenaran akan bercampur aduk, dan
yang tersebar adalah berita paling seru. Livia Cardew bakal besar kepala.
Clemensia akan mendapat Hadiah Plinth pada saat kelulusan. Pada saat liburan
musim panas, mereka bakal ingin tahu tentang kabarnya. Beberapa temannya
mungkin akan merasa kehilangan. Mungkin Festus, atau Lysistrata. Pada bulan
September, teman-teman sekelasnya akan mulai kuliah. Dan lambat laun dia akan
terlupakan.
desyrindah.blogspot.com

Untuk menghapus Hunger Games berarti menghapus Lucy Gray juga. Di mana
gadis itu? Apakah dia sudah dikirim pulang ke kampung halamannya? Apakah saat
ini dia kembali ke Distrik 12, dikunci di dalam gerbong kereta pengangkut ternak
yang bau seperti saat dia dibawa ke Capitol? Dekan Highbo om menyiratkan
itulah yang akan terjadi, tapi keputusan akhir ada di tangan Dr. Gaul dan wanita
itu mungkin bukan tipe pemaaf untuk urusan kecurangan. Di bawah perintahnya,
Lucy Gray mungkin dipenjara, dibunuh, atau dijadikan Avox. Atau, lebih buruk
lagi, dihukum menjadi kelinci percobaan di laboratorium horor Dr. Gaul.
Saat mengingat dirinya sedang berada di dalam kereta api, Coriolanus
memejamkan mata, kuatir air matanya bakal menetes. Dia tidak mau terlihat
menangis terisak seperti anak kecil, jadi dia berusaha keras mengendalikan
perasaannya. Dia menenangkan diri dengan berpikir bahwa mengembalikan Lucy
Gray ke Distrik 12 adalah strategi terbaik bagi Capitol. Barangkali, seiring
berlalunya waktu, Dr. Gaul bisa menemukan cara untuk memanfaatkan gadis itu
lagi, terutama setelah Coriolanus sudah tak menghalanginya lagi. Bisa saja Lucy
Gray dipanggil ke Capitol untuk bernyanyi sebagai penanda Hunger Games
berikutnya dimulai. Pelanggaran Lucy Gray, jika memang ada, adalah pelanggaran
kecil dibanding yang dia lakukan. Apalagi penonton menyukai gadis itu, kan?
Barangkali pesona Lucy Gray bisa menyelamatkan dirinya kembali.
Sesekali kereta berhenti dan menurunkan para rekrut di distrik tempat mereka
bertugas atau transit menunggu transportasi yang mengatar mereka menuju
tempat tugas. Kadang-kadang dia memandang ke luar jendela, memandangi kota-
kota mati dan tak berpenghuni yang mereka lewati, bertanya-tanya seperti apa
tempat itu dulu pada masa kejayaannya. Pada masa ketika negara ini disebut
Amerika Utara, bukan Panem. Pasti dulunya ini tempat yang bagus. Negeri yang
kota-kotanya seperti Capitol. Sayang sekali...
Sekitar tengah malam, pintu kompartemen terbuka dan dua gadis yang bertugas
di Distrik 8 masuk membawa seliter lebih posca yang entah bagaimana berhasil
desyrindah.blogspot.com

mereka selundupkan ke kereta. Mengingat kondisi yang mereka hadapi, dia


membantu kedua gadis itu menghabiskan posca sepanjang malam, lalu terbangun
sehari kemudian saat kereta memasuki Distrik 12 pada hari Selasa menjelang pagi
merekah.
Coriolanus berjalan di peron dengan kepala pening dan mulut kering. Mengikuti
perintah, dia dan tiga rekrut lain berbaris dan hampir sejam menunggu
kedatangan Penjaga Perdamaian yang usianya mungkin seumuran, memimpin
mereka ke luar stasiun menuju jalanan kelam berdebu. Cuaca yang panas dan
lembap membuat udara terasa berat, seakan berbentuk setengah cair dan gas, dan
dia tidak tahu apakah dia menarik napas atau mengembuskannya. Tubuhnya ba-
sah dengan kilau yang tak pernah dilihatnya, dan tak kunjung kering walau diseka.
Keringat tidak mengering, hanya makin meresap. Hidungnya meler, ingusnya
menghitam bercampur debu batu bara. Kaus kakinya lengket di dalam sepatu
botnya yang keras. Setelah satu jam berjalan kaki menyusuri jalanan berdebu
dengan aspal yang retak serta dikelilingi gedung-gedung jelek, mereka tiba di
pangkalan yang akan jadi rumah barunya.
Pagar pelindung mengelilingi pangkalan, lengkap dengan para Penjaga
Keamanan bersenjata di gerbang, membuatnya merasa sedikit lebih aman. Para
rekrut mengikuti arahan melewati berbagai gedung kelabu tanpa nama. Setibanya
di barak, kedua rekrut perempuan berbelok sementara dia dan seorang rekrut lain,
pemuda kurus dan ringkih bernama Junius, diarahkan menuju kamar berisi empat
ranjang susun dan delapan loker. Dua ranjang susun sudah rapi, sementara sisanya
yang berada dekat jendela kotor dengan pemandangan terbuka ke arah tempat
sampah, masih belum tertata. Perlengkapan tidur ditumpuk di atasnya. Kedua
anak lelaki itu dengan canggung mengikuti perintah untuk menata tempat tidur
mereka, Coriolanus memilih ranjang bagian atas karena Junius takut ketinggian.
Selanjutnya mereka akan mandi, beberes, dan membaca buku panduan Penjaga
Perdamaian sebelum melapor ke ruang makan pada pukul sebelas untuk makan
desyrindah.blogspot.com

siang.
Coriolanus berdiri di bawah pancuran mandi, mendongak, lalu menggelogok air
hangat yang mengalir dari keran. Setelah selesai mandi, dia menyeka tubuh
dengan handuk sampai tiga kali hingga akhirnya pasrah dengan kondisi lembab
tubuhnya yang akan terus dia alami di distrik ini. Kemudian dia mengenakan
pakaian bersih dari bahan murahan yang sudah disiapkan. Setelah mengeluarkan
barang-barang dari tas jinjing dan menyimpan kotak berharganya di rak loker
paling atas, dia naik ke kasur dan membaca buku panduan Penjaga Perdamaian
dengan saksama atau pura-pura membacanya untuk menghindari percakapan
dengan Junius, pemuda gugup yang butuh diyakinkan sementara Coriolanus tidak
bisa memberikan itu sekarang. Dia ingin berkata, Hidupmu sudah berakhir, Junius;
terimalah kenyataan ini. Namun butuh banyak rasa percaya diri untuk
mengucapkan kata-kata itu, dan dia tidak punya. Tanggung jawab yang mendadak
hilang dalam hidupnya terhadap sekolahnya, keluarganya, masa depannya
telah menguras habis tenaganya. Bahkan tugas yang kelihatannya sepele pun jadi
melelahkan.
Menjelang pukul sebelas, teman sekamar mereka pemuda bawel berwajah
bundar bernama Smiley dan sahabatnya yang bertubuh kecil bernama Bug
menjemput Coriolanus dan Junius. Berempat mereka berjalan ke ruang makan, di
sana terdapat meja makan panjang dengan kursi-kursi plastik yang sudah retak-
retak.
“Hari ini Selasa, berarti menunya kentang!” kata Smiley. Walaupun baru
seminggu menjadi Penjaga Perdamaian, Smiley tidak hanya hafal rutinitas di
tempat ini, dia bahkan menikmatinya. Coriolanus mengambil nampan yang isinya
mirip makanan anjing dijejali kentang. Rasa lapar dan semangat teman-temannya
membuat Coriolanus berani, jadi dia mencicipinya sedikit dan ternyata makanan
itu layak dimakan, seandainya diberi garam lebih banyak. Dia juga mendapat dua
buah pir kalengan dan segelas besar susu. Bukan makanan mewah, tapi
desyrindah.blogspot.com

mengenyangkan. Dia sadar, bahwa sebagai Penjaga Perdamaian dia takkan


kelaparan. Sesungguhnya, dia lebih terjamin mendapat makanan di sini
dibandingkan di rumah.
Smiley menyatakan bahwa sekarang mereka semua teman karib. Seusai makan
siang, Coriolanus dan Junius mendapat nama julukan Gent dan Beanpole. Gent
karena tata krama di meja makan, Beanpole karena bentuk tubuhnya. Coriolanus
menyambut nama julukan itu, karena dia tidak mau orang tahu namanya adalah
Snow. Tak ada seorang pun teman sekamarnya yang berkomentar tentang dirinya,
atau tentang Hunger Games. Ternyata para rekrut hanya punya akses ke satu
televisi yang berada di ruang istirahat, dan karena gambarnya tidak jelas TV itu
nyaris tidak pernah dinyalakan. Kalau Beanpole pernah bertemu Coriolanus di
Capitol, dia tidak akan mengaitkan pemuda pemarah ini sebagai mentor Hunger
Games. Mungkin tidak ada yang mengenalinya karena tak menyangka bahwa dia
akan berada di sini. Atau barangkali ketenarannya hanya sebatas di Akademi dan
di hadapan beberapa pengangguran di Capitol yang punya waktu mengikuti
drama Hunger Games. Coriolanus jadi lebih tenang untuk mengakui bahwa
ayahnya dulu bertugas di militer dan tewas dalam perang, sedangkan nenek dan
sepupunya berada di Capitol, dan sekolahnya selesai minggu lalu.
Yang mengejutkan, dia mendapati bahwa Smiley dan Bug serta banyak Penjaga
Perdamaian lainnya tidak lahir di Capitol. “Oh, tentunya,” kata Smiley. “Penjaga
Perdamaian adalah pekerjaan yang bagus kalau kau bisa diterima. Lebih baik
daripada bekerja di pabrik. Banyak makanan, dan ada uang yang bisa dikirim ke
rumah. Banyak orang menghina pekerjaan ini, tapi kujawab saja perang sudah usai
dan ini pekerjaan halal.”
“Jadi kau tidak keberatan memata-matai orang-orangmu?” Coriolanus
penasaran.
“Oh, mereka bukan orang-orangku. Orangku ada di Delapan. Mereka tidak
menempatkanmu di tempat kau dilahirkan,” kata Smiley sambil mengangkat bahu.
desyrindah.blogspot.com

“Lagi pula, kau keluargaku sekarang, Gent.”


Coriolanus diperkenalkan pada keluarga barunya yang lain siang itu, saat dia
ditugaskan di bagian dapur. Di bawah bimbingan
Cookie, tentara tua yang kehilangan telinga kirinya semasa perang, dia membuka
bajunya sampai pinggang dan berdiri di atas bak cuci dengan keran yang
mengucurkan air panas selama empat jam, menyikat panci-panci dan menyemprot
nampan-nampan makanan. Kemudian dia mendapat waktu lima belas menit
untuk makan kentang lagi sebelum berjam-jam mengepel lantai ruang makan dan
selasar. Dia baru setengah jam berada di kamar saat lampu dipadamkan pada pukul
sembilan malam, lalu terkapar tidur hanya dengan mengenakan pakaian dalam.
Pada pukul lima keesokan paginya, dia mengenakan pakaian dan bersemangat ke
lapangan untuk memulai latihan. Tahap pertama latihan dirancang untuk
meningkatkan kemampuan sik para rekrut. Dia melakukan gerakan jongkok-
bangun, berlari cepat, dan latihan ala militer sampai pakaiannya kotor kena tanah
dan tumitnya pecah-pecah. Ajaran Profesor Sickle ternyata bermanfaat; beliau
selalu memberi latihan keras, dan dia sudah latihan baris-berbaris sejak usia dua
belas tahun. Sementara itu, Beanpole yang kikuk dan bertubuh kurus kering,
dimarahi dan dibentak-bentak oleh sersan pelatih. Malam itu, saat Coriolanus
hampir tertidur, dia mendengar isakan Beanpole yang tertahan bantal.
Rangkaian latihan, makan, bersih-bersih, dan tidur menjadi rutinitas baru
hidupnya. Dia menjalaninya secara otomatis, tapi cukup kompeten untuk
menghindari hukuman. Kalau beruntung, dia akan punya setengah jam berharga
untuk dirinya sendiri sebelum lampu dipadamkan pada malam hari. Bukan untuk
melakukan hal penting, yang bisa dia lakukan adalah mandi dan naik ke
ranjangnya.
Dia tersiksa memikirkan Lucy Gray, tapi sulit baginya mendapat informasi
tentang gadis itu. Jika dia bertanya-tanya tentang Lucy Gray di pangkalan,
mungkin saja bakal ada orang yang mengenali perannya di Hunger Games, dan dia
desyrindah.blogspot.com

ingin menghindari hal itu bagaimanapun caranya. Kelompok mereka mendapat


libur hari Minggu, dan tugas mereka pada hari Sabtu berakhir pada pukul lima
sore. Sebagai rekrut baru, mereka diharuskan berada di pangkalan pada minggu
pertama. Coriolanus berencana pergi ke kota minggu depan dan diam-diam akan
bertanya pada penduduk di kota tentang Lucy Gray. Smiley dan para Penjaga
Perdamaian nongkrong di bekas gudang batu bara, yang disebut Hob, di sana
mereka bisa membeli minuman keras rumahan bahkan mungkin teman tidur.
Distrik 12 juga memiliki alun-alun yang digunakan pada hari pemungutan. Ada
toko-toko kecil dan pedagang di sana, tapi mereka lebih aktif pada siang hari.
Selain Beanpole, yang belum menyelesaikan tugas membersihkan jamban,
teman-teman sekamarnya bersantai di ruang rekreasi untuk bermain poker setelah
makan malam pada hari Sabtu. Coriolanus memandangi mi dan daging kalengnya
di ruang makan. Biasanya Smiley mengalihkan perhatian mereka dengan
ocehannya, baru kali ini Coriolanus benar-benar memperhatikan para Penjaga
Perdamaian. Usia mereka berbeda-beda, mulai dari remaja sampai pria tua yang
sekilas tampak seumuran Grandma’am. Beberapa orang asyik mengobrol, tapi
kebanyakan duduk sendirian dan tampak tertekan, sambil menyantap bakmi. Dia
bertanya-tanya, apakah dia sedang melihat masa depannya?
Coriolanus memutuskan untuk menghabiskan sore itu di barak. Dia
meninggalkan semua uang yang dia miliki untuk keluarganya, tak ada uang tersisa
untuk berjudi, bahkan uang receh pun tak ada. Dia baru punya uang setelah
menerima gaji pertama bulan ini. Terlebih lagi, dia menerima surat dari Tigris
yang ingin dibacanya sendirian. Coriolanus menikmati kesendiriannya, tak perlu
melihat, mendengar, dan mencium bau tubuh teman-temannya. Segala bentuk
kebersamaan itu membuatnya kewalahan karena dia terbiasa mengakhiri hari
seorang diri. Dia naik ke ranjangnya dan membuka surat dari Tigris dengan hati-
hati.
Coryo tersayang,
desyrindah.blogspot.com

Hari ini Senin, dan apartemen menggaungkan ketidakhadiranmu. Grandma’am


tampaknya tidak menyadari apa yang terjadi, karena sudah dua kali dia bertanya
kapan kau pulang dan apakah kami harus menunggumu untuk makan malam.
Kabar tentang keadaanmu mulai tersebar. Aku mendatangi Pluribus, dan dia
bilang dia mendengar berbagai gosip: kau menyusul Lucy Gray ke Distrik Dua
Belas demi cinta, kau mabuk berat saat merayakan kemenangan dan menda ar
jadi Penjaga Perdamaian karena menerima tantangan, kau melanggar peraturan
dan mengirim sendiri hadiah-hadiah untuk Lucy Gray, kau bertengkar dengan
Dekan Highbo om. Aku memberitahu orang-orang bahwa kau melaksanakan
tugas demi negara, sama seperti yang dilakukan ayahmu.
Festus, Persephone, dan Lysistrata mampir sore tadi, dan mereka semua
menguatirkanmu, juga Mrs. Plinth menelepon untuk meminta alamatmu. Kurasa
dia bermaksud menulis surat untukmu.
Apartemen kita sekarang resmi ditawarkan ke pasar, berkat bantuan dari
keluarga Doli le. Pluribus bilang, jika kita tidak bisa mendapat tempat tinggal,
ada dua kamar di atas kelabnya yang bisa kami tempati, dan mungkin aku bisa
membantunya membuat kostum untuk pertunjukan jika dia membuka kelabnya
lagi. Dia juga mencarikan pembeli untuk perabot kita yang bisa dijual. Dia sangat
baik dan memintaku menyampaikan salamnya untukmu dan Lucy Gray. Apakah
kau sudah bertemu gadis itu? Di antara kegilaannya, urusan cinta adalah titik
lemah Pluribus.
Maaf surat ini singkat, sekarang sudah malam, dan masih banyak yang perlu
kukerjakan. Aku hanya ingin mengingatkanmu betapa kau dicintai dan
dirindukan. Aku tahu betapa sulit keadaan ini untukmu, tapi janganlah kau putus
harapan. Harapan membuat kita bertahan di masa-masa sulit dan kita pun akan
bisa melaluinya kali ini. Tolong surati aku dan ceritakan tentang hidupmu di 12.
Mungkin bukanlah hidup yang kaudambakan, tapi kita tak tahu seperti apa masa
depan nanti.
desyrindah.blogspot.com

SMDP,
Tigris
Coriolanus menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Capitol
mempermalukan nama Snow? Grandma’am mulai pikun? Tempat tinggal mereka
di kamar-kamar jelek di atas kelab malam, tempat Tigris menjahit payet kostum
pertunjukan? Apakah keluarga Snow yang hebat akan bernasib seperti ini?
Bagaimana dengan dirinya, Coriolanus Snow, calon presiden Panem? Hidupnya,
yang tragis dan sia-sia terbentang di hadapannya. Dia bisa membayangkan dirinya
dua puluh tahun dari sekarang, semakin gemuk dan bodoh, melupakan
pendidikannya, pikirannya menumpul hingga hanya ada pikiran mendasar yang
sifatnya hewani, seperti makan dan tidur. Lucy Gray sudah lama mati setelah
mengalami siksaan di lab Dr. Gaul, dan hatinya juga mati bersama gadis itu. Dua
puluh tahun yang terbuang percuma, lalu apa? Setelah masa hukumannya
berakhir, apa yang akan dilakukannya? Dia akan menda ar kembali sebagai
Penjaga Perdamaian karena pulang berarti menghadapi rasa malu yang terlalu
besar. Lagi pula, apa yang menunggunya di Capitol? Grandma’am sudah wafat.
Tigris sudah separo baya, tapi penampilannya terlihat jauh lebih tua dan tetap
membudakkan diri dengan menjahit, kebaikan hatinya pun terasa tidak menarik,
hidupnya jadi lelucon bagi orang-orang yang menjadi tempatnya menggantung
rezeki. Tidak, dia takkan pernah pulang lagi. Dia akan tinggal di Dua Belas seperti
lelaki tua di ruang makan tadi, karena inilah hidupnya sekarang. Tanpa pasangan,
tanpa anak, tanpa alamat rumah, hanya tinggal di barak. Para Penjaga Perdamaian
lain adalah keluarganya. Smiley, Bug, Beanpole adalah saudara seperjuangannya.
Dan dia takkan pernah bertemu orang-orang dari Capitol. Takkan pernah lagi.
Rasa nyeri menusuk dadanya ketika gelombang rindu pada rumah dan
keputusasaan membanjirinya. Saat itu dia merasa yakin sedang mengalami
serangan jantung, tapi tidak berusaha mencari bantuan. Dia hanya memeluk
dirinya sendiri dan menempelkan wajahnya ke dinding. Mungkin inilah cara
desyrindah.blogspot.com

terbaik. Karena tak ada jalan keluar baginya. Tak ada tempat untuk berlari. Apa
lagi yang dia nantikan? Kentang campur daging? Jatah minumal alkohol
mingguan? Naik jabatan dari mencuci piring menjadi menggosok piring?
Bukankah lebih baik mati sekarang, dengan cepat, tidak perlu memperpanjang
penderitaan selama bertahun-tahun.
Di suatu tempat yang terdengar amat jauh dia mendengar pintu dibanting
menutup. Terdengar langkah-langkah kaki di ruang depan, berhenti sejenak lalu
langkah berlanjut mendekatinya. Dia mengatupkan gigi, berharap jantungnya
berhenti saat itu juga, karena dia sudah putus hubungan dengan dunia ini dan
sudah saatnya mereka berpisah. Tapi langkah-langkah kaki itu terdengar makin
keras lalu berhenti di depan pintunya. Apakah mereka mencarinya? Apakah
mereka sedang berpatroli? Apakah mereka sedang memandanginya dalam posisi
memalukan? Menikmati kemalangannya? Coriolanus menunggu suara tawa,
ejekan, dan perintah untuk membersihkan jamban.
Namun, dia mendengar suara pelan yang berkata, “Apakah ranjang ini ada
pemiliknya?” Suara pelan yang familier.
Coriolanus berbalik di ranjangnya, matanya memastikan pendengarannya. Di
ambang pintu, dengan seragam dari bahan murahan tapi anehnya pemakainya
terlihat nyaman, Sejanus Plinth berdiri.
desyrindah.blogspot.com
22

Baru kali ini Coriolanus merasa amat gembira bertemu seseorang yang
dikenalnya. “Sejanus!” panggilnya. Dia melompat turun dari ranjangnya, mendarat
goyah dia lantai beton, dan merangkul sang pendatang baru.
Sejanus balas memeluknya. “Ini sambutan yang sangat hangat untuk orang yang
hampir menghancurkanmu!”
Coriolanus hampir tertawa terbahak-bahak, dan sejenak dia berpikir bahwa
pernyataan tersebut ada benarnya. Memang, Sejanus membahayakan hidupnya
dengan menerobos masuk ke arena, tapi berlebihan rasanya untuk menyalahkan
Sejanus atas kejadian lainnya. Seburuk apa pun perbuatan Sejanus, pemuda itu
tidak ada kaitannya dengan dendam Dekan Highbo om terhadap ayahnya atau
bencana akibat saputangan itu. “Tidak, tidak. Malah sebaliknya.” Dia melepaskan
pelukan Sejanus lalu memandanginya. Lingkaran hitam tampak di bawah matanya
dan beratnya mungkin turun sekitar delapan kilogram. Tapi pembawaan Sejanus
secara keseluruhan terlihat lebih santai, seakan seluruh beban yang dibawanya di
Capitol sudah terangkat. “Apa yang kaulakukan di sini?”
“Hm. Apa ya? Setelah melawan Capitol dengan memasuki arena, aku juga di
ambang pengusiran. Ayahku menemui dewan dan mengatakan bahwa dia akan
membayar pembangunan ruang olahraga baru untuk Akademi kalau mereka
mengizinkanku lulus dan menda ar sebagai Penjaga Perdamaian. Mereka setuju,
tapi aku mengatakan bahwa aku tak mau menerima perjanjian ini kecuali mereka
meluluskanmu juga. Karena Profesor Sickle sangat menginginkan ruang olahraga
desyrindah.blogspot.com

baru, dia bilang tidak ada pengaruhnya kita lulus atau tidak jika terikat perjanjian
tugas selama dua puluh tahun.” Sejanus meletakkan tas jinjingnya ke lantai dan
mengeluarkan kotak berisi barang pribadinya.
“Jadi aku lulus?” tanya Coriolanus.
Sejanus membuka kotak itu, mengambil map kulit kecil dengan logo sekolah di
sampulnya, dan menyerahkannya dengan gaya penuh hormat. “Selamat. Kau
bukan lagi anak putus sekolah.”
Coriolanus membuka sampulnya dan melihat ijazah dengan namanya terukir
dengan huruf kaligra indah. Ijazah itu pasti ditulis sebelum kepergiannya, karena
tertera di sana bahwa dia lulus dengan Kehormatan Tinggi. “Terima kasih. Ini
terlihat bodoh, tapi hal ini masih penting buatku.”
“Kau tahu, kan, kalau kau mau ikut ujian masuk pegawai negeri, ijazah ini
penting. Kau harus lulus SMA. Dekan Highbo om mengatakan sesuatu tentang
kau tidak boleh mendapat kesempatan ini. Dia bilang kau melanggar peraturan
untuk membantu Lucy Gray dalam Hunger Games. Yah, lalu dia kalah suara.”
Sejanus tergelak. “Dia memuakkan bagi banyak orang.”
“Jadi aku tidak dianggap hina di mata dunia?” tanya Coriolanus.
“Karena apa? Karena jatuh cinta? Menurutku lebih banyak orang yang iba
padamu. Ternyata sebagian besar guru kita romantis,” kata Sejanus. “Dan Lucy
Gray memberi kesan yang bagus.”
Coriolanus mencekal lengan Sejanus. “Di mana dia? Kau tahu apa yang terjadi
padanya?”
Sejanus menggeleng. “Biasanya mereka memulangkan pemenang ke distrik
mereka, ya kan?”
“Aku takut mereka melakukan sesuatu yang buruk padanya. Karena kami
berbuat curang di Hunger Games,” Coriolanus mengaku. “Aku merecoki ular-ular
itu supaya tidak menggigitnya. Tapi Lucy Gray hanya menggunakan racun tikus di
arena.”
“Jadi itu yang terjadi? Aku tidak mendengar apa-apa tentang hal itu. Atau
desyrindah.blogspot.com

tentang dia dihukum,” Sejanus menenangkannya. “Sesungguhnya, dia sangat


berbakat, mereka mungkin akan membawanya lagi ke Capitol tahun depan.”
“Kupikir juga begitu. Mungkin Highbo om benar tentang Lucy Gray
dipulangkan.” Coriolanus duduk di ranjang Beanpole dan memandangi ijazahnya.
“Kau tahu, saat kau masuk tadi, aku sedang berpikir untuk bunuh diri.”
“Apa? Sekarang? Saat kau akhirnya bebas dari cengkeraman Dekan Highbo om
dan Dr. Gaul yang kejam? Saat gadis impianmu ada dalam genggaman? Saat ibuku,
pada saat ini, mengemas kotak sebesar truk berisi kue-kue buatannya untukmu?”
seru Sejanus. “Hidupmu baru dimulai!”
Kemudian Coriolanus tertawa; mereka berdua tertawa. “Jadi ini bukan
kehancuran hidup kita?”
“Aku menganggap ini jalan keselamatan. Terutama bagiku. Oh, Coryo, betapa
leganya aku bisa melarikan diri,” kata Sejanus, lalu berubah muram. “Aku tak
pernah menyukai Capitol, tapi setelah Hunger Games, setelah apa yang terjadi
pada Marcus... aku tidak tahu apakah kau bercanda atau serius tentang bunuh diri,
tapi aku serius. Aku sudah memikirkan segalanya...”
“Tidak. Jangan, Sejanus,” kata Coriolanus. “Jangan beri mereka kepuasan itu.”
Sejanus mengangguk, lalu menyeka wajahnya dengan lengan baju. “Ayahku
bilang keadaan takkan lebih baik di sini. Di mata distrik, aku akan tetap dipandang
anak Capitol. Tapi aku tidak peduli. Perubahan ini lebih baik daripada tetap di
sana. Seperti apa di sini?”
“Kalau tidak baris-berbaris, kita mengepel lantai,” kata Coriolanus. “Hingga
pikiranmu kebas.”
“Bagus. Pikiranku butuh dikebaskan. Aku berdebat tanpa henti dengan ayahku,”
kata Sejanus. “Saat ini, aku tidak mau berdiskusi serius tentang apa pun.”
“Kalau begitu, kau bakal menyukai teman-teman sekamarmu.” Rasa sakit di
dada Coriolanus kini hilang, digantikan setitik harapan. Setidaknya Lucy Gray
tidak dihukum. Tahu bahwa dirinya masih memiliki sekutu di Capitol
desyrindah.blogspot.com

membangkitkan semangat Coriolanus, dan ucapan Sejanus tentang menjadi


pegawai negeri menarik perhatiannya. Mungkinkah ada jalan keluar dari
kesulitannya ini? Jalan lain menuju pengaruh dan kekuasaan? Sekarang, ini adalah
penghiburan baginya, tahu bahwa hal itu ditakuti Dekan Highbo om.
“Mauku juga begitu,” kata Sejanus. “Aku berencana membangun kehidupan baru
di sini. Dengan caraku sendiri, semoga aku bisa membuat dunia lebih baik di sini.”
“Itu butuh kerja keras,” kata Coriolanus. “Aku tidak tahu kerasukan apa hingga
minta ditempatkan di Dua Belas.”
“Jelas sekali itu pilihan acak,” Sejanus menggodanya.
Coriolanus tersipu malu, seperti orang bodoh. “Aku bahkan tidak tahu
bagaimana cara menemukannya. Atau apakah dia masih tertarik padaku, setelah
begitu banyak perubahan yang terjadi.”
“Kau bercanda ya? Dia jatuh cinta setengah mati padamu!” kata Sejanus. “Dan
jangan kuatir, kita akan menemukannya.”
Saat dia membantu Sejanus membongkar barang bawaan dan merapikan
ranjang, Coriolanus mendapat berita tentang Capitol. Kecurigaannya tentang
Hunger Games ternyata benar.
“Keesokan paginya, tak ada berita yang menyebut tentang
Hunger Games,” kata Sejanus. “Saat aku ke Akademi untuk menjalani
pemeriksaanku, terdengar desas-desus bahwa sekolah menganggap melibatkan
siswa adalah kesalahan, jadi sepertinya cuma angkatan kita yang dilibatkan. Tapi
aku yakin kita akan melihat Lucky Flickerman lagi tahun depan, atau kantor pos
akan membuka kesempatan untuk memberi hadiah dan memasang taruhan.”
“Warisan kita,” kata Coriolanus.
“Tampaknya begitu,” kata Sejanus. “Satyria memberitahu Profesor Sickle bahwa
Dr. Gaul bertekad untuk tetap mempertahankannya. Kurasa, sebagai bagian dari
perang abadinya. Kita tidak bertempur di medan perang, tapi kita punya Hunger
Games.”
desyrindah.blogspot.com

“Ya, untuk menghukum distrik-distrik dan mengingatkan kita betapa buasnya


kita semua,” kata Coriolanus, yang memusatkan perhatian menyusun kaus kaki
Sejanus yang terlipat rapi di dalam loker.
“Apa?” tanya Sejanus, memandangnya heran.
“Entahlah,” kata Coriolanus. “Sepertinya... kau tahu kan bagaimana dia selalu
menyiksa kelinci atau melelehkan kulit hewan?”
“Seperti dia menikmatinya?” tanya Sejanus.
“Tepat sekali. Kurasa seperti itulah dia memandang kita semua. Terlahir sebagai
pembunuh. Kejam secara naluriah,” kata Coriolanus. “Hunger Games adalah
pengingat bahwa manusia adalah monster dan bagaimana kita membutuhkan
Capitol untuk menjauhkan kita dari kekacauan.”
“Jadi, bukan saja dunia ini brutal, tapi manusia menikmati kebrutalannya?
Seperti esai mengenai apa yang kita sukai dari perang,” kata Sejanus. “Seakan ini
semua adalah pertunjukan besar.” Dia menggeleng. “Padahal aku sedang tidak
ingin berpikir.”
“Lupakan saja,” kata Coriolanus. “Mari kita bergembira karena dia sudah tidak
ada dalam hidup kita.”
Beanpole muncul, menguarkan bau toilet dan pemutih. Coriolanus
memperkenalkannya pada Sejanus, yang setelah mengetahui kesulitannya,
menghibur Beanpole dan berjanji membantunya dengan tugas-tugas rutin itu.
“Dulu di sekolah, aku juga butuh waktu untuk terbiasa. Tapi kalau aku bisa
menguasainya, kau juga bisa.”
Smiley dan Bug masuk tidak lama kemudian dan menyambut Sejanus dengan
hangat. Uang mereka sudah ludes di meja poker, tapi tetap tidak sabar menanti
hiburan Sabtu depan. “Bakal ada band di Hob.”
Coriolanus langsung melompat. “Band? Band apa?”
Smiley mengangkat bahu. “Tidak ingat. Tapi ada gadis yang akan bernyanyi.
Katanya dia bagus. Lucy siapa itu namanya.”
desyrindah.blogspot.com

Lucy siapa itu. Jantung Coriolanus melonjak dan dia menyengir sangat lebar.
Sejanus ikut tersenyum padanya. “Benarkah? Wah, aku tidak sabar menunggu
acara itu.”
Setelah lampu padam, Coriolanus berbaring memandang
langit-langit. Bukan saja Lucy Gray masih hidup, dia ada di Dua Belas, dan
Coriolanus akan bertemu dengannya minggu depan. Gadisnya. Cintanya. Lucy
Gray-nya. Entah bagaimana, mereka selamat dari sang dekan, dokter sinting, dan
Hunger Games. Setelah berminggu-minggu ketakutan, rindu, dan tanpa kepastian,
dia akan memeluk Lucy Gray dan takkan melepaskannya lagi. Bukankah itu
alasannya datang ke Dua Belas?
Namun, senyumnya bukan hanya karena berita tentang Lucy Gray. Walaupun
terdengar ironis, kehadiran Sejanus orang yang dia anggap menyebalkan selama
sepuluh tahun terakhir telah membantu mengembalikan hidupnya. Bukan
hanya membawakannya ijazah dan kue-kue seperti yang dia janjikan, atau
meyakinkannya bahwa Capitol tidak membuangnya, atau bahkan membuka
harapan bahwa dia bisa berkarier sebagai pegawai negeri. Coriolanus lega
memiliki seseorang yang bisa diajak bicara, yang mengenal dunianya, dan yang
lebih penting lagi mengetahui jati dirinya di dunia ini. Dia berbesar hati karena
Strabo Plinth mengizinkan Sejanus meminta kelulusannya menjadi bagian
perjanjian untuk gedung olahraga baru, dan menganggapnya sebagai bayaran atas
usaha menyelamatkan hidup Sejanus. Strabo Plinth tidak melupakannya, dia yakin
pria itu akan rela menggunakan kekayaan dan kekuasaan untuk membantunya di
masa depan. Dan, tentu saja, ada Ma yang menyayanginya. Mungkin keadaannya
tidak buruk-buruk amat.
Bersama Sejanus, dan beberapa orang dari distrik-distrik berbeda, sudah ada dua
puluh rekrut yang mengisi penuh tim skuadron mereka, dan mereka mulai
berlatih bersama. Tidak diragukan lagi, latihan olahraga di Akademi membuat
Sejanus dan Coriolanus unggul dalam kekuatan sik dan kemampuan berlatih,
desyrindah.blogspot.com

meskipun tak ada kelas latihan senjata api di Capitol. Senapan standar Penjaga
Perdamaian adalah senjata yang dahsyat, mampu menembakkan ratusan peluru
sebelum diisi ulang. Awalnya, mereka harus mempelajari bagian-bagian senjata
saat membersihkan dan memasangnya, lalu membongkar dan memasang ulang
senjata-senjata tersebut sampai mereka hafal luar kepala. Coriolanus agak gelisah
pada hari pertama mereka berlatih menembak sasaran. Ingatannya tentang perang
amat buruk, tapi dia sadar bahwa memiliki senjata sendiri membuatnya merasa
lebih aman. Lebih kuat. Sejanus ternyata berbakat sebagai penembak jitu dan
langsung mendapat nama julukan Bull’s Eye. Coriolanus bisa melihat bahwa nama
julukan itu membuat Sejanus merasa tidak nyaman, tapi dia menerimanya.
Pada hari Senin setelah kedatangan Sejanus, tanggal 1 Agustus mendatangkan
kekecewaan bagi Coriolanus. Para rekrut diberitahu bahwa mereka harus sudah
bertugas sebulan penuh sebelum mengambil gaji pertama mereka. Smiley sangat
kecewa, karena dia sudah menunggu-nunggu gajinya agar bisa berpesta pora pada
akhir pekan. Coriolanus juga patah semangat. Bagaimana dia bisa menonton
pertunjukan Lucy Gray kalau tidak punya uang untuk membayar tiket?
Setelah tiga hari penuh latihan, hari Kamis membawa keceriaan. Kiriman paket
Ma tiba, penuh dengan makanan manis yang lezat. Beanpole, Smiley, dan Bug
terpesona saat mereka membongkar paket berisi kue tar ceri, berondong jagung
karamel, dan kue kering cokelat. Sejanus dan Coriolanus menyatakan kue-kue itu
sebagai milik bersama di kamar, sehingga memperkuat ikatan persaudaraan di
antara mereka. “Tahu tidak,” kata Smiley dengan mulut penuh kue, “kalau kita
mau, aku berani taruhan kita bisa memanfaatkan makanan ini pada hari Sabtu.
Untuk dibarter dengan gin atau apalah.” Kemudian mereka sepakat, sebagian
makanan akan disisihkan untuk acara Sabtu malam.
Terpompa semangat karena asupan gula, Coriolanus menulis surat terima kasih
untuk Ma dan surat untuk Tigris, menenangkan sepupunya bahwa dia baik-baik
saja. Dia berusaha meringankan gambaran tentang rutinitas hariannya yang
desyrindah.blogspot.com

melelahkan dan menghiburnya dengan kemungkinan dia bisa menjadi pegawai


negeri. Dia mengambil buku panduan tes masuk calon pegawai negeri, yang berisi
contoh pertanyaan dan jawaban. Tes itu dirancang untuk
mengukur bakat dan kemampuan sekolah, dan terdiri atas soal matematika, verbal,
dan logika, meskipun dia masih perlu mempelajari peraturan dasar untuk bagian
militer. Kalau dia lulus tes, dia tidak langsung jadi pegawai negeri, tapi bisa mulai
latihan sebagai pegawai negeri. Dia punya rasat bagus tentang kesempatannya,
karena banyak rekrut lain yang tidak punya kemampuan baca-tulis yang baik.
Kelas-kelas dalam latihan Penjaga Perdamaian sudah memperlihatkan hal itu. Dia
memberitahu Tigris kabar kurang menyenangkan tentang gajinya, tapi dia
meyakinkan sepupunya bahwa dia akan mengirim uang secara rutin mulai 1
September. Saat lidahnya mengorek berondong jagung yang tersangkut di giginya,
dia ingat untuk menyebut kedatangan Sejanus dan menyarankan bahwa dalam
keadan darurat, mungkin Ma Plinth bisa dimintai bantuan.
Pada hari Jumat pagi, ketegangan terasa di ruang makan, dan Smiley mendapat
informasi dari perawat yang ditemuinya di klinik. Sekitar sebulan lalu, pada hari
pemungutan, seorang Penjaga Perdamaian dan dua pemimpin Distrik 12 tewas
terbunuh karena ledakan di tambang. Penyelidikan kriminal berhasil menahan
seorang pria yang keluarganya dikenal sebagai pemimpin pemberontakan pada
masa perang. Dia bakal dihukum gantung nanti siang. Tambang ditutup, dan para
pekerja tambang diminta hadir untuk menyaksikannya.
Karena keluguannya, Coriolanus tidak melihat kejadian itu berkaitan dengan
dirinya dan dia mengerjakan jadwal tugas hari itu seperti biasa. Tapi pada saat
latihan sik, komandan markas yang sudah berumur bernama Ho mampir dan
sejenak mengawasi jalannya latihan. Sebelum pergi dia berbicara dengan sersan
pelatih, yang langsung memanggil Coriolanus dan Sejanus. “Kalian berdua akan
pergi ke acara hukuman gantung siang ini. Komandan mau lebih banyak orang di
sana, dan dia mencari rekrut yang bisa menangani penonton. Lapor ke bagian
desyrindah.blogspot.com

transportasi siang ini dengan seragam lengkap. Ikuti perintah, dan kalian akan
baik-baik saja.”
Coriolanus dan Sejanus terburu-buru menghabiskan makan siang dan bergegas
kembali ke barak untuk berganti pakaian. “Jadi, pembunuh itu sengaja
menargetkan Penjaga Perdamaian?” tanya Coriolanus ketika mengenakan seragam
putih bersih Penjaga Perdamaian untuk pertama kalinya.
“Kudengar dia berusaha menyabotase produksi batu bara dan tidak sengaja
membunuh tiga orang,” kata Sejanus.
“Menyabotase produksi? Apa tujuannya?” tanya Coriolanus.
“Aku tidak tahu,” kata Sejanus. “Mungkin berharap pemberontakan dimulai
lagi?”
Coriolanus hanya menggeleng. Kenapa orang-orang ini menganggap bahwa
yang mereka butuhkan untuk memulai pemberontakan adalah kemarahan?
Mereka tidak punya pasukan, senjata, atau wewenang. Di Akademi, mereka diajari
bahwa perang dimulai oleh para pemberontak di Distrik 13 yang bisa mengakses
dan menyebarluaskan senjata dan alat komunikasi pada kelompok-kelompok
pendukung mereka di Panem. Tapi Tiga Belas telah lenyap bersama asap nuklir,
membawa serta kekayaan keluarga Snow. Tak ada yang tersisa, dan gagasan untuk
membangkitkan kembali pemberontakan benar-benar gagasan bodoh.
Saat mereka melapor untuk bertugas, Coriolanus kaget dia diberi pistol, karena
dia nyaris tidak mendapat latihan untuk menggunakannya. “Jangan kuatir, mayor
bilang kita hanya perlu berdiri siaga,” kata seorang rekrut padanya. Mereka
diangkut dengan truk bak terbuka, yang keluar dari markas dan menyusuri jalan
yang mengelilingi Distrik 12. Coriolanus merasa gelisah sekaligus senang, karena
ini tugas sungguhan pertamanya sebagai Penjaga Perdamaian. Beberapa minggu
lalu dia cuma anak sekolah, tapi sekarang dia mengenakan seragam dan membawa
senjata yang menegaskan statusnya sebagai pria dewasa. Bahkan sebagai Penjaga
Perdamaian level rendah, dia memiliki kuasa lebih karena berasal dari Capitol.
desyrindah.blogspot.com

Sehingga dia pun berdiri amat tegak.


Ketika truk melintasi wilayah perbatasan distrik, gedung-gedung yang kotor
berganti dengan gedung-gedung yang terlantar. Pintu-pintu dan jendela-jendela
rumah-rumah tua menganga terbuka karena udara panas. Wanita-wanita dengan
tatapan kosong duduk di ambang pintu, memperhatikan anak-anak separo
telanjang yang kurus kering bermain tanpa semangat di tanah. Di sejumlah
halaman rumah, kondisi pompa air menunjukkan tak ada air keran yang mengalir
ke dalam rumah, dan kabel-kabel listrik yang tergantung merosot menunjukkan
listrik tidak selalu ada.
Level kemiskinan ini menakutkan bagi Coriolanus. Sepanjang hidupnya dia juga
kekurangan uang, tapi keluaga Snow selalu bekerja keras agar bisa
mempertahankan kehidupan yang layak. Orang-orang ini sudah menyerah, dan
sebagian dirinya menyalahkan orang-orang itu atas kesengsaraan yang mereka
alami. Dia menggeleng. “Kita memberi uang sangat banyak ke distrik-distrik,”
katanya. Itu benar. Orang-orang di Capitol selalu mengeluhkan hal itu.
“Kita memberi uang ke industri-industri kita, bukan langsung ke distrik-distrik,”
kata Sejanus. “Penduduk distrik harus berjuang mempertahankan kelangsungan
hidup mereka sendiri.”
Truk berderak menggilas sisa bara, menuju jalan berdebu yang mengelilingi
lapangan luas bertanah keras serta ditumbuhi rumput liar, dan ujungnya adalah
hutan. Capitol memiliki wilayah hutan di sejumlah taman, tapi hutan di sana
terawat rapi. Coriolanus menganggap ini mungkin yang disebut belantara, atau
mungkin alam liar. Pohon-pohon besar, tanaman rambat, dan semak belukar
tumbuh tak terurus. Ketiadaan perawatan ini terasa mengganggu. Entah makhluk
liar apa yang menghuni tempat itu. Dengungan, kicauan, dan gemeresik terdengar
tanpa henti membuat Coriolanus tegang. Berisik sekali burung-burung di sini!
Sebatang pohon besar berdiri di tepi hutan, dahan besarnya terulur seperti
lengan-lengan yang terbelit. Ada tali gantungan terjuntai dari salah satu dahan
desyrindah.blogspot.com

tambahan yang horizontal. Tepat di bawahnya, ada landasan dengan dua pintu
jebakan. “Mereka menjanjikan tiang gantungan yang bagus,” kata mayor separo
baya yang memimpin acara. “Untuk sementara, kita terpaksa memakai gantungan
ala kadarnya ini. Dulu kita cukup menarik mereka hingga tergantung di atas tanah,
tapi butuh waktu lama sampai mereka mati. Siapa yang mau menghabiskan waktu
menunggu selama itu?”
Salah satu rekrut perempuan yang yang pernah dilihat Coriolanus sewaktu
berjalan ke barak mengangkat tangan ragu-ragu. “Siapa yang akan kita gantung?”
“Oh, seorang penjahat yang berniat menutup tambang,” kata sang mayor.
“Mereka semua penjahat, tapi yang satu ini pemimpinnya. Namanya Arlo siapa-
itu. Kita masih melacak jejak yang lain, walaupun tidak tahu mereka akan kabur ke
mana. Tak ada tempat untuk kabur. Oke, semuanya keluar!”
Peran Coriolanus dan Sejanus lebih bersifat pajangan. Mereka berdiri berderet
di barisan belakang yang terdiri atas dua puluh orang yang mengapit landasan
penggantungan itu. Enam puluh orang Penjaga Perdamaian lain menyebar di
lapangan. Coriolanus tidak suka memunggungi hutan belantara dengan segala
tumbuhan dan binatang liarnya, tapi perintah tetap perintah. Mereka memandang
jauh ke depan, melintasi lapangan ke arah distrik, memandangi massa berdatangan
dari arah tersebut. Kelihatannya banyak yang datang langsung dari tambang,
terlihat dari debu batu bara yang hitam di wajah mereka. Mereka didampingi
wanita dan anak-anak yang wajahnya sedikit lebih bersih saat keluarga-keluarga itu
mulai berkumpul di sekitar lapangan. Coriolanus mulai gelisah saat seratusan
orang sudah berkumpul, dan masih banyak yang berdatangan, mendorong
kerumunan massa bergerak maju dengan beringas.
Tiga kendaraan perlahan-lahan masuk ke jalan berdebu menuju tiang gantungan.
Dari kendaraan pertama, mobil tua yang termasuk mobil mewah pada masa
sebelum perang, tampak Walikota Lipp dari Distrik 12 melangkah keluar. Wanita
separo baya yang rambutnya disemir pirang mendampinginya, serta Mayfair, anak
desyrindah.blogspot.com

perempuan yang menjadi sasaran ular Lucy Gray pada hari pemungutan. Mereka
berdiri berimpitan di sisi landasan. Komandan Ho dan enam orang tentara
keluar dari mobil kedua berbendera Panem di atapnya. Gelombang kesedihan
melanda penonton saat pintu belakang kendaraan terakhir membuka. Dari van
putih milik Penjaga Perdamaian itu turun dua penjaga, lalu keduanya berbalik
untuk membantu sang tahanan turun. Seorang pria jangkung dan kurus yang
terbelenggu tetap berdiri tegak ketika mereka mengawalnya ke landasan gantung.
Dengan susah payah, dia menarik rantainya menjejak tangga-tangga reyot,
kemudian dua penjaga menempatkannya di atas dua pintu jebakan.
Sang mayor meneriakkan perintah bersiap, dan tubuh Coriolanus langsung
tegak siaga. Secara teknis, pandangannya ke depan, tapi dia bisa melihat kejadian
yang berlangsung di sudut matanya, dan dia merasa tertutup di barisan belakang.
Dia tak pernah menyaksikan eksekusi hukuman mati secara langsung, hanya di
televisi, dan dia tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Kerumunan massa hening, dan seorang penjaga perdamaian membacakan da ar
kejahatan yang dituduhkan pada terhukum. Arlo Chance, terbukti bersalah
membunuh tiga orang. Walaupun berusaha keras, suara si penjaga perdamaian
terdengar lemah dalam udara yang panas dan lembap. Setelah selesai membacakan
dakwaan, sang komandan mengangguk pada para Penjaga Perdamaian di landasan.
Mereka menawari terhukum penutup mata, yang ditolaknya, lalu mereka
memasang tali gantungan ke lehernya. Pria itu berdiri tenang, memandang ke
kejauhan menanti ajalnya.
Genderang ditabuh di ujung landasan, memicu tangisan dari bagian depan
kerumunan. Coriolanus mengalihkan pandangan ke sumber suara. Seorang wanita
muda berkulit cokelat gelap dan rambut hitam panjang terangkat dari antara
kerumunan massa saat seorang pria berusaha membopongnya pergi, tapi wanita
itu melawan dan berusaha untuk maju, sembari berteriak, “Arlo! Arlo!” Para
Penjaga Perdamaian segera mendekatinya.
desyrindah.blogspot.com

Suara wanita itu mengejutkan Arlo, karena wajahnya menunjukkan kekagetan


lalu kengerian. “Lari!” pekiknya. “Lari, Lil! Lari! La…!” Pintu jebakan menjeblak
terbuka dan tali gantungan menegang menggantung lehernya, memotong
ucapannya, dan kerumunan penonton terkesiap. Tubuh Arlo tergantung jatuh
sekitar lima meter dan tampaknya tewas seketika.
Dalam keheningan yang menakutkan setelah kejadian itu, Coriolanus bisa
merasakan keringat mengalir di sisi tubuhnya saat menunggu apa yang terjadi
selanjutnya. Apakah massa akan menyerang? Apakah dia diharapkan untuk
menembak mereka? Apakah dia ingat cara menembakkan senjata? Dia memasang
telinga baik-baik menunggu perintah. Namun, yang terngiang di telinganya adalah
suara pria yang tergantung tewas itu.
“Lari! Lari, Lil! La…”
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com
23

Bulu kuduk Coriolanus meremang, dan dia bisa merasakan rekrut-rekrut lain
bergerak-gerak gelisah.
“Lari! Lari, Lil! La…!”
Teriakan itu seakan menyebar dan melingkupinya, memantul di antara
pepohonan dan menyerangnya dari belakang. Sesaat, Coriolanus merasa dirinya
sudah tidak waras. Dia melanggar perintah dan menolehkan ke sekelilingnya,
bersiap menghadapi serbuan tentara Arlo dari hutan di belakangnya. Tapi tak ada
apa-apa. Tak ada seorang pun. Lalu suara itu terdengar lagi dari dahan pohon be-
berapa meter di atasnya.
“Lari! Lari, Lil! La…!”
Saat melihat burung kecil berwarna hitam, ingatannya melayang ke lab Dr. Gaul.
Dia pernah melihat burung-burung itu, hinggap di atas kurungan. Jabberjay.
Hutan ini penuh dengan burung ini, meniru teriakan Arlo sebelum tewas
sebagaimana mereka meniru raungan para Avox di lab.
“Lari! Lari, Lil! La…! Lari! Lari, Lil! La…! Lari! Lari, Lil! La…!”
Saat Coriolanus memusatkan perhatian kembali, dia bisa melihat kekacauan
yang ditimbulkan burung-burung itu terhadap para rekrut yang berdiri di barisan
belakang, meskipun para Penjaga Perdamaian lain tetap berdiri tak terpengaruh.
Mereka sudah terbiasa, pikir Coriolanus. Dia tidak yakin dirinya bisa terbiasa
mendengar pekikan seseorang di ambang kematian berulang-ulang. Bahkan saat
teriakan Arlo berubah mengalun berirama seperti sekarang. Deretan nada yang
desyrindah.blogspot.com

memantul dari suara Arlo entah bagaimana terdengar lebih menakutkan daripada
kata-kata yang terucap.
Di antara kerumunan massa, Penjaga Perdamaian menangkap wanita itu, Lil,
dan membawanya pergi. Lil meraung pedih, dan
burung-burung itu juga menirunya, awalnya meniru persis suaranya lalu
menggabungkannya sebagai bagian dari aransemen lagu. Ucapan manusianya
sudah tidak terdengar lagi, yang tersisa adalah paduan suara musikal dari kata-kata
Arlo dan Lil.
“Mockingjay,” gerutu tentara di depannya. “Mu sialan.”
Coriolanus ingat saat berbicara dengan Lucy Gray sebelum wawancara.
“Seperti kata pepatah, ‘Pertunjukan belum berakhir sampai mockingjay bernyanyi’.”
“Mockingjay? Kau pasti mengarang pepatah ini.”
“Aku tidak mengarangnya. Mockingjay burung sungguhan.”
“Dan burung itu bernyanyi di pertunjukanmu?”
“Bukan di pertunjukanku, Sayang. Pertunjukanmu. Lebih tepatnya Capitol.”
Pasti ini yang dimaksud Lucy Gray. Pertunjukan Capitol adalah hukuman
gantung. Mockingjay adalah burung sungguhan. Bukan jabberjay. Entah bagaimana
dua burung ini jenis yang berbeda. Tergantung wilayah, pikir Coriolanus. Tapi
anehnya, para tentara menyebut burung itu mu . Matanya menyipit berusaha
mengamati seekor di antara dedaunan. Setelah tahu apa yang harus dicarinya, dia
melihat beberapa ekor burung jabberjay. Mungkin mockingjay bentuknya sama…
tapi tunggu, di sana! Di tempat yang lebih tinggi. Seekor burung hitam, agak lebih
besar daripada jabberjay, tiba-
tiba mengembangkan sayap dan memperlihatkan dua titik putih saat mengangkat
paruhnya untuk bernyanyi. Coriolanus yakin sudah melihat mockingjay untuk
pertama kalinya, dan dia tidak menyukai burung itu.
Burung penyanyi itu meresahkan penonton. Bisikan berubah menjadi
gumaman, yang berubah menjadi protes saat para Penjaga Perdamaian
desyrindah.blogspot.com

mendorong Lil masuk ke van yang tadi digunakan untuk mengangkut Arlo.
Coriolanus takut akan kemungkinan amuk massa. Apakah mereka akan melawan
para tentara? Tanpa sadar, dia merasakan ibu jarinya melepas pengaman pistolnya.
Rentetan tembakan membuatnya terlonjak, dan dia menoleh mencari-cari
apakah ada yang berdarah kena peluru tapi Coriolanus hanya melihat seorang
petugas menurunkan pistolnya. Petugas itu tertawa lalu mengangguk ke
komandan, sehabis menembakkan pelurunya ke pepohonan dan membuat
burung-burung terbang berhamburan. Di antara burung-burung itu, Coriolanus
bisa melihat sekitar sepuluh pasang sayap hitam-putih. Tembakan senjata itu
menenangkan kerumunan, dan para Penjaga Perdamaian mengusir mereka sambil
berteriak, “Kembali bekerja!” dan “Pertunjukan berakhir!” Saat lapangan itu
kosong, Coriolanus tetap berdiri siaga, berharap tak ada seorang pun yang
memperhatikan kegelisahannya.
Ketika mereka semua masuk ke truk dan kembali ke pangkalan, sang mayor
berkata, “Seharusnya tadi aku memperingatkan kalian tentang burung-burung itu.”
“Burung apa mereka sebenarnya?” tanya Coriolanus.
Sang mayor mendengus. “Sebenarnya mereka kesalahan, menurutku.”
“Mu ?” tanya Coriolanus penasaran.
“Semacam itu. Yah, itu dan keturunannya,” kata sang mayor. “Setelah perang,
Capitol melepas mu -mu jabberjay supaya mati dan punah di alam liar.
Seharusnya begitu, karena semua burung jabberjay berjenis jantan. Tapi mereka
berhasil kawin dengan burung mockingbird. Sekarang kita harus berhadapan
dengan burung aneh mockingjay. Beberapa tahun lagi semua jabberjay akan punah,
dan mari kita lihat apakah burung-burung baru ini bisa kawin dan berkembang
biak.”
Coriolanus tidak mau menghabiskan dua puluh tahun mendatang
mendengarkan mereka melantunkan nyanyian tentang hukuman mati. Barangkali,
kalau dia berhasil jadi pegawai negeri, dia bisa mengorganisir perburuan besar-
desyrindah.blogspot.com

besaran untuk menghalau


burung-burung ini dari hutan. Tapi kenapa dia harus menunggu? Kenapa tidak
menyarankannya sekarang, agar burung-burung itu dijadikan semacam sasaran
tembak, untuk latihan para rekrut? Pasti tak ada seorang pun yang menyukai
burung-burung ini. Gagasan tersebut membuatnya merasa lebih baik. Dia
berpaling pada Sejanus untuk memberitahunya tentang rencana ini, tapi wajah
Sejanus muram seperti yang biasa ditunjukkannya di Capitol. “Ada apa?”
Sejanus tetap memandang ke arah hutan saat truk bergerak. “Aku benar-benar
tidak pikir panjang soal ini.”
“Apa maksudmu?” tanya Coriolanus. Sejanus hanya menggeleng.
Setibanya kembali di pangkalan, mereka mengembalikan senjata dan bebas
tugas sampai saatnya makan malam pada pukul lima sore. Setelah mereka berganti
pakaian, Sejanus menggumamkan sesuatu tentang menulis surat untuk Ma lalu
menghilang. Coriolanus menemukan sepucuk surat yang pasti dibawakan oleh
salah satu teman sekamarnya. Dia mengenali tulisan halus berulir dari Pluribus
Bell dan naik ke tempat tidurnya untuk membaca surat itu. Isinya kurang-lebih
sama seperti yang diceritakan Tigris padanya: bahwa Pluribus siap membantu
keluarga Snow, baik untuk menjual barang-barang mereka dan tempat tinggal
sementara sambil melihat perkembangan situasi. Namun, satu paragraf membuat
Coriolanus terlonjak.
Aku turut menyesal dengan keadaan yang kaualami. Hukuman Casca Highbo om
tampak berlebihan, dan membuatku bertanya-tanya. Seingatku aku pernah bilang
bahwa dia dan ayahmu bersahabat dekat saat mereka di Universitas. Tapi aku ingat,
menjelang kelulusan, terjadi semacam pertengkaran. Sesuatu yang di luar kebiasaan
mereka. Casca marah besar, mengatakan bahwa dia mabuk dan cuma bercanda.
Dan ayahmu bilang bahwa Casca seharusnya bersyukur. Bahwa dia menolongnya.
Ayahmu pergi, tapi Casca tetap duduk minum-minum sampai kelab tutup.
desyrindah.blogspot.com

Kutanyakan padanya ada masalah apa, tapi dia cuma berkata “Seperti laron-laron
terbang menuju cahaya.” Dia agak mabuk. Kupikir mereka akan berbaikan, tapi
mungkin tidak pernah. Mereka berdua bekerja tidak lama kemudian, dan aku
jarang melihat mereka. Orang-orang melanjutkan hidup.
Potongan cerita itu memberi penjelasan singkat mengenai kebencian Dekan
Highbo om padanya. Pertengkaran. Permusuhan. Dia tahu mereka tak pernah
berbaikan, kecuali yang satu mengalahkan yang lain, karena dia merasakan nada
getir sang dekan saat bicara tentang ayahnya. Betapa picik dan kerdilnya hati
Dekan Highbo om yang tidak bisa menutup luka masa lalu semasa dia bersekolah
dulu. Bahkan sampai saat ini, saat musuh bayangannya sudah lama tewas. Tak
bisakah kau melupakannya? pikir Coriolanus. Bagaimana mungkin permusuhan
lama bisa berbuntut panjang?
Saat makan malam, Smiley, Beanpole, dan Bug ingin mendengar cerita tentang
pelaksanaan hukuman gantung, dan Coriolanus berusaha sebaik mungkin untuk
memuaskan mereka. Idenya untuk menggunakan mockingjay sebagai sasaran
latihan ditanggapi dengan antusias, dan teman-teman sekamarnya mendorong
Coriolanus untuk menyampaikan usulan ini kepada yang berwenang. Satu-
satunya yang terlihat sedih adalah Sejanus, yang duduk diam dan menarik diri,
mendorong nampan makanannya yang berisi mi agar dimakan oleh yang lain.
Coriolanus cemas. Terakhir kali Sejanus kehilangan nafsu makan, dia juga
kehilangan kewarasannya.
Setelah itu, saat mereka mengepel ruang makan, Coriolanus menghampirinya.
“Apa yang meresahkanmu? Dan jangan bilang tidak ada apa-apa.”
Sejanus mencelupkan tangkai pelnya ke ember berisi air kecokelatan. “Aku tidak
tahu. Aku terus berandai-andai apa yang terjadi hari ini jika penonton jadi
beringas. Apakah kita harus menembak mereka?”
“Oh, mungkin tidak,” kata Coriolanus, walaupun dia juga memikirkan hal yang
sama. “Mungkin kita hanya perlu menembak beberapa kali ke udara.”
desyrindah.blogspot.com

“Kalau aku membantu membunuh orang-orang di distrik, apa bedanya dengan


membantu membunuh mereka di Hunger Games?” tanya Sejanus.
Insting Coriolanus benar. Sejanus sedang terjerumus dalam pasir isap keyakinan
etisnya. “Menurutmu memangnya seperti apa? Maksudku, apa yang kaupikir akan
kauhadapi saat menda ar?”
“Kupikir aku bisa menjadi bagian tim medis,” kata Sejanus.
“Medis?” ulang Coriolanus. “Seperti dokter?”
“Bukan, dokter perlu sekolah di universitas,” kata Sejanus. “Sesuatu yang lebih
tingkat dasar. Di mana aku bisa menolong orang yang terluka, dari Capitol atau
distrik, saat kekerasan terjadi. Paling tidak, aku tidak melukai siapa-siapa. Aku
tahu aku tidak bisa membunuh orang, Coryo.”
Coriolanus kesal. Apakah Sejanus lupa bahwa tingkah gegabahnya membuat
Coriolanus harus membunuh Bobbin? Lupa bahwa keegoisannya sudah membuat
sahabatnya kehilangan kemewahan dari pernyataan itu? Lalu dia menahan tawa
saat memikirkan si tua Strabo Plinth. Raja senjata dengan keturunan yang cinta
damai. Dia bisa membayangkan percakapan yang berlangsung antara ayah dan
anak lelakinya ini. Sia-sia sekali, pikirnya. Menyia-nyiakan satu dinasti.
“Bagaimana kalau dalam perang?” Coriolanus bertanya pada Sejanus. “Kau tahu
kan, kau ini tentara?”
“Aku tahu. Kurasa perang adalah hal berbeda,” kata Sejanus. “Tapi aku ingin
berjuang untuk sesuatu yang kupercayai. Aku harus percaya bahwa perjuanganku
akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik. Aku tetap lebih memilih menjadi
petugas medis, tapi tampaknya tidak banyak lowongan untuk itu jika tak ada
perang. Da ar tunggu bagi yang ingin mendapat pelatihan di klinik sangat
panjang. Bahkan untuk menda ar saja kau butuh surat rekomendasi, dan sersan
tidak mau memberikannya untukku.”
“Kenapa tidak? Kedengarannya kau cocok untuk tugas ini,” kata Coriolanus.
“Karena aku sangat mahir dengan senjata,” Sejanus memberitahunya. “Sungguh.
Aku penembak jitu. Ayahku sudah mengajariku sejak kecil, dan setiap minggu aku
desyrindah.blogspot.com

wajib latihan menembak sasaran. Dia menganggapnya sebagai bagian dari bisnis
keluarga.”
Coriolanus berusaha mencerna informasi itu. “Kenapa kau tidak berusaha
menyembunyikan kemampuanmu?”
“Kupikir aku sudah melakukannya. Sebenarnya aku bisa menembak jauh lebih
baik daripada saat latihan. Aku berusaha tidak terlalu menonjol, tapi anggota tim
yang lain payah sekali.” Sejanus langsung tersadar. “Tapi kau tidak payah.”
“Ya, aku payah.” Coriolanus tertawa. “Dengar, menurutku kau terlalu berlebihan
menyikapi hal ini. Kita kan tidak melaksanakan hukuman gantung setiap hari. Jika
saatnya tiba kau harus menggunakan senjata, tembakkan saja agar meleset dari
sasaran.”
Tapi ucapan Coriolanus malah mengobarkan amarah Sejanus. “Bagaimana kalau
itu artinya kau, atau Beanpole, atau Smiley malah tewas karena aku tidak
melindungi kalian?”
“Oh, Sejanus!” Coriolanus mendesah putus asa. “Kau harus berhenti berpikir
terlalu panjang! Kau membayangkan segala kemungkinan terburuk. Itu tidak akan
terjadi. Kita semua akan mati di sini karena usia tua atau kebanyakan mengepel,
entah yang mana yang akan merenggut nyawa kita lebih dulu. Sebelum itu terjadi,
jangan menembak mengenai sasaran! Atau kau bisa mengada-ada soal matamu!
Atau hantamkan tanganmu ke pintu!”
“Dengan kata lain, jangan terlalu manja,” kata Sejanus.
“Yah, kau memang penuh drama. Itu sebabnya kau sampai berada di arena, ingat
tidak?” tanya Coriolanus.
Sejanus seakan tertampar oleh ucapan Coriolanus. Sesaat, dia mengangguk
sadar. “Saat itu kita berdua hampir tewas. Kau benar, Coryo. Terima kasih. Aku
akan memikirkan lagi saranmu.”
Badai datang pada hari Sabtu, menyisakan lumpur dan udara basah dan lembap.
Dia mulai ketagihan makanan gurih yang disiapkan Cookie dan menghabiskan
desyrindah.blogspot.com

makanannya sampai tandas setiap kali makan. Latihan harian membuat tubuhnya
lebih kuat, lebih eksibel, dan lebih percaya diri. Dia sudah bisa menandingi
penduduk lokal, bahkan jika harus menghabiskan sepanjang hari di pertam-
bangan. Mungkin tidak sampai perkelahian satu lawan satu, apalagi dengan
perlengkapan senjata Penjaga Perdamaian, tapi dia siap kalau itu yang terjadi.
Selama latihan menembak sasaran, dia memperhatikan Sejanus, yang
tembakannya selalu meleset. Baguslah. Kemampuannya yang mendadak turun
pasti akan menarik perhatian. Kalau anak lelaki lain yang seperti itu pasti
Coriolanus akan curiga, tapi dia tahu Sejanus bukan tipe yang menyombongkan
diri. Kalau dia bilang dia penembak jitu, dia pasti penembak jitu. Itu artinya dia
bakal jadi aset berharga dalam perburuan mockingjay kalau dia mau dibujuk untuk
ikut. Seusai latihan, Coriolanus menyampaikan ide tersebut pada sersan pelatih,
dan merasa tersanjung saat dijawab: “Ide yang lumayan. Sekali tepuk dua lalat.”
“Oh, kalau bisa lebih,” Coriolanus bergurau, dan sang sersan menggeram
menanggapinya.
Setelah menghabiskan sore hari yang terik untuk mencuci pakaian, bolak-balik
memasukkan dan mengeluarkan seragam ke mesin cuci dan pengering, memilah-
milah pakaian dan melipatnya, Coriolanus bergegas makan malam lalu mandi.
Apakah cuma khayalannya, atau benarkah jenggotnya mulai tumbuh? Dia
menganggumi jenggotnya saat mencukurnya dengan pisau cukur. Pertanda lain
bahwa dia sudah meninggalkan masa kanak-kanaknya. Dia mengeringkan rambut
dengan handuk, rambutnya kini sudah tidak terlalu cepak. Rambut ikalnya mulai
tumbuh di sana-sini.
Suasana gembira terasa di kamar mandi karena berita bahwa akan ada band
musik di Hob malam itu. Tampaknya, tak ada satu rekrut pun yang menonton
Hunger Games tahun ini.
“Ada gadis yang akan bernyanyi di sana.”
“Yeah, dari Capitol.”
desyrindah.blogspot.com

“Bukan, bukan dari Capitol. Dia ke Capitol sebagai peserta


Hunger Games.”
“Oh. Sepertinya dia menang.”
Wajah-wajah mereka mengilat karena panas dan digosok, Coriolanus dan
teman-teman sekamarnya akan ke luar malam ini. Penjaga yang bertugas
menyuruh mereka tetap waspada saat meninggalkan pangkalan.
“Kurasa kita berlima bisa mengalahkan buruh tambang,” kata Beanpole, sambil
menoleh ke kanan-kiri.
“Kalau berkelahi satu lawan satu, bisa saja,” kata Smiley. “Tapi bagaimana kalau
mereka punya senjata?”
“Mereka tidak boleh punya senjata di sini, ya kan?” tanya Beanpole.
“Tidak secara legal. Tapi pasti ada satu atau dua senjata di sini setelah perang.
Tersembunyi di bawah papan penutup lantai, di pepohonan, dan entah di mana
lagi. Kau bisa mendapatkan apa pun kalau punya uang,” kata Smiley mengangguk
yakin.
“Yang jelas tidak mereka miliki,” kata Sejanus.
Coriolanus tegang berada di luar pangkalan, apalagi sambil berjalan kaki, tapi dia
berusaha menenangkan diri karena perasaannya juga campur aduk. Dia merasa
tegang, takut, percaya diri, dan gelisah setengah mati membayangkan akan
bertemu Lucy Gray. Banyak hal yang ingin dia katakan pada gadis itu. Begitu
banyak pertanyaan yang ingin ditanyakannya, dan tidak tahu harus mulai dari
mana. Mungkin mereka bisa memulainya dengan ciuman-ciuman yang panjang
dan lembut…
Setelah sekitar dua puluh menit, mereka tiba di Hob. Tempat ini merupakan
gudang batu bara pada masa jayanya. Berkurangnya hasil tambang batu bara
membuat tempat ini terbengkalai. Mungkin pemiliknya adalah seseorang di
Capitol, atau mungkin milik Capitol, tapi tak tampak adanya pengawas atau
pemeliharaan gedung. Di sepanjang dinding, beberapa kios menjual berbagai
desyrindah.blogspot.com

pernak-pernik, yang kebanyakan barang bekas. Di antara barang yang dijajakan,


Coriolanus melihat ada sisa lilin sampai kelinci hasil buruan, sandal tenun buatan
sendiri sampai kacamata yang retak. Dia kuatir setelah pelaksanaan hukuman
gantung kedatangan mereka akan dimusuhi, tapi tak seorang pun memedulikan
mereka, dan kebanyakan pembeli berasal dari pangkalan.
Smiley yang sudah terbiasa menjadi pedagang di pasar gelap distriknya, sengaja
mengorbankan sepotong kue untuk jadi tester. Dia memecah kue itu hingga
menjadi dua belas bagian dan mengizinkan orang-orang yang dianggapnya bisa
jadi calon pembeli untuk mencobanya. Kue buatan Ma memang andalan, sehingga
hasil barter dengan pembuat minuman keras serta uang dari pembeli, mereka
berhasil memiliki seperempat botol cairan bening berisi minuman beralkohol
tinggi, yang bahkan mencium baunya saja sudah membuat mata mereka berair.
“Ini barang bagus!” kata Smiley. “Mereka menyebutnya minuman keras putih,
tapi ini sebenarnya minuman keras oplosan.” Mereka masing-masing minum
seteguk, bergantian terbatuk-batuk, dan saling memukul punggung memberi
selamat. Lalu mereka menyimpannya untuk menonton pertunjukan nanti.
Masih sambil memegang enam bungkus popcorn, Coriolanus bertanya di mana
bisa membeli tiket pertunjukan, tapi orang-orang hanya menggusahnya.
“Mereka memungut bayaran setelah acara,” kata seorang pria. “Lebih baik cari
tempat duduk kalau mau dapat posisi enak. Pasti ramai. Gadis itu akhirnya
kembali.”
Mencari tempat duduk itu berarti mengambil kotak kayu bekas, tong, atau
ember plastik yang teronggok di sudut dan mencari posisi strategis agar bisa
melihat panggung dengan jelas. Panggungnya hanya berupa tumpukan kayu di
ujung Hob. Coriolanus memilih tempat di dekat dinding, agak ke belakang. Di
bawah cahaya remang-
remang, Lucy Gray akan sulit melihatnya, dan itu yang diinginkan Coriolanus. Dia
butuh waktu untuk mempertimbangkan bagaimana cara mendekati Lucy Gray.
desyrindah.blogspot.com

Apakah gadis itu sudah mendengar Coriolanus ada di sini? Sepertinya tidak, siapa
yang bisa memberitahu
nya? Di pangkalan dia biasa dipanggil Gent, dan tak ada seorang pun yang
menyinggung soal perbuatannya di Hunger Games.
Malam tiba dan ada orang yang menjentik sakelar, menyalakan lampu yang
tergantung acak-acakan dengan kabel seadanya, serta colokan dan sambungan
yang berantakan. Coriolanus mengedarkan pandangan mencari jalan keluar
terdekat, mengantisipasi terjadinya kebakaran. Bangunan tua ditambah debu batu
bara, hanya dengan percikan api kecil bisa menghasilkan kebakaran hebat dalam
sekejap. Hob mulai dipenuhi orang, Penjaga Perdamaian dan penduduk lokal
bergabung, kebanyakan laki-laki dan hanya beberapa perempuan. Kurang-lebih
dua ratus orang berkumpul saat anak lelaki kurus yang usianya sekitar dua belas,
mengenakan pakaian berbulu berwarna-warni naik ke panggung dan memasang
mikrofon, lalu menarik kabel ke kotak hitam ke samping. Dia menyeret kotak kayu
di belakang mikrofon lalu mundur ke bagian yang ditutupi selimut compang-
camping. Penampilannya memancing reaksi penonton, satu-dua orang mulai
bertepuk tangan, yang menular ke orang-orang lain. Bahkan Coriolanus pun ikut
bertepuk tangan. Terdengar teriakan-teriakan yang meminta agar pertunjukan
segera dimulai. Setelah menunggu lama, akhirnya bagian samping selimut terbuka.
Seorang gadis kecil dengan gaun merah muda melangkah keluar. Dia mem-
bungkuk memberi hormat.
Penonton bersorak saat gadis kecil itu menabuh genderang yang tergantung
dengan tali di lehernya kemudian menari ke arah mikrofon. “Waaah, Maude
Ivory!” teriak seorang Penjaga Perdamaian di dekat Coriolanus. Dia langsung tahu
bahwa gadis kecil ini adalah sepupu Lucy Gray yang pernah diceritakannya, gadis
yang bisa mengingat semua lagu yang pernah dia dengar. Hebat sekali untuk anak
sekecil itu, umurnya mungkin sekitar delapan atau sembilan tahun.
Gadis itu melompat naik ke kotak di belakang mikrofon lalu melambai kepada
desyrindah.blogspot.com

penonton. “Hai, semuanya, terima kasih sudah datang malam ini! Sudah cukup
panas, belum?” katanya dengan suara yang manis melengking, lalu penonton
tertawa. “Kami berencana membuat malam ini lebih panas. Namaku Maude Ivory,
dengan senang hati aku memperkenalkan kaum Pengembara!” Penonton bersorak
dan bertepuk tangan.
Gadis itu memberi hormat hingga penonton cukup tenang dan dia bisa
memperkenalkan mereka satu per satu. “Pada mandolin, ada Tam Amber!”
Seorang pria muda jangkung dan kurus kering mengenakan topi berbulu muncul
dari balik tirai, memetik alat musik mirip gitar tapi lebih kecil. Dia berjalan ke
samping Maude Ivory tanpa menyapa penonton, sementara jemarinya bergerak
memetik dawai mandolin.
Selanjutnya, anak lelaki yang tadi memasang mikrofon muncul membawa biola.
“Clerk Carmine pada biola!” kata Maude Ivory, saat anak lelaki itu menggesek
biola di panggung.
“Dan Darb Azure pada bas!” Sambil membawa alat musik yang bentuknya
seperti biola raksasa, seorang gadis muda langsing mengenakan gaun biru kotak-
kotak melambai malu-malu kepada penonton dan bergabung dengan yang lain di
panggung.
“Dan selanjutnya, baru saja pulang dari tugas di Capitol, satu-
satunya Lucy Gray Baird!”
Coriolanus menahan napas ketika Lucy Gray naik ke panggung, membawa gitar
dengan satu tangan. Dia mengenakan gaun berumbai-rumbai berwarna hijau
terang, wajahnya terlihat cerah dengan riasan. Penonton berdiri. Dia berlari kecil
saat Tam Amber mendorong kotak Maude Ivory dan berada di tengah panggung
di belakang mikrofon.
“Halo, Distrik Dua Belas, apakah kalian merindukanku?” Dia tersenyum lebar
saat penonton bersorak menjawabnya. “Aku yakin kalian tak menyangka bisa
melihatku lagi, aku juga tak mengira bisa bertemu kalian. Tapi aku kembali. Aku
desyrindah.blogspot.com

sungguh-sungguh kembali.”
Seorang Penjaga Perdamaian, yang didorong teman-temannya, dengan malu-
malu berjalan mendekati panggung dan menyerahkan setengah botol berisi cairan
bening pada Lucy Gray.
“Wah, apa ini? Ini untukku?” tanya Lucy Gray sambil menerima botol
pemberian itu. Sang Penjaga Perdamaian mengisyaratkan bahwa hadiah itu dari
kelompoknya. “Wah, kalian semua kan tahu aku sudah berhenti minum alkohol
sejak umur dua belas!” Terdengar tawa membahana dari penonton. “Apa?
Sungguh kok! Tapi tentu saja tidak ada salahnya menyimpan sedikit untuk
menjaga kesehatan. Terima kasih, aku sangat menghargainya.” Dia memperhatikan
botol di tangannya, lalu memandang penonton dengan penuh arti lalu meneguk
cairan dari botol itu. “Untuk menjernihkan pita suaraku!” katanya polos
menanggapi keriuhan penonton. “Tahu tidak, seburuk apa pun kalian
memperlakukanku, entah kenapa aku selalu kembali kemari. Betul.
Mengingatkanku pada lagu lama.”
Lucy Gray memetik gitarnya lalu menatap kaum Pengembara lainnya, yang
berkumpul setengah lingkaran di sekitar mikrofon. “Oke, teman-teman. Satu, dua,
tiga…” Terdengar musik ceria dan bersemangat. Coriolanus merasa tumitnya ikut
mengentak-entak mengikuti irama bahkan sebelum Lucy Gray mulai bernyanyi.
Hatiku sungguh bodoh, dan itu jadi masalah.
Bukan salah Kupido, dia cuma memanah.
Lepaskan, luruhkan, gugurkan,
Rasa ini tetap menjalar.
Hati tak kenal logika.
Kau seperti madu, memancing lebah.
Menyengat, memagut, mengempas.
Rasa ini tetap menjalar.
desyrindah.blogspot.com

Kuharap ada artinya bagimu


Kau memilih untuk menghancurkannya.
Teganya kau meremukkan
Sesuatu yang kucintai?
Apakah kau merasa tersanjung
kau bisa mencampakkannya?
Itu sebabnya kau merusak
Sesuatu yang kucintai.
Lucy Gray menjauh dari mikrofon, memberi kesempatan pada Clerk Carmine
untuk memamerkan kepiawaiannya bermain biola, menyemarakkan melodi,
sementara yang lain juga memainkan alat musik masing-masing.
Coriolanus tidak bisa melepaskan pandangannya dari Lucy Gray, matanya
berbinar saat memandang gadis itu. Inilah gadis itu saat terlihat gembira, pikirnya.
Dia cantik! Semua orang bisa melihatnya cantik, bukan hanya dirinya. Itu bisa jadi
masalah. Rasa cemburu menusuk hatinya. Tapi tidak. Lucy Gray adalah gadisnya.
Dia teringat lagu yang dinyanyikan Lucy Gray saat wawancara, tentang pria yang
mematahkan hatinya, dan memperhatikan kaum Pengembara untuk mencari pria
itu. Hanya ada Tam Amber yang memegang mandolin, tapi tak terlihat percikan
asmara di antara mereka. Mungkin salah satu penduduk lokal?
Penonton bertepuk tangan untuk Clerk Carmine, lalu Lucy Gray bernyanyi lagi.
Kupenjarakan jantung hatiku tapi belum kubebaskan.
Orang-orang mencibir caramu memperlakukanku.
Jerat, robek, lucuti.
Rasa ini tetap menjalar.
Jantungku meronta-ronta.
Darah memompa jantung ini.
Habisi, sakiti, aku gila.
desyrindah.blogspot.com

Rasa ini tetap menjalar.


Bakar, empas, tak berbalas.
Patahkan, hanguskan, ambil saja,
Remukkan, hantam saja, tak usah pedulikan.
Rasa ini tetap menjalar.
Setelah tepuk tangan dan sorakan membahana, penonton duduk mendengarkan
lagu-lagu lain.
Saat membantu Lucy Gray latihan di Capitol, Coriolanus jadi tahu bahwa kaum
Pengembara memiliki banyak lagu dan musik yang beraneka ragam. Sesekali,
beberapa anggota ke belakang panggung, menghilang ke balik tirai selimut
sehingga di panggung hanya ada satu atau dua orang penampil. Tam Amber
terbukti hebat bermain mandolin, menarik perhatian penonton dengan
permainan jarinya yang cepat di dawai sementara wajahnya tetap tanpa ekspresi.
Maude Ivory, yang merupakan favorit penonton, menyanyikan lagu kelam yang
kocak tentang anak perempuan penambang yang tenggelam. Dia mengundang
penonton untuk ikut bernyanyi di bagian refrain. Yang mengejutkan, ternyata
banyak yang ikut bernyanyi. Mungkin tidak terlalu mengejutkan juga, mengingat
banyak penonton yang mabuk sekarang.
Oh, kasihku, oh kasihku,
Oh, kasihku, Clementine,
Kau menghilang dan pergi selamanya.
Turut menyesal, Clementine.
Beberapa lagu terdengar ngawur, dengan lirik yang tidak jelas maksudnya, dan
dia ingat Lucy Gray mengatakan lagu itu lagu lama. Pada lagu-lagu ini, lima
anggota band Pengembara bergantian tampil, bergerak berirama dan
menghasilkan harmoni dengan suara mereka. Coriolanus tidak peduli pada
lagunya; suara itu menggelisahkannya. Dia duduk sepanjang tiga lagu semacam itu
desyrindah.blogspot.com

hingga menyadari bahwa lagu mereka mengingatkannya pada lagu mockingjay.


Untungnya, kebanyakan lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu baru dan dia
lebih menyukai lagu-lagu baru itu, dan mereka menutup pertunjukan dengan lagu
yang pernah didengarnya pada hari pemungutan…
Tidak, Tuan.
Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup layak.
Ambil saja, kan kuberikan cuma-cuma. Tak ada ruginya buatku.
Tak satu pun yang bisa kaurenggut dariku cukup berharga untuk disimpan!
… ironinya tidak dipahami penonton. Capitol sudah berusaha merenggut
segalanya dari Lucy Gray, dan usaha mereka gagal.
Setelah tepuk tangan berhenti, Lucy Gray mengangguk pada Maude Ivory.
Gadis kecil itu berlari ke belakang tirai selimut dan muncul lagi membawa
keranjang anyam berhiaskan pita-pita cerah ceria.
“Terima kasih atas kebaikan kalian,” kata Lucy Gray. “Kalian semua tahu harus
berbuat apa. Kami tidak menentukan harga tiket, karena kadang-kadang orang
lapar yang paling butuh mendengarkan musik. Tapi kami juga bisa lapar. Jadi,
kalau kalian mau menyumbang, Maude Ivory akan berkeliling dengan
keranjangnya. Kami berterima kasih sekali.”
Empat Pengembara lain di panggung memainkan musik pelan sementara Maude
Ivory berkeliling di antara penonton, mengumpulkan koin di keranjangnya.
Berlima dengan teman-teman sekamarnya, Coriolanus hanya punya beberapa
keping koin, yang tampaknya tidak cukup banyak, meskipun Maude Ivory
berterima kasih pada mereka dengan sopan memberi hormat.
“Tunggu,” kata Coriolanus. “Kau suka makanan manis?” Dia membuka kertas
cokelat pembungkus berisi bola-bola popcorn terakhir mereka agar Maude Ivory
bisa mengintip isinya, dan mata gadis kecil itu membelalak gembira. Coriolanus
menaruh semua popcorn yang masih dimilikinya, karena bagaimanapun popcorn
desyrindah.blogspot.com

itu memang jatah untuk tiket. Mengenal Ma, dia tahu kiriman kue dan popcorn
sedang dalam perjalanan.
Maude Ivory memberi hormat berterima kasih dengan memutar tubuh, lalu
bergegas berlari menembus penonton ke arah panggung. Di panggung, dia
menarik rok Lucy Gray, memperlihatkan hadiah yang diperolehnya di keranjang.
Coriolanus bisa melihat bibir Lucy Gray membentuk ooh dan bertanya dari mana
Maude Ivory mendapatkannya. Coriolanus tahu inilah saatnya, dan dia melangkah
keluar dari kegelapan. Tubuhnya menegang penuh harap ketika Maude Ivory
mengangkat tangan dan menunjuknya. Apa yang akan dilakukan Lucy Gray?
Apakah gadis itu akan mengakui keberadaannya? Mengabaikannya? Apakah Lucy
Gray akan mengenalinya, menyadari bahwa dia menjadi Penjaga Perdamaian?
Mata Lucy Gray mengikuti arah jari Maude Ivory hingga tatapannya mendarat
ke Coriolanus. Kebingungan terlintas di wajahnya, lalu dia mengenalinya, dan
wajahnya terlihat gembira. Lucy Gray menggeleng tidak percaya lalu tertawa.
“Oke, oke, semuanya. Ini… malam ini mungkin malam terbaik dalam hidupku.
Terima kasih pada semuanya yang sudah hadir. Bagaimana kalau aku menyanyikan
satu lagu penutup? Kalian mungkin pernah mendengar lagu ini, tapi lagu ini
memiliki makna baru untukku di Capitol. Kurasa kalian bisa menebaknya.”
Coriolanus mundur kembali ke tempat duduknya Lucy Gray tahu di mana
mencarinya sekarang untuk mendengarkan dan menikmati pertemuan mereka,
yang hanya berjarak satu lagu. Mata Coriolanus berkaca-kaca saat gadis itu
menyanyikan lagu yang dinyanyikannya di kebun binatang.
Jauh di lembah, nun jauh di sana,
Di malam hari, dengarkan peluit kereta bergema.
Dengarkan, Sayang, peluit kereta bergema.
Di malam hari, dengarkan peluit kereta bergema.
Coriolanus merasa pinggangnya disikut dan menoleh melihat Sejanus
tersenyum berseri-seri ke arahnya. Menyenangkan rasanya mengetahui ada
desyrindah.blogspot.com

seseorang yang memahami makna lagu itu. Seseorang yang tahu apa yang sudah
mereka lalui bersama.
Buatkan istana untukku, buat istana yang tinggi,
Supaya aku bisa melihat cinta sejatiku pergi.
Melihatnya pergi, Sayang, melihatnya pergi.
Supaya aku bisa melihat cinta sejatiku pergi.
Aku orangnya, Coriolanus ingin memberitahu orang-orang di sekitarnya. Akulah
cinta sejatinya. Dan aku menyelamatkannya.
Tulis surat untukku, kirimkan padaku.
Masukkan ke amplop, kirimkan ke penjara Capitol.
Penjara Capitol, Sayang, ke penjara Capitol.
Masukan ke amplop, kirimkan ke penjara Capitol.
Apakah dia perlu menyapanya lebih dulu? Atau langsung menciumnya?
Mawar merah, Sayang; lembayung biru.
Burung-burung di angkasa tahu aku mencintaimu.
Cium. Langsung cium saja.
Tahu aku mencintaimu, oh, tahu aku mencintaimu,
Burung-burung di angkasa tahu aku mencintaimu.
“Selamat malam, semuanya. Semoga kita bisa berjumpa lagi minggu depan,
tetaplah menyanyikan lagumu,” kata Lucy Gray, dan kelompok pemusik
Pengembara memberi salam hormat perpisahan. Ketika penonton bertepuk
tangan, dia tersenyum pada Coriolanus. Coriolanus mulai melangkah
menghampirinya, berusaha melewati orang-orang yang sedang mengumpulkan
kursi-kursi ke tumpukan di pojok. Beberapa Penjaga Perdamaian berkumpul
mengelilingi Lucy Gray, dan gadis itu mengobrol dengan mereka, tapi Coriolanus
bisa melihat tatapan gadis itu ditujukan ke arahnya. Dia berhenti melangkah untuk
desyrindah.blogspot.com

memberi gadis itu waktu bagi dirinya sendiri dan agar dia bisa berlama-lama
memandang Lucy Gray, berbinar dan mencintainya.
Para Penjaga Perdamaian mengucapkan selamat malam padanya, berangsur-
angsur pulang. Coriolanus merapikan rambutnya dan bergerak maju. Jarak mereka
tinggal dua setengah meter ketika terjadi kegaduhan di Hob, bunyi kaca pecah dan
suara ribut-ribut protes, membuat Coriolanus menoleh ke asal keributan. Seorang
pemuda berambut gelap seumuran dengannya, mengenakan kaus tanpa lengan
dan celana yang robek di bagian lutut, mendorong kerumunan penonton yang
menipis. Wajahnya berkeringat, dan dari gerakannya terlihat dia sudah
kebanyakan minum alkohol. Di bahunya tersampir kotak alat musik dengan kibor
piano di satu sisi. Di belakangnya, putri sang wali kota, Mayfair, berjalan
mengikuti dan berusaha tidak menyenggol penonton, mulutnya terkatup jijik.
Coriolanus memalingkan pandangannya ke panggung, di sana ekspresi penuh
harap dari Lucy Gray berganti dengan tatapan dingin dan terpaku. Anggota band
lain bergerak mendekat melindunginya, keceriaan mereka saat pertunjukan tadi
kini berubah menjadi campuran kemarahan dan kesedihan.
Dia orangnya, pikir Coriolanus yakin, perutnya mulas. Dia pemuda yang
dicintainya dalam lagu itu.
desyrindah.blogspot.com
24

Maude Ivory menempatkan tubuh mungilnya tepat di depan Lucy Gray.


Wajahnya memberengut dan kedua tangannya terkepal membentuk tinju. “Pergi
kau dari sini, Billy Taupe. Tak ada satu orang pun yang ingin kau di sini.”
Tubuh Billy Taupe bergerak mengamati kelompok mereka. “Tidak ingin tapi
butuh, Maude Ivory.”
“Kami juga tidak butuh. Sana pergi. Bawa pergi juga gadis pengadu itu,” perintah
Maude Ivory. Lucy Gray memeluk gadis kecil itu dari belakang, menangkup
tangannya di dada Maude Ivory, antara ingin menenangkan atau menahannya.
“Kalian semua terdengar lemah. Kau terdengar lemah,” kata Billy Taupe dengan
suara tidak jelas, satu tangannya menepuk alat musiknya.
“Kami bisa melakukannya tanpamu, Billy Taupe. Kau sudah memilih. Sekarang
tinggalkan kami,” kata Barb Azure, suaranya yang tenang terdengar tegas. Tam
Amber tidak mengatakan apa-apa tapi mengangguk setuju.
Kepedihan terlintas di wajah Billy Taupe. “Kau juga merasa begitu, CC?”
Clerk Carmine memeluk biolanya makin erat.
Walaupun penampilan kaum Pengembara ini berbeda dalam warna kulit,
rambut, dan paras, Coriolanus melihat kemiripan antara Billy Taupe dan Clark
Carmine. Apakah mereka bersaudara?
“Kau bisa ikut denganku. Kita berdua akan baik baik-baik saja,” Billy Taupe
memohon. Tapi Clerk Carmine tetap bertahan. “Baiklah kalau begitu. Aku tidak
butuh kalian. Tidak pernah butuh kalian. Takkan pernah butuh. Selalu lebih baik
desyrindah.blogspot.com

sendirian.”
Beberapa Penjaga Perdamaian mulai mendekatinya. Pemuda yang memberi
Lucy Gray botol berisi minuman menyentuh lengan Billy Taupe. “Ayolah,
pertunjukan sudah berakhir.”
Billy Taupe menyentak lengannya dari sentuhan pemuda itu lalu mendorongnya
dalam gerakan orang mabuk. Seketika, suasana akrab di Hob berubah. Coriolanus
bisa merasakan ketegangan yang tajam menusuk. Penambang-penambang yang
tadinya mengabaikan pemuda itu atau menyadari kehadirannya kini seakan sudah
siap berkelahi. Para Penjaga Perdamaian sudah berdiri tegak, mendadak siaga, dan
Coriolanus juga otomatis waspada. Saat enam orang Penjaga Perdamaian bergerak
mendekati Billy Taupe, dia merasa para penambang juga bergerak maju.
Coriolanus bersiap-siap akan terlibat tawuran saat ada orang yang mencabut
sakelar lampu, sehingga Hob gelap total.
Seketika semuanya terdiam, lalu kekacauan pecah. Ada tinju yang menghantam
mulut Coriolanus, sehingga tinjunya juga balas beraksi. Dia berkelahi untuk
melerai, memusatkan perhatian untuk mengamankan sekelilingnya. Dia
merasakan naluri hewani serupa yang dialaminya saat para peserta memburunya
di arena. Suara
Dr. Gaul bergema di telinganya. “Itulah manusia dalam keadaan alamiah. Itulah
kemanusiaan yang dilucuti.” Dan sekarang inilah dia kembali dalam kondisi
kemanusiaan yang ditelanjangi, dan menjadi bagian kondisi itu. Memukul,
menendang, giginya mengatup dalam kegelapan.
Klakson terdengar berkali-kali di luar Hob, dan cahaya lampu depan truk
menyinari bagian pintu. Peluit ditiup, dan suara-suara berteriak membubarkan
keributan. Orang-orang berlari ke pintu keluar. Coriolanus berusaha menahan
gelombang warga, mencari Lucy Gray, tapi kemudian memutuskan bahwa
kemungkinan terbaik baginya menemukan gadis itu adalah di luar. Dia
mendorong dan mendesak di antara manusia-manusia lain, masih sambil
desyrindah.blogspot.com

memukul sesekali, sampai akhirnya bisa berada di luar Hob menghirup udara
malam. Di sana beberapa penduduk lokal juga berhasil melarikan diri. Penjaga
Perdamaian menangkap yang tersisa dan ogah-ogahan mengejar mereka yang
kabur. Kebanyakan Penjaga Perdamaian di sini tidak sedang bertugas, dan tidak
ada unit yang ditugasi khusus untuk menangani keributan mendadak ini. Dalam
kegelapan, tak ada yang tahu siapa melawan siapa. Lebih baik cari aman saja.
Namun, Coriolanus merasa ngeri; tidak seperti saat pelaksanaan hukuman
gantung, kali ini para penambang melawan mereka.
Sambil menggigit bibirnya yang pecah, Coriolanus berdiri mengawasi pintu
keluar, tapi setelah orang terakhir dari yang tersisa keluar, tidak tampak
keberadaan Lucy Gray, kaum Pengembara, bahkan Billy Taupe. Dia frustrasi
berada begitu dekat dengan Lucy Gray tapi tidak bisa bicara dengannya. Apakah
ada pintu keluar lain di Hob? Ya, dia ingat ada pintu di dekat panggung, yang pasti
jadi jalur mereka menyelinap keluar. Mayfair Lipp tidak seberuntung itu. Dia
berdiri diapit dua Penjaga Perdamaian, tidak ditahan tapi tidak bisa bebas pergi
juga.
“Aku tidak berbuat salah. Kalian tidak berhak menahanku,” dia membentak para
Penjaga Perdamaian.
“Maaf, Nona,” kata seorang Penjaga Perdamaian. “Demi keselamatan Anda, kami
tidak bisa mengizinkan Anda pulang sendiri. Pilihannya adalah kami mengawal
Anda pulang atau kami menghubungi ayah Anda untuk instruksi lebih lanjut.”
Mendengar mereka akan menghubungi ayahnya langsung membungkam
Mayfair, tapi gadis itu tetap banyak tingkah. Mayfair menahan amarah, bibirnya
terkatup rapat, tampak bahwa dia berniat membalas perlakuan ini, tunggu saja
waktunya.
Tampaknya tidak ada yang antusias mendapat tugas mengantarnya pulang,
sehingga Coriolanus dan Sejanus yang kebagian tugas tersebut, entah karena
mereka terlihat bertugas dengan baik saat pelaksanaan hukuman gantung atau
desyrindah.blogspot.com

karena mereka berdua tidak terlalu mabuk. Dua tentara dan tiga Penjaga
Perdamaian lain ikut menemani. “Sudah larut, dengan cuaca seperti ini lebih baik
dari cari aman saja,” kata salah satu tentara. “Tempatnya tidak terlalu jauh.”
Saat mereka menyusuri jalanan, sepatu bot mereka menggerus pasir, Coriolanus
menyipitkan mata melihat dalam kegelapan. Lampu-lampu jalanan menerangi
Capitol, tapi di sini mereka harus berharap pada cahaya yang sesekali berkedip
dari jendela-jendela rumah dan cahaya bulan yang pucat. Tanpa senjata, tanpa
perlindungan seragam putihnya, Coriolanus merasa rentan dan berjalan dekat-
dekat yang lain. Semoga tentara-tentara ini punya senjata, agar bisa mengamankan
mereka dari serangan. Dia ingat petuah Grandma’am. “Ayahmu sering berkata
orang-orang itu hanya minum air karena tidak ada hujan darah. Jangan lupa itu demi
kebaikanmu sendiri, Coriolanus.” Apakah mereka ada di sini sekarang, mengawasi
dan menunggu kesempatan untuk memuaskan dahaga mereka? Coriolanus rindu
rasa aman berada di pangkalan.
Untungnya tidak terlalu jauh, jalanan mengarah ke lapangan terbuka, yang
disadari Coriolanus sebagai lokasi hari pemungutan. Beberapa lampu sorot
membantunya melihat batu-batuan besar yang ada di jalan.
“Aku bisa pulang sendiri dari sini,” kata Mayfair.
“Kami tidak terburu-buru,” kata salah satu tentara.
“Kenapa kalian tidak mau membiarkanku sendiri?” bentak
Mayfair.
“Kenapa kau tidak berhenti bergaul dengan pemuda tak berguna itu?” kata salah
satu tentara itu. “Percayalah, hubungan itu takkan berakhir baik.”
“Halah, urus hidup kalian sendiri,” sahutnya.
Mereka menyeberangi lapangan, meninggalkan alun-alun, dan menyusuri jalan
beraspal ke seberang jalan. Rombongan itu berhenti di depan rumah besar yang
mungkin termasuk mansion di Distrik 12 tapi tidak luar biasa di Capitol. Di balik
jendela yang terbentang, membuka lebar pada bulan Agustus yang panas,
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus bisa melihat sekilas ruangan terang, bermebel, dengan kipas angin lis-
trik meniup-niup tirai. Hidungnya mencium aroma makan malam daging ham,
pikirnya liurnya menetes sedikit dan membuatnya merasakan darah di bibirnya.
Untung juga dia tidak bertemu Lucy Gray; bibirnya tidak kondusif untuk
berciuman.
Saat salah satu tentara memegang pagar, Mayfair mendorongnya, berjalan ke
jalan masuk, dan menyelinap ke dalam rumah.
“Apakah kita perlu memberitahu orangtuanya?” tanya tentara yang lain.
“Untuk apa?” kata tentara pertama. “Kau tahu bagaimana sang walikota. Dia
yang keluyuran pada malam hari, tapi kita yang akan disalahkan. Aku malas
diceramahi.”
Tentara yang lain bergumam sependapat, dan rombongan itu kembali
menyeberangi lapangan. Saat Coriolanus mengikuti rombongan, terdengar bunyi
dengung pelan, lalu dia menoleh ke arah semak-semak di samping rumah. Dia bisa
melihat sosok yang berdiri tak bergerak dalam kegelapan, menyandarkan
punggungnya pada dinding. Lampu di lantai dua menyala, dan cahaya kuning
menyinari sampai ke bawah memperjelas sosok itu, Billy Taupe, hidungnya
berdarah dan melotot ke arah Coriolanus. Dia memeluk alat musiknya, yang
menjadi sumber bunyi dengungan itu.
Coriolanus hendak membuka mulut untuk memberitahu yang lain, tapi lidah
kelu. Apa yang terjadi? Ketakutan? Ketidakpedulian? Tidak bisa menduga apa
reaksi Lucy Gray? Band Pengembara sudah menegaskan posisi mereka sebagai
musuh, namun dia tidak tahu apa reaksi mereka jika Coriolanus mengadukan Billy
Taupe, bahkan mungkin membuatnya masuk penjara. Bagaimana jika aduannya
malah membuat orang bersimpati pada Billy Taupe, membuat pemuda itu
dimaa an dan dielu-elukan? Dia bisa melihat kesetiaan kaum Pengembara sangat
kuat. Namun, barangkali mereka justru menyambutnya? Terutama Lucy Gray,
yang mungkin tertarik untuk tahu bahwa mantannya ke rumah putri walikota
desyrindah.blogspot.com

untuk mencari penghiburan. Apa yang telah dilakukan pemuda itu hingga dia
diasingkan dari kaum Pengembara, band, dan rumahnya? Coriolanus teringat
pada bagian terakhir dari lirik lagu Lucy Gray, balada yang dinyanyikannya saat
wawancara.
Sayangnya kau kalah saat memasang taruhan pada diriku di hari pemungutan.
Nah, apa yang akan kaulakukan saat tiba waktuku di liang kubur?
Pasti jawabannya ada di sana.
Mayfair tampak di jendela lalu dia menutup jendelanya. Kemudian menarik tirai
sehingga menghalangi cahaya, dan Billy Taupe tak kelihatan lagi. Semak-semak
bergemeresik, Coriolanus pun kehilangan kesempatannya.
“Coryo?” Sejanus menghampirinya. “Kau ikut?”
“Maaf, tadi aku melamun,” kata Coriolanus.
Sejanus mengangguk ke arah rumah walikota. “Tempat itu mengingatkanku
pada Capitol.”
“Maksudmu rumah,” Coriolanus mengoreksi.
“Bukan. Bagiku, rumah selalu ada di Distrik Dua,” Sejanus menegaskan. “Tapi
tidak penting lagi. Aku mungkin takkan pernah melihat dua tempat itu lagi.”
Saat mereka berjalan pulang, Coriolanus berpikir tentang kemungkinan dirinya
bisa melihat Capitol lagi. Sebelum Sejanus datang, dia pikir kemungkinannya nol.
Tapi kalau dia bisa kembali sebagai pegawai negeri, atau bahkan sebagai pahlawan
perang, keadaan mungkin bakal berbeda. Tentu saja, dia butuh perang untuk bisa
menunjukkan kemampuan diri, sama seperti Sejanus butuh perang untuk latihan
sebagai petugas medis.
Ketegangan Coriolanus reda saat gerbang pangkalan tertutup setelah mereka
masuk. Dia membasuh wajahnya dan memanjat naik ke ranjangnya di atas
Beanpole yang mengorok teler. Bibirnya yang bengkak berdenyut seirama debaran
jantungnya ketika membayangkan kejadian malam itu. Rasanya seperti mimpi
desyrindah.blogspot.com

melihat Lucy Gray, mendengarnya bernyanyi, kegembiraan yang terpancar saat


gadis itu melihatnya sampai Billy Taupe datang dan merusak pertemuan
mereka. Itu satu lagi alasan untuk membenci Billy Taupe, meskipun dia puas saat
melihat kaum Pengembara menolak kehadirannya. Hal itu membuktikan Lucy
Gray memang miliknya.
Sarapan pada hari Minggu pagi membawa kabar buruk, karena pertengkaran
yang terjadi pada malam sebelumnya, tak ada seorang tentara pun yang boleh
meninggalkan pangkalan sendirian. Para panglima bahkan mempertimbangkan
untuk melarang Penjaga Perdamaian ke Hob. Smiley, Bug, dan Beanpole,
walaupun masih teler dan memar akibat kejadian malam sebelumnya, masih
sempat meratapi keadaan karena tak ada lagi yang dinantikan kalau mereka tidak
boleh ke mana-mana pada hari Sabtu. Sejanus ikut peduli hanya karena
Coriolanus peduli, menyadari bahwa ini salah satu penghalang untuk bertemu
Lucy Gray.
“Mungkin dia bisa mengunjungimu kemari?” kata Sejanus saat mereka
membersihkan nampan.
“Dia boleh kemari?” tanya Coriolanus, tapi kemudian dia berharap gadis itu
takkan datang, walaupun diperbolehkan. Coriolanus tidak punya banyak waktu
luang, lagi pula di mana mereka bisa bicara? Lewat pagar? Apa anggapan orang-
orang yang melihatnya? Dia teringat kemesraan yang hampir terjadi malam
sebelumnya, saat dia berencana menyambut Lucy Gray dengan ciuman di depan
umum, tapi jika diingat lagi, hal itu akan menimbulkan rentetan pertanyaan dari
teman-teman sekamarnya, dan pasti akan membuat para perwira curiga. Sejarah
mereka, alasan mengapa dia terpaksa menjadi Penjaga Perdamaian, termasuk
kecurangannya di Hunger Games, akan terungkap. Selain itu, mengingat masalah
antara penduduk lokal dengan Penjaga Perdamaian rasanya lebih baik dia
merahasiakan hubungannya dengan Lucy Gray. Berbisik-bisik di pagar hanya akan
menimbulkan gosip bahwa dia adalah simpatisan pemberontak, atau gawatnya
lagi, dia adalah mata-mata. Jika mereka hendak bertemu, dia yang harus
desyrindah.blogspot.com

mendatangi Lucy Gray. Diam-diam. Hari ini dia punya kesempatan langka untuk
mencari gadis itu, tapi dia butuh pendamping agar bisa meninggalkan pangkalan.
“Menurutku sebaiknya hubungan kami tetap jadi rahasia. Lucy Gray bisa kena
masalah kalau datang kemari. Sejanus, kau ada rencana apa hari…” Coriolanus
mulai bicara.
“Dia tinggal di tempat bernama Seam,” potong Sejanus. “Di dekat hutan.”
“Apa?” tanya Coriolanus.
“Aku bertanya pada salah seorang penambang tadi malam. Sambil lalu.” Sejanus
tersenyum. “Jangan kuatir, dia terlalu mabuk untuk ingat. Dan ya, dengan senang
hati aku akan menemanimu.”
Sejanus memberitahu teman-temannya bahwa mereka akan ke kota untuk
melihat apakah mereka bisa membarter permen karet Capitol dengan kertas surat,
tapi mereka tak perlu mencari-cari
alasan lain, karena teman-teman sekamar mereka langsung kembali tidur sehabis
sarapan. Coriolanus berharap dia punya uang untuk membeli hadiah atau
semacamnya, tapi sepeser pun dia tak punya. Ketika melewati ruang makan, dia
melihat mesin es, dan dia punya ide. Dalam cuaca panas terik begini, para tentara
diizinkan mengambil es sebanyak yang mereka mau untuk minum atau
menyejukkan diri. Menggosokkan bongkah-bongkah es ke tubuh memberikan
kenyamanan di dapur yang panas.
Karena ketelatenan Coriolanus mencuci piring, Cookie kini baik padanya, dan
pria tua itu memberinya kantong plastik bekas. Karena cuaca panas, dia setuju
Coriolanus membawa es dalam perjalanannya untuk menghindari serangan panas.
Coriolanus tidak tahu apakah kaum Pengembara punya kulkas, tapi dari tampilan
rumah-rumah yang dilewatinya saat dalam perjalanan menuju hukuman gantung,
sepertinya kulkas adalah kemewahan yang hanya bisa dimiliki segelintir orang.
Lagi pula es ini gratis, dan dia tidak mau datang dengan tangan kosong.
Mereka melapor untuk keluar di gerbang, dan penjaga yang bertugas
desyrindah.blogspot.com

memperingatkan agar berhati-hati, lalu mereka berjalan ke arah yang mereka ingat
menuju alun-alun kota. Coriolanus gelisah. Karena tambang ditutup sehari,
suasana sunyi meliputi distrik. Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka
tampak tidak acuh. Hanya ada satu toko roti kecil yang buka di alun-alun kota,
pintunya dibuka lebar agar angin bisa masuk untuk meredakan panas oven.
Pemilik toko roti itu, wanita dengan wajah merah padam, tampaknya tidak terlalu
mau meladeni mereka yang cuma bertanya dan tidak membeli rotinya. Ketika
Sejanus membarter permen karet mahalnya dengan sebongkah roti, wanita itu
langsung melunak, membawa mereka ke alun-alun dan menunjukkan arah jalan
menuju Seam.
Seam terbentang beberapa kilometer di luar pusat kota, jalan-jalan biasa
berubah menjadi jalur-jalur kecil yang berakhir menjadi jalan buntu tanpa alasan
jelas. Beberapa rumah berderet di sisi jalan; sementara beberapa rumah dibangun
seadanya yang cuma pantas disebut gubuk. Banyak rumah yang cuma ditopang,
diplester, atau rusak hingga rangka rumahnya pun sudah hancur. Banyak pula
rumah yang ditinggalkan dan diambil puing-puingnya yang masih berharga.
Tidak adanya rambu dan petunjuk jalan membuat Coriolanus panik, dan
kegelisahannya muncul lagi. Sesekali mereka melewati orang yang sedang duduk
di serambi atau di bawah naungan atap rumah. Tak ada satu pun dari mereka yang
bertampang ramah. Satu-
satunya makhluk yang ramah adalah agas, yang terus-menerus mendekati bibirnya
yang luka sehingga Coriolanus harus menggusahnya. Matahari bersinar terik,
lelehan air es di kantong plastik membasahi celananya. Semangat Coriolanus juga
ikut meleleh. Mabuk kepayang yang dirasakannya tadi malam di Hob, berpadu de-
ngan alkohol dan kerinduan, serasa seperti mimpi sekarang. “Mungkin ini ide yang
buruk.”
“Yang benar?” tanya Sejanus. “Aku yakin kita berjalan ke arah yang benar. Lihat
pepohonan di sana?”
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus melihat semak hijau di kejauhan. Dia berjalan sambil memikirkan


nikmatnya kasur dan mengingat hari Minggu berarti sosis goreng dan kentang.
Mungkin dia tidak cocok punya pacar. Mungkin hatinya lebih pantas kesepian.
Coriolanus Snow, hidup kesepian tanpa cinta. Berbeda dengan Billy Taupe, dia
terlihat penuh perasaan. Apakah pemuda seperti itu yang didambakan Lucy Gray?
Penuh hasrat, musik, minuman keras, cahaya bulan, dan pemuda liar yang
memiliki itu semua? Bukan Penjaga Perdamaian bercucuran keringat yang muncul
di depan pintu rumahnya pada hari Minggu pagi dengan bibir pecah dan
sekantong es meleleh.
Dia membiarkan Sejanus berjalan di depan, mengikuti langkahnya di jalan yang
diselimuti sisa abu arang tanpa banyak bicara. Pada akhirnya Sejanus akan lelah
dan mereka bisa kembali ke pangkalan lalu lanjut menyelesaikan menulis surat.
Sejanus, Tigris, teman-temannya, dan sekolahnya salah besar tentang dirinya. Dia
tak pernah termotivasi oleh cinta atau ambisi, hanya keinginan untuk
mendapatkan hadiah lalu bekerja sebagai birokrat di belakang meja, tenang dan
tanpa banyak masalah, lalu punya banyak waktu untuk menghadiri pesta-pesta
minum teh. Pengecut dan… apa kata Dekan Highbo om tentang ibunya? Oh, ya,
hambar. Hambar, seperti ibunya. Betapa kecewanya seorang Crassus Xanthos
Snow pada putranya.
“Dengar,” kata Sejanus, menarik lengan Coriolanus.
Coriolanus berhenti melangkah dan mengangkat kepalanya. Suara bernada
tinggi memecahkan udara pagi dengan nada melankolia. Maude Ivory? Mereka
mencari asal suara itu. Di ujung jalan Seam ada rumah kayu kecil yang miring
aneh, seperti pohon yang kena terpaan angin kencang. Jalan berdebu di halaman
depan tampak tak terurus, jadi mereka berjalan sambil berusaha tidak menginjak
bunga-bunga liar, yang sejak mekar sampai busuk dibiarkan tanpa diurus. Saat
sampai ke bagian belakang rumah, mereka mendapati Maude Ivory duduk di
serambi yang dibuat asal-asalan mengenakan pakaian yang kebesaran dua nomor.
desyrindah.blogspot.com

Dia sedang memecahkan kacang dengan batu di tanah yang berabu arang sambil
mengikuti lagu.
“Oh, kasihku” krak “oh kasihku” krak “Oh, kasihku, Clementine!”
krak. Dia mendongak dan tersenyum ketika melihat Coriolanus dan Sejanus. “Aku
kenal kau!” Dia membersihkan sisa-
sisa kulit kacang dari roknya lalu berlari ke dalam rumah.
Coriolanus menyeka wajahnya dengan lengan kemejanya, berharap bibirnya
tidak kelihatan terlalu parah saat Lucy Gray muncul. Tapi Maude Ivory malah
muncul bersama Barb Azure yang masih mengantuk, dengan rambut yang
dikepang buru-buru. Sama seperti Maude Ivory, dia mengganti kostumnya dengan
pakaian yang biasa dikenakan orang di Distrik 12. “Selamat pagi,” katanya. “Kau
mencari Lucy Gray?”
“Dia temannya dari Capitol,” Maude Ivory mengingatkannya. “Orang yang
memperkenalkannya di televisi, cuma dia sekarang hampir botak. Dia memberiku
popcorn.”
“Kami menikmati makanan itu dan menghargai semua yang kaulakukan untuk
Lucy Gray,” kata Barb Azure. “Kurasa kau bisa menemukannya di Padang
Rumput. Dia biasanya ke sana pagi-pagi untuk bekerja, agar tidak mengganggu
tetangga.”
“Akan kutunjukkan. Ayo!” Maude Ivory melompat dari beranda dan
menggandeng tangan Coriolanus seakan mereka teman lama. “Lewat sini.”
Tak punya adik atau keluarga lain membuat Coriolanus tidak berpengalaman
dengan anak-anak, tapi dia merasa istimewa dengan cara Maude Ivory menempel
padanya serta tangan mungil yang menggenggam tangannya penuh rasa percaya.
“Jadi, kau melihatku di televisi?”
“Cuma satu malam. Gambar di televisi jelas dan Tam Amber menggunakan
banyak kertas perak. Biasanya hanya ada gambar statis di layar, tapi TV bisa
ditonton melihat acara istimewa,” Maude Ivory menjelaskan. “Seringnya tidak ada
desyrindah.blogspot.com

yang bisa dilihat. Lagi pula, biasanya hanya ada berita lama yang membosankan.”
Dr. Gaul bisa mengoceh panjang lebar tentang melibatkan masyarakat dalam
Hunger Games, tapi kalau hampir semua orang di distrik tidak punya televisi,
pengaruhnya hanya sejauh hari pemungutan ketika semua orang berkumpul di
depan umum.
Saat mereka berjalan memasuki hutan, Maude Ivory berceloteh tentang
pertunjukan tadi malam dan perkelahian yang terjadi. “Maaf, kau jadi kena pukul,”
katanya, menunjuk bibir Coriolanus. “Yah, Billy Taupe memang begitu. Ke mana
pun dia pergi, masalah mengikutinya.”
“Apakah dia kakakmu?” tanya Sejanus.
“Oh, tidak, dia keluarga Clade. Dia dan Clark Carmine adalah kakak-beradik.
Kami semua sepupu keluarga Baird. Maksudnya, semua yang wanita. Dan Tam
Amber tidak punya siapa-siapa,” kata Maude Ivory terus terang.
Jadi Lucy Gray bukan satu-satunya yang memiliki cara bicara tidak lazim. Ini
pasti ciri khas Pengembara. “Tidak punya siapa-siapa?” tanya Coriolanus.
“Ya. Kaum Pengembara menemukan Tam Amber saat dia masih bayi. Ada yang
meninggalkannya di kotak kardus di tepi jalan, jadi dia milik kami. Mereka yang
rugi, karena dia pemusik hebat,” kata Maude Ivory. “Tapi dia tidak banyak bicara.
Apakah itu es?”
Coriolanus mengayunkan bongkahan es yang sudah mencair. “Sisanya.”
“Oh, Lucy Gray akan menyukainya. Kami punya kulkas, tapi pendinginnya
sudah lama rusak,” kata Maude Ivory. “Rasanya mewah punya es pada musim
panas. Seperti bunga pada musim dingin. Langka.”
Coriolanus setuju. “Nenekku menanam bunga mawar pada musim dingin.
Orang-orang meributkannya.”
“Lucy Gray bilang baumu seperti mawar,” kata Maude Ivory. “Apakah rumahmu
penuh dengan mawar?”
“Nenekku menanamnya di atap,” Coriolanus memberitahunya.
desyrindah.blogspot.com

“Di atap?” Maude Ivory terkikik. “Tempat yang konyol untuk menanam bunga.
Apakah bunganya tidak meluncur jatuh?”
“Atapnya datar, tempatnya juga tinggi. Kena banyak sinar matahari,” kata
Coriolanus. “Kau bisa melihat seluruh Capitol dari sana.”
“Lucy Gray tidak suka Capitol. Mereka berusaha membunuhnya,” kata Maude
Ivory.
“Ya,” kata Coriolanus sependapat. “Bukan tempat yang menyenangkan
untuknya.”
“Dia bilang kau satu-satunya hal baik dari sana, dan sekarang kau ada di sini.”
Maude Ivory menarik tangannya. “Kau akan tinggal di sini, kan?”
“Rencananya begitu,” kata Coriolanus.
“Aku senang. Aku menyukaimu, dan itu akan membuatnya bahagia,” kata Maude
Ivory.
Mereka bertiga tiba di padang luas yang terus menuju hutan. Tidak seperti
hamparan rumput liar di depan pohon gantung, padang rumput ini bersih dengan
rumput-rumput tinggi dan bunga-bunga liar yang cerah. “Itu dia di sana, bersama
Shamus.” Maude Ivory menunjuk sosok yang duduk sendirian di batu.
Mengenakan gaun yang sesuai namanya abu-abu Lucy Gray duduk
membelakangi mereka, kepalanya menunduk di atas gitar.
Shamus? Siapa Shamus? Anggota Pengembara lain? Atau apakah dia salah
menerka peran Billy Taupe dalam hidup gadis itu, dan Shamus adalah kekasihnya?
Coriolanus menaruh tangan di atas kedua matanya, untuk menghalangi cahaya
matahari tapi dia hanya bisa melihat sosok gadis itu.
“Shamus?”
“Dia kambing kami. Jangan tertipu dengan nama jantannya; kambing betina itu
bisa memberi kami segalon susu sehari saat dia segar,” kata Maude Ivory. “Kami
berusaha membuat mentega dari susu, tapi butuh waktu lama sekali.”
“Oh, aku suka mentega,” kata Sejanus. “Aku jadi ingat, aku lupa memberimu roti
desyrindah.blogspot.com

ini. Kau sudah sarapan?”


“Sebenarnya, belum,” kata Maude Ivory, memandang roti itu dengan penuh
minat.
Sejanus menyerahkan roti pada gadis kecil itu. “Bagaimana kalau kita kembali ke
rumah dan makan roti ini?”
Maude Ivory mengepit rotinya. “Bagaimana dengan Lucy Gray dengan orang
yang satu ini?” dia bertanya sambil mengangguk pada Coriolanus.
“Mereka bisa bergabung dengan kita setelah bertemu,” kata Sejanus.
“Oke,” gadis kecil itu setuju, lalu ganti menggandeng Sejanus. “Barb Azure
mungkin akan menyuruh kita menunggu mereka. Kau bisa membantuku
memecahkan kacang lebih dulu, kalau kau mau. Kacangnya sisa tahun lalu, tapi
tak ada yang sakit memakannya.”
“Itu ajakan terbaik yang kuterima setelah sekian lama.” Sejanus menoleh ke arah
Coriolanus. “Kita akan bertemu lagi nanti ya?”
Coriolanus merasa sadar diri. “Aku kelihatan oke, tidak?”
“Ganteng. Percayalah padaku, bibir itu cocok untuk tampilan tentara,” kata
Sejanus, lalu dia berjalan kembali ke rumah bersama Maude Ivory.
Coriolanus menyugar rambutnya dan melangkah ke Padang Rumput. Dia tidak
pernah berjalan di rerumputan setinggi itu, dan sensasinya menggelitik ujung-
ujung jarinya. Ini melampaui apa yang dia harapkan, bisa bertemu dengan Lucy
Gray berduaan saja di taman penuh bunga, sementara hari masih pagi. Kebalikan
dari pertemuan sesaat di Hob yang kotor. Ini bisa dibilang pertemuan yang… ro-
mantis. Dia bergerak sepelan mungkin. Gadis itu membuatnya terpesona, dan dia
menikmati kesempatan mengamati gadis itu tanpa harus menahan diri dengan
menjaga jarak.
Saat mendekat, dia mendengar lagu yang dinyanyikannya sambil memetik gitar.
Apakah kau
desyrindah.blogspot.com

Akan datang ke pohon


Tempat mereka menggantung pria yang mereka bilang membunuh tiga orang?
Hal-hal aneh terjadi di sini
Kita takkan jadi orang asing,
Jika bertemu tengah malam di pohon gantung.
Coriolanus tidak mengenali lagu itu, tapi dia teringat pada hukuman gantung
pada pemberontak dua hari sebelumnya. Apakah Lucy Gray ada di sana? Apakah
lagu ini terinspirasi dari kejadian itu?
Apakah kau
Akan datang ke pohon
Tempat pria yang mati itu mengajak kekasihnya kabur?
Hal-hal aneh terjadi di sini
Kita takkan jadi orang asing,
Jika bertemu tengah malam di pohon gantung.
Ah, ya. Ini memang tentang hukuman gantung Arlo, karena di mana lagi pria
yang mati bisa mengajak kekasihnya kabur? “Lari! Lari, Lil La…!” Butuh burung-
burung tidak normal seperti mocking jay untuk meneriakkan ajakan seperti itu.
Tapi siapa yang diajaknya bertemu di pohon itu? Apakah dirinya? Mungkinkah
dirinya? Mungkinkah Lucy Gray berencana menyanyikannya Sabtu depan sebagai
pesan rahasia untuk mengajaknya bertemu pada tengah malam di pohon gantung?
Bukan berarti dia bisa, karena dia takkan pernah diizinkan keluar dari pangkalan
selarut itu. Tapi barangkali Lucy Gray tidak mengetahuinya.
Lucy Gray kini bersenandung, mencoba kunci nada berbeda agar sesuai dengan
melodinya, sementara Coriolanus mengagumi lekuk leher gadis itu dan
kemulusan kulitnya. Saat dia makin dekat, kakinya menginjak dahan tua yang
langsung patah dengan bunyi keras. Lucy Gray melompat berdiri dari batu,
tubuhnya langsung berbalik, matanya membelalak ketakutan dan dia mengangkat
gitar seakan untuk menangkis pukulan. Sejenak, Coriolanus mengira gadis itu
desyrindah.blogspot.com

akan kabur, tapi keterkejutannya berubah jadi kelegaan saat dia melihat
Coriolanus. Lucy Gray menggeleng, terlihat malu dan memeluk gitarnya sambil
bersandar di batu. “Maaf. Naluriku masih tersisa dari arena.”
Jika masa singkatnya di arena Hunger Games membuat Coriolanus gelisah dan
dihantui mimpi buruk, dia tak bisa membayangkan apa yang dirasakan Lucy Gray.
Sebulan terakhir ini hidup mereka jungkir balik dan mengubah diri mereka
selamanya. Sedih sebenarnya, karena mereka berdua adalah orang yang luar biasa
tapi mendapat perlakuan amat kejam dari dunia.
“Ya, memang menyisakan kesan buruk,” kata Coriolanus. Mereka berdiri
berpandangan, saling menikmati keberadaan satu sama lain sebelum mereka
bergerak bersama-sama. Kantong es terlepas dari tangannya ketika Lucy Gray
memeluknya, melelehkan tubuhnya ke tubuh Coriolanus. Dia balas memeluknya,
teringat betapa takutnya dia akan kehilangan Lucy Gray, juga takut pada apa yang
menimpanya, dan betapa dia tidak berani membayangkan momen seperti ini bisa
terjadi. Tapi mereka ada di sini, aman di padang rumput yang indah. Ribuan
kilometeter dari arena. Mereka berpelukan begitu erat hingga cahaya pun tak bisa
menyelinap di antara mereka.
“Kau menemukanku,” katanya.
Di Distrik 12? Di Panem? Di dunia ini? Tak penting lagi. “Kau tahu aku pasti
akan menemukanmu.”
“Aku berharap. Tapi entahlah. Keberuntungan sepertinya tidak berpihak
padaku.” Lucy Gray mundur sedikit untuk membebaskan satu tangannya dan
mengusap bibir Coriolanus yang luka dengan jemarinya. Dia bisa merasakan
jemari Lucy Gray yang kapalan karena sering memetik gitar serta kelembutan
kulitnya saat memeriksa luka akibat perkelahian tadi malam. Lalu, dengan sedikit
malu-malu, Lucy Gray menciumnya, membuat tubuh Coriolanus seperti
tersetrum. Mengabaikan rasa sakit di bibirnya, Coriolanus membalas ciuman itu,
penuh damba dan rasa penasaran, sekujur tubuhnya bergelora. Dia menciumnya
desyrindah.blogspot.com

sampai bibirnya mulai berdarah lagi, dan akan terus menciumnya kalau gadis itu
tidak melepaskan diri.
“Sini,” kata Lucy Gray. “Duduk di tempat teduh.”
Sisa es terinjak olehnya, dan dia mengambilnya. “Untukmu.”
“Wah, terima kasih.” Lucy Gray menariknya duduk di batu. Dia mengambil
kantong plastik berisi es itu, menggigit ujung plastik untuk membuat lubang kecil
lalu mengangkat plastik dan membiarkan air es yang meleleh itu menetes ke
mulutnya. “Ah. Ini pasti satu-satunya benda dingin di bulan November.”
Tangannya meremas kantong plastik, menyemprotkan air ke wajahnya. “Rasanya
menyenangkan. Mundur...” Coriolanus mendongak dan merasakan air
menyemprot ke bibirnya, lalu dia menjilat bibir dan mereka kembali berciuman
lama. Kemudian Lucy Gray mengangkat kedua lututnya dan berkata, “Jadi, apa
yang dilakukan Coriolanus Snow di padang rumputku?”
Apa yang dilakukannya? “Hanya menghabiskan waktu bersama gadisku,”
jawabnya.
“Sulit kupercaya.” Lucy Gray memandangi Padang Rumput. “Segala yang terjadi
setelah hari pemungutan terasa tidak nyata. Dan Hunger Games seperti mimpi
buruk.”
“Aku juga merasa begitu,” kata Coriolanus. “Tapi aku ingin mendengar apa yang
terjadi padamu. Di luar sorotan kamera.”
Mereka duduk bersisian; bahu, rusuk, pinggang mereka berdempet, kedua
tangan mereka bertaut, saling bertukar cerita sambil berbagi air es. Lucy Gray
memulai cerita dengan hari-hari pertama di arena, bersembunyi bersama Jessup
yang menggila. “Kami berpindah-pindah tempat di terowongan. Di sana seperti
labirin. Jessup yang malang semakin sakit seiring waktu. Malam pertama itu, kami
tidur dekat pintu masuk. Kau yang datang, bukan? Yang datang memindahkan
Marcus?”
“Aku dan Sejanus. Dia menyelinap masuk untuk… aku tidak tahu apa tujuannya,
desyrindah.blogspot.com

mungkin ingin menyatakan pendapat. Mereka mengirimku untuk membawanya


keluar,” Coriolanus menjelaskan.
“Apakah kau yang membunuh Bobbin?” tanya Lucy Gray perlahan.
Coriolanus mengangguk. “Tidak ada pilihan lain. Dan tiga peserta lainnya juga
mencoba membunuhku.”
Wajah Lucy Gray berubah kelam. “Aku tahu. Aku bisa mendengar omongan
mereka setelah kembali dari pintu putar. Kupikir kau sudah tewas. Aku takut
kehilanganmu. Aku cemas setengah mati sampai akhirnya kau mengirimkan air
minum.”
“Seperti itulah yang kurasakan selama kau di arena,” kata Coriolanus. “Hanya
kau yang kupikirkan sepanjang waktu.”
“Aku juga.” Lucy Gray menekuk jemarinya. “Aku menggenggam kotak bedak itu
erat-erat sampai bunga mawar di kotaknya tertera di telapak tanganku.”
Coriolanus menggenggam tangan Lucy Gray lalu mencium telapak tangannya.
“Aku sangat ingin membantumu, dan aku merasa tak berguna.”
Lucy Gray mengelus pipi Coriolanus. “Oh, tidak. Aku bisa merasakan kau
menjagaku. Dengan mengirimkan air dan makanan, dan percayalah padaku,
membunuh Bobbin itu sangat besar pengaruhnya, meskipun aku tahu pasti
mengerikan buatmu. Yang pasti aku merasa begitu.” Lucy Gray mengakui dia
membunuh tiga orang.
Pertama-tama Wovey, walaupun bukan sasaran utamanya. Dia hanya menaruh
botol air yang masih tersisa dicampur sedikit bubuk racun seakan-akan botol itu
tak sengaja terjatuh di terowongan, dan kebetulan Wovey yang menemukan botol
itu. “Aku mengincar
Coral.” Dia mengatakan bahwa Reaper, yang minum dari genangan air yang sudah
diracuninya, sudah tertular rabies saat Jessup meludahi matanya di kebun
binatang. “Jadi itu sebenarnya pembunuhan demi belas kasihan. Aku
membantunya agar tidak mengalami apa yang dialami Jessup. Sedangkan
desyrindah.blogspot.com

membunuh Treech dengan ular berbisa adalah tindakan membela diri. Aku masih
tidak mengerti kenapa ular-ular itu menyukaiku. Aku tidak percaya gara-gara nya-
nyianku. Ular tidak bisa mendengar dengan baik.”
Akhirnya Coriolanus memberitahunya. Tentang lab, Clemensia, dan rencana Dr.
Gaul untuk melepas ular di arena, dan bagaimana dia diam-diam menjatuhkan
saputangannya, tepatnya saputangan ayahnya, ke kotak kaca berisi ular, agar
mereka mengenali aroma Lucy Gray. “Tapi mereka menemukan saputangan itu,
penuh jejak DNA kita berdua.”
“Dan itu sebabnya kau di sini? Bukan karena racun tikus di dalam kotak bedak?”
tanyanya.
“Ya,” kata Coriolanus. “Kau melindungiku dengan baik soal kotak bedak itu.”
“Aku berusaha sebaik mungkin.” Lucy Gray merenung. “Jadi aku
menyelamatkanmu dari api, dan kau menyelamatkanku dari ular. Kita
bertanggung jawab atas hidup satu sama lain sekarang.”
“Benarkah?” tanya Coriolanus.
“Tentu saja,” jawab Lucy Gray. “Kau milikku dan aku milikmu. Ini sudah takdir.”
“Kita tidak bisa menghindari takdir.” Coriolanus mendekat dan menciumnya
lagi, mabuk oleh kebahagiaan, karena meskipun dia tidak percaya takdir gadis itu
memercayainya, dan itu cukup untuk menjamin kesetiaannya. Bukan berarti
kesetiaan dirinya dipertanyakan. Kalau dia tidak bisa jatuh cinta dengan gadis-
gadis di Capitol, kecil kemungkinan gadis-gadis Distrik 12 membuatnya tergoda.
Sensasi aneh di lehernya membuatnya menoleh, dan dia melihat Shamus sedang
menjilati kerahnya. “Oh, halo. Ada yang bisa kubantu, Bu?”
Lucy Gray tertawa. “Kebetulan kau bisa membantu, kalau kau tidak keberatan.
Susunya perlu diperah.”
“Memerah susu. Aku tidak tahu bagaimana caranya,” kata Coriolanus.
“Dengan ember. Ada di rumah.” Lucy Gray menyemprotkan sedikit air es ke
arah Shamus, dan kambing itu melepaskan kerah Coriolanus. Dia merobek
desyrindah.blogspot.com

kantong plastik, mengambil beberapa bongkah es yang tersisa, memasukkan satu


ke mulut Coriolanus dan satu untuk dirinya sendiri. “Rasanya menyenangkan
memiliki es saat ini. Kemewahan pada musim panas dan kutukan pada musim
dingin.”
“Kau tidak bisa mengabaikannya saja?” tanya Coriolanus.
“Tidak bisa di sini. Di bulan Januari pipa air kami membeku, dan kami harus
melelehkan bongkah-bongkah es di atas kompor agar bisa mendapat air. Untuk
enam orang dan seekor kambing. Kau akan kaget melihat betapa repotnya kami
melakukan itu. Keadaan lumayan membaik saat salju turun; yang cepat meleleh.”
Lucy Gray mengambil tali penuntun Shamus dan mengambil gitarnya.
“Sini kupegangi.” Coriolanus mengulurkan tangan meraih gitar itu. Sebelum
kemudian bertanya dalam hati apakah Lucy Gray memercayakan benda itu
kepadanya.
Lucy Gray langsung menyerahkannya. “Tidak sebagus yang dipinjamkan
Pluribus pada kita, tapi benda ini jadi sumber mata pencaharian. Masalahnya,
kami kehabisan senar, dan senar buatan sendiri tidak cukup bagus. Menurutmu,
kalau aku menyuratinya, apakah dia bisa mengirimiku senar? Aku yakin dia punya
sisa dari kelabnya. Aku bersedia membayarnya. Aku masih punya banyak sisa uang
yang diberikan Dekan Highbo om untukku.”
Coriolanus langsung berhenti berjalan. “Dekan Highbo om? Dekan
Highbo om memberimu uang?”
“Ya, tapi dia memberinya diam-diam. Awalnya, dia minta maaf karena apa yang
telah kualami, lalu dia menjejalkan segepok uang ke kantongku. Aku bersyukur
mendapatkannya. Para Pengembara tidak manggung selama aku pergi. Terlalu
terguncang karena kehilangan diriku,” katanya. “Jadi aku bisa membayar senar itu
kalau dia mau membantu.”
Coriolanus berjanji menanyakannya pada Pluribus dalam surat yang akan
datang, tapi kabar bahwa Dekan Highbo om menunjukkan kemurahan hati itu
desyrindah.blogspot.com

sangat mengejutkannya. Kenapa titisan iblis itu mau membantu pacarnya? Rasa
hormat? Kasihan? Merasa bersalah? Perbuatan yang dilakukannya karena
pengaruh narkoba? Dia masih memikirkan alasannya saat sampai di depan rumah
gadis itu, dan Lucy Gray mengikatkan tali kekang Shamus di tiang.
“Ayo masuk. Bertemu dengan keluargaku.” Lucy Gray menggenggam tangan
Coriolanus dan menariknya ke pintu. “Apa kabar Tigris? Aku berharap bisa
berterima kasih langsung padanya atas kiriman sabun dan gaun untukku. Sekarang
aku sudah di rumah, aku bermaksud mengiriminya surat, dan barangkali sebuah
lagu kalau aku bisa menciptakan satu lagu yang cukup bagus untuknya.”
“Dia pasti akan menyukainya,” kata Coriolanus. “Keadaan di rumah kurang
baik.”
“Aku yakin mereka merindukanmu. Apakah ada masalah lain?” tanya Lucy Gray.
Sebelum sempat menjawab, mereka sudah melangkah masuk ke rumah. Di
dalam terdapat satu ruangan besar terbuka, dan area tidur berada di loteng. Di
bagian belakang, ada kompor batu bara, bak cuci, rak peralatan makan, dan kulkas
kuno menandai wilayah dapur. Rak berisi kostum berderet di sisi kanan dinding,
peralatan musik di sebelah kiri. Televisi tua berada di atas kotak, dengan antena
kebesaran yang bercabang seperti tanduk ditambah puntiran-puntiran kertas
perak aluminium. Selain beberapa kursi dan sebuah meja, tidak ada mebel lain di
tempat itu.
Tam Amber bersandar di salah satu kursi, memegang mandolin di pangkuan tapi
tidak memainkannya. Clerk Carmine duduk melamun di loteng, memandang
sebal ke arah Barb Azure dan Maude Ivory, yang juga terlihat jengkel. Saat melihat
mereka, Maude Ivory langsung berlari dan mulai menarik Lucy Gray ke arah
jendela yang mengarah ke halaman belakang. “Lucy Gray, dia berulah lagi!”
“Kau mengizinkannya masuk?” tanya Lucy Gray, tampaknya tahu siapa yang
dimaksud Maude Ivory.
“Tidak. Dia bilang mau ambil sisa barangnya. Kami lempar
desyrindah.blogspot.com

barang-barangnya ke halaman belakang,” kata Barb Azure, bersedekap kesal.


“Lalu, apa masalahnya?” Lucy Gray bicara dengan tenang, tapi Coriolanus bisa
merasakan genggaman gadis itu makin erat.
“Itu,” kata Barb Azure, mengangguk ke jendela belakang.
Masih bergenggaman tangan, Coriolanus mengikuti Lucy Gray dan melihat ke
halaman belakang. Maude Ivory menyelip di antara mereka. “Sejanus seharusnya
membantuku memecahkan kacang.”
Billy Taupe berlutut di halaman, setumpuk pakaian dan beberapa buku ada di
sampingnya. Dia bicara dengan cepat sambil menggambar di tanah. Kadang-
kadang dia bergerak, menunjuk ke arah tertentu. Di seberangnya, Sejanus berlutut
dengan satu kaki mendengarkan dengan saksama, mengangguk paham dan
sesekali mengajukan pertanyaan. Walaupun Coriolanus kesal melihat Billy Taupe
di wilayah yang kini dia anggap wilayahnya, dia tak melihat ada hal yang perlu
dikuatirkan. Dia tidak bisa membayangkan apa yang dibicarakan Billy dengan
Sejanus. Mungkin mereka memiliki keluhan yang sama seperti bagaimana
keluarga tidak memahami mereka yang bisa mereka obrolkan?
“Kau menguatirkan Sejanus? Dia baik-baik saja. Dia suka berbicara dengan
semua orang.” Coriolanus berusaha melihat apa yang digambar Billy Taupe di
tanah. “Apa yang digambarnya?”
“Sepertinya dia sedang memberi semacam arahan,” kata Barb Azure, seraya
mengambil gitar dari tangan Coriolanus. “Dan kalau dugaanku benar, temanmu
harus segera pulang.”
“Aku akan mengurusnya.” Lucy Gray hendak melepaskan tangan Coriolanus,
tapi dia bertahan. “Terima kasih, tapi kau tidak harus berurusan dengan semua
bebanku.”
“Kurasa, ini sudah takdir,” kata Coriolanus sambil tersenyum. Lagi pula, sudah
waktunya dia bertemu langsung dengan Billy Taupe dan menunjukkan diri
padanya. Billy Taupe harus menerima bahwa Lucy Gray bukan lagi miliknya, tapi
desyrindah.blogspot.com

milik Coriolanus, selamanya.


Lucy Gray tidak menjawab, tapi dia berhenti berusaha melepaskan tangannya.
Ketika mereka berjalan ke pintu belakang yang terbuka, sinar matahari bulan
Agustus yang terang membuat Coriolanus harus menyipitkan mata. Dua pemuda
itu asyik bicara hingga baru menyadari kehadiran Coriolanus dan Lucy Gray saat
sudah berada di dekat mereka. Barulah Billy Taupe bereaksi, menyapu gambar di
tanah dengan tangannya.
Tanpa bocoran dari Barb Azure, Coriolanus mungkin tidak menyadarinya, tapi
sekarang dia langsung tahu gambar apa itu. Gambar peta pangkalan.
desyrindah.blogspot.com
25

Sejanus terkejut, dan Coriolanus melihat dia tampak merasa bersalah dengan
bergegas berdiri dan menepuk-nepuk debu dari seragamnya. Sebaliknya, Billy
Taupe berdiri perlahan-lahan, tampak malas untuk menghadapi mereka.
“Wah, lihat siapa yang akhirnya memutuskan berbicara denganku,” katanya,
tersenyum gelisah pada Lucy Gray. Apakah ini kali pertama mereka bicara sejak
Hunger Games?
“Sejanus, Maude Ivory marah besar karena kau tidak mengerjakan tugasmu
membuka kacang,” katanya.
“Ya, aku melalaikan tugasku.” Sejanus mengulurkan tangan ke arah Billy Taupe,
yang tidak ragu langsung menyambut bersalaman. “Senang bertemu denganmu.”
“Sama-sama. Kau bisa mencariku saat senggang di Hob, kalau kau masih mau
bicara,” jawab Billy Taupe.
“Ya, akan kuingat,” kata Sejanus, berjalan kembali ke rumah.
Lucy Gray melepaskan tangannya dari Coriolanus dan berdiri berhadapan
dengan Billy Taupe. “Pergilah, Billy Taupe. Dan jangan pernah kembali.”
“Atau apa, Lucy Gray? Kau akan mengirim Penjaga Perdamaian-mu untuk
menghajarku?” Dia tertawa.
“Ya, kalau perlu,” kata Lucy Gray.
Billy Taupe melirik Coriolanus. “Tampaknya bukan jagoan.”
“Kau tidak paham. Tidak bisa lagi kembali ke masa lalu,” kata Lucy Gray.
Billy Taupe marah. “Kau tahu aku tidak berusaha membunuhmu.”
desyrindah.blogspot.com

“Aku tahu kau masih bersama gadis yang mencoba membunuhku,” sahut Lucy
Gray. “Kudengar kau sudah betah di rumah walikota.”
“Coba pikir, siapa yang mengirimku ke sana? Aku muak kau mempermainkan
anak-anak itu. Lucy Gray yang malang. Kasihan,” ejeknya.
“Mereka tidak bodoh. Mereka juga mau kau pergi,” sahut Lucy Gray.
Tangan Billy Taupe terulur cepat, meraih pergelangan tangan Lucy Gray dan
menarik gadis itu. “Ke mana aku harus pergi tepatnya?”
Sebelum Coriolanus turun tangan, Lucy Gray sudah menancapkan giginya ke
tangan Billy Taupe, sehingga pemuda itu menjerit dan melepaskannya. Billy Taupe
mendelik ke arah Coriolanus yang bergerak maju melindungi Lucy Gray di
sampingnya. “Sepertinya kau juga tidak kesepian. Ini pemuda kerenmu dari
Capitol? Mengejarmu jauh-jauh kemari? Tunggu saja kejutan yang menantinya.”
“Aku sudah tahu segalanya tentangmu.” Sebenarnya Coriolanus tidak tahu apa-
apa. Tapi setidaknya pernyataan itu membuatnya tidak terlalu lugu.
Billy Taupe tertawa tak percaya. “Aku? Aku kuntum bunga mawar di atas
tumpukan kotoran.”
“Kenapa kau tidak pergi saja, seperti yang dia minta?” kata Coriolanus ketus.
“Baik. Kau akan dapat pelajaran.” Billy Taupe mengambil barang-barang
miliknya. “Tidak lama lagi kau akan dapat pelajaran.” Pemuda itu pun berjalan
pergi di bawah terik matahari pagi yang panas.
Lucy Gray memandanginya berlalu sambil menggosok pergelangan tangan yang
tadi ditarik Billy Taupe. “Kalau kau mau kabur, sekaranglah saatnya.”
“Aku tidak mau kabur,” kata Coriolanus, meskipun adu mulut dengan Billy
Taupe tadi membuatnya gelisah.
“Dia pembohong dan jahat. Memang, aku bergenit-genit dengan banyak orang.
Itu bagian pekerjaanku. Tapi, apa yang dia siratkan itu tidak benar.” Lucy Gray
memandang ke jendela. “Bagaimana kalau memang benar? Bagaimana jika
pilihannya itu atau membiarkan Maude Ivory kelaparan? Tak ada yang mau itu
terjadi, dan aku rela berbuat apa saja. Namun, dia punya aturan sendiri untuk
desyrindah.blogspot.com

dirinya dan untukku. Selalu begitu. Seolah-olah dia menjadi korban dan
membuatku jadi sampah.”
Ucapan Lucy Gray membuatnya teringat pada percakapannya dengan Tigris,
dan Coriolanus segera mengubah topik pembicaraan. “Jadi dia bersama putri
walikota sekarang?”
“Begitulah. Aku memintanya ke sana untuk mengambil uang hasil mengajar
piano, tahu-tahu ayah gadis itu memanggil namaku pada hari pemungutan,” kata
Lucy Gray. “Tidak tahu apa yang dikatakan gadis itu pada ayahnya. Ayahnya bakal
mengamuk kalau tahu putrinya berkeliaran dengan Billy Taupe. Aku selamat dari
Capitol hanya untuk kembali ke situasi yang sama.”
Ada sesuatu dalam sikapnya, kesedihan mendalam yang meyakinkan
Coriolanus. Dia menyentuh lengan gadis itu. “Kalau begitu, mulailah hidup baru.”
Lucy Gray menautkan jemarinya ke jemari Coriolanus. “Hidup baru.
Bersamamu.” Tapi gadis itu tetap terlihat resah.
Coriolanus menyikutnya. “Bukankah kita perlu memerah susu kambing?”
Wajah Lucy Gray menjadi lebih rileks. “Benar.” Lucy Gray mengajaknya masuk
ke rumah, dan ternyata Maude Ivory sudah mengajari Sejanus memerah susu
Shamus.
“Dia tidak bisa menolaknya. Dia kena masalah karena sudah bicara dengan
musuh,” kata Barb Azure, yang mengambil sepanci kecil susu dari kulkas tua dan
menaruhnya di meja, lalu mulai memeriksanya. Clerk Carmine mengambil kendi
kaca dari atas rak. Ada engkol di tutup kendi yang menggerakkan pengocok di
dalamnya.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Coriolanus.
“Usaha yang sia-sia.” Barb Azure tertawa. “Berusaha mendapat krim yang cukup
banyak dari susu agar kami bisa membuat mentega. Sayangnya susu kambing tidak
seperti susu sapi.”
“Mungkin kita perlu tunggu sehari lagi?” kata Clerk Carmine.
desyrindah.blogspot.com

“Yah, mungkin.” Barb Azure mengembalikan panci ke kulkas.


“Kita berjanji pada Maude Ivory akan berusaha. Dia tergila-gila pada mentega.
Tam Amber membuat pengocok itu untuk hadiah ulang tahunnya. Kita lihat saja
bagaimana hasilnya,” kata Lucy Gray.
Coriolanus memainkan engkolnya. “Jadi kalian…?”
“Secara teori, saat kami mendapat krim cukup banyak, kami memutar
engkolnya, dan pengocok di dalamnya akan mengocoknya menjadi mentega,”
Lucy Gray menjelaskan. “Yah, itu kata seseorang pada kami.”
“Sepertinya butuh kerja keras.” Coriolanus memikirkan deretan mentega yang
terbungkus rapi, yang diambilnya tanpa pikir panjang pada hari pemungutan, tak
pernah membayangkan dari mana asal mentega itu,
“Memang. Tapi akan sepadan dengan usahanya jika berhasil. Maude Ivory tidak
bisa tidur nyenyak sejak mereka membawaku pergi. Baik-baik saja pada siang hari,
lalu terbangun menjerit-jerit pada malam hari,” kata Lucy Gray. “Kami berusaha
memberinya kebahagiaan dalam pikirannya.”
Barb Azure menyaring susu segar yang dibawa Sejanus dan Maude Ivory dan
menuangnya ke cangkir-cangkir sementara Lucy Gray membagi-bagi roti.
Coriolanus tak pernah minum susu kambing, tapi Sejanus menjilat bibirnya dan
mengatakan bahwa susu itu mengingatkannya pada masa kecilnya di Distrik 2.
“Apakah aku pernah ke Distrik Dua?” tanya Maude Ivory.
“Tidak, Sayang, tempatnya jauh di barat. Kaum Pengembara biasanya ke arah
timur,” Barb Azure memberitahunya.
“Kadang-kadang kita ke utara,” kata Tam Amber, dan Coriolanus sadar bahwa
untuk pertama kalinya dia mendengar pemuda itu bicara.
“Ke distrik berapa?” tanya Coriolanus.
“Tidak ke distrik mana pun,” kata Barb Azure. “Ke tempat yang tidak
dipedulikan Capitol.”
Coriolanus merasa malu. Tak ada tempat seperti itu. Setidaknya sekarang sudah
desyrindah.blogspot.com

tak ada. Capitol mengontrol peradaban dunia. Sesaat dia membayangkan


sekelompok orang dengan pakaian bulu binatang mengais makanan dan tinggal di
gua demi kelangsungan hidup. Mungkin saja ada yang menjalani hidup seperti itu,
tapi hidup macam itu jauh di bawah kehidupan di distrik sekalipun. Tidak
manusiawi.
“Mungkin berkelompok seperti kita,” kata Clerk Carmine.
Barb Azure tersenyum sedih. “Kita tak pernah tahu.”
“Masih ada lagi? Aku masih lapar,” Maude Ivory mengeluh, tapi rotinya sudah
habis.
“Makan kacangmu,” kata Barb Azure. “Mereka akan memberi kita makan di
acara pernikahan.”
Coriolanus kecewa, mereka ternyata punya pekerjaan siang itu, tampil di acara
pernikahan di kota. Tadinya Coriolanus berharap bisa berduaan lagi dengan Lucy
Gray untuk mengobrol lebih serius tentang Billy Taupe, sejarahnya bersama
pemuda itu, dan kenapa dia menggambar peta pangkalan di tanah. Tapi semua itu
harus menunggu, karena mereka semua harus bersiap-siap untuk pertunjukan
sehabis mencuci peralatan makan.
“Maaf kalian harus pergi secepat ini, tapi ini cara kami mencari makan.” Lucy
Gray mengantar Coriolanus dan Sejanus ke pintu. “Putri tukang daging menikah,
dan kami harus memberi kesan yang baik. Orang-orang yang punya uang untuk
menyewa kami akan ada di sana. Kalian bisa menunggu dan mengantar kami, tapi
kurasa…”
“Akan membuat orang-orang bergosip,” lanjut Coriolanus, tapi lega karena gadis
itu yang menyarankannya. “Mungkin lebih baik kita rahasiakan hubungan ini.
Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi?”
“Kapan pun kau mau,” jawab Lucy Gray. “Firasatku bilang jadwalmu lebih padat
daripada jadwalku.”
“Apakah kau akan manggung di Hob hari Sabtu depan?” tanya Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com

“Kalau diizinkan. Mengingat masalah tadi malam.” Mereka sepakat agar


Coriolanus datang sepagi mungkin agar bisa punya sedikit waktu berharga
bersama Lucy Gray sebelum pertunjukan. “Tepat di belakang Hob ada gubuk
yang kami gunakan. Kau bisa bertemu kami di sana. Kalau tak ada pertunjukan,
datang saja langsung ke gubuk.”
Coriolanus menunggu sampai dia dan Sejanus tiba di jalan belakang yang
kosong di dekat pangkalan sebelum menyinggung topik Billy Taupe. “Kalian
berdua bicara tentang apa?”
“Tak penting, sungguh,” kata Sejanus tak nyaman. “Hanya gosip lokal.”
“Dan gosip itu butuh peta pangkalan?” tanya Coriolanus.
Sejanus terkejut. “Kau selalu tahu, ya? Aku ingat semasa di sekolah. Aku
memperhatikanmu memperhatikan orang lain. Pura-pura tidak memperhatikan.
Dan menunggu momen yang tepat untuk ikut campur.”
“Aku ikut campur sekarang, Sejanus. Kenapa kau berdiskusi serius dengannya
sambil menggambar peta pangkalan? Siapa dia? Simpatisan pemberontak?”
Sejanus mengalihkan pandangannya, lalu Coriolanus melanjutkan. “Kira-kira apa
yang membuatnya tertarik pada peta pangkalan Capitol?”
Sejanus menatap tanah selama semenit, lalu berkata, “Gadis itu. Yang diseret
pada hari pelaksanaan hukuman gantung. Yang mereka tangkap hari itu. Lil. Dia
ditahan di sana.”
“Para pemberontak ingin menyelamatkannya?” desak Coriolanus.
“Tidak. Mereka ingin berkomunikasi dengannya. Memastikan dia baik-baik
saja,” kata Sejanus.
Coriolanus berusaha menenangkan diri. “Dan kau bilang kau mau membantu.”
“Tidak, aku tidak berjanji apa-apa. Tapi kalau aku bisa, kalau aku berada di dekat
rumah tahanan, mungkin aku bisa mencari tahu. Keluarga gadis itu panik,” kata
Sejanus.
“Oh, hebat. Luar biasa. Sekarang kau jadi informan pemberontak.” Coriolanus
desyrindah.blogspot.com

berjalan cepat. “Kupikir kau sudah tidak mau berurusan dengan pemberontakan
lagi!”
Sejanus bergegas mengikutinya. “Aku tidak bisa! Ini bagian dari diriku. Dan kau
sendiri yang bilang aku bisa menolong orang-orang di distrik kalau aku bersedia
keluar dari arena.”
“Kurasa, persisnya aku bilang kau bisa berjuang untuk para peserta, yang artinya
kau mungkin bisa menyediakan kondisi yang lebih layak dan manusiawi untuk
mereka,” Coriolanus mengoreksinya.
“Kondisi manusiawi seperti apa?” sembur Sejanus. “Mereka dipaksa untuk saling
membunuh! Dan para peserta berasal dari distrik-distrik, jadi aku tidak melihat
ada bedanya di sini. Mencari tahu tentang gadis ini cuma urusan sepele, Coryo!”
“Jelas ini bukan urusan sepele,” kata Coriolanus. “Bukan urusan sepele bagi Billy
Taupe, pastinya. Kenapa dia buru-buru menghapus gambar peta itu? Karena dia
tahu apa yang dimintanya. Dia tahu dia menjadikanmu kaki tangannya. Kau tahu
apa yang terjadi pada kaki tangan pemberontak?”
“Kupikir…” kata Sejanus.
“Tidak, Sejanus, kau sama sekali tidak berpikir!” kata Coriolanus marah.
“Parahnya lagi, kau percaya pada seseorang yang sepertinya tidak bisa berpikir
jernih. Billy Taupe? Apa kaitannya dengan dia? Uang? Karena menurut Lucy Gray,
kaum Pengembara bukanlah pemberontak. Juga bukan Capitol. Mereka punya
identitas mereka sendiri, apa pun itu.”
“Aku tidak tahu. Dia bilang… dia minta tolong mewakili temannya,” Sejanus
tergagap.
“Teman?” Coriolanus sadar bahwa dia sudah berteriak dan segera merendahkan
suaranya hingga berbisik. “Teman Arlo yang baik, yang memasang peledak di
tambang? Rencana yang amat brilian. Hasil apa yang dia harapkan? Mereka tidak
punya sumber daya, sama sekali tidak punya apa-apa untuk memulai perang lagi.
Sementara itu, mereka menghancurkan sumber mata pencaharian mereka sendiri,
desyrindah.blogspot.com

bagaimana cara mereka mencari makan di Dua Belas tanpa tambang-tambang itu?
Mereka tidak punya banyak pilihan di sini. Strategi macam apa itu?”
“Strategi putus asa. Tapi lihatlah sekelilingmu!” Sejanus menarik lengan
Coriolanus, memaksanya berhenti berjalan. “Berapa lama mereka bisa hidup
seperti ini?”
Coriolanus merasakan kebenciannya membuncah saat teringat pada perang,
kehancuran dalam hidupnya yang ditimbulkan oleh pemberontak. Dia menarik
tangannya agar lepas dari cengkeraman Sejanus. “Mereka kalah perang. Perang
yang mereka mulai. Mereka mengambil risiko itu. Inilah harga yang harus mereka
bayar.”
Sejanus melihat ke sekeliling, seakan tidak yakin arah yang ditujunya, lalu duduk
bersandar di dinding yang sudah rusak di tepi jalan. Perasaan Coriolanus tidak
enak, merasa bahwa dia bakal mengambil posisi sebagai Strabo Plinth dalam
diskusi tanpa akhir tentang kesetiaan Sejanus. Dia tidak kepingin melakukannya.
Sebaliknya, kalau Sejanus tak bisa dikendalikan di sini, entah apa yang bakal
terjadi nanti.
Coriolanus duduk di sampingnya. “Dengar, menurutku keadaan akan membaik.
Sungguh. Tapi bukan seperti ini caranya. Seiring dengan membaiknya keadaan
semua distrik, di sini juga akan membaik, tapi bukan dengan cara mereka
meledakkan tambang. Yang mereka lakukan hanyalah menambah jumlah korban
jiwa.”
Sejanus mengangguk, dan beberapa anak kecil berpakaian
compang-camping melintasi mereka yang masih duduk bersandar di dinding,
berjalan sambil menendang kaleng. “Apakah menurutmu aku sudah melakukan
pengkhianatan?”
“Nyaris,” kata Coriolanus setengah tersenyum.
Sejanus mencabuti rumput liar yang tumbuh di dinding. “Menurut Dr. Gaul
sudah. Ayahku bertemu dengannya, sebelum bertemu Dekan Highbo om dan
desyrindah.blogspot.com

dewan sekolah. Semua orang tahu Dr. Gaul-lah yang sebenarnya berkuasa. Ayahku
menemuinya untuk meminta kesempatan seperti yang kauperoleh, menda ar
sebagai Penjaga Perdamaian.”
“Kupikir itu sudah otomatis,” kata Coriolanus. “Kalau kau dikeluarkan dari
sekolah seperti aku.”
“Itu juga harapan ayahku. Tapi Dr. Gaul bilang, ‘Jangan mencampuradukkan
tindakan dua pemuda itu. Kesalahan dalam strategi tidak setara dengan tindakan
pengkhianatan untuk mendukung pemberontakan.’” Ada nada getir dalam suara
Sejanus. “Selanjutnya dibuatkan cek untuk laboratorium baru Dr. Gaul dan mu -
nya. Itu pasti harga tiket paling mahal menuju Distrik Dua Belas.”
Coriolanus bersiul. “Jadi ruang olahraga dan lab?”
“Terserah apa katamu, aku melakukan pembangunan untuk Capitol lebih
daripada yang dilakukan presiden,” kata Sejanus setengah bergurau. “Kau benar,
Coriolanus. Aku sudah berbuat bodoh.
Lagi-lagi. Aku akan lebih berhati-hati di masa depan. Entah apa yang terjadi nanti.”
“Mungkin nanti akan ada sosis goreng,” kata Coriolanus.
“Kalau begitu, ayo jalan,” kata Sejanus, dan mereka melanjutkan perjalanan
menuju pangkalan.
Teman-teman sekamar mereka baru turun dari ranjang saat mereka kembali.
Sejanus mengajak Beanpole berlatih, sementara Smiley dan Bug melihat ada
kegiatan apa di ruang rekreasi. Coriolanus berencana menggunakan waktu sampai
makan malam untuk belajar ujian pegawai negeri, tapi percakapannya dengan
Sejanus menimbulkan gagasan lain. Gagasan itu berkembang cepat hingga
menghapus pikiran lain. Dr. Gaul membelanya. Yah, bukan membelanya secara
langsung. Tapi dia memastikan agar Strabo Plinth paham bahwa Coriolanus
berbeda kelas dengan putranya yang penjahat. Kejahatan Coriolanus hanyalah
“kesalahan strategi”, yang sama sekali tidak terdengar seperti kejahatan. Mungkin
Dr. Gaul tidak sepenuhnya mencoret Coriolanus dari hidupnya? Dr. Gaul tampak
desyrindah.blogspot.com

mau bersusah payah mendidiknya selama Hunger Games. Sengaja memilihnya.


Apakah dia bisa menulis surat untuknya, untuk… untuk… yah, dia tidak tahu apa
yang bisa diharapkan dengan suratnya. Tapi siapa tahu, mungkin suatu hari nanti
barangkali Coriolanus bisa menjadi pejabat negara, dan mereka akan bertemu lagi.
Tidak ada salahnya menulis surat untuk Dr. Gaul. Coriolanus sudah tidak punya
apa-apa lagi. Kemungkinan terburuk adalah Dr. Gaul mengabaikannya.
Coriolanus menggigit bolpoin saat ingin menuliskan apa yang dipikirkannya.
Apakah dia harus memulai surat dengan permintaan maaf? Kenapa? Dr. Gaul tahu
dia tidak menyesal berusaha menang, dia hanya menyesal perbuatannya ketahuan.
Lebih baik dia tidak usah minta maaf sama sekali. Dia bisa menceritakan
kehidupannya di pangkalan, tapi sepertinya membosankan. Percakapan mereka
sudah bukan lagi obrolan ringan. Ada pelajaran yang diberikan Dr. Gaul, semata
untuk kepentingannya. Kemudian dia tersadar. Dia mesti melanjutkan pelajaran.
Sampai di mana pelajaran mereka? Esai satu halamannya tentang kekacauan,
kontrol, dan apa yang ketiga? Dia selalu lupa yang ketiga. Oh, ya, kontrak. Kontrak
yang membutuhkan segenap kekuatan Capitol agar bisa diterapkan. Lalu dia mulai
menulis…
Dear Dr. Gaul,
Banyak yang terjadi sejak terakhir kita bicara, tapi setiap hari aku mendapat
pengetahuan baru. Distrik Dua Belas menjadi panggung yang luar biasa untuk
mengamati pertikaian antara kekacauan dan kontrol, dan sebagai Penjaga
Perdamaian, aku bisa terjun langsung ke lapangan.
Dia lanjut membahas hal-hal yang menjadi pengetahuan rahasia sejak
kedatangannya kemari. Ketegangan yang tampak antara penduduk lokal dan
tentara Capitol, yang nyaris jadi kekacauan saat pelaksanaan hukuman gantung,
dan bagaimana hal itu memuncak menjadi perkelahian di Hob.
Aku jadi teringat pada tugasku di arena. Kita bisa bicara tentang sifat manusia
desyrindah.blogspot.com

secara teori, tapi beda rasanya saat ada tinju menghajar mulutmu. Tapi, kali ini aku
merasa lebih siap. Aku tidak yakin bahwa kita semua pada dasarnya kejam
sebagaimana Anda bilang, tapi hanya butuh sedikit dorongan untuk menampilkan
kekejaman itu ke permukaan, apalagi dalam lindungan kegelapan. Aku penasaran,
berapa banyak penambang yang berani melayangkan tinju jika Capitol bisa melihat
wajah-wajah mereka? Pada siang terik di hari pelaksanaan hukuman gantung,
mereka menggerutu tapi tidak berani melawan.
Ini sesuatu yang bisa kupikirkan sembari menunggu bibirku sembuh.
Dia menambahkan bahwa dia tidak terlalu berharap suratnya akan dibalas, tapi
berharap Dr. Gaul baik-baik saja. Dua halaman. Singkat dan manis. Tidak terlalu
mengharapkan perhatian. Tidak meminta apa pun. Tidak meminta maaf. Dia
melipat surat itu dengan rapi, memasukkannya ke dalam amplop dan
mengalamatkannya ke Dr. Gaul di Citadel. Untuk menghindari pertanyaan,
terutama dari Sejanus, dia pergi ke tempat pos dan memasukkannya ke kotak
surat. Coba-coba saja, pikir Coriolanus.
Pada saat makan malam, mereka mendapat sosis goreng dengan saus apel dan
bongkahan kentang berminyak, dan dia melahap semua yang ada di nampannya
dengan nikmat. Setelah makan malam, Sejanus membantunya belajar untuk ujian,
tidak berkomentar apa-apa karena dia tidak tertarik.
“Mereka hanya membuka kesempatan tiga kali setahun, dan ada tes hari Rabu
siang ini,” kata Coriolanus. “Kita berdua sebaiknya ikut. Walaupun cuma untuk
latihan.”
“Tidak, aku belum menguasai urusan militer ini. Menurutku kau akan lulus,”
kata Sejanus. “Bahkan kalau kau agak meleset, kau akan berhasil di bagian lain,
dan skor keseluruhanmu bisa cukup tinggi untuk lolos. Lanjutkan saja, ikuti
ujiannya sebelum kau lupa semua ilmu matematika.” Sejanus ada benarnya.
Coriolanus merasa ilmu geometrinya mulai karatan.
desyrindah.blogspot.com

“Kalau kau jadi pegawai negeri, mungkin mereka akan mengizinkanmu belajar
sebagai dokter. Kau sangat hebat dalam bidang sains,” kata Coriolanus, berusaha
mencari tahu isi pikiran Sejanus setelah percakapan mereka tadi siang. Sejanus
butuh sesuatu yang baru, yang bisa jadi pusat perhatiannya. “Dan kau bisa
membantu orang, seperti yang kau mau.”
“Benar juga.” Sejanus merenungkannya. “Mungkin aku akan bicara dengan
dokter-dokter di klinik dan menanyakan bagaimana caranya bisa bertugas di sana.”
Keesokan paginya, setelah tidur dengan mimpi aneh terombang-ambing antara
mencium Lucy Gray dan memberi makan ular-ular Dr. Gaul, Coriolanus
menuliskan namanya di da ar nama peserta ujian. Petugas yang berjaga
memberitahunya bahwa dia boleh tidak ikut latihan, yang sepertinya jadi
keuntungan mereka yang menda ar, karena ramalan cuaca minggu ini
mengatakan akan panas terik. Sesungguhnya lebih dari itu. Panasnya memang tak
tertahankan, tapi dia mulai bosan dengan hidupnya sehari-hari. Kalau dia bisa jadi
pegawai negeri, Coriolanus bisa mendapat tugas-tugas yang lebih menantang.
Hari ini ada dua perubahan dalam jadwal tetapnya. Pertama, mereka mulai
bertugas jaga, dan itu tidak terlalu membuatnya bersemangat, karena tugas itu
dikenal membosankan. Namun, Coriolanus pikir, dia lebih baik bertugas jaga
duduk di belakang meja di depan barak daripada membersihkan panci. Barangkali
dia bisa menyempatkan diri untuk membaca atau menulis.
Perubahan kedua membuatnya terkesima. Saat mereka melapor untuk latihan
menembak, mereka diberitahu bahwa usul Coriolanus untuk menembak burung-
burung di sekitar pohon tempat hukuman gantung telah disetujui. Namun,
sebelumnya, Citadel ingin mereka menangkap ratusan ekor jabberjay dan
mockingjay dalam keadaan hidup lalu mengembalikannya ke lab, untuk dipelajari.
Skuadronnya diperintahkan memasang perangkap-perangkap di pohon, artinya
dia akan bekerja sama dengan para ilmuwan dari lab Dr. Gaul. Tim dari Citadel
tiba dengan pesawat ringan pagi itu. Dia hanya pernah melihat beberapa orang di
Citadel, tapi membayangkan dirinya bertemu dengan seseorang dari lab, yang
desyrindah.blogspot.com

pasti tahu ulahnya dengan ular dan membuatnya dibuang kemari, membuat
Coriolanus tegang. Lalu pikiran buruk menghantamnya: Dr. Gaul tentu takkan
kemari untuk mengawasi pengumpulan burung itu secara langsung, bukan?
Mengiriminya surat dengan tetap menjaga jarak di Panem terkesan
menyenangkan, tapi bertemu berhadapan langsung dengannya sejak dibuang ke
distrik ini membuat Coriolanus gentar.
Coriolanus terguncang-guncang di bagian belakang truk, tak bersenjata dan
mungkin sebentar lagi rahasianya terbongkar. Optimisme yang dia rasakan sejak
akhir pekan sudah musnah. Penjaga Perdamaian lain asyik mengobrol dan terlihat
gembira karena bisa berjalan-jalan sementara Coriolanus diam membisu.
Namun, Sejanus memahami ketakutannya. “Dr. Gaul tidak bakal ada di sini,”
bisiknya. “Kalau kita dilibatkan, artinya ini pekerjaan kacung.” Coriolanus
mengangguk tapi tidak sepenuhnya yakin.
Saat truk mereka berhenti di bawah pohon gantung, dia bersembunyi di
belakang skuadron sambil memantau empat ilmuwan Capitol yang mengenakan
jas lab putih, seakan mereka hendak menemukan rahasia hidup abadi bukannya
menjebak burung jadi-jadian dalam udara panas hampir empat puluh derajat
Celsius. Dia memperhatikan wajah mereka satu per satu, tapi tak ada satu pun
yang dikenalnya, dan dia merasa lebih tenang. Ada ratusan ilmuwan dalam
laboratorium besar itu, dan yang datang ini adalah spesialis burung, bukan reptil.
Mereka menyambut kedatangan para tentara dengan ramah, mengarahkan semua
orang untuk mengambil perangkap berjaring kawat yang mirip kandang,
sementara mereka menjelaskan rencana mereka. Para Penjaga Perdamaian patuh
melaksanakan perintah, mengambil perangkap-perangkap itu, lalu duduk di tepi
hutan dekat tiang gantung.
Sejanus mengacungkan ibu jarinya setelah melihat tak ada Dr. Gaul, dan
Coriolanus hendak balas mengacungkan ibu jarinya saat dia memperhatikan sosok
yang berdiri di tanah lapang dekat hutan. Seorang wanita yang mengenakan jas lab
desyrindah.blogspot.com

berdiri bergeming memunggungi mereka, kepalanya dimiringkan saat mendengar


keriuhan nyanyian burung. Ilmuwan-ilmuwan lain menunggu dengan hormat
hingga wanita itu selesai mendengarkan lalu berjalan ke arah mereka melewati
pepohonan. Ketika wanita itu mengangkat ranting yang menghalangi jalannya,
Coriolanus bisa melihat wajahnya dengan jelas, yang tampak biasa-biasa saja jika
tak ada kacamata besar berwarna merah muda di atas hidungnya. Coriolanus
langsung mengenali wanita itu. Dialah yang memarahi Coriolanus karena
mengganggu burung-burungnya saat Coriolanus berkeliling di dalam lab,
berusaha melarikan diri setelah melihat Clemensia jatuh pingsan mengeluarkan
nanah berwarna-warni. Pertanyaannya adalah, apakah wanita itu mengenalinya?
Coriolanus berjalan ke belakang ke balik punggung Smiley dan memusatkan
perhatian pada perangkap burungnya.
Wanita berkacamata itu, yang diperkenalkan sebagai Dr. Kay, menyambut
mereka dengan ramah, menjelaskan misi mereka mengumpulkan masing-
masing lima puluh ekor jabberjay dan mockingjay dan menjabarkan rencana
untuk mencapainya. Mereka diminta membantu menyebarkan perangkap-
perangkap di hutan, yang akan diisi makanan, minuman, dan burung-burung
sebagai umpan untuk menarik sasaran. Perangkap-perangkap tersebut akan
dibuka selama dua hari agar burung-burung itu bisa terbang bebas datang dan
pergi. Pada hari Rabu, mereka akan kembali, menaruh umpan baru, dan
menyiapkan perangkap untuk menangkap
burung-burung itu.
Para rekrut ingin menyenangkan hati ilmuwan dari Capitol, dan mereka
membentuk lima kelompok yang terdiri atas empat orang. Masing-masing
kelompok mengikuti seorang ilmuwan. Coriolanus bergegas bergabung dalam
kelompok yang mengikuti ilmuwan pria yang tadi memperkenalkan Dr. Kay, lalu
menyembunyikan diri di balik dedaunan sebisa mungkin. Selain perangkap,
mereka membawa tas-tas ransel berisi berbagai macam umpan. Mereka mendaki
desyrindah.blogspot.com

sekitar seratus meter sampai tiba ke wilayah yang dahannya ditandai warna merah,
yang menjadi titik awal mereka. Di bawah arahan sang ilmuwan, mereka menyebar
perangkap secara konsentris dari titik awal, bekerja berpasangan untuk memasang
umpan dan menempatkannya tinggi di pohon.
Coriolanus berpasangan dengan Bug, yang ternyata jago memanjat pohon
karena dibesarkan di Distrik 11. Di sana anak-anak membantu bekerja di kebun
buah-buahan. Mereka menghabiskan dua jam berkeringat dan bekerja. Coriolanus
menaruh umpan dan Bug memanjat untuk memasang perangkap-perangkap di
dahan-dahan pohon. Setelah mereka berkumpul kembali, Coriolanus bergegas
pergi dan duduk di belakang truk, memeriksa gigitan-gigitan serangga di kulitnya
sambil menjaga jarak dengan Dr. Kay. Wanita itu tidak memperhatikannya sama
sekali. Jangan paranoid, pikirnya. Dia tidak mengingatmu.
Hari Selasa berlangsung seperti biasa. Coriolanus menyempatkan diri untuk
membaca bahan ujian pada saat makan dan sesaat sebelum lampu dipadamkan.
Dia tidak sabar ingin kembali bertemu Lucy Gray. Gadis itu terbayang-bayang
dalam benaknya, tapi Coriolanus berusaha menyingkirkan bayangan gadis itu,
berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia baru boleh mengkhayal setelah ujian
selesai.
Pada hari Rabu, dia mengerahkan segenap kekuatannya untuk olahraga pagi,
duduk sendirian pada saat makan siang sambil membaca buku panduan ujian
terakhir kalinya, lalu masuk kelas untuk pelajaran taktis. Dua Penjaga Perdamaian
lain juga menda ar ikut ujian, yang satu berusia akhir dua puluhan yang
mengatakan sudah ikut lima kali dan satu lagi hampir lima puluh tahun, yang
tampaknya sudah terlalu tua untuk menjalani perubahan hidup.
Melaksanakan ujian adalah salah satu bakat Coriolanus, dan dia merasakan
dorongan semangat yang tak asing lagi ketika membuka buklet ujian. Dia
menyukai tantangan, dan sifatnya yang obsesif membuatnya bisa langsung
menyerap rintangan mental di hadapannya. Tiga jam kemudian, dengan
desyrindah.blogspot.com

bercucuran keringat dan gembira, dia menyerahkan bukletnya dan pergi ke ruang
makan untuk mengambil es. Dia duduk di tempat teduh di depan barak,
menggosokkan es ke tubuhnya sambil memikirkan pertanyaan-pertanyaan ujian
tadi. Kesedihan karena tidak bisa kuliah menyengatnya, tapi dia segera
mengenyahkan kesedihan itu dengan memikirkan kemungkinan menjadi
pemimpin militer legendaris seperti ayahnya. Mungkin ini memang sudah
takdirnya.
Sisa pasukan masih di luar bersama ilmuwan Citadel, memanjat pohon dan
memasang perangkap, jadi dia pergi mengambil surat untuk kamarnya. Dua kotak
besar dari Ma Plinth menyambutnya, memberi kesempatan untuk menghabiskan
malam yang liar di Hob. Dia membawa kotak-kotak dari Ma, tapi memutuskan
untuk membukanya setelah yang lain kembali. Ma juga mengiriminya surat
terpisah, berterima kasih atas segala yang sudah dia lakukan untuk Sejanus dan
memintanya untuk terus mengawasi putranya.
Coriolanus menaruh suratnya dan menghela napas saat berpikir harus menjadi
penjaga Sejanus. Meninggalkan Capitol bisa menghalau penderitaan Sejanus
untuk sementara, tapi dia sudah separo jalan menjadi pemberontak. Berkonspirasi
dengan Billy Taupe. Ikut menderita memikirkan gadis yang ada di rumah tahanan.
Berapa lama lagi sebelum Sejanus bertingkah seperti menyelinap masuk ke arena?
Lalu sekali lagi, orang-orang akan mencari Coriolanus untuk membantu pemuda
itu keluar dari masalah.
Masalahnya adalah, Coriolanus tidak percaya Sejanus bisa benar-benar berubah.
Mungkin Sejanus tidak mampu berubah, atau malahan tidak mau berubah. Dia
sudah menolak kehidupan yang ditawarkan sebagai Penjaga Perdamaian: pura-
pura tidak bisa menembak, menolak ikut ujian calon pegawai negeri,
menunjukkan dengan jelas bahwa dia tidak ingin unggul mewakili Capitol. Distrik
2 selalu jadi rumahnya. Penduduk distrik selalu jadi keluarganya. Pemberontak
distrik selalu ada benarnya… dan sudah jadi kewajiban moral Sejanus untuk
desyrindah.blogspot.com

membantu mereka.
Coriolanus merasakan ancaman baru perlahan-lahan timbul dalam dirinya. Dia
berusaha mengabaikan tingkah serampangan Sejanus di Capitol, tapi di sini
berbeda. Di sini dia dipandang sebagai orang dewasa, dan konsekuensi
perbuatannya adalah hidup dan mati. Jika dia membantu pemberontak, dia bisa
dihukum mati. Apa yang dipikirkan Sejanus?
Tanpa pikir panjang, Coriolanus membuka loker Sejanus, mengambil kotak
untuknya dan menaruh isinya ke bagian dasar loker dengan hati-hati. Di dalamnya
ada setumpuk kenang-kenangan, sekotak permen karet, dan tiga botol obat yang
diresepkan dokter di Capitol. Dua botol obat berisi obat tidur dan botol ketiga
berisi mor n dengan alat tetes di penutupnya, seperti yang sering dia lihat
digunakan Dekan Highbo om. Dia tahu Sejanus mendapat obat-obatan pada
masa sulitnya. Ma sudah memberitahunya, tapi kenapa Sejanus membawa obatnya
kemari? Apakah Ma menyelipkan obat-obatan untuk berjaga-jaga? Dia
membongkar isi kotak. Ada secarik kain, kertas surat, bolpoin, sepotong marmer
yang diukir kasar membentuk hati, dan setumpuk foto. Keluarga Plinth berfoto
bersama tiap tahun, dan dia bisa melihat pertumbuhan Sejanus sejak bayi sampai
tahun lalu. Semua foto adalah foto keluarga, kecuali selembar foto lama
sekelompok anak sekolah. Coriolanus mengira itu foto kelas mereka, tapi tak satu
pun anak di foto itu yang dikenalinya, dan kebanyakan anak di foto memakai baju
yang lusuh dan tidak pas ukurannya. Dia melihat Sejanus, dengan jas rapi
tersenyum murung di barisan kedua. Di belakangnya berdiri menjulang seorang
anak laki-laki yang tampak lebih tua. Setelah mengamati lebih saksama, semuanya
jadi jelas. Marcus. Ini adalah foto tahun terakhir Sejanus di Distrik 2. Tak ada
kenangan dari teman-teman sekolahnya di Capitol, bahkan tak ada Coriolanus.
Entah bagaimana, ini menegaskan di mana letak kesetiaan Sejanus.
Di bagian bawah tumpukan barang, dia menemukan pigura perak, yang ternyata
berisi ijazah Sejanus. Lembar ijazahnya sudah dilepas dari map kulit dan
desyrindah.blogspot.com

dipindahkan ke pigura, seakan hendak menjadi barang pajangan. Tapi kenapa?


Sejanus tak bakal mau memajangnya di dinding, seandainya ada tempat untuk
memajangnya sekalipun. Coriolanus mengelus pigura, merasakan logam pudar itu
dan membaliknya. Penutupnya tampak miring, dan di sudut ada kertas hijau pucat
menyempil dari baliknya. Ini bukan kertas biasa, pikirnya muram, dan membuka
panel penutup itu. Setelah terbuka, setumpuk uang kertas jatuh ke lantai.
Uang. Jumlahnya banyak. Kenapa Sejanus membawa uang sebanyak ini dalam
kehidupan barunya sebagai Penjaga Perdamaian? Apakah Ma yang menyuruhnya?
Tidak, bukan Ma. Bagi Ma, uang adalah akar penderitaannya. Strabo, kalau
begitu? Apakah dia pikir apa pun masalah yang dihadapi putranya, uang bisa
melindunginya dari bahaya? Mungkin saja, tapi biasanya Strabo yang turun tangan
langsung menyuap orang. Apakah Sejanus membawanya atas kehendak sendiri,
tanpa sepengetahuan orangtuanya? Kalau dipikir-pikir, ini lebih menguatirkan.
Apakah ini uang jajan yang dikumpulkannya bertahun-tahun sebagai uang
cadangannya? Uang yang diambilnya dari bank sebelum keberangkatan dan
disembunyikan di pigura foto? Sejanus selalu mengeluhkan ayahnya yang terbiasa
menggunakan uang untuk menyogok keluar dari masalah, tapi apakah kebiasaan
itu mendarah daging sejak lahir? Cara keluarga Plinth dalam menyelesaikan
masalah. Diturunkan dari ayah ke anak. Menjijikkan tapi e sien.
Coriolanus meraup uang itu, merapikannya dan menghitungnya dengan cepat.
Ada ratusan lembar ribuan dolar yang dibawanya. Apa gunanya uang di Distrik 12
jika tak ada barang yang bisa dibeli? Pastinya, tak ada yang bisa dibeli dengan gaji
Penjaga Perdamaian. Kebanyakan rekrut mengirim setengah gaji mereka ke
rumah, karena Capitol menyediakan hampir segala yang mereka butuhkan, hanya
kurang kertas surat dan malam di Hob. Dia berasumsi ada pasar gelap di Hob, tapi
dia tidak melihat barang yang menggoda untuk dibeli oleh Penjaga Perdamaian
selain minuman keras. Mereka tidak butuh daging kelinci, atau tali sepatu, atau
sabun buatan sendiri. Seandainya butuh pun, mereka bisa dengan mudah
desyrindah.blogspot.com

membelinya. Tentu saja ada hal-hal lain yang bisa dibeli dengan uang. Seperti
informasi, akses, dan tutup mulut. Di dalam uang ada sogokan. Ada kekuatan.
Coriolanus mendengar suara teman-temannya kembali. Dia bergegas
mengembalikan uang itu ke tempat persembunyiannya di pigura perak, dengan
hati-hati membiarkan tepian uangnya sedikit menyembul. Dia merapikan isi kotak
itu dan menyimpannya lagi ke loker Sejanus. Pada saat teman-teman sekamarnya
masuk, dia sudah berdiri di dekat kotak-kotak kiriman Ma dengan kedua tangan
terentang sambil tersenyum lebar bertanya, “Siapa yang menganggur hari Sabtu?”
Saat Smiley, Beanpole, dan Bug membuka kotak-kotak itu dan membongkar
harta karun di dalamnya, Sejanus duduk di tepi ranjang dan memperhatikan
dengan gembira.
Coriolanus bersandar pada ranjang tingkat di atas Sejanus. “Syukurlah ada
ibumu. Kalau tidak, kita semua melarat.”
“Ya, kita tak punya uang sepeser pun,” kata Sejanus.
Satu-satunya hal yang tak pernah dipertanyakan Coriolanus adalah kejujuran
Sejanus. Kalau bisa, dia malah tidak mau Sejanus terlalu jujur. Tapi pemuda itu
baru saja berbohong mentah-mentah yang disampaikan secara lugas. Ini artinya,
apa pun yang dikatakan Sejanus sekarang patut dicurigai.
desyrindah.blogspot.com
26

Sejanus menepuk dahinya. “Oh iya! Bagaimana ujiannya?”


“Kita lihat saja nanti bagaimana hasilnya,” kata Coriolanus. “Mereka mengirim
ujiannya ke Capitol untuk dinilai. Mereka bilang butuh waktu untuk tahu
hasilnya.”
“Kau akan lulus,” Sejanus meyakinkannya. “Kau layak lulus.”
Dia terlihat mendukung. Bermuka dua. Penuh tipu muslihat. Seperti laron
terbang menuju cahaya. Coriolanus tertegun, teringat pada surat Pluribus.
Bukankah itu yang diucapkan Dekan Highbo om setelah pertengkarannya
dengan ayah Coriolanus bertahun-
tahun lampau? Hampir tepat. Dia menggunakan istilah jamak. “Seperti laron-laron
terbang menuju cahaya.” Seakan sekelompok laron terbang menuju api neraka.
Sekelompok yang menuju kehancuran. Siapa yang dimaksud Dekan Highbo om?
Ah, masa bodoh. Highbo om si tukang teler, pembenci. Sebaiknya dia tak perlu
banyak memikirkan maksudnya.
Setelah makan malam, Coriolanus melaksanakan tugas jaga jam pertama di
hanggar udara di ujung pangkalan. Dia berdua dengan Penjaga Perdamaian tua
yang segera tidur setelah menyuruhnya berjaga, dan dia langsung mengkhayalkan
Lucy Gray, berharap bisa melihat gadis itu atau setidaknya berbicara dengannya.
Tugas jaga ini tampak tak ada gunanya, karena jelas tak terjadi apa-apa, padahal dia
bisa saja sedang memeluk Lucy Gray saat ini. Dia merasa terperangkap di
pangkalan sementara gadis itu bebas berkeliaran pada malam hari. Keadaan lebih
desyrindah.blogspot.com

baik di Capitol saat Lucy Gray terpenjara, karena dia tahu apa yang sedang
dilakukan gadis itu. Di sini, kali ini, yang dia tahu Billy Taupe berusaha kembali
menggeliat masuk ke hati gadis itu. Kenapa dia harus berpura-pura tidak
cemburu? Mungkin seharusnya dia menangkapnya…
Saat kembali ke barak Coriolanus menulis surat singkat untuk Ma, memuji
hadiah kirimannya, dan surat lain untuk Pluribus, berterima kasih atas bantuannya
lalu menanyakan apakah dia bisa mencarikan dawai untuk Lucy Gray. Otaknya
lelah karena ujian, Coriolanus tidur lelap dan bangun bersimbah keringat pada
pagi hari bulan Agustus yang panas. Kapan musim panas ini berakhir? September?
Oktober? Pada saat makan siang, antrean ke mesin es memanjang sampai keluar
ruang makan. Coriolanus mendapat tugas dapur dan sudah menyiapkan diri
untuk menghadapi yang terburuk, tapi ternyata dia naik pangkat dari menangani
tugas mencuci piring menjadi tugas memotong bahan makanan. Perubahan ini
seharusnya menyenangkan kalau dia tidak disuruh memotong bawang. Tidak ma-
salah kalau air matanya ikut keluar, tapi dia tidak tahan dengan bau bawang yang
menyengat di kedua tangannya. Bahkan setelah mengepel pada malam hari,
teman-temannya di barak masih berkomentar bahwa dia bau bawang, padahal dia
sudah mengepel lantai sepenuh tenaga untuk menghilangkan baunya. Apakah dia
masih akan bau bawang saat bertemu Lucy Gray nanti?
Jumat pagi, walaupun panas dan gelisah karena berada dekat para ilmuwan dari
Citadel, dia merasa lega karena siang itu hanya berurusan dengan burung.
Walaupun tidak suka, tapi mereka tidak menyisakan bau. Ketika Beanpole pingsan
saat latihan, sersan pelatih menyuruh teman-teman sekamar Beanpole
mengangkatnya ke klinik, di sana Coriolanus meminta sekaleng bedak untuk
mengobati biang keringat di dada dan di bawah ketiak kanannya. “Jaga agar tetap
kering,” kata petugas medis. Dia menahan diri untuk tidak memutar bola matanya.
Tubuhnya tak pernah kering sedetik pun sejak tiba di sauna Distrik 12.
Setelah makan siang sandwich isi daging dingin, mereka naik truk menuju hutan,
desyrindah.blogspot.com

di sana para ilmuwan yang masih mengenakan jas lab putih telah menunggu
mereka. Pada saat mereka bekerja berpasangan, Coriolanus baru tahu bahwa Bug,
yang tidak punya partner pada hari Rabu lalu bekerja berpasangan dengan Dr.
Kay. Wanita itu kagum dengan kelincahan Bug memanjat pohon, sehingga dia me-
minta bekerjasama dengan Bug lagi. Sudah terlambat untuk berganti pasangan,
jadi Coriolanus mengikuti mereka ke pepohonan, berusaha menjaga jarak sejauh
mungkin.
Sia-sia saja menghindar. Ketika dia mengamati Bug memanjat pohon pertama
sambil membawa kandang berisi umpan lalu menukarnya dengan kandang yang
sudah terpasang dan berisi burung jabberjay, Dr. Kay berdiri di belakangnya.
“Jadi, bagaimana menurutmu distrik-distrik ini, Prajurit Snow?”
Dia terperangkap seperti burung. Terperangkap seperti para peserta di kebun
binatang. Dia tak mungkin kabur ke pepohonan. Dia teringat pada nasihat Lucy
Gray yang menolongnya di kandang monyet. Kuasai.
Dia menoleh memandang Dr. Kay sambil tersenyum, terlihat cukup malu untuk
menunjukkan bahwa dia ketahuan, tapi tampak geli untuk menunjukkan bahwa
dia tidak peduli. “Setelah kupikir-pikir aku belajar lebih banyak tentang Panem
dalam satu hari bertugas sebagai Penjaga Perdamaian daripada tiga belas tahun
belajar di sekolah.”
Dr. Kay tertawa. “Ya. Dunia di luar sekolah penuh dengan pelajaran. Aku
ditugasi ke Dua Belas pada saat perang. Tinggal di pangkalanmu. Bekerja di hutan
ini.”
“Anda bagian dari proyek jabberjay saat itu?” tanya Coriolanus. Setidaknya
mereka berdua punya kegagalan.
“Aku mengepalainya,” kata Dr. Kay serius.
Kegagalan besar. Coriolanus merasa lebih tenang. Dia hanya mempermalukan
diri di Hunger Games, bukan di perang akbar. Mungkin Dr. Kay akan bersimpati
dan memberi laporan yang bagus tentang dirinya kepada Dr. Gaul saat kembali
desyrindah.blogspot.com

nanti. Berusaha mendekatkan diri dengan Dr. Kay mungkin bagus untuk masa
depannya. Dia ingat bahwa jabberjay semuanya jantan dan tak bisa menghasilkan
keturunan satu sama lain. “Jadi jabberjay ini benar-benar burung yang Anda
gunakan untuk menjadi mata-mata semasa perang?”
“Mm-hmm. Mereka anak-anakku. Aku tak pernah menyangka bisa melihat
burung-burung ini lagi. Dari hasil konsensus, burung-burung ini takkan bertahan
melewati musim dingin. Hewan hasil rekayasa genetika sering kali tidak bisa
bertahan hidup di alam liar. Tapi burung-
burungku ini kuat, dan alam punya kemauannya sendiri,” kata Dr. Kay.
Bug tiba kembali ke dahan paling bawah dan menyerahkan kandang berisi
jabberjay. “Sebaiknya kita tetap mengurung mereka.” Dia memberi pernyataan,
bukan pertanyaan.
“Ya. Bisa mengurangi stres karena dipindahkan,” Dr. Kay sependapat.
Bug mengangguk, meluncur turun ke tanah, lalu mengambil perangkap lain dari
tangan Coriolanus. Tanpa bertanya, dia memanjat pohon kedua. Dr. Kay
memperhatikan dengan senang. “Ada orang-orang yang memang memahami
burung.”
Dengan segenap keyakinannya Coriolanus merasa bahwa dia bukanlah tipe
orang yang memahami burung, tapi dia bisa berpura-pura jadi orang semacam itu
selama beberapa jam. Dia berjongkok di samping perangkap memperhatikan
jabberjay yang mengoceh. “Aku tak pernah mengerti cara kerja burung-burung
ini.” Dia juga tak pernah berusaha mencari tahu. “Aku tahu mereka merekam per-
cakapan, tapi bagaimana caranya mengontrol mereka?”
“Mereka dilatih untuk merespons perintah audio. Kalau kita beruntung, aku bisa
menunjukkannya padamu.” Dr. Kay mengeluarkan alat kecil berbentuk segi empat
dari kantongnya. Beberapa tombol berwarna-warni tampak di atasnya, tak ada
satu pun yang ditandai, mungkin karena sudah lama dan sering digunakan tanda
di tombolnya pudar. Dr. Kay berlutut memeriksa kandang, berhadapan dengan
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus, mempelajari burung dengan kasih sayang yang lebih daripada


ilmuwan selayaknya. “Bukankah dia tampak indah?”
Coriolanus berusaha terdengar meyakinkan. “Sangat indah.”
“Yang kaudengar sekarang, ocehan ini, adalah ocehannya sendiri. Dia bisa
meniru burung lain, atau omongan kita, atau mengoceh semaunya. Dia dalam
keadaan netral,” kata Dr. Kay.
“Keadaan netral?” tanya Coriolanus.
“Keadaan netral?” Dia mendengar suaranya bergaung dari paruh burung itu.
“Keadaan netral?”
Bahkan terdengar lebih seram saat mereka meniru suaramu, pikir Coriolanus, tapi
dia tertawa girang. “Itu suaraku!”
“Itu suaraku!” Jabberjay itu berkicau meniru suaranya, lalu mulai meniru burung
di dekatnya.
“Benar sekali,” kata Dr. Kay. “Tapi dalam keadaan netral, dia akan berpindah ke
sesuatu yang lain dengan cepat. Suara lain. Biasanya, hanya kalimat pendek. Atau
potongan nyanyian burung. Apa pun yang dianggapnya menarik. Untuk
pengawasan, kita perlu dia berada di mode rekam. Semoga berhasil.” Dia menekan
tombol di alat pengendali.
Coriolanus tidak mendengar apa-apa. “Aduh. Kurasa benda itu sudah terlalu
tua.”
Namun, Dr. Kay menyunggingkan senyum. “Tidak juga. Nada perintah ini tidak
bisa didengar telinga manusia biasa tapi bisa didengar burung. Lihat betapa
tenangnya dia?”
Jabberjay itu terdiam. Dia berjalan berkeliling di dalam kandang, menelengkan
kepala, mematuk-matuk, bertingkah sama hanya saja tidak berbicara.
“Apakah berhasil?” tanya Coriolanus.
“Kita lihat saja.” Dr. Kay menekan tombol lain, dan burung itu kembali berkicau
seperti biasa. “Netral lagi. Sekarang kita lihat apa yang didapatkannya.” Dr. Kay
desyrindah.blogspot.com

menekan tombol ketiga.


Setelah diam sesaat, burung itu mulai bicara.
 “Oh, tidak. Kurasa benda itu sudah terlalu tua.”
“Tidak juga. Nada perintah ini tidak bisa didengar telinga manusia biasa tapi bisa
didengar burung. Lihat betapa tenangnya dia?”
“Apakah berhasil?” 
“Kita lihat saja.” 
Replika yang persis. Tapi tidak juga. Desir angin berembus di pepohonan,
dengung serangga, tak terekam oleh burung itu. Hanya terdengar suara-suara
manusia.
“Wah,” kata Coriolanus kagum. “Berapa lama mereka bisa merekam
percakapan?”
“Sekitar satu jam, dalam kondisi bagus,” Dr. Kay memberitahunya. “Mereka
dirancang untuk menjelajahi wilayah hutan lalu mencari suara-suara manusia.
Kami melepaskan mereka di hutan dalam mode rekam, lalu menjemput mereka
dengan mengirim sinyal pulang ke pangkalan, di sana kami menganalisis hasil
rekamannya. Tidak hanya di sini saja, di Distrik Sebelas, Sembilan, atau di mana
pun mereka juga bisa berguna.”
“Anda tidak bisa memasang mikrofon di pepohonan saja?”tanya Coriolanus.
“Kau bisa memasang penyadap di gedung-gedung, tapi hutan terlalu luas. Para
pemberontak kenal baik wilayah mereka; kita tidak. Mereka berpindah-pindah
tempat. Jabberjay adalah alat perekam bergerak yang organik, dan tidak seperti
mikrofon, burung tidak terdeteksi. Para pemberontak bisa menangkap seekor,
membunuhnya, bahkan memakannya, dan yang mereka lihat hanyalah burung
biasa,” Dr. Kay menjelaskan. “Mereka sempurna, secara teori.”
“Tapi dalam praktiknya, para pemberontak tahu apa gunanya mereka,” kata
Coriolanus. “Bagaimana mereka bisa tahu?”
“Entahlah. Beberapa orang curiga melihat burung-burung itu terbang pulang ke
desyrindah.blogspot.com

pangkalan, padahal kami hanya memanggil mereka pulang saat larut malam. Jadi,
mustahil melihat mereka terbang dalam kegelapan, dan hanya beberapa ekor yang
terbang pulang berbarengan. Kemungkinan besar kami tidak menutupi jejak
dengan baik. Kami tidak memastikan bahwa informasi yang kami peroleh bisa
berasal dari sumber selain rekaman di hutan. Hal itu membangkitkan kecurigaan.
Meskipun bulu mereka yang gelap bisa menjadi kamu ase pada malam hari, tapi
kegiatan mereka dalam kegelapan bisa menjadi petunjuk. Kemudian, kupikir
mereka mulai bereksperimen dengan memberi informasi palsu pada kami dan
melihat bagaimana reaksi kami.” Dr. Kay mengangkat bahu. “Atau mungkin
mereka punya mata-mata di pangkalan. Aku tidak yakin kita akan pernah tahu
yang terjadi sesungguhnya.”
“Kenapa Anda tidak menggunakan alat itu untuk memanggil mereka pulang?
Daripada ” Coriolanus berhenti bicara, tidak mau tampak cerewet.
“Daripada membawa kalian semua berpanas-panas digigit nyamuk di sini?” Dr.
Kay tertawa. “Seluruh sistem transmisi sudah dibongkar, dan kandang burung di
pangkalan sudah disimpan di gudang persediaan. Selain itu, aku lebih suka turun
tangan mengambil mereka secara langsung. Kita tidak mau mereka terbang pergi
dan tak pernah kembali, kan?”
“Tentu saja tidak,” Corilanus berdusta. “Apakah mereka bisa melakukannya?”
“Aku tidak yakin apa yang akan mereka lakukan setelah berada di habitatnya.
Seusai perang, aku menempatkan mereka dalam mode netral. Jika tidak, itu
artinya aku kejam. Burung yang bisu sulit menghadapi tantangan alam. Mereka
tidak hanya bertahan hidup tapi berhasil kawin dengan mockingbird. Jadi kita
sekarang memiliki spesies baru.” Dr. Kay menunjuk seekor mockingjay di antara
dedaunan. “Mockingjay, itu sebutan penduduk lokal.” 
“Dan apa yang bisa mereka lakukan?” tanya Coriolanus.
“Entah. Aku mengamati mereka selama beberapa hari terakhir. Mereka tidak
punya kemampuan untuk meniru ucapan. Tapi kemampuan mereka dalam hal
desyrindah.blogspot.com

mengulang musik lebih baik daripada induk mereka,” katanya. “Coba kau
bernyanyi.”
Coriolanus hanya hafal satu lagu.
Permata Panem,
Kota yang kuat,
Sepanjang masa, kau senantiasa bersinar.
Mockingjay menelengkan kepala lalu menyanyikan ulang bait itu. Tidak ada
kata-kata, tetapi melodinya sama persis. Suaranya separo suara manusia, separo
suara burung. Beberapa ekor burung di sekitarnya meniru lagu itu dan
merangkainya menjadi struktur harmoni, yang mengingatkan Coriolanus pada
kaum Pengembara dengan lagu-lagu lama mereka.
“Kita harus membunuh mereka semua.” Kata-kata itu keluar dari mulutnya
tanpa bisa dicegah.
“Membunuh mereka semua? Kenapa?” tanya Dr. Kay terkejut.
“Mereka tidak alami.” Coriolanus berusaha mengalihkan komentarnya agar dia
terdengar sebagai penggemar burung. “Mereka mungkin akan melukai spesies
lain.”
“Mereka tampaknya rukun. Dan mereka ada di seantero Panem, di segala tempat
jabberjay dan mockingbird hidup bersama. Kita akan membawa pulang beberapa
ekor dan melihat apakah mockingjay  dengan mockingjay bisa bereproduksi. Kalau
mereka tidak bisa berkembang biak, mereka akan punah dalam beberapa tahun.
Kalau mereka berhasil, kita punya tambahan satu jenis burung penyanyi lagi,” kata
Dr. Kay.
Coriolanus sependapat bahwa mereka mungkin tidak berbahaya. Dia
menghabiskan sepanjang siang dengan bertanya dan memperlakukan burung-
burung itu dengan lembut untuk menghapus sarannya yang terdengar tidak
berperasaan. Dia tidak punya masalah dengan jabberjay dari sudut pandang
desyrindah.blogspot.com

militer, burung ini menarik tapi ada sesuatu dari mockingjay yang membuat
Coriolanus jijik. Dia tidak suka kenyataan bahwa mereka tercipta secara spontan.
Seolah-olah alam gila sesaat. Mockingjay harus punah. Secepat mungkin.
Saat tugas berakhir hari itu, mereka mendapat tiga puluh ekor jabberjay, tapi tak
ada satu pun mockingjay yang masuk perangkap.
“Mungkin jabberjay tidak gampang curiga, mengingat mereka sudah terbiasa
dengan perangkap. Lagi pula, mereka dibesarkan di kandang,” kata Dr. Kay sambil
berpikir. “Tidak masalah. Kita beri waktu beberapa hari lagi, dan jika perlu, kita
akan mengeluarkan jaring.”
Atau senjata, pikir Coriolanus.
Saat mereka kembali berada di pangkalan, dia dan Bug dipilih untuk
menurunkan kandang-kandang dan membantu para ilmuwan menaruh kandang-
kandang itu di hanggar tua yang dulu jadi rumah sementara burung-burung itu.
“Apakah kalian mau membantu mengurus burung-burung itu sampai kami
membawanya ke Capitol?” tanya Dr. Kay pada mereka. Bug tersenyum
mengiyakan, dan Coriolanus menerima penugasan itu dengan penuh semangat.
Selain ingin memberi kesan yang baik, udara di hanggar lebih sejuk karena di-
lengkapi beberapa kipas angin besar. Kondisi ini lebih baik untuk meredakan
biang keringatnya yang semakin menjadi-jadi saat bertugas di hutan. Setidaknya
ada perubahan rutinitas.
Sebelum lampu dipadamkan, teman-teman sekamarnya menata hadiah dari Ma
dan menyusun rencana untuk dua akhir pekan yang akan datang di Hob, berjaga-
jaga seandainya Ma tidak rutin mengirimkan kotak-kotak hadiah. Dengan
kelihaiannya berdagang, Smiley menjadi aset mereka. Dengan cermat dia
menyiapkan dua kali jatah minuman keras dan uang untuk ditaruh di ember kaum
Pengembara setelah pertunjukkan. Sisanya dibagi lima. Untuk jatahnya,
Coriolanus mengambil enam kotak popcorn, dan dia hanya akan mengambil satu
untuk dirinya. Sisanya akan dia berikan pada kaum Pengembara.
Hari Sabtu pagi, Coriolanus terbangun karena badai menerjang atap pangkalan.
desyrindah.blogspot.com

Ketika mereka hendak sarapan, teman-teman sekamarnya saling lempar es


seukuran jeruk, tapi pada siang hari matahari bersinar sangat terik. Dia dan Bug
ditugasi untuk mengurus jabberjay siang itu. Mereka membersihkan kandang, lalu
memberi makan dan minum burung-burung itu sesuai arahan para ilmuwan
Citadel. Walaupun burung-burung itu tadinya ada yang ditangkap berdua bahkan
bertiga di dalam satu kandang, kini satu kandang hanya berisi seekor burung.
Sorenya, dengan hati-hati Coriolanus dan Bug memindahkan burung-burung itu
satu per satu ke tempat para ilmuwan membangun laboratorium. Jabberjay-
jabberjay itu diberi nomor, ditandai, lalu diberi latihan-latihan dasar untuk melihat
apakah mereka masih menanggapi perintah-perintah melalui alat pengendali.
Semua burung tampaknya tetap memiliki kemampuan merekam dan meniru
ucapan manusia.
 Tanpa terdengar para ilmuwan, Bug menggeleng-geleng. “Apakah itu bagus buat
mereka?”
“Entahlah. Mereka dirancang untuk itu,” kata Coriolanus.
“Burung-burung itu akan lebih bahagia kalau kita membiarkan mereka di
hutan,” kata Bug.
Coriolanus tidak yakin apakah Bug benar. Sepanjang pengetahuannya, burung-
burung itu akan terbangun di laboratorium Citadel beberapa hari lagi, dan entah
mimpi buruk apa yang mereka bawa selama sepuluh tahun di Distrik 12. Mungkin
mereka lebih bahagia di lingkungan terkendali, tanpa ancaman terhadap
kelangsungan hidup mereka. “Aku yakin para ilmuwan akan merawat mereka
dengan baik.”
Setelah makan malam, Coriolanus berusaha tidak menunjukkan
ketidaksabarannya ketika menunggu teman-teman sekamarnya bersiap-siap.
Karena dia memutuskan untuk merahasiakan kisah asmaranya, dia berencana
menyelinap kabur sesampainya di Hob. Di samping itu ada masalah Sejanus.
Pemuda itu berbohong soal uang, tapi bisa saja dia berbohong agar bisa diterima
desyrindah.blogspot.com

oleh teman-teman sekamarnya yang tidak punya uang. Setelah kejadian dengan
peta itu, Sejanus tampaknya sungguh menyesal. Semoga saja dia menyadari
bahayanya menjadi perantara dengan Lil. Apakah Billy Taupe atau pemberontak
lain berusaha mendekatinya lagi, karena Sejanus sempat menunjukkan niat untuk
membantu? Sejanus adalah sasaran empuk. Cara termudah adalah membawanya
bertemu kaum Pengembara setelah Coriolanus kabur dari rombongan.
“Kau mau ke belakang panggung bersamaku?” dia bertanya pada Sejanus saat
mereka tiba di Hob.
“Apakah aku diundang?”tanya Sejanus.
“Tentu saja,” kata Coriolanus, meskipun sebenarnya hanya dia yang diundang.
Mungkin ini bagus. Kalau Sejanus bisa menghibur Maude Ivory, Coriolanus bisa
punya waktu berduaan dengan Lucy Gray. “Tapi kita harus memisahkan diri dari
teman-teman.”
Ternyata mudah, karena penonton lebih banyak daripada minggu sebelumnya,
dan minuman keras kali ini lebih keras lagi. Mereka meninggalkan Smiley, Bug,
dan Beanpole yang sibuk tawar-
menawar, lalu menemukan pintu di dekat panggung yang mengarah ke jalan
belakang yang sepi dan sempit.
Gubuk yang disebut Lucy Gray ternyata bekas bengkel yang bisa menampung
delapan mobil. Pintu-pintu besar tempat masuk mobil dikunci dengan rantai, tapi
pintu yang lebih kecil di sisi gedung tepat di seberang pintu panggung diganjal
dengan batu bata dan dibiarkan terbuka. Saat Coriolanus mendengar obrolan dan
alat musik yang disetel, dia tahu dia tidak salah tempat.
Mereka masuk dan melihat kaum Pengembara sudah menguasai tempat itu,
bersantai di atas ban-ban dan perabotan tua seperti di rumah sendiri. Kotak-kotak
peralatan dan alat-alat musik berserakan. Bahkan, meski pintu kedua yang berada
di ujung ruangan dibuka, tempat itu masih sepanas oven. Berkas cahaya malam
menerobos celah-celah jendela, menyorot debu yang mengambang di udara pe-
desyrindah.blogspot.com

ngap.
Saat Maude Ivory melihat mereka, gadis kecil yang mengenakan rok merah
muda itu bergegas berlari menghampiri. “Hei!”
“Selamat malam.” Coriolanus membungkuk lalu menyodorkan paket berisi
bungkusan popcorn. “Yang manis untuk si gadis manis.”
Maude Ivory membuka kemasan paket lalu melompat dengan satu kaki sebelum
memberi hormat. “Terima kasih, Tuan yang baik,  aku akan menyanyikan lagu
spesial untukmu malam ini!”
“Hanya itu harapan kedatanganku,” kata Coriolanus. Lucunya bahasa basa-basi
ala Capitol tampaknya cocok dengan kaum Pengembara. 
“Oke, tapi aku tidak bisa menyebut namamu, karena kau rahasia,” Maude Ivory
terkikik.
Gadis itu berlari menghampiri Lucy Gray, yang duduk bersilang kaki di meja tua
sambil menyetem gitarnya. Lucy Gray tersenyum pada Maude Ivory yang
menunjukkan tampang girang, tapi berkata dengan tegas, “Simpan untuk dimakan
nanti.” Maude Ivory melompat-lompat menunjukkan harta berharganya kepada
teman-teman band lainnya. Sejanus bergabung dengan anggota band sementara
Coriolanus melambai pada mereka saat berjalan ke arah Lucy Gray. “Kau tidak
perlu melakukannya. Kau terlalu memanjakannya.”
“Hanya ingin memberi kebahagiaan di pikirannya,” kata Coriolanus.
“Bagaimana dengan pikiranku?” Lucy Gray menggodanya. Coriolanus
mendekat lalu mengecupnya. “Oke, itu awal yang baik.”  Gadis itu bergeser dan
menepuk meja di sampingnya.
Coriolanus duduk dan memperhatikan gubuk itu. “Tempat apa ini?”
“Sekarang jadi tempat istirahat. Kami datang kemari sebelum dan sesudah
pertunjukan dan saat kami turun panggung di antara lagu,” Lucy Gray
memberitahunya.
“Tapi siapa pemiliknya?” Dia berharap mereka tidak melanggar wilayah orang
desyrindah.blogspot.com

lain.
Lucy Gray tampak tidak kuatir. “Entahlah. Kami akan bertengger di sini sampai
mereka mengusir kami.”
Burung. Selalu ada hubungan dengan burung pada diri gadis itu, pada para
Pengembara. Bernyanyi, bertengger, hingga hiasan bulu di topi mereka. Burung-
burung yang indah. Coriolanus memberitahunya tentang penugasan mengurus
burung jabberjay, berharap gadis itu akan kagum karena dirinya terpilih bekerja
bersama para ilmuwan, tapi hal itu tampaknya malah membuat Lucy Gray sedih.
“Aku tidak suka membayangkan mereka terkurung di kandang, padahal mereka
pernah mencicipi kebebasan,” kata Lucy Gray. “Mereka berharap bakal
menemukan apa di lab?”
“Aku tidak tahu. Mungkin memastikan apakah senjata mereka masih berfungsi?”
tebak Coriolanus.
“Kedengarannya seperti siksaan, ada orang yang mengendalikan suaramu seperti
itu.” Tangan Lucy Gray terangkat menyentuh lehernya.
Coriolanus menganggap Lucy Gray bersikap dramatis tapi dia berusaha
menenangkannya. “Menurutku mereka tidak bisa disamakan dengan manusia.”
“Oh ya? Apakah kau selalu merasa bebas mengutarakan isi pikiranmu,
Coriolanus Snow?” tanya Lucy Gray, memandangnya ingin tahu.
Bebas mengutarakan isi pikirannya? Tentu saja. Yah, setidaknya yang masih
masuk akal. Dia tidak mengucapkan segala yang terlintas dalam pikirannya. Apa
maksud pertanyaan Lucy Gray? Apakah maksudnya terkait pendapat Coriolanus
tentang Capitol? Hunger Games? Dan distrik-distrik? Sejujurnya, dia mendukung
sebagian besar keputusan Capitol, dan sisanya dia tidak terlalu peduli. Tapi jika
diharuskan, dia akan mengutarakan pendapatnya. Benarkah? Benarkah dia berani
menentang Capitol? Seperti yang dilakukan Sejanus? Bahkan jika dia harus
menghadapi hukuman? Dia tidak tahu, tapi dia merasa perlu membela diri.
“Tentu. Menurutku kau harus mengutarakan isi pikiranmu.”
desyrindah.blogspot.com

“Itu juga kata ayahku. Dan dia berakhir dengan lubang peluru di tubuhnya, lebih
banyak daripada yang bisa kuhitung dengan jari di kedua tanganku,” katanya.
Apa yang disiratkan Lucy Gray? Tanpa perlu dikatakan pun, Coriolanus yakin
peluru-peluru itu berasal dari senjata Penjaga Perdamaian. Barangkali dari orang
yang berseragam sama seperti yang dikenakan Coriolanus sekarang. “Dan ayahku
tewas oleh peluru penembak jitu pemberontak.”
Lucy Gray menghela napas. “Kau jadi marah.”
“Tidak.” Tapi sebenarnya dia marah. Coriolanus berusaha meredam
kemarahannya. “Aku hanya lelah. Aku sudah menunggu-
nunggu kesempatan bertemu denganmu. Turut menyesal atas kejadian yang
menimpa ayahmu juga pada apa yang menimpa ayahku tapi bukan aku yang
memimpin Panem.”
“Lucy Gray!” Maude Ivory memanggilnya dari seberang ruangan. “Sudah
waktunya!” Kaum Pengembara mulai berkumpul di pintu, sambil membawa alat
musik di tangan.
“Sebaiknya aku juga pergi.” Coriolanus turun dari meja. “Semoga per-
tunjukannya sukses.”
“Apakah aku akan bertemu denganmu setelah pertunjukan?” tanya Lucy Gray.
Coriolanus menyeka seragamnya. “Aku harus kembali sebelum jam malam.”
Lucy Gray berdiri dan mengalungkan gitarnya. “Baiklah. Besok kami berencana
piknik ke danau, kalau kau senggang.”
“Danau?” Apakah ada tempat menyenangkan di distrik menyedihkan ini?
“Ada danau di hutan. Mesti sedikit mendaki, tapi airnya bisa untuk berenang,”
katanya. “Ikutlah. Ajak Sejanus sekalian. Kita akan punya waktu seharian.”
Dia ingin pergi. Menghabiskan waktu seharian bersama Lucy Gray. Dia masih
kesal, tapi konyol rasanya. Gadis itu tidak menuduhnya apa-apa. Obrolan mereka
hanya melenceng dari topik. Semuanya gara-gara burung bodoh. Lucy Gray hanya
berusaha mencari bahan obrolan; kenapa dia harus menepis usahanya?
desyrindah.blogspot.com

Coriolanus sulit berjumpa dengan Lucy Gray, tak ada gunanya dia uring-uringan.
“Baiklah. Kami akan datang setelah sarapan.”
“Oke, kalau begitu.” Lucy Gray mengecup pipinya lalu bergabung dengan
Pengembara lainnya ketika meninggalkan gubuk.
Sekembalinya di Hob, dia dan Sejanus berdesakan di dalam ruangan yang
temaram, udara berbau keringat dan minuman keras. Mereka melihat teman-
teman sekamar mereka berada di tempat yang sama seperti minggu sebelumnya.
Bug sudah mengamankan kotak kayu untuk mereka, Coriolanus dan Sejanus
berdiri mengapit Bug, menyesap minuman keras dari botol bersama.
Maude Ivory berlari tergesa-gesa untuk memperkenalkan anggota band. Musik
membahana saat kaum Pengembara naik panggung.
Coriolanus bersandar di dinding dan menghabiskan minuman keras banyak-
banyak. Dia tak akan bertemu Lucy Gray nanti, jadi apa salahnya mabuk-
mabukan? Kemarahan di dadanya mulai reda saat dia memandang Lucy Gray.
Gadis itu sangat menarik, begitu memikat, dan penuh semangat hidup. Dia mulai
merasa tidak enak hati karena sudah marah, dan bahkan tidak ingat apa ucapan
Lucy Gray yang membuatnya naik darah. Mungkin tidak ada sama sekali. Minggu
ini terasa panjang dan melelahkan dengan jadwal ujian masuk, burung-burung,
dan kebodohan Sejanus. Dia layak bersenang-senang.
Dia menenggak minumannya lagi dan merasa lebih ramah pada dunia. Alunan
musik, lagu-lagu lama dan baru, bergelora dalam dirinya. Bahkan sekali dia ikut
bernyanyi bersama penonton dan langsung berhenti bernyanyi saat
menyadarinya, lalu melihat tak ada satu pun yang peduli atau tidak mabuk untuk
bisa mengingat apa yang mereka lakukan.
Pada suatu saat, Barb Azure, Tam Amber, dan Clerk Carmine meninggalkan
panggung, mungkin mereka beristirahat di gubuk, meninggalkan Maude Ivory di
atas kotaknya di belakang mikrofon bersama Lucy Gray yang memetik gitar di
sampingnya. 
desyrindah.blogspot.com

“Aku berjanji pada sahabatku akan menyanyikan lagu spesial untuknya malam
ini, dan inilah lagunya,” kata Maude Ivory. “Masing-masing Pengembara berutang
nama pada sebuah balada, dan lagu ini milik gadis cantik di sini!” Dia menunjuk
Lucy Gray, yang membungkuk memberi hormat saat penonton bertepuk tangan.
“Lagu yang sangat lawas ciptaan seseorang bernama Wordsworth. Kami me-
madukannya dengan lirik lain agar lebih masuk akal, tapi kalian harus
mendengarnya baik-baik.” Maude Ivory menekan jari telunjuknya ke bibir, lalu
penonton pun menahan suara.
Coriolanus menggeleng-geleng berusaha memusatkan perhatian. Kalau ini
lagunya Lucy Gray, dia ingin mendengarkan dengan saksama agar bisa
mengatakan sesuatu yang menyenangkan besok.
Maude Ivory mengangguk pada Lucy Gray agar menyanyikan intro yang
dimulai dengan khidmat: 
Sering kudengar nama Lucy Gray
Saat aku melintasi hutan belantara,
Aku sempat melihatnya pada dini hari
Anak penyendiri.
Tak ada kenalan, tak ada sahabat yang dikenal Lucy;
Dia berdiam di tempat yang tak dihuni,
Di tempat tumbuhnya tumbuhan terindah
Di sisi pegunungan!
Oke, jadi ada gadis kecil yang tinggal di gunung. Dan tampaknya dia sulit
berteman.
Kau bisa mengintai anak rusa sedang bermain
Kelinci di antara rerumputan;
Tapi wajah manis Lucy Gray
Takkan pernah terlihat lagi.
desyrindah.blogspot.com

Dan gadis itu meninggal. Bagaimana? Firasatnya mengatakan dia akan tahu
sebentar lagi.
“Malam ini akan datang badai
Kau harus pergi ke kota;
Dan bawalah lentera, Nak, untuk menerangi
Ibumu yang berjalan melintasi salju.”
“Dengan senang hati aku akan melakukannya, Ayah;
Jelang sore hari ini
Jam di desa berdentang pukul dua,
Dan bulan terlihat di langit sana!”
Sang ayah membuka pengait,
Untuk memulai hari;
Dia menjalankan pekerjaannya dan Lucy
Membawa lentera sepanjang perjalanannya.
Sebebas kelinci gunung;
Dia menembus jalan baru
Kakinya tenggelam dalam salju berbubuk,
Yang mengepul bagaikan asap.
Badai datang sebelum waktunya;
Dia menjelajah naik dan turun;
Banyak lembah dan gunung yang dilalui Lucy;
Namun, dia tak pernah tiba di kota.
Ah. Banyak kata-kata yang masuk akal, tapi intinya gadis itu tersesat di salju. Yah,
tidak heran sih, kalau mereka mengirimnya keluar menuju badai salju. Barangkali
gadis itu mati beku.
Kedua orangtua yang sepanjang malam itu
desyrindah.blogspot.com

Berteriak memanggil di kejauhan;


Namun, tak ada suara atau penampakan yang
Bisa memandu mereka.
Fajar merekah di bukit tempat mereka berdiri
Memandang ke kejauhan;
Dan mereka melihat jembatan kayu,
Yang membentang di atas ngarai.
Mereka menangis dan berbalik pulang, terisak,
“Kita kan’ bertemu lagi di surga”;
Ketika sang ibu memperhatikan
Jejak kaki Lucy.
Oh, baguslah. Mereka menemukan jejak kakinya. Akhir yang bahagia. Ini seperti
hal-hal konyol, seperti lagu yang dinyanyikan Lucy Gray tentang pria yang mereka
pikir sudah mati beku. Mereka berusaha mengkremasinya di oven, tapi dia malah
mencair dan hidup kembali. Sam Siapa Itu Namanya.
Lalu mereka menuruni tepi bukit curam
Dan mengikuti jejak-jejak kaki kecil;
Melintasi semak-semak berduri,
Dan menyusuri dinding batu nan panjang;
Lalu menyeberangi tanah lapang;
Jejak-jejak itu masih sama;
Mereka terus mengikutinya, tanpa henti;
Hingga akhirnya tiba di jembatan.
Mereka menyusuri tepi sungai bersalju
Mengikuti jejak kaki, satu per satu.
Hingga tiba di tengah jembatan;
Dan jejak itu lenyap!
desyrindah.blogspot.com

Tunggu! Apa? Gadis itu menghilang begitu saja?


Namun, sampai sekarang banyak yang bilang
Dia masih hidup;
Kau bisa melihat Lucy Gray yang manis
Sendirian di hutan belantara.
Di sepanjang perjalannya melewati suka dan duka,
Dia tak pernah mengingat masa lalunya;
Dan menyanyikan lagu kesepian
Yang berdengung dalam embusan angin.
Oh, cerita hantu. Uh. Konyol sekali. Yah, dia akan berusaha keras untuk tampak
menyukai lagu ini saat bertemu kaum Pengembara besok. Tapi, siapa yang
menamai anak mereka seperti nama hantu anak perempuan? Namun, kalau gadis
itu hantu, di mana jasadnya? Mungkin dia muak pada orangtuanya yang sembrono
menyuruh dia keluar rumah dalam badai salju lalu memutuskan untuk kabur dan
tinggal di hutan. Tapi, kenapa gadis itu tidak tumbuh dewasa? Coriolanus tidak
bisa memahaminya, dan minuman keras tidak membantunya jadi lebih pintar. Dia
teringat pada saat dia tidak mengerti puisi di kelas retorika dan Livia Cardew
mempermalukannya di depan semua orang. Lagunya jelek sekali. Mungkin takkan
ada yang menanyakan pendapatnya… Tidak, mereka akan menanyakannya.
Maude Ivory bakal mengharapkan tanggapan. Dia bakal menjawab lagunya
brilian, sudah itu saja. Tapi, bagaimana jika dia mau membahasnya?
Coriolanus memutuskan untuk menyerahkannya pada Sejanus, yang selalu
pintar dalam mata pelajaran retorika, dan menanyakan pendapat sahabatnya.
Tapi saat dia menoleh ke arah Bug, dia melihat kotak kayu yang tadinya
ditempati Sejanus kini kosong.
desyrindah.blogspot.com
27

Coriolanus memperhatikan sekeliling Hob, berusaha menyembunyikan


kegelisahannya yang makin memuncak. Di mana Sejanus? Adrenalin bekerja
melawan alkohol untuk mengendalikan otaknya. Dia terlalu menikmati alunan
musik dan alkohol sampai tidak menyadari kapan Sejanus menghilang. Bagaimana
kalau Sejanus berubah pikiran tentang Lil? Apakah saat ini Sejanus ada di antara
kerumunan massa, berkonspirasi dengan para pemberontak?
Dia menunggu sampai penonton selesai bertepuk tangan untuk Maude Ivory
dan Lucy Gray sebelum berdiri. Pada saat hendak ke luar pintu, dia melihat
Sejanus kembali dari sorotan cahaya berkabut.
“Kau dari mana?” tanya Coriolanus.
“Luar. Minumannya membuatku ingin kencing.” Sejanus duduk di atas kotak
kayu dan kembali memandang panggung.
Coriolanus juga kembali duduk di tempatnya. Matanya memperhatikan
panggung, tapi pikirannya ke mana-mana. Minuman keras putih tidak akan
membuat orang yang meminumnya ingin kencing. Minuman tersebut berkadar
alkohol tinggi, dan Sejanus hanya minum sedikit. Kebohongan lain. Apa
maksudnya? Apakah dia tidak bisa meninggalkan Sejanus barang sedetik pun?
Sepanjang sisa pertunjukan, dia terus melirik ke samping untuk memastikan Se-
janus tidak kabur lagi. Dia terus berada di dekat Sejanus setelah Maude Ivory
mengumpulkan uang di keranjang yang dihiasi pita-pita, tapi Sejanus tampak
sibuk membantu Bug memapah Beanpole yang mabuk berat untuk kembali ke
desyrindah.blogspot.com

pangkalan. Tak ada kesempatan berdiskusi lebih lanjut. Kalau benar Sejanus
menyelinap keluar untuk menyusun rencana dengan para pemberontak, artinya
teguran langsung Coriolanus padanya setelah kejadian dengan Billy Taupe jelas
gagal. Coriolanus butuh strategi baru.
Hari Minggu matahari bersinar kelewat terang dan menghantam kepala
Coriolanus yang berdenyut-denyut. Dia memuntahkan cairan bening minuman
keras dan berdiri di bawah pancuran sampai matanya bisa memandang dengan
jelas lagi. Telur-telur yang berminyak di ruang makan tak menggugah seleranya,
jadi dia hanya makan roti panggang sementara Sejanus menghabiskan dua porsi
makanan mereka, sehingga menegaskan kecurigaan Coriolanus bahwa Sejanus
nyaris tidak minum alkohol tadi malam, dan yang jelas tidak minum banyak
sampai tak bisa menahan kencing. Tiga orang teman sekamar mereka bahkan
tidak bisa bangun untuk sarapan. Dia harus mengawasi Sejanus dengan ketat
sebelum bisa menemukan pendekatan terbaik, apalagi saat mereka meninggalkan
pangkalan. Paling tidak hari ini, karena dia butuh pendamping untuk ke danau.
Walaupun semangat Coriolanus sudah memudar, Sejanus menerima ajakan itu
dengan gembira. “Kedengarannya seperti liburan. Kita bawakan es buat mereka!”
Saat Sejanus bicara dengan Cookie untuk meminta kantong plastik, Coriolanus
pergi ke klinik meminta obat pereda sakit kepala. Mereka bertemu di gerbang jaga
lalu berangkat bersama.
Mereka tidak tahu jalan pintas ke Seam, sehingga mereka berjalan ke alun-alun
dulu kemudian mengikuti jalan yang mereka lalui minggu lalu. Coriolanus berniat
bicara dari hati ke hati lagi dengan Sejanus, tapi kalau ancaman bahwa
tindakannya bisa dianggap pengkhianatan tidak membuat Sejanus berubah
pikiran, apa yang bisa mengubahnya?  Dan Coriolanus tidak sepenuhnya yakin
Sejanus berkomplot dengan para pemberontak. Mungkin dia memang kepingin
kencing tadi malam, menuduhnya berkomplot malah akan membuat pemuda itu
makin defensif. Satu-satunya bukti nyata adalah uang yang disembunyikan,
desyrindah.blogspot.com

mungkin saja Strabo berkeras agar Sejanus membawanya tapi dia bertekad tak
mau menggunakannya. Dia tidak menghargai uang, dan uang hasil penjualan
senjata barangkali menjadi beban untuknya. Mungkin bagi  Sejanus sukses tanpa
bantuan ayahnya adalah semacam bentuk kehormatan.
Lucy Gray tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia masih kesal karena
cekcok kemarin malam. Gadis itu menyambutnya di pintu belakang dengan
ciuman dan segelas air dingin untuk menyegarkannya hingga mereka sampai ke
danau. “Butuh waktu dua sampai tiga jam, tergantung semak-semak mawar liar,
tapi sepadan dengan pemandangannya.”
Untuk pertama kalinya kaum Pengembara meninggalkan alat-alat musik mereka.
Barb Azure tinggal di rumah untuk menjaga barang-barang. Dia mengantar
mereka keluar dengan membawa ember berisi sebotol air, sebongkah roti, dan
selimut tua.
“Barb Azure sedang dekat dengan gadis di ujung jalan,” kata Lucy Gray saat
mereka sudah berjalan meninggalkan rumah. “Mungkin mereka senang karena
bisa berduaan di rumah.”
Tam Amber memimpin rombongan melintasi Padang Rumput memasuki hutan.
Clerk Carmine, Maude Ivory, dan Sejanus berbaris di belakangnya, meninggalkan
Lucy Gray dan Coriolanus berdua di belakang. Tidak ada jalan setapak. Mereka
menyusuri hutan, melangkahi batang-batang pohon yang tumbang, menggeser-
ranting-ranting pohon, berusaha menghindari semak-semak berduri di tanah.
Sepuluh menit kemudian, yang tersisa dari Distrik 12 adalah bau tajam dari
tambang. Dalam dua puluh menit mereka sudah berada dalam hutan lebat. Daun-
daun rimbun pepohonan menaungi mereka dari matahari tapi tak menghalangi
panas. Dengungan serangga, cicit tupai, dan nyanyian burung  memenuhi udara,
tak terganggu dengan kehadiran manusia.
Walaupun sudah dua hari bertugas memerangkap burung,
Coriolanus merasa makin cemas saat berjalan menjauhi kota. Dia bertanya-tanya
desyrindah.blogspot.com

apakah ada hewan-hewan lain yang lebih besar, lebih kuat, dan bertaring
mengintai di pepohonan. Dia tidak punya senjata sama sekali. Setelah
menyadarinya, dia pura-pura butuh tongkat kayu untuk membantunya berjalan
dan berhenti sejenak mengambil cabang pohon yang hampir terlepas dari
dahannya.
“Bagaimana dia bisa tahu jalan?” Coriolanus bertanya pada Lucy Gray sambil
mengangguk ke arah Tam Amber.
“Kami semua tahu jalannya,” kata Lucy Gray. “Ini rumah kedua bagi kami.”
Karena yang lain tidak kelihatan kuatir, Coriolanus berjalan mengikuti mereka
menapaki hutan yang seakan tak berujung arahnya. Dia sempat senang ketika Tam
Amber mengumpulkan mereka, tapi pemuda itu hanya berkata, “Separo jalan lagi.”
Mereka menggilir kantong es, meminum air dari es yang mencair dan mengisap es
batu yang tersisa.
Maude Ivory mengeluh kakinya sakit lalu melepas sepatu cokelatnya yang sudah
jebol untuk menunjukkan lecet-lecet di kakinya. “Sepatu ini tidak enak dipakai
berjalan.”
“Sepatu itu bekas Clerk Carmine. Kami berusaha agar sepatunya bisa bertahan
hingga musim panas berakhir,” kata Lucy Gray, memeriksa lecet-lecet di kaki
Maude Ivory sambil mengernyit.
“Sepatunya kesempitan,”kata Maude Ivory. “Aku mau sepatu sandal seperti
dalam lirik lagu itu.”
Sejanus berjongkok, menawarkan punggungnya. “Bagaimana kalau
kugendong?”
Maude Ivory langsung melompat ke punggung Sejanus.
“Hati-hati kepalaku!”
Setelah itu mereka bergantian menggendong gadis kecil itu. Karena tidak perlu
bersusah payah berjalan, Maude Ivory mengerahkan tenaganya untuk bernyanyi.
desyrindah.blogspot.com

Di dalam gua,  di dalam ngarai,


Menggali tambang,
Tinggallah penambang, mengais rezeki
Bersama putrinya, Clementine.
Gadis itu kurus dan halus lembut,
Ukuran sepatunya nomor sembilan.
Di kotak kayu, tanpa penutup,
Ada sepatu sandal untuk Clementine.
Yang membuat Coriolanus terkejut, seekor mockingjay menirukan nada bagian
refrain dari dahan-dahan pohon yang tinggi. Dia tidak menyangka mereka ada di
tempat sejauh ini makhluk-makhluk itu menguasai hutan. Namun, Maude Ivory
terlihat gembira dan terus bernyanyi. Coriolanus menggendongnya terakhir dan
mengalihkan perhatiannya dengan berterima kasih atas lagu Lucy Gray malam
sebelumnya.
“Apa yang kautangkap dari lagu itu?” tanya Maude Ivory.
Coriolanus berusaha menghindari pertanyaan tersebut. “Aku sangat
menyukainya. Kau luar biasa.”
“Terima kasih, tapi maksudku bagaimana dengan lagunya? Menurutmu, apakah
orang-orang sungguh-sungguh melihat Lucy Gray, atau mereka hanya
memimpikannya?” tanya Maude Ivory. “Karena menurutku mereka sungguh-
sungguh melihatnya. Hanya saja, sekarang dia terbang seperti burung.”
“Oh ya?”Coriolanus merasa lebih baik karena lagu yang penuh teka-teki itu
memang membingungkan, dan dia bukannya terlalu bodoh untuk menangkap
penafsiran cerdas lagu itu.
“Bagaimana caranya dia tidak lagi meninggalkan jejak kaki?” kata Maude Ivory.
“Menurutku dia terbang dan berusaha tidak bertemu manusia, karena mereka
akan membunuhnya karena dia berbeda.”
“Yeah, dia berbeda. Dia jadi hantu, bodoh,” kata Clerk
desyrindah.blogspot.com

Carmine. “Hantu tidak meninggalkan jejak kaki, karena mereka melayang di


udara.”
“Kalau begitu, di mana jasadnya?” tanya Coriolanus, merasa setidaknya versi
Maude Ivory masuk akal juga.
“Dia jatuh dari jembatan lalu tewas, tapi karena jurangnya dalam, tak ada yang
bisa melihatnya. Atau mungkin ada sungai di bawah sana dan jasadnya hanyut,”
kata Clerk Carmine. “Intinya, dia tewas dan dia menghantui tempat itu.
Bagaimana caranya dia terbang tanpa sayap?”
“Dia tidak jatuh dari jembatan! Saljunya tampak berbeda di tempat dia berdiri!”
Maude Ivory berkeras. “Lucy Gray, bagaimana menurutmu?”
“Itu misteri, sayangku. Seperti aku. Itu sebabnya lagu itu jadi laguku,” jawab
Lucy Gray.
Pada saat mereka tiba di danau, Coriolanus sudah terengah-engah dan kehausan.
Biang keringatnya makin gatal kena tubuhnya basah oleh keringat. Saat Para
Pengembara melepaskan seluruh pakaian hingga ke pakaian dalam lalu
menceburkan diri ke danau, Coriolanus ikut menceburkan diri tanpa pikir
panjang. Dia berenang, menikmati dinginnya air menerpa tubuhnya,
membersihkan sarang laba-laba di kepalanya, dan meredakan gatal-gatalnya. Dia
berenang dengan baik, karena sudah diajari sejak kecil di sekolah, tapi tak pernah
berenang selain di kolam renang. Lumpur di dasar danau menyurut dengan cepat,
dan dia bisa merasakan kedalaman air. Dia berenang sampai ke tengah danau lalu
berenang mengambang, menikmati pemandangan. Pepohonan menjulang di
sekelilingnya, dan meskipun tampaknya tak ada jalan menuju danau, ada rumah-
rumah kecil bobrok di tepi danau. Kebanyakan rumah itu sudah hancur dan tak
bisa diperbaiki lagi, tapi struktur pondasi bangunan yang menggunakan beton itu
masih memiliki atap serta pintu yang menutup hutan di sekelilingnya. Keluarga
bebek berenang tidak jauh darinya, dan dia bisa melihat ikan berenang di bawah
kakinya. Kekuatiran bahwa entah ada apa lagi yang berenang di dekatnya
membuat Coriolanus segera berenang ke tepian. Di tepi danau para Pengembara
desyrindah.blogspot.com

mengajak Sejanus bermain tangkap bola dengan menggunakan biji pinus sebagai
bola. Coriolanus ikut bermain, gembira bisa bersenang-senang. Tekanan menjadi
orang dewasa setiap hari ternyata melelahkan.
Setelah beristirahat sejenak, Tam Amber membuat dua pancing dengan ranting
pohon dan memasang kail di ujung benang. Saat Clerk Carmine menggali tanah
mencari cacing, Maude Ivory menugasi Sejanus untuk memetik buah beri.
“Jauh-jauh dari petak tanah di dekat bebatuan,” Lucy Gray memberi
peringatan.“Ular senang bersembunyi di sana.”
“Dia selalu tahu di mana ular berada,” Maude Ivory memberitahu Sejanus sambil
menggamit lengan pemuda itu. “Dia bisa menangkap ular dengan tangan, tapi aku
takut ular.”
Coriolanus berduaan dengan Lucy Gray untuk mengambil kayu bakar.  Hari ini
dia merasa gembira, berenang setengah telanjang di antara hewan-hewan liar,
membuat api unggun, dan bisa berduaan tanpa rencana dengan Lucy Gray. Gadis
itu punya korek api, tapi mesti dihemat pemakaiannya dan dia bilang kalau bisa
hanya pakai sebatang untuk menyalakan api. Saat api menyala di tumpukan daun
kering, Coriolanus duduk di tanah di dekat Lucy Gray sambil menyulut ranting-
ranting kering, membuat api menyala semakin besar, dan merasa bahagia bisa
hidup menikmati semua ini.
Lucy Gray bersandar di bahunya.“Maa an aku, kalau aku membuatmu kesal
tadi malam. Aku tidak menyalahkanmu atas kematian ayahku. Kita masih kanak-
kanak saat itu terjadi.”
“Aku tahu. Aku juga minta maaf karena bereaksi berlebihan. Tapi, aku tidak bisa
berpura-pura. Aku tidak setuju dengan segala yang dilakukan Capitol, tapi aku
orang Capitol, dan aku rasa aku sependapat tentang perlunya tata tertib,” kata
Coriolanus.
“Kaum Pengembara percaya bahwa kau ada di dunia untuk meringankan
penderitaan, bukan menambah derita. Apakah menurutmu Hunger Games
desyrindah.blogspot.com

tindakan yang benar?” tanyanya.


“Sejujurnya, aku tidak tahu alasan kita melaksanakan Hunger Games. Tapi aku
berpendapat bahwa orang-orang terlalu cepat melupakan perang. Melupakan apa
yang kita lakukan terhadap satu sama lain. Apa yang sama-sama mampu dilakukan
distrik-distrik dan Capitol? Aku tahu Capitol pasti tampak menerapkan aturan
dengan tangan besi, tapi kami hanya berusaha mengendalikan keadaan, kalau
tidak, keadaan bakal kacau dan orang-orang akan kembali saling membunuh,
seperti di arena.” Untuk pertama kalinya dia menyampaikan gagasannya dengan
orang lain selain Dr. Gaul. Dia merasa gamang, seperti bayi yang belajar berjalan,
tapi dia juga merasakan kemerdekaan bisa berdiri sendiri.
Lucy Gray tampak terkejut. “Kaupikir itu yang akan dilakukan orang-orang?”
“Ya. Tanpa adanya hukum dan penegakannya, kita sama saja dengan binatang,”
jawab Coriolanus dengan lebih percaya diri. “Suka atau tidak, Capitol adalah satu-
satunya yang bisa mengamankan semua orang.”
“Hm. Jadi mereka menjagaku agar tetap aman. Dan apa yang harus kulepaskan
demi mendapatkan rasa aman itu?” tanya Lucy Gray.
Coriolanus menusuk-nusuk api dengan ranting. “Lepaskan? Apa? Tidak ada.”
“Kaum Pengembara harus melepas banyak hal,” kata Lucy Gray. “Tidak bisa
bepergian. Tidak bisa berpentas tanpa izin. Hanya bisa menyanyikan lagu-lagu
tertentu. Kalau melawan, kau akan ditangkap dan ditembak seperti ayahku. Kalau
kau berusaha mempertahankan keluarga, hidupmu akan hancur seperti ibuku.
Bagaimana kalau menurutku itu harga yang terlalu mahal untuk mendapatkan rasa
aman? Mungkin aku harus mempertaruhkan kebebasanku.”
“Jadi, keluargamu adalah pemberontak.” Coriolanus tidak kaget sama sekali.
“Keluargaku adalah Pengembara, itu identitas mereka satu-satunya,” kata Lucy
Gray tegas. “Bukan distrik, bukan Capitol, bukan pemberontak, bukan Penjaga
Perdamaian. Kami adalah kami. Dan kau sama seperti kami. Kau ingin berpikir
sendiri. Kau melawan. Aku tahu ini karena apa yang kaulakukan untukku di
desyrindah.blogspot.com

Hunger Games.”
Coriolanus tidak bisa membalas lagi. Kalau dia menganggap Capitol
memerlukan Hunger Games, mengapa dia berusaha menggagalkannya? Bukankah
itu berarti dia juga membantah kekuasan Capitol? Melawan, katanya? Tidak
seperti Sejanus, yang jelas-jelas memberontak, Coriolanus melakukannya dengan
caranya sendiri yang lebih tertutup, lebih tak kentara. “Ini yang kuyakini, kalau-
Capitol tidak berkuasa, kita takkan mengobrol seperti ini sekarang, karena kita
pasti sudah sama-sama musnah.”
“Orang-orang sudah lama hidup tanpa Capitol. Menurutku manusia tetap bisa
hidup lama setelah Capitol tidak ada lagi,” kata Lucy Gray.
Coriolanus memikirkan kota-kota  mati yang dia lewati dalam perjalanan ke
Distrik 12. Lucy Gray bilang kaum Pengembara bepergian, jadi dia pasti pernah
melihatnya. “Tidak semuanya. Panem dulu indah permai. Lihat bagaimana
keadaannya sekarang.”
Clerk Carmine membawa tanaman yang dia cabut dari akarnya di danau untuk
Lucy Gray, dengan daun-daun  lancip dan bunga-bunga putih. “Hei, kau
menemukan tanaman katniss. Bagus sekali, CC.”  Coriolanus ingin tahu apakah
tanaman itu hanya untuk hiasan, seperti bunga mawar milik neneknya, tapi Lucy
Gray memeriksa akar umbi tumbuhan tersebut. “Masih terlalu muda.”
“Yeah,” Clerk Carmine sependapat.
“Untuk apa?” tanya Coriolanus.
“Untuk dimakan. Beberapa minggu lagi, umbi tanaman ini akan tumbuh
seukuran kentang dan bisa dipanggang,” kata Lucy Gray. “Ada yang menyebutnya
kentang rawa, tapi aku lebih suka menyebutnya katniss. Namanya terdengar
cocok.”
Tam Amber datang membawa beberapa ekor ikan yang sudah dibersihkan,
dibuang isi perutnya dan dipotong-potong. Dia membungkus ikan itu dengan
daun dan menaburkan berbagai rempah, dan Lucy Gray memanggang ikan-ikan
desyrindah.blogspot.com

itu di atas api. Pada saat Maude Ivory dan Sejanus datang membawa ember berisi
buah-buah beri, ikan yang dipanggang pun sudah matang. Setelah perjalanan jauh
dan berenang, nafsu makan Coriolanus pun kembali. Dia makan seluruh jatah
ikan, roti, dan buah berinya. Kemudian Sejanus mengeluarkan hadiah kejutan
enam potong kue kering Ma yang menjadi jatah pembagian isi kotak kirimannya. 
Setelah makan siang, mereka membentangkan selimut di bawah pepohonan,
setengah dari mereka berbaring di atas selimut dan sisanya bersandar di dahan-
dahan pohon, sambil memandang awan seputih kapas di langit yang cerah.
“Aku tak pernah melihat langit dengan warna seperti itu,” kata Sejanus.
“Itu warna nilakandi,” Maude Ivory memberitahunya. “Seperti arti nama Azure
dari Barb Azure. Itu warnanya.”
“Warnanya?” tanya Coriolanus.
“Ya. Kami mendapat nama pertama kami dari balada dan nama kedua dari
warna.” Gadis itu duduk untuk menjelaskan. “Barb dari ‘Barbara Allen’ dan Azure
seperti warna biru langit. Namaku, ‘Maude Clare’ dan Ivory seperti warna gading
tuts piano. Dan Lucy Gray spesial karena namanya utuh berasal dari balada. Lucy
dan Gray.”
“Benar sekali. Gray seperti warna musim dingin yang kelabu,” kata Lucy Gray
sambil tersenyum.
Coriolanus tidak menyadarinya sebelum ini, dia mengira mereka punya nama
Pengembara yang aneh. Ivory dan Amber mengingatkannya pada ornamen-
ornamen perhiasan dari gading dan batu ambar milik Grandma’am. Dia tidak
mengenal warna Azure, Taupe, dan Carmine. Sementara itu, dia sama sekali tidak
tahu-menahu tentang balada mereka. Sepertinya ini cara yang aneh untuk
menamai anak.
Maude Ivory menyikut perutnya. “Namamu terdengar seperti nama
Pengembara.”
“Bagaimana bisa?” tanya Coriolanus sabil tertawa.
desyrindah.blogspot.com

“Karena ada Snow-nya. Snow kan artinya salju. Atau Snow White,” Maude Ivory
terkikik. “Apakah ada balada dengan nama
Coriolanus?”
”Setahuku tidak. Kenapa tidak kaukarang balada dengan nama Coriolanus?”
tanyanya sambil mencolek punggung Maude Ivory. “Balada Coriolanus Snow.”
Maude Ivory tengkurap. “Lucy Gray yang menulis lagu. Kau minta saja
padanya.”
“Jangan goda dia.” Lucy Gray menarik Maude Ivory agar duduk di sampingnya.
“Kau perlu tidur siang sebelum kita berjalan pulang.”
“Aku bakal digendong pulang,” kata Maude Ivory, sambil berusaha melepaskan
diri dari Lucy Gray. “Dan aku akan bernyanyi untuk mereka!”
Oh, kekasihku, oh kekasihku
“Oh, diamlah,” kata Clerk Carmine.
“Sini, cobalah berbaring,” kata Lucy Gray.
“Baiklah, asal kau mau bernyanyi untukku. Nyanyikan lagu saat aku sakit batuk.”
Dia membaringkan kepalanya di pangkuan Lucy Gray.
“Oke, asal kau janji akan diam.” Lucy Gray mengelus rambut Maude Ivory,
menyelipkannya ke belakang telinga gadis kecil itu dan menunggunya sampai
tenang lalu mulai bernyanyi. 
Jauh di padang rumput, di bawah pohon willow
Tempat tidur dari rumput, yang hijau, lembut dan kemilau
Letakkan kepalamu, dan tutup matamu yang mengantuk
Dan saat matamu kembali membuka, fajar akan mengetuk.
Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat
Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.
desyrindah.blogspot.com

Lagu itu menenangkan Maude Ivory, dan Coriolanus merasa kegelisahannya


memudar. Kenyang karena makanan enak, teduh di bawah pepohonan, dan Lucy
Gray yang bernyanyi lembut di sampingnya. Dia menikmati alam di sekelilingnya.
Tempat ini sangat indah. Udaranya bersih. Warna-warni rimbun dedaunan. Dia
merasa tenang dan bebas. Bagaimana kalau dia bisa menjalani hidup seperti ini:
bangun kapan saja dia mau, menangkap ikan untuk makan sehari-hari, dan
menghabiskan waktu bersama Lucy Gray di dekat danau? Siapa yang butuh
kekayaan, kesuksesan, dan kekuasaan bila mereka punya cinta? Bukankah cinta
menaklukkan segalanya?
Jauh di padang rumput, jauh tersembunyi
Satu jubah dari dedaunan, satu sinar bulan sunyi
Lupakan sedihmu dan biarkan masalahmu terlelap sepi
Dan bila pagi menjelang lagi, mereka akan hilang pergi
Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat
Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.
Coriolanus nyaris tertidur saat mockingjay-mockingjay mengulang lagu itu
dengan versi mereka setelah mendengar lagu yang dinyanyikan Lucy Gray.
Coriolanus merasa tubuhnya menegang dan rasa kantuk yang damai pun lenyap
sudah. Namun, para Pengembara tersenyum senang saat burung-burung itu
terbang sambil menyanyikan lagu mereka.
“Kita memoles mereka seperti berlian,” kata Tam Amber.
“Yah… mereka lebih sering berlatih,” kata Clerk Carmine, dan yang lainnya
tertawa.
Saat mendengar burung-burung itu bernyanyi, Coriolanus menyadari
keberadaan burung-burung jabberjay tak tampak sama sekali. Satu-satunya
desyrindah.blogspot.com

penjelasan yang terpikir olehnya adalah burung-burung mockingjay bisa


bereproduksi tanpa jabberjay, entah mereka kawin sesama spesies atau dengan
mockingbird. Kenyataan bahwa burung-burung Capitol tak diperlukan untuk
mereka berkembang biak membuat Coriolanus khawatir. Di sini, mereka beranak-
pinak, tak terkendali. Tanpa pengawasan. Menyalahgunakan teknologi Capitol.
Dia sama sekali tak menyukainya.
Maude Ivory akhirnya tertidur, bergelung di samping Lucy Gray, kakinya yang
telanjang terlilit selimut. Coriolanus menemani mereka saat yang lain kembali
berenang di danau. Tidak lama kemudian, Clerk Carmine datang membawa
sehelai bulu biru terang yang ditemukannya di tepi sungai lalu menaruhnya di atas
selimut untuk Maude Ivory, setengah menggerutu dia berkata, “Jangan beri tahu
dia siapa yang membawakannya.”
“Oke. Kau manis sekali, CC,” puji Lucy Gray. “Dia akan menyukainya.” Saat
Clerk Carmine berlari ke danau, Lucy Gray menggeleng. “Aku menguatirkannya.
Anak itu kangen Billy Taupe.”
“Bagaimana denganmu?” Coriolanus menahan tubuhnya dengan siku yang
bertumpu ke tanah sambil memandang Lucy Gray.
Gadis itu menjawab tanpa ragu. “Sama sekali tidak. Sejak hari pemungutan.”
Hari pemungutan. Coriolanus teringat balada yang dinyanyikan Lucy Gray pada
saat wawancara. “Apa maksudmu saat kau bilang dia kalah taruhan pada hari
pemungutan?”
“Dia bertaruh bisa memiliki kami berdua, aku dan Mayfair,” kata Lucy Gray.
“Dia mempertaruhkan hubungan kami. Mayfair tahu tentang aku, aku tahu
tentang dia. Dia meminta ayahnya memanggil namaku pada hari pemungutan.
Aku tidak tahu apa alasan yang dia sampaikan pada ayahnya. Pastinya bukan
mengaku bahwa Billy Taupe adalah pacarnya. Alasannya pasti berbeda. Di sini
kami adalah orang luar, jadi mudah kalau mau berbohong tentang kami.”
“Aku tidak menyangka mereka pacaran,” kata Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com

“Billy Taupe selalu mengoceh bahwa dia paling bahagia saat sendirian, tapi yang
sebenarnya dia inginkan adalah seorang gadis yang mengurusinya. Kurasa Mayfair
cocok mengemban tugas itu, jadi dia mengejarnya. Tak ada seorang pun yang bisa
memesona seperti Billy Taupe. Gadis itu pasti takluk. Selain itu, dia pasti kesepian.
Tidak ada saudara kandung. Tidak punya teman. Para penambang membenci
keluarganya. Mereka naik mobil mewah untuk menyaksikan pelaksanaan
hukuman gantung.” Maude Ivory terbangun, dan Lucy Gray mengelus rambutnya.
“Orang-orang mencurigai kami, tapi mereka membenci keluarganya.”
  Coriolanus tidak suka melihat Lucy Gray sudah tidak marah lagi pada Billy
Taupe. “Apakah dia berusaha kembali padamu?”
Lucy Gray mengambil sehelai bulu itu dengan ibu jari dan telunjuknya lalu
memutar-mutarnya sebelum menjawab. “Tentu saja. Dia datang ke padang rumput
kemarin dengan rencana-rencana besarnya. Memintaku datang menemuinya di
pohon gantung dan kabur bersama.”
“Pohon gantung?” Coriolanus teringat saat Arlo tergantung di pohon dan
burung-burung meniru kata-kata terakhirnya. “Kenapa di sana?”
“Itu tempat kami biasa bertemu. Satu-satunya tempat di Distrik Dua Belas yang
tak ada mata-matanya,” kata Lucy Gray. “Dia mau kami ke utara. Dia berpikir ada
orang di sana. Orang-orang bebas. Dia bilang kami akan menemukan mereka lalu
setelahnya pulang kemari menjemput yang lain. Dia menyimpan persediaan,
entah bagaimana dia punya uang untuk itu. Tapi semua itu tidak penting, aku tak
bisa memercayainya lagi.”
Coriolanus merasakan cemburu membakar di dalam dirinya. Dia pikir dia sudah
menyingkirkan Billy Taupe, dan sekarang dengan santai Lucy Gray
memberitahunya bahwa mereka kebetulan bertemu di Padang Rumput. Pasti
bukan kebetulan. Billy Taupe pasti tahu di mana mencarinya. Berapa lama mereka
berduaan di sana, sementara pemuda itu menebar pesona dan merayunya untuk
kabur bersama? Kenapa Lucy Gray diam dan mendengarkannya? “Kepercayaan
desyrindah.blogspot.com

sangatlah penting.”
“Menurutku kepercayaan lebih penting daripada cinta. Maksudku, aku
menyukai banyak hal yang tidak kupercayai. Petir… minuman keras… ular.
Kadang-kadang kupikir aku menyukainya karena aku tidak bisa memercayainya.
Kacau ya?” Lucy Gray menghela napas dalam-dalam. “Tapi, aku percaya padamu.”
Dia merasa ini pengakuan yang sulit bagi Lucy Gray, bahkan mungkin lebih sulit
daripada pernyataan cinta, tapi pengakuan ini tidak mengenyahkan bayangan Billy
Taupe sedang merayu gadis itu di Padang Rumput. “Kenapa?”
“Kenapa ya? Kupikirkan dulu jawabannya.” Saat Lucy Gray menciumnya,
Coriolanus balas mencium, tapi dengan pikiran yang terbagi. Perkembangan-
perkembangan baru ini membuatnya cemas. Mungkin terlalu dekat dengan gadis
itu adalah kesalahan. Dan ada hal lain yang mengganggunya. Tentang lagu yang
dinyanyikan Lucy Gray di Padang Rumput pada hari pertama itu. Dia teringat
lagu itu, tentang hukuman gantung, yang juga menyinggung pertemuan di pohon
gantung. Kalau itu tempat mereka biasa bertemu, kenapa dia masih
menyanyikannya? Mungkin dia memanfaatkannya untuk mendapatkan Billy
Taupe kembali. Mempermainkan perasaan mereka berdua.
Maude Ivory bangun dan mengagumi helai bulunya, lalu meminta Lucy Gray
memasangkan bulu itu di rambutnya. Mereka lalu bersiap-siap untuk pulang,
membereskan selimut, tempat minum, dan ember. Coriolanus menawarkan diri
untuk menggendong Maude Ivory pada giliran pertama. Saat mereka berjalan
meninggalkan danau, dia sengaja berjalan paling belakang agar bisa bertanya
padanya, “Kau pernah bertemu Billy Taupe belakangan ini?”
“Oh, tidak.” katanya. “Dia bukan bagian dari kami lagi.” Pernyataan itu membuat
Coriolanus senang, tapi itu artinya Lucy Gray merahasiakan pertemuannya
dengan Billy Taupe dari para Pengembara, sehingga Coriolanus pun makin curiga.
Maude Ivory menunduk dan berbisik di telinga Coriolanus. “Jangan biarkan dia
mendekati Sejanus. Sejanus manis, dan yang manis seperti itu jadi makanannya
desyrindah.blogspot.com

Billy Taupe.”
Coriolanus berani taruhan Billy Taupe juga “makan” uang. Memangnya dari
mana bisa membayar persediaan untuk pelariannya?
Tam Amber memilih rute berbeda, agak memutar untuk memetik buah-buah
beri sepanjang jalan pulang dan memasukkanya ke ember. Saat mereka hampir
sampai di kota, Clerk Carmine melihat pohon apel yang mulai berbuah. Clerk
Carmine memanjat pohon lalu melemparkan beberapa buah apel ke tanah.
Coriolanus memungutinya lalu memasukkannya ke rok Lucy Gray. Hari
menjelang sore ketika mereka sampai di rumah. Coriolanus merasa lelah dan siap
kembali ke pangkalan, tapi Barb Azure duduk sendirian di meja dapur, memilih-
milih buah beri. “Tam Amber mengajak Maude Ivory ke Hob, mencoba
membarter buah beri dengan sepatu. Kubilang pergi saja dan cari sepatu tebal,
tidak lama lagi musim dingin akan tiba.”
“Dan Sejanus?” Coriolanus melihat ke halaman belakang.
“Dia pergi tidak lama setelahnya. Dia bilang akan bertemu denganmu di sana,”
kata Barb Azure.
Hob. Coriolanus segera pamit. “Aku harus pergi. Kalau mereka melihat Sejanus
di sana tanpa didampingi Penjaga Perdamaian lain, dia bakal kena sangsi. Aku juga
bakal kena. Kami harus bersama-sama sepanjang waktu. Dia tahu tentang ini
entah apa yang dipikirkannya.” Namun, sejujurnya, dia tahu apa yang dipikirkan
Sejanus. Ini kesempatan untuk mengunjungi Hob tanpa diawasi Coriolanus. Dia
menarik Lucy Gray untuk menciumnya. “Hari ini menyenangkan. Terima kasih.
Apakah kita akan bertemu Sabtu depan di gubuk?” Dia berjalan ke luar pintu
sebelum Lucy Gray sempat menjawabnya. 
Coriolanus setengah berlari, bergegas menuju Hob, dan langsung masuk ke
pintu terbuka. Sekitar sepuluh orang berada di Hob, melihat-lihat barang
dagangan di kios-kios. Maude Ivory duduk di atas tong sementara Tam Amber
mengikatkan tali sepatunya. Di ujung gudang, Sejanus berdiri di dekat konter,
desyrindah.blogspot.com

berbicara dengan seorang wanita. Saat Coriolanus mendekat, dia memperhatikan


barang-barang dagangan wanita itu. Beliung. Kapak. Pisau. Tiba-tiba, dia sadar
bahwa Sejanus bisa membeli semua itu dengan uang Capitol. Senjata-senjata.
Bukan hanya senjata-senjata yang ada di depannya. Sejanus bisa membeli senapan.
Seakan menegaskan kecurigaannya bahwa mereka sedang melakukan transaksi
ilegal, wanita itu terdiam saat dia sudah di dekat mereka. Sejanus langsung
bergabung dengan Coriolanus.
“Belanja?” tanya Coriolanus.
“Aku sedang berpikir untuk membeli pisau lipat,” kata Sejanus. “Tapi dia tidak
punya saat ini.”
Bagus sekali. Banyak tentara yang memilikinya. Malah ada permainan di antara
para tentara saat mereka bebas tugas, mereka bertaruh kalau bisa mengenai
sasaran. “Aku juga berpikir untuk membelinya. Setelah kita mendapat gaji.”
“Tentu saja, setelah kita mendapat gaji,” Sejanus sependapat, seakan itu
pemahaman bersama.
Coriolanus menahan diri untuk tidak memukul Sejanus, dan berjalan keluar dari
Hob tanpa menyapa Maude Ivory dan Tam Amber. Dia nyaris tidak bicara sepatah
kata pun saat berjalan pulang sembari memikirkan strategi baru. Dia harus
mencari tahu Sejanus terlibat dalam urusan apa. Pikiran logisnya gagal
menghasilkan kepercayaan pada Sejanus. Apakah dia bisa mencoba bersikap
akrab? Tak ada salahnya mencoba. Tidak jauh dari pangkalan, dia merangkul
Sejanus, dan menghentikan langkahnya. “Sejanus, kau tahu kan, aku sahabatmu.
Lebih dari sahabat. Kau seperti saudara kandung bagiku. Dan ada aturan khusus
bagi keluarga. Kalau kau butuh bantuan… maksudku, kalau ada yang bisa aku
bantu… aku bersedia membantumu.”
Air mata menggenang di mata Sejanus. “Terima kasih, Coryo. Tawaranmu
sangat berarti. Kau mungkin satu-satunya orang di dunia ini yang benar-benar
kupercayai.”
desyrindah.blogspot.com

Ah, kepercayaan lagi. Segala-galanya tentang kepercayaan.


“Sini.” Dia memeluk Sejanus. “Berjanjilah untuk tidak melakukan perbuatan
bodoh, oke?” Dia merasa Sejanus mengangguk dalam pelukannya, tapi dia juga
tahu bahwa kemungkinan Sejanus menepati janjinya nyaris nol persen.
Setidaknya jadwal mereka yang penuh membuat Sejanus selalu dalam
pengawasan, bahkan saat mereka meninggalkan pangkalan. Senin sore, mereka
mengambil perangkap-perangkap dari pohon. Walaupun tak ada yang
mengganggu burung-burung itu pada akhir pekan, tak ada satu sangkar jebakan
pun yang berisi mockingjay. Meskipun tidak sesuai harapan, Dr. Kay tampak puas
dengan keberadaan burung-burung itu. “Tampaknya mereka mewarisi lebih dari
kemampuan meniru. Titik evolusi mereka termasuk kemampuan bertahan hidup.
Kita tidak perlu memasang sangkar-sangkar baru, jabberjay yang kita kumpulkan
sudah cukup. Besok kita coba jaring-jaring kabut.”
Pada saat para tentara turun dari truk pada hari Selasa siang, para ilmuwan telah
memilih tempat yang sering dilewati mockingjay. Mereka membentuk kelompok-
kelompok Coriolanus dan Bug bersama Dr. Kay lagi dan membantu
memasang tiang-tiang. Di antara tiang-tiang itu terbentang jala yang ditenun halus
untuk menangkap mockingjay. Jaring itu nyaris tak kentara, dan seketika berhasil
menjerat burung-burung dan menjatuhkannya ke kantong-kantong horisontal di
siratnya. Dr. Kay sudah memberi instruksi agar jaring-jaring itu diawasi sepanjang
waktu supaya burung-burung tidak terjerat terlalu lama dan tidak menimbulkan
trauma berlebihan. Dr. Kay turun tangan sendiri melepas tiga ekor mockingjay dari
jaring, dengan hati-hati melepaskan burung-burung itu sambil memegangnya.
Setelah memberi izin pada Bug untuk mencobanya, Bug menunjukkan dia
memang berbakat, perlahan dan lembut melepaskan mockingjay dan menaruhnya
di sangkar. Sementara saat giliran Coriolanus, burung yang dipegangnya langsung
menjerit-jerit, dan saat dia menggenggam lebih erat berusaha menghentikan
teriakannya, burung itu malah mematuk telapak tangan Coriolanus. Re eks, dia
desyrindah.blogspot.com

melepasnya, dan seketika burung  itu lenyap di antara dedaunan. Makhluk yang
menyebalkan. Dr. Kay membersihkan lalu membalut tangannya, dan Coriolanus
teringat Tigris melakukan hal yang sama pada hari pemungutan, saat duri dari
bunga mawar Grandma’am menusuknya. Kejadian itu belum lewat dua bulan lalu.
Hari itu dia merasa penuh harap, sekarang lihatlah apa yang terjadi padanya. Sibuk
mengumpulkan keturunan mu di distrik-distrik. Sepanjang siang dia membawa
sangkar-sangkar burung ke truk. Tangannya yang luka bukan alasan untuk
menghindari tugas, dan dia lanjut membersihkan sangkar-sangkar saat kembali
berada di hanggar.
Coriolanus mulai terbiasa dengan keberadaan jabberjay. Mereka alat teknologi
yang mengagumkan. Beberapa alat pengendali tergeletak di laboratorium, dan
para ilmuwan mengizinkannya bermain-main dengan burung setelah mendatanya
dalam katalog. “Tak ada salahnya,” kata seorang tentara. “Burung-burung itu se-
pertinya juga menikmati interaksi ini.” Bug tidak mau ikutan, tapi saat Coriolanus
bosan, dia memerintahkan burung-burung itu merekam kalimat-kalimat konyol
dan menyanyikan potongan dari lagu kebangsaan, lalu melihat seberapa banyak
yang bisa dia kendalikan dengan menekan tombol alat pengendali. Kadang bisa
sampai empat ekor burung, kalau sangkar mereka berdekatan. Dia selalu
menghapus rekaman-rekaman itu dengan menimpanya dengan rekaman terakhir,
di dalamnya dia tidak bersuara, hening, untuk memastikan agar suaranya tidak
sampai ke lab di Citadel. Dia tidak lagi bernyanyi saat mockingjay mulai
menangkap lagunya, meskipun ada kepuasan tersendiri baginya mendengar
burung-burung itu menyanyikan pujian untuk Capitol. Dia tidak punya cara untuk
mendiamkan
burung-burung itu, dan mereka bisa mengulang melodi tanpa henti.
Sebenarnya, dia mulai bosan terhadap pengaruh musik dalam hidupnya. Invasi
barangkali kata yang lebih tepat. Musik sepertinya ada di mana-mana: nyanyian
burung, nyanyian Pengembara, nyanyian burung-dan-Pengembara. Mungkin dia
desyrindah.blogspot.com

tidak mewarisi kecintaan ibunya terhadap musik. Setidaknya, tidak sebesar


kecintaan ibunya. Musik menyita banyak perhatiannya, memaksanya untuk
mendengar dan membuatnya sulit berpikir.
Pada tengah hari Rabu, mereka berhasil mengumpulkan lima puluh ekor
mockingjay, cukup untuk menyenangkan hati Dr. Kay. Coriolanus dan Bug
menghabiskan sisa hari itu mengurus
burung-burung dan membawa mockingjay-mockingjay yang baru tertangkap ke lab
untuk ditandai dan diberi nomor. Mereka selesai sebelum makan malam dan
kembali setelah menyiapkan burung-burung untuk dikirim ke Capitol. Para
ilmuwan menunjukkan pada Coriolanus dan Bug cara untuk membungkus
sangkar-sangkar dengan kain, lalu memindahkannya ke pesawat ringan dan
menjaga mereka agar betah sepanjang perjalanan.
Coriolanus mulai dengan memasukkan burung-burung mockingjay, lega melihat
mereka dibawa pergi. Dia memindahkan sangkar satu per satu ke meja kerjanya,
menyibak penutupnya, menuliskan huruf M dan nomor burung di kain penutup
dengan kapur, lalu menyerahkannya kepada para ilmuwan. Bug membawa pergi
sangkar kelima belas yang berisi mockingjay berisik, ketika Sejanus tiba di depan
pintu, terdengar gembira berlebihan. “Kabar baik! Ada kiriman lagi dari Ma!”
Bug, yang sedih karena burung-burung itu dibawa pergi, langsung tampak
terhibur. “Ma memang yang terbaik.”
“Akan kuberitahu padanya kau bilang begitu.” Sejanus memperhatikan Bug
berjalan pergi, lalu berbicara pada Coriolanus, yang baru mengambil jabberjay
bernomor 1. Burung itu berkicau dalam sangkar, meniru lantunan mockingjay
terakhir. Senyum Sejanus hilang digantikan ekspresi sedih. Matanya memandang
seisi hanggar memastikan mereka hanya berduaan, lalu berbisik. “Dengar, kita
hanya punya beberapa menit. Aku tahu kau takkan menyetujui apa yang akan
kulakukan, tapi aku butuh kau setidaknya mengerti mengapa aku melakukannya.
Setelah ucapanmu hari itu, tentang kita seperti saudara kandung, aku merasa
desyrindah.blogspot.com

berutang penjelasan. Tolong, dengar aku.”


Ini dia. Pengakuannya. Desakan Coriolanus agar Sejanus berpikir panjang dan
berhati-hati ternyata tidak cukup. Pemuda itu memilih jalan yang salah. Sekarang
saatnya Sejanus menjelaskan. Tentang uang. Tentang senjata. Peta pangkalan.
Saatnya membongkar rencana pemberontak. Saat Coriolanus mendengarnya, dia
juga akan dianggap pemberontak. Pengkhianat Capitol. Dia seharusnya panik,
kabur, atau setidaknya berusaha menyuruh Sejanus diam. Tapi dia tidak
melakukan semua itu.
Tangannya bergerak tanpa sadar. Sama seperti saat dia menjatuhkan saputangan
ke kotak kaca berisi ular sebelum dia sadar penuh atas keputusannya. Saat ini
tangan kirinya memperbaiki letak kain penutup sangkar jabberjay sementara
tangan kanannya, yang tersembunyi dari jarak pandang Sejanus, meraba meja,
mencari alat pengendali. Coriolanus menekan tombol RE M, dan jabberjay
dalam sangkar pun terdiam.
desyrindah.blogspot.com
28

Coriolanus memunggungi sangkar, kedua tangannya bersandar pada meja, dan dia
menunggu.
“Jadi begini,” kata Sejanus, suaranya terdengar penuh emosi. “Beberapa
pemberontak berencana meninggalkan Distrik Dua Belas selamanya. Mereka akan
ke utara untuk memulai hidup jauh dari Panem. Mereka bilang kalau aku bersedia
membantu membebaskan Lil, aku juga bisa ikut mereka.”
Coriolanus mengangkat alisnya, seakan mempertanyakan pernyataan tersebut.
Sejanus tergagap-gagap. “Aku tahu, aku tahu, tapi mereka membutuhkanku.
Masalahnya adalah, mereka bertekad membebaskan Lil dan membawanya kabur.
Kalau tidak, Capitol akan menggantungnya bersama kelompok pemberontak yang
selanjutnya mereka tangkap. Sebenarnya rencananya sederhana. Penjaga penjara
bertugas dalam sif empat jam. Aku akan membius dua penjaga di luar dengan kue
dari Ma. Obat-obatan yang mereka berikan padaku di Capitol bisa membuatmu
tidur seketika…” Sejanus menjentikkan jari. “Aku akan mengambil satu senjata
mereka. Penjaga-penjaga di dalam tidak bersenjata, jadi aku bisa menodong
mereka masuk ke ruang interogasi. Ruangan itu kedap suara, jadi tidak ada yang
bisa mendengar teriakan mereka. Lalu aku akan membebaskan Lil. Kakaknya bisa
meloloskan kami melalui pagar. Kami akan segera ke utara. Kami punya waktu
beberapa jam sebelum mereka menemukan para penjaga yang pingsan. Karena
kami tidak melewati gerbang, mereka akan berasumsi kami bersembunyi di
pangkalan, jadi mereka akan mengunci tempat ini dan mencari kami di dalam
desyrindah.blogspot.com

lebih dulu. Pada saat rencana ini terbongkar, kami sudah pergi jauh. Tak ada yang
terluka. Dan ini rencana terbaik.”
Coriolanus menunduk dan menggosok alis dengan ujung-ujung jarinya, seakan
berpikir keras, tidak tahu berapa lama dia bisa tidak berkata-kata tanpa terkesan
mencurigakan.
Tapi Sejanus melanjutkan. “Aku tidak bisa pergi tanpa memberitahumu. Kau
seperti saudara kandung bagiku. Aku tak pernah lupa pada apa yang kaulakukan
untukku di arena. Aku akan berusaha mencari cara untuk memberitahu Ma apa
yang terjadi padaku. Dan ayahku juga. Memberitahunya bahwa nama Plinth tetap
hidup, walaupun tanpa kejelasan.”
Ini dia. Nama Plinth. Sudah cukup. Tangan kirinya menemukan alat pengendali
dan menekan tombol NET L dengan ibu jarinya. Jabberjay melanjutkan lagu
yang dinyanyikannya tadi.
Mata Coriolanus melihat sesuatu. “Bug datang.”
“Bug datang,” burung itu mengulang perkataannya. 
“Hus, dasar bodoh,” kata Coriolanus pada jabberjay itu, dalam hati bersyukur
burung tersebut sudah kembali ke pola netral normalnya. Tak ada yang bisa
dicurigai Sejanus. Dia segera menulis di kain penutup sangkar dan menandainya
dengan J1.
“Kita butuh botol air lagi. Rusak satu,” kata Bug saat memasuki hanggar.
“Rusak satu,” kata burung itu dengan suara Bug, lalu mulai meniru kaok burung
gagak yang terbang lewat.
“Akan kucarikan.” Coriolanus menyerahkan sangkar itu pada Bug. Saat Bug
pergi, Coriolanus berjalan ke tempat penyimpanan dan mulai mencari-cari di
sana. Sebaiknya dia menjauh dari jabberjay saat melanjutkan obrolan mereka.
Kalau mereka keseringan meniru, Sejanus bisa heran kenapa burung pertama
diam saja walaupun dia tidak tahu bagaimana cara kerja burung-burung itu. Dr.
Kay tidak menjelaskannya pada mereka semua.
desyrindah.blogspot.com

“Kedengarannya sinting, Sejanus. Rencanamu banyak bolongnya.” Coriolanus


mencetuskan alasannya. “Bagaimana kalau para penjaga tidak mau kue dari Ma?
Atau kalau satu makan lalu dia pingsan sementara satunya lagi melihat dia
pingsan? Bagaimana kalau para penjaga di dalam memanggil bantuan sebelum kau
bisa memasukkan mereka ke ruang interogasi? Bagaimana kalau kau tidak bisa
menemukan kunci sel Lil? Dan apa maksudmu tentang kakaknya akan membantu
kalian lolos dari pagar? Memangnya tak ada orang yang memperhatikannya
memotong pagar?”
“Tidak, ada bagian yang goyah di pagar, di belakang generator. Kawatnya sudah
goyah. Dengar, aku tahu rencana ini harus berjalan mulus agar bisa berhasil, tapi
menurutku akan berhasil.”  Sejanus kedengarannya berusaha meyakinkan diri
sendiri. “Harus berhasil. Kalau tidak, mereka sebaiknya menangkapku sekarang
daripada nanti. Bisa saja kan, aku tersangkut masalah lebih besar di kemudian
hari?”
Coriolanus menggeleng sedih. “Apa aku tidak bisa mengubah pikiranmu?”
Sejanus tak tergoyahkan. “Tidak, aku sudah memutuskan. Aku tidak bisa tinggal
di sini. Kita berdua tahu itu. Cepat atau lambat aku akan berontak. Aku tidak bisa
melaksanakan tugas sebagai Penjaga Perdamaian dengan kesadaran penuh, dan
aku tidak bisa terus-menerus membahayakanmu dengan rencana-rencana gilaku.”
“Bagaimana caramu hidup di luar sana?” Coriolanus menemukan kotak berisi
botol air baru.
“Kami punya persediaan. Dan aku penembak jitu,” kata Sejanus.
Sejanus tidak mengatakan bahwa para pemberontak memiliki senjata, tapi
tampaknya mereka punya. “Bagaimana kalau kau kehabisan peluru?”
“Kami akan memikirkan caranya. Ikan, jaring penangkap burung. Mereka bilang
ada orang-orang di utara,” Sejanus memberitahunya.
Coriolanus memikirkan Billy Taupe merayu Lucy Gray pergi ke tempat nun
jauh di belantara antah berantah itu. Apakah Sejanus mendengarnya dari para
desyrindah.blogspot.com

pemberontak, atau mereka mendengarnya dari Sejanus?


“Tapi kalau pun tidak ada orang di sana, maka Capitol pun tidak ada,” lanjut
Sejanus. “Itu yang terpenting bagiku. Bukan distrik ini atau itu. Bukan anak
sekolah atau Penjaga Perdamaian. Tinggal di tempat aku bisa menjalani hidup
tanpa dikendalikan oleh mereka. Aku tahu sepertinya aku pengecut dengan
melarikan diri, tapi aku berharap setelah aku pergi dari sini, mungkin pikiranku
bisa lebih jernih dan menemukan cara untuk bisa membantu distrik-distrik.”
Tidak mungkin, pikir Coriolanus. Kau bisa selamat melewati musim dingin saja
sudah luar biasa.  Dia mengeluarkan botol air dari kemasannya. “Yah, kurasa aku
hanya bisa bilang aku akan merindukanmu. Dan semoga beruntung.” Dia merasa
Sejanus bergerak hendak memeluknya saat Bug berjalan melewati pintu. Dia
mengangkat botolnya, “Sudah ketemu.”
“Kau kembali kerja saja.” Sejanus melambai lalu pergi.
Coriolanus bekerja secara otomatis membungkus sangkar dan menomori kain-
kain di sangkar sementara pikirannya berkecamuk. Apa yang harus dilakukannya?
Sebagian dari dirinya ingin lari ke pesawat ringan dan menghapus rekaman
jabberjay nomor 1. Menekan tombol PUTAR, lalu NET L, lalu RE M, lalu
NET L lagi dengan cepat agar yang terekam hanya suara teriakan-teriakan
tentara di landasan pesawat. Tapi apa pilihannya setelah itu? Berusaha membujuk
Sejanus untuk membatalkan rencananya? Dia tidak yakin bisa melakukannya, dan
kalaupun kali ini berhasil, hanya masalah waktu bagi Sejanus untuk berbuat ulah
lagi. Bagaimana kalau dia mengadukannya ke komandan pangkalan?
Kemungkinan besar Sejanus tidak akan mengakuinya, dan satu-satunya rekaman
sudah dihapus dari jabberjay. Coriolanus tidak punya bukti untuk menunjang
tuduhannya. Dia bahkan tidak tahu kapan mereka akan melaksanakan rencana
pelarian, jadi mereka tidak bisa memasang perangkap. Lalu setelah itu bagaimana
hubungannya dengan Sejanus? Atau kalau berita menyebar di pangkalan? Dia
akan dicap sebagai pengadu yang salah informasi pula, dan pencari masalah.
desyrindah.blogspot.com

Dia sudah berusaha untuk tidak bicara saat jabberjay merekam Sejanus agar
tuduhan tidak dijatuhkan padanya. Tapi Dr. Gaul akan memahami rujukan
tentang arena, dan dia juga bakal tahu Coriolanus merekam secara sengaja. Jika dia
mengirim burung itu ke Citadel, Dr. Gaul akan memutuskan bagaimana
menangani masalah ini. Mungkin dia akan menelepon Strabo Plinth, memecat
dan menarik pulang Sejanus sebelum ulahnya menimbulkan masalah lebih ba-
nyak. Ya, itu yang terbaik buat semua orang. Dia menaruh alat pengendali ke
tempat penyimpanan barang persediaan burung. Kalau semuanya lancar,  dalam
hitungan hari Sejanus Plinth bukan lagi jadi urusannya.
Ketenangan ternyata tidak berlangsung lama. Coriolanus terbangun karena
mimpi buruk setelah tidur beberapa jam. Dia bermimpi berada di kursi penonton
di arena, melihat Sejanus, yang berlutut di samping jasad Marcus yang rusak.
Sejanus menaburkan remah-remah roti, tidak menyadari ular berwarna-warni
mendekatinya dari berbagai penjuru. Coriolanus berteriak berkali-kali,
menyuruhnya berdiri, lari, tapi Sejanus seakan tidak mendengarnya. Saat ular
mematuknya, dia hanya bisa berteriak sendiri.
Coriolanus dirundung rasa bersalah dan bermandi keringat, menyadari bahwa
dia tidak memikirkan akibat lebih jauh saat mengirim jabberjay itu. Sejanus bisa
kena masalah besar. Dia bersandar ke sisi ranjang dan merasa lebih tenang saat
melihat Sejanus tidur dengan damai di ranjang di seberangnya. Dia hanya bersikap
berlebihan. Kemungkinan besar, para ilmuwan takkan pernah mendengar
rekamannya, apalagi menyerahkannya ke Dr. Gaul. Lagi pula kenapa mereka mesti
menekan tombol PUTAR? Tak ada alasan bagi mereka untuk melakukannya.
Jabberjay-jabberjay itu sudah dites di hanggar. Perbuatan Sejanus patut
dipertanyakan, tapi tidak sampai berakibat pada kematian Sejanus, dengan ular
atau cara lain.
Pikiran itu menenangkannya hingga dia menyadari bahwa dia berada dalam
bahaya karena sudah mengetahui rencana pemberontak.  Penyelamatan Lil,
desyrindah.blogspot.com

pelarian tersebut, bahkan titik lemah di pagar di belakang generator pun


membebaninya. Hal itu membuatnya takut dan marah. Ini melanggar kontrak.
Ajakan ini bakal menjurus menjadi kekacauan dan entah apa lagi. Apakah orang-
orang ini tidak paham bahwa seluruh sistem akan hancur tanpa kontrol Capitol?
Kalau mereka melarikan diri ke utara dan mau hidup seperti binatang, mungkin
itu sudah nasib mereka.
Dia jadi berharap jabberjay itu menyampaikan pesannya. Tapi, seandainya
petugas Capitol mendengar pengakuan Sejanus, apa yang akan terjadi pada
pemuda itu? Bukankah membelikan senjata untuk digunakan pemberontak
melawan Penjaga Perdamaian bisa berujung pada hukuman mati? Tapi, tunggu,
dia tidak merekam apa pun tentang senjata ilegal. Hanya tentang Sejanus mencuri
dari Penjaga Perdamaian… tapi itu pun sudah gawat.
Mungkin dia menolong Sejanus dengan cara ini. Kalau mereka menangkapnya
sebelum dia sempat bertindak, mungkin dia cuma akan dipenjara bukan
mendapat hukuman lebih berat. Kemungkinan besar, si tua Plinth akan menyogok
untuk mengeluarkan putranya dari masalah. Membayari pangkalan baru untuk
Distrik 12. Sejanus akan dikeluarkan dari pasukan Penjaga Perdamaian, dan itu
akan membuatnya senang, dan mungkin akan bekerja jadi pejabat di perusahaan
senjata ayahnya, yang akan membuatnya sengsara. Sengsara, tapi hidup. Dan yang
terpenting, dia jadi masalah orang lain.
Coriolanus tidak bisa tidur lagi malam itu, dan pikirannya tertuju pada Lucy
Gray. Apa yang akan dipikirkan gadis itu tentang dirinya kalau tahu apa yang dia
lakukan terhadap Sejanus? Lucy Gray pasti akan membencinya. Gadis itu dan
kecintaannya pada kebebasan bagi mockingjay, jabberjay, kaum Pengembara, dan
bagi semua orang. Lucy Gray mungkin sepenuhnya mendukung rencana pelarian
Sejanus, terutama karena dia pernah dikurung di arena. Di mata Lucy Gray, dia
akan dianggap monster Capitol, dan gadis itu akan kembali ke pelukan Billy
Taupe, merenggut setitik kebahagiaan yang tersisa dalam dirinya.
desyrindah.blogspot.com

Pagi harinya, dia turun dari ranjang dalam kondisi lelah dan kesal. Para ilmuwan
sudah terbang pulang ke Capitol tadi malam, dan meninggalkan mereka untuk
melaksanakan tugas rutin membosankan. Dia melewati hari itu dengan susah
payah, berusaha tidak memikirkan bagaimana caranya dia bisa memulai
pendidikan purnawaktu di Universitas. Memilih kelas yang akan diikutinya.
Berjalan-jalan di kampus. Membeli buku-buku pelajaran. Untuk urusan Sejanus,
dia berpikir bahwa tak ada seorang pun yang bakal mendengar rekaman jabberjay,
jadi sebaiknya dia mendatangi Sejanus dan mencekokinya dengan pemikiran yang
logis. Dia sudah muak dengan tingkah tolol Sejanus. Sayangnya, hari itu dia tidak
punya kesempatan untuk menyampaikan ultimatumnya.
Tambahan berita buruk datang pada hari Jumat dengan tibanya surat dari Tigris.
Calon-calon pembeli dan beberapa orang yang suka ikut campur sudah berkeliling
melihat-lihat apartemen keluarga Snow. Mereka mendapat dua penawaran,
keduanya jauh di bawah jumlah yang mereka butuhkan untuk bisa pindah ke
apartemen sederhana yang sudah dilihat-lihat Tigris. Para tamu itu meresahkan
Grandma’am, yang bersembunyi di kebun mawar untuk menghindari kedatangan
mereka. Namun, dia mendengar percakapan salah satu pasangan, yang sedang
memeriksa atap, dan bicara tentang mengganti taman di atap dengan kolam ikan
mas. Bayangan bahwa bunga mawar, simbol dinasti Snow, akan dihancurkan
membuat Grandma’am makin gelisah dan bingung. Sekarang Grandma’am nyaris
tidak bisa ditinggal sendirian. Tigris sudah kehabisan akal dan meminta sarannya,
tapi saran apa yang bisa diberikan Coriolanus? Dia gagal dengan segala cara dan
tidak bisa memikirkan jalan keluar dari keputusasaan mereka. Kemarahan,
ketidakberdayaan, rasa malu hanya itu yang dimilikinya sekarang.
Pada hari Sabtu, dia menantikan saat untuk mendatangi Sejanus. Dia berharap
bisa melampiaskan kemarahannya. Harus ada yang membayar hinaan terhadap
keluarga Snow, dan tak ada bayaran yang lebih baik daripada keluarga Plinth.
Smiley, Bug, dan Beanpole sudah tidak sabar pergi ke Hob, walaupun pada hari
desyrindah.blogspot.com

Minggu mereka tidak bisa apa-apa selain tidur. Saat mereka bersiap-siap untuk
pergi malam itu, teman-teman sekamarnya memutuskan untuk tidak minum
minuman bening itu dan mencoba fermentasi sari apel, alkoholnya tidak terlalu
tinggi tapi tetap memabukkan. Coriolanus tidak berniat minum sama sekali. Dia
mau pikirannya tetap jernih saat berhadapan dengan Sejanus.
Saat mereka bersiap meninggalkan barak, mereka mendapat tambahan tugas
dari Cookie, dan menghabiskan setengah jam untuk membongkar muatan berupa
kotak-kotak kayu dari pesawat ringan. “Kalian bakal bersyukur minggu depan.
Pesta ulang tahun Komandan,” katanya, dan menyisipkan botol untuk mereka
yang isinya ternyata wiski murah. Minuman ini jauh lebih baik daripada oplosan
lokal.
Saat mereka tiba di Hob, mereka nyaris tidak sempat mengambil kotak-kotak
kayu dan mendapat tempat mereka yang biasanya di dekat dinding sebelum
Maude Ivory berdansa di panggung dan memperkenalkan para Pengembara.
Mereka mendapat tempat yang tidak terlalu enak, tapi wiski dari Cookie dan bisa
menikmati makanan dari Ma tanpa harus membarternya dengan minuman keras,
membuat mereka bisa tetap menikmati malam itu. Walaupun dalam hati
Coriolanus kecewa tidak bisa menghabiskan waktu bersama Lucy Gray di gubuk.
Dia menaruh kotaknya tepat di samping Sejanus agar dia bisa melihat jika Sejanus
mencoba menghilang lagi. Benar saja, sekitar satu jam setelah pertunjukan, dia
merasa Sejanus berdiri dan berjalan ke pintu utama. Coriolanus menghitung
sampai sepuluh sebelum mengikutinya, berusaha tidak terlalu menarik perhatian,
tapi posisi mereka memang berada di dekat pintu keluar dan tak ada seorang pun
yang memperhatikannya.
Lucy Gray mulai menyanyikan lagu sendu, dan para Pengembara memainkan
musik sedih di belakangnya.
Kau pulang terlambat,
desyrindah.blogspot.com

Langsung tertidur di ranjangmu.


Baumu seperti habis berfoya-foya.
Kau bilang kita tidak punya uang.
Jadi bagaimana kau bisa berfoya-foya dan membayarnya?
Matahari tidak terbit dan terbenam untukmu.
Kaupikir begitu, tapi kau salah.
Kau berdusta padaku, aku tidak bisa bisa setia…
Aku akan mengkhianatimu demi sebuah lagu.
Coriolanus jengkel mendengar lagu itu. Lagu yang sepertinya terinspirasi dari
Billy Taupe. Kenapa Lucy Gray tidak menulis lagu tentang dirinya, dan bukan
tentang pecundang itu? Dialah yang menyelamatkan nyawa Lucy Gray setelah
Billy Taupe menjerumuskannya ke arena.
Coriolanus sudah berada di luar saat melihat Sejanus berbelok di samping Hob.
Suara Lucy Gray mengalun di udara malam ketika Coriolanus mengikuti Sejanus
ke samping gedung.
Kau bangun siang,
Tak berkata apa-apa,
Kudengar, kau bersamanya.
Aku tidak memilikimu, demikian katanya.
Tapi apa yang harus kulakukan pada malam yang dingin?
Bulan tidak bersinar untukmu.
Kaupikir begitu, tapi kau salah.
Kau sakiti aku, kau membuatku sedih…
Aku akan mengkhianatimu demi sebuah lagu.
Coriolanus berhenti di balik bayangan di belakang Hob saat melihat Sejanus
bergegas membuka pintu gubuk. Lima Pengembara berada di panggung, siapa
yang dicari Sejanus? Apakah pertemuan dengan pemberontak ini sudah diatur
desyrindah.blogspot.com

untuk memastikan rencana pelarian mereka? Dia tidak mau masuk ke gubuk dan
berhadapan dengan mereka. Coriolanus memutuskan untuk menunggu, saat
wanita dari Hob, yang dilihatnya pernah bersama Sejanus saat mengaku ingin
membeli pisau lipat, berjalan ke luar pintu sambil memasukkan segepok uang ke
kantongnya. Wanita itu menghilang dalam kegelapan jalanan, meninggalkan Hob.
Jadi ini yang dilakukannya. Sejanus datang memberinya uang untuk membeli
senjata, kemungkinan besar senapan-senapan yang hendak dipakainya untuk
berburu di utara. Ini saat yang tepat untuk menghadapinya, saat barang bukti ada
di tangan. Dia mengendap-endap ke gubuk, tidak mau mengejutkan Sejanus
seandainya pemuda itu memegang pistol, langkah kaki Coriolanus tersamar oleh
suara musik.
Kau di sini, kau tak di sini.
Ini bukan tentangku,
Ini bukan tentangmu, ini lebih tentang kita.
Mereka masih muda dan lembut, mereka cemas.
Mereka perlu tahu, kau akan datang atau pergi.
Bintang tidak berkilau untukmu.
Kaupikir begitu, tapi kau salah.
Kau macam-macam denganku, aku akan menyakitimu juga...
Aku akan mengkhianatimu demi sebuah lagu.
Pada saat tepuk tangan membahana, Coriolanus mengintip ke ambang pintu
gubuk yang terbuka. Satu-satunya cahaya berasal dari lentera kecil, jenis lentera
yang digunakan penambang pada saat pelaksanaan hukuman gantung Arlo.
Lentera itu ditaruh di atas kotak kayu di bagian belakang gubuk. Dalam
keremangan cahaya, dia bisa melihat sosok Sejanus dan Billy Taupe berjongkok di
atas karung, di mulut karung tampak beberapa moncong senjata. Saat Coriolanus
berjalan mendekat, dia terkesiap, mendadak menyadari ada ujung senapan
menodong pinggangnya.
desyrindah.blogspot.com

Dia menarik napas panjang dan mulai mengangkat kedua tangan perlahan-lahan
saat mendengar langkah sepatu di belakangnya diiringi tawa Lucy Gray. Kedua
tangan Lucy Gray mendarat di bahunya sambil menyapa, “Hei! Kulihat kau keluar.
Barb Azure bilang kau…” Kemudian Lucy Gray ikut menegang, menyadari
kehadiran orang bersenjata.
“Masuk!” hanya itu yang diucapkan pria itu. Coriolanus bergerak mendekati
cahaya sementara Lucy Gray memeluk lengannya erat-erat. Dia mendengar batako
menggesek lantai semen dan pintu menutup di belakang mereka.
Sejanus langsung berdiri. “Tidak. Tidak apa-apa, Spruce. Dia bersamaku.
Mereka berdua bersamaku.”
Spruce bergerak mendekati lentera. Coriolanus mengenalinya sebagai pria yang
memegangi Lil pada hari pelaksanaan hukuman gantung. Pasti ini kakak lelaki Lil,
yang disebut-sebut Sejanus.
Pemberontak itu memandang mereka. “Kupikir kita sudah sepakat urusan ini
hanya antara kita saja.”
“Dia sudah seperti saudara kandungku,” kata Sejanus. “Dia akan melindungiku
saat kita kabur. Memberi kita waktu lebih banyak.”
Coriolanus tidak pernah menjanjikan hal itu, tapi dia mengangguk.
Spruce mengarahkan moncong senjatanya ke Lucy Gray. “Bagaimana dengan
dia?”
“Aku sudah memberitahumu tentang dia,” kata Billy Taupe. “Dia akan ke utara
bersama kita. Dia kekasihku.”
Coriolanus bisa merasakan tangan Lucy Gray menggenggamnya makin erat, lalu
melepasnya. “Kalau kau mau membawaku, aku ikut,” kata Lucy Gray.
“Bukankah kalian berdua pacaran?” tanya Spruce, matanya yang kelabu
memandang Coriolanus dan Lucy Gray bergantian. Coriolanus juga
mempertanyakan hal ini. Apakah Lucy Gray sungguh akan pergi bersama Billy
Taupe? Apakah gadis itu hanya memanfaatkannya, seperti yang dicurigainya?
desyrindah.blogspot.com

“Dia berkencan dengan sepupuku. Barb Azure. Dia mengirimku untuk


memberitahunya di mana mereka akan bertemu malam ini,” kata Lucy Gray.
Jadi, Lucy Gray berbohong untuk meredakan situasi. Benarkah? Walau masih
tidak yakin, Coriolanus ikut mendukungnya. “Ya, benar.”
Spruce mempertimbangkannya, lalu mengangkat bahu dan menurunkan
senjatanya, melepaskan Lucy Gray dari sasarannya. “Kurasa kau bisa jadi teman
Lil.”
Mata Coriolanus tertuju pada senjata-senjata yang tersembunyi. Dua senapan,
jenis standar yang digunakan Penjaga Perdamaian untuk latihan menembak.
Beberapa persenjataan berat seperti granat juga ada. Tampak pula beberapa pisau.
“Lumayan berat.”
“Tidak juga kalau dibawa lima orang,” kata Spruce. “Aku memikirkan
amunisinya. Tolong bawakan kalau kau bisa mengambilnya di pangkalan.”
Sejanus mengangguk. “Mungkin bisa. Kami tidak punya akses ke gudang
senjata. Tapi aku bisa mencari tahu.”
“Tentu. Siapkan saja.”
Semua orang menoleh mencari asal suara. Suara perempuan, datang dari ujung
gubuk. Coriolanus lupa tentang pintu kedua, karena tak ada orang yang
menggunakannya. Dalam kegelapan total di luar jangkauan lampu lentera, dia
tidak tahu pintu itu terbuka atau tertutup, dan dia tidak tahu siapa penyusup itu.
Berapa lama dia sudah bersembunyi dalam kegelapan?
“Siapa itu?” kata Spruce.
“Senjata, amunisi,” ejeknya. “Kalian tidak bisa membuatnya, kan? Di utara
nanti.”
Kesinisan dalam nada suaranya mengingatkan Coriolanus pada malam
perkelahian di Hob. “Itu Mayfair Lipp, putri Wali Kota.”
“Mengikuti Billy Taupe seperti anjing berahi,” kata Lucy Gray berbisik.
“Simpan peluru terakhirmu di tempat aman. Agar kau bisa menembak kepalamu
desyrindah.blogspot.com

sendiri sebelum mereka menangkapmu,” kata Mayfair.


“Pulanglah,” perintah Billy Taupe. “Akan kujelaskan nanti. Ini tidak seperti yang
kaudengar.”
“Tidak, jangan pulang. Mari bergabung bersama kami, Mayfair,” kata Spruce.
“Kami tidak punya masalah denganmu. Kau tidak bisa memilih siapa ayahmu.”
“Kami tidak akan melukaimu,” kata Sejanus.
Mayfair tertawa mencemooh. “Tentu saja tidak.”
“Apa maksudnya?” Spruce bertanya pada Billy Taupe.
“Tidak ada maksud apa-apa. Dia cuma asal omong,” katanya. “Dia takkan
melakukan apa pun.”
“Itulah aku. Banyak omong, tanpa berbuat. Ya kan, Lucy Gray? Omong-omong,
kau menikmati Capitol?” Pintu berderit terbuka, dan Coriolanus bisa merasakan
Mayfair bergerak mundur hendak melarikan diri. Masa depannya akan hancur
kalau gadis itu lolos. Tidak hanya itu, nyawanya juga akan melayang. Kalau
Mayfair melaporkan apa yang didengarnya, mereka semua akan mati.
Secepat kilat, Spruce mengangkat senapan hendak menembaknya, tapi Billy
Taupe mendorong laras senjata ke arah lantai. Secara re eks Coriolanus
mengambil senapan Penjaga Perdamaian dan menembak ke arah asal suara
Mayfair. Gadis itu menjerit, lalu terdengar bunyi benda terjatuh.
“Mayfair!” Billy Taupe berlari menuju tempat gadis itu terbaring di ambang
pintu. Dia kemudian berjalan terhuyung-huyung ke arah cahaya, tangannya
bersimbah darah, meludah ke Coriolanus seperti binatang mengamuk. “Apa yang
kaulakukan?”
Lucy Gray mulai gemetar, seperti yang dialaminya di kebun binatang saat leher
Arachne Crane digorok.
Coriolanus mendorong Lucy Gray, yang mulai bergerak ke pintu. “Kembalilah.
Naik ke panggung. Itu alibimu. Pergi!”
“Oh, tidak. Kalau aku tertangkap, dia juga ikut!” Billy Taupe mengejar Lucy
desyrindah.blogspot.com

Gray.
Tanpa ragu, Spruce menembak dada Billy Taupe. Letusan senjata
mendorongnya ke belakang, dan Billy Taupe terjatuh ke lantai.
  Dalam keheningan yang mengikuti kejadian itu, samar-samar Coriolanus
mendengar musik dari Hob untuk pertama kalinya setelah Lucy Gray selesai
bernyanyi. Maude Ivory mengajak seisi Hob untuk ikut bernyanyi bersama.
Tetaplah ceria, selalu ceria,
“Sebaiknya lakukan apa yang dia katakan,” Spruce memberitahu Lucy Gray.
“Sebelum mereka menyadari kau tidak ada dan mencarimu.”
Tetaplah ceria dalam hidup. 
Lucy Gray tidak dapat melepaskan pandangan dari jasad Billy Taupe. Coriolanus
memegang bahu gadis itu, memaksa Lucy Gray memandangnya. “Pergi. Aku akan
mengurus ini.” Dia mendorongnya ke pintu.
Akan membantu kita setiap hari, akan ceria sepanjang waktu.
Lucy Gray membuka pintu, dan mereka berdua memandang ke luar aman.
Aman.
Kalau kita tetap ceria dalam hidup.
Ya, tetap ceria dalam hidup.
Seisi Hob ikut bernyanyi riang, menandakan akhir lagu Maude Ivory. Waktu
kian mendesak. “Kau tak pernah ada di sini,” Coriolanus berbisik di telinga Lucy
Gray saat melepasnya pergi. Gadis itu tersandung-sandung berlari menuju Hob.
Coriolanus mengaitkan kakinya menutup pintu.
Sejanus memeriksa denyut nadi Billy Taupe.
Spruce memasukkan senjata-senjata itu ke dalam karung. “Tak ada gunanya.
Mereka sudah mati. Aku berencana akan merahasiakan ini. Bagaimana dengan
desyrindah.blogspot.com

kalian?”
“Sama. Rahasia, tentu,” kata Coriolanus. Sejanus memandang mereka, masih
shock. “Dia juga. Akan kupastikan.”
“Kalian sebaiknya berpikir untuk ikut kami. Ada orang yang bakal dikorbankan
untuk kejadian ini,” kata Spruce. Dia mengambil lentera dan menghilang lewat
pintu belakang, membuat gubuk gelap gulita.
Coriolanus tertatih-tatih maju hingga menemukan Sejanus dan menariknya
keluar menyusul Spruce. Dia mendorong jasad Mayfair dengan paksa ke dalam
gubuk dengan sepatu botnya dan menutup pintu tempat pembunuhan itu dengan
bahunya. Sudah. Dia berhasil masuk dan keluar gubuk tanpa menyentuh apa pun.
Kecuali senapan yang digunakannya membunuh Mayfair, yang pastinya penuh
DNA dan sidik jarinya, tapi Spruce akan membawa senjata itu kabur dari Distrik
12 dan tak pernah kembali lagi. Dia tak mau kejadian saputangan terulang lagi.
Suara Dekan Highbo om masih terngiang…
“Kau dengar tidak, Coriolanus? Itu suara Snow jatuh.”
Untuk sesaat dia menghirup udara malam. Musik, semacam lagu instrumental,
meliputi mereka. Lucy Gray barangkali sudah berada di atas panggung, tapi belum
bisa bernyanyi. Dia menarik siku Sejanus, membawanya mengelilingi gubuk dan
memeriksa jalanan di antara dua bangunan itu. Kosong. Dia bergegas menariknya
ke samping Hob, berhenti sebelum berbelok masuk. “Jangan bicara apa-apa,”
desisnya.
Sejanus, dengan mata terbelalak dan keringat membasahi kerahnya, mengulang
ucapan Coriolanus, “Jangan bicara apa-apa.”
Di dalam Hob, mereka duduk di tempat masing-masing. Di sebelah mereka,
Beanpole duduk bersandar di dinding, tampak sudah  hilang kesadaran. Di
sebelahnya lagi, Smiley sedang mengobrol dengan seorang gadis sementara Bug
menghabiskan wiski. Tampaknya tak ada yang kehilangan mereka.
Musik instrumental berakhir dan Lucy Gray yang sudah tenang kembali
bernyanyi, memilih lagu yang bisa dinyanyikan bersama-sama Pengembara lain.
desyrindah.blogspot.com

Pintar. Kemungkinan besar mereka yang akan menemukan jenazah Billy Taupe
dan Mayfair Lipp, karena gubuk itu tempat istirahat mereka. Semakin lama
mereka bersama-sama di atas panggung, semakin bagus alibi mereka, semakin
lama waktu yang dimiliki Spruce untuk membawa pergi senjata-senjata dari TKP,
dan semakin sulit bagi penonton untuk menentukan waktu siapa berada di mana
dan kapan.
Jantung Coriolanus berdegup kencang saat berusaha menghitung kerusakan
yang terjadi. Sepertinya tidak akan ada yang terlalu memedulikan Billy Taupe,
mungkin hanya Clerk Carmine. Tapi Mayfair? Putri tunggal Wali Kota? Spruce
benar; akan ada orang yang harus membayar kematian gadis itu.
Lucy Gray membuka permintaan lagu dari penonton dan berhasil membuat
mereka berlima tetap di panggung sampai akhir acara. Maude Ivory
mengumpulkan uang dari penonton seperti biasa. Lucy Gray berterima kasih
pada semua orang, para Pengembara memberi hormat, dan penonton mulai
berjalan ke arah pintu keluar.
“Kita harus langsung pulang,” kata Coriolanus berbisik pada Sejanus. Mereka
berdua merangkul dan membopong Beanpole lalu berjalan keluar dengan Bug dan
Smiley mengikuti di belakang mereka. Mereka baru berjalan sekitar dua puluh
meter saat jeritan histeris Maude Ivory berkumandang di udara malam, sehingga
semua orang berbalik lagi. Kalau mereka terus berjalan akan mencurigakan, se-
hingga Coriolanus dan Sejanus ikut berbalik membopong Beanpole. Tak lama
kemudian, peluit Penjaga Perdamaian berbunyi, dan dua petugas keamanan
menyuruh mereka kembali ke pangkalan. Mereka membaur dalam kerumunan
dan tidak saling bicara hingga mereka tiba di barak, mendengar teman-teman
sekamar mereka mendengkur, lalu menyelinap ke kamar mandi.
“Kita tidak tahu apa-apa. Itu cerita kita,” bisik Coriolanus. “Kita keluar dari Hob
sebentar untuk kencing. Selain itu, kita menonton pertunjukan sepanjang malam.”
“Baiklah,” kata Sejanus. “Bagaimana dengan yang lain?”
desyrindah.blogspot.com

“Spruce sudah kabur entah ke mana dan Lucy Gray takkan bilang siapa-siapa,
bahkan tidak ke Pengembara lain. Dia takkan menempatkan mereka dalam
bahaya,” katanya. “Besok kita berdua akan kelihatan masih mabuk dan seharian di
pangkalan.”
“Ya. Ya. Seharian di pangkalan.” Sejanus tampak tidak fokus sehingga kelihatan
kacau.
Coriolanus menangkup wajah Sejanus dengan kedua tangannya. “Sejanus, ini
masalah hidup dan mati. Kau harus kuat.” Sejanus sependapat, tapi Coriolanus
tahu dia tak bakal bisa tidur sepanjang malam. Di dalam pikirannya, dia
mengulang-ulang penembakan itu. Dia membunuh untuk kedua kalinya. Kalau
dia membela diri saat membunuh Bobbin, bagaimana dengan Mayfair? Pastinya
bukan pembunuhan berencana. Tidak bisa dibilang pembunuhan juga. Hanya
sejenis pembelaan diri. Hukum mungkin tidak melihatnya seperti itu, tapi dia
melihatnya seperti itu. Mayfair memang tidak membawa pisau, tapi dia punya
kuasa untuk membuatnya dihukum gantung. Belum lagi entah apa yang mungkin
diperbuatnya terhadap Lucy Gray dan yang lain. Barangkali karena dia tidak
melihat langsung kematian Mayfair, juga tidak berlama-lama melihat jasadnya, dia
tidak terlalu terguncang seperti saat membunuh Bobbin. Atau barangkali
pembunuhan kedua lebih mudah daripada pembunuhan pertama. Jika bisa
diulang, dia tahu dia akan menembak Mayfair lagi, dan entah bagaimana itu
menguatkan alasan perbuatannya.
Keesokan paginya, bahkan teman-teman sekamarnya yang mabuk datang ke
ruang makan untuk sarapan. Smiley mendapat bocoran dari temannya yang
perawat, yang bertugas di klinik tadi malam, saat mereka membawa jenazah ke
klinik. “Dua korbannya adalah penduduk lokal, tapi salah satunya adalah putri
wali kota. Satunya lagi pemusik atau semacamnya, tapi kita belum pernah
melihatnya di panggung. Mereka tewas ditembak di bengkel di belakang Hob.
Tepat saat pertunjukan berlangsung! Kita semua tak mendengarnya karena
desyrindah.blogspot.com

tertutup suara musik.”


“Apakah mereka tahu siapa pelakunya?” tanya Beanpole.
“Belum. Orang-orang ini tidak seharusnya memiliki senjata, tapi seperti
kubilang, benda-benda itu bisa ditemukan di sini,” kata Smiley. “Tewas karena
dibunuh orang mereka sendiri.”
“Bagaimana mereka bisa tahu?” tanya Sejanus.
Diam! Coriolanus membentak dalam hati. Mengenal Sejanus, pemuda itu bisa
saja mengakui kejahatan yang tidak dia lakukan.
“Katanya, mereka menduga gadis itu ditembak menggunakan senapan tua milik
Penjaga Perdamaian, mungkin curian semasa perang. Dan pemusik itu terbunuh
dengan senjata buatan yang digunakan penduduk lokal untuk berburu.
Kemungkinan pelakunya dua orang,” kata Smiley. “Mereka mencari dan
menggeledah wilayah di sekitarnya dan tidak menemukan senjata. Menurutku,
senjata-senjata itu sudah dibawa pergi bersama para pembunuh.”
Coriolanus merasa lebih tenang, dan dia melahap sesuap penuh pancake. “Siapa
yang menemukan jenazah mereka?”
“Penyanyi cilik itu yang memakai gaun pink. Kau tahu, kan?” kata Smiley.
“Maude Ivory,” kata Sejanus.
“Kurasa itu namanya. Dia ketakutan setengah mati. Mereka menanyai anggota
band, tapi kapan mereka punya kesempatan melakukannya? Mereka tidak
meninggalkan panggung, dan tak ada senjata ditemukan pada mereka,” kata
Smiley lagi. “Tapi mereka terguncang. Sepertinya mereka mengenal si pemusik
yang tewas itu.”
Coriolanus menusukkan garpunya ke sosis, merasa jauh lebih baik. Penyelidikan
diawali dengan baik. Namun, ini bisa berakibat buruk terhadap Lucy Gray, karena
dia memiliki motif ganda. Billy Taupe adalah mantan kekasihnya dan Mayfair
telah mengirimnya ke arena. Kalau urusan arena dilibatkan di sini, apakah dia juga
bisa jadi tersangka? Tak ada seorang pun dari 12 yang tahu dia adalah kekasih baru
desyrindah.blogspot.com

Lucy Gray, selain para Pengembara, dan Lucy Gray akan menyuruh mereka tutup
mulut. Akan tetapi, kalau gadis itu punya pacar baru, kenapa dia masih peduli pada
Billy Taupe? Mereka mungkin punya motif untuk membunuh Mayfair, sebagai
semacam bentuk balas dendam, dan Billy Taupe mungkin berusaha melindungi
Mayfair. Sebenarnya, itu tidak jauh berbeda dari kenyataan yang terjadi. Tapi
ratusan saksi bisa bersumpah bahwa Lucy Gray berada di panggung nyaris
sepanjang waktu pertunjukan. Tak ada senjata yang ditemukan. Sulit
membuktikan bahwa Lucy Gray bersalah. Coriolanus mesti bersabar, menunggu
situasi mereda, barulah mereka bisa bersama lagi. Dia merasa jauh lebih dekat
dengan Lucy Gray sekarang, karena mereka memiliki ikatan baru yang tak
tergoyahkan ini.
Karena kejadian tadi malam, komandan menutup pangkalan selama satu hari.
Corioalanus tidak punya rencana juga dia harus menjauh dari para Pengembara
untuk sementara waktu. Dia dan Sejanus berkeliling di dalam pangkalan, berusaha
terlihat normal. Bermain kartu, menulis surat, membersihkan sepatu bot mereka.
Saat mereka membersihkan lumpur dari tapak sepatu, Coriolanus berbisik.
“Bagaimana dengan rencana pelariannya? Apakah tetap jadi?”
“Aku tidak tahu,” jawab Sejanus. “Pesta ulang tahun Komandan berlangsung
minggu depan. Pada malam itulah kami seharusnya bertindak. Coryo, bagaimana
jika mereka menangkap orang yang tak bersalah untuk pembunuhan-
pembunuhan ini?”
Maka kita tidak punya masalah lagi, pikir Coriolanus. Tapi dia hanya berkata.
“Kurasa kemungkinannya sangat kecil, tanpa adanya senjata. Kita pikirkan nanti
saja kalau memang sudah kejadian.”
Coriolanus tidur nyenyak malam itu. Pada hari Senin pangkalan tak lagi ditutup,
dan kabar yang beredar adalah pembunuhan-pembunuhan itu terjadi karena
pertikaian di dalam kelompok pemberontak. Kalau mereka mau saling
membunuh, biarkan saja. Wali kota datang ke pangkalan dan menyampaikan
desyrindah.blogspot.com

unek-unek tentang putrinya pada sang komandan, tapi karena dia sendiri terlalu
memanjakan Mayfair dan membiarkannya bebas keluyuran seperti kucing liar, dia
hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri kalau selama ini putrinya bergaul dengan
pemberontak.
Pada hari Selasa siang, keingintahuan orang-orang terhadap pembunuhan yang
terjadi mulai luntur sehingga Coriolanus mulai berani membuat rencana-rencana
masa depan sembari mengupas kentang untuk sarapan besok. Yang pertama harus
dipastikan adalah Sejanus sudah menyerah untuk melarikan diri. Semoga saja ke-
jadian di gubuk meyakinkannya bahwa dia hanya cari masalah kalau meneruskan
niatnya. Besok malam giliran mereka mengepel bersama, dan waktu yang tepat
untuk berbicara dengannya. Kalau Sejanus tetap nekat ingin kabur, Coriolanus tak
punya pilihan selain melaporkannya pada sang komandan. Dia merasa lega, hingga
bersemangat mengupas kentang dan selesai lebih awal, dan
Cookie mengizinkannya istirahat setengah jam sebelum giliran tugasnya berakhir.
Dia memeriksa surat dan menemukan kotak kiriman Pluribus, berisi senar dawai
gitar dan pernak-pernik alat musik lain, serta catatan yang mengatakan bahwa ini
semua gratis. Dia menyimpan barang itu di loker, senang saat memikirkan betapa
bahagianya kaum Pengembara saat keadaan sudah aman bagi mereka untuk
bertemu lagi. Barangkali dia bisa bertemu mereka satu atau dua minggu lagi, jika
keadaan makin tenang.
Coriolanus mulai merasa seperti sedia kala saat berjalan menuju ruang makan.
Selasa berarti menunya kentang. Dia masih punya waktu beberapa menit untuk
mengambil sekaleng bedak untuk mengobati biang keringatnya yang mulai
sembuh. Namun, saat dia berjalan keluar dari klinik, ambulans berhenti. Pintu
belakangnya terbuka, lalu dua petugas medis mengeluarkan seorang pria di atas
usungan. Orang itu mungkin sudah mati melihat kemejanya bersimbah darah, tapi
saat dibawa masuk, pria itu menoleh. Matanya tepat memandang Coriolanus, yang
tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Spruce. Kemudian pintu menutup,
desyrindah.blogspot.com

menghalangi pandangan Coriolanus.


Coriolanus mengabari Sejanus pada malam hari, tapi mereka sama-sama tak
mengerti apa artinya keberadaan Spruce. Pria itu jelas terseret urusan dengan
Penjaga Perdamaian, tapi apa? Apakah mereka berhasil mengaitkannya dengan
pembunuhan-pembunuhan di gudang? Apakah mereka tahu tentang rencana
pelarian Sejanus? Apakah mereka tahu tentang jual-beli senjata? Apa yang akan
dikatakan Spruce setelah mereka menangkapnya?
Pada saat sarapan hari Rabu, perawat teman Smiley memberitahu bahwa Spruce
meninggal tadi malam karena luka-luka yang dialaminya terlalu parah. Sang
perawat tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi sebagian besar beranggapan
bahwa Spruce terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan itu. Coriolanus melewati
pagi seperti robot yang terprogram otomatis, menunggu kabar buruk berikutnya
datang. Benar saja, kabar buruk datang pada saat mereka makan siang. Dua orang
polisi militer datang ke meja mereka di ruang makan dan menangkap Sejanus,
yang ikut pergi tanpa banyak bicara. Coriolanus ikut menunjukkan wajah terkejut
seperti teman-teman sekamarnya. Ini pasti tidak benar, katanya ikut-ikutan.
Dipimpin oleh Smiley, mereka mendatangi sersan latihan menembak. “Kami
ingin mengatakan bahwa tidak mungkin Sejanus melakukan pembunuhan itu. Dia
bersama kami sepanjang malam.”
“Kami tak pernah berpisah,” lanjut Beanpole. Padahal malam itu Beanpole
sudah teler tak sadarkan diri, bersandar di dinding, tapi mereka semua
mendukungnya.
“Aku menghargai kesetiakawanan kalian,” kata sang sersan, “tapi menurutku ini
masalah lain.”
Coriolanus langsung merinding. Masalah lain, seperti rencana pelarian?  Spruce
sepertinya bukan orang yang membocorkan rahasia itu, terutama karena bisa
membahayakan adiknya. Dia yakin jabberjay-nya sampai ke Dr. Gaul, dan ini
akibatnya. Pertama-tama penangkapan Spruce, lalu Sejanus.
desyrindah.blogspot.com

Selama dua hari berikutnya, waktu berlalu begitu saja, sementara Coriolanus
berusaha meyakinkan diri bahwa ini semua demi kebaikan Sejanus. Permohonan
teman-teman sekamarnya untuk bisa menemui Sejanus di tahanan ditolak. Dia
menunggu tibanya Strabo Plinth, turun dari pesawat pribadinya untuk
menegosiasikan pembebasan putranya, menawarkan armada pesawat baru, lalu
membawa pulang putranya yang sesat jalan. Apakah Strabo Plinth tahu masalah
yang dihadapi Sejanus? Ini bukanlah Akademi, mereka tidak menelepon
orangtuamu kalau kau bikin salah.
Secara sambil lalu, Coriolanus bertanya pada tentara yang lebih tua apakah
mereka diizinkan untuk menelepon ke rumah. Semua orang diizinkan menelepon
dua kali dalam setahun, tapi izin itu baru diberikan setelah mereka bertugas
selama enam bulan. Semua bentuk korespondensi harus melalui surat. Karena
tidak tahu berapa lama Sejanus bakal dipenjara, Coriolanus menulis surat singkat
pada Ma, memberitahunya bahwa Sejanus dalam masalah dan menyarankan agar
Strabo menelepon mencari tahu. Dia bergegas hendak mengirim surat itu pada
hari Jumat pagi tapi terhalang pengumuman bahwa seluruh personel, kecuali yang
bertugas, untuk datang ke aula. Di aula, Komandan mengumumkan bahwa salah
satu anggota mereka akan dihukum gantung siang itu. Yaitu Sejanus Plinth.
Rasanya aneh, seperti berada dalam mimpi buruk. Pada saat latihan, tubuhnya
bergerak seperti boneka tali yang disentakkan dengan tali tak kasatmata. Setelah
latihan selesai, sang sersan memanggil Coriolanus, dan semua orang teman-
teman satu timnya, Smiley, Bug, dan Beanpole memperhatikan saat Coriolanus
diberi perintah untuk hadir pada saat hukuman gantung untuk mengisi barisan.
Sekembalinya di barak, jemarinya terasa kaku hingga tidak sanggup
mengancingkan seragamnya, masing-masing kancing logam perak itu
menunjukkan logo Capitol. Kedua kakinya juga sulit digerakkan seperti saat
terjadi pengeboman di arena, tapi dengan susah payah dia berjalan ke gudang
senjata mengambil senapan.  Para Penjaga Perdamaian lain yang tidak dia kenal,
desyrindah.blogspot.com

memberinya tempat duduk yang luas di truk. Coriolanus yakin dirinya sudah jadi
bahan omongan karena mengenal baik si terhukum.
Sama seperti saat pelaksanaan hukuman gantung Arlo, Coriolanus diperintah
untuk berdiri di barisan yang mengapit pohon gantung. Dia bingung melihat
penonton yang banyak dan ramai Sejanus pasti tidak mungkin mendapat
dukungan sebanyak ini hanya dalam hitungan minggu hingga mobil Penjaga
Perdamaian tiba lalu menurunkan Sejanus dan Lil yang terbelenggu. Para
penonton memanggil saat melihat gadis itu.
Arlo, mantan prajurit yang ditempa bertahun-tahun di tambang, bisa menahan
diri hingga mendengar teriakan Lil di kerumunan. Namun, Sejanus dan Lil terlihat
lemah dalam ketakutan, tampak jauh lebih muda daripada usia mereka sebenarnya
hingga memberi kesan bahwa mereka hanyalah anak-anak yang diseret ke tiang
gantung. Lil, yang berjalan dengan kaki gemetar nyaris terjatuh, didorong ke
depan oleh dua Penjaga Perdamaian berwajah muram, yang mungkin
menghabiskan minuman keras banyak-banyak besok malam untuk menghapus
ingatan ini.
Tatapan Coriolanus berserobok dengan Sejanus ketika pemuda itu berjalan
melewatinya, dan saat itu Coriolanus hanya melihatnya sebagai bocah berusia
delapan tahun yang bermain di taman, tangannya menggenggam erat sekantong
permen karet. Tapi bocah ini tampak ketakutan. Bibir Sejanus menyebut namanya,
Coryo, dan wajahnya mengernyit kesakitan. Entah dia memohon atau menuduh-
nya berkhianat, Coriolanus tidak tahu pasti.
Para Penjaga Perdamaian menempatkan terhukum bersisian di atas pintu
jebakan. Penjaga Perdamaian lain membacakan da ar tuduhan pada para
terhukum sambil diteriaki massa, Coriolanus hanya bisa menangkap kata
pengkhianatan. Dia mengalihkan pandangannya ketika Penjaga Perdamaian
memasang tali gantungan, dan dia melihat wajah Lucy Gray yang terbelalak ngeri.
Gadis itu berdiri di depan mengenakan gaun lusuh abu-abu, rambutnya ditutupi
desyrindah.blogspot.com

selendang hitam, air matanya menetes ketika memandang Sejanus.


Saat genderang ditabuh, Coriolanus memejamkan matanya rapat-rapat,
berharap bisa mengenyahkan bunyi-bunyian itu juga. Tapi dia tidak bisa
mengenyahkannya, dan dia mendengar semuanya. Teriakan Sejanus, pintu
jebakan menjeblak, dan jabberjay-jabberjay mengulang-ulang kata terakhir yang
diucapkan Sejanus, berkali-kali sembari terbang ke arah matahari.
“Ma! Ma! Ma! Ma! Ma!”
desyrindah.blogspot.com
29

Coriolanus bertahan hingga hukuman gantung selesai dilaksanakan,


menunjukkan wajah tanpa ekspresi dan tidak berbicara ketika kembali ke
pangkalan, mengembalikan senjatanya, lalu berjalan ke barak. Dia tahu orang-
orang memandanginya; Sejanus dikenal sebagai sahabatnya, atau setidaknya
sebagai anggota regunya. Mereka ingin melihatnya goyah, tapi dia tidak mau
memberi mereka kepuasan itu. Sendirian di kamarnya, dia melepas seragam,
menggantung setiap helai pakaian seragam dengan rapi, meluruskan bagian yang
kusut dengan jemarinya. Saat tak ada yang melihat, tubuhnya langsung lunglai,
bahunya tak mampu lagi menahan beban. Dia hanya bisa menelan beberapa teguk
jus apel hari ini. Dia merasa lumpuh tak berdaya, tak sanggup bergabung dengan
timnya untuk latihan menembak sasaran, berhadapan dengan Bug, Beanpole, dan
Smiley. Tangannya terlalu gemetar untuk memegang senjata. Dia hanya duduk di
ranjang Beanpole, hanya mengenakan celana dalam di ruangan yang gerah itu,
menunggu entah apa yang bakal menimpanya.
Ini hanya masalah waktu. Mungkin dia sebaiknya menyerahkan diri. Sebelum
mereka datang menangkapnya karena Spruce sudah mengaku, atau
kemungkinan besar Sejanus telah membuka rahasia pembunuhan. Bahkan jika
mereka tidak membocorkannya, senapan Penjaga Perdamaian ada di luar sana,
penuh dengan DNA-nya. Spruce tidak kabur mencari kebebasan, dia mungkin
hanya bersembunyi hingga bisa menyelamatkan Lil, dan jika dia berada di Distrik
12, senjata-senjata pembunuhan juga ada di tangannya. Mungkin saat ini mereka
desyrindah.blogspot.com

sedang menguji senjatanya, memastikan Spruce telah menggunakannya untuk


membunuh Mayfair dan menemukan bahwa sang penembak ternyata Prajurit
Snow. Orang yang mengkhianati sahabat baiknya dan mengirimnya ke tiang
gantung.
Coriolanus menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Dia sudah membunuh
Sejanus sama seperti dia menghantam Bobbin sampai mati atau menembak mati
Mayfair. Dia membunuh satu-satunya orang yang menganggap dirinya saudara
kandung. Meskipun perbuatannya keji, ada suara dalam hatinya yang bertanya,
Kau punya pilihan apa lagi? Pilihan apa? Tidak ada pilihan. Sejanus sudah bertekad
menghancurkan hidupnya, dan Coriolanus yang kena getahnya, sampai-sampai
dia harus berdiri di bawah pohon gantung itu.
Dia berusaha membenarkan tindakannya. Tanpa dia, Sejanus sudah tewas di
arena, menjadi sasaran kelompok peserta yang berusaha membunuh mereka saat
mereka kabur. Secara teori, Coriolanus sudah memberinya waktu beberapa
minggu untuk hidup, memberinya kesempatan kedua dan peluang untuk
memperbaiki arah hidupnya. Tapi Sejanus tidak melakukannya. Tidak bisa. Tidak
peduli. Sejanus memang seperti itu adanya. Mungkin hidup di hutan belantara di
utara sana cocok untuknya. Sejanus yang malang. Sejanus yang bodoh dan
berperasaan halus yang kini sudah tiada.
Coriolanus berjalan melewati loker Sejanus, mengeluarkan kotak barang-barang
pribadinya dari loker, menyebarkan isinya di lantai dan duduk memandangi
barang-barang itu. Satu-satunya tambahan sejak Coriolanus membuka isi loker
Sejanus adalah kue kering buatan Ma yang terbungkus tisu. Coriolanus membuka
pembungkusnya dan menggigit kue itu. Tidak ada salahnya. Rasa manis kue itu
menyebar di lidahnya, dan berbagai bayangan melintas dalam benaknya Sejanus
memberikan sandwich di kebun binatang, Sejanus menentang Dr. Gaul, Sejanus
memeluknya di jalan saat berjalan pulang ke pangkalan, Sejanus tergantung di
tali…
desyrindah.blogspot.com

“Ma! Ma! Ma! Ma! Ma!”


Coriolanus tersedak kue, sehingga dia memuntahkan jus apel yang masam
bersama remah-remah kue. Keringat mengalir deras di sekujur tubuhnya lalu dia
mulai terisak. Sambil duduk bersandar di loker, Coriolanus memeluk kedua
kakinya yang ditekuk rapat ke dadanya, dan menangis tersedu-sedu. Dia
menangisi Sejanus, Ma yang malang, Tigris yang manis dan berbakti, serta
Grandma’am yang lemah dan mulai pikun, yang bakal kehilangan dirinya dengan
cara yang nista. Dan menangisi dirinya sendiri, karena tidak lama lagi dia bakal
mati. Dia mulai megap-megap ketakutan, seakan tali menjerat lehernya. Dia tidak
mau mati! Terutama, dia tidak mau mati di lapangan itu, dengan burung-burung
mutan menggemakan ucapan terakhirnya. Siapa yang tahu ucapan gila apa yang
bakal diucapkannya pada momen seperti itu? Dia mati, lalu burung-burung
meneriakkan kata-katanya, kemudian mockingjay menggubahnya menjadi lagu
memuakkan!
Setelah sekitar lima menit, tangisannya berhenti, dan dia menenangkan diri
sambil mengelus batu pualam berbentuk hati di kotak Sejanus. Tak ada yang bisa
dilakukannya selain menghadapi kematiannya seperti pria sejati. Seperti tentara.
Seperti seorang Snow. Setelah menerima takdirnya, dia merasa perlu
menyelesaikan urusan-urusannya. Dia harus melakukan sesuatu untuk orang-
orang yang disayanginya. Dia melepas bagian belakang pigura perak, menemukan
sejumlah uang yang tersisa setelah Sejanus membeli senjata. Dia mengambil
amplop-amplop mewah berwarna cokelat muda yang dibawa Sejanus dari Capitol,
memasukkan uang ke dalam amplop, menyegelnya, dan mengalamatkannya ke
Tigris. Setelah merapikan barang-barang Sejanus, dia mengembalikan kotak itu ke
loker. Apa lagi yang harus dilakukannya? Dia memikirkan Lucy Gray, satu-satunya
cinta dalam hidupnya saat ini. Dia ingin meninggalkan kenang-kenangan untuk
gadis itu. Dia mengaduk-aduk isi kotaknya sendiri dan memutuskan untuk
memberinya selendang oranye. Kaum Pengembara menyukai warna, dan gadis itu
desyrindah.blogspot.com

juga sangat menyukai benda-benda berwarna-warni. Dia tidak tahu cara me-
ngirimnya kepada Lucy Gray, tapi jika dia masih di sini sampai hari Minggu,
barangkali dia bisa keluar dari pangkalan dan bertemu untuk terakhir kalinya. Dia
menaruh selendang yang terlipat rapi bersama senar dawai kiriman Pluribus.
Setelah menyeka ingus dan air matanya, Coriolanus berpakaian lalu berjalan ke
kantor pos untuk mengirim uang ke rumahnya.
Pada saat makan malam, dia berbisik pada teman-teman sekamarnya yang
kelihatan sedih, memperhalus cerita tentang pelaksanaan hukuman gantung.
“Menurutku dia tewas seketika. Dia tidak kesakitan.”
“Aku masih tidak percaya dia melakukannya,” kata Smiley.
Suara Beanpole gemetar. “Kuharap mereka tidak menganggap kita terlibat.”
“Bug dan aku bisa dicurigai sebagai simpatisan pemberontak, karena kami
berasal dari distrik,” kata Smiley. “Apa yang kalian kuatirkan? Kalian kan orang
Capitol.”
“Sejanus juga,” Beanpole mengingatkannya.
“Tidak sepenuhnya, kan? Ingat bagaimana dia selalu menyebut-nyebut Distrik
Dua?” kata Bug.
“Tidak, tidak juga,” kata Coriolanus.
Coriolanus menghabiskan malam itu bertugas jaga di penjara yang kini kosong.
Dia tidur lelap seperti orang mati, tidak heran karena dalam beberapa jam lagi dia
bakal mati sungguhan.
Dia menjalani latihan pagi secara otomatis, dan nyaris merasa lega ketika seusai
makan siang ajudan Komandan Ho datang dan meminta Coriolanus
mengikutinya. Tidak sedramatis Sejanus yang dijemput polisi militer, tapi ini
masuk akal karena mereka berusaha menormalkan kembali suasana di antara
pasukan. Dia yakin bakal dibawa ke penjara setelah dari kantor komandan, dan
menyesal tidak membawa barang dari rumah untuk menemaninya di saat-saat
akhir. Kotak bedak ibunya bisa menenangkannya saat menunggu tali gantungan.
desyrindah.blogspot.com

Walaupun tidak mewah, kantor komandan tampak lebih bagus daripada


ruangan lain di pangkalan, dan dia duduk di kursi kulit di seberang meja
Komandan Ho , bersyukur dia bisa menerima hukuman matinya dengan cara
berkelas. Ingat, kau seorang Snow, katanya dalam hati. Kalau akan mati pun, matilah
dengan harga diri.
Sang komandan menyuruh ajudannya keluar, yang berjalan ke luar ruangan dan
menutup pintu di belakangnya. Ho duduk bersandar di kursinya dan
memandang Coriolanus dengan saksama. “Minggu yang berat untukmu.”
“Ya, Sir.”  Dia berharap sang komandan langsung saja menginterogasinya. Dia
terlalu lelah untuk berbasa-basi.
“Minggu yang berat,” ulang Ho . “Kudengar kau siswa yang cemerlang di
Capitol.”
Coriolanus tidak tahu dari mana sang komandan mendengarnya, dan penasaran
apakah Sejanus yang mengatakannya, walaupun tidak penting siapa yang
mengatakannya. “Itu penilaian yang terlalu berlebihan.”
Sang komandan tersenyum. “Dan rendah hati.”
Oh, langsung tahan aku saja, pikir Coriolanus. Dia tidak butuh diangkat di awal
lalu dibanting pada akhirnya.
“Aku diberitahu bahwa kau sahabat dekat Sejanus Plinth,” kata Ho .
Ini dia, pikir Coriolanus. Kenapa sang komandan harus mengulur-ulur waktu,
bukannya langsung saja? “Kami lebih dari teman. Kami sudah seperti saudara
kandung.”
Ho memandang simpati padanya. “Kalau begitu, aku hanya bisa mewakili
Capitol menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas
pengorbananmu.”
Tunggu. Apa? Coriolanus memandang Ho dengan tatapan bingung. “Sir?”
“Dr. Gaul menerima pesanmu lewat jabberjay,” kata Ho . “Beliau bilang
mengirim pesan itu pasti keputusan sulit untukmu. Kesetiaanmu pada Capitol
desyrindah.blogspot.com

kaubayar dengan amat mahal.”


Jadi, untuk sementara dia aman? Tampaknya, senjata dengan sidik jari dan
DNA-nya belum ditemukan. Mereka memandangnya sebagai pahlawan Capitol
yang berkorban untuk negara. Dia memperlihatkan ekspresi sedih, agar sesuai
perannya sebagai pemuda yang berduka karena sahabatnya berbuat nakal.
“Sejanus tidak jahat, dia hanya… bingung.”
“Aku sepakat. Tapi sayangnya, berkomplot dengan musuh sudah melewati batas
untuk bisa diabaikan.” Ho terdiam berpikir. “Menurutmu, apakah dia terlibat
pembunuhan-pembunuhan itu?”
Mata Coriolanus terbelalak, seakan hal itu tak pernah terlintas dalam benaknya.
“Maksud Anda, pembunuhan-pembunuhan di Hob?”
“Putri wali kota dan…” Sang komandan membalik-balik kertas, lalu
memutuskan tak peduli. “Satu orang lagi.”
“Oh… kurasa tidak. Menurut Anda, ada kaitannya?” tanya
Coriolanus, seakan tak bisa menduganya.
“Aku tidak tahu. Tidak peduli juga,” kata Ho padanya. “Anak muda itu bergaul
dengan pemberontak, dan gadis itu bergaul dengan anak muda tersebut. Siapa pun
yang membunuh mereka mungkin telah membantuku menghindari kemungkinan
masalah di masa depan.”
“Tampaknya bukan sifat Sejanus,” kata Coriolanus. “Dia tak pernah mau
menyakiti siapa pun. Dia mau jadi petugas medis.”
“Ya, sersanmu juga bilang begitu,” kata Ho sependapat. “Apakah dia
memberitahumu bahwa dia memberi mereka senjata?”
“Senjata? Aku tidak tahu soal itu. Bagaimana dia bisa mendapat senjata?”
Coriolanus mulai menikmati sandiwara ini.
“Membelinya di pasar gelap? Kudengar, dia berasal dari keluarga kaya,” kata
Ho . “Ah, tidak penting. Kasus itu tetap jadi misteri kecuali senjata-senjata itu
ditemukan. Aku sudah meminta Penjaga Perdamaian menggeledah Seam selama
desyrindah.blogspot.com

beberapa hari ke depan. Sementara itu, Dr. Gaul dan aku memutuskan untuk
merahasiakan bantuanmu dalam masalah Sejanus ini demi keamananmu. Kau
tidak mau jadi sasaran pemberontak, kan?”
“Aku juga lebih memilih begitu,” kata Coriolanus. “Menghadapi keputusanku
sendiri saja sudah berat rasanya.”
“Aku mengerti. Tapi setelah semuanya berlalu, ingatlah bahwa kau sudah berjasa
besar pada negaramu. Cobalah melupakan urusan ini.” Kemudian, seakan baru
menyadarinya, Ho berkata, “Hari ini ulang tahunku.”
“Ya, aku membantu menurunkan wiski untuk pestanya,” kata Coriolanus.
“Akan ada hiburan. Cobalah bersenang-senang.” Ho berdiri dan mengulurkan
tangan.
Coriolanus berdiri dan menjabat tangannya. “Akan kuusahakan. Selamat ulang
tahun, Sir.”
Teman-teman sekamarnya menyambut Coriolanus dengan gembira saat dia
kembali, menghujaninya dengan pertanyaan demi pertanyaan tentang alasan sang
komandan memanggilnya.
“Komandan tahu aku dan Sejanus sudah berteman lama, dan dia mau
memastikan aku baik-baik saja,” Coriolanus memberitahu mereka.
Berita itu mengangkat semangat mereka, dan informasi tentang jadwal siang
mereka menyenangkan hati Coriolanus. Latihan mereka kali ini bukan menembak
sasaran biasa, tapi mendapat izin untuk menembaki burung jabberjay dan
mockingjay   di pohon gantung. Kesabarannya habis pada saat burung-burung itu
bernyanyi meniru teriakan terakhir Sejanus.
Coriolanus merasa pening saat menembaki mockingjay dari dahan-dahan pohon,
dan dia berhasil membunuh tiga ekor. Tidak terlalu pintar kau sekarang! pikirnya.
Sayang, setelahnya banyak burung yang kabur dan terbang di luar jangkauan
tembak. Tapi mereka akan kembali. Dia juga akan kembali, kalau dia tidak
mendapat hukuman gantung.
desyrindah.blogspot.com

Untuk menghormati ulang tahun sang komandan, mereka semua mandi, lalu
mengenakan seragam baru sebelum ke ruang makan. Cookie menyajikan
makanan istimewa berupa steik, kentang tumbuk lengkap dengan kuah daging,
dan kacang polong segar, bukan kalengan. Masing-masing tentara mendapat
segelas besar bir, dan Ho memotong sendiri kue ulang tahun raksasa. Setelah
makan malam, mereka berkumpul di gimnasium yang sudah didekorasi dengan
spanduk dan panji-panji untuk acara ulang tahun sang komandan. Wiski mengalir
bebas, dan berkali-kali mereka bersulang dengan memberi ucapan selamat lewat
mikrofon yang dipasang untuk acara ini. Tapi Coriolanus tidak menyadari akan
ada acara hiburan sampai beberapa tentara menyiapkan kursi-kursi.
“Tentu saja ada hiburan,” kata seorang tentara. “Kami menyewa band dari Hob.
Komandan sangat menyukai mereka.”
Lucy Gray. Ini kesempatannya. Mungkin kesempatan terakhirnya untuk
bertemu gadis itu. Dia berlari ke barak, mengambil kotak dari Pluribus yang berisi
senar dawai dan selendang, lalu bergegas kembali ke pesta. Dia bisa melihat
teman-teman sekamarnya menyisakan tempat duduk di tengah, tapi dia memilih
berdiri di belakang penonton. Kalau ada kesempatan, dia tidak mau menarik
perhatian. Lampu-lampu utama dimatikan, menyisakan cahaya menyoroti
mikrofon, dan penonton pun hening. Semua mata tertuju ke arah ruang ganti yang
ditutupi selimut, seperti yang dilakukan para Pengembara di Hob.
Maude Ivory berlari kecil dengan gaun kuningnya yang berkibar-kibar lalu
melompat ke atas kotak kayu yang sudah ditaruh di belakang mikrofon. “Halo,
semuanya! Malam ini istimewa, dan kalian tahu alasannya! Hari ini ulang tahun
seseorang!”
Para Penjaga Perdamaian bertepuk tangan riuh. Maude Ivory mulai
menyanyikan lagu ulang tahun, dan semua orang ikut bernyanyi:
Selamat ulang tahun
desyrindah.blogspot.com

Untuk seseorang yang istimewa!


Semoga panjang umur!
Setahun sekali
Kami bersorak
Untukmu, Komandan Ho !
Selamat ulang tahun!
Lagunya hanya satu bait, tapi mereka mengulangnya sampai tiga kali sementara
satu per satu Pengembara naik ke panggung. 
Coriolanus menarik napas panjang saat Lucy Gray muncul dengan gaun pelangi
yang dipakainya di arena. Banyak orang yang beranggapan bahwa gaun itu untuk
ulang tahun sang komandan, tapi Coriolanus yakin gaun itu untuknya. Cara untuk
berkomunikasi, menjembatani jurang yang dikondisikan di antara mereka. Rasa
cinta mengalirinya saat Coriolanus memandang Lucy Gray, mengingatkannya
bahwa dia tidak sendirian dalam tragedi ini. Mereka seakan kembali ke arena,
berjuang untuk bertahan hidup, hanya mereka berdua menghadapi dunia ini. Dia
merasakan kepedihan saat membayangkan Lucy Gray menyaksikannya tewas, tapi
dia bersyukur gadis itu selamat. Hanya Coriolanus saksi keberadaannya di TKP
pembunuhan. Lucy Gray tidak menyentuh senjata-senjata tersebut. Apa pun yang
terjadi padanya, dia tenang karena tahu Lucy Gray tetap hidup.
Selama setengah jam pertama, dia tidak melepaskan pandangannya dari Lucy
Gray saat mereka menyanyikan lagu-lagu yang biasanya mereka mainkan.
Kemudian semua anggota band turun, meninggalkan Lucy Gray di panggung
sendirian dalam sorotan cahaya. Gadis itu duduk di bangku tinggi lalu apakah
dia hanya membayangkannya? menepuk bagian kantong gaunnya seperti yang
dilakukannya di arena. Itu kode bahwa Lucy Gray memikirkannya. Bahkan saat
terpisah jarak pun, mereka tetap bersama. Saraf dalam tubuhnya menggelenyar
ketika dia mendengarkan secara saksama lagu baru dari Lucy Gray:
Semua orang lahir suci bersih
desyrindah.blogspot.com

Sesegar bunga aster


Dan sadar sepenuhnya
Tidak mudah tetap seperti itu saat harus mengais rezeki…
Tajam seperti semak mawar,
Seperti berjalan menembus api.
Dunia ini kelam,
Dan dunia ini menakutkan,
Aku sudah menghadapi banyak cobaan
Tak heran kalau ku jera.
Itu sebabnya aku
Membutuhkanmu…
Kau seputih salju  yang terbang.
Oh, tidak. Dia tidak hanya membayangkannya. Gadis itu menyebut kata “salju”.
Lucy Gray menulis lagu ini untuknya.
Semua orang ingin jadi pahlawan…
Menjadi pusat, atau
Menjadi pelaku bukan pemimpin
Bekerja keras.
Butuh usaha untuk mengubah keadaan…
Seperti susu kambing menjadi mentega,
Seperti es batu menjadi air.
Dunia menutup mata
Saat anak-anak mati.
Nyawaku tak ada artinya, tapi
Kau tak pernah berhenti mencoba.
Itu sebabnya aku
Mencintaimya…
Kau seputih salju yang terbang.
desyrindah.blogspot.com

Corioalanus berkaca-kaca. Mereka akan menggantungnya, dan Lucy Gray akan


ada di sana, tahu bahwa pada dasarnya dirinya adalah orang baik. Dia bukan
monster yang menghianati sahabatnya, tapi seseorang yang berusaha tetap
berbuat baik dalam situasi yang tak mendukung. Seseorang yang telah
mempertaruhkan segalanya untuk menolong Lucy Gray di Hunger Games.
Seseorang yang mempertaruhkan segalanya sekali lagi untuk menyelamatkannya
dari Mayfair. Dia adalah pahlawan gadis itu.
Dingin dan sejuk,
Mengembus kulitku,
Kau melindungiku.
Kau meresap dalam diriku,
Masuk ke hatiku.
Ke hatinya.
Semua orang beranggapan mereka tahu tentang aku.
Mereka melabeliku
Mereka mendongengiku.
Kau datang padaku, kau tahu semua itu dusta.
Kau melihat kesempurnaan pada diriku,
Dan ya, itu diriku yang nyata.
Dunia ini kejam,
Dengan beragam masalah.
Kau tanyakan alasannya…
Aku punya dua puluh tiga
Kau seputih salju yang terbang.
Tak ada keraguan lagi. Dua puluh tiga. Jumlah peserta yang dikalahkannya di
Hunger Games. Semua karena Coriolanus.
desyrindah.blogspot.com

Itu sebabnya kenapa aku


Memercayaimu...
Kau seputih salju yang terbang.
Dia menyebut tentang kepercayaan. Sebelum muncul kebutuhan, sebelum
hadirnya cinta, perlu adanya kepercayaan. Satu hal yang paling dihargai Lucy Gray.
Dan dia, Coriolanus, adalah salah satu yang dipecayainya.
Saat penonton bertepuk tangan, Coriolanus hanya berdiri mematung, memeluk
kotaknya, terlalu terharu untuk ikut bertepuk tangan. Para Pengembara lain naik
panggung sementara Lucy Gray menghilang ke balik selimut. Maude Ivory berdiri
di atas kotak kayu dan mulai terdengar lagu bernada riang.
Ada sisi kehidupan yang kelam dan sulit.
Tapi ada pula sisi yang cerah ceria.
Coriolanus mengenali lagu itu. Lagu riang yang dinyanyikannya saat
pembunuhan di gubuk berlangsung. Ini kesempatannya. Dia berjalan keluar di
pintu terdekat, berusaha tidak kelihatan terlalu mencurigakan. Karena semua
orang ada di dalam, dia berlari cepat memutari gimnasium menuju ruang ganti
dan mengetuk pintunya. Pintu itu langsung membuka, seakan Lucy Gray memang
sudah menunggunya, dan gadis itu langsung terbang ke pelukannya.
Sesaat mereka hanya berdiri berpelukan, tapi waktu mereka tidak banyak.
“Aku menyesal tentang Sejanus. Kau baik-baik saja?” tanya Lucy Gray terburu-
buru.
Tentu saja, Lucy Gray tidak tahu perannya dalam kematian Sejanus. “Tidak juga.
Tapi aku masih ada di sini, untuk sementara.”
Lucy Gray memandang wajahnya lekat-lekat. “Apa yang terjadi? Bagaimana
mereka tahu tentang Sejanus hendak membantu Lil kabur?”
“Aku tidak tahu. Kurasa ada yang mengkhianatinya,” kata Coriolanus.
Lucy Gray langsung menebak. “Spruce.”
“Mungkin saja.” Coriolanus menyentuh pipi Lucy Gray. “Bagaimana denganmu?
desyrindah.blogspot.com

Kau baik-baik saja?”


“Aku kacau. Kacau rasanya. Melihatnya mati seperti itu. Dan, masih belum bisa
melupakan segala yang terjadi malam itu. Aku tahu kau membunuh Mayfair untuk
melindungiku. Aku dan Pengembara lain.” Lucy Gray menyandarkan dahinya di
dada Coriolanus. “Aku takkan pernah bisa berterima kasih kasih padamu karena
hal itu.”
Coriolanus mengelus rambut Lucy Gray. “Dia sudah tiada sekarang. Kau aman.”
“Tidak juga.” Dalam keadaan galau, Lucy Gray melepaskan diri dan menjauh.
“Wali kota, dia… Dia tak mau melepaskanku. Dia yakin aku membunuhnya.
Membunuh mereka berdua. Dia menyetir mobil mengerikan itu ke depan rumah
kami dan duduk di sana berjam-jam. Penjaga Perdamaian sudah menginterogasi
kami tiga kali. Dia bilang mereka ada di sana siang dan malam untuk menangkap
kami. Dan kalau mereka tidak memaksa kami membayar utang nyawa, dia yang
akan memaksa kami.”
Ancaman yang menakutkan. “Mereka bilang apa padamu?”
“Mereka memintaku menghindarinya. Tapi bagaimana caranya kalau dia duduk
tiga meter dari rumahku?” tangisnya. “Mayfair adalah kesayangannya. Menurutku
dia tidak akan puas sampai aku mati. Sekarang dia mulai mengancam Pengembara
yang lain. Aku… aku akan melarikan diri.”
“Apa?” tanya Coriolanus. “Ke mana?”
“Ke utara, sepertinya. Tempat yang disebut-sebut Billy Taupe dan lainnya. Kalau
aku tinggal di sini, aku tahu dia akan menemukan cara untuk membunuhku. Aku
sudah menyimpan persediaan. Aku mungkin selamat di luar sana.” Lucy Gray lari
kembali ke pelukan Coriolanus. “Aku senang bisa mengucapkan selamat tinggal
padamu.”
Melarikan diri. Lucy Gray benar-benar akan melakukannya. Menuju hutan
belantara dan mencari kesempatan untuk bertahan hidup. Dia tahu hanya maut
yang bisa mendorong Lucy Gray melarikan diri. Untuk pertama kalinya setelah
berhari-hari, dia melihat kesempatan untuk lolos dari tiang gantungan. “Bukan
desyrindah.blogspot.com

selamat tinggal. Aku akan pergi bersamamu.”


“Kau tidak bisa pergi. Aku tidak mengizinkannya. Kau akan membahayakan
hidupmu,” Lucy mengingatkannya.
Coriolanus tertawa. “Hidupku? Hidupku hanyalah menunggu entah kapan
mereka menemukan senjata-senjata itu dan mengaitkanku dengan pembunuhan
Mayfair. Mereka menggeledah Seam sekarang. Aku bisa ketahuan kapan saja. Kita
akan pergi bersama.”
Alis Lucy Gray bertaut tak percaya. “Kau serius?
“Kita pergi besok,” kata Coriolanus. “Sebelum dijatuhi hukuman mati.”
“Dan dibunuh wali kota,” sambung Lucy Gray. “Kita akhirnya akan terbebas dari
dia, Distrik Dua Belas, Capitol, semuanya. Besok. Subuh.”
“Besok subuh,” ulang Coriolanus. Dia menyerahkan kotak ke tangan Lucy Gray.
“Dari Pluribus. Tapi, selendangnya... dari aku. Aku sebaiknya segera pergi sebelum
ada yang sadar aku menghilang dan membuat mereka curiga.” Coriolanus
memeluknya lalu mencium bibir Lucy Gray. “Hanya kita berdua lagi.”
“Hanya kita berdua,” kata Lucy Gray. Wajahnya berkilau bahagia.
Coriolanus berlari melesat keluar dari ruang ganti.
Mari kita menyambut hari dengan lagu penuh harapan
Tanpa melihat hari itu suram atau cerah.
 Coriolanus tidak hanya akan hidup; dia akan hidup bersama gadisnya, seperti
hari yang mereka lalui di danau. Dia membayangkan rasa ikan segar, air sejuk, dan
kebebasan untuk melakukan apa pun yang dia inginkan. Tidak perlu tunduk pada
siapa pun. Selamanya menyingkirkan tekanan dunia.
Percayalah selalu pada hari esok
Yang akan menjaga kita semua
Dia berhasil tiba di gimnasium dan berdiri di tempatnya tadi untuk ikut
bernyanyi.
desyrindah.blogspot.com

Tetaplah ceria, selalu ceria,


Tetaplah ceria dalam hidup. 
Akan membantu kita setiap hari, akan ceria sepanjang waktu.
Kalau kita tetap ceria dalam hidup.
Ya, tetap ceria dalam hidup.
Coriolanus pening. Lucy Gray bergabung dengan Pengembara melantunkan
melodi yang liriknya tidak jelas, dan Coriolanus berusaha tidak mendengarnya
saat dia mencoba memahami jalan hidupnya. Dia dan Lucy Gray kabur ke hutan
belantara. Sinting. Tapi, kenapa tidak? Itu satu-satunya jalan keluar untuk tetap hi-
dup, dan dia tidak mau melepaskannya. Besok Minggu, jadi dia punya hari libur.
Dia akan pergi sepagi mungkin. Sarapan, mungkin makanan terakhirnya di dunia
peradaban, saat ruang makan dibuka pukul enam, lalu langsung keluar. Dia perlu
menyelinap keluar pangkalan… Pagar itu! Dia berharap informasi Spruce tentang
titik lemah di belakang generator benar. Kemudian dia akan menyusul Lucy Gray
dan berlari secepatnya.
Tapi, tunggu. Apakah dia harus ke rumahnya? Dengan Pengembara lain di sana?
Dan mungkin ada wali kota menunggu mereka. Atau dia ingin mereka bertemu di
Padang Rumput? Dia memikirkannya saat lagu berakhir dan Lucy Gray memetik
gitarnya.
“Aku hampir lupa. Aku berjanji menyanyikan lagu ini untukmu,” katanya. Lalu
dengan gerakan tak kentara, dia menepuk sakunya lagi. Dia mulai menyanyikan
lagu yang dinyanyikannya di Padang Rumput.
Apakah kau 
Akan datang ke pohon 
Tempat mereka menggantung pria yang mereka bilang membunuh tiga orang.
Hal-hal aneh terjadi di sini 
Kita takkan jadi orang asing, 
desyrindah.blogspot.com

Jika bertemu tengah malam di pohon gantung.


Pohon gantung. Tempat pertemuan rahasianya dengan Billy Taupe. Dia ingin
Coriolanus menemuinya di sana.
Apakah kau 
Akan datang ke pohon 
Tempat pria yang mati itu mengajak kekasihnya kabur.
Hal-hal aneh terjadi di sini 
Kita takkan jadi orang asing, 
Jika bertemu tengah malam di pohon gantung
Dia lebih suka mereka bertemu bukan di tempat Lucy Gray bertemu pacar
lamanya, tapi jelas lebih aman daripada bertemu di rumahnya. Siapa yang akan
ada di sana pada hari Minggu pagi? Billy Taupe sudah bukan masalah lagi. Lucy
Gray mengambil napas panjang. Dia pasti sudah menulis lirik tambahan...
Apakah kau 
Akan datang ke pohon 
Tempat aku menyuruhmu lari, agar kita bisa bebas.
Hal-hal aneh terjadi di sini 
Kita takkan jadi orang asing, 
Jika bertemu tengah malam di pohon gantung
Siapa yang dimaksud Lucy Gray? Billy Taupe memberitahunya untuk datang ke
sana agar mereka bisa bebas? Atau Lucy Gray memberitahunya bahwa mereka
akan bebas?
Apakah kau 
Akan datang ke pohon 
Memakai kalung dari tali, bersamaku bersebelahan
Hal-hal aneh terjadi di sini 
desyrindah.blogspot.com

Kita takkan jadi orang asing, 


Jika bertemu tengah malam di pohon gantung
Sekarang dia paham. Narator lagu itu adalah Billy Taupe, dia menyanyikannya
untuk Lucy Gray. Dia menyaksikan kematian Arlo, mendengar kata-kata
terakhirnya yang diulang burung-burung, memohon Lucy Gray untuk melarikan
diri mencari kebebasan bersamanya, dan saat Lucy Gray menolaknya, dia ingin
Lucy Gray juga gantung diri bersamanya daripada hidup tanpa gadis itu.
Coriolanus berharap ini lagu terakhir tentang Billy Taupe. Ada topik apa lagi yang
bisa jadi bahan nyanyian? Semua itu tidak penting lagi. Ini mungkin lagu Billy
Taupe, tapi Lucy Gray menyanyikannya untuk Coriolanus. Snow mendarat di
puncak.
Para Pengembara menyanyikan beberapa lagu lagi, lalu Lucy Gray berkata,
“Ayahku sering bilang, kau harus tidur bersama
burung-burung kalau kau mau mereka menyambutmu pada dini hari. Terima
kasih sudah menerima kami malam ini. Dan sekali lagi, kita berikan ucapan
selamat untuk Komandan Ho !” Seisi gimnasium yang dipenuhi orang mabuk
mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” kepada sang komandan.
Para Pengembara membungkuk memberi hormat lalu turun dari panggung.
Coriolanus menunggu di belakang untuk membantu Bug dan Beanpole kembali
ke barak. Tahu-tahu, lampu sudah dipadamkan dan mereka harus naik ke ranjang
dalam keadaan gelap gulita. Teman-teman sekamarnya langsung hilang kesadaran,
tapi Coriolanus berbaring dengan mata nyalang, memikirkan rencana pelariannya.
Dia tidak butuh banyak barang. Hanya dirinya, dan pakaian, beberapa tanda mata
di sakunya, serta banyak keberuntungan.
Coriolanus bangun saat subuh, mengenakan seragam baru, dan menjejalkan
beberapa celana dalam baru dan kaus kaki ke kantongnya. Dia memilih tiga foto
keluarganya, kotak bedak ibunya, dan kompas milik ayahnya, lalu
menyembunyikannya di antara pakaian. Terakhir, dia mengatur posisi bantal dan
selimut serta menutupinya dengan seprai agar seolah-olah dia masih tidur. Saat
desyrindah.blogspot.com

teman-teman sekamarnya mendengkur, dia memandang kamar itu untuk terakhir


kalinya dan bertanya-tanya apakah dia akan merindukannya.
Dia bergabung bersama mereka yang bangun awal untuk sarapan puding roti,
yang sepertinya pertanda positif untuk perjalanannya, karena ini adalah makanan
kesukaan Lucy Gray. Dia berharap bisa membawa sebagian, tapi kantongnya
sudah penuh sesak, dan tidak ada serbet di ruang makan. Dia meneguk jus apel
hingga tandas, mengelap mulutnya dengan punggung tangan, menaruh nampan di
mesin pencuci piring, lalu berjalan keluar, berencana untuk langsung ke mesin
generator.
Saat dia melangkah di bawah cahaya matahari, dua orang penjaga
menghampirinya. Penjaga bersenjata, bukan ajudan. “Prajurit Snow,” kata salah
satu dari mereka. “Kau diminta hadir ke kantor komandan.”
Tubuhnya menegang. Darahnya langsung mengalir ke kepala. Ini tidak mungkin
terjadi. Mereka tidak bisa menangkapnya saat dia sudah di ambang kebebasan.
Atau menjalani hidup baru bersama Lucy Gray. Matanya memandang ke arah
generator, jaraknya sekitar seratus meter dari ruang makan. Bahkan dengan berlari
secepatnya, dia tidak akan bisa sampai ke sana. Takkan pernah bisa. Aku hanya
butuh lima menit, katanya memohon pada semesta. Bahkan dua menit pun boleh.
Tapi semesta mengabaikannya.
Diapit oleh dua penjaga, dia menegakkan tubuh dan berjalan tegap ke kantor
komandan, bersiap menghadapi maut. Saat dia masuk, Komandan Ho berdiri,
memberi hormat padanya. “Prajurit Snow,” katanya. “Izinkan aku yang pertama
memberi selamat untukmu. Kau akan pergi dari sini dan masuk sekolah pegawai
negeri besok.”
desyrindah.blogspot.com
30

Coriolanus berdiri terkesima ketika kedua penjaga menepuk punggungnya,


tertawa. “Aku… aku…”
“Kau orang termuda yang lulus ujian masuk pegawai negeri.” Sang komandan
tampak berbinar bahagia. “Biasanya, kami melatihmu di sini, tapi nilaimu tinggi
sehingga bisa masuk program elite di Distrik Dua. Kami menyesal kau harus pergi
dari sini.”
Oh, dia berharap bisa pergi! Distrik 2 tidak terlalu jauh dari Capitol. Ke sekolah
pegawai negeri, sekolah elite, di sana dia bisa menunjukkan prestasi dan
menemukan jalan kembali menuju hidup yang beradab. Ini mungkin jalan menuju
kekuasaan, jauh lebih baik daripada yang bisa ditawarkan Universitas. Tapi, di luar
sana masih ada senjata pembunuhan dengan sidik jarinya. Bukti DNA akan
menjatuhkannya, sama seperti saputangannya. Nasibnya bakal tragis jika tetap
berada di sini. Masa depannya terancam jika dia tidak kabur. 
“Jam berapa aku berangkat?” tanyanya.
“Ada pesawat ringan yang berangkat ke sana besok pagi, kau akan ikut naik
pesawat itu. Hari ini kau libur. Gunakan waktumu untuk berkemas dan
berpamitan.” Sang komandan menjabat tangannya, untuk kedua kalinya dalam
dua hari berurutan. “Kami berharap banyak darimu.”
Coriolanus berterima kasih pada Komandan dan berjalan keluar, di sana dia
berdiri sesaat, dan menimbang-nimbang pilihannya. Tak ada gunanya. Tak ada
pilihan lain. Dia membenci dirinya sendiri, dan makin membenci Sejanus Plinth,
desyrindah.blogspot.com

lalu berjalan ke gedung tempat generator berada, tidak peduli jika bakal ditangkap.
Rasa kecewanya tak terperikan, saat kesempatan kedua untuk memiliki masa
depan cerah kembali terampas. Dia harus mengingatkan dirinya tentang tali, tiang
gantungan, dan jabberjay yang meniru kata-kata terakhirnya agar pikirannya fokus.
Dia akan desersi dari tugasnya sebagai Penjaga Perdamaian; jadi pikirannya harus
terpusat.
Saat tiba di ruang generator, dia menoleh ke belakang, tapi pangkalan masih
senyap, dan dia bisa mengendap-endap ke belakang tanpa ketahuan. Dia
memeriksa pagar, tapi tidak menemukan apa-apa. Dia mencengkeram pagar dan
mengguncang-guncangnya dengan kesal. Tak lama kemudian, jeruji pagar itu
menarik lepas tiang penambat, menyisakan ruang yang cukup untuk dia keluar
lewat lubang sempit. Dia berjalan mengitari bagian belakang pangkalan menuju
hutan hingga tiba di jalan setapak ke arah pohon gantung. Setelah sampai di sana,
dia mengikuti jalur yang biasa dilalui truk sebelumnya, berjalan santai, tidak
terburu-buru agar tidak menarik perhatian. Kecil kemungkinannya menarik
perhatian pada hari Minggu yang panas sepagi ini. Kebanyakan pekerja tambang
dan Penjaga Perdamaian masih tidur.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, dia tiba di tanah lapang pohon gantung,
dan langsung bersembunyi di balik pepohonan. Tidak ada tanda-tanda
keberadaan Lucy Gray. Saat dia berjalan melewati dahan-dahan pohon, dia
berpikir apakah dia salah menafsirkan pesan gadis itu dan seharusnya mereka
bertemu di Seam? Kemudian sekilas dia melihat warna oranye dan dia
mengikutinya sampai ke tanah lapang. Lucy Gray berdiri di sana dengan selendang
membungkus kepalanya, menurunkan barang-barang dari gerobak kecil. Dia ber-
lari menghampiri Coriolanus dan memeluknya, yang dibalas dengan pelukan erat
oleh Coriolanus meskipun dia merasa cuaca terlalu panas untuk pelukan ini.
Ciuman yang menyusul pelukan itu membuat suasana hari Coriolanus menjadi
lebih baik.
Tangan Coriolanus memegang selendang di kepala Lucy Gray. “Warna ini
desyrindah.blogspot.com

sepertinya terlalu cerah untuk pelarian.”


Lucy Gray tertawa. “Aku tidak mau kau kehilangan jejakku. Kau masih berniat
kabur?”
“Aku tidak punya pilihan lain.” Sadar bahwa ucapannya terdengar setengah hati,
dia menambahkan, “Hanya kau yang penting bagiku sekarang.”
“Kau juga. Kau hidupku sekarang. Saat aku duduk di sini, menunggumu datang,
aku sadar aku tidak punya cukup keberanian untuk melakukan ini tanpamu,” kata
Lucy Gray. “Bukan karena terlalu sulit. Tapi karena terlalu kesepian. Aku mungkin
bisa bertahan selama beberapa hari, tapi setelah itu aku akan pulang ke kelompok
Pengembara.”
“Aku tahu. Bahkan tidak terpikir olehku untuk kabur sampai kau bilang.
Rasanya… menakutkan.” Coriolanus mengambil buntalan-buntalan yang dibawa
Lucy Gray. “Maaf, aku tidak bisa mengambil risiko dengan membawa banyak
barang.”
“Kupikir juga begitu. Aku sudah mengumpulkan semua ini, dan mengambil
barang dari ruang penyimpanan. Tidak apa-apa. Aku meninggalkan semua sisa
uangku pada para Pengembara.” Seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri, Lucy
Gray berkata, “Mereka akan baik-baik saja.” Dia mengangkat barang bawaannya
lalu memanggulnya.
Coriolanus membantu membawakan barang-barangnya. “Apa yang akan mereka
lakukan? Maksudku, band kalian. Tanpamu.”
“Oh, mereka akan bisa bertahan. Mereka semua bisa bernyanyi, dan beberapa
tahun lagi Maude Ivory akan bisa menggantikanku sebagai penyanyi utama,” kata
Lucy Gray. “Lagi pula, dengan banyaknya masalah yang kuhadapi, mungkin sudah
saatnya aku pergi dari Distrik Dua Belas. Tadi malam Komandan memberitahuku
agar tidak menyanyikan lagu ‘Pohon Gantung’ lagi. Terlalu suram, katanya. Lebih
tepatnya, terlalu membangkitkan pemberontakan. Aku berjanji dia takkan
mendengar lagu itu dari bibirku lagi.”
desyrindah.blogspot.com

“Lagu itu aneh,” kata Coriolanus.


Lucy Gray tertawa. “Maude Ivory suka. Dia bilang lagu itu berwibawa.”
“Seperti suaraku. Saat aku menyanyikan lagu kebangsaan di Capitol,” kenang
Coriolanus.
“Sudah semua,” kata Lucy Gray. “Kau siap?’
Mereka membagi barang-barang bawaan. Sejenak, Coriolanus terpikir apa yang
ketinggalan. “Gitarmu. Kau tidak membawanya?”
“Aku meninggalkannya untuk Maude Ivory. Juga gaun mamaku.” Lucy Gray
berusaha tampak menganggap enteng. “Tidak ada gunanya buatku. Tam Amber
berpikir masih ada orang di utara, tapi aku tidak yakin. Menurutku hanya ada kita
berdua.”
Sejenak Coriolanus sadar bahwa bukan dia satu-satunya yang meninggalkan
impiannya. “Kita akan meraih impian baru di sana,” Coriolanus berjanji, walau
dalam hati tidak terlalu yakin. Dia mengeluarkan kompas milik ayahnya,
memperhatikannya, lalu menunjuk. “Utara di sebelah sini.”
“Aku hendak ke danau dulu. Tempatnya juga searah di utara. Aku kepingin
melihatnya sekali lagi,” kata Lucy Gray.
Coriolanus tidak keberatan, karena kedengarannya itu rencana yang bagus.
Tidak lama lagi dia mereka akan menggelandang di hutan belantara, dan tak akan
pulang lagi. Biarlah dia menghibur gadis itu. Dia memperbaiki letak selendang
Lucy Gray yang longgar. “Mari kita ke danau.”
Lucy Gray memandang ke arah kota sekali lagi, walaupun yang terlintas dalam
pikiran Coriolanus adalah tiang gantungan. “Selamat tinggal, Distrik Dua Belas.
Selamat tinggal pohon gantung, Hunger Games, dan Wali Kota Lipp. Suatu hari
akan ada yang membunuhku, tapi bukan kalian.” Lucy Gray berbalik dan berjalan
masuk ke hutan.
“Tidak banyak yang bisa dirindukan,” kata Coriolanus.
“Aku akan merindukan musik dan burung-burungku yang cantik,” kata Lucy
desyrindah.blogspot.com

Gray dengan niat terselubung dalam suaranya. “Aku harap suatu hari burung-
burung itu bisa mengikuti ke mana aku pergi.”
“Kau tahu apa yang tak kurindukan? Manusia,” kata Coriolanus. “Kalau dipikir-
pikir, kebanyakan manusia menyebalkan. Terkecuali beberapa orang.”
“Sebenarnya manusia tidak seburuk itu,” kata Lucy Gray. “Mereka jadi seperti itu
karena cara dunia memperlakukan mereka. Seperti yang terjadi pada kami di
arena. Kami melakukan perbuatan yang tak pernah terbayang akan kami lakukan
jika mereka tidak mengganggu kami.”
“Entahlah. Aku membunuh Mayfair, dan tidak di arena,” kata Coriolanus.
“Hanya demi menyelamatkanku.” Lucy Gray merenung. “Menurutku ada
kebaikan alami dalam diri manusia. Kau sadar saat kau melewati batas ketika
berbuat jahat, dan tantangan hidup adalah berusaha berada di sisi yang benar.”
“Kadang-kadang itu keputusan yang sulit.” Coriolanus sudah mengambil
keputusan-keputusan semacam itu sepanjang musim panas.
“Aku tahu. Tentu saja aku tahu. Aku pemenang Hunger Games,” katanya dengan
sedih. “Akan lebih baik kalau aku tidak perlu membunuh manusia lagi dalam
hidupku yang baru.”
“Aku setuju. Tiga orang sudah cukup untuk satu kehidupan ini. Dan pastinya
cukup untuk satu musim panas.” Suara binatang terdengar di dekat mereka,
mengingatkan Coriolanus bahwa dia tidak punya senjata. “Aku mau membuat
tongkat untuk berjalan. Kau mau?”
Lucy Gray berhenti melangkah. “Tentu. Tongkat bisa digunakan untuk hal lain
selain berjalan.”
Mereka menemukan dua batang kokoh, dan Lucy Gray memegangi batang itu
sementara Coriolanus mematahkan bagian ujung dahannya. “Siapa yang ketiga?”
“Apa?” Lucy Gray memandang aneh padanya. Pegangan Coriolanus terlepas,
sehingga kulit kayu menusuk kukunya. “Aw.”
Lucy Gray mengabaikan lukanya. “Orang yang kaubunuh. Kau bilang kau
desyrindah.blogspot.com

membunuh tiga orang musim panas ini.”


Coriolanus menggigit serpih kayu itu untuk menariknya dari kulit, berusaha
mengulur waktu. Ya. Siapa? Jawabannya adalah Sejanus, tentu saja, tapi dia tidak
bisa mengakuinya.
“Kau bisa mengeluarkannya?” Coriolanus mengulurkan tangannya,
menggoyang-goyangkan jarinya yang tertusuk kulit kayu, berharap bisa
mengalihkan perhatian gadis itu.
“Coba kulihat.” Lucy Gray memeriksa kulit kayu yang tertancap di jarinya.
“Bobbin, Mayfair… lalu siapa yang ketiga?”
Pikiran Coriolanus berkutat mencari penjelasan masuk akal. Bisakah dia
menyinggung bahwa kematian itu adalah kecelakaan? Tewas saat latihan? Dia
sedang membersihkan senjata, lalu meletus tanpa sengaja? Akhirnya dia
memutuskan untuk bercanda. “Diriku sendiri. Aku membunuh diriku yang lama
agar bisa bersamamu.”
Lucy Gray mencabut serpihan kayu itu. “Sudah. Kuharap kau yang lama tidak
menghantui kau yang baru. Sudah cukup banyak hantu di antara kita.”
Momen itu berlalu, dan percakapan mereka terhenti. Mereka tak lagi bicara
hingga setengah jalan, ketika mereka berhenti untuk beristirahat.
Lucy Gray membuka tutup botol plastik dan menawarinya air minum. “Apakah
mereka sudah tahu kau menghilang?”
“Mungkin nanti saat makan malam. Kau?” Coriolanus meneguk minumannya.
“Hanya Tam Amber yang sudah bangun saat aku pergi. Aku memberitahunya
bahwa aku akan mencari kambing. Kami berpikir untuk menggembala. Menjual
susunya sekalian,” kata Lucy Gray. “Mungkin beberapa jam lagi mereka akan mulai
mencariku. Mungkin pada malam hari mereka terpikir untuk mencari ke pohon
gantung dan menemukan gerobakku. Mereka akan mengerti.”
Coriolanus mengembalikan botol air kepadanya. “Apakah mereka akan
mencoba mengikutimu?”
desyrindah.blogspot.com

“Mungkin saja. Tapi kita sudah terlalu jauh.” Lucy Gray minum seteguk lalu
mengelap mulutnya dengan punggung tangan. “Apakah mereka akan
mengejarmu?”
Dia tidak yakin Penjaga Perdamaian akan berpikir bahwa dia melarikan diri.
Kenapa dia mau kabur padahal dia sudah diterima di sekolah pegawai negeri elite?
Kalau ada yang kehilangan dirinya, mereka mungkin berpikir dia ke kota bersama
Penjaga Perdamaian lain. Kecuali mereka menemukan senjata-senjata itu. Dia
tidak mau memikirkan urusan sekolah, hatinya masih perih. “Aku tidak tahu. Saat
mereka sadar aku kabur, mereka juga tidak tahu harus ke mana mencariku.”
Mereka mendaki menuju danau, masing-masing sibuk dengan pikirannya
sendiri. Semua ini tampak tidak nyata bagi Coriolanus, seakan ini hanya jalan-jalan
liburan, seperti yang mereka lakukan dua minggu lalu. Seakan mereka hendak
piknik, dan dia harus kembali tepat waktu sebelum jam malam dan makan malam
sosis goreng. Tapi tidak. Saat mereka tiba di danau, mereka akan berjalan menuju
hutan, menjalani hidup seadanya untuk bertahan hidup. Bagaimana cara mereka
makan? Di mana mereka akan tinggal? Apa yang akan mereka lakukan setelah
punya tempat tinggal dan menemukan cara mendapat makanan? Lucy Gray tanpa
musik. Dia tanpa sekolah, atau militer, atau apa pun. Memiliki keluarga? Rasanya,
melahirkan anak ke dunia yang buruk ini seperti kutukan untuk sang anak.
Apakah keinginannya untuk mendapat kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan sudah
lenyap? Apakah tujuannya saat ini hanya semata-mata bertahan hidup?
Sibuk dengan isi pikirannya, tanpa terasa mereka sudah sampai di danau.
Mereka menaruh barang-barang bawaan di tepi danau, dan Lucy Gray langsung
mencari ranting-ranting pohon yang bisa digunakan untuk memancing ikan. “Kita
tidak tahu apa yang ada di depan sana, jadi lebih baik kita mengumpulkan
makanan di sini,” katanya. Lucy Gray menunjukkan padanya cara memasang
benang dan kail pada ranting kayu. Coriolanus merasa jijik harus
mengobok-obok lumpur mencari cacing, dan dia bertanya-tanya apakah ini yang
desyrindah.blogspot.com

harus dilakukannya setiap hari? Kalau mereka lapar, bisa saja ini yang harus
dilakukannya. Mereka memasang umpan di ujung kail dan duduk tanpa bicara di
tepi danau, menunggu ikan memakan umpan mereka sementara burung-burung
bernyanyi di sekeliling mereka. Lucy Gray berhasil menangkap dua ekor ikan. Dia
tidak menangkap seekor pun.
Awan gelap mulai bergulung di langit, memberi rasa lega dari panas menyengat,
tapi dia makin tertekan. Inilah hidupnya sekarang. Mengobok-obok tanah mencari
cacing dan menggantungkan nasibnya pada cuaca. Berharap pada alam. Hidup
seperti binatang. Dia tahu ini akan lebih mudah jika dia bukanlah manusia luar
biasa. Yang terbaik dan tercerdas yang bisa dihasilkan dari umat manusia. Peserta
termuda yang lulus ujian masuk pegawai negeri. Kalau dia bodoh dan tak berguna,
hilangnya kehidupan beradab semacam ini takkan membuatnya merasa kosong.
Dia akan menerimanya dengan tenang. Tetes-tetes air hujan mulai jatuh
membasahinya, menyisakan jejak-jejak basah di seragamnya.
“Kita tak bisa memasak dalam cuaca seperti ini,” kata Lucy Gray. “Lebih baik
kita masuk. Ada perapian yang bisa kita gunakan.”
Yang dimaksud Lucy Gray adalah rumah di dekat danau yang masih memiliki
atap. Mungkin ini atap terakhirnya, selanjutnya dia harus membuat atap sendiri.
Bagaimana cara manusia membuat atap? Pertanyaan itu tidak ada dalam tes ujian
masuk pegawai negeri.
Setelah membersihkan ikan dengan cepat lalu membungkusnya dengan daun-
daun, mereka mengumpulkan barang-barang bawaan mereka dan bergegas lari ke
rumah. Hujan turun semakin deras. Kalau ini bukan kehidupan nyata, mungkin
rasanya menyenangkan. Hanya petualangan beberapa jam bersama gadis yang
memesona sementara dia memiliki masa depan cerah di tempat lain. Pintu itu
macet, tapi Lucy Gray mendorong paksa dengan pinggulnya hingga terbuka. Me-
reka segera masuk menghindari hujan dan menaruh barang-barang bawaan
mereka. Hanya ada satu ruangan, dengan dinding-dinding bata, langit-langit, dan
desyrindah.blogspot.com

lantai. Tidak ada tanda-tanda bahwa rumah ini memiliki listrik, tapi cahaya masuk
dari jendela pada keempat sisi rumah dan pintu. Matanya tertuju ke perapian, pe-
nuh abu sisa pembakaran dengan dedaunan kering tertumpuk rapi di sampingnya.
Paling tidak, mereka tidak perlu mencari dan mengumpulkan daun.
Lucy Gray berjalan mendekati perapian, menaruh ikan di atas bata dekat
perapian lalu mulai mengatur kayu-kayu kering dan ranting di atas jeruji logam.
“Kami menyimpan kayu di sini, jadi selalu ada kayu kering.”
Coriolanus memikirkan kemungkinan untuk tinggal di rumah kecil yang kokoh
ini. Banyak kayu bakar di sekitar rumah dan danau untuk memancing ikan. Tapi,
terlalu berbahaya baginya berada sedekat ini dengan Distrik 12. Kalau kaum
Pengembara tahu tempat ini, pasti ada orang lain yang mengetahuinya. Tempat
berlindung ini pun harus direnggut dari tangannya. Akankah dia berakhir dengan
tinggal di gua? Dia membayangkan griya tawang keluarga Snow, dengan lantai
marmer dan lampu gantung kristal. Rumahnya. Rumah yang menjadi haknya.
Tiupan angin membuat hujan bertempias, sehingga celananya terciprat air dingin.
Dia menutup pintu di belakangnya lalu terkesiap. Pintu tadi menyembunyikan
sesuatu. Karung goni panjang. Tampak ujung laras senapan mencuat dari bagian
yang terbuka.
Tidak mungkin. Coriolanus menahan napas, lalu menendang karung itu dengan
sepatu botnya hingga terbuka. Ada pistol dan senapan Penjaga Perdamaian. Ada
pula pelontar granat. Tidak diragukan lagi, ini adalah senjata-senjata yang dibeli
Sejanus di pasar gelap di gubuk. Dan di antara senjata ini terdapat senjata-senjata
pembunuhan.
Lucy Gray menyalakan api. “Aku membawa kaleng logam, mungkin kita bisa
membawa batu bara yang masih menyala ke mana-mana. Aku tidak punya banyak
korek api, dan tidak mudah membuat api dengan batu api.”
“He-eh,” kata Coriolanus. “Ide bagus.” Bagaimana senjata-senjata itu bisa sampai
kemari? Tapi sesungguhnya tidak mengherankan. Billy Taupe bisa saja mengajak
desyrindah.blogspot.com

Spruce ke danau, atau mungkin Spruce memang sudah tahu tempat ini. Rumah ini
bisa jadi tempat persembunyian pemberontak semasa perang. Dan Spruce cukup
cerdas untuk tahu bahwa dia tidak bisa menyembunyikan barang bukti senjata di
Distrik 12.
“Hei, kau menemukan apa di sana?” Lucy Gray menghampirinya dan
berjongkok, menarik karung goni itu sehingga senjata-senjata tersebut keluar dari
tempatnya. “Oh. Apakah ini yang ada di gubuk?”
“Pastinya begitu,” kata Coriolanus. “Apakah sebaiknya kita membawa senjata-
senjata ini?”
Lucy Gray berdiri lalu mundur, dan berpikir sejenak. “Sebaiknya tidak. Aku
tidak percaya pada senjata. Tapi ini bisa berguna.” Lucy Gray mengeluarkan pisau
panjang, tangannya memutar-mutar belati itu. “Aku akan menggali-gali mencari
katniss, karena kita sudah punya api. Ada tanaman katniss bagus di dekat danau.”
“Kupikir tanaman itu belum siap panen,” kata Coriolanus.
“Dua minggu bisa membuat banyak perubahan,” kata Lucy Gray.
“Masih hujan,” kata Coriolanus keberatan. “Kau akan basah kuyup.”
Lucy Gray tertawa. “Aku kan bukan gadis lemah tak berdaya.”
Sebenarnya, Coriolanus lega punya waktu untuk berpikir sendirian. Setelah
Lucy Gray pergi, dia mengangkat bagian bawah karung goni, dan senjata-senjata
itu jatuh ke lantai. Dia berjongkok di sampingnya, lalu mengambil senapan
Penjaga Perdamaian yang dipakainya untuk membunuh Mayfair dan menimang-
nimang senjata itu. Ini dia. Senjata pembunuhan. Senjata ini tidak ada di lab
forensik Capitol, tapi di sini, di tangannya, di tengah hutan belantara, dan benda
ini tidak menjadi ancaman untuknya. Yang perlu dia lakukan hanyalah
menghancurkannya, dan dia akan bebas dari hukuman gantung. Bebas untuk
kembali ke pangkalan. Bebas untuk pergi ke Distrik 2. Bebas untuk kembali ke
peradaban manusia tanpa rasa takut. Air mata bahagia membasahi wajahnya, dan
dia mulai tertawa gembira. Bagaimana cara menghancurkannya? Membakarnya di
desyrindah.blogspot.com

perapian? Mempretelinya lalu membuangnya ke tempat-tempat berbeda?


Membuangnya ke danau? Setelah senapan ini lenyap, tak ada yang bisa
mengaitkannya dengan pembunuhan-pembunuhan itu. Tak ada sama sekali.
Tapi, tunggu. Ada satu yang bisa. Lucy Gray.
Tak masalah. Gadis itu takkan melaporkannya. Lucy Gray mungkin tidak akan
terlalu senang saat dia memberitahunya bahwa rencana mereka berubah. Bahwa
Coriolanus hendak kembali ke pangkalan dan menuju Distrik 2 besok pagi, dan
meninggalkannya untuk bertahan hidup seorang diri. Namun, gadis itu takkan
pernah mengkhianatinya. Itu bukan gayanya. Melaporkan Coriolanus berarti
menempatkan dirinya sendiri sebagai kaki tangan pembunuhan. Itu artinya gadis
itu akan mati, dan sebagaimana yang sudah ditunjukkannya di Hunger Games,
Lucy Gray memiliki bakat luar biasa untuk bertahan hidup. Selain itu, Lucy Gray
mencintainya. Dia mengungkapnya tadi malam melalui lagu. Terlebih lagi, Lucy
Gray memercayainya. Walaupun, kalau Coriolanus meninggalkannya bertahan
hidup sendirian di hutan, pasti gadis itu menganggapnya sudah merusak
kepercayaan yang dia berikan. Dia harus memikirkan cara yang tepat untuk
memberitahunya. Tapi bagaimana caranya? “Aku sangat mencintaimu, tapi aku
lebih mencintai sekolah pegawai negeri?” Akhirnya takkan bagus.
Dan Coriolanus memang mencintainya! Benar! Hanya saja, setelah beberapa
jam menjalani kehidupan barunya di hutan belantara ini, Coriolanus tahu dia
membenci hidup seperti ini. Udara panasnya, cacingnya, dan burung-burung yang
tak berhenti mengoceh….
Lucy Gray lama sekali mengambil kentang.
Dia memandang ke luar jendela. Hujan sudah menjadi gerimis kecil.
Lucy Gray tak mau pergi ke utara sendirian. Terlalu kesepian. Lagunya
menyatakan bahwa dia membutuhkan, mencintai, dan memercayai Coriolanus,
tapi apakah dia akan memaa annya? Bahkan jika Corolanus meninggalkannya?
Billy Taupe membuatnya marah, dan pemuda itu kini tewas. Dia bisa mendengar
desyrindah.blogspot.com

suara Billy Taupe berkata…


“Aku muak kau mempermainkan anak-anak itu. Lucy Gray yang malang.
Kasihan.”
… dan melihat gigi Lucy Gray menancap di tangan Billy Taupe. Dia berpikir
betapa santainya gadis itu membunuh di arena. Pertama Wovey kecil yang lemah;
itu pembunuhan berdarah dingin. Kemudian taktik penuh perhitungan saat dia
menghabisi Treech, memancing pemuda itu menyerangnya, agar dia bisa
mengeluarkan ular dari saku. Lalu dia bilang Reaper kena rabies, dan membunuh-
nya karena iba, tapi siapa yang tahu alasan sebenarnya?
Bukan, Lucy Gray bukan gadis yang patut dikasihani. Dia bukan gadis yang
lemah tak berdaya. Gadis itu adalah pemenang.
Dia memeriksa apakah senapan Penjaga Perdamaian itu terisi peluru, lalu
membuka pintu lebar-lebar. Tak tampak keberadaan gadis itu. Dia berjalan ke
danau, berusaha mengingat di mana tempat Clerk Carmine menggali kentang itu
sebelum dia membawakan mereka tanaman katniss. Tapi tak penting lagi. Daerah
rawa di sekitar danau terlihat kosong, demikian pula tepi danau.
“Lucy Gray?” Satu-satunya jawaban terdengar dari seekor mocking jay yang
hinggap di dahan pohon, yang berusaha meniru suara Coriolanus tapi gagal,
karena kata-katanya tidak bernada. “Tidak usah meniru,” katanya pada makhluk
itu. “Kau bukan jabberjay.”
Dia yakin gadis itu bersembunyi darinya. Tapi, kenapa? Hanya ada satu
alasannya. Karena Lucy Gray sudah tahu segalanya. Gadis itu tahu,
menghancurkan senjata-senjata itu berarti memusnahkan semua bukti sik yang
mengaitkan Coriolanus dengan pembunuhan tersebut. Bahwa Coriolanus sudah
tidak lagi berniat melarikan diri. Bahwa Lucy Gray saksi terakhir yang
menghubungkannya dengan kejahatan itu. Tapi mereka selalu saling membantu,
kenapa Lucy Gray tiba-tiba berpikir dia bakal menyakitinya? Padahal, baru kema-
rin dia menyebut Coriolanus Snow seputih salju?
desyrindah.blogspot.com

Sejanus. Gadis itu pasti tahu Sejanus adalah orang ketiga yang dibunuh
Coriolanus. Lucy Gray mungkin tidak tahu apa yang dilakukannya dengan
jabberjay, tapi gadis itu tahu dia orang kepercayaan Sejanus. Sementara Sejanus
adalah pemberontak, Coriolanus adalah pembela Capitol. Tapi, bagaimana
mungkin gadis itu berpikir dia tega membunuhnya? Dia memandang senapan di
tangannya. Mungkin seharusnya dia meninggalkannya di gubuk. Mengejar gadis
itu sambil membawa senjata tidak kelihatan bagus. Seakan dia sedang
memburunya. Padahal Coriolanus tidak benar-benar ingin membunuhnya. Dia
hanya ingin berbicara dan memastikan Lucy Gray bisa memahami perbuatannya.
Taruh senjatamu, katanya pada diri sendiri, tapi tangannya menolak bekerja
sama. Gadis itu hanya punya pisau. Pisau yang besar. Yang bisa dia lakukan adalah
menyampirkan senapan itu ke punggung. “Lucy Gray! Kau tidak apa-apa? Kau
membuatku takut! Kau di mana?”
Lucy Gray hanya perlu berkata, “Aku mengerti, aku akan pergi sendiri seperti
rencana awalku.” Tapi, pagi tadi Lucy Gray mengaku dia merasa tidak bisa
bertahan sendirian, dan bakal kembali ke kelompok Pengembara dalam beberapa
hari. Lucy Gray tahu Coriolanus takkan memercayainya.
“Lucy Gray, kumohon, aku hanya ingin bicara denganmu!” teriaknya. Apa
rencana gadis itu? Bersembunyi sampai Coriolanus lelah dan kembali ke
pangkalan? Lalu mengendap pulang ke rumahnya nanti malam? Itu tidak bagus
untuk Coriolanus. Bahkan tanpa keberadaan senjata pembunuhan itu, gadis itu
masih berbahaya. Bagaimana kalau Lucy Gray kembali ke Distrik 12 lalu Wali
Kota berhasil menangkapnya? Bagaimana kalau mereka menginterogasi atau
bahkan menyiksanya? Rahasianya mungkin bocor. Lucy Gray tidak membunuh
siapa pun di gudang. Coriolanus pelakunya. Jadi hanya ucapannya yang melawan
ucapan Lucy Gray. Seandainya pun mereka tidak memercayai Lucy Gray,
reputasinya akan hancur. Hubungan asmara mereka akan terungkap, bersama
cerita kecurangannya di Hunger Games. Dekan Highbo om barangkali akan
desyrindah.blogspot.com

datang menjadi saksi, dia tidak bisa mengambil risiko itu.


Masih tak tampak tanda-tanda keberadaan Lucy Gray. Gadis itu tak memberi
Coriolanus pilihan selain memburunya di hutan. Hujan sudah reda, menyisakan
udara lembap dan tanah berlumpur. Dia kembali ke rumah dan menyusuri tanah
sampai menemukan jejak samar sepatu Lucy Gray, lalu mengikuti jejak itu hingga
tiba di semak-semak yang mengarah ke hutan. Perlahan-lahan pepohonan semakin
lebat.
Nyanyian burung memenuhi telinganya, dan jarak pandangnya terhalang karena
langit masih mendung dan ditutupi awan tebal. Semak-semak menyembunyikan
jejak Lucy Gray, tapi rasat Coriolanus mengatakan dia berada di jalur yang benar.
Adrenalin menajamkan indra-indranya, lalu dia melihat ada dahan patah, lalu ada
bekas goresan pada lumut. Dia merasa sedikit bersalah karena membuat gadis itu
takut seperti ini. Apa yang dilakukan gadis itu? Gemetar ketakutan di semak-
semak sambil menahan tangis? Lucy Gray pasti patah hati membayangkan hidup
tanpa dirinya.
Helai warna oranye tampak di sudut matanya, dan dia tersenyum. “Aku tidak
mau kau kehilangan aku,” kata gadis itu tadi. Dan dia menemukannya. Coriolanus
menyibak ranting-ranting pohon dan tiba di tanah lapang kecil yang ditutupi
pepohonan. Tampaknya selendang oranye itu terlepas dari kepala Lucy Gray dan
tersangkut di semak mawar. Coriolanus semakin yakin berada di jalan yang benar.
Dia hendak mengambil selendang itu mungkin akan menyimpannya saat
samar-samar kersak dedaunan membuat langkahnya terhenti. Dia baru menyadari
keberadaannya saat ular itu menyerang, menerjang, dan menancapkan taringnya
ke lengan Coriolanus yang terulur hendak meraih selendang.
“Ahhh!” Coriolanus menjerit kesakitan. Ular itu langsung melepaskan gigitannya
dan merayap kabur ke semak-semak sebelum Coriolanus bisa melihatnya dengan
saksama. Dia panik melihat bekas gigitan ular berwarna merah di lengannya.
Panik dan tak percaya. Lucy Gray berusaha membunuhnya! Ini bukan kebetulan.
desyrindah.blogspot.com

Jejak selendang. Ular yang sudah disiapkan. Maude Ivory pernah bilang Lucy Gray
tahu di mana harus mencari ular. Ini adalah perangkap, dan Coriolanus terjebak
dalam perangkapnya! Kasihan betul! Dia mulai bersimpati pada Billy Taupe.
Coriolanus tidak tahu apa-apa tentang ular, selain ular-ular berwarna pelangi di
arena. Dia berdiri tegak, jantungnya berdebar kencang, dan mengira bakal mati
seketika itu. Namun, dia masih tetap berdiri walaupun lukanya terasa sakit. Dia
tidak tahu berapa lama waktu yang dimilikinya, tapi demi nama baik Snow, gadis
itu akan membayar perbuatannya. Apakah dia harus membebat tangannya?
Mengisap dan membuang bisa ular dari bekas gigitannya? Mereka belum pernah
menjalani latihan kesiapan menghadapi ular. Tidak mau mengambil risiko bisa
ular menyebar cepat di tubuhnya, dia menarik lengan seragamnya untuk menutupi
luka bekas gigitan, mengambil senapan yang tersampir di bahu, dan mulai
mengejar gadis itu. Dalam situasi berbeda, mungkin dia akan menertawakan ironi
betapa cepat hubungan mereka berubah menjadi Hunger Games pribadi semacam
ini.
Lucy Gray semakin sulit dikejar, dan dia sadar bahwa petunjuk-petunjuk tadi
sengaja ditinggalkan agar dia menemukan ular itu. Tapi Lucy Gray pasti belum
jauh. Gadis itu pasti ingin tahu apakah ular tadi membunuhnya, atau barangkali
sedang menyusun serangan lain. Mungkin Lucy Gray berharap dia pingsan agar
bisa menggorok lehernya dengan pisau panjang. Dia berusaha mengatur napasnya
sambil berjalan semakin jauh ke dalam ke hutan, perlahan-lahan mendorong
ranting-ranting pohon dengan laras senapan. Tapi, mustahil baginya menemukan
Lucy Gray.
Pikir, katanya dalam hati. Ke mana Lucy Gray pergi? Jawabannya menghantam
pikiran Coriolanus. Lucy Gray takkan mau bertarung dengannya yang memiliki
senapan, sementara gadis itu cuma punya pisau. Lucy Gray akan kembali ke
rumah danau untuk mengambil pistol. Barangkali dia hanya berjalan memutar dan
sudah berada di rumah danau saat ini. Coriolanus menajamkan pendengarannya.
desyrindah.blogspot.com

Ya! Dia bisa mendengar sesuatu bergerak di sebelah kanannya, menuju ke danau.
Coriolanus mulai berlari ke arah suara itu lalu berhenti mendadak. Tampaknya,
setelah mendengar Coriolanus mengejarnya, dia langsung melesat menembus
semak belukar. Lucy Gray sadar bahwa Coriolanus sudah mengetahui niatnya, dan
tak peduli meskipun Coriolanus mendengarnya. Coriolanus memperkirakan
jaraknya dengan Lucy Gray hanya sekitar sepuluh meter, lalu dia mengangkat
senapannya dan menembakkan rentetan peluru ke arah gadis itu. Sekawanan
burung mengaok ketika terbang ke udara, dan Coriolanus bisa mendengar
tangisan samar. Kena kau, pikirnya. Dia terus berlari ke asal suara, tidak peduli
dahan-dahan pohon serta semak menggores seragam dan wajahnya, hingga tiba di
tempat yang dia perkirakan Lucy Gray berada. Tak ada jejak keberadaan gadis itu.
Tak masalah. Lucy Gray pasti akan berpindah lagi, dan saat dia bergerak,
Coriolanus akan menemukannya.
“Lucy Gray,” panggil Coriolanus dengan suara normal. “Lucy Gray. Belum
terlambat untuk mencari jalan keluar.” Tentu saja semuanya sudah terlambat, tapi
masa bodoh. Coriolanus tidak berutang apa-apa pada gadis itu dan dia tidak perlu
mempertanggungjawabkan kebenaran padanya. “Lucy Gray, bicaralah padaku.”
Suara gadis itu mengejutkannya, tiba-tiba terdengar dan terasa manis di udara.
Apakah kau
Akan datang ke pohon
Memakai kalung dari tali, bersamaku bersebelahan
Hal-hal aneh terjadi di sini
Kita takkan jadi orang asing,
Jika bertemu tengah malam di pohon gantung
Ya, aku paham, pikir Coriolanus. Kau tahu tentang Sejanus. “Kalung dari tali” dan
semua itu.
Coriolanus melangkah ke arah asal suara, tepat ketika seekor mockingjay meniru
desyrindah.blogspot.com

lagunya. Diikuti mockingjay berikutnya. Dan berikutnya. Hutan itu


menyenandungkan melodi ketika puluhan ekor burung bergabung
menyanyikannya. Dia berjalan melewati pepohonan lalu menembak ke asal suara.
Apakah dia berhasil menembak gadis itu? Coriolanus tidak tahu, karena lagu yang
dinyanyikan burung-burung itu memenuhi pikirannya, membuatnya kehilangan
kewarasan. Bintik-bintik hitam mengaburkan pandangannya, dan lengannya mulai
berdenyut sakit. “Lucy Gray!” dia berteriak frustrasi. Gadis yang licik, pintar, dan
mematikan. Lucy Gray tahu burung-burung itu akan melindunginya. Dia
mengangkat senapan dan menembak ke pepohonan membabi buta, berusaha
menghabisi burung-burung itu. Banyak yang terbang kabur, tapi lagu itu telah me-
nyebar, dan hutan bergema dengan lagu tersebut. “Lucy Gray! Lucy Gray!”
Coriolanus murka, menembak ke segala arah sampai pelurunya habis. Dia jatuh ke
tanah, merasa pusing dan mual saat mendengar hutan yang riuh rendah. Berbagai
jenis burung berteriak keras sementara mockingjay mengulang-ulang lagu “Pohon
Gantung” versi mereka. Alam sudah menggila. Genetik sudah rusak. Kekacauan.
Dia harus pergi dari ini. Lengannya mulai bengkak. Dia harus kembali ke
pangkalan. Dengan susah payah dia berdiri dan berjalan tertatih-tatih ke danau.
Rumah di danau itu masih seperti saat dia meninggalkannya. Setidaknya dia
berhasil mencegah Lucy Gray kembali kemari. Dengan menggunakan kaus kaki
sebagai sarung tangan, dia mengelap senjata pembunuhan. Setelah menjejalkan se-
mua senjata ke karung goni, dia memanggulnya dan berlari ke danau. Dia
menganggap senjata-senjata itu cukup berat dan bisa tenggelam sendiri tanpa
perlu ditambah batu. Coriolanus menceburkan diri ke danau dan berjalan ke
tengah, ke bagian yang lebih dalam. Dia menenggelamkan karung itu dan
memperhatikannya perlahan-lahan tenggelam.
Lengannya berdenyut makin hebat. Dia berenang sebisanya ke tepian, dan
berjalan susah payah kembali rumah kosong. Bagaimana dengan barang-barang
bawaan Lucy Gray? Apakah dia mesti menenggelamkannya juga? Tak perlu. Gadis
itu mungkin sudah tewas dan Pengembara akan menemukannya, atau mungkin
desyrindah.blogspot.com

dia masih hidup dan akan membawanya saat melarikan diri. Dia melemparkan
ikan yang terbungkus daun ke perapian agar habis terbakar, lalu beranjak pergi,
menutup rumah rapat-rapat sebelum meninggalkannya.
Hujan mulai turun lagi, kali ini amat deras. Dia berharap hujan akan menghapus
jejaknya. Senjata-senjata itu sudah tidak ada. Barang-barang bawaan yang
tertinggal di rumah kosong itu milik Lucy Gray. Satu-satunya yang tersisa dari
Coriolanus adalah jejak kakinya, yang akan segera terhapus air hujan. Awan-awan
gelap menyesatkan pikirannya. Dia berusaha keras untuk berpikir jernih.
Kembalilah. Kau harus kembali ke pangkalan. Tapi ke arah mana? Dia
mengeluarkan kompas milik ayahnya dari saku, kagum karena benda itu masih
berfungsi walau sudah tercebur ke danau. Roh Crassus Snow ada di sekitar sini,
melindunginya.
Coriolanus memegang kompas itu erat-erat, panduannya di tengah badai saat
berjalan ke selatan. Dia bersusah payah melewati hutan, ketakutan dan sendirian,
tapi bisa merasakan keberadaan sang ayah di sampingnya. Crassus mungkin tidak
terlalu menyayanginya, tapi ayahnya ingin warisannya tetap hidup. Mungkin
Coriolanus berhasil membuktikan dirinya hari ini. Tapi semua perjuangan ini tak
akan ada artinya kalau bisa ular itu membunuhnya. Dia berhenti sejenak untuk
muntah, menyesal tak sempat membawa botol air. Dia menyadari bahwa jejak
DNA-nya ada di botol itu, tapi siapa yang bakal peduli? Botol air bukanlah senjata
pembunuhan. Tidak penting. Dia sudah aman. Jika para Pengembara menemukan
jasad Lucy Gray, mereka takkan melaporkannya. Mereka tidak ingin menarik per-
hatian. Bisa jadi mereka malah tersangkut urusan pemberontakan dan tempat
persembunyian mereka jadi ketahuan. Itu pun kalau jasad Lucy Gray ditemukan.
Dia tidak tahu apakah tembakannya berhasil mengenai gadis itu.
Coriolanus berhasil kembali. Bukan tiba di Pohon Gantung, tapi sampai ke
Distrik 12. Dia terus berjalan melewati pepohonan dan pondok-pondok pekerja
tambang hingga menemukan jalan utama. Petir menggelegar dan kilat menyambar
desyrindah.blogspot.com

di alun-alun kota. Dia tidak melihat seorang pun ketika tiba di pangkalan, lalu
masuk lewat pagar. Dia langsung ke klinik, mengaku sedang mengikat tali
sepatunya saat seekor ular menyerang tiba-tiba dan menggigitnya.
Sang dokter mengangguk. “Ular-ular keluar saat hujan.”
“Oh ya?” Tadinya dia mengira cerita itu akan dikira bohong atau diragukan
kebenarannya.
Tapi dokter itu tidak tampak curiga. “Kau melihat jenis ularnya?”
“Tidak sempat. Hujan deras dan ular itu bergerak cepat,” jawabnya. “Apakah aku
akan mati?”
“Sama sekali tidak,” dokter itu tergelak. “Ular ini tidak beracun. Lihat bekas
gigitannya? Tidak ada bekas taring. Tapi bakal terasa sakit selama beberapa hari.”
“Anda yakin? Aku muntah dan pusing,” katanya.
“Mungkin saja kau panik.” Dokter membersihkan lukanya. “Mungkin bakal ada
bekas luka.”
Bagus, pikir Coriolanus. Luka ini akan menjadi pengingat untuk lebih berhati-hati.
Sang dokter menyuntiknya dan memberinya sebotol obat. “Datang lagi besok,
dan kita periksa lagi lukanya.”
“Besok aku ditugaskan ke Distrik Dua,” jawab Coriolanus.
“Kalau begitu, periksakan ke klinik di sana,” kata dokternya. “Semoga
beruntung, Prajurit.”
Corioalanus kembali ke kamarnya, kaget bahwa ternyata baru tengah hari.
Teman-teman sekamarnya bahkan belum bangun, masih teler akibat minuman
keras dan hujan. Dia menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi kantongnya. Air
danau membuat bedak ibunya jadi benda lengket yang menjijikkan, dan dia
membuangnya ke tempat sampah. Foto-foto yang dibawanya juga menempel, dan
terkoyak ketika dia berusaha memisahkannya, jadi dia membuangnya juga. Hanya
kompas yang selamat. Dia melepaskan seragamnya dan membasuh dirinya dari
sisa-sisa air danau. Setelah berpakaian, dia mengambil tas jinjing, menaruh
desyrindah.blogspot.com

kompas ke kotak barang-barang pribadinya lalu menyimpannya ke dalam tas.


Setelah berpikir sejenak, dia membuka loker Sejanus dan mengambil kotaknya
juga. Saat tiba di Distrik 2, dia akan mengirimkannya ke keluarga Plinth disertai
surat belasungkawa. Itu hal yang pantas dia lakukan sebagai sahabat baik Sejanus.
Siapa tahu, mungkin kiriman kue bakal terus datang.
Keesokan paginya, setelah perpisahan yang diiringi air mata dengan teman-
teman sekamarnya, dia naik pesawat ringan menuju Distrik 2. Dia merasakan
kenyamanan berbeda. Kursi empuk. Awak kabin. Sajian berbagai minuman. Tidak
mewah, tapi jauh dari keprihatinan kondisi kereta yang membawanya ke Distrik
12. Sambil menikmati kenyamanannya, Coriolanus menyandarkan dahi ke jen-
dela, berharap bisa tidur sejenak. Sepanjang malam, saat hujan turun menghantam
atap barak, dia berpikir di mana Lucy Gray berada. Kalau gadis itu selamat, tentu
dia takkan kembali ke Distrik 12. Coriolanus tertidur diiringi melodi “Pohon
Gantung” dalam benaknya, dan terbangun beberapa jam kemudian ketika pesawat
mendarat di landasan.
“Selamat datang di Capitol,” kata awak kabin.
Coriolanus terbelalak kaget. “Apa? Tidak. Apakah aku ketinggalan? Aku harus
melapor ke Distrik Dua.”
“Pesawat ini memang menuju Distrik Dua, tapi kami menerima perintah untuk
menurunkanmu di sini,” kata awak kabin sambil memeriksa da arnya. “Sebaiknya
kau segera turun. Kami masih harus melanjutkan jadwal perjalanan.”
Dia turun dan berada di landasan udara kecil yang tak dikenalnya. Truk Penjaga
Perdamaian berhenti dan dia diperintahkan naik. Dia berusaha bertanya untuk
mendapat jawaban dari sopir, tapi mereka tidak bisa menjelaskan apa-apa.
Coriolanus mulai merasa ngeri. Pasti ada kesalahan. Ada apa? Bagaimana kalau
mereka berhasil mengaitkannya dengan pembunuhan-pembunuhan itu? Mungkin
Lucy Gray berhasil pulang dan mengadukannya, dan mereka kini membawanya
untuk diinterogasi? Apakah mereka akan mencari senjata-senjata itu di danau?
desyrindah.blogspot.com

Jantungnya berdebar kencang saat mereka melewati Scholars Road dan Akademi
yang sepi dan sunyi pada siang hari musim panas. Lalu melintasi taman tempat
mereka biasa berkumpul seusai sekolah. Dan toko roti yang menjual cupcake kesu-
kaannya. Setidaknya dia masih bisa melihat kota kelahirannya lagi. Nostalgia
memudar ketika truk menikung tajam dan dia sadar bahwa mereka menuju
Citadel.
Di dalam, para penjaga menyuruhnya masuk elevator. “Beliau sudah
menunggumu di lab.”
Dia berharap “beliau” yang dimaksud adalah Dr. Kay, bukan Dr. Gaul, tapi
musuh lamanya melambai dari lab ketika melihatnya keluar dari elevator. Kenapa
dia ada di sini? Apakah dia akan dijadikan kelinci percobaan dan dimasukkan ke
kandang? Ketika Coriolanus berjalan mendekat, dia melihat Dr. Gaul
memasukkan anak tikus yang masih hidup ke kotak kaca penuh ular berwarna
keemasan.
“Pemenang kita telah kembali. Pegang ini.” Dr. Gaul menyerahkan mangkuk
logam berisi anak-anak tikus ke tangannya.
Coriolanus menahan diri untuk tidak muntah. “Halo, Dr. Gaul.”
“Aku menerima suratmu,” katanya. “Dan jabberjay-mu. Plinth muda yang
malang. Tapi itu sudah nasibnya. Aku senang melihatmu terus belajar di Dua
Belas. Mengembangkan pandanganmu terhadap dunia.”
Coriolanus merasa sedang menjadi murid bimbingan Dr. Gaul lagi, seakan tak
pernah terjadi apa-apa selama ini. “Ya, pengalaman yang membuka mata. Aku
memikirkan segala hal yang kita diskusikan. Kekacauan, kontrol, kontrak. Tiga K.”
“Apakah kau berpikir tentang Hunger Games?” tanya Dr. Gaul. “Pada hari
pertama kita bertemu, Casca bertanya padamu apa tujuannya, dan kau menjawab
dengan yakin. Untuk menghukum distrik-distrik. Kau mau mengubah jawabanmu
sekarang?”
Coriolanus teringat percakapannya dengan Sejanus ketika mereka membongkar
desyrindah.blogspot.com

tas di barak. “Aku ingin menjabarkannya. Hunger Games bukan hanya untuk
menghukum distrik-distrik, tapi bagian dari perang abadi. Masing-masing distrik
memiliki pertarungan mereka. Daripada berperang sungguhan, kita berperang
dengan sesuatu yang bisa kita kendalikan.”
“Hm.” Dr. Gaul menjauhkan seekor tikus dari mulut ular yang terbuka. “Hei, kau
jangan rakus!”
“Dan sebagai pengingat apa yang kita lakukan terhadap satu sama lain, apa
kemungkinan yang bisa terjadi, karena itu sudah sifat kita,” lanjutnya.
“Apakah kau sudah menetapkan siapa kita?” tanya Dr. Gaul.
“Makhluk-makhluk yang membutuhkan Capitol untuk selamat.” Dia tak bisa
menahan diri untuk tidak melanjutkan. “Tapi ini semua tak ada gunanya. Hunger
Games. Tak ada seorang pun di Dua Belas yang menontonnya. Kecuali saat hari
pemungutan. Tak ada televisi, bahkan di pangkalan sekalipun.”
“Itu masalah di masa depan, tapi jadi hal yang disyukuri tahun ini, mengingat
aku harus menghapus seluruh kekacauan ini,” kata
Dr. Gaul. “Melibatkan para siswa ikut campur adalah kesalahan. Terutama saat
mereka jadi korban. Itu membuat Capitol tampak rentan.”
“Anda menghapusnya?” tanya Coriolanus.
“Semuanya. Tak ada yang tersisa untuk disiarkan lagi.” Dr. Gaul menyeringai.
“Aku punya rekaman utamanya, kusimpan dengan aman, tapi itu hanya untuk
kesenanganku sendiri.”
Coriolanus lega mendengar penghapusan siaran itu. Ini hanya satu cara untuk
melenyapkan nama Lucy Gray dari dunia ini. Capitol akan melupakannya, distrik-
distrik tak ada yang mengenalnya, dan Distrik 12 tak pernah menganggap gadis itu
sebagai bagian dari mereka. Beberapa tahun lagi, dia hanyalah kenangan samar
bahwa seorang gadis pernah bernyanyi di arena. Lambat laun hal itu pun akan
terlupakan. Selamat tinggal, Lucy Gray, kami tak pernah mengenalmu.
“Tidak semuanya buruk. Kurasa kita akan melibatkan Flickerman lagi tahun
desyrindah.blogspot.com

depan. Dan idemu tentang taruhan juga akan dilanjutkan,” kata Dr. Gaul.
“Bagaimanapun caranya, Anda perlu mewajibkan mereka menonton Hunger
Games. Tak ada seorang pun di Dua Belas yang akan memilih menonton sesuatu
yang penuh tekanan seperti itu,” Coriolanus memberitahunya. “Mereka
menghabiskan waktu luang yang tersisa dengan mabuk-mabukan untuk
melupakan realita hidup.”
Dr. Gaul tergelak. “Tampaknya kau belajar banyak selama liburan musim panas,
Mr. Snow.”
“Liburan?” tanyanya, bingung.
“Lagi pula, apa yang kaulakukan di sini? Bermalas-malasan di Capitol,
mendandani rambut ikalmu? Kupikir menjadi Penjaga Perdamaian selama musim
panas akan jauh lebih mendidik.” Dr. Gaul memperhatikan keheranan di wajah
Coriolanus. “Memangnya kaupikir aku menghabiskan banyak waktu untukmu
hanya untuk menyerahkanmu pada orang-orang tolol di distrik?”
“Aku tidak mengerti, aku diberitahu…” kata Coriolanus.
Dr. Gaul memotong ucapannya. “Aku memerintahkan agar kau diberhentikan
dengan hormat sebagai Penjaga Perdamaian, berlaku mulai saat ini. Kau akan
belajar dariku di Universitas.”
“Universitas? Di sini? Di Capitol?” katanya terkejut.
Dr. Gaul menjatuhkan tikus terakhir ke kotak kaca. “Kelas pertama dimulai pada
hari Kamis.”
desyrindah.blogspot.com
EPILOG

Pada sore hari bulan Oktober yang cerah di musim gugur, Snow menuruni tangga
marmer di Pusat Sains Universitas, mengabaikan orang-orang yang
memperhatikannya. Dia tampak tampan dengan jas baru, apalagi rambut ikalnya
kini sudah tumbuh, dan tugas khususnya sebagai Penjaga Perdamaian
memberinya keunggulan yang membuat pesaing-pesaingnya kesal.
Dia baru menyelesaikan kelas kehormatan khusus dalam pelajaran strategi
militer bersama Dr. Gaul, setelah menghabiskan pagi hari di Citadel untuk magang
sebagai Pengawas Permainan. Walaupun hanya magang, sebenarnya semua orang
di sana memperlakukannya selevel dengan pekerja utama. Mereka sudah
mengembangkan ide-ide untuk lebih melibatkan distrik, juga Capitol, dalam
Hunger Games tahun depan. Snow pula yang menjelaskan bahwa selain dua pe-
serta yang mungkin tak mereka kenal, orang-orang di distrik tidak terlibat dalam
Hunger Games. Mereka menelurkan ide agar semua orang di distrik menerima
paket makanan kalau peserta dari distrik mereka menang. Dan untuk mendorong
orang mau jadi peserta, Snow menyarankan agar pemenang mendapat hadiah
rumah mewah di wilayah elite di kampung halaman mereka, yang disebut Desa
Pemenang, sehingga penduduk yang tinggal di pondok kecil atau gubuk iri
melihatnya. Selain itu, sang pemenang juga membawa pulang hadiah uang, dan ini
diharapkan akan menghasilkan peserta-peserta berkualitas.
Jemarinya mengelus tas kulit yang bahannya lembut, hadiah kembali ke sekolah
desyrindah.blogspot.com

dari keluarga Plinth. Dia masih tergagap memanggil mereka. Memanggil “Ma”
mudah baginya, tapi memanggil ayah ke Strabo Plinth rasanya tidak cocok, jadi
dia seringnya memanggil Strabo dengan “Sir”. Mereka tidak mengadopsinya secara
resmi; umurnya sudah delapan belas dan dianggap usia dewasa. Selain itu, dia
lebih suka sebatas menjadi pewaris keluarga Plinth. Dia takkan melepas nama
Snow, walau dibayar dengan kekayaan berlimpah dari pabrik senjata.
Semuanya terjadi begitu saja. Kepulangannya. Duka cita mereka. Penyatuan dua
keluarga. Kematian Sejanus menghancurkan keluarga Plinth. Strabo berkata,
“Istriku butuh tujuan hidup. Aku pun begitu. Kau kehilangan orangtuamu. Kami
kehilangan putra kami. Kupikir kita bisa mengatur sesuatu.” Strabo membeli
apartemen keluarga Snow sehingga mereka tidak perlu pindah, dan mereka juga
membeli apartemen keluarga Doli le di bawah sebagai tempat tinggalnya dan Ma.
Ada niatan untuk melakukan renovasi, membuat tangga putar atau mungkin
elevator pribadi yang menghubungkan dua unit apartemen tersebut, tapi tidak
perlu dikerjakan segera. Ma datang setiap hari membantu Grandma’am, yang
menganggap Ma sebagai “pembantu” baru. Ma dan Tigris bisa bersahabat baik.
Keluarga Plinth yang membayar semua pengeluaran mereka: pajak apartemen,
uang sekolah, hingga koki. Mereka juga memberinya uang saku dalam jumlah
besar. Ini sangat membantunya, karena dengan uang kirimannya untuk Tigris dari
Distrik 12 yang dikantonginya sekalipun, biaya kehidupan di universitas sangat
mahal. Strabo tak pernah mempertanyakan pengeluarannya atau mencereweti
pakaian-pakaian baru yang dibelinya, dan dia tampaknya senang saat Snow
meminta nasihat padanya. Mereka sangat serasi. Kadang-kadang dia hampir lupa
Plinth berasal dari distrik. Hampir.
Malam ini seharusnya ulang tahun Sejanus yang kesembilan belas, dan mereka
berkumpul makan malam bersama untuk mengenangnya. Snow mengundang
Festus dan Lysistrata untuk datang bergabung, karena mereka paling menyukai
Sejanus dibandingkan teman-teman lainnya dan mereka bisa mengucapkan hal-
hal baik tentang Sejanus. Dia berencana menyerahkan kotak dari loker Sejanus
desyrindah.blogspot.com

kepada keluarga Plinth sebagai hadiah, tapi ada satu hal yang perlu dia lakukan
lebih dulu.
Udara segar dalam perjalanannya ke Akademi membuat pikirannya makin
jernih. Dia tidak mau membuat janji, dan lebih memilih untuk datang langsung.
Para siswa sudah bubar satu jam lalu, dan langkah kakinya bergema di lorong.
Meja sekretaris Dekan Highbo om kosong, jadi dia langsung ke kantor sang
dekan dan mengetuk pintunya. Dekan Highbo om menyuruhnya masuk. Kondisi
sang dekan terlihat memburuk, karena berat badannya turun dan tubuhnya
gemetar, dia terduduk lemas di kursinya.
“Wah, dalam rangka apa aku mendapat kehormatan ini?” tanyanya.
“Aku berharap bisa mengambil kotak bedak ibuku, karena Anda juga tidak
membutuhkannya lagi,” kata Snow.
Dekan Highbo om membuka laci dan menaruh kotak bedak itu di meja. “Itu
saja?”
“Tidak.” Dia mengeluarkan kotak Sejanus dari tas. “Aku akan mengembalikan
barang-barang pribadi Sejanus pada orangtuanya malam ini. Aku tidak tahu apa
yang harus kuperbuat dengan ini.” Dia mengeluarkan isi kotak tersebut,
meletakkannya di meja, dan mengambil ijazah yang dibingkai. “Menurutku, Anda
tidak ingin ijazah ini tersebar. Ijazah Akademi. Diberikan kepada pengkhianat.”
“Kau sangat bertanggung jawab,” kata Dekan Highbo om.
“Berkat latihan sebagai Penjaga Perdamaian.” Snow melepas bagian belakang
bingkai dan mengeluarkan lembar ijazah tersebut. Kemudian, seolah karena
dorongan hati, dia menggantinya dengan foto keluarga Plinth. “Kupikir
orangtuanya lebih suka seperti ini.” Mereka berdua memandang sisa-sisa
kehidupan Sejanus. Kemudian dia membuang tiga botol obat ke tempat sampah
sang dekan. “Semakin sedikit kenangan buruk, semakin baik.”
Dekan Highbo om memandangnya. “Jadi, kau bersimpati pada distrik-distrik?”
“Bukan pada distrik. Pada Hunger Games,” Snow mengoreksinya. “Aku harus
desyrindah.blogspot.com

berterima kasih pada Anda. Karena bagaimanapun, Anda yang memulainya.”


“Oh, menurutku separonya adalah berkat ayahmu,” kata sang dekan.
Snow mengerutkan dahi. “Maksudnya? Kupikir Hunger Games adalah ide
Anda. Ide yang Anda lontarkan saat di Universitas.”
“Untuk kelas Dr. Gaul. Aku gagal di kelas itu, karena kebencianku padanya
membuatku tidak sanggup berpartisipasi. Kami berpasangan untuk tugas akhir,
jadi aku bersama sahabat baikku Crassus. Tugasnya adalah menciptakan
hukuman untuk musuh, hukuman yang amat ekstrem agar mereka takkan pernah
lupa bahwa mereka pernah berbuat salah padamu. Bentuknya seperti teka-teki,
yang mana aku jago dalam hal itu, dan sebagaimana segala bentuk ciptaan yang
baik, inti teka-tekinya amat sederhana. Hunger Games. Dorongan kebiadaban
yang dikemas secara apik dalam kegiatan olahraga. Acara hiburan. Aku mabuk saat
itu bersama ayahmu, yang memanfaatkan ide-ideku, menipuku dengan
mengatakan bahwa itu hanya lelucon pribadi. Keesokan paginya, aku terbangun,
dan menyadari kengerian ciptaanku, lalu aku bermaksud membuangnya. Namun,
terlambat. Tanpa seizinku, ayahmu menyerahkannya pada Dr. Gaul. Ayahmu ingin
mendapat nilai. Aku tak pernah memaa annya untuk itu.”
“Dia sudah meninggal,” kata Snow.
“Tapi wanita itu masih hidup,” sahut Dekan Highbo om.
“Hunger Games hanyalah teori semata. Hanya monster biadab yang
mempraktikkannya. Setelah perang usai, Dr. Gaul mengeluarkan proposalku dan
memperkenalkanku kepada Panem sebagai perancang Hunger Games. Malam itu,
aku mencoba mor n untuk pertama kalinya. Kupikir ide itu takkan berlanjut,
karena kengeriannya. Ternyata tidak. Dr. Gaul menjalankan dan melanjutkannya,
dan dia sudah menyeretku selama sepuluh tahun terakhir.”
“Hunger Games mendukung pandangannya terhadap kemanusiaan,” kata Snow.
“Terutama dengan menggunakan anak-anak.”
“Kenapa begitu?” tanya Dekan Highbo om.
desyrindah.blogspot.com

“Karena kita menganggap anak-anak sebagai makhluk yang polos tanpa dosa.
Namun, jika yang polos pun bisa menjadi pembunuh di Hunger Games, apa
kesimpulannya? Bahwa pada dasarnya sifat dasar manusia adalah kejam,” Snow
menjelaskan.
“Menghancurkan diri sendiri,” gumam Dekan Highbo om.
Snow teringat pernyataan Pluribus tentang pertengkaran ayahnya dengan Dekan
Highbo om dan mengutip suratnya. “Seperti laron terbang menuju cahaya.” Mata
sang dekan menyipit, tapi Snow hanya tersenyum dan berkata, “Tentunya, Anda
hanya mengujiku. Anda lebih mengenal Dr. Gaul dibanding aku.”
“Aku tidak yakin.” Jari Dekan Highbo om menyusuri bunga mawar di kotak
bedak perak. “Apa katanya saat kau bilang padanya bahwa kau akan pergi?”
“Dr. Gaul?” tanya Snow.
“Burung penyanyimu,” kata sang dekan. “Saat kau meninggalkan Dua Belas.
Apakah dia sedih melihatmu pergi?”
“Yah, kami berdua sama-sama agak sedih.” Snow mengantongi kotak bedak itu
dan memasukkan barang-barang Sejanus ke kotak. “Aku pamit dulu. Kami
menunggu kiriman perabot baru untuk ruang tamu, dan aku berjanji pada
sepupuku untuk mengawasi pindahannya.”
“Silakan,” kata Dekan Higbo om. “Pulanglah ke griya tawangmu.”
Snow tidak mau membicarakan Lucy Gray dengan siapa pun, terutama dengan
Dekan Highbo om. Smiley sudah mengiriminya surat ke alamat Plinth,
memberitahunya bahwa Lucy Gray menghilang. Semua orang beranggapan Wali
Kota membunuhnya, tapi mereka tidak bisa membuktikannya. Komandan baru
menggantikan Ho , dan keputusan pertamanya adalah melarang pertunjukan di
Hob, karena musik menimbulkan masalah.
Ya, pikir Snow. Jelas.
Nasib Lucy Gray masih misteri, sama seperti nasib gadis kecil di lagu aneh itu.
desyrindah.blogspot.com

Apakah dia masih hidup, mati, atau jadi hantu yang gentayangan di hutan?
Mungkin takkan ada yang tahu. Tak penting lagi salju telah menghancurkan
mereka. Lucy Gray yang malang. Hantu gadis malang yang bernyanyi dengan
burung-burungnya.
Apakah kau
Akan datang ke pohon
Tempat aku menyuruhmu lari, agar kita bisa bebas.
Gadis itu bisa berkeliaran di Distrik 12 semaunya, tapi dia dan mockingjay
takkan pernah menyakiti Snow lagi.
Kadang-kadang dia mengingat momen manis kebersamaan mereka dan nyaris
berharap hubungan mereka berakhir berbeda. Tapi, hubungan mereka takkan
berhasil, meskipun dia tetap di Dua Belas. Mereka terlalu berbeda. Dan dia tidak
menyukai cinta, karena perasaan itu membuatnya bodoh dan rapuh. Kalau pun
dia memutuskan menikah, dia akan memilih seseorang yang takkan menggugah
hatinya. Seseorang yang dia benci, agar orang itu tidak bisa memanipulasinya
sebagaimana yang dilakukan Lucy Gray padanya. Tak pernah membuatnya merasa
cemburu. Atau lemah. Livia Cardew pilihan sempurna. Dia membayangkan
mereka berdua, sebagai presiden dan istri presiden, mengawasi keberlangsungan
Hunger Games beberapa tahun dari sekarang. Dia akan melanjutkan Hunger
Games, tentu saja, saat memimpin Panem. Orang-orang akan menganggapnya
tiran, bertangan besi, dan kejam. Tapi setidaknya dia akan memastikan mereka
bertahan hidup, memberi mereka kesempatan untuk berkembang. Apa lagi yang
bisa diharapkan kemanusiaan? Seharusnya mereka berterima kasih padanya.
Dia melewati kelab malam Pluribus dan tersenyum. Orang bisa membeli racun
tikus di banyak tempat, tapi diam-diam dia mengambil sedikit demi sedikit dari
gang belakang minggu lalu dan membawanya pulang. Tidak mudah memasukkan
racun tikus ke dalam botol mor n, apalagi mengenakan sarung tangan, tapi akhir-
nya dia berhasil memasukkan cukup banyak dosis mematikan ke dalam botol. Dia
desyrindah.blogspot.com

memastikan tidak meninggalkan sidik jari di botolnya. Dekan Highbo om takkan


curiga saat mengambil botol-botol mor n dari tempat sampah. Dia juga takkan
curiga saat membuka botolnya dan meneteskan mor n itu ke lidahnya. Walaupun
Snow berharap, saat sang dekan mengembuskan napas terakhirnya, dia menyadari
apa yang disadari banyak orang saat mereka menentang seorang Snow. Panem
akan mengetahuinya suatu hari nanti. Ini sudah guratan takdirnya.
Snow mendarat di puncak.

TAMAT
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com
desyrindah.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai