Anda di halaman 1dari 9

TUGAS QUIZ MATA KULIAH DASAR - DASAR SAINS

Disusun oleh:
Nicole De Bell 21032158

Dosen Pengampu :
Dr. H. Syamsurizal, M. Biomed

Progam Studi Biologi


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Padang
2021
DAFTAR ISI
URAIAN MATERI ............................................................................................................................... 3
A. Etika dari Segi Bahasa dan dari Segi Filsafat ........................................................................ 3
B. Etika Keilmuan yang harus Dimiliki Seorang Saintis ........................................................... 3
C. Pentingnya Etika Keilmuan Bagi Seorang Saintis ................................................................. 4
D. Sikap Keilmuan yang harus Dimiliki Seorang Saintis........................................................... 5
E. Etika Keilmuan dalam Ke-Indonesiaan .................................................................................. 5
KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 8

2
URAIAN MATERI
A. Etika dari Segi Bahasa dan dari Segi Filsafat
- Etika dari Segi Bahasa
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kunoethos. Kata ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; pada rumput, kandang;
kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta
etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang
bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (284-322
SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, kita membatasi diri pada
asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan
- Etika dari Segi Filsafat
Dalam posisinya sebagai filsafat moral, etika memiliki kedudukan sebagai ilmu,
bukan sebagai ajaran. Etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama.
Ajaran moral mengajarkanbagaimana kita hidup, sedangkan etika ingin mengetahui
mengapa kita mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita mengambil sikap
yang bertanggungjawab ketika berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Etika
sebagai filsafatmempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan masalah kesusilaan. Etika pada kajian filsafat ini sangat menarik
perhatian para filosof dalam menanggapi makna etika secara lebih serius dan
mendalam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles. Aristoteles dalam
bukunya Etika Nikomacheia,menjelaskan tentang pembahasan etika kedalam dua hal
penting,yaitu pertama,etika sebagai terminus techius. Pengertian etika dalam hal ini
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
Kedua,etika dimaknai sebagai manner dan custom,dimana etika dipahami sebagai
sesuatu yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam
kodrat manusia ( Inherent in human nature) yang terikat dengan pengertian “ baik dan
buruk ” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia
B. Etika Keilmuan yang harus Dimiliki Seorang Saintis
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain adalah pertama tidak ada
rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenanganpribadi;
kedua, bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang
beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masingmasing, atau,
cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan
akurasinya; ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap
alatalat indera serta budi (mind), keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu
kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori
yang terdahulu telah mencapai kepastian, kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang
ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada
dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya, dan

3
akhirnya keenam, seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan
manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
Sikap ilmiah pada dasarnya adalah sikap yang diperlihatkan oleh ilmuan saat mereka
melakukan berbagai kegiatan ilmiah terkait dengan profesinya sebagai seoarang ilmuwan.
Dengan perkataan lain, sikap ilmiah merupakan kecenderungan individu untuk bertindak atau
berperilaku dalam memecahkan masalah sistematis melalui langkah-langkah. Karena itu,
seorang peneliti harus mampu mengembangkan beberapa sikap ilmiah Dimensi sikap dalam
sains dapat dipandang sebagai sikap-sikap yang melandasi proses IPA yang dikenal dengan
sikap ilmiah (scientific attitudes), antara lain sikap : ingin tahu, jujur, obyektif, kritis, terbuka,
disiplin, teliti. dan sebagainya. Dimensi produk dapat diartikan sebagai kumpulan
informasi/fakta yang dihasilkan dari proses-proses ilmiah yang dilandasi dengan sikap-sikap
ilmiah. Melalui proses ilmiah yang dilalui lah sikap ilmiah para saintist itu terbentuk. Artinya
langkah langkah metode ilmiah dalam memproses sains dilaksanakan dengan sikap ilmiah,
dan regulasi ini akan menjadi suatu budaya saintist sehingga sikap ilmiah yang tetanam
dalam dirinya semakin kokoh dan berakar.
C. Pentingnya Etika Keilmuan Bagi Seorang Saintis
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan.
Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral,
yaitu prinsip yang baik dan menghindarkan dari anasir buruk ke dalam prilaku keilmuannya,
sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya.
Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah, yang mendasari pemberian penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan yang seharusnya dikerjakan, dan yang seharusnya terjadi serta
menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Pokok persoalan dalam
etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani,
kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan normayang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati
nurani merupakan penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan
perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral.
Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia
akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya.
Paling utama dalam nilai moral berkaitan dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral
menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang
ilmuan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah
menjadi ilmuan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuan, apakah berupa
teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut
sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan
masyarakat akan mengujinya. Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan
teknologi yang ada dalam masyarakat, menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua
teknologi atau ilmu pengetahuan selalu mambawa hal positif.

4
Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuan, bukan lagi memberi informasi namun
harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima
pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui
kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah
ilmiah. Di tengah situasi ”nilai” mengalami krisis dan keguncangan, seorang ilmuan harus
tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun,
seorang ilmuan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang
baik.
D. Sikap Keilmuan yang harus Dimiliki Seorang Saintis
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini disebabkan oleh karena sikap
lmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang
bersifat obyektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan
dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari
prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan
keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungawabkan kepada Tuhan.
Artinya selaras dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996)
sedikitnya ada enam , yaitu :
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih atau
kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang
beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing,
atau , cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan
akurasinya.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alatalat
indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa
pasti(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas
terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan
riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih
khusus untuk pembangunan bangsa dan negara
E. Etika Keilmuan dalam Ke-Indonesiaan
Di dalam perkembangan pembangunan bangsa Indonesia, moral Pancasila
seyogyanya dipertimbangkan sebagai landasan moral bagi para ilmuwan Indonesia. Hal
5
ini disebabkan oleh karena ilmuwan Indonesia itu mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk membangun bangsa dan negara.
Para ilmuwan khususnya di Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam Ketetapan
MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya etika
keilmuan dijelaskan bahwa etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi
nilainilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu
menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai
kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini
diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta, dan karya, yang tercermin
dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan komunikatif, dalam kegiatan membaca,
belajar, meneliti, menulis, berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika keilmuan menegaskan pentingnya
budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir
dan berbuat, serta menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik.
Disamping itu, etika ini mendorong tumbuhnya kemampuan menghadapi hambatan,
rintangan, dan tantangan dalam kehidupan, mampu mengubah tantangan menjadi
peluang, mampu menumbuhkan kreativitas untuk penciptaan kesempatan baru, dan tahan
uji serta pantang menyerah.

KESIMPULAN
1. Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan baik buruk. Masalah moral adalah mengacu pada
perbuatan manusia sebagai manusia, sehingga norma moral adalah norma yang paling
berbobot dibanding dengan norma-norma yang lain, karena norma moral sering
dipakai untuk mengukur baik-buruknya manusia sebagai manusia.

2. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan
dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis. Sehingga ciri dari pengetahuan ilmiah adalah empiris,
sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif.

3. Sebagai pertanggungjawaban moral dan sosial seorang ilmuwan harus memiliki


sikap-sikap ilmiah yaitu tidak ada rasa pamrih karena pengetahuan ilmiah harus
obyektif, bersikap selektif, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan
maupun terhadap alat-alat indra dan budinya, adanya dorongan dari dalam diri untuk
selalu melakukan kegiatan riset, dan harus memiliki sikap etis yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk
kebahagiaan manusia. Di dalam perkembangan pembangunan bangsa Indonesia,
moral Pancasila seyogyanya dipertimbangkan sebagai landasan moral bagi para
ilmuwan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena ilmuwan Indonesia itu
mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun bangsa dan Negara

4. Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan
ilmu. Oleh karena itu suatu keharusan para ilmuwan untuk memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab
pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal,

6
karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.

7
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984/1985. Buku 1A Filsafat Ilmu.
Universitas Terbuka. Jakarta.
Hadiwijono, Harun. 1990. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius. Yogyakarta.
(Cetakan keenam)
Joesoef, Daoed Joesoef. 1987. ‘Pancasila Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan’ dalam
Pancasila Sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu. Editor: Soeroso
Prawirohardjo, et al., PT Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta.
Mustansyir, Rizal dan Misnal munir. 200. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
Semiawan, Conny R.1988. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. CV Remadja Karya.
Bandung.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal (2012) Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Chiapetta and Koballa 2006. Science Instruction in the Middle and Secondary

8
Schools: Developing Fundamental Knowledge and Skills for Teaching. six
th edition , New Jersey: Pearson Education, Inc.
Bernald, J.D. (1969), Science in History, Middlessex, England : Peguin Book Ltd,
Vol. 1
Darmojo, H (1998), Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam, Jakarta : Karunika
Universitas Terbuka
Leonard, K. Nash (1963), The Nature of the Natural Science, Toronto :Little
Brown and Company.
Mariana, I.A. & Praginda, W. (2009). Hakikat IPA dan Pendidikan IPA. Bandung:
PPPPTK IPA
McLelland, Christian V (2008), The Nature of Science and the Scientific Method,
Publisher : Geological Society of America
Salam, Burhanuddin (2000), Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara
Sunaja, A (2014), Dasar-Dasar IPA : Konsep dan Aplikasinya, Penerbit : UPI
Press
Suriasumantri, Jujun S.(2000), Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, cet. ke 13.
Toharudin, U, dkk. 2011. Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung:
Humaniora.
Wonorahardjo, S. 2010. Dasar-dasar Sains. Jakarta: Indeks.

Anda mungkin juga menyukai