Anda di halaman 1dari 12

Perspektif Islam terhadap Waria

Disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah Analisis Kasus Dakwah

Dosen Pengampu :

Dr. H. Nawari Ismail, M.Ag.

Disusun oleh:

Abdul Alim Musyafa (20190710108)

Asman (20190710110)

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan hidayah-Nyalah
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas mata Analisis
Kasus Dakwah. Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempuranaan
pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang memberikan bantuan dalam
pembuatan makalah ini dan semoga diberikan imbalan yang setimpal oleh Allah SWT.
Semoga makalah ini dapat berguna di masa depan khususnya untuk para pembaca dan para
pengamat materi kami.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yogyakarta, 07 November 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
i. Latar Belakang Masalah.............................................................................................................4
ii. Rumusan Masalah :.................................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. Definisi Waria......................................................................................................................5
B. Faktor Pendorong Seseorang menjadi Waria...................................................................6
C. Istilah Waria dalam Islam...................................................................................................7
D. Perspektif Islam terhadap Waria.......................................................................................9
BAB III...............................................................................................................................................10
PENUTUP..........................................................................................................................................10
A. Kesimpulan................................................................................................................................10
DAFTAR PUSAKA...........................................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

i. Latar Belakang Masalah

Waria merupakan sebutan bagi pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita. “Waria
(dari kata wanita dan pria) atau wadam (lakuran dari kata hawa dan adam) adalah laki- laki
yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupan sehari- harinya. Keberadaan
waria telah tercatat sejak lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam
setiap masyarakat. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan
biologisnya(hermafroditisme),orientasi seksual(homoseksualitas),maupunakibat pengondisian
lingkungan pergaulan. “Kehadiran waria sebagai salah satu jenis kelamin ketiga memang
masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Hal ini memicu adanya berbagai macam
pandangan dan perspektif tentang waria. Semua itu mencerminkan betapa kompleksnya
permasalahan waria ini. Gejala kewariaan yang selama ini dianggap sebagai gejala
abnormalitas seksual, tentunya tidak dapat dipisahkan dari komponen-komponen kehidupan
seseorang yang tampak semakin rumit dan sulit dicari garis tegasnya (Nadia, 200: 23).
Berbagai pandangan tentang keberadaan waria banyak bermunculan, mulai dari positif
hingga negatif. Secara umum masyarakat memiliki stigma terhadap waria bahwa waria
merupakan makhluk aneh yang menyalahi kodrat Tuhan dalam hal seksualitas dan gender,
sehingga seringkali waria dijuluki dengan kata banci atau bencong. Pemberian julukan
tersebut menyebabkan waria menjadi bahan olokan di tengah masyarakat serta sering menjadi
korban yaitu mendapatkan perlakuan tidak enak dari aparat keamanan, misalnya ketika
adanya razia (Hartoyo,2014 : 9). Adanya stigma tentang waria yang melekat pada masyarakat
berpengaruh pada eksistensi waria di kehidupan sosialnya. Seperti yang dijelaskan pada hasil
penelitian Firman Afranda dari Universitas Hasanudin Makasar tentang kontruksi sosial
masyarakat terhadap waria, waria dipandang sebelah mata serta dianggap negatif yang identik
dengan pekerja malam, mabuk-mabukan, dan sebagainya. Bahkan waria dianggap tidak
sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat dan masyarakat cenderung menjauhi, kecuali
jika ada kepentingan dengan waria tersebut.
ii. Rumusan Masalah :

1. Apa yang dimaksud dengan Waria?


2. Apa saja faktor pendorong seseorang menjadi Waria?
3. Istilah Waria dalam islam
4. Bagaimana perspektif islam tentang Waria?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Waria

Dilansir di Wikipedia, Waria (lakuran dari kata wanita dan pria) atau wadam (lakuran
darikata hawa dan adam) adalah lakilaki yang lebih suka berperan sebagai perempuan
dalam kehidupan sehari-harinya. Secara fisik, mereka adalah laki-laki (memiliki alat
kelamin layaknya laki-laki), tetapi mereka mengekspresikan identitas gendernya
sebagai perempuan. Keberadaan waria telah tercatat sejak lama dalam sejarah dan
memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Namun demikian, tidak
semua waria dapat diasosiasikan sebagai homoseksual. Pilihan menjadi waria sama
sekali tidak berhubungan dengan kondisi biologis (seksual) mereka, melainkan
berhubungan dengan "kebutuhan" mereka untuk mengekspresikan identitas
gendernya.
Sebutan bencong atau banci juga dikenakan terhadap waria. Namun sebutan tersebut
bersifat negatif dan terlalu kasar. Sedangkan terminologi priawan adalah kebalikan
dari waria, yaitu pria yang secara biologis wanita, baik yang melakukan transisi
ataupun tidak. Pada tanggal 16 Februari 2015 Para Priawan Indonesia
mendeklarasikan Persatuan Priawan Indonesia, sebagai wadah dan Jaringan kerja
antar priawan dan pusat informasi mengenai priawan Indonesia. Umumnya, para
waria bekerja di sektor informal seperti mengamen, menjadi pegawai salon, tukang
pijat dan lain-lain. Di beberapa kota besar, seperti Yogyakarta misalnya, kerap
dijumpai para waria mengamen di lampu merah, di warung-warung pinggir jalan,
hingga di pasar. Masyarakat umum bahkan ada yang mengasosiasikan pekerjaan
waria sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) karena kebiasaan mereka yang gemar
keluar malam.
Namun demikian, baik identitas sebagai waria maupun pekerjaan yang sedang mereka
tekuni, sering dianggap negatif oleh masyarakat. Identitas gender waria dianggap
melanggar kodrat Tuhan hingga negara, melalui MUI, mengeluarkan fatwa bahwa
keberadaan waria adalah haram. Stereotipe negatif yang dialamatkan kepada waria
tidak jarang ada yang berbuah menjadi tindakan kekerasan. Tidak sedikit waria yang
pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun verbal, ketika sedang menjalankan
pekerjaan atau sedang melakukan aktivitas lain seperti mengikuti seminar.

Masyarakat Indonesia secara umum berada di dalam lingkungan dengan kerangka


heteronormatif yang menjadi pondasinya. Kerangka tersebut percaya bahwa hanya
ada dua identitas seksual berikut konstruksi gender yang mengikutinya, yaitu laki-laki
dan perempuan. Menurut kerangka tersebut, laki-laki sewajarnya berpasangan dengan
perempuan dan sebaliknya. Ketika muncul identitas gender lain di luar laki-laki dan
perempuan (seperti waria), maka akan dianggap tidak normal, aneh, dan menyimpang.
Terlebih lagi, ketika waria tersebut juga seorang pecinta sesama jenis (gay), stereotipe
negatif tersebut akan semakin sering dialamatkan kepada mereka. Frame
heteronormatif tersebut menjadi awal mula munculnya beragam stereotipe negatif
berikut perlakuan kasar yang dialamatkan oleh masyarakat kepada waria.

B. Faktor Pendorong Seseorang menjadi Waria

Penyebab adanya perilaku waria ini tidak dapat dijelaskan dengan sederhana
dikarenakan ada banyak faktor penyebab seperti faktor lingkungan dan pola
asuh orang tua yang cenderung mendidik dengan kasih sayang yang
berlebihan. Sesuai dengan pokok masalah yang ada, maka tujuan penulisan
karya ilmiah ini adalah: untuk mengetahui krisis identitas yang dihadapi oleh
waria dan mengetahui faktor penyebab krisis identitas waria. Penyebab adanya
perilaku waria ini tidak dapat dijelaskan dengan sederhana dikarenakan ada banyak
faktor penyebab seperti yang dikatakan oleh Randanan Bandaso, ”kebanyakan berasal
dari lingkungan terdekat si waria, dan pola asuh yang salah dari orang tua yang
condong pada gender tertentu. Misalnya orang tua yang menginginkan seorang anak
perempuan sedangkan anaknya adalah anak laki-laki, dan cenderung mendidik
anaknya tersebut layaknya anak perempuan. Hal seperti ini tentu dapat
mempengaruhi kejiwaan si anak dalam pertumbuhannya dimana ia akan mengalami
yang namanya konflik identitas. Setiap individu diharapkan dapat memahami perannya
sesuai jenis kelamin. Keberhasilan seseorang dalam menentukan identitas jenis
kelamin ditentukan oleh berhasil atau tidaknya orang itu dalam menerima dan
memahami perilakunya sesuai dengan peran jenis kelaminnya, namun jika ia gagal
menerima dan memahami peran jenis kelaminnya maka orang tersebut akan
mengalami konflik identitas.

Faktor lain yang mungkin juga dapat menyebabkan seseorang mengalami konflik
identitas adalah pengaruh hormon. karna seorang perempuan dengan jumlah
hormon androgen adrenal yang terlalu banyak atau berlebihan yang diproduksi
selama dalam kandungan, cenderung menjadi kelaki-lakian. Sebaliknya pada laki-laki
yang memiliki hormon perempuan cenderung berperilaku feminim.

Dalam konteks psikologis, waria termasuk sebagai penderita transeksualisme, yakni seseorang
yang secara fisik memiliki jenis kelamin yang jelas dan sempurna, namun secara psikis
cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenisnya. Seorang waria memakai pakaian
atau atribut perempuan karena dirinya secara psikis merasa sebagai wanita (Hearn, 1985).
Secara individual, munculnya perilaku waria tidak lepas dari suatu proses atau dorongan yang
kuat, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis Seorang Waria
mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dari laki-laki normal, tapi bukan sebagai
wanita yang normal pula. Masalah yang dihadapi seorang waria tidak hanya menyangkut
moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, tapi juga dorongan seksual yang sudah
menetap dan membutuhkan penyaluran (Kartono,1989). Masyarakat juga masih menganggap
waria identik dengan pelacuran, seks bebas, penyakit kotor, atau pelaku seksual menyimpang
(Koeswinarno, 2004).
Persoalan tersebut, memberi gambaran bahwa waria, berada dalam kondisi yang tidak
menguntungkan. Sebagai pribadi, waria terjebak dalam tubuh yang tidak sesuai dengan
jiwanya, sebagai makhluk sosial,

C. Istilah Waria dalam Islam

Dalam Fiqih para ulama mazhab telah membahas persoalan ini, namun homoseksual, banci
dan kelamin ganda adalah tiga hal yang berbeda. Ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan
guna memahami hal ini.

1. Khuntsa
Yaitu seseorang yang memiliki dua alat kelamin. Biasa diterjemahkan dengan hermaphrodit
(untuk hewan) atau intersex (untuk manusia). Fiqih Islam klasik mengakui khuntsa bahkan
ada fikih khusus khuntsa.
2. Mukhannats Biasa diartikan banci atau waria (wanita-pria). Mukhannats adalah lelaki yang
memiliki kelamin lelaki, tapi berperilaku mirip perempuan. Dalam hal ini, mukhannats dibagi
menjadi dua: pertama, mukhannats bil khilqah. Yaitu seorang lelaki yang memang sifat
bawan lahirnya seperti perempuan; cara bicara, gestur tubuh dan semua tingkahnya. Orang
sering mengatakan, jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki.
Mukhannats jenis ini dibagi menjadi dua yaitu pertama, memiliki syahwat terhadap wanita
meski berperilaku seperti wanita dan yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Jika dia
memiliki syahwat terhadap perempuan, maka statusnya sebagaimana lelaki pada umumnya
dan berlaku atasnya hukum lelaki. Namun jika tidak memiliki hasrat terhadap wanita, dia
dibolehkan bergaul bersama wanita. Bahkan Mazhab Hanbali menayamakan statusnya seperti
mahram (al Mughni VII/426). Mereka dimasukkan dalam kategori ghoiru ulil irbah (lelaki
yang tak memiliki syahwat terhadap wanita).

Kedua, mukhannats yang dibuat-buat. Yaitu seorang lelaki normal yang sengaja menjadi
banci. Meniru gaya bicara dan perilaku wanita. Jenis ini adalah mukhannats yang dilaknat
sebagaimana dalam hadits larangan bagi lelaki meniru perilaku wanita.

Imam Ath-Thabari berkata, "Jika ada yang bertanya, 'Dari sisi apa mukhannits dilaknat
padahal semua itu adalah ciptaan Allah dan bukan usaha dari hamba sendiri? Bukankah
semestinya celaan itu ditujukan kepada sesuatu yang bisa diusahakan, ada pilihan melakukan
atau meninggalkan? Kalau begitu, berarti bisa juga orang dicela karena kulitnya, bau badan
dan semua bagian organ tubuhnya?" Maka jawabannya, "Laknat Nabi itu ditujukan pada
sesuatu selain yang tidak bisa diubah. Mukhannits dilaknat karena perilakunya yang
kewanita-wanitan dan perilakunya yang mencoba menyerupai wanita. Padahal Allah telah
menciptakannya dengan wujud lelaki.

Demikian pula perilakunya yang dilarang berupa menyerupai perempuan dalam hiasan dan
pakaian (takhannuts). Rasulullah saat melihat seorang waria tidak mencela 'kewariaannya',
beliau pernah melihat waria memakai pewarna kuku pada kuku kaki dan tangannya, (tapi
membiarkannya). Sampai ketika beliau mendengarnya mensifati wanita dengan sesuatu yang
beliau benci, padahal wanita saja dilarang mensifati seperti itu, apalagi bagi lelaki, beliau
menyuruh si waria keluar.

Kalau saja celaan dan laknat itu ditujukan pada penciptaan asal seorang waria, tentu Nabi
akan akan langsung menyuruhnya keluar dari rumahnya begitu melihatnya. Tapi beliau tidak
melakukan itu. Hal yang dicela adalah ketika dia melakukan sesuatu yang diharamkan Allah.
(Syarh al Bukhari li Ibni Bathal IX/141).
D. Perspektif Islam terhadap Waria

kaum waria yang terjadi pada masa Rosul tidak sekompleks persoalan waria pada masa kini,
mengingat perkembangan kebudayaan manusia melalui evolusi (bahkan revolusi) nilai-nilai
(values) berjalan secara dialektis dan dinamis (Nadia,2005 :7-8).

“Dan Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan, laki-laki, dan perempuan (Q.S Al-
Najm : 45).

Waria dalam Islam memang tidak disebutkan secara langsung di dalam Al-Qur’an, karena di
dalam Al- Qur’an tidak pernah menyebut jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan. Serta
hanya mengakui pasangan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Berikut ini
adalah ayat-ayat yang dikutip dari buku “Waria Laknat atau Kodrat!?” dari Zunly Nadia,
yaitu menyatakan keberadaan manusia sebagai makhluk yang berpasang-pasangan.

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah
orang yang paling bertakwa dianta kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal (Q.S Al-Hujurat : 13)

Adapun proses kejadian manusia juga sangat jelas disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Sebagaimana firman Allah (Nadia,2005 : 77)

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (antara
benih lelaki dengan perempuan) yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan
larangan) karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah
menunjukkannya jalan yang lurus , ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (Q.S Al-
Insan: 2 -3).”

Sebagaimana ayat di atas Al- Qur’an menyebutkan bahwa dengan segala kehendak-Nya
manusia diciptakan dengan sempurna dan tidak sempurna, dalam hal ini baik secara fisik
maupun non fisik. Sempurna dalam arti lahir secara normal yaitu jelas identitas kelaminnya
dengan sempurna tanpa cacat. Demikian pula sebaliknya, manusia diciptakan secara tidak
sempurna yang berarti cacat baik secara jasmani, rohani, atau kedua- duanya ataupun sukar
dibedakan identitasnya. Problem waria disisi agama dapat dilihat secara jelas dalam kitab-
kitab fikih klasik, karena selama ini sumber otoritas yang bisa dibilang cukup untuk mewakili
dan rinci dalam membahas persoalan waria adalah fikih. Dari sisi fikih nampaknya waria
dapat diterima sebagai realitas sosial sehingga sama sekali tidak ada pengikaran atas
keberadaan mereka (Nadia,2005 : 80).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fenomena waria di zaman sekarang memang diakui dalam Islam. Jika merupakan
sifat bawaan, dianjurkan agar berusaha sekuat tenaga menghilangkannya karena
bagaimanapun lelaki tidak boleh menyerupai perempuan. Jika dia tidak memiliki
syahwat terhadap perempuan, dia dihukumi seperti mahram bagi semua perempuan,
tapi bukan berarti dia boleh melakukan hubungan dengan sesama lelaki karena hal itu
tetap haram, sebagaimana penjelasan Imam Ath-Thbari di atas.

Jika dia memiliki syahwat terhadap perempuan, maka hukumnya sama seperti lelaki
pada umumnya. Adpun jika dia hanya meniru-niru gaya wanita dan sengaja menjadi
banci, itu adalah perbuatan terlaknat dan pelakunya harus bertaubat.

Sementara Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat mengemukakan,


yang paling sering ditemukan saat ini adalah takhannuts yaitu berlagak atau berpura-
pura jadi khuntsa, padahal dari segi pisik dia punya organ kelamin yang jelas. Orang
yang melakukan takhannuts ini jelas melakukan dosa besar karena perbuatannya
menyimpang dengan menyerupai wanita.
Rasulullah SAW pernah mengumumkan, bahwa perempuan dilarang memakai
pakaian laki-laki dan laki-laki dilarang memakai pakaian perempuan. Di samping itu
beliau melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang
menyerupai laki-laki.

Termasuk di antaranya tentang bicaranya, geraknya, cara berjalannya, pakaiannya,


dan sebagainya. Sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan manusia dan
masyarakat, ialah karena sikap yang abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat
ada dua: tabiat laki-laki dan tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai
keistimewaan tersendiri. Maka jika ada laki-laki yang berlagak seperti perempuan dan
perempuan bergaya seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap yang tidak normal
dan meluncur ke bawah.

Rasulullah SAW pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini di


antaranya laki-laki yang memang oleh Allah dijadikan betul-betul laki-laki, tetapi dia
menjadikan dirinya sebagai perempuan dan menyerupai perempuan. Kedua, yaitu
perempuan yang memang dicipta oleh Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi
kemudian dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai orang laki-laki.
(Hadis Riwayat Thabrani)

DAFTAR PUSAKA

Atmojo, Kemala. 1986. Kami Bukan Lelaki. Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti
Dhofier, Zamakhsyar. 1982. Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Kyai.

Jakarta : LP3ES anggota IKAPI


Hartoyo, dkk. 2014. Sesuai Kata Hati “KisahPejuangan 7 waria”. Jakarta : Rehal
Pustaka

Kementerian Sosial Rebpublik Indonesia. 2012. Kementerian Sosial dalam Angka


Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Kementerian Sosial Republik
Indonesia
Nadia, Zunly. 2005. Waria Laknat atau Kodrat!?. Yogyakarta : Penerbit Pustaka
Marwa (Anggota IKAPI)

Narwoko, J. Dwi, Bagong Suyanto, dkk. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta : Prenada Media

Anda mungkin juga menyukai