PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada skenario ketiga pada blok THT ini kami disuguhkan sebuah materi yang
menyangkut pharyngitis kronis, tonsilopharyngitis kronis, dan adenotonsilitis
kronis. Adapun skenarionya sebagai berikut :
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan pembahasan
A. Seven Jump
1. Langkah 1
2. Langkah 2
Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan yang dibicarakan pada skenario ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana anatomi pharing dan laring?
2. Bagaimana fisiologi menelan ?
3. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?
4. Mengapa anak merasa sakit untuk menelan?
5. Mengapa keluhan dirasakan sejak 3 tahun lalu dan pasien kalau tidur
mengorok?
6. Apa hubungan riwayat batuk, pilek dengan keluhann sekarang?
7. Bagaimana interpretasi dan prosedur pemeriksaan pharing?
8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium?
9. Apa hubungan keluhan dengan sesak nafas?
10. Bagaimana etiologi, prevalensi, manifestasi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi (tonsilitis
kronis, faringitis kronis, adenoid hipertrofi, faringitis alergi,
tonsilopharingitis, dan tonsillitis membranosa)?
11. Bagaimana derajat tonsilitis hipertrofi?
12. Bagaimana indikasi tonsilektomi?
13. Bagaimana cara pemeriksaan CRP?
3. Langkah 3
Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara
mengenai permasalahan
ANATOMI PHARYNX
Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti
corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Pharynx
panjangnya kira-kira 12 cm, yang membentang dari tuberculum
pharyngeum sampai setinggi tepi bawah cartilago cricoidea atau skeletopis
setinggi Vc6. Ke arah caudal, pharynx berperan ganda baik untuk proses deglutisi
maupun untuk respirasi. Oleh karena itu pharynx dapat berfungsi jalan makanan
maupun udara pernafasan. Pharynx terbagi atas tiga bagian yaitu nasopharynx,
oropharynx dan laryngopharynx.
Batas-batas dari pharynx dapat ditetapkan sebagai berikut:
Cranial : corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis
Caudal : (melanjutkan diri ke dalam) oesophagus
Ventral : - melalui choanae akan berhubungan dengan cavum nasi.
- melalui isthmus faucium akan berhubungan dengan
cavum oris.
- melalui aditus laryngis akan berhubungan dengan larynx
Dorsal : fascia preventebralis dan musculi prevertebralis serta VC1-6
Lateral : - processus styloideus dengan otot-otot yang melekat
disini.
- m.pterygoideus medialis
- vagina carotica
- glandula thyreoidea
- ostium pharyngeum tubae auditivae Eustachii
1. Nasopharynx
Nasopharynx disebut juga sebagai epipharynx. Nasopharynx
merupakan bagian dari pharynx yang terletak paling cranial, tepatnya di
bagian belakang dari cavum nasi. Baik cavum nasi maupun nasopharynx
keduanya secara fungsional berperan dalam systema respiratoria.
Nasopharynx berhubungan dengan oropharynx melalui isthmus
pharyngeus atau hiatus nasopharyngeus, yang dibatasi oleh palatum
molle, arcus palatopharyngeus dan dinding dorsal pharynx. Isthmus
pharyngeus ini akan menutup pada saat menelan. Choanae adalah lubang
penghubung antara nasopharynx dengan cavum nasi.
Seperti halnya cavum nasi, ruangan di nasopharynx selalu terbuka
oleh karena dindingnya (kecuali palatum molle) selalu dalam keadaan
tetap. Atap dari nasopharynx disebut pula sebagai fornix pharyngis, dan
dinding posterior nasopharynx akan melekat pada facies inferior corpus
ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Suatu massa
jaringan lymphoid yang terdapat di membrana mucosa dinding posterior
nasopharynx disebut sebagai tonsilla pharyngealis (adenoidea). Tonsilla
pharyngealis ini banyak terlihat pada anak-anak dan akan mengecil saat
pubertas.
Di setiap dinding lateral nasopharynx dijumpai adanya ostium
pharyngeum tubae auditivae. Ostium phryngeum tubae auditivae ini
dibatasi di sebelah atas dan belakangnya oleh suatu peninggian yang
disebut torus tubarius. Torus tubarius dibentuk oleh pars cartilaginea
tubae. Plica dari membrana mucosa yang berjalan descendens dari torus
tubarius ini menuju ke palatum, disebut sebagai plica salpingopalatina.
Sedangkan plica torus levatorius adalah plica yang disebabkan oleh
adanya m.levator veli palatini, yang berjalan dari osteum pharyngeum
tubae auditivae menuju ke palatum molle. Bagian dari cavum pharyngis
yang terletak di sebelah dorsal dari torus tubarius disebut sebagai
recessus pharyngeus. Recessus pharyngeus ini membentang ke arah
dorsal dan lateral, terletak antara m. longus capitis disebelah medial dan
m. levator veli palatini di sebelah lateral. Jaringan limphoid yang kadang-
kadang terdapat di membrana mucosa di recessus pharyngeus ini disebut
sebagai tonsilla tubaria.
2. Oropharynx
Oropharynx disebut pula sebagai mesopharynx. Oropharynx
membentang dari setinggi palatum molle di sebelah cranial sampai ke tepi
atas dari epiglottis di sebelah caudal. Oropharynx ini ke ventral akan
berhubungan dengan cavum oris melalui isthmus faucium, yang dibatasi
oleh :
Cranial : palatum molle
Lateral : arcus palatoglossus dan
Caudal : radix linguae
Di daerah isthmus faucium, terlihat adanya suatu lingkaran jaringan
lymphoid yang tersusun atas rangkaian dari:
Cranial : tonsjlla pharyngealis (adenoidea)
Lateral : tonsilla palatina
Caudal : tonsilla lingualis
Membrana mucosa yang menutupi epiglottis akan melanjutkan diri
untuk melapisi radix linguae. Membrana ini kemudian disebut sebagai
membrana glossoepiglottica. Penebalan dari membrana glossoepiglottica
di linea mediana membentuk plica glossoepiglottica mediana, sedangkan
penebalan di sebelah lateral kanan dan kiri disebut sebagai plica
glossoepiglottica laterale. Suatu cekungan yang dibatasi antara plica
glosso-epiglottica mediana dan plica glossoepiglottica laterale kanan dan
kiri disebut vallecula epiglottica. Ke arah posterior, oropharynx
berbatasan dengan corpus vertebrata cervicalis ke 2 dan ke 3.
Setiap dinding lateral oropharynx di jumpai arcus palatoglossus
dan arcus palatopharyngeus dari isthmus faucium. Arcus tersebut
disebabkan oleh m. palatoglossus dan m. palatopharyngeus. Daerah
triangulair yang terletak antara arcus palatoglossus dan arcus
palatopharyngeus disebut fossa tonsillaris yang akan ditempati oleh
tonsilla palatina.
Facies medialis tonsilla palatina adalah bebas, yang di sebelah
atasnya dijumpai fossa supratonsillaris. Pada permukaan ini dijumpai juga
lubang-lubang buntu yang disebut cryptae tonsillares. Cryptae ini
membentuk celah-celah lurus dengan epithel squamous, yang di sebelah
dalamnya dijumpai folikel lymphaticus. Cel-cel lymphocyt dapat
dijumpai di epithel dan dilepaskan bersama-sama dengan saliva, disebut
corpusculum salivarius.
Tonsilla palatina mendapat vascularisasi dari a. carotis externa
terutama oleh r. tonsillaris a.facialis, yang menembus m. constrictor
pharyngis superior dan masuk ke bagian caudal dari facies lateralis
tonsilla palatina. Perdarahan saat tonsillektomi berasal dari v. palatina
externa atau dari v. paratonsillaris yaitu suatu vena yang berjalan
descendens dari palatum molle, di sebelah lateral dari tonsilla palatina
dengan menembus m. constrictor pharyngis superior dan berakhir di v.
facialis.
Vasa lymphatica yang berasal dari tonsilla palatina akan bermuara
ke nodus lymphaticus. cervicalis profundus dan sebagian ke nodus
lymphaticus jugulodigastricus. Tonsilla palatina ini mendapat innervasi
dari cabang-cabang n. glossopharyngeus dan dari ganglion
pterygopalatinum.
Pada umur pubertas, secara fisiologis, tonsilla palatina mengalami
kemunduran. Tonsilla menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan saat
anak-anak.
3. Laryngopharynx
Laryngopharynx membentang dari setinggi tepi atas cartilago
epiglottica sampai ke tepi bawah dari cartilago cricoidea, kemudian akan
melanjutkan diri ke dalam oesophagus. Laryngopharynx disebut juga
sebagai hypopharynx. Di sebelah anterior dari laryngopharynx dijumpai
aditus laryngis, bagian dorsal dari cartilago arytaenoidea dan cartilago
cricoidea. Sedang di sebelah posterior laryngopharynx berbatasan dengan
corpus vertebrae cervicalis ke 4 sampai ke 6.
Recessus piriformis atau fossa piriformis adalah bagian dari
laryngopharynx yang terletak di kanan dan kiri dari aditus laryngis. Fossa
piriformis ini terletak di antara membrana hyothyreoidea dan cartilago
thyreoidea di sebelah lateral sedangkan di sebelah medial terletak di
antara cartilago cricoidea dan plica aryepiglottica serta cartilago
arytaenoidea. Cabang-cabang dari n. laryngeus internus dan a/v. laryngea
superior berada di bawah membrana mucosa dari fossa piriformis ini.Oleh
karena fossa piriformis ini berbentuk kantong, maka corpus alienum dapat
tertahan di sini.
ANATOMI LARYNX
Larynx merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas dan
terletak setinggi vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Batas atas larynx adalah aditus larynx sedangkan
batas kaudal cartilago cricoidea.
Cartilago Larynx terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Kelompok Cartilago mayor, terdiri dari :
a. Cartilago Thyroidea
Cartilago Thyroidea merupakan suatu cartilago hyalin yang membentuk
dinding anterior dan lateral larynx, dan merupakan cartilago yang terbesar. Terdiri
dari 2 sayap (alae thyroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya
tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan
disebut Adam’s Apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada
wanita 120 derajat.
b. Cartilago Cricoidea
Cartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI –
VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III - IV.
c. Cartilago Arytenoidea
Pada cartilago cricoidea, terdapat musculus cricoarytenoidea yang terletak
di posterolateral, dan di bagian anterior terdapat processus vocalis, tempat
melekatnya ujung posterior pita suara.. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap
prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah cartilago thyroidea membentuk
tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan
permukaan atas dari pita suara ini disebut glotis
2. Cartilago minor, terdiri dari :
a. Cartilago corniculata
b. Cartilago cuneiforme
c. Cartilago epiglottica
– Fase volunter
– Pharyngeal
– Esophageal
Pada fase ini, bolus yang masuk ke dalam oesophagus akan dicerna melalu
gerakan peristaltik oesophagus oleh otot-otot oesophagus. Kerja otot-otot ini
dipersarafi oleh plexus myentericus Auerbach yang merupakan bagian dari
sistem saraf otonom, sehingga kerjanya pun tidak kita sadari (involunter).
Batasan disfagia.
Disfagia harus dibedakan dari gejala lain yang berhubungan dengan proses
menelan.
* Afagia (tidak bisa menelan sama sekali) terjadi karena obstruksi lengkap
esofagus, biasanya akibat terjepitnya bolus makanan, dan merupakan keadaan
emergensi.
* Disfagia esofageal. Pada jenis disfagia yang paling sering ini, penderita tidak
mengalami masalah pada inisiasi dari proses menelan, namun mengalami
gangguan pada saat proses tersebut berlangsung.
* Gangguan pada lumen (misalnya akibat bolus yang besar, adanya benda
asing)
5. Mengapa keluhan dirasakan sejak 3 tahun yang lalu dan pasien kalau tidur
mengorok?
Dengan menekan bagian tengah lidah memakai spatula lidah maka bagian-
bagian rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat
keadaan dinding belakang faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi dan
gigi geligi.
Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain- lain.
Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Kaca
laring dihangatkan dengan api lampu spiritus agar tidak terjadi konensi uap air
pada kaca waktu dimasukkan ke dalam mulut. Sebelum dimasukkan ke dalam
mulut kaca yang sudah dihangatkan dicoba dulu pada kulit tangan kiri apakah
tidak terlalu panas. Pasien diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya
sejauh mungkin. Lidah dipegang dengan tangan tangan kiri memakai kain kasa
dan ditarik keluar dengan hati- hati sehingga pangkal lidah tidak menghalangi
pandangan ke arah laring. Kemudian kaca laring dimasukkan ke dalam mulut
dengan arah kaca ke bawah, bersandar pada uvula dan palatum mole. Melalui
kaca dapat terlihat hipofaring dan laring. Bila laring belum terlihat jelas penarikan
lidah dapat ditambah sehingga pangkal lidah lebih kedepan dan epiglotis lebih
terangkat.
Untuk menilai gerakan pita suara aduksi pasien diminta mengucapkan ‘iii’,
sedangkan untuk menilai gerakan pita suara abduksi dan melihat subglotik pasien
diminta untuk inspirasi dalam.
ASTO atau ASO adalah tes darah untuk memeriksa antibodi anti
streptolysin O, yang diproduksi bakteri Streptococcus grup A. [1]
Sebelum dilakukan pemeriksaan ASTO, pasien tidak diperbolehkan makan
dalam kurun waktu 6 jam. [1]
ASTO dilakukan jika pasien mengalami gejala akibat infeksi sebelumnya
oleh Streptococcus grup A. Beberapa penyakit yang disebabkannya antara lain: [1]
endocarditis bacterial
glomerulonephritis
demam rheumatik, yang dapat mempengaruhi jantung, sendi, atau tulang
scarlet fever
strep throat (radang tenggorokan)
Dalam skenario, nilai ASTO : (+), ini menandakan bahwa pasien positif terinfeksi
bakteri.
4. Langkah 4
Badan demam
disertai suara Keluhan Sakit
serak Pasien tengggorok
- Keluhan sudah
dirasakan 3 tahun
Tanda dan
- Pasien mengorok jika Gejala
tidur (ANAMNESIS)
- Tidak ada sesak nafas Pemeriksaan pharing :
- Riwayat batuk dan - Mukosa Pharing
terdapat granuloma
Pemeriksaan dan hiperemi
Fisik - Tonsil hipertrofi dan
terdapat detritus
- Plika vokalis oedema
Pemeriksaan dan hiperemis
ASTO : (+)
Penunjang
Diagnosis
Banding &
Diagnosis Kerja
Tata laksana,
prognosis, dan
komplikasi
5. Langkah 5
Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Bagaimana hubungan jenis kelamin dengan keluhan ?
2. Bgaimana hubungan riwayat batuk pilek dengan keluhan sekarang?
3. Bagaimana hubungan keluhan dengan sesak nafas?
4. Bagaimana derajat tonsil hipertrofi?
5. Bagaimana indikasi tonsilektomi?
6. Bagaimana pemeriksaan CPR?
7. Menjelaskan tentang diagnosis banding (etiologi, prevalensi,
epidemiologi, patogenesis , faktor resiko, gejala dan tanda, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, komplikasi, tatalaksana, prognosis dari :
a. Tonsillitis kronis
b. Pharyngitis kronis
c. Adenoid hipertrofi
d. Pharyngitis alergica
e. Tonsilopharyngitis
f. Tonsilitis Membranosa
Riwayat sering batuk dan pilek pada pasien bisa merupakan manifestasi
dari infeksi berulang atau alergi. Perbedaan dari keduanya dapat dilihat dalam
Gambar. Namun, keduanya sama-sama dapat mendukung infeksi pada faring
maupun tonsil seperti pada skenario.
INDIKASI ABSOLUT:
INDIKASI RELATIF:
Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang
memadai.
Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan
dengan antibiotika.
Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan
dengan keganasan (neoplastik)
KONTRAINDIKASI TONSILEKTOMI
b) Resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
c) Anemia
d) Infeksi akut
A. Tonsillitis kronis
Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun.
Tonsilitis kronis dapat berasal dari tonsilitis akut yang dibiarkan saja atau karena
pengobatan yang tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi dari
tempat lain, misalnya karena adanya sekret dari infeksi di sinus dan di hidung
(sinusistis kronis dan rhinitis kronik), atau karies gigi.
Adapun yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan histologik pada
tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan
fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel – sel radang. Mikroabses pada tonsilitis
kronis maka tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ – organ lain, seperti
sendi, ginjal, jantung dan lain – lain.
Epidemiologi
Pada penelitian Sing T (2002) mendapatkan laki – laki 342orang (52%) dan
wanita 315orang (48%). mendapatkan hasil penelitian laki – laki 145 orang
(48,2%) dan perempuan 156 orang (51,8%).
- Pengaruh cuaca
- Kelelahan fisik
- Merokok
- Makanan
c. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju
d. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis
pada tonsil.
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar
(hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada
dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar
limfe angulus mandibular.
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4 :
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior –
uvula
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½ jarak
anterior – uvula
T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior – uvula
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang
dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi
hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat
menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur
yang dapat diketahui dalam anamnesis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu secara mikrobiologi.
Pemeriksaan dengan antimikroba sering gagal untuk segera dikasi kuman patogen
dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau
penetrasi anitbiotika yang inadekuat.
B. Pharyngitis kronis
1. Faringitis Akut
Faringitis virus atau bakterialis akut adalah penyakit yang sangat penting.
Beberapa usaha dilakukan pada klasifikasi peradangan akut yang mengenai
dinding faring. Yang paling logis untuk mengelompokkan sejumlah infeksi-
infeksi ini dibawah judul yang relatif sederhana “Faringitis Akut”. Disini
termasuk faringitis akut yang terjadi pada pilek biasa sebagai akibat penyakit
infeksi akut seperti eksantema atau influenza dan dari berbagai penyebab yang
tidak biasa seperti manifestasi herpesdan sariawan.
2. Faringitis Kronis
Faring kronis atrofi sering timbul bersama dengan rinitis atrofi.Pada rinitis
atrofi udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi faring.
c. Faringitis Spesifik
1. Faringitis Luetika
a) Stadium Primer
Kelainan pada stadium ini terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil, dan
dinding faring posterior.Kelainan ini berbentuk bercak keputihan di tempat
tersebut.
b) Stadium Sekunder
Stadium ini jarang ditemukan.Pada stadium ini terdapat pada dinding faring
yang menjalar ke arah laring.
c) Stadium Tersier
2. Faringitis Tuberkulosa
Kuman tahan asam dapat menyerang mukosa palatum mole, tonsil, palatum
durum, dasar lidah dan epiglotis. Biasanya infeksi di daerah faring merupakan
proses sekunder dari tuberkulosis paru, kecuali bila terjadi infeksi kuman
tahan asam jenis bovinum, dapat timbul tuberkulosis faring primer.
ETIOLOGI
a. Virus
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis. Beberapa jenis virus ini
yaitu:
· Rhinovirus
· Coronavirus
· Virus influenza
· Virus parainfluenza
· Adenovirus
· Herpes Simplex Virus tipe 1 dan 2
· Coxsackievirus A
· Cytomegalovirus
· Virus Epstein-Barr
· HIV
b. Bakteri
Beberapa jenis bakteri penyebab faringitis yaitu:
Streptoccocus pyogenes, merupakan penyebab terbanyak pada faringitis akut.
Streptokokus grup A, merupakan penyebab terbanyak pada anak usia 5 – 15 th
EPIDEMIOLOGI
Anak rata-rata terdapat 5 kali infeksi saluran pernafasan bagian atas dan pada
orang dewasa hampir separuhnya. Kasus Faringitis akut di Rumah Sakit Panti
Rapih tahun 2010 sebesar 5.305 kasus. Di USA, faringitis terjadi lebih sering
terjadi pada anak-anak daripada pada dewasa. Sekitar 15 – 30 % faringitis
terjadi pada anak usia sekolah, terutama usia 4 – 7 tahun, dan sekitar 10%nya
diderita oleh dewasa. Faringitis ini jarang terjadi pada anak usia <3 tahun.
Penyebab tersering dari faringitis ini yaitu streptokokus grup A, karena itu
sering disebut faringitis GAS (Group AStreptococci). Bakteri penyebab
tersering yaitu Streptococcus pyogenes. Sedangkan, penyebab virus tersering
yaitu rhinovirus dan adenovirus. Masa infeksi GAS paling sering yaitu pada
akhir musim gugur hingga awal musim semi.Faringitis kronis umumnya
terjadi pada individu dewasa yang bekerja di suasana berdebu, menggunakan
suara berlebihan, batuk kronis, pengguna alkohol dan tembakau, Inhalasi uap
yang merangsang mukosa faring. Pasien yang bernafas melalui mulut karna
hidungnya tersumbat
PATOFISIOLOGI
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi
menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat
pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring
menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu
terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid
dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral,
menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan
Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat
sekresi nasal. Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi
lokal dan pelepasan extracellular toxins dan protease yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Group A
streptococcus memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada myocard
dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan kerusakan katub jantung.
Selain itu juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis karena fungsi
glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
GEJALA
Baik pada infeksi virus maupun bakteri, gejalanya sama yaitu nyeri
tenggorokan dan nyeri menelan. Selaput lendir yang melapisi faring
mengalami peradangan berat atau ringan dan tertutup oleh selaput yang
berwarna keputihan atau mengeluarkan nanah. Gejala lainnya adalah:
1. Demam
Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun bakteri,
tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi karena bakteri.
Kenali gejala umum radang tenggorokan akibat infeksi virus sebagai berikut:
1. Rasa pedih atau gatal dan kering.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
· Tes Monospot, merupakan tes antibodi heterofil. Tes ini digunakan untuk
mengetahui adanya mononukleosis dan dapat mendeteksi penyakit dalam
waktu 5 hari hingga 3 minggu setelah infeks.
· Tes deteksi antigen cepat; tes ini memiliki spesifisitas yang tinggi namun
sensitivitasnya rendah.
PENATALAKSANAAN
- Penicillin benzathine; diberikan secara IM dalam dosis tunggal
- Eritromisin.
· Rimantadine
· Oseltamivir
KOMPLIKASI
- Shok
PENCEGAHAN
PROGNOSIS
C. Adenoid Hipetrofi
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding
posterior nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin
Waldeyer. Secara fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami
hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil
dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila sering terjadi infeksi
pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan
mengakibatkan sumbatan pada koana dan tuba Eustachius. Akibat sumbatan
koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi (1) fasies adenoid,
yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen), arkus faring tinggi
yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang bodoh; (2) faringitis
dan bronkitis; serta (3) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
menimbulkan sinusitis kronik. Obstruksi dapat mengganggu pernapasan hidung
dan menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara. Akibat sumbatan tuba
Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang dan akhirnya dapat terjadi otitis
media supuratif kronik. Akibat hipertrofi adenoid juga dapat menimbulkan
retardasi mental, pertumbuhan fisik berkurang, gangguan tidur dan tidur ngorok.
Hipertrofi adenoid juga dapat menyebabkan beberapa perubahan dalam struktur
gigi dan maloklusi.
Etiologi Etiologi pembesaran adenoid dapat diringkas menjadi 2, yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis, adenoid akan mengalami hipertrofi
pada masa puncaknya, yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup
membesar akan menimbulkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada
anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas
(ISPA). Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis yang berulang kali antara
usia 4-14 tahun.
Epidemiologi
Patofisiologi
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldeyer sangat kecil. Pada anak
berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid
(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang
memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai
peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun
selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian
ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respon
terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan
tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha
yang keras untuk bernapas, sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang
terbuka. Adenoid juga dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal
sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi
pada tuba Eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan
dalam telinga tengah akibat tuba Eustachius yang tidak bekerja efisien karena
adanya sumbatan. Penyebab utama hipertrofi jaringan adenoid adalah infeksi
saluran napas atas yang berulang. Infeksi dari bakteri-bakteri yang memproduksi
beta-lactamase ,seperti Streptoccocus Beta Hemolytic Group A (SBHGA),
Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumonia dan
Haemophilus influenzae, apabila mengenai jaringan adenoid akan menyebabkan
inflamasi dan hipertrofi. Jaringan adenoid yang seharusnya mengecil secara
fisiologis sejalan dengan pertambahan usia, menjadi membesar dan pada akhirnya
menutupi saluran pernapasan atas. Hambatan pada saluran pernapasan atas akan
mengakibatkan pernapasan melalui mulut dan pola perkembangan sindrom wajah
adenoid. Sindrom wajah adenoid diakibatkan oleh penyumbatan saluran napas
atas kronis oleh karena hipertrofi jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas
atas kronis menyebabkan kuantitas pernapasan atas menjadi menurun, sebagai
penyesuaian fisiologis penderita akan bernapas melalui mulut. Pernapasan melalui
mulut menyebabkan perubahan struktur dentofasial yang dapat mengakibatkan
maloklusi, yaitu posisi rahang bawah yang turun dan elongasi, posisi tulang hyoid
yang turun sehingga lidah akan cenderung ke bawah dan ke depan, serta
meningginya dimensi vertikal. Faktor etiologi lainnya dari sindroma wajah
adenoid adalah inflamasi mukosa hidung, deviasi septum nasalis, anomali
kogenital dan penyempitan lengkung maksila.
Gejala Klinis
♣ Obstruksi Nasi
♣ Sleep Apnea
Sleep apnea pada anak berupa adanya episode apnea saat tidur dan
hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan
bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obstruksi, sentral atau
campuran.
♣ Facies Adenoid
Penegakkan Diagnosis
1) Tanda dan gejala klinik Bila hipertrofi adenoid berlangsung lama, akan
timbul wajah adenoid, yaitu pandangan kosong dengan mulut terbuka.
Biasanya langit-langit cekung dan tinggi. Karena pernapasan melalui
hidung terganggu akibat sumbatan adenoid pada koana, terjadi gangguan
pendengaran dan penderita sering beringus.
2) Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum
palatum mole pada waktu fonasi. Pada pemeriksaan tepi anterior adenoid
yang hipertrofi terlihat melalui lubang hidung bila sekat hidung lurus dan
konka mengerut. Dengan meletakkan ganjal di antara deretan gigi atas dan
bawah, adenoid yang membesar dapat diraba.
3) Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).
4) Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran
adenoid secara langsung
5) Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral kepala agar
dapat melihat pembesaran adenoid
6) CT scan merupakan modalitas yang lebih sensitif daripada foto polos
untuk identifikasi patologi jaringan lunak, tapi kekurangannya karena
biaya yang mahal.
Tatalaksana
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang
menyebabkan obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang
menimbulkan penyulit lain. Operasi dilakukan dengan alat khusus
(adenotom). Kontraindikasi operasi adalah celah palatum atau insufisiensi
palatum karena operasi ini dapat mengakibatkan rinolalia aperta.
Kontraindikasi relatif berupa gangguan perdarahan, anemia, infeksi akut
yang berat, dan adanya penyakit berat lain yang mendasari.
Indikasi adenoidektomi :
1) Sumbatan : sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui
mulut, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan
bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face).
2) Infeksi : adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi
berulang/kronik, otitis media akut berulang.
3) Kecurigaan neoplasma jinak/ganas.
Komplikasi
Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan
adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi
kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka
torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius
dan akan timbul tuli konduktif.
Prognosis
Adenotonsilektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada
kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat
sembuh sempurna, kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan sleep
apnea dan obstruksi jalan napas dapat diatasi.
D. Pharingitis Alergica
Selain karena bakteri dan virus, faringitis juga bisa disebabkan oleh non-
infeksius etiologi, yaitu Gastroesophageal Reflex Disease, reflux laringofaringeal,
dan faringitis alergi. Pada faringitis alergi diikuti dengan adanya rasa gatal, post-
nasal drip, dan suara serak. Hidung berair merupakan gejala yang paling sering
diikuti dengan kongesti nasal. Terkadang diikuti kongesti sinus yang
menyebabkan nyeri kepala dan semakin memburuk saat berbaring dan membaik
dengan berdiri. Gejalanya mirip dengan sinusitis.
E. Tonsilopharyngitis
Definisi
Etiologi
Epidemiologi
Menurut buku Current Medical Diagnosis and Treatment (McPhee et al, 2008),
kejadian tonsilopharyingitis mencapai 10% dari total pasien yang datang ke rumah
sakit di Amerika Serikat.
Patofisiologi
Pemeriksaan Fisik
Palpasi kelenjar limfonodus sekitar cavum oris dapat ditemukan pembesaran salah
satu limfonodus tersebut. Dengan rhinoskopi posterior, akan terlihat adanya
edema dan kemerahan pada mukosa tonsil dan dinding posterior pharyng.
Pemeriksaan laryng dapat pula menyingkap adanya post nasal drip.
Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan
Prognosis
Tonsilopharyingitis akan memiliki prognosis yang baik ketika etiologinya
diketahui dengan pasti dan diikuti oleh terapi yang adekuat, baik terapi etiologis
maupun simtomatisnya.
Komplikasi
F. Tonsilitis Membranosa
1. TONSILITIS DIFTERI
ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu bakteri
gram positis pleomorfik5penghuni saluran pernapasan atas yang dapat
menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi
bakteriofag.
PATOFISIOLOGI
Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu
pembuluh darah dan limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai
2 fragmen yaitu aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B,
carboxyterminal yang disatukan melalui ikatan disulfide.
MANIFESTASI KLINIS
Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun.
Penularan melalui udara, benda atau makanan uang terkontaminasai dengan masa
in kubasi 2-7 hari. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu
subfebril, nyeri tnggorok, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi
lambat. Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor makin lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu.
Membran ini melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan.
Jika menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila
menghebat akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung kelenjar limfa
leher akan membengkak menyerupai leher sapi. Gejala eksotoksin akan
menimbulkan kerusakan pada jantung berupa miokarditis sampai decompensation
cordis .
KOMPLIKASI
Laryngitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot
mata, otot faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan
albuminuria.
DIAGNOSIS
Diagnosis tonsillitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat
langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody technique yang memerlukan
seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphteriae dengan pembiakan pada
media Loffler dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR
(Polymerase Chain Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi
pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjagn lebih lanjut untuk
menggunakan secara luas.
PEMERIKSAAN
i. Tes Laboratorium
Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman(dari permukaan bawah
membrane semu). Medium transport yang dapat dipaki adalah agar Mac conkey
atauLoffler.
ii. Tes Schick (tes kerentnan terhapad dihteria)
iii. Terapi
Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis
20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit itu.
PENGOBATAN
Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit diphtheria. Secara umum dapat dilakukan dengan
cara istirahat selama kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.
Secara khusus dapat dilakukan dengan pemberian :
i. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
ii. Anti microbial : untuk menghentikan produksi toksin, yaitu penisilin prokain
50.000-100.000 KI/BB/hariselama 7-10 hari, bila alergi diberikan eritromisin 40
mg/kg/hari.
iii. Kortikosteroid : diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
iv. Pengobatan penyulit : untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik
oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible.
v. Pengobatan carrier : ditujukan bagi penderita yang tidak mempunyai keluhan.
PENCEGAHAN
Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada
diri anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak.
Selain itu juga diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan carrier.
TES KEKEBALAN
i. Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi dengan
toksoid diphtheria.
ii. Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2-3 minggu).
2. TONSILITIS SEPTIK
Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitiku yang terdapat dalam
susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena itu perlu adanya
pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C
serta kuman spirilum dan basil fusi form.
MANIFSTASI KLINIS
Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nuyeri kepala,
badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi, dan gusi berdarah.
PEMERIKSAAN
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan
kelenjar submanibula membesar.
PENGOBATAN
Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga
pemberian vitamin C dan B kompleks.
BAB III
A. SIMPULAN
B. SARAN
Diskusi tutorial sudah berjalan dengan baik, tutor memberikan feed back
kepada mahasiswa, learning objective yang telah ditetapkan dapat terjawab
semua. Disamping itu, Kami menyarankan perlu adanya usaha yang maksimal
dalam pencarian jawaban LO dari mahasiswa untuk skenario selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA