NPM : 1912011206
Di Indonesia sendiri masih banyak terjadi pelanggaran HAM, secara normatif dalam
Pasal 1 Angka 66 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
asasi Manusia menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang seacara hukum mengurangi , menghalangi , membatasi dan atau
mencabut hak asasi seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang undang dan
tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaiannya hukuman
yang adil dan benar berdasrakan mekanisme hukum yang berlaku. Selain itu terdapat juga
kategori pelanggaran HAM berat, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
tahun 2000 tentang pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua , yaitu kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan . Contoh kasus pelanggaran HAM yang pernah
terjadi di Indonesia , Yaitu :
a) Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, Dalam tragedi ini terjadi peristiwa penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti. Pada tahun 1998, terjadi krisis moneter yang
berakibat ke banyak sektor. Keadaan ini mengundang aksi protes mahasiswa. Pada
tanggal tersebut mahasiswa Universitas Trisakti mengadakan longmarch menuju
gedung MPR/DPR untuk kemudian melakukan demo. Namun, sebelum sampai di
gedung tersebut, aksi ini ditentang oleh polisi. Setelah kedua pihak berunding,
disepakati bahwa Polisi dan mahasiswa sama-sama mundur. Saat mahasiswa
mundur kembali ke kampus mereka, terjadi sebuah provokasi yang menyebabkan
beberapa mahasiswa terpancing. Akhirnya kerusuhan pun terjadi, polisi
melakukan penembakan sehingga empat mahasiswa tewas dan beberapa luka-
luka.
b) Pembunuhan Munir, Munir Said Thalib adalah seorang aktivis HAM. Ia telah
banyak melakukan pembelaan hukum pada orang-orang tertindas. Salah satunya
adalah menjadi pembela keluarga korban penculikan paksa yang terjadi pada
tahun 1997 dan 1998. Munir juga merupakan pengkritik pemerintah yang
berkuasa saat itu. Di tahun 2004, Munir ditemukan tewas dalam pesawat yang
menuju Amsterdam. Hasil autopsi yang dilakukan oleh tim forensik Belanda
menemukan adanya senyawa arsenik dalam jasad Munir. Hasil ini
mengindikasikan bahwa aktivis HAM ini sengaja diracun oleh pihak tertentu yang
bermaksud menyingkirkannya.
Kasus-kasus pelamggaran HAM di Indonesia terjadi bukan tanpa sebab. Ada banyak
faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Menurut Lubis dan Sodeli
(2014: 9-10), penyebab pelanggaran HAM secara umum yaitu:
a) Sikap egois dan terlalu mementingkan diri sendiri. Sikap egois akan
menyebabkan seseorang untuk selalu menuntut haknya, sementara kewajibannya
sering diabaikan. Seseorang dengan sikap seperti ini , akan menghalalkan segala
cara agar haknya dapat terpenuhi, meskipun caranya tersebut caranya tersebut
dapat melanggar hak orang lain.
Jauh sebelum Indonesia merdeka para perintis bangsa dari berbagai daerah di nusantara
sudah memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia. Oleh sebab itu, wacana hak asasi
manusia bukanlah hal yang asing dalam dikursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia.
Contoh Ide ide pemikiran tersebut dapat ditemukan dalam surat-surat R.A. Kartini yang
berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S.
Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat
oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan
Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia
Belanda. Pemikiran-pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan tersebut, menjadi sumber
inspirasi di tengah konstitusi tengah diperdebatkan olek Badan Usaha-usaha Persiapan
Negara (BPUPKI). Di tahap inilah para founding fathers telah menyadari penting hakbasasi
manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Pembukaan UUD 1945:” Kemerdekaan adalah Hak setiap Bangsa...” Pasal 27: (1)
Hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum; (2) Hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28: Hak atas kemerdekaan berpikir, mengemukakan pendapat, berserikat dan
berkumpul (hak-hak politik).
Pasal 34: Hak kesejahteraan sosial bagi fakir miskin anak terlantar.
Alasan Soekarno menolak dicantumkannya hak asasi manuia dalam konstitusi, karena
soekarno memandang hak asasi manusia sebagai konsep dari paham individualisme /
kapitalisme, sementara konsep Negara Pancasila bukan konsep individualisme melainkan
kekeluargaan atau konsep integralistik. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut
merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang memberi
pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya.
Sebaliknya, Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara
dalam pasal-pasal Konstitusi. Dalam hal ini Hatta setuju dengan penolakan terhadap
liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan
kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin
didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Begitu juga dengan Yamin yang menolak
dengan keras argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara
dalam Undang-Undang Dasar dengan alasan apapun dan menganggap bahwa aturan dasar
semata-mata suatu kepastian perlindungan yang harus diakui dalam UUD. Pendapat kedua
pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang
mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van
woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Dari perdebatan-
perdebatan tersebut kemudian di dalam Batang Tubuh UUD 1945 hanya dirumuskan dalam
Pasal 27, 28 s/d 34 seperti yang disebut di atas.
Diskursus tentang hak asasi manusia di Indonesia muncul kembali untuk mengoreksi
kelemahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Dalam
diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural
rights dan menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang
melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah
berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada
konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-
kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk
kesepakatan mengenai hak asasi manusia.
Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru.
MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia.
Hasilnya adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi
Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan
tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan
MPRS. Alasannya terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih
tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S)
yang bersifat “sementara”.
Dalam persidamgan umum MPRS tersebut ditetapkan Tap MPRS No. XIV/MPRS
1966, yang memerintahkan Penyusunan Piagam Hak Asasi Manusia. Sebagai tindak
lanjutnya dibentuk Panitia AD HOC dan telah menghasilkan Rancangan Piagam Hak Asasi
Manusia. Namun, setelah Pemilu 1971, MPR hasil Pemilihan Umum tidak lagi pemah
meperhatikan hasil kerja Panitia Ad Hoc MPRS, bahkan kemudian mencabut Tap MPRS
NO.XIV/MPRS/1966 melalui Tap MPR NO.IV/MPR/1973.
Atas nama Pancasila, UUD 1945 dan hukum, banyak pelanggaran/pembatasan HAM
terjadi, terutama hak-hak politik baik pada lembaga legislatif, dalam pencalonan presiden
hanya ada calon tunggal, dan pada infrastruktur politik (kemasyarakatan) dengan UU Parpol,
UU Pemilu, Susduk MPR/DPR/DPRD, UU Pokok Pers. Hal ini berlangsung sampai 1997.
Sampai akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari
kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di
Indonesia.
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-
reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil
mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil
menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR
tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam
Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat
memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia
(dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan
pada 18 Agustus 2000.
Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga
pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga
dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa
untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang
demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Secara berurutan disajikan pembentukan peraturan
perundangundangan khusus tentang HAM adalah sbb:
Dalam usaha Perlindungan Dan Pemajvian HAM ditegaskan dalam BAB X. Pasal 37
s/d 44.Dalam Pasal 37: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non-deroggdble).Psisal 37 ini menegaskan untuk ditiadakan pemberlakuan
hukum yang berlaku surut. Implementasi pasal ini dalam UU No. 39 Tahun 1999 ditegaskan
lagi dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Sesungguhnya perlindungan hak asasi manusia dapat kita telusuri lebih jauh dalam
peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia.Misalnya:
a) Perlindungan hak sipil dapat dilihat dalam: KUHP, dan KUHAP, KUH Perdata, UU
Perkawinan, Hukum Agraria, UU Keimigrasian, UU Kewarganegaraan dan
sebaginaya.
b) Hak-hak politik: dalam UU Partai Politik; Pemilu; Susduk MPR,DPR dan DPRD; UU
Unjuk Rasa; UU Pers; UU Perburuhan dan Iain-lain.
c) Demikian juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya, dalam UU Penanaman
modal, Perlindungan hak cipta, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan Iain-lain.
Sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang dimuat dalam KUHP, maupun
Undang-undang yang lain yang diakui tetap berlaku sepanjang belum diatur
dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999.( lihat Ketentuan Peralihan Pasal
lOOs/d 103). Undang-undang No. 39 Tahun 1999, terdiri dari sebelas Bab, dan
106 Pasal, serta memuat sekitar 101 jenis hak- hak asasi manusia, yang harus
diperhatikan, dilindungi, dan dimajukan serta ditegakkan. Dalam paper ini akan
disajikan pokok-pokok atau asas-asas dasar tentang hak asasi manusia, yang
disusun dalam sistematika sebagai berikut: