Anda di halaman 1dari 6

Nama : Almer Adiyatma Rahimsyah

Mata Kuliah : Hukum Lingkungan Kelas (B)


NIM : 2018200143

Analisa Putusan Nomor 129/Pid.B/LH/2017/PN Lbb.


Dalam putusan ini,  kasus posisi dapat digambarkan sebagai berikut:  Pada tanggal 21
September 2017 Agusri Masnefi datang ke rumah Erdi untuk memintanya melakukan
penebangan 2 batang pohon milik adat dari keluarga isterinya. Dalam penebangan ini Erdi
telah melengkapinya dengan surat dari ketua Wali Nagari dan Wali Jorong yang isinya
memberikan izin untuk menebang kayu di tanah ulayat isteri Agusri Masnefi yang terletak di
Jorong Muko, Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Untuk
melakukan penebangan tersebut Agusri Masnefi membayar upah sebesar Rp. 900.000 dan
Erdi menyetujuinya.

Pada tanggal 22 September 201, Agusri dan Erdi memasuki kawasan dengan membawa alat
pemotong kayu (chainsaw) lalu memilih kayu yang akan ditebang. Lalu tidak lama kemudian
proses penebanngan dilakukan. Tidak lama kemudian datang petugas gabungan Polres Agam
dan Dians Kehutanan Kabupaten Agam.

Dakwaan
Jaksa mendakwa terdakwa dengan jenis dakwaan kombinasi yaitu :

Dakwaan Pertama :
1. Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) Jo Pasal 40 ayat (1) UU No. 05 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP, ATAU
2. Pasal 12 huruf b Jo Pasal 82 ayat (1) huruf b UU No. 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutab Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
DAN

Dakwaan Kedua
1. Pasal 12 huruf f juncto Pasal 84 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayat
(1) Ke-1 KUHP, ATAU
Dakwaan Ketiga
1. Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayar (1) Ke-1 KUHP, DAN
2. Pasal 84 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Aya (1) ke-1 KUHP,
ATAU

Dakwaan Keempat
1. Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP

Tuntutan
Menuntut para terdakwa terbukti secara syah dan meyakinan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayat
(1) Ke-1 KUHP dan menjatuhkan pidana masing-masing 10 bulan dikurangi masa tahanan
dan pidana denda masing-masing Rp. 500.000 dan subsidari 1 (satu) bulan kurungan
Pertimbangan Hakim
Hakim memilih dakwaan alternatif ke empat sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UU
No. 18 tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai
berikut :

1. Setiap orang
2. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan pejabat yang berwenang
3. Yang dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan
atau di sekitar hutan
4. Yang melakukan, yang menyuruh melakukan yang turut serta melakukan

MENGADILI:

1. Menyatakan Terdakwa I Erdi Pgl. Dt. Samiak dan Terdakwa II Agusri


Masnefi  tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “SECARA BERSAMA-SAMA MELAKUKAN PENEBANGAN
POHON DALAM KAWASAN HUTAN YANG DILAKUKAN DENGAN CARA
TIDAK SAH YANG DILAKUKAN OLEH ORANG YANG BERTEMPAT
TINGGAL DISEKITAR HUTAN” sebagaimana dalam dakwaan alternative ke
empat;
2. Menjatuhkan pidana kepada para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
masing masing selama 7 (tujuh) bulan dan denda sejumlah Rp.500.000,- (lima ratus
ribu rupiah) dengan ketentuan apabila dengan tersebut tidak dibayar digangti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan ;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Para Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Para Terdakwa tetap ditahan;
5. Menetapkan barang bukti berupa :

- 1 (satu) unit chainsaw STANDAR bewarna orange;


Tanggapan Terhadap putusan Nomor 129/Pid.B/LH/2017/PN Lbb. :

 Subjek Hukum

Dalam pertimbangan hakim, majelis menyatakan bahwa unsur “barang siapa” mengacu pada
setiap orang dengan merujuk pada yurisprudensi dan doktrin yang menyebutkan bahwa setiap
orang dapat dimaknai sebagai subjek pelaku tindak pidana. Pendapat ahli yang dikutip
diantaranya Simons, Vos, Pompe dan Hazewingkel Suringa yang menyatakan bahwa subjek
tindak pidana adalah manusia (naturlijk personen).

Majelis juga memberikan tafsir “setiap orang” dalam Pasal 1 butir 21 UU No. 18/2013 yaitu
orang perseorangan/korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara
terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah Indonesia.
Majelis juga berpendapat bahwa subjek hukum yang dimaksud dalam perkara ini adalah
orang perseorangan yang telah diajukan ke persidangan sebagai terdakwa oleh Penuntut
Umum yaitu Erdi dan Agusri Masnefi yang melakukan penebnagan pohon dalam kawasan
hutan.

 Tafsir Subjek Hukum Dalam UU No.18 Tahun 2013

UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan atau sering
disebut dengan UU P3H merupakan undang-undang pidana khusus, yang dimaksudkan untuk
memberantas kejahatan hutan terorganisir dan kejahatan hutan yang dilakukan oleh
korporasi, undang-undang ini tidak dimaksudkan untuk mengkriminalkan petani kecil yang
tinggal dan bermukim di dalam atau disekitar hutan untuk berkebun. Argumentasi ini dapat
dilihat dari Penjelasan Umum UU ini :

“Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak
hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan
konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang
berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun
internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat
mengkahwatirkn bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan
perusakan hutan dilakukan secara luar biasa.”

Dalam penjelasan umum jelas dan nyata, bahwa tindak pidana kehutanan yang dimaksudkan
dalam undang-undang ini dilakukan oleh sindikasi kehutanan, dimana undang-undang
sebelumnya dinilai masih belum mampu mengatasi kejahatan kehutanan yang berlangsung
luar biasa dan sistemik. Dengan demikian, undang-undang ini akan menemukan dan
mempidana pelaku-pelaku kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Jadi subjek hukum
undang-undang ini adalah pembalak liar yang memiiki koneksi dengan sindikat kejahatan,
pelaku kejahatan yang terorganisir, yang bahkan lintas negara, dan bukan ditujukan kepada
pelaku-pelaku yang tidak terorganisir, tidak terlibat dalam sindikasi. Untuk tindak pidana
kehutanan dalam skala yang lebih kecil dapat merujuk pada undang-undang kehutanan (UU
No. 41/1999).
Bukti otentik lainnya terkait dengan argumentasi ini dapat dilihat dari konsideran UU P3H :

“d. bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan
perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial
budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanansan global yang telah menjadi isu
nasional, regional dan internasional;

bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi
dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam
kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahann dan pemberanansa
perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat
dan mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;

bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini tidak memadai dan belum
mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang
terorganisasi;”

Kutipan di atas memperkuat argumentasi, bahwa hanya subjek hukum korporasi dan
perseorangan yang terorganisasi saja yang menggunakan undang-undang ini, sehingga sejak
awal penyidik harus bisa memastikan bahwa ketika akan menggunakan undang-undang ini,
telah ada bukti permulaan yang cukup tentang pelaku kejahatan yang terorganisasi ini yang
diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan. Jika bukan subjek hukum yang
terorganisasi maka sebaiknya gunakan undang-undang kehutanan. Terkait dengan subjek
hukum yang terorganisasi ini dapat dilihat dari Pasal 1 angka 21 yang berbunyi :

“Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan
perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum
di wilayah hukum Indonesia”

Undang-Undang P3H, juga memberikan tafsir yang otentik terhadap kata-kata terorganisasi
yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 yang bunyi lengkapnya sebagai
berikut :

“Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang
terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu
tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat
yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional
dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan
komersial”

Dengan demikian jelas bahwa tindak pidana kehutanan yang tidak terorganisir tidak bisa
menggunakan undang-undang ini, termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan/perladangan tradisional yang mengambil manfaat
hutan untuk keperluan hidup. Para petani tradisional yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan
di dalam hutan yang memanfaatkan hutan untuk hidup memiliki kekebalan (imunitas) atas
undang-undang ini, dan tidak dapat dijadikan subjek delik.

Oleh karena itu, subjek hukum yang dituntut dalam perkara ini yaitu Erdi dan Agusri Masnefi
tidak tepat yang menyimpang dari norma yang diatur dalam UU P3H karena Erdi dan Agustri
Masnefi bukanlah perseorangan yang melakukan kejahatan terorganisasi sebagaimana diatur
dalam pasal-pasal yang disebutkan di atas.

 Yang dilakukan oleh orang per seorangan yang bertempat tinggal dalamdan
atau di sekitar hutan

Para terdakwa bertempat tinggal di Jorong Mungko-Mungko, Nagari Koto Malintang


Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam yang merupakan satu wilayah dengan tempat
kejadian perkara yaitu Labuah Usang Jorong Muko Muko Kenagarian Koto Malintan
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa
para terdakwa melakukan penebanngan pohon di wilayah Cagar Alam Maninjau yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.

 Melakukan Penebangan Pohon di Kawasan Hutan

Dalam membuktikan unsur yang kedua ini, majelis hakim tidak mempertimbangkan aspek
“imunitas” yang dimiliki oleh subjek delik yang tinggal dikawasan sekitar atau didalam
kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU No.18 Tahun 2013. Dalam
pasal tersebut nyata-nyata disebutkan bahwa “Teroganisasi” tidak termasuk kelompok
masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan
perladangngan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan
tidak untuk tujuan komersial”/ Pasal ini bisa juga ditafsirkan sebagai alasan yang menghapus
pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan terorganisasi yang :

1. Tinggal didalam atau disekitar kawasan hutan;


2. Melakukan perladangngan tradisional
3. Melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan
komersial

Perbuatan yang dilakukan Erdidan Agusri Masnefi meskipun menebang dua batang pohon
tidak bisa dikatakan telah memenuhi unsur “melakukan penebangan pohon di kawasan
hutan”, karena unsur ini tidak bisa dilihat secara parsial hanya dengan Pasal 82 ayat (2) UU
No. 18 Tahun 2013, tetapi juga harus dikaitkan dengan Pasal 1 angka 6 yang merupakan
prinsip-prinsip dasar (general principle) atau asas yang memayungi undang-undang ini.
Unsur melawan hukum dari perbuatan menebang pohon dengan sendirinya hapus, karena
perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terorganisasi

Secara doktrin, alasan penghapus pidana terdiri dari alasan pemaaf dan alasan pembenar
Moeljatno, 2013). Alasan pemaaf dimaksudkan untuk memaafkan kesalahan sedangkan
alasan pembenar, dimaksdukan untuk menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan
tersebut. Dalam alasan pemaaf, maka tindak pidana tersebut tetap ada, namun orangnya
dimaafkan, atau kesalahannya dihapuskan, sehingga orang tersebut dilepaskan dari segala
tuduhan. Sementara itu, dalam hal alasan pembenar, maka sifat melawan hukum dari
perbuatan tersebut dihapuskan dan pelaku tindak pidana dibebaskan. Dengan demikian, unsur
melawan hukum dari perbuatan menebang pohon di dalam kawasan hutan yang dilakukan
Erdi dan Agusri Masnefi harus dihapuskan.
Kesimpulan

Tentu saja jika Majelis Hakim benar benar memahami isi dalam pasal Undang Undang No 13
Tahun 2013 secara komperhensif dan utuh maka putusan ini seharusnya sejalan dengan nilai
nilai yang dianut dalam undang undang tersebut. Karena secara filosofis Undang Undang No
13 Tahun 2013 ini ditujukan untuk kejahatan kejahatan secara terorganisir sebagaimana
tercantum dalam konsiderans UU P3H. Sementara itu, fakta yang terungkap pada
persidangan membuktikan bahwa kedua Terdakwa hanyalah warga biasa yang menebang
pohon semata-mata untuk keperluan hidup sehari-hari dan bukan untuk tujuan komersial.
Selain itu, penebangan itu dilakukan bukan dengan cara-cara yang terstruktur, sistematis dan
memiliki afiliasi dengan pihak lain.

Tapi sangat disayangkan keputusan yang diambil oleh majelis hakim adalah untuk
menghukum para terdakwa yang notabene merupakan warga yang menebang pohon untuk
kebutuhan sehari hari bukan untuk hal lain, selain itu juga majelis hakim kurang dalam
memahami asas lex spesialis derogate legi generali yang diamanahkan oleh undang undang
nomor 18 tahun 2013 , maka jelas makna setiap orang dalam pasal ini yang dimaksudkan
adalah perseorangan secara terorganisir , maka dua orang terdakwa itu seharusnya diputus
bebas karena makna “setiap orang” dalam pasal tersebut tidak terpenuhi

Anda mungkin juga menyukai