Anda di halaman 1dari 21

MANAJEMEN KONFLIK

OLEH:

IBRAHIM KADIR (201801107)


NOH. DUR SULE (201801114)
ANDRIAN BIMA WICAKSONO (201801096)
PARDIANSA (201801124)
SINTA (201801135)
NUR FADILAH M.DIRAN (201801121)
CHADIJA ALANG (201801097)
ALFRIANA TOWESU (201701054)
PUTRI AMALIA M.DAHLAN (201801125)
NILAM SARI (201801118)

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-nya, sehingga Karya Tulis dengan judul
“Manajemen Konflik” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Karya Tulis ini saya buat dengan tujuan untuk memberikan gambaran mengenai
manajemen konflik dalam suatu organisasi. Hal ini sangat bermanfaat untuk
melengkapi pengetahuan mahasiswa agar mampu mengatasi konflik yang mungkin
terjadi, baik konflik secara personal atau interpersonal dalam dunia kerja.

Meskipun upaya semaksimal sudah dilakukan dalam penyusunan karya tulis ini,
namun saya menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan yang ditemukan.
oleh karena itu, saya mohon adanya kritik dan saran yang bersifat membangun guna
melengkapi karya tulis ini.

Palu,27 september 2021

penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawat adalah salah satu profesi yang menyediakan pelayanan jasa
keperawatan dan langsung berinteraksi dengan banyak orang dalam hal ini
adalah klien. Profesi perawat juga menjalin hubungan kolaboratif antar tim
kesehatan, baik itu dengan dokter, laboran, ahli gizi, apoteker, dan semua yang
terlibat dalam pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pekerjaannya, perawat
akan saling berinteraksi dengan tim kesehatan tersebut dan ketika tim ini
memandang suatu masalah atau situasi dari sudut pandang yang berbeda maka
dapat terjadi sebuah konflik (CNO, 2009). Perawat seringkali mengambil
tindakan menghindar dalam menyelesaikan permasalahan atau konflik yang
terjadi dengan tujuan mempertahankan status nyaman dan mencegah perpecahan
dalam kelompok (Hudson, 2005). Ironisnya, strategi tersebut memberikan
dampak destruktif terhadap perkembangan individu dan organisasi.

Perawat sebagai pengelola, dalam hal ini sebagai manajer, memegang peranan
penting dalam menentukan strategi penyelesaian konflik antar anggotanya.
Seorang pemimpin yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan konflik (a
conflict-competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik, memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu konflik,
mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu
menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and
Flanagan, 2007).

Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan


meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012).
Menurut Rahim (2002), gaya kepemimpinan (demokratis, autokratis, dan Laissez
faire) sangat mempengaruhi pemilihan strategi penyelesaian konflik
(integrating (problem solving), obliging, compromising, dominating (forcing),
avoiding), dimana setiap strategi tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing tergantung pada batasan dan sumber konflik, serta tujuan yang
ingin dicapai apakah berorientasi pada hubungan antar anggota (concern for
others) atau berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Oleh karena itu
seorang pemimpin perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang pengaruh
gaya kepemimpinan terhadap penyelesaian konflik individu ataupun organisasi.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini,diharapkan mahasiswa mampu memahami
tentang penerapan manajemen konflik di seluruh tatanan.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa diharapkan mampu :
a. Menjelaskan tentang konsep dasar manajemen konflik.
b. Menjelaskan pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik.
BAB II

PEMBAHASAN

Konflik

A. Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,
nilai-nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996
dalam Hendel dkk, 2005).

Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi


ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau
kelompok.
1. Sumber Konflik
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1)
perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras,
pandangan, perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat,
budaya, kebangsaan, keyakinan, dll, (2) perbedaan kepentingan dalam
hubungan antar manusia karena perbedaan budaya, posisi, peran, status,
dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori,
yaitu : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber
konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik,
pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran
komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi
kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:
ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota
kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan
anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan,
dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan
bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang
mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin
terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial.
2.1.2 Jenis-jenis Konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik
antar kelompok.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri.
Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklasifikasinilai
dan keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan
sebagai akibat dari kompetisi peran. Misalnya seorang manajer
mungkin merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas terhadap
profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada
pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai,
tujuan, dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena
seseorang secara konstan berinteraksi dengan orang lain sehingga
ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer
sering mengalami konflik dengan teman sesame manajer, atasan, dan
bawahannya.
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan
kerja berbeda dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak
mendokumentasikan rencana tindakan perawatan pasien sehingga akan
mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu tim untuk mencapai
tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja
untuk mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah
hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa
layanan), keterbatasan prasarana.
2.1.3 Manajemen Konflik
a. Definisi Manajemen Konflik
Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke
arah penyelesaian yang konstruktif atau destruktif (Ross, 1993).
b. Gaya Penyelesaian Konflik
Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan
penyelesaian konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya
penanganan konflik (Rahim, 2002). Yang dimaksud dengan besarnya
konflik terkait dengan jumlah individu yang terlibat, apakah konflik
mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok, atau antar
kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya
penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini
ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi.
Menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang
lain (concern for others) dan pemecahan masalah yang berorientasi
pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini
menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu:
integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)
Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan masalah
(problem solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan
intervensi yang tepat dalam suatu masalah. Dalam gaya ini pihak-
pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, bertukar informasi,
kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi
alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan
isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan
masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan
utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam
penyelesaian masalah (Rahim, 2002). Langkah-langkah untuk
mencapai solusi ini antara lain adalah mulai dengan berdiskusi,
dengan waktu dan tempat yang kondusif, menghargai perbedaan
individu, bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan
komunikasi asertif dengan mamaparkan isu dan fakta dengan
jelas, membedakan sudut pandang, meyakinkan bahwa tiap
individu dapat menyampaikan idenya masing-masing, membuat
kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang umum, menjadi
pendengar yang baik. Setuju terhadap solusi yang
menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak sehingga
dicapai “win-win solution”.
2) Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian
pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri.
Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena
berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada
persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong
terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat
sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin
dipecahkan.

3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering
disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal
dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika
cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu
penting, dan harus mengambil keputusan dalam waktu yang cepat.
Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani masalah yang
menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga
tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan
kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.

4) Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sederhana, atau jika biaya yang
harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada
keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk
menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik
ini kurang tepat pada konflik yang menyangkut isu-isu penting,
dan adanya tuntutan tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari strategi
penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara
dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang
secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi
dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah
yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi
memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan utama dari kompromi
adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang
merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat
sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling banyak
dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
c. Proses Manajemen Konflik

Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi,


dan evaluasi (feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari
keberhasilan suatu intervensi. Dalam proses diagnosis yang perlu
dilakukan adalah pengumpulan data-data antara lain identifikasi
batasan konflik, besarnya konflik, sumber konflik, kemudian mengkaji
sumber daya yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat
dioptimalkan untuk membantu

penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses identifikasi


(measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data-
data yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk menentukan
strategi resolusi konflik yang akan diambil disesuaikan berdasarkan
besarnya konflik dan gaya manajemen konflik yang akan dipakai
(integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising).

Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam


strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi,
mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force. Intervensi ditentukan berdasarkan
dua hal, yaitu proses dan struktural. Proses yang dimaksud adalah
intervensi yang dilaksanakan harus mampu memperbaiki keadaan
dalam suatu organisasi, seperti misalnya intervensi mampu
memfasilitasi keterlibatan aktif dari individu yang berkonflik, dan juga
penggunaan gaya penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami
mungkin dengan tujuan meningkatkan proses belajar dan pemahaman
individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun
yang akan datang (Shetach, 2012). Proses ini juga diharapkan dapat
merubah pola kepemimpinan seseorang dan budaya dalam
menyelesaikan konflik. Dengan demikian organisasi atau individu
akan memperoleh keterampilan baru dalam penanganan konflik.
Selain itu, intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur
organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi,
hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Pendekatan ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu organisasi untuk
menyelesaikan konflik berdasarkan berbagai sudut pandang individu
yang terlibat di dalamnya menuju ke arah konstruktif (Rahim, 2002).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya


proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara
bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang
berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi
yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005). Setelah
intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi terhadap setiap tindakan yang
dilakukan, sekaligus hal ini sebagai feedback proses diagnosing pada
konflik yang sudah ada ataupun konflik yang baru.

d. Outcome Resolusi Konflik


Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses
manajemen konflik antara lain:
1) Win-lose
Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan.
Yang menduduki porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan
sebaliknya yang lebih sedikit mengalami kekalahan.
2) Lose-lose
Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik
penyuapan, memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk
mengancam dapat memuncullkan hasil resolusi ini.
3) Win-win
Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan mendapatkan
manfaat dari penyelesaian konflik

2.2 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik


Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a conflict-
competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam
suatu konflik juga perlu diidentifikasi karena merupakan sumber potensial
terjadinya konflik, antara lain budaya, gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko
and Hartel, 2006). Menurut Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak
mendapatkan perhatian dari pemimpin akan menimbulkan dampak destruktif
pada suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi dan koordinasi.
Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu
konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang
mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization)
(Runde and Flanagan, 2007).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses


kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,
dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap
perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk
meningkatkan respon konstruktif, seorang pemimpin juga harus mampu
memanajemen timbulnya konflik emosional karena akan menghambat
terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.

Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi penyelesaian


masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan demokratis
cenderung memilih strategi integrating (problem solving), obliging, dan
compromising yang lebih menekankan pada kepentingan bersama, gaya
kepemimpinan autokratis cenderung memilih dominating (forcing), sedangkan
gaya kepemimpinan Laissez faire cenderung memilih strategi avoiding (Rahim,
2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Brewer (2002) dalam jurnal
The International Journal of Conflict Management, gender juga memegang
peranan penting dalam pemilihan strategi penyelesaian konflik, dimana
berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine group cenderung memilih
strategi avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group
(transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut
tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi
compromising dan obliging.

Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh suasana
saat berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa
digunakan adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila
suasana komunikasi bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan
(Hassan, B. et al, 2011).

Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat


dalam model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan
menerapkan CAPI (Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam
manajemen kelompok, diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan,
otoritas, dan pengaruhnya dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang
tepat.
BAB III

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,
nilai- nilai, keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang
pemimpin memiliki peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif
dalam pengembangan, peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya
kepemimpinan seseorang sangat mempengaruhi pemilihan strategi penanganan
konflik (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising). Salah
satu model penyelesaian konflik yang digunakan adalah Model Rahim (2002),
yang terdiri atas proses diagnosis, intervensi, dan evaluasi. Untuk menegakkan
diagnosis, diperlukan langkah-langkah identifikasi, antara lain identifikasi
batasan konflik, sumber konflik, potensi sumber daya manusia, dan identifikasi
strategi yang akan dilakukan. Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat
bermacam-macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang dapat dipilih berdasarkan
gaya kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih bersifat sealami mungkin
dan mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi dan meningkatkan
proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan
konflik saat ini ataupun yang akan datang. intervensi juga diharapkan dapat
memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan
diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Proses
terakhir adalah evaluasi sebagai mekanisme umpan balik terhadap proses
diagnosis dan intervensi yang telah dilakukan.

4.2 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan bagi
profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk dapat
menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi
penyelesaian konflik.
DAFTAR PUSTAKA

Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a conceptual
model of leader intervention in conflict events in culturally heterogenous
workgroups. Cross Cultural Management: An International Journal, 13(4),
345-360.
Ayoko, O.B. (2007). Communication openness, conflict events and reactions to
conflict in culturally diverse workgroups. Cross Cultural Management: An
International Journal, 14 (2), 105-124.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and
conflict management styles. The International Journal of Conflict
Management. 13(1), 78-94.
Buckley M.R & Brown J.A. (2005). Barnard on conflicts of responsibility
“implications for today’s perspectives on transformational and authentic
leadership”. Management Decision Journal, 43(10), 1396.
CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved
from: http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
Harsono. (2010). Paradigma ”Kepemimpinan Ketua” dan Kelemahannnya. Makara,
Sosial Humaniora. 14(1), 56-64.
Hassan, B., Maqsood, A., & Muhammad, N. R. (2011). Relationship between
organizational communication climate and interpersonal conflict
management style. Pakistan Journal of Physicology, 42(2), 23-41.
Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of strategy in
conflict management among Israeli nurse managers in general hospitals.
Journal of Nursing Management, 13, 137-146.
Hoffmann, M.H.G. (2005). Logical argument mapping: a method for overcoming
cognitive problems of conflict management. The International Journal of
Conflict Management, 16(4), 304-334.
Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4. Maryland
Heights: Saunders/Elsevier.
Hudson, K., Grisham, T. Srinivasan, P. (2005). Conflict management,
negotiation, and effective communication: esential skill for project
managers. Retrieved from:
http://thomasgrisham.com/file/Conflict_Management_AIPM_Aus
tralia.pdf.
Kreitner & Angelo Kinicki. (2005). Organizational Behaviour. Chicago:
Irwin.
Konorti. (2008). The 3D Transformational leadership model. The
Journal of American Academy of Business, 14, 10-20.
Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan: Teori dan Aplikasi. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai