Neuro Psikiatri
DISUSUN OLEH
KELOMPOK IV
Tutor :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan tutorial telah melalui konsultasi dan di setujui oleh tutor pembimbing
Pembimbing
Seorang perempuan usia 22 tahun datang ke poliklinik neurologi dengan keluhan nyeri kepala
separuh sebelah kanan. Sejak 2 tahun lalu berdenyut-denyutan. Nyeri berpindah kanan kiri,
pasien selama 5 bulan ini mengalami nyeri kepala separuh, padahal pasien akan menjalani
ujian skripsi. Nyeri kepala separuh didahului dengan mata seperti melihat kilatan cahaya,
setengah jam kemudian terjadi nyeri kepala separuh yang diikuti dengan muntah dan pasien
menjadi sensitif terhadap suara dan bunyi. Nyeri kepala berlangsung selama 4 jam bila tidak
diobati, memberat pada saat aktifitas biasa dan membaik saat tidur. Visual Analog Scale saat
terjadi nyeri 4-7. Sebelum datang ke poli, pasien menggunakan obat warung seperti paramex.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan baik, tidak didapatkan kelemahan tubuh, sulit komunikasi
maupun gangguan sensoris, TD 120/80 mmHg, suhu 360C, RR 18x/menit, pupil bulat isokor,
motorik normal, tidak didapat reflek patologis.
STEP I
Kata sulit:
Kata Kunci :
Rumusan Masalah
STEP III
Hipotesa
Mind Mapping
STEP V
Learning Objective
STEP VI
Belajar Mandiri
STEP VII
Faktor-faktor yang menyebabkan stres berasal dari rangsangan fisik, psikologis, atau
dapat keduanya. Stres fisik disebabkan oleh exposure stressor yang berbahaya bagi jaringan
tubuh misalnya terpapar pada keadaan dingin atau panas, penurunan konsentrasi oksigen,
infeksi, luka / injuries, latihan fisik yang berat dan lama, dll. Sedangkan pada stres psikologis
misalnya pada perubahan kehidupan, hubungan sosial, perasaan marah, takut, depresi dll
(Kadir, 2003).
Tubuh bereaksi terhadap stres dengan mengeluarkan dua jenis zat kimia pembawa
pesan, yakni hormon dalam darah dan neurotransmitter di sistem saraf. Stres dapat
didefinisikan sebagai kondisi dimana tuntutan yang harus dipenuhi melebihi kemampuan
yang ada pada obyek. Setiap jenis respon tubuh yang berupa stres, baik stres fisik maupun
stres psikis dapat meningkatkan sekresi ACTH yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kadar kortisol, Awal pelepasan hormon stres dimulai dengan sekresi corticotrophin releasing
factor (CRF). Pertama kali CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah, sehingga
mencapai kelenjar pituitary yang berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di tempat ini CRF
merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh pituitary, yang pada
gilirannya akan merangsang kelenjar adrenalis untuk melepaskan berbagai hormon. Salah
satunya adalah kortisol (Lisdiana, 2010).
Kortisol beredar di dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping (coping
mechanism). Bila stresor yang diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan
meningkat, sehingga rangsang yang diterima oleh pituitary juga meningkat, dan sekresi
kortisol oleh kelenjar adrenal juga meningkat. Apabila kondisi emosional telah stabil, coping
mecahnism menjadi positif, maka sinyal di otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus
hormon-stres berulang lagi (Lisdiana, 2010).
Migren pertama kali diketahui sebagai suatu kelainan vaskular, tetapi saat ini konsep
ini telah berubah dan migren diketahui sebagai kelainan primer di otak. Migren adalah
disfungsi dari batang otak yang melibatkan modulasi sistem aferen kraniovaskular. Aktivasi
batang otak juga menyebabkan aktivasi sistem jalur asenden dan desenden dari sistem
penghantar nyeri, yang menginisiasi terjadinya vasodilatasi perimeningeal dan inflamasi
neurogenik. Nyeri adalah kesalahan persepsi dari sensitisasi sentral, perifer, dan aktivasi
sistem neurovaskular pada cabang pertama nervus trigeminus (Adnyana, 2013).
Alternatif lain yaitu terjadi aktivasi dari otak, yaitu teori hipereksitabilitas kortikal.
Pada CSD yang menerangkan terjadinya migren dengan aura. Pada CSD terjadi penyebaran
gelombang neuron dan depolarisasi sel glia. Depolarisasi menyebabkan terjadinya perubahan
di daerah kortikal secara serial dari tingkat selular dan molekul yang mengakibatkan
terjadinya kehilangan gradien membran ion yang bersifat sementara, dan terjadi peningkatan
pelepasan kalium ekstrasel, neurotransmiter dan kalsium intra-sel. Depolarisasi dihubungkan
dengan peningkatan aliran darah otak dan fase penurunan aktivitas neuron dihubungkan
dengan penurunan aliran darah otak (Adnyana, 2013).
Keadaan ini menyebabkan aktivasi dari sisten trigeminovaskular dan terjadi pelepasan
mediator inflamasi. Selama CSD terjadi peningkatan radikal bebas oksigen, nitriks oksid, dan
protease, seperti matriks metaloprotein, yang akan meningkatkan permiabelitas vaskular.
Korteks oksipital sangat rentan untuk terjadinya CSD, sehingga muncul perkiraan bahwa
migren terjadi akibat ambang neuronal yang rendah pada korteks. Gambaran seperti migren
secara klinik sering ditemukan pada postictal headache, yang ditemukan pada epilepsi lobus
oksipital. Teori hipereksitabilitas korteks, didukung oleh bukti bahwa obat anti-epilepsi
seperti asam valproat, topiramat dan gabapentin memberikan hasil yang baik untuk
pencegahan migren (Adnyana, 2013).
Adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO akan merangsang ujung
saraf trigeminus pada pembuluh darah sehingga melepaskan CGRP (calcitonin gene related).
CGRP akan berikatan pada reseptornya di sel mast meningens dan akan merangsang
pengeluaran mediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi neuron. CGRP juga bekerja
pada arteri serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan peningkatan aliran darah. Selain
itu, CGRP akan bekerja pada post junctional site second order neuron yang bertindak sebagai
transmisi impuls nyeri. Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan mengaktifkan
lokus sereleus sehingga terjadi peningkatan kadar epinefrin. Selain itu, sistem ini juga
mengaktifkan nukleus dorsal rafe sehingga terjadi peningkatan kadar serotonin. Peningkatan
kadar epinefrin dan serotonin akan menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah lalu terjadi
penurunan aliran darah di otak. Penurunan aliran darah di otak akan merangsang serabut saraf
trigeminovaskular. Jika aliran darah berkurang maka dapat terjadi aura. Apabila terjadi
penurunan kadar serotonin maka akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial dan
ekstrakranial yang akan menyebabkan nyeri kepala pada migren (Sjahrir, 2004)
PATOFISIOLOGI
Impuls afferent yang menuju pusat muntah, yangte rletak di medulla otak. Impuls tersebut
diterima dari pusat sensori seperti chemoreceptor trigger zone (CTZ), korteks serebral, serta
visceral afferent dari faring dan saluran cerna.Impuls afferent yang sudah terintegrasi dengan
pusat muntah.
Impuls efferent menuju pusat salivasi, pusat pernafasan, daerah salurancerna, faring, dan
otot otot perut yang semuanya bersinergi memicu proses muntah.Dari sini terlihat alasan
ketika muntah terjadi nafas tidak beraturan, terengah engah,keringat, kontraksi perut, ataupun
keluar saliva/air liur Guyton & Hall, 2006).Penyebab dan proses terjadinya muntah dapat
dilihat pada gambar berikut:
Merupakan daerah kemosensori utama pada proses emesis/muntah dan sering dipicu oleh
senyawa senyawa kimia. Obat obat sitotoksik pun memicu emesismelalui
mekanisme berinteraksi dengan CTZ. Beberapa neurotransmiter dan reseptor terdapat di
pusat muntah, CTZ, dan saluran cerna, meliputi kolinergik, histaminik, dopaminergik, opiat,
serotonergik, neurokinin, serta benzodiazepin Guyton & Hall, 2006).
Reseptor dan hubungan aferen dari chemoreseptor trigger zone (CTZ) dapat diidentifikasi
lebih baik dibandingkan dengan pusat muntah. CTZ terbentang di dasar ventrikel IV dekat
permukaan medula oblongata pada area postrema. Area postrema mendapat vaskularisasi dari
arteri cerebelaris inferior. Pusat muntah yang berada di formatio reticularis lateralis medula
oblongata, memperantarai reflek muntah. Hal ini sangat berkaitan dengan nukleus traktus
solitarius dan area postrema. CTZ berada di area postrema (Guyton & Hall, 2006).
Rangsangan perifer dan sentral dapat mempengaruhi pusat muntah maupun CTZ. Rangsang
aferen yang berasal dari faring, traktus gastrointestinal, mediastinum, pelvis renalis,
peritoneum, dan genitalia dapat merangsang pusat muntah. Rangsangan sentral yang berasal
dari kortek cerebri, pusat kortek dan batang otak yang lebih tinggi, nukleus traktus solitarius,
CTZ, sistem vestibular di telinga tengah dan pusat penglihatan juga mempengaruhi pusat
muntah karena area postrema tidak memiliki sawar darah otak yang efektif, obat maupun
bahan kimia yang terdapat dalam darah atau cairan serebrospinal dapat secara langsung
mempengaruhi CTZ. Reseptor 5-hydroxytryptamine type 3 (5-HT3), dopamin type 2 (D2),
opioid dan neurokinin-1 (NK-1) ditemukan di CTZ. Nukleus traktus solitarius memiliki
banyak reseptor enkefalin, histaminergik (H1) dan muskarinik kolinergik (M). Reseptor-
reseptor ini menyampaikan pesan ke pusat muntah apabila terangsang. Pusat muntah
mengatur impuls aferen melalui nervus vagus, nervus phrenicus dan nervus spinalis pada
otot-otot nafas dan abdominal untuk memulai reflek muntah (Guyton & Hall, 2006).
Terapi tahap akut adalah ergotamin tatrat, secara subkutan atau IM diberikan
sebanyak 0,25 – 0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/24 jam. Secara oral atau sublingual
dapat diberikan 2 mg segera setelah nyeri timbul. Dosis tidak boleh melewati 10 mg/minggu.
Dosis untuk pemberian nasal adalah 0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2
mg (4 semprotan). Kontraindikasi adalah sepsis, penyakit pembuluh darah, trombofebilitis,
wanita haid, hamil atau sedang menggunakan pil anti hamil. Pada wanita hamil, haid atau
sedang menggunakan pil anti hamil berikan pethidin 50 mg IM. Pada penderita penyakit
jantung iskemik gunakan pizotifen 3 sampai 5 kali 0,5 mg sehari. Selain ergotamin juga bisa
obat – obat lain. Terapi profilaksis menggunakan metilgliserid malead, siproheptidin
hidroklorida, pizotifen, dan propranolol (Suharjanti, 2013).
Terapi farmaka dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi
preventif (terapi pencegahan), walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk
abortif dan pencegahan.
Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang bertujuan untuk
meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan menghentikan progresivitas. Pada
terapi preventif atau profilaksis migrain terutama bertujuan untuk mengurangi frekwensi,
durasi dan beratnya nyeri kepala ( Purnomo, 2006 ).
Kadar estrogen yang berfluktuasi dapat dilakukan dengan menghentikan pil KB atau obat-
obat pengganti estrogen
• Diet
Terapi Abortif
Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang dapat
diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia spesifik yang hanya
bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat dikatakan bahwa terapi memakai
analgesia nonspesifik masih dapat menolong pada migrain dengan intensitas nyeri ringan
sampai sedang. Pada kasus sedang sampai berat atau berespons buruk dengan OAINS
pemberian analgesia spesifik lebih bermanfaat.
Analgesik nonspesifik
Beberapa obat OAINS yang telah diteliti diberikan pada migrain antara lain adalah:
• Diklofenak.
• Ketorolak.
• Ketoprofen.
• Indometasin.
• Ibuprofen.
• Naproksen.
• Golongan fenamat.
Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi
antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein dikatakan dapat
menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing obat yang lebih rendah
diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme kerja OAINS pada umumnya
terutama menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesa prostaglandin dihambat
( Sadeli, 2006 ).
Analgesik spesifik
Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai berat.
Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia spesifik ini, walaupun
golongan ini merupakan pilihan sebagai antimigren.
Terapi Profilaksis
Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak. Pengobatan
dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut) atau jangka panjang
(kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri kepala dikenal dengan baik
sehingga dapat diberikan analgesia sebelumnya. Terapi preventif jangka pendek berguna
apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu
seperti pada migrain menstrual. Terapi preventif kronis akan diberikan dalam beberapa bulan
bahkan tahun tergantung respons pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga
bulan ( Sadeli, 2006 ).
Indikasi
Parasetamol merupakan obat lain pengganti aspirin yang efektif sebagai obat
analgesik-antipiretik. Karena hampir tidak mengiritasi lambung, parasetamol sering
dikombinasikan dengan AINS untuk efek analgesik. Overdosis parasetamol tidak bisa
dianggap hal yang wajar karena dapat menyebabkan kerusakan hati yang fatal dan obat ini
sering dikaitkan dengan keracunan serta bunuh diri dengan parasetamol yang semakin
mengkhawatirkan belakangan ini.
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Metabolit ini bereaksi dengan gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah ingesti
parasetamol dosis besar, metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup untuk
menghilangkan glutation hepatic.
Intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan numerical rating scale (NRS),
verbal rating scale (VRS), visual analog scale (VAS) dan faces rating scale. VAS (Visual
Analogue Scale) telah digunakan sangat luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini dalam
penelitian terkait dengan nyeri dengan hasil yang handal, valid dan konsisten.VAS adalah
suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah
tabel garis 10 cm dengan pembacaan skala 0–100 mm dengan rentangan makna:
VAS merupakan metode pengukuran intensitas nyeri yang sensitif, murah dan mudah
dibuat, VAS lebih sensitif dan lebih akurat dalam mengukur nyeri dibandingkan dengan
pengukuran deskriptif, Mempunyai korelasi yang baik dengan pengukuran yang lain, VAS
dapat diaplikasikan pada semua pasien, tidak tergantung bahasa bahkan dapat digunakan pada
anakanak di atas usia 5 tahun, VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri
namun VAS juga memiliki kekurangan yaituVAS memerlukan pengukuran yang teliti untuk
memberikan penilaian, pasien harus hadir saat dilakukan pengukuran, serta secara visual dan
kognitif mampu melakukan pengukuran.VAS sangat bergantung pada pemahaman pasien
terhadap alat ukur tersebut. Sehingga edukasi / penjelasan terapis / pengukur tentang VAS
terhadap pasien sangat dibutuhkan.
VAS dinilai dengan kata tidak nyeri di ujung kiri dan sangat nyeri di ujung kanan.
Dinilai tidak ada nyeri apabila nilai VAS 0-5mm, nyeri ringan apabila panjang garis
menunjukkan angka 5-44 mm, 45-74 mm dinyatakan sebagai nyeri sedang, dan lebih dari 70
mm dinilai sebagai nyeri berat. VAS sudah terbukti merupakan skala linear yang diterapkan
pada pasien dengan nyeri akut pasca operasi.8,9,10
Menurut
Willis, Markel, Lewis, dan Malviya (2003).menyebutkan bahwa skala FLACC scale memiliki
kelebihan diantara skala nyeri lainya yaitu karena sederhana dan relatif mudah digunakan
sehingga sesuai diaplikasikan pada manajemen keperawatan. Skala FLACC scale ini juga
dapat digunakan pada anak yang tidak dapat atau memiliki gangguan bicara, anak dengan
keterbatasan kognitif serta anak dengan post-operasi dimana hal ini sangat dibutuhkan dalam
penilaaian nyeri secara
self-report. Rentang nyeri untuk skala FLACC scale adalah nyeri ringan (0-3), nyeri sedang
(4-6) dan nyeri berat (7-10) (Hockenberry, 2008).
Daftar pustaka :
Adnyana, I Made Oka. 2013. Nyeri Kepala Pada Penderita Epilepsi : Bali. Medicina
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati, Ramadani D,
Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
Kadir, Akmarawita. 2003. Perubahan Hormon terhadap Stres. Surabaya : FK WIJAYA KUSUMA
Lisdiana. 2012. Regulasi Kortisol Pada Kondisi Stress dan Addiction. Semarang : FMIPA UNNES.
Sjahrir, Hasan. Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. 2004
Suharjanti, Isti. Strategi Pengobatan Akut Migrain. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2013.
Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Edisi VI. Elex Media Komputindo. Jakarta.