Anda di halaman 1dari 13

PAPER PENGANTAR ILMU POLITIK

“NEO MARXISME”

Dosen Pengampu:

Valencia Husni, S.AP, M.Si.

Disusun Oleh:

Gusti Bagus Nauval Adifa S (L1A021046)

Innaya Amalia Santoso (L1A021052)

Muhammad Alief Rahmadi (L1A021059)

Ni Kadek Reisha Yuliantari K (L1A021063)

Wida Suryani (L1A021072)

Willa Sulastika (L1A018127)

Zuhri Al Hadid (L1A021078)

UNIVERSITAS MATARAM

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perkembangannya kemunculan perspektif- perspektif baru tidak hanya berhenti di satu
titik saja. HI sebagai studi yang dinamis, selalu terdapat pembaharuan perspektif baru untuk memahami
fenoma- fenomena yang semakin kompleks. Dapat dilihat dari perspektif sebelumnya yaitu liberalisme
dan realisme yang mengalami perombakan menjadi neo-liberalisme dan neo-realisme. Seorang filsuf
Jerman, Karl Marx sebagai pencetus dari Marxisme mengkritisi tentang perekonomian kapitalis yang
cenderung eksploitatif yang menyebabkan timbulnya perbedaan kelas antara kelas pemilik modal atau
kaum borjouis dan kelas yang tidak memiliki modal atau kaum proletar. Marxisme memiliki pandangan
bahwa manusia memiliki hakikat dasar materialis, hanya memikirkan kebutuhannya sendiri. Menurut
penganut paham Marxisme, perekonomian sebagai zero sum adalah tempat eksploitasi manusia dan
perbedaan kelas dimana para kapitalis ‘memanfaatkan’ para pekerja demi meraih keuntungan maksimal
bagi kaum mereka sendiri (Jackson & Sørensen, 1999).

Seiring berjalannya waktu, perspektif marxisme dikembangkan oleh kaum strukturalisme


menjadi neo-marxisme, sehingga neo-marxisme dapat disebut juga sebagai strukturalisme (Jackson &
Sorensen, 1999). Neo-marxisme ini lahir sebagai bentuk kritis terhadap permasalahan sosial ekonomi
yang radikal berdasarkan teori marxisme pasca perang. Pandangan kaum struktualisme dengan keadaan
sistem internasional yaitu melihat kapasitas global sebagai suatu sistem yang menunjukkan mulai
munculnya berbagai hubungan diantara para elit dengan saling berbagi kepentingan dasar. (Steans &
Pettiford. 2009). Berbeda dengan kaum marxisme yang hanya kaum neo-marxis sendiri menekankan
bahwa aktor yang berperan adalah negara kelas-kelas sosial transnasional. (Steans &Pettiford.2009;
152) Perspektif neo-marxisme lebih fokus pada permasalahan kesenjangan sosial dan penerapan
kerjasama antara kaum borjouis dan kaum proletar. Asumsi dasar neo-marxisme tidak jauh berbeda
dari perspektif marxisme, bedanya yakni kaum neo-marxisme lebih menekankan penghapusan kelas-
kelas yang terdapat pada negara agar lebih terstuktur. Agenda utamanya yakni memberikan stabilitas
ekonomi bagi negara-negara karena perkembangan ekonomi cenderung dinamis atau selalu berubah,
tidak statis (Linklater, 2001). Negara sebagai aktor mengambil peran pengendali sistem kapitalisme
sehingga tidak ada lagi diskiriminasi pembeda kelas antara kelas borjouis dan proletar. Jika marxisme
menganggap kaum borjouis dan kaum proletar sebagai aktor dalam hubungan internasional,
maka kaum neomarxisme lebih menekankan pada negara kelas-kelas sosial transnasional yang
beroperasi di batas wilayah dan menganggap negara bukan aktor yang dominan (Steans, et al, 2005).

Wallerstein, Warren dan Rosenberg adalah tokoh-tokoh yang berperan penting dalam teori neo-
marxisme. (Hobden dan Jones, 2001). Pandangan kaum neo-marxisme bahwa sistem internasional
dapat dijelaskan melalui dua teori, yakni World Systems Theory dan Dependency Theory (Steans, et
al., 2010). Immanuel Wallerstein sebagai pelopor dari perspektif neo-marxisme atau strukturalisme ini
membuat teori tentang sistem dunia (world system theory) yang terbagi dari dua teori yaitu world
empire dan world
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Neomarxis

Dikarenakan para kaum penganut pendekatan perilaku sedang menyibukkan diri mereka dengan
menangkis serangan-serangan dari para sarjana pasca-perilaku, kemudian timbullah suatu kritikan dari
pihaklain, yang berasal dari para kaum marxis. Para penganut paham marxisme ini kerap kali diberi
julukan atau nama sebagai Neo-Marxis yang bertujuan untuk bisa membedakan mereka dari orang
marxis klasik yang cenderung lebih dekat dengan komunisme, bukanlah suatu kelompok yang memiliki
organisasi yang ketat ataupun pokok pemikiran yang dimiliki sama. Atau bisa dikatakan secara lebih
tepat bahwa mereka merupakan cendikiawan-cendikiawan yang mendapatkan inspirasi dari tulisan-
tulisan Marx, khususnya mengenai tulisan-tulisan yang dibuatnya semasa muda. Tulisan para sarjana
Hongaria, Georg Lukacs, lebih utamanya karyanya yang berjudul History and Class Consciousness
meupakan asal muasal dari orientasi ini. Secara umum para kaum Neo-Marxis merupakan cendikiawan
yang terlahir dari para kaum borjuis dan seperti standarisasi umumnya dari para cendikiawan, mereka
merasa enggan untuk bergabung ke dalam organisasi besar seperti partai politik sebagai contohnya,
atau pun menjejakkan kakinya dalam kegiatan politik praktis. Para kaum Neo-Marxis ini pada satu sisi
menentang komunisme dari Uni Soviet dikarenakan sifatnya yang dianggap repesif, tetapi di sisi lain
mereka tidak menyetujui pula mengenai banyak aspek dalam dari masyarakat kapitalis di mana mereka
berada. Tak sampai di situ saja mereka kecewa pula dengan kaum Sosial-Demokrat. Walaupun para
kaum Sosial-Demokrat telah berhasil menciptakan konsep negara kesejahteraan (welfare state) pada
beberapa negara di Eropa Barat dan juga Eropa Utara serta menciptakan keadilan sosial yang semakin
meningkat pada warga negaranya, tetapi sayangnya di saat yang bersamaan mereka juga dianggap
belum berhasil untuk menghilangkan kesenjangan sosial lainnya. Dan juga mereka sudah dianggap
gagal dalam mempertahankan nilai-nilai demokratis.

Di masa awal dasawarsa sekitar tahun 1960an, berlokasi di Eropa Barat sudah muncul
pemerhatian baru terhadap tulisan Marx. Pada masa seelumnya tidak memungkinkan untuk mereka
mengkaji tulisan-tulisan Marx tersebut. Selama hampir 30 tahun masa berkuasanya Stalin, penafisran
Lenin mengenai pemikiran Marx oleh Stalin diberi nama Marxisme-Leninisme atau komunisme.1 Suatu
tatanan baru berhasil diciptakan yaitu tatanan sosial dan ekonomi baru di Uni Soviet sehingga
menjadikan doktrin ini menjadi dominan. Dominasi ini pun mendapatkan pengakuan sebagai fakta oleh

1
Ralph Millband, Marxism and Politics (Oxford: Oxford University Press, 1978), hlm. 3.
masyarakat barat yang memberikan nama pada dirinya sebagai Marxis. Di lain sisi para kaum Neo-
Marxis pada umumnya tidak mempermasalahkan mengenai apakah tulisan hasil tafsiran Lenin dan
Stalin adalah satu-satunya tafsiran yang layak, atau mungkin juga terdapat interpretasilain. Tetapi
komunisme secara umum ditolak oleh mayoritas orang barat, terlebih lagi setelah Stalin meluncurkan
aksi terornya kepada lawan-lawannya di Uni Soviet pada akhir tahun 1930an. Setelah Perang Dunia II,
sikap anti-Komunis dan anti-Soviet yang kuat meletus di Amerika Serikat, yang kemudian berubah
menjadi apa yang disebut Perang Dingin. Dengan disahkannya Internal Security Act tahun 1950, juga
dikenal sebagai McCarren Act, dan tindakan Senator Joseph McCarthy, setiap sudut pandang yang
berbeda dari arus utama dicurigai sebagai subversif (McCarthyisme). Banyak tokoh masyarakat dan
akademisi terpaksa mengundurkan diri, dikucilkan dari masyarakat, atau dipenjara. Namun, pada 1960-
an, perselisihan sosial, ekonomi, dan ras yang beragam meletus di Eropa Barat dan Amerika,
menyebabkan gejolak yang signifikan. Akibatnya, banyak akademisi mencari jalan keluar. Mereka
menentang kapitalisme karena kesenjangan sosial dan ekonominya, tetapi mereka juga menentang
komunisme karena penindasan dan kepatuhannya. Mereka beralih ke tulisan-tulisan Marx dalam
keadaan frustrasi ini, terkhususnya pada tulisan masa mudanya yang berjudul Fruehschriften, yang
ditemukan dan sekaligus diterbitkan pada tahun 1932.

Kebangkitan minat terhadap tulisan-tulisan Marx bertepatan dengan sejumlah peristiwa yang
terjadi di seluruh dunia. Pertama, dengan kematian Stalin pada tahun 1953, terjadi perubahan mendasar
di dunia komunis internasional. Seruan tersebut dikeluarkan untuk pertama kalinya pada Kongres ke-20
Partai Komunis Uni Soviet pada tahun 1956. Stalin dihukum oleh Nikita Khrushchev (1894-1971),
Destalinisasi Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur lainnya, yang menyebabkan kerusuhan di
seluruh kubu komunis, melanjutkan episode ini. Kedua, China (Republik Rakyat China) telah muncul
sebagai saingan dominasi komunis dunia Uni Soviet, upaya destalinisasi yang sedang gencar
diorganisir oleh kelompok Khrushchev ditolak begitu saja oleh Mao Zedong. Perpecahan ini, yang
muncul pada awal 1960-an, mendorong Mao Zedong untuk lebih menciptakan karakter Cina dalam
ideologi Komunisme dan menjauhkan diri dari apa yang disebut Neo-Revisionisme, Ketige, proses
dekolonisasi di wilayah lain dunia oleh Khrushchev. Dunia Ketiga adalah nama yang diberikan kepada
negara-negara yang baru merdeka setelahnya. Keempat, muncul beberapa gerakan sosial, antara lain
gerakan perempuan, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, dan gerakan antirasisme. Pergolakan ini
paling terlihat di Prancis di Eropa Barat. Ribuan siswa dan hampir sepuluh juta pekerja (baik pekerja
dan karyawan) melakukan pemogokan umum terbesar dalam sejarah Prancis pada bulan Mei dan Juni
1968. Pekerja, yang tidak bergerak pada tahun-tahun menjelang Perang Dunia II karena mereka ditekan
oleh organisasi fasis di masa jayanya, dan karena polarisasi dalam Perang Dingin yang mengikuti
Perang Dunia II, muncul kembali di panggung politik untuk pertama kalinya. Pemerintah Prancis yang
dipimpin oleh Presiden De Gaulle (1890-1970), akhirnya membubarkan aksi pemogokan tersebut,
menandakan berakhirnya gerakan baru tersebut. Namun, kegagalan ini mendorong sejumlah aktivis
untuk memikirkan kembali motivasi mereka dan menyelidiki penyebab kegagalan mereka. Pada 1970-
an, beberapa juru kampanye ini mendapat kesempatan untuk mengajar di universitas dan
memanfaatkannya. Ini adalah eksplorasi dan pengembangan pemikiran Marx yang lebih bernuansa.

Dengan klimaks perang Vietnam pada awal 1960-an, muncul perkembangan yang lebih rumit di
Amerika, dengan pembentukan berbagai kelompok sosial seperti gerakan diskriminasi anti-rasial
(terutama terhadap orang kulit hitam, India, dan orang-orang keturunan Meksiko), dan gerakan
pembebasan perempuan. (Libi perempuan, serta gerakan mahasiswa.) Ketika anak muda Amerika
dipaksa untuk bertugas di militer selama Perang Vietnam, masalah perang menjadi sumber kecemasan
utama. Mereka yang terpilih melalui undian harus mengabdi di Vietnam kecuali mereka melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi. Berbagai kampus merasakan pergolakan, karena tindakan menduduki
kampus (duduk-duduk), seringkali dengan kekerasan, mengakibatkan beberapa terobosan bagi
mahasiswa. Inisiatif ini dipimpin oleh aktivis mahasiswa yang kurang lebih terorganisir dan berafiliasi
dengan Kiri Baru, seperti SDS (Students for a Democratic Society) dan lain-lain. Setelah Perang
Vietnam berakhir pada tahun 1975, kampus menjadi damai kembali pada tahun 1970-an, dan Marxisme
menjadi bagian dari kurikulum perguruan tinggi. Karena banyak peneliti kecewa dengan realitas sosial,
ekonomi, dan ras di sekitar mereka, perhatian tidak terbatas pada universitas tetapi juga melampauinya.
Mereka secara khusus tertarik pada dua aspek filsafat Marx2. Pertama, prognosis kematian kapitalisme
yang tak terhindarkan. Kedua, etika humanis, yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya layak
dan bahwa, dalam situasi yang tepat, mereka mungkin bebas dari institusi yang memaksa,
merendahkan, dan menipu. Salah satu kelemahan intrinsik Neo-Marxis adalah bahwa mereka
mempelajari Marx dalam lingkungan yang berubah. Pada tahun 1883 dan 1895, masing-masing, Mark
dan Engels meninggal. Kedua orang ini tidak menyadari bagaimana Lenin mengembangkan ide-ide
mereka dan memberi mereka perspektif yang unik. Stalin membakukan interpretasi ini, yang kemudian
dikenal sebagai Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Mereka juga tidak melihat, dan karenanya
tidak mampu menanggapi, munculnya fasisme dan teror yang diatur oleh Stalin atas nama Komunisme.
Selain itu, karya-karya Marx dan Engels kadang-kadang ditulis di bawah tekanan, dan karenanya tidak

2
Alfred G. Meyer, ‘Marxism” dalam international Encyclopedia of the Social Sciences (New York: Macmillan Co., 1968)
Vol-X hlm. 45.
terorganisir secara sistematis, dan seringkali tidak lengkap dan terpisah-pisah. Akibatnya, banyak isu
yang dianggap paling penting oleh Neo-Marxis hanya dibahas secara singkat atau tidak sama sekali.

Fokus analisis Neo-Marxis adalah pada ketegangan kekuasaan dan internal negara. Mereka
mengkritik pendekatan struktural-fungsional behavioris karena terlalu menekankan pada harmoni dan
keseimbangan sosial dalam sistem politik. Konflik dalam masyarakat dapat ditangani melalui akal,
itikad baik, dan kompromi, menurut pendekatan struktural-fungsional, yang secara substansial berbeda
dari titik tolak pemikiran Neo-Marxis. Konflik kelas, menurut Neo-Marxis, adalah proses dialektika
yang paling esensial dalam mendukung kemajuan masyarakat, dan semua kejadian politik harus dilihat
dalam kerangka konflik antar kelas ini. Ini tidak berarti bahwa masalah sosial lainnya, seperti
perselisihan etnis, agama, atau ras, diabaikan oleh Neo-Marxis ini. Namun, konflik-konflik ini, menurut
mereka, berasal dari atau sangat terkait dengan perselisihan kelas, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Mereka melihat sejarah didorong oleh pertarungan antara dua kelas sosial, yang sebelumnya
didefinisikan oleh kaum Marxis tradisional sebagai konflik antara mereka yang memiliki dan mereka
yang tidak memiliki alat produksi. Menyadari bahwa gagasan sebelumnya tentang dua kelas
bertentangan dan tidak dapat didukung di masa sekarang karena tidak sesuai dengan kenyataan, Neo-
Marxis mengusulkan formulasi yang lebih fleksibel dan komprehensif, menyatakan kehadiran dua
agregat yang kurang lebih kohesif. Orang lain yang memiliki banyak fasilitas (yang istimewa) dan yang
tidak memiliki (yang kurang mampu) (yang kurang beruntung). Kelompok pertama adalah yang paling
kuat, dan negara menggunakan seluruh kekuatannya untuk membela kepentingan kelompok dominan
untuk mempertahankan dan memperkuat dominasinya. Kelas dominan (dalam arti luas) memiliki latar
belakang sosial dan pendidikan yang sama, serta tujuan politik dan ekonomi. Hanya restrukturisasi
komprehensif atas keadaan yang memunculkannya, yang berarti tatanan sosial-politik saat ini, yang
dapat menghilangkan dominasi mereka. Kaum Neo-Marxis melakukan perjuangan untuk suatu
perkembangan yang revolusioner dalam rangka untuk menghapuskan ketidakadilan serta menciptakan
struktur masyarakat yang bagi mereka memenuhi kepentingan semua masyarakat dan tidak hanya
kepentingan kaum borjuis. Kelas penguasa, di sisi lain, dapat menggunakan paksaan, konsesi, atau
persuasi untuk mencegah kelas lain menantang supremasinya. Akibatnya, mereka percaya bahwa
konflik mungkin tidak tampak seperti pertengkaran sama sekali. Namun, apa yang tampak sebagai
harmoni sebenarnya adalah harmoni yang menipu dan palsu. Mereka menuntut desentralisasi
kekuasaan dan partisipasi dalam politik oleh semua komunitas dalam ranah politik yang sebenarnya. Ini
adalah perspektif keseluruhan kelompok Neo-Marxis tentang isu-isu sosial, politik, dan ekonomi.
Berbagai aliran pemikiran telah ada di Eropa Barat dan Amerika, yang paling menonjol adalah
Frankfurter Schule (Frankfurt School), yang mencakup tokoh-tokoh seperti Marx Horkheimer (1895-
1973), Theodor Adorno (1903-1969), dan Herbert Marcuse. (1898-1979). Buku Herbert Marcuse One
Dimensional Man (1964), yang menjadi cukup populer pada saat itu, lahir. Jürgen Habermas adalah
anggota generasi kedua sekolah ini (1929-). Sekolah ini dibentuk di Jerman pada tahun 1923, namun
kegiatannya dipindahkan ke New York pada masa pemerintahan Hitler (1936). Beberapa dari mereka
kembali ke Jerman setelah perang. Mereka menciptakan Teori Kritis, sebuah teori yang menekankan
pada “kesadaran” (conciousness), komponen subjektif dan psikologis, khususnya psikoanalisis.Ada
juga Marxisme Eksistensialis, yang sebagian besar muncul di Prancis sepanjang tahun 1960-an.
Tokohnya yang paling terkenal adalah filsuf Jean Paul Sartre (1905-1980). Marxisme strukturalis juga
lahir di Prancis pada pertengahan 1960-an. Louis Althusser, seorang pemikir Prancis, adalah salah satu
cendekiawan yang layak disebut (1918-1990). "

Sarjana lainnya yang pantas untuk disebut adalah Ralph Miliband, Steven Lukacs, Nicolas
Poulantzas, dan sarjana Ameika, J. O’Connor. Mereka sangat bergantung pada studi interdisipliner
yang meliputi sosiologi, filsafat, ekonomi, dan sejarah, dan mereka sebagian besar menolak warisan
intelektual Eropa. Perlu dicatat bahwa mereka jarang memeriksa struktur politik dan ekonomi Uni
Soviet, memberikan kesan bahwa mereka mendukungnya. Satu atau dua dari mereka yang mencoba
mengevaluasi sistem politik dan ekonomi Uni Soviet dengan menggunakan teknik Neo-Marxis sampai
pada kesimpulan bahwa sistem ekonomi Uni Soviet pada dasarnya adalah kapitalisme negara. Ilmuwan
politik arus utama berpendapat bahwa Neo-Marxis lebih cenderung mengkritik ide-ide ilmiah "borjuis"
daripada mengembangkan atau membangun teori baru mereka yang solid. Banyak arus yang sangat
penting untuk memahami realitas politik tapi tidak terlihat dari luar (the unseen) sering dibahas oleh
para sarjana radikal3. Dalam prakteknya, bagaimanapun, mereka telah melakukan penelitian sangat
sedikit empiris pada yang tak terlihat. Kritik lainnya yang diangkat oleh Neo Marxis adalah produksi
teori sosial dari dalam institusi, terutama dari staf pengajar senior yang direkrut selama ekspansi
universitas pada tahun 1960. Akibatnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa Marxisme modern
memiliki jejak sosiologi borjuis, khususnya di bidang menulis4.Max Weber adalah seorang filsuf
Jerman. Mulai tahun 1970-an, departemen ilmu politik di Amerika Serikat dan Eropa Barat mulai
memasukkan pemikiran Neo-Marxis dalam kurikulum mereka. Terlepas dari kenyataan bahwa filsafat

3
Charles E. Lindblom, “Another State of Mind”, American Political Science Review (Maret 1981), hlm. 16.
4
Frank Parkin, Marxism and Class Theory: A Borgeouis Critique (New York: Columbia University Press, 1972) hlm. 9.
Neo-Marxis tidak dimasukkan ke dalam pola pikir yang diakui secara umum atau ilmu politik arus
utama, ia meningkatkan kepekaan terhadap hal-hal yang ada di bawah permukaan, hal-hal yang sulit
untuk dipahami dan diukur. Lanskap politik telah berubah secara dramatis pada awal 1990-an. Di
negara-negara Eropa Timur, komunisme gagal mewujudkan surga di bumi yang telah lama
dijanjikannya. Tahun 1970, yang telah diramalkan Khrushchev sebagai tahun ketika Uni Soviet akan
menyusul Amerika Serikat dalam hal ekonomi, telah datang dan pergi. Sebaliknya, ekonomi Uni Soviet
runtuh pada tahun 1989, mengakibatkan pembagian negara menjadi banyak republik. Penurunan gengsi
komunisme memiliki dampak merugikan yang jelas pada ide-ide Marx, baik klasik maupun Neo-
Marxis. Semua argumen yang sebelumnya dianggap sebagai alternatif yang layak mulai dipertanyakan.

B. Pendekatan Neomarxis

Neo-Marxis adalah teori pendekatan politik yang memiliki fokus analisis pada kekuasaan dan
konflik yang terjadi dalam suatu negara. Kelompok Neo-Marxis berpendapat bahwa konflik antarkelas
yang terjadi adalah sebuah proses dialektis terpenting dalam mendorong perkembangan masyarakat dan
setiap gelaja politik yang terjadi harus diperhatikan dalam konflik antarkelas tersebut. Walaupun
begitu, hal tersebut tidak mengartikan bahwa Neo-Marxis mengabaikan konflik-konflik lainnya, seperti
perbedaan ras, etnis, dan agama. Akan tetapi, Neo-Marxis tetap berpendapat bahwa konflik-konflik
lainnya yang terjadi ditengah masyarakat masih berkaitan erat dengan konflik antarkelas secara
langsung maupun tidak langsung.

Pendekatan Neo-Marxis sangat mendukung adanya revolusi global, karena dengan cara itu
pembagian kelas-kelas dalam dunia internasional bisa terhapuskan dan perdamaian serta stabilitas akan
terjaga di tengah masyarakat. Usaha yang dilakukan dalam pemerataan tersebut salah satunya dengan
mengubah sistem menjadi sistem sosio-ekonomi yang tidak eksploitatif guna meminilaisir motivasi
untuk memulai perang antarnegara.

Pendekatan Neo-Marxis muncul di Amerika Serikat setelah Perang Dunia ke II berakhir dan
dimulainya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tepatnya pada 1960-an Amerika
Serikat harus menghadapi berbagai macam masalah, diantaranya konflik sosial, ekonomi, dan rasial
yang tidak kunjung berakhir. Oleh karena itu para kaum borjuis yang terdiri dari para cendikiawan
berusaha mencari jalan keluar dengan melahirkan sudut pandang baru, yakni Neo-Marxis. Pada intinya,
Neo-Marxis adalah sebuah aliran pemikiran yang menolak komunisme dari Uni Soviet yang bersifat
mengekang, tetapi juga tidak menyetujui beberapa aspek dari kapitalisme.5
5
http://tamara-shidazhari-fisip16.web.unair.ac.id/artikel_detail-175932-Teori%20Hubungan%20Internasional:%20Jurnal-
NeoMarxisme:%20Penghapusan%20Kelas%20Masyarakat.html diakses pada tanggal 27 November 2021 pukul 04.02
C. Asumsi Dasar Neo-Marxisme

Awal mula dari perspektif neo-marxisme berangkat dari perspektif marxisme yang di
kemukakan oleh Karl Max dan Wallerstein, dalam pemahaman marxisme dalam hubungan
internasional yang di usungkan oleh Walleerstain, dimana dalampandangannya interaksi antara
masyarakat dunia dibatasi dengan adanya kasta atau pengkelasan (borjuis dan proleter), hingga pada
akhirnya kondisi inilah yang menimbulkan negara-negara core dan periphery. Dalma pandangannya
Wallerstein memandang sinis terhadap negara inti (core), dimana kaum borjuis yang secara terus
menerus mengekspoloitasi negara pinggiran (periphery) serta memperbudak para kaum proleter. 6 Akan
tetapi dalam hal ini neo-marxisme justru memberikan kritik terhadap paradigm tersebut, dimana
marxisme justru dianggap hanya memberikan pandangan yang buruk terhadap kaum kapitalis, sehingga
oleh karena itulah, neo-merxisme ingin mengembalikan pemahaman tentang marxsime kepada
pandangan awal. Marxisme menjadi ibu dari lahirnya komunisme. Konsep komunisme yang ada pada
masa Uni Soviet dan menjadi paham komunisme internasional dikembangkan kembali oleh Vladimir
Lenin. Lenin mengembangkan kembali pemahaman komunisme yang ada dan selanjutnya
mencampurkan konsep komunisme dengan partai-partai yang mendukung kesejahteraan proletariat
yang didominasi borjuasi. Partai ini akan mengambil alih pasar dan produktivitas yang didominasi
borjuasi dan mendistribusikan kekuatan ini kepada mereka yang seharusnya terlibat dalam produksi
negara.

Pada dasarnya asumsi dasar yang di anut oleh neo-marxisme ini ialah tidak jauh berbeda dengan
asumsi marxis yakni, 1) Marxisme perpandangan optimis terhadap gambaran tentang manusia, 2)
Dalam hubungan internasional, proses penatuan human race dalam suatu dinamika kapitalisme di
anggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional, 3) berbeda dengan
pandangan kaum realis dan liberal tentang konflik dan kerjasama, marxisme justru lebih berfokus
kepada aspek ekonomi dan materi, dimana ekonomi kini dinilai lebih penting jika dibandingkan dengan
persoalan-persoalan yang lain sehingga oleh sebab itulah dapat difokuskan kepada upaya dalam
peningkatan kelas. Tentu saja asumsi yang di anut oleh neo-marxisme ini tidaklah jauh berbeda karena
merupakan turunan dari teori marxisme dan teori neo-marxisme hadir sebagai penyempurna teori
sebelumnya akan tetapi, jika dibandingkan dengan marxisme, dimana asumsi neo-marxisme ini lebih
bersifat structural. Yang diasumsikan oleh neo-marxisme adalah sistem internasional yang terbagi
berdasarkan oleh kelas. Asumsi dasar dari neo-marxisme sendiri tidak jauh dengan marxisme,

6
Jackson, Robert & Sorensen, Georg..”Pengantar Studi Hubungan Internasional” (2009:.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar), P. 294
mengingat aliran ini berusaha untuk mengembalikan marxisme seperti apa yang dicita-citakan oleh
Karl Marx. Perbedaan yang signifikan terletak pada objek kajiannya, dimana marxisme berkonsentrasi
terhadap kelas yang ada dimasyarakat, sedangkan neo-marxisme lebih focus terhadap pembagian
system internasional berdasarkan kelas kelas yang menghasilkan
negara  Core,Semipheriphery, dan pheripery

Dalam hal ini neo-marxisme memandang kelas yakni sebagai actor utama dalam hubungan
internasional serta keadilan atau kesetaraan internasional sebagai landasan terpenting. Adapun
perbedaan yang paling mendasar antara kedua teori ini ialah kemampuannya yang bersifat lebih
konseptual dan metedeologis dalam menggunakan teori-teori yang sebelumnya telah di susun oleh
Marx. Seperti yang diketahui bahwa neo-marxisme ini ialah hasil dari teori marxisme. Sehingga actor
dan agenda utama dari teori neo-marxisme ini tidaklah jauh beda dengan teori marxisme. 7 Upaya dalam
pencapaian perdamaian dan stabilitas keamanan internasional juga hampir sama. perncapaian keamnan
menurut teori neo-marxisme ialah dengan cara melakukan kerjasama antar kelas-kelas social yang ada

. Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya marxisme lahir dari sebuah pemikiran dari tokoh
terkenal yaitu Karl Marx, dan neo-marxisme adalah paham yang ada dan berasal dari perkemabangan
marxisme. Walaupun neo-marxisme hadir dari hasil Kembangan dari marxisme, kedua perspektif itu
memiliki perbedaan yang mendasar tentang system kajiannya. Namun mereka juga memiliki
persamaanya itu tentang eksploitasi dalam hal perekonomian. Secara pribadi, penulis mensetujui
adanya upaya penghapusan kelas-kelas yang diusung oleh teori marxisme dan neo-marxisme. Sehingga
pengeksploitasian dari negara-negara kapitalis bisa diminimalisir. Tetapi seandainya kelas-kelas yang
ada dalam masyarakat tidak dapat dihilangkan, setidaknya bisa saling bekerjasama demi terwujudnya
suatu perdamaian dan stabilitas keamanan internasonal. Karena jika terdapat salah satu pihak saja yang
mendominasi, maka akan berpengaruh terhadap system berpolitikan internasional.

D. Tokoh-tokoh Neomarxisme

Neomarxisme adalah teori lanjutin dari marxisme yang lahir setelah Perang Dunia ke-2. Tokoh-
tokoh dalam neomarxisme menciptakan World Theory System. Teori tersebut ingin mengkritisi adanya
ketergantungan antar negara terhadapa negara-negara maju.

1. Paul Baran

7
Burchill, Scott & Andrew Linklater.”Teori-Teori Hubungan Internasional” (2009:Bandung:Nusa Media). P 34
Paul Baran adalah seorang pemikir Marxis yang menolak pandangan Marx tentang perkembangan
negara-negara Dunia Ketiga. Marx menyatakan, Kontak antara negara-negara kapitalis maju di Eropa
dengan negara-negara pra-kapitalis posterior selain Eropa akan membangunkan negara-negara pra-
kapitalis dan mengembangkannya seperti negara-negara kapitalis Eropa. Baran tidak setuju dan
menyatakan, Kontak ini sebenarnya akan menyebabkan negara-negara pra-kapitalis menghambat
kemajuan mereka dan tetap mundur. Dalam pendapat yang berbeda dari Marx, Baran berkata:
Perkembangan kapitalisme di negara-negara tetangga berbeda dengan perkembangan kapitalisme di
negara-negara pusat. Di negara-negara di sekitar sistem kapitalis, penyakit kretinisme tampaknya
menjangkiti dirinya sendiri. Orang dengan penyakit ini tetap kerdil dan tidak bisa tumbuh tinggi.
Menurut Baran, kapitalisme sentral dapat berkembang berdasarkan tiga kondisi:

 Meningkatnya produksi diikuti dengan tercabutnya masyarakat petani di pedesaan.


 Meningkatnya produksi komoditi dan terjadinya pembagian kerja mengakibatkan sebagian
orang menjadi buruh yang menjual tenaga kerjanya sehingga sulit menjadi kaya, dan sebagian
lagi menjadi majikan yang bisa mengumpulkan harta.
 harta terkumpul di tangan para pedagang dan tuan tanah.

Teori ketergantungan atau biasa disebut dengan teori Depedensi (Dependenc Theory) adalah salah satu
teori yang melihat permasalahann pembangunan dari sudut pandang Baran, Negara dunia ketiga tidak
bisa selalu bergantung pada negara maaju sebabb hal ini menyebabkan negara dunia ketiga menjadi
terpuruk. Kondustri local negara duia keetiga menjadi terpuruk dikarenakan modal asing yang masuk
tidak bisa meningkatkan akumulasi modal bagi negara dunia ketiga tetapi membuat kemerosotan yang
terjadi.8

Arah pandang: kiri dalam liiberalisme pasar. (2021, November 28). Retrieved from metrum website:
https://metrum.co.id/arah-pandang-kiri-dalam-liberalisme-pasar/#:~:text=Paul%20Baran%20adalah%20seorang%20pemikir
%20Marxis%20yang%20menolak,pandangan%20Marx%20tentang%20pembangunan%20di%20negara-negara%20Dunia
%20Ketiga.

Anda mungkin juga menyukai