Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

GADAI DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Kajian Fiqh, Klasik Dan Kontemporer”

Dosen Pengampu:

Mochammad Andre Agustianto, Lc, MH, Lc., M.H.

Disusun oleh :

1. Arta Budiarti (08040420105)


2. Elza Dwi Aprilia (08040420114)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamualaikum Warahmutallahi wabarokatuh

Puji Syukur kami berika kepada Allah SWT. Berkat rahmat dan hidayah-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas kelompok dengan judul “Gadai Dalam
Prespektif Hukum Islam” dengan tepat waktu.

Shalawat serta salam kami hadiahkan kepada Nabi kita yaitu Nabi Muhammad SAW.
Yang membawa kita dari zaman kebodohan menuju alam yang berlimpah ilmu pengetahuan.
Adapaun tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas Dosen, dan semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua.

Atas terselesainya tugas ini kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Masdar Hilmy. S.Ag. M.A., Ph.D selaku Rektor UIN Sunan Ampel
Surabaya.
2. Bapak Dr. H. AH. Ali Arifin, M.M selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN Sunan Ampel Surabaya.
3. Bapak Achmad Room Fitrianto, S.E., M.E.I selaku Kepala Program Studi Ekonomi
Syariah.
4. Bapak Mochammad Andre Agustianto, Lc, MH, Lc., M.H. selaku Dosen mata kuliah
Kajian Fiqh, Klasik Dan Kontemporer UIN Sunan Ampel Surabaya.
5. Orang tua yang selalu mendukung dan memberi semangat serta tak pernah Lelah
memberi doa dan motivasi.
6. Serta teman-teman yang membantu.

Semoga makalah yang kami buat ini dapat dipahami serta berguna. saya mohon maaf atas
segala kesalahan kata-kata yang mungkin kurang berkenan, dan kembali lagi kami memohon
kritik serta saran yang membangun demi perbaikan di masa yang mendatang.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Surabaya, September 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5

C. Tujuan ............................................................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 7

A. Definisi Gadai Dalam Hukum Islam Dan Konsep Gadai Secara Syariah ..................... 7

B. Landasan Hukum Gadai Dalam Syariah ......................................................................... 9

C. Rukun Dan Syarat-Syarat Gadai Syari’ah .................................................................... 11

D. Hakikat Dan Fungsi Gadai Syariah (Rahn) .................................................................. 12

E. Pemanfaatan Dan Penjualan Barang Gadai .................................................................. 13

F. Hak Rahin Dan Kewajiban Murtahin ........................................................................... 15

G. Barang Yang Boleh Digadaikan ................................................................................... 18

H. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai .......................................................................... 19

I. Proses Berakhirnya Gadai ............................................................................................. 19

J. Studi Kasus penerapan gadai sawah terhadap Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh,
Kabupaten Semarang............................................................................................................ 20

K. Konsep Pegadaian Konvesional dan Pegadaian Syariah .............................................. 23

BAB III PENUTUPAN ........................................................................................................ 28

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 28

B. Saran ............................................................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 30

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sudah merangkai peganutnya dalam semua perpektif kehidupan
menggunakan hukum Islam syariah dimasukkan kedalam prinsip-prinsip dasar dan
peraturan-peraturan. Seluruh penganut Islam harus mematuhinya atau
mengamalkannya dalam praktik kehidupan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya
hubungan antar umat Islam Sehingga sangat wajar bila interaksi antara sesama umat
Islam yang berlandaskan syariat wajib dikaji secara seksama, karena manusia
membutuhkan bimbingan agar tidak berperilaku menyimpang. Oleh karena itu, wajib
mempelajari peraturan-peraturan Islam pada semua aspek kehidupan sehari-hari,
termasuk yang dimulai dengan hubungan sosial dengan manusia, terutama dalam
urusan ekonomi.
Meminjam dalam perekonomian adalah hal yang biasa dilakukan oleh para tokoh
ekonomi. Namun, Islam tidak menganjurkan meminjam dalam bentuk makanan dan
minuman untuk membayar kebutuhan hidup dan jumlah pinjaman terlalu besar.
Sedangkan pinjaman yang berhubungan dengan aset modal komersial sangat
disarankan, dengan catatan bahwa dana yang dimiliki oleh aghniya memiliki nilai
pendapatan yang lebih tinggi. Menurut kejadian ini pemerintah akhirnya pemerintah
membentuk lembaga formal pegadaian.
Perum Pegadaian melihat mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam,
alhasil menciptakan produk gadai berdasarkan asas-asas hukum syariah, yang
memungkinkan masyarakat memperoleh beberapa manfaat, yaitu cepat, efektif, dan
terjamin. Produk-produk diatas tersebut adalah produk gadai syariah. Perusahaan gadi
umum merupakan satu-satunya badan niaga di Indonesia yang secara sah telah
memperoleh kegiatan lembaga keuangan berupa penyaluran dana kepada masyarakat
berlandaskan hukum gadai KUH Perdata pasal 1150. Tugas pokoknya yaitu
memberikan pinjaman kepada masyarakat berlandaskan undang-undang gadai (Heri
Sudarsono, 2004:156). Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan tercatat pegadaian tahun 2000 mengatur lebih lanjut undang-undang
tersebut. Gadai syariah adalah fenomena ekonomi baru yang lahir sejak UU No. 7 tahun
1992. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 . Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah. Komisi Nasional Hukum Syariah mengeluarkan fatwa

4
Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Kegiatan gadai syariah baru ini menciptakan sistem
hukum baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Fenomena ini didasari oleh
terciptanya kesepakatan-kesepakatan yang belum tercantum pada sistem hukum di
Indonesia seperti contoh yaitu ar-rahn. Sistem ar-rahn bermula dari sistem hukum Islam
yang tertulis dalam kitab-kitab fiqih baik klasik maupun modern kemudian di
implementasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Gadai Dalam Hukum Islam dan Konsep Gadai Secara Syariah
?
2. Bagaimana Landasan Hukum Gadai Dalam Syariah?
3. Apa Saja Rukun dan Syarat-Syarat Gadai Syari’ah?
4. Apa Saja Hakikat dan Fungsi Gadai Syariah (rahn) ?
5. Bagaimana Pemanfaatan dan Penjualan Barang Gadai?
6. Bagaimana Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai?
7. Barang Apa Saja Yang Boleh Digadaikan?
8. Bagaimana Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai ?
9. Bagaimana Proses Berakhirnya Gadai?
10. Bagaimana Implementasi Penerapan Gadai Terhadap Sawah Desa Dadapayam,
Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang?
11. Bagaimana Konsep Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah.

5
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Gadai Dalam Hukum Islam dan Konsep Gadai Secara
Syariah.
2. Untuk Mengetahui Landasan Hukum Gadai Dalam Syariah.
3. Untuk Mengetahui Rukun Dan Syarat-Syarat Gadai Syari’ah.
4. Untuk Mengetahui Hakikat Dan Fungsi Gadai Syariah (Rahn).
5. Untuk Mengetahui Pemanfaatan dan Penjualan Barang Gadai.
6. Untuk Mengetahui Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai.
7. Untuk Mengetahui Barang Yang Boleh Digadaikan.
8. Untuk Mengetahui Perihal Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai.
9. Untuk Mengetahui Proses Berakhirnya Gadai.
10. Untuk Mengetahui Penerapan Gadai Terhadap Sawah Desa Dadapayam,
Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang.
11. Untuk Mengetahui Konsep Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah.

6
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Gadai Dalam Hukum Islam Dan Konsep Gadai Secara Syariah
Secara etimologi dalam kaidah bahasa Arab, kata rahn bermakna gadai yang berasal
dari kata al-tsubutu yang bermakna tetap dan al-dawamu yang bemakna terus menerus
atau berkesinambungan.1 Secara terminologi, ilmu fikih mengartikan gadai atau rahn
sebagai perbuatan mengamankan atau menyimpan harta milik si peminjam dalam kurun
waktu tertentu (sementara) sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan oleh
2
orang yang meminjamkan (berpiutang). Hal ini bermakna, bahwa barang jaminan
yang di simpankan pada orang yang memberikan hutang tersebut dapat ditarik kembali
setelah pihak yang berhutang melunasi hutangnya pada masa tertentu sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
Zainuddin Ali mengungkapkan pengertian gadai atau rahn menurut para ahli hukum
Islam sebagai berikut : 3
a) Menurut Ulama Syafi’iyah Rahn adalah menjadikan suatu barang yang biasa dijual
sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup
membayar utangnya.
b) Ulama Hanabilah Mendefinisikan Rahn adalah suatu benda yang dijadikan
kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak
sanggup membayar utangnya.
c) Ulama Malikiyah mengungkapkan Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta
(Mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang
yang tetap (mengikat).
d) Menurut Ahmad Azhar Basyir Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang
sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut
pandangan syara' sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya
tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
e) Menurut Muhammad Syafi'i Antonio Rahn adalah menahan salah satu yakni harta
milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman

1
Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 76.
2
Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi Al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis, ke 1. (Jakarta: Salemba Diniyah,
2002), 123.
3
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Praktik (Jakarta: Bulan Gema insani Press, 2001), 41.

7
(marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak penerima gadai atau yang menahan gadai (murtahin) memperoleh
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Berdasarkan definisi diatas yang telah dikemukakan oleh para ahli Hukum Islam,
dapat dikatakan bahwa yang di maksud gadai atau rahn adalah menahan barang jaminan
yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan hutang, dan barang yang
diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin)
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari
barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang
pada kurun waktu yang telah ditentukan.

Ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan. Tetapi ada
juga beberapa golongan ulama yang mengharamkan praktik gadai, khususnya dalam
4
perbankan syariah. Alasan pengharaman gadai di antaranya yaitu: Pertama, karena
dianggap telah terjadi multi akad atau penggabungan dua akad menjadi satu akad yang
dilarang syariah, yaitu akad ijarah (biaya simpan). dan akad gadai ( akad qardh).
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, bahwasanya Nabi muhammad SAW telah
melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR Ahmad,hadis sahih).

Kedua, karena dianggap telah terjadi riba meskipun disebut dengan istilah “biaya
simpan” atas barang gadai dalam akad qardh (utang). Padahal qardh yang menarik
manfaat, baik berupa uang, hadiah barang, atau manfaat lainnya adalah riba dan
hukumnya haram. Rasulullah SAW bersabda,”Jika seseorang memberi pinjaman
(qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari).

Ketiga, karena dianggap telah terjadi kekeliruan pada pembebanan biaya simpan.
Dalam kasus ini, dikarenakan orang yang menerima gadai atau murtahin yang memiliki
kepentingan terhadap barang gadai sebagai jaminan atas utang yang diberikannya,
maka seharusnya biaya simpan menjadi kewajiban murtahin (orang yang menerima
gadai), jadi bukan kewajiban rahin (nasabah). Rasulullah SAW brsabda, ”Jika hewan
tunggangan digadaikan, maka Murtahin harus menanggung makanannya, dan (jika)
susu hewan itu diminum, maka atas yang meminum harus menanggung biayanya.”

4
Hanna Masawayh Qatrunnada, “GADAI DALAM PERSPEKTIF KUHPERDATA DAN HUKUM ISLAM Syariah
Merupakan Ajaran Islam Tentang Hukum Islam Atau Peraturan Yang Harus Dilaksanakan Dan / Atau
Ditinggalkan Oleh” 08 (2018).

8
(HR Ahmad, Al Musnad, 2/472). Meskipun sebagian para ulama menentang, pada
kesimpulannya hukum ar-rahn (gadai) tetap diperbolehkan, sebab sebagian jumhur
ulama telah memperbolehkannya, dan tidak mungkin para ulama bersepakat untuk
membuat suatu hukum yang bertentangan dengan aturan ajaran Islam. Apalagi jika
dengan adanya gadai pada umumnya dapat memberikan pertolongan dan kemudahan
bagi masyarakat.

B. Landasan Hukum Gadai Dalam Syariah


Dasar hukum gadai dalam Islam berasal dari Al-Qur’an dan Hadis yaitu sebagai
berikut:
a) Al Qur’an: Surat Al-Baqarah ayat 283:

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS al-Baqarah ayat 283)”

Berdasarkan ayat di atas, sudah jelas bahwasanya gadai merupakan suatu yang
diperbolehkan dalam Islam sebagai bagian dari muamalah. Bahkan masalah gadai
dipertegas dengan adanya amalan Rasullulah SAW, dimana beliau melakukan praktik
gadai. Hal tersebut sebagaimana dikisahkan Ummul mukminin Aisyah R.A. dalam
sebuah hadis:

9
b) Hadis

Artinya:“Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang


Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi.” 5
Dalam fikih klasik, para ulama fikih telah menyepakati diperbolehkannya akan
adanya praktik gadai, dengan catatan dalam pelaksanaannya tidak terdapat
perkara-perkara yang dilarang oleh syariat islam, seperti adanya penipuan atau
bahkan praktik riba. Pada zaman Rasulullah, muamalah atau kegiatan gadai sering
dilakukan, diantaranya adalah ada seorang sahabat yang menggadaikan
kambingnya, kemudian ada sahabat yang bertanya kepada Rasululah SAW terkait
boleh tidaknya jika susu kambingnya diperah. Nabi mengizinkan jika untuk
menutupi biaya pemeliharaannya. Hal tersebut bermakna bahwa bermuamalah atau
melakukan kegiatan gadai boleh mengambil keuntungan dari barang yang
digadaikan jika digunakan untuk membayar biaya pemeliharaan. 6
c) Fatwa DSNMUI
Islam memperbolehkan adanya gadai karena sudah jelas ada dalil dan hadis
yang memperbolehkannya, selain itu juga dikarenakan bermanfaat pada masyarakat
umumnya. DSN sendiri juga telah mengeluarkan fatwa tentang gadai (ar-rahn),
yaitu fatwa Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002. 7 Fatwa ini membolehkan adanya gadai
dengan beberapa aturan ketentuan sebagaimana berikut: Pertama, Murtahin
(penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua
hutang Rahin (yang menyerahkan barang) sudah dilunasi, Marhun tetap menjadi
milik Rahin beserta manfaatnya. Kedua, pada prinsipnya, Murtahin tidak boleh
memanfaatkan marhun kecuali dengan izin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
Marhun dan pemanfaatan tersebut sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatan. Ketiga, Penyimpanan dan pemeliharaan Marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya
serta pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin. Keempat,

5
HR.Bukhari, Kitab Al- Buyu’dan Muslim, n.d., 1926.
6
Miftahul Ulum, “Fikih Legal Opinion (Reinterpretasi Hukum Gadai Dalam Perspektif Hukum Perdata Dan
Hukum Islam),” Syaikhuna: Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam 10, no. 1 (2019): 25,
http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/syaikhuna/article/download/3469/2551.
7
Ahmad Kamil and M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan Dan Ekonomi Syariah (Prenada
Media, 2007).

10
besarnya biaya penyimpanan dan pemeliharaan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman. Kelima, Apabila jatuh tempo pada penjualan
marhun, Murtahin harus memperingatkan pada Rahin untuk segera melunasi
hutangnya. Marhun akan dijual paksa apabila Rahin tetap tidak bisa melunasi
hutangnya. Hasil penjualan Marhun tersebut digunakan untuk melunasi hutang,
biaya penyimpanan dan pemeliharaan yang belum dibayar serta biayapenjualan.

C. Rukun Dan Syarat-Syarat Gadai Syari’ah


Menurut jumhur ulama rukun rahn itu ada lima. Yaitu: 8
a) Sigat ( Lafal ijab qabul)
b) Rahin (orang yang menggadaikan)
c) Murtahin (orang yang menerima gadai)
d) Marhun (objek gadai atau barang yang dijadikan jaminan gadai)
e) Marhun bih (hutang)

Para ulama fikih menetapkan bahwa syarat-syarat gadai Syariah (rahn) adalah
sesuai dengan rukun gadai (rahn) itu sendiri, diantaranya yaitu: 9

a) Para pihak yang berakad dalam transaksi gadai, baik murtahin ataupun rahin adalah
wajib cakap dalam bertindak menurut hukum (ahliyah). Tafsir dari cakap bertindak
menurut hukum, dalam pandangan jumhur ulama, adalah orang yang berakal sehat
dan sudah baligh. Sebaliknya menurut ulama madzhaf Hanafi, kedua belah pihak
yang berakad hanya cukup berakal sehat saja, dan tidak diwajibkan baligh. Dengan
demikian, menurut mereka, anak kecil yang belum baligh (mumayyis) dibolehkan
melakukan akad gadai, tetapi dengan syarat akad gadai yang dilakukan anak kecil
tersebut mendapat persetujuan dari wilayah setempat.
b) Adanya sighat (kesepakatan) atau ijab qabul. Menurut ulama madzhab Hanafi
bahwa dalam akad gadai tidak diperbolehkan mengaitkan dengan syarat tertentu
atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, hal ini disebabkan karena akad gadai
sama dengan akad jual beli.
c) Marhun bih (hutang). Hutang adalah wajib dibayar kembali oleh rahin (debitur)
kepada murtahin(kreditur). Hutang dapat dilunasi dan jaminam dapat dikembalikan

8
penerjemah H. Hotibul Umam Abu Hurairah, Abdurrahman Al-Jaziri. Al-Fiqg Ala Al-Madzahib Arba’ah
(Jakarta: Darul Ulum Press, 2000), 275–285.
9
penerjemah H. Hotibul Umam Abu Hurairah, Abdurrahman Al-Jaziri. Al-Fiqg Ala Al-Madzahib Arba’ah.

11
setelah hutang tersebut lunas, namun kadar hutang harus jelas serta jumlahnya
dapat dihitung atau dikuantifikan.
d) Marhun, menurut ahli fiqih adalah barang yang dijadikan jaminan, diantaranya:
1) Jaminan itu bernilai harta dan dapat diperjual belikan
2) Jaminan itu tertentu dan jelas
3) Jaminan itu milik sah orang yang berhutang
4) Jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain
5) Jaminan itu merupakan harta yang utuh dan tidak bertebaran di beberapa
tempat
6) Jaminan itu boleh diserahkan baik materi maupun manfaatnya.

Selain syarat-syarat di atas, para ulama fikih sepakat menegaskan bahwa akad
gadai syariah (rahn) itu dianggap sempurna secara hukum jika akad gadai atas barang
yang digadaikan tersebut sah secara hukum, dengan kata lain, jaminan sudah ditangan
kreditur, sedangkan debitur telah menerima uang yang dibutuhkan, jika jaminan itu
berwujud benda tidak bergerak maka tidak harus benda tersebut yang diberikan sebagai
jaminan tetapi cukup diberikan sertifikatnya saja.

Pada surat al-Baqarah ayat 283 Allah SWT menegaskan: farihanum maqbudhah
(barang agunan itu dikuasai kreditur, maka akad rahn mengikat pihak-pihak yang
berakad).Demikian halnya dengan penjelasan ahli fikih, bahwa al-qabd al-marhun
(barang agunan dipegang murtahin) merupakan syarat sempurnanya akad rahn.

D. Hakikat Dan Fungsi Gadai Syariah (Rahn)


Islam membawa ajaran serta pemahaman yang membentuk pandangan hidup
tertentu dan garis hukum yang global karenanya guna menjawab setiap masalah yang
timbul, dan juga peran hukum Islam dalam konteks kekinian diperlukan. Kerumitan
masalah umat seiring dengan berkembangnya zaman dan berjalannya waktu membuat
hukum Islam harus menampakkan sifat fleksibelitas dan elastisitas guna memberi
manfaat terbaik, serta dapat memberikan kemaslahatan kepada umat Islam khususnya
dan manusia pada umumnya tanpa meninggalkan prinsip yang ditetapkan oleh syariat
Islam. 10

10
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011), 30.

12
Mendasarkan kemaslahatan itu, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup
saling tolong menolong, yang kaya menolong yang miskin. Bentuk saling tolong
menolong ini, dapat berupa pemberian tanpa ada pengembalian (berfungsi sosial),
seperti zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS), atau dapat berupa pinjaman yang harus
dikembalikan kepada pemberi pimjaman, minimal pokok pimjaman dikembalikan.. 11
Dalam Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 283 dijelaskan bahwa gadai (rahn) pada
hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah, dimana sikap amanah
dan sikap tolong menolong sangat ditonjolkan. Begitu juga diriwayatkan dalam Hadits
Rasulullah SAW.Dari Ummul Mu`minin Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah disana nampak sikap tolong menolong antara Rasulullah SAW dengan orang
Yahudi saat Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi
tersebut.
Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi gadai dalam islam adalah semata-mata
untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk
marhun sebagai jaminannya, dan bukan untuk kepentingan komersil dengan mengambil
keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.

E. Pemanfaatan Dan Penjualan Barang Gadai


RasulullahMuhammad Saw yang menandaskan sesungguhnya : ”..... pemilikan
gadai mempunyai hak dari seluruh hasil barang gadai dan ia juga akan tetap konsekuen
atas seluruh anggaran barang gadai itu. (Hadits Riwayat al-Syafi‟i dan al-Daruqutni).
Berlandaskan hadits tersebut, ulama fikih menjelaskan sesungguhnya seluruh bentuk
biaya pemeliharaan barang gadai menjadi konsekuen debitur (pemilik barang jaminan).
Kecuali ulama Hanabilah, sebagian besar ulama berpendapat sesungguhnya pemilik
barang jaminan tidak boleh menggunakan barang jamnin itu sebab barang tersebut
bukan sepenuhnya haknya. Hak pemilik barang jaminan berkenaan barang tersebut
hanya saja digunakan untuk jaminan atas piutang yang di alokasikan, jika ia berhutang
terhadap debitur (tidak sanggup melunasi hutangnya), jadi ia dapat memasarkan barang
tersebut untuk membayar hutangnya. Namun , apabila ada kelebihan dalam pemasaran,
maka harus dipulangkan kepada pemiliknya. Sebagai pula, apabila debitur
memperbolehkan terjadap pemilik agunan untuk menggunakan barang agunan, alhasil

11
Ibid., 31.

13
beberapa ulama Hanafiyah mengizinkannya, namun beberapa yang lain (Syafi‟i,
Hambali, dan Maliki) membendung. 12

Jumhur ulama, melainkan mazhab Hanbali bersetuju sesungguhnya barang yang


tengah digadaikan tidak boleh digunakan oleh pemilik barang melainkan dengan izin
dari pemilik barang. Situasi tersebut asal mulanya lantaran pemilik barang tidak
memegang, apalagi barang tersebut hanya semata-mata terpercaya, alhasil tidak
mempunyai hak untuk menggunakannya. Hal tersebut dilandasi oleh sabda Nabi
Muhammad saw : “Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh
orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya.
Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang
menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang
naik dan minum, ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR Jemaah kecuali
Muslim dan NasaiBukhari). 13

Jika pemilik barang telah menggunakannya dan memasarkan atau membeli tanpa
izin pemegangnya, alhasil menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali semua pemasaran
gagal dan tidak valid. Akan halnya menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, jual beli
yang valid berdasarkan hukumnya pemgang barang, ketika pemegang barang
bersepakat, alhasil jual beli yakni sah, apabila tidak maka tidak sah. Buah terakhir inilah
(Imam Hanafi dan Imam Malik) yang kokoh berdasarkan hadist yang dikemukakan
oleh Imam Bukhari, sebenarnya seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi ra sudah di
wasiati Rasulullah saw satu dinar, membeli dua ekor kambing, dan sebelum kembali
kepada Nabi, beliau memasarkan seekor kambing dengan harga satu dinar, kemudian
berkunjung kepadanya dengan membawa seekor kambing dan seketika
Nabi saw mengetahuinya, beliau tidak membelit-belitkan, apalagi Nabi saw bersepakat
dan mendo’akan hidayah untuk Urwah. Akan halnya kemudaratan atau laba yang
bertambah dari barang yang sedang digadaikan atau sedang di tangan pemilik benda,
alhasil seluruhnya dipulangkan kepada penggadai (pemegang barang) yang asli. Situasi
ini dilandasi oleh sabda Nabi Muhammad saw : Abu Hurairah r.a mengatakan
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang yang digadaikan itu tidak boleh
ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung

12
Ulum, “Fikih Legal Opinion (Reinterpretasi Hukum Gadai Dalam Perspektif Hukum Perdata Dan Hukum
Islam).”
13
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 159.

14
jawabnyalah bila ada kerugian (atau biaya), (HR Syafi’i dan
Daruqutni). 14

F. Hak Rahin Dan Kewajiban Murtahin


Ada beberapa hak yang harus dipunyai oleh seorang pegadaian, antara lain yaitu
hak untuk memasarkan dan menjaminkan barang gadai, hak ganti rugi, hak pemilik
barang, hak didahulukan, dan hak meminta dan menampung hutang.

a) Hak untuk memasarkan atau mengeksekusi barang yang digadaikan. 15 Dalam Pasal
1155 KUH Perdata berbunyi bahwa: jika debitur atau pegadaian wanprestasi,
alhasil kreditur berwewenang memasarkan gadai untuk memperoleh kembali
pokok, bunga dan biaya-biaya dari hasil penjualan.
b) Hak untuk menghentikan barang gadai. Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata berbunyi
: “apabila pemilik barang gadai tidak menyelewangkan barang gadai, alhasil orang
yang berhutang tidak berhak untuk meminta pemulangan barang gadai tersebut,
sebelum si penghutang melunasi piutang pokok, serta biaya bunga dan utang yang
dibayarkan untuk menjamin gadai, dan semua biaya yang dikeluarkan untuk
menyelamatkan gadai”. Pasal ini mengatur bahwa selama debitur belum membayar
piutangnya, maka penerima gadai dapat menahan gadai.
c) Hak Kompensasi. Hak ini dekat kaitannya dengan piutang kedua sebagai halnya
disebutkan pada Pasal 1159 ayat (2) KUH Perdata: “Dalam kreditur mengeksekusi
gadai untuk melunasi utang pertama, kreditur dapat terlebih dahulu mengambil
sejumlah piutang pertama dari hasil lelang. Jumlah uang yang sama dijadikan
jaminan, dan apabila ada saldo, alhasil diserahkan kepada debitur. Jika bagian yang
tersisa tidak dipasrahkan kepada debitur, maka kreditur berhutang kepada debitur."
Dalam Pasal 1425 berbunyi bahwa: "apabila dua orang sama-sama berhutang,
alhasil berlangsunglah diantara mereka suatu pertemuan piutang, sebagaimana
piutang-piutang diantara kedua orang tersebut dimusnahkan." Berlandaskan
perjanjian tersebut, alhasil pemilik gadai bisa mengganti hutangnya yang kedua
dengan piutang tersebut (sisa pemasaran barang gadai) terhadap debitor.

14
Kasyful Qana, Al-Fiqhul Islami, n.d., 27.
15
Lex Privatum, “Lex Privatum , Vol.I/No.3/Juli/2013,” no. 3 (2013): 51–59.

15
d) Hak untuk memperoleh mengganti mudarat dari anggaran yang telah dialokasikan
sebagai melindugi barang. Pasal 1157 ayat (2) KUH Perdata menyebutkan bahwa
yang wajib diubah oleh si debitor yaitu anggaran-anggaran yang berfungsi dan
wajib yang sudah dialokasikan sebagai melindungi benda gadai. Selagi anggaran-
anggaran tersebut belum dikomisi, alhasil kreditor tidak diharuskan untuk
memulangkan benda gadai terhadap debitor. Di posisi ini kreditor berhak menahan
juga.
e) Hak untuk melelangkan dalam hal kebangkrutan debitor. Apabila debitor bangkrut,
alhasil kreditor pemilik barang gadai bisa melakukan wewenang-wewenangny,
seakan-akan tidak terjadinya kebangkruta. Dengan seperti itu wewenang kreditor
guna melaksanakan pengeksekusian barang jaminan berlengkasa dengan
berlangsungnya kebangkrutan debitor. Wewenang guna memasarkan benda gadai
wajib harus dilaksanakan selama tenggang 2 (dua) bulan selepas debitor diakui
gulung tikar, melainkan apabila jika jangka waktu diulur oleh hakim.
f) Hak preferensi. Kreditor pemilik gadai rnemiliki wewenang sebagai diutamakan
dalam membayar lunas hutangnya ketimbang para kreditor yang lain. Atas
perkenan hakim tetap meengakui barang gadai. Pemilik gadai bisa meminta supaya
gadai akan konsisten kepada pemilik gadai untuk total jumlah yang akan dipastikan
dalam ketentuan hingga sebanyak piutangnya serta bunga dan anggaran (Pasal 1156
ayat (1) KUHPerdata). Hal tersebut berarti benda gadai dipesan oleh kreditor
dengan biaya yang layak anggapan hakim.
g) Hak untuk memasarkan barang gadai dengan bantuan hakim. Pelelangan barang
gadai guna mengatasi seluruh hutang bisa juga berlangsung apabila orang yang
berhutang meminta di depan hakim agar benda gadai tersebut dilelangkan
mengikuti tahap-tahap yang diputuskan oleh hakim guna membayar seluruh piutang
pokok bersama bunga dan anggaran. Situasi tersebut umumnya berlangsung apabila
baran gadai bebentuk barang benda unik.
h) Hak untuk menampung bunga hutang gadai. Wewenang tersebut berlandaskan
Pasal 1158 KUHPerdata yang memutuskan bahwa: "Pemilik gadai dari hutang yang
menciptakan bunga, berwewenang menampung bunga tersebut, dengan
pertanggungjawaban mempertimbangkan dengan bunga hutang yang wajib
dialokasikan kepadanya."
i) Hak untuk meminta hutang gadai. Wewenang ini dilaksanakan dengan sistem
pemberian kekuasaan yang tidak bisa dilepaskan lagi dari penyumbang gadai
16
kepada pemilik gadai guna meminta dan menampung pelunasan dari debitor yang
piutang-piutangnya digadaikan. Pemberian kekuasaan tersebut dicatatkan dalam
kesepakatan gadai. 16

Adapun kewajiban-kewajiban pemilik gadai sebagai berikut :


a) Kewajiban melaporkan kepada pemberi gadai apabila benda barang dilelangkan.
Pemberitaan dengan surat tercatat berfungsi sebagai pemberitaan yang valid (Pasal
1156 ayat (3) KUHPerdata)
b) Kewajiban menjaga barang gadai. Pertanggungjawaban menjaga barang gadai
tersebut bisa diputuskan dari Pasal 1157 ayat (1) dan Pasal 1159 ayat (1)
KUHPerdata. Dalam Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata diputuskan bahwa: “pemilik
gadai berkewajiban berkurangnya benda gadai, semata mata itu telah berlangsung
akibat kecerobohannya.” Sama dengan pemilik gadai juga tidak boleh
menyelewengkan barang gadai (Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata).
c) Kewajiban untuk mmebagikan perincian antara hasil pelelangan benda gadai
dengan jumlah besar hutang kepada orang yang memberi gadai.
d) Kewajiban untuk memulangkan benda gadai. Kewajiban tersebut bisa didapati dari
isi Pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata, yakni jika :
1) Kreditor telah menyelewengkan benda gadai.
2) Debitor telah membayar sepenuhnya, baik piutang pokok, bunga dan anggaran
piutangnya juga anggaran untuk melindungi benda gadai.
e) Kewajiban untuk mempertimbangkan hasil penuntutan bunga hutang gadai dengan
banyaknya bunga hutangnya kepada debitor.
f) Kewajiban untuk memulangkan sisa hasil penuntuan hutang gadai kepada pemberi
gadai.17

16
Diponegoro L A W Journal, “Diponegoro Law Journal” 5 (2016): 1–15.
17
Ibid.

17
G. Barang Yang Boleh Digadaikan
Rahn yang ditetapkan mengikuti asas syariah terbagi menjadi 2 macam: 18

Pertama, Rahn‘Iqar/Rasmi(rahnTakmini/RahnTasjily), yakni berupa gadai,


dimana benda yang digadaikan hanya dialihkan dari kepemegangannya, akan tetapi
bendanya sendiri tetap dipegang dan dimanfaatkan oleh pemberi gadai.

Kedua, Rahn Hiyazi, yakni bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat memiliki
kesamaan dengan konsepsi gadai baik dari segi hukum adat maupun segi hukum
positif. Jadi bertentangan dengan Rahn‘Iqar yang semata-mata melepaskan wewenang
kepemilikan barang, alhasil pada Rahn Hiyazi ini, bendanya pun dipegang sepenuhnya
oleh Kreditur. Begitu juga halnya dengan gadai berlandaskan hukum positif, benda
yang digadaikan dapat beranek macam jenisnya, baik benda mati atau benda hidup.
Dalam hal tersebut yang dapat digadaikan berbentuk barang yang bisa dipetik
faedahnya, alhasil orang yang menerima gadai bisa memetik faedah tersebut dengan
sanggup menanggung anggaran seluruh pemeliharaannya. Segenap sesuatu yang dapat
dilelangkan, dapat dijadikan barang jaminan, sedangkan barang yang tidak dapat
dilelangkan alhasil tidak dapat digadaikan. Situasi tersebut disebabkan maksud
menggadaikan sesuatu yaitu guna pertanggungan jika tidak bisa membayar semua
piutangnya, sehingga jika orang yang menggadaikan tidak dapat membayar seluruh
piutangnya, alhasil benda tersebut dapat dilelangkan guna menutup semua piutangnya,
dan hal ini akan tepenuhi dengan benda yang dapat dilelangkan. Oleh sebab itu,
tidak boleh menjadikan anaknya untuk barang jaminan, karena anak dilarang
diperjualbelikan. Begitu juga sabda Nabi SAW : “Ada tiga kalangan yang dibantah
oleh Allah pada hari kiamat.” Diantara tiga golongan tersebut, Nabi SAW menturkan
: Dan (Allah akan membantah) seorang yang melelangkan (orang) yang
merdeka [3] dan menggunakan hasil penjualannya. (HR. Bukhari 4/447 no. 2270)
Dilarang juga menggadaikan hewan peliharaan yang haram hukumnya seperti anjing
dan babi, sebab anjing dan babi dilarang diperjualbelikan. Hal tersebut dilandasi oleh
sebuah hadis Nabi SAW : “Sesungguhnya Allah andaikan mengharamkan sesuatu,
jelas mengharamkan harga (jual beli)nya”. (Hadis tersebut dishahihkan al-Albani
dalam Ghayatul Maram). Selain itu haram hukumnya menggadaikan benda wakaf,
sebab dilarang untuk dijual. Begitu juga hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar bahwa

18
Irma Devita, “Jenis-Jenis Gadai,” last modified 2012, http://irmadevita.com/tag/gadai.

18
Nabi SAW bersabda : “dilarang menjual barang asal (yang diwakafkan) tidak boleh
dihibahkan dan diwariskan”. 19

Dari gambaran-gambaran di atas, bisa kita pahami bahwa setiap benda dapat
dilelangkan alhasil dapat dijadikan benda gadai. Berhubungan dengan pemilik benda
gadai, dasarnya yang berwewenang memegang benda gadai yaitu yang memberikan
pinjaman kepada orang yang menggadaikan barang Hal ini wajib dilandasi rasa saling
amanah, akan tetapi seumpama salah satu dari mereka merasa tidak yakin dan tidak
ikhlas bendanya dimiliki oleh orang yang meminjami sesuatu, alhasil benda tersebut
dimiliki oleh pihak ketiga yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak.

H. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai


Menurut ulama Syafi`iyyah dan Hanabillah, jika kecacatan atau kehilangan suatu
barang karena kecelakaan (tanpa disengaja), maka murtahin (penerima gadai) tidak
menanggung resiko apapun. Akan tetapi Mazhab Hanafi berpandangan lain, yaitu sejak
tanggal terjadinya kecacatan atau kehilangan barang dari pegadaian kepada Mutahin,
Mutahin akan menanggung resiko harga barang yang paling murah. Pada saat yang
sama, apabila gadai cacat atau hilang karena kelalaian si pemberi gadai, alhasil tidak
ada perselisihan dalam hal ini. Semua ulama sependapat bahwa Murtahin mengambil
resiko untuk membenahi yang cacat atau mengganti yang hilang. 20

I. Proses Berakhirnya Gadai


Menurut Frieda Husni Hasbullah, berakhirnya gadai disebabkan oleh :

a) Hak gadai hapus dengan hapusnya hubungan pokok yaitu kesepakatan utang
piutang sehubungan sudah dibayarnya utang pokok ditambah juga bunga dan
anggaran lainnya seperti contoh anggaran penjagaan barang gadai.
b) Apabila barang gadai sudah tidak lagi berada dalam kewenangan pemilik gadai.
Sedangkan berdasarkan Hadi Suprapto, hak gadai berakhir ketika berlangsungnya
hal-hal berikut : 21

19
Tirmidzi 1375 Muslim 1632, HR. Bukhari 2737, n.d.
20
Beamin Santander, TANGGUNGJAWAB PEGADAIAN SYARIAH ATAS HILANG ATAU RUSAKNYA BARANG
JAMINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Pada Pegadaian Syariah Cabang Radin Intan), EVI
LUTFIANA, vol. 87, 2017.
21
Hartono Hadi Suprapto, PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA, Ke 4. (Op.Cit, n.d.).

19
1. Jika benda gadai keluar dari wewenang pemilik gadai. 22
2. Jika kesepakatan pokok hapus, yaitu saat utang piutang tersebut telah dibayar.
3. Jika benda gadai hilang maka diserahkan secara bebas oleh pemilik pinjaman.
4. Pemilik gadai dikarenakan terjadinya sesuatu maka menjadi pemegang atas
barang gadai tersebut.

J. Studi Kasus penerapan gadai sawah terhadap Desa Dadapayam, Kecamatan


Suruh, Kabupaten Semarang
Implementasi penerapan gadai sawah terhadap Desa Dadapayam, Kecamatan
Suruh, Kabupaten Semarang harus lebih banyak pertimbangan secara jeli terhadap
persoalan yang terjadi di Desa Dadapayam ini. Dari data yang sudah dipaparkan oleh
peneliti maka dapat dianalisis penerapan gadai sawah di Desa Dadapayam ditinjau dari
hukum syariah Islam sebagai berikut :

Dilihat dari sudut pandang Akad dan Hukumnya jika di pandang dari golongan yang
menyelenggarakan akad, alhasil praktik gadai sawah yang berlangsung pada Desa
Dadapayam sudah dilihat halal dan jelas berdasarkan perspektif hukum syariah.
Meskipun demikian ijaq qabul tidak memakai istilah-istilah atau persetujuan tertulis
yang sifatnya mewajibkan antara kedua pihak, namun kedua kubu sudah mengerti
bahwa kedu pihak sudah melaksanakan akad persetujuan. Penggadai sebagai golongan
yang selaku pihak yang menjaminkan sawah terhadap kreditur sudah mengamalkan
syarat-syarat yang sudah tercantum dalam aturan hukum Islam, dimana penggadai
adalah orang yang telah bijak ketika dalam menjalankan tindakan undang-undang,
sudah termasuk orang yang , sudah mukalaf, tidak gangguan jiwa dan sanggup untuk
melasanakan akad tanpa wajib mengutuskan kepada orang lain. Akad dibilang tidak
makbul jika penggadai termasuk orang yang mengalami gangguan jiwa atau orang yang
belum apabila rahin merupakan orang gila ataupun orang yang orang yang belum bisa
membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dilihat dari sudut pandang kreditur
murtahin sebagai golongan yang melakukan kesepakatan dalam implementasi gadai
sawah pada Desa Dadapayam sudah cocok dan benar dari sudut pandang hukum
syariah, sebab kreditur sebagai subjek yang akan melaksanakan perundingan gadai
sawah dan menjadi pemeroleh sawah akan digadaikan oleh penggadai sudah

22
diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), pasal 1152 ayat 3.

20
mengamalkan syarat yang sudah tertera didalam hukum syariah, dimana kreditur adalah
seseorang yang bijak dalam menjalankan perilaku sesuai undang-undang, kedua belah
pihak tersebut juga melaksanaknnya dan tidak ada pak melakukannya tanpa ada
tuntutan. Jika dilihat sudut pandang dari rukun gadai yang berbentuk utang, utang yang
menjadi pemicu terjadinya perundingan gadai ini juga sudah pasti sah dan jelas sesuai
peraturan syariah. Fenomena tersebut disebabkan utang itu bisa dihitung nominalnya.
Bukan karena utang yang sifatnya tidak jelas atau utang yang tidak bisa diketahui
nominalnya. Dari sudut pandang implementasi gadai yang terurai menjadi tiga ragam
gadai sawah yang terjadi di Desa Dadapayam bagi pihak-pihak yang bersangkutan ialah
alat untuk saling membantu antara saudara atau tetangga-tetangganya yang sedang
berada paada fase masalah biaya. Fenoman ini menjadikan pihak yang bersangkutan
merasa ikhlas membantu dan tidak ada faktor tuntutan dari dua pihak tersebut. Kreditur
yang sebagai pemeroleh gadai tidak ada maksut paksaan terhadap penggadai guna lekas
membayar semua utangnya. Dilihat dari sudut pandang tiga ragam gadai yang ada di
Desa Dadapayam in, menurut rukun dan syarat gadai sudah terwujudkan dan makbul
menurut perspektif hukum syariah, namun jika dilihat dari implementasiya timbul
problem tentang hasil penggunaan sawah yang wajibnya milik penggadai berpindah ke
kreditur sesudah terwujudnya akad. Di dalam perspektif hukum syariah sebenarnya
yang mempunyai wewenang atas penyelenggaraan beserta mengambil keuntungan dari
sawah tersebut yaitu pengadai. Jika sawah yang akan menjadi barang gadai dilarang
tatkala kreditur tidak mempunyai wewenang guna memperoleh keuntungan barang itu
, alhasil yang akan terjadi adalah menimbulkan kecacatan dan tidak mewujudkan
faedah. Oleh karena itu cara berfikir orang-orang agar menjauhkan dari mubazir, sesuai
persetujuan diawal akad, terkadang kreditur memperoleh persetujuan dari penggadai
guna menggunakan sawah sebagai barang gadai, maka dibolehkan dengan ketetapan
harus bagi hasil pertanian dengan muzara’ah. Penggunaan sawah sebagai barang gadai
ada juga yang dikerjakan oleh penggadai, kreditur maupun petani sesuai bentuk dari
gadai sawah yang ada tiga ragam serta dalam implementasi penggunaan sawah sama
halnya termuat akad muzara’ah yang melekat di akad gadai. Fenomina ini telah menjadi
perihal yang sudah maklum di masyarakat desa ini, bahwa sesudah akad Hal ini sudah
menjadi hal yang wajar di masyarakat Desa Dadapayam, bahwa setelah akad dilakukan
yang mempunyai wewenang memfungsikan sawah yaitu para pihak yang sudah
disebutkan diatas tadi sesuai wujud gadai yang ada kurun waktu paling sedikit dua
tahun. Jika dalam waktu yang sudah disebutkan tadi penggadai belum melunasi
21
utangnya, maka sawah itu akan tetap dalam pemilikan penggadai belum melunasi
hutangnya, maka sawah itu akan tetap dalam pemilikan kreditur hingga penggadai
membayar semua utangnya. Secara totalitas dalam implementasi gadai sawa di desa ini,
dari tiga macam bentuk gadai yang sama-sama menggabungkan akad muzara’ah
kedalam akad gadai. Maka sesudah mengerti bukti yang sudah terjadi diatas, bisa
dimengerti bahwa implementasi gadai sawah yang terpecah menjadi tiga ragam di Desa
Dadapayam memakai metode satu akad pada dua perundingan disebabkan karena pada
akad gadai tercantum akad bagi hasil pertanian maka akad bagi hasil pertanian itu tidak
independen tetapi sudah menjadi satu paket dalam akad gadai yang dilakukan awal
kesepakatan. Jadi akad muzara’ah berhubungan dengan akad gadai. Praktik dua
negoisasi dalam satu akad tidak boleh menurut hukum yang sudah tercatat dalam
Islam.23

Analisis :

1. Bersumber pemaparan yang sudah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa


implementasi gadai sawah di Desa Dadapayam berpolemik dengan ketentuan
hukum syariah. Sawah yang sesungguhnya menjadi barang gadai dilarang
digunakan, malah oleh pihak kreditur dioperasikan juga memperoleh hasil dari
sawah itu. Beda lagi pada saat barang gadai tersebut berwujud hewan ternak
yang memerlukan anggaran, maka kreditur mempunyai wewenang kompensasi
atas anggaran pemeliharaanya. Persoalan yang lain terletak pada implementasi
gadai sawah yang mengaitkan dengan akad muzara’ah dengan akad gadai maka
terbentuk satu akad didalam dua transaksi.
2. Dilihat dari syarat dan rukun gadai, sehingga akad yang didalam negoisasi gadai
sawah di desa ini telah halal dan sudah jelas sesuai perspektif hukum syariah,
sebab sudah menunaikan faktor halalnya gadai yakni adanya aqid (orang yang
berakad) sudah menunaikan faktor sahnya gaai yakni ijab qabul antara
penggadai dan kreditur, marhun bih atau utang, marhun sebagai barang gadai,
ijab qabul atau sighat akad antara penggadai dan kreditur. Rukun dan syarat
gadai yang berlangsung di masyarakat Desa Dadapayam bisa diperkenankan
sebab pihak-pihak mempunyai kebijakan dalam menjalankan langkah hukum
secara ikhlas. Sighat akad yang difungsikan sudah menjalankan rukun serta

23
IMAMMIL MUTTAQIN, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Desa Dadapayam Kecamatan Suruh” (2015): 5.

22
syarat yang sudah tercantum didalam perspektif hukum syariah, wajib ada
koherensi antara ijab dan qabul pada transaksi.
3. Bermuamalah. Ditinjau dari sudut pandng marhun sudah mengamalkan syarat
dan rukunnya, sebab barang itu termasuk barang yang berbobot dan bukan
punya orang asung yang bisa dipasrahkan saat akad sudah selesai. Sementara
itu, marhun bih atau utang yang menjadi penyebab terjadinya gadai juga telah
berimbang, sebab utang tetap dan telah di didapati kejelasan utang dan
nominalnya.
4. Dilihat dari implementasi praktik gadao sawa di Desa Dadapayam, sawah
tersebut yang sesungguhnya menjadi barang gadai malah digunakan dan
memperoleh keuntungan, juga dalam implementasinya dihubungkan dengan
metode akad muzara’ah, hal ini menyebabkan ditemukan metode muzara’ah
yang terkait bersama akad gadai yang dilaksanakan diawal kesepakatan gadai
sawah. Alhasil terwujudnya satu akad dalam dua transaksi, fenomena ini
dilarang berasaskan hadis Nabi SAW yang sudah menerangkan bahwa tidak
boleh adanya praktik satu akad dua transaksi terkait dengan hal muamalah.

K. Konsep Pegadaian Konvesional dan Pegadaian Syariah


Pegadaian adalah fasilitas atau tempat dimana penerima uang dan pemilik uang
menggunakan barang pribadinya sebagai jaminan. Jargon pegadaian pada waktu ini
yaitu “mengatasi masalah tanpa masalah” sebab ketika meminjam dari bank,
prosedurnya akan lebih lama sebab lebih sulit untuk mengajukan kredit. Dalam
prosedur gadai, penilai terlebih dahulu mengevaluasi gadai untuk menentukan nilai
gadai. 24

Sedangkan yang di maksud gadai adalah perbuatan mengamankan atau menyimpan


harta milik si peminjam dalam kurun waktu tertentu (sementara) sebagai jaminan atas
pinjaman yang telah diberikan oleh orang yang meminjamkan (berpiutang). Didalam
sistem Islam, gadai membiarkan bunga dan balas jasa, serta lebih mengarah kepada
Yadh Dhamanah dan qardul-hasan (kebajikan). Yadh Dhamanah yaitu akad titipan

24
Zuhriati Khalid, “Pelaksanaan Gadai Konvensional Dan Gadai Syariah (Studi Pada Pt.Pegadaian Cabang
Gaharu Medan Dan Pt.Pegadaian Syariah Cabang Setia Budi Medan),” Premise Law Jurnal 14 (2018): 6.

23
yang dimana penerima titipan dapat memfungsikan harta titipan. Namun demikian, ,
rahin menjaminkan benda-benda berharga sebagai jaminan pinjaman.25

1. Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (pegadaian umum) adalah suatu wewenang yang
diperbolehkan oleh orang yang memiliki hutang benda bergerak. Barang
bergerak dialihkan kepada debitur oleh debitur atau orang lain atas nama
debitur, serta debitur melimpahkan kewenangan kepada debitur, jika debitur
tidak bisa membayar semua hutangnya yang sudah memasuki jatuh tempo,
maka benda bergerak yang dialihkan itu digunakan untuk melunasinya.
Implementasi gadai konvensional hanya ada satu akad kredit dalam hukum adat
karena akad gadai merupakan akad tambahan yang dimana kedudukan akad
pokok lebih tinggi dari akad tambahan.26

2. Pegadaian Syariah
Pegadaian Syariah adalah salah satu bagian layanan dasar syariah yang
dilaksanakan oleh Perusahaan Terbuka Pegadaian kecuali unit layanan
konvensional. Penyusunan anggota layanan dasar syariah berasaskan pada
perjanjian musyarakah prosedur bagi hasil atas akad musyarakah dengan
prosedur bagi hasil antara Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan Perum
Pegadaian dengan target memahami nasabah Bank Muamalat Indonesia (BMI )
walaupun nasabah Perum Pegadaian yang ingin memanfaatkan jasa pegadaian
berasaskan prinsip. 27

Pegadaian konvensional (umum) dan pegadaian syariah dianggap sama tanpa ada
perbedaan yang berarti, akan tetapi keduanya membutuhkan proses yang panjang dan
perjuangan yang bertahap untuk meyakinkan semua masyarakat, khususnya
masyarakat Islam, untuk lebih banyak menggunakan produk-produk syariah serta lebih
proporsional dan memprioritaskan tujuan masa depan dunia akhirat dalam bermualah.
Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam sudah menetapkan kaidah-kaidah yang

25
Andi Irfan, “Suatu Tinjauan Islam: Praktik ‘Boroh’ (Pegadaian) (Mengatasi Masalah Dengan Masalah),” Jurnal
Akuntansi Universitas Jember 10, no. 2 (2015): 48, https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JAUJ/article/view/1251.
26
Ibid.
27
Hukum Perusahaan Indonesia and Jakarta Pradnya Paramita, “Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia, Jakarta
Pradnya Paramita, 1989, Halaman 106,” no. April 1901 (1945),
http://repository.unissula.ac.id/12960/5/babI.pdf .

24
berkaitan dengan telah mengatur hukum hukum yang berhubungan dengan hubungan
sosial.28

Dalam membicarakan perihal pegadaian syariah, biasanya pegadaian syariah


mengimplementasikan dua jenis akad sebagai berikut :

1. Akad Rahn bertujuan untuk menyimpan menahan harta peminjam sebagai


jaminan pinjaman yang diterima, dan kelompok yang menyimpan akan
mendapatkan uang muka guna memulihkan semua atau beberapa dari
hutangnya memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya. Sesuai perjanjian, pegadaian memegang benda hidup guna
uang muka hutang dari nasabah.
2. Akad Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan ini dimungkinkan bagi Pegadaian
untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang
telah melakukan akad.

Produk Rahn sendiri menggunakan akad ijarah dan akad rahn dalam
implementasinya. Akad rahn dan akad ijara adalah apabila kita sedang menggadaikan
benda di pegadaian syariah maka kedua akad tersebut tidak dapat dipisahkan.

Akad Ijarah untuk produk rahn pegadaian syariah adalah persepsi yang difungsikan
sebagai memperoleh profit. Akad rahn merupakan semacam kontrak sosial (gotong
royong). Oleh karena itu, produk rahn memerlukan rancangan akad ijarah guna
memperoleh profit. akad yang sifatnya adalah akad yang bersifat sosial yaitu tolong-
menolong. Sehingga, Akad rahn dan akad ijarah merupakan produk, akad rahn sifanya
tidak menguntungkan sedangkan akad ijarah sifatnya menguntungkan.

Akad yang difungsikan guna membebankan anggaran perawatan atau penyimpanan


di pegadaian syariah adalah akad Ijarah sebab penyimpanan benda yang digadaikan
terkena biaya sewa tempat perawatan dan penyimpanan (tarif ijarah). Ketentuan
tersebut sudah jelas memaparkan bahwa anggaran perawatan dan penyimpanan (tarif
ijarah) tidak dapat ditetapkan berdasarkan nominal yang dgadaikan oleh pegadaian

28
FENI HARIYATI, “EFEKTIVITAS LAYANAN PEGADAIAN SYARIAH DIGITAL SERVICES (PSDS) DALAM
MENINGKATKAN JUMLAH NASABAH DI CABANG PEGADAIAN SYARIAH JELUTUNG” 3, no. 2017 (2020): 54–67,
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf.

25
syariah tersebut. Oleh karena itu pegadaian syariah menghindari praktek bungay yang
biasa digunakan di pegadaian versi konvesional.

Akad ijarah yang difungsikan dalam pegadaian syariah adalah mengalihkan hak
pakai atas barang dan/atau jasa dengan membayar sewa, dan selanjutnya tidak
mengalihkan kepemilikan barang itu sendiri. Melewati akad tersebut dapat memungut
uang sewa guna menyimpan benda bergerak yang dimiliki oleh nasabah yang sudah
menandatangani akad. Akad ijarah adalah pemakaian keuntungan atau jasa dengan
terkena anggaran imbalan. Pemilik menggadaikan manfaat disebut juga disebut muajir,
sedangkan nasabah (penyewa) sering disebut, dan sesuatu yang diperoleh
keuntungannya disebut juga ma’jur dengan terkena ongkos imbalan atau sering di sebut
sebagai murtahin.

Peran akad ijarah disini adalah sebagai meneruskan atau tidaknya melaksanakan
akad rahn, sebab apabila salah satu pihak tidak menyetujui akad ijarah, maka akad rahn
tidak dijalankan dan pegadaian tidak dapat melaksanakan sistem operasinya ranpa
ijarah. Maka dari itu terjadilah peralihan-peralihan status akad sebagai berikut :

1. Rahin berganti menjadi musta’jir, yakni berfungsi sebagai penyewa tempat guna
mengamankan benda garansi. Oleh karena itu, baik rahin maupun musta’jir
memiliki wewenan dan tanggung jawab Sehingga dengan demikian rahin sekaligus
musta’jir mempunyai hak dan kewajiban dari dua kedudukan yang sudah diatur
dalam akad ijarah
2. Murtahin berganti menjadi mua’jir, yakni berfungsi sebagai menyewakan tempat
kepada rahin guna mengurus marhun, dan mua’jir memiliki wewenang dan
kewajiban atas kedua kedudukan tersebut yang juga sudah diatur dalam akad ijarah.

Akad yang dilaksanakan sudah melaksanakn rukun dan syarat, dimana pada saat
nasabah menggadaikan benda, nasabah juga harus menandatangani bukti rahn, yang
meliputi akad rahn dan akad ijarah yang wajib kedua pihak sudah mengetahui.
Pegadaian Syariah tidak merebut laba dari akad rahn, namun akan dikenakan anggaran
administrasi yaitu anggaran peralatan dan anggaran tenaga kerja. Sementara itu, akad
ijarah nasabah wajib menebus anggaran ijarah kepada pegadaian syariah yang suda
disetujui oleh kedua pihak.

26
Adapun penetapan anggaran jasa titipan ditetapkan menurut nilai barang yang
diagunkan, dan selisih biaya ijarah yang dibebankan kepada nasabah atas barang yang
digadaikan dengan besaran pinjaman yang berbeda disebabkan karena pinjaman
pelanggan lebih rendah dari harga pinjaman tertinggi atau lebih rendah diskon ijarah
diberikan sebesar 92%-95% dari perkiraan nilai barang. Jadi sudah jelas perincian
anggaran ijarah tidak didasarkan pada besarnya pinjaman nasabah, sehingga penetapan
anggaran ijarah sudah sesuai menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 25/DSN-
MUI/III/2002 perihal rahn. 29

29
Risfiana Mayangsari, “Inovasi Produk Rahn Menggunakan Akad Ijarah Di Pegadaian Syariah,” Tahkim: Jurnal
Hukum Dan Syariah 15, no. 2 (2019): 255–264,
https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/THK/article/view/1065/pdf.

27
BAB III

PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari penjelasan tentang akad gadai dalam syariah maka kesimpulan yang bisa di
petik dari makalah ini yaitu :

1. Gadai atau rahn adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si
peminjam (rahin) sebagai jaminan hutang, dan barang yang diterima tersebut
bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh
jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang
gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang
pada kurun waktu yang telah ditentukan.
2. Sesungguhnya akad gadai hukumnya adalah mubah (bila dilakukan perpahala
dan bila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa) dalam perspektif Islam, sebagai
halnya akad-akad muamalah yang lain.
3. Rukun dan syarat yang wajib dipatuhi yaitu adanya dua orang yang melakukan
akad, adanya barang gadai, adanya ijab kabul beserta adanya utang dari kreditur
kepada penggadai.
4. Di dalam perspektif Islam, barang gadai tetap menjadi kepemilikan rahin
(penggadai) adapun kreditur semata-mata dibolehkan memanfaatkannya
apabila ia memelihara hewan gadaian atau dengan persetujuan penggadai.
5. Di dalam akad gadai maka kreditur dilarang mengambil bunga dari pinjaman
yang telah diberikan kepada penggadai, kreditur hanya berwewenang meminta
uang jasa yang difungsikan biaya pemeliharaan barang gadai.
6. Berakhirnya proses akad gadai yakni apabila utang piutang sudah ditelah
ditransaksikan dan benda gadai dipulangkan kepada pemegangnya (penggadai).
7. Dalam perbankan syari'ah akad gadai dapat menjadi pelengkap bagi akad jual
beli dengan sistem murabahah.
8. Pegadaian konvensional (umum) dan pegadaian syariah dianggap sama tanpa
ada perbedaan yang berarti, akan tetapi keduanya membutuhkan proses yang
panjang dan perjuangan yang bertahap untuk meyakinkan semua masyarakat,
khususnya masyarakat Islam, untuk lebih banyak menggunakan produk-produk

28
syariah serta lebih proporsional dan memprioritaskan tujuan masa depan dunia
akhirat dalam bermualah.

B. Saran
Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membacanya. Dan dalam pembuatan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan
untuk masukan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Makalah ini dapat digunakan
oleh pembaca sebagi referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
Gadai Dalam Perspektif Hukum Islam. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

29
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi. Hukum Gadai Syariah. Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011.

Ahmad Kamil and M. Fauzan. Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan Dan Ekonomi
Syariah. Prenada Media, 2007.

Didin Hafiduddin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.

FENI HARIYATI. “EFEKTIVITAS LAYANAN PEGADAIAN SYARIAH DIGITAL


SERVICES (PSDS) DALAM MENINGKATKAN JUMLAH NASABAH DI CABANG
PEGADAIAN SYARIAH JELUTUNG” 3, no. 2017 (2020): 54–67.
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf.

Hartono Hadi Suprapto. PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA. Ke 4. Op.Cit, n.d.

HR.Bukhari. Kitab Al- Buyu’dan Muslim, n.d.

Indonesia, Hukum Perusahaan, and Jakarta Pradnya Paramita. “Kansil, Hukum Perusahaan
Indonesia, Jakarta Pradnya Paramita, 1989, Halaman 106,” no. April 1901 (1945).
http://repository.unissula.ac.id/12960/5/babI.pdf .

Irfan, Andi. “Suatu Tinjauan Islam: Praktik ‘Boroh’ (Pegadaian) (Mengatasi Masalah Dengan
Masalah).” Jurnal Akuntansi Universitas Jember 10, no. 2 (2015): 48.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JAUJ/article/view/1251.

Irma Devita. “Jenis-Jenis Gadai.” Last modified 2012. http://irmadevita.com/tag/gadai.

Journal, Diponegoro L A W. “Diponegoro Law Journal” 5 (2016): 1–15.

Kasyful Qana. Al-Fiqhul Islami, n.d.

Khalid, Zuhriati. “Pelaksanaan Gadai Konvensional Dan Gadai Syariah (Studi Pada
Pt.Pegadaian Cabang Gaharu Medan Dan Pt.Pegadaian Syariah Cabang Setia Budi
Medan).” Premise Law Jurnal 14 (2018): 6.

Muhammad dan Lukman Fauroni. Visi Al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis. Ke 1. Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002.

Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah Dari Teori Praktik. Jakarta: Bulan Gema insani

30
Press, 2001.

Muslim 1632, Tirmidzi 1375. HR. Bukhari 2737, n.d.

MUTTAQIN, IMAMMIL. “Perspektif Hukum Islam Terhadap Desa Dadapayam Kecamatan


Suruh” (2015): 5.

penerjemah H. Hotibul Umam Abu Hurairah. Abdurrahman Al-Jaziri. Al-Fiqg Ala Al-
Madzahib Arba’ah. Jakarta: Darul Ulum Press, 2000.

Privatum, Lex. “Lex Privatum , Vol.I/No.3/Juli/2013,” no. 3 (2013): 51–59.

Qatrunnada, Hanna Masawayh. “GADAI DALAM PERSPEKTIF KUHPERDATA DAN


HUKUM ISLAM Syariah Merupakan Ajaran Islam Tentang Hukum Islam Atau
Peraturan Yang Harus Dilaksanakan Dan / Atau Ditinggalkan Oleh” 08 (2018).

Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Risfiana Mayangsari. “Inovasi Produk Rahn Menggunakan Akad Ijarah Di Pegadaian


Syariah.” Tahkim: Jurnal Hukum Dan Syariah 15, no. 2 (2019): 255–264.
https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/THK/article/view/1065/pdf.

Santander, Beamin. TANGGUNGJAWAB PEGADAIAN SYARIAH ATAS HILANG ATAU


RUSAKNYA BARANG JAMINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Pada
Pegadaian Syariah Cabang Radin Intan). EVI LUTFIANA. Vol. 87, 2017.

Ulum, Miftahul. “Fikih Legal Opinion (Reinterpretasi Hukum Gadai Dalam Perspektif
Hukum Perdata Dan Hukum Islam).” Syaikhuna: Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
10, no. 1 (2019): 20–34.
http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/syaikhuna/article/download/3469/2551
.

31

Anda mungkin juga menyukai