Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH

MENGELOLA KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG


KESEHATAN IBU DAN ANAK

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pelayanan Kebidanan

OLEH
KELOMPOK III
FITRI ANDAYANI (1520332013)
MIRANIE SAFARINGGA (1520332028)

DOSEN PEMBIMBING
Bd. Hj. ULVI MARIATI, SKp., M. Kes

PROGRAM STUDI PASCASARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND PADANG
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Manajemen Kebidanan dengan judul
“Mengelola Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Kesehatan Ibu dan Anak”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Manajemen Kebidanan diampu oleh Bd.
Ulvi Mariati, SKM, M.Kes pada program pascasarjana ilmu kebidanan Universitas Andalas
Padang.
Makalah ini membahas tentang Mengelola kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan
ibu dan anak. Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan sumber informasi lebih lanjut
mengenai bahasan tersebut oleh tenaga kesehatan khususnya tenaga kependidikan bidan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan sehingga kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang ini.

Padang, November 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. i


DAFTAR ISI ………………………………………………………………. ii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………. 1
BAB II PEMBAHASAN ……………….…………………………………. 3
2.1 Pengertian kesehatan ibu dan anak ………………………………….. 3
2.2 Prinsip dan tujuan program kesehatan ibu dan anak …………………… 2
2.3 Undang undang kesehatan ibu,bayi,anak ………………………………. 4
2.4 Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJM) 2015-2019.. 8
2.5 Rencana strategis kementrian kesehatan 2015-2019................................. 20
2.6.Kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan ibu dan anak ………. . 22
2.7.Manajemen kegiatan kesehatan ibu dan anak……………………… …. 37
BAB III Penutup ………………………………………………………… 44
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Angka Kematian Ibu di Indonesia Tahun 1991-2012 ............ 8


Gambar 5.2 Cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil K1 dan K4 Indonesia Tahun 2005-
2014…………………………………………………… 12
Gambar 5.4 Cakupan Pemberian 90 Tablet Tambah Darah (Zat Besi) Pada Ibu Hamil
Menurut Provinsi Tahun 2014………………………... 14
Gambar 5.5 Cakupan Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan di Indonesia Tahun
2005-2014…………… ………………………… 15
Gambar 5.31 Cakupan Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi 0-6 Bulan Menurut Provinsi
Tahun 2014…………………………………… 22
Gambar 2.18 Persentase Poayandu Menurut Strata di Indonesia Tahun 2014
………………………………………………………. 24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Strategi Pembangunan Kesehatan menuju indonesia sehat 2010 mengisyaratkan bahwa
pembangunan kesehatan ditujukan pada upaya menyehatkan bangsa. Indikator
keberhasilannya antara lain ditentukan oleh angka mortalitas dan morbiditas, angka kematian
ibu dan angka kematian bayi. Program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu
prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia. Program ini bertanggung jawab
terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi neonatal. Salah satu
tujuan program ini adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Anak (AKB) masih tinggi yaitu, 307 per 100.000
kelahiran hidup dan AKB 35/1000 kh. Target yang ditetapkan untuk dicapai pada RPJM
tahun 2009 untuk AKI adalah 226 per 100.000 kh dan AKB 26/1000 kh. Dengan demikian
target tersebut merupakan tantangan yang cukup berat bagi program KIA. Sebagaian besar
penyebab kematian ibu secara tidak langsung (menurut survei Kesehatan Rumah Tangga
2001 sebesar 90%) adalah komplikasi yang terjadi pada saat persalinan dan segera setelah
bersalin. Penyebab tersebut dikenal dengan Trias Klasik yaitu Pendarahan (28%), eklampsia
(24%) dan infeksi (11%). Sedangkan penyebab tidak langsungnya antara lain adalah ibu
hamil menderita Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (HB kurang dari 11 gr%) 40%.
Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan resiko terjadinya kematian ibu
dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.
Beberapa kegiatan dalam meningkatkan upaya percepatan penurunan AKI telah
diupayakan antara lain melalui peningkatan kualitas pelayanan dengan melakukan pelatihan
klinis bagi pemberi pelayanan kebidanan di lapangan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian Kesehatan Ibu dan Anak


Upaya kesehatan Ibu dan Anak adalah upaya di bidang kesehatan yang
menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan
anak balita serta anak prasekolah.
Pemberdayaan masyarakat bidang KIA merupakan upaya memfasilitasi masyarakat
untuk membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat
darurat dari aspek non klinis terkait kehamilan dan persalinan. Sistem kesiagaan merupakan
sistem tolong-menolong, yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat, dalam hal
penggunaan alat transportasi/komunikasi (telepon genggam,telepon rumah), pendanaan,
pendonor darah, pencatatan-pemantauan, dan informasi KB.
Dalam pengertian ini tercakup pula pendidikan kesehatan kepada masyarakat, pemuka
masyarakat, serta menambah keterampilan para dukun bayi serta pembinaan kesehatan akan
dilakukan di taman kanak-kanak.
Menurut Asfryati (2003:27), keluarga berarti nuclear family yaitu yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak. Ayah dan ibu dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua dan
mampu memenuhi tugas sebagai pendidik. Oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan
yang besar dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal
maupun tahap-tahap kritisnya, dan yang paling berperan sebagai pendidik anak-anaknya
adalah ibu. Peran seorang ibu dalam keluarga terutama anak adalah mendidik dan menjaga
anak-anaknya dari usia bayi sehingga dewasa, karena anak tidak jauh dari pengamatan orang
tua terutaa ibunya.

2.2 Prinsip dan Tujuan Program Kesehatan Ibu dan Anak


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang
Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, Dan
Sistem Informasi Keluarga, pembangunan keluarga dilakukan dalam upaya untuk
mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Selain
lingkungan yang sehat, masih menurut peraturan pemerintah tersebut, kondisi kesehatan dari
tiap anggota keluarga sendiri juga merupakan salah satu syarat dari keluarga yang
berkualitas.
Keluarga memiliki fungsi yang sangat strategis dalam mempengaruhi status kesehatan
anggotanya. Diantara fungsi keluarga dalam tatanan masyarakat yaitu memenuhi kebutuhan
gizi dan merawat serta melindungi kesehatan para anggotanya. Hal itu dilakukan dalam
upaya untuk mengoptimalkan pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas seluruh
anggotanya, oleh karena keadaan kondisi kesehatan salah satu anggota keluarga dapat
mempengaruhi anggota keluarga lainnya. Ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang
perlu mendapatkan prioritas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, karena ibu dan anak
merupakan kelompok rentan terhadap keadaan keluarga dan sekitarnya secara umum.
Sehingga penilaian terhadap status kesehatan dan kinerja upaya kesehatan ibu dan anak
penting untuk dilakukan.
Prinsip pengelolaan Program KIA adalah memantapkan dan peningkatan jangkauan
serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien.Tujuan umum program Kesehatan Ibu
dan anak (KIA) adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat
kesehatan yang optimal, bagi ibu dan keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil
Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin
proses tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas
manusia seutuhnya.
Sedangkan tujuan khusus program KIA adalah :
1.      Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan , sikap dan perilaku), dalam
mengatasi kesehatan diri dan keluarganya dengan menggunakan teknologi tepat
guna dalam upaya pembinaan kesehatan keluarga, paguyuban 10 keluarga,
Posyandu dan sebagainya
2.      Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah secara
mandiri di dalam lingkungan keluarga, paguyuban 10 keluarga, Posyandu, dan
Karang Balita serta di sekolah Taman Kanak-Kanak atau TK
3.      Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, dan ibu meneteki
4.      Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, nifas, ibu
meneteki, bayi dan anak balita
5.      Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat , keluarga dan
seluruh anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak
prasekolah, terutama melalui peningkatan peran ibu dan keluarganya

2.3 Undang Undang Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NO 36 TAHUN 2009
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG
CACAT
Bagian Kesatu Kesehatan ibu, bayi, dan anak

Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 127

(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dengan ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan
dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 128
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam)
bulan, kecuali atas indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan
fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat
kerja dan tempat sarana umum.

Pasal 129
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi
untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.

Pasal 131
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan
generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan
angka kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan,
dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga,
masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga
memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku
untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri

Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi
dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin
terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria terhadap kesehatan
bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap
penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan
sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak
membahayakan kesehatan anak
Bagian Kedua
Kesehatan Remaja
Pasal 136
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan
menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan
kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi
secara sehat.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 137
(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi,
informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan
bertanggung jawab.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh
edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Kesehatan Lanjut Usia dan
Penyandang Cacat
Pasal 138
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar
tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan
martabat kemanusiaan. (2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup
mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar
tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara
sosial dan ekonomis.
Pasal 140
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.

2.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019

Tahun 2015 merupakan tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2015-2019 yang menjadi
periode ketiga pembangunan jangka panjang nasional. Sebagai langkah awal perlu dilakukan
konsolidasi dan koordinasi menyeluruh seluruh stakeholder pembangunan antara lain
kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah serta organisasi masyarakat sehingga dapat
dipahami dan diintegrasikan dalam rencana pembangunan tingkat daerah. Hal ini dirasa perlu
dilakukan konsolidasi dan sosialisasi intensif dalam periode awal RPJMN 2015-2019.

Salah satu isu strategis yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 kesehatan dan gizi
masyarakat adalah terkait peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengamanatkan melakukan
pendekatan melalui upaya yang komprehensif yaitu upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif dalam mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya promotif dan
preventif memegang peranan yang sangat penting karena keberhasilan pada pendekatan ini akan
mengurangi jumlah penduduk yang memerlukan upaya kuratif dan rehabilitatif.

Untuk meningkatkan komitmen seluruh pemangku kepentingan terhadap upaya promotif


dan preventif kesehatan baik Pemerintah, Swasta, Masyarakat Madani, dan seluruh masyarakat
umum, maka diperlukan kajian terkait peningkatan upaya Promotif dan Preventif Kesehatan
guna memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kemandirian untuk berperilaku
hidup sehat. Hal ini juga sangat berkaitan dengan peningkatan kemandirian masyarakat serta
partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka selain perlu dilakukan kooordinasi dan sosialisasi
terkait RPJMN 2015-2019 guna mencapai perencanaan yang terintegrasi antar tingkat
pemerintahan, juga dipandang perlu untuk melakukan kajian komprehensif tentang peningkatan
upaya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu cara bagian dari
pencapaian strategi RPJMN 2015-2019.
Hal ini makin terasa penting dengan adanya kebijakan Rencana Penggunaan Kenaikan
Anggaran Kementerian Kesehatan RI Tahun 2016. Dalam kebijakan tersebut, alokasi DAK
Kesehatan dan Keluarga Berencana meningkat menjadi Rp 19,6 T pada tahun 2016 (Catatan:
tahun 2015 hanya Rp. 6,8 T). Dana DAK Kesehatan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan
non fisik. Anggaran BOK misalnya bisa untuk kegiatan outreach (ANC, KB, Neonatal, Bayi,
Program penanggulangan ATM, Penanggulangan Gizi Buruk, Penyediaan Air Bersih).

Kegiatan outreach ini bisa kurang optimal dilaksanakan akibat terbatasnya jumlah SDM
dan tingginya beban kerja di puskesmas terutama di Indonesia bagian timur. Meskipun
Kementerian Kesehatan tahun 2016 berencana untuk meningkatkan jumlah penugasan tim ke
daerah dan penugasan khusus 5 jenis tenaga preventif dan promotif, tetapi tentu belum cukup
untuk mengatasi kendala yang ada dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam hal
ini, daerah tentu lebih tahu kebutuhannya. Dengan alokasi DAK yang lebih besar (dan dana dari
APBD "murni"), peluang untuk melakukan inovasi (termasuk contracting out) sangat
dimungkinkan.

Selain itu, di era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini, selain BOK, puskesmas memiliki
anggaran berdasarkan sistem kapitasi yang relatif besar dari BPJS. Potensi anggaran yang relatif
besar ini perlu dioptimalkan pemanfaatannya sesuai dengan kebutuhan lokal wilayah kerja yang
tetap searah dengan RPJMN dan RPJMD.
Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat
dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui melalui
upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial
dan pemeratan pelayanan kesehatan. Sasaran pokok RPJMN 2015-2019 adalah:
1) Meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak;
2) Meningkatnya pengendalian penyakit;
3) Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
4) Meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di
daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan;
5) Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui kartu indonesia sehat
dan kualitas pengelolaan SJSN kesehatan,
6) Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin; serta
7) Meningkatkan responsivitas sistem kesehatan (Kementrian Kesehatan RI 2011)

Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasioanal (RPJMN) 2015-2019 terkait


Kesehatan Perempuan :
1. Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan strategi mengintegrasikan perspektif
gender dalam pembangunan. Pengintegrasian perspektif gender tersebut dimulai dari
proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi
seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. PUG ditujukan untuk
mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan, yaitu pembangunan yang lebih
adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia baik laki-laki maupun perempuan.
Kesetaraan gender dapat dicapai dengan mengurangi kesenjangan antara penduduk
laki-laki dan perempuan dalam mengakses dan mengontrol sumber daya,
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan proses pembangunan, serta
mendapatkan manfaat dari kebijakan dan program pembangunan.
Kesetaraan dan keadilan gender yang merupakan salah satu tujuan pembangunan
yang ditetapkan dalam RPJPN 2005-2025 dan dijabarkan di dalam RPJMN 2015-
2019 dihadapkan pada tiga isu strategis, yaitu:
(1) meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan;
(2) meningkatnya perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak
kekerasan, termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO); dan
(3) meningkatnya kapasitas kelembagaan PUG dan kelembagaan perlindungan
perempuan dari berbagai tindak kekerasan
Strategi untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG antara lain:
(1) Penyempurnaan proses pembentukan peraturan perundangan dan kebijakan
agar selalu mendapatkan masukan dari perspektif gender;
(2) Pelaksanaan review, koordinasi, dan harmonisasi seluruh peraturan
perundangan dari UU sampai dengan peraturan daerah agar berperspektif
gender;
(3) Peningkatan kapasitas SDM lembaga koordinator dalam mengkoordinasikan
dan memfasilitasi kementerian/lembaga/pemerintah daerah tentang penerapan
PUG, termasuk data terpilah;
(4) Penguatan mekanisme koordinasi antara pemerintah, aparat penegak hukum,
masyarakat, dan dunia usaha dalam penerapan PUG; ]
(5) Penguataan lembaga/jejaring PUG di pusat dan daerah, termasuk dengan
perguruan tinggi, pusat studi wanita/gender, dan organisasi masyarakat;
(6) Penguatan system penyediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data terpilah
untuk penyusunan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan/program/kegiatan
pembangunan, seperti publikasi indeks kesetaraan dan keadilan gender per
kabupaten sebagai basis insentif dan disinsentif alokasi dana desa; serta
(7) Pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil pengarusutamaan
gender, termasuk PPRG.

2. Kependudukan dan Keluarga Berencana


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005- 2025 menyebutkan dalam
visi misinya bahwa Kemajuan suatu bangsa juga diukur berdasarkan indikator kependudukan,
ada kaitan yang erat antara kemajuan suatu bangsa dengan laju pertumbuhan penduduk,
termasuk derajat kesehatan. Bangsa yang sudah maju ditandai dengan laju pertumbuhan
penduduk yang lebih kecil; angka harapan hidup yang lebih tinggi; dan kualitas pelayanan sosial
yang lebih baik. Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002, 2007, dan 2012
menunjukkan stagnansi angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) yaitu sebesar 2,6 kelahiran
per perempuan usia reproduktif 15-49 tahun. Beberapa isu strategis dan permasalahan, serta
tantangan pengendalian kuantitas penduduk dengan demikian meliputi:
(a) Penguatan Advokasi dan KIE tentang ProgramKependudukan, Keluarga Berencana, dan
Pembangunan Keluarga (KKBPK)
(b) Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan KB yang Merata
(c) Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran Remaja mengenai Kesehatan Reproduksi dan
Penyiapan Kehidupan Berkeluarga.
(d) Pembangunan Keluarga. Pembangunan keluarga dilakukan melalui pembinaan
ketahanan dan kesejahteraan keluarga yang ditandai dengan peningkatan pemahaman dan
kesadaran fungsi keluarga.
3. Kesehatan Gizi Masyarakat
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Perpres No. 42 Tahun 2013) menjadi
landasan dalam integrasi intervensi spesifik (sektor kesehatan) dan intervensi sensitif (sektor di
luar kesehatan) yang sejalan dengan pembangunan gizi global yaitu Scaling Up Nutrition (SUN)
Movement. Gerakan ini difokuskan pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dilakukan secara
terpadu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta dukungan komitmen pengambil
kebijakan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sektor yang terlibat dalam gerakan
nasional percepatan perbaikan gizi antara lain kordinator pembangunan manusia dan
kebudayaan, kesehatan, pemerintahan dalam negeri, perencanaan pembangunan, pertanian,
kelautan dan perikanan, pendidikan dan kebudayaan, perindustrian, perdagangan, sosial, agama,
komunikasi dan informasi, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta
kesekretariatan kabinet. Sedangkan di luar pemerintahan meliputi lain dunia usaha dan
masyarakat madani, dan perguruan tinggi, serta organisasi profesi

Akselerasi Pemenuhan Akses Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja, dan Lanjut
Usia yang Berkualitas melalui:
 Peningkatan akses dan mutu continuum of care pelayanan ibu dan anak yang
meliputi kunjungan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
terlatih di fasilitas kesehatan;
 Peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi pada remaja;
 Penguatan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS);
 Penguatan Pelayanan Kesehatan Kerja dan Olahraga;
 Peningkatan pelayanan kesehatan lanjut usia;
 Peningkatan cakupan imunisasi tepat waktu pada bayi dan balita; serta
 Peningkatan peran upaya kesehatan berbasis masyarakat termasuk posyandu dan
pelayanan terintegrasi lainnya dalam pelayanan kesehatan ibu, anak, remaja dan
lansia
\

4. Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan yang Berkualitas


Keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier, terutama
terjadi pada daerah perdesaan, terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Selain
itu, kendala geografis juga menyebabkan keterbatasan akses pelayanan kesehatan di banyak
provinsi di Indonesia.Kualitas pelayanan belum optimal karena banyak fasilitas kesehatan dasar
yang belum memenuhi standar kesiapan pelayanan dan ketiadaan standar guideline pelayanan
kesehatan.

5. Pengembangan Jaminan Kesehatan Nasioanal


Periode 2014-2019 adalah periode krusial dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Nasional, yaitu untuk mencapai universal health coverage pada tahun 2019. Agenda utamanya
adalah menjamin akses pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat terutama
masyarakat miskin dan masyarakat di daerah tertinggal. Kartu Indonesia sehat merupakan bentuk
dalam upaya untuk menjamin bahwa seluruh penduduk mempunyai akses terhadap pelayanan
kesehatan tanpa hambatan finansial. Kartu Indonesia Sehat menjadi bentuk pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kesehatan yang menjamin
setiap orang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan 3 pilar utama yaitu paradigma sehat,
penguatan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional:
1) pilar paradigma sehat di lakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam
pembangunan, penguatan promotif preventif dan pemberdayaan masyarakat;
2) penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses
pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan dan peningkatan mutu pelayanan
kesehatan, menggunakan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis
risiko kesehatan;
3) sementara itu jaminan kesehatan nasional dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan
benefit serta kendali mutu dan kendali biaya.(Kementrian Kesehatan RI 2011)

Adapun Strategi pembangunan kesehatan 2015-2019 meliputi:


1) Akselerasi Pemenuhan Akses Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja, dan Lanjut
Usia yang Berkualitas.
2) Mempercepat Perbaikan Gizi Masyarakat.
3) Meningkatkan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
4) Meningkatkan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar yang Berkualitas
5) Meningkatkan Akses Pelayanan Kesehatan Rujukan yang Berkualitas
6) Meningkatkan Ketersediaan, Keterjangkauan, Pemerataan, dan Kualitas Farmasi dan
Alat Kesehatan
7) Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan
8) Meningkatkan Ketersediaan, Penyebaran, dan Mutu Sumber Daya Manusia
Kesehatan
9) Meningkatkan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
10) Menguatkan Manajemen, Penelitian Pengembangan dan Sistem Informasi
11) Memantapkan Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Bidang
Kesehatan
12) Mengembangkan dan Meningkatkan Efektifitas Pembiayaan Kesehatan (Kementrian
Kesehatan RI 2011)

Tantangan Pembangaunan Kesehatan 2015-2019 :


 Kesenjangan status kesmas& akses terhadap yankes antar wilayah termasuk DTPK,
tingkat sosial ekonomi, dan gender;
 Continuum of care (AKI, AKB, AKBA);
 Masih ada masalah gizi –stuntingdi wilayah timur;
 Beban ganda penyakit -pergeseran pola penyakit dari PM ke PTM, serta meningkatnya
penyalahgunaan narkoba& masih ada masalah imunisasi–rantai dingin;
 Kualitas lingkungan(climate change)dan sanitasi dasar;
 Masalah SDM kesehatan (penyebaran, kualitas layanan dan kompetensi nakes);
 Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat –UKBM –PHBS;
 Belum optimalnya Sistem Informasi Kesehatan;
 Masalah pergeseran demografi–lanjut usia;
 Masalah bias desentralisasi(Pusat-Daerah) termasuk lintas sektor

2.4. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015- 2019


Dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015- 2019 tidak ada visi dan misi,
namun mengikuti visi dan misi Presiden Republik Indonesia yaitu “Terwujudnya Indonesia yang
Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotongroyong”.
Terdapat dua tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu:
1) meningkatnya status kesehatan masyarakat dan
2) meningkatnya daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko
sosial dan finansial di bidang kesehatan.
Peningkatan status kesehatan masyarakat dilakukan pada semua kontinum siklus
kehidupan (life cycle), yaitu bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, kelompok usia kerja,
maternal dan kelomppok lansia.
Tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak (impact atau outcome) dalam
peningkatan status kesehatan masyarakat, indikator yang akan dicapai adalah:
1. Menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran hidup (SP 2010), 346
menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012).
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup.
3. Menurunnya persentase BBLR dari 10,2% menjadi 8%.
4. Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,
serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.
5. Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat

Strategi pembangunan kesehatan 2015-2019 meliputi:


1. Akselerasi Pemenuhan Akses Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja, dan Lanjut Usia
yang Berkualitas.
2. Mempercepat Perbaikan Gizi Masyarakat.
3. Meningkatkan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
4. Meningkatkan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar yang Berkualitas
5. Meningkatkan Akses Pelayanan Kesehatan Rujukan yang Berkualitas
6. Meningkatkan Ketersediaan, Keterjangkauan, Pemerataan, dan Kualitas Farmasi dan
Alat Kesehatan
7. Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan
8. Meningkatkan Ketersediaan, Penyebaran, dan Mutu Sumber Daya Manusia Kesehatan
9. Meningkatkan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
10. Menguatkan Manajemen, Penelitian Pengembangan dan Sistem Informasi
11. Memantapkan Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Bidang Kesehatan
12. Mengembangkan dan Meningkatkan Efektifitas Pembiayaan Kesehatan
2.4. Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Kesehatan Ibu Anak
1. Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu
Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur status kesehatan ibu
pada suatu wilayah, salah satunya yaitu angka kematian ibu (AKI). AKI merupakan salah
satu indikator yang peka terhadap kualitas dan aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI (yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga di
Kawasan ASEAN. Pada tahun 2007, ketika AKI di Indonesia mencapai 228, AKI di
Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup,
Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama
mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup. Tren mengenai AKI di Indonesia dari tahun
1991 hingga 2012 hasil SDKI dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut.

Pemerintah sejak tahun 1990 telah melakukan upaya strategis dalam upaya
menekan AKI dengan pendekatan safe motherhood yaitu memastikan semua wanita
mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan
dan persalinannya. Di Indonesia, Safe Motherhood Initiative ditindaklanjuti dengan
peluncuran program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh presiden yang melibatkan
berbagai sektor pemerintahan disamping sektor kesehatan. Salah satu program utama
yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di
tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan
kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat.
Pada tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi
sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi Making
Pregnancy Safer. Namun, pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang
signifikan, yakni dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Oleh karena itu, pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program
Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka
kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan
kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan
provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia
berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di
enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di
Indonesia secara signifikan.
Upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal melalui
program EMAS dilakukan dengan cara:
 Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir
minimal di 150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas
(PONED).
 Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan
rumah sakit.
Selain itu, pemerintah bersama masyarakat juga bertanggung jawab untuk
menjamin setiap ibu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas,
mulai dari saat hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih, perawatan
pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi,
memperoleh cuti hamil dan melahirkan, serta akses terhadap keluarga berencana.
Di samping itu, pentingnya melakukan intervensi lebih ke hulu, yakni kepada
kelompok remaja dan dewasa muda dalam upaya percepatan penurunan AKI.
Upaya pelayanan kesehatan ibu meliputi:
(1) Pelayanan kesehatan ibu hamil,
(2) Pelayanan kesehatan ibu bersalin,
(3) Pelayanan kesehatan ibu nifas,
(4) Pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan, dan
(5) Pelayanan kontrasepsi.
2. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil
Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal
sekurang-kurangnya empat kali selama masa kehamilan, dengan distribusi waktu minimal
satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), satu kali pada trimester
kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24
minggu sampai persalinan). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin
perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor risiko,
pencegahan, dan penanganan dini komplikasi kehamilan.
Pelayanan antenatal yang dilakukan diupayakan memenuhi standar kualitas, yaitu:
1. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;
2. Pengukuran tekanan darah;
3. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);
4. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);
5. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai
status imunisasi;
6. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;
7. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);
8. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling,
termasuk keluarga berencana);
9. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb),
pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah
dilakukan sebelumnya); dan
10. Tatalaksana kasus.
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator
cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan
antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu
wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil
yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali
sesuai jadwal yang dianjurkan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada
kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap
ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga
kesehatan. Gambaran kecenderungan cakupan K1 dan K4 sejak tahun 2005 hingga tahun 2014
dapat dilihat pada Gambar

Pada Gambar 5.2 terlihat bahwa secara umum cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil
K1 dan K4 mengalami kenaikan. Cakupan K1 dan K4 yang secara umum mengalami kenaikan
tersebut menunjukkan semakin baiknya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu
hamil yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa
kenaikan cakupan K1 dari tahun ke tahun relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan cakupan
K4. Cakupan K1 hampir selalu mengalami peningkatan, kecuali pada dua tahun terakhir. Hal itu
sedikit berbeda dengan cakupan K4 yang tidak selalu mengalami kenaikan, meski selama kurun
waktu 10 tahun terakhir tetap memiliki kecenderungan meningkat. Secara nasional, indikator
kinerja cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2014 belum mencapai target
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan di tahun yang sama, yakni sebesar 95%.
Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan untuk
mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat hingga ke pelosok
desa, termasuk untuk meningkatkan cakupan pelayanan antenatal. Dari segi sarana dan fasilitas
pelayanan kesehatan, hingga bulan Desember 2014, tercatat terdapat 9.731 puskesmas di seluruh
Indonesia dengan rasio 1,08 puskesmas per 30.000 penduduk. Dengan demikian, rasio
puskesmas terhadap 30.000 penduduk sudah mencapai rasio ideal 1:30.000 penduduk, namun
penyebarannya masih belum merata. Demikian pula dengan Upaya Kesehatan Bersumber daya
Masyarakat (UKBM) seperti poskesdes dan posyandu. Sampai dengan tahun 2014, tercatat
terdapat 55.517 poskesdes yang beroperasi dan 289.635 posyandu di Indonesia.
Upaya meningkatkan cakupan pelayanan antenatal juga makin diperkuat dengan adanya
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan diluncurkannya Jaminan
Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011 hingga tahun 2013, dimana keduanya saling bersinergi
dalam memperkuat upaya penurunan AKI di Indonesia. Selain digunakan untuk kegiatan di
dalam puskesmas, BOK juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan luar gedung, seperti pendataan,
pelayanan di posyandu, kunjungan rumah, sweeping kasus drop out, penyuluhan, pelaksanaan
kelas ibu hamil, serta penguatan kemitraan bidan dan dukun. Sementara itu, Jampersal
mendukung paket pelayanan antenatal, termasuk yang dilakukan pada saat kunjungan rumah atau
sweeping, baik pada kehamilan normal maupun kehamilan dengan risiko tinggi. Semakin
kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai program yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat termasuk sektor swasta, diharapkan dapat mendorong tercapainya target
cakupan pelayanan antenatal yang berkualitas dan sekaligus menurunkan AKI di Indonesia.
Pemberian zat besi pada ibu hamil merupakan salah satu syarat pelayanan kesehatan K4
pada ibu hamil. Dimana jumlah suplemen zat besi yang diberikan selama kehamilan ialah
sebanyak 90 tablet (Fe3). Zat besi merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh untuk membentuk
sel darah merah (hemoglobin). Selain digunakan untuk pembentukan sel darah merah, zat besi
juga berperan sebagai salah satu komponen dalam membentuk mioglobin (protein yang
membawa oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat pada tulang, tulang rawan, dan
jaringan penyambung), serta enzim. Zat besi juga berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh.
Secara nasional cakupan ibu hamil mendapat tablet Fe tahun 2014 sebesar 85,1%, data
tersebut belum mencapai target program tahun 2014 sebesar 95%. Provinsi di Indonesia pada
tahun 2014 dengan cakupan Fe3 tertinggi terdapat di Provinsi Bali (95%), DKI Jakarta (94,8%),
dan Jawa Tengah (92,5%). Sedangkan cakupan terendah terdapat di Provinsi Papua Barat
(38,3%), Papua (49,1%), dan Banten (61,4%). Data dan informasi mengenai cakupan pemberian
90 tablet tambah darah pada ibu hamil dapat dilihat di Lampiran 5.2. Selain itu, gambar cakupan
Fe3 pada tiap provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.4..

3. Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan


Kementerian Kesehatan tetap konsisten dalam menerapkan kebijakan bahwa seluruh
persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan dan didorong untuk dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan. Kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kesehatan
menggariskan bahwa pembangunan puskesmas harus satu paket dengan rumah dinas
tenaga kesehatan. Demikian pula dengan pembangunan poskesdes yang harus bisa
sekaligus menjadi rumah tinggal bagi bidan di desa. Dengan disediakan rumah tinggal,
maka tenaga kesehatan termasuk bidan akan siaga di tempat tugasnya dan dapat
memberikan pertolongan persalinan setiap saat.
Untuk daerah dengan akses sulit, kebijakan Kementerian Kesehatan adalah dengan
mengembangkan program Kemitraan Bidan dan Dukun serta Rumah Tunggu Kelahiran.
Para dukun diupayakan bermitra dengan bidan dengan hak dan kewajiban yang jelas.
Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan tidak lagi dikerjakan oleh dukun,
namun dirujuk ke bidan. Bagi ibu hamil yang di daerah tempat tinggalnya tidak ada bidan
atau jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan, maka menjelang hari taksiran persalinan
diupayakan sudah berada di dekat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu di Rumah Tunggu
Kelahiran. Rumah Tunggu Kelahiran tersebut dapat berupa rumah tunggu khusus yang
dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat maupun di rumah sanak saudara yang
letak rumahnya berdekatan dengan fasilitas pelayanan kesehatan. Gambaran mengenai
persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan menurut
provinsi dapat dilihat pada Gambar 5.7 berikut ini.

Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan


kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi
tertinggi yakni apabila terdapat lebih dari satu penolong, maka dipilih yang kualifikasinya
paling tinggi.
4. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Nifas adalah periode mulai dari enam jam sampai dengan 42 hari pasca
persalinan. Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan pada ibu nifas
sesuai standar, yang dilakukan sekurang-kurangnya tiga kali sesuai jadwal yang
dianjurkan, yaitu pada enam jam sampai dengan tiga hari pasca persalinan, pada hari ke
empat sampai dengan hari ke-28 pasca persalinan, dan pada hari ke-29 sampai dengan
hari ke-42 pasca persalinan.
Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas yang diberikan meliputi :
a) Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu);
b) Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri);
c) Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain;
d) Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;
e) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan
bayi baru lahir, termasuk keluarga berencana;
f) Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.
Keberhasilan upaya kesehatan ibu nifas diukur melalui indikator cakupan
pelayanan kesehatan ibu nifas (Cakupan KF3). Indikator ini menilai kemampuan negara
dalam menyediakan pelayanan kesehatan ibu nifas yang berkualitas sesuai standar
5. Upaya Penurunan AKI dan AKB
Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet, dan abortus. Kematian ibu di Indonesia
masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan (HDK), dan infeksi. Namun proporsinya telah berubah, dimana perdarahan
dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK proporsinya semakin
meningkat. Lebih dari 25% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2013 disebabkan oleh
HDK.
Diperkirakan 20% dari kehamilan akan mengalami komplikasi. Sebagian
komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat dicegah
dan ditangani bila :
1) ibu segera mencari pertolongan ke tenaga kesehatan;
2) tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain
penggunaan partograf untuk memantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan
manajemen aktif kala III (MAK III) untuk mencegah perdarahan pasca-salin;
3) tenaga kesehatan mampu melakukan identifikasi dini komplikasi;
4) apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat memberikan pertolongan
pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum melakukan rujukan;
5) proses rujukan efektif;
6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat guna.
Terdapat tiga jenis area intervensi yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian
dan kesakitan ibu dan neonatal yaitu melalui :
1) peningkatan pelayanan antenatal yang mampu mendeteksi dan menangani kasus
risiko tinggi secara memadai;
2) pertolongan persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan terampil,
pelayanan pasca persalinan dan kelahiran;
3) pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal dasar (PONED) dan komprehensif
(PONEK) yang dapat dijangkau secara tepat waktu oleh masyarakat yang
membutuhkan.
Upaya terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia salah satunya
dilakukan melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K).
Program tersebut menitikberatkan kepedulian dan peran keluarga dan masyarakat dalam
melakukan upaya deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil, serta
menyediakan akses dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar di
tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal
komprehensif di Rumah Sakit (PONEK).
Dalam implementasinya, P4K merupakan salah satu unsur dari Desa Siaga. P4K
mulai diperkenalkan oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2007. Pelaksanaan P4K di desa-
desa tersebut perlu dipastikan agar mampu membantu keluarga dalam membuat
perencanaan persalinan yang baik dan meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dalam
menghadapi tanda bahaya kehamilan, persalinan, dan nifas agar dapat mengambil
tindakan yang tepat.
Sesuai Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014, ditargetkan pada
akhir tahun 2014 di setiap kabupaten/kota terdapat minimal empat puskesmas rawat inap
mampu PONED dan satu Rumah Sakit Kabupaten/Kota yang mampu melaksanakan
PONEK. Melalui pengelolaan pelayanan PONED dan PONEK, puskesmas dan rumah
sakit diharapkan bisa menjadi institusi terdepan dimana kasus komplikasi dan rujukan
dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Standardisasi PONEK untuk rumah sakit dilakukan
oleh Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan bekerja sama dengan organisasi profesi
yang terkait (POGI, IDAI dan IBI) serta Badan PPSDMKes Kemenkes.
Lokakarya PONEK dilakukan selama lima hari, meliputi materi manajemen dan
klinik PONEK. Kegiatan ini kemudian diikuti dengan latihan on the job training PONEK
untuk mengenalkan cara melakukan bimbingan teknis perbaikan kinerja Tim PONEK
rumah sakit. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, jumlah
rumah sakit dengan PONEK di Indonesia sampai dengan Desember 2014 sebanyak 476
rumah sakit dari 771 rumah sakit umum milik Pemerintah, sedangkan jumlah Puskesmas
PONED sampai dengan Desember tahun 2014 adalah 2.855 puskesmas.
Dilakukan pula kegiatan Audit Maternal Perinatal (AMP), yang merupakan upaya
dalam penilaian pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir. Kegiatan ini dilakukan melalui pembahasan kasus kematian ibu atau bayi baru
lahir sejak di level masyarakat sampai di level fasilitas pelayanan kesehatan. Salah satu
hasil kajian yang didapat dari AMP adalah kendala yang timbul dalam upaya
penyelamatan ibu pada saat terjadi kegawatdaruratan maternal dan bayi baru lahir. Kajian
tersebut juga menghasilkan rekomendasi intervensi dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan ibu dan bayi di masa mendatang.

6. Pelayanan Kontrasepsi
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014
Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga
Berencana, Dan Sistem Informasi Keluarga, yang dimaksud dengan program keluarga
berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan,
mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak
reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014
Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga
Berencana, Dan Sistem Informasi Keluarga, program Keluarga Berencana (KB)
merupakan salah satu strategi untuk mengurangi kematian ibu khususnya ibu dengan
kondisi 4T; terlalu muda melahirkan (di bawah usia 20 tahun), terlalu sering
melahirkan, terlalu dekat jarak melahirkan, dan terlalu tua melahirkan (di atas usia 35
tahun). Selain itu, program KB juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga
agar dapat timbul rasa aman, tentram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam
mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana
pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat,
termasuk keluarga berencana. Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana
dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk
generasi penerus yang sehat dan cerdas. PUS bisa mendapatkan pelayanan kontrasepsi
di tempat-tempat yang melayani program KB.

7. Penanganan Komplikasi Neonatal


Neonatal dengan komplikasi adalah neonatal dengan penyakit dan atau kelainan
yang dapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti asfiksia, ikterus,
hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR, sindroma
gangguan pernafasan, dan kelainan kongenital maupun yang termasuk klasifikasi
kuning dan merah pada pemeriksaan dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda
(MTBM).
Komplikasi yang menjadi penyebab kematian terbanyak yaitu asfiksia, bayi berat
lahir rendah, dan infeksi (Riskesdas, 2007). Komplikasi ini sebetulnya dapat dicegah
dan ditangani, namun terkendala oleh akses ke pelayanan kesehatan, kemampuan
tenaga kesehatan, keadaan sosial ekonomi, sistem rujukan yang belum berjalan
dengan baik, terlambatnya deteksi dini, dan kesadaran orang tua untuk mencari
pertolongan kesehatan.
Penanganan neonatal dengan komplikasi adalah penanganan terhadap neonatal
sakit dan atau neonatal dengan kelainan atau komplikasi/kegawatdaruratan yang
mendapat pelayanan sesuai standar oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan atau
perawat) terlatih baik di rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana
pelayanan kesehatan rujukan. Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai dengan
standar MTBM, manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir, manajemen Bayi Berat Lahir
Rendah, pedoman pelayanan neonatal essensial di tingkat pelayanan kesehatan dasar,
PONED, PONEK atau standar operasional pelayanan lainnya.
Terkait hal tersebut, pada tahun 2008 ditetapkan perubahan kebijakan dalam
pelaksanaan kunjungan neonatal, dari dua kali (satu kali pada minggu pertama dan
satu kali pada 8-28 hari) menjadi tiga kali (dua kali pada minggu pertama dan satu
kali pada 8–28 hari). Dengan demikian, jadwal kunjungan neonatal yang
dilaksanakan saat ini yaitu pada umur 6-48 jam, umur 3-7 hari, dan umur 8-28 hari.
Indikator ini mengukur kemampuan manajemen program Kesehatan Ibu Anak (KIA)
dalam menyelenggarakan pelayanan neonatal yang komprehensif

8. Pemberian ASI Ekslusif


Air Susu Ibu (ASI) eksklusif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun
2012 adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan,
tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain
(kecuali obat, vitamin dan mineral).
Pengaturan pemberian ASI eksklusif bertujuan untuk :
a. Menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak
dilahirkan sampai dengan berusia enam bulan dengan memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangannya;
b. Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya; dan
c. Meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah,
dan pemerintah terhadap ASI eksklusif.
ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi karena mengandung protein
untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman dalam jumlah tinggi sehingga
pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi risiko kematian pada bayi. Kolostrum
berwarna kekuningan dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga. Hari keempat
sampai hari kesepuluh ASI mengandung immunoglobulin, protein, dan laktosa lebih
sedikit dibandingkan kolostrum tetapi lemak dan kalori lebih tinggi dengan warna
susu lebih putih. Selain mengandung zat-zat makanan, ASI juga mengandung zat
penyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan menganggu enzim di usus.

Mengacu pada target program pada tahun 2014 sebesar 80%, maka secara
nasional cakupan pemberian ASI eksklusif sebesar 52,3% belum mencapai target.
Menurut provinsi, hanya terdapat satu provinsi yang berhasil mencapai target yaitu
Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 84,7%. Provinsi Jawa Barat, Papua Barat, dan
Sumatera Utara merupakan tiga provinsi dengan capaian terendah

9. Desa Siaga dan Posyandu


Pembangunan kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya juga memerlukan peran masyarakat. Melalui konsep Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), masyarakat berperan serta aktif dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan. Bentuk UKBM antara lain Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu), Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan RW/desa/kelurahan siaga aktif.
Desa/kelurahan/nagari siaga aktif adalah desa/kelurahan/nagari yang mempunyai Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes) atau UKBM lainnya yang buka setiap hari dan berfungsi
sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar, penanggulangan bencana dan kegawat
daruratan, surveilans berbasis masyarakat yang meliputi pemantauan pertumbuhan (gizi),
penyakit, lingkungan dan perilaku sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS).
Jumlah desa/kelurahan/nagari siaga aktif di Indonesia pada tahun 2014 sebesar
58.849, dengan persentase terhadap jumlah seluruh desa/kelurahan/nagari sebesar
69,51%. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Jawa Tengah sebesar 99,99% diikuti
oleh DI Yogyakarta sebesar 98,86, dan Jawa Barat sebesar 98,41%. Provinsi dengan
persentase terendah adalah Papua Barat sebesar 1,81%, diikuti oleh Nusa Tenggara
Timur sebesar 15,36% dan Papua sebesar 19,44%..
Salah satu UKBM yang memiliki peran signifikan dalam pemberdayaan masyarakat
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah posyandu. Posyandu dikelola
dan diselenggarakan dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan
dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan
dasar bagi masyarakat terutama ibu, bayi, dan anak balita. Posyandu memiliki 5 program
prioritas yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, imunisasi, gizi, serta
pencegahan dan penanggulangan diare. Terdapat 289.635 Posyandu pada tahun 2014 di
Indonesia. Dari jumlah tersebut, posyandu pratama sebanyak 13,06%, madya sebanyak
27,74%, purnama sebanyak 31,6%, dan mandiri sebanyak 8,71%.
10. Pelayanan Kesehatan Anak Dengan Disabilitas (ADD)
Sesuai amanat dari Undang–undang Nomor 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan
Anak, anak dengan disabilitas merupakan bagian dari anak Indonesia yang perlu
mendapat perhatian dan perlindungan oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Upaya
perlindungan bagi anak dengan disabilitas sama dengan anak lainnya yaitu upaya
pemenuhan kebutuhan dasar anak, agar mereka dapat hidup, tumbuh, dan berkembang
secara optimal serta berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan
dasar anak tersebut meliputi asah, asih, dan asuh yang dapat diperoleh melalui upaya di
bidang kesehatan maupun pendidikan dan sosial.
Sebagai salah satu negara yang melakukan ratifikasi terhadap konvensi hak-hak
penyandang disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD)
melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2011, Indonesia menghormati, melindungi,
memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, Indonesia
harus melaporkan perkembangan program kesehatan bagi ADD oleh Kementerian
Kesehatan melalui Kementerian Luar Negeri di tingkat internasional Prinsip umum
konvensi yaitu meningkatkan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas termasuk
dalam hal aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. Terkait anak dengan disabilitas,
pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya diantaranya deteksi
dini, stimulasi dan intervensi tumbuh kembang anak, skrining hipotiroid kongenital dan
melibatkan anak dengan disabilitas untuk menjadi kader kesehatan di Sekolah Luar Biasa
(SLB) melalui Upaya Kesehatan Sekolah (UKS).
Program yang dilakukan bagi ADD selain melalui program UKS di SLB, juga
melalui pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga. Pembinaan kesehatan ADD di
tingkat keluarga dikembangkan, mengingat sebagian besar ADD berada di masyarakat
sehingga perlu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (community awareness)
tentang hak-hak anak dengan disabilitas dan upaya pemberdayaan
masyarakat/keluarga/orangtua, agar dapat melakukan pengasuhan yang benar apabila
memiliki anak dengan disabilitas. Diharapkan program ini dapat menumbuhkan
kemandirian orangtua/keluarga untuk mampu membimbing dan melatih anak tentang
aktivitas hidup sehari-hari seperti toilet training, kebersihan diri termasuk menyikat gigi
sendiri, memperhatikan tumbuh kembang anak dengan memberikan asupan gizi yang
memadai, mengenal tanda-tanda penyakit dan upaya pencegahannya serta memberikan
latihan sederhana bagi anak agar dapat mencapai kemampuan optimal sesuai potensi
yang dimiliki

2.4 Manajemen Kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak


Pemantauan kegiatan KIA dilaksanakan melalui Pemantauan Wilayah setempat-KIA
(PWS-KIA) dengan batasan. Pemamtauan Wilayah Setempat KIA adalah alat untuk
pengelolaaan kegiatan KIA serta alat untuk motivasi dan komunikasi kepada sector lain
yang terikat dan dipergunakan untuk pemamtauan program KIA secara teknis maupun non
teknis. Melalui PWS-KIA dikembangkan indikator-indikator pemantauan teknis dan non
teknis, yaitu

1.  Indikator Pemantauan Teknis


Indikator ini digunakan oleh para pengelola program dalam lingkungan kesehatan yang
terdiri dari :
a.         Indikator Akses
b.        Indikator Cakupan Ibu Hamil
c.         Indikator Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
d.        Indicator penjaringan Dini Faktor Resiko oleh Masyarakat
e.         Indikator Penjaringan Faktor resiko oleh Tenaga Kesehatan
f.         Indicator Neonatal
2.      Indikator Pemamtauan Non teknis
Indikator ini dimasksudnya untuk motivasi dan komunikasi kemajuan maupun masalah
operasional kegiatan KIA kepada para penguasa di wilayah, sehingga di mengerti dan
mendapatkan bantuan sesuai keperluan. Indikator-indikator ini dipergunakan dalam berbagai
tingkat administradi, yaitu :
a.       Indikator pemerataan pelayanan KIA
Untuk ini dipilih AKSES (jangkauan) dalam pemamtauan secara teknis
memodifikasinya menjadi indicator pemerataan pelayanan yang lebih dimengerti
oleh para penguasa wilayah.
b.      Indikator efektivitas pelayanan KIA
Untuk ini dipilih cakupan (coverage) dalam pemamtauan secara teknnis dengan
memodifikasinya menjadi indicator efektivitas program yang lebih dimengerti oleh
para penguasa wilayah.
Kedua indicator tersebut harus secara rutin dijabarkan per bulan, perdesa serta
dipergunakan dalam pertemuan-pertemuan lintas sektoral untuk menunjukkan desa-
desamana yang masih ketinggalan.
Pemantauan secara lintas sektoral ini harus diikuti dengan suatu tindak lanjut yang
jelas dari para penguasa wilayah perihal : peningkatan penggerakan masyarakat serta
penggalian sumber daya setempat yang diperlukan.

11. Bantuan Operasional Kesehatan


Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan bantuan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk percepatan pencapaian MDGs bidang kesehatan tahun 2015, melalui
peningkatan kinerja Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes/Polindes, Posyandu dan
UKBM lainnya dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan
preventif. Dana BOK adalah dana APBN Kementerian Kesehatan yang disalurkan kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota melalui mekanisme Tugas Pembantuan. Selain itu
diharapkan dengan bantuan ini dapat meningkatkan kualitas manajemen puskesmas, terutama
dalam perencanaan tingkat puskesmas dan lokakarya mini puskesmas, meningkatkan upaya
untuk menggerakkan potensi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya, dan
meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif yang
dilakukan oleh puskesmas dan jaringannya serta poskesdes dan posyandu.
`Pemanfaatan dana BOK difokuskan pada beberapa upaya kesehatan promotif dan
preventif meliputi KIA, KB, imunisasi, perbaikan gizi masyarakat, promosi kesehatan,
kesehatan lingkungan dan pengendalian penyakit, dan upaya kesehatan lain sesuai risiko dan
masalah utama kesehatan di wilayah setempat dengan tetap mengacu pada pencapaian target
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan

12. Kebijakan Pemerintah Mengenai Kespro


Kebijakan Umum Kesehatan Reproduksi
 Kebijakan umum kesesehatan reproduksi diantara yaitu :
 Menempatkan upaya reproduksi menjadi salah satu prioritas Pembangunan
Nasional
 Melaksanakan percepatan upaya kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak
reproduksi ke seluruh Indonesia
 Melaksanakan upaya kesehatan reproduksi secara holistik dan terpadu melalui
pendekatan siklus hidup
 Menggunakan pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya
kesehatan reproduksi
 Menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi berkualitas bagi keluarga miskin
  Strategi Umum dalam menjalankan Kesehatan Reproduksi :
 Menempatkan dan memfungsikan Komisi Kesehatan Reprosuksi (KKR) pada
tingkat Menteri Koordinator serta membentuk KKR di provinsi dan
kabupaten/kota.
 Mengupayakan terbitnya peraturan perundangan di bidang kesehatan reproduksi
 Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan komitmen politis di semua tingkat.
 Mengupayakan kecukupan anggaran/dana pelaksanaan kesehatan reproduksi
 Masing-masing penanggungjawab komponen mengembangkan upaya kesehatan
reproduksi sesuai ruang lingkupnya dengan menjalin kemitraan dengan sektor
terkait, organisasi profesi dan LSM
 Masing-masing komponen membuat rencana aksi mengacu pada kebijakan yang
telah ditetapkan
 Mengembangkan upaya kesehatan reproduksi yang sesuai dengan masalah
spesifik daerah dan kebutuhan setempat, dengan memanfaatkan proses
desentralisasi.
 Memobilisasi sumber daya nasional dan internasioanl baik pemerintah dan non
pemerintah
 Menyediakan pembiayaan pelayanan KR melalui skema Jaminan Sosial Nasional
 Melakukan penelitian untuk pengembangan upaya KR
 Menerapkan Pengarus-utama Gender dalam bidang KR
 Melaksanakan pemantauan dan evaluasi untuk kemajuan upaya K

13. Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan IMS termasuk HIV/AIDS


1)     Penanggulan dilaksanakan dengan memutuskan mata rantai penularan yang terjadi
melalui hubungan seks yang tida k terlindungi, penggunaan jarum suntik tidak
steril pada pengguna Napza suntik, penularan dari ibu yang hamil dengan HIV (+)
ke anak/bayi
2)     Kerjasama lintas sektoral dengan melibatkan organisasi profesi, masyarakat bisnis,
LSM, organisasi berbasis masyarakat, pemuka agama, keluarga dan para Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA)
3)     Setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar tentang
HIV/AIDS
4)     Setiap ODHA dilindungi kerahasiaannya
5)     Kesetaraan gender dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS
6)     Adanya hak memperoleh pelayananan pengobatan perawatan dan dukungan tanpa
diskriminasi bagi ODHA
7)     Pemerintah berkewajiban memberi kemudahan untuk pelayanan pengobatan,
perawatan dan dukungan terhadap ODHA dan mengintegrasikan ke dalam sistem
kesehatan yang telah tersedia.
8)     Prosedur untuk diagnosis HIV harus dilakukan dengan sukarela dan didahului
dengan memberikan informasi yang benar, pre dan post test konseling.
9)     Setiap darah yang ditransfusikan, serta produk darah dan jaringan transplan harus
bebas dari HIV

15. Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja


1)     Pemerintah, masyarakat termasuk remaja wajib menciptakan lingkungan yang
kondusif agar remaja dapat berprilaku hidup sehat untuk menjamin kesehatan
reproduksinya
2)     Setiap remaja mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan
reproduksi remaja yang berkualitas termasuk pelayanan informasi dengan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender
3)     Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan remaja dengan disertai
upaya pendidikan kesehatan reproduksi yang seimbang
4)     Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui jalur
pendidikan formal maupun nonformal, dengan memberdayakan para tenaga
pendidik dan pengelola pendidikan pada sistem pendidikan yang ada
5)     Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan
berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-pihak terkait serta harus
mampu membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan kemandirian remaja.

Strategi Pelaksanaan Ksehatan Reproduksi Remaja :


1)     Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan dengan kebutuhan proses
tumbuh kembang remaja dengan menekankan pada upaya promotif dan preventif
yaitu penundaan usia perkawinan muda dan pencegahan seks pranikah
2)     Pelaksanaan pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan terpadu lintas
program dan lintas sektor dengan melibatkan sektor swasta serta LSM, yang
disesuaikan dengan peran dan kompetensi masing-masing sektor sebagaimana yang
telah dirumuskan di dalam Pokja Nasional Komisi Kesehatan Reproduksi
3)     Pembinaan kesehatan reproduksi  remaja dilakukan melalui pola intervensi di
sekolah mencakup sekolah formal dan non formal dan di luar sekolah dengan
memakai pendekatan “pendidik sebaya” atau peer conselor
4)     Pemberian pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui penerapan Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) atau pendekatan Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Integratif di tingkat pelayanan dasar yang bercirikan “peduli remaja”
dengan melibatkan remaja dalam kegiatan secara penuh.
5)     Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui integrasi materi
KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan dan mengembangkan kegiatan
ekstrakurikuler seperti : bimbingan dan konseling, Pendidikan Keterampilan Hidup
Sehat (PKHS) dan Usaha Kesehatan Sekolah.
6)     Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja di luar sekolah
dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja yang ada di masyarakat seperti
karang taruna, Saka Bhakti Husada (SBH), kelompok anak jalanan di rumah
singgah, kelompok remaja mesjid/gereja, kelompok Bina Keluarga Remaja

o   Kebijakan Depkes dalam Kesehatan Reproduksi Remaja


Adapun kebijakan Departemen Kesehatan dalam KRR adalah sebagai berikut :
  Pembinaan KRR meliputi remaja awal, remaja tengah, remaja akhir
  Pembinaan KRR dilaksanakan terpadu lintas program dan lintas sektoral
  Pembinaan KRR dilaksanakan melalui jaringan pelayanan upaya kesehatan dasar
dan rujukannya
  Pembinaan KRR dilakukan pada 4 daerah tangkapan, yaitu rumah, sekolah,
masyarakat, dan semua pelayanan kesehatan
  Peningkatan peran serta orang tua, unsur potensial keluarga, serta remaja sendiri.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Upaya kesehatan Ibu dan Anak adalah upaya di bidang kesehatan yang
menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan
anak balita serta anak prasekolah. Prinsip pengelolaan Program KIA adalah memantapkan
dan peningkatan jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Tujuan
program Kesehatan Ibu dan anak (KIA) adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui
peningkatan derajat kesehatan yang optimal, bagi ibu dan keluarganya untuk menuju Norma
Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak
untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan
bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya. 
Sistem kesiagaan di bidang kesehatan ibu dan anak, terdiri atas 5, yaitu : sistem
pencatatan-pemantauan, sistem transportasi-komunikasi, sistem pendanaan, sistem pendonor
darah, sistem informasi KB. Manajemen kegiatan KIA dilaksanakan melalui Pemantauan
Wilayah setempat-KIA (PWS-KIA). Peran dan tugas tenaga kesehatan masyarakat, antara
lain mengumpulkan, mengolah data dan informasi, menginventarisasi permasalahan, serta
melaksanakan pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
masyarakat, merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, mengevaluasi, dan melaporkan
kegiatan Puskesmas, menyiapkan bahan kebijakan, bimbingan dan pembinaan, serta
petunjuk teknis sesuai bidang tugasnya, melaksanakan upaya kesehatan masyarakat,
melaksanakan upaya kesehatan perorangan, dan lain-lain.

B.       Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, dapat menjadi acuan dalam melakukan
peningkatan kesehatan pada Ibu dan Anak, dan setiap program atau kebijakan yang dibuat
dapat berjalan sebagi mana mestinya.

Lampiran 1

Rancangan Undang Undang Kebidanan Republik Indonesia


Draf RUU Kebidanan Kesra 18 Mei 2016
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR… TAHUN… TENTANG KEBIDANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: a. bahwa pemenuhan pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang guna
memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan nasional
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pelayanan kebidanan sebagai salah satu pemenuhan pelayanan kesehatan
harus dilakukan secara bertanggungjawab, akuntabel, bermutu, dan aman;
c. bahwa bidan sebagai pemberi pelayanan kebidanan masih memiliki berbagai
permasalahan sehingga perlu dipersiapkan kemampuannya untuk mengatasi
perkembangan permasalahan kesehatan dalam masyarakat;
d. bahwa pengaturan mengenai kebidanan masih tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan dan belum memberikan pelindungan dan
kepastian hukum bagi bidan dan masyarakat sehingga perlu diatur secara
komprehensif;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kebidanan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEBIDANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kebidanan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada perempuan sepanjang siklus reproduksi
dan setelah menopouse, bayi, anak usia kurang dari 5 (lima) tahun dan keluarga dengan
pengetahuan yang tinggi dan keterampilan, serta penuh kasih secara berkesinambungan.
2. Pelayanan Kebidanan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Bidan secara mandiri,
kolaborasi, dan/atau rujukan.
3. Bidan adalah seorang perempuan yang telah menyelesaikan program pendidikan kebidanan
baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang diakui secara sah oleh pemerintah pusat dan
telah memenuhi persyaratan untuk melakukan praktik kebidanan.
4. Praktik Kebidanan adalah kegiatan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh Bidan dalam
bentuk asuhan kebidanan.
5. Asuhan Kebidanan adalah rangkaian Pelayanan Kebidanan yang didasarkan pada proses
pengambilan keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh Bidan sesuai dengan wewenang
dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat kebidanan.
6. Kompetensi Bidan adalah kemampuan yang dimiliki oleh Bidan yang meliputi pengetahuan,
keterampilan, dan sikap untuk memberikan Pelayanan Kebidanan.
7. Uji Kompetensi adalah suatu proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan sikap Bidan
sesuai dengan standar profesinya.
8. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi Bidan yang telah
lulus Uji Kompetensi untuk melakukan Praktik Kebidanan.
9. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan Praktik Kebidanan yang
diperoleh lulusan pendidikan profesi.
10. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Bidan yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi
atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lain serta mempunyai
pengakuan secara hukum untuk menjalankan Praktik Kebidanan.
11. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh konsil kebidanan kepada Bidan yang telah diregistrasi.
12. Surat Izin Praktik Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Bidan sebagai pemberian kewenangan untuk
menjalankan Praktik Kebidanan.
13. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
yang pelayanannya dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
14. Bidan Warga Negara Asing adalah Bidan yang bukan berstatus Warga Negara Indonesia.
15. Klien adalah perseorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang menggunakan jasa
Pelayanan Kebidanan.
16. Organisasi Profesi adalah wadah yang menghimpun Bidan secara nasional dan berbadan
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Konsil Kebidanan adalah lembaga yang melakukan tugas secara independen.
18. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil
Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
19. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2
Penyelenggaraan kebidanan berdasarkan atas asas:
a. perikemanusiaan;
b. nilai ilmiah;
c. etika dan profesionalitas;
d. manfaat;
e. keadilan;
f. pelindungan; dan
g. kesehatan dan keselamatan Klien.
Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan kebidanan bertujuan:
a. meningkatkan mutu Bidan;
b. meningkatkan mutu Pelayanan Kebidanan;
c. memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Bidan dan Klien; dan d. meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.

BAB II
PENDIDIKAN KEBIDANAN

Pasal 4
(1) Untuk menjadi bidan harus mengikuti pendidikan kebidanan.
(2) Pendidikan kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pendidikan vokasi;
b. pendidikan akademik; dan
c. pendidikan profesi.
(3) Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan program diploma
kebidanan dan paling rendah program diploma tiga kebidanan.
(4) Pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. program
sarjana Kebidanan; b. program magister Kebidanan; dan c. program doktor Kebidanan.
(5) Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan setelah lulus
pendidikan akademik program sarjana kebidanan.
(6) Penyelenggaraan pendidikan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 5
(1) Lulusan pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a disebut
Bidan vokasi.
(2) Bidan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan menjadi Bidan profesi harus
melanjutkan pendidikan pada program sarjana Kebidanan atau melalui penyetaraan.

Pasal 6
(1) Lulusan pendidikan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b
mendapat gelar akademik sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan.
(2) Lulusan pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan menjadi Bidan
profesi harus melanjutkan pendidikan profesi.
Pasal 7
Lulusan pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c disebut Bidan
profesi.
Pasal 8
(1) Sebelum menjadi Bidan vokasi atau Bidan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
Pasal 7, mahasiswa kebidanan pada akhir masa pendidikan vokasi atau pendidikan profesi harus
mengikuti Uji Kompetensi yang bersifat nasional.
(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan syarat kelulusan mahasiswa
pendidikan vokasi kebidanan dan mahasiswa pendidikan profesi kebidanan.

Pasal 9
(1) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diselenggarakan oleh perguruan tinggi
bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan tenaga kesehatan, atau lembaga
sertifikasi profesi tenaga kesehatan yang terakreditasi.
(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan Kebidanan yang memenuhi standar kompetensi kerja.

Pasal 10
(1) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) disusun oleh
Organisasi Profesi dan Konsil Kebidanan.
(2) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 11
(1) Mahasiswa pendidikan vokasi kebidanan yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat
Kompetensi yang diterbitkan oleh perguruan tinggi.
(2) Mahasiswa pendidikan profesi kebidanan yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat
Profesi yang diterbitkan oleh perguruan tinggi.

Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan Peraturan
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi.

BAB III
REGISTRASI DAN IZIN PRAKTIK
Bagian Kesatu
Registrasi

Pasal 13
Setiap Bidan yang akan menjalankan Praktik Kebidanan wajib memiliki STR.
Pasal 14
(1) STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diberikan oleh Konsil Kebidanan setelah
memenuhi persyaratan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. memiliki ijazah pendidikan Kebidanan;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan e. membuat
pernyataan tertulis untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Pasal 16
(1) Konsil Kebidanan harus menerbitkan STR paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
pengajuan STR diterima.
(2) Penerbitan STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya.

Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi dan registrasi ulang diatur dengan Peraturan
Konsil Kebidanan.

Bagian Kedua
Izin Praktik

Pasal 18
(1) Bidan yang akan menjalankan Praktik Kebidanan wajib memiliki izin Praktik.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPB.
(3) SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat Bidan menjalankan
praktiknya.
(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menerbitkan
SIPB paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak pengajuan SIPB diterima. (5) Untuk
mendapatkan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bidan harus melampirkan:
a. salinan STR yang masih berlaku;
b. rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
c. surat pernyataan memiliki tempat praktik atau surat keterangan dari pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
(6) SIPB berlaku apabila:
a. STR masih berlaku; dan
b. Bidan berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam SIPB.

Pasal 19
(1) SIPB berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat Praktik Kebidanan.
(2) Bidan paling banyak mendapatkan 2 (dua) SIPB.

Pasal 20
SIPB tidak berlaku apabila:
a. Bidan meninggal dunia;
b. habis masa berlakunya;
c. dicabut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Bidan melakukan Praktik Kebidanan selain di tempat yang tercantum dalam SIPB; atau
e. atas permintaan sendiri.

Pasal 21
(1) Bidan vokasi diberikan izin untuk melakukan Praktik Kebidanan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(2) Bidan profesi diberikan izin untuk melakukan Praktik Kebidanan di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan praktik mandiri.

Pasal 22
(1) Bidan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik. (2)
Ketentuan mengenai papan nama praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan.

Pasal 23
(1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mempekerjakan Bidan yang tidak
memiliki STR dan SIPB.
(2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mempekerjakan Bidan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian
sementara kegiatan; atau c. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB IV
BIDAN WARGA NEGARA INDONESIA LULUSAN LUAR NEGERI
Pasal 24
(1) Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan menjalankan Praktik Kebidanan
di Indonesia harus memiliki STR dan SIPB.
(2) STR dan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh setelah Bidan warga negara
Indonesia lulusan luar negeri mengikuti evaluasi kompetensi.
Pasal 25
(1) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dilakukan melalui: a.
penilaian kelengkapan administratif; dan b. penilaian kemampuan melakukan praktik.
(2) Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri
atas: a. penilaian keabsahan ijazah oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan tinggi; b. surat keterangan sehat fisik dan mental; dan c. surat pernyataan
tertulis untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(3) Penilaian kemampuan melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan melalui Uji Kompetensi.
(4) Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah memenuhi penilaian
kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan melakukan praktik memperoleh surat
keterangan telah mengikuti evaluasi kompetensi.
(5) Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah memperoleh surat keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berhak memperoleh STR.
(6) Hak memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh Konsil Kebidanan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
BIDAN WARGA NEGARA ASING

Pasal 26
(1) Bidan warga negara asing dapat menjalankan Praktik Kebidanan di Indonesia berdasarkan
permintaan pengguna Bidan warga negara asing.
(2) Bidan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan
ketersediaan Bidan yang ada di Indonesia.
(3) Bidan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyelenggarakan alih
teknologi dan ilmu pengetahuan.
Pasal 27
(1) Bidan warga negara asing yang akan menjalankan Praktik Kebidanan di Indonesia harus
memiliki STR sementara dan SIPB.
(2) STR sementara dan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh setelah Bidan
warga negara asing mengikuti evaluasi kompetensi.

Pasal 28
(1) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2) dilakukan melalui: a. penilaian kelengkapan administratif; dan b. penilaian kemampuan
melakukan praktik. (2) Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
paling sedikit terdiri atas: a. penilaian keabsahan ijazah oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi; b. surat keterangan sehat fisik dan mental; c.
surat pernyataan tertulis untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi; dan d. surat
izin kerja dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(3) Penilaian kemampuan melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan melalui Uji Kompetensi.
(4) Bidan warga negara asing yang telah memenuhi penilaian kelengkapan administratif dan
penilaian kemampuan melakukan praktik memperoleh surat keterangan telah mengikuti evaluasi
kompetensi.
(5) Selain mengikuti evaluasi kompetensi, Bidan warga negara asing harus memenuhi
persyaratan lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 29
Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) merupakan syarat untuk
mendapatkan STR sementara dan SIPB.

Pasal 30
STR sementara bagi Bidan warga negara asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.

Pasal 31
SIPB bagi Bidan warga negara asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang hanya
untuk 1 (satu) tahun berikutnya.

Pasal 32
(1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mempekerjakan Bidan warga negara
asing yang tidak memiliki STR sementara dan SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1).
(2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mempekerjakan Bidan warga negara
asing yang tidak memiliki STR sementara dan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; atau
c. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VI
PRAKTIK KEBIDANAN
Bagian Kesatu Umum

Pasal 33
(1) Praktik Kebidanan terdiri atas: a. Praktik Kebidanan mandiri; dan b. Praktik Kebidanan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2) Selain Praktik Kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan dapat melaksanakan
pelayanan Kebidanan di tempat lainnya sesuai dengan Klien sasarannya.
(3) Praktik Kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus didasarkan pada
kode etik, standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional.
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang

Pasal 34
(1) Dalam menyelenggarakan Praktik Kebidanan, Bidan bertugas memberikan pelayanan yang
meliputi: a. pelayanan kesehatan ibu; b. pelayanan kesehatan anak; c. pelayanan kesehatan
reproduksi perempuan dan keluarga berencana; d. pelayanan kebidanan komunitas; e.
pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau f. pelaksanaan tugas dalam
keadaan keterbatasan tertentu.
(2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama ataupun
sendiri.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertanggung
jawab dan akuntabel.

Pasal 35
Dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) huruf a, Bidan berwenang: a. memberikan asuhan kebidanan, bimbingan, serta
komunikasi, informasi, dan edukasi kesehatan dalam rangka perencanaan kehamilan, persalinan,
dan persiapan menjadi orang tua; b. memberikan asuhan pada masa kehamilan secara terpadu
untuk mengoptimalkan kesehatan ibu dan janin, mempromosikan air susu ibu eksklusif, dan
deteksi dini kasus komplikasi dan risiko pada masa kehamilan, masa persalinan, pasca
persalinan, serta asuhan pasca keguguran; c. memberikan asuhan selama proses persalinan
normal; d. memfasilitasi inisiasi menyusui dini; e. memberikan asuhan pasca persalinan,
komunikasi, informasi, dan edukasi serta konseling selama ibu menyusui, dan deteksi dini
masalah laktasi; dan f. merujuk ibu hamil, bersalin, dan pasca persalinan dengan risiko dan/atau
komplikasi yang membutuhkan pertolongan lebih lanjut.

Pasal 36
Dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) huruf b, Bidan berwenang: a. memberikan asuhan pada bayi baru lahir normal;
b. melakukan deteksi dini kasus risiko tinggi dan melakukan rujukan; c. melakukan deteksi dini
komplikasi dan merujuk setelah dilakukan tindakan pertolongan pertama; d. memberikan asuhan
pada bayi berat lahir rendah tanpa komplikasi; e. memberikan imunisasi sesuai program
Pemerintah; dan f. melakukan pemantauan tumbuh kembang bayi serta deteksi dini kasus
komplikasi dan gangguan tumbuh kembang.
Pasal 37
Dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c, Bidan berwenang melakukan
komunikasi, informasi, dan edukasi, serta konseling memberikan pelayanan kontrasepsi sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 38
Dalam menjalankan tugas memberikan Pelayanan Kebidanan komunitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d, Bidan berwenang: a. melakukan pemetaan wilayah, analisis
situasi dan sosial kesehatan ibu dan anak bersama masyarakat; b. melakukan penetapan masalah
kesehatan ibu dan anak bersama masyarakat; c. menyusun perencanaan tindakan berdasarkan
prioritas masalah kesehatan ibu dan anak bersama masyarakat; d. menggerakan peran serta
masyarakat dan pemberdayaan perempuan dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak
kesehatan reproduksi dan keluarga berencana; e. melakukan promosi kesehatan, khususnya
kesehatan ibu dan anak bersama masyarakat; f. melakukan pembinaan upaya kesehatan ibu dan
anak bersama masyarakat di wilayah kerjanya; g. melakukan surveilans sederhana; dan h.
melakukan pencatatan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan.

Pasal 39
(1) Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (1) huruf e harus diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada Bidan untuk
melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasinya.
(2) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara: a.
delegatif; atau b. mandat.

Pasal 40
(1) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf
a, diberikan oleh tenaga medis kepada Bidan dengan disertai pelimpahan tanggung jawab untuk
melakukan sesuatu tindakan medis.
(2) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Bidan vokasi atau Bidan profesi sesuai dengan kompetensi dan tanggung jawabnya.

Pasal 41
(1) Pelimpahan wewenang secara mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf
b, diberikan oleh tenaga medis kepada Bidan untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah
pengawasan.
(2) Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berada pada pemberi pelimpahan wewenang.
Pasal 42
Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dievaluasi secara berkala oleh
tenaga medis.
Pasal 43
Dalam menjalankan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) huruf e, Bidan berwenang: a. melakukan tindakan medis yang sesuai dengan
kompetensinya berdasarkan pelimpahan wewenang delegatif; b. melakukan tindakan medis di
bawah pengawasan berdasarkan pelimpahan wewenang mandat; dan c. memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan program Pemerintah.

Pasal 44
(1) Bidan yang memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan program Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c memiliki wewenang tambahan yaitu: a.
pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan
alat kontrasepsi bawah kulit; b. asuhan masa kehamilan terintegrasi dengan intervensi khusus
penyakit kronis tertentu; c. penanganan anak sakit sesuai pedoman yang ditetapkan; d.
melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia
sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan; e. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak
balita, anak pra sekolah dan anak sekolah; f. melaksanakan Pelayanan Kebidanan komunitas; g.
melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap infeksi menular
seksual termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya; h. pencegahan penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya melalui informasi dan edukasi; dan i. pelayanan
kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.
(2) Wewenang tambahan berupa asuhan masa kehamilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan di bawah supervisi tenaga medis.
Pasal 45
(1) Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (1) huruf f merupakan penugasan Pemerintah yang dilaksanakan dalam keadaan tidak
ada tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah tempat Bidan bertugas.
(2) Keadaan tidak ada tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 46
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menempatkan Bidan dengan pendidikan paling rendah
diploma tiga kebidanan di daerah yang belum memiliki tenaga medis dan/atau tenaga
kefarmasian.
(2) Dalam hal tidak tersedia Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah
menempatkan Bidan yang telah mengikuti pelatihan.
(3) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota.
Pasal 47
(1) Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (1) huruf f, Bidan berwenang: a. memberikan pelayanan kuratif untuk penyakit umum
pada ibu dan anak; dan b. memberikan obat pada ibu dan anak.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan tidak berlaku lagi jika di
daerah tersebut sudah terdapat tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian.
Pasal 48
(1) Dalam keadaan darurat untuk pemberian pertolongan pertama, Bidan dapat melakukan
pelayanan kesehatan di luar kewenangannya.
(2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menyelamatkan
nyawa Klien.
(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang mengancam
nyawa Klien.
(4) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bidan sesuai dengan
hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang Bidan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 sampai dengan Pasal 47, serta keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diatur
dengan Peraturan Menteri.

BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Bidan

Pasal 50
Bidan dalam melaksanakan Praktik Kebidanan berhak: a. memperoleh pelindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar
prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. b. memperoleh informasi
yang benar, jelas, jujur, dan lengkap dari Klien dan/atau keluarganya; c. menolak keinginan
Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, standar profesi,
standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; d. menerima
imbalan jasa atas Pelayanan Kebidanan yang telah diberikan; e. memperoleh fasilitas kerja; dan
f. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesi.
Pasal 51
Bidan dalam melaksanakan Praktik Kebidanan wajib: a. memberikan Pelayanan Kebidanan
sesuai dengan kode etik, standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, dan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan; b. memperoleh persetujuan dari Klien atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan; c. merujuk Klien yang tidak dapat ditangani ke
tenaga medis atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan; d. membuat dan menyimpan catatan dan
dokumen mengenai pemeriksaan, Asuhan Kebidanan, dan pelayanan lain; e. memberikan
informasi yang benar, jelas, dan lengkap mengenai tindakan kebidanan kepada Klien dan/atau
keluarganya sesuai kewenangannya; f. menjaga kerahasiaan kesehatan Klien; g. menghormati
hak Klien; h. melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain sesuai
dengan Kompetensi Bidan; i. melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah;
j. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan; dan/atau k. meningkatkan pengetahuan dan/atau
keterampilannya melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Klien

Pasal 52
Dalam Praktik Kebidanan, Klien berhak: a. memperoleh Pelayanan Kebidanan sesuai dengan
kode etik, standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur; b. memperoleh
informasi secara benar dan jelas mengenai data kesehatan Klien; c. meminta pendapat Bidan
dan/atau tenaga kesehatan lain; d. memberi persetujuan atau penolakan tindakan kebidanan yang
akan dilakukan; dan e. memperoleh jaminan kerahasiaan kesehatan Klien.

Pasal 53
(1) Pengungkapan rahasia kesehatan Klien hanya dilakukan atas dasar: a. kepentingan kesehatan
Klien; b. permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum; c. persetujuan
Klien sendiri; dan d. perintah undang-undang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia Klien diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 54
Dalam Praktik Kebidanan, Klien wajib: a. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi kesehatan; b. mematuhi nasihat dan petunjuk Bidan; c. mematuhi ketentuan
yang berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan d. memberi imbalan jasa atas Pelayanan
Kebidanan yang diterima.
BAB VIII
ORGANISASI PROFESI

Pasal 55
(1) Bidan berhimpun dalam satu wadah Organisasi Profesi Bidan.
(2) Organisasi Profesi berfungsi sebagai pemersatu dan pembina Bidan.
(3) Selain berfungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Organisasi Profesi melakukan
pengawasan Praktik Kebidanan serta pengembangan pengetahuan dan keterampilan.
Pasal 56
Organisasi Profesi Bidan bertujuan untuk: a. meningkatkan dan/atau mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan, martabat, serta etika profesi Bidan; dan b. mempersatukan dan
memberdayakan Bidan dalam rangka menunjang pembangunan kesehatan.
Pasal 57
(1) Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan kebidanan, Organisasi
Profesi Bidan dapat membentuk kolegium.
(2) Kolegium kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan otonom di
dalam Organisasi Profesi.
(3) Kolegium kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada
Organisasi Profesi Bidan.

BAB IX
KONSIL KEBIDANAN
Bagian Kesatu Nama dan Kedudukan

Pasal 58
(1) Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, memberikan pelindungan dan kepastian
hukum kepada Bidan dan masyarakat, meningkatkan mutu Bidan, serta Pelayanan Kebidanan,
dibentuk Konsil Kebidanan.
(2) Konsil Kebidanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari konsil tenaga
kesehatan indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Konsil kebidanan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang dibantu oleh sekretariat.

Pasal 59
Konsil Kebidanan berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua Fungsi, Tugas, dan Wewenang

Pasal 60
Konsil Kebidanan mempunyai fungsi pengaturan, penetapan, dan pembinaan Bidan.

Pasal 61
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Konsil Kebidanan bertugas:
a. menyusun standar Praktik dan standar Kompetensi Bidan; b. menyusun standar nasional
pendidikan tinggi kebidanan; c. melakukan Registrasi Bidan; d. melakukan pembinaan dalam
menjalankan Praktik Kebidanan; dan e. menegakkan disiplin Praktik Kebidanan.

Pasal 62
menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, Konsil Kebidanan berwenang: a.
menyetujui atau menolak permohonan Registrasi Bidan, termasuk Bidan Warga Negara Asing;
b. menerbitkan atau mencabut STR; c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan
dengan pelanggaran disiplin profesi Bidan; d. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin
profesi Bidan; dan e. memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi pendidikan
tinggi kebidanan.
Pasal 63
Pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Konsil Kebidanan dibebankan kepada anggaran
pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang- undangan.
Pasal 64
Keanggotan Konsil Kebidanan terdiri atas: a. unsur Pemerintah; b. Organisasi Profesi; c. asosiasi
institusi pendidikan kebidanan; d. asosiasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan e. tokoh
masyarakat.
Pasal 65
Ketentuan mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, keanggotaan Konsil
Kebidanan, dan sekretariat Konsil Kebidanan diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 66
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemilik atau pengelola Fasilitas Pelayanan Kesehatan
bekerja sama dengan Organisasi Profesi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bidan
sesuai fungsi dan kewenangannya.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk: a.
meningkatkan mutu Pelayanan Kebidanan; b. melindungi masyarakat atas tindakan Bidan yang
tidak sesuai standar; dan c. memberikan kepastian hukum bagi Bidan dan masyarakat.

Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan Praktik Kebidanan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Kebidanan dan Organisasi Profesi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB XI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 68
STR dan SIPB yang telah dimiliki oleh Bidan sebelum Undang-Undang ini diundangkan,
dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu STR dan SIPB berakhir.

Pasal 69
Selama Konsil Kebidanan belum terbentuk, pengajuan untuk memperoleh STR yang masih
dalam proses, diselesaikan dengan prosedur yang berlaku sebelum Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 70
Bidan lulusan pendidikan kebidanan di bawah diploma tiga kebidanan yang telah melakukan
Praktik Kebidanan sebelum Undang-Undang ini diundangkan masih tetap dapat melakukan
Praktik Kebidanan untuk jangka waktu 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71
Konsil Kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dibentuk paling lama 2 (dua) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 72
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 73
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang- undangan yang
mengatur mengenai kebidanan, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 74
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. 2009. Pedoman Program Perencanaan
Persalinan Dan Pencegahan Komplikasi Dengan Stiker: Dalam Rangka Mempercepat
Penurunan AKI. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelanggaraan Praktek Bidan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
021/MENKES/SK/1/2011 tentang Rencana Strategi Kementerian Kesehatan Tahun 2010-
2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Rencana Strategis Kementrian Kesehsatan 2015-2019
Rencana Pembangunan Janngka MEnengah NAsional 2015-2019
Profil Kesehatan Indoensia 2014, Kementerian Kesehatan Republic Indonesia, 2015
World Health Organization. 3 Juni 2015. “Environmental Health”.
http://www.who.int/topics/environmental_health/en/

Anda mungkin juga menyukai