Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN TUTORIAL

BLOK THT SKENARIO 3


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada skenario ketiga pada blok THT ini kami disuguhkan sebuah materi yang
menyangkut pharyngitis kronis, tonsilopharyngitis kronis, dan adenotonsilitis
kronis. Adapun skenarionya sebagai berikut :

Anakku mengeluh tenggoroknya sering sakit

Seorang anak laki-laki usia 5 tahun bersama ibunya datang ke poliklinik


THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit untuk menelan.
Badan demam disertai suara serak. Keluhan yang sama sering dirasakan sejak
usia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi riwayat sesak nafas
disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk pilek.

Pada pemeriksaan pharing didapatkan: Mukosa pharing terdapat


granuloma dan hiperemi, tonsil hipertrofi dan terdapat detritus, plika vokalis
oedema dan hiperemis. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan ASTO: (+).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi pharing dan laring?


2. Bagaimana fisiologi menelan ?
3. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?
4. Mengapa anak merasa sakit untuk menelan?
5. Mengapa keluhan dirasakan sejak 3 tahun lalu dan pasien kalau tidur
mengorok?
6. Apa hubungan riwayat batuk, pilek dengan keluhann sekarang?
7. Bagaimana interpretasi dan prosedur pemeriksaan pharing?
8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium?
9. Apa hubungan keluhan dengan sesak nafas?
10. Bagaimana etiologi, prevalensi, manifestasi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi (tonsilitis
kronis, faringitis kronis, adenoid hipertrofi, faringitis alergi,
tonsilopharingitis, dan tonsillitis membranosa)?
11. Bagaimana derajat tonsilitis hipertrofi?
12. Bagaimana indikasi tonsilektomi?
13. Bagaimana cara pemeriksaan CRP?

C. Tujuan pembahasan

Adapun tujuan dari skenario ini adalah:


1. Mahasiswa mengetahui anatomi pharing dan laring.
2. Mahasiswa mengetahui fisiologi menelan.
3. Mahasiswa mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan.
4. Mahasiswa mengetahui pathogenesis anak merasa sakit untuk menelan.
5. Mahasiswa mengetahui pathogenesis keluhan dirasakan sejak 3 tahun lalu dan
pasien kalau tidur mengorok.
6. Mahasiswa mengetahui hubungan riwayat batuk, pilek dengan keluhann
sekarang.
7. Mahasiswa mengetahui interpretasi dan prosedur pemeriksaan pharing.
8. Mahasiswa mengetahui interpretasi pemeriksaan laboratorium.
9. Mahasiswa mengetaui hubungan keluhan dengan sesak nafas.
10. Mahasiswa mengetahui etiologi, prevalensi, manifestasi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi (tonsilitis
kronis, faringitis kronis, adenoid hipertrofi, faringitis alergi, tonsilopharingitis,
dan tonsillitis membranosa)
11. Mahasiswa mengetahui derajat tonsilitis hipertrofi.
12. Mahasiswa mengetahui indikasi tonsilektomi
13. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan CRP.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump

1. Langkah 1

Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam


skenario
Dalam skenario ini, kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1. ASTO: (Anti-stretolisin O). Pemeriksaan darah yang dapat digunakan
untuk medeteksi penyakit jar. Sendi, misalnya demam rematik akut yang
disebabkan oleh infeksi bakteri streptokokus. Kadar normalnya : 5-12
170 – 1000 unit/m. Streptokokus B grub A
2. Granuloma: kumpulan sel-sel inflamasi( kronis)
3. Detritus: kumpulan leukosit, baik mati dan epitel yang terlepas. Secara
klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sbg bercak kuning.
4. Tonsil hipertrofi: pembesaran sel-sel tonsil
5. Mengorok: mendengkur : suara bergetar yang tidak disadari ketika sedang
tidur. Keluar dari rongga hidung dengan volume beragam. Ada kelainan
anatomis
6. Sakit untuk menelan: (odinofagi) keadaan dimana faring mengalami nyeri
karena terjadi peradangan. Nyeri diakibatkan oleh innervasi nervus IX dan
X.
7. Suara serak: penurunan kualitas suara/bising. (trachiphonia). Plica vokalis
terganggu.

2. Langkah 2

Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan yang dibicarakan pada skenario ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana anatomi pharing dan laring?
2. Bagaimana fisiologi menelan ?
3. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?
4. Mengapa anak merasa sakit untuk menelan?
5. Mengapa keluhan dirasakan sejak 3 tahun lalu dan pasien kalau tidur
mengorok?
6. Apa hubungan riwayat batuk, pilek dengan keluhann sekarang?
7. Bagaimana interpretasi dan prosedur pemeriksaan pharing?
8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium?
9. Apa hubungan keluhan dengan sesak nafas?
10. Bagaimana etiologi, prevalensi, manifestasi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi (tonsilitis
kronis, faringitis kronis, adenoid hipertrofi, faringitis alergi,
tonsilopharingitis, dan tonsillitis membranosa)?
11. Bagaimana derajat tonsilitis hipertrofi?
12. Bagaimana indikasi tonsilektomi?
13. Bagaimana cara pemeriksaan CRP?

3. Langkah 3
Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara
mengenai permasalahan

1. Bagaimana anatomi pharing dan laring?

ANATOMI PHARYNX
Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti
corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Pharynx
panjangnya kira-kira 12 cm, yang membentang dari tuberculum
pharyngeum sampai setinggi tepi bawah cartilago cricoidea atau skeletopis
setinggi Vc6. Ke arah caudal, pharynx berperan ganda baik untuk proses deglutisi
maupun untuk respirasi. Oleh karena itu pharynx dapat berfungsi jalan makanan
maupun udara pernafasan. Pharynx terbagi atas tiga bagian yaitu nasopharynx,
oropharynx dan laryngopharynx.
Batas-batas dari pharynx dapat ditetapkan sebagai berikut:
Cranial : corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis
Caudal : (melanjutkan diri ke dalam) oesophagus
Ventral : - melalui choanae akan berhubungan dengan cavum nasi.
- melalui isthmus faucium akan berhubungan dengan
cavum oris.
- melalui aditus laryngis akan berhubungan dengan larynx
Dorsal : fascia preventebralis dan musculi prevertebralis serta VC1-6
Lateral : - processus styloideus dengan otot-otot yang melekat
disini.
- m.pterygoideus medialis
- vagina carotica
- glandula thyreoidea
- ostium pharyngeum tubae auditivae Eustachii
1. Nasopharynx
Nasopharynx disebut juga sebagai epipharynx. Nasopharynx
merupakan bagian dari pharynx yang terletak paling cranial, tepatnya di
bagian belakang dari cavum nasi. Baik cavum nasi maupun nasopharynx
keduanya secara fungsional berperan dalam systema respiratoria.
Nasopharynx berhubungan dengan oropharynx melalui isthmus
pharyngeus atau hiatus nasopharyngeus, yang dibatasi oleh palatum
molle, arcus palatopharyngeus dan dinding dorsal pharynx. Isthmus
pharyngeus ini akan menutup pada saat menelan. Choanae adalah lubang
penghubung antara nasopharynx dengan cavum nasi.
Seperti halnya cavum nasi, ruangan di nasopharynx selalu terbuka
oleh karena dindingnya (kecuali palatum molle) selalu dalam keadaan
tetap. Atap dari nasopharynx disebut pula sebagai fornix pharyngis, dan
dinding posterior nasopharynx akan melekat pada facies inferior corpus
ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Suatu massa
jaringan lymphoid yang terdapat di membrana mucosa dinding posterior
nasopharynx disebut sebagai tonsilla pharyngealis (adenoidea). Tonsilla
pharyngealis ini banyak terlihat pada anak-anak dan akan mengecil saat
pubertas.
Di setiap dinding lateral nasopharynx dijumpai adanya ostium
pharyngeum tubae auditivae. Ostium phryngeum tubae auditivae ini
dibatasi di sebelah atas dan belakangnya oleh suatu peninggian yang
disebut torus tubarius. Torus tubarius dibentuk oleh pars cartilaginea
tubae. Plica dari membrana mucosa yang berjalan descendens dari torus
tubarius ini menuju ke palatum, disebut sebagai plica salpingopalatina.
Sedangkan plica torus levatorius adalah plica yang disebabkan oleh
adanya m.levator veli palatini, yang berjalan dari osteum pharyngeum
tubae auditivae menuju ke palatum molle. Bagian dari cavum pharyngis
yang terletak di sebelah dorsal dari torus tubarius disebut sebagai
recessus pharyngeus. Recessus pharyngeus ini membentang ke arah
dorsal dan lateral, terletak antara m. longus capitis disebelah medial dan
m. levator veli palatini di sebelah lateral. Jaringan limphoid yang kadang-
kadang terdapat di membrana mucosa di recessus pharyngeus ini disebut
sebagai tonsilla tubaria.
2. Oropharynx
Oropharynx disebut pula sebagai mesopharynx. Oropharynx
membentang dari setinggi palatum molle di sebelah cranial sampai ke tepi
atas dari epiglottis di sebelah caudal. Oropharynx ini ke ventral akan
berhubungan dengan cavum oris melalui isthmus faucium, yang dibatasi
oleh :
 Cranial : palatum molle
 Lateral : arcus palatoglossus dan
 Caudal : radix linguae
Di daerah isthmus faucium, terlihat adanya suatu lingkaran jaringan
lymphoid yang tersusun atas rangkaian dari:
 Cranial : tonsjlla pharyngealis (adenoidea)
 Lateral : tonsilla palatina
 Caudal : tonsilla lingualis
Membrana mucosa yang menutupi epiglottis akan melanjutkan diri
untuk melapisi radix linguae. Membrana ini kemudian disebut sebagai
membrana glossoepiglottica. Penebalan dari membrana glossoepiglottica
di linea mediana membentuk plica glossoepiglottica mediana, sedangkan
penebalan di sebelah lateral kanan dan kiri disebut sebagai plica
glossoepiglottica laterale. Suatu cekungan yang dibatasi antara plica
glosso-epiglottica mediana dan plica glossoepiglottica laterale kanan dan
kiri disebut vallecula epiglottica. Ke arah posterior, oropharynx
berbatasan dengan corpus vertebrata cervicalis ke 2 dan ke 3.
Setiap dinding lateral oropharynx di jumpai arcus palatoglossus
dan arcus palatopharyngeus dari isthmus faucium. Arcus tersebut
disebabkan oleh m. palatoglossus dan m. palatopharyngeus. Daerah
triangulair yang terletak antara arcus palatoglossus dan arcus
palatopharyngeus disebut fossa tonsillaris yang akan ditempati oleh
tonsilla palatina.
Facies medialis tonsilla palatina adalah bebas, yang di sebelah
atasnya dijumpai fossa supratonsillaris. Pada permukaan ini dijumpai juga
lubang-lubang buntu yang disebut cryptae tonsillares. Cryptae ini
membentuk celah-celah lurus dengan epithel squamous, yang di sebelah
dalamnya dijumpai folikel lymphaticus. Cel-cel lymphocyt dapat
dijumpai di epithel dan dilepaskan bersama-sama dengan saliva, disebut
corpusculum salivarius.
Tonsilla palatina mendapat vascularisasi dari a. carotis externa
terutama oleh r. tonsillaris a.facialis, yang menembus m. constrictor
pharyngis superior dan masuk ke bagian caudal dari facies lateralis
tonsilla palatina. Perdarahan saat tonsillektomi berasal dari v. palatina
externa atau dari v. paratonsillaris yaitu suatu vena yang berjalan
descendens dari palatum molle, di sebelah lateral dari tonsilla palatina
dengan menembus m. constrictor pharyngis superior dan berakhir di v.
facialis.
Vasa lymphatica yang berasal dari tonsilla palatina akan bermuara
ke nodus lymphaticus. cervicalis profundus dan sebagian ke nodus
lymphaticus jugulodigastricus. Tonsilla palatina ini mendapat innervasi
dari cabang-cabang n. glossopharyngeus dan dari ganglion
pterygopalatinum.
Pada umur pubertas, secara fisiologis, tonsilla palatina mengalami
kemunduran. Tonsilla menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan saat
anak-anak.

3. Laryngopharynx
Laryngopharynx membentang dari setinggi tepi atas cartilago
epiglottica sampai ke tepi bawah dari cartilago cricoidea, kemudian akan
melanjutkan diri ke dalam oesophagus. Laryngopharynx disebut juga
sebagai hypopharynx. Di sebelah anterior dari laryngopharynx dijumpai
aditus laryngis, bagian dorsal dari cartilago arytaenoidea dan cartilago
cricoidea. Sedang di sebelah posterior laryngopharynx berbatasan dengan
corpus vertebrae cervicalis ke 4 sampai ke 6.
Recessus piriformis atau fossa piriformis adalah bagian dari
laryngopharynx yang terletak di kanan dan kiri dari aditus laryngis. Fossa
piriformis ini terletak di antara membrana hyothyreoidea dan cartilago
thyreoidea di sebelah lateral sedangkan di sebelah medial terletak di
antara cartilago cricoidea dan plica aryepiglottica serta cartilago
arytaenoidea. Cabang-cabang dari n. laryngeus internus dan a/v. laryngea
superior berada di bawah membrana mucosa dari fossa piriformis ini.Oleh
karena fossa piriformis ini berbentuk kantong, maka corpus alienum dapat
tertahan di sini.

ANATOMI LARYNX
Larynx merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas dan
terletak setinggi vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Batas atas larynx adalah aditus larynx sedangkan
batas kaudal cartilago cricoidea.
Cartilago Larynx terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Kelompok Cartilago mayor, terdiri dari :
a. Cartilago Thyroidea
Cartilago Thyroidea merupakan suatu cartilago hyalin yang membentuk
dinding anterior dan lateral larynx, dan merupakan cartilago yang terbesar. Terdiri
dari 2 sayap (alae thyroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya
tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan
disebut Adam’s Apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada
wanita 120 derajat.
b. Cartilago Cricoidea
Cartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI –
VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III - IV.
c. Cartilago Arytenoidea
Pada cartilago cricoidea, terdapat musculus cricoarytenoidea yang terletak
di posterolateral, dan di bagian anterior terdapat processus vocalis, tempat
melekatnya ujung posterior pita suara.. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap
prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah cartilago thyroidea membentuk
tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan
permukaan atas dari pita suara ini disebut glotis
2. Cartilago minor, terdiri dari :
a. Cartilago corniculata
b. Cartilago cuneiforme
c. Cartilago epiglottica

Cavum Larynx dibagi menjadi sebagai berikut :


 Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruang diantara permukaan atas pita
suara palsu dan inlet larynx.
 Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu
dengan pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel
larynx morgagni.
 Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi
bawah cartilago cricoidea.

Beberapa bagian penting dari dalam larynx :


a. Aditus Laryngis
Pintu masuk ke dalam larynx yang dibentuk di anterior oleh epiglottis, lateral
oleh plica aryepiglottica, posterior oleh ujung ccartilago corniculata dan tepi
atas musculus arytenoideus.
b. Rima Vestibuli
Merupakan celah antara pita suara palsu.
c. Rima Glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara
prosesus vocalis dan basis cartilago arytenoidea.
d. Vestibulum Laryngis
Ruangan yang dibatasi oleh epiglottis, membrana quadringularis, cartilago
arytenoid, permukaan atas processus vocalis Cartilago arytenoidea dan
musculus interarytenoidea.
e. Plica Ventricularis (pita suara palsu)
Pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan cartilago arytenoidea
untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal
dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.
f. Ventriculus Larynx
Ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel
terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan
permukaan dalam cartilago thyroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia
dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita
suara sejati, disebut sacculus ventrikel larynx.
g. Plika Vokalis (pita suara sejati)
Terdapat di bagian bawah larynx. Tiga per lima bagian dibentuk oleh
ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua
per lima belakang dibentuk oleh processus vocalis dari cartilago arytenoidea.

2. Bagaimana fisiologi menelan?

Menelan adalah suatu fungsi daripada pencernaan yang dilakukan oleh


makhluk hidup yaitu masuknya makanan ke dalam tubuh guna memperoleh
energi. Menelan merupakan kegiatan memasukkan makanan ke dalam traktus
digestivus oleh rongga mulut, oropharyng, dan oesophagus. Menelan terdiri dari
tiga fase, yaitu :

– Fase volunter

Makanan yang masuk mengalami proses penghalusan oleh gigi-geligi


sehingga menjadi bolus. Kemudian bolus akan didorong masuk oleh lidah
menuju oropharyng. Fase ini disebut fase volunter karena kita dapat
mengontrol kerja otot-otot di rongga mulut untuk mengunyah dan
menggerakan lidah.

– Pharyngeal

Setelah tiba di oropharyng, bolus akan mengaktifkan refleks menelan.


Refleks itu berupa penutupan tractus respiratorius oleh epiglottis, dilanjutkan
relaksasi sphincter oesophageal superior, dan diakhiri oleh masuknya bolus
ke dalam oesophagus.

– Esophageal

Pada fase ini, bolus yang masuk ke dalam oesophagus akan dicerna melalu
gerakan peristaltik oesophagus oleh otot-otot oesophagus. Kerja otot-otot ini
dipersarafi oleh plexus myentericus Auerbach yang merupakan bagian dari
sistem saraf otonom, sehingga kerjanya pun tidak kita sadari (involunter).

4. Mengapa anak merasa sakit untuk menelan?


Disfagia merupakan salah satu keluhan paling spesifik dari penyakit
gastrointestinal dan hampir selalu menunjukkan adanya satu jenis atau lebih
malfungsi dari esofagus. Disfagia hampir selalu disebabkan oleh penyakit
organik, dan sangat jarang merupakan keluhan yang bersifat fungsional
(psikogenik). Karena itu, sangat penting untuk mencari kelainan struktur maupun
fungsi dari esofagus bila terdapat keluhan disfagia, dan tidak segera
menghubungkan disfagia dengan kelainan psikiatrik.

Batasan disfagia.

Disfagia didefinisikan sebagai perasaan tersumbatnya aliran makanan atau


“perasaan lengketnya makanan” yang masuk melalui mulut, faring, atau esofagus.
Pasien dengan disfagia merasakan adanya gangguan atau kesulitan pada gerakan
menelan, dan apa yang ditelannya itu tidak turun dengan baik dan seperti
mengganjal di kerongkongan.

Istilah lain yang berhubungan dengan proses menelan.

Disfagia harus dibedakan dari gejala lain yang berhubungan dengan proses
menelan.

* Afagia (tidak bisa menelan sama sekali) terjadi karena obstruksi lengkap
esofagus, biasanya akibat terjepitnya bolus makanan, dan merupakan keadaan
emergensi.

* Kesulitan untuk memulai proses menelan timbul apabila terdapat


gangguan pada fase volunter dari proses menelan. Meskipun begitu, bila telah
dimulai, proses menelan dapat diselesaikan secara normal.

* Odinofagia berarti nyeri menelan. Seringkali odinofagi dan disfagia


terjadi bersamaan.

* Globus faringeus adalah sensasi adanya benjolan yang menyangkut di


dalam tenggorokan, namun tidak disertai dengan kesulitan menelan. Arah aliran
makanan yang salah menyebabkan regurgitasi nasal dan aspirasi laringeal serta
pulmonal selama proses menelan. Hal ini merupakan karakteristik dari disfagia.
* Fagofobia berarti rasa takut menelan dan menolak untuk menelan, dapat
terjadi pada histeria, rabies, tetanus, dan paralisis faring akibat ketakutan terjadi
aspirasi. Lesi inflamasi yang nyeri pada odinofagia juga dapat menyebabkan
penderita menolak menelan. Beberapa penderita dapat merasakan makanan yang
berjalan ke bawah dalam esofagus. Sensitivitas esofagus ini tidak berhubungan
dengan perlengketan makanan atau obstruksi.

* Perasaan penuh dalam epigastrium yang timbul setelah makan atau


setelah menelan udara juga jangan sampai disalahartikan menjadi disfagia.

Patofisiologi Gangguan pada mekanisme menelan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi transport makanan yang normal.

Perjalanan yang normal dari makanan yang dicerna tergantung pada :

a. Ukuran dari bolus yang ditelan


b. Diameter lumen dari saluran yang dilalui
c. Kekuatan kontraksi peristaltik, dan
d. Inhibisi proses menelan, termasuk relaksasi sfingter esofageal atas dan bawah
selama proses menelan berlangsung.

2. Cakupan gangguan menelan.

Jika mekanisme menelan mengalami paralise total/parsial, gangguan dapat


mencakup:

a. Hilangnya sebagian atau semua tindakan menelan sehingga menelan


terganggu atau tidak dapat terjadi sama sekali,
b. Kegagalan glotis untuk menutup, sehingga makan tidak masuk ke esofagus,
melainkan masuk ke paru-paru, dan
c. Kegagalan palatum mole dan uvula untuk menutup nares posterior, sehingga
makanan masuk ke hidung.

3. Disfagia faringeal atau esofageal.


Disfagia secara umum dapat dibagi menjadi (lihat diagram 1):

* Disfagia faringeal atau transfer dysphagia. Walaupun disfagia hampir selalu


menunjukkan malfungsi dari esofagus, terdapat pula jenis khusus disfagia yang
meliputi ketidakmampuan penderita untuk memulai proses menelan dengan
sempurna. Keluhan disfagia faringeal ini dapat disebabkan oleh kelemahan otot-
otot faring (yang sering disertai keluhan suara menjadi sengau dan regurgitasi
cairan ke nasofaring saat menelan) atau akibat kegagalan koordinasi saraf untuk
menelan.

* Disfagia esofageal. Pada jenis disfagia yang paling sering ini, penderita tidak
mengalami masalah pada inisiasi dari proses menelan, namun mengalami
gangguan pada saat proses tersebut berlangsung.

2. Disfagia esofageal : mekanik dan motorik / neuromuskuler.


Disfagia esofageal yang disebabkan bolus yang besar (atau benda asing) atau
penyempitan dari lumen saluran yang dilalui dinamakan disfagia mekanik.
Adapun disfagia motorik / neuromuskuleradalah disfagia yang terjadi akibat
kelemahan kontraksi peristaltik, gangguan inhibisi menelan yang menyebabkan
kontraksi non-peristaltik, dan gangguan relaksasi sfingter.

Etiologi dari disfagia mekanik.

Disfagia mekanik dapat disebabkan antara lain oleh :

* Gangguan pada lumen (misalnya akibat bolus yang besar, adanya benda
asing)

* Penyempitan intrinsik (misalnya esofagitis, cincin kongenital, striktur,


tumor jinak/ganas)

* Kompresi ekstrinsik (spondilitis servikal, massa atau abses retrofaringeal,


kelenjar tiroid yang membesar, kompresi struktur vaskuler, massa di mediastinum
posterior, tumor pankreas, dan fibrosis / hematoma post-vagotomy).

Etiologi dari disfagia motoris.


Disfagia motoris dapat disebabkan antara lain oleh :

* Gangguan inisiasi refleks menelan (faringeal disfagia, paralisis lidah,


kurangnya saliva)

* Gangguan otot lurik faring / esofagus (kelemahan motorik, kontraksi


non-peristaltik)

* Gangguan pada otot polos esofagus (paralisis, kontraksi non-peristaltik)

5. Mengapa keluhan dirasakan sejak 3 tahun yang lalu dan pasien kalau tidur
mengorok?

Mengorok atau mendengkur merupakan suara yang diproduksi ketika


tidur. Merupakan akibat dari getaran jaringan lunak dibelakang hidung dan
tenggorokan. Suara tersebut timbul karena udara melewati saluran yang
menyempit.

Mendengkur merupakan salah satu gejala dari obstruksi saluran napas.


Penyebab terjadinya mendengkur secara anatomi bisa karena kelainan anatomi
yaitu penyempitan saluran napas atas karena ada pembesaran jaringan lunak, yaitu
pembesaran lidah, palatum mole yang rendah, uvulae elongasi, pembesaran
adenoid atau tonsil, pembesaran dinding faring lateral, pembesaran saluran napas
atas lateral.

7. Bagaimana interpretasi dan prosedur pemeriksaan pharing?


Pembesaran tonsil fibrosis menandakan tonsilitis yang berulang sehingga
dalam proses penyembuhan jaringan berubah menjadi jaringan parut. Hal ini
dibuktikan juga dengan didapatkannya granuloma pada pemeriksaan pharing,
dimana granuloma menunjukkan adanya respon peradangan kronik. Tonsila
palatina yang terdapat banyak cripte menyebabkan sisa makanan mudah
tersangkut sehingga menjadi predisposisi terjadinya infeksi. Cripte melebar
terdapat detritus menjadi penanda sisa-sisa infeksi. Adenoid tampak menonjol
merupakan akibat dari hipertrofi adenoid yang kemudian menutup OPTAE, selain
itu terdapat kemungkinan inflamasi akibat penjalaran infeksi yang ditandai oleh
hiperemi adenoid. Mukosa faring hiperemis merupakan tanda terjadinya
penjalaran infeksi dan inflamasi ke faring.

Prosedur pemeriksaan pharing

Pemeriksaan pharing dan rongga mulut

Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan


bibir, mukosa rongga mulut, lidah, dan gerakan lidah.

Dengan menekan bagian tengah lidah memakai spatula lidah maka bagian-
bagian rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat
keadaan dinding belakang faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi dan
gigi geligi.

Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain- lain.

Hipofaring dan Laring

Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Kaca
laring dihangatkan dengan api lampu spiritus agar tidak terjadi konensi uap air
pada kaca waktu dimasukkan ke dalam mulut. Sebelum dimasukkan ke dalam
mulut kaca yang sudah dihangatkan dicoba dulu pada kulit tangan kiri apakah
tidak terlalu panas. Pasien diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya
sejauh mungkin. Lidah dipegang dengan tangan tangan kiri memakai kain kasa
dan ditarik keluar dengan hati- hati sehingga pangkal lidah tidak menghalangi
pandangan ke arah laring. Kemudian kaca laring dimasukkan ke dalam mulut
dengan arah kaca ke bawah, bersandar pada uvula dan palatum mole. Melalui
kaca dapat terlihat hipofaring dan laring. Bila laring belum terlihat jelas penarikan
lidah dapat ditambah sehingga pangkal lidah lebih kedepan dan epiglotis lebih
terangkat.
Untuk menilai gerakan pita suara aduksi pasien diminta mengucapkan ‘iii’,
sedangkan untuk menilai gerakan pita suara abduksi dan melihat subglotik pasien
diminta untuk inspirasi dalam.

Pemeriksaan laring dengan menggunakan kaca laring disebut laringoskopi


tidak langsung. Pemeriksaan laring juga dapat dilakukan dengan menggunakan
teleskop dan monitor video (video laringoskopy) atau dengan langsung dengan
menggunakan alat laringoskop. Bila pasien sangan sensitif pemeriksaan ini sulit
dilakukan, maka dapat diberikan obat anastesi silokain yang disemprotkan.

9. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium?

ASTO atau ASO adalah tes darah untuk memeriksa antibodi anti
streptolysin O, yang diproduksi bakteri Streptococcus grup A.  [1]
Sebelum dilakukan pemeriksaan ASTO, pasien tidak diperbolehkan makan
dalam kurun waktu 6 jam. [1]
ASTO dilakukan jika pasien mengalami gejala akibat infeksi sebelumnya
oleh Streptococcus grup A. Beberapa penyakit yang disebabkannya antara lain: [1]
 endocarditis bacterial
 glomerulonephritis
 demam rheumatik, yang dapat mempengaruhi jantung, sendi, atau tulang
 scarlet fever
 strep throat (radang tenggorokan)
Dalam skenario, nilai ASTO : (+), ini menandakan bahwa pasien positif terinfeksi
bakteri.
4. Langkah 4

Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan


sementara mengenai permasalahan pada langkah 3

Badan demam
disertai suara Keluhan Sakit
serak Pasien tengggorok
- Keluhan sudah
dirasakan 3 tahun
Tanda dan
- Pasien mengorok jika Gejala
tidur (ANAMNESIS)
- Tidak ada sesak nafas Pemeriksaan pharing :
- Riwayat batuk dan - Mukosa Pharing
terdapat granuloma
Pemeriksaan dan hiperemi
Fisik - Tonsil hipertrofi dan
terdapat detritus
- Plika vokalis oedema
Pemeriksaan dan hiperemis
ASTO : (+)
Penunjang

Diagnosis
Banding &
Diagnosis Kerja

Tata laksana,
prognosis, dan
komplikasi

5. Langkah 5
Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Bagaimana hubungan jenis kelamin dengan keluhan ?
2. Bgaimana hubungan riwayat batuk pilek dengan keluhan sekarang?
3. Bagaimana hubungan keluhan dengan sesak nafas?
4. Bagaimana derajat tonsil hipertrofi?
5. Bagaimana indikasi tonsilektomi?
6. Bagaimana pemeriksaan CPR?
7. Menjelaskan tentang diagnosis banding (etiologi, prevalensi,
epidemiologi, patogenesis , faktor resiko, gejala dan tanda, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, komplikasi, tatalaksana, prognosis dari :
a. Tonsillitis kronis
b. Pharyngitis kronis
c. Adenoid hipertrofi
d. Pharyngitis alergica
e. Tonsilopharyngitis
f. Tonsilitis Membranosa

6. Langkah 6 : Mengumpulkan informasi baru

Mahasiswa belajar mandiri untuk mencari informasi dan referensi


mengenai learning obyektif yang telah disepakati bersama. Selanjutnya
informasi baru yang didapat masing-masing mahasiswa akan didiskusikan
pada pertemuan selanjutnya dalam skenario yang sama.

7. Langkah 7 : Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi


baru yang diperoleh

1. Bagaimana hubungan jenis kelamin dengan keluhan ?


a. Faringitis
Insiden tertinggi terjadi pada balita, umurnya terjadi pada usia 1-4 tahun
dan 55-59 tahun. Anak dan orang tua rentan terhadap penyakit ini
dikarenakan , jika anak tersebut berusia dibawah 2 tahun biasanya
disebabkan oleh virus, sedangkan untuk kelompok usia 5-10 tahun lebih
sering disebabkan oleh Strptococcus β Hemolyticus group A. Pada usia
lanjut umumnya juga lebih rentan terkena karena sistem kekebalan tubuh
yang menurun. Dari segi gender tidak ada perbedaan kerentanan antara
pria dan wanita.
b. Tonsilitis
Tonsilitis paring sering ditemukan pada anak, angka kejadian tertinggi
berada pada kelompok usia 5-10 tahun. Pada skenario dikatakan bahwa
anak tersebut memiliki riwayat sering batuk pilek. Infeksi berulang pada
anak adalah infeksi yang sering dialami oleh anak khusunya ISPA
( Infeksi Saluran Pernapasan Atas). Kondisi tersebut diakibatkan karena
rendahnya kerentanan seseorang terhadap infeksi. Gangguan tersebut
biasanya dialami oleh penderita alergi dan para penderita defisiensi imun.
Dari segi gender, juga tidak tampak adanya perebendaan kerentanan anatar
pria maupun wanita.

2. Bgaimana hubungan riwayat batuk pilek dengan keluhan sekarang?

Riwayat sering batuk dan pilek pada pasien bisa merupakan manifestasi
dari infeksi berulang atau alergi. Perbedaan dari keduanya dapat dilihat dalam
Gambar. Namun, keduanya sama-sama dapat mendukung infeksi pada faring
maupun tonsil seperti pada skenario.

3. Bagaimana hubungan keluhan dengan sesak nafas?


Riwayat sesak nafas diperlukan untuk mengetahui tingkat keparahan
tonsilitis. Apabila pembesaran tonsil sudah sangat parah, maka tonsil tersebut
dapat menghalangi jalan nafas, sehingga bernafas menjadi tidak efektif. Keluhan
sesak nafas juga menjadi salah satu indikasi untuk dilakukannya tonsilektomi
karena tonsilitis kronis yang sudah parah.

4. Bagaimana derajat tonsil hipertrofi?


a) Derajat I (Normal)
Tonsil berada dibelakang pilar tonsil (struktur lunak dipotong oleh palatina
lunak).
b) Derajat II
Tonsil berada diantara pilar dan uvula.
c) Derajat III
Tonsil menyentuh uvula.
d) Derajat IV
Satu atau dua tonsil meluas ketengah uvofaring.

5. Bagaimana indikasi tonsilektomi?

Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck


Surgery (AAO-HNS), operasi tonsillitis (tonsillectomy) perlu dilakukan jika
memenuhisyarat-syarat berikut:

INDIKASI ABSOLUT:

 Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan,


nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakit-
penyakit kardiopulmonal.
 Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan
pertumbuhan wajah atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah
mulut.
 Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
 Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan
gambaran patologis jaringan.

INDIKASI RELATIF:

 Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang
memadai.
 Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
 Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan
dengan antibiotika.
 Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan
dengan keganasan (neoplastik)

KONTRAINDIKASI TONSILEKTOMI

a) Riwayat penyakit perdarahan

b) Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol

c) Anemia

d) Infeksi akut

6. Bagaimana pemeriksaan CPR?

CRP termasuk golongan protein pentraksin. Dinamakan CRP karena


protein ini bereaksi dengan polisakarida C somatik dari streptococcus
pneumoniae. Adanya CRP dalam serum tergantung dari keadaan imunologi
seseorang dan tidak berhubungan dengan pembentukan antibodi, hal ini didukung
dengan pendapat sebagai berikut : (1). Dijumpai CRP dalam serum hanya pada
fase akut dan menghilang pada masa penyembyhan. (2). Reaksinya tidak spesifik
dan tidak ada hubungannya dengan tempat infeksi atau jaringan yang rusak. (3).
Tidak dapat bereaksi tanpa kalsium. (4). CRP dijumpai pada serum neonatal dini,
karena organ neonatal belum mampu membentuk antibodi (5). CRP dijumpai
pada serum penderita agamaglobulinemia.
CRP merupakan protein abnormal yang muncul dalam darah pada stadium
akut berbagai elainan inflamasi. CRP termasuk protein fase akut hanya dihasilkan
oleh hati yang akan meningkatkan konsentrasinya didalam darah setelah terdapat
infeksi, peradangan atau kerusakan jaringan dalam waktu 6 jam. Konsentrasi
dalam plasma dapat meningkat 2 kali lipat setiap 8 jam, dan mencapai puncak
setelah 50 jam. CRP terdapat dalam serum orang sehat dengan kadar yang rendah,
yaitu antara 0,03-4,94 mg/L. Diantara beberapa jenis protein fase akut, CRP
merupakan jenis yang paling sensitif dan bermanfaat dalam klinik karena dapat
menunjukan peningkatan lebih dari 1000 kali sebelum timbulnya demam ataupun
infeksi

7. Menjelaskan tentang diagnosis banding (etiologi, prevalensi, epidemiologi,


patogenesis , faktor resiko, gejala dan tanda, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, komplikasi, tatalaksana, prognosis dari :

A. Tonsillitis kronis

Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun.
Tonsilitis kronis dapat berasal dari tonsilitis akut yang dibiarkan saja atau karena
pengobatan yang tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi dari
tempat lain, misalnya karena adanya sekret dari infeksi di sinus dan di hidung
(sinusistis kronis dan rhinitis kronik), atau karies gigi.
Adapun yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan histologik pada
tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan
fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel – sel radang. Mikroabses pada tonsilitis
kronis maka tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ – organ lain, seperti
sendi, ginjal, jantung dan lain – lain.

Epidemiologi

Pada penelitian Sing T (2002) mendapatkan laki – laki 342orang (52%) dan
wanita 315orang (48%). mendapatkan hasil penelitian laki – laki 145 orang
(48,2%) dan perempuan 156 orang (51,8%).

Etiologi Tonsilitis Kronis


Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut
yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat
terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.
Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis akut,
yang paling sering adalah kuman gram positif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling banyak
ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus β hemolyticus. Beberapa
jenis bakteri lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus, Pneumococcus,
Haemophylus influenza, virus, jamur dan bakteri anaerob.
Pada hasil penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab
tonsilofaringitis kronis yaitu Streptococcus alpha, Staphylococcus aurius,
Streptococcus β hemolyticus group A, Enterobacter, Streptococcus pneumonie,
Pseudomonas aeroginosa, Klabsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus
epidermidis.
Meskipun tonsilitis kronis dapat disebabkan berbagai bakteri namun streptococcus
β hemolyticus group A perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar karena
dapat menyebabkan komplikasi yang serius diantaranya demam rematik, penyakit
jantung rematik, penyakit sendi rematik dan glomerulonefritis.

Faktor Predisposisi Tonsilitis Kronis


Adapun faktor predisposisi dari Tonsilitis Kronis yaitu :
- Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

- Higiene mulut yang buruk

- Pengaruh cuaca

- Kelelahan fisik

- Merokok

- Makanan

Gejala dan Tanda Klinis Tonsilitis Kronis


Gejala klinis tonsilitis kronik adalah nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan,
kadang – kadang terasa seperti ada benda asing di tenggorok dimana mulut
berbau, badan lesu, nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang
– meriang.
Tanda klinik pada tonsilitis kronis adalah
• Pilar/plika anterior hiperemis

• Kripte tonsil melebar

• Pembesaran kelenjar sub angulus mandibular teraba

• Muara kripte terisi pus

• Tonsil tertanam atau membesar


Tanda klinik tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripte melebar dan
pembesaran kelenjar sub angulus mandibula. Gabungan tanda klinik yang sering
muncul adalah kripte melebar, pembesaran kelenjar angulus mandibula dan tonsil
tertanam atau membesar.

Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang Tonsilitis Kronis


Dari pemeriksaan dapat dijumpai :
a. Tonsil dapat membesar bervariasi.

b. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil

c. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju

d. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis
pada tonsil.
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar
(hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada
dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar
limfe angulus mandibular.
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4 :
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior –
uvula
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½ jarak
anterior – uvula
T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior – uvula
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang
dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi
hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat
menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur
yang dapat diketahui dalam anamnesis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu secara mikrobiologi.
Pemeriksaan dengan antimikroba sering gagal untuk segera dikasi kuman patogen
dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau
penetrasi anitbiotika yang inadekuat.

Pengobatan pada Tonsilitis Kronis


Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan
mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam
parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan
yang efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil.
Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada
parenkim tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan
pemeriksaan aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes
diagnostik yang menjanjikan.

Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotik sesuai kultur. Pemberian


antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis Cephaleksin ditambah
Metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononucleosis atau
absees), amoksisilin dengan asam clavulanat (jika bukan disebabkan
mononucleosis). Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi,
umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun
yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit
tenggorokan 4 – 6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis
akut. Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan
menurunkan jumlah kuman patogen yang ditemukan pada per mukaan tonsil
tetapi ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil paska
tonsilektomi, ditemukan jenis kuman patogen yang sama bahkan lebih banyak
dari hasil pemeriksaan di permukaan tonsil sebelum pemberian antibiotik.

Komplikasi Tonsilitis Kronis


Komplikasi secara kontinuitatum kedaerah sekitar berupa rhinitis kronis, sinusitis
dan otitis media. Komplikasi secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh
dari tonsil seperti endokarditis, arthiritis, miositis, uveitis, nefritis, dermatitis,
urtikari, furunkolitis,dll.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
Prognosa
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat
penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan
yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu
yang singkat.
Gejala – gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami
infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada
telinga dan sinus. Pada kasus – kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber
dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.

B. Pharyngitis kronis

Faringitis ( pharyngitis) adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang


tenggorok atau faring yang disebabkan oleh bakteri atau virus tertentu.
Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.
KLASIFIKASI

Secara umum faringitis dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Faringitis Akut

Faringitis virus atau bakterialis akut adalah penyakit yang sangat penting.
Beberapa usaha dilakukan pada klasifikasi peradangan akut yang mengenai
dinding faring. Yang paling logis untuk mengelompokkan sejumlah infeksi-
infeksi ini dibawah judul yang relatif sederhana “Faringitis Akut”. Disini
termasuk faringitis akut yang terjadi pada pilek biasa sebagai akibat penyakit
infeksi akut seperti eksantema atau influenza dan dari berbagai penyebab yang
tidak biasa seperti manifestasi herpesdan sariawan.

2. Faringitis Kronis

a. Faringitis Kronis Hiperflasi

Pada faringitis kronis hiperflasi terjadi perubahan mukosa dinding posterior.


Tampak mukosa menebal serta hipertofi kelenjar limfe di bawahnya dan di
belakang arkus faring posterior (lateral band). Dengan demikian tampak
mukosa dinding posterior tidak rata yang disebut granuler.

b. Faringitis Kronis Atrofi (Faringitis sika)

Faring kronis atrofi sering timbul bersama dengan rinitis atrofi.Pada rinitis
atrofi udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi faring.

c. Faringitis Spesifik

1. Faringitis Luetika

a) Stadium Primer

Kelainan pada stadium ini terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil, dan
dinding faring posterior.Kelainan ini berbentuk bercak keputihan di tempat
tersebut.

b) Stadium Sekunder

Stadium ini jarang ditemukan.Pada stadium ini terdapat pada dinding faring
yang menjalar ke arah laring.

c) Stadium Tersier

Pada stadium ini terdapat guma.Tonsil dan pallatum merupakan tempat


predileksi untuk tumuhnya guma.Jarang ditemukan guma di dinding faring
posterior.

2. Faringitis Tuberkulosa

Kuman tahan asam dapat menyerang mukosa palatum mole, tonsil, palatum
durum, dasar lidah dan epiglotis. Biasanya infeksi di daerah faring merupakan
proses sekunder dari tuberkulosis paru, kecuali bila terjadi infeksi kuman
tahan asam jenis bovinum, dapat timbul tuberkulosis faring primer.

ETIOLOGI
a.      Virus
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis. Beberapa jenis virus ini
yaitu:
·         Rhinovirus
·         Coronavirus
·         Virus influenza
·         Virus parainfluenza
·         Adenovirus
·         Herpes Simplex Virus tipe 1 dan 2
·         Coxsackievirus A
·         Cytomegalovirus
·         Virus Epstein-Barr
·         HIV
 b.      Bakteri
Beberapa jenis bakteri penyebab faringitis yaitu:
Streptoccocus pyogenes, merupakan penyebab terbanyak pada faringitis akut.
Streptokokus grup A, merupakan penyebab terbanyak pada anak usia 5 – 15 th

·         Streptokokus grup C dan G


·         Neisseria gonorrheae
·         Corynebacterium diphtheriae
·         Corynebacterium ulcerans
·         Yersinia enterocolitica
·         Treponema pallidum

EPIDEMIOLOGI
Anak rata-rata terdapat 5 kali infeksi saluran pernafasan bagian atas dan pada
orang dewasa hampir separuhnya. Kasus Faringitis akut  di Rumah Sakit Panti
Rapih tahun 2010 sebesar 5.305 kasus. Di USA, faringitis terjadi lebih sering
terjadi pada anak-anak daripada pada dewasa. Sekitar 15 – 30 % faringitis
terjadi pada anak usia sekolah, terutama usia 4 – 7 tahun, dan sekitar 10%nya
diderita oleh dewasa. Faringitis ini jarang terjadi pada anak usia <3 tahun.
Penyebab tersering dari faringitis ini yaitu streptokokus grup A, karena itu
sering disebut faringitis GAS (Group AStreptococci). Bakteri penyebab
tersering yaitu Streptococcus pyogenes. Sedangkan, penyebab virus tersering
yaitu rhinovirus dan adenovirus. Masa infeksi GAS paling sering yaitu pada
akhir musim gugur hingga awal musim semi.Faringitis kronis umumnya
terjadi pada individu dewasa yang bekerja di suasana berdebu, menggunakan
suara berlebihan, batuk kronis, pengguna alkohol dan tembakau, Inhalasi uap
yang merangsang mukosa faring. Pasien yang bernafas melalui mulut karna
hidungnya tersumbat

PATOFISIOLOGI
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi
menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat
pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring
menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu
terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid
dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral,
menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan
Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat
sekresi nasal. Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi
lokal dan pelepasan extracellular toxins dan protease yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Group A
streptococcus memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada myocard
dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan kerusakan katub jantung.
Selain itu juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis karena fungsi
glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.

GEJALA
Baik pada infeksi virus maupun bakteri, gejalanya sama yaitu nyeri
tenggorokan dan nyeri menelan. Selaput lendir yang melapisi faring
mengalami peradangan berat atau ringan dan tertutup oleh selaput yang
berwarna keputihan atau mengeluarkan nanah. Gejala lainnya adalah:

1. Demam

2. Pembesaran kelenjar getah bening di leher

3. Peningkatan jumlah sel darah putih.

Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri,
tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi karena bakteri.

Kenali gejala umum radang tenggorokan akibat infeksi virus sebagai berikut:
1. Rasa pedih atau gatal dan kering.

2. Batuk dan bersin.

3. Sedikit demam atau tanpa demam.

4. Suara serak atau parau.

5. Hidung meler dan adanya cairan di belakang hidung.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

·         Kultur swab tenggorokan; merupakan tes gold standard. Jenis


pemeriksaan ini sering dilakukan. Namun, pemeriksaan ini tidak bisa
membedakan fase infektif dan kolonisasi, dan membutuhkan waktu selama 24
– 48 jam untuk mendapatkan hasilnya.

·  Tes infeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.

·  Tes Monospot, merupakan tes antibodi heterofil. Tes ini digunakan untuk
mengetahui adanya mononukleosis dan dapat mendeteksi penyakit dalam
waktu 5 hari hingga 3 minggu setelah infeks.

· Tes deteksi antigen cepat; tes ini memiliki spesifisitas yang tinggi namun
sensitivitasnya rendah.

Heterophile agglutination assay.

PENATALAKSANAAN
- Penicillin benzathine; diberikan secara IM dalam dosis tunggal

- Penicillin; diberikan secara oral

- Eritromisin.

- Penicillin profilaksis, yaitu penicillin benzathine G; diindikasikan pada


pasien dengan risiko demam reumatik berulang. Sedangkan, pada penyebab
virus, penatalaksanaan ditujukan untuk mengobati gejala, kecuali pada
penyebab virus influenza dan HSV. Beberapa obat yang dapat digunakan
yaitu:
·         Amantadine

·         Rimantadine

·         Oseltamivir

·         Zanamivir; dapat digunakan untuk penyebab virus influenza A dan B

·         Asiklovir; digunakan untuk penyebab HSV.

KOMPLIKASI

- Demam scarlet, yang ditandai dengan demam dan bintik kemerahan

- Demam reumatik, yang dapat menyebabkan inflamasi sendi atau kerusakan


pada katup jantung. Pada negar berkembang, sekitar 20 juta orang mengalami
demam reumatik akut yang mengakibatkan kematian.Demam reumatik
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dari faringitis.

- Glomerulonefritis; Komplikasi berupa glomerulonefritis akut merupakan


respon inflamasi terhadap protein M spesifik. Kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk berakumulasi pada glomerulus ginjal yang akhirnya menyebabkan
glomerulonefritis ini.

- Abses peritonsilar biasanya disertai dengan nyeri faringeal, disfagia, demam,


dan dehidrasi.

- Shok

PENCEGAHAN

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah faringitis yaitu:


- Hindari pengunaan alat makan bersama pasien yang terkena faringitis,
memiliki demam flu, atau mononucleosis.

- Mencuci tangan secara teratur


- Tidak merokok, atau mengurangi pajanan terhadap asap rokok

- Menggunakan pelembab ruangan jika ruangan kering

PROGNOSIS

Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik. Pasien dengan


faringitis biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

C. Adenoid Hipetrofi

Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding
posterior nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin
Waldeyer. Secara fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami
hipertrofi. Adenoid ini membesar  pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil
dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila sering terjadi infeksi
pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan
mengakibatkan sumbatan pada koana dan tuba Eustachius. Akibat sumbatan
koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi (1) fasies adenoid,
yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen), arkus faring tinggi
yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang bodoh; (2) faringitis
dan  bronkitis; serta (3) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
menimbulkan sinusitis kronik. Obstruksi dapat mengganggu pernapasan hidung
dan menyebabkan  perbedaan dalam kualitas suara. Akibat sumbatan tuba
Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang dan akhirnya dapat terjadi otitis
media supuratif kronik. Akibat hipertrofi adenoid juga dapat menimbulkan
retardasi mental, pertumbuhan fisik berkurang, gangguan tidur dan tidur ngorok.
Hipertrofi adenoid juga dapat menyebabkan beberapa perubahan dalam struktur
gigi dan maloklusi.
Etiologi Etiologi pembesaran adenoid dapat diringkas menjadi 2, yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis, adenoid akan mengalami hipertrofi
pada masa puncaknya, yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup
membesar akan menimbulkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada
anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas
(ISPA). Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis yang berulang kali antara
usia 4-14 tahun.

Epidemiologi

 Prevalensi hipertrofi adenoid dapat diperkirakan jumlahnya dari tindakan


adenoidektomi yang dilakukan. Di Indonesia belum ada data nasional mengenai
jumlah operasi adenoidektomi atau tonsiloadenoidektomi, tetapi didapatkan data
dari Rumah Sakit Umum dr. Sardjito Yogyakarta dan Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta. Data dari Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito diperoleh bahwa jumlah kasus
selama 5 tahun (1999-2003) menunjukkankecenderungan penurunan jumlah
operasi tonsiloadenoidektomi. Puncak kenaikan, yaitu 275 kasus pada tahun 2000
dan terus menurun sampai 152 kasus pada tahun 2003. Demikian pula dari data
dari Rumah Sakit Fatmawati dalam 3 tahun (2002-2004) dilaporkan bahwa terjadi
kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi setiap tahunnya.

Patofisiologi

 Pada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldeyer sangat kecil. Pada anak
berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid
(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang
memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai
peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun
selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian
ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respon
terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan
tersumbatnya  jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha
yang keras untuk  bernapas, sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang
terbuka. Adenoid juga dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal
sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi
pada tuba Eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan
dalam telinga tengah akibat tuba Eustachius yang tidak bekerja efisien karena
adanya sumbatan. Penyebab utama hipertrofi jaringan adenoid adalah infeksi
saluran napas atas yang  berulang. Infeksi dari bakteri-bakteri yang memproduksi
beta-lactamase ,seperti Streptoccocus Beta Hemolytic Group A (SBHGA),
Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumonia dan
Haemophilus influenzae, apabila mengenai  jaringan adenoid akan menyebabkan
inflamasi dan hipertrofi. Jaringan adenoid yang seharusnya mengecil secara
fisiologis sejalan dengan pertambahan usia, menjadi membesar dan pada akhirnya
menutupi saluran pernapasan atas. Hambatan pada saluran pernapasan atas akan
mengakibatkan pernapasan melalui mulut dan pola perkembangan sindrom wajah
adenoid. Sindrom wajah adenoid diakibatkan oleh penyumbatan saluran napas
atas kronis oleh karena hipertrofi jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas
atas kronis menyebabkan kuantitas pernapasan atas menjadi menurun, sebagai
penyesuaian fisiologis penderita akan bernapas melalui mulut. Pernapasan melalui
mulut menyebabkan perubahan struktur dentofasial yang dapat mengakibatkan
maloklusi, yaitu posisi rahang  bawah yang turun dan elongasi, posisi tulang hyoid
yang turun sehingga lidah akan cenderung ke bawah dan ke depan, serta
meningginya dimensi vertikal. Faktor etiologi lainnya dari sindroma wajah
adenoid adalah inflamasi mukosa hidung, deviasi septum nasalis, anomali
kogenital dan penyempitan lengkung maksila.

Gejala Klinis

♣ Obstruksi Nasi

Pembesaran adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung


sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus
bernapas melalui mulut. Beberapa peneliti menunjukkan korelasi statistik
antara pembesaran adenoid dan kongesti hidung dengan rinoskopi anterior.

♣ Sleep Apnea

Sleep apnea pada anak berupa adanya episode apnea saat tidur dan
hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan
bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obstruksi, sentral atau
campuran.

♣ Facies Adenoid

Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid


mempunyai tampak muka yang karakteristik. Tampakan klasik tersebut
meliputi : Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang
pendek. Namun sering  juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan
menghisap dari botol dalam  jangka panjang. Hidung yang kecil, maksila tidak
berkembang/hipoplastik, sudut alveolar atas lebih sempit, dan arkus palatum
lebih tinggi.

♣ Efek Pembesaran Adenoid Pada Telinga


Hubungan pembesaran adenoid atau adenoiditis rekuren dengan otitis media
efusi telah dibuktikan baik secara radiologis maupun berdasarkan penelitian
tentang tekanan oleh Bluestone. Otitis media efusi merupakan keadaan dimana
terdapat efusi cairan di telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa
tanda-tanda radang. Hal ini dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada tuba
Eustachius. Keadaan alergik juga sering  berperan sebagai faktor tambahan
dalam timbulnya efusi cairan di telinga tengah.

Penegakkan Diagnosis

1) Tanda dan gejala klinik Bila hipertrofi adenoid berlangsung lama, akan
timbul wajah adenoid, yaitu pandangan kosong dengan mulut terbuka.
Biasanya langit-langit cekung dan tinggi. Karena  pernapasan melalui
hidung terganggu akibat sumbatan adenoid pada koana, terjadi gangguan
pendengaran dan penderita sering beringus.
2) Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum
palatum mole pada waktu fonasi. Pada pemeriksaan tepi anterior adenoid
yang hipertrofi terlihat melalui lubang hidung bila sekat hidung lurus dan
konka mengerut. Dengan meletakkan ganjal di antara deretan gigi atas dan
bawah, adenoid yang membesar dapat diraba.
3) Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).
4) Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran
adenoid secara langsung
5) Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral kepala agar
dapat melihat  pembesaran adenoid
6) CT scan merupakan modalitas yang lebih sensitif daripada foto polos
untuk identifikasi  patologi jaringan lunak, tapi kekurangannya karena
biaya yang mahal.
Tatalaksana
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang
menyebabkan obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang
menimbulkan penyulit lain. Operasi dilakukan dengan alat khusus
(adenotom). Kontraindikasi operasi adalah celah palatum atau insufisiensi
palatum karena operasi ini dapat mengakibatkan rinolalia aperta.
Kontraindikasi relatif berupa gangguan perdarahan, anemia, infeksi akut
yang berat, dan adanya penyakit  berat lain yang mendasari.

Indikasi adenoidektomi :
1) Sumbatan : sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui
mulut, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan
bentuk wajah muka dan gigi (adenoid  face).
2) Infeksi : adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi
berulang/kronik, otitis media akut berulang.
3) Kecurigaan neoplasma jinak/ganas.

Komplikasi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan
adenoid kurang  bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi
kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka
torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius
dan akan timbul tuli konduktif.
Prognosis
Adenotonsilektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada
kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat
sembuh sempurna, kerusakan akibat cor  pulmonal tidak menetap dan sleep
apnea dan obstruksi jalan napas dapat diatasi.

D. Pharingitis Alergica

Selain karena bakteri dan virus, faringitis juga bisa disebabkan oleh non-
infeksius etiologi, yaitu Gastroesophageal Reflex Disease, reflux laringofaringeal,
dan faringitis alergi. Pada faringitis alergi diikuti dengan adanya rasa gatal, post-
nasal drip, dan suara serak. Hidung berair merupakan gejala yang paling sering
diikuti dengan kongesti nasal. Terkadang diikuti kongesti sinus yang
menyebabkan nyeri kepala dan semakin memburuk saat berbaring dan membaik
dengan berdiri. Gejalanya mirip dengan sinusitis.

E. Tonsilopharyngitis

Definisi

Tonsilopharyingitis adalah sebuah penyakit peradangan yang mengenai tonsil dan


pharyng (terutama nasopharyng) oleh karena etiologi yang multifaktorial,
misalnya infeksi dan inflamasi.

Etiologi

Tonsilopharyingits seringnya merupakan sebuah komplikasi dari tonsillitis atau


pharyingitis yang tidak disembuhkan secara adekuat. Oleh karena itu, etiologi dari
tonsilopharyingitis terdiri dari :

- Bakteri Streptococcus β-hemolyticus grup A. Infeksi bakteri ini


merupakan yang tersering pada kondisi tonsilopharyingitis.
- Virus
- Neisseria gonorrheae
- Mycoplasma
- Chlamydia trachomatis

Epidemiologi

Menurut buku Current Medical Diagnosis and Treatment (McPhee et al, 2008),
kejadian tonsilopharyingitis mencapai 10% dari total pasien yang datang ke rumah
sakit di Amerika Serikat.

Patofisiologi

Masuknya infeksi oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A akan memicu proses


peradangan mukosa pada tonsil dan pharyng. Infeksi merusak jaringan,
melepaskan mediator inflamasi dan menarik neutrofil dan makrofag sebagai
pertahanan tubuh. Adanya inflamasi akan menyebabkan eritema atau warna
kemerahan pada mukosa, pembesaran tonsil dan dinding pharyng, dan sekresi
sekret dari sel-sel goblet akan meningkat diiringi oleh sekret hasil kerja sistem
imunitas sehingga menyebabkan adanya sekret purulen pada pasien dengan
tonsilopharyingitis.

Tanda dan Gejala

Dikenal adanya kriteria Centor, yaitu batuk berkurang seiring progresivitas


penyakit, demam lebih dari 380C, adenopati servikal anterior, dan eksudat/sekret
tonsilopharyngeal.

Pemeriksaan Fisik

Palpasi kelenjar limfonodus sekitar cavum oris dapat ditemukan pembesaran salah
satu limfonodus tersebut. Dengan rhinoskopi posterior, akan terlihat adanya
edema dan kemerahan pada mukosa tonsil dan dinding posterior pharyng.
Pemeriksaan laryng dapat pula menyingkap adanya post nasal drip.

Pemeriksaan Penunjang

Prinsipnya sama dengan pemeriksaan penunjang pada tonsillitis ataupun


pharyngitis. ASTO (+) menunjukkan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A.
Dari pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan leukositosis.

Penatalaksanaan

Pemberian antibiotik untuk mengeradikasi bakteri. Antibiotik yang dapat


digunakan antara lain Penicillin atau Erythromycin yang diberikan secara
intravena dan peroral. Regimen cephalosporin dapat diberikan jika bakteri terbukti
resisten terhadap penicillin.

Pemberian antipiretik dan analgesik dapat digunakan untuk pengobatan


simtomatis yaitu mengurangi demam dan nyeri yang terjadi.

Prognosis
Tonsilopharyingitis akan memiliki prognosis yang baik ketika etiologinya
diketahui dengan pasti dan diikuti oleh terapi yang adekuat, baik terapi etiologis
maupun simtomatisnya.

Pengobatan yang tidak adekuat akan menyebabkan keparahan dan komplikasi


lanjutan dari infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A pada
Tonsilopharyingitis.

Komplikasi

Infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dikenal memiliki berbagai macam


komplikasi sistemik yang cukup berbahaya, antara lain glomerulonefritis akut
pada sistem urogenitalia dan penyakit demam rematik pada sistem kardiovaskuler.

F. Tonsilitis Membranosa

Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa


beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut
Vincent.

1. TONSILITIS DIFTERI

ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu bakteri
gram positis pleomorfik5penghuni saluran pernapasan atas yang dapat
menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi
bakteriofag.

PATOFISIOLOGI
Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu
pembuluh darah dan limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai
2 fragmen yaitu aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B,
carboxyterminal yang disatukan melalui ikatan disulfide.

MANIFESTASI KLINIS
Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun.
Penularan melalui udara, benda atau makanan uang terkontaminasai dengan masa
in kubasi 2-7 hari. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu
subfebril, nyeri tnggorok, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi
lambat. Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor makin lama makin meluas  dan menyatu membentuk membran semu.
Membran ini melekat erat  pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan.
Jika menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila
menghebat akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung kelenjar limfa
leher akan membengkak menyerupai leher sapi. Gejala eksotoksin akan
menimbulkan kerusakan pada jantung berupa miokarditis sampai decompensation
cordis .

KOMPLIKASI
Laryngitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot
mata, otot faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan
albuminuria.

DIAGNOSIS
Diagnosis tonsillitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat
langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody technique yang memerlukan
seorang ahli.  Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphteriae dengan pembiakan pada
media Loffler dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR
(Polymerase Chain Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi
pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjagn lebih lanjut untuk
menggunakan secara luas.

PEMERIKSAAN
i. Tes Laboratorium
Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman(dari permukaan bawah
membrane semu). Medium transport yang dapat dipaki adalah agar Mac conkey
atauLoffler.
ii. Tes Schick (tes kerentnan terhapad dihteria)
iii. Terapi
Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis
20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit itu.

PENGOBATAN
Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit diphtheria. Secara umum dapat dilakukan dengan
cara istirahat selama kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.
Secara khusus dapat dilakukan dengan pemberian :
i. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
ii. Anti microbial : untuk menghentikan produksi toksin, yaitu penisilin prokain
50.000-100.000 KI/BB/hariselama 7-10 hari, bila alergi diberikan eritromisin 40
mg/kg/hari.
iii. Kortikosteroid : diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
iv. Pengobatan penyulit : untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik
oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible.
v. Pengobatan carrier : ditujukan bagi penderita  yang tidak mempunyai keluhan.

PENCEGAHAN
Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada
diri anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak.
Selain  itu juga diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan carrier.

TES KEKEBALAN

i. Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi dengan
toksoid diphtheria.
ii. Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2-3 minggu).

2. TONSILITIS SEPTIK
Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitiku yang terdapat dalam
susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena itu perlu adanya
pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.

3. ANGINA PLAUT VINCENT

ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C
serta kuman spirilum dan basil fusi form.

MANIFSTASI KLINIS
Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nuyeri kepala,
badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi, dan gusi berdarah.

PEMERIKSAAN
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan
kelenjar submanibula membesar.

PENGOBATAN
Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga
pemberian vitamin C dan B kompleks.
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis kelompok kami, perjalanan penyakit yang


dialami pasien dalam skenario yaitu awalnya mengalami pharyngitis akut. namun
karena pengobatan tidak adekuat atau karena sebab lain penyakit menjadi kronis
yaitu pharyngitis kronis lalu berlanjut dan menyebar ke tonsil dan adenoid yaitu
menjadi tonsilopharyngitis kronis dan adenotonsilitis kronis.

B. SARAN

Diskusi tutorial sudah berjalan dengan baik, tutor memberikan feed back
kepada mahasiswa, learning objective yang telah ditetapkan dapat terjawab
semua. Disamping itu, Kami menyarankan perlu adanya usaha yang maksimal
dalam pencarian jawaban LO dari mahasiswa untuk skenario selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Antistreptolysin O titer: MedlinePlus Medical Encyclopedia. 2014.


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003522.htm - diakses
September 2014
Evaluation of Poststreptococcal Illness: American Family Physician. 2014.
http://www.aafp.org/afp/2005/0515/p1949.html - diakses September 2014
Guyton, Hall .2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11; Fungsi sekresi
saluran pencernaan. Jakarta: EGC, hal 840
Kozier, ERB Blains, Wilkinson.1992.Buku Ajar FUNDAMENTAL
KEPERAWATAN KOZIER Jilid 1 Edisi 7. Jakarta : EGC
McPhee, Stephen J et al. 2008. Current Medical Diagnosis and Treatment 2008.
United States of America : McGraw-Hill Companies.
Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Pemeriksaan Telinga, Hidung,
Tenggorok Kepala Leher. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta. Ed. 3, jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.
118-20

National Institute Allergy and Infectious Disease. 2014. Is It A Cold Or An


Allergy?.http://www.niaid.nih.gov/topics/allergicdiseases/documents/cold
allergy.pdf
Pardede. 2013. Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita
Karsinoma Laring di. RSUP. H. Adam Malik Medan. Universitas
Sumatra Utara.
Sherwood, L. 2004. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
Soepardi, Efiaty Arsyad. 2001. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala Leher. ed. 5. Jakarta : Gaya Baru. 181-3

The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery (AAO-


HNS).
http://www.emedicinehealth.com/snoring/page2_em.htm
http://nizetlab.ucsd.edu/publication/pppid-pharyngitis.pdf

Anda mungkin juga menyukai