Anda di halaman 1dari 9

KEHIDUPAN PERSPEKTIF ISLAM

Oleh : Mintaraga Eman Surya

                 

      


“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka". Mereka Itulah orang-orang yang mendapat bagian daripada
yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
(QS. Al Baqarah; 201-202)

                

                
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (yaitu) Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam
kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat, tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah,
yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus; 62-64)

              

                  

      


“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal
yang shaleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa (menjadi khalifah) dimuka
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah
mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang
yang fasik.(QS. An Nur; 55)

Hidup adalah sebuah aktivitas, dan segala aktivitas pastilah membawa serta masalah-masalah
tertentu bahkan sangat kompleks. Masalah-masalah termaksud haruslah mendapatkan pemecahan
jitu untuk bisa mencapai kehidupan yang sukses. Endang Saefuddin membagi masalah yang
dihadapi manusia dalam dua kategori, yaitu masalah segera (immadiate problems) dan masalah asasi
(ultimate problem) (Endang, 1987:35). Masalah segera mencakup semua masalah yang kembali pada
keperluan-keperluan pribadi manusia yang mendesak, seperti pangan, sandang dan papan. Sedang
masalah asasi adalah semua kegelisahan manusia tentang hakikat, eksistensi dan tujuan
keberadaan dirinya. Masalah-masalah ini –terutama yang kedua- tak bisa dielakkan manusia, dan
senantiasa muncul menggugah pikiran dan jiwanya. Pertanyaan “siapa aku?” adalah pertanyaan
hakikat, yang terus berlanjut membuka pertanyaan-pertanyaan lain berikutnya. “Dari mana aku
datang?” “Apa hakikat hidupku?” dan “Apa tujuan akhir hidupku?”
1
Menurut cara berfikir Islam yang dipusatkan pada Allah dan Al-Qur’an, nilai manusia yang
sedalam-dalamnya dan sesungguhnya akan ditentukan oleh hubungannya dengan zat Yang Maha
Mutlak, dalam rangka hari kemudiannya yang langsung juga kekal. Pandangan Islam meliputi
keseluruhan kondisi manusia. Wahyu Islam mengandung perincian-perincian sangat banyak
sehingga sesuatu penjelasan yang kurang teliti akan dapat menimbulkan pembauran. Sebaliknya jika
Islam diterangkan secara sangat sederhana, ia akan dapat menimbulkan idea keliru tentang konsep-
konsep pokok. Sebagai agama eskatologis (yang memiliki konsep tentang hari akhirat), Allah adalah
satu-satunya referensi yang pokok dan dasar, oleh karena Ia sekaligus adalah asal dan tujuan dari
nasib manusia. Maka, hakikat manusia haruslah ditelusuri dari prinsip asal, tujuan dan nasib ini
melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan.

Kehidupan Dunia-Akhirat Perspektif Islam


Kehidupan Dunia; Pandangan Dunia Islam (World View)
Sebagian orang mungkin meragukan bahwa pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang
diri, hidup dan dunia yang melingkupinya penting diungkapkan, atau berasumsi bahwa pertanyaan-
pertanyaan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan problematika praktis hidup keseharian.
Cobalah kita bayangkan seseorang meragukan adanya Sang Pencipta, atau bahwa alam semesta ini –
termasuk manusia- terjadi secara kebetulan (by chance). “Kebetulan” berarti semua peristiwa alam
tidak mempunyai sebab yang dapat dimengerti dan tidak ada rencana tertentu yang melatari. Maka
konsekwensi logisnya, semua peristiwa penciptaan ini terjadi sama sekali tidak mempunyai tujuan
apapun, bahkan alam ini adalah alam yang buta dan tak berhukum (a blind and lawless world). Jika
begitu, semua rumusan manusia itu, baik hukum keilmuan, hukum etik maupun hukum politis
ataupun hukum ekonomis, adalah merupakan pelanggaran atas hakikat manusia dan hakikat alam
semesta yang tanpa hukum. Karenanya, untuk hidup dengan baik, manusia haruslah bisa
melepaskan asumsi dan hipotesa tentang alam semesta yang atheistis tersebut. Jika tidak, manusia
tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kegelisahan eksistensialnya, demikian hukum-hukum
yang mereka tetapkan buat kehidupan mereka sendiri, akan berbentuk hukum rimba, hukum yang a
moral. Semakin jelaslah bahwa alam semesta ini beserta kehidupan di dalamnya diciptakan dan tentu
dengan rencana-rencana dan tujuan tertentu.
Kemudian, bagaimanakah kita umat Islam seyogianya memandang dunia ini ? Pengertian kita
terhadap arti dunia sangat menentukan pandangan serta sikap kita terhadap dunia ini. Ada yang
mengatakan, bahwa dunia ini adalah ‘ibarat suatu jembatan yang mesti kita lalui dalam perjalanan
hidup kita menuju akhirat, karena mereka menganggap hakikat hidup ini tiada lain melainkan suatu
fase di dalam perjalanan menuju Tuhan. Kita berasal dari-Nya dan kita sedang menuju kembali
kepada-Nya. Lantas bagaimana sikap yang paling tepat bagi kita dalam berinteraksi dengan dunia
yang sedang kita lalui ini?
Orang yang jalan pikiran dan falsafah hidupnya hanyalah mementingkan “kekinian dan
kesinian”, dikatakan “orang yang mementingkan duniawi”, atau dalam bahasa Barat biasanya
dikatakan “secularist”, dan faham yang demikian dinamakan “sekularisme”, karena “dunia” dalam
bahasa Latin ialah “seculum”. “Sekularisme “ diartikan di dalam masyarakat Barat sebagai faham
yang menghendaki agar moralitas atau nilai budi pekerti tidak boleh dilandasi nilai-nilai agama. Hal
ini berasal dari kebencian para cendekiawan barat yang sudah bosan dengan perkembangan agama
Kristen (Katolik) di sana di masa lalu yang telah menimbulkan permusuhan antara golongan gereja
dan politisi yang keduanya telah sama-sama curang, sehingga banyak meminta korban darah dan
nyawa. Akhirnya mereka menuntut agar dipisahkan antara masalah agama dan politik, maka
2
lahirlah slogan perjuangan: “Pemisahan gereja dari negara”, dan sebagai konsekuensi logis dari
paham ini ialah “Pemisahan masalah politik dari agama.”
Sebagian lain memandang alam semesta dan segala ujud ini merupakan sesuatu yang maya,
semu, tidak riil dan diragukan kebenarannya. Cara pandang ini dipelopori oleh Plato, yang
menyatakan bahwa wujud hakiki itu adalah wujud alam ide, sedang segala sesuatu di sekeliling kita
hanyalah semata-mata bayang-bayang alam ide (shadows of ideas). Yang lain umpamanya Uskup
Bakley (1684-1753) dan David Hume (1711-1776). Keduanya menyatakan bahwa wujud ini semata-
mata adalah pancaran keluar (externalization) dari pada kesadaran (consciousness) manusia, dan
yang hakiki hanyalah kesadaran manusia tersebut. Sesuatu baru di sebut wujud bila manusia
langsung melakukan persepsi, dengan penglihatan, pendengaran atau perasaan. Jika manusia tidak
mengadakan persepsi, praktis segala-galanya menjadi tidak ada. Islam jelas-jelas menolak pandangan
idealistis ini.
Islam lebih menentang lagi terhadap pandangan dunia materialistis. Pandangan dunia ini
beranggapan bahwa alam semesta berdasar dan berakar semata pada benda dan materi. Bahwa apa
yang disebut kesadaran adalah suatu kejadian dalam proses evolusi yang terjadi pada sistem urat
syaraf yang berkembang tinggi dalam dunia binatang yang maju (manusia). Maka jika idealisme
mengatakan bahwa jiwa adalah riil dan materi hanyalah bayangan keluar, materialisme beranggapan
materi adalah riil dan jiwa adalah suatu kejadian atau penyertaan saja. Materi adalah penyebab
pertama dan akhir dari semua wujud, sebab materi itu belum pernah sama sekali tidak ada, jadi tidak
mungkin diciptakan dari ketiadaan dan akan terus ada atau abadi. Karenanya, paham materialisme
mengingkari adanya Pencipta atau atheis.
Islam menegaskan, bahwa dunia ini ada dengan sebenarnya (haq). Bahkan Al-Qur’an
mengkafirkan faham yang menganggap dunia ini hanya sekedar impian sebagaimana difahamkan
oleh falsafah idealisme. Allah telah menegaskan dengan kalimat yang muhkamaat (sangat jelas)
bagaimana sebenarnya seorang muslim mesti memandang dunia ini serta bagaimana harus bersikap
terhadapnya.

‫وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا َذلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌلِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّار‬
“Tidak Kami jadikan langit dan bumi beserta segala sesuatu yang terletak diantara keduanya berpura-pura
(bathil), yang demikian itu hanyalah sangkaan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu kelak di
dalam neraka.” (QS. Shaad : 27)
Manusia diciptakan Allah justru untuk memakmurkan dunia ini demi kepentingan manusia
sendiri.

... ٌ‫ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا ِإلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيب‬...
…”Dia telah menjadikan kamu dari pada bumi agar kamu memakmurkannya”…. (QS. Hud : 61)
Ayat ini tegas menyatakan, bahwa tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini ialah agar
manusia memakmurkan kehidupan ini. Kemakmuran ini tiada lain demi kepentingan manusia
sendiri. Sedang ayat berikut ini menegaskan lagi, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di alam
ini untuk melayani kepentingan manusia, karena kata “sakhara” itu berarti “melayani atau
memudahkan atau untuk diperalat/diperhambakan”. Manusia diharamkan Allah merendahkan diri
terhadap alam raya ini, sebab dengan merendahkan diri itu manusia telah melecehkan rencana dan
3
ketentuan Allah yang telah memuliakan dan melebihkan manusia terhadap semua makhluq-Nya
yang lain.

َ‫وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍلِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون‬
“Dan Dia telah menyediakan untuk melayani kamu segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi
seluruhnya dari-Nya, sesungguhnya dalam hal ini terdapat beberapa tanda bagi kaum yang mau berfikir.” (QS.
Al-Jatsiyah : 13)
Dari kedua ayat tersebut di atas jelaslah, bahwa setiap muslim wajib memandang dunia ini
dengan sikap yang sangat positif. Maka penilaian Allah atas setiap manusia pun berdasarkan kepada
bagaimana dan sikap dan perilaku manusia yang bersangkutan terhadap dunia ini. Jika manusia
pandai bersyukur dengan beramal shalih, maka ia akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika
manusia berlaku kufur (tidak bersyukur) dengan beramal tidak sesuai dengan sunnah Allah, maka ia
akan merasakan akibat kekufuran dan kesalahannya itu. Terhadap bagaimana pilihan manusia
dalam berinteraksi dengan dunia inilah, setiap manusia akan dinilai oleh Allah akhirnya nanti jika
mereka telah kembali kepada-Nya.

َ‫مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ثُ َّم إِلَى رَبِّكُمْ تُ ْرجَعُون‬
“Barang siapa melakukan karya yang shalih, maka hasilnya untuk mereka sendiri, dan barang siapa yang
berlaku salah akan dirasakan mereka sendiri akibatnya, akhirnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”
(QS. Al-Jatsiyah : 15).
Kehidupan Akhirat
Dunia merupakan suatu jembatan yang mesti kita lalui dalam perjalanan hidup kita menuju
akhirat, karena hakikat hidup ini tiada lain melainkan suatu fase di dalam perjalanan menuju Tuhan.
Kita berasal dari-Nya dan kita sedang menuju kembali kepada-Nya. Demikian sebagian orang
memandang kehidupan dunia. Bagi Islam, memang kehidupan tidak berakhir di dunia, tapi masih
ada kehidupan lain yang bahkan digambarkan sebagai kehidupan abadi, ialah kehidupan akhirat.
Akhirat adalah kemestian yang akan dialami manusia. Hal ini bisa dibuktikan secara akal
sekaligus naql (tekstual). Bukankah makhluk termulia adalah makhluk yang berjiwa? Bukankah yang
termulia dari mereka adalah yang memiliki kehendak dan kebebasan memilih? Kemudian, bukankah
yang termulia dari kelompok ini adalah yang mampu melihat jauh ke depan, serta
mempertimbangkan dampak kehendak dan pilihan-pilihannya. Sudahkah semua manusia melihat
dan merasakan akibat perbuatan-perbuatannya yang didasarkan pada kehendak dan pilihannya itu?
Sudahkah yang berbuat jahat menerima nista kejahatannya? Jelas tidak, atau belum, bahkan alangkah
banyaknya manusia-manusia baik dihukum-dinistakan didunia, dan alangkah banyak pula orang-
orang jahat yang senantiasa merasakan kenikmatan. Allah maha adil dan bijaksana, tidak akan
menganiaya ataupun merugikan seseorang, tidak akan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Allah tidak akan menyamakan kedudukan orang yang berbakti dan taat dengan orang kafir dan
durhaka, antar orang mukmin dan orang musyrik.

4
‫جعَلُ الَّذِينَ ءَامَنُوا‬
ْ َ‫ أَمْ ن‬،ِ‫وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا َذلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌلِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّار‬

‫وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِنيَ كَالْفُجَّا ِر‬
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian
itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.
Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-
orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa
sama dengan orang-orang yang berbuat ma`siat? (QS. Shaad : 27-28)
Maka untuk tegaknya keadilan, harus ada kehidupan baru di mana semua pihak akan
memperoleh secara adil dan sempurna hasil-hasil perbuatan yang didasarkan atas pilihannya
masing-masing. Itulah kehidudapan akhirat, puncak penetrapan keadilan Allah SWT.

‫إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ ُأخْفِيهَالِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا َتسْعَى‬


Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas
dengan apa yang ia usahakan. (QS. Thaha : 15)
Al-Qur’an dalam menggambarkan kepastian hari akhir sungguh sangat logis, setidaknya ini
bisa kita temui pada firman-Nya.

ْ‫ َأوْ خَلْقًا مِمَّا يَكْبُرُ فِي صُدُورِكُم‬،‫ قُلْ كُونُوا حِجَارَةً َأوْ حَدِيدًا‬،‫وَقَالُوا َأئِذَا كُنَّا عِظَامًا وَرُفَاتًا َأئِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا‬

‫فَسَيَقُولُونَ مَ ْن يُعِيدُنَا قُلِ الَّذِي فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَسَيُنْغِضُونَ إِلَيْكَ رُءُوسَهُمْ ويَقُولُونَ مَتَى هُوَ قُلْ َعسَى أَنْ يَكُونَ قَرِيبًا‬
Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa
benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?" Katakanlah: "Jadilah kamu
sekalian batu atau besi, atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu".
Maka mereka akan bertanya: "Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?" Katakanlah: "Yang telah
menciptakan kamu pada kali yang pertama". Lalu mereka akan menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu
dan berkata, "Kapan itu (akan terjadi)?" Katakanlah: "Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat" (QS. Al-
Israa : 49-51)
Pada ayat ini, Al-Qur’an mengajak para pengingkar kemestian hari akhir berdialog melibatkan
diri dalam menemukan keyakinan adanya hari akhir. Menanggapi pertanyaan mereka, Al-Qur’an
tidak menjawab “ya” atau “tidak”. Tetapi diajukan kepadanya problem baru yang belum pernah ia
pikirkan, yaitu pernyataan yang diperintahkan kepada Nabi SAW untuk disampaikan seperti
disebutkan di atas. Seakan-akan penggalan ayat di atas berkata : “Bagaimana seandainya setelah
kematian nanti kalian bukan menjadi tulang belulang yang pernah mengalami hidup, tetapi batu-
batu atau besi-besi atau makhluk apa saja yang sama sekali belum pernah mengalami hidup dan
seperti kata kalian lebih mustahil untuk dihidupkan?” pada saat itu Al-Qur’an mengajak akal mereka
mengajukan pertanyaan yang mereka ajukan semula, “Siapakah yang menghidupkan itu semua
kembali?” Jawabannya adalah, “Dia yang pertama kali mewujudkannya sebelum tadinya ia tiada.”
Bukankah mewujudkan sesuatu yang pernah mengalami hidup lebih mudah dari pada mewujudkan
sesuatu yang belum pernah berwujud sama sekali.
5
Jika kita baca seluruh ayat Al-Qur’an, akan banyak sekali kita temui penegasan dan
pembuktian logis tentang kepastian hari akhir senada ayat di atas, terutama mengenai pembalasan
amal di dunia, baik maupun buruknya. Hal ini menunjukkan kesungguhan pernyataan Al-Qur’an
bahwa hari akhir itu nyata, senyata dunia yang kita hidup di dalamnya, bahwa kebangkitan itu
nyata, pembalasan itu nyata, surga dan nereka itu nyata. Cara pandang Islam terhadap dunia dan
kehidupan sebagai sesuatu yang riil, tidak maya ataupun semu, menuntut adanya alam lain yang
tidak bisa tidak juga –minimal- harus senyata dunia untuk bisa mengadakan pembalasan amal
manusia. Maka akhirat pastilah terjadi dan manusia pasti mengalaminya.
Para pembela akal dari kalangan filosof pun tidak mengingkari kepastian hari akhir ini. Di
antara para filosof terdahulu mempercayai kehidupan lain adalah Plato. Dalam filsafatnya, ia
menyatakan bahwa jiwa adalah substansi murni, sederhana dan tidak terbagi-bagi atau terpisah-
pisah. Jiwa itulah yang menjadi tumpuan hidup manusia. Sesuatu yang hidup tidak mungkin
kembali kepada keadaan “tiada hidup”, sebagaimana yang “tiada hidup” tidak mungkin
menghidupkan yang mati. Tetapi jiwa dalam tahap peningkatan dan pensuciannya bercampur
dengan benda (materi), dan ia akan melepaskan diri dari materi –setelah melalui tahap demi tahap
untuk kembali kepada unsurnya semula, yaitu kebebasan dan kejernihan.
Selain Plato, di antara filosof zaman modern yang paling terkenal adalah Emanuel Kant, ia
berpendapat bahwa kekekalan jiwa berkaitan dengan “hukum etik” yang diyakini kebenarannya
oleh fitrah manusia. Yakni hukum yang menunjukkan adanya kehendak Tuhan di atas kehendak
manusia. Manusia difitrahkan untuk dapat memahami kewajiban, dan untuk dapat memahami
bahwa kewajiban itu adalah perbuatan baik untuk dijadikan teladan, serta dapat dijadikan kaidah
umum yang dituntut realisasinya. Kewajiban itu akan dipertanyakan kelak pada kehidupan yang
lain, sebab balasan yang adil masih belum diterima dalam kehidupan sekarang ini.
Lantas hikmah apa yang akan diperoleh dari pembuktian kepastian hari akhir ini? pertama,
bahwa orang yang memahaminya kemudian meyakini akan ada pertanggunganjawaban atas segala
perbuatan di dunia, berikut balasan baik yang dijanjikan bagi tiap amal kebajikan dan balasan buruk
terhadap semua amalan maksiat, mendorong orang tersebut untuk memperbanyak amal kebaikan
dan menjauhkan perbuatan buruk. Kedua, berkaitan dengan psikologi manusia yang cenderung
materialis, sombong dengan kehidupan dunia dan senang mengumpulkan harta, atau berpandangan
bahwa kebahagiaan hanya didapat melalui materi, akan memperioritaskan usahanya pada amal-
amal utama yang berpengaruh pada kebahagiaannya diakhirat kelak.

َّ‫ ثُم‬،َ‫ لَتَ َروُنَّ الْجَحِيم‬،ِ‫ كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِني‬،َ‫سوْفَ تَعْلَمُون‬
َ ‫ ثُمَّ كَلَّا‬،‫ف تَعْلَمُون‬
َ ْ‫ كَلَّا سَو‬،َ‫ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِر‬،ُ‫أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُر‬

‫ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ َعنِ النَّعِي ِم‬،ِ‫لَتَ َروُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِني‬


Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu
akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka
Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan
ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. At-Takatsur : 1-8)
Ketiga, bahwa kehidupan dunia haruslah seimbang dengan kehidupan akhirat, amal yang
dilakukan untuk dunia berkaitan dengan tugas-tugas kekhalifahan haruslah berbanding lurus
dengan amal yang berkaitan dengan tugas sebagai hamba.
6
Keseimbangan Hidup Dunia-Akhirat
Dalam penggambaran banyak ayat ataupun hadis tentang kehidupan dunia dan akhirat,
mengesankan seakan keduanya berdiri terpisah. Setidaknya ini bisa kita lihat pada ayat 77 surat Al-
Qashash, yang menyeru manusia menggapai keseimbangan dunia akhirat, demikian pada hadis Nabi
SAW yang mengajak beramal untuk dunia seakan hidup selamanya, untuk akhirat seakan mati
besok. Pada ayat atau hadis tersebut, secara tersirat antara amal yang harus dilakukan untuk dunia
dan amal untuk akhirat dibedakan secara dikotomis. Lantas bagaimana dengan pernyataan bahwa
syariat Islam mengikat keduanya, mewujudkan kesempurnaan bagi keduanya?
Pembedaan ini tidak berarti masing-masing berdiri sendiri atau tak ada kaitannya sedikitpun.
Hal ini bersesuaian dengan tujuan kehadiran manusia di bumi, yang mengemban tugas-tugas
kekhalifahan sekaligus tugas-tugas hamba. Kedua tugas ini secara logis menuntut dua amal yang
berbeda pula. Yang pertama bersangkut paut dengan manajerial dunia dan yang kedua berkaitan
dengan praktek-praktek ibadah. Pada konteks ini, tidak semua manusia bisa melaksanakan kedua
tugas itu secara baik, bahkan di antara manusia malah terjerumus mengasiki tugas keduniawiaanya
dan melupakan tugasnya sebagai hamba atau malah sebaliknya. Jadi penggambaran dikotomis
tersebut bersesuaian dengan kondisi riil manusia. Syariat Islam pada tingkat lebih tinggi tetap
menyatukan keterpisahan ini, khusunya konsep ibadah yang tidak saja berupa ibadah mahdhah, tapi
mencakup mu’amalah atau disebut ibadah umum.
Bila kita amati kecenderungan hidup manusia, terdapat dua arah yang saling berlawanan. Di
satu pihak ada sekelompok orang yang hanya mengejar kenikmatan dunia dengan tolok ukur
pangan, sandang, papan dan kenikmatan seksual. Seluruh usahanya diarahkan untuk mendapatkan
keempat kenikmatan tersebut. Kita amati, betapa getolnya orang untuk berusaha memperoleh harta
sebesar-besarnya hanya untuk mengejar kenikmatan duniawi tanpa tujuan suci dan cara yang halal.
Korupsi dan manipulasi sebagai bentuk pencaharian modern merupakan fenomena umum terjadi di
mana-mana.
Di sisi lain, ada sekelomok orang yang berusaha menjauhi dunia. Seluruh hidupnya diarahkan
untuk mengejar kenikmatan akhirat. Mereka menahan lapar, hidup membujang, mengenakan
pakaian compang-camping dan tinggal di gubuk-gubuk reot. Mereka tinggalkan keramaian,
kemudian pergi menyepi ke gua-gua sempit. Mereka tinggalkan aktivitas kemasyarakatan, kemudian
bertapa menyembah Tuhan dengan meninggalkan manusia.
Syariat Islam dalam Al-Qur’an ditegakkan untuk mengikat dunia dan akhirat, mewujudkan
kesempurnaan bagi keduanya, menjadikan dunia sebagai ladang akhirat, membahagiakan manusia
dalam dua kehidupan sekaligus. Syariat tidak anti dunia, demikian juga tidak anti kependetaan
(asketisme). Islam memberikan bimbingan agar ummatnya mengejar kenikmatan dunia juga
akahirat. Ayat Al-Qur’an berikut memberikan bimbingan yang jelas kepada dua arah tersebut.

َّ‫وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا َتنْسَ َنصِيبَكَ مِ َن الدُّنْيَا وََأحْسِنْ كَمَا َأحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ولَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِن‬

َ‫اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِين‬


Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashshash : 77)
7
Ayat ini menjelaskan bahwa ajaran Islam menganjurkan manusia mencari kenikmatan dunia
untuk kenikmatan akhirat. Keterpautan dunia-akhirat terungkap dari firman-Nya “... berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan di bumi”Artinya, bahwa kenikmatan dunia akhirat itu harus diperoleh dengan cara-cara
yang suci.
Orang mukmin adalah mereka yang beribadah kepada Allah, bermunajat kepada Penciptanya
di manapun, baik dilokasi kerja, perdagangan, pabrik, ladang, di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, senantiasa mendekat kepada Allah dalam pergaulannya, akhlaknya terhindar dari rakus
dan tamak dan tetap menjaga kesalehan amal. Amal shaleh tidak terbatas pada ibadat, seperti shalat,
puasa, dzikir merenungkan alam semesta, tetapi mencakup semua kebaikan di dunia dan semua
yang baik bagi diri, keluarga dan masyarakat. Namun demikian, Al-Qur’an tetap mengingatkan agar
tidak menempatkan dunia sebagai orientasi utama.
Beramal untuk dunia dan akhirat dalam terma syariat Islam, juga ada timbal balik secara
bersamaan. Balasan perbuatan terjadi di dunia juga di akhirat. Balasan itu adalah : pahala dan siksa,
kebahagiaan dan kesengsaraan, ketenangan dan kekisruhan. Demikianlah, bahwa syariat Islam
menghendaki kompromi antara kehidupan dunia dan akhirat, antara amal untuk dunia dan amal
untuk akhirat, itu semua demi kebahagiaan manusai, di dunia maupun di akhirat kelak.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim, MA, Drs. Atang, Dr Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung; PT Remaja
Rosdakarya, 2000
Abu Zahrah, Prof. Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000.
Achamad Baiquni, MSc. PhD, Prof., Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Jogjakarata : PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996
Azhar Basyir, MA, KH. Ahmad, Beragama secara dewasa, Akidah Islam. Jogjakarat : UII Press, 2002.
Azra, Prof. Dr. Azyumardi dkk, Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum,
Jakarta : DEPAG, tt.
Daud Ali, SH., Prof. H. M., Pendidikan Agama Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Imamuddin A. Ph.D, Muhammad, Islam (Sistem Nilai Terpadu), Jakarta; CV. Kuning Mas, 1999
Issa Othman, Ali, Manusia Menurut Al-Ghazali, Bandung, : Penerbit Pustakan, 1987
Mahmoud Al-Aqqad, Abbas, Fislsafat AL-Qur’an, Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat Al-Qur’an,
Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996.
Musa Asy’ari, Prof. Dr., Filsafat Islam ; Sunnah Nabi dalam Berfikir, Yogyakarta; LESFI, 2000
Mutahhari, Murtadha, Manusia dan Alam Semesta, Konsepsi Islam tentang Jagad Raya, Jakarta : Penerbit
Lentera, 2002.
Nasruddin Razak, Drs. KH., Dienul Islam, Bandung; PT. Al-Ma’arif, 1873
Nurdin, dkk. Drs. KH. Muslim, Moral & Kognisi Islam (Buku Teks Agama untuk PTU), Bandung; CV
Alfabeta, 1995
Saifuddin A. MA., H. Endang, Ilmu, Filsafat & Agama, Surabaya; PT. Bina Ilmu, 1997
Shihab, Dr. M. Quraish, Membumikan Al- Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kebudayaan
Masyarakat, Bandung; Mizan, 1994
____________Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Persoala Ummat, Bandung : Mizan, 2000
Sabiq, Sayyid, Akidah Islam, Pola Hidip Manusia Beriman, Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 1974.
Shihab, Dr. M. Quraish, Membumikan Al- Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kebudayaan
Masyarakat, Bandung; Mizan, 1994
____________Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Persoala Ummat, Bandung : Mizan, 2000
Syafi’ie, Imam, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an, Telaah dan Pendekatan Filsafat Ilmu, Jogjakarta
: UII Press, 2000.
Zuhaili, Dr. Wahbah, Al-Qur’an; Paradigma Hukum dan Peradaban (terj.), Surabaya; Risalah Suci, 1996

Anda mungkin juga menyukai