Anda di halaman 1dari 27

Laporan Tutorial

Neuro Psikiatri

DISUSUN OLEH

KELOMPOK IV

Tutor :

Herdiantri Sufriyana, dr., M.Si

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NADHATUL ULAMA SURABAYA

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial telah melalui konsultasi dan di setujui oleh tutor pembimbing

Surabaya, September 2017

Pembimbing

Herdiantri Sufriyana, dr., M.Si


KELOMPOK PENYUSUN

Aufar Rahman 6130015004

Ilfia Hajar Mafrurroh 6130015009

Muhammad Auzan F. 6130015014

Muhammad Sigit N. 6130015019

Dalilatul Millah 6130015024

Nitya Puspita Ningtyas 6130015029

Yunyastiti Dwidya P. 6130015034

Ganda Agyl P. D. 6130015039

Fitria Dita Savira 6130015044

Aina Zurohidah M. 6130015049

Nadia Nisaussholihah 6130015054


SKENARIO

Seorang perempuan usia 22 tahun datang ke poliklinik neurologi dengan keluhan nyeri kepala
separuh sebelah kanan. Sejak 2 tahun lalu berdenyut-denyutan. Nyeri berpindah kanan kiri,
pasien selama 5 bulan ini mengalami nyeri kepala separuh, padahal pasien akan menjalani
ujian skripsi. Nyeri kepala separuh didahului dengan mata seperti melihat kilatan cahaya,
setengah jam kemudian terjadi nyeri kepala separuh yang diikuti dengan muntah dan pasien
menjadi sensitif terhadap suara dan bunyi. Nyeri kepala berlangsung selama 4 jam bila tidak
diobati, memberat pada saat aktifitas biasa dan membaik saat tidur. Visual Analog Scale saat
terjadi nyeri 4-7. Sebelum datang ke poli, pasien menggunakan obat warung seperti paramex.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan baik, tidak didapatkan kelemahan tubuh, sulit komunikasi
maupun gangguan sensoris, TD 120/80 mmHg, suhu 360C, RR 18x/menit, pupil bulat isokor,
motorik normal, tidak didapat reflek patologis.

STEP I

Kata sulit:

1. Visual analog scale : Metode untuk mengukur intensitas nyeri.


2. Fonofobik : Sensitif terhadap suara.
3. Nyeri kepala sebelah : Nyeri kepala yang hanya terdapat pada salah satu sisi kepala.
4. Pupil isokor : Kedua pupil yang bentuknya sama.

Kata Kunci :

1. Wanita usia 22 tahun


2. Nyeri berdenyut
3. Mengalami 5 kali serangan
4. Seperti melihat kilatan cahaya
5. Berat saat aktifitas membaik saat tidur
6. Nyeri kepala selama 4 jam
7. Nyeri kepala sebelah sisi
8. Muntah
9. Nyeri kepala berpindah
STEP II

Rumusan Masalah

1. Apa penyebab pasien mengalami nyeri kepala sebelah?


2. Mengapa pasien melihat kilatan cahaya?
3. Mengapa nyeri kepala memberat saat aktivitas dan membaik saat tidur?
4. Apa hubungan muntah dengan nyeri kepala?
5. Apa hubungan pasien akan skripsi dengan keluhan?

STEP III

Hipotesa

1. Diduga karena adanya vasokontriksi pembuluh darah otak.


2. Vasokontriksi pembuluh darah otak menyebabkan hipoperfusi pada korteks visual
sehingga mengganggu kinerja korteks visual dan akhirnya penderita seperti melihat
kilatan cahaya.
3. Karena pada saat tidur, oksigen difokuskan untuk menuju otak sehingga hipoperfusi
yang disebabkan oleh vasokontriksi pembulu darah otak dapat diatasi.
4. Hubungan antara terjadinya migrain dan timbulnya rasa mual di saat yang bersamaan
masih tidak diketahui dengan jelas. Akan tetapi, banyak ahli beranggapan bahwa
serangan migrain terjadi akibat saraf-saraf tertentu di otak mengirimkan suatu sinyal
pada pembuluh darah otak untuk melebar.
5. Ketika pasien akan mengalami ujian skripsi kemungkinan pasien mengalami stress
segingga meningkatan kerja sistem saraf simpatis dan akhirnya menigkatkan tekanan
darah.
STEP IV

Mind Mapping

STEP V

Learning Objective

1. Menjelaskan pengaruh hormonal menimbulkan nyeri kepala sebelah.


2. Menjelaskan bagian korteks mana yang menbgalami gangguan sehingga timbul aura.
3. Menjelaskan peran CGRP, NOS, Epinefrin, serotonin, Sel mast, reseptor trigeminus,
dalam menigkatakn atau menurunkan gejala nyeri terutama saat mingkat pada
aktivitas dan membaik saat tidur.
4. Menjelaskan proses intrakranial/ekstrakranial muntah pada kasus migren.
5. Menjelaskan golongan obat yang definitif untuk patofisiologi migren.
6. Menjelaskan mekanisme kerja obat paramex.
7. Menjelaskan cara penilaian FAS, FALCC

STEP VI

Belajar Mandiri
STEP VII

Hasil Belajar Mandiri

Jawaban Learning Objektif

1. Menjelaskan pengaruh hormonal menimbulkan nyeri kepala sebelah.

Faktor-faktor yang menyebabkan stres berasal dari rangsangan fisik, psikologis, atau
dapat keduanya. Stres fisik disebabkan oleh exposure stressor yang berbahaya bagi jaringan
tubuh misalnya terpapar pada keadaan dingin atau panas, penurunan konsentrasi oksigen,
infeksi, luka / injuries, latihan fisik yang berat dan lama, dll. Sedangkan pada stres psikologis
misalnya pada perubahan kehidupan, hubungan sosial, perasaan marah, takut, depresi dll
(Kadir, 2003).

Tubuh bereaksi terhadap stres dengan mengeluarkan dua jenis zat kimia pembawa
pesan, yakni hormon dalam darah dan neurotransmitter di sistem saraf. Stres dapat
didefinisikan sebagai kondisi dimana tuntutan yang harus dipenuhi melebihi kemampuan
yang ada pada obyek. Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik maupun
stres psikis dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kadar kortisol, Awal pelepasan hormon stres dimulai dengan sekresi corticotrophin releasing
factor (CRF). Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah, sehingga
mencapai kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di tempat ini CRF
merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh pituitary, yang pada
gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis untuk melepaskan berbagai hormon. Salah
satunya adalah kortisol (Lisdiana, 2010).

Kortisol beredar di dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping (coping
mechanism). Bila stresor yang diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan
meningkat, sehingga rangsang yang diterima oleh pituitary juga meningkat, dan sekresi
kortisol oleh kelenjar adrenal juga meningkat. Apabila kondisi emosional telah stabil, coping
mecahnism menjadi positif, maka sinyal di otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus
hormon-stres berulang lagi (Lisdiana, 2010).

Senyawa amin seperti serotonin, norepinephrine, epinephrine, dan serotonin.


Terjadilah pelepasan substansi P (transmiter nyeri) kedalam pembuluh darah, lalu terjadi
respon saraf trigeminal sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh serebral, diikuti vasodilatasi
pembuluh serebral (sebagai upaya kompensasi untuk memenuhi kadar oksigen otak), lalu
terjadilah migren (Kadir, 2003).

2. Menjelaskan bagian korteks mana yang terganggu sehingga timbul aura.

Migren pertama kali diketahui sebagai suatu kelainan vaskular, tetapi saat ini konsep
ini telah berubah dan migren diketahui sebagai kelainan primer di otak. Migren adalah
disfungsi dari batang otak yang melibatkan modulasi sistem aferen kraniovaskular. Aktivasi
batang otak juga menyebabkan aktivasi sistem jalur asenden dan desenden dari sistem
penghantar nyeri, yang menginisiasi terjadinya vasodilatasi perimeningeal dan inflamasi
neurogenik. Nyeri adalah kesalahan persepsi dari sensitisasi sentral, perifer, dan aktivasi
sistem neurovaskular pada cabang pertama nervus trigeminus (Adnyana, 2013).

Pada serangan migren terjadi aktifasi/hipereksitabilitas sistem trigeminovaskular.


Apabila sistem trigeminovaskular mengalami sensitisasi maka akan dilepaskan beberapa
neuropeptida seperti substan neurokinin, prostaglandin, calcitonin G related protein (CGRP)
yang akan merangsang nosiseptor penghantar nyeri sehingga rasa nyeri diantarkan sampai ke
korteks serebri. Pada migren dengan aura proses cortical spreading depression (CSD) adalah
suatu hipereksitabilitas neuron yang dimulai dari korteks okspital kemudian menjalar
anterior, mempengaruhi sistem trigeminovaskular yang akan melepaskan beberapa
neuropeptida yang akan merangsang nosiseptor penghantar nyeri sehingga rasa nyeri akan
dihantarkan sampai ke korteks (Adnyana, 2013).

Alternatif lain yaitu terjadi aktivasi dari otak, yaitu teori hipereksitabilitas kortikal.
Pada CSD yang menerangkan terjadinya migren dengan aura. Pada CSD terjadi penyebaran
gelombang neuron dan depolarisasi sel glia. Depolarisasi menyebabkan terjadinya perubahan
di daerah kortikal secara serial dari tingkat selular dan molekul yang mengakibatkan
terjadinya kehilangan gradien membran ion yang bersifat sementara, dan terjadi peningkatan
pelepasan kalium ekstrasel, neurotransmiter dan kalsium intra-sel. Depolarisasi dihubungkan
dengan peningkatan aliran darah otak dan fase penurunan aktivitas neuron dihubungkan
dengan penurunan aliran darah otak (Adnyana, 2013).

Keadaan ini menyebabkan aktivasi dari sisten trigeminovaskular dan terjadi pelepasan
mediator inflamasi. Selama CSD terjadi peningkatan radikal bebas oksigen, nitriks oksid, dan
protease, seperti matriks metaloprotein, yang akan meningkatkan permiabelitas vaskular.
Korteks oksipital sangat rentan untuk terjadinya CSD, sehingga muncul perkiraan bahwa
migren terjadi akibat ambang neuronal yang rendah pada korteks. Gambaran seperti migren
secara klinik sering ditemukan pada postictal headache, yang ditemukan pada epilepsi lobus
oksipital. Teori hipereksitabilitas korteks, didukung oleh bukti bahwa obat anti-epilepsi
seperti asam valproat, topiramat dan gabapentin memberikan hasil yang baik untuk
pencegahan migren (Adnyana, 2013).

3. Menjelaskan peran CGRP, NOS, epinefrin, serotonin, sel mast, reseptor


trigeminus, dalam mengingkatkan gejala nyeri terutama saat meningkat pada
aktifitas dan membaik bila tidur.

Adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO akan merangsang ujung
saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga melepaskan CGRP (calcitonin gene related).
CGRP akan berikatan pada reseptornya di sel mast meningens dan akan merangsang
pengeluaran mediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi neuron. CGRP juga bekerja
pada arteri serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan peningkatan aliran darah. Selain
itu, CGRP akan bekerja pada post junctional site second order neuron yang bertindak sebagai
transmisi impuls nyeri. Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan mengaktifkan
lokus sereleus sehingga terjadi peningkatan kadar epinefrin. Selain itu, sistem ini juga
mengaktifkan nukleus dorsal rafe sehingga terjadi peningkatan kadar serotonin. Peningkatan
kadar epinefrin dan serotonin akan menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah lalu terjadi
penurunan aliran darah di otak. Penurunan aliran darah di otak akan merangsang serabut saraf
trigeminovaskular. Jika aliran darah berkurang maka dapat terjadi aura. Apabila terjadi
penurunan kadar serotonin maka akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial dan
ekstrakranial yang akan menyebabkan nyeri kepala pada migren (Sjahrir, 2004)

4. Menjelaskan proses intra/ekstrakranial muntah pada kasus migren.

Mual muntah dapat disebabkan


oleh banyak faktor yaitu:
a.kondisi tertentu, misalnya
kehamilan ataupun bau yang
menyengat
b.penyakit penyakit
tertentuMisal penyakit di
daerah saluran cerna karena
adanya
peradangan/inflamasi,atau
infeksi. Migrain dan gangguan
keseimbangan juga dapat
memicu
mual muntah.
c.psikologis, misalnya saja
pada gangguan kecemasan
yang berlebihan, atau
ketakutan,atau
pada kasus anorexia nervosa
( seseorang takut sekali
gemuk, akhirnya menjadi
kebiasaan dan
berkembang menjadi
memuntahkan makanan yang
dimakan)
d.Diinduksi terapi/obat
tertentu Seseorang yang
pernah menjalani
kemoterapi pada
pengobatan kanker atau
menggunakan obat sitostatika
(obat untuk terapi kanker)
terutama
cisplatin, sering mengalami
mual. Mual pun juga
dapat dialami oleh pasien
yang
mendapatkan terapiopiat,
dan mungkin terjadi pada
pemberian antibiotik, teofilin
ataupun
antikonvulsan.Penyebab
penyebab tersebut akan
menginduksi pusat muntah.
PATOFISIOLOGI
Muntah dipicu oleh adanya
(Guyton & Hall, 2006) :
Impuls afferent yang menuju
pusat muntah, yangte rletak di
medulla otak. Impuls tersebut
diterima dari pusat sensori
seperti chemoreceptor trigger
zone (CTZ), korteks serebral,
serta
visceral afferent dari faring
dan saluran cerna.Impuls
afferent yang sudah
terintegrasi dengan
pusat muntah
Mual muntah dapat disebabkan
oleh banyak faktor yaitu:
a.kondisi tertentu, misalnya
kehamilan ataupun bau yang
menyengat
b.penyakit penyakit
tertentuMisal penyakit di
daerah saluran cerna karena
adanya
peradangan/inflamasi,atau
infeksi. Migrain dan gangguan
keseimbangan juga dapat
memicu
mual muntah.
c.psikologis, misalnya saja
pada gangguan kecemasan
yang berlebihan, atau
ketakutan,atau
pada kasus anorexia nervosa
( seseorang takut sekali
gemuk, akhirnya menjadi
kebiasaan dan
berkembang menjadi
memuntahkan makanan yang
dimakan)
d.Diinduksi terapi/obat
tertentu Seseorang yang
pernah menjalani
kemoterapi pada
pengobatan kanker atau
menggunakan obat sitostatika
(obat untuk terapi kanker)
terutama
cisplatin, sering mengalami
mual. Mual pun juga
dapat dialami oleh pasien
yang
mendapatkan terapiopiat,
dan mungkin terjadi pada
pemberian antibiotik, teofilin
ataupun
antikonvulsan.Penyebab
penyebab tersebut akan
menginduksi pusat muntah.
PATOFISIOLOGI
Muntah dipicu oleh adanya
(Guyton & Hall, 2006) :
Impuls afferent yang menuju
pusat muntah, yangte rletak di
medulla otak. Impuls tersebut
diterima dari pusat sensori
seperti chemoreceptor trigger
zone (CTZ), korteks serebral,
serta
visceral afferent dari faring
dan saluran cerna.Impuls
afferent yang sudah
terintegrasi dengan
pusat muntah
Mual muntah dapat disebabkan oleh banyak faktor yaitu:

a. kondisi tertentu, misalnya kehamilan ataupun bau yang menyengat 


b. penyakit penyakit tertentuMisal penyakit di daerah saluran cerna karena adanya
peradangan/inflamasi,atau infeksi. Migrain dan gangguan keseimbangan juga dapat
memicu mual muntah.
c. psikologis, misalnya saja pada gangguan kecemasan yang berlebihan, atau
ketakutan,atau pada kasus anorexia nervosa ( seseorang takut sekali gemuk, akhirnya
menjadi kebiasaan dan berkembang menjadi memuntahkan makanan yang dimakan)
d. Diinduksi terapi/obat tertentu Seseorang yang pernah menjalani kemoterapi pada
pengobatan kanker atau menggunakan obat sitostatika (obat untuk terapi kanker)
terutama cisplatin, sering mengalami mual. Mual pun juga dapat dialami oleh pasien
yang mendapatkan terapiopiat, dan mungkin terjadi pada pemberian antibiotik,
teofilin ataupun antikonvulsan.Penyebab penyebab tersebut akan menginduksi pusat
muntah.

PATOFISIOLOGI

Muntah dipicu oleh adanya (Guyton & Hall, 2006) :

Impuls afferent yang menuju pusat muntah, yangte rletak di medulla otak. Impuls tersebut
diterima dari pusat sensori seperti chemoreceptor trigger zone (CTZ), korteks serebral, serta
visceral afferent  dari faring dan saluran cerna.Impuls afferent yang sudah terintegrasi dengan
pusat muntah.
Impuls efferent menuju pusat salivasi, pusat pernafasan, daerah salurancerna, faring, dan

otot otot perut yang semuanya bersinergi memicu proses muntah.Dari sini terlihat alasan
ketika muntah terjadi nafas tidak beraturan, terengah engah,keringat, kontraksi perut, ataupun
keluar saliva/air liur Guyton & Hall, 2006).Penyebab dan proses terjadinya muntah dapat
dilihat pada gambar berikut:

Merupakan daerah kemosensori utama pada proses emesis/muntah dan sering dipicu oleh
senyawa senyawa kimia. Obat obat sitotoksik pun memicu emesismelalui
mekanisme berinteraksi dengan CTZ. Beberapa neurotransmiter dan reseptor terdapat di
pusat muntah, CTZ, dan saluran cerna, meliputi kolinergik, histaminik, dopaminergik, opiat,
serotonergik, neurokinin, serta benzodiazepin Guyton & Hall, 2006).

Reseptor dan hubungan aferen dari chemoreseptor trigger zone (CTZ) dapat diidentifikasi
lebih baik dibandingkan dengan pusat muntah. CTZ terbentang di dasar ventrikel IV dekat
permukaan medula oblongata pada area postrema. Area postrema mendapat vaskularisasi dari
arteri cerebelaris inferior. Pusat muntah yang berada di formatio reticularis lateralis medula
oblongata, memperantarai reflek muntah. Hal ini sangat berkaitan dengan nukleus traktus
solitarius dan area postrema. CTZ berada di area postrema (Guyton & Hall, 2006).

Rangsangan perifer dan sentral dapat mempengaruhi pusat muntah maupun CTZ. Rangsang
aferen yang berasal dari faring, traktus gastrointestinal, mediastinum, pelvis renalis,
peritoneum, dan genitalia dapat merangsang pusat muntah. Rangsangan sentral yang berasal
dari kortek cerebri, pusat kortek dan batang otak yang lebih tinggi, nukleus traktus solitarius,
CTZ, sistem vestibular di telinga tengah dan pusat penglihatan juga mempengaruhi pusat
muntah karena area postrema tidak memiliki sawar darah otak yang efektif, obat maupun
bahan kimia yang terdapat dalam darah atau cairan serebrospinal dapat secara langsung
mempengaruhi CTZ. Reseptor 5-hydroxytryptamine type 3 (5-HT3), dopamin type 2 (D2),
opioid dan neurokinin-1 (NK-1) ditemukan di CTZ. Nukleus traktus solitarius memiliki
banyak reseptor enkefalin, histaminergik (H1) dan muskarinik kolinergik (M). Reseptor-
reseptor ini menyampaikan pesan ke pusat muntah apabila terangsang. Pusat muntah
mengatur impuls aferen melalui nervus vagus, nervus phrenicus dan nervus spinalis pada
otot-otot nafas dan abdominal untuk memulai reflek muntah (Guyton & Hall, 2006).

5. Menjelaskan golongan obat yang definitif untuk patofisiologi migren.

Tujuan terapi migren adalah membantu penyesuaian psikologis dan fisiologis,


mencegah berlanjutnya dilatasi ekstrakranial, menghambat aksi media humoral (misalnya
serotonin dan histamin), dan mencegah vasokonstriksi arteri intrakranial untuk memperbaiki
aliran darah otak (Suharjanti, 2013).

Terapi tahap akut adalah ergotamin tatrat, secara subkutan atau IM diberikan
sebanyak 0,25 – 0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/24 jam. Secara oral atau sublingual
dapat diberikan 2 mg segera setelah nyeri timbul. Dosis tidak boleh melewati 10 mg/minggu.
Dosis untuk pemberian nasal adalah 0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2
mg (4 semprotan). Kontraindikasi adalah sepsis, penyakit pembuluh darah, trombofebilitis,
wanita haid, hamil atau sedang menggunakan pil anti hamil. Pada wanita hamil, haid atau
sedang menggunakan pil anti hamil berikan pethidin 50 mg IM. Pada penderita penyakit
jantung iskemik gunakan pizotifen 3 sampai 5 kali 0,5 mg sehari. Selain ergotamin juga bisa
obat – obat lain. Terapi profilaksis menggunakan metilgliserid malead, siproheptidin
hidroklorida, pizotifen, dan propranolol (Suharjanti, 2013).

Selain menggunakan obat-obatan, migren dapat diatasi dengan menghindari faktor


penyebab, manajemen lingkungan, memperkirakan siklus menstruasi, yoga, meditasi, dan
hipnotis (Anurogo, 2012).

Terapi farmaka dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi
preventif (terapi pencegahan), walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk
abortif dan pencegahan.

Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang bertujuan untuk
meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan menghentikan progresivitas. Pada
terapi preventif atau profilaksis migrain terutama bertujuan untuk mengurangi frekwensi,
durasi dan beratnya nyeri kepala ( Purnomo, 2006 ).

1) Mengurangi faktor risiko/pencetus

• Stres dan kecemasan


• Kurang atau telalu banyak tidur, perubahan jadwal seperti jetlag.
• Hipoglikemia (terlambat makan)
• Kelelahan
• Perubahan hormonal seperti haid, obat hormonal

Kadar estrogen yang berfluktuasi dapat dilakukan dengan menghentikan pil KB atau obat-
obat pengganti estrogen

• Diet

2) Terapi Farmaka Migren

Terapi Abortif

Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang dapat
diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia spesifik yang hanya
bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat dikatakan bahwa terapi memakai
analgesia nonspesifik masih dapat menolong pada migrain dengan intensitas nyeri ringan
sampai sedang. Pada kasus sedang sampai berat atau berespons buruk dengan OAINS
pemberian analgesia spesifik lebih bermanfaat.

Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat serangan


nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal. Fase prodromal migrain
dihubungkan dengan gangguan pada hipotalamus melalui neurotransmiter dopamin dan
serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu penyerapan lambung di samping meredakan
gejala penyerta seperti mual dan muntah. Kemungkinan timbulnya efek samping antiemetik
seperti sedasi dan parkinsonism pada orang tua patut diperhatikan

Analgesik nonspesifik

Yang termasuk analgesia nonspesifik adalah asetaminofen (parasetamol), aspirin dan


obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Pada umumnya pemberian analgesia opioid
dihindari.

Beberapa obat OAINS yang telah diteliti diberikan pada migrain antara lain adalah:

• Diklofenak.
• Ketorolak.
• Ketoprofen.
• Indometasin.
• Ibuprofen.
• Naproksen.
• Golongan fenamat.

Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi
antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein dikatakan dapat
menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing obat yang lebih rendah
diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme kerja OAINS pada umumnya
terutama menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesa prostaglandin dihambat
( Sadeli, 2006 ).

Analgesik spesifik

Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin,


dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan agonis selektif reseptor
serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi reseptor 5HT I B / 1 D. Di samping itu
ergotamin dan DHE juga berikatan dengan reseptor 5-HT2, α1dan α 2- nonadrenergik dan
dopamine ( Sadeli, 2006 ).

Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai berat.
Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia spesifik ini, walaupun
golongan ini merupakan pilihan sebagai antimigren.

Terapi Profilaksis

Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak. Pengobatan
dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut) atau jangka panjang
(kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri kepala dikenal dengan baik
sehingga dapat diberikan analgesia sebelumnya. Terapi preventif jangka pendek berguna
apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu
seperti pada migrain menstrual. Terapi preventif kronis akan diberikan dalam beberapa bulan
bahkan tahun tergantung respons pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga
bulan ( Sadeli, 2006 ).

Indikasi

• Penyakit kambuh beberapa kali dalam sebulan


• Penyakit berlangsung terus menerus selama beberapa minggu atau bulan
• Penyakit sangat mengganggu kuafitas/gaya hidup penderita.
• Adanya kontra indikasi atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi terhadap terapi
abortif.
• Kecenderungan pemakaian obat yang berlebih pada terapi abortif.

6. Menjelaskan mekanisme kerja obat paracetamol dan propifenazon

Mekanisme kerja Paracetamol

Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen. Asetaminofen


(parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah
digunakan sejak 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen
di Indonesia lebih dikenal sebagai parasetamol. Parasetamol bersifat antipiretik dan analgesik
tetapi sifat anti-inflamasinya lemah sekali.
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik yang memiliki cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Saraf Pusat (SSP). Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgesik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain melalui resep dokter atau yang
dijual bebas. Parasetamol dapat ditoleransi dengan baik sehingga banyak efek samping
aspirin yang tidak dimiliki oleh obat ini sehingga obat ini dapat diperoleh tanpa resep.

Parasetamol merupakan obat lain pengganti aspirin yang efektif sebagai obat
analgesik-antipiretik. Karena hampir tidak mengiritasi lambung, parasetamol sering
dikombinasikan dengan AINS untuk efek analgesik. Overdosis parasetamol tidak bisa
dianggap hal yang wajar karena dapat menyebabkan kerusakan hati yang fatal dan obat ini
sering dikaitkan dengan keracunan serta bunuh diri dengan parasetamol yang semakin
mengkhawatirkan belakangan ini.

Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan


sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga
berdasarkan efek sentral. Efek antiinflamasinya yang sangat lemah, oleh karena itu
parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Ketidakmampuan parasetamol
memberikan efek antiradang itu sendiri mungkin berkaitan dengan fakta bahwa parasetamol
hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi
tinggi yang ditemukan pada lesi radang.

Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah. Efek


iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak telihat pada obat ini, demikian juga gangguan
pernapasan dan keseimbangan asam basa.

Farmakokinetik

Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi


tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh plasma antara 1-3
jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Pengikatan obat ini pada protein plasma
beragam, hanya 20%-50% yang mungkin terikat pada konsentrasi yang ditemukan selama
intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90%-100% obat ini ditemukan dalam urin selama
hari pertama, terutama setelah konjugasi hepatik dengan asam glukoronat (sekitar 60%),
asam sulfat (sekitar 35%), atau sistein (sekitar 3%), sejumlah kecil metabolit hasil
hidroksilasi dan deaseilasi juga telah terdeteksi. Sebagian kecil parasetamol mengalami
proses N-hidroksilasi yang diperantarai sitokrom P450 yang membentuk N-asetil-
benzokuinoneimin, yang merupakan suatu senyawa antara yang sangat reaktif.

Metabolit ini bereaksi dengan gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah ingesti
parasetamol dosis besar, metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup untuk
menghilangkan glutation hepatic.

Mekanisme kerja propifenazon


Golongan obat ini menghambat sikloosigenase (COX) sehingga konversi asam
aracidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan
kekuatan dan selektifitas yang berbeda. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform
disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan
ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai
fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan
trombosit. Di mukosa lambung, aktifasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat
sitoprotektif. COX-2 semula diduga diinduksi berbagai stimulus inflamatoar, termaksud
sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan. Ternyata COX-2 juga mempunyai fungsi
fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan
A2 yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi
dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh COX-2 di
endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit, vasodilatasi dan efek proliferatif (Tanu, 2007).

Penghambatan COX-1 menghambat pembentukan prostacyclin (PgI2) yang berdaya


melindungi mukosa lambung dan ginjal sehingga demikian bertanggung jawab untuk efek
samping iritasi lambun-usus seta nefrotoksisitasnya. Atas dasar perbedaan ini telah
dikembangkan NSAIDs selektif, yang terutama menghambat COX-2 dan kurang atau tidak
mempengaruhi COX-1 sehingga PgI2 tetap dibentuk dan iritasi lambung-usus dapat
dihindari. Obat ini disebut penghambat COX-2 selektif dan yang kini dikenal adalah
senyawa-senyawa celocoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib dan etorixoxib (Tjay dan
Rahardja, 2007).

7. Menjelaskan cara menilai FAS dan FALCC

Intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan numerical rating scale (NRS),
verbal rating scale (VRS), visual analog scale (VAS) dan faces rating scale. VAS (Visual
Analogue Scale) telah digunakan sangat luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini dalam
penelitian terkait dengan nyeri dengan hasil yang handal, valid dan konsisten.VAS adalah
suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah
tabel garis 10 cm dengan pembacaan skala 0–100 mm dengan rentangan makna:

Skala VAS Interpretasi


>0 - <10 mm Tidak Nyeri
≥10 – 30 mm Nyeri Ringan
≥30 – 70 mm Nyeri sedang
≥ 70 – 90 mm Nyeri berat
≥ 90 – 100 mm Nyeri sangat berat
Cara penilaiannya adalah penderita menandai sendiri dengan pensil pada nilai skala
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari peneliti
tentang makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS dilakukan dengan mengukur
jarak antara ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan
pasien.

Persyaratan melakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala VAS

a. Penderita sadar atau tidak mengalami gangguan mental/kognitif sehingga dapat


berkomunikasi dengan fisioterapis
b. Penderita dapat melihat dengan jelas, sehingga penderita dapat menunjuk titik pada skala
VAS berkaitan dengan kualitas nyeri yang dirasakannya.
c. Penderita kooperatif, sehingga pengukuran nyeri dapat terlaksana. Catatan: anak kecil,
meskipun sadar, namun tidak kooperatif untuk berkomunikasi.

Agar pengukuran dapat berjalan sebagai mestinya, sebelum dilakukan pengukuran


pasien diberi penjelasan mengenai pengukuran yang akan dilakukan beserta prosedurnya.
Kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis sesuai dengan intensitas nyeri
yang dirasakan pasien.

VAS merupakan metode pengukuran intensitas nyeri yang sensitif, murah dan mudah
dibuat, VAS lebih sensitif dan lebih akurat dalam mengukur nyeri dibandingkan dengan
pengukuran deskriptif, Mempunyai korelasi yang baik dengan pengukuran yang lain, VAS
dapat diaplikasikan pada semua pasien, tidak tergantung bahasa bahkan dapat digunakan pada
anakanak di atas usia 5 tahun, VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri
namun VAS juga memiliki kekurangan yaituVAS memerlukan pengukuran yang teliti untuk
memberikan penilaian, pasien harus hadir saat dilakukan pengukuran, serta secara visual dan
kognitif mampu melakukan pengukuran.VAS sangat bergantung pada pemahaman pasien
terhadap alat ukur tersebut. Sehingga edukasi / penjelasan terapis / pengukur tentang VAS
terhadap pasien sangat dibutuhkan.

VAS dinilai dengan kata tidak nyeri di ujung kiri dan sangat nyeri di ujung kanan.
Dinilai tidak ada nyeri apabila nilai VAS 0-5mm, nyeri ringan apabila panjang garis
menunjukkan angka 5-44 mm, 45-74 mm dinyatakan sebagai nyeri sedang, dan lebih dari 70
mm dinilai sebagai nyeri berat. VAS sudah terbukti merupakan skala linear yang diterapkan
pada pasien dengan nyeri akut pasca operasi.8,9,10
Menurut
Willis, Markel, Lewis, dan Malviya (2003).menyebutkan bahwa skala FLACC scale memiliki
kelebihan diantara skala nyeri lainya yaitu karena sederhana dan relatif mudah digunakan
sehingga sesuai diaplikasikan pada manajemen keperawatan. Skala FLACC scale ini juga
dapat digunakan pada anak yang tidak dapat atau memiliki gangguan bicara, anak dengan
keterbatasan kognitif serta anak dengan post-operasi dimana hal ini sangat dibutuhkan dalam
penilaaian nyeri secara
self-report. Rentang nyeri untuk skala FLACC scale adalah nyeri ringan (0-3), nyeri sedang
(4-6) dan nyeri berat (7-10) (Hockenberry, 2008).
Daftar pustaka :

Adnyana, I Made Oka. 2013. Nyeri Kepala Pada Penderita Epilepsi : Bali. Medicina

Anurogo, Dito. Penatalaksanaan Migren. RS PKU Muhammadiyah Palangkaraya, Kalimantan


Tengah. 2012.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati, Ramadani D,
Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.

Kadir, Akmarawita. 2003. Perubahan Hormon terhadap Stres. Surabaya : FK WIJAYA KUSUMA

Lisdiana. 2012. Regulasi Kortisol Pada Kondisi Stress dan Addiction. Semarang : FMIPA UNNES.

Sjahrir, Hasan. Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. 2004

Suharjanti, Isti. Strategi Pengobatan Akut Migrain. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2013.

Tanu. 2007. Farmakologi dan Terapi. FKUI. Jakarta.

Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Edisi VI. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai