Anda di halaman 1dari 4

1.

Yang menjadi pembeda tujuan pemidanaan dalam KUHP sekarang dengan


rancangan KUHP yang akan datang, didalam KUHP yang sekarang tidak
ditunjukan secara jelas apa tujuan pidananya namun menurut Prof. Simons
berpendapat bahwa menurut pembentuk Undang undang Hukum Pidana,
penjatuhan pidana harus dilakukan untuk kepenntingan masyarakat, dan
bertujuan untuk melindungi tertib hukum. Apabila pendapat prof simons itu
benar, walaupun pembentukan undang-undang tidak secara tegas mengatakan
demikian dapat diduga bahwa pada waktu membentuk KUHP mereka telah
menapatkan pengaruh dari teori- teori relatif yang telah mencari dasar
pembenaran dari pidana pada suatu tujuan yang sifatnya umum, yakni untuk
mengamankan tertib hukum.

Sedangkan dalam Rancangan KUHP menurut Guru Besar Hukum Pidana


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo setidaknya ada 4
tujuan pemidanaan yang ada yaitu Pertama, mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman
masyarakat. 

Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan


pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna. 

Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana,


memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam
masyarakat.

Terakhir, keempat, menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa


bersalah pada terpidana.

Perbedaannya terdapat pada Hukuman pidana pokoknya, dalam KUHP


mengakomodir “Hukuman Mati” sebagai pidana pokok yang dapat dijatuhnya
oleh seorang hakim, beda halnya dalam Rancangan KUHP menjelaskan
bahwa pidana hukuman mati tidak sebagi pidana pokok, namun ia
dipindahkan menjadi pidana alternative yang artinya seseorang itu bisa dihukum
pidana mati / hanya cukup seumur hidup.
Ditambah lagi RKUHP menerima pidana kerja social dan pidana pengawasan
sebagai pidana pokok, hal ini di masukan karena untuk mengatasi solusi atas
overcapacity penjara yang terdapat di Indonesia namun tidak hanya itu
dirumuskannya pidana kerja social dan pidana pengawasan karena bergesernya
tujuan pemidanaannya yang awalnya tujuan lembaga pemasyarakatan dari
konsep retribusi (pembalasan) kearah konseps rehabilitasi (perbaikan).

2.

3.

4. Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua
jenis bentuk pidana bagi anak, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang
berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi
pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.

a.    Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU


SPPA):
•    Pengembalian kepada orang tua/Wali;
•    Penyerahan kepada seseorang;
•    Perawatan di rumah sakit jiwa;
•    Perawatan di LPKS;
•    Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta;
•    Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
•    Perbaikan akibat tindak pidana.
 
b.    Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi
atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
· Pidana peringatan;
· Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga,
pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
· Pelatihan kerja;
· Pembinaan dalam lembaga;
· Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
· Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
· Pemenuhan kewajiban adat.

Filosofi penjatuhan pidana terhadap anak berdasarkan pada UU SPPA


memandang anak yang karena karakteristiknya (belum matang baik secara fisik
maupun psikis sehingga memerlukan perlindungan dan penanganan hukum
yang khusus dibandingkan dengan orang dewasa, dan dengan berlandaskan
pada prinsip non-diskriminasi dan kepentingan terbaik untuk anak, sehingga
dalam penjatuhan pidana terhadap anak hukum pidana memandang untuk perlu
diberikan treatment (perlakuan) yang khusus terhadap anak.

5. Berdasarkan uraian makalah kami, kami menegaskan bahwasanya kami


MENOLAK adanya penerapan Pidana Denda di masa yang akan datang dan
beralih pada alternative pemidanaan non denda. Dapat kami simpulkan
berdasarkan uraian di atas, yaitu :

1. Pidana denda sebagai pengganti penerapan pidana penjara sejauh ini


dirasakan masih belum memenuhi tujuan pemidanaan.

2. Pidana denda belum mempunyai fungsi dan peran yang optimal karena
penegak hukum cenderung memilih pidana penjara atau kurungan daripada
pidana denda. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang
memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai
pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan.
3. Pidana denda ini lebih menguntungkan bagi orang-orang yang mampu,
karena bagi mereka yang tidak mampu maka besarnya pidana denda tetap
merupakan beban atau masalah, sehingga mereka cenderung untuk
menerima jenis pidana yang lain yaitu pidana perampasan kemerdekaan.

4. Pertimbangan hakim lebih memilih pidana penjara dari pada pidana denda
terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan ringan karena lebih berefek jera
daripada pidana denda.

Kami team kontra percaya bahwa pidana denda bukan solusi efektif bagi
problematika yang terjadi saat ini.

Anda mungkin juga menyukai