Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Indonesia

Pengaruh Penjajahan Pada sektor Kesehatan di Indonesia


Kelompok 6:
Fayyaz Rafi Aninditya (15), Miqdad Kinaz Rifky (23),

Muhammad Hafizh Ayyubi (24), Muhammad Nuril Akbar (26)

A. Masuknya Ilmu Kesehatan ke Indonesia

Sebelum era penjajahan dan masuknya ilmu kesehatan Barat, masyarakat Indonesia telah
mengenal cara-cara pengobatan tradisional yang disebut pengobatan asli atau pengobatan tradisional.
Pengobatan ini menggunakan unsur-unsur “spiritual” disamping obat-obatan yang berupa
dedaunan, akar-akar, kulit kayu dan lain-lain yang dianggap memiliki khasiat untuk
menyembuhkan penyakit.

Dalam zaman penjajahan Belanda, ilmu kedokteran dari Eropa dibawa ke Indonesia oleh dokter-
dokter yang didatangkan untuk melayani kesehatan anggota militer Belanda pada saat itu. Kesehatan
untuk para tentara pada saat itu adalah hal yang sangat penting dan yang utama, karena kesehatan
militer mempengaruhi kekuatan dan kebugaran tentara yang pada saat itu merupakan kekuatan utama
dalam mengokohkan kekuasaan di Indonesia.

Selain itu, Belanda mulai memperhatikan kesehatan para petani pribumi dan membuat
kebijakan-kebijakan yang bertujuan meningkatkan kesehatan terhadap orang Eropa maupun pribumi.
Belanda juga sempat mendirikan sekolah kesehatan yang bernama “Dochter Java School” yang
nantinya berkembang menjadi sekolah STOVIA.

Sekolah ini juga mengajarkan berbagai metode penyembuhan penyakit seperti malaria, cacar, dll
dan juga dengan teknik pengobatan yang lebih modern dari masyarakat Indonesia sebelumnya yang
memakai teknik pengobatan yang lebih tradisional.

B. Hubungan Pemerintah Dengan Sistem Kesehatan di Indonesia

Berbagai sarana dan prasarana kesehatan di Indonesia yang ada sekarang adalah hasil
pengembangan pemikiran Bangsa Eropa yang pernah tinggal di Indonesia.

Ketika masa Pemerintahan Hindia Belanda, pengobatan menjadi hal yang sangat
dipertimbangkan oleh pemerintah, terbukti dengan banyak dibangunnya fasilitas kesehatan dan juga
banyak dibuatnya peraturan oleh Pemerintah mengenai kesehatan tersebut. Pembangunan sarana dan
prasarana kesehatan untuk masyarakat dibangun di kota-kota besar, seperti di Batavia yang dibangun
banyak fasilitas kesehatan karena menjadi basis Pemerintahan Hindia Belanda.

Tidak hanya fasilitas kesehatan untuk bangsa Eropa, Pemerintah Hindia Belanda pun
membangun fasilitas untuk orang-orang Tiongkok yang tinggal di Batavia karena dianggap sebagai
komunitas masyarakat yang sama besarnya dengan Bangsa Eropa.
Memasuki abad ke-19 masyarakat pribumi masih menggunakan kepercayaan tradisional nenek
moyang dalam proses penyembuhan penyakit mereka. Hal itulah yang menyebabkan penggunaan
rumah sakit sebagai sarana kesehatan hanya digunakan oleh bangsa Barat yang sudah berfikir rasional.

Ketika rumah sakit pertama Pemerintah Hindia Belanda dibangun, masyarakat pribumi pada
masa itu tidak bisa dengan bebas menggunakan fasilitas kesehatan yang ada, hal itu dikarenakan
kebijakan Pemerintah Hindia Belanda mengkhususkan penggunaan rumah sakit untuk bangsa Barat di
Indonesia.

Masyarakat Pribumi yang bisa menikmati fasilitas tersebut hanyalah mereka yang berasal dari
kalangan menak atau bangsawan. Para elit masyarakat tersebut dapat melakukan kegiatan kesehatan ke
rumah sakit tersebut dikarenakan mereka mempunyai hubungan dengan Pemerintah Hindia Belanda,
seperti para bupati ataupun para bangasawan lainnya yang bisa dengan mudah menikmati fasilitas yang
ada untuk kegiatan kesehatan mereka.

Sejak awal abad ke-20 perhatian Pemerintah Hindia Belanda meningkat di bidang kesehatan
terutama dalam hal pengontrolan penyakit epidemik, seperti kolera dan pes. Pemerintah lebih meng-
intensif-kan kegiatannya dalam bidang kesehatan, seperti perbaikan fasilitas-fasilitas di rumah sakit,
penambahan tenaga kesehatan ahli, serta penelitian mengenai berbagai macam penyakit yang mungkin
akan menyerang masyarakat.

C. Pulmonologi dan ikatan dokter paru indonesia

Diawal abad 19, penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit rakyat diseluruh Indonesia.
Penanggulangan penyakit paru, khususnya tuberculosis paru menjadi penting. Pemerintah Hindia
Belanda membentuk suatu perkumpulan, dinamakan Centrale Vereeniging voor Tuberculose Bestrijding
(CVT). Dalam tahun 1933 perkumpulan ini diubah menjadi yayasan, yaitu Stiching Centrale Vereeniging
tot Bestrijding der Tuberculose (SCVT) yang diresmikan oleh Ny. de Jonge. Dokter Van der Plaats adalah
dokter ahli radiologi (Rontgenoloog) pertama yang memimpin SCVT. Mulai saat itulah mulai
pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia secara besar-besaran.

Sejak tahun 1937 SCVT telah mempunyai sebuah klinik di Medan yang berbentuk rumah sakit,
yang dikenal sebagai Koningin Emma Kliniek yang dilengkapi dengan Biro Konsultasi. Hal tersebut
merupakan kemajuan dibidang pengobatan tuberkulosis saat itu. Pada Jaman Belanda Longatrs yang
berkebangsaan Indonesia sudah ada antara lain Prof. JC. Kapitan, Dr. Agus dan Prof. HR. Suroso.

Pada jaman kemerdekaan tahun 1945, Ika Daigaku diambil alih oleh pemeritah Republik
Indonesia dan diganti namanya menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Kemudian
perguruan tersebut dipencar di Jakarta , Solo, Klaten dan Malang untuk persiapan agresi Belanda. Pada
tanggal 8 September 1973 diadakan rapat Panitia Pembentukan Perkumpulan untuk Dokter Ahli Paru
yang diprakarsai oleh Dr. Rasmin Rasjid. Saat itulah dibentuk IDPI (Ikatan Dokter Paru Indonesia).

Nama Pulmonologi untuk ilmu penyakit paru diterima dengan resmi oleh Ikatan Dokter Paru
Indonesia pada tahun 1973. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) yang semula bernama Ikatan
Dokter Paru Indonesia (IDPI) yang didirikan pada tahun 1973 adalah organisasi profesi yang
menghimpun seluruh dokter spesialis paru di Indonesia. Sejak berdirinya sudah menyelenggarakan
kongres 13 (tiga belas) kali sampai dengan tahun 2012.

D. Reformasi Rumah Sakit Jiwa

Menurut Broere, ada perbedaan mendasar perihal layanan kesehatan jiwa sebelum dan sesudah
paruh kedua abad ke-19. Selain rumah sakit militer, bangsal-bangsal rawat bagi penderita gangguan jiwa
yang sudah ada sejak 1830-an semata-mata dipergunakan untuk memperoleh uang.

“Sebelum tahun 1860-an tidak ada layanan kesehatan jiwa lain yang secara khusus dikelola
pemerintah. Ruang rawat pagi penderita gangguan jiwa hanya terdapat di beberapa rumah sakit swasta,
salah satunya rumah sakit Cina,” tutur Broere.

Sementara itu, orang-orang pribumi di pedesaan lebih banyak menggunakan jasa dukun. Seiring
waktu, pengobatan dukun dinilai tidak efektif oleh pemerintah kolonial karena kondisi pasien tak
kunjung membaik. Pada akhirnya banyak penderita gangguan jiwa dari kalangan pribumi yang dibiarkan
berkeliaran, mengamuk, dan berakhir di pemasungan.

Kondisi tersebut menimbulkan penilaian negatif dari orang-orang Eropa yang semakin banyak
mendiami Hindia Belanda di pengujung abad ke-19. Tak hanya itu, pemerintah kolonial juga khawatir
orang-orang Eropa sewaktu-waktu dapat dibunuh oleh penderita gangguan jiwa dari kalangan petani
atau buruh perkebunan yang mengamuk lantaran dipaksa bekerja. Maka timbullah tekad untuk
"memberadabkan" kaum pribumi melalui layanan kesehatan jiwa yang layak.

Pendapat Broere didukung catatan Thong mengenai laporan dari kantor karesiden di Batavia
dan Semarang yang menunjukkan ada peningkatan penderita gangguan jiwa sejak 1862. Selain itu,
Thong juga mencatat bahwa hanya dalam kurun 10 tahun penderita gangguan jiwa yang ditampung di
rumah sakit Cina di Batavia melonjak dari 123 menjadi 921 orang.

Untuk menanggulangi krisis kejiwaan masyarakat Hindia Belanda, pemerintah mengutus dua
orang dokter Belanda guna melakukan penelitian. Mereka adalah A.M. Smit dan F.H. Bauer. Melalui
serangkaian sensus, Smit dan Bauer mencoba memperkirakan jumlah penderita gangguan jiwa dari
kalangan pribumi di Jawa. Menurut laporan yang dikeluarkan pada 1868, terdapat sekitar 550 orang
penderita yang diperlakukan dengan cara menyedihkan, ada yang ditelantarkan dan ada yang dipasung.

Selain melakukan penelitian, Smit juga pernah dikirim ke Utrecht, Belanda untuk mempelajari
cara-cara perawatan penderita gangguan jiwa yang dapat diterapkan di Hindia Belanda. Sementara
Bauer mendapat tugas lain mempelajari adat istiadat masyarakat pribumi agar dapat menemukan
metode penanganan khusus.

Data-data yang dihimpun Smit dan Bauer, catat Thong, lantas dijadikan acuan Pemerintah
Kolonial untuk membangun fasilitas khusus penderita gangguan jiwa yang pertama di Jawa. Berdasarkan
Surat Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 30 Desember 1865 No.100 dan keputusan Gubernur Jenderal
Pieter Mijer tanggal 13 Mei 1867, dibangunlah rumah sakit jiwa yang pertama di Buitenzorg (Bogor)
pada 1882 dengan Bauer sebagai direktur pertama.

Selanjutnya, sepanjang 1889 hingga awal abad ke-20, rumah sakit jiwa terus bermunculan di
Hindia Belanda. Selain Jawa, pemerintah juga membangun fasilitas serupa di Sabang, Makassar,
Manado, Medan, Padang, Bali dan beberapa daerah di Kalimantan.

Anda mungkin juga menyukai