Anda di halaman 1dari 4

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, belum ada ilmu tafsir.

Sebab, Muslimin dapat bertanya langsung


kepada beliau mengenai perkara-perkara dari Alquran yang belum terang bagi mereka. Barulah pada
abad kedua atau ketiga Hijriah, disiplin keilmuan tersebut mulai muncul di tengah umat. Hal itu seiring
dengan perkembangan syiar Islam yang semakin pesat hingga ke luar Jazirah Arab.

Ilmu tafsir telah dikenal masyarakat Muslim di Indonesia setidaknya sejak abad ke-17 Masehi. Namun,
perkembangannya agak lamban pada masa itu. Barulah pada abad ke-20, situasinya berubah menjadi
lebih baik. Hal itu seiring dengan kemajuan teknologi transportasi sehingga semakin banyak Muslimin
yang naik haji dan bermukim di Tanah Suci. Alim ulama Nusantara yang kembali dari menuntut ilmu di
Haramain sangat berjasa dalam transmisi keilmuan tafsir Alquran di Indonesia.

Hingga akhir abad ke-20, dunia penafsiran Alquran di Indonesia kian berkembang. Kitab-kitab yang
muncul dalam periode itu amat banyak. Misalnya, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, Tafsir al-Bayan atau
Tafsir an-Nur karya Hasby ash-Shidieqy, Tafsir al-Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab, dan masih
banyak lagi.

Bagaimanapun, perkembangan era modern memunculkan diskursus baru bagi kalangan ilmuwan
Muslim, termasuk para mufasir. Arus pemikiran orientalisme dan liberalisme perlahan-lahan memasuki
wacana keilmuan Islam. Dalam ilmu tafsir, penerapan metode hermeneutika untuk menafsirkan Alquran
pun menarik perhatian kaum peneliti.

Mula-mula, ia menegaskan hermeneutika sebagai tantangan baru bagi umat Islam. Sebab, metode itu
pada awalnya diterapkan untuk menafsirkan Bibel. Dalam perkembangannya kemudian, beberapa ahli
sastra berupaya memaksakan hermeneutika untuk diterapkan dalam menafsirkan teks-teks lain,
termasuk Alquran. Dengan argumentasi-argumentasi yang tajam, akurat, dan objektif, Adian
memaparkan apa saja “kesalahan yang dipaksakan” hermeneutika dalam menafsirkan Alquran.

Secara harfiah, hermeneutika berarti ‘tafsir.’ Istilah itu berasal dari bahasa Yunani, hermeneunin, yakni
'menafsirkan'. Perkataan itu merujuk pada tokoh mitologi Yunani, Hermes, yang dipercaya sebagai sosok
perantara pesan-pesan Dewa kepada manusia.
Dari tradisi Yunani, hermeneutika kemudian berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel. Oleh
para teolog dan filsuf di Eropa, hermeneutika lantas dipakai sebagai metode penafsiran secara umum
dalam bidang ilmu humaniora dan sosial.

The New Encyclopedia Britannica menegaskan, hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip umum tentang
interpretasi Bibel. Tujuannya adalah menemukan “kebenaran” dan nilai-nilai dalam kitab umat Nasrani
tersebut. Oleh karena itu, Adian menyatakan, hermeneutika bukan sekadar tafsir, melainkan satu
“metode tafsir” atau filsafat tentang penafsiran tersendiri, yang bisa sangat berbeda dengan metode
tafsir Alquran (hlm 8).

Sebuah metode yang awalnya diterapkan untuk Bibel tidak lantas cocok untuk Alquran. Sebab, konsep
teks Bibel dan Alquran sangat berbeda. Adian mengatakan, Bibel diyakini sebagai teks yang ditulis
manusia yang mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus. Sementara, Alquran bukanlah kitab yang
mendapatkan inspirasi dari Tuhan, sebagaimana dalam konsep Bibel. Alquran adalah kitab yang tanzil,
lafzhan wa ma’nan minallah (lafaz dan maknanya dari Allah).

Perbedaan antara keduanya itu, lanjut Adian, bahkan diakui kalangan Paus di Vatikan. Paus Benediktus
XVI, seperti dikutip Daniel Pipes dalam tulisannya untuk New York Sun 17 Januari 2006, menyatakan,
“Dalam pandangan tradisional Islam, Tuhan telah menurunkan kata-katanya kepada (Nabi) Muhammad,
yang merupakan kata-kata abadi. Alquran sama sekali bukan kata-kata (Nabi) Muhammad.”

Adian mengungkapkan alasan dirinya menulis Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an —yang juga memuat
sebuah bab karya ulama kelahiran Lebanon, Abdurrahman al-Baghdadi. Buku yang terbit pada 2007 itu
berangkat dari kegelisahan penulis terhadap pemikiran keislaman yang berkembang di kampus-kampus
Islam, baik itu sekolah tinggi maupun universitas Islam negeri.

Menurut dia, salah satu tantangan berat dalam masa kini ialah masuknya arus pemikiran liberal dan
orientalis dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Khususnya dalam dunia studi tafsir Alquran,
kemunculan hermeneutika adalah salah satu tandanya.

Adian mengatakan, tak sedikit kampus Islam yang besar di Indonesia menetapkan hermeneutika sebagai
mata kuliah wajib di jurusan tafsir. Padahal, hermeneutika bukanlah sebuah metode yang tepat dan
layak untuk menafsirkan Alquran.
Menurut dia, hermeneutika diajarkan di kampus-kampus Islam dengan maksud untuk menggantikan
atau sekadar menempelkan pada metode-metode ilmu tafsir yang selama ini dikenal kaum Muslimin
sejak era klasik.

Karena itu, ia mengaku prihatin dengan kondisi demikian. Harapannya, pihak-pihak kampus terlebih
dahulu membuka ruang diskusi dengan kaum ulama dan cendekiawan Muslim sebelum menjadikan
hermeneutika sebagai mata kuliah wajib.

Persoalan ini sejatinya tidak hanya melanda Indonesia, tetapi seluruh dunia Islam pada era
kontemporer. Sejumlah pengaplikasi hermeneutika untuk penafsiran Alquran, lanjut Adian, telah
memunculkan berbagai kontroversi. Sebut saja, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed
Arkoun, dan Amina Wadud.

Pembahasan dalam Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an dibagi menjadi beberapa topik utama. Pertama,
penulis buku tersebut membahas dampak hermeneutika terhadap studi tafsir Alquran. Sementara itu,
pada bagian kedua dirinya membahas cara menafsirkan Alquran yang sesuai kaidah objektif. Dalam hal
ini, tulisan Abdurrahman al-Baghdadi dijadikannya sebagai sebuah contoh.

Merujuk pada uraian ulama tersebut, Adian memaparkan beberapa pegangan dalam metodologi
penafsiran Alquran. Pertama-tama, seseorang hendaknya memahami bahwa tafsir Alquran adalah
penjelasan atas makna kata-kata dalam susunan kalimat, dan makna susunan ayat-ayat menurut apa
adanya (tidak mengada-ada), seperti termuat dalam Alquran.

Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, seorang penafsir mutlak menguasai bahasa
Arab. Bahkan, dikatakan bahwa “Orang yang tidak mengetahui seluruh bahasa Arab, tidak boleh
menafsirkan Alquran.” Jika pengetahuan seseorang tentang sastra Arab masih minim atau bahkan nol,
maka dirinya tidak boleh menjadi penafsir Alquran.

Selanjutnya, konteks turunnya ayat juga mesti diperhatikan. Oleh karena itu, menurut Adian, pada
waktu menafsirkan Alquran seseorang hendaknya menguasai dan berpegang teguh pada sunnah Nabi
Muhammad SAW. Bukan berarti seorang penafsir harus menghafalkan sekian banyak hadis. Yang wajib
ialah, dirinya mengetahui arti dan tujuan hadis-hadis terkait ayat atau surah Alquran yang
ditafsirkannya.
Ilmu pertama di kalangan Muslimin ialah ilmu tafsir Alquran. Karena itu, nilainya akan selalu sangat
berharga dan bisa diaktualisasikan. Menurut Syed Naquib al-Attas, hal itu disebabkan adanya
karakteristik ilmiah dari bahasa Arab. Di samping itu, ilmu tafsir Alquran penting karena benar-benar
merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan
serta kebudayaan agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai