Anda di halaman 1dari 15

TUGAS PENGGANTI UJIAN PRAKTIK PENGALAMAN

LAPANGAN (PPL) ANALISIS MASALAH


Siswa Yang Memiliki Sikap Narsisme Dan Penanganannya
Melalui Latihan Bertanggung Jawab Dalam Konseling Individu
Dengan Teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Praktik Pengalaman Lapangan


Bimbingan dan Konseling di SMKN 1 Cisarua

Khalida Eldiyani Alamsyah Siddik


NIM 17010103

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) SILIWANGI
2020
Studi Kasus Tentang Siswa Yang Memiliki Sikap
Narsisme Dan Penanganannya Melalui Latihan
Bertanggung Jawab Dalam Konseling Individu Teknik
Cognitive Behavior Therapy (CBT)
(Teknik Cognitive Behavior Therapy dalam Konseling Individu untuk
mereduksi Sikap Narsisme)

Khalida Eldiyani Alamsyah Siddik1


1
keldiyani@gmail.com

Jurusan Bimbingan dan Konseling, IKIP Siliwangi.

Abstract
This study aims to determine, the factors that cause narcissism and the application of
exercises are responsible for overcoming the problem of narcissism among students of
SMK Negeri 1 Cisarua. This research is a qualitative research with a case study type.
Adolescents with narcissistic personalities have the notion that they are special,
ambitious, and like to seek fame. The data collection technique of this research is
observation (observation), interview (interview), documentation. The subjects in this case
study research were determined purposively, were students who had isolated problems
due to their narcissistic nature, namely P. The results explained that the implementation
of individual counseling activities was in accordance with its stages, namely the
formation stage, at the formation stage the students knew the purpose of carrying out
individual counseling, following the directions delivered by researchers and participate
actively in individual counseling activities.

Keywords: Narcissistic, Individual Counseling, Cognitive Behavior Therapy Technique.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, faktor penyebab narsisme dan penerapan
latihan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah narsisme siswa SMK Negeri 1
Cisarua. Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif dengan jenis penelitian Studi
Kasus. Remaja yang berkepribadian narsistik mempunyai anggapan bahwa dirinya
spesial, ambisisus, dan suka mencari ketenaran. Teknik pengumpulan data penelitian ini
adalah Observasi (Pengamatan), Interview (Wawancara), Dokumentasi. Subjek dalam
penelitian studi kasus ini ditentukan dengan purposive adalah siswa yang mengalami
masalah terisolir di sebabkan sifat yang narsis yaitu P. Hasil penelitian menjelaskan
pelaksanaan kegiatan konseling individu sesuai dengan tahapannya yaitu tahap
pembentukan, pada tahap pembentukan siswa mengetahui tujuan dilaksanakannya
konseling individu, mengikuti arahan yang disampaikan oleh peneliti dan ikut
berpartisipasi aktif terhadap kegiatan konseling individu.

Kata Kunci: Narsistik, Konseling Individu, Teknik Terapi Kebiasaan Kognitif.


PENDAHULUAN
Dari peristiwa yang terjadi menurut hasil laporan observasi dari salah satu
sekolah di Cisarua yaitu SMK Negeri 1 Cisarua. Peneliti bertemu langsung
dengan siswa yang mengalami perilaku narsistik. Siswa tersebut berinisial “P”.
“P” sudah beberapa kali mendapatkan konseling dari guru bimbingan dan
konseling di SMK Negeri 1 Cisarua. Selain itu guru bimbingan dan konseling
bekerjasama dengan wali kelas dalam menangani kasus “P”. Dalam kasus tersebut
saya sebagai peneliti sekaligus mahasiswa praktik di sekolah mendapatkan
kesempatan untuk memberikan layanan konseling individual kepada “P”. “P”
termasuk anak yang terlihat introvert pada awalnya, setelah diajak berbicara
tenyata siswa “P” cukup terbuka dan menceritakan tentang dirinya dan kehidupan
“P” sehari-hari. “P” mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai handphone
untuk mengerjakan tugas daring dari sekolah, tidak semangat dalam belajar karena
tidak ada yang menemani atau memotivasi “P’ dalam mengerjakan tugas sekolah,
setiap hari siswa yang bersangkutan selalu berkumpul dan menginap bersama di
rumah “P”. Selain itu siswa tersebut akhir-akhir ini merasa sedih karena telah
ditinggalkan oleh kekasihnya yang meninggal dunia karena sakit.
Berdasarkan informasi yang peneliti terima dari wali kelas bahwa, pada
kenyataannya siswa yang berinisial “P” ini memiliki telepon seluler, laptop,
bahkan wifi terpasang di rumahnya. Sehingga jika ditelaah sebenarnya siswa “P”
ini siswa yang berkecukupan dan tidak kekurangan akses untuk mengerjakan
tugas sekolah secara daring. Setelah peneliti mendapatkan informasi mengenai
siswa “P” maka saya membandingkan cerita dari siswa langsung dan dari
informasi yang didapatkan. Karena peneliti ingin memastikan apa yang
sebenarnya terjadi pada siswa tersebut maka peneliti mengajak bicara “P” sebagai
konseli untuk menceritakan permasalahan yang dihadapi.
Pada tahap pendekatan bersama konseli, ternyata konseli secara tidak
langsung pada saat bercerita mengenai masalah yang ada pada dirinya, konseli
“P” mengalami gangguan narsistik. Yaitu, konseli gemar melebih-lebihkan apa
yang ada pada dirinya atau mengurang-ngurangi apa yang sebenarnya terjadi agar
mendapatkan belas kasihan orang-orang yang berada di sekitarnya. Konseli juga
senang mencari perhatian agar mendapatkan simpati dari orang lain dan ingin
menunjukkan citra diri yang baik diantara teman-temannya, tetapi dengan cara
yang kurang tepat. Konseli tidak memiliki teman di kelasnya bahkan teman-
temannya enggan untuk membalas pesan whatsapp nya. Hal tersebut diakibatkan
karena konseli senang marah-marah di grup kelasnya, merasa diri paling hebat
dan paling pantas diperhatikan.
Davidson, Neale & Kring ( dalam Asiah, Nur dan dkk, Jurnal Neo
Konseling, 2018) Kepribadian narsistik merupakan gangguan kepribadian yang
selalu mengkhayalkan kebesaran atau keagungan diri, kurang berempati, sangat
mendambakan untuk dihormati, dan tidak sanggup melihat dari sudut pandang
orang lain. Remaja dengan kepribadian narsistik mengalami kesulitan untuk
menerima kritik dari orang lain. Remaja yang berkepribadian narsistik
mempunyai anggapan bahwa dirinya spesial, ambisisus, dan suka mencari
ketenaran.
Menurut Vazire & Founder (dalam Harisson, 2010) faktor yang
mempengaruhi narsistik adalah rendahnya kontrol diri dan tanggung jawab
terhadap diri sendiri Salah satu tugas perkembangan remaja adalah memperkuat
self control (kemampuan mengendalikan diri). Menurut William Kay (dalam
Yusuf, 2011). Pada kenyataannya masih banyak remaja yang belum dapat
mengembangkan kontrol diri dan bertanggung jawab sesuai dengan tugas
perkembangannya
Peningkatan tindakan kecenderungan narsistik siswa diasumsikan
bersumber dari melemahnya sikap tanggung jawab mengontrol diri. Remaja yang
mampu mengontrol diri dengan baik, tidak akan mudah terpengaruh dengan
perubahan yang terjadi dan juga dapat terhindar dari tindakan kekerasan. Thalib
(dalam Firman, 2016) menjelaskan kontrol diri menggambarkan keputusan
individu melakukan sesuatu melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan
perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan seperti yang
diinginkan.
Berdasarkan kasus dan fenomena yang telah diuraikan, membuktikan
bahwa perilaku narsistik pada remaja atau siswa SMK Negeri 1 Cisarua pada
siswa ‘P” cenderung meningkat seiring berjalannya waktu. Sehingga jika
dibiarkan berarti membiarkan remaja tumbuh menjadi sosok yang rapuh, egois,
individualis, dan tidak memiliki kepedulian dengan lingkungan sekitar. Orang
dengan kepribadian yang sehat adalah orang yang mempunyai tanggung jawab
sosial, mempunyai kreativitas dalam membagikan informasi yang sesuai dengan
realitas diri dan mampu menyaring informasi yang ada di sekitar.
Sikap tanggung jawab yang dimiliki remaja di SMK Negeri 1 Cisarua
cukup rendah dan harus direduksi melalui proses pematangan yang dilakukan
melalui kegiatan bimbingan dan konseling. Remaja yang sesuai tugas
perkembangan diharapkan dirinya agar perilaku sesuai dengan norma, serta
terhindar dari perilaku impulsive. Untuk pengambilan solusi peneliti
menggunakan strategi Layanan Bimbingan dan Konseling yang digunakan yaitu
dengan cara Layanan Konseling Individu Dengan Teknik Cognitive Behavior
Therapy untuk Mereduksi Sikap Narsistik.

METODE
Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 1 Cisarua. Umumnya siswa
di SMK Negeri 1 Cisarua memiliki prestasi gemilang baik tingkat
Kabupaten maupun tingkat Nasional, namun tidak sedikit siswa yang
mengalami berbagai permasalahan baik ringan atau pun berat.
Permasalahan yang sering terjadi pada siswa rata-rata karena masalah
pribadi, masalah sosial dan masalah belajar, untuk itu peneliti bermaksud
mengkaji lebih jauh tentang perilaku narsisme siswa yang berlebihan
terhadap diri sendiri dengan pendekatan konseling individu dan teknik cognitive
behavior therapy sebagai satu upaya yang dilakukan oleh konselor dalam
mengatasi berbagai permasalahan siswa di SMK Negeri 1 Cisarua. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
jenis studi kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena-
fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan dalam arti penelitian ini
difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami
secara mendalam, dengan mengabaikan fenomena lainnya.
Berdasarkan keterlibatan pengamatan dalam kegiatan-kegiatan orang
yang diamati, maka peneliti menggunakan metode observasi partisipasi
(participant observation). Peneliti mengamati perilaku konseli dan ikut serta
dalam kehidupan konseli sehari-hari. Peneliti bertukar nomor whatsapp dan
mencari informasi dari konseli kegiatan apa yang dilakukan oleh siswa “P” sehari-
hari, apakah ada peningkatan atau tidak. Metode interview atau wawancara
adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui percakapan antara
peneliti dengan subyek yang diteliti. Dengan proses tanya jawab yang
berlangsung secara lisan dengan Guru BK dan Siswa yang bersangkutan.
Bertatap muka serta mendengarkan secara langsung informasi atau
keterangan-keterangan tentang masalah yang terkait terhadap satu orang siswa di
SMK Negeri 1 Cisarua. Dan informasi yang didapatkan mengalami sedikitnya
beberapa perubahan yaitu siswa “P” mau datang ke sekolah untuk luring, mampu
mengumpulkan tugas yang telah di tangggung jawabkan kepada koseli. Dengan
catatan konseli datang ke sekolah dengan di dampingi oleh wali kelas ataupun
guru BK.
Metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan
data yang digunakan sebagai suatu pendukung dari wawancara untuk
mengetahui dan mencatat data tentang latar belakang objek penelitian dan untuk
memperoleh data mengenai keberhasilan pelaksanaan kegiatan studi kasus
terhadap penyelesaian masalah di SMK Negeri 1 Cisarua. Teknik
analisis data yang digunakan dari hasil penelitian, peneliti menganalisa
dengan menitikberatkan pada sisi kualitatifnya. Sehingga nampak bahwa teknik
cognitive behavior therapy layanan studi kasus dalam bidang bimbingan dan
konseling itu efektif dilaksanakan oleh guru pembimbing terhadap
penyelesaian masalah siswa di SMK Negeri 1 Cisarua.

A. Diagnosis
Dalam langkah ini yang saya lakukan adalah menetapkan masalah
konseli dan latar belakang berdasarkan hasil analisis. Melihat dari langkah
yang pertama saya lakukan bahwa konseli mengalami kecenderungan
pribadi narsistik yang selalu ingin diperhatikan lebih oleh lingkungan
sekitar dan menganggap orang lain lebih rendah dibawah dirinya.

B. Prognosis
Dalam langkah ini menetapkan alternative tindakan yang akan
saya berikan kepada konseli selanjutnya melakukan perencanaan mengenai
jenis dan bentuk masalah apa yang sedang dihadapi oleh konseli seperti
rumusan masalah yang dihadapi oleh konseli. Maka saya memperkirakan
bahwa konseli merasa dirinya patut diperhatikan karena merasa special
dimata orang lain, konseli senang mencari perhatian dan ingin menjadi
pusat perhatian.
Melihat dari permasalahan yang dihadapi oleh konseli maka saya
akan membuat alternative tindakan bantuan yang akan saya lakukan untuk
membantu konseli yaitu memberikan layanan konseling individual yang
bertujuan untuk membantu konseli supaya tidak mengalami narcissistic
personality disorder. Dan saya menawarkan kepada konseli untuk
mengikuti kegiatan secara luring dan daring melalui aplikasi WhatsApp.

C. Pemberian Bantuan
Setelah menetapkan pemberian bantuan alternative kepada konseli
dalam langkah prognosis, maka dalam langkah pemberian bantuan ini saya
merealisasikan langkah-langkah alternative bentuk bantuan berdasarkan
masalah dan latar belakang yang menyebabkan konseli bermasalah. Dan
dalam tahap ini saya melakukan proses konseling individual mengenai
cara mengatasi narsistik dan self control.
Pada tahap pertama ini sebagai konselor bertanya kepada konseli
yaitu, apakah permasalahan yang dia hadapi cukup membuat jenuh dan
ingin merasakan suasana baru untuk membentuk kembali kebiasaan yang
baru dalam keadaan Covid-19. Setelah menjalin hubungan dengan konseli
saya memberikan masukan kepada konseli dengan membagikan tips agar
semangat untuk bangkit dalam keterpurukan. Untuk tahap selanjutnya saya
melakukan tanya jawab dan memberikan kesempatan kepada konseli
untuk mencurahkan isi hatinya. Selain daripada itu memberikan masukan
kepada konseli mengenai bagaimana caranya harus bersikap, menghormati
orang lain dan bersosialisasi dengan cara yang selayaknya. Dan konseli
memberikan beberapa pilihan tanggung jawab dari masukan yang saya
berikan agar bisa dikerjakan oleh konseli sebagai bentuk perubahan sikap
yang dialami saat ini.
Sebelum menyelesaikan beberapa tanggung jawab atau misi
tertentu yang diberikan konselor, maka konseli diminta untuk menuliskan
misi apa saja yang akan konseli lakukan kedepannya dan di selesaikan
guna memenuhi tanggung jawab yang sudah diberikan dan mencapai
tingkatan-tingkatan yang diharapkan dan ingin dicapai. Selain itu konseli
diharapkan dapat bekerjasama dengan orang tua dan berdamai dengan diri
sendiri untuk menentukan setiap langkah positif yang dijalankan. Setelah
konseli memahami apa yang saya sampaikan dan bertanya mengenai
beberapa langkah yang harus dilakukan setelah itu semua pertanyaan
terjawab, maka saya harus melakukan evaluasi dalam langkah berikutnya.

D. Evaluasi dan Tindak Lanjut


Setelah saya melakukan pemberian bantuan dengan cara
melakukan proses konseling individu pada langkah pemberian bantuan.
Maka pada langkah ini saya melakukan evaluasi kepada konseli apakah
proses konseling individu yang saya lakukan berhasil atau tidak. Dalam
masalah konseli ini saya mengumpulkan informasi atau data-data
mengenai para konseli dengan cara terus berkomunikasi melalui aplikasi
WhatsApp untuk memantau terus perkembangan yang dilakukan oleh
konseli, apakah orang tua dan konseli sudah mampu melakukan misi atau
tanggung jawab yang diberikan untuk mulai menyelesaikan tugas sekolah
dan berkomunikasi dengan teman-temannya dengan baik.
Setelah seminggu menjalin komunikasi melalui WhatsApp saya
mendapatkan informasi bahwa konseli telah melakukan pendekatan
kepada orang tua dan teman nya untuk saling bertukar informasi
mengenai tugas, tidak seenaknya sendiri ketika berdiskusi di WhatsApp
Group kelasnya. Dan ketika ada pembelajaran luring di sekolah pun saya
melakukan observasi terhadap perilaku konseli bahwa konseli mengalami
beberapa perubahan yaitu menjadi punya visi misi untuk kedepannya.
Artinya di dalam saya memberikan layanan bimbingan kelompok bisa di
katakan berhasil membantu konseli dalam memecahkan masalahnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kajian Teori
A. Narsistik
1. Pengertian Narsistik
Narsistik adalah suatu kepribadian ditandai dengan adanya fantasi
atau perilaku berlebihan terhadap kekuasaan, kecantiakan, kesuksesan
atau cinta ideal, kebutuhan besar untuk dikagumi oleh orang lain dan
kurangnya kemampuan untuk berempati Diagnosis And Statistical
Manual of Mental Disorder IV-R American Psychiatric Assosiation
(2000). Secara istilah narsisme adalah cinta diri sendiri yang sangat
ekstrim, paham yang menganggap diri sendiri sangat superior dan
sangat penting ada extreme self-impotency. Menurut (Kartono , 2002).
Orang yang berperilaku narsisme cenderung menjadi sangat self-
consciousness sedangkan menurut (Chaplin, 2003), yakni perhatian
yang sangat berlebihan pada diri sendiri dan apabila kecenderungan ini
semakin gawat maka muncul Imaginary Audience dalam pikirannya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa perilaku narsisme adalah
perilaku yang ditandai dengan kecenderungan untuk memandang
dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan
dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian, selain itu tertanam
dalam dirinya perasaan paling mampu, paling unik (beda sendiri) dan
merasa khusus dibandingkan dengan orang lain.

2. Ciri-ciri Perilaku Narsistik


Sebenarnya setiap orang mempunyai kecenderungan narsisme,
akan tetapi kadarnya itulah yang berbeda. Ada beberapa tanda-tanda
atau ciri-ciri narsisme dikutip dari Diagnostics and Statistik Manual,
Fourth Editions Text Revision (2000) antara lain:
a) Pengidap narsisme juga yakin kalau dirinya unik dan istimewa,
serta berpikiran bahwa tidak ada yang bisa menyaingi dirinya. Dia
akan merasa lebih tinggi statusnya serta lebih cantik atau ganteng
dibandingkan dengan yang lain.
b) Orang narsisme selalu ingin dipuji dan diperhatikan. Mereka
kurang peka terhadap kebutuhan orang lain, karena yang ada dalam
pikirannya adalah dirinya sendiri.
c) Orang narsisme sangat sensitif terhadap kritikan, kritikan yang
kecil bisa berarti besar bagi mereka, dan tidak mau disalahkan.
d) Orang narsisme membutuhkan pengakuan dari orang lain demi
memompa rasa percaya dirinya. Inilah rahasia terbesar orang
narsisme.

3. Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku Narsisme


Penyebab pasti gangguan atau perilaku narsisme tidak diketahui.
Menurut Barlow dan Durand (2006) mengidentifikasi faktor-faktor
perkembangan masa anak-anak dan sikap orangtua yang mungkin
mendukung terjadinya gangguan kepribadian narsisme antara lain:
a) Temperamen yang sangat sensitif sejak lahir.
b) Pujian dan penilaian yang berlebihan dari orang tua.
c) Penilaian orangtua sebagai tujuan untuk mengatur harga diri
mereka
d) Sanjungan yang berlebihan yang tidak pernah seimbang dengan
kenyataan timbal balik.
e) Pemberian perhatian yang tidak terduga dari orang tua.
f) Penyiksaan yang terlalu pada waktu kecil.
g) Membanggakan penampilan dan bakat orangtua

Jadi peran orang tua sangat penting dalam menunjang kepribadian


anak menjadi lebih baik. Adanya kemungkinan ada faktor lain yang
menyebabkan siswa berperilaku narsisme yaitu faktor lingkungan
diantaranya berharap mendapatkan pujian, sering selfie, lingkungan
pergaulan, dan sosial media.

B. Konseling Individu
1. Pengertian Konseling Individu
Menurut Blocher dalam Shertzer & Stone (1969). Konseling
merupakan suatu interaksi yang dilakukan antara konselor dengan
individu, yang bertujuan agar konseli dapat menyadari dirinya sendiri
dan mampu memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengarah
lingkungan yang diterimanya, selanjutnya, konselor membantu
konseli menentukan beberapa makna pribadi bagi tingkah laku
tersebut dan mengembangkan serta memperjelas tujuan, nilai untuk
perilaku diwaktu yang akan datang. Menurut Tolbert dalam Yusuf, S
(2016) mengatakan bahwa konseling individual adalah sebagai
hubungan tatap muka antara konselor dengan konseli, dimana konselor
sebagai seseorang yang memiliki kompetensi khusus memberikan
suatu situasi belajar kepada konseli sebagai seorang yang normal,
konseli dibantu untuk mengetahui dirinya, situasi yang dihadapi dan
masa depan sehingga konseli dapat menggunakan potensinya untuk
mencapai kebahagiaan pribadi maupun sosial, dan lebih lanjut konseli
dapat belajar tentang bagaimana memecahkan masalah dan memenuhi
kebutuhan di masa depan.
Diniaty (2018) menyatakan bahwa konseling individual merupakan
suatu pertalian timbal balik antara dua orang individu yaitu satu
konselor membantu satu orang konseli supaya ia lebih baik memahami
dirinya dalam hubungannya dengan masalah-masalah hidup yang
dihadapinya pada waktu itu dan waktu yang akan datang. Sementara
itu, Gibson & Mitchell dalam Diniaty (2018) menyatakan definisi
konseling perorangan sebagai berikut:

“Individual counseling is a one-to-one relationship involving a


trained counselor and focuses on some aspects of a client’s adjusment,
developmental, or decision-making needs. This process provides a
relationship and communications base from which the client can
develop understanding, explore possibilities, and initiate change”.

Dari beberapa pendapat ahli diatas maka dapat dipahami bahwa


konseling individual adalah sebuah layanan secara tatap muka yang
diberikan oleh konselor kepada seorang konseli dengan tujuan untuk
memecahkan sebuah masalah secara mendalam.

2. Tujuan Konseling Individual


Menurut Irmayanti, R (2018) Konseling individual memiliki
beberapa tujuan yang diharapkan dapat membantu konseli dalam
mengembangkan potensi yang terdalam dari dirinya. Adapun tujuan
yang dimaksud yaitu sebagai berikut:
a. Membantu individu untuk mengerti dan mengeksplorasi diri
sendiri
b. Membantu individu memecahkan masalah pribadi, baik sosial
maupun emosional
c. Membantu individu untuk dapat menyeimbangkan diri dengan
lingkungannya
d. Membantu individu mendalami arti nilai hidup
e. Membantu individu untuk mengembangkan perubahan sikap dan
tingkah laku.

3. Fungsi Konseling Individual


Menurut Hartono & Boy (2012) Fungsi Konseling Individual
adalah sebagai berikut:
a) Fungsi Pemahaman (Understanding Function), yaitu fungsi yang
menghasilkan pemahaman bagi konseli tentang dirinya,
lingkungannya dan berbagai informasi yang dibutuhkan.
Pemahaman diri meliputi pemahaman tentang kondisi psikologis
seperti ; intelegensi, bakat, minat, dan ciri-ciri kepribadian, serta
pemahaman fisik seperti kesehatan fisik (jasmani). Dan
pemahaman lingkungan seperti; lingkungan alam sekitar dan
lingkungan sosial, sedangkan pemahaman berbagai informasi yang
dibutuhkan mencakup; informasi pendidikan dan informasi karir.
b) Fungsi Pencegahan (Preventive Function) adalah fungsi konseling
untuk mencegah atau menghindari masalah yang mungkin timbul,
yang dapat mengganggu, menghambat atau menimbulkan kesulitan
dan kerugian-kerugian tertentu dalam kehidupan dan proses
perkembangan bagi konseli.
c) Fungsi Pengentasan (Curative Function) adalah fungsi konseling
yang menghasilkan kemampuan konseli untuk memecahkan
masalah-masalah yang dialaminya dalam kehidupan dan atau
perkembangan konseli.
d) Fungsi Pemeliharaan dan Pengembangan (Development and
Preservative), yaitu fungsi konseling yang menghasilkan
kemampuan konseli untuk memelihara dan mengembangkan
berbagai kondisi atau potensi yang ada pada diri konseli agar
menjadi baik dan dikembangkan secara seris dan berkelanjutan.
e) Fungsi Advokasi adalah fungsi konseling yang menghasilkan
kondisi pembelaan terhadap berbagai bentuk pengingkaran atas
hak-hak atau kepentingan pendidikan dan perkembangan yang
dialami oleh konseli.

C. Teknik Konseling Individu Cognitive Behavior Therapy


1. Pengertian Teknik CBT
Menurut John McLcod (2006) Teknik Cognitive Behavior
Therapy (CBT) adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh
konselor untuk membantu individu ke arah yang positif. Berbagai variasi
teknik perubahan kognisi, emosi dan tingkah laku menjadi bagian yang
terpenting dalam Cognitive Behavior Therapy. Metode ini berkembang
sesuai dengan kebutuhan konseli, di mana konselor bersifat aktif, direktif,
terbatas waktu, berstruktur, dan berpusat pada konseli. Konselor atau
terapis Cognitive Behavior biasanya menggunakan berbagai teknik
intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan
konseli.
Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam Cognitive
Behavior Therapy (CBT) yaitu :
a) Menata keyakinan irasional.
b) Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu
yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
c) Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role
play dengan konselor.
d) Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam
situasi ril.
e) Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang
dialami pada saat ini dengan skala 0-100.
f) Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentika pikiran
negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
g) Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas
dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan
secara berulang-ulang dan berurutan dari respon. takut terberat sampai
yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli.
h) Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.
i) Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa
bertindak tegas.
j) Penugasan rumah. Memperaktikan perilaku baru dan strategi kognitif
antara sesi konseling.
k) In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah
dengan memasuki situasi tersebut.
l) Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan
menekankan kepada proses psikologis yang terjadi di dalam diri
individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku berdasarkan
kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.

2. Tahapan Terapi Konseling Cognitive Behavior Therapy


Menurut Oemarjoedi, K Berikut akan disajikan proses konseling CBT
yang telah disesuaikan dengan kultur di Indonesia yaitu:

No Proses Sesi

1 Assesmen dan Diagnosa 1

2 Mencari akar permasalahan yang bersumber dari emosi negative, 2


penyimpangan proses berfikir, dan keyakinan utama yang
berhubungan dengan gangguan.

3 Konselor bersama konseli menyusun rencana intervensi dengan 3


memberikan konsekuensi positif-negatif kepada konseli

4 Formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku 4

5 Pencegahan Relapse dan training self-help 5

Keterangan:
Sesi 1: Asesmen dan Diagnosa Awal
Dalam sesi ini, terapis (konselor) diharapkan mampu:
a) Melakukan asesmen, observasi, anamnese, dan analisis gejala, demi
menegakkan diagnosa awal mengenai gangguan yang terjadi.
b) Memberikan dukungan dan semangat kepada konseli untuk melakukan
perubahan.
c) Memperoleh komitmen dari konseli untuk melakukan terapi dan
pemecahan. masalah terhadap gangguan yang dialami.
d) Menjelaskan kepada konseli formulasi masalah dan situasi kondisi
yang dihadapi.

Sesi 2: Mencari emosi negatif, pikiran otomatis, dan keyakinan utama


yang berhubungan dengan gangguan
Beberapa tokoh meyakini bahwa sesi ini sebaiknya dilakukan di sessi
(paling tidak) 8-10. Namun pada prakteknya sessi ini lebih mudah
dilakukan segera setelah asesmen dan diagnosa, selain karena tuntutan
konseli akan gambaran yang lebih jelas dalam waktu yang singkat, konseli
juga menuntut adanya manfaat terapi.

Sesi 3: Menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekwensi


positif-konsekuensi negatif kepada klien dan kepada “significant persons”
Pada dasarnya terapis diharapkan mampu menerapkan prinsipprinsip
teori belajar dengan memberikan penguatan (reinforcement) dan hukuman
(punishment) secara kreatif kepada klien dan keluarganya sbagai orang-
orang yang signifikan dalam hidupnya. Terapis juga diharapkan dapat
memantapkan komitmen untuk merubah tingkah laku dan keinginan untuk
merubah situasi. Namun seringkali terjadi, istilah hukuman dan hadiah
kurang dapat diterima klien, terutama pada klien dewasa. Oleh karena itu
konselor dapat menampilkan kreativitas dengan memberikan istilah yang
lebih sesuai, misalnya istilah konsekwensi positif dan negatif dapat segera
dirasakan.

Sesi 4: Formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku lanjutan


Pada sesi ini, formulasi status yang dilakukan adalah lebih kepada
kemajuan dan perkembangan terapi. Konselor diharapkan dapat
memberikan feed back atas hasil kemajuan dan perkembangan terapi,
mengingatkan fokus terapi, dan mengevaluasi pelaksanaan intervensi
tingkah laku dengan konsekwensi-konsekuensi yang telah disepakati.

Sesi 5: Pencegahan Relapse


Pada sessi ini, diharapkan klien sudah memiliki pengalaman yang
lebih mendalam tentang Cognitive Behavior dan bagaimana manfaat
langsung dari hipnoterapi, serta pentingnya melakukan keterampilan
“auto hypnose” untuk mencegah relapse (kembalinya gejala gangguan).

Penelitian terdahulu
Layanan Konseling Individual Dengan Teknik Cognitive Behavior
Therapy dari penelitian sebelumnya yang berjudul “Studi Tentang Siswa Yang
Memiliki Sikap Narsisme Dan Penagananya Melalui Latihan Bertanggun Jawab
Dalam Konseling Gestal”
Berdasarkan observasi tersebut maka konseling individu dengan teknik
gestalt dirasa dapat membantu mengatasi permasalahan narsistik siswa.
Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari data awal dan
data akhir. konseling individu dengan pendekatan gestalt yaitu memberikan
kalimat pernyataan yang tidak lengkap kemudian konseli melengkapi kalimat
pernyataan tersebut dengan menambahkan “Saya Bertanggung Jawab”.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka dapat diujicobakan kembali
pada permasalahan siswa narsistik yang tidak bisa mengontrol dan bertanggung
jawab terhadap dirinya. Keberhasilan penelitian sebelumnya bisa dijadikan acuan
dalam menyelesaikan permasalahan ini karena dianggap sesuai dan mampu
menangani masalah dengan teknik yang digunakan sebelumnya.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian dan pembahasan, maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. Bentuk narsisme siswa dapat dikenali dengan beberapa ciri
tertentu seperti, tidak dapat menerima saran dari orang lain
bila menguntungkan dirinya (egoism), sering mengucapkan kalimat
yang dapat menyinggung perasaan orang lain (sadism), tidak mau
peduli terhadap orang lain (cuek), sering memerintah orang lain
(rasa ingin menguasai teman), punya perkumpulan sendiri yang
sering berkumpul dengan orang yang sering memberikan pujian.
2. Faktor-faktor penyebab narsisme adalah prilaku memperhatikan
diri sendiri secara berlebihan dengan indikator, merasa dirinya
sangat penting, merasa diri unik, suka dipuji, kecanduan difoto.
3. Bentuk penerapan latihan bertanggung jawab yaitu memberikan
konseling individu dengan pendekatan CBT yaitu memberikan
misi kepada konseli dalam kegiatan sehari-hari agar dapat
menyelesaikan tugasnya dengan tepat waktu dan bertanggung jawab
atas perbuatan yang telah dilaksanakan.
Sehubungan dengan hal yang telah dipaparkan, maka peneliti perlu
menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Guru bimbingan dan konseling selaku konselor sekolah peneliti
mengaharapkan agar senantiasa mengontrol perkembangan “P”
setelah di berikan layanan konseling individual dengan teknik latihan
bertanggung jawab.
2. Guru bimbingan dan konseling diharapakan berkolaborasi dengan
guru bidang studi dan wali kelas serta orang tua siswa dalam
pendamping siswa baik yang mengalami masalah maupun yang
tidak mengalaimi masalah.
3. Diharapkan kepada kepala sekolah supaya waktu luring diberikan
kepada konselor walau hanya satu kali pertemuan dalam satu
minggu supaya guru bimbingan dan konseling dapat melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari pendidik
walaupun pada saat Covid 19.

REFERENSI

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IVTR. Arlington,
VA: American Psychiatric Association
APA. (2000). DSM V-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
IV Text Revision). Washington, DC: American Psychiantric Association
Press.
Aviyah, Avi & M.Farid. (2014). Religiusitas, Kontrol diri dan Kenakalan Remaja.
Persona, Jurnal Psikologi Indonesia.
Chaplin, J.P. (2003). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Diniaty, A. (2018). Mewaspadai Miskonsepsi Nilai Budaya Dalam Pelaksanaan
Konseling Individual. Educational Guidance and Counseling
Development Journal, 1(01), 6-15.
Durand, V.M., Barlow, D.H., 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Edisi IV.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar pp. 295-297
Firman, F. (2018). Hubungan Self Control dengan Kecenderungan Narsistik
Siswa
Pengguna Jejaring Sosial Instagram di SMP Negeri 2 Padang. Jurnal Neo
Konseling
Gibson, R.L; Mitchell, Marianne H. (2011). Bimbingan dan Konseling (Edisi
Indonesia-Edisi Ke Tujuh). Yogyakarta:Pustaka Belajar Hakim, T.
Belajar Secara Efektif, /9ttp.:tnp., t.t).
Harrison, M.L. (2010). The influence of narcissism and self-control on reactive
aggression. (Disertasi). Department of Criminology, University of South
Florida.
Hartono & Soedarmadji,Boy.2012. Psikologi konseling (Edisi Revisi). Jakarta:
Kharisma Putra Utama.
Irmayanti, R. (2018). Teknik Bimbingan dan Konseling Ruang Lingkup Sekolah.
Prodi Bimbingan dan Konseling: IKIP Siliwangi
John McLcod, Pengantar Konseling. (2006). Teori dan Studi Kasus Alih Bahasa
oleh A.K. Anwar. Jakarta:Kencana, hal. 157-158.
Kasandra Oemarjoedi. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior Dalam
Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media, hal. 6-21
Kartono, K. (2002). Patologi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Nugraha, A. B., & Ajie, G. R. (2019). Pengaruh Bimbingan Kelompok dengan
Teknik Soiodrama Terhadap Kontrol Diri. Indonesian Journal Of
Educational Research and Review, 2(3), 408-414.
Nurawalia, 2009, Gangguan Kepribadian Narsisme, (Online)
http://nurawlia.wordpress.com. (diakses 18 November, 2014)
Patty. (2016). “Hubungan dukungan sosial teman sebaya, Kontrol diri, dan jenis
kelamin dengan prestasi belajar siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon”.
Jurnal. Psikodimensia Vol.15
Rudi, R. Studi Tentang Siswa yang Memiliki Sikap Narsisme dan Penagananya
melalui Latihan Bertanggun Jawab dalam Konseling Gestal. Jurnal
Konseling Andi Matappa, 1(2), 142-148.
Shertzer, Bruce dan Stone-Shelly, C. (1974). Fundamental of Counselling.
Boston: Hougton Mifflin Company.
Siwabessy, Louise B. dan Sri Hastoeti. 2008. Bahan Ajar Sertifikasi Guru
Bimbingan dan Konseling dalam Jabatan melalui Jalur Pendidikan:
Praktik Bimbingan Klasikal. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta dan Dikti
Depdiknas.
Yusuf, A. (2019). Kajian Literatur Dan Teori Sosial Dalam Penelitian.
(kelompok 2). Ekonomi Syariah: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Sorong

Anda mungkin juga menyukai