Anda di halaman 1dari 10

ALAT BUKTI PEMERIKSAAN SETEMPAT

Dosen Pengampuh: Dra. Hj. Enik Faridaturrohmah, M.H

Disusun oleh kelompok 9:

1. Muhammad Rosyid Al- Fahmi

2. Nadhifah Ratu Intan Al- Kautsar

3. Fajar Adi Firmansyah

4. Hikmatul Ifah

5. Muhammad Hisnul Islam

Fakultas Syariah

Universitas Malaulana Malik Ibrahim Malang

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan secara objektif


melalui pembuktian. Pembuktian bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu
peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua pihak
dan menetapkan putusan berdasarkan hasil pembuktian. yang di maksud dengan
alat bukti yaitu alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh
mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-
undang saja. yaitu: (a) Bukti tulisan/Bukti dengan surat, (b) Bukti saksi, (c)
Persangkaan, (d) Pengakuan, (e) Sumpah. Bukti tulisan/bukti dengan surat
merupakan bukti yang sangat krusial dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.

Pemeriksaan setempat mempunyai makna yang penting sebenarnya baik untuk


pihak-pihak yang berperkara maupun untuk hakim sebagai eksekutor dalam
sebuah perkara. Bagi para pihak, dengan hakim melihat sendiri keadaan yang
sebenarnya, maka diharapkan putusan yang dijatuhkan akan adil bagi kedua belah
pihak. Adil bukan berarti apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak semua
dikabulkan. Para pihak tidak dapat menolak jika hakim telah memutuskan untuk
melaksanakan pemeriksaan setempat, sebab itu nerupakan bagian dari proses
pembuktian dalam sebuah perkara. Dengan melaksanakan pemeriksaan setempat
akan memberi pandangan tersendiri mengenai duduk perkara yang sebenarnya
selain mendengar keterangan dari saksi, bukti tulisan/bukti dengan surat dan alat
bukti lainnya yang digunakan dalam pembuktian yang diajukan di hadapan
persidangan.1

1
Mashudy Hermawan, 2007, Dasar-dasar Hukum Pembuktian. Surabaya :
UMSurabaya hal. 149.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti (bewijsmiddel) merupakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh


undang-undang dapat digunakan untuk membuktikan sesuatu. Bentuk dan jenis
dari alat bukti ini bermacam-macam. Dengan adanya alat bukti maka dalil-dalil
yang diajukan menjadi jelas dan terang menurut system HIR (Herzein Inlandsch
Reglement), dalam acara perdata hakim terikat dengan alat-alat bukti yang sah,
artinya hakim hanya boleh mengambil keputusan berdaasarkan dengan alat-alat
bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1886 KUHPerdata, ada
lima alat bukti dalam lingkup acara perdata, alat pembuktian itu meliputi : bukti
tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.2

Selain lima diatas terdapat satu macam alat bukti lain yang sering digunakan,
yaitu pengetahuan hakim/keterangan ahli (deskundigenberithct) dan pemeriksaan
setempat.

B. Alat Pembuktian

1. Bukti Surat

Bukti surat atau bukti tertulis adalah sesuatu yang berisi tanda-tanda
bacaan dalam bentuk tertulis untuk menyampaikan pendapat atau pemikiran
seseorang dan juga digunakan sebagai pembuktian. Bukti tertulis memiliki 2
macam: surat yang merupakan akta dan surat lainnya yang bukan akta.

Akta merupakan surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, memuat
peristiwa yang menjadi dasar syuatu hak atau perikatan, yang dibuat untuk
menjadi pembuktian. Pembuktian yang dimaksut adalah suatu tindakn bahwa

2
Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek, Cet. VI, Mandar Maju, Bandung
peristiwa hukum telah dilakukan dan akta tersebut adalah buktinya. Akta
hendaknya diberi tandatangan untuk dapat membedakan dengan akta yang dibuat
oleh orang lain. Akta dapat dikatakan memiliki fungsi formal yang artinya suatu
perbuatan hukum haruslah dibuatkan suatu akta. Akta dibagi menjadi dua yaitu:

2. Akta Otentik

Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik ialah suatu akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang dan notarislah satu-satunya pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik.3

Akta otentik memiliki 3 macam kekuatan pembukyian, yaitu:

a. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka


sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut;
b. Kekuatan pembuktian materil, membuktikan antara para pihak bahwa
peristiwa dalam akta tersebut benar-benar terjadi dan tela terjadi.
c. Kekuatan mengikat, membuktikan antara pihak pertama dan kedua serta
pihak ketiga bahwa pada tanggalyang tertulis di akta yang bersangkutan telah
menghadap kepada pegawai umum dan menenrangkan apa yang ditulis dalam
akta tersebut, oleh karena itu menyangkut pihak ketiga dan disebutlah sebagai
akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian keluar (orang luar). Contoh
dari akta otentik adalah akta jual-beli, sewa-menyewa dan sebagainya.

3. Akta Di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuana dari pejabat, semata-mata dibuat antara pihak yang
berkepentingan. Kekuatan pembuktian dari akta di bawah tangan hamper sama
dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar yang tidak
dimiliki oleh akta di bawah tangan.

3
Soimin Soedharyo, S.H. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Sinar Grafika Jl. Sawo Raya
No.18 Jakarta 13220. Hal : 463
4. Surat-surat Lainnya yang Bukan Akta

Surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta, dalam hukum pembuktian


sebagai bukti bebas yang diserahkan kepada hakim (majelis). Biasanya
diguunakan untuk menyusun persangkutan.

5. Keterangan Saksi

Makna saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang


dengan memnuhi syarat -syarat tertentu tentang suatu peristiwa yang dilihat atau
dialami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa tersebut.

Alat bukti saksi ini diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR dan Pasal
1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisan dan pribadi oleh seorang yang bukan salah satu dari pihak dalam
perkara yang dipanggil di persidangan.4 Keterangan yang diberikan saksi harus
tentang kejadian yang dialami dirinya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang
diperolehnya secara berfikir bukanlah merupakan bagian dari kesaksian.
Keterangan dari saksi haruslh diberikan secara lisan dan pribadi di dalam
persidangan, harus diberitahukan atau disampaikan sendiri dan tidak dapat
diwakilkan.

Kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidk boleh


dianggap sempurna oleh hakim. Gugatan harus ditolak apabila penggugat hanya
mengajukan seorang saksi tanpa adanya alat bukti lainnya. Keterangan seorang
saksi ditambah dengan alat bukti lain baru dapat dikatakan alat bukti yang
sempurna, misalnya ditambah dengan persangkaan atau pengakuan dari tergugat.

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila:

a. Saksi betul-betul tahu sendiri yaitu melihat, mendengar, dan mengalami


(Ratio Sciendi).

4
Soimin Soedharyo, S.H. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Sinar Grafika Jl. Sawo Raya
No.18 Jakarta 13220. Hal : 467
b. Saksi tidak boleh mengambil kesimpulan atau memberi penilaian (Ratio
Concluedendi).
c. Keterangan saksi tidak boleh dari pendengaran orang lain (Testimonium De
Auditudu)
d. Satu saksi bukan kesaksia (Unus Testis Nullus Testis)

Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak


dikecualikan dalam Pasal 1895 KUHPerdata. Dalam Pasal 1907 KUHPerdata tiap
kesaksian harus ddisertai dengan keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui
kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai
pikiran, bukanlah suatu kesaksian.5

6. Persangkaan

Persangkaaan yang dimaksud adalah alat bukti yang memiliki sifat


langsung. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang
diketahui umum kearah pristiwa yang tidak diketahui umum oleh undang-undang
atau oleh hakim, menurut Pasal 1915 KUHPerdata, Pasal 173 HIR, dan Pasal 310
RBg.6

Ada dua persangkaan, yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-


undang dan persangkaan yang tidak berhubungan dengan undang-undang.
Persangkaan yang berdasarkan undang-undang adalah persangkaan yang
dihubungkan dengan perbuatan atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan
undang-undang. Persangkaan berdasarkan undang-undang, antara lain :

a. Perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang, karena perbuatan


tersebut semata-mata berdasarkan sifat dan wujudnya, dianggap telah
dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang.

5
Soimin Soedharyo, S.H. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Sinar Grafika Jl. Sawo Raya
No.18 Jakarta 13220. Hal : 470

6
Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktek, Cet. VI, Mandar Maju, Bandung
b. Pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya hak milik atau
pembebasan utang dari keadaan tertentu.
c. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu putusan hakim
yang memperoleh kekuatan hukum.
d. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau
kepada ssumpah salah satu pihak.7

Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri diserahkan


kepada pertimbangan dan kewaspadaan hukum, yang dalam hal ini tidak boleh
memperhatikan persangkaan-persangkaan yang lain. Persangkaan-persangkaan
tersebuthanya boleh diperhatikan, bila undang-undang mengizinkan Pembuktian
dengan saksi-saksi, begitu juga dengan perbuatan suatu akta yang diajukan dengan
adanya alasaan adanya itikad buruk.

7. Pengakuan

Pengakuan merupakan keterangan sepihak yang tidak memerlukan persetujuan


dari pihak lawan. Ada dua macam pengakuan dalam Hukum Acara Perdata, yaitu:

1. Pengakuan dapat diberikan dalam sidang Pengadilan. Pengakuan yang


diberikan dalam sidang Pengadilan atau didepan Hakim, merupakan
pengakuan atau bukti yang sempurna terhadap orang yang telah
memberikannya, baik dari diri sendiri maupun perantara yang diberikan
kuasa khusu untuk itu. Pengakuan ini tidak dapat dicabut kecuali apabila
terbukti bahwa pengakuan tersebut diberikan karena didasari adanya
kekeliruan mengenai peristiwa yang terjadi.
2. Pengakuana yang dilakukan di luar siding Pengadilan pembuktiannya
diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.8

8. Sumpah

7
Riduan Syahrani, 1998, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini,
Jakarta
8
Soimin Soedharyo, S.H. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Sinar Grafika Jl. Sawo Raya
No.18 Jakarta 13220. Hal: 474
Pada umumnya sumpah adalah suatupernyataan khidmat yang diucapka pada
waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari
Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberikan keterangan atau janji yang
tidak benr akan dihukum oleh-Nya. Singkatnya secara hakikat sumpah ialah
tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.9

Ada dua macam sumpah dihadapan hakim:

1. Sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang yang satu kepada pihak yang
lain untuk pemutusan suatu perkara (sumpah pemutus)
2. Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah
satu pihak.10

Pihak yang disumpah adalah salah satu pihar, bisa dari penggugat maupun dari
tergugat. Dalam Hukum Acara Perdata, para pihak yang bersengketa tidak boleh
didengar sebagai saksi, namun kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari
para pihak dengan dikukuhkan melalui sumpah yang dimasukkan dalam golongan
alat bukti.HIR menyebutkan ada tiga macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :

1. Sumpah Pelengkap (suppleitor)


2. Sumpah Pemutus Yang Bersifat Menentukan (decicoir)
3. Sumpah Penaksiran (aestimator, schattingseed).

C. Pemeriksaan Setempat

Pemeriksaan setempat (gerechtelijk plaatsopeming) atau yang biasa


disebut descente adalah proses pemeriksaan objek yang dilakukan di luar gedung
pengadilan. Pemeriksaan setempat dilakukan apabila proses pemeriksaan tidak
bisa dilakukan di dalam gedung, misalnya seperti pemeriksaan terhadap sengketa

9
R Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Contoh Bentuk Surat di Bidang Kepengacaraan
Pedata, 2005, Sinar Grafika, Jakarta
10
Soimin Soedharyo, S.H. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Sinar Grafika Jl. Sawo Raya
No.18 Jakarta 13220. Hal : 475
atas tanah, sawah, rumah, atau hal-hal lain yang tidak bisa dilakukan di dalam
gedung peradilan.

Sebagaimana yang tertera pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)


no. 7 tahun 2001, Mahakamah Agung menyatakan:

1. Mengadakan Pemeriksaan Setempat atas objek perkara yang perlu


dilakukan oleh Majelis Hakim dengan dibantu oleh Panitera Pengganti
baik atas inisiatif Hakim karena merasa perlu mendapatkan
penjelasan/keterangan yang lebih rinci atas objek perkara maupun karena
diajukan eksepsi atau atas permintaan salah satu pihak yang berperkara.
2. Apabila dibandingkan perlu dan atas persetujuan para pihak yang
berperkara, dapat pula dilakukan Pengukuran dan Pembuatan Gambar
Situasi Tanah atau Objek Perkara yang dilakukan oleh Kantor Badan
Pertahanan Nasional setempat dengan biaya yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
3. Dalam melakukan Pemeriksaan Setempat, agar diperhatikan ketentuan
Pasal 150 HIR/180 RBG dan petunjuk Mahkamah Agung tentang Biaya
Pemeriksaan Setempat. 11

Tujuan adanya pemerikasaan setempat (descente) agar jelas tidak adanya


kesalahpaham pada saat sidang berlangsung. Karena selalu ada saja orang yang
memanipulasi terkait data atas sengketa yang diserahkan kepada hakim di
Pengadilan Agama.

11
SEMA no. 7 Tahun 2001
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemeriksaan setempat merupakan suatu proses persidangan terhadap perkara


yang dilakukan di luar gedung pengadilan menuju tempat atau lokasi objek
sengketa. Hukum yang mengatur pemeriksaan setempat diatur dalam pasal 153
HIR/ Pasal 180 RBg/ Pasal 211-Pasal 214 Rv dan SEMA No.7 Tahun 2001.
Pemeriksaan setempat dilakukan dengan Inisiatif hakim atau permintaan para
pihak. Pemeriksaan setempat pada dasarnya termasuk sidang resmi pengadilan
dengan itu secara formil wajib dihadiri oleh para pihak yaitu penggugat dan
tergugat. Sidang pemeriksaan setempat dapat dilakukan dengan beberapa cara
seperti di ruang sidang pengadilan, lokasi obyek sengketa, di kantor lurah/ kepala
desa, selanjutnya menuju obyek sengketa. Salah satu kekuatan bukti setempat
dapat di jadikan keterangan bagi hakim dan bisa juga di jadikan sebagai dasar
pertimbangan putusan pengadilan. Pemeriksaan setempat bisa dilakukan pada
awal persidangan sebelum diperiksa alat bukti maupun setelah diperiksa alat
bukti, Hal ini dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan hakim yang memeriksa
perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai