Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA

MASALAH HAM DI INDONESIA & PENGATURAN HAM DI


INDONESIA

Nama : M. Ramadhani Novansyah

NPM : 1912011206

Mata kuliah : Konstitusi dan Hak Asasi Manusia

Kelas : Dr. Yusdianto. S.H., M.H.

1. Masalah HAM di Indonesia


Secara umum HAM merupakan hak-hak dasar yang melekat dalam diri manusia sebagai
anugrah dari tuhan yang sifatnya tidak dapat dihilangkan maupun dikurangi oleh siapapun.
Selain itu, HAM juga bersifat iniversal artinya hak asasi manusia melekat kepada setiap
insan manusia di muka bumi tanpa membedakan suku, budaya, agama, dan ras. Akan tetapi
HAM di setiap negara berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya berdasarkan
perbedaan ideologi, kebiasaan/budaya, dan nilai-nilai luhur bangsa.

Di Indonesia sendiri masih banyak terjadi pelanggaran HAM, secara normatif dalam
Pasal 1 Angka 66 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
asasi Manusia menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang seacara hukum mengurangi , menghalangi , membatasi dan atau
mencabut hak asasi seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang undang dan
tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaiannya hukuman
yang adil dan benar berdasrakan mekanisme hukum yang berlaku. Selain itu terdapat juga
kategori pelanggaran HAM berat, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
tahun 2000 tentang pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua , yaitu kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan . Contoh kasus pelanggaran HAM yang pernah
terjadi di Indonesia , Yaitu :

a) Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, Dalam tragedi ini terjadi peristiwa penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti. Pada tahun 1998, terjadi krisis moneter yang
berakibat ke banyak sektor. Keadaan ini mengundang aksi protes mahasiswa. Pada
tanggal tersebut mahasiswa Universitas Trisakti mengadakan longmarch menuju
gedung MPR/DPR untuk kemudian melakukan demo. Namun, sebelum sampai di
gedung tersebut, aksi ini ditentang oleh polisi. Setelah kedua pihak berunding,
disepakati bahwa Polisi dan mahasiswa sama-sama mundur. Saat mahasiswa
mundur kembali ke kampus mereka, terjadi sebuah provokasi yang menyebabkan
beberapa mahasiswa terpancing. Akhirnya kerusuhan pun terjadi, polisi
melakukan penembakan sehingga empat mahasiswa tewas dan beberapa luka-
luka.

b) Pembunuhan Munir, Munir Said Thalib adalah seorang aktivis HAM. Ia telah
banyak melakukan pembelaan hukum pada orang-orang tertindas. Salah satunya
adalah menjadi pembela keluarga korban penculikan paksa yang terjadi pada
tahun 1997 dan 1998. Munir juga merupakan pengkritik pemerintah yang
berkuasa saat itu. Di tahun 2004, Munir ditemukan tewas dalam pesawat yang
menuju Amsterdam. Hasil autopsi yang dilakukan oleh tim forensik Belanda
menemukan adanya senyawa arsenik dalam jasad Munir. Hasil ini
mengindikasikan bahwa aktivis HAM ini sengaja diracun oleh pihak tertentu yang
bermaksud menyingkirkannya.

c) Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, peristiwa ini diawali dengan


kedatangan anggota Bintara ke Masjid As Saadah di Tanjung Priok, yang
memerintahkan untuk mencabut sepanduk yang berbau kritik kepada pemerintah.
Namun pengurus masjid menolak dan para Bintara pun masuk tanpa melepas alas
kaki kedalam masjid unruk mencopot spanduk tersebut secara paksa. Tindakan
tersebut sangat tidak sopan dan menyulut kemarahan pengurus masjid beserta
warga. Mereka membakar motor dan menyerang anggota Bintara tersebut.
Pengurus masjid dan warga yang menyerangnya kemudian ditangkap. Dua hari
setelah penangkapan tersebut, warga muslim Tanjung Priok melakukan aksi protes
untuk membebaskan kawan mereka. Aksi ini dilakukan oleh ribuan orang namun
tidak berhasil. Kerusuhan pun terjadi dan pihak militer menembaki demonstran.
Berdasarkan hitungan resmi, peristiwa ini menyebabkan 24 orang tewas serta 54
orang terluka. Akan tetapi, menurut perkiraan, ada lebih dari lebih dari 100 warga
Tanjung Priok yang tewas, hilang, ataupun terluka.

d) Pembunuhan Marsinah aktifis wanita zaman orde baru, Marsinah adalah


seorang aktivis dan buruh pabrik PT CATUR PUTRA SURYA. Pada tahun 1993,
Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang berisi agar perusahaan di
Jawa Timur menaikkan upah buruh sebesar 20% dari gaji pokok. Akan tetapi PT
tempat Marsinah bekerja, tidak terlalu setuju dengan himbauan ini. Akibatnya,
Marsinah dan kawan-kawannya mogok kerja dan melakukan demonstrasi pada
tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Selain demonstrasi, Marsinah beserta 13 perwakilan
buruh juga melakukan perundingan dengan pihak pabrik. Pada tanggal 5 Mei,
siang harinya, 13 teman Marsinah ditangkap Kodim Sidoarjo karena tuduhan
menghasut para buruh agar tidak masuk kerja dan mengadakan rapat gelap.
Mereka dipaksa untuk mengundurkan diri. Marsinah kemudian datang ke Kodim
untuk menanyakan dimana rekan-rekannya. Dan pada tanggal 8 Mei 1993 ,
Marsinah sudah ditemukan tak bernyawa di sebuah gubuk pemantang sawah di
Desa jagong , Nganjuk , dimana hasil visum et repertum menunjukan adanya luka
robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh marsinah . Luka itu menjalar mulai
dari dinding kiri lubang kemaluan ( labium minira ) sampai ke dalam rongga
Perut, di dalam perutnya ditemukian serpihan tulang dan tulang panggul bagian
depan hancur, diduga diakibatkan oleh penyiksaan berat.

e) Pelanggaran HAM di Aceh, pada tahun 1990 hingga 1998 terjadi


pemberontakan rakyat Aceh. Salah satu sebabnya adalah karena mereka tidak
puas dengan pemerintah sehingga ingin memisahkan diri. Oleh karenanya,
pemerintah Indonesia mengadakan operasi militer di provinsi ini. Akibat dari
operasi militer ini, ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Operasi ini
tidak hanya menewaskan pemberontak namun juga warga sipil. Banyak warga
Aceh yang meninggal akibat operasi ini. Menurut catatan, ada sekitar 9 ribu
hingga 12 ribu korban jiwa yang jatuh dalam operasi militer yang berlangsung
selama 8 tahun ini
.
f) Selain itu masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti,
pembunuhan, perampokan, pemerkosaan , dan lain-lain.

Kasus-kasus pelamggaran HAM di Indonesia terjadi bukan tanpa sebab. Ada banyak
faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Menurut Lubis dan Sodeli
(2014: 9-10), penyebab pelanggaran HAM secara umum yaitu:

a) Sikap egois dan terlalu mementingkan diri sendiri. Sikap egois akan
menyebabkan seseorang untuk selalu menuntut haknya, sementara kewajibannya
sering diabaikan. Seseorang dengan sikap seperti ini , akan menghalalkan segala
cara agar haknya dapat terpenuhi, meskipun caranya tersebut caranya tersebut
dapat melanggar hak orang lain.

b) Rendahnya kesadaran HAM. Rendahnya kesadaran HAM akan menyebabkan


pelaku pelanggaran HAM berbuat seenaknya. Pelaku tak mau tahu bahwa orang
lain juga mempunyai hak asasi yang harus dihormati. Sikap tidak mau tahu ini
berakibat munculnya perilaku atau tindakan menyimpang terhadap HAM. Selain
itu, Hariyono, dkk.(2013: 303) juga mengungkapkan berbagai regulasi yang tidak
berdimensi HAM antara lain disebabkan oleh kurangnya pentingnya perlindungan
HAM dari pembuat peraturan baik ditingkat lokal maupun nasional. Peningkatan
pemahaman HAM bagi pembentuk UU baik ditingkat pusat maupun daerah
adalah sebuah keniscayaan, sehingga dapat mencegah lahimya berbagai produk
kebijakan yang melanggar HAM. Selain itu, diperlukan berbagai program yang
mendorong terbentuknya masyarakat sipil dimana tokoh-tokoh masyarakat serta
kelompok terdidik lainnya secara terus menerus dan terencana diberikan berbagai
pemahaman dan sosialisasi tentang pentingnya menghormati, menghargai, dan
melindungi HAM. Demgan demikian, jika kesadaran masyarakat telah terbentuk
dengan baik, maka hukum seburuk apapun tidak akan mempengaruhi perilaku
masyarakat untuk senantiasa menghormati dan menghargai hak orang lain.
c) Sikap tidak toleran ( intoleran ). Menurut Lubis dan Sodeli (2014: 9) sikap
mengungkapkan sikap toleransi yang akan menentukan saling tidak menghargai
dan tidak menghormati atas keberadaan atau keberadaan orang lain. Sikap ini
pada akhirnya akan mendorong orang untuk melakukan diskriminasi kepada orang
lain. Hariyono, dkk. (2013: 12) juga berpendapat bahwa kumpulan kolektif yang
menjadi ciri utama budaya dan masyarakat Indonesia mengalami situasi yang
cukup rentan. Masyarakat merasa ingin bebas dan merdeka sekali. Akhirnya
banyak perdebatan yang berlangsung sarkastik dan banal. Bahkan simbol agama
juga dijadikan untuk mengembangkan sikap intoleran dan penggunaan kekerasan.
Seseorang hanya menuntut haknya tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal
tersebut tentunya dapat menimbulkan keresahan bagi bagi masyrakat Indonesia.

d) Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam masyarakat terdapat banyak kekuasaan yang


berlaku. Menurut Lubis dan Sodeli (2014: 9) kekuasaan disini tidak menunjuk
pada kekuasaan pemerintah, tetapi juga bentuk-bentuk kekuasaan lain yang
terdapat di masyarakat. Salah satunya adalah kekuasaan di perusahaan. Para
pengusaha yang tidak memperdulikan hak-hak buruhnya jelas melanggar HAM.
Oleh sebab itu, setiap penyalahgunaan kekuasaan pasti mendorong timbulnya
pelanggaran HAM. Parthiana (2004: 90) juga mengungkapkan bahwa setiap
subjek hukum yang berkewajiban untuk menghormati dan melindungi hak asasi
manusia, berpotensi pula unruk melakukan pelanggaran. Penggunaan kekuasaan
dan kewenangan (oleh aparat-aparat negara) yang berpotensi menimbulkan
penyalahgunaannya ( abuse of power abuse of right, abuse of authority) dan jika
berkenaan dengan hak-hak asasi manusia maka penyalagunaannya itu berupa
pelamggaran atas HAM.

e) Ketidaktegasan penegak aparat hukum. Menurut Lubis dan Sodeli (2014: 9)


aparat penegak hukum yang tidak bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran
HAM, tentu saja akan mendorong tímbulnya pelamggaran HAM lainnya.
Penyelesaian kasus yang tidak tuntas akan menjadi pemicu kasus-kasus lain, para
pelaku tidak akan merasa bersalah, karena mereka tidak menerima sanksi yang
tegas atas perbuatannya. Selain hal tersebut, penegak hukum yang bertindak
sewenang-wenang juga merupakan bentuk pelanhgaran HAM dan menjadi contoh
yang tidak baik, serta dapat mendorong timbulnya pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Hal yang sama juga diujarkan oleh
Cipto, dkk. (2002: 150) menyebutkan bahwa maraknya pelamggaran HAM terjadi
disebabkan oleh lemahnya sistem penegakan hukum terhadap pihak pelanggar,
lemahnya Kemauan politik (political will) pemerintah dalam
mengimplementasikan norma-norma HAM, yang ironisnya justru sering
memanfaatkannya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Jika aparat
penegak hukum leboh tegas dlam menangani kasus pelanggaran HAM mungkin
pelanggaran HAM dapat dicegah sejak dini.
f) Penyalahgunaan teknologi. Menurut Lubis dan Sodeli (2014: 9).
Penyalahgunaan teknologi Kemajuan teknologi dapat memberikan pengaruh
positif, tetapi juga dapat memberikan pengaruh negatif yang dapat memicu
timbilnya kejahatan. Contohnya pernah terjadi kasus penculikan yang berawal dari
pertemanan dalam jejaring sosial. Kasus tersebut menjadi bukti, fakta bahwa
kemajuan teknologi tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang sesuai aturan, tentu
saja akan menjadi penyebab timbulnya pelanggaran HAM. Selain itu juga,
kemajuan teknologi dalam bidang produksi ternyata dapat menimbulkan dampak
negatif, misalnya pencemaran lingkungan yang bisa mengakibatkan teganggunya
kesehatan manusia. Pasaribu (2017) juga mengungkapkan bahwa kemajuan
teknologi dan internet yang merupakan hasil dari budaya manusia di samping
dampak dampak postif, juga dampak negatif terhadap perkembangan manusia dan
peradabannya. Dampak negatif ini berkaitan dengan dunia kejahatan. Hal ini
tentunya akan semakin memberikan peluang terjadinya pelanggaran HAM.

2. Pengaturan HAM di Indonesia

Jauh sebelum Indonesia merdeka para perintis bangsa dari berbagai daerah di nusantara
sudah memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia. Oleh sebab itu, wacana hak asasi
manusia bukanlah hal yang asing dalam dikursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia.

Contoh Ide ide pemikiran tersebut dapat ditemukan dalam surat-surat R.A. Kartini yang
berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S.
Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat
oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan
Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia
Belanda. Pemikiran-pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan tersebut, menjadi sumber
inspirasi di tengah konstitusi tengah diperdebatkan olek Badan Usaha-usaha Persiapan
Negara (BPUPKI). Di tahap inilah para founding fathers telah menyadari penting hakbasasi
manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945. Pada masa


itu UUD 1945 telah mengakui dan memuat beberapa prinsip Hak Asasi Manusia, baik yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, maupun dalam Batang Tubuh, yaitu Pasal 27 sampai
dengan Pasal 34.

Dalam Pembukaan UUD 1945:” Kemerdekaan adalah Hak setiap Bangsa...” Pasal 27: (1)
Hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum; (2) Hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28: Hak atas kemerdekaan berpikir, mengemukakan pendapat, berserikat dan
berkumpul (hak-hak politik).

Pasal 29: Kebebasan beragama dan beribadah

Pasal 30: Hak dan Kewajiban membela Negara


Pasal 31: Hak mendapat pengajaran

Pasal 32: Hak memiliki kebudayaan Pasal 33: Hak-hak ekonomi

Pasal 34: Hak kesejahteraan sosial bagi fakir miskin anak terlantar.

Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, terjadi perdebatan


mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar? Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu
dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad
Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang
Dasar.

Alasan Soekarno menolak dicantumkannya hak asasi manuia dalam konstitusi, karena
soekarno memandang hak asasi manusia sebagai konsep dari paham individualisme /
kapitalisme, sementara konsep Negara Pancasila bukan konsep individualisme melainkan
kekeluargaan atau konsep integralistik. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut
merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang memberi
pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya.

Sedangkan penolakan Supomo didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara


integralistik (staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak
masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh
rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam
negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan
hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat.

Sebaliknya, Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara
dalam pasal-pasal Konstitusi. Dalam hal ini Hatta setuju dengan penolakan terhadap
liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan
kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin
didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Begitu juga dengan Yamin yang menolak
dengan keras argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara
dalam Undang-Undang Dasar dengan alasan apapun dan menganggap bahwa aturan dasar
semata-mata suatu kepastian perlindungan yang harus diakui dalam UUD. Pendapat kedua
pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang
mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van
woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Dari perdebatan-
perdebatan tersebut kemudian di dalam Batang Tubuh UUD 1945 hanya dirumuskan dalam
Pasal 27, 28 s/d 34 seperti yang disebut di atas.

Kemudian dalam Konstitusi RIS yang ditetapkan tanggal 27 Desember 1949


mencantumkan hak asasi manusia lebih lengkap dengan mengambil rumusan HAM yang
tertuang dalam Universal Declaration on Human Rights yang telah ditetapkan oleh PBB
Desember 1948, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33 (27 pasal).Demikian juga dalam UUDS
1950, diatur secara khusus dalam Bagian V Pasal 7s/d Pasal 34 yang mengambil /
mengadopsi Universal Declaration on Human Rights.

Diskursus tentang hak asasi manusia di Indonesia muncul kembali untuk mengoreksi
kelemahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Dalam
diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural
rights dan menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang
melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah
berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada
konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-
kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk
kesepakatan mengenai hak asasi manusia.

Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan


dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang
kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan kembali ke UndangUndang Dasar
1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS
dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Makanya setelah
rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966, yang
melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi
manusia muncul kembali.

Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru.
MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia.
Hasilnya adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi
Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan
tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan
MPRS. Alasannya terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih
tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S)
yang bersifat “sementara”.

Dalam persidamgan umum MPRS tersebut ditetapkan Tap MPRS No. XIV/MPRS
1966, yang memerintahkan Penyusunan Piagam Hak Asasi Manusia. Sebagai tindak
lanjutnya dibentuk Panitia AD HOC dan telah menghasilkan Rancangan Piagam Hak Asasi
Manusia. Namun, setelah Pemilu 1971, MPR hasil Pemilihan Umum tidak lagi pemah
meperhatikan hasil kerja Panitia Ad Hoc MPRS, bahkan kemudian mencabut Tap MPRS
NO.XIV/MPRS/1966 melalui Tap MPR NO.IV/MPR/1973.

Atas nama Pancasila, UUD 1945 dan hukum, banyak pelanggaran/pembatasan HAM
terjadi, terutama hak-hak politik baik pada lembaga legislatif, dalam pencalonan presiden
hanya ada calon tunggal, dan pada infrastruktur politik (kemasyarakatan) dengan UU Parpol,
UU Pemilu, Susduk MPR/DPR/DPRD, UU Pokok Pers. Hal ini berlangsung sampai 1997.
Sampai akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari
kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di
Indonesia.

Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan


kabinetnya sebagai “Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan lain
selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup,
menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme,
menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan
sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah yang berkaitan dengan wacana hak asasi
manusia pada periode reformasi.

Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas


perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan
dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya. Gagasan mengenai Piagam
Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula
gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul
kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan
dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya
memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan
lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk
mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.

Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-
reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil
mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil
menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR
tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam
Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat
memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia
(dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan
pada 18 Agustus 2000.

Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga
pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga
dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa
untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang
demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Secara berurutan disajikan pembentukan peraturan
perundangundangan khusus tentang HAM adalah sbb:

a) UU NO. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan


Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
b) UU No. 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau
Merendahkan Martabat manusia. A dan b adalah ratifikasi terhadap instrument
hukum internasional.
c) Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia
d) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia tanggal 23 September 1999.
72
e) Amandemen UUD 1945 kedua Perubahan Terhadap Pasal 28 UUD 1945 dengan
menambah Bab X Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 a s/d J. pada sidang MPR
Agustus 2000.
f) UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23
Nopember 2000.

Dalam usaha Perlindungan Dan Pemajvian HAM ditegaskan dalam BAB X. Pasal 37
s/d 44.Dalam Pasal 37: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non-deroggdble).Psisal 37 ini menegaskan untuk ditiadakan pemberlakuan
hukum yang berlaku surut. Implementasi pasal ini dalam UU No. 39 Tahun 1999 ditegaskan
lagi dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 29 Universal Declaration on Human Rights yang memuat kewajiban dasar


manusia, Pasal 15 ayat (2) Konvenan Hak sipil dan Politik, Pasal 28 J UUD 1945, Pasal 36
Piagam HAM dalamTap MPR).Undang-undang, sebagai implementasi Pasal 4 Tap MPR
No.XVII/MPR/1998, oleh Presiden dan DPR ditetapkan UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, pada tanggal 23 September 1999. (Tugas mahasiswa baca dan pelajari UU
No.39/1999). Selanjutnya atas perintah Bab DC Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Pasal 104, pada tanggal 23 Nopember 2000 ditetapkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000
Tentang pengadilan HAM. (Catatan Tap MPR ini telah dicabut, dengan Tap 74 MPR No.III/
MPR/ 2000). Yang dipaparkan di atas adalah peraturan perundangundangan khusus tentang
HAM.

Sesungguhnya perlindungan hak asasi manusia dapat kita telusuri lebih jauh dalam
peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia.Misalnya:

a) Perlindungan hak sipil dapat dilihat dalam: KUHP, dan KUHAP, KUH Perdata, UU
Perkawinan, Hukum Agraria, UU Keimigrasian, UU Kewarganegaraan dan
sebaginaya.
b) Hak-hak politik: dalam UU Partai Politik; Pemilu; Susduk MPR,DPR dan DPRD; UU
Unjuk Rasa; UU Pers; UU Perburuhan dan Iain-lain.
c) Demikian juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya, dalam UU Penanaman
modal, Perlindungan hak cipta, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan Iain-lain.

Selanjutnya Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi


Manusia, adalah sebuah dokumen yang mendeklarasikan hak asasi manusia di
Indonesia, dan wajib diperhatikan ditaati dan dihormati oleh semua orang tanpa
kecuali.Undangundang ini memuat tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi,
social dan budaya yang mengadopsi isi konvenan Internasional, termasuk hak-
hak perempuan dan hak anak.

Pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dikatagorikan atas 2 macam,


yakni: apabila yang melakukan pelanggaran adalah states actor (kekuasaan), dan
memiliki dampak yang luas atau dilakukan secara sistematik maka disebut
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan diadili lewat Pengadilan Hak
Asasi Manusia berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, yang memuat sanksi-sanksi
pidana yang berat. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat atau individu tertentu terhadap individu atau kelompok masyarakat
lain (konflik horizontal), maka diadili oleh badan Pengadilan Umum.

Sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang dimuat dalam KUHP, maupun
Undang-undang yang lain yang diakui tetap berlaku sepanjang belum diatur
dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999.( lihat Ketentuan Peralihan Pasal
lOOs/d 103). Undang-undang No. 39 Tahun 1999, terdiri dari sebelas Bab, dan
106 Pasal, serta memuat sekitar 101 jenis hak- hak asasi manusia, yang harus
diperhatikan, dilindungi, dan dimajukan serta ditegakkan. Dalam paper ini akan
disajikan pokok-pokok atau asas-asas dasar tentang hak asasi manusia, yang
disusun dalam sistematika sebagai berikut:

a. Asas Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban.


b. Prinsip non diskriminasi,
c. Jenis hak dan Hak-hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi.
d. Tanggungjawab Negara.
DAFTAR PUSTAKA

 Representasi Bentuk dan Faktor..., Kurnia Lidyaningtyas, FKIP UMP,


2019
 https://cerdika.com/contoh-kasus-pelanggaran-ham-di-indonesia-dan-
dunia/#Contoh_Kasus_Pelanggaran_HAM_di_Indonesia, (diakses pada
pukul 12.20 p.m dan tanggal 7 Oktober 2020).
 https://osf.io/h5jbf/download/?format=pdf, ( diakses pada pukul 12.00
dan tanggal 7 Oktober 2020 )
 Smith, Rhona K. M., et.all. 2008. Hukum Hal Asasi Manusia.
Yogyakarta. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia
(PUSHAM UII)
 Usfunan, Yohanes. 2016. Buku Ajar Hukum Hak Asasi Manusia.
Denpasar. Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai